HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA: MASIH ADAKAH HARAPAN BAGI PEMBANGUNAN HUKUM? Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H, M.H. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta dan Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Abstract The poor existing condition of the law cant not be an excuse to eliminate the importance of the legal development. Commitment to implement the rule of laws as stated in Article 1 paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia and the responsibility of state to create prosperity for its people is a strong argument about the importance of the role of law in Indonesia. Law is a powerful tool as the foundation for all government policies in effort to create wealth for society. Here we see also the state’s role in doing what is called distributive justice, which form a model of justice that provides power to the state to distribute the resources that exist for the benefit of the public welfare. To realize the development of the law can be made through developing the substance of the law, strengthening the national legal system, strengthening the checks and balances mechanism among the state institutions, strengthening the judiciary, and more particularly the strengthening of the corruption eradication. Keywords: Law, Justice, Law Development. A. PENDAHULUAN Pertanyaan masih adakah harapan bagi pembangunan hukum di Indonesia haruslah dibaca sebagai suatu bertanyaan retoris. Sebab, pembangunan hukum merupakan suatu conditio sine qua non bagi suatu negara demokratis yang menjunjung tinggi supremacy of law, serta komitmen untuk mengimplementasikan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pentingnya hukum dan tentunya pembangunan hukum bagi negara kita dapat pula dilihat dari tanggungjawab negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dalam konsep negara kesejahteraan misalnya (welfare state), negara bertanggunjgawab penuh dalam upaya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Hukum merupakan alat yang kuat sabagai landasan bagi semua kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Di sini kita melihat pula peran negara dalam melakukan apa yang disebut distributive justice (keadilan distributif), yaitu bentuk model keadilan yang memberikan kekuasaan kepada negara untuk membagi-bagikan (melakukan) distribusi sumber daya (resources) yang ada untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Kekuasaan tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan atau hukum. Keadaan hukum dan keadilaan pada saat ini yang berada pada titik nadir dari keterpurukannya bukan menjadi alasan untuk mempertanyakan harapan terhadap pembangunan hukum. Kondisi ini haruslah dilihat sebagai kesempatan untuk melakukan proses restorasi hukum, baik pada substansi hukum, maupun pada struktur/institusi serta budaya hukum masyarakat Indonesia. Dalam kaitannya dengan pemikiran tersebut di atas, ada beberapa
kerangka pemikiran yang perlu mendapat perhatian sebagai bagian dari pembangunan hukum saat ini. B. PEMBAHASAN 1. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pertanyaan penting yang sering muncul adalah mengapa hukum dirasakan penting bagi pelaksanaan pembangunan? Beberapa studi yang pernah dilakukan, antara lain yang dilakukan oleh Burg, bahwa ada 5 hal yang menyebabkan hukum dapat berperan dalam pembangunan, yaitu (1) berkaitan dengan kebutuhan akan stabilitas (stability), (2) dapat diprediksi (predictability) (3), adil (fairnes), (4) pendidikan (education), (5) adanya para sarjana hukum yang memiliki kemampuan hukum setelah mempelajari hukum. Faktor stabilitas maksudnya bahwa hukum dapat menjamin stabilitas dalam pembangunan. Stabilitas ini muncul dari adanya kepastian dan ketertiban yang diciptakan oleh hukum. Sedangkan aspek predictability, artinya ketentuan-ketentuan yang secara pasti mengatur mengenai suatu hal atau bidang tertentu, misalnya pengaturan mengenai jangka waktu untuk mendapatkan ijin investansi, investor dapat menyusun rencana investasi untuk suatu jangka waktu tertentu ke depan, tanpa ada keraguan akan kehilangan hak-haknya. Sedangkan faktor adil atau fairnes, bahwa hukum yang dibuat berlaku umum, untuk kepentingan semua golongan atau masyarakat, maka semua pihak mendapatkan perlakuan yang sama, karena dijamin oleh hukum yang ada. Sedangkan pendidikan dan sarjana hukum yang terlatih, artinya ada jaminan bahwa dunia pendidikan khususnya pendidikan hukum akan mengembangkan pemikiran-pemikiran hukum serta mempersiapkan tenaga-tenaga hukum yang terlatih sesuai dengan kebutuhan dalam penyelenggaraan pembangunan. 2. Politik Pembangunan Substanti Hukum Masalah mendasar yang menentukan pembangunan hukum ke depan adalah berkaitan dengan politik hukum serta karakter hukum yang dihasilkan. Pembentukan hukum di DPR merupakan suatu proses politik. Sehingga hukum yang dihasilkan sesungguhnya merupakan hasil kompromi kepentingan dari masyarakat yang diwakilkan oleh DPR RI. Oleh karena itu dapat melahirkan produk dalam beberapa karakteristik. Philippe Nonet dan Philip Zelsnick menggambarkan tiga karakteristik hukum yang dilahirkan melalui proses politik tersebut, yaitu hukum yang represif, hukum yang otonom, dan hukum yang responsif. Hukum yang represif adalah hukum yang substansinya atau normanya memuat ketentuan yang melindungi dan berorientasi pada kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok elit tertentu. Undang-undang atau hukum seperti ini lazimnya lahir dari pemerintahan yang bersifat otoriter. Hukum yang otonom adalah hukum yang hanya berorientasi pada pemikiran legalitas formal, tanpa memperhitungkan manfaat dan pengaruhnya terhadap pembangunan atau kehidupan masyarakat. Hukum yang bersifat otonom biasanya berorientasi pada jumlah yang dihasilkan tanpa mengedepankan kualitas, manfaat, serta efektivitas pelaksanaannya di masyarakat. Hukum yang responsif adalah hukum mengakomodasi kepentingan masyarakat, hukum yang mampu memberikan jawaban dan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hukum yang demikian lazimnya, lahir dari pemerintahan yang demokratis yang mengedapan partisipasi dan melibatkan banyak para pihak dalam perumusannya. Hukum yang diperlukan ke depan adalah hukum yang responsif. 3. Politik penguatan sistem hukum Nasional. Saya mulai dengan satu permasalahan yang mendasar dalam pembangunan hukum, yaitu penguatan atau pemantapan sisteme hukum nasional. Penguatan sistem hukum nasional yang
dimaksudkan adalah berkaitan dengan kerangka pembangunan hukum nasional secara keseluruhan. Sebagai suatu negara kesatuan, maka penataan sistem hukum sebagai satu kesatuan hukum nasional, sangatlah penting. Pada saat ini kita memiliki Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun, keberadaan undang-undang ini belum mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, seperti tumpang tindih pengaturan, kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan perundang-undangan, serta posisi UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang tertinggi. Masalah yang sering kita dengar adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang bermasalah, seperti yang terjadi pada ribuan peraturan daerah. Dalam kaitannya dengan pembenahan sistem hukum nasional ini, maka beberapa isu penting yang terkait adalah: 1. Pentingnya menetapkan asas-asas dalam pembentukan hukum yang menjamin adanya kesatuan sistem hukum nasional. Asas-asas inilah yang menjiwai atau menjadi spirit atau roh dari pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Tentunya keadilan merupakan prinsip dasar yang bersifat universal, namun ada asas-asas lain yang perlu menjadi landasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan seperti pengayoman, nusantara, kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. 2. Pentingnya menetapkan atau mengakui heterogenitas hukum dalam satu kesatuan hukum nasional yang tergambar dalam hukum adat serta kearifan lokal yang memperkaya sistem hukum nasional. 3. Dalam konteks penataan sistem hukum nasional, bukan saja kearifan lokal yang perlu dipertimbangkan, tetapi juga konvensi atau tatanan global sangat besarnya pengaruh dan posisinya dalam penataan sistem hukum nasional kita. 4. Pentingnya perencanaan pembentukan hukum secara komprehensif, terpadu dan integratif yang mencerminkan visi dan misi serta arah dari politik hukum nasional. 5. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Hukum (Undang-Undang) Partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum sangatlah penting, karena hukum sesungguhnya melindungi dan mengatur hak dan kewajiban masyarakat. Secara teknis, DPR seharusnya membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Tentunya mekanisme bisa bermacam-macam, seperti rapat dengar pendapat umum, kegiatan ujih sahih konsep, seminar diskusi yang intinya membuka kesampatan bagi public untuk menyampaikan aspirasi yang terkait dengan proses legislasi ini. Untuk itu, masyarakat yang berkepentingan dengan suatu RUU yang sedang dibahas dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang diberikan oleh DPR ini untuk memperbaiki kualitas RUU yang dihasilkan. DPR selalu bersikap pro aktif (jemput bola) kepada institusi insitusi atau lembaga-lembaga masyarakat yang berkompeten dengan suatu RUU yang sedang dibahas baik yang berada di Jakarta maupun di daerah-daerah. 4. Checks and balances Dalam Pembentukan Hukum Inti dari pemerintahan yang demokratis adalah checks and balances. Dalam level kekuasaan negara, maka terdapat mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan fungsi legislasi atau pembentukan hukum (UU). Reformasi yang ditandai dengan amandemen terhadap UUD 1945 telah memberikan wadah baru bagi perkuatan mekanisme checks and balances dalam pembentukan hukum (UU), yaitu pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu kewenangan MK adalah menguji undang-undang (hukum) yang dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah terhadap UUD 1945 (judicial Review). Dengan kewenangan ini, MK dapat membatalkan 1945 sebagian atau seluruh dari UU yang bertentangan dengan UUD. Dengan
kewenangan ini terdapat aspek kontrol terhadap fungsi legislasi DPR dan Pemerintah, sehingga dalam hal ini MK melakukan pembatalan/penghapusan (negative legislation), sebagai lawan dari kewenangan DPR dan Pemerintah yang melakukan pembentukan hukum (positive legislation). Mekanisme ini merupakan implementasi dari teori hirarkhie norma, yang sekaligus menjamin perlindungan terhadap hak-hak dan keadilan bagi warga masyarakat yang tertuang dalam Konstitusi. 5. Penguatan Lembaga Peradilan Politik hukum bidang peradilan menjadi penting, karena setelah reformasi, kinerja lembaga peradilan belum sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat. Beberapa persoalan muncul, seperti masih terdapatnya praktek “mafia peradilan”, putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai “ultra petita” dan putusan tunda, serta sifat putusan yang final dan mengikat. Kewenangan Komisi Yudisial yang tidak sejalan dengan konsep atau amanat Konstitusi. Persoalan-persoalan ini, memang perlu dipertegas dalam politik hukum peradilan kita ke depan. Kami berbendapat, ada beberapa substansi yang perlu menjadi fokus dari politik hukum peradilan di Indonesia, yaitu: pertama, politik hukum dalam rangka menciptakan lembaga peradilan yang independen, wibawa, dan akuntabel. Inti dari penciptaan lembaga peradilan yang independen adalah menguransi intervensi dari lembaga di luar pengadilan. Kedua, politik hukum dalam rangka penguatan pengawasan terhadap lembaga peradilan. Pengawasan lembaga peradilan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga eksternal yaitu Komisi Yudisial, Komisi Nasional Kejaksaan, dan Komisi Nasional Kepolisian, pengawasan politik oleh DPR, dan pengawasan oleh masyarakat. Sedangkan secara internal dilakukan oleh lembaga pengawas internal seperti inspektoral di lingkungan masing-masing lembaga peradilan. Berbagai mekanisme pengawasan sebagaimana digambarkan di atas, dilandasi beberapa prinsip umum yang mencakup serta mendukung semua mekanisme tersebut, yaitu pentingnya transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan penegakan hukum. Salah satu contoh transparansi dan akuntabilitas adalah mengenai proses penanganan perkara di pengadilan, termasuk di Mahkamah Agung. Putusan-putusan yang dihasilkan haruslah terbuka bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat menilai alasan-alasan atau pertimbanganpertimbangan dalam memutuskan suatu perkara. Keterbukaan mengenai daftar perkara yang diajukan ke lembaga peradilan serta perkembangan pemeriksaannya, sehingga tidak berlarut-larut. 6. Penguatan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Praktek korupsi di tanah air pada saat ini sudah sampai pada titik yang membahayakan negara. Dampak buruk dari praktek korupsi mengakibatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya mengalami penurunan yang drastis, sebab dana yang diperuntukan bagi pembangunan sarana dan prasarana jadikan sasaran praktek korupsi, sehingga kualitas sarana prasana, bahkan ketersediaannya sangat terbatas. Hal ini akan berdampak kepada tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Korupsi dilakukan secara sistematis oleh kelompok masyarakat yang memiliki kapasitas dan kekuasaan, sehingga menjadi suatu kejahatan kerah putih (white collar crime) . Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkuat sistem hukumnya adalah menerapkan beban pembuktian terbalik. Sistem ini telah diadopsi sejak lama beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Perpu No. 24 Tahun 1960, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun penggunaan sistem beban pembuktian terbalik dalam menyelesaikan kasuskasus sangatlah minim, bahkan hampir tidak pernah digunakan.
C. PENUTUP 1. Kesimpulan Uraian di atas menggambarkan bahwa rumusan beban pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki keterbatasan. Namun pada sisi lain, keberhasilan penggunaan beban pembuktian terbalik dalam kasus Bahasym melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 merupakan suatu “succes story” penerapan beban pembuktian setelah bertahun-tahun diadopsi dalam beberapa undang-undang. Keberhasilan ini semestinya menjadi pemicu bagi lembaran baru politik hukum pidana menyempurnakan konstruksi rumusan beban pembuktian terbalik terutama dalam pemeberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam kaitannya dengan pemikiran tersebut, maka kami berpendapat adanya urgensi penyempurnaan undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk secara komprehensif memuat dan mengatur beban pembuktian terbalik. 2. Saran Perubahan tersebut dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: Pertama, penerapan beban pembuktian terbalik tetap memperhitungkan aspek perlindungan hak asasi manusia (HAM), ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas tidak mempersalahkan diri sendiri (nonself incrimination), asas hak untuk diam (right to remain silent), hukum pidana materiil serta mstrumen hukum Internasional. Kedua, penyempurnaan perlu diarahkan untuk memperjelas konsep dan redaksional, sehinga tidak menimbulkan multiinterpretasi, serta membuka peluang hak bagi hakim dan jaksa untuk meminta kepada terdakwa melakukan pembuktian di sidang pengadilan, bahkan dapat pula diberikan kepada penyidik dalam dalam proses penyidikan. Ketiga, memperluas cakupan rumusan dan substansi tindak pidana korupsi yang menggunakan beban pembuktian terbalik, sehingga tidak saja dikenakan pada satu delik saja, yaitu delik suap. Keempat, perluasan ketentuan beban pembuktian terbalik terhadap keabsahan kepemilikan kekayaan atau tambahan kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa, isteri, suami, anakanak atau orang lain yang mempunyai hubungan dengannya atau perusahaannya. Kelima, penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi tidak hanya instrumen pidana saja, tetapi juga melibatkan pengajuan gugatan perdata. Maka sistem pembuktian terbalik tentang keabsahan kepemilikan harta kekayaan berlaku bukan saja untuk proses peradilan pidana, tetapi juga untuk proses peradilan perdata, sepanjang proses tersebut dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keenam, kewajiban membuktikan harta kekayaaan tidak hanya dibebankan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi, namun juga ahh waris. Pemikiran ini dikaitan dengan konsep dalam KUH Perdata mengenai hak ahli waris untuk menolak warisan dari koruptor (tolak boedel). Berdasarkan konsep ini, ketika ahli waris tidak mampu membuktikan harta kekayaan yang berasal dari kekayaan yang halal, maka hukum berasumsi orang tersebut menerima bagian warisan dari korupsi. Untuk itu, orang tersebut harus bertanggungjawab membayar kewajiban ganti rugi terhadap negara atas kerugian yang diakibatkan. Demikianlah pemikiran kami dalam kaitannya dengan mengisi harapan pembangunan hukum nasional yang berkeadilan di masa yang akan datang.
D. DAFTAR PUSTAKA Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, 2000. Elliot M. Burg, Law and Development: A Review of Literature & Critique of Scholars In SelfEstrangement, 25 Am. J. Comp Law, 1977. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Faculty Comment, Journal of International Law and Policy, Vol.9, 1980. Moh. Mahfud, MD., Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. Philipe Nonet and Philipe Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper Torchbooks, Harper & Row, Publishers, New York, Hagerstown, San Fransisko, London, 1978. Richard A. Posner, The Problems of Jurisprudence, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 1990 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, 2010.