HUKUM ADAT DI TULUNGAGUNG
o 1e h F .D . H O L L E M A N
KAAN^
' —
IM O.l.
5-982
B H R A T A R A
6 DEC J995
y. 4.4
?•««# M'58-£>e’
HUKUM
A D A T D( T U L U N G A G U N G
'3 -fO H& C A .
/ o/ v
\
]/^
FA&. HUH
HUKUM ADAT DI TULUNGAGUNG
oleh F.D . H O L L E M A N
D IT E R JE M A H K A N D E N G A N P E N G A W A S A N D E W A N R E D A K S I
ftlPOSTAKAAN FAS. » ,
---------------- —
5
61 |
ai)Kl5» . . ................ -
—~ r
* ffc. s t i l l * D EN GAN K ATA PEN G A N TA R
oleh P R O F . DR. M O H . K O E S N O E S .H .
BHRATARA
—
1972
Jl. Oto Iskandardiauata 111/29
—
JAKARTA
Telp. 81858
HakcJpta 1972 pada Penerbit Bhratara, Jakarta.
KATA PEN GA N TA R Sebelum perang dunia ke II di antara para penulis .terkemuka dalam bidang Hukum Adat nama Holleman di Indonesia mengambil tempat yang tersendiri di samping T e r Haar. Hal itu dibawa oleh karena metode pendekatan terhadap Hukum Adat yang berlainan dari T e r Haar sehingga juga hasil-hasilnya di sana^sini menunjukkan pula perbedaan-perbedaannya. Bilamana T e r Haar mendekati di dalam studinya mengenai Hu kum Adat terutama dari segi keputusan-keputusan, maka H olle man dengan tidak mengenyampingkan arti keputusan meletakkan perhatiannya kepada cara pendekatan dengan trempergunakan penyelaman .terhadap kehidupan di dalam lingkungan di mana Hukum Adat itu berlaku dan menjadi kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan T e r Haar, Holleman menunjukkan haihal yang oleh T e r Haar tidak dapat dicapai. Hal-hal yang lebui terletak di dalam faktor susila dari Hukum Adat dengan pende katan dari Holleman itu lebih dapat difahami. Perbedaan pendapat antara Holleman dan T e r Haar mengenai cara pendekatan terhadap Hukum Adat -tersebut dinyatakan de ngan .terang di dalam tulisan-tulisan Holleman yang merupakan polemik terhadap pandangan T e r Haar yang dikemukakan di da lam pidatonya di Jakarta dalam tahun tigapuluhan, di mana Loge■nann mencoba menengahinya. *) *)
Periksalah terlebih dulu pidato T e r H aar ” H ct AdatprivaZtrccfat van Ned. Indie in wctcnschap, praktijk en ondenvijs" (Hukum adat perdata Hindia Belanda dalam ilmu pengetahuan, praktek dan pendidikan) 1937 ; kemudian periksalah Holleman dengan tulisannya yang berjudul sama dengan tulisan T e r H aar di atas sebagai pembicaraan atas pidato T e r H aar itu (termuat di dalam T . 147, him. 428 sjd 4 4 0 ). Kemudian periksa pula tulisan Logcmann yang menengahi polemik tersebut dalam tulisannya : "Om dc taak van den rechter " (Mengenai tugas hakim), dalam T l 148, him. 27 s'd 36. T erh ad ap tulisan Logemann tersebut Holleman memberikan suatu jawaban yang terlampir pula pada bagian akhir, dari tulisan Logemann tersebut.
Karya Holleman yang kini diterjemahkan ini adalah suatu hasil dari cara pendekatan yang diiku.tinya dengan mendasarkan paoa bahan-bahan yang diambil dari pengalaman pcakteknya yang bertahun-tahun selaku hakim pada pengadilan n^geri di Tului\gagung, ditambah dengan penyelaman Hukum Adat melalui pergaulan dalam kehidupan di desa-desa. Dalam bab niengenai soal-soal Hukum tercermln bahwa penuIisnya sangat menaruh perhatian yang besar kepada hal-hal yang letaknya di dalam asas-asas ketentuan Hukum Adat. Suatu masalah yang pada masa itu kurang banyak dilakukan oleh para sarjana hukum yang berkecimpung dalam studi Hukum Adat. Mengenai kupasannya mengenai lembaga-lembaga Hukum T a naji, ^uga menunjukkan bahwa apa yang disajikan terletak di da lam bidang yang lebih detail dan mendalam. Sampai pada waktu ini, kalangan peminat Hukum Adat kita le bih banyak mengenai dan mengetahui karya T e r Haar dari pada per\ulis ini. Diterbitkannya karya penulis ini dalam bahasa Indonesia akan memberikan tambahan pemandangan yang lebih luas yang akan dapat bersifa.t melengkapi kepada mereka yang berkecimpung di dalam studi maupun praktek Hukum Adat. Surabaya,
6
Mei 1972
Moh. Koesnoe
H U K U M -A D A T DI T U L U N G A G U N G * ) oleh : F.D . H O L L E M A N Rukun. Sebelum beralih kepada pengulasan perihal soal-soal mengena; hukum ajdat, yang terutama adalah pusat perhatian saya, maka harus saya bcrhenti sejenak untuk menyinggung suatu gejala yang khas dalam masyarakat pribumi yang sampai batas .tertentu menguasai kehidupan hukum dan oleh karenanya pen.ing sekali bagi pengertian yang tepat tentang lembaga-lembaga hukum, yang kernudian akan dibicarakan. Setiap kali, baik di ruang pengadilan, maupun di 'desa, jikalau saya sepintas lalu ataupun dengan sengaja menyelidiki hukum adat dari penduduk, yang menarik perhatian saya ialah, bahwa orang pribumi dalam menghadapi pertentangan kepentir.gan, berusaha sedapat-dapatnya untuk mencapai perdamaian dan bahwa lebih dipentingkannya melihat sua.tu soal terpecahkan, dari pada diputus. Lebih besar dari pada yang kita kenal, di masyarakat pribumi ada kecenderungan untuk menolong tetangganya, untuk mengKindari perselisihan dengan sesama manusia, tidak memberi alas?;n dirinya menjadi buah-tutur orang dan untuk menghormat mo ral yang berlaku umum. Apabila, karena kepent;ngan yang berlawanan, suatu pertikaian mengancam di depan mata, maka de ngan segala daya-upaya orang akan mencoba untuk mencegahnya. Jikalau ternyata, bahwa pertikaian ini tak lagi dapat dielakkan, maka fihak-fihak yang berkepentingan dengan musyawarah bersedia dengan senang hati untuk menerima suntu pemecahan *)
Judul asli karangan ini ialah : ” Hef adatrccht van de Afdccling Tvclocngagocng (g e w c £ K cdin) : Een onvoltooidc stucbe", Archipel drukkerij en Bockhandel, Buitenzorg, 1927. Terjem ahan ini hanya meliputi bab II dan III dari pada tulisan yang terbit kemudian dalam Inciisch Tijdschrtft v.h. Recht.
yang pantas, dan apabila suatu pemecahan yang patut tidak mudah dicapai, maka orang akan membantu agar terdapat perdamaiLn antara mereka sendiri, baik dengan mendesak kepada salah satu fihak untuk mengalah, maupun agar kedua belah fihak memberi korban, dengan maksud untuk menghindari sengketa yang terbuka. Apabila namun ini sengketa terbuka terjadi juga, ataupun terjadinya secara tiba-tiba karena keadaan, orang masih tetap terbu ka bagi tuntutan-tuntutan yang patut dari fihak yang lain atau untuk suatu perdamaian baik atas usaha antara mereka sendiri, maupun dengan bantuan seorang yang paling cocok untuk mengurus hal-hal seperti ini, yakni "kepala desa”, ’’lurah”, kadang-kadang "bekel”. Pada umumnya orang menyesuaikan diri kepada pemecahan yang didapat atau keputusan pantas yang diambil. Bukan maksud saya untuk menga.takan, bahwa semua syarair,yarat ini bagi suatu masyarakat yang ideal, di kalangan pribumi di mana-mana dan selalu dipenuhi, akan tetapi hanya untuk menunjukkan, bahwa dalam masyarakat pribumi ada kecenderungan besar yang menyolok mata untuk berpatuh kepada lembaga-lembaga adat itu dan bahwa tingkah laku dan perbua*an yang bertenlangan dengan ini, lebih keras dicela oleh pendapat umum dan ju ga lebih jarang terjadinya idari pada lazimnya di kalangan kita. Azas yarvg berlaku ini, yang menampakkan dirinya di masyara kat dalam pelbagai macam dan bentuk yang itak bcrakhir banyaknya dalam semua lembaga dan hubungan — juga dengan cara yang lain dari pada yang disebut di atas — dan yang seakan-akan ’’mewarnai” seluruh masyarakat, tidak dapat dicakup dalam satu rngkapan artau dalam satu istilah Jawa saja, akan tetapi oleh ka • rena, hal-hal itu lazimnya disebut orang "rukun” dengan maksud : "mengusahakan agar imendapat persepakatan”, atau "men’y elesaikan secara damai”, ’’mencapai persetujuan”, atau "mendapat pe • mecahan”, maka dalam uraian ini selanjutnya akan dipakai istilah ’’rukun” aitau "’azas-rukun”. ’’Rukun" daliam hukum utang piutang. Uraian perihal ini memerlukan beberapa contoh dan suatu penjelasan. Dalam hal ini cukuplah dengan beberapa contoh dari prakfek saja. Di desa, uang tunai s&ngat jarang d idap atny a1) dan --------------------\ 1)
Seringklali uang tunai begitu sukar didapat, sehingga menjelang waktu pe-
orarvg pribumi tidak begitu senang untuk meminjamkan uang tur.ainya yang sedikit itu, yang ;telah dikumpulkannya dengan jerih payah, kepada orang lain. Akan tetapi dalam masyarakat pribumi azas, bahwa seseorang harus menolong tetangganya berkuasa jauh lebih kuat dari pada yang masih dikenal pada kita dan "tulung rnenulung” ini yang pada kita lambat laun telah menjadi jasa berbalas jasa, dengan agak tersisip pengertian kemurahan hati dalam masyarakat pribumi ini — di daerah-daerah yang lebih jauh bersahaja lebih kuat dari pada di daerah-daerah yang lebih dekat de ngan jaringan lalu lintas — dirasakan sebagai kewajiban yang ti dak boleh dan tidak dapat diingkari oleh mereka yang termasuk lingkungan, yang tak tegas garis kelilingnya, dari orang-orang yang saling bergantung dalam hidup. Apabila seseorang memiliki lebih banyak uang dari pada yang aibutuhkannya pada suatu saat dan seorang tetangganya, yang kekurangan uang, datang meminjam, maka dia tidak boleh miktr mikirkan untuk menolaknya. Di sini bukanlah perikemanusiaan yang mendorongnya, akan tetapi keinsyafan, bahwa dalam kegiatan bersama dalam masyarakat yang tak terbilang banyaknya. dia dan tetangganya, yang satu bergantung pada yang lain, dan bahwa dia tak dapat mengingkari kewajibannya itu tanpa menghadapi kemungkinan sehingga esok lusa dia sendiri tak dapat pertolongan yang sangat dibutuhkannya. Dalam hal ini hendaklah jangan dilupakan, bahwa dalam masyarakat pribumi yang mumi, lak ada kebutuhan sedikit juapun untuk memiliki modal pribadi, bahwa menabung untuk hari tua-adalah sesuatu yang tidak dike nal, bahwa usaha setiap orang hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan keluarganya dari hari ke hari, maka dari sebab itu "mempunyai uang” biasanya berarti : memiliki lebih ba nyak dari pada yang dibutuhkan. Jadi, jikalau orang kepada siapa permintaan itu diajukan (A) mempunyai uang tevsedia, maka demungutan pajak, harus dibeli dengan hasil bumi dengan agio yang tinggi. ( — artinyte : hasil bumi harus dijual dengan harga yanq rendah). Pelbagai desa xli Trenggalek makanya mendesak kepada Bupati ag ar ker|a rodi yang dahulu sebaiknya dihidupkan kcrrtbali, oleh karena uang kepa'n sebagai gantinya, hampir tak dapat dikumpulkan. Memparbanyak uang receh atau memperbaiki peredarannya, di sini tidak berguna, sebabnya sederhana saja, yaitu karena di daerah ini hampir tak ada jual-beli hasil bumi.
ngan rela akan dipinjamkannya kepada tetangganya ( B ) . Dalam hal ini fihak-fihaJc yang bersangkutan misalnya dapa.t mengadakan kata sepakat bahwa B akan mengembalikan uang itu setelah tiga L*ulan2). Pada lazimnya — sebab di pedesaan kejajuran hati ada]ah besar sekali — B akan mengembalikan uang itu tepa.t pada tanggal yang telah dijanjikan atau beberapa hari kemudian, akan tetapi besar kemungkinannya bahwa B tidaJk sempnt mengumpulkan kembali jumlah i.tu, maka dalam hal ini dengan sendirinyi orang mencari persetujuan ("rukun” ) untuk memberikan kepada yang berutang suatu tenggang waktu yang baru. Mendesak segera melunasinya, menagih dengan mendasarkan k e b e n a rannya k e p a d a sudah lew atnya tenggang waktu yang .telah disetujui, mengancam atau menuduh lalai dalam menepati janji, semua itu (di mata khalayak ramai) menunjukkan akan ’’tidak adanya sopan santun” dan mudah mengakibatkan perkelahian, dan di Madura malah menuduh lalai dalam menepati janji seperti demikian itu, — lebih-lebih jikalau terjadinya di hadapan orang lain atau lebih-lebih lagi di desa orang lain — tidak bisa fidak mesti berakhir sebagai suatu ”soal kehormatan” ("E h ren sache” ) yang diselesaikan dengan senjata .terhunus. Ingat sajalah, betapa serirignya di sidang pengadilan orang dengar pembelaan terdakwa : bahwa salah seorang saksi dengan curang telah menyalahkan dia berdasarkan dahulu pernah terjadi perkelahian berhubung dengan suatu pinjaman uang, yang berutang (sekarang saksi) telah lalai mengembalikannya selewatnya tenggang waktu yang telah dijanjikan, mengenai hal apa dia mendapat teguran keras dari yang berpiutang (sekarang "terdakw a” ) untuk segera melunas/nya. O rang tid ak usah menghiraukan nilai pembelaan ini (in foro criminalis) yang setiap kali didengar dalam perkara pidana, akan tetapi sering-sering terjadinya pembelaan -iemikian itu — walaupun hanya sebagai alasan yang dicari-cari — adalah suati* petunjuk yang nyata sekali, bahwa teguran demikian menurut ra2)
Di daerah-dcicrah yang 'lebih bcrsahaja masih dianggap w ajar ^ kadangkadang ditentukannya dengan tcgas ■ — bahwa uang yany dipinjam akan d*kembalikan "secepatnya B dapat mengumpulkannya kembali” . Sclanjutnya yang menarik perhatian ialah bahwa orang pribumi jaranc] sekali atau tidak pernah berjanji, bahwa pinjarrnn akan dia kembalikan ’’sobelum” atau p at” pada waktu yang dijanjikan ; sclalu ’’setelah” lewat sekian waktu.
sa-keadilan orang pribumi yang kurang pantas.
biasanya
dianggap
sebagai
sesuatu
I
\J Apabila B. sehabis tenggang waktu yang diberikan kepadanya untuk kedua atau ketiga kalinya, masih saja belum dapat menunaikan janjinya, .terhadap yang berpiutang, dan fihak (yang memberi uang) ini tidak bersedia memberi penangguhan pembayaran yang baru tanpa syarat, maka sangat sering terjadi bahwa orang yang berutang janji ’’rukun" dengan orang yang berpiutang, bahwa, demi pembayaran yang tepat dari pinjaman uang itu, sebagai jamin an dia memberikan salah suatu benda, yang sama atau hampir sa~ :na harganya ("pengandel” atau "ngendelan” ) misalnya sepotong pakaian atau sebilah keris. Jikalau uang yang dipinjam jumlahnya lebih besar, sebagai jaminan juga diberikan sebidang tanah. sebuah rumah atau seekor ternak ; akan tetapi ini disebut "jonggolan” . "ajeran" atau "tanggungan” 3). Dalam hal i n i 4) barang-barang jaminan tetap berada di tangan fihak yang berutang dan biasanya disertai perjanjian yang .tegas : ’’kalau — andaikata — selewatnya tiga bulan saya belum mengembalikan pinjaman, anda ambil bar3ng itu (kok pek) r>). Apabila B sehabisnya tenggang waktu itu masm belum juga dapat membayar utangnya, maka ia atas permintaan A, .tidak akan alpa menyerahkan barang jaminan itu kepadanya. Akan tetapi jikalau segera pada saat diadakannya pinjaman uang, jaminan yang demikian itu sudah diadakan, maka sipenagih utang itu dalam sembilan dari sepuluh hal, meskipun ada syarat ”kok 3)
4)
5)
Jarang sekali orang menggunakan istilah "jonggolan” atau "a je ra n ” (kadang-kadang ’'tanggungan") pada pembcrian jaminan dari apa yang disebut benda bergerak. Scbaliknya pun rupa-rupany3, tidak lazim untuk memakai istilah "ngandelan” bagi pembcrian jaminan bencfa tak bergerak. Selain ini hukum 2 dat juga kenal penggadaian ("verp and ing” ) dari (yang disebut) barang-barang bergerak —- ataupun dari tanah, pekarangan, ruman tinggal dan ternak — dalair* hal man3 barang yang digadaikan ( ’’ cekelan” berlawanan "’gadekake" pada tanah dst.) diserahkan kepada penagihutang pemegang gadai ; akan tetapi ini adalah bcntukan hukum yang lain sekali. Juga ada suatu kebiasaan, terutama di distrik Ngunutr, bahwa yang memmjamkan uang menyaratkan, bahwa dia atau pun yang pinjam uang akan mcrtji/al barang jaminannya, apabila uang pinjaman tidak dikembalikan ( ” tak dol" atau "kok dbl” : artinya saya jual afau anda jual). Alcan tetapi syarat ini berakibat tiada lain dari pada ” kok pek”'.
pek” yang tegas itu, namun akan merasa berkewajiban "rukunan” lagi dengan memberi penangguhan baru kepada yang berutang, dan malah kalau jaminan itu baru disyaratkan sssudah penang guhan pembayaran berulang-kali, acapkali kejadian, bahwa syarat "kok pek” yang tegas itu "rukunan” namun digantikan lagi demi penangguhan yang baru. Dalam rangka pokok uraian ini, azas rukunan pun berulang-kah riipergunakan, apabila nilai barang jaminan melampaui besarnya jumlah uang yang dipinjam. ataupun jikalau utang sebagian sudah dilunasi, sebab memang tidak lazim, sekalipun dalam hal ada keiebihan nilai yang besar, untuk mengatur akibat-akibatnya dalam perjanjian, andaikata utang tidak dibayar atau hanya dibayar sebagian saja. Lebih lagi dari pada itu, oleh karena perjanjian ini diadakan dengan beriktikad baik, maka orang mengharapkan akaa dilaksanakan pun dengan beriktikad baik dan lagi dengan menyangka akan ada rukun mengenai akibatnya, apabila perjanjian tidak di.tepati seperti seharusnya atau tidak ditepati sama sekali. Seringkali hal ini ternyata dalam perkara dihadapan pengadilan dari pengakuan fihak-fihak yang bersangkutan dan keterangan Faksi-saksi, terutama mengenai perjanjian di m am tanah atau rumah dikai.tkan sebagai "jonggolan”. Jadi, meskipun sudah ada kata sepakat, dan malahan dalam akte, yang dibuat sebagai bukti, dituliskan, bahwa yang berpiutang mfengambil pekarangan atau rumah itu, apabila saya (yaitu : yang berutang) tidak mengemba' Hl<}an uang (pinjamian), namun ternyata sama seka-i tak ada maksud untuk menuntut perjanjian itu ditepati dengan tegas jikalau yang berutang ternyata lalai dengan tiada beriktikad buruk. Sebab, jikalau ada yang tanya — dengan lcasus yang diuraikan tadi di depan mata — : "akan tetapi, andaikata utang itu sudah diba yar sebagian, misalnya separoh dari utang, lalu apn yang terjadi?”. m aka ja w a b n y a tentu a k a n berbunyi : ”itu tergantung pada apa yang akan dimupakati oleh fihak-fihak yang bersangkutan (ru kun)” dan selanjutnya ternyata, bahwa yang berpiutang akan memberi penangguhan lagi ataupun, bahwa yang berutang menyerahkan kepada yang berpiutang separuh atau sebagian dari pada barang jaminannya, bahwa yang berpiutang akan menambah sampai seharga tanahnya, lalu mengambil alih tanah ini (setelah diadakan transaksi baru di hadapan kepala desa), ataupun bahwa
yang berpiutang maupun yang berutang akan men;jpal barang yan *3 digadaikan itu untuk melunasi utang dengan hasil penjualannya dan mempertaqggung jawabkan sisanya (kalau ada) kepada perailik .tanah. Demikian pula akan terjadi penyelesaian yang sama, apabita sebagian dari pada utang sama sekali belum dib 3 yar Cem bali dan yang penagih utang tidak boleh atau tidak berani menyangka ada iktikad buruk dalam mentaa.ti perjanjian. Apabila inemang ada iktikad buruk sudah pasti akan diambil tindakant'ndakan keras (terhadap fihak yang bersalah). Sekiranya orang mengatakan kepada yang berpiutang : ’’.tetapi bukankah anda su~ dah memperoleh kata sepakat bahwa anda akan '’ambil” barang yang digadaikan itu apabila fihak lain itu tidak menetapi "janji *. lalu jawabnya dengan tenang-tenang saja : ”ya, meraang benar begitu, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan ; pokoknya ialah agar uang saya kembali dan karena. azas tulung-tinulunglah yang harus diutamakan, maka dengan sendirinya orang tidak dapat berbuat lain”. Dari semua contoh ini ta-mpak jelas sekali adanya kesabaran (toleransi) yang satu terhadap yang lain, adanya usaha menghindari perselisihan dengan berbijaksana memberi dan mengambil, adanya rasa segan melukai perasaan orang lain dengan harus memperhitungkan terjadinya cidra janji ( wanprestatie) akibat-akibatnya serta pengaturan-pengaturan, adanya kecenderungan untuk bersikap menunggu benarkah segala sesuatu akan inemburuk sampai sejauh yang diperkirakan itu dan adanya terasa kewajiban un tuk melepaskan hak yang dimiliki ataupun untuk menunda ataa melunakkan pelaksanaannya, apabila hal ini .tidak betul-betul perlu, lagi pula menyakiti hati fihak lawannya. Terhadap keluwesan yang tidak dapat disangkal dalam praktek hukum adat, seperti ternyata dari contoh-contoh yang diberikan tadi, niscaya dapat diajukan keberatan, bahwa tidak adanya pembedaan-pembedaan dan batas-batas yang tajam dan jelas itu mei.'imbulkan kesukaran bagi hakim dalam melaksanakan hukum ini, akan tetapi bukan perihal itulah yang kini dipersoalkan. Di sini soalnya ialah mengenali suatu azas dalam kehidupan hukum orang pribumi yang merupakan ciri khas dari kehidupan hukum itu da lam tarafnya pada dewasa ini, suatu azas yang hidup dan dalam hal yang tak terbilang banyaknya justru sebagai norma hukum
masih menguasai dan mengatur pendapat-pendap-^.t umum di dalam masyarakat. "Rukun:” dalam hukum kekeluargiaan dan hukum waris. Setelah beberapa contoh tentang "rukun” ini, yang diambil dari hukum utang piutang, bolehlah sekarang diberikan beberapa con toh lagi yang diambil dari hukum kekeluargaan dan hukum wa ris. Di bagian atas sudah dikatakan, jikalau seorang ayah meninggal dunia dengan meninggalkan istri dan anak-atiak, istrinya ticiak mewarisi ; harta benda yang dibawa sang suami pada waktu la kawin ataupun harta peningg alan yang diwarisinya selama peckawinannya itu, semua jatuh ke tangan ahliwaris-ahliwarisnya, yaikni anak-anaknya dan isterinya, menurut hukiijn, .tidak dapat apa-apa. Peraturan hukum ini masih tetap berlaku pada umumnya, meskipun keputusan-keputusan pengadilan agama setiap kali mem berikan sebagian dari harta waris kepada sang isteri. Apabila — dalam hal yang jarang sekali terjadi. bahwa sudah diadakan pembagian harta benda pada waktu sang janda masih hidup — anak-anaknya setelah dewasa, minta bagian masing-masing dari harta peninggalan ayahnya maka ibu dan anak-anak menyetujui "rukunan”, yaitu jikalau yang disebut pertama tidak mau menumpang pada salah seorang anaknya ("n g en ger” ) maka sebagian dari harta waris akan diserahkan kepadanya, untuk dipakai selama hidupnya. Dengan cara ini maka peraturan Hukum vang keras itu menjadi diperlunak. Pada lazimnya sang ibulah yang mengurus ( ’’bakoni” ) harta waris anak-anak selama mereka belum dewasa, dan selama masa anak-anak belum dewasa ini ia berwenang dalam hal ada kepecluan yang mendesak untuk memindahkan hak atas warisan ini. Atas pertanyaan b e r a p a lama masa-belum-dewasa ini berlangsung — atau lebih tepat — bila anak-anak menjadi dewasa atau dianggap sudah bisa bekerja — di manapun dalam hukum adat tak dapat dijumpai jawab yang positip G) dan bia^anya, jawaban 6)
Semenjak itu, peft'anyaan bila, seorang anak Jaw a dianggap dew asa telaSi dijawab dengan positip dalam Lembaran N egara 1917 no 738, yang dalam hal ini telah menyatakan hukum bagi penduduk golongan E ro p a berlaku bagi golongan Pribumi dan bagi mereka yang dipersSmakan dengan golo ngan tersebi/t.
demikian juga tidak perlu, sebab dengan makin besarnya anak■jnak, dengan sendirinya makin banyak mereka ikut berbicara, dan apabila dari pada warisan yang belum dibagi-bagi itu ada sesuatu yang harus dijual, maka ibunya menjualnya secara dan se~ telah "rukunan” dengan anak-anaknya yang lebih besar. Apabila kemudian anak-anak sudah mencapai usia, mereka sudah dapat dianggap sanggup mengadakan sendiri urusan dengan fihak ketiga, maka sewajarnyalah kiranya kekuasaan sang ibu digantikan seluruhnya oleh kekuasaan anak-anaknya, yang sekarang sudah dapat memegang haknya sendiri. Ini hal yang seringkali, akan te tapi tidak selalu terjadi, oleh karena apabila wa-ntta itu masih be!um mau disisihkan dan apabila kasih sayang kepada ibu melarang anak-anak mengambil suatu tindakan di luar pengetahuannya, maka sang ibu tidaklah dilanggar, akan tetapi anak-anak itu, yang kini tak lagi memainkan peranan tambahan, akan .tetapi meme gang peranan utama, dengan "rukunan” dengan ibunya, akan berkuasa sepenuhnya atas tanahnya sendiri. Andaikata ia menentang suatu pemindahan hak yang direncanakan oleh anak-anaknya, ma ka kepala desa pun tidak akan memberikan idzinnya, betapapun ia yakin, bahwa barang-barang itu adalah milik anak-anak, bukan milik sang ibu. Dl atas sudah dikatakan bahwa selama janda masih hidup jarang sekali anak-anak berbagi harta-peninggalan ayahnya ; sebab lazimnya warisan itu tetap tinggal utuh sampai orang tuayang hi dup terlama meninggal dunia dan kemudian — kadang-kadang se-levatnya .tenggang waktu yang tertentu 7) — barulah ahliwaris mei gadakan pemisahan dan pembagian harta. Pada pembagian harta peninggalan itu, "rukun” adalah kebiasaan yang lazim diikut. Bersama-sama dan secara "rukunan” para ahliwaris — yaitu anakanak, kalau ada, kalau .tidak ada orang tua, atau kalau mereka meninggal dunia, saudara laki-laki dan perempuan pewaris — berbagai harta peninggalan itu. Boleh jadi disana sini, di samping azas hukum adat bahwa semua ahliwaris mempunyai hak yang sama. 7)
Patih TiJlungagung 'nvrmberifahukan bahwa di beberapa daerah biasa dibiarkan lewat suatu tenggang-waktu sebclum para ahliwaris mengadakan pembagian, dan konon di desa Pinggirsari (Kec'amatan Kaxangan, T rcn ggalek)
ahliwaris-ahliwarjis
merabiarkan lewat
Akan tetapi perih'al Ini bdu'iu cukup diselidiki.
tcnggang-w aktu 1000 hari. ______
mungkin di bawah pengaruh Agama Islam sudah menyusup aras hahwa anak laki-laki harus mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian, dan bisa sa-ja bahwa sebagai gejala setempat ada kebiasaan anak laki-laki dapat tanah-tanah usaha dan anak perempuan dapat pekarangan dan rumah .tinggal, pada umumnya dalam pembagian harta waris orang memperhatikan pula pelbagai faktor pribadi, seperti kekayaan tiap-tiap ahliwaris suka memilih apa mereka, jenis kelamin mereka d 3 n usia mereka, dengan rasa saling kasih-mengasihi dan demikianlah secara ”rukunan” terjadi suatu pembagian yang paling aneh dan yang ruparupanva tidak berimbangan, yang mana oleh kepala desa, di hadapan siapa pembagian itu dilaksanakan, akhir-akhirnya dibenarkan. Apabila antara ahliwaris-ahliwaris tidak tercapai kata sepakat, maka kepala desa dengan didampingi oleh beberapa pembantunya, lagi-lagi merupakan penjabat yang paling cocoJc Mntuk mengadakan penyelesaian secara damai dengan memperhatikan semua keadaan pribadi pelbagai ahliwaris itu dan keputusan pejabat ini lazimnya ditaati. Apabila orang masih belum mau menundukkan keputusan ini, maka bagi fihak yang tidak puas hanya terbuka jalan yang gelao ke pengadilan agama atau jalan ragu-ragfu ke pengadilan negerl. Dalam pada itu, pengalaman menunjukkan, bahwa jalan ke ruang hakim bukanlah ditempuh oleh orang-orang yang mempunyai alasan sesungguhnya untuk merasa keberatan terhadap keputusan kepala desa yang kurang adil, akan tetapi oleh moreka yang de~ ngan mendasarkan tuntutannya atas hukum Islam atau dengan berspekulasi atas pembelaan yang pintar busuk di hadapan hakim, bi asanya atas anjuran seorang pokrol bambu, mencoba mempsroleh lebih banyak dari pada seharusnya mereka terima menurut hukum dan rasa keadilan. Anak-anak angkat ( ’’pupon” ), setelah ayah angkatnya mening^ gal dunia, menurut hukum ada.t kecamatan Ngunut (Kabupaten Tulungagung) tidak mempunyai hak waris s ), akan tetapi biasanya. 8)
Bdgk. V an Vollenhovcn : "H e? A datrcchf van N ed ^ ln d iz ' him. 568, di mana dipertimbangkan supaya dalam tcori diadskan perbedaan yang t^gas a n tara adopsi (jadi, pengangkafen anak orang Jain sebagai anak kanduna) dan reengambil anak sebagai anak piara (anak kukupan), pcrbu af3n yarn; disebut belakangan ini kifenya tak akan menimbulkan akibat-akibat hukum,
berdasarkan suatu hibah, mereka menerima seperlunya pada vvaktu orang <-ua angkatnya masih hidup. Apabila hibah demikian tidak ada dan sesudah terjadinya adopsi, orang >tua angkat itu masih memperoleh anak kandung, atau di samping anak-anak cngkat ini muncul saudara-saudara laki-laki dan perempuan alm.'*rhum (setelah meninggalnya orang tua angkat, ahliwaris-ahliwaris yang berhak), maka anak angkat, menurut hukum, tak dapat menuntut bagian, r;aneun "rukunan” dari para ahliwaris yang dipanagil akan mene rima bagian yang seringkali .tidak kecil dari harta peninggalan. scdangkan anak angkat sama haknya dengan anak kandung, jikalau add pembagian lfarang-barang "gana gini” , akar. tetapi tidak mendapat bagian barang-barang "g aw an ” ayah ibu angHatnya (him. 5 3 9 ). Di daeran T ren ggalek (Dongka dan Pule) telah dikumpulkan bahan-bahan kcterangan. (Lihat A datrcchtbiindd X V II, him. 125, 129 dan 143 dan X I X him. 207. 211, 213 dan 2 1 6 ), yang sesungguhnya metnbedakan dengan tegas "an ak ang kat” dari "anak piara” . Akan tetapi di daerah Ngunut, walaupun ke mudian perihal ini diajukan pertanyaan yang jelas, perbedaan ini tampaknya tidak ada. Di sini bukan tempatnya untuk menguraikan secara panjang lebar pembedaan yang penting ini, melainkan hanya diberitahukan, bahwa di mana pembedaan ini berlaku : 1. Anak-anak dari saudara laki-laki atau perempuan ("k ep o n ak an "), jika lau diangkat, disebut ’’anak keponakan” dan sama sekali disamakan de ngan anak-kandung sendiri, yang justru harus mereka ganti. 2. Anak-anak onang lain yang bukan pamili — diangkat karena tak ada anak-anak yang disebut dalam kategori ke-1 — sebagai anak angkat dise* but ’’anak angkat” . 3. Anak-anak dari kedua kategori tersebut, jikalau diangkat anak sejak masih bayi, disebutnya "an ak pupon” . 4. ’’Anak keponakan” lazimnya memiliki hak waris sepenuhnya, juga ter hadap barang-barang "g aw an ” , malah juga jikalau kemudian lahip anak kandung ; akan tetapi, dalam hal yang belakangan ini, dengan mengingat asalnya anak itu, di beberapa tempat, hak waris sepenuhnya itu dikurangi. 5. "A nak angkat" tidak iremiliki hak-waris yang sewajarnya, akan tetapi biasanya menerima bagiannya sewaktu orang tua angkatnya masih hidup ; jikalau belum, setelah meninggalnya mereka itu, bolehlah dia menaruh har3pan yang kuat, lebih kuat lagi dari p^da di Ngunut, atas kemurahan hati para ahliw'aris yang dipanggil (berkumpul). H anya kategori yang terakhir inilah, seperti dapat disimpulkan dari satu dan lainnya yang terdapat di N gu n u t; bukan tidak mungkin, bahwa kemu dian dari kategori yang pertarm pu:i di Ngunut dan sekitarnya akan muncul beberapa contoh.
’’Satisnane” atau sebagai "tanda k a s ih (a n )” maka anak angkat itu menerima bagian, yang orang tua angkatnya kiranya akan menetapkan baginya, sebelum mereka meninggal dunia. Yang juga agak aneh ialah penerapan ”azas rukunan” dalan: hal sang aya-h berpulang (meninggal dunia) dengan meninggalkan utang. Sama sekali sesuai dengan uraian singka.t di atas me ngenai hubungan antara sang janda dengan anak-anaknya dan hubungan mereka bersama terhadap warisan almarhum, di sini pun terdapat anggapan bahwa dari jandanyalah — yang seakanakan mengurus dan berkuasa atas harta waris itu — diminta melunasi utang-utang almarhum. Istilah "minta" di sini harus dibaca dalam arti ilmu bahasa semata-mata, sebab dalam hal ini sekalikali tidak ada dilakukan tindakan-tindakan hukum untuk menuntut. Apabila anak-anak yang ditinggalkan sudah dewasa. maka dari janda dan anak-anak i.tu bersamalah diminta pembayaran. Mengenai pertanyaan, apakah sanak saudara yang ditinggalkan bertanggung jawab atas utang-utang itu, penting sekali apakah mereka tahu a.tau tidak tahu akan adanya utang-urang ini. Dalam hal ini tentunya semua bergantung pada iktikad baik ; jikalau jawabannya berupa "sangkalan” pada azasnya bagi mereka tidak ada keharusan, .jikalau berupa ’’pembenaran”, ada keharusan untuk melunasi utang-utang i.tu. Betapapun menarik bagi sanak saudara yang ditinggalkan almarhum untuk membohong buat menghindan keharusan membayar utang itu, namun saya belum pernah dengar bahwa ketidak jujuran yang demikian pernah menjadi alasan akcin menimbulkan suatu perselisihan. Ini tentu saja bisa terjadi, akan tetapi tidak mungkin sering. Sebab bukan saja kebohonga" yang begitu nyata dan Jelas akan menjadikan yang bersangkutan bulanbulan kecaman yang tajam dari fihak masyarakat dengan segala akibat-akibatnya yang jauh dari lunak, akan tetapi perasaan segan untuk menodai ingatan kepada seorang debitur yang jujur dan .^ekhawatiran un.tuk ’’mempergelap jalan ditempuh almarhum” mungkin lebih-lebih lagi menahan sanak saudara yang ditinggal kan almarhum untuk melarikan diri kepada cara yang tidak jujur itu. Apabila sudah pasti, bahwa almarhum telah meninggalkan utangutang, maka .timbul persoalan berapa dari utang-utang iiu akan c-ibayar oleh keluarga yang ditinggalkan. Apabila utangnya tidak
seberapa, lain dilunasinya seluruhnya ; apabila iumlahnya agak besar, maka terjadilah soal "rukun” antara penuntut utang dengan para ahliwaris dan seringkali mereka in: masing-masing melunasi (sebagian) utang itu. Apakah keuntungan yang diperoleh dari warisan itu seimbang dengan jumlah utang tidak menjadi soal. sebab aktivanyapun tidak diperhitungkan. Secara ’’rukunan” orang menetapkan suatu jumlah yang berada dalam kemampuan ahliwaris. jadi meskipun dari u.tang-utang yang besar jumlahnya, berdasarkan "rukunan” seringkali hanya sebagian saja yang dilunasi, nanun sama sekali tidak selalu demikian. Sangat sering terjadi, bah wa sanak saudara yang ditinggalkan almarhum menghendaki un tuk melunasi semua utang almarhum, dan apabila ha-rta peninggalannya tidak mencukupi untuk i.tu, merekapun merasa mempunyai kewajiban moril untuk kemudian melunasi kekurangannya y). Jadi, sama' seperti pada contoh-contoh di atas, yang diambil da ri hukum utang piutang, juga dalam hukum keluarga dan hukum waris ternyota kecenderungan yang sama untuk menghormati mo ral yang (berlaku) umum, untuk jangan mau menegakkan hak sendiri secara paksa, apabila itu kiranya dapat mengakibatkan pergeseran dan pertengkaran, dan lebih suka berkurban sekadarnya, pun juga walau tuntutan sendiri dirugikan karenanva dan };ersedia menerima dengan rela suatu keputusan yang patut. ’’Rukun” dalam perbuatan tindak dursila. Akhirnya sebuah contoh lagi mengenai "rukun” dalam menyclesaikan akibat dari perbuatan tindak dursila. Apabila kerbau da9)
Dalam publikasi yang asli dari karangan ini, dalam sebuah cat^tan uiutarakan dugaan, bahwa kewajiban sanak-saudara almarhum untuk melunasi s-imua utang, dalam hukum-adat seir.ula mestinya acfelah pcraturan/kebiasaan dan bahwa baru belakangan terjadi perlunakan atas peraturan ini dengan mengadakan "rukun” . Penyelidikan-penyelidikan belakangan di kepulauan Maluku telah meyakinkan pula saya bahwa bagi lingkungan itu juga keluarga yang ditinggalkan almarhum merasa wajib untuk melunasi ufang almarhum seluruhnya, tanpa mronghi^aukan apakah aktiva warisan itu men cukupi atau tidak. Bagian kedua dari dalil ini — yaitu bahwa perlunakan dari pada peraturan ini terjadinya pada waktu belfkonffan — kini menurut hemat saya kurang bertar. Sebab ri^oa-rupanya tidak seberapa alasan un tuk tidak berfvendapat, bahwa penerapan yang fleksibel dari peraturan ini sama tuanya dengan kaedah itu sendiri.
ri A menginjak-injak dan memakan sebagian tanaman padi yang masih muda dari B, maka B tidaklah dengan marah-marah akan datang kepada A untuk minta ganti kerugian, akan tetapi ia akan mengunjunginya, mula-mula ngobrol-ngobrol tentang ini itu dan secara sepintas lalu menyinggung tentang kecelakaan yang terjadi. Lalu dengan tenang mereka akan menetapkan besarnyr. kerusakan dan seakan-akan dengan sendirinya mencapai kata sepakat, bahwa pada waktu panen nanti B. akan menerima padi dari A sebesar panen yang akan diperolehnya andaikata sawahnyn tidak diinjak-injak dan dirusakkan. Jadi, seperti telah diuraikan di atas. senantiasa ada usaha agar ke-tidak-senangan dapat dihindan. bukanlah ”menuntut’\ akan tetapi "memberi dan mengambil” dan yang paling diutamakan ialah : jangan mendorong (secara paksa) untuk m e n d a p a t keputusan mengenai suatu perselisihan, akan te tapi mencari pemecahannya. ”Azas-rukun’' bukan lembaga hukum yang berdiri sendiri. Apabila dari sebab bertumpuknya contoh-contoh yang harus . u e n y a t a k a n adanya ’’azas rukun” itu, dan karena lukisan dari azas itu dengan sendirinya — seolah-olah azas ini ada dalam wujud vang d e m i k i a n murninya — orang mungkin mendapat kesan, bahwa di sini kita berurusan dengan suatu l e m b a g a hukum adat, yang sesungguhnya disadari Orang Pribumi dan yang dalam masyarakat setiap hari dengan sadarnya diterapkan dalam bentuk-bentuk yanc, b e r a n e k a - r a g a m , maka kesan ini harus mendapat koreksi. Orang boleh menerima dengan percaya, bahwa tidak ada lem baga hukum satu juapun — dan inipun juga tidak — yang dalam masyarakat Pribumi diterapkan secara sadar, atau yang malah a d a secara s^dar. Mengenali bentukan-bentukan (hukum) yang terientu dan pasti di antara sekian banyaknya peraturan-peraturan yang biasa orang patuhi dalam pergaulan dengan sesama manu • sia dan penerapannya secara sadar kiranya merupakan bukti akan adanya suatu perkembangan hukum ilmiah, yang sebaliknya memang masih asing di dalam masyarakat Pribumi. Tanpa belum lagi menganggap bahwa misalnya di Eropa-Bairat ilmu pengetahuan hukum sudah menjadi milik khalayak ramai atau bahwa se tiap orang sampai batas-batas tertentu adalah seorang ahli-liukum. namun bolehlah orang menerima dengan percaya, bahwa di sa-ia
boleh dikatakan setiap orang, jikalau berbicara tentang ’’hukumwaris", ”jual-beli” atau "perjanjian pak" mengetahui bahwa halhal ini adalah pengertian-pengertian hukum yang tetap dan dimniuskan dengan tegas sekali, yang kepadanya dapat digolongkan hal-hal tertentu dan bahwa pengertinn-pengertian ini teriambat pada (serang.kaian) peraturan yang masing-masing dari padanya pada gilirannya dapat diterapkan seperlunya satu demi satu. D a lam masyarakat Pribumi lain keadaannya. Benar di situpun dalam pergaulan antara manusia terjadi peraturan-peraturan mengenai hal-hal yang tertentu, yang, pula dipandang dari sudut yuridis, dapat disusun dalam kelompok-kelompok yang pasti, akan tetapi penyusunan secara yuridis dan kategoris ini hanya dapat dikenali oleh mereka yang mempelajari materi itu secara ilmiah dan bukanlah oleh rakyat sendiri. Bagi rakyat jelata lembaga-lembaga hu kum ini belum lagi tampak, seakan-akan dalam wujud yang sejelas-jelasnya tersusun yang sa.tu di samping yang lain dan yang sa tu lagi bertentangan dengan yang lain. Pengelompokan di bidang hukum-adat. Benar sekali bahwa, secara .tak sadar, pelbagai peratur an hukum yang ada dalam masyarakat Pribumi itu mengatur dirinya sendiri dalam pelbagai kategori, akan te tapi dalam kesadaran hukum (mereka) pengaturan yang demikian itu masih belum tampak, oleh karena itu tidak dapat diutarakannya. Peraturan-peraturan tetap yang terjaoi dalam pergaulan masih disebut ’’kebiasaan" atau "adat istiadat” i/’adat”, ’’Iumrah” atau ’’biasa"), masih tanpa yang mengatur dirinya sendiri secara tidak sadar dan .tanpa dipahami dalam kategori-kategori yang tetap, yang hubungan-hubun 3 annya menurut kesadaran hukum orang Pribumi tidak dapat dipisah-pisahkan dan struktur masyarakat yang ada dan adalah sesuatu yang wajar. akan tetapi suatu pengertian objektip tentang ’’hukum” belumlah lahir dalam alam pikiran orang desa. Di sini .tidak akan saya coba mengadakan pembagian hukumc'idat itu yang demikian dalam pelbagai kategori ; untuk itu kepa da pembaca yang berminat harus saya tunjukkan percobaan rancangan yang menarik perhatian ialah ”Een Adatwetboekje voor heel Indie” (Suatu kitab hukum Adat untuk seluruh Hindia-Be-
landa) karangan Mr. C. V an Vollenhoven (1910) dan karangankarangan lainnya itentang perihal ini dairi ahli yang terpanaai ini. Berdasarkan pengalaman sendiri telah ternyata kepada says bahv/a hukum-kekeluargaan (serta hukum waris), hukum .tanah dengan segala sesuatu yang berpautan dengan itu, antaranya termasuk kontrak-kontrak tanah, dan hukum utang piutang adalah tiga keJompok yang paling menarik perhatian. Sebuah contoh yang baik, — lagi menggambarkan bahwa k^tegori-kategori seperti itu ada terasa-rasa oleh orang Pribumi — saya ambil dari .perca-kapan saya dengan kamitua desa Gamping (distrik Karangan, Tren g ga!ck). Bercakap-cakap tentang hukum tanah, saya menanyakan pe rihal pelbagai kontrak'tanah, dan mengenai hal-hal ini saya diberinya keterangan yang agak lengkap. Akan tetapi saya ingin tahu. apakah di desa' Gamping dikenal ’’jonggolan” (.jaminan) tanah, di samping penggadaian tanah ( ’’gadekake") yang sudah disebutnya terlebih dahulu (kepada saya). T a k ada satupun pertanyaan yang tidak langsung yang saya ajukan kepadanya berhasil memperingatkan kamitua itu kepada hal yang ingin saya ketahui itu, sampai akhirnya saya sendiri pakai istilah "jonggolan”. Dengan rasa lega dada dan dengan nada yang kurang lebih berarti : ” 0 ! coba kalau dibilang dari tadi”, dia menjawab : "menika perkawis sambutan, sanes perkawis siti” (itu adalah soal hutang, bukan soal tanah). Jikalau dari hal itersebut sudah dapat ditarik kesimpulan, bah wa hukum adat itu bagi Orang Pribumi terbagi atas kategori-kategori pokok yang lain sekali dari pada yang kita kenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pun juga jikalau kita tinjau bagian-bagian dari suatu kategori pokok yang sama, ternyata bah w a menurut kesa d a ra n hukum Orang Pribumi, pembedaan ba gian-bagian itu — yang bertautan pula dengan keadaan-keadaan masyarakatnya sendiri — jadinya lain sekali dari pada yang mungkm diduga-duga oleh seorang ahli hukum (barat) yang keahliannya berdasarkan kitab undang-undang. Sebagai contoh di sini sa ya ambil pembedaan lebih lanjut dari "kontrak-kontrak tan ah ” — yang termasuk kategori pokok "hukum tanah” — yang setiap kali menarik perhatian lagi. Apabila seorang Pribumi kekurangan uang dan ia memiliki sebidang tanah, tanah itu — menurut terminologi kita — dapat ia menjual, menggadaikan atau menyewakan. (mem-
pakkan). Menurut hukum adat, .transaksi ini pada pokoknya membawa akibat-akibat hukum yan/g berikut : jikalau tanah i.tu ia (jual* maka ia terima sejumlah uang dan tanah itu ia serahkan kepada pembeli untuk selama-lamanya ; jikalau ia menggadaikan tanahnya, maka setelah menerima uang-gadai, tanah itu diserahkannya kepada fihak yang memegang gadai, baik untuk jangka waktu yang tertentu — yang mana, jikalau fihak yang menggadaikan lalai menepati janji-, dapat diperpanjjang sampai waktu yang tak ter tentu — maupun untuk jangka waktu yang tak .tertentu, dan jika lau dia sewak'an .tanahnya, maka setelah menerima uang sewa ia serahkan tanah itu kepada penyewa untuk jangka waktu yang ter tentu, yai.tu satu tahun, dua tahun atau lebih, kadang-kadang un tuk lima sampai sepuluh tahun. Dalam hal yang pertama ia tidak lagi berhak bilamana juapun untuk menuntut kembali tanah itu dengan memulangkan uang yang telah ia terima ; dalam hal kedua hak ini tetap ia pegang untuk jangka waktu tak tertentu, dan setiap waktu — c.q. setelah lewat jangka waktu yang ditentukan — ia dapat menuntu.tnya kembali, dengan mengembalikan uang ga dai, dan dalam hal yang terakhir, tanpa harus membayar lagi akan tetapi sesudah jangka waktu yang ditentukan, diapun dapat minta kembali tanahnya itu. Menurut hukum kita (bangsa Barat) ketiga kontrak itu termasuk tiga lembaga-hukum yang bcrlainan, yang masing-masing h e r oin sendiri, akan tetapi menurut kesadaran hukum Orang Pribu mi, kontrak-kontrak tersebut hanyalah tiga variasi dairi pada saiJu kelompok (walaupun Orang Pribumi sendiri masih belum menyadari benar akan identitas dari pada kelompok i.tu). Jalan pikiranry a adalah sebagai berikut: "Dengan menerima sejumlah uanglunai aku bisa menyerahkan tanahku atau untuk selama-lamanya. atau untuk jangka waktu yang itak tertentu atau untuk sekian ta hun yang .tertentu”, dan perbuatan hukum untuk mengalihkan ta nah ini ia sebut dengan kata nama jenis ''ngedol'" atau ”adoi”, dan berdasarkan ini ia membedakan : 1 ° "ngedol terus" ("bacu.t", ”selamine” ), 2° "ngedol gaderi” (biasanya "gadekake” ) dan 3° ”ngedol taunan” ( jarang-jarang atau tidak pernah disebut "nyewakake” ).
’’Rukirn” h&nya merupakan "modus vivendi" dalam kehidupan ma syarakat dan kehidupan hukum. Sementara itu saya agak menyimpang dari uraian saya, bahwa hendaknya jangan ada orang yang menyangka bahwa dalam hukum-adat dapat ditemukan (kembali) suatu lembaga — ’’rukunan” yang sadar sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Kiranya hal ini fekarang sudah jelas, jikaJau diingat, bahwa dalam alam pikiran Orang Pribumi pembedaan yang jelas mengenai pengertian-pengertian hukum masih belum bertumbuh, dan bahwa suatu kehidupan hukum secara sadar hampir-hampir tidak ada. Segala-gaJanya ma sih dipikirkannya sebagai sesuatu yang konkrit dan dalam hubu ngan yang nyata satu dengan yang lainnya, dan segala sesuatu masih hanya praktek belaka. Dari bentukan-bentukan adat-istiadat, yang buat sementara baru hanya bagi seorang sarjana hukum merupakan peristiwa-perisfiwa hukum dan peraturan-peraturan hukum untuk mereka (orang-orang Pribumi) belum terbentuk ”abstraksi-abstraksi”. Di mana dari sebab lembaga-lembaga hukum yang tetap masih belum ada, maka -tidak pula boleh diharapkan mereka akan dapat mengenali suatu ”azas~rukunan”, yang hanya merupakan suatu modus, suatu cara untuk orang Pribumi berbuat dan berpikir dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan hukumnya. Keuntungan dan kerugiannya. Pada satu fihak memang sudah pasti bahwa azas ’’rukun” ini memelihara suasana yang damai dan tenang di desa, tetapi dalam oada itu pada lain fihak timbullah pertanyaan tidaklah azas ini pun dalam segala keramahan dan ketenangannya, membuat orang perlahan-lahan menjadi tertidur, dan tidakkah kiranya, demi perkembangan hukum yang sehat, seharusnya diinginkan adanya le bih banyak pergeseran dan persaingan. Tidak dapat disangkal, bahwa dipandang dari suduf kepen tin gan perseorangan, untuk se mentara adalah sesuatu yang menguntungkan, jikalau orang dihormati dan disegani oleh tetangganya dan tidak akan diganggu olehnya, akan tetapi tidakkah kiranya suatu persaingan yang di~ pertajam, dan oleh karena itu suatu penjagaan, pembelaan dan pertahanan wajib dari pada hak-hak sendiri di samping suatu penghormatan ha.k-hak orang lain, yang dipaksakan oleh keadaan, akan mengakibatkan masyarakat menjadi makin hidup dan
ramai, dan akan lebih memupuk keinginan berdikaxi dan kepercayaan pada diri sendiri ? Dan sekarang, bagaimanakah sikap ketua pengadilan negeri ter hadap azas "memberi dan mengambil” ini ? Pert 3 ina-tama harus saya nyatakan dengan terus terang bahwa .justru karena adanya azas ini (yang senantiasa akan harus dihargainya setinggi-tinggi:zya), hakim terlindung dari kebanjiran perkara-perkara, yang akan menjadi tugasnya yang sangat tidak enak untuk menyelesaikannnya, apabila di desa tidak berlaku azas ’’rukun” itu. Berkat adanya kebic,saan "rukun” itu, maka beribu-ribu perselisihan di de sa dapat dihindarkan diselesaikan secara damai atau dicarikan pemecahannya yang sepatutnya, dan orang hanya bisa' menyaksikan dengan sangat prihatin, betapa pengaruh yang tidak keliha.tan itu yang memelihara ketenangan di desa, perlahan-lahan runtuh dan menghilang di bawah kecenderungan-kecenderungan yang lebih bersifat perseorangan, akibat yang disebabkan oleh hubungan lalu lintas yang semakin meluas. Sebaliknya azas-azas "memberi dan mengambil” ini dengan tak disengaja merupakan perintang yang dahsyat dalam jalannya perkembangan, agar supaya dengan me ngambil keputusan-keputusan yang tegas dan berdasarkan per^.imbangan-pertimbangan yang masak dapat dicapai pembentukan hu kum yang sadar ; suatu faktor yang kiranya bermanfaat sekali bagi hakim dalam mengadili sekian banjaknya perkara yang masih tetap mengalir ke ruang pengadilan. Ketua pengadilan menghadapi fakta yang nyata, bahwa perselisihan-perselisihan itu harus di* adilinya secara yang memuaskan, dan untuk itu perlu diketahuinya peraturan-peraturan hukum yang akan ia terapkan. Akan te tapi yang sangat menyukarkan baginya ialah tak tersedianya peraturan-peraturan hukum yang tertulis, dan seperti telah saya uraikan di atas, juga walau bertanya-tanya ke sana-sini, tidak diberitahukan dalam bentuk yang siap untuk diterapkan. Melainkan ha nya dengan mempelajari hubungan-hubungan di dalam masyara kat hubungan-hubungan hukumnya juga menjadi jelas bagi seorang ahli hukum. Jadi rupa-rupanya bagi kesukaran ini hanya ada satu pemecah an, yai.tu yang.dengan sendirinya gampang ini: kalau gunung ti dak datang kepada Muhammad, maka Muhammadlah — kalau dia tidak mau melalaikan kewajibannya — yang harus melakukan perjalanan susah-payah pergi ke gunung itu.
Kon.trBk-kon.tnak tanah. Di bawah judul ini tidak semua kontrak yang ada sangkut pautnya dengan tanah akan dibicarakan, akan tetapi hanya empat buah saja, sedangkan ulasannyapun hanya terbatas pada peran iian-perjanjian mengenai .'tanah usaha (tanah pertanian) saja. Keempat kontrak ini, di antara mana secara sepintas la’u figa buah sudah dibicarakan dalam karangan yang tadi itu, sangat erat hubungannya dengan pinjaman uang dan, seperti akan ternyata di bawah ini, semuanya banyak sedikitnya mempunyai maksud untuk melunasi pinjaman uang itu ataupun untuk mengadakan jaminan atau kepastian agar supaya perlunasannya dapat dilakukan kelak. Kontrak-kontrak itu adalah : I. bahwa seorang Pribumi berhubung ia .telah menerima sejumlah uang, un/tuk jaingka waktu yang terten'uu menyerahkan tanahnya kepada sipeminjamkan uang dengan keharusan bagi yang tersebut bela.kangan ini untuk mengembalikan tanah itu kepada sipeminjam uang pemilik tanah sehabisnya tenggang waktu, tanpa dia (sipeminjamkan uang) terima kembali uang pinjaman itu umumnya disebut: ’’ngedol taunan"). II. bahwa sipemilik tanah peminjam uang, berhubung ia telah menerima uang pinjaman itu, menyerahkan tanahnya untuk ka waktu yang tidak terlentu a*au yang tertentu kepada sipe minjamkan uang dengan syarat bahwa yang tersebut belakangan ini akan mengembalikan .tanah itu kepada yang punya, segera se telah utang dibayar .lunas penggadaian (verpanding) atau, menuiut Wilken 10) penggadaian pakai (bruikpanding) ; N. ’’gadeka ke”, K. ’’gantosaken” ). III. bahwa ia, berhubung ia telah menerima uang-pinjaman me" nyerahkan t 3 nahnya untuk selama-lamanya kepada s i p e m i n j a m k a n uang ( p e n j u a l a n ; ’’ngedol terus”, dst.) IV. bahwa ia. pada waktu ia terima uang pinjaman, tidak s.nja berjanji akan mengembalikannya sehabisnya tenggang waktu yang 10) Bdgk. Wilken (ed. V . Ossenbruggen), ji. II, him. 409 cat. 50a.
tertentu, akan tetapi selain itu supaya dengan betul akan melunasi utang itu nanti, memberi jaminan dengan memperuntukkan bagi sipeminjamkan uang sebidang tanah (sebagai barang tanggungan). Tindakan-tindakan yang kemudian, dalam hal utang -tidak dibayar pada waktunya, menjadi alasan akan jaminan tersebut, jelas sekali mempunyai sifat untuk melunaskan utang. Akan tetapi untuk sementara tanah itu tetap berada di tangan pemi.lik/sipeminiam uang. Bentuk hukum yang terakhir ini, yang dalam kepustakaan dan yurisprudensi (praktek peradilan) biasanya dinamakan "hipotiir. {■•emu” atau ’’hipotik Pribumi" akan saya sebut, demi kemurnian pengertiannya, "jaminan” ( "tanggungan", "jonggolan” dst.). Segera kentara kepada kita, bahwa dalam hal tiga kontrak tanah yang disebut terdahulu. tanah itu segera berpindah tangan ke pada sipeminjamkan uang. sedangkan dalam hal yang terakhir, setidak-tidaknya buat sementara, tanah itu tetap berada di tangan debitur. Bahwasanya dalam hal yang terakhir de fakto (dengan nyata) tidak terjadi suatu apa dengan tanah itu, merupakan alasan, bah wa kontrak ini menurut anggapan orang Pribumi pada hakel-atnya berbeda dari tiga kontraik yang lain dan dipandangnya s^bagai suatu bahagian dari pada hukum utang piutang, sedangkan ti ga kontrak yang pertama dijadikannya satu kelompok tersendiri dalam hukum tanah. Orang Pribumi mengangga,p berpindah ta~ ngannya sebidang tanah (untuk melunasi utang saja, untuk menjual, untuk menggadaikan), sebagai suatu perbuatan hukum ynng berdiri sendiri, yang menyusul pinjaman uang, akan tetapi lepas dari padanya, walaupun pinjaman itu boleh dikatakan sebagai ”sebab” atau "causa”, sesungguhnya tetap menguasai transaksi tanah yang sebenarnya dengan segala akibat-akibat hukumnya. 11) Lain lialnya dengan (tanah sebagai) jaminan utang. Selain bahwa un tuk sementara tidak terjadi penyerahan tanah yang nyata lagipul?. syara.t mengenai tanah pada hakekatnya bersatu dengan perjanjirn pinjaman uang itu. Jikalau diselidiki dengan saksama, maka ja-
11) h?al ini pcnting sekali, misalnya dalam hal tanah itu dijual.
minan berupa tanah i.tupun bukan kontrak tanah ; "menika perkawis sambutan, sanes perkawis siti (itu soal utang, bukan soal .ta nah) di sini dengan selayaknya kiranya dapat d’katakan kamitua Gam ping. Sebabnya : kekurangan uang, sehingga terpaksa meminjam (uang). Pangkal mula terjadinya dan sebab dari kebanyakan kcntrakkontrak tanah ini ialah kekurangan, uang, sehingga terpaksa me minjam. Orang Pribumi sangat terikat kepada tanahnya, sehingga hanya dalam keadaan yang amat terpaksa, ia bersedia melepaskannya,, meskipun hanya untuk sementara waktu saja. Lagi^ula hendaknya jangan lupa, bahwa kehilangan tanah baginya seringkali berarti bahwa dia, dahulu pemilik tanah ("gogol”, ’’kenceng atau "setengah kenceng” ), lalu akan menjadi tani yang harus La gi hasil, yang tidak bebas, atau menjadi "buruh” yang tergantung kepada orang lain ; hal mana baginya akan berarti bahwn buat sementara atau buat selama-lamanya kedudukannya merosot ke iingkat sosial yang lebih rendah. Pertimbangan-pertimbangan inilah, yang mendorong orang yang n;embutuhkan uang, pertama-tama datang kepada sanak-saud^raJ iy a , tetangga-tetangga atau kenalan-kenalan karib yang barangkadi bisa merasa puas dengan janji semata-mata, bahwa uang a/.an segera dikembalikannya selekasnya dia sanggup. Lmgkungan-lingkungan. ’'Tulung-tinulung". Penting dalam hubungan ini untuk menunjukkan lagi, bahwa dalam masyarakat Pribumi lingkungan s<3,nak-saudara dan, di luar itu, lingkungan tetangga dan kenalan karib ( tetangga dan tepung becik ) ialah dua lingkaran yang setitik pusat — yang dise but belakangan batas-batasnya kurang jelas — yang di dalamnya azas tolong-menolong sesamanya dan tolong-menolong timbal^ba lik ( tulung-tinulung” ) memainkan peranan besar sekali, dan b a h wa dari azas tolong-menolong sesamanya itu saja s u d a h tim u bagi warga lingkungan kewajiban yang seorang harus membantu yang lain, tidak hanya dengan tenaga, akan tetapi juga dengan
uangnya. 12) Di antara sanak-saudara kewajiban untuk membnlas iasa tidak diba.tasi secara tegas. Biasanya tiada lain dari pada ke wajiban sosial yang bersifat umum yaitu agar supaya kelak, kalau t.'ba gilirannya, orang sudah siap untuk memberi jasa ; maka der.gan demikian dalam banyak hal keharusan untuk mengembalikan uang pinjamanpun malah tidak ada, jangankan syarat-syarat yang dengan teliti merumuskan ”bila"nya dan ”bagaimana”nya. Di ka langan tetangga dan kenalan karib, jadi di lingkungan yang .lebih luas, di mana biasanya sudah ada anggapan bahwa setiap utang akan dibayar kembali, namun masih tampak rasa-segan untuk mensyaratkan suatu tenggang waktu buat pembayaran kembali ataupun untuk mengatur, cara bagaimana pembayaran kemlali utang itu harus dilaksanakan. Walaupun benar, bahwa sebagai akibat huburgan lalu lintas, pada pelbagai daerah di kalangan tecangga dan kenalan, bahkan di antara sanak saudara ”tulung-tinulung" ini sudah mulai berkurang dan diganti oleh pendirian para fihak yang lebih bersifat dagang, namun demikian masih kentara jelas sekali, bahwa orang di daerah-daerah itu — .tentunya yang paling kuat terasa di kalangan sanak saudara — hanya kalau terpaksa baru dapat mengatasi rasa segan itu. Bahkan jikalau para pihak yang bersangkutan sama sekali bukan kenalan baik satu sa ma lainnya azas "tulung-tinulung” ini masih saja tetap berlaku dan mempengaruhi seluruh hubungan itu — walaupun dalam bentuk yang agak lebih lunak — sehingga boleh dikatakan dalam hukum adat pendirian ’’zakelijk” yang murni hampir-hampir tak pernah Itercapai. Bung a. Dalam hubungan ini dapat dipersaksikan terjadi dengan sesungguhnyu bahwa keberanian si pemberi uang untuk meminta bu12) Bentuk tolong-menolong semacam ini, yang oleh Mr. V an Vollcnhoven (lb . Ad'itrccht van Ncdcrlaridsch-Indic ; hln>. 647) rupa-rupanya (garis ke-6 dari bawah) digolongkan sebagai tolong-menolong timbal-batik. timbulnya dari suatu kewajiban sosial (di sini diperkecilkan sampai suatu Ifngkungan yang tidak bcgitu besar) untuk saling menolong tanpa mengharapkan balasjasa, jadi adalah semacam tolong-menolong antara sesamanya. Akan tetapi dalam hal ini selalu ada kemungkinan, bahwa — setelah pertolongan diberikan — seringkali, andaikata penolongnya minta bantuan yang sama, orang
uga bagi uang yang dipinjamkannya bertambah dengan semakin berkurangnya rasa-kewajiban untuk xnemberi pertolongan. Jikalau para fihak bukan kenalan satu sama lainnya. Apabila orang yang bersangkutan .tidak dapat meminjam uang dari sanak saudara, tetangga-tetangga atau dari seorang kenalan, maka dia .terpaksa berpaling kepada "orang-orang yang bukan kenalan" (N. "wong lia" ; K. "tiang sanes” ) dan oleh karena kategori ini benar-benar menginginkan supaya uang (yang dipinjamkan) akan dikembalikan, orang tak akan meminjamkan uang, jika lau mereka tak yakin, bahwa sicalon debitur pasti sanggup membayar kembali uang yang mana dipinjamkan kepadanya. Apa.'^la si pemberi uang yakin, bahwa si peminjam uang setelah jangka wak tu yang tertentu akan sanggup membayar kembali utangnya beru pa uang, jikalau perlu ditambah dengan bunganya, maka adalah clasan untuk memberikan pinjaman dengan tcjnggang waktu, yaitu sesuai dengan kehenda.k si peminjamkan uang ditanggung atau ti dak dengan menjamin pelunasannya dengan tepat. Akan tetapi apabila keadaan sedemikian rupa — misalnya oleh karena fihakfihak yang bersangkutan tinggal di suatu daerah, di mana hubu-» ngan lalu lintas masih belum seberapa dan pembayaran lebih sering dilakukan dengan hasil bumi dari pada dengan uang .tunal — sehingga bagi si peminjam uang akan terlampau sukar untuk mengumpulkan jumlah uang yang besar itu (misalnya 50 atau 1 0 0 rupiah/gulden), ataupun jikalau bunga yang dikehendaki demil'ian tingginya, sehingga si debitur terpaksa harus melepaskan pikirannya akan sanggup mengumpulkan kembali modal bersama-sama dengan bunganya ; singkatnya, apabila si pemberi pinjam uang ti dak yakin bahwa si peminjam uang p a d a suatu ketika akan sang gup melunasi utangnya, maka sama sekali tidak dapat disebutkan pinjaman, jikalau dalam segala hal seperti itu si debitur tidak tertolong oleh tanah yang dimilikinya.
yang ditolong merasa wajib membcrikannya, singkatnya, bahw a hubungan antara para pihak telali berubah menjadi tolong-menolong tim b^l-balik Di dalam praktek tak fampak perribedaan yang jelas perihal ini, bahkan tak ada pilihan kata-kata yang tetap.
Metepaskam tanah untuk melunasi utang. Si debitur dengan jalan memberi kesempatan kepada si kreditur untuk memanfaatkan sawahnya atau sebagian dari pada itu, maka dengan itu dia — oleh karena hasil bersih dari setiap panen dapat dinilai dengan .jumlah uang yang tertentu besarnya — memberikan kepada si kreditur suatu cara dengan mana utang itu, setelah diperhitungkan dengan harga hasil, dapat dilunaskannya sendiri dengan hasil sekali panen atau lebih, Cara berbuat demikian ini sudah meluas di seluruh masyarakat Pribumi dan begitu sering dipergunakan, sehingga dengan mau ti dak mau mesti menarik perhatian. Produktsvitas, bukan nilai jual yang menjadi ukuranBahwasanya orang desa dengan sendirinya memilih cara ini untuk melunasi utangnya dapat di.terangkan oleh hal, bahwa baginya nilai sebidang tanah bukanlah terutama terletak pada hal bahwa .tanah ini, bila dijual menghasilkan sejumlah uang, akan te tapi ialah pada keadaan, bahwa tanah itu dapat menghasilkan ba rang yang seimbang dengan uang, yang senilai dengannya. M e nurut pengertian kita (Orang Barat), sebidang .tanah adalah ’’ba rang dagangan yang nilainya langsung tergan.tung dari nilai dagarng atau nilai -jual (nilai tukar) dan juga nilainya sebagai "barang jaminan (i.e. hipotik) menurut pengertian kita, langsung fcersandar kepada harga jual. Tidaklah demikian halnya menurut pengertian Orang Pribumi. Dalam penilaian sebidang. tanah, ma ka orang desa segera ingat — dan sesungguhnya ingat pada hal itu saja — pada daya produksinya (nilai pa.kai) 13). Menyerahkan sebidang sawah kepada orang lain dianggapnya sebagai : memberi kesempatan kepada orang lain untuk menggarap tanah itu dengan luas tertentu dan untuk mempergunakan hasil produksinya untuk kepen.tingannya sendiri. Bahwa sawah adalah sebidang tanah ter13) Nilai-guna ini juga tetap merupakan patokan-ukuran, segcra derni ada pe nilaian dengan uang. Demikianlah — andaikata hasil dari sebau sawah setahunnya rata-rata ditaksir merupakan x rupiah — dapat disusun semacam tarip (yang tentunya dapat menga'Iami kegoncangan yang sangat besar) dan dapat dikira-kira bahwa dalam hal it i sawah ini secara "ngedol taunan” mempunyai dhya melunasi utang sebesar Yi kali selahunnya ; kalau dijual mungkin dapat dengan harga 3 atau 4 kali dan bahwa si-debitur-pemtfik (tanah) dalam hal sawahnya dig.'^aikan untuk jangka-iva ktu tak lentu (boleh dite-
tentu, yang seakan-akan sama dengan sebuah benda yang dspat diperjual belikan, — meskipun transaksi-transaksi mengenai sawah seringkali terjadi — adalah sesuatu yang belum lazim bagi perasaan orang Pribumi. Pendapat yang terakhir ini sudah dapat dijumpai di sekitar perkebunan-perkebunan besar dan di daerah-daerah, di mana k e h i d u p a n hukum telah mencapai perkembangannya sepe nuhnya, misalnya dikota-kota, dan itupun terutama mengenai ta nah yang tidak menghasilkan, seperti -tanah-tanah pekarangan rumah. Dasar dari pada semua kontrak-kontrak in i: azas melunasi utang. Orang Pribumi memandang penyerahan tanah sehubungan dengan pinjaman uang sebagai penyerahan buat melunasi utang itu — seluruhnya a.tau sebagian — , maka hal ini sebagai azas dalam penyelenggaraan kontrak-kontrak tanah memainkan peranan yang penting sekrli. Dalam hal tanah disewakan (diupahkan) atau dijual, azas inilah yang seakan-akan menentukan sudut, dari mana ki ta harus memandang kontrak-kontrak-tanah ini. "Ngedol taunan” itu sudah jelas adalah kontrak pelunasan demikian dalam bentuknya yang paling murni. Mengenai penggadaian tanah, transp.ksi ini pertama-tama terjadi untuk melunasi bunga dari pada uang yang dipinjam, dan apabila penggadaian itu terikat pada suatu tenggang-waktu, berulang kali kita lihat bahwa bentukan hukum I n i akhirnya berubah menjadi "ngedol taunan" (kadang-kadang menjadi "ngedol teru s"), yaitu apabila sehabisnya tenggang-wak t u — dalam hal si-debitur tidak dapat menebus — tanah itu, ber dasarkan suatu kontrak baru, untuk jangka-waktu yang baru (atau untuk selama-lamanya) dibiarkan di tangan si-penerima gadai, ka li ini 'untuk melunasi utang pokok. Juga penjualan .tanah, dan ini’ sdalah sesuatu yang sangat aneh, dianggap pada hakekatnya ma sih sebagai pelunasan semata-mata — dari pada suatu utang — bus setelah satu kaJi p an en !), mungkin boleh pinjam uang dari si-kred!turpenerima gadai kina-kira sebesar y2 j?ampai § kali, dan lebih banyak dari itu apabila kepadanya dijamin akan meirjperoleh lebih dari satu tahun hasil panen. Kearah inilah bergeraknya angka-angka perbandingan itu : tetapi kedaan, bahwa sipemilik uang yang kemampuan ekonominya lebih kuat itu seringkali berfiasil meraaksakan kemauannya kepada sipen'jilik tanah, tidak memungkinkan untuk membuat perhitungan yang lebih saksama.
yaitu dalam hal jumlah yang dipinjam demikian besarnya, sehing ga hanya suatu penggarapan bertahun-tahun barulah dilihat se bagai hal yang sama nilainya — ataupun pengertian tentang pelunasan utang ini masih begitu terikat pada (perbuatan jual tanah) itu, sehingga pelbagai akibat hukum menurut hukum adat hanya dapat dijelaskan apabila azas tersebut senantiasa diingat. Pada nkhirnya akibat-akibat hukum jikalau perjanjian tidak ditepati ( wanprestatie), dalam hal sebidang tanah dijadikan jaminan agar supaya utang dikembalikan secara be'.ul, merupakan sekian banyaknya penerapan dari pada azas pelunasan utang itu. "Ngedol taunan” dipandang dari sudut scjarah lebih muda dari pada ’’penggadaian” . Pelbagai bahan keterangan rupa-rupanya membenarkan kesimpulan, bahwa di kabupaten Tulungagung ini, Iama-kelamaan penggadaian ("gadekake") sebagai kontrak tanah digantikan oleh ’’ngedol 'taunan", dan bahwa kontrak yang terakhir ini, dipandang dari sudut sejarah, juga lebih muda dari pada ’’gadekake” itu. Pa da kelimabelas desa yang tersebar di seluruh kabupaten ini. yang hukum adatnya saya sendiri telah selidiki 14) di tempat-tempat itu. ternyata "ngedol .taunan" itulah yang lazim dilakukan 1'ecuali di beberapa desa di gunung Wilis, desa-desa pegunungan dengan tanahnya yang sangat turun naik, di mana lagi pula transaksi-tran^aksi-tanah sama sekali .tidak atau hampir-hampir tidak ada. Pada '.ujuh desa dari padanya, yaitu justru yang letaknya lebih dekat dengan jaringan Ialu-lintas, penggadaian tanah tidak fprjadi lagi dan di desa-desa lain, di mana lembaga ini masih lazim dipakai, penggadaian tanah itu di mana-mana terikat pada tengqang-waktu dan .terdapat kekacauan dalam penggunaan istilah-istilah, oleh karena, kalau yang dimaksudkan "ngedol taunan”, dalam pembica raan setiap kali orang mengatakan "gadekake". Jikalau di s;tu sa ya sudah mendapat kesan, bahwa lembaga yang baru >tu diberi nama lama yang sudah dikenal, pada dua desa dengan leluasa orang menegaskan kepada saya, bahwa menggadaikan tanah ada14) Lihat Adatrcchtbundcls XVIJ1 dan XIX. Dalam himpunan yang tersebut belakangan terdapat pula bahan-bahan keterangan d3ri konteUr Panggul pada zaman itu, L. Adam, yang bagi hukum-adat di kabupaten Tulungagung sangat pcnting sekali.
lah sesuatu dari zaman dahulu yang sudah diganti oleh ’’.ngedol ta • tman”, "oleh karena orangdesa sekarang sudah lebih cerdil'.” dan "mengetahui lebih baik akan harga tanahnya”. Penduduk-penduduk yang sudah tua masih dapat menceritakan, bahwa pada zaman mereka (masih muda) menggadaikan tanah lazim dilaluikan dan merekapun segera menyebutkan titik-titik perbedaan-perbed
run” dari seseorang, menurut hukum kebebasan dari orang seo rang untuk menguasai penggunaannya masih berada di bawah pe r,gawasan warga-warga sedesa yang akan memutuskan. apakah transaksi tanah secara perseorangan itu dapat diizinkan demi kepentingan desa pada umumnya. Oleh karena milik tanah itulah yang terutama merupakan dasar untuk mengatur hak-hak. kewenangan-kewenangan dan kewa;ib an-kewajiban warga-warga sedesa, maka perobahan-perobahan dalam milik tanah itu langsung pula menyangkut kepent-'ng^n-kepentingan sosial dari warga-warga sedesa yang lain, dan keru wetan-keruwetan serta kekacauan-kekacauan mengenai hak-hak segera pula terasa pengaruhnya yang mengganggu di seluruh ma syarakat desa itu. Jikalau kita meningkatkan sifat komun dari se!uruh masyarakat desa ir») maka jelaslah bahwa masyarakat, y a itu semua warga-warga sedesa bersama-sama ( "konca desa" ; ” N. wong akeh”, K. "tiang ka.tah” ) senantiasa mengadakan pengawasan atas setiap perubahan terhadap milik tanah itu. Dalam fungsi ini warga-warga sedesa bersama-sama itu bukanlah bertindak selaku kelompok, walaupun orang selalu meny^but-nyebut kewibawaan dari "'tiang katah”, akan tetapi yang bertindak atas nama mereka ialah kepala-desa ("lurah", "kepala desa” : d> perbatasan Ponorogo : "bekel” ) yang pertama-tama adalah alat pemerintah desa. Batas-batias weweaang dan sifat campur-tangan kepala-desa. Sudah barang tentu bahwa campur-tangan kepala-desa lebih je!as bersifa.t kewajiban hukum dan juga lebih mendalam ciilakukannya apabila perjanjian yang bersangkutan lebih luas iuju.innya ataupun membawa akibat-akibat yang lebih penting ; jadi lebih mendalam apabila sawah yasan dijual atau jikalau hak milik atas rebidang .tanah berpindah tangan kepada seorang dari des? yang lain, dari pada jikalau sawah atau tanah itu dialihkan hanya buat sementara atau diserahkan semata-mata buat keperluan seorang warga sedesa sendiri. Menarik perhatian pula, bahwa lambat laun kewajiban hukum yang sama itu juga terlihat kecenderungan untuk pertama-tama di15) Bdgk. juga Mr. C. van Vollenhovcn him. 541.
"'Hct Addfrccht van Ncdcrl-Indie” ,
lalaikan dan menjadi aus terhadap kontrak-kontrak, yang, dipan dang dari sudut rumah tangga desa, akibatnya paling terbatas. Akan tetapi dewasa ini campur tangan kepala desa itu, walatipun dalam pelbagai tingkat, boleh dikatakan pada umumnya niadh sering terjadi dan dari sebab itupun saja sudah selayaknya mendapat perhatian yang sepenuhnya dari fihak pemerintah, hakim dan pembuat undang-undang. "'Repot’'. Pentingnya tugas yang menjadi bagian kepala-desa pada kontrak-kontrak-tanah segera kentara dari kenyataan, bahwa lazimnya setiap pengalihan tanah untuk jangka waktu pendek atau panjang ataupun untuk selama-lamanya, dan juga bahwa setiap per janjian yang menyangkut tanah sehubungan dengan urusan utang piutang, harus dilaporkan kepadanya. Arti ’’repot” ini lebih dari pada pemberitahuan semata-mata, sebab dipahami dalam arti ’’minta idzin”. Berdasarkan penyelidikan sendiri hanya satu tempat yang saya ketahui (ibu kota kecamatan Dongka, Trenggalek) di mana diberitakan bahwa penyerahan .tanah untuk jangka waklu satu tahun boleh dilakukan dengan sah sepenuhnya dengan jaIan Hiengaturnya antara fihak-fihak yang berkepentingan sematamata dan memang juga terjadi begitu. Yang mencirikau sifat huKum dari pada bantuan kepala-desa mengenai kontrak-kontrak-tanah ialah, bahwa di beberapa tempat, di mana pada konArak-konIrak demikian dengan jangka waktu setahun, terdapat kecendcrungan untuk melaksanakannya tanpa bantuan kepala desa, orang menegaskan kepada saya, bahwa perjanjian-perjanjian ini dibua: secara "tanpa watonan” (diterjemahkan bebas : atas tanggungan sendiri) ; jikalau segala sesuatu berjalan baik, sukurlah ; akcin te tapi jikalau kelak terjadi kesulitan, maka tak ada jaminan serta sokongan moril ("tanggungan” ) dari fihak pemerintahan desa. Ja di di sini, meskipun perjanjian yang tidak dibuat dalam bentuk yang lazim i.tu, diperkenankan, namun bantuan dari keoala-desa memang betul-betul masih dijadikan syarat, agar supaya perjanjian itu mempunyai kekuatan menurut hukum. Dalam hal penyerahan tanah untuk jangka waktu lebih dari satu tahun, di Dongka seperti juga di mana-mana, bantuan kepala-desa merupakan suatu syarat yang termasuk isi inti dari perbuatan hukum itu ; dengan melakukannya di luar pengetahuan kepaJa-desa, segera akan timbul ke-
san yang kurang baik, bahwa dengan sengaja dihindari keteibukaan buat perhatian umum oleh karena perjanjian itu bukan untuk diketahui umum.
’'Idzin”. ’’Idzin” itu biasanya diberikan. Permintaannya hanya ditolak ji kalau ada keragu-raguan, apakah orang yang hendak irempergunakan kekuasaannya atas tanah itu betul-betul pemiliknya atau mempunyai kewenangan serta kecakapan untuk itu ; singkatnya, jikalau kepala desa melihat akan timbul kesukaran d: kemudian hari. Kamitua desa Nglurup (kecamatan Sendang, kewedanan K alangbret) menyimpulkan kewenangan kepala desanya secara singkat serta .tepat dengan kata-kata : ’’Kepala desa hanya baru tidak mau memberi idzin. apabila dia tidak bisa ( = boleh) "tanggung”. Dalam karangan yang ke V *) mengenai penjualan tanah diuraikan lebih lanjut keadaan-keadaan mana yang membata^i kewena ngan si-pemilik tanah buat melakukan perbuatan hukum dan de ngan demikian dapat memberi alasan bagi kepala desa untuk menolak memberi idzin ; hal yang sama pada pokoknya bcrlaku juga bagi kontrak-kontrak tanah yang lain. Saksi-saksi dan akta. Selanjutnya campur .tangan peinerintahan desa dalam kontrak kontrak tanah ternyata dari hal, bahwa dengan beberapa pengecualian, buat adanya berlakunya menurut hukum dari pada perjanjian-perjanjian ini semua diperlukan bahwa perjanjian ini harus dibuat — dan juga bahwa- surat buktinya harus dibuat — di hadapan kepala desa dan beberapa orang yang ditunjuk oleh adat sebagai "saksi”. Juga pada perbuatan-perbuatan ini yang menarik perhatian ia•ah, bahwa kewajiban hukum makin kurang diindahkan, apabila mengenai perjanjian-perjanjian yang dipandang dari sudi't masya rakat, dianggap kurang penting, dan bahwa kelalaian adat sepert.; itu tampaknya terlebih dahulu di daerah-daerah di mana htibung* an lalu lintas mulai agak ramai. Maka di sinipun dapat dikemuka* lean lagi sebagai kelaziman bahwa dalam hal menjual tanah, meng*)
Tcrjem ahan ini hanya meliputi bab ke II dan III dari pada kalangan asli. yang tercliri dari lima bab.
gadaikan .tanah untuk jangka waktu bertahun-tahun panjangnya atau dalam hal menggadaikan atau dalam hal memberi jaminap. (yang selalu ada sangkut pautnya dengan yang agak besar jum* lahnya), orang yang ditunjuk oleh adat setempat ber.tindak seba gai saksi dalam jumlah yang selengkapnya dan bahwa dari penverahan tanah (c.q. pemberian jaminan) itu, dibuat sebuah akta ( ” layang itanda tangan” ) menurut bentuk yang diharuskan. Di samping itu tampak bahwa misalnya dalam hal menyewakan tan^h un tuk jangka waktu dua tahun, seringkali sudah berkurang jumlah saksi dengan beberapa orang, sedangkan dalam hal mengadakan kontrak sewa tanah untuk jangka waktu satu tahun, sangat sering terjadi yang hadir hanyalah kepala-desa dan juru tulisnya ( ”ca rik” ) dan kadang-kadang bahkan aktanyapun tidak dibuat. T a k dapat disangkal bahwa dalam hal-hal yang demikian orang terba-tva oleh alasan kemanfaatannya, bahwa pembinaan hukum yano lebih dari pada itu tidak perlu karena sesudah waktu yang singkat itu tentuny i semua orang masih ingat akan hubungan yang sebetulnya antara fihak-fihak yang bersangkutan dan antara m ere ka itu bersama dengan tanahnya. Sebagai conffoh, beta.pa hubung an lalu lintas yang makin ramai merusak adat kuno, bolehlah saya menunjuk kepada hal yang bertentangan, yaitu bahwa hampir d : mana-mana pada waktu menjual pekarangan-pekarangan dan rumah-rumah .tinggal (biasanya di ibukota-ibukota) saksi-saksi yang tampil kurang jumlahnya dari pada waktu menjual tanah usaha dan bahwa di ibukota-ibukota kepala desa seringkali oertindak dengan leluasa dan tanpa didampingi oleh saksi seorangpun, se dangkan sebaliknya, di desa-desa yang terpencil sekitar R a w a B e lling bukan saja untuk meiijual tanah usaha, pekarangan dan ru~ mah tinggal, akan tetapi bahkan untuk menjual perahu masih di haruskan bantuan dari saksi-saksi yang lengkap jum lahnya. Si fat hukum dari pada campur tangan ini. Jadi pengawasan dari seluruh warga-warga sedesa bersama-sam a pada pokoknya bersamaan dengan campur tangan dari kepala de sa sendiri (dengan memberikan idzinnya) pada waktu kontrakkontrak dibuat aan dengan bantuan yang dia berikan, denqan di dampingi oleh saksi-saksi sebagai wakil masyarakat, p > ia waktu mengadakan kontrak-kontrak itu.
Campur tangan ini menampakkan dirinya dalam 3 hai : Menjaga, supaya kepentingan-kepentingan fihak ketiga yang sudah ada atau yang akan ada di masa datang tidak akan diI’ugikan. b. Memberi sanksi bahwa kontrak tanah itu adalah svph menu rut hukum, dan c. Mengadakan bukti dan kepastian hukum untuk masa datang.
a.
M enjaga (kepentingan fihak ketiga.) Penja.gaan bahwa kepentingan-kepentingan yang sudah ada atau yang kelak akan ada tidak akan dirugikan tampak iari pernberian idzin atau veto dari kepala desa. Seperti telah saya kemukakan di bagian atas, apabila kepala desa, yang sangat mengetahui segala sesuatu tentang keadaan mengenai fihak-fihak yang mengadakan kontrak serta tanahnya, menolak untuk memberikan idzin transaksi, maka gagallah. Dalam hal ini tak ada orang desa yang akan mau meneruskan juga keinginannya, dan laqipula pe nyerahan tanah, yang memang sudah lazimnya terjadi dengan bantuan kepala desa, tanpa bantuan itu tidak akan dapat dilakukan secara sah. Terhadap penolakan yang demikian itu tidak ada ketentuan lebih tinggi yang dapat membatalkannya, walaupun dalam hal-hal di mana terang sekali keputusan kepala desa itu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi, kiranya {.-alau ad*, suatu instansi yang lebih tinggi — misalnya kcoutusan wargawarga sedesa bersama-sama — akan dapat diharapkan kemanfaatannya. Akan tetapi pada umumnya rasa takut terhadap pendapat umum atau terhadap kemungkinan dia akan diadukan kepada pegawai Pamong Praja (atasannya) akan mengendalikan kepala desa pada jalan yang lurus. Pemberian sanksi. Sanksi bahwa perjanjian yang dibuat itu adalah sah, hanya bersifat idiil, akan tetapi bagi orang desa besar artinya. Sanksi ini mengandung arti, bahwa pertama-tama kepala desa, akan tetapi di sampingnya juga; orang-orang lain yang memberikan bantuannya dalam melaksanakan transaksi — penyerahan tanah itu semuatnya — sebagai wakil-wakil dari masyarakat desa yang bersangkutan — menjamin atau menanggung ata,s transaksi tersebut ( ’’tanggung” ).
scdemikian, sehingga fihak-fihak yang bersangkutan kelak .tak la gi berani mengingkarinya dan fihak ketiga raengindahkannya. Di sinilah, menurut hukum adat, letaknya
!a sekarang suatu perjanjian dibuat di hadapan kepala desa serta saksi-saksi sebagai wakil dari masyarakat — meskipun iktikad ba ik masih berlaku dengan utama dan ’’tanggungan” sampai pada lingkat terteutu masih tetap memper.tahankan nilainya — kepala de sa, saksi-saksi dan fihak-fihak yang bersangkutan betul-betul bermgat-ingat, bahwa kelak perjanjian itu mungkin dapat dilanggar dan mencamkan, bahwa kepala desa dan saksi-saksi dalam hal itu akan dipanggil untuk memberi kesaksian tentang apa yang sebenarnya telah disetujui oleh fihak-fihak yang bersangkutan pada perjanjian i.tu. Kepala desa dan mereka yang mendampinginya pa da waktu membuat perjanjian itu .tidak saja disebut "sak si”, akan tetapi untuk melakukan funksi ini mereka juga dengan sengaja di panggil datang. Demikian pula ha.lnya dengan akta. Walaupun, seperti akan diiclaskan di bagian bawah, pada akta i.tu diberikan arti khusus yang lain lagi, pada masa sekarang akta itu dibuat untuk dapat dipakai sebagai bukti ; meskipun sebagai itu dalam pelbagai hal masih ba^ nyak kekurangannya. Upah. Untuk campur .tangan dalam urusan-urusan transaksi tanah, kefa la desa dan kadang-kadang juga anggota-anggota yang lain da ri pemerintah desa yang membantu sebagai saksi, menerima uang sedikit biasanya dari fihak penjual (jarang lebih dari satu rupiah/ gulden 1G) . Kepala dukuh. Di beberapa dukuh ("dukuh”, ’’pedukuhan” ), yang letaknya ja uh daxi desa induknya, kepala dukuh ("uceng ”, "kamitua k u a s a " ) bertindak sendiri secara bebas dan pada waktu membuat transaksi tanah dia mengambil alih tugas kepala desa. Saksi-sakisi. Kepala desa dianggap — dan menganggap dirinya sendiri — sebagai saksi yang utama dan yang terpenting. Jumlah saksi-saksi I ang lain tidak ditetapkan, akan tetapi disesuaikan dengan kebiasaan setempat. Pada umumnya mereka itu adalah juru tulis desa 16) Bdgk. A datrcchtbandt! X I X , him. 180.
t ”carik” ), kamitua dari daerah di mana .tanah itu terletak, seorang lebai ("m odin” ), pesuruh desa ( " k e b a y a n ” ) dan seorang atau beberapa orang tetangga atau pemilik sawah yang berdekatan sanak saudara dari para pihak, yang tentu bukannya tidak meraihak, hanyo dipanggil sebagai saksi bila mengenai tanah yang termasuk harta peninggalan yang belum di bagi-bagi. Biasanya dalam hal ini dipanggil semua sanak saudara laki-laki yang terdekat dan bantuan mereka merupakan jaminan sekali terhadap usikan dan gangguan dari fihak mereka di kemudian hari. T u gas mereka. Seperti telah dikatakan, maksudnya ialah supaya semua saksi mendengarkan perjanjian apa yang dibua.t, m enyaksikan bahwa pembayaran sudah dilakukan serta berapa besar jum lahnya dan fupaya mereka membubuhkan tanda tangannya di bagian bawah akta perjanjian itu. Pada perbuatan yang 'terakhir ini biasanya saksi-saksi yang lain mengikuti saja tanpa pikir-pikir panjang apa ■3 ang dilakukan kepala desa.
A-kta. Suatu penyelidikan yang sengaja telah saya lakukan mengenai perihal ini, menunjukkan bahwa di kabupaten Tulungagung buat hampir setiap terjadi jual-beli tanah, gadai tanah, jaminan berupa tanah dan menyewakan tanah untuk jangka waktu lebih dari satu tahun, dari pada penyerahan itu (dalam hail jaminan berupa tanah; dari pada perjanjiannya) dibuatkan sebuah akta. Dalam bebera pa pengecualian yang kabarnya hal ini tidak lagi dilakukan, (ru panya) pembuatan akta itu dahulunya adalah kebiasaan yang larim, akan tetapi telah ditinggalkan atas desakan pegawai-pegawai pajak tanah Pribumi (ditugaskan menggolongkan tanah-tanah), yang membohongi pemerintah desa, bahwa sekarang daftar-daftar pajak tanah itulah yang menggantikan akta sebagai .tanda bukti. Di mana akta-akta Pribumi masih lazim dipergunakan dan ma sih menjalankan peranan yang terlampau penting dalam hukumadat tanah dan di mana pemerintah desa dalam hal itu melakukan fungsi yang terkemuka, di sana menurut hemat saya akta-akta inilah merupakan titik taut yang paling cocok bagi tindakan-tin-
o.akan untuk meningkatkan orang pribumi. 17)
kepastian hukum
bagi
milik
tanah
Bentuk dan model. Di kabupaten Tulungagung akts ini, yang pelbaga.i macamnya
r enurut isi kontrak, dengan sedikit perbedaan setempat yang kecil-kecil di mana-mana sama bentuknya. Hampir semua juru tulis desa sudah hafal di luar kepala akan modelnya dan berdasarkan suatu penelitian di arsip Pengadilan Negeri ternyata kepada saya, bahwa berpuluh-puluh tahun yang lampaupun sudah dipakai mo del yang sama benar seperti itu. Seringkali akta itu dibuat di atas kertas meterai ( ’’segel” ) akan tetapi acapkali juga dibuat di atas kertas biasa ( " c a ta ta n ” , '’kertas pasar”, ”ja w i” ). W alaupun acapkali ternyata. bahwa orang memberikan arti magis tertentu kepada cap segel ( ’’cap duwit” ) ini, dan oleh karena itu, misalnya dalam hal urusan-urusan yang penting, orang memberi pilihnn utama kepada kertas bermeterai, na mun sama sekali .tak ada pilihan lazim untuk memakai kertas berineterai. Selanjutnya surat bukti itu pertama-tama diperuntukkan guna lingkungan sendiri dan tak ada orang yang khusus ingat akan kewajiban yang diwajibkan oleh suatu peraturan meterai. Isi. Isinya memuat tanggaLnya dan memberitahukan bahwa yang fcertanda! tangan di bawah ini 18) disebutkan dengan nama dan tempat tinggalnya, menyatakan bahwa dia mempunyai ( ’’ngakeni anggadahi’’ ) sebidang sa.wah, luasnya sekian bau dan sekian tumbak persegi, terletak di suatu desa tertentu ; memberitahukan se kali perbatasan-perba.tasan sawahnya menurut mata»-angin (b iasa nya dimulai dengan perbatasan di sebelah barat). Selanjutnya a k ta itu memuat keterangan — dalam hal jual beli — bahwa yang bertanda-tangan menjual sawah ini ( "selamenipun” atau ’ turunremurun” dst.), nama si pembeli, tempat tinggalnya, harganya, dan akhirnya pemberitahuan, bahwa pembayaran sudaih lunas se»17) Bdgk, juga K arangan ke-V I. 18) Akta disusun dalam bentuk "o ran g pertam a” , jadi i " S a y a , yang bertan datangan di bawah ini, d st." I
li.ruhnya ("lu n as”, ’’kontan”, "ken cen g ” atau ’’ja n g k e p "). Di sini saya membatasi diri pada perihal 'jual beli yang lazim saja. Pada lcontrak-kontrak lain atau jikalau ada syarat-syarai. yang mer yimpang dalam hal menjual, maka — pada bagian kedua — pilihan katai-katanya sesuai dengan tujuan dari pada kontrak i.tu. Kalimat penutup dan tanda tangan. Akta ditutup — dalam hal jual beli — dengan kalimat akhir di bagian bawah sebelah kanan "saya, yang menjual dan telah menerima uang harganya”, dengan dibubuhi tanda tangan, tanda silang atau cap jari dari sipenjual sendiri. K adang-kadang di bawah ini dituliskan kata-ka.ta;: "kepala desa yang m enanggung” , dengan tanda tangannya. Di baiwah akta sebelah kiri tertulis katakata : ’’saksi-saksi yang memakluminya ( "ngaw uningani” ), dan di bawahnya menyusul, selain tand'atangan dari saksi-saksi yang lain, dengan disebutkan masing-masing kedudukannya, juga ( s e kali lagi) tanda-tangan dari kepala-desa. Maksudnya tandatangan. Hanya kepala-desalah yang menandatangani akta itu dengan menginsyafi sedikit akan tanggungjawab .terhadap isinya : bagi raksi-saksi yang lain, seperti sudah disinggung di bagian atas, penandatanganan itu hanya mempunyai arti sebagai menandatanga ni suatu daftar hadir saja. Orang yang menyerahkan tanah itu atau yang memperuntukkan tanahnya i.tu sebagai jaminan, tidaklah menandatangani akta itu, seperti halnya dengan kita (O rang B a rat) untuk dengan demikian secara pribadi membenarkan atau menetapkan isinya, akan tetapi untuk menetapkan kemauannya yang sesungguhnya tentaong a pa yang ffelah disetujui oleh JEihak- fihak yang bersangkutan, dan mengenai hal mana telah dibuat sebuah akta, yakni : akta ini. A p a bila di dalam akta itu dapat dibaca sesuatu yang lain dari pada yang sesungguhnya terjadi, hal itu, menurut hematnya .tidak meiiyangkut dirinya, akan tetapi semata-mata kepala desa, yang su dah faham akan bentuk dan formalitas-formalitasnya dan menjamin sahnya akta tersebut. Bahwa akta yang demikian harus ditanggapi oleh hakim berdasarkan apa yang tertulis hitam-atas-putih adalah sesuatu yang tidak meresa,p sampai hati orang desa.
Nilai tatndatangan dan akta bagi orang desa. Nilai yang besar dari penandatanganan ini dengan membubuhkan tandat«ngan, tanda silang atau cap jari dari orang yang menyerahkan .tanah itu dan oleh karenanya dari pada akta itu seluruhnya, bagi orang Pribumi terletak pada kenyataan, bahwa de ngan penandatanganan ini yang dibuatnya sendiri, seakan-akan dia memberitahukan dirinya sendiri kepada kertas itu (tentang maksudnya mengenai urusan yang bersangkutan), dan bahwa kemudian kertas itu diserahkan kepada si pembeli. Bagi orang yang menerima tanah itu, tandatangan ini atau cap tangan tersebut adalah suatu penetapan bahwa mengenai tanah itu — baik untuk sementara, maupun untuk selama lamanya — dialah yang menggantikan pemegang yang lama, yaitu orang yang cap tangannya -.erlekat pada kertas yang disimpannya. Hal ini sekaligus menerangkan mengapa tidak hanya dalam jual beli, akan tetapi juga dalam hal penyerahan hak tanah untuk sementara (misalnya "ta i nan” atau dalam hal gadai) aktanya diserahkan kepada yang berhak-untuk-sementara itu ; suatu cara, yang, bila dilihat pada pandangan pertama, memberi kesan yang agak aneh, oleh karena tentunya kita terlebih-lebih lagi akan menyang-ka, bahwa si pemilik tanah, yang buat sementara hilang haknya atas ta n a h nya itu, akan usaha mendapatkan sebuah tanda bukti untuk dapat menyelamatkan kedudukan hukumnya yang sangat berbahaya, •tpabila sipenyewa atau sipenerima gadai kelak, mungkin sesudah lewat bertahun-tahun, memungkiri hak milik Pribuminya itu. Nilai dari pada akta bagi hakim. W alaupun sangat banyak akta dibuat sessai dengan apa yang terjadi sesungguhnya dan oleh k arena itu menurut hukum layak dipercaya, tetapi tidaklah selalu demikian halnya. 19) Kenyataan semata-mata bahwa telah dibuat suatu akta dengan tak da.pat di•ngkari sudah menimbulkan suatu dugaan, bahwa mengenai bidang tanah yang diuraikan di dalamnya telah diadakan suatu persetujuan. Apakah persetujuan yang diuraikan dalam akta itu benarbenar juga adalah persetujuan yang diadakan sesungguhnya, apa bila mengenai itu tidak ada kecocokan pendapat di antara fihaklihak yang bersangkutan, tetapi merupakan hal yang dapat diragu19) Bdgk. karangan yang k e-V dan k c-V I.
ragukan. Namun tidak jarang hakim akhirnya berhasil juga meniadikan hal i.tu -terang setelah bersusah payah panjang lebar memeriksanya. Lalu apabila isi akta itu .ternyata tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka i.tu dikesampingkan sebagai barangbukti. Akan tetapi dengan sah dapat diajukan pertanyaan, apakah tugas hakim dan apakah boleh dituntut dari padanya, bahwa dia menempuh segala jalan samping dan segala jalan tidaik lurus yang mungkin ada, semata-mata untuk melindungi orang terhadap dirinya sendiri yang secara serampangan menanda.tangani sebuah .ikta tanpa memikirkan masak-raasak akibat-akibatnya .terlebih da.hulu, atau demi kepentingan kepastian hukum pada umumnya apa kah tidak tebih layak mengutamakan pilihan memberi kekuatan bukti sepenuhnya kepada akta itu — asalkan bentuknya dibuat sesuai dengan bentuk yang diwajibkan oleh adat — dan meneri ma isinya sebagai benar, selama .tidak dibantah oleh bukti yang melawannya. Suatu jurisprudensi yang tetap dalam arti yang terr.khir ini, menurut hemat saya, tidak saja akan mendudukkan akta Pribumi itu lebih kukuh — yang dengan jalan i.tu tentunya resmi diakui oleh hakim — sebagai alat bukti, akan tetapi juga mendidik supaya mempunyai tanggungjawab yang lebih besar terhariap perbuatan-perbuatan hukum yang dilakuka-n dan dengan demikian akh/r-akhirnya akan mempengaruhi baik sekali kehidupan hukum orang-orang Pribumi. Berapa. kskuatan bukti yang boleh diberikan hakim kepada a k ta Pribumi ini, bergantung pada penafsiran pasal-pasal yang ber sangkutan dari Reglemen Bumiputera (Inlandsch Reglement). D a lam sebuah l.eputusan tertanggal 27 Desember 1917 2«). Pengadilan Negeri Tulungagung, dengan menganggap dalam hal itu kepaladesa seba:gai "pejaba.t umum”, telah mencoba untuk menjadikan •jkta-akta ini (sebagai) akta yang otentik dalam arti, seperti yang termaktub dalam pasal 168 Reglemen Bumiputera. Sua.tu peraturan undang-undang, yang sejiwa dengan ayac ike 2 pasal 1 0 dari reglemen-reglemen agraria untuk Bangka dan Bali-Lombok (Lembaran Negara 1923 no. 508 dan 509) kiranya akan menghilangkan segala keragu-raguan mengenai hal ini.
70) Lihat Adatcedhtbundcl X X I I : him. 32.
r
Karangan-karangan lain yang direncanakan dalam rangka proyek
seri terjemahan karangan B elan d a adalah :
C.C. Berg, Ilmu-ilmu kebudayaan d i In d o n esia : suatu m etam or -
fo se selam a setengah a b a d terakhir; A.A. Cense, H.J. Heeren, P elayaran dan P engaruh kebudayaan
M a k a ssa r - Bugis
di
P an tai
Utara
A u stra lia ; G.J. Resink, N egara-negara Pribum i dikepulauan T im u r; J.C. van Leur,
A b a d he 18 seb a g a i K ateg ori dalam Penulisan Sejarah Indonesia ?;
J. Keuning, Sejarah A m bon sam pai pada akh ir A b a d Are 1 7 ; C. Nooteboom, Sumatera dan pelayaran di Sam udera Hindia', E. de Vries, M asalah-m asalah petani J a w a ; J. Prins, Pengaruh Kristen terhadap hukum A d a t ; C. Van Vollenhoven,
Suatu kitab hukum A d a t 1 untuk Hindia B elanda.
PERPUS1 FAK. HOI
He