HUKUM WARIS ADAT DI KALANGAN MASYARAKAT OSING Dominikus Rato Abstract The objective of this research is to understand the inheritance indigenous law of the Osing’s people, Kemiren Village, Banyuwangi. Participate observation and deep interview are done to collect the data. Due to the semiotic data that has been collected, holistic analysis done with the hermeneutic approach. The result of this research shows that Kemiren’s people as a part of Indonesia can accept the foreign’s law for both religion law and state law to implement the inheritance’s law through the active-adaptive process. Keywords: The inheritance indigenous law, the Osing’s people
A.
Pendahuluan Para orang tua sejak nenek moyang atau leluhur kita mempunyai semboyan “mencari nafkah untuk anak cucu.” Apa arti semboyan itu? Arti atau maknanya adalah bahwa para leluhur itu tidak hanya sekedar melahirkan setelah itu anak cucunya dibiarkan kelaparan, tetapi juga diberi harta benda yaitu makanan, pakaian, dan rumah. Harta benda sebagai hasil jerih payah ini digunakan sebagai bekal materiel bagi anak cucu mereka itu untuk kelangsungan hidupnya. Harta benda keluarga ini kelak akan diwariskan kepada anak cucunya demi untuk kesejahteraan anak cucunya itu. Oleh karena itu, jika sebuah keluarga atau rumah tangga tidak mempunyai anak sebagai ahli waris, mereka akan berusaha sedemikian rupa untuk mencari anak, misalnya dengan cara mengangkat anak atau adopsi. Namun demikian, setiap masyarakat adat di Indonesia memiliki cirikhasnya masing-masing. Satu daerha dengan daerah lainnya berbeda yang menggambarkan pola pikir dan pola perilaku mereka. Hukum waris berkenaan dengan proses penerusan harta kekayaan berwujud benda materiel maupun immateriel yang tidak berwujud benda dari suatu generasi kepada ahli waris. Proses ini dilakukan sejak si pewaris masih hidup. Kematian pewaris bukanlah sesuatu penentu terhadap proses pewarisan itu. Dari pengertian itu setidaknya ada tiga unsur dalam hokum adat waris yaitu: 1. Ada subjek yaitu manusia yang mewariskan sejumlah harta bendanya yang disebut si pewaris dan kelompok manusia yang menerima harta warisan tersebut dari pewaris yang disebut ahli waris, 2. Ada objek pewarisan yaitu sejumlah harta benda baik berwujud maupun tidak berwujud benda,
3.
Ada proses peralihan sejumlah harta benda, proses tersebut baik sebelum maupun sesudah si pewaris meninggal dunia. Menurut Soepomo, proses itu tidak menjadi akut oleh kematian pewaris. Kematian si pewaris memang menjadi peristiwa penting tetapi sesungguhnya tidak berpengaruh secara radikal terhadap proses peralihan harta benda tersebut. Dari pengertian di atas, terlihat bahwa subjek pewarisan ada dua, yaitu (a) orang tua yang menurunkan sejumlah harta benda kepada ahli warisnya, dan (b) ahli waris yaitu anak cucu yang berhak menerima harta benda itu sekaligus mempunyai kewajiban untuk meneruskannya kepada ahli waris berikutnya. Demikian seterusnya hingga beranak pinak sekarang ini. Selanjutnya unsur ketiga adalah proses penerusan harta kekayaan dari generasi yang satu ke generasi lainnya. Proses inipun ada dua, yaitu sebelum si pewaris meninggal dunia yang disebut hibah, dan sesudah si pewaris meninggal dunia yang disebut wasiat. Sebagaimana dikatakan bahwa prose situ tidak ditentukan oleh kematian si pewaris. Kematian adalah sebuah peristiwa alam yang pasti datang dan tidak dapat dihindari oleh setiap mahluk hidup termasuk manusia. Oleh karena itu, kematian bukanlah menjadi penentu sebagaimana dalam hokum eropa. Proses ini dapat pula dilakukan dalam bentuk pesan atau welingan atau wasiat. Jika pesan itu dibuka setelah si pewaris masih hidup disebut hibah, dan hibah masih dapat diubah atau dicabut selama si pewaris menghendaki dan tidak merugikan ahli waris itu sendiri dan ahli waris lainnya. Akan tetapi, jika wasiat itu dibuka setelah si pewaris meninggal dunia, maka hal itu tidak dapat mengubah posisi masing-masing ahli waris kecuali dengan perbuatan
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat.... 29
hu..kum lain yaitu proses peradilan yakni melalui putusan hakim. Dari latar belakang di atas, timbul pertanyaan: bagaimanakah dengan hukum adat waris yang berlaku pada masyarakat Osing di Desa Kemiren – Banyuwangi? Tinjauan Pustaka Kaum Fenomenolog seperti Robert Wessing, Berger dan Thomas Luckman mengatakan bahwa masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat, keluarga, dan negara) yang mengkonstruksi realitas. Berbeda dengan kaum Fenomenolog, kaum Konstruktivis mengatakan bahwa tidak hanya masyarakat tetapi individu juga mengkonstruksi realitas (Suparno, 1997: 65). Pula, masyarakat hukum adat menurut Van Vollenhoven dengan sistem peran dan kekerabatan juga dikonstruksi individu serta totalitas kehidupannya. Totalitas kehidupan itu dikenal dengan kosmos dan pengetahuan mereka tentangnya adalah kosmologi (Wessing, 1978: 25). Dengan konstruksi itu mereka berinteraksi dan menjalankan kehidupannya di dunia ini. Dengan demikian, realitas sebagai konstruksi masyarakat (masyarakat hukum adat), keluarga, dan negara merupakan resultante konstruksi dari keseluruhan konstruksi individu yang ada di dalamnya (Suparno, 1997: 51). Kosmologi dalam konteks ini adalah suatu konstruksi konseptual dari pengetahuan masyarakat dan individu yang dari padanya sesuatu yang tersebunyi disosialisasikan, dipelajari, dipahami, dan oleh karena itu diaplikasikan oleh anggota masyarakat (Rato a, 2009: 61). Sehingga sesuatu yang tersembunyi itu (seperti magis, mitos, ritual) eksis dalam totalitas kehidupan yang terus berproses menuju harmoni. Dengan demikian harmoni di dalam alam tetap terjaga, misalnya antara makro atau jagad gedhe atau alam semesta dengan alam mikro (jagad alit atau manusia) (Effendi, 1979: 43). Realitas ini telah menjadi semacam world view oleh para anggota masyarakat itu (Rato, 2009: 61 ). Pandangan masyarakat Osing tentang alam bervariasi, tergantung pada apa dan kepada siapa ia berkiblat. (Clifford Geertz, 1981: 54) dan Beatty, 2001: 43), membagi masyarakat Jawa atas tiga kategori berdasarkan pada agama Islam saja, kajian ini mendasarkan pandangannya pada kiblat. Kategori terakhir ini tidak berdasarkan pada kadar keimanan dalam agama yang dianut melainkan pada pandangan masyarakat kepada apa atau siapa ia berkiblat. Kiblat adalah arah kepada apa atau siapa seseorang itu berorientasi. Kiblat merupakan world view atau way of life (pandangan hidup) yaitu konstruksi pemikiran yang menjadi pedoman berpikir, berbicara, dan berbuat dalam
kaitannya dengan hukum yang berkenaan dengan tanah. Berdasarkan pada pandangan yang demikian, masyarakat Osing terbagi menjadi 3 kelompok: Kelompok Pertama, Kaum Normatif : Kelompok yang berkiblat pada Kitab Kering. Kitab Kering yaitu Al Qur’an, Injil, atau Weda. Kelompok yang berkiblat pada Kitab Kering adalah sekumpulan individu atau individu-individu yang orientasi pemikiran, perkataan, dan perbuatannya berdasarkan hanya pada Kitab Sucinya masingmasing secara tekstual, normatif-doktrinal. Agar tidak dikacaukan dengan kategori santri, kategori kelompok ini disebut Kaum Normatif. Kelompok Kedua, Kaum Mistikus: Kelompok masyarakat atau individu yang berkiblat pada Kitab Basah. Konstruksi tentang ‘Kitab Basah’ diberikan kepada individu atau individu-individu atas orientasi pemahaman, pemikiran, perkataan, dan perbuatannya pada makna yang terkandung dalam Kitab Basah yaitu tubuh manusia. Menurut kelompok ini yang suci bukan kitab tetapi tubuh manusia sebagai “Kitab Yang Suci.” Pemahaman ini dikatakan lebih kontekstual, holistik, terbuka, dan dinamis. Dinamis dalam konteks ini artinya selalu berkembang sejalan dengan perubahan waktu, tempat, dan personal, serta terbuka untuk didiskusikan, difalsifikasi, diinterpretasi ulang, dan direkonstruksi. Holistik artinya memahami “Kitab yang Suci” ini dari berbagai aspek serta terbuka bagi berbagai sudut pandang. Dengan demikian tidak ada kebenaran tunggal yang mutlak. Yang mutlak hanyalah “Tuhan.” Oleh karena kiblatnya pada tubuh manusia (Beatty, 2001: 21) menyebutnya sebagai pandangan yang anthropocentris. Pandangan yang anthropocentris dari Beatty ini terlalu sempit jika pandangan kita hanya tertuju pada tubuh manusia semata sebagai sarana membaca, belajar dan menginterpretasikan tubuh manusia sebagai ‘Kitab Yang Suci’ tanpa memperhatikan hubungannya dengan alam sekitar, kitab mana sebagai simbolisasi Ajaran Agung dari Tuhan. Akan tetapi, jika memasuki area pemikiran kelompok ini dan memahaminya secara holistik, maka tubuh manusia hanyalah sebagai “alam kecil” yaitu miniatur alam semesta. Oleh karena itu, pandangan ini berorientasi pada keseimbangan alam besar dan alam kecil atau harmony oriented, yang bersifat mistik, sehingga kelompok ini disebut Kaum Mistikus. Kelompok Ketiga, Kaum Nominal: Kelompok yang berkiblat pada Kitab Basah tetapi bukan Mistikus taat beribadah tetapi bukan Normatif, tetapi juga bukan Priyayi sebagaimana dikatakan Geertz. Kelompok ini oleh Beatty disebut Muslim Nominal yakni mereka yang tidak berpihak kepada kelompok
30 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat....
B.
pertama maupun kelompok kedua. Kelompok ini mewakili kaum awam yang tidak mendalami “kitab kering” maupun “kitab basah.” Mereka ini dikategorikan sebagai Kaum Nominal. Upaya untuk mencapai harmoni dalam hukum pada masyarakat lokal mengkontruksi sarana dan prasarana sebagai media, seperti sistem nilai, simbol-simbol, dan norma hukum yang disebut local knowledge atau local genius oleh (Clifford Geertz, 1999: 48). Robert Wessing menyebutnya sebagai kosmologi. Dari sudut pandang doktrin, para sarjana hukum adat memberikan pengertian atau batasan dengan pewarisan. (R. Soepomo, 1962: 34) memberikan sebuah definisi tentang pewarisan bahwa hukum adat waris memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan (mengalihkan) barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterielle goederen) dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya (R. Soepomo, 1962: 34). Senada dengan R. Soepomo, Ter Haar, membuat sebuah definisi bahwa hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bertalian dengan proses abadi yang mengesankan (boeind), yaitu proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan materiel dan immaterial dari suatu angkatan manusia ke angkatan manusia berikutnya (Ter Haar, 1939: 6). Dari sudut pandang positivism, Kamar III (Derde Kamer atau Adatkamer) dari Raad van Justitie Batavia dahulu secara konsekuensi selalu memutuskan secara yuridis mengenai konflik harta benda dalam hukum adat waris Jawa dan Madura, yang bentuk kekerabatannya berbentuk parental bahwa ahli waris adalah keturunannya dan bahwa janda adalah bukan ahli waris dari almarhum suaminya. Hal ini dapat dimaklumi karena putusan itu dilihat dari hubungan darah atau geneologis. Isteri adalah orang lain bagi suami atau sebaliknya sehingga mereka dapat kawin mawin. Jika mempunyai hubungan darah, maka keduanya tidak boleh kawin mawin. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah politik hukum, Indonesia mempunyai pandangan lain tentang hal ini, khususnya status janda. Perubahan pandangan itu terjadi sejak tahun 1960, Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan dalam putusannya tanggal 13 April 1960, No. Reg. 110K/Sip./1960 berkenaan dengan status hukum janda terhadap harta asal almarhum suaminya, Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan bahwa isteri dapat dipandang sebagai ahli waris dari almarhum suaminya. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini diperkuat lagi dengan Putusan Mahkamah Agung dalam Kasasinya
tanggal 2 November 1960 Reg. No. 302 K/Sip./1960 yang memutuskan bahwa janda perempuan merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya (Wignjodipuro, 1978: 45). Dengan adanya dua putusan Mahkamah Agung RI di atas, pendirian negara mengubah pandangan masyarakat umumnya melalui dua pandangan sarjana hukum sebelumnya yaitu R. Soepomo dan Ter Haar juga Derde Kamer dari Raad van Justitie. Artinya, Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa janda adalah ahli waris almarhum suaminya, bukan hanya harta gono gini melainkan termasuk harta asal. Pandangan Mahkamah Agung RI ini boleh jadi telah merupakan sejarah politik hukum nasional berkenaan dengan hukum waris nasional, akan tetapi hal ini sangat berbeda dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Walaupun Mahkamah Agung di dalam Putusannya tanggal 13 April 1960, Reg. 110K/Sip./ 1960 tersebut di atas menggunakan kata-kata “dapat dipandang perlu” yakni tidak pasti bahwa janda adalah ahli waris almarhum suaminya, pada umumnya dianggap bahwa seolah-olah Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI tersebut berisi tentang perubahan hukum adat, khususnya berkenaan dengan hukum adat waris yaitu “janda adalah ahli waris dari almarhum suaminya” (Soeripto, 1973: 35). Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI tersebut KRMH Soeripto berpendapat bahwa hukum waris mengatur penerusan harta kekayaan materiel dan immaterial dari suatu generasi kepada ahli warisnya. Soeripto tidak menggunakan kata-kata “mengoper atau pengoperan” sebab berhubungan kenyataan bahwa pewarisan berbentuk penghibahan (paweweh) selama barang yang dihibahkan itu masih ada dan selama penghibahan itu si penghibah masih hidup, dapat dicabut kembali, berdasarkan atas solidaritas harta kekayaan keluarga, karena harta kekayaan terutama diperuntukkan bagi kepentingan keluarga. Pandangan ini diajukan karena, si janda dianggap sebagai ahli waris atau bukan diserahkan kepada masing-masing keluarga. Hanya saja, sebagaimana pendapat R. Soepomo, bahwa penarikan kembali atau pembatalan harta benda melalui penghibahan, untuk kepentingan kepastian hokum (rechtszekerheid) tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu tanpa alasan yang layak menurut hokum adat (Soeripto, 1973). Pertimbangan Soepomo ini perlu dipertegas dan didukung demi keadilan, kemanusiaan, dan martabat janda. Hal ini diperkuat dengan Putusan Raad van Justitie (derdekamer) Batavia dahulu tanggal 31 Maret 1939, T. 151, hal. 183 bahwa pewarisan dapat dicabut kembali atas alasan-alasan berdasarkan adat, sebagai misal si ahli kurang hormat, bertabiat
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat.... 31
kurang baik atau durhaka kepada si pewaris, yang membuktikan kelalaian anak terhadap orang tua. Akan tetapi, dengan mengacu pada pandangan Soepomo bahwa jika kata pengoperan berasal dari kata ‘over’ dari Bahasa Belanda yaitu over dragen artinya bersifat mutlak, maka proses pewarisan tersebut tidak dapat dicabut. Akan tetapi, menurut pandangan saya, yang dimaksud dengan ‘over dragen’ yang bersifat mutlak itu jika dilakukan tidak melalui penghibahan tetapi melalui hadiah, sebab hadiah tidak dapat dicabut kembali. Sebab, hadiah diberikan kepada mereka yang bukan ahli waris. Prof. Soepomo selanjutnya mengatakan bahwa dalam proses pewarisan, kematian si pewaris adalah suatu peristiwa yang penting tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses pengoperan dan penerusan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Hal ini berbeda dengan proses pewarisan dalam Hukum Islam dan Hukum Eropa, bahwa kematian si pewaris menentukan proses tersebut secara radikal. Dalam Hukum Islam, secara normative dan asli menurut Al Qur’an dan Hadist seorang anak sebagai ahli waris meninggal dunia sebelum pembagian waris, maka si anak dari yang meninggal dunia yaitu cucu si pewaris tidak dapat menjadi ahli waris untuk menggantikan status almarhum ayahnya. Demikian juga bahwa orang yang meninggal dunia (erflater = si pewaris) pada umumnya tidak menjadi salah satu unsur mutlak. Kematian itu penting sebagai sebuah peristiwa alam sekaligus peristiwa hokum, tetapi bukan menjadi syarat mutlak dalam proses pewarisan. Proses pewarisan dapat dilakukan sejak si pewaris masih hidup. Proses pewarisan dapat dilakukan sejak si ahli waris itu dewasa dan mentas (mencar) setelah memiliki rumah tangganya sendiri. Artinya si anak telah berubah status menjadi calon pewaris dalam proses pewarisan menurut hokum adat waris. Di Jawa misalnya ketika si anak mencar karena perkawinan, orang tua selalu memberikan harta bendanya dalam bentuk rumah, tanah, atau ternak. Harta benda materiel tersebut menjadi bekal materiel si anak dalam membentuk rumah tangganya. Proses pewarisan sebelum si pewaris meninggal dapat berbentuk hibah atau welingan (pesanan) atau paweweh (pemberian). Di Bali anak yang mencar/mentas karena perkawinan diberi untuk sementara sebidang tanah demi diambil (dinikmati) hasilnya. Pemberian ini tidak bersifat waris, tetapi dikerjakan untuk sementara, di Jawa disebut ‘penguasaan (Soeripto, 1973).’ Sebab yang menjadi ahli waris di Bali adalah anak laki-laki tertua (mayorat). Kelak, apabila pewarisan terbuka karena kematian orang tuanya dan jenasah telah diabenkan, maka semua harta
benda yang tadinya digunakan atau dikerjakan untuk diambil hasilnya dan bersifat sementara itu ‘penguasaan’ itu dikumpulkan kembali untuk kemudian diberikan kepada yang berhak, yaitu anak laki-laki sulung atau anak sentana rajeg. Hak yang ada pada anak yang akan mentas atau mencar tersebut terhadap tanah garapan dengan hak pakai itu disebut ‘hak penyakap’ di Jawa disebut penggarap. Kadang-kadang antara orang tua dengan anak penyakap ini dilakukan perjanjian bagi hasil menurut adat setempat. Di Karangasem untuk 1:1 disebut parosigar, 1:2 disebut maroh, 1:3 disebut nelon, dan 2:3 disebut ngelima. Sebelum dilakukan bagi hasil terlebih dahulu diambil modal yaitu bagian bibit seharga 2 kali lipat. Demikianlah proses yang dilalui para ahli waris selaku penyakap sebelum kedua orang tuanya meninggal dan harta benda dikembalikan ke asal. Tanah yang belum dibagi-bagi, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia tetapi jenasah belum diabenkan, disebut druwe tengah, yang dalam kategori harta benda warisan disebut harta asal atau harta pusaka. Di atas druwe tengah ini masih terdapat hak-hak ahli waris yang belum dipisahkan satu sama lain. Kadang-kadang tanah druwe tengah ini tidak terbagi-bagi hingga beberapa keturunan. Hal ini membuktikan bahwa betapa masih kuat dan kokohnya rasa solidaritas atau kebersamaan serta kegotong-royongan keluarga Bali disamping adanya kewajiban bersama mengabenkan jenasah orang tua mereka atau leluhur yang belum diabenkan. Hal ini disebabkan biaya pengabenan sangat tinggi dan tidak hanya ditanggung oleh satu orang saja, sebab biaya pengabenan itu harus diambilkan dari harta druwe tengah tersebut. Pada saat warisan terbuka karena meninggalnya orang tua, dalam kaitannya dengan hak penyakap tadi, secara normative harta tersebut harus dikumpulkan kembali, namun dalam kenyataan tanah tersebut tetap digarap atau dikuasai. Namun, jika ada yang kurang ditambah dan yang lebih dikurangi agar tercapai rasa keadilan. Semua ini dilakukan melalui musaywarah mufakat, dimana semua ahli waris berkumpul dan disaksikan oleh para tetua adat.
32 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat....
C.
Metode Penelitian Titik pandang penelitian ini adalah hukum adat, khususnya hukum adat yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Penelitian ini dilakukan pada komunitas Osing yang bertempat tinggal di Desa Kemiran, Banyuwangi – Jawa Timur. Desa ini oleh tokoh-tokoh masyarakat Osing dipandang belum banyak dipengaruhi oleh modernisasi, walaupun di desa ini sudah dibangun wisata Osing oleh Pemerintahan Provinsi Jawa Timur. Paradigma yang
digunakan adalah konstruktivisme sebab yang dikaji adalah benturan dalam konstruksi berpikir anggota masyarakat baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Oleh karena itu, asumsi dasar yang menjadi pedoman diambil dari paradigma konstruktivisme, yaitu: (a) Realitas itu berada pada tataran skema/mind yang berada pada tataran individu. Jikalau ada konstruksi masyarakat, maka konstruksi masyarakat itu merupakan resultante dari skema individu-individu dalam masyarakat itu; (b) Oleh karena realitas itu berada dalam skema pada tataran individu dan atau komunitas, maka realitas itu bersifat plural; (c) Skema individu dan atau komunitas selalu berkembang sejalan dengan informasi baru yang dapat dipercaya dan intensif; (d) Oleh karena konstruksi itu selalu berkembang, maka kebenaran yang diperoleh bersifat terus berubah/ mengalir; (e) Perubahan skema itu tergantung pada konteks: waktu, tempat, dan personal. Kajian ini dilakukan di Desa Kemiren. Secara keseluruhan berlangsung selama 8 bulan. Untuk intensitas dibentuklah kelompok diskusi kecil tetapi bukan focus studie group. Subjek kajian ini dikhususkan untuk bidang hokum adat tentang pewarisan meliputi objek pewarisan, subjek pewarisan atau ahli waris dan proses pewarisan. Tahap awal adalah telaah arsip (dokumen-dokumen di desa yang berkaitan dengan pertanahan, air, hutan), dan kajian pustaka. Setelah bahan-bahan ini terkumpul dilakukan sarasehan pertama atau gesah. Tahap kedua, mencari data dengan metode observasi partisipasi. Selain observasi partisipasi cara lain yang digunakan adalah wawancara mendalam (Clifford Geertz, 1973: 23). Tahap Ketiga, tahap penyuntingan. Jika dari data mentah itu belum cukup untuk memahami realitas yang akan diinterprestasi, maka pengumpulan data tambahan dilakukan. Pada tahap ini pendekatan emik-etik digunakan. Tahap Keempat, tahap interpretasi dan analisis. Sebelumnya dilalukan sarasehan tahap kedua atau gesah tahap kedua. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara holistik yaitu melalui hermeneutika sebab datanya yang semiotik. Data ini diperoleh melalui penelitian kualitatif. Data
dianalisis secara kualitatif melalui interpretasi terhadap simbol.
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat.... 33
D.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Para orang tua sejak nenek moyang atau leluhur kita mempunyai semboyan “mencari nafkah untuk anak cucu.” Apa arti semboyan itu? Arti atau maknanya adalah bahwa para leluhur itu tidak hanya sekedar melahirkan anak cucu setelah itu anak cucunya dibiarkan kelaparan, tetapi juga diberi harta benda materiel yaitu makanan, pakaian, dan rumah. Harta benda sebagai hasil jerih payah mereka itu digunakan sebagai bekal materiel bagi anak cucunya itu untuk kelangsungan hidup anak cucu itu. Dengan demikian, sebagaimana diteorikan oleh para ahli hokum adat ditemukan dalam masyarakat Osing di desa kemiren bahwa harta benda warisan digunakan untuk bekal materiel anak cucu mereka (Wignjodipuro, 1978: 32). Selain itu harta benda itu juga digunakan sebagai sarana untuk memperoleh status social dalam masyarakat, juga pada zaman modern seperti sekarang ini harta benda juga digunakan untuk kebutuhan investasi. Dalam dunia yang semakin modern, nilai tanah mengalami perubahan pesat (Rato, 2009a). Tidak hanya itu, pada masyarakat tradisional di desa yang hokum adatnya dan hokum agamanya masih sangat kuat, harta benda juga digunakan untuk sebagai sarana ritual keagamaan atau selamatan, dan sebagainya (Rato a, 2009: 25). Sebuah keluarga dapat saja hidup rukun, damai, sejahtera, tetapi juga dapat pecah belah hanya oleh karena sebuah pertengkaran yang bersumber pada kekurangan harta benda materi tersebut. Keberlangungan hidup keluarga tersebut ditunjang oleh harta benda materi yang di dalam sebuah keluarga disebut “harta benda keluarga atau harta benda perkawinan.” (Wignjodipuro, 1978: 32). Oleh karena itu, kiranya sebelum membahas tentang harta benda perkawinan atau harta perkawinan terlebih dahulu dipahami hubungan antara hukum perkawinan – hukum harta perkawinan – dan hukum waris. Jika digambarkan sebagai berikut.
Hukum Perkawinan Hukum harta perkawinan meletakan dasar yuridis tentang pembentukan macam-macam/kategorisasi harta perkawinan, klasifikasi harta perkawinan, serta fungsi harta perkawinan itu dalam keluarga
Hukum perkawinan meletakan dasar yuridis keabsahan perkawinan yang berdampak pada keabsahan anak sebagai ahli waris dan terbentuknya harta gono gini sebagai harta bersama suami isteri yaitu meletakkan dasar legalitas subjek dan objek hokum waris
KELUARGA Hukum waris meletakan dasar yuridis tentang proses dan prosedur pewarisan Hukum Harta Perkawinan Hukum Waris
Sumber: Rekaan
Perkawinan yang berhasil adalah perkawinan yang mampu memberikan dan meletakkan dasardasar kebahagiaan anggota keluarganya. Kebahagiaan baik secara spiritual maupun secara materiel. Kebahagiaan spiritual terletak pada masingmasing anggota keluarga, sebab hal kebahagiaan ini terletak di dalam jiwa seseorang yang disebut innerlijke order. Sedangkan kebahagiaan materiel terletak di luar, secara fisik yang dapat ditangkap oleh pancaindera, sebab pancaindera manusia ini merupakan sarana penghubung antara manusia dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu, kebahagiaan fisik ini disebut outerlijke order. Sebuah perkawinan yang benar adalah perkawinan yang selain mampu memberikan dan meletakkan dasar-dasar kebahagiaan juga memberikan ketenangan, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan kepada setiap anggota keluarganya. Dasar-dasar kebahagiaan, ketenangan, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan itu hanya dapat dilakukan jika perkawinan itu berada di atas dasar hokum yang jelas dan kuat. Dasar hukum yang jelas dan kuat hanya terdapat di dalam perkawinan yang sah. Dari perkawinan yang sah akan membawa setiap anggota keluarganya, antara lain: 1. harta perkawinan yang sah yaitu harta perkawinan yang dapat diwariskan kepada setiap anggota keluarganya. Keabsahan
perkawinan ini dibahas dan dianalisis dalam hokum perkawinan dan hokum harta perkawinan. 2. ahli waris yang sah yaitu ahli waris yang memiliki hak dan kewajiban yang legal secara hokum. Keabsahan ahli waris ini akan dikaji dan dianalisis dalam hokum perkawinan, hokum harta perkawinan dan hokum waris. 3. proses pewarisan yang benar dan adil yaitu proses pewarisan yang dilandasi oleh dasar hukum yang sah, jelas, dan tegas. Kebenaran dan keadilan pembagian harta perkawinan ini akan dikaji dan dianalisis dalam hokum perkawinan, hokum harta perkawinan, dan hukum waris. Unsur utama dalam hukum adat waris adalah subjek waris, objek waris, dan proses pewarisan. Subjek waris adalah manusia yang terdiri dari pewaris yang memiliki harta benda warisan yang akan mewariskan harta bendanya itu kepada ahli waris yang akan meneruskan tugas dan kewajibannya untuk mengelola harta benda warisan itu; dan ahli waris yang akan menerima harta benda warisan itu serta tugas dan kewajiban untuk mengelola harta benda warisan yang diterimanya dari si pewaris. Pewaris adalah orang tua yang dahulu menerima harta benda itu dari generasi sebelumnya, kini ia melanjutkan tugas dan kewajiban yang
34 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat....
diterimanya dulu itu kepada generasi berikutnya. Pewaris menjadi berarti jika ia mempunyai ahli waris. Ia akan kehilangan arti jika tidak memiliki ahli waris. Oleh karena itu, segala upaya dilakukan untuk memperoleh ahli waris misalnya perkawinan atau mengangkat anak. Ketika si pewaris ini telah memperoleh ahli waris, maka ia akan menjaganya itu sebagai sesuatu yang sangat berarti baginya. Ada beberapa jenis ahli waris, namun yang paling pertama dan utama adalah anak: anak sah, anak luar kawin, anak angkat, anak tiri, dan sebagainya, sebagai berikut. 1.
Anak sah Anak sah berbeda dengan anak kandung. Anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Berbeda dengan anak kandung. Anak kandung belum tentu anak sah, seperti anak luar kawin, anak haram atau anak incest. Anak incest adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang dilarang, misalnya lahir karena hubhungan sex antara sesama saudara kandung, anak dengan ayah atau ibu kandung, kakek dengan cucu kandung, paman dengan keponakan atau kemenakannya. Anak haram yaitu anak yang tidak diketahui siapa ayahnya. Anak-anak seperti ini hanya mempunyai hubungan hokum dengan ibunya artinya ia hanya menjadi ahli waris ibunya. Oleh karena itu, begitu penting status hokum perkawinan sepasang orangtua, sebab keabsahan perkawinan itu menjadi dasar hokum bagi status hokum anaknya kelak, perkawinan yang kelak membentuk garis silsilah penerima harta warisan (Rato, 2009: 52). Garis P adalah garis silsilah masyarakat Osing. Pada masyarakat yang bentuk susunan masyarakat hukumnya unilateral, maka garis (P) itu adalah garis ayah pada masyarakat patrilineal yang ditarik dari bapa asal (leluhur) dan garis ibu pada masyarakat matrilineal yang ditarik dari ibu asal (leluhur), sedangkan garis ayah-ibu pada masyarakat parental yang ditarik dari ayah ibu asal (leluhur). Pada masyarakat Bali garis P disebut garis tunggal dadya (Soeripto, 1973: 34). Dalam kaitannya dengan pewarisan, kiranya dapat dikatakan bahwa “makin tinggi status si pewaris, maka makin luas ahli waris yang berhak atas harta warisannya” atau ‘makin tinggi status hokum harta warisan (pusaka) makin luas ahli waris yang berhak menerimnya.’ Misalnya harta benda itu diperoleh oleh warih galih, maka yang berhak atas harta benda warih galih,( jika harta benda itu tidak dibagi-bagi), maka yang menjadi ahli
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
warisnya adalah galih asin beserta keturunanya ke bawah hingga ego. Jika pada masyarakat hokum adat yang susunannya berbentuk patrilineal, maka keturunan warih galih adalah anak laki-laki galih asin hingga ego, bahkan hingga ke canggah. Jika pada masyarakat hokum adat yang susunannya berbentuk matrilineal, maka keturunan warih galih adalah anak saudara perempuan ayah yaitu anak perempuan beserta anaknya lakilaki dan perempuan, namun bagi anak lakilaki hanya mempunyai hak pakai saja. Anak laki-laki tidak boleh mewariskan harta pusaka yang berasal dari warih galih itu. Pada masyarakat Osing, garis silsilah itu ditentukan melalui garis keturunan sedarah, sbb: Leluhur Warih galih Galih asin
P
Debog bosok Grobag senthe Kandhang bubrah Ganthung siwur Udeg-udeg Wareng Canggah Buyut Embah Ayah ibu Ego Anak Putu Canggah Sumber: rekaan
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat.... 35
2.
Harta Benda sebagai Objek Warisan Orang Osing di Desa Kemiren sangat rajin bekerja dan gemar mengumpulkan harta benda terutama tanah. Oleh sebab itu orang Kemiren memiliki tanah hingga di desa tetangga seperti Taman Suruh, Bakungan dan Glagah. Prinsip orang Osing di Desa Kemiren ini adalah ‘jika harta benda yang telah didapat sejauh mungkin tidak dilepaskan lagi kepada orang lain. Jadi, tidak mengherankan jika harga tanah di Desa Kemiren dengan harga tanah di desa lain atau yang dkuasai oleh orang yang bukan Kemiren sangat jauh berbeda. Tanah di Desa Kemiren mempunyai nilai lebih tinggi hingga dua kali lipat, walaupun letaknya berdekatan, kelasnya sama, desanya sama, hanya beda pemilik; yang satu dimiliki oleh orang Kemiren dan yang lain dimiliki oleh orang bukan Kemiren. Tanah yang dimiliki oleh orang Kemiren mempunyai nilai jual lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena orang Kemiren tidak mau melepaskan tanah atau barang yang telah dikuasai/dimilikinya jika tanah atau barang itu tidak benar-benar diberi harga tinggi/mahal. Klasifikasi dan kategorisasi harta benda menurut hokum adat Osing ada agak berbeda dengan pembagian menurut hokum adat Jawa. Menurut pak Tahrim, Kaum Normatif, ada 3 macam harta perkawinan menurut hokum adat Osing yaitu: a) harta asal, yang dibagi lagi atas dua yaitu tanah lanang dan tanah wadon; b) harta gono gini atau harta bersama suami isteri; dan c) pemberian atau hadiah karena balas jasa, seperti tirka mayit. Menurut pak Tris, Kaum Nominal, bahwa harta perkawinan itu kurang lebih ada 4, yaitu harta asal yang dibagi lagi atas dua yaitu tanah lanang dan tanah wadon. Pandangan pak Tris ini didukung oleh pak Serat, seorang penganut Mistikus. Menurut pak Tris dan pak Serat bahwa harta perkawinan atau harta benda keluarga itu ada 4 yakni: 1) harta asal yang dibagi lagi atas dua bagian yaitu tanah lanang dan tanah wadon; 2) harta gono gini; 3) harta yang diperoleh suami atau isteri sebelum perkawinan sebagai hasil keringat sendiri mis, sebagai PNS, pedagang, tukang, atau buruh; dan 4) pemberian atau hadiah. Pendapat dua orang terakhir ini disetujui oleh beberapa informan. Memang pandangan pak Tahrim itu ada benarnya, tetapi dalam perkembangan ini ada harta benda yang dihasilkan oleh seorang laki-laki atau seorang perempuan sebelum mereka kawin dan dibawa masuk kedalam perkawinan yaitu hasil keringat sendiri, seperti menjadi guru, pegawai, pedagang, buruh,
36 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
polisi, atau tentara, dan sebagainya. Hasil keringat sendiri bukan merupakan warisan orang tua, tetapi hasil atas usaha sendiri. Harta asal dibagi atas harta asal lanang (laki-laki atau suami) dan harta asal wadon (perempuan atau isteri). Harta asal lanang adalah harta benda yang dibawa oleh suami ke dalam perkawinan. Harta asal lanang ini berasal dari harta asal ayahnya yang diterimanya secara turun-temurun dari bapak, kakek, dan seterusnya ke atas menurut garis laki-laki. harta asal wadon adalah harta benda yang dibawa isteri ke dalam perkawinan. Harta asal wadon berasal dari harta asal ibunya yang diterimanya dari ibu, nenek dan seterusnya ke atas menurut garis perempuan. Data yang diperoleh dari seorang informan, Pak Tris, kepala desa lama, Kaum Nominal, bahwa harta asal lanang dapat berbentuk tanah yang disebut tanah lanang, dapat berwujud tanah sawah, tegalan, pekarangan, pohon-pohon, atau tanaman. Selain tanah, yang wajib dibawa oleh suami adalah meja – kursi, bajak – sapi/kerbau, dan tempat tidur. Barang-barang ini, jika kelak terjadi perceraian tanpa anak, maka harta benda asal lanang ini harus kembali ke kerabat suami. Harta asal wadon dapat berbentuk tanah yang disebut tanah wadon, dapat berwujud tanah sawah, tegalan, pekarangan, pohonpohon, atau tanaman. Selain tanah, yang wajib dibawa oleh suami adalah perkakas dapur/ pecah belah, kasur, dan lemari. Barang-barang ini, jika kelak terjadi perceraian tanpa anak, maka harta benda asal wadon ini harus kembali ke kerabat isteri. Dengan demikian, azas hokum bahwa harta asal kembali ke asal sangat ditaati, diterapkan secara konsisten, tidak hanya secara normative saja. Harta asal yang dibagi lagi atas: tanah lanang dan tanah wadon. Menurut pak Timbul, seorang penganut Kitab Kering, bahwa pada prinsipnya harta asal harus kembali ke asal, jika tidak ada ahli waris. Jika ada ahli waris, maka harta asal menjadi hak ahli waris. Harta asal bapak pada (tanah lanang) prinsipnya harus diwariskan kepada anak laki-laki dan harta asal isteri (tanah wadon) pada prinsipnya diwariskan kepada anak perempuan. Data yang diperoleh dari Pak Moro, para penganut Kitab Basah, bahwa perubahan ini tidak dilakukan secara revolusioner, melainkan secara perlahan-lahan, tahap demi tahap sejalan dengan perubahan pola pikir anggota
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat....
masyarakat Kemiren. Pada zaman dahulu, pembagian harta lanang dengan harta wadon sangat terang, tegas, dan konsisten, maka saat ini kategorisasi harta lanang dan harta wadon masih tetap ada, tetapi tidak lagi seterang dan setegas dahulu. Pembagian seperti itu perlu dilakukan, tetapi kekurangan yang satu dilengkapi oleh yang lain. Saat ini jarang ditemukan perceraian (cerai hidup), kecuali karena kematian atau karena sebab yang sangat fatal seperti kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan cacat fisik. Hal ini diperkuat dengan Putusan Raad van Justitie (derdekamer) Batavia dahulu tanggal 31 Maret 1939, T. 151, hal. 183 bahwa pewarisan dapat dicabut kembali atas alasanalasan berdasarkan adat, sebagai misal si ahli kurang hormat, bertabiat kurang baik atau durhaka kepada si pewaris, yang membuktikan kelalaian anak terhadap orang tua. Harta gono gini. Informasi yang didapat dari Pak Timbul, penganut Kitab Kering, seorang tokoh Islam masyarakat desa ini bahwa harta gono diperoleh melalui campur kaya antara harta yang dibawa suami (tanah lanang) dan harta yang dibawa isteri (tanah wadon). Harta gono gini menjadi hak bersama suami isteri walaupun mungkin yang mengelola hanya suami, tetapi peran isteri yang mengurus rumah tangga dan anak di rumah cukup berarti dalam pembentukan harta gono gini. Apalagi isteri yang hidupnya sederhana dan mampu mengelola harta benda yang dihasilkan oleh suami. Oleh karena itu, harta gono gini menjadi hak bersama. Jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata. Oleh karena itu, suami isteri mempunyai hak yang sama (1:1). Perkembangan hokum ini sejalan dengan politik hukum nasional. Hal ini dikuatkan dengan Yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 1 November 1961 Reg. No. 179/K.Sip/1961 yang menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari si peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, terutama dan khususnya harta gono gini. Sebab terhadap harta asal ada azas bahwa harta asal kembali ke asal. Akan tetapi masih juga ada pembagian harta gono gini ini dilakukan dengan prinsip “sepikul segendong” atau “sasuhun sarembat” yaitu laki-laki dua bagian dan perempuan
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
hanya satu bagi. Pemikiran ini menurut pak Timbul merupakan pandangan kuno, tetapi menurutnya hal itu ada dasarnya yaitu Hukum Islam. Sekarang pemikiran seperti itu sudah tidak berlaku lagi pada masyarakat Kemiren. Dalam proses pewarisan, Harta gono gini harus dibagi sama rata antara anak laki-laki maupun perempuan, tetapi jika punya anak tunggal, maka harta gono gini adalah hak anak tanpa melihat laki-laki atau perempuan, semuanya menjadi haknya anak. Manurut pak Timbul bahwa harta gono gini menjadi hak milik bersama suami isteri walaupun mungkin yang mengelola tanah sawah adalah suami saja, tetapi peran isteri yang mengurus rumah tangga dan memelihara anak merupakan bantuan yang luar biasa, apalagi isteri yang hidupnya sederhana dan mampu mengelola harta benda yang dihasilkan oleh suami. Oleh karena itu: a. harta gono gini menjadi hak bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami isteri. b. jika diwariskan bagian masing-masing anak terhadap harta gono gini harus dibagi sama rata antara anak laki-laki maupun perempuan, tetapi jika punya anak maka harta gono gini adalah hak anak. c. dalam pembentukan harta gono gini perlu diperhatikan usia perkawinan. d. Juga perlu diperhatikan gono gini isteri pertama, kedua, dan seterusnya jika kawin lebih dari satu. e. hukum adat boleh meletakkan dasar tentang ketentuan-ketentuan tentang pembentukan harta perkawinan serta pola pembagiannya. Akan tetapi semuanya terpulang pada hasil musyawarah mufakat, pola kepemimpinan suami sebagai kepala keluarga, dan sifat adaptif – aktif yaitu sifat/sikap keterbukaan masyarakat Kemiren terhadap budaya luar/asing. Harta yang diperoleh dari hasil keringat sendiri. Pada saat ini, kehidupan kaum muda semakin terbuka. Keterbukaan ini disebabkan oleh teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi. Oleh karena itu, generasi muda selepas sekolah mereka di Sekolah Menengah ada yang pergi ke kota mencari pekerjaan. Ada yang bekerja di toko, di perusahaan/industry, pegawai negeri sipil, berdagang, polisi, atau militer. Oleh karena itu, para kaum muda ini sudah mempunyai
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat.... 37
penghasilan sendiri, mengumpulkan penghasilan itu dan membeli sesuatu yang berharga seperti kendaraan bermotor, perhiasan, bahkan ada pula yang mampu membeli tanah atau rumah. Hadiah. Hadiah yang dimaksud adalah hadiah yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung yaitu barang-barang yang diperoleh dari sahabat atau kenalan mereka yaitu kado. Pada zaman dahulu, kado yang diberikan oleh seseorang atau bahkan dari calon suami kepada calon isteri atau dari orang tua suami kepada menantu mereka, sebuah mobil, rumah, bahkan sebuah perusahaan. Akan tetapi, saat ini sering ditemukan bahwa hadiah yang berbentuk kado sebagaimana pada masa lalu itu sudah jarang atau bahkan tidak ada lagi, kecuali di pedesaan di luar Jawa. Di Jawa, jika seseorang diundang ke pesta perkawinan, maka yang dibawa bukan lagi kado tetapi pada umumnya uang. 3.
Proses Pewarisan Tentang harta perkawinan orang Kemiren merupakan tanggung jawab orang tua, anak selalu tunduk dan taat pada putusan orang tua. Ketaatan para ahli waris terhadap pembagian harta waris yang dilakukan oleh pewaris, karena para ahli waris sangat takut dengan petuah. Petuah adalah kata-kata dari pewaris (orang tua) kepada ahli waris yang tidak tunduk, taat kepada putusan orang taua atau yang menolak putusan orang tua. Katakata petuah itu sebagai berikut: sopo wae kang kurang, bakal kurango sak teruse (siapa saja yang merasa kurang akan kekurangan seterusnya). Kata-kata semacam ini dianggap sebagai sanksi yang diberikan oleh orang tua terhadap anak yang tidak patuh, yang suka menentang. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Logemann dan Holleman. Logemann (1954: 23) mengatakan bahwa norma-norma hokum yang hidup adalah norma-norma yang berlaku dalam pergaulan hidup bersama yaitu aturan-aturan tingkah laku yang wajib ditaati oleh segenap warga atau anggota dalam pergaulan bersama tersebut. Bila ternyata ada suatu norma yang berlaku, norma itu tentu mempunyai sanksi. Oleh karena itu, semuanya itu adalah norma hukum. Holleman (1935: 56) berpandangan bahwa norma-norma hokum adalah normanorma hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat
38 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
atau badan-badan dalam masyarakat supaya ditaati dan dihormati oleh anggota-anggotanya atau warga masyarakatnya. Tidak dipersoalkan apakah terhadap norma-norma itu telah ada penetapan atau keputusan petugas hokum. Pada umumnya proses pembagian harta benda menurut hokum adat Osing dilakukan ketika orang tua masih hidup. Proses itu dilakukan secara musyawarah mufakat, walaupun mungkin hanya dilakukan sepihak oleh ayah dan ibu mereka. Namun demikian, putusan orang tua itu wajib dihadiri oleh semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan dan disaksikan oleh para tetangga atau para tetua terdekat atau yang diundang khusus untuk itu atau orang tua yang dipercaya. Namun demikian, ada juga di antara anggota masyarakat Kemiren itu yang menolak. Walaupun tidak banyak, artinya baru satu atau dua orang, akan tetapi sudah ada yang tidak setuju. Akan tetapi, mereka yang menolak ini selalu mendapat hambatan dalam hidupnya. Apakah hambatan itu karena ia menolak atau karena memang nasibnya demikian, ataukah karena nasibnya sedang sial, tidak ada yang tahu secara pasti. Yang jelas bahwa para ahli waris yang menolak itu selalu didoakan jelek atau disumpah oleh orang tuanya. Oleh karena itu, hingga kini banyak anak atau ahli waris takut untuk melawan putusan orang tuanya tentang harta benda yang menjadi bagian masing-masing ahli waris. Proses pewarisan sewaktu si pewaris masih hidup ini dalam hokum Islam disebut hibah. Hal ini tidak berarti bahwa di desa Kemiren ini menutup kemungkinan adanya perubahan atau pergeseran. Perubahan atau pergeseran selalu ada dan dilakukan, akan tetapi perubahan atau pergeseran itu dilakukan secara bertahap dan evolutif. Perubahan atau pergeseran yang dilakukan secara radikal selalu ditolak. Oleh karena itu, proses perubahan atau pergeseran dalam hal pembagian harta perkawinan dari kategori harta gono gini juga dilakukan. Ada beberapa cara pelaksanaan pembagian harta warisan, yaitu: a. Harta warisan dibagi sama rata dalam pengertian bahwa setiap ahli waris memperoleh bagiannya masing-masing. Pengertian sama rata tidak berarti sama jumlahnya sebagaimana pengertian matematis. Pengertian sama rata dalam konsep yang sedang dibahas adalah
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat....
b.
c.
d.
setiap ahli waris memperoleh bagiannya masing-masing, sedangkan besar atau kecilnya tidak menjadi persoalan. Sebab dalam pembagian itu bukanlah jumlah atau besarnya yang dapat dihitung secara matematis, melainkan sesuai dengan azas kepatutan berdasarkan musyawarah mufakat. Jika seorang anak mendapat sebidang tanah yang secara matematis lebih sempit tetapi terletak pada lokasi yang strategis, maka hal itu berarti sama dengan seorang anak dengan luas tanah yang lebih lebar tetapi pada letak yang kurang strategis; Jika seorang anak mendapat sebidang tanah yang lebih sempit daripada saudaranya yang lain dengan letak yang sama-sama kurang strategis, maka anak yang bagiannya lebih sedikit/kecil itu akan ditambah dengan tegalan, pekarangan, atau pohon ataun hewan ternak sehingga bagian masing-masning menjadi seimbang; Jika ada sisa tanah, maka tanah ini dikerjakan oleh orang tua untuk bekal hidup mereka. Tanah sisa ini kelak orang tua ini meninggal dapat dilakukan pembagian lagi dengan model sebagai berikut: 1) jika tanah itu tidak cukup untuk dibagi, maka tanah itu dapat dikelola bersama-sama, 2) dijual dan hasilnya dibagi sama rata, 3) dikerjakan secara bergantian, 4) diserahkan kepada salah satu ahli waris atau orang lain yang merawat orang tua mereka sejak sakit hingga meninggal dunia. Tanah yang demikian disebut tirka mayit.
Selain hibah yaitu pemberian semasa pewaris masih hidup, juga dilakukan sesudah si pewaris sudah meninggal dunia yang disebut titip omong atau hibah wasiyat. Hokum adat boleh meletakkan dasar tentang ketentuan-ketentuan tentang pembentukan harta perkawinan serta pola pembagiannya. Akan tetapi semuanya terpulang pada: a) hasil musyawarah mufakat, b) pola kepemimpinan suami sebagai kepala keluarga, c) sifat adaptif – aktif yaitu sifat/sikap keterbukaan masyarakat Kemiren terhadap budaya luar/asing artinya
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
seberapa besar pengaruh hokum agama atau hokum Negara terhadap pola piker keluarga tersebut terutama pengaruhnya terhadap ayah. Menurut para informan di Desa Kemiren dalam sebuah gesah (diskusi), baik penganut Normatif , Mistikus, maupun Nominal mengatakan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran dari hokum adat yang lama ke yang baru. Contoh pada masa lalu, harta gono gini dibagi menurut rumusan sak pikul sa gendong atau sasuhun sarembat (2:1) yaitu laki-laki dua bagian dan prempuan satu bagian karena pengaruh Hukum Islam. Sekarang pembagian seperti itu pada masyarakat Osing di desa Kemiren merupakan perbuatan yang tidak adil bagi kaum perempuan. Oleh karena itu pembagian harta gono gini antara laki-laki dan perempuan sama rata atau 1 : 1. Pergeseran ini menurut mereka dipengaruhi oleh hokum Negara baik yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bagi Kaum Normatif hal ini dipengaruhi oleh pergeseran dalam Hukum Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Bagi kaum muda, pergeseran ini seiring dengan kemunculan issue HAM dan gender. Secara umum penyebab pergeseran atau perubahan, menurut hasil gesah itu, adalah: a. Berkembangnya issue HAM b. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (issue gender), c. Campur tangan Negara melalui hokum Negara. Ketiga hal ini sejalan dengan pandangan pak Timbul seorang tokoh agama desa ini sekaligus penganut Normatif. Dari pandangan ini terlihat bahwa baik penganut Normatif, Mistikus, dan Nominal telah mengalami pergeseran. Terutama para penganut baik Normatif maupun Mistikus tahap demi tahap telah pula saling memahami dan menerima terhadap pandangan satu sama lain. Pergeseran ini secara umum memang merupakan cara berpikir orang Kemiren yang selalu terbuka terhadap budaya luar jika hal itu memberi pengaruh baik dan berguna. E.
Simpulan Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Van Vollenhoven atau Von Savigny. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat.... 39
tidak harus bersumber dari hokum adat saja tetapi juga berasal dari hukum Negara baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dari putusan hakim. Masyarakat Kemiren juga dapat menerima hokum asing lainnya seperti hukum agama khususnya Hukum Islam, karena masyarakat Kemiren beragama Islam yang taat. Hukum yang hidup bekerja sesuai dengan nilainilai sosio-kultural yang menjadi konteks sosial budaya dimana hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Hukum yang demikian lahir dari kebutuhan hukum yang nyata dari masyarakat. Berdasarkan kebutuhan hukum itu masyarakat mengkonstruksi norma-norma hukumnya sebagai panduan anggota masyarakat untuk berperilaku. Masyarakat Kemiren, sebagai bagian dari masyakarat Indonesia dapat menerima hukum dari luar baik hukum agama maupun hukum negara melalui proses adaptif-aktif. Adaptif-aktif artinya proses adaptasi diterima secara sadar, tahu dan mau. Penerimaan hukum asing oleh masyarakat Kemiren ini melalui proses adaptif-aktif melalui dua cara yaitu reinstitusionalisasi dan rekonstruksi atau reproduksi hukum.
Reinstitusionalisasi hukum adalah penerimaan hukum asing ke dalam hukum adat Osing melalui pelembagaan ulang yaitu pemanfaatan lembaga negara seperti kepala desa sebagai lembaga pendamai konflik. Rekonstruksi hukum adalah pembentukan norma-norma hukum baru setelah terjadi penerimaan hukum asing ke dalam hukum adat. Hukum asing dimasukkan ke dalam hukum adat dengan cara pembentukan norma hukum baru. Pembentukan norma hukum baru dapat melalui penggunaan nama asing untuk norma hukum asli, atau penambahan unsur asing ke dalam norma hukum asli. F.
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan agar penelitian hukum adat terus dilakukan pada masyarakat adat di Indonesia untuk mencari dan menemukan dinamika hukum adat dalam upaya mereka menyesuaikan diri dengan modernisasi sosial yang sedang berjalan.
Daftar Pustaka Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa. Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: RajaGrafindo Press. Clifford Geertz.1973. Interpretation of Cultures: Selected of Essays. New York: Basic Books. Clifford Geertz.1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Clifford Geertz 1983. Local Knowledge: Further Essays in Interpretatif Anthropology. New York: Basic Books. Clifford Geertz.Geertz. After The Fact: Two Countres, Four Decades, One Anthropologist. Dalam Landung Simatupang (penerjemah) After The Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropologi. Yogyakarta : LkiS. C. Van Vollenhoven.1925. Het Adatrecht van Nederlandsch Indie. Jilid I. Leiden. Dominikus Rato. 2009. Hukum dalam Pikiran Osing. Yogyarakta: Laksbang. Dominikus Rato. 2009a. Hukum dalam Perspektif Konstruksi Sosial: Kasus Ngada. Jogyakarta: Laksbang. FD Holleman.1935. De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven, inaugurele rede. Leiden: JB. Wolters. JHA Logemann.1954. Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht. Jakarta: Saksama. Musanif Effendi. 1979. Berita Alam Gaib. Sebelum dan Sesudah Hari Kemudian. Surabaya: M.A. Jaya. Paul Suparno.1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Robert Wessing. 1978. The mind and Social Behavior in a West Javanesse Settlement. Ohoi University Center for International Studies, South-East Asia Series, No. 47. Athens Ohoi: Centre for Southeast Asian Studies. R. Soepomo, 1962. Bab-bab tentang Hukum Adat.Cetakan III. Surabaya: Penerbitan Universitas. Soeripto. 1973. Beberapa Bab tentang Hukum Adat Waris Bali. Jember: Fakultas Hukum – UNEJ. Ter Haar.1939. Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. Jakarta: Pradnjaparamita. 40 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Hukum Waris Adat di Kalangan Masyarakat....