PEMBANGUNAN, KEADILAN
HUKUM
DAN
HAK
MENCAPAI
Oleh Dr. NOMMY HT SIAHAAN
1. PENDAHULUAN Seringkali pembangunan dimaknai dengan parameter kuantitas ekonomi atau tingkat kesejahteraan secara fisik. Padahal, dari terminology pembangunan itu sendiri menyiratkan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan. Apakah kesejahteraan hanya dinilai dari segi kecukupan ekonomi atau tercapainya kebutuhan, mulai dari aspek primer, hingga sekundarial yang lebih tinggi lagi. Kesejahteraan pada dasarnya menyangkut aspek pemenuhan kebutuhan. Tetapi, kebutuhan manusia tidak hanya dipandang dari segi pangan, sandang, perumahan, dan aspek fisik saja. Namun juga adalah kebutuhan pendidikan, aspek spiritual, kebebasan, pemenuhan hak-hak asasi, dan aspek-aspek penghormatan yang layak terhadap manusia juga menjadi bagian dari kesejahteraan. Sejak KTT Rio 1992 berhasil merumuskan Deklarasi Rio dengan mengintegrasikan aspek sosial atau elemen-elemen yang terkait dengan masyarakat, dan ekologi atau segi eksistensi lingkungan, di samping aspek ekonomi, sebagai bagian mutlak dari pembangunan, maka gaung dari asas Pembangunan Berkelanjutan mulai terasa di seluruh Negara di dunia. Tidak terkecuali di lndonesia, yang di dalam perundangannya sudah mengakomodasikan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Developmenf) sebagai basis pembangunan, khususnya menyangkut aspek lingkungan, pengelolaan SDA, dan dalam berbagaiproduk kebijakan menyangkut aspek sosial. Namun demikian, hingga kini, masih terasa bias bahwa pembangunan masih saja dimaknai sebagai proporsi kuantitas ekonomi, parameter fisik atau aspek kuantitas pertumbuhan. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa hukum seringkali dimaknai diluar pembangunan, keadilan adalah urusan sosial, penegakan hukum sebagai aspek suplementer dari pembangunan. Maka tidak heran, dengan pendekatan secara dimensi pembangunan ala kuantitas ekonomi atau angka-angka pertumbuhan, tanpa menilainya pula daridimensi lain seperti sosial, hukum, spiritual, persoalan hak, dan penghargaan atas martabaUharga diri manusia, terjadilah berbagai letupan sosial, kasus-kasus kekerasan di tengah. masyarakat Hal ini pula yang memicu ketegangan atau konflik sosial, baik secara vertical maupun secara horizontal. Kasus Mesuji, di Prop Sumatera Selatan, yang menewaskan 5 orang, menyangkut masalah SDA lahan antara warga dengan perusahaan; kasus Mesuji yang lain (2009) di Prop Lampung, menyangkut SDA lahan (HGU di Register 45 Kab Mesuji), dan kasus Mesuji pada akhir 2011, menewaskan 1 orang dan 6 warga menderita luka. Kasus ini terjadi karena pendekatan yang dilakukan lebih kepada aspek ekonomi. Di satu pihak, pendekatan sosial tidak dilakukan dengan baik, tetapi lebih mengedepankan pendekatan pembangunan. Hukum sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan, seharusnya dapat berperan penting. Karena hukum berperan sebagai alat mencapai keadilan, alat merubah cara berpikir masyarakat, di samping juga sebagai alat menciptakan ketertiban dalam proses pembangunan. Temyata, hukum disalah artikan, hanya semata sebagai alat repressif. Andaikata hukum dipandang sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam mencapai kebutuhan, tidak saja fisik (primer), tetapi juga alat pemenuhan hak-hak sosial, hak-hak pembangunan, dan sebagai alat aksesibilitas berperan sebagai subyek pembangunan, maka mungkin kasus-kasus sosial dapat dengan mudah diselesaikan, tanpa meluas dengan skala yang sekarang.
Akan sangat rentan lagi kiranya penanganan sosial ke depan, bila aspek pembangunan berkelanjutan tidak dimaknai dan diimplementasikan dengan memberi proporsi yang sama antara aspek ekonomi, sosial dan penanganan sumber daya alam dan lingkugan. Hukum dan keadilan, bila tidak diintegrasikan dengan baik kepada persoalan ekonomi, hanya akan menjadi diskursus yang tidak ada hentinya untuk menjadi perbincangan yang mencemaskan di tengah masyarakat. Berikut di bawah ini dapat dideskripsi hubungan antara pembangunan dengan hukum dan keadilan. II. DARI PEMBANGUNAN KE PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN ISUSTAINABLE DEVELOPMEN Pada awalnya diyakini oleh banyak negara, khususnya negara berkembang, pembangunan hanya mungkin dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonomi semata. Ekonomi yang terbangun secara optimal, akan mampu mendobrak keterbelakangan, menumbuhkan aktivitas di seluruh lapisan masyarakat, selanjutnya mensejahterakan bangsa. Setidaknya menurut Todaro, tiga hal sebagai ciri yang mendominasi Negara berkembang: Pertama, kemiskinan dengan segala implikasinya; Kedua, produktivitas yang menjadi penggerak tingkat kesejahteraaan amat rendah; Ketiga, sumber-sumber hidup lebih dominan kepada sumber daya alam yang tidak memilikidaya olah yang memadai. Semangat pembangunan memunculkan banyak hal, dan hal yang paling penting disini adalah, walaupun pembangunan memperlihatkan hasil berupa tingkat produktivitas, namun pada gilirannya kemudian, harus mengorbankan cosf yang tidak ternilai. Pengorbanan apa pada cost yang tidak temilai itu ? Dapat disebut berupa : a. kerusakan lokal bagi lingkungan, seperti pencemaran, penyusutan sumber-sumber alam hutan, tambang, dan penyempitan lahan produktif karena overeksptoitasf. b. Kerusakan global yang menghantui masa depan bumi seperti penipisan ozon (ozone depletion), pemanasan bumi (global warming), dan kehancuran keanekaraaman hayati (bio dive rsity). c. Kerugian materil dan moril sebagian penduduk karena tekanan dan kehancuran lingkungan. d. Terjadinya pemiskinan atau setidaknya menimbulkan gap yang sangat jauh antara si miskin dengan si kaya. e. Pengorbanan nilai-nilai HAM. f. Konflik horizontal dan vertikal di kalangan penduduk karena eksploitasi sumber daya alam. Para pakar mecoba menawarkan supaya pembangunan perlu ditinjau kembali dan definisinya perlu diperbaiki, agar tidak hanya berpusat kepada variable ekonomi, melainkan juga kepada faktor-faktor yang komprehensif. Kemudian lahir lah prinsip. Eco-Development dan kemudian berkembang menjadi Sustainable Developmen , yang di lndonesia diartikan sebagai Pembangunan Befuelanjutan. Konsep Sustainable Developmenf terlahir dan EARTH Summit di Rio (KTT Rio) pada tahun 1992 untuk menjawab tantangan masalah lingkungan dan pembangunan yang cenderung meningkat meskipun telah disepakati prinsip-prinsip perlindungan lingkungan pada Deklarasi Stockholm tahun 1972.
lnti makna dari pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencapai kesejahteraannya. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan membutuhkan sebuah integrasi pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan ke dalam arus utama pembangunan nasional agar kedua aspek demikian mendapat perhatian yang sama bobotnya dengan aspek ekonomi. Tidak boleh ada pengutamaan satu aspek dan mengorbankan aspek lainnnya, yang dengan demikian aspek-aspek sosial budaya dan lingkungan tidak mesti dikorbankan demi pembangunan ekonomi. Jadi ada tiga pilar yang harus diperhatikan di dalam pembanguna berkelanjutan, yakniekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Bila dimaknaidisini maka interrelasi masa kini dengan masa datang ditandai dengan kondisi kualitas kehidupan yang eskalatif, yakni generasi masa depan seyogyanya jauh lebih baik dan terjamin atau setidaknya tidak boleh kurang darf masa sekarang. Dengan demikian tugas kita pada generasi sekarang ialah merancang dan mempersiapkan keberlangsungan kehidupan yang lebih baik pada generasiyang akan datang. Atas dasar itu, guna mengimplementasikan konsep sustainable development, bebagai rangkaian agenda dunia, dirumuskan dalam berbagai produk keputusan konperensi (konvensi,protocol,action plan,dlf. Hal itu dapat dilihat mulai dan Deklarasi Rio, Konvensi Perubahan lklim (Climate Change Convention).Mitlenium Development Goals (MDGs), hingga REDD Plus.
Namun, dalam bebagai realitas, pembangunan berkelanjutan masih saja tidak bisa menghindarkan diri dari pembangunan yang bias kepada nilai-nilai ekonomi, kesejahteraan, dan kehidupan materil umat manusia. Nyatanya, hingga tercetusnya Deklarasi Stockholm sampai Rio, tidak terdapat kemajuan yang berarti untuk meningkatkan kualitas lingkungan, kualitas sumber daya manusia, di samping meningkatkan taraf hidup secara ekonomi. Secara empirik, dapat dicatat, tidak sejalan dengan apa yang digariskan dalam Deklarasi dan statemen pembangunan berkelanjutan. Di belahan dunia, khususnya Negara miskin, eksploitasi sumber daya alam ditolerir sedemikian rupa untuk mendapatkan devisa dan modal pembangunan, pencemaran lingkungan tidak jarang mengikuti kegiatan-kegiatan industri, terjadinya penggusuran penduduk dari permukimannnya untuk memperoleh sumber-sumber alam, tidak adanya akses hukum yang jelas dan pasti bagi penduduk tatkala mengalami ketidak adilan lingkungan, kapitalisme menjadialam pemikiran baik bagi kaum bisnis maupun birokrat. Di lndonesia hal serupa banyak terjadi. Contoh kasus dapat ditunjukkan, dan yang masih segar di ingatan adalah kasus okupasi lahan di Mesuji Sumatra Selatan dan Lampung, yang hingga kini masih meletupletup dan kasus di Lombok NTB, yang menimbulkan konflik vertical dan mengakibatkan nyawa melayang. Sebelumnya dapat dicatat berbagai konflik menyangkut pengelolaan sumber daya alam, antara lain: a. Kasus PT lndorayon di Sumatra Utara memberikan gambaran yang jelas tentang terjadinya konflik horizontal yang lebih serius daripada konflik secara vertikal, dan beberapa analis menyatakan bahwa tampaknya kasus demikian dikondisikan sedemikian rupa supaya tujuan yang dicanangkan sebelumnya bisa dicapai. b. Kasus masyarakat lokal Dayak di 9 Desa Sandai, Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat melakukan aksikeras dengan melakukan perlawanan berupa merusak/membakar segala hal yang dapat dibakar seperti basecamp, mesin diesel, gergaji mesin, terhadap PT Lingga Tejawana, perusahaan HTI (Hutan Tanaman lndustri), atas tanah masyarakat yang dipakai untuk areal HTl, yang akibatnya menimbulkan kerusakan kurang lebih 5 milyar rupiah. c. Kasus-kasus lain tidak bisa dilupakan seperti Kedung Ombo, kasus tambang emas di Minahasa Newrnont, perusahaan Amerika Serikat di Sulawesi Utara, atau kasus sengketa
kepemilikan lahan pertambangan suku Amungme dan Komoro dengan PT Freeport, juga perusahaan Amerika Serikat. Mengapa hal itu terjadi, padahaldisepakati bahwa pembangunan berkelanjutan pada intinya membonceng tripilar aspek kepentingan, yakni ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup? Bila mana diperhatikan, temyata pembangunan berkelanjutan masih saja secara reflektif mengutamakan kepentingan kesejahteraaan ekonomi, karena kesejahteraan ekonomi menjadi tujuan pokok dari pembangunan. Bahkan secara terang-terangan, tidak sedikit Negara dunia ketiga mendeklarasikan kebijakannya bahwa tujuan Negara adalah mensejahterakan masyarakat dengan menjadikan aspek ekonomi sebagai panglima. Pada masa Orba misalnya, dalam program pemerintah melalui Pelita dicanangkan secara jelas bahwa ekonomi dan industry merupakan panglima pembangunan. Ketidakberdayaan konsep pembangunan berkelanjutan, kemudian menjadi pemikiran bagi ekolog dan pakar etika lingkungan. Dengan mendasarkan kepada kritik Arne Naess terhadap konsep pembangunan berkelanjutan, seorang ahli etika lingkungan Sonny Keraf (Mantan Menteri Lingkungan) perlu menggeser paradigm menjadi keberlanjutan ekologi, yakni berupa kebijakan nasional yang memberi prioritas pada kelestarian bentuk-bentuk kehidupan di bumi ini demi mencapai keberlanjutan ekologi. Sasaran utama disini bukan pembangunan itu sendiri tetapi mempertahankan dan melestarikan ekologidan seluruh kekayaan bentuk-bentuk kehidupan didalamnya. Tolok ukur keberhasilan di dalam paradigma keberlanjutan ekologi adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, sosial budaya, dan ekonomi secara proporsional, dan tidak lagi berdasarkan kemajuan materil semata-mata seperti selama ini. III. HUKUM DAN KEADILAN DALAM PEMBANGUNAN Didasarkan pada masalah-masalah di atas, salah satu hal yang menjadi benang merahnya adalah menyangkut penilaian atas manusia dalam konteks pembangunan. Dimana letak posisi manusia dan apa yang patut dipenuhi dalam rangka kemanusiaan manusia sebagai makhluk dalam interaksi pembangunan itu. Bagaimana manusia dijadikan sebagai subyek yang patut diberikan atau dikembalikan kepada hak-hak dan harkatnya ketika pembangunan itu dihadirkan atau dihadapkan kepadanya. Deklarasi Hak atas Pembangunan yang ditetapkan fl/tajelis Umum PBB No 411128 tanggal 4 Desember 1986 menyatakan, hak atas pembangunan(ight to development) sebagai hak asasi manusia yang tidak bisa dicabut. Untuk itu, setiap orang dan semua rakyat mempunyai hak untuk berperan serta, menyumbang dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik, yang di dalamnya semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat diwujudkan secara utuh. Sesuai deklarasi PBB diatas, hak atas pembangunan merupakan hak setiap pribadi manusia. Dalam peran "pribadi manusia" selanjutnya dirumuskan oleh PBB sebagai secara aktif dan pewaris atas pembangunan. Baik secara tersirat maupun tersurat, hak pembangunan dijamin secara hokum berupa hak untuk mempertahankan hidup atau meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya ( UUD 45 Pasal 28 ayat 1, UU HAM No 39 Tahun 1999 Pasal 9 ayat 1). Apabila disimak maka apa yang sepatutnya dikehendaki dalam pembangunan adalah basis manusia sebagai tujuan dan sasaran (kepentingan) dari seluruh perancanaan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Maka posisi manusia dalam pembangunan hendaknya dimaknakan sebagai berikut:
a. Manusia sebagai subyek pembangunan, yakni manusia yang menjadi perencana, pelaku dan tujuan dari pembangunan; b. Pembangunan bertujuan mensejahterakan, bukan sebaliknya malah membuat kesengsaraan atau pendertiaan; c. Pembangunan memberikan ruang pertisipasi; d. Pembangunan membuka akses keadilan bagi masyarakat; e. Pembangunan seyogyanya dikontrol atau diawasi oleh masyarakat, supaya arah dan tujuan goal dari pembangunan itu bisa mencapai sasaran yang dapat dinikmati seluruh anggota masyarakat. Untuk memposisikan butir-butir disebut di atas, hukum sebagai instrument basis kepastian di samping peranannya sebagai isntrumen kebijakan, dapat berperan merealisasikan keseluruhan dari apa yang dikehendaki dan dimaknai dalam proses pembangunan. Secara das sollen cita-cita suatu produk perundangan umumnya mengariskan masyarakat sebagai tujuan, seperti mensejahterakan, meningkatkan taraf hidup masyarakat, kemakmuran dan keadilan. Lihat misalnya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun secara das sein, Cita-cita hukum seperti tiu seringkali tidak sejalan, bahkan jauh menyimpang dari cita-cita yang digariskan di dalam suatu produk perundangan.Dalam produk perudangan di sektor pengelolaan sumber daya, seringkali terlihat antarakonsiderans suatu UU dengan isi pasal-pasalnya berbeda. Bila pada frasa-frasa konsiderans basisnya adalah kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, atau kepentingan rakyat banyak, namun di dalam rumusan pasal-pasalnya justru yang berperan adalah para pelaku ekonomi (pemiliki modal). Jadi tetap disini dimemsinya adalah pembangunan konvensional. Begitu pula, dalam Konsiderans dirumuskan partisipasi rakyat, akses masyarakat untuk mengontrol, hak-hak menuntut keadilan, kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Tetapi di dalam pasal-pasalnya, kepentingan rakyat tidak dirumuskan secara jelas. Atau ada yang mampu dirumuskan dengan baik, namun terhambat di dalam mekanisme pelaksanaannya, karena memerlukan pengaturan organik, sementara pengaturan organiknya tersebut, hingga UU tersebut dicabut /diganti akses perundangan organiknya tersebut tidak kunjung dibuat. Contoh kompensasi secara strict liability, yakni gantirugi secara langsung dan seketika tanpa korban (penggugat) mendasarkan bukti-bukti kesalahan si pelaku (tergugat). Rezim hukum ini memberi kemudahan bagi korban pencemaran atau pembangunan, dan sudah diatur sejak UU No 4 Tahun 1982, hingga diganti kemudian dengan UU No 23 Tahun 1997, dan kemudian diganti pula dengan UU No 32 Tahun 2009, stict liability tersebut tidak pernah jelas pelaksanaannya. Adakah keadilan disini? Feng Liu bahwadsumber daya lingkungan kerap kali dihadapkan pada persoalan perspektif persamaan dan keadilan (equity and justice), disebutkan bahwa keadilan dalam pengelolaan sumber-sumber alamseringkali menjadi barang mahal untuk dlgugat dan dipersoalkan. Karena faktanya, sejak ratusan tahun lalu para filsuf dan ilmuan sosial telah mempersoalkannya, namun tidak pernah para peinangku hak yang sebenarnya mendapatkan keadilan itu pada proporsinya. Padahal Manaster memandang keadilan begitu penting baik bagi standar-standar hukum yang menata aktivitas yang memberikan dampak-dampak lingkungan, maupun sebagai prosedurprosedur hukum untuk pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik atas persoalan lingkungan dan sumber daya alam. John Rawls dengan mendasarkan pada aspekyusfibe as fafness berpendapat perlu adanya keadilan yang diformalkan melalui kerangka hukum dan peraturan perundangundangan sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksi sosial.
Menurut Rawls, keadilan formal menuntut kebersamaan minimum bagi segenap masyarakat.s Keadilan hanya dapat secara efektif mengatur masyarakat bilamana konsep keadilan memiliki bobot public acceptibility bagi kalangan umum serta memberikan perlakuan yang sama bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan regulatif yang di dalamnya terkandung pengakuan kebebasan dan kesamaan bagi semua (equality) . Berbicara tentang hukum dan keadilan, maka resolusi yang perlu diambil sekarang adalah bagaimana pembangunan itu menjadi milik seluruh rakyat, memposisikannya sebagai pelaku dan menjadi tujuan dari pembangunan. Demikian pula, hukum dapat menjadi landasan yang mengakomodasikan hak-hak masyarakat dalam pembangunan, dan hukum dapat secara nyata (das sein) menuntut keadilan dengan tingkat aksesibilitas yang memadai dalam hal pembangunan itumerugikan masyarakat. Oleh karena itu, hak-hak yang sudah ada dalam pembangunan perlu ditingkatkan aksesibilitasnya, melalui mekanisme hukum yang pro rakyat, pro keadilan, dan menyejahterakan rakyat. Ada beberapa hak-hak pembangunan yang perlu diakomodasikan melalui mekanisme hukum seperti disebut di atas. a) Hak masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. b) Hak masyarakat dalam informasi (mendapatkan dan memberikan informasi). c) Hak masyarakat mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. d) Hak berpendapat masyarakat di dalam proses perizinan termasuk pembuatan Amdal. e) Hak didalam penataan ruang; f) Hak mengetahui kebijakan pemerintah; g) Hak mendapatkan advokasi; h) Hak mendapatkan keadilan; i) Hak masyarakat dalam kompensasi j) Hak masyarakat hukum adat di hutan; k) Hak untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya alam. Mekanisme yang perlu dibangun dalam hukum untuk merealisasi hak-hak di atas dapat dilihat dalam berbagai bentuk seperti: Akses gugatan atas kebijakan pemerintah dan kompensasi hukum lingkungan dikenal dengan class actions, legal standing,citizen law suit; o Akses partisipatoris, berupa memberikan pendapat, memberikan informasi dan mendapatkan informasi; o Akses mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. o Akses mendapatkan sumber daya sesuai hak-haknya. o
Bangunan hukum yang patut dirancang adalah hukum yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan dengan tingkat citizen proportionate accessibility, yakni warga harus dapat benar-benar memainkan kepentingan-kepentingannya di dalam interaksi pembangunan. Jangan lagi misalnya, sebuah produk perundangan telah mengakomodaasi suatu sistem yang tampaknya menolong hakhak warga, namun sistem itu tidak hidup, tidak applicable, tidak dengan sendirinya dijadikan sebagai instrument hukum untuk mewujudkan kepentingan dan perannya dalam proses interaksi pembangunan. IV.PENUTUP Paradigma pembangunan hendaknya juga berbasis masyarakat (bottom up) dan patut ditinggalkan economic centralized atau semata-mata menilai dari faktor kuantitas pertumbuhan ekonomi, faktor
materil atau fisik. Mendasarkan kepada brinsip basis masyarakat, proses pembangunan hendaknya diikuti oleh elemen-elemen hukum yang adil terhadap keberadaan dan kepentingan masyarakat. Nilai demikian menjadi salah satu elemen yang tidak dapat dilepaskan dari prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sebagai model pembangunan yang keluar darikacamata yang semata focus kepada dimensi ekonomi atau kuantitas, tidak pantas lagi dapat diterapkan pada masa kini. Hukum sebagai alat pembaruan, termasuk dalam pola pikir, hendaknya pula diparadigmakan ke dalam tema pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan via Agenda 21 menyatakan bahwa begitu esensial untuk mengembangkan dan melaksanakan hukum dan peraturan yang integratif, dapat ditegakkan, dan efektif yang dapat didasarkan atas prinsip sosial, ekologi, ekonomi, dan ilmiah yang kuat. Dari segi instrumen hukum bagi esensialnya pembangunan berkelanjutan dapat dikaitkan dengan pendapat George H.de Berndt Romily, dan Anne Daniel. Romily mengatakan, meskipun pengembangan hukum nasional akan digerakkan oleh kebutuhan, persyaratan, dan prioritas yang khusus dirasakan oleh negara yang bersangkutan, namun suatu jangkauan luas dari berbagai sektor perlu diatur apabila sesuatu strategi hukum untuk pembangunan berkelanjutan ingin memperoleh hasil yang baik. Sementara menurut Daniel , hukum yang hendaknya diinternalkan pada pembangunan berkelanjutan ialah sifat dinamik hukum yang sejauh mungkin memiliki pendekatan yang fleksibel dan lancar demi menghindari penundaaan yang lama dalam menangani kepedulian yang serius. Hukum dapat memberikan landasan bagi perubahan perilaku ya ng diperlukan bagi pengem bangan masyarakat yang berkelanjutan. Semua hak-hak masyarakat dalam pola-pola aksesibilitasnya untuk keadilan di bidang pembangunan dan pengelolaan SDA, dapat dimekanismekan dalam implementasi hukum cian penegakannya.