Makalah
ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007
Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia ? Oleh : Asep Yunan Firdaus Koordinator Eksekutif HuMa periode 2005-2008, pernah menjabat Direktur LBH Semarang periode 2002-2005. Anggota Serikat Pengacara Indonesia (SPI).
Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia ?1 Oleh : Asep Yunan Firdaus2
Pendahuluan Sebelum memasuki perdebatan mengenai posisi masyarakat yang terbilang beradat atau memiliki hukum yang berlandaskan adat di dalam konteks keindonesiaan, saya mencoba memahami dulu subjek yang sedang dituju oleh tema diskusi kita pada hari ini. Tema kita pada hari ini adalah “Eksistensi dan Keberadaan Hukum Masyarakat Adat di Indonesia”. Sementara subtema yang dipilih untuk paper ini kurang lebih adalah “Eksistensi Hak Masyarakat Adat, khususnya yang berkaitan dengan hak Masyarakat Adat untuk mempertahankan Hukum Adat …”. Secara mudah kita bisa menyebut bahwa yang dijadikan subjek perbincangan kita adalah “Masyarakat Adat”. Konteksnya juga mudah disebut, yaitu dalam ruang keindonesiaan. Dengan sedikit tafsir, maka bisa dimaknai adanya kaitan erat antara masyarakat adat dengan politik, hukum, dan segala aspek yang serba indonesia sebagai sebuah negara yang berpemerintahan. Tetapi perlu diketahui, bahwa seringkali kita juga menyebut istilah Masyarakat Hukum Adat, Komunitas Adat, Masyarakat Tradisional, Indigineous People’s yang maksud dan artinya disamakan dengan masyarakat adat. Bahkan dalam satu waktu yang sama kita menggunakan semua istilah-istilah tersebut secara bergantian tanpa memaksudkan adanya perbedaan arti. 1
Makalah disampaikan pada kegiatan “Advanced Training Tahap I tentang Hak-Hak Masyarakat Asli bagi dosen Pengajar Hukum dan HAM” Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007, diseleggarakan oleh Pusham UII bekerja sama dengan Norwegian Center For Human Rights (NCHR) Universitu of Oslo. 2 Koordinator Eksekutif HuMa periode 2005-2008, pernah menjabat Direktur LBH Semarang periode 20022005. Anggota Serikat Pengacara Indonesia (SPI).
Saya sendiri tidak bermaksud untuk memperdalam debat peristilahan yang seringkali dilatari oleh pilihan subjektif orang dalam memilih dan menggunakan perspektif yang digunakan. Tapi pilihan menggunakan istilah Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Tradisional, Komunitas Adat memiliki implikasi pada saat kita mencoba menelusurinya dalam dokumen-dokumen peraturan negara Indonesia. Jika kita menggunakan istilah masyarakat adat, maka kita tidak akan menemukannya dalam UUD 1945 hasil amandemen I-IV dan sebagian besar Undang-Undang yang diterbitkan pemerintah, kecuali dalam UU Sisdiknas No.20/2003 dan UU Kehutanan No.41/1999, meskipun dalam kedua UU yang dikecualikan tersebut, sama sekali tidak ada pengertian mengenai istilah masyarakat adat. Bahkan dalam UU kehutanan, pencantuman istilah masyarakat adat ditengarai akibat dari editing bahasa yang buruk. Dengan demikian, sesungguhnya UU Kehutanan tidak memaksudkan diri menyebut istilah masyarakat adat dalam pasalpasalnya. Implikasi yang sama juga terjadi ketika kita menyebut istilah komunitas adat dan masyarakat tradisional. Jarang sekali kita menemukan istilah tersebut dalam “UU yang paling berpengaruh” dalam penyelenggaraan negara. Meskipun istilah Komunitas Adat dipakai oleh Departemen Sosial dengan menambahkan kata terpencil di belakangnya. Sementara masyarakat tradisional digunakan dalam beberapa UUD 1945 hasil amandemen I-IV dan tidak ditemukan dalam UU yang lainnya. Namun, ketika kita menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat, maka kita akan segera tahu bahwa penggunaan istilah ini dalam dokumendokumen peraturan negara sangat dominan. Dari UUD 1945 hasil amandemen I-IV, sebagian besar UU sampai Peraturan Daerah serempak menggunakan istilah masyarakat hukum adat.
--2--
Tanpa bermaksud untuk mengkoreksi tema dan subtema yang diajukan, saya memilih menggunakan istilah masyarakat hukum adat sebagai subjek pembicaraan dengan tujuan untuk memudahkan dalam menakar derajat pengakuan, penghormatan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-haknya menurut hukum negara indonesia. Sebab, jika menggunakan istilah masyarakat adat, diskusi pada hari ini hanya membutuhkan waktu lima menit untuk menyimpulkan bahwa negara tidak memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Siapa itu Masyarakat Hukum Adat versi negara ? Jika kita menelusuri seluruh dokumen peraturan negara, maka kita tidak akan menemukan pengertian masyarakat hukum adat, baik dalam bab ketentuan umum maupun pasal-pasal dan ayat-ayat. Dimulai dari UUD 1945 hasil amandemen I-IV sampai Peraturan Daerah, kita hanya akan menemukan bahwa masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah : 1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); 2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Membaca pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan siapa yang dimaksud sebagai masyarakat hukum adat. Sementara unsur--3--
unsur yang akumulatif, masih diragukan kebenaran unsurnya. Sebagai contoh, terdapat kesalahan fatal dalam membuat persamaan antara paguyuban dengan rechtsgemeenschap. Paguyuban tidak bisa disamakan dengan rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah berarti persekutuan hukum. karena sifat dari unsur tersebut akumulatif, maka, jika salah satu unsur diragukan kebenarannya, ia akan menggugurkan pengakuan meski telah memenuhi ke empat unsur lainnya. Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita menjadi sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat hukum adat menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. Serupa dengan pernyataan pada bagian sebelumnya, akibat ketidakjelasan pengaturan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat kekaburan dalam penentuan kriteria dan unsur pengakuan, maka, keberadaan masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan hukum apapun dari negara.
Meneropong sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Masyarakat hukum adat Jumlah Undang-Undang yang diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun 1950 sampai dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah 1137 UndangUndang. Ribuan lainnya berupa peraturan pelaksana dari mulai PP sampai Peraturan Presiden. Sementara pada tingkat Perda, hanya dalam waktu 7 tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD. Dari belasan ribu peraturan yang diterbitkan, cukup sulit untuk menelusuri seluruh pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Dari sumber-sumber data yang tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur mengenai lembaga adat dari 2639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa (CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk masyarakat hukum adat tertentu --4--
(misal Baduy, Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang otoritas atas wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan perundang-undangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah. Sementara pada tingkat Undang-Undang, sebagaimana telah disinggung di atas, justru menempatkan masyarakat hukum adat berada dalam ketidakjelasan status hukumnya.
Dampak penerapan Peraturan perundangan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut Bappenas, dalam buku Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993, jumlah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia adalah 12 juta jiwa. Sedangkan menurut Owen Lynch dan Kirk Talbott, dalam buku Balancing Acts: Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the Pasifik, Washington: World Resource Institute, 1995, jumlah masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia adalah antara 40-60 juta jiwa. Meskipun tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah anggota/jiwa masyarakat hukum adat dari 40-60 juta masyarakat, berdasarkan pendampingan di sejumlah tempat, menunjukkan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat hukum adat hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di
--5--
dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat. Data luas kawasan hutan menurut pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah luasan tersebut didapatkan melalui proses penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian, UU Kehutanan menjadikan kawasan hutan dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek pengaturan. Selanjutnya menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa provinsi dan kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada di atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Lihat contoh gambar di bawah.
Pada peta tersebut sangat jelas bahwa wilayah ulayat masyarakat hukum adat bertumpang tindih dengan kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemeritah. Tumpang tindih ini sesungguhnya tidak terjadi begitu saja, tetapi disadari dan di dasari oleh klaim negara sebagai pemegang kuasa atas seluruh kekayaan alam di Indonesia, termasuk hutan (HMN). HMN yang juga dianut oleh UU Kehutanan dijadikan justifikasi untuk menguasai
--6--
seluruh kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, termasuk di dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat hukum adat. Huma menemukan fakta-fakta lapangan mengenai dampak-dampak penerapan UU Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya, Diantaranya : a. Putusnya Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Hutan Karena hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi kawasan hutan negara, maka negara memiliki kewenangan untuk membuat aturan di atasnya. Termasuk aturan yang membatasi dan bahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam kawasan hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannya memberikan hak kepada orang atau badan hukum tertentu untuk mengambil manfaat atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan atau bahkan pengusiran masyarakat hukum adat dari kawasan hutan berawal dari kewenangan ini. Di dalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam, pada zona dan blok tertentu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun, sementara pada zona dan blok lain hanya diperbolehkan melakukan kegiatan tertentu saja. Pada kawasan yang telah dibebani izin atau hak, pemerintah memberikan hak kepada pemegang izin atau hak untuk melarang setiap orang yang memanfaatkan kawasan tersebut tanpa seizin pemegang izin atau hak tersebut. Tidak bisa disangkal bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakat hukum adat untuk masuk ke dalam kawasan hutan telah memenggal relasi mereka dengan hutan. Dalam bentuk yang sederhana, pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan akses dalam mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun. Pelarangan yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Masyarakat di Desa Maholo, Watutau, Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di
--7--
Kecamatan Lore Utara, bahkan dilarang untuk memasuki kebun dan sawahnya. Kejadian lebih ironis dialami oleh warga Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80an, penduduk Nagari ini diperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untuk menanam pohon pinus. Karena menganggap bahwa lahan yang akan ditanami pinus tersebut termasuk ke dalam hak ulayat nagari, penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang ditanam mencapai 100 Ha. Ternyata, setelah besar dan siap panen, penduduk dilarang mengambil kayu tersebut dengan alasan bahwa pohon pinus tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung. Larangan memasuki kawasan hutan bukan hanya menghilangkan akses untuk mengelola hutan tetapi juga menyebabkan punahnya situs-situs budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat hukum adat tidak bisa lagi merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yang terjadi di Kampung Banglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sementara di sejumlah desa di Kabupaten Donggala dan Poso, kepunahan situs-situs budaya ditandai dengan kenyataan-kenyataan berikut ini: 1. Hilangnya situs-situs megalith; 2. Rusaknya kuburan-kuburan tua; dan 3. Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua, kuburan leluhur, tempat-tempat ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan. Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup (lebensraum) masyarakat hukum adat, pemisahannya dengan masyarakat hukum adat selalu menyebabkan perubahan atau pergeseran pada faham, nilai dan tatanan sosial. Faham, nilai dan tatanan sosial masyarakat lokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan alam, termasuk hutan. Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama artinya meniadakan sumber lahirnya faham, nilai dan tatanan sosial
--8--
tersebut. Mengambil hutan dari mereka identik dengan mengambil faham, nilai dan tatanan sosial mereka. Kini, masyarakat hukum adat di Melawi (Kalbar) berpotensi meninggalkan faham komunal mereka yang mengibaratkan rimba sebagai ibu yang mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat. Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka, orientasi nilai juga turut berubah. Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasi simbolik (misalnya hutan sebagai Ibu) melainkan komoditas. Begitu juga dengan tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan. Bila sebelumnya hutan rimba dipandang sebagai milik bersama yang memiliki fungsi religi dan ekologis, saat ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan dengan pertimbangan keuntungan ekonomi semata. Bahkan, tanahtanah yang tidak berhutan lagi dijual kepada perusahaan kelapa sawit atau kepada perusahaan pertambangan. Masyarakat dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun perusahaan hanya menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat terintegrasi ke dalam budaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun. b. Kerusakan Sosial dan Biofisik Di Kampung Ponti Tapau (Sanggau), kehadiran Hak Pemungutan Hasil Hutan milik PT. SGB telah mendatangkan sejumlah kerusakan fisik. Diantaranya, sawah masyarakat jadi tergenang, air sungai tersumbat dan ikan-ikan menjadi punah akibat limbah dan lumpur. Selain di Kampung Ponti Tapau, kerusakan juga terjadi di Kampung Lanong. Hutan milik masyarakat kampung ini rusak akibat beroperasinya HTI milik PT. Pinantara. Di Kabupaten Melawi, kehadiran HPH dan HPHH telah mendatangkan banjir dan tanah longsor. Pada tahun 1995, banjir dan tanah longsor pernah menimpa dusun Senempa, Kecamatan Nangga Pinau yang lokasinya tidak jauh dari sungai Melawi dan sungai Serawai. Di Kabupaten
--9--
Mamuju Utara (Sulteng) dihantam oleh bencana longsor. Bukan hanya longsor, Mamuju Utara juga dilanda banjir, pencemaran air, hama tanaman dan kekurangan air bersih. Kota Samarinda, Melak (Kutai Barat) dan Tenggarong (Kutai Kertanegara) di Kalimantan Timur, terus diancam banjir oleh luapan Sungai Mahakam. Kuat dugaan bahwa banjir ini berasal dari praktek pemberian HPHH dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), yang cenderung tak terkendali sejak sebagian kewenangan pemberian izin usaha di bidang kehutanan didesentralisasi kepada pemerintah daerah. Kerusakan biofisik juga berlangsung pada sejumlah tempat di Kabupaten Donggala dan Mamuju Utara. Kerusakannya muncul dalam bentuk: (i) punahnya bentuk vegetasi hutan akibat kehadiran HPH dan konversi hutan; (ii) erosi dan banjir; (iii) kesulitan mendapatkan air bersih; dan (iv) merebaknya hama tanaman. Bukan hanya dilanda oleh kerusakan biofisik, sejumlah tempat di dua kabupaten ini juga mengalami kerusakan sosial. Pembakaran Ngata Tompu di Kecamatan Sigi Biromaru (Donggala), berikut pengusiran Orang Tompu dari kampung tersebut, sekaligus telah meruntuhkan bangunan tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki kaitan dengan hutan. Di Kabupaten Melawi, pemberian HPHH telah menyulut konflik sesama anggota masyarakat seperti yang terjadi antara sebagian penduduk Guhung Keruap dengan penduduk Dusun Bunyau di Kecamatan Menukung. Keduanya terlibat dalam konflik akibat penerbitan HPHH oleh Bupati Sintang pada tahun 2001. c. Kemiskinan Masyarakat yang hutannya diambil paksa dan tidak memiliki lahan lain untuk diusahakan, akan berubah menjadi penganggur seperti yang berlangsung Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Pemalang (Jawa Tengah). Terpotongnya akses masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan telah turut menjadi penyebab kemiskinan. Mayoritas penduduk,
--10--
yang ditaksir berjumlah antara 40 – 60 juta jiwa yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, digolongkan miskin menurut ukuran pemerintah. Anehnya, di saat masyarakat marak kembali menggugat hutan mereka yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan negara, UU Kehutanan Baru malah membuat ketentuan yang memustahilkan berhasilnya gugatan tersebut. Sekalipun UU ini mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat, tapi tidak merumuskan syarat dan tata cara yang singkat dan sederhana untuk keperluan pengakuan keberadaan dan hak masyarakat lokal. UU ini hanya mempertahankan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebelumnya. Apabila diminta untuk mengakui keberadaan hutan adat, Departemen Kehutanan selalu berdalih bahwa prosesnya harus didahului oleh pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh Pemda. Sementara itu, identifikasi keberadaan masyarakat hukum adat bukanlah kegiatan yang bisa ditemukan nomenklaturnya dalam tugas pokok dan fungsi dinas/badan Pemda serta alokasi pendanaan pembangunan daerah. Konservatisme dalam syarat dan tata cara pengakuan dalam UU Kehutanan Baru lantas menyebabkan sengketa klaim antara masyarakat dengan pemerintah dan swasta tidak pernah padam.
Pengakhiran Melihat model pengaturan dalam perundang-undangan dan dampakdampak penerapan peraturan pada sektor kehutanan, nampak jelas bahwa sebenarnya keberadaan hukum masyarakat (hukum) adat serta hak ulayat yang di milikinya sudah di kebiri.
--11--