1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah penegakan hukum dan keadilan di Indonesia masih menjadi salah satu issu sentral nasional. Masih banyak hal dan peristiwa di berbagai tempat belum sepenuhnya tersentuh keadilan yang pada intinya menyebabkan terusiknya rasa keadilan masyarakat, seperti daerah-daerah terpencil dan daerahdaerah yang secara sosiologis telah mengeklusifkan diri. Hal dan peristiwa itu terjadi berulang-ulang, sehingga terakumulasi sedemikian rupa dan akhirnya berujung pada anggapan bahwa hukum dan keadilan ini belum dapat dinikmati sebagaimana mestinya oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak langkah yang di tempuh Pemerintah untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, begitu juga telah tampak komitmen yang tinggi dari masyarakat sendiri menyikapi penegakan hukum dan keadilan tersebut. Langkah-langkah Pemerintah tersebut antara lain berupa pemenuhan produk hukum nasional baik berupa Peraturan Perundang-undangan maupun berupa Peraturan
Pemerintah
yang
bertujuan
mengatur
ketertiban,
keamanan,
kesejahteraan dan pengayoman terhadap bangsa, penyelenggaraan tujuan diatas harus didukung oleh aparatur hukum yang profesional, mempunyai rasa keadilan serta nurani kemanusiaan yang tinggi, efisien, efektif, terpenuhinya sarana dan
1
2
prasarana, serta terwujudnya peningkatan masyarakat akan kesadaran rasa taat kepada hukum. Program dari berbagai prasyarat di atas mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan secara menyeluruh terhadap masyarakat, tetapi perlu disadari tidak akan mungkin syarat-syarat tersebut dapat dilaksanakan sendiri-sendiri secara parsial oleh perseorangan maupun hanya oleh lembaga, melainkan penyusunan dan perencanaan hukum nasional harus dilakukan secara terpadu dalam sistem hukum nasional.1 Kita yakin masih ada ketidakpuasan atau bahkan mungkin masih ada hakhak hukum yang belum terjamin, misalnya belum diperlakukan sama dihadapan hukum, sulit mendapatkan bantuan hukum bagi kaum miskin, atau sulit mendapatkan akses menuju keadilan yang sebenarnya, meskipun sebenarnya semua keperluan hukum sudah ada sarananya namun tergantung pada bidangbidang sesuai kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang, seperti yang di tangani: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.2 Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut merupakan muara akhir sebagai harapan pemenuhan hak bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui produk putusannya. Hal ini sebagaimana kasus perceraian Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama Magetan yang menjadi salah satu contoh bentuk pengawalan ketat untuk 1
Mimbar Hukum, Nomor 35/Thn. VIII (Jakarta: Al-hikmah, 1997), 94. Roihan A.Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), 4. 2
3
melakukan perbuatan hukum dalam putusan perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/ PA.Mgt. Prinsip hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak, yang mana untuk melakukannya harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.3 Perceraian dalam Islam pada dasarnya diperbolehkan dan tidak dilarang, akan tetapi tidak pula dianjurkan. Seperti hadith Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang berbunyi:
.ق ُQ َ R A Sَ اT AU َ َوWA @ َ F ِ اX َ Sِل ا ِQ َ Y َ Sْ اN ُ Oَ =ْ َا:ل َ Lَ M ( )صF ِ لا َ HُIن َر A َاCَ Dَ @ ُ ; ِ =ْ ; ا ِ@ َ (Zُ Y َY A[ َ ِآ ُ\ َوLَ YSوَا،َْدَا ُودH=ُ ) َر َو ُ` َا Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rosulullah s.a.w bersabda: “Perbuatan halal yang dibenci Allah azza wajalla ialah thalaq”.4 Masalah utama yang menarik penulis angkat dalam perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah tentang pembagian gaji yang diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Magetan. Dalam duduk perkara putusan yang akan di bahas tersebut adalah Pemohon sebagai pihak suami mengajukan permohonan untuk cerai dimana Pemohon selaku Pegawai / Pegawai Kantor Pos X dan 3
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 1990), 162. 4 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 8 (Bandung: Al-ma’arif, 1990), 9.
4
termohon / isteri sebagai bidan PTT, setelah usaha damai tidak dapat ditempuh dilanjutkan jawab menjawab, dalam jawabannya istri / termohon meyertakan gugatan balik antara lain tentang pembagian gaji yang menjadi hak termohon dan anak-anak. Dalam putusannya Majelis hakim telah mengabulkan gugatan balik Termohon tersebut. Menurut penulis ada kejanggalan antara konsep Islam dengan isi peraturan pemerintah yang mengikat Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil atau yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri tersebut yaitu mengenai nafkah dari bekas suami kepada bekas istri, terjadinya benturan itulah yang melatarbelakangi pengangkatan masalah ini. Memang Pegawai Negeri adalah sebagai Aparatur Negara, Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang harus menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.5 Kenyataan tersebut dapat memasung keadilan Pegawai Negeri itu sendiri untuk memperoleh penegakan hak-hak hukum, Pegawai Negeri Sipil juga masyarakat yang berlaku hukum dasar agamanya disamping hukum lain yang menjadi atribut kedinasan. Pada saat Pegawai Negeri Sipil sebagai Aparatur Negara juga sebagai insan yang memiliki aturan agama yang menjadi hak azasi, akankah benturan ini selalu dimenangkan Peraturan kedinasan?. Penulis menyadari konflik yang dialami Pegawai Negeri Sipil sampai ke Pengadilan adalah merupakan puncak dari ketidakstabilan dalam menjalani hidup 5
Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama (Jakarta: Intermasa, 1991), 358.
5
baik sebagai aparatur negara maupun sebagai masyarakat secara umum, misalnya sampai terjadi perceraian sebagai pintu darurat untuk menyelamatkan diri dari kerusakan yang berkepanjangan. Apabila hukum agama dikalahkan dan hanya mengutamakan Peraturan disiplin kepegawaian maka keadilan sulit diperoleh oleh Pegawai Negeri Sipil yang notabene juga masyarakat yang dinaungi oleh ajaran agama yang dipeluk sebagai hak melekat dari Allah SWT. Keadilan menurut ajaran Islam merupakan kebutuhan yang fundamental untuk ditegakkan. Keadilan itu bukan lagi logika ataupun matematika yang mudah di bagi atau dipilah-pilah tetapi keadilan itu rasa, lebih bersifat abstrak. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak yang telah dinilai sebagai Rasa keadilan maka perwujudannya bisa jadi harus ada keberanian hakim untuk mengutamakan hukum agama sebagai hukum materiil dari suatu Peradilan, barangkali apa saja sikap hakim dalam menerapkan hukum tersebut agar antara hukum materiil agama dan hukum administrasi dapat berjalan sama untuk mewujudkan keadilan bagi semua pihak. Antara materi hukum dalam Putusan maupun semua pihak yang terkait harus mempunyai komitmen hukum untuk menghormati isi putusan, yang tidak kalah pentingnya adalah terjaganya moral aparat hukum, kualitas materi hukum putusan maupun ketegasan dari isi putusan itu sendiri. Jangan sampai isi materi putusan jadi kabur, tidak fokus karena ketidakmampuan hakimnya, dalam hal ini penegak hukum (terutama hakim) dituntut untuk bekerja keras dan senantiasa
6
memelihara kepribadiannya, dengan kata lain harus menjaga kebersihannya. Maksud ini dapat dipahami dalam Q.S An-Nisa’ ayat 105: ∩⊇⊃∈∪ $Vϑ‹ÅÁyz tÏΖÍ←!$y‚ù=Ïj9 ä3s? Ÿωuρ 4 ª!$# y71u‘r& !$oÿÏ3 Ĩ$¨Ζ9$# t÷t/ zΝä3óstGÏ9 Èd,ysø9$$Î/ |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr& !$‾ΡÎ) Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab ini kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu, dan Janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang bersalah, karena (membela) orang yang khianat.” 6 Dalam pasal l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang mengadili hanya mereka yang mengaku dirinya memeluk agama Islam.7 Karena itu, bagi orang yang beragama Islam khususnya bagi para pencari keadilan yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, warisan, hibah, shodaqoh dan ekonomi syariah sudah seharusnya ditegakkan hukum Islam sebagai hukum materiil agar kebenaran dan keadilan yang dituangkan dalam hukum Islam dapat dibumikan di Negara Indonesia khususnya. Berangkat dari tidak tampaknya rasa keadilan karena campur tangan disiplin administrasi terhadap materi hukum perkawinan tersebut yang pada gilirannya bisa mengaburkan kepastian hukum. Penulis ingin membahas lebih 6
Al-Qura’n, 5 : 4; 105 : 195. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2000), 107. 7
7
lanjut dalam sebuah skripsi dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.kab.Mgt. Tentang Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Akibat Perceraian.” B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami isi skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt.(Tentang Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Akibat Perceraian).” Maka perlu dikemukakan penegasan istilah: Hukum Islam adalah
: Hukum yang bersumber pada nash-nash AlQur’an dan Hadith serta bersumber pada pendapat para Ulama’ yang termuat pada kitab-kitab
fiqh,
baik
klasik
maupun
kontemporer. Putusan PA Nomor 386/Pdt.G/ : Sebuah 2003/PA.Kab.Mgt. adalah
putusan
Pengadilan
yang
Agama
dikeluarkan Magetan
oleh untuk
memutuskan perkara sengketa perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor : Bentuk peraturan yang menurut UUD 1945 10 Tahun 1983 Jo.. Peraturan
yang dibuat oleh Presiden dan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun
dimaksud sebagai peraturan khusus bagi
1990 adalah
Pegawai Negeri sipil atau pegawai yang
8
dipersamakan
dengan
itu
tentang
izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri sipil. Pegawai Negeri Sipil adalah
: Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, dan pegawai yang dipersamakan adalah:
Pegawai
bulanan
disamping
pensiunan, Pegawai bank milik Negara, Pegawai badan usaha milik Negara, Pegawai badan usaha milik Daerah, Pimpinan bank Daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Petugas
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan desa.8 Pengadilan Agama adalah
Magetan : Nama satuan unit penyelenggara kekuasaan negara
dalam
menerima,
memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata khusus orang Islam yang wilayah yurisdiksinya adalah berada di wilayah Kabupaten Magetan.
8
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan, 351.
9
C. Pembatasan Masalah Mengingat permasalahan yang akan diangkat menjadi bias dengan perkara lain di suatu Pengadilan yang serupa, maka pembahasan perlu dibatasi setidaknya terhadap Nomor perkara dan lokasi penelitian. Dari perkara Nomor 386 / Pdt.G / 2003 / PA.Mgt. yang diangkat dalam tulisan skripsi ini difokuskan pada tuntutan Istri/ Termohon yang akan dicerai sedangkan suami / Pemohon berstatus sebagai Pegawai Negeri atau yang disamakan dengan Pegawai Negeri tersebut. Tuntutan pembagian gaji dimaksud merujuk pada ketentuan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor l0 Tahun 1983 yang telah di ubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, ketentuan mana disebut apabila Pegawai Negeri Sipil yang akan menceraikan isterinya harus membagi gaji dengan isteri dan anak-anaknya. Sedangkan terhadap lokasi di Pengadilan Agama Magetan adalah untuk memberikan kemudahan dan kepastian dalam penyajian data yang valid agar dapat dipertanggungjawabkan terhadap penelitian pemberlakuan Peraturan Pemerintah dimaksud di suatu peradilan, untuk memberikan telaah dengan hukum Islam atas penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 di Pengadilan Agama Magetan melalui produk putusan yang diangkat dalam kajian skripsi ini sebagai bahan komparatif / perbandingan. Hukum Islam itu sendiri agar tidak terlalu bias dengan luasnya bahan dan materi rujukan hukum Islam maka penulis lebih membatasi pada Kompilasi Hukum Islam yang telah nyata-nyata sudah disosialisasikan sebagai hukum
10
terapan di Pengadilan Agama, meskipun dapat dimungkinkan menggunakan bahan kajian lain yang tidak termuat dalam Kompilasi Hukum Islam itu sendiri.
D. Rumusan Masalah Agar lebih praktis dan terarah dari segi operasional, maka inti masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. tentang pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil kepada mantan isteri setelah terjadi perceraian ? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap landasan hukum yang di pakai hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutus perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. tentang pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil ? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sanksi yang dapat dibebankan atas pelanggaran Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ?
E. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil kepada mantan isteri setelah terjadi perceraian di Pengadilan Agama Magetan.
11
2. Untuk mengetahui landasan hukum yang di pakai hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutus perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. tentang pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil. 3. Untuk mengetahui sanksi yang dapat dibebankan atas pelanggaran Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. F. Kegunaan Penelitian Hasil dari studi ini penulis mengharapkan berguna dan memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Kepentingan bersifat ilmiah, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan fikiran dan masukan yang berguna dan bermanfaat dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman sekaligus memberikan pengertian yang benar mengenai masalah ini. 2. Kepentingan terapan, diharapkan kajian ini dapat dijadikan sebagai wacana bagi pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan, sehingga keputusan pemerintah itu nantinya mampu mewadahi semua aspirasi masyarakat serta menambah wawasan khususnya untuk Pegawai Negeri Sipil. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Dalam hal ini model penelitian yang penulis pakai adalah jenis penelitian lapangan. Penelitian lapangan adalah Penelitian yang datanya
12
diambil atau dikumpulkan dari lapangan dimana tempat kasus itu berada, termasuk dokumen-dokumen yang memuat kasus cerai gugat terhadap pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil, mengadakan intervieuw dengan hakimhakim atau pejabat lain yang berkompeten di Pengadilan Agama Magetan. 2. Lokasi Penelitian Adapun Lokasi penelitian yang penulis ambil adalah Pengadilan Agama Magetan. 3. Jenis Data Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah: a. Salinan Surat putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor 386/Pdt.G/ 2003/PA.Mgt. Tentang perkara sengketa perceraian Pegawai Negeri Sipil. b. Data mengenai landasan hukum yang di pakai hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutus perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Mgt. tentang pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil. c. Data mengenai sanksi yang dapat dibebankan atas pelanggaran Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. 4. Sumber Data Adapun data yang penulis pakai dalam penyusunan skripsi ini bersumber dari data empiris serta buku-buku yang relevan yang ada kaitannya dengan permasalahan ini untuk dapat dipertanggungjawabkan:
13
a. Sumber Data Lapangan Yaitu sumber data yang diperoleh dari penelitian lapangan yang meliputi informasi dari: 1)
Informan
: Penulis juga mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak yang menangani kasus tersebut atau pihak-pihak yang ada di Pengadilan Agama Magetan. Dalam hal ini Hakim Ketua Bapak Drs. Muhlas Rofi’i, SH., selaku ketua Majelis yang memutus perkara, dan Bapak Chalidul Azhar, SH. M.Hum., selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama Magetan.
2)
Dokumen
: Penulis juga mencari data-data yang bersifat dokumenter di Pengadilan Agama yaitu berupa keterangan-keterangan yang ada kaitannya dengan perkara gugat cerai Nomor 386/Pdt.G/2003/PA. Kab.Mgt.
b. Sumber Data literer Yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-buku, yang meliputi: 1. Sumber data primer, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. 2. Sumber data sekunder, yaitu: a. al Qur’an Terjemahan / tafsir, Muhammad Rifa’i.
14
b. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. c. Hukum Kepegawaian Dalam Praktek, Soutomo. d. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Agama, Abdul Ghani Abdullah. e. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Abdul Manan. 5. Metode Pengumpulan Data Untuk
mengumpulkan
data
dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode Interview, yaitu wawancara yang dilakukan kepada subyek penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian. b. Metode Dokumentasi, yaitu mencari data dengan cara mengumpulkan dan mengamati data-data yang berupa salinan surat putusan Pengadilan Agama dan catatan-catatan yang valid yang berhubungan dengan obyek penelitian. 6. Metode Pengolahan Data Dalam pembahasan permasalahan skripsi ini penulis menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut : a.
Editing
: Pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi perlengkapannya, keselarasan satu dengan yang lainnya.
15
b.
Organizing
: Penyusunan data secara sistematika dalam bentuk paparan sebagaimana yang telah direncanakan sesuai dengan rumusan masalah.
c.
Penemuan hasil
: Penganalisaan
lanjutan
pengorganisasian kesimpulan
yang
data
terhadap sehingga
merupakan
hasil diperoleh
jawaban
dari
rumusan masalah. 7. Metode Analisa Data Adapun metode pembahasan yang penulis pakai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Metode deduktif : Proses
analisa
yang
diawali
dengan
cara
mengemukakan fenomena yang besifat umum guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus. b. Metode induktif : Proses
analisa
yang
diawali
dengan
cara
mengemukakan kenyataan yang besifat khusus (dari hasil riset) untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum berupa generalisasi.
H. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan skripsi ini, maka penulis akan menguraikan pembahasan ini kedalam beberapa bab yang sistematika pembahasan sebagai berikut :
16
BAB I
: PENDAHULUAN Merupakan pola dasar yang mencakup dari keseluruhan isi skripsi, maka disini penyusun kemukakan tentang: Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, Pembahasan Hasil Penelitian, bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan penulis dari awal hingga akhir untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah, Penulis mengemukakan (1) spesifikasi data yang diperlukan (2) sumber data (3) cara memperoleh data (4) cara menganalisis data dan (5) cara menarik kesimpulan, Sistematika Pembahasan.
BAB II
: KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM Bab ini merupakan landasan teori sebagai pijakan masalah dalam skripsi, sehingga perlu mengetengahkan: Pengertian Perceraian, Hukum Perceraian, Bentuk bentuk Perceraian yang dapat diajukan di Pengadailan Agama, dan alasan-alasan perceraian serta masalah yang mencakup didalamnya.
BAB III : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN Nomor 386/ Pdt. G/2003/PA.Mgt. Bab ini memuat sajian hasil penelitian di Pengadilan Agama Magetan yang di awali dengan posisi kasus, proses jawab menjawab
17
yang berujung pada tuntutan pembagian gaji karena pemohon / suami berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan berbagai argumentasinya, menyajikan pula tentang pertimbangan hakim mengenai tuntutan pembagian gaji dan landasan hukum yang di pakai hakim Pengadilan Agama Magetan, serta menguraikan tentang kelengkapan administratif kepegawaian yang menyangkut adanya kemungkinan penerapan sanksi yang dapat dibebankan atas pelanggaran Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. BAB IV
: ANALISA
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA MAGETAN Nomor 386/Pdt.G/2003/ PA.Mgt. Bab ini membahas tentang: Analisa bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil kepada mantan isteri setelah terjadi perceraian di Pengadilan Agama Magetan, dilanjutkan dengan Analisa hukum Islam terhadap landasan hukum yang di pakai hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutus perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. tentang Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil, diakhiri dengan Analisa hukum Islam terhadap sanksi yang dapat dibebankan atas pelanggaran Pegawai
18
Negeri Sipil yang tidak melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. BAB V
: PENUTUP Bab ini adalah akhir dari pembahasan skripsi yang berisi: Kesimpulan sebagai jawaban permasalahan, dan Saran.
19
BAB II PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perceraian Sebelum menguraikan tentang perceraian dan seluk-beluknya, penulis perlu mencantumkan sekilas tentang makna akad perkawinan. Hal ini penulis sampaikan mengingat tidak ada perceraian apabila tidak ada akad perkawinan. Perkawinan yang syah adalah apabila didasarkan pada akad yang syah, akad itu sendiri dapat dikategorikan syah apabila memenuhi beberapa unsur antara lain syarat dan rukun mengenai perkawinan. Akad perkawinan didalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mithaqan ghalizhan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian, ada suatu dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan tersebut. Untuk itu, perkawinan harus dipelihara dengan baik agar bisa abadi, dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terbina sesuai dengan yang dicita-citakan. Mengenai syarat dan rukun pernikahan itu sendiri tidak dijabarkan dalam tulisan ini karena kajian khususnya adalah mengenai tinjauan hukum Islam terhadap tuntutan pembagian gaji yang merupakan implikasi dari perceraian, yang dianggap sebagai kewajiban suami kepada istri melalui perangkat aturan tertentu, sehingga penjabaran lebih lanjut dititik beratkan pada masalah perceraian dan segala aspeknya. 19
20
Seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan dan telah dibangun dengan susah payah ternyata kandas diperjalanan sehingga perkawinan harus putus di tengah jalan, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin tetapi pada akhirnya suami-isteri harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinannya. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan. Atau dapat juga dikatakan
bahwa
perkawinan
pada
dasarnya
merupakan
kontrak.9
Konsekuensinya ia bisa lepas, yang dalam bahasa hukum disebut dengan perceraian atau talak. Untuk memberikan gambaran tentang pengertian perceraian / talak dapat di fahami dari berbagai definisi oleh para Ahli sebagai berikut : Talak terambil dari kata itlaq yang bermakna melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan talak menurut shara’ adalah:
qِ wَ U ِ ْوWA S اqِ Mَ Q َ vَ S ُء اLtَ sْ ج َوِا ِ َواWA S اqَR=ِ رَاT ُp َ Artinya: “melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami-isteri.” 10 Pendapat diatas ternyata hampir sama dengan pendapat oleh al-Jaziri, pendapat mana lebih singkat dan tegas bahwa makna talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qayd) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan ikatan dengan
9
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 206. 10 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 192.
21
menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.11 Tidak beda jauh mengenai definisi talak itu sendiri oleh pendapat ahli yang lain seperti yang populer di kalangan dunia Peradilan seperti Sayid Sabiq melalui karya Fiqih sunnahnya, beliau memberikan definisi sebagai tegas dan rinci yang pada pokoknya talak sebagai sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.12 Definisi yang agak panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayah al-Akhyar yang ditulis oleh Taqiyuddin al-Husayni, yang mana dikemukakan bahwa talak adalah sebuah nama untuk melepaskan ikatan perkawinan, yang merupakan lafazh Jahiliyah dan setelah Islam datang ditetapkan sebagai kata untuk memutuskan perkawinan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diterangkan dalam pasal 117 adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya Perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130 dan 131. Dari definisi diatas jelaslah bahwa talak/ perceraian merupakan sebuah cara yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Hanya saja di Indonesia sudah dijadikan hukum baku bahwa perceraian dapat dilaksanakan apabila melelalui fasilitas Institusi Pengadilan sebagai sarana pengayom dan menjamin hak-hak suami istri yang akan bercerai.
11 12
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, 207. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 8 (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), 1.
22
Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus kapan saja. Hanya saja tata caranya telah diatur secara baik dalam hukum Islam maupun di dalam Undang-Undang Perkawinan. Kendatipun perkawinan adalah suatu ikatan suci namun dalam kondisi tertentu sebagai tindakan penyelamatan dapat ditempuh pintu darurat berupa perceraian, oleh karenanya secara tegas tidak boleh disimpulkan bahwa perkawinan adalah mutlak wajib dipertahankan dalam arti lain tidak boleh diputuskan.
B. Hukum Perceraian Mengingat kembali tentang makna dari pengertian perceraian yang tersebut diatas, bahwa tujuan sebenarnya diciptakan hukum Islam itu adalah untuk mendidik pribadi manusia agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dalam menegakkan suatu keadilan, dan memelihara kehidupan yang hakiki untuk mencapai tingkat kemaslahatan serta menghindari kemadlaratan. Dengan berpedoman pada tujuan tesebut maka sesungguhnya perkawinan itu merupakan bagian integral dari syariat Islam, yang mana suami-isteri dalam ajaran Islam dianjurkan agar tidak terlalu cepat mengambil keputusan untuk melakukan perceraian, karena benang kusut itu sangatlah mungkin untuk bisa disusun kembali. Prinsip hukum perkawinan dalam hukum Islam adalah bahwa perkawinan harus dipertahankan seumur hidup. Tetapi jika semua harapan cinta dan kasih sayang telah sirna dan perkawinan menjadi berantakan dan tak mungkin
23
dipertahankan, maka dalam kondisi yang semacam ini diperbolehkan dalam syari’at Islam dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran, as-Sunnah maupun Ijma’. Agama Islam mensyari’atkan meskipun seorang suami diberi hak untuk menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan haknya itu dengan gegabah dan sesuka hati apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya. Seperti apa yang dinyatakan oleh Sarakhsi, talak itu hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif suami (talak) atau inisiatif isteri (khulu’). Hadith Rasulullah Saw yang populer dengan talak ini adalah: “Inna abghad al-mubahat ‘inda Allah al-talak, sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak.13 Hadith tersebut diatas menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, seperti suami yang menjatuhkan talak tanpa disertai alasan yang dibenarkan hukum. Apalagi menjatuhkan talak itu sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Terdapat Khilafiyah antara Ulama mengenai hukum asal menjatuhkan talak oleh suami. Yang lebih sah dan tepat diantara pendapat itu ialah melarangnya, dengan menyatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat (terpaksa). Pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Alasannya ialah hadith yang menyatakan: 13
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, 208.
24
ق ٍQ َ R ْ zِ ،ٍ َذوَاقT A ُآF ُ ;ا َ vَ Sَ Artinya: “Allah mengutuk setiap suami yang suka mencicipi isterinya dan kemudian suka pula mentalaknya” 14 Disamping itu, mereka juga beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat Allah sebab perkawinan itu termasuk nikmat Allah dan anugerah-Nya, padahal mengkufuri nikmat Allah itu dilarang. Oleh karena itu, menjatuhkan talak tidak boleh kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Sebelum penulis menguraikan tentang hukum apa saja menjatuhkan talak bagi suami, maka perlu penulis ingatkan bahwa ada beberapa kemungkinan yang menjadikan putusnya perkawinan, yaitu: karena kematian, karena perceraian dan karena putusan Pengadilan (seperti: cerai talak, cerai gugat, gugatan dengan alasan khulu’, fasakh, shiqaq, pelanggaran ta’liq talak dan lain sebagainya). Perlu diketahui bahwasannya sebab atau alasan untuk menjatuhkan talak itu berakibat kedudukan hukum talak menjadi berubah-ubah (tidak tetap) bisa jadi menjadi wajib, haram, mubah, dan ada kalanya menjadi sunnah. Ulama Hanabilah menggolongkan hukum diperbolehkannya talak dengan baik sebagai berikut: (1) ada talak yang wajib, (2) talak yang haram, (3) talak yang mubah/boleh, dan (4) talak yang mandub atau sunnah, secara garis besarnya sebagai berikut: a. Talak menjadi wajib ialah perceraian yang diputuskan oleh dua orang penengah atau dua orang hakam karena menurut mereka hanyalah talak jalan 14
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 4.
25
satu-satunya untuk menyelesaikan perselisihan suami isteri tersebut. Begitu pula talak isteri yang di-ila’, yakni suami bersumpah tidak akan mencampuri isterinya dan telah berlalu waktu menunggu empat bulan. Berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 226-227, yang berbunyi: ÷βÎ)uρ ∩⊄⊄∉∪ ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî ©!$# ¨βÎ*sù ρâ!$sù βÎ*sù ( 9åκô−r& Ïπyèt/ö‘r& ßÈš/ts? öΝÎγÍ←!$|¡ÎpΣ ÏΒ tβθä9÷σムtÏ%©#Ïj9 ∩⊄⊄∠∪ ÒΟŠÎ=tæ ìì‹Ïÿxœ ©!$# ¨βÎ*sù t,≈n=©Ü9$# (#θãΒt“tã Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Tahu” 15 b. Talak menjadi haram ialah tanpa alasan agama, karena ia merusakkan jiwa suami istri dan melenyapkan hubungan baik yang telah terbina selama itu. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa talak diharamkan jika tidak ada keperluan untuk itu, karena talak yang demikian dapat menyebabkan kemaslahatan hubungan suami-isteri tersebut. Sabda Rasulullah Saw:
.َا َرC| ِ } َ َر َوCَ | َ } َ Artinya: “Tidak boleh timbul madlarat dan tidak boleh saling menimbulkan madlarat.” 16
15 16
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, 215. Ibid., 216.
26
c. Talak menjadi mubah ialah bila ada kebutuhan atasnya, yakni jika kelakuan isteri buruk atau suami menderita karena tidak mencapai tujuan perkawinan dengan isteri.17 d. Talak menjadi sunnah ialah bila isteri rusak moralnya, yakni berbuat zina atau melanggar larangan-larangan agama dan melalaikan kewajiban agama. Dinukilkan oleh Imam Ahmad bahwa mentalak isteri yang demikian ini adalah wajib, terutama jika isteri berbuat zina atau meninggalkan kewajiban agama. Menurut beliau tidak seyogyanya isteri demikian dipelihara terus, karena akan menurunkan martabat agama dan tidak terjamin keamanan anak yang dilahirkan.18
C. Syarat Perceraian Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam lapangan hukum untuk menuju sempurnanya suatu perbuatan harus dipenuhi beberapa syarat, bahkan lebih jauh lagi syarat itu sebagai tanda adanya suatu perbuatan. Satu perbuatan atau yang lain yang adanya harus dipenuhi beberapa syarat, jika seandainya hilang salah satu syaratnya maka menjadi hilang atau tidak ada perbuatan tersebut, demikian pula dalam menjatuhkan talak diperlukan beberapa syarat. Dalam hal ini penyusun membagi dua bagian yaitu syarat mengapa talak dijatuhkan dan syarat sahnya talak. 17 18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 6. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, 217.
27
1. Syarat mengapa talak dijatuhkan a. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina. b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad buruk. c. Dikenakan hukuman penjara lima Tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan. d. Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami atau isteri terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya.19 2. Syarat sahnya talak a. Syarat yang berhubungan dengan suami Perceraian merupakan salah satu tindakan hukum. Untuk sahnya perbuatan itu diperlukan adanya syarat-syarat bagi subjek hukum atau pelaku perbuatan hukum tersebut. Adapun syarat suami menjatuhkan talak adalah sempurnanya kemampuan. Ulama sependapat, bahwa yang boleh mentalak ialah: (1) suami, (2) berakal, (3) baligh, (4) tidak dipaksa agar mentalak isterinya.20 Pada waktu itu barulah talaknya sah. Tapi, bila sedang gila atau masih anak-anak dipaksa, maka talaknya tidak berpengaruh, walaupun dia sendiri mengucapkannya. Sebabnya ialah karena talak itu termasuk salah satu kerja yang memberikan pengaruh atas 19
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, 161. Soemiyati, Hukum Perkawinanan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1986), 106. 20
28
hubungan keluarga. Oleh sebab itu maka yang menjatuhkan talak hendaklah benar-benar ahli untuk itu, sehingga dapat disahkan tindakannya itu. Sebagian ahli fiqh berbeda pendapat mengenai sahnya talak yang dijatuhkan suami yang kurang sempurna kemampuannya, sedangkan tanda-tanda orang yang kurang sempurna mukalafnya ialah tidak punya kehendak dan pilihan dalam melaksanakan perbuatan yang dilakukan. Diantara tanda-tanda suami yang tidak sempurna mukalafnya ialah: 1) Suami yang terpaksa. Orang
yang
terpaksa
ialah
orang
yang
tidak
dapat
melaksanakan kehendak dan tidak pula bisa menyatakan pilihannya. Pada hakekatnya kehendak dan pilihan orang yang dipaksa adalah kehendak dan pilihan orang atau kondisi yang memaksanya. Karenanya orang yang dipaksa tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan kata lain orang seperti itu adalah orang yang tidak sempurna mukalafnya dan perbuatannya tidak bisa divonis sebagai perbuatannya. Menurut realitanya, bahwa dia melakukannya dengan keinginan yang dipaksakan. Oleh sebab itu maka siapa yang dipaksa agar mau mengucapkan kalimat kafir, maka dia tidaklah jadi kafir karenanya. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
ن ِ LَD~ْ } ِ اLِ= ; ِ Dَ R ْ zُ Zٌ ُ ْ Mَ َ` َوCِ ;ْ َا ْآzِ A}ِا
29
Artinya: “(Tidaklah bernama beriman siapa yang mengucapkan kafir sesudah berimannya), kecuali siapa yang dipaksa dan hatinya tetap beriman.” 21 Begitu Pula siapa yang dipaksa masuk Islam, maka tidaklah dengan sendirinya dia beragama Islam. Selanjutnya siapa yang dipaksa mentalak isterinya, maka talaknya itu tidak jatuh. Dalam hadith Rosulullah Saw bersabda:
.Zِ wْ َ@ َ ْاHp ُ Cِ ْ
ُ I ْ اLَzن َو ُ Lَw ْ S ُء وَاLَR ّ S اXِ
zA @;ْ ُا ِ َ ِ ُر Artinya: “Diangkatkan tanggung jawab/dosa dari umatku mengenai 3 macam, yaitu: (1) bila dia tersalah/ tdk sengaja, (2) lupa dan (3) apa yang dipaksakan atasnya.” 22 Dengan keterangan di atas Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa talak suami yang dipaksa hukumnya tidak sah, sedang Imam Abu Hanifah berpendapat sebaliknya, bahwa yang dijatuhkan suami dalam keadaan terpaksa tetap dianggap terjadi atau sah. 2) Suami yang sedang marah Marah yang dimaksud adalah semacam benci terhadap suatu kejadian atau tindakan seseorang. Marah disini adalah marah yang sedemikian rupa, sehingga orang yang marah tersebut tidak dapat menentukan kehendak dan pilihannya lagi atau dapat dikatakan orang semacam ini sedang tertutup akalnya, segala yang dilakukannya dan 21 22
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 6. Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 49.
30
dikatakannya hampir diluar kesadarannya. Apabila suami menjatuhkan talak dalam keadaan semacam ini, maka talaknya tidak sah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
.ق ٍQ َ ْ ِاXِ ق َ Lَ
@ َ } َ ق َو َQ َ َ} َ :ل َ LَM م. ص A ِ ASن ا A َاLَtْ @ َ F ُ ا َ| ِ َرqَ َ ِ Lَ@ ْ;@ َ Artinya: Aisyah RA menceritakan, bahwa Nabi saw bersabda, “Tidak sah memerdekakan budak pada waktu sedang daya nalar akal tertutup.” 23 Kata-kata “tertutup akalnya” ini dimaksudkan ada yang menafsirkannya sedang marah, dengan dipaksa, dan dengan gila. Ibnu Taimiyah dalam kitab “Zaadul-Ma’aad” sebagaimana dinukil oleh Sayid Sabiq mengatakan tertutup akal pada hakekatnya adalah seseorang yang hatinya tertutup (tidak sadar). Sehingga keluar katakata yang tidak diinginkan dan tidak disadarinya, termasuk kedalam ini talak dipaksa, orang gila, dan siapa yang yang hilang daya nalar akalnya, baik karena mabuk atau marah. Suami yang marah bagaimanapun keadaanya dimana ia dapat menentukan kehendak dan pilihannya maka ia masih dianggap sempurna mukalafnya dan jika ia menjatuhkan talak maka jatuhlah talak itu.
23
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 8 (Bandung: Al-Ma’arif, 1990), 22.
31
Para fuqoha membagi tiga tingkatan marah itu: a) Marah yang menghilangkan akal, sehingga tidak sadar apa yang dikatakanya. Dalam keadaan semacam ini tidak ada perbedaan pendapat tentang “tidak sahnya talak”. b) Marah yang pada dasarnya tidak mengakibatkan orang kehilangan kesadarannya atau apa yang dimaksud oleh ucapan-ucapannya. Dalam keadaan ini talaknya dianggap sah. c) Marah yang sangat, tetapi tidak menghilangkan kesadaran akalnya. Sehingga kemudian menyesalkan akan keterlanjuran mengucapkan kata-kata ketika marah tadi. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang mengatakan tidak sah kuat argumennya.24 3). Suami yang sedang mabuk Jumhur fuqoha berpendapat, bahwa talak yang dijatuhkan dalam keadaan mabuk hukumnya sah, apabila atas kemauan sendiri sebab kerusakan akalnya, seperti sengaja meminum khamr atau minuman lain yang memabukkan. Sedang jika mabuknya itu datang dengan sendiri atau bukan karena ia sengaja meminum minuman yang memabukkan, maka talaknya dipandang tidak sah, karena mabuk itu menghilangkan akalnya yang tidak sengaja, sedang hilangnya akal berarti hilang pula sendi tempat dibebankannya suatu hukum.
24
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 22.
32
Para fuqaha seperti Imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Syafi’i dan ahli Zahir berpendapat: tidak sah talak yang dijatuhkan oleh suami yang sedang mabuk, dengan alasan bahwa orang yang sedang mabuk itu sama hukumnya dengan orang yang tidak berakal atau orang yang gila. Tidak sahnya talak bagi suami yang sedang mabuk, juga disamakan dengan orang yang melaksanakan shalat, yaitu orang yang dalam keadaan sedang mabuk, maka shalatnya tidak sah.25 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 43 yang berbunyi: tβθä9θà)s? $tΒ (#θßϑn=÷ès? 4®Lym 3“t≈s3ß™ óΟçFΡr&uρ nο4θn=¢Á9$# (#θç/tø)s? Ÿω (#θãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ Artinya: Wahai orang-orang beriman! janganlah kamu dekati shalat padahal kamu sedang mabuk, sehingga kamu mengetahui apa yang kamu katakan. 26 4). Suami yang sedang main dan keliru Jumhur fuqaha berpendapat bahwa, talak yang dijatuhkan dengan main-main dianggap ada atau sah. Sebagaimana sabda Rasululullah SAW yang berbunyi:
: U ِ ; A tُ SَْW َو َهU ِ ; A ُهU ِ ث ُ Q َ َ :ل َ Lَ M م. صF ِ لا َ ْHI ُ َة َرCَ ~ْ Cَ @;ْ َا=ِ ُه َ .qُ vَ U ْ Cّ Sق وَا ُQ َ R A Sح وَا ُ LَSا 25 26
Slamet abidin, Fiqh Munakahat, 51. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 20.
33
Artinya: Abu Hurairah menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Tiga macam yang bila diucapkan benar-benar jadi benar, dan bila dimain-mainkan jadi benar pula, yaitu: (1) nikah, (2) talak, (3) rujuk.” 27 Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa talak yang dijatuhkan dalam keadaan main-main dipandang tidak sah, karena mereka itu mensyaratkan syahnya talak yang diucapkan dengan lisan, disadari artinya dikehendaki akibatnya secara sukarela. b. Syarat yang berkaitan dengan isteri Perempuan hanya dapat dijatuhi talak apabila ia menjadi objeknya. Perempuan dikatakan objek talak bila dalam keadaan sebagai berikut: 1) Isteri telah terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad nikahnya diragukan keabsahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya. 2) Isteri dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu. 3) Isteri yang sedang hamil.28
c. Syarat yang berkaitan dengan sighat talak
27 28
Ibid., 24. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, 107.
34
Sighat atau ucapan yang digunakan untuk menjatuhkan talak ada dua macam, yaitu dengan ucapan sarih (jelas/tegas) dan dengan ucapan kinayah (sindiran). Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan kata-kata sarih. Menurut Imam Malik beserta pengikut-pengikutnya, kata-kata sarih hanya kata talak dan kata-kata lainnya termasuk kata-kata kinayah. Dan sindiran ini menurut Imam Malik juga ada dua macam, yaitu: • Kata-kata yang zahir (yang menurut lahirnya berarti talak). • Kata-kata muhtamil (yang mempunyai kemungkinan berarti talak).29 Sedangkan menurut Imam Syafi’i kata-kata sarih ada tiga yaitu: talak, cerai, sarah.30 Sebagian ulama Zahiriyah juga mengikuti pendapat ini, bahwa tidaklah jatuh talak, kecuali dengan menggunakan salah satu dari kata-kata ini. Dari beberapa pendapat tersebut diatas mengakibatkan hubungan yang tidak baik. Adapun kata-kata kinayah yaitu semacam lafadz sindiran, yang tidak ditepatkan untuk perceraian seperti seorang suami mengatakan kepada isterinya “urusanmu ada ditanganmu”, “kembalilah ke orang tuamu atau engkau telah aku lepaskan daripadaku. Ini dinyatakan sah apabila: 1) Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya. 29 30
Slamet Abidin, Fiqh Munakahat, 58. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 31.
35
2) Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepada isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.31 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa talak dengan kata-kata kinayah hanya dianggap sah jika niatnya memang untuk mentalak serta didukung keadaan kata-kata sindiran itu, yaitu: 1) Lafaldz-lafadz kinayah mengenai talak, menjatuhkan talak bila diniatkan talak. 2) Jatuh pula talak bila ada dalil yang nyata untuk itu.32 Penyusun dapat mengambil pengertian bahwa kata-kata talak lebih disepakati dari semua pihak maka dalam hal ini penyusun mentahqiqkan pendapat Imam Malik, yaitu kata-kata “talak” sebagai kata-kata yang sarih. Di Indonesia kata cerai mengandung arti talak. Oleh karena itu penyusun membawa kata cerai sebagai kata yang sarih. Kata-kata yang diucapkan oleh suami kepada isterinya adalah jatuh walaupun ia tidak berniat, karena talak sarih tidak memerlukan niat.
D. Cerai Gugat Sebagai Salah Satu Bentuk Perceraian
31 32
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, 108. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 33.
36
Cerai gugat dalam pengertian sempit ialah lepasnya ikatan perkawinan atau diputuskannya hubungan suami isteri karena adanya gugatan isteri kepada suaminya. Sedangkan pengertian luasnya ialah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.33 Diantara suatu perkembangan demokrasi yang saat ini begitu jelas terlihat di seluruh dunia, maka demikian pula halnya perhatian masyarakat umumnya terhadap pengaruh perkawinan dalam masyarakat yang terutama ditujukan terhadap prinsip persamaan hak dan persamaan kewajiban. Persamaan hak dan kewajiban suami isteri yang merupakan suatu prinsip, sudah menjadi suatu ketentuan dan tidak dapat disangkal oleh siapapun.34 Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum yang selama ini berkembang, yaitu aturan fiqh. Aturan fiqh mengizinkan perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas inisiatif suami atau juga inisiatif isteri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa campur tangan lembaga peradilan.35
33
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, 131. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1986), 94. 35 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, 235. 34
37
Aturan perceraian yag tertera dalam UUP Nomor 1/1974 ini serta aturan pelaksanaan lainnya, dirasakan terlalu jauh perbedaanya dengan kesadaran hukum yang ada ditengah masyarakat muslim sehingga menimbulkan kesulitan di lapangan. Agama Islam sebenarnya tidak pernah menolak hak wanita. Bahkan ia memberi kemungkinan kepadanya untuk menuntut talak kepada hakim apabila mengalami penderitaan berat yang siapapun tak akan tahan menderita seperti itu terus-menerus. Berdasarkan hal itu seorang wanita boleh menuntut talak kepada hakim untuk memeriksa kebenaran pengaduannya dengan seksama, dan kalau ternyata benar maka bolehlah wanita diceraikan oleh suaminya. Menurut Mahmud Syaltut; talak adalah jalan terbaik untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka maka talak akan dianggap sah apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai kepada hakim yang ditunjuk oleh pihak yang berwenang.36 Dalam Ayat al-Qur’an surah an-nisa’: 4 / 35 adalah dinyatakan: È,Ïjùuθム$[s≈n=ô¹Î) !#y‰ƒÌムβÎ) !$yγÎ=÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ymuρ Ï&Î#÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ym (#θèWyèö/$$sù $uΚÍκÈ]÷t/ s−$s)Ï© óΟçFøÅz ÷βÎ)uρ ∩⊂∈∪ #ZÎ7yz $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 !$yϑåκs]øŠt/ ª!$# Artinya: Bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak 36
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, 212.
38
keluarga isteri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.37 Dari ayat diatas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka sendiri. Ini lebih mudah untuk mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah Muhazzab menyatakan bahwa disunnatkan hakam itu dari pihak suami dan isteri, jika tidak boleh dari pihak lain.38 Dengan demikian hakam memiliki kedudukan yang sangat penting untuk menangani kasus-kasus perceraian. Begitu pentingnya sampai-sampai para ulama fiqh memberikan apresiasi yang berbeda tentang keberadaan hakam. Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahidah menyatakan bahwa mengangkat hakam merupakan sebuah keharusan, Imam Syafi’i menyatakan juga bahwa mengangkat hakam hukumnya wajib. Tampaknya Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya berpegang pada zahir ayat Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 35, yang mewajibkan mengangkat hakam yang berfungsi menangani perkara perceraian memberi kesan bahwa upaya-upaya yang mengarah kejalan perdamaian harus dilakukan dengan serius. Perceraian adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan 37 38
Al-Qur’an, 5 : 4; 35 : 176. Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, 214.
39
Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan. Dalam pasal 158 huruf b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami.39 Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan namun karena ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini. Adapun Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus tentang perceraian ialah bagi mereka yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan bagi yang beragama lain selain Islam di Pengadilan Negeri. Perceraian hanyalah jalan terakhir manakala upaya-upaya perdamaian mengalami jalan buntu. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19 dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
39
152.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004),
40
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) Tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) Tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan isteri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.40 Tentang tata cara mengajukan, memeriksa dan meyelesaikan gugatan perceraian oleh Pengadilan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 20 sampai dengan 36. Bagi warga Negara Republik Indonesia yang melaksanakan perkawinan menurut agama Islam terdapat kemungkinan cara perceraian atas pengaduan pihak isteri karena suami melanggar taklik talak yang dinyatakan oleh suami segera setelah terjadi akad perkawinan, yaitu pernyataan suami bahwa sewaktu-waktu suami: a. Meninggalkan pergi isterinya dalam masa enam bulan berturut-turut.
40
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 123
41
b. Suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami memberi nafkah kepada isterinya dalam masa tiga bulan berturut-turut. c. Atau suami menyakiti isterinya dengan memukul, dan d. Atau suami menambang isterinya dalam masa tiga bulan berturut-turut.41 Lalu isteri tidak rela dan mengadukan halnya kepada pengadilan yang berhak mengusut hal tersebut dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan itu, serta isteri membayar sejumlah uang sebagai ‘iwadh (pengganti atau tebusan) maka jatuhlah talak satu suami kepada isterinya itu. Taklik talak dilembagakan sebagai jalan bagi isteri untuk memutuskan perkawinan lewat pengadilan dengan alasan-alasan sebagaimana dinyatakan oleh suaminya itu. Sehingga peran Pengadilan dalam persoalan izin mengucapkan talak sangatlah menentukan dan aktif, Pengadilan Agama memiliki kekuasaan dalam memutuskan sebuah perceraian.
E. Kewajiban Suami Terhadap Isteri Setelah Talak Pada dasarnya dalam Islam menentukan bahwa talak adalah merupakan hak suami, konsep yang tersirat adalah suami sebagai orang laki-laki dalam bertindak mempunyai pola fikir lebih rasional dibanding pola fikir wanita yang kebanyakan lebih emosional. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka mantan
41
suami
mempunyai
beberapa kewajiban
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, 250.
terhadap mantan
isteri
42
sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yang berupa: 1. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul. Mut’ah adalah pemberian sukarela oleh suami kepada isterinya yang dicerai berupa uang atau harta benda lainnya diluar pemberian nafkah selama iddah untuk menyenangkan mantan isterinya karena adanya perpisahan.42 Allah SWT mensyari’atkan mut’ah sebagai pemberian keluangan untuk hamba-hambanya, karena semua individu mempunyai kebutuhan tersebut tidak pernah berhenti atau terputus selama manusia masih hidup, meskipun pada dasarnya sudah tidak ada ikatan perkawinan antara suami isteri tersebut dituntut untuk bermu’asarah dengan baik yang tidak menimbulkan kebencian dintara keduanya. Dasar disyari’atkannya mut’ah terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 236: ’n?tã £èδθãèÏnFtΒuρ 4 ZπŸÒƒÌsù £ßγs9 (#θàÊÌøs? ÷ρr& £èδθ¡yϑs? öΝs9 $tΒ u!$|¡ÏiΨ9$# ãΛäø)‾=sÛ βÎ) ö/ä3ø‹n=tæ yy$uΖã_ āω ∩⊄⊂∉∪ tÏΖÅ¡ósçRùQ$# ’n?tã $ˆ)ym ( Å∃ρâ÷÷êyϑø9$$Î/ $Jè≈tGtΒ …çνâ‘y‰s% ÎÏIø)ßϑø9$# ’n?tãuρ …çνâ‘y‰s% ÆìÅ™θçRùQ$# Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu 42
Mimbar Hukum, Nomor 26/Thn. VII (Jakarta: Al-hikmah, 1996), 58.
43
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.43 Pemberian mut’ah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat dibebankan kepada seorang suami sebagai pemegang ikrar talak yang dijatuhkan kepada isterinya secara sepihak, jika perceraian terjadi atas kehendak suami. Sedangkan batasan pemberian mut’ah itu diberikan dengan ukuran yang patut, ma’ruf menurut kaya miskinnya suami. Jadi kalau bekas suami itu kaya memang hendaknya ia memberi mut’ah sesuai dengan kekayaannya, sedang bagi yang mengalami kesulitan maka ukurannya adalah kemampuan tanpa harus memberi lebih dari itu, dan sama sekali tidak ada keharusan melihat kaya miskinnya pihak bekas isteri. Segolongan ulama berpendapat bahwa mut’ah merupakan nafkah yang diberikan oleh bekas suami kepada isterinya setelah terjadi perceraian, jika demikian maka kadar mut’ah tidak beda dengan kadar nafkah. Menurut Syafi’i nafkah yang wajib atas suami yang kaya ialah dua cupak beras, dan atas suami yang miskin secupak beras sedangkan atas suami yang menengah secupak setengah. Dalilnya ialah karena nafkah itu diqiyaskan dengan kafarat. Sebanyak-banyak kafarat, ialah dua cupak beras, yaitu kafarat menyakiti dalam waktu haji dan sekurang-kurangnya secupak beras, yaitu kafarat zihar, sebab itu diwajibkan atas suami yang kaya seperti kafarat yang terbanyak yaitu dua cupak beras sedangkan suami yang menengah secupak 43
Al-Qur’an, 2 : 2; 236 : 94.
44
setengah. Sedangkan menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, nafkah itu tidak ditentukan kadarnya, satu dua cupak, melainkan sekedar mencukupi untuk isteri itu sebab itu berlainan-lain kadarnya menurut kebutuhan isteri. Pembayaran mut’ah di dalam hukum Islam tidak dijelaskan, apakah secara berkala atau tunai. Oleh karena itu sebaiknya suami menentukan atau menetapkan cara-cara dan waktu kepada bekas isterinya menurut kesepakatan. 2. Meberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Pengadilan Agama dalam penerapan hukum Islam
lebih banyak
menggunakan hukum terapan berupa Kompilasi Islam, dalam pasal 152 ditegaskan bahwa bekas istri mempunyai beberapa hak setelah dijatuhkan ikrar talak oleh bekas suami. Hak-hak itu harus dipenuhi bekas suami sehingga
berakibat menjadi kewajiban yang secara hukum tidak boleh
diingkari. Secara tegas dalam pasal dimaksud bahwa bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.44 Artinya seorang suami bertanggung jawab atas tempat tinggal, uang belanja dan keperluan sehari-hari isterinya yang dalam masa iddah. Mantan Isteri yang sedang menjalani iddah talak ba’in dan tidak sedang hamil, maka ia tidak berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya.
44
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, 149.
45
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al dukhul. Mahar adalah suatu kewajiban atas suami yang merupakan hutang apabila belum dilunasi (diberikan) kecuali si isteri telah merelakannya. Karena itu, apabila terjadi suatu perceraian (talak) sedangkan mahar (mas kawin) belum dibayar (dilunasi) maka bekas suami 4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 Tahun. Biaya hadhanah Pemeliharaan anak-anak tetap kewajiban suami (ayahnya) meskipun telah terjadi perceraian dengan ibunya. Hubungan anak dengan orang tua (ayah) tidak terputus dengan adanya perceraian sehingga sang ayah masih harus memberikan nafkah buat anak-anaknya itu. Kewajiban memberi nafkah anak-anak terus menerus sampai anak-anak baligh lagi berakal serat memepunyai penghasilan. Apabila sang ayah tidak mampu memberi nafkah kepada anak-anaknya, maka sang ibu juga harus bertanggung jawab memberi nafkah kepada anak-anaknya tersebut.
46
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt.
A. Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Kepada Mantan Isteri Setelah Terjadi Perceraian di Pengadilan Agama Magetan Di masyarakat Indonesia Pegawai Negeri Sipil (PNS) mempunyai posisi dan fungsi yang cukup dominan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian menjelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat khususnya dalam penyelenggaraan kehidupan berkeluarga.45 Posisi dan fungsi yang demikian menuntut Pegawai Negeri Sipil menjadi teladan yang baik dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan Perundang-Undanganan yang berlaku. Kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi sehingga untuk melakukan perkawinan dan perceraian, Pegawai Negeri Sipil harus memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, sejatinya telah berlaku bagi segenap warga negara termasuk didalamnya mereka yang
kebetulan
berkedudukan
sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil.
Namun
kedudukannya yang demikian penting, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 45
Mimbar Hukum, Nomor 43/Thn. X (Jakarta: Al-hikmah, 1999), 58. 46
47
1983 menetapkan adanya izin pejabat bagi Pegawai Negeri Sipil guna meningkatkan disiplin dalam melakukan perkawinan dan perceraian dan kemudian ditetapkan lagi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 untuk lebih meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil dan juga untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan.46 Pegawai Negeri Sipil disini meliputi: 1. Pegawai bulanan disamping pensiun. 2. Pegawai bank milik negara. 3. Pegawai bank milik daerah. 4. Pegawai badan usaha milik negara. 5. Kepala desa, perangkat desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintah di desa.47 Selanjutnya yang dimaksud dengan gaji dalam Peraturan Pemerintah diatas, seperti yang dijelaskan dalam SE Nomor 8/SE/1983. yaitu terdiri dari: 1. Gaji pokok 2. Tunjangan keluarga 3. Tunjangan jabatan (kalau ada) 4. Tunjangan perbaikan penghasilan 5. Tunjangan lain yang berhak diterimanya berdasarkan peraturan PerundangUndangan yang berlaku, setelah iuran wajib.
46
Wawancara, Bapak Chalidul Azhar., SH, M.Hum, Wakil ketua Pengadilan Agama Magetan, tanggal 3 Januari 2008. 47 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan, 351.
48
Untuk memberikan gambaran yang jelas pembagian gaji sebagaimana dimaksudkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 di atas didasarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 1983, bab perceraian yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara yang disingkat BAKN sebagai pedoman bagi pejabat dalam menyelesaikan masalah perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan masing-masing yakni permasalahan teknis yuridis. Hakim Pengadilan Agama Magetan didalam memutuskan suatu perkara akan merujuk kepada faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian sebagai berikut: 1. Faktor moral yaitu karena poligami, krisis akhlak dan cemburu. 2. Meninggalkan kewajiban yaitu karena kawin paksa, ekonomi dan salah satu pihak tidak bertanggung jawab. 3. Kawin dibawah umur. 4. Terjadinya penganiayaan. 5. Salah satu pihak dihukum. 6. Salah satu pihak mempunyai cacat biologis. 7. Terus menerus terjadi perselisihan yaitu karena politis, gangguan pihak ketiga dan tidak harmonis.48
48
Wawancara, Bapak Drs. Muhlas., SH, Sebagai Ketua Majelis Persidangan Perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt, tanggal 14 Januari 2008.
49
Hakim didalam melakukan pembagian gaji berdasarkan surat permohonan penggugat yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada putusan pengadilan Nomor 386 penggugat (Pemohon) melakukan permohonan sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan Termohon pada tanggal 17 Januari 1996 dihadapan Pejabat Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor: 663/26/1/1996 tanggal 17 Januari 1996 yang sampai sekarang perkawinan tersebut sudah berjalan selama 7 Tahun 8 Bulan. 2. Bahwa setelah perkawinan berlangsung Pemohon dan Termohon hidup berumah tangga dengan bertempat tinggal dirumah kontrakan selama 1 Tahun, kemudian pindah-pindah yang terakhir di Desa Bothok, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan sampai sekarang. 3. Bahwa dalam berumah tangga Pemohon dan Termohon sudah melakukan hubungan suami isteri (Ba’da Dukhul) dan telah dikaruniai anak dua orang, masing-masing bernama: 1). Moh. Nur, Umur 5 Tahun, dan 2). Nuril Fatkhurrahman, Umur 1 Tahun. 4. Bahwa mulai akhir 2001 Termohon pernah senang dengan laki-laki lain sehingga terjadi percekcokan dalam rumah tangga akhirnya pisah hingga sekarang 10 bulan dan tidak ada komunikasi sama sekali. 5. Bahwa dengan demikian kerukunan di dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik, sehingga untuk mencapai
50
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera lahir batin sudah sulit untuk diwujudkan. 6. Bahwa Pemohon sudah berusaha menyelesaikan persoalan rumah tangga antara Pemohon dan Termohon tersebut dengan minta bantuan orang lain melalui orang tua maupun keluarga lainnya namun usaha tersebut tidak berhasil. Dengan alasan-alasan di atas Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Magetan untuk memberikan Putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Memberi ijin kepada Termohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Magetan. 3. Membebankan biaya perkara sesuai hukum yang berlaku. Atau apabila Majelis berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya. Dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka gugatan Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi dikabulkan sebagian dan tidak diterima selebihnya, dengan itu Pengadilan Agama Magetan memutuskan: Dalam Konpensi: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Memberi ijin kepada Pemohon ASIH SUJATMIKO BIN ACHMAD SOEKARIS untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon NURSIATI BINTI SARONO dihadapan sidang Pengadilan Agama Magetan.
51
Dalam Rekonpensi: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi untuk sebagian. 2. Menetapkan Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi (NURSIATI BINTI SARONO) sebagai pengasuh 2 orang anak Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi dan tergugat Rekonpensi/Pemohon Konpensi masing-masing bernama Moh. Nur Bin Asih Sujatmiko dan Nuril Fatkhurrahman Bin Asih Sujatmiko. 3. Menghukum Tergugat Rekonpensi/Pemohon Konpensi untuk memberikan nafkah/biaya pemeliharaan 2 orang anak yang bernama Moh. Nur dan Nuril Fatkhurrahman yang kini diasuh oleh Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi setiap bulan sekurang-kurangnya 1/3 gaji Tergugat Rekonpensi / Pemohon Konpensi hingga anak dewasa dan mandiri. 4. Menguhukum Tergugat Rekonpensi/Pemohon Konpensi untuk memberikan biaya penghidupan (nafkah) kepada Penggugat Rekonpensi/Pemohon Konpensi setiap bulan sebesar 1/3 gaji Tergugat Rekonpensi Pemohon Konpensi hingga Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi menikah lagi. 5.
Menghukum Tergugat Rekonpensi/Pemohon Konpensi untuk membayar nafkah lampau (madliyah) yamg dilalaikan selama 10 bulan kepada Penggugat Rekonpensi/Termohon konpensi sebesar Rp.3000.000,- (tiga juta rupiah).
52
6. Menghukum Tergugat Rekonpensi/Pemohon Konpensi untuk membayar nafkah iddah kepada Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi sebesar Rp.1000.000,- (satu juta rupiah). 7.
Menghukum Tergugat Rekonpensi/Pemohon konpensi untuk membayar mut’ah
kepada
Penggugat
Rekonpensi/Termohon
Konpensi
sebesar
Rp.5000.000,- (lima juta rupiah). 8. Menyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi selebihnya tidak dapat diterima. Dalam Konpensi dan Rekonpensi -
Membebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 168.000,- (seratus enam puluh delapan ribu rupiah). Demikian penjelasan singkat tentang duduk perkara dan sebab
terjadinya perceraian permohonan cerai gugat dalam pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil.
B. Landasan Hukum Yang Di Pakai Hakim Pengadilan Agama Magetan Tentang Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Pengadilan Agama pada hakekatnya mempunyai tugas pokok yaitu menegakkan yaitu menegakkan hukum dan keadilan. Keadilan memang salah satu dari nilai Islam yang luhur. Hal tersebut dikarenakan menegakkan keadilan dan kebenaran adalah menyebarkan ketentraman, meratakan keamanan,
53
memperkuat kepercayaan antara rakyat dan penguasa, serta menambah kesejahteraan dan kedamaian dalam hidup. Dalam hal ini badan peradilan mempunyai tujuan untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang terjadi dalam masyarakat serta melindungi mereka yang mencari keadilan. Dalam menyelesaikan kasus gugat cerai ini pada perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. para hakim tetap berpegang teguh pada berbagai peraturan hukum. Adapun dasar hukum yang dipakai hakim dalam memutuskan dan menyelesaikan kasus gugat cerai Pegawai Negeri Sipil mengenai pembagian gaji pada perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. berpegang pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 yang berbunyi: 1.) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya. 2.) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, sepertiga untuk anak-anaknya. 3.) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya. 4.) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
54
5.) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu. 6.) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi. Selain ketentuan tersebut diatas Majelis Hakim untuk memberikan kewajiban kepada mantan suami yang menceraikan isterinya adalah dengan merujuk pada ketentuan pasal 41 huruf “ c “ Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: “ Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Yang penulis tidak memahami sikap Majelis Pengadilan Agama Magetan dalam memutus pembebanan nafkah kepada bekas istri tersebut tidak didasarkan pada konsep hukum Islam, padahal Pengadilan agama adalah melayani dan lembaga yang melaksanakan hukum yang materinya hukum Islam, apa lagi dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang digunakan sebagai hukum terapan Peradilan Agama secara tegas telah memberikan batasan bahwa kewajiban-kewajiban bekas suami harus memberikan mut’ah dan tidak ada pembebanan nafkah setelah terjadi cerai kecuali hanya nafkah selama iddah (pasal 149 dan 152 Kompilasi Hukum Islam).
55
C. Sanksi Yang Dapat Dibebankan Atas Pelanggaran Pegawai Negeri Sipil Yang Tidak Melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Diciptakannya
Undang-Undang
dengan
seperangkat
peraturan
pelaksanaannya yang berlaku sekarang di negara kita merupakan upaya yuridis agar setiap pribadi dalam bertindak tidak berlaku gegabah dan sembrono, tidak tercapainya apa yang menjadi tujuan dari Undang-Undang tersebut memang suatu hal yang wajar karena tidak ada Undang-Undang didunia ini yang mencapai seratus persen sempurna. Bagi setiap Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaksanakan kewajiban dan atau melanggar larangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 dan 3 Peraturan Pemerintah tentang kewajiban dan larangan Pegawai Negeri Sipil dinyatakan telah melakukan pelanggaran displin dan dapat dikenakan hukum berupa hukuman disiplin. Maka dalam kasus pembagian gaji akibat perceraian yang dapat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 adalah dalam rangka upaya yuridis. Seorang Pegawai Negeri Sipil biasa saja tidak mau melaksanakan kewajiban untuk membagi gaji kepada bekas isterinya sebesar sepertiga gaji bila ada anak dan setengah bila tidak ada anak. Dengan demikian Pegawai Negeri Sipil pria tersebut telah melakukan pelanggaran Undang-Undang perkawinan dan perceraian atau pelanggaran disiplin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang hanya dapat dikenakan kepada Pegawai Negeri Sipil.
56
Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja. Selain dari pada keharusan, larangan dan sanksi dalam peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil akan diatur pula tentang pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin dan tatacara menjatuhkan hukuman disiplin apabila seorang Pegawai Negeri Sipil tidak menerima hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya.49 Selanjutnya penjelasan tersebut diatas dikemukakan bahwa: 1. Yang dimaksud dengan “ucapan” adalah kata-kata yang diucapkan dihadapan atau dapat di dengar oleh orang lain, seperti dalam rapat, ceramah, diskusi, melalui telepon, radio, televisi, rekaman atau dengan alat komunikasi lainnya. 2. Yang dimaksud “tulisan” adalah pernyataan fikiran dan atau perasaan secara tertulis baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk gambar, karikatur, coretan dan lain yang serupa dengan itu. 3. Yang dimaksud dengan “perbuatan” adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin akan mendapatkan
hukuman
disipin,
Pegawai
Negeri
Sipil
yang
menolak
melaksanakan ketentuan gaji sesuai dengan ketentuan pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
49
Soutomo, Hukum Kepegawaian Dalam Praktek (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), 29.
57
Tingkatan hukuman disiplin terdiri dari: 1. Hukuman disiplin ringan 2. Hukuman disiplin sedang, dan 3. Hukuman disiplin berat Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari: 1. Tegoran lisan 2. Tegoran tertulis, dan 3. Pernyataan tidak puas secara tertulis Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari: 1. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) Tahun 2. Penundaan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) Tahun, dan 3. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari: 1. Penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama selama 1 (satu) tahun 2. Pembebasan dari jabatan 3. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan 4. Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
58
Seorang Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena: 1. Melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil, sumpah/janji jabatan negeri atau melakukan pelanggaran peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil (Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980) berat 2. Di hukum penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4 (empat) Tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat. 3. Melakukan suatu tindak pidana kejahatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan (antara lain pasal 413 s/d 436 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) 4. Melakukan suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 s/d 161 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 5. Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila, UUD 1945 atau terlibat dalam kegiatan atau gerakan yang menentang negara atau pemerintah. Dengan demikian seorang Pegawai Negeri Sipil yang tidak mau melaksanakan Peraturan Pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang pembagian gaji Pegawai Negeri Sipil pria kepada mantan isteri akibat perceraian maka bisa diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena melanggar disiplin Pegawai. Sedangkan mantan isteri yang ingin mendapatkan sepertiga gaji
59
suaminya dapat menuntut pada instansi dimana suami bekerja, apabila sudah dicantumkan dalam diktum atau amar putusan dapat meminta untuk dieksekusi bagi mereka yang tidak mau mematuhi secara sukarela. Apabila belum tercantum dalam diktum atau amar putusan maka bisa menuntut ke Pengadilan.
60
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt.
A. Analisa Terhadap Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Kepada Mantan Isteri Setelah Terjadi Perceraian di Pengadilan Agama Magetan Lepasnya ikatan perkawinan antara suami isteri dapat menyebabkan berubahnya kedudukan mereka menjadi orang lain tidak seperti sebelum terjadi perceraian, dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 telah menggariskan sebuah ketentuan khusus yang mengatur tentang pembagian gaji setelah terjadi perceraian. Berdasarkan faktor-faktor terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Magetan, dapat penulis kemukakan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan hakim memutuskan perkara cerai gugat tersebut, yaitu: Suami tidak memberikan gaji kepada isterinya, sebagai Pegawai Negeri Sipil (Kantor Pos) yang berpenghasilan tetap setiap bulannya memiliki gaji yang cukup untuk bisa menghidupi keluarganya. Berdasarkan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Majelis Hakim memberikan kewajiban kepada mantan suami agar menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan (nafkah) kepada mantan isteri setiap bulan sebesar 1/3
60
61
gaji hingga sampai menikah kembali dan membiayai pemeliharaan anak sekurangkurangnya 1/3 gaji hingga anak dewasa dan mandiri. Pembagian gaji sebagaimana dalam isi putusan dimaksud tidak sesuai dengan konsep hukum Islam, karena menurut hukum Islam suami yang menceraikan isterinya ia hanya wajib memberi nafkah baik berupa makanan, pakaian dan tempat kediaman selama mantan isterinya menjalani masa iddah serta memberikan mut’ah yang pantas sesuai dengan kemampuan suami. Dari keterangan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Allah SWT tetap mewajibkan suami memberi bekal kepada isteri yang ditalaknya, yang sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 241 sebagai berikut: šÉ)−Gßϑø9$# ’n?tã $ˆ)ym ( Å∃ρâ÷÷êyϑø9$$Î/ 7ì≈tFtΒ ÏM≈s)‾=sÜßϑù=Ï9uρ Artinya: “Dan bagi wanita yang ditalak itu berhak mendapat bekal dengan cara yang patut, yaitu suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa..”50 Kewajiban menyerahkan sebagian gaji (sepertiga atau setengah) itu sampai bekas isterinya tersebut kawin lagi adalah melampaui hukum, karena telah lepas dari masa iddah sebagai mana yang telah ditetapkan dalam Islam. Pemberian gaji sesudah masa iddahnya tidak dapat dikategorikan sebagai nafkah madhiyah, karena pemberian sebagian gaji tersebut bukan pembayaran nafkah yang terhutang.
50
Al-Qur’an, 2 : 2; 241: 95.
62
Dalam Islam hanya mengenal mut’ah atau uang penghibur yaitu pemberian dari suami kepada isterinya kalau ia (isterinya) ditalak dan umumnya berupa uang yang diberikan sehabis iddah sekedar untuk menggembirakan hati isterinya yang telah dicerai, karena perceraian tersebut terjadi tidak atas kesalahan si isteri. Dalam praktek di Peradilan Agama pemberian mut’ah dari mantan suami kepada mantan istri hanya dibayarkan sekali menurut kadar dan kemampuan mantan suami. Untuk menseragamkan pandangan tentang mut’ah maka menurut hemat penulis cukup dan tidaknya bagi bekas isteri adalah ukuran dengan kebiasaan praktek masyarakat setempat. Hal ini memberi pelajaran kepada setiap Pegawai Negeri Sipil pria, agar tidak mudah menceraikan isterinya. Dapat difahami pula apabila harus dilakukan pembagian gaji hanya berlangsung selama mantan istri menjalani masa iddah, agar pembagian gaji seandainya tetap dilakukan hanya sebagai pengganti nafkah selama menjalani masa iddah, dan tidak lebih. Hal itu harus ditegakkan agar pelaksanaan pembagian gaji kepadanya mantan istri tidak memberikan beban baru kepadanya mantan suami dan pula hal itu tidak sesuai dengan konsep dalam Islam.
63
B. Analisa Terhadap Landasan Hukum Yang Di Pakai Hakim Pengadilan Agama Magetan Dalam Memutus Perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab. Mgt. Tentang Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Dalam sebuah keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim selalu terdapat dasar hukum yang menjadi pegangan bagi hakim untuk memutus suatu perkara, baik itu hukum positif ataupun hukum Islam yang dapat menjadikan sebuah keputusan itu memiliki kekuatan hukum dan dapat dieksekusi. Hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutuskan perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt. telah melalui pertimbangan-pertimbangan yang semuanya didapat ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam lingkup Pengadilan Agama Magetan yang dijadikan dasar mengabulkan tuntutan tidak perlu mencari siapa yang menjadi penyebabnya, melainkan ditekankan pada keadaan rumah tangganya tersebut apakah sudah retak/pecah dan sulit untuk dirukunkan. Berdasarkan hal ini sesuai pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, sedang usaha perdamaian telah dilaksanakan sesuai pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 30 dan 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan juga pasal 70 ayat (1) Undang-uandang Nomor 7 Tahun 1989 tapi mengalami kegagalan, maka sesuai rumusan penjelasan pasal 19 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi: “Antara suami dan
64
isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam rumah tangga.”51 Dalam hal seperti ini perceraian dipandang sebagai Tasrih bi Ihsan, karena bila dipaksakan terus, madlaratnya lebih besar dari pada manfaatnya. Dari keterangan diatas sudah tepat dan dibenarkan hakim Pengadilan Agama Magetan mengabulkan permohonan cerai karena sudah sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana pendapat Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa yang dikutip oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah Juz II halaman 208 yang berbunyi:
.£~LvDS ا¤¥ ¡ ف وQS أي اHّ ّSواCS زاد اLDtw= DS اX t
U اLD Artinya: “Maka bila kedua belah pihak dipaksakan untuk tetap kumpul sebagai suami-isteri niscaya bertambah buruk/runcing perselisihan dan suramlah kehidupan.”52 Mengenai penetapan pembagian gaji dalam menghukum Tergugat Rekonpensi untuk memberikan 1/3 gajinya kepada Penggugat Rekonpensi sampai menikah kembali dan bersamaan itu pula menghukum Tergugat Rekonpensi untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah. Menurut penulis seharusnya Majelis Hakim tidak perlu merujuk ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang kewajiban pembagian gaji kepada bekas isteri, karena ketentuan tersebut bertentangan dengan hukum Islam. Padahal suami yang bercerai di Pengadilan Agama adalah orang Islam perkawinannya sesuai dengan 51 52
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan, 326. Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, (t.t: Darul Fikri, 1983), 208.
65
hukum Islam, perceraiannyapun sesuai hukum Islam. Hukum materiil perkawinan yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah juga hukum Islam, sudah seharusnya majelis hakim lebih mengutamakan hukum Islam dibanding ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Setelah mengadakan wawancara dengan Hakim yang menangani perkara ini mengapa Hakim mengutamakan ketentuan hukum positif dibanding dengan dengan hukum Islam yang menjadi materi dasarnya ? ternyata tidak terlepas dari kondisi politik Negara, tanpa disadari Hakim selama ini tidak mampu terlepas dari bayang-bayang kekuasaan eksekutif yang menjaga kesakralan peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri. Hakim merasa percuma melawan kuatnya pengaruh kekuasaan, selama ini karena yang tidak melaksanakan isi peraturan dimaksud dapat dipastikan akan dibatalkan oleh lembaga yang lebih tinggi. Dari waktu kewaktu seiring dengan berjalannya waktu hukum Islam dapat ditegakkan dari sedikit demi sedikit, pernyataan tersebut telah dimulai dengan adanya keberanian tekad dari semua kalangan bahwa materi pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya mengingat tidak sejalan dengan hukum Islam. Keberanian tersebut telah dipraktekkan akhir-akhir ini ditunjang lagi dengan lahirnya rekomendasi dari Rapat Kerja Nasional Mahkamah agung RI
66
tanggal 19 september 2003 bahwa penerapan pasal 8 dimaksud harus diartikan hanya sebatas nafkah iddah dan mut’ah.53 Dalam hal ini ketentuan penetapan 1/3 gaji berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahuin 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, namun oleh karena hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan ketentuan hukum Islam (Al-qur’an dan As-Sunnah), maka hal tersebut madlaratnya lebih besar dari pada manfaatnya, dan oleh karenanya kembali pada ketentuan umum pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, maka dapat ditarik kesimpulan Pemohon (suami) berkawajiban untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah sesuai dengan kemampuan dan kelayakan. Dengan demikian ketentuan izin pejabat bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 bukan bagian hukum acara (syarat mutlak) akan tetapi hanya peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
C. Analisa Terhadap Sanksi Yang Dapat Dibebankan Atas Pelanggaran Pegawai Negeri Sipil Yang Tidak Melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Jika kita hendak menciptakan suatu pemerintahan yang berhasil dan berwibawa, tentunya yang pertama kali akan dibenahi salah satunya adalah unsur
53
Wawancara, Bapak Drs. Muhlas., SH, Sebagai Ketua Majelis Persidangan Perkara Nomor 386/Pdt.G/2003/PA.Kab.Mgt, tanggal 14 Januari 2008.
67
pengakan disiplin nasional itu sendiri. Penegakan dimaksud harus berawal dari aparaturnya yaitu Pegawai Negeri Sipil, tidak mungkin cita-cita pemerintahan yang bersih dan berwibawa akan terwujud bilamana disiplin nasionalnya tidak ada. Hal ini berarti adanya korelasi yang erat sekali diantara keduanya Disiplin Nasional tidak akan pernah ada bila tidak diawali dari aparaturnya, dan ini pula berarti kita harus lebih realistis memandang peraturan yang ada dengan kenyataan pelaksanannya. Titik lemah yang sering kita temui disini biasanya terletak pada pelaksanaan Peraturan yang menyangkut masalah “tenggang rasa” yang begitu tebalnya dalam masyarakat kita, atau karena faktor-faktor lain yang justru timbul bersamaan. Misalnya seorang atasan yang secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dalam skandal yang dilakukan oleh anak buahnya, atau bentuk lain. Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan perceraian atas kehendak suami mempunyai akibat pembagian gaji kepada mantan isteri sebesar 1/3 bila ada anak atau setengah bila tidak ada anak. Apabila Pegawai Negeri Sipil pria tersebut tidak mau melaksanakan keputusan tersebut maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 telah diupayakan hukumnya seperti tercantum dalam pasal 16 yang berbunyi: “Bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin akan mendapatkan hukuman disiplin, Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji sesuai dengan ketentuan pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
68
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil”.54 Yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dijabarkan lebih rinci tentang sanksi hukum bagi pelanggar disiplin pegawai. Dan hukuman terberat adalah diberhentikan dengan tidak hormat karena melanggar sumpah / janji Pegawai Negeri Sipil. Dalam Hukum Islam tidak ada aturan mengenai isteri untuk mendapatkan 1/3 gaji suami setelah perceraian sebagai nafkah, apa lagi hak itu sampai bekas istri tersebut menikah kembali (pasal 8 ayat 6 ). Yang lebih membuat Peraturan Pemerintah tersebut memiliki kekuatan adalah apa bila dituangkan dalam putusan Pengadilan karena dengan demikian dapat dilaksanakan (eksekusi) baik melalui instansi
atau
permohonan
eksekusi
kepengadilan.
Mengingat
Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1990 adalah peraturan administrasi Kepegawaian yang tidak ada hubungannya dengan Hukum Islam, sehingga apabila suami tidak mau melaksanakan pembagian gaji sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 sudah seharusnya terbebas dari hukuman. Menurut hemat penulis sebagai wujud pelaksanaan hukum Islam maupun dapat dilaksanaknnya peraturan dimaksud cukup Pegawai Negeri Sipil yang menceraikan isterinya dengan cara memberikan nafkah selama menjalani iddah dan memberi mut’ah yang layak sesuai kemampuan, ternyata konsep yang
54
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan, 367.
69
menurut penulis tersebut di atas telah sesuai dengan hasil Rapat Kerja Mahkamah Agung RI komisi II (hukum Perdata Agama) tanggal 17 September 2003.55 Sebenarnya konsep hukum yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 merupakan salah satu cara untuk melindungi wanita sebagai objek perceraian serta dalam posisi yang riskan, karena bila isteri ditinggal begitu saja oleh sang suami tanpa dalam perlindungan maka akan mengakibatkan terlantarnnya kehidupan isteri bahkan juga anak-anaknya. Agar kepentingan bekas isteri terpenuhi peraturan administrasi kepegawaian yang mengikat bekas suami maka selayaknya pemberian nafkah selama iddah harus yang layak dan pemberian mut’ah yang lebih cukup agar dapat dipergunakan sumber mata pencaharian selama bekas istri belum menikah lagi, suatu misal mut’ah cukup untuk modal usaha bekas istri agar tidak tergantung dengan siapapun setelah terlepas dari suaminya.
55
Komisi II, Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI (Bandung: t.p., 2003), 8.
70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Mengakhiri pembahasan skripsi ini penulis akan mengemukakan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan paparan dari awal sampai akhir sebagai berikut: 1. Kewajiban mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya dengan membagi gaji sampai mantan istri menikah lagi hal itu bertentangan dengan konsep hukum Islam. Yang ada hanya kewajiban memberi nafkah selama menjalani iddah dan mut’ah kepada mantan isteri sebatas kemampuannya. 2. Ketentuan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, yang dijadikan dasar hukum putusan tidak sesuai dengan hukum Islam dan tidak sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri, mengingat perceraian adalah pintu darurat untuk melepaskan penderitaan selama perkawinan, apabila harus dibebani dengan pembagian gaji kepada mantan istri justru akan menambah penderitaan mantan suami. 3. Karena ketentuan pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak sesuai dengan konsep hukum Islam, maka apapun sanksi atas pelanggaran mantan suami yang tidak melaksanakan pembagian gaji setelah perceraian tidak perlu dijalankan.
70
71
B. Saran-saran Berangkat dari kesimpulan yang ada maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. 1. Diharapkan Majelis Hakim di semua Pengadilan Agama mempunyai keberanian untuk lebih mengutamakan hukum Islam dari pada hukum Positif. 2. Pengadilan Agama beserta Badan Kepegawaian Daerah maupun kepegawaian yang bernaung di Departemen-Departemen memberikan sosialisasi kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahwa konsep hukum Islam lebih mendekati keadilan di banding ketentuan yang ada dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Agama. Jakarta: Intermasa, 1991. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. Abidin, Slamet. Aminuddin, Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003. Hadi Kusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990. Komisi II Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, Bandung: t.p., 2003. Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2000. Mimbar Hukum. Nomor 35/Thn. VIII. Jakarta: Al-hikmah, 1997. --------- . Nomor 26/Thn. VII. Jakarta: Al-hikmah, 1996. --------- . Nomor 43/Thn. X. Jakarta: Al-hikmah, 1999. Nuruddin, Amiur. Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004. Prakoso, Djoko. Murtika, I Ketut, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1986. Rasyid, A. Raihan, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989. Rifa’i, Moh, Alqur’an Terjemah/Tafsir. Semarang: Intermasa, 2001. Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah Juz VIII. Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
73
--------- . Fiqih Sunnah Juz VIII. Bandung: Al-Ma’arif, 1990. --------- . Fiqih Sunnah Juz II. t.t: Darul Fikri, 1983. Soemiyati, Hukum Perkawinanan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1986. Sosroatmodjo, Arso. Aulawi, A. Wasit, Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Soutomo, Hukum Kepegawaian Dalam Praktek. Surabaya: Usaha Nasional, 1987.