Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat dan Pembangunan Regional1 Semiarto Aji Purwanto (Universitas Indonesia)
Abstract The management of natural resources is authorized with local regulations when dealing with forest community and legal law including some parties from outside of particular forest area. The two contrasts between the local and national regulations have frequently taken place as result of conflict of interest. Therefore some questions arise: how is the development of such conservation areas meet with the local regulation or adat? Is the activity to make use of the resources by the community remain possible? To response to the question the writer would like to argue that assessment of how a national park management interact with local regulations and hak ulayat or communal rights, one should aware of the contexts of their interaction as well as the following aspects: historical, adat law, economical, institutional and the dynamic of local politics. These have to be emphasized since the national park policy in Indonesia can be seen as the manifestation of state territorialization which result in the marginalization of adat community. All parties interests in natural resources are consider as national citizen and legally authorized to manage or exploit the resources inside the country’s territory. Cases from the four national parks observed concluded that even when they live in around the park as indigenous, they are not automatically awarded their traditional rights or access to make use of the parks. Key words: national park; territorialization; ‘masyarakat adat’, natural resources management.
Pendahuluan Prinsip untuk mengelola alam secara berkelanjutan dalam kenyataannya seringkali bertentangan dengan asas investasi ekonomi yang menginginkan pendapatan maksimal dengan pengeluaran yang minimal. Oleh karena 1
Tulisan hasil revisi yang pertama kali disampaikan dalam panel “Conservation through Partnership: Case Studies of National Park in Indonesia” pada Simposium Internasional ke-4 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA: “Indonesia in the Changing Global Context: Building Cooperation and Partnership?”, Universitas Indonesia, Depok, 12–15 Juli 2005.
itu sejumlah pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam menjadi mutlak diperlukan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam sangat erat kaitannya dengan para pelaku yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam tersebut. Dalam konteks sumberdaya alam berupa hutan dan lingkungannya, kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan diatur menurut aturan lokal yang melibatkan para pelaku masyarakat setempat dan aturan nasional yang melibatkan tidak saja pelaku setempat tetapi juga pendatang atau investor dari luar wilayah.
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
269
Sumberdaya alam berupa hutan merupakan tempat hidup bagi masyarakat sekitar hutan yang hidup bergantung pada sumberdaya tersebut. Mereka dikenal sebagai forest dependent people yang mengandalkan hutan tidak saja sebagai sumber energi tetapi sebagai tempat untuk hidup. Untuk memanfaatkan hutan biasanya mereka mengacu pada aturanaturan yang disusun secara turun temurun dan berlaku pada kelompok-kelompok masyarakat sekitar hutan. Aturan yang lazim disebut sebagai hak ulayat ini mencakup aturan penguasaan sumberdaya hutan, kewilayahan dan pemanfaatannya Tidak dapat dipungkiri, dalam konteks nasional, hutan juga merupakan sumberdaya dan energi bagi sebuah negara. Untuk itu ada pengaturan yang secara istimewa lekat pada negara guna mengelola sumberdaya alam yang ada. Dalam hal negara mengatur sumberdaya alam, aturan yang berlaku secara adat atau hak ulayat biasanya menjadi tidak valid lagi keberlakuannya. Salah satu pengaturan yang dibuat negara untuk mengelola sumberdaya hutan adalah dengan membuat Taman Nasional sebagai wilayah konservasi. Tujuan utama pendirian taman nasional di samping untuk konservasi binatang atau tanaman tertentu adalah juga sebagai kawasan yang berkontribusi positif untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya, sebuah tujuan ideal yang telah banyak dibahas dinamikanya (Sayer dan Campbell 2004; Zerner 2000; Lynch dan Harwell 2002). Dua kontras antara aturan nasional mengenai konservasi dan aturan lokal mengenai pemanfaatan hutan, menurut Peluso (1992) sering kali bertemu pada konflik kepentingan antar keduanya. Oleh karena itu muncul pertanyaan bagaimana pemberlakuan wilayah konservasi bertemu dengan pengaturan oleh masyarakat setempat? Apakah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat setempat masih dapat dilakukan?
270
Kedua masalah tersebut menjadi fokus utama kajian ini. Data dalam tulisan ini mengacu pada penelitian yang saya lakukan untuk Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI tahun 2003,2 untuk melihat apakah penetapan taman nasional sudah memenuhi hak asasi manusia terutama hak-hak masyarakat setempat. Pendekatan terhadap taman nasional Kegiatan pemanfaatan dan pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat dilepaskan dari konsep siapa yang berhak atas sumberdaya tersebut. Pengaturan mengenai sistem yang mengatur penguasaan atas sumberdaya alam baik agraria, air, udara maupun obyek yang ada padanya disebut sebagai sistem tenurial. Sebagai sebuah hak, sistem tenurial merujuk pada seperangkat hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Jadi sistem tenurial tidak pernah berdiri sendiri tapi selalu terkait dengan institusi. Karena berkaitan dengan sumberdaya alam, maka tenure system mengikuti komoditi yang dihasilkan dari sumberdaya alam tersebut. Kita mengenal land tenure, trees tenure, sea tenure, dan water tenure sebagai manifestasi dari sistem tenurial yang ada pada masyarakat. Sebagai bagian dari fungsi negara menjadi agen kesejahteraan masyarakat, kepada negara diberikan hak secara konstitusional untuk menguasai sumberdaya alam yang ada di wilayah kekuasaan negara. Pasal 33 ayat 3, UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. 2
Penelitian dilakukan pada tahun 2003 oleh tim dari Laboratorium Antropologi FISIP UI dengan peneliti Fadli Yusfi, Raymond Michael dan Semiarto A. Purwanto. Dalam tim tersebut juga terlibat beberapa peneliti dari Departemen Hukum dan Perundangundangan RI. Penelitian dilakukan di empat taman nasional yaitu: Gunung Palung, Leuser, Kerinci Seblat dan Kutai.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
Secara teoritis, segera setelah berlakunya hukum nasional, hukum adat dan kebiasaan yang ada pada masyarakat akan dianggap tidak mempunyai kekuatan lagi. Kenyataannya, fungsi negara sebagai pengatur dan pengelola rakyat dalam batas-batas tertentu tidak dapat menggantikan fungsi adat. Sistem tenurial adat atau customary tenure system merupakan sistem penguasaan sumberdaya yang bersumber pada aturan hukum adat, tradisi atau kesepakatan dalam masyarakat yang sudah menjadi ‘hukum’. Secara umum, dalam bidang kepemilikan sumberdaya customary tenure system ini disebut sebagai hak ulayat. Munculnya sengketa atau dispute dalam suatu masyarakat yang menganut legal plurality adalah suatu hal yang sangat logis,3 terutama dalam situasi ketika ada satu sistem hukum yang mendominasi dan menegasikan yang lain. 3
Ketika para ahli hukum menyatakan bahwa hukum atau law merupakan produk negara dan menjadi satusatunya yang berlaku di wilayah administratif negara tertentu, maka hukum yang lain dianggap tidak ada atau tidak berlaku. Fenomena inilah yang oleh J. Griffith (1986) disebut sebagai sentralisme hukum atau legal centralism. Masalahnya, apa yang terjadi dalam masyarakat tidak sesederhana dalil di atas; meskipun benar negara tampil sebagai satuan administratif tertinggi, berdaulat dan berkemampuan memaksa, namun faktanya sistem hukum lain tetap bermain dan menjadi acuan masyarakat, pada saat yang sama ketika hukum negara juga diacu. Pada kondisi demikian, terjadilah pluraliseme hukum yang ”...terjadi apabila suatu wilayah sosial memiliki lebih dari satu sumber hukum dan lebih dari satu tertib hukum” (Griffith 1986:1) Saat ini, perkembangan konsep pluralisme hukum menjadi lebih kritikal, melihat bagaimana individu sebagai subjek hukum dipandang sebagai aktor yang kreatif dalam proses pembentukan hukum. Bukan sekedar sebagai objek yang kepadanya dikenakan sejumlah aturan, entah dari negara, adat atau agama (Kleinhans dan Macdonald 2005:132–133). Kompleksitas relasi berbagai hal yang tercipta pada individu juga terjadi pada sistem hukum, sebagaimana diungkapkan Irianto (2005:62). Menurutnya, kajian pluralisme hukum pada awal abad XXI ini menunjukkan perhatian pada terjadinya saling ketergantungan atau pengaruh antar berbagai sistem hukum; di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Taman nasional dan teritorialisasi hutan Untuk kepentingan kelestarian sumberdaya alam, dengan tujuan paling akhir pada keberlanjutan produksi, ekosistem dan masyarakat, suatu kawasan dibagi ke dalam peruntukan tertentu yang pada intinya menetapkan wilayah yang sumberdaya alamnya dapat dimanfaatkan, wilayah konversi ke dalam pemukiman dan kebutuhan masyarakat, dan wilayah konservasi. Jepson dan Whittaker (2002) dan Wiratno et al. (2001) dan dalam bukunya menjelaskan sejarah dan alasan mengapa pada akhirnya pemerintah sampai pada kebijakan membuat taman nasional. Selain untuk memenuhi persyaratan konvensi internasional mengenai pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati, juga ada alasan ekonomi dan politik untuk mengontrol sumber daya alam tersebut. Secara khusus, Jepson dan Whittaker (2002) mengatakan bahwa taman nasional dibuat dengan motivasi untuk menjaga suatu kawasan bagi kepentingan ilmiah dan keindahan alam serta tanggung jawab moral untuk menjaga segala bentuk kehidupan yang ada. Para penulis ini merunut kebijakan pemerintah Indonesia tentang taman nasional dari kebijakan dan praktik yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda untuk mengontrol tanah dan lahan bagi kepentingan ekonomi dan politik mereka. Khususnya untuk wilayah konservasi ada beberapa konsep yang berkaitan dengan cara dan obyek yang dilindungi. Konsep-konsep itu dalam pemahaman formal di Indonesia diatur melalui UU No. 11 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam, yaitu hutan lindung, kawasan suaka alam—yaitu suaka margasatwa dan cagar alam—dan kawasan pelestarian alam. 4 Tujuan utama pendirian 4
Hutan lindung adalah suatu wilayah hutan dengan kriteria alam yang berada dalam kelerengan di atas 45% yang membuat wilayah itu sangat peka terhadap
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
271
taman nasional di samping untuk konservasi binatang atau tanaman tertentu adalah juga sebagai kawasan yang berkontribusi positif untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya, intervensi yang merusak lingkungan. Jenis tanahnya sangat mudah erosi yang menyebabkan sungai-sungai mengalami pengeruhan dan pendangkalan. Hutan lindung ditetapkan untuk tujuan mengatur tata air wilayah, pencegahan bencana banjir dan erosi serta untuk menjaga kesuburan tanah. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan konservasi keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sebuah kawasan suaka alam secara khusus akan menjadi cagar alam apabila kekhasan tertentu yang dikandungnya berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya unik dan perlu dilindungi. Cagar alam juga merujuk pada pengertian ekosistem tertentu yang khas dan perlu dilindungi. Sementara, apabila obyek yang dilindungi berupa satwa baik karena keunikan maupun karena keanekaragamannya, maka kawasan suaka alam tadi dinamakan suaka margasatwa . Dalam kawasan suaka, secara konseptual dan legal (UU No. 11/1990) tentang konservasi sumberdaya alam, kita tidak berbicara tentang pemanfaatan sumberdaya alam tersebut secara aktif. Manfaat dari eksistensinya akan dirasakan secara alami sebagai bagian dari proses kehidupan. Dalam konsep kawasan pelestarian alam kita melihat manfaat dari sumberdaya alam yang terkonservasi dengan baik bagi kegiatan pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Sebuah kawasan pelestarian alam merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Secara khusus, berdasarkan pemanfaatannya, ada tiga jenis kawasan pelestarian alam yaitu: taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli/bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Sementara taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dipergunakan untuk kepentingan pariwisata dan rekreasi.
272
sebuah tujuan ideal yang telah banyak dibahas dinamikanya (Sayer dan Campbell 2004; Zerner 2000; Lynch dan Harwell 2002). Dengan pembedaan seperti disarankan dalam UU di atas menjadi jelas bahwa pembagian kawasan hutan atau lautan sebagai sebuah sumberdaya alam menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Pembagian kawasan atau teritorialisasi tersebut mengisyaratkan secara jelas pada bagian mana yang merupakan wilayah produksi, wilayah konversi untuk masyarakat dan wilayah perlindungan. Teritori alitas (teritoriality) merupakan sebuah konsep yang mengalami pengkhususan makna, dari sekedar merujuk pada aspek geografi atau lokasi, menjadi berdimensi sosial, ekonomi dan politik. Banyak ahli melihat teritorialitas sebagai sebuah usaha negara untuk mengontrol wilayah, Vandergeest dan Peluso (1995) di Thailand, Vandergeest (2003) di Laos, dan Sowerwine (2004) di Vietnam. Merujuk pada Sack, Vandergeest dan Peluso (1995) memformulasikan teritorialitas sebagai ‘attempt by individual or group to affect, influence or control people, phenomena and relationship by delimiting and asserting control over a geographic area’. Definisi ini menunjukkan bahwa kontrol atas suatu lokasi tertentu berimplikasi pada hal-hal lain yang bersifat sosial-ekonomi-politik karena mempengaruhi kegiatan apa saja yang boleh/tidak boleh dilakukan orang dalam suatu wilayah tertentu. Teritorialitas meliputi klasifikasi menurut wilayah yang secara teoritis menyebabkan munculnya sebuah pengaturan atas sumberdaya di dalam wilayah (territory) tertentu. Penguasaan atas suatu wilayah biasanya dikomunikasikan melalui tanda-tanda tradisional (batas berupa pohon, sungai atau lembah) sampai tanda-tanda modern (titik koordinat GPS dalam peta). Tanda dalam peta menjadi sangat penting bagi sebuah negara modern untuk mengkomunikasikan hak penguasaan (property rights) karena teritorialitas pada suatu negara
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
modern biasanya didasarkan pada suatu ‘ruang yang abstrak’ atau abstract space (Vandergeest dan Peluso 1995:388–389). Dengan mediasi peta maka teritori negara menjadi sebuah wilayah yang konkret dan tetap. Namun bagi penduduk, yang tidak dapat mengakses peta, ruang atau teritori selalu merupakan suatu hal yang relatif dan bervariasi, tetapi terletak di suatu wilayah yang jelas; tidak abstrak. Ketidakcocokan epistemologi ruang atau teritori ini menurut Vandergeest dan Peluso (1995) sering menyebabkan penduduk tidak mau tahu dan menolak klaim negara atas batas taman nasional atau hutan konsesi. 5 Cara negara untuk memaksakan klaim teritorinya ke penduduk dilakukan dengan memperoleh pengakuan dari satu pihak di masyarakat lokal, tekanan sosial dan penggunaan kekerasan. Teritorialisasi dari negara atas sumberdaya alam dengan demikian berimplikasi pada perspektif Weber tentang legitimasi penggunaan kekerasan oleh negara, baik dalam menjaga keamanan dalam negeri maupun ketika ada ancaman dari negara lain. Penggunaan militer lalu menjadi bagian dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan alasan ancaman dari negara lain yang ingin mengambil suatu bagian (sumberdaya) negara. Karena itu, militerisasi sumberdaya alam menjadi bisa diterima dalam konteks kehidupan bernegara (Vandergeest dan Peluso 1995:390). 5
Ada tiga persoalan utama yang berkaitan dengan sistem tenurial di negara kita, secara khusus dalam konteks pengelolaan hutan. Akar masalah ini adalah kenyataan dalam tata hukum yang berlaku di masyarakat yang mentolerir keberlakuan beberapa sistem hukum sekaligus, sekalipun dalam tingkatan yang berbeda. Kita mengenal dan mengacu pada paling tidak tiga sistem hukum: adat, nasional, dan agama. Persoalan tenurial dalam pengelolaan hutan yang terutama adalah monopoli negara atas sumberdaya alam; berlakunya aturan adat secara terbatas di beberapa tempat; sengketa dan klaim sebagai akibat dari fenomena legal plurality.
Negara menurut Vandergeest dan Peluso (1995) berkepentingan atas teritorialisasi suatu wilayah karena dua alasan; pertama untuk memantapkan klaim atas penduduk, pajak dan potensi sumberdaya alam karena hanya territorialized location-lah yang diakui negara lain di dunia ini. Ke dua, teritorialisasi meningkatkan efisiensi pemungutan pajak yang akan dipakai sebagai sumber pembayaran belanja birokrasi dan militer. Dengan fungsi ini maka teritorialiasi lalu bersentuhan dengan dimensi perdagangan dan karenanya punya fungsi ekonomi yang sangat penting. Pengaturan wilayah juga diperlukan untuk mengelola kegiatan seharihari penduduk to organize surveillance, gather information about the population, force them to settle (pada masyarakat peladang berpindah), and organize close control over people’s everyday activities’. Dengan perspektif di atas, kedua penulis menjelaskan bagaimana Thailand sebagai sebuah nation-state memperluas dan mengintesifkan strategi teritorialisasi untuk mengontrol penduduk dan sumberdaya. Proses teritorialisasi di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh ide kapitalis yang datang abad XIX. Sebelumnya, ide penguasaan wilayah atau lahan tidak begitu populer bagi bangsa-bangsa di kawasan ini, kecuali di Vietnam. Jennifer Sowerwine (2004) yang mengkaji dua desa di dataran tinggi Vietnam bagian utara, mendeskripsikan bagaimana negara membayangkan lahan hutan dan melakukan proses teritorialisasi dengan mekanisme survei, mengklasifikasi, memetakan dan meregister lahan hutan ke dalam bagian-bagian tertentu. Sowerwine mengkaitkan fenomena yang terjadi sebagai akibat dari policy negara di tingkat makro, berinteraksi dengan pemahaman masyarakat lokal atas policy tersebut dan diwarnai juga oleh pemerhati lingkungan internasional yang memfasilitasi proses
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
273
tersebut. Pemahaman lokal berupa kekuatan politik setempat, kekhasan wilayah ekologi dan aturan adat yang berinteraksi dengan peluang ekonomi yang tercipta setelah ideologi sosialis runtuh, telah mempengaruhi kebijakan kehutanan pemerintah; sebuah fenomena innovative customary property relations (Sowerwine 2004:20). Proses ekonomi global yang sangat mempengaruhi kebijakan teritorialitas negara juga diungkapkan oleh Sassen (2000). Ia menuliskan reaksinya atas dua pandangan yang mengemuka selama ini mengenai globalisasi dan kedaulatan sebuah negara-bangsa, yaitu (1) the zero-sum game, ketika ekonomi global menguat maka negara akan melemah—dan sebaliknya; (2) transaksi bisnis atau keputusan hukum bila terjadi di wilayah suatu negara maka itu merupakan sebuah national event negara tersebut. Kedua pendekatan ini menurutnya terlalu menekankan pentingnya peran negara dan kedaulatannya dalam sebuah konsep ruang-waktu yang tunggal. Padahal kalau kita sedikit saja lepaskan kedaulatan dari tangan negara maka analisis akan menjadi lain. Sassen berargumen bahwa komponen kedaulatan itu bisa berada di institusi supra atau sub-national; bisa berada di institusi pemerintah atau non pemerintah; institusi baru atau sudah lama dibentuk. Dengan melakukan de-nasionalisasi kedaulatan maka bentuk-bentuk kekuasaan (power) dan legitimacy untuk sementara kita lepaskan dari negara. Persoalan utama dalam menegakkan pembagian ini adalah sebelum pembagian ini ada, pada sebagian wilayah sudah ada masyarakat yang tinggal dan memanfaatkan sumberdaya alam di tempat itu. Pada kasus seperti ini, biasanya sudah ada pula pengaturan adat mengenai kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada. Secara khusus: sebelum suatu wilayah ditetapkan sebagai sebuah taman nasional, seringkali sudah ada kelompok
274
masyarakat yang tinggal, yang merasa memiliki wilayah itu dan memanfaatkan sumberdaya alamnya. Kalaupun tidak di dalam wilayah Taman Nasional, barangkali, ada kelompok masyarakat yang mendiami sekitar wilayah itu dan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Perkara memanfaatkan sumberdaya alam juga menjadi tidak sederhana karena jenis dan konsep yang mungkin berbeda mengenai apa manfaat hutan bagi manusia. Sebagian dari penduduk di kota menganggap bahwa hutan merupakan penyuplai kayu, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan harus dilindungi. Bagi penduduk sekitar hutan, anggapan itu mungkin akan bertambah—atau berlainan— karena lingkungan hutan itulah yang menjadi tempat mereka tinggal. Dengan demikian perkara memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di hutan harus juga dilihat dari sisi ekonomis, sosial dan budaya; dari sisi manfaat yang tangible dan manfaat yang intangible; dan komparasi manfaat sebelum dan setelah ada taman nasional. Belajar dari kajian Peluso (1992) mengenai bagaimana masyarakat desa sekitar hutan merespons kebijakan kehutanan yang dilakukan negara, kita dapat melihat dua perspektif yang berbeda tentang hutan dan pengelolaannya. Pertama perspektif negara, diwakili oleh para ahli hutan dan birokrasi kehutanan, menganggap bahwa hutan mempunyai banyak fungsi terutama lingkungan dan ekonomi; ke dua perspektif masyarakat, diwakili petani di sekitar hutan, yang menganggap hutan sebagai cadangan wilayah yang dapat secara langsung menghasilkan atau harus diolah agar bisa menghasilkan pangan. Keduanya dalam beberapa hal bertentangan, misalnya ketika pemerintah membuat kebijakan untuk melindungi hutan agar fungsi lingkungan terjamin maka akses masyarakat ke hutan harus dibatasi. Hal ini menimbulkan pertentangan di masyarakat petani sekitar hutan yang menganggap
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
mereka bisa saja ikut memanfaatkan hasil hutan bahkan lahan hutan dapat diubah menjadi lahan pertanian sehingga mereka juga mendapat keuntungan dari hutan. Dalam hal terakhir ini, perspektif negara akan bicara soal deforestasi. Manajemen hutan di Jawa dilakukan dengan membabat habis hutan rimba dan menggantinya dengan satu tanaman tertentu, dalam hal ini pohon jati. Dalam waktu yang bersamaan, masyarakat di sekitar hutan ’dikeluarkan’ dari konteks kehutanan. Anehnya, model manajemen seperti ini dianggap bagus karena menghasilkan suplai kayu yang teratur, kualitas terukur dan perencanaan kerja yang tertata. Sangat saintifik. Oleh karena itu pertanyaan besar yang muncul justru bukan dari pengelolaan kayu, tetapi efek sosial, ekonomi-politik dari pengelolaan itu terhadap masyarakat sekitar hutan. Untuk menjelaskan pertentangan petani dengan negara sebagai pengelola hutan, Peluso mengajukan aspek ideologi atau ’budaya’ dari kewenangan negara dan legitimasi untuk mengelola hutan. Baik petani maupun negara, keduanya membentuk ideologi untuk membenarkan klaim kepemilikan dan hak mereka atas hutan. Masing-masing pihak akan menolak usaha manajemen yang menguntungkan pihak yang lain, namun dinamika interaksi mereka di tingkat yang lebih luas akan sangat dibatasi oleh struktur penguasaan dan akses ke sumberdaya serta perlawanan yang muncul. Hasilnya akan sangat bervariasi dari waktu-ke-waktu. Dalam kajiannya yang lain, Peluso (2005) mengetengahkan berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat sekitar hutan atas dominasi negara dalam mengelola hutan. Koalisi masyarakat desa sekitar hutan dengan gerakan Ornop lokal di level propinsi di Kalimantan Barat telah mencatatkan bentuk perlawanan yang berbeda. Apabila di Jawa petani melawan negara dengan institusi lokal maka di Kalimantan Barat mencoba melawan
dengan amunisi yang sama dengan yang digunakan negara. Sebelumnya, masyarakat suku Dayak Salako di desa Bagak Sahwa secara turun temurun menandai wilayah kekuasaannya dengan batas pohonan terutama durian dan kuburan. Dengan tanda tersebut, mereka dapat mengenali tempat-tempat yang dulu pernah ditinggali nenek moyangnya, yang kini telah ditinggalkan. Tempat-tempat tersebut, yang dinamakan tembawang , saat ini mungkin berjumlah banyak, tersebar dalam wilayah yang luas dan sudah tumbuh menjadi hutan dengan potensi kayunya. Apabila tidak ada klaim dari masyarakat, wilayah tersebut biasanya sudah menjadi kapling pengusaha HPH. Pohon berfungsi sebagai sebuah catatan atau tanda bagi mereka bahwa sebuah wilayah dulunya merupakan tempat tinggal/usaha kaum mereka, dengan demikian sebuah tembawang tidak saja merupakan sebuah bukti kekuasaan wilayah untuk masyarakat yang hidup jaman sekarang tetapi juga sebuah ‘travelling trajectory…they moved from their place.. to a new settlement…’ (Peluso 2005:6–7). Namun, pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan, pemerintah telah memberi nama dan batas administrasi berupa desa yang seringkali tidak kompatibel dengan konsep tembawang. Karena kekuasaan yang demikian kuat pada negara selama masa orde baru, maka peta tradisional berupa tembawang dengan batas pohon dan kuburan seringkali tidak efektif dipakai sebagai senjata ketika masyarakat desa berhadapan dengan kepentingan negara. Sebuah NGO di Pontianak lalu membuat terobosan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan metode ‘saintifik’ yang sama yang dipergunakan oleh aparat negara ketika membuat peta. Mereka memakai peta yang diproduksi dan dipakai oleh Departemen Kehutanan tetapi mengisi (overlay) beberapa bagian yang diklaim masyarakt, dan menentukan koordinat dengan mempergunakan
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
275
GPS (Peluso 2005:10–11). Counter-mapping, demikian usaha mereka disebut, menjadi alat bargaining bagi masyarakat desa kepada negara karena mereka sekarang menggunakan bahasa yang sama ketika bicara satu teritori yang mereka klaim. Cara ini terbukti ampuh, terutama pada masa sekarang ketika kekuasaan negara semakin melemah.
Adat, hukum nasional dan taman nasional: kasus-kasus studi6 Taman Nasional Gunung Palung Masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) sehari-harinya bertani, mengolah dan memanfaatkan durian yang diambil buahnya untuk membuat lempok atau dijual buahnya ke Ketapang. Keberadaan perkebunan durian yang masuk dalam kawasan TNGP inilah antara lain yang menjadi salah satu pemicu masalah masyarakat dengan pengelola taman nasional terutama berkenaan dengan masalah kepemilikan lahan. Masalah ini tidak berdiri sendiri; saat penanaman patok batas wilayah taman nasional, masyarakat merasa tidak diberikan pemahaman yang cukup soal tersebut dan tujuan pembuatan patok tidak diketahui secara jelas. Secara umum dapat dikatakan, dalam penentuan tapak batas wilayah taman nasional masyarakat tidak dilibatkan. Masyarakat mengetahui informasi tentang zonasi di dalam taman nasional, namun batas riil dari zona-zona tersebut tidak dapat ditemui di lapangan sehingga masyarakat tidak 6
Data diambil dari Laporan Penelitian Dampak Penerapan Taman Nasional dengan Pemenuhan Hak Ulayat Masyarakat Asli Desa Hutan yang disusun Laboratorium Antropologi FISIP UI dengan Bidang Kajian Hak-hak Masyarakat Adat, Pusat Pengkajian Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, tahun 2003. data diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dan penelusuran dokumen yang tersedia di kantor taman nasional yang menjadi obyek penelitian.
276
mengetahui dengan pasti zona-zona yang ada. Namun dapat dipastikan bahwa masyarakat dilarang untuk memanfaatkan apa pun yang berada dalam batasan zona inti dari TNGP. Menurut masyarakat, perlakuan terhadap masyarakat di TNGP dengan di Taman Nasional Danau Sentarum yang sama-sama berada di Propinsi Kalimantan Barat berbeda; masyarakat di Danau Sentarum justru memanfaatkan hasil alam di zona inti kawasan. Berkenaan dengan tanah mereka yang masuk dalam kawasan taman nasional, masyarakat mengakui bahwa mereka memiliki surat kepemilikan yang dikeluarkan oleh wedana pada waktu itu. Tuntutan telah mereka sampaikan ke BPN namun ditolak dengan alasan tanah tersebut masuk dalam kawasan taman nasional. Sampai saat ini, masyarakat tidak mengetahui harus mengajukan tuntutan ke mana. Pihak Balai Taman Nasional sendiri dapat menerima apabila ada tuntutan dari masyarakat yang dapat dibuktikan, sehingga penyesuaian batas lahan taman nasional dapat dilakukan. Pilihan lainnya adalah mengkonversi lahan bagi masyarakat apabila lahan yang dituntut sangat dibutuhkan oleh Balai Taman Nasional untuk konservasi. Masyarakat bersedia berpartisipasi secara aktif dalam menjaga kelestarian kawasan taman nasional, terutama dikarenakan adanya hasil hutan (nonkayu) yang dapat diandalkan sebagai tumpuan hidup. Dari sisi pemerintah, masyarakat yang melakukan penebangan (illegal logging) di kawasan taman nasional dianggap sebagai pelanggar hukum, sementara dari sisi masyarakat, hal itu tidak lain merupakan pemanfaatan lahan yang mereka miliki. Jadi harus ada pembedaan antara masyarakat yang melakukan penebangan di tanah mereka, dengan masyarakat yang melakukan penebangan di luar hak mereka. Khusus untuk daerah Matan, sejak aktifnya HPH-HPH yang berbasis di sana
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
disebut-sebut sebagai pemicu agar orangorang desa mau bekerja mengambil kayu di dalam kawasan secara berlebihan dan mereka menampung (membeli), di samping sistem pengawasan dan pengamanan yang masih lemah dari pihak PHPA atau KSDA pada waktu itu. Warga masyarakat yang menempati Kabupaten Ketapang umumnya dapat dibagi menjadi dua (2) kategori. Pertama, adalah mereka yang sudah turun-temurun menetap dan kedua adalah mereka yang digolongkan sebagai pendatang. Golongan pertama terdiri dari etnis Melayu, Cina dan Dayak yang menjadi penduduk asli pulau Kalimantan, sedangkan golongan kedua terdiri dari etnis Madura, Bugis dan beberapa etnis yang datang karena mengikuti program transmigrasi. Persebaran etnis yang ada di Kalimantan Barat dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan geografis, di mana etnis Melayu dominan bermukim di daerah pesisir pantai atau sepanjang sungai-sungai besar, sementara etnis Dayak lebih terkonsentrasi di daerah pedalaman, sepanjang hulu sungai atau sungaisungai kecil. Orang Dayak memiliki hukum adat yang jelas terlebih berkenaan dengan masalah tanah, namun sayangnya hal tersebut tidak dimiliki oleh sebagian besar etnis Melayu yang mendiami daerah pesisir di Kalimantan Barat. Masyarakat yang pemukimannya berbatasan langsung dengan taman nasional Gunung Palung, sebagian besar berasal dari etnis Melayu, sedangkan sisanya berasal dari etnis Jawa, Bali (Desa Benawai Agung), dan Dayak (desa Laman Satong). Berbeda dengan etnis Dayak, etnis Melayu yang merupakan mayoritas di sekitar taman nasional Gunung Palung, tidak memiliki aturan adat yang ekslusif karena budaya mereka hampir identik dengan budaya agama Islam sehingga berbagai pantangan dan aturan yang berlaku lebih condong mengarah pada hukum Islam.
Saat penetapan Gunung Palung sebagai Taman Nasional, beberapa desa yang tadinya tidak termasuk dalam kawasan, sekarang masuk dalam kawasan. Masih menurut mereka pada awalnya komitmen masyarakat pada waktu itu demi untuk kepentingan negara mereka sangat rela dan penuh rasa bangga melepaskan wilayah yang merupakan peninggalan nenek-moyang mereka tersebut untuk dijadikan kawasan yang lebih dikenal oleh mereka dengan istilah hutan tutup, bahkan mereka turut menjaga dengan aturan lokal seperti melarang orang luar untuk mengambil kayu di wilayah mereka. Akan tetapi perkembangan jaman dan masuknya budaya luar begitu cepat, arus informasi dan tingkat kebutuhan berkembang pesat dan tidak sebanding dengan perkembangan budaya untuk melindungi dan mempertahankan aset lokal. Upaya-upaya penggalian dan penjualan kekayaan daerah dilakukan oleh oknum-oknum tidak terkecuali oknum pejabat yang tidak bertanggungjawab. Taman Nasional Gunung Leuser Penduduk desa Embu Ridi di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) menyebut hutan dengan istilah rambah atau kerangen. Kerangen diartikan sebagai kawasan hutan, pegunungan, perbukitan yang banyak ditumbuhi segala jenis pohon besar kecil dan semak belukar yang dihuni oleh hewan-hewan khas yang hanya hidup di kawasan hutan. Kerangen dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: kerangen tua, hutan yang tidak pernah dijamah oleh manusia, dengan kata lain belum dimanfaatkan untuk bercocok tanam; dan kerangen muda adalah hutan yang sudah berubah atau dikelola dan ditanami dengan tanaman keras namun tidak berhasil sehingga ditinggalkan begitu saja. Setelah beberapa tahun kawasan ini akan menjadi hutan kembali sebagai hutan sekunder dengan ciri hanya ditumbuhi pepohonan kecil dan semak belukar.
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
277
Selain berisi flora dan fauna, menurut persepsi masyarakat setempat hutan juga dihuni oleh makluk gaib. Dalam kepercayaan mereka, penghuni hutan yang tidak tampak langsung oleh panca indera manusia disebut keramat yang biasanya mendiami tempattempat tertentu di hutan. Lokasi yang ideal menurut mereka adalah gua dan hutan yang sangat lebat seperti di Pegunungan Milmil. Saat ini kepercayaan terhadap keramat tidak lagi berpengaruh terhadap aktivitas warga di sekitar hutan. Penduduk sudah tidak lagi mempercayai adanya hutan keramat yang tidak bisa dimasuki manusia. Seluruh kawasan hutan dapat dimasuki dan dimanfaatkan sumber daya yang dikandungnya. Desa Embu Ridi berada di kaki bukit yang rawan terhadap bencana longsor, penduduk menyebutkan fungsi hutan di sekitarnya sebagai kawasan penyangga tanah dan juga sumber mata air terdekat. Sulitnya pemenuhan akan air karena terdapat jauh dari pemukiman, maka penduduk desa melarang perambahan besar-besaran khususnya terhadap hutan di perbukitan Simale. Pelarangan penebangan hutan di perbukitan Simale ini merupakan hasil kesepakatan pimpinan desa dengan seluruh warga untuk tidak mengusik kelestarian hutan di sekitar perbukitan desa. Hutan memberi sumbangan sumber daya ekonomi bagi penduduk, misalnya rotan, kayu olahan, kayu bakar, dan berbagai jenis tumbuhan atau hewan yang dapat dimanfaatkan untuk dikomersilkan atau sekedar konsumsi pangan masyarakat (food security). Sikap masyarakat menanggapi perambahan hutan didasarkan pada pengetahuan akan fungsi hutan sebagai penyangga tanah longsor dan penjamin ketersediaan air. Di luar kawasan penyangga, tidak ada larangan untuk memanfaatkannya. Alasan mengenai tidak adanya larangan itu selalu dikaitkan dengan kemiskinan dan ketiadaan lahan, yang
278
merupakan alasan rasional bagi setiap penduduk untuk memanfaatkan hutan. Menurut penduduk, aktivitas penebangan yang mereka lakukan tidaklah secara total merusak kawasan hutan sebab penebangan hanya dilakukan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan papan bagi perumahan masyarakat. Kepemilikan hutan dianggap berbeda-beda oleh berbagai kelompok. Sebagian mengungkapkan hutan adalah milik Tuhan dengan implikasi semua manusia bebas memanfaatkannya tanpa terkecuali. Ada yang berpendapat hutan milik Tuhan, tapi dikelola oleh negara sehingga seluruh warga harus membatasi aktivitasnya di dalam hutan, jangan sampai menimbulkan kerusakan. Bila kerusakan terjadi maka dia akan berhadapan dengan hukum negara untuk mempertanggungjawabkannya. Sebagian lagi berpendapat bahwa hutan adalah milik negara, yang selanjutnya membagi kawasan-kawasan hutan menjadi hutan larangan atau hutan lindung, hutan produktif, dan ladang sekitar hutan yang menjadi pusat pertanian. Pada praktiknya, di Desa Embu Rindi, pemerintahan desa mengatur pemanfaatan kawasan hutan bukit Simali yang tepat berada di belakang pemukiman penduduk. Di kawasan bukit ini penduduk dilarang melakukan penebangan pohon, berdasarkan hasil kesepakatan yang dibuat penduduk untuk mengatur kawasan hutan yang bernilai penting sebagai penyangga atau sumber mata air. Di desa ini terdapat tradisi upacara tahunan yang berisi berbagai atraksi seni budaya tradisional. Upacara ini merupakan wujud dari rasa syukur para petani terhadap anugerah Tuhan dan juga merupakan doa agar selalu mendapat hasil panen yang melimpah. Upacara ini juga berfungsi untuk menyatukan dan memperkuat rasa persaudaraan antara sesama masyarakat. Pelaksanaan upacara ini dilakukan dengan biaya yang berasal dari swadaya masyarakat. Sekarang telah terjadi pergeseran
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
makna dari upacara ini karena adanya permainan judi ketika acara ini dilaksanakan. Upacara yang merupakan perwujudan rasa syukur, akhir-akhir ini hanya mempertunjukkan seremoni belaka tanpa prinsip-prinsip sosial yang jelas sebagai perekat sistem sosial. Momen upacara dijadikan sebagai ajang untuk menangguk keuntungan sebagian pihak dengan memanfaatkan keramaian untuk menggelar permainan judi atau mengadu nasib yang banyak digemari oleh masyarakat untuk kegiatan selingan atau hiburan. Dengan demikian nilai religius upacara ini jadi berkurang. Saat ini sulit untuk menemukan hukum adat yang masih dipatuhi oleh penduduk karena pihak yang merasa dirugikan dan pihak yang dituntut akan memilih untuk berpedoman pada hukum yang akan meringankan pihaknya masing-masing, baik itu hukum nasional maupun hukum adat. Dengan demikian, sulit untuk melaksanakan salah satu dasar hukum tersebut di desa ini. Kondisi ini menyebabkan peran hukum adat makin lama makin pudar dan mulai ditinggalkan. Hukum nasional lebih menjadi pilihan sekarang karena secara resmi inilah hukum yang berlaku di negara RI. Hukum adat yang masih berlaku saat ini antara lain adalah hukum perzinahan. adat beternak dan aturan membuka ladangan melalui kepala desa. Taman Nasional Kerinci Seblat Dusun Sungai Keruh dan dusun sekitarnya di wilayah Desa Pesisir Bukit, di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), berdiri sejak tahun 1903 ketika pemerintah Belanda berhasil mengalahkan Depati Parbo dan mendirikan perkebunan teh dengan membuka hutan di wilayah ini. Pada saat itu, masyarakat mulai mengenal tanaman perkebunan terutama komoditas ekspor seperti cengkeh, tembakau, kopi dan kayu manis. Tidak ketinggalan, mereka juga membuka hutan untuk lahan pertanian.
Namun keterbatasan teknologi membuat mereka kalah cepat dari Belanda dalam membuka hutan. Akibatnya mereka lebih banyak membuka lahan di lereng-lereng bukit dan pegunungan dengan intensitas yang masih kecil. Pada tahun 1943 penjajah Jepang masuk ke Kerinci dan merampas semua bahan makanan. Akibatnya adalah timbulnya ancaman kelaparan yang juga dirasakan oleh penduduk daerah Siulak Deras, Siulak Gedang, Siulak Mukai, Semurup dan sekitarnya. Keadaan ini diantisipasi oleh para pemangku adat yang merasa bertanggungjawab terhadap anak kemenakan, sesuai dengan pepatah melepas pagi, mengurung petang, dengan mengadakan musyawarah. Hasil musyawarah berujud keputusan yang mengarahkan anak kemenakan untuk membuka lahan persawahan dan perkebunan baru ke daerah lain, terutama ke daerah Pesisir Bukit. Pranata sosial yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan dengan demikian berasal dari kondisi kekurangan bahan pangan pada masa pendudukan Jepang.7 7
Pranata hutan adat ini, dalam konteks hukum adat di Minang masuk ke dalam aturan adat yang diistiadatkan yang berbeda dengan adat istiadat. Pada aturan adat yang diistiadatkan segala urusan perolehan hak dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Apabila ada warga yang menginginkan suatu kawasan untuk dijadikan kawasan adat, ia tinggal meminta pertimbangan kepala nagari dan jajarannya lalu diadakanlah musyawarah. Pihak-pihak yang wajib hadir dalam musyawarah itu selain staf nagari adalah tokoh agama, ninik mamak, dan cerdik pandai. Setelah kesepakatan dicapai maka kawasan tadi sah menjadi milik adat. Cara ini pada praktiknya telah membuat kawasan adat berupa tanah pusaka, hutan, dan sumber daya air menjadi meluas dan seringkali berbenturan dengan kepenguasaan secara legal-formal. Walaupun demikian, biasanya dalam musyawarah, segala pertimbangan yang bersifat egal formal lebih diutamakan; bila suatu kawasan jelas ada yang mempunyai maka kawasan tersebut tidak akan diklaim menjadi kawasan adat. Untuk diskusi mengenai hukum adat Minang ini lihat Anwar (1997).
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
279
Pada masa kemerdekaan Indonesia, pembukaan lahan pertanian oleh penduduk semakin meningkat. Hal ini terutama karena lokasi baru ini (Pesisir Bukit) direstui olehninik mamak sebagai pemukiman baru. Lama kelamaan, daerah tersebut menjadi sebuah kampung baru yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan Gunung Kerinci. Kondisi ini memicu penduduk untuk membuat rumah yang lebih permanen, tidak seperti biasanya yang bersifat darurat berupa rumah perladangan (pondok ladang). Peluang bagi penduduk untuk memperluas lahan pertanian menjadi sangat terbuka pada masa pemerintahan orde baru, yang dimulai pada tahun 1969 pada masa Pelita I. Sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah, Bupati Kerinci pada tahun 1974 mengeluarkan instruksi kepada masyarakat. Setiap rakyat Kerinci, terutama bujangan yang akan melangsungkan perkawinan, disyaratkan memiliki ladang kayu manis (casiavera) dengan mengolah belukar yang belum digarap atau lahan yang ditinggalkan pemiliknya, tanpa ganti rugi. Keadaan ini makin mendorong masyarakat untuk memperluas lahan pertanian dan pindah ke daerah-daerah baru seperti daerah Pesisir Bukit. Dengan demikian daerah ini makin berkembang dengan cepat. Kondisi lain yang menyebabkan cepatnya perkembangan daerah ini adalah karena dibukanya jalan-jalan baru mulai dari Sungai Tanduk menuju Danau Tinggi melalui areal Koto Tuo, Sungai Dalam dan Sungai Kemuning. Juga poros jalan dari Pungut ke Renah Pemetik dan dari Pelompek ke Sungai Kuning melalui Renah Kasah, Pesisir Bukit (Sungai Keruh), Pauh Tinggi, Gunung Sangkar. Nama desa Pesisir Bukit baru diberikan pada tahun 1974 oleh Sekwilda Tingkat II Kerinci. Dengan diberlakukannya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, pada tahun 1982 daerah ini ditetapkan sebagai desa Pesisir Bukit, yang terdiri dari enam dusun yaitu Ulu Jernih,
280
Talang Lindung, Bukit Pandan, Sungai Keruh, Air Tepesut, dan Harapan Jaya. Namun pada tahun 1982 itu juga Menteri Pertanian menerbitkan SK No 736/Mentan/X/1982, tanggal 14 Oktober 1982 tentang desa-desa yang termasuk dalam kawasan calon Taman Nasional Kerinci Seblat. Gubernur Jambi selanjutnya juga menerbitkan SK No. 508 tanggal 12 Desember 1988 tentang penghapusan dan penyatuan desa, yang mencakup desa Pesisir Bukit. Berdasarkan SK Gubernur ini, otomatis desa Pesisir Bukit tidak ada lagi secara administratif pemerintahan; terbukti dengan adanya perintah dari oknum petugas kepada penduduk untuk pindah (resettlement) atau transmigrasi. Kondisi ini menimbulkan berbagai aksi dari masyarakat maupun dari berbagai pihak yang bersimpati. Salah satunya adalah DPRD Tingkat II Kerinci yang melakukan kunjungan kerja ke desa-desa yang dihapuskan tersebut pada tahun 1989. Kunjungan ini menghasilkan beberapa masukan untuk menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan, yaitu: (1) Desa Bukit Pesisir dengan beberapa dusunnya perlu dipertimbangkan kembali untuk menjadi desa atau pemukiman; (2) penduduk Pesisir Bukit perlu diupayakan sebagai penjaga hutan lindung; dan (3) pemindahan penduduk akan menimbulkan pertentangan dari masyarakat karena akan menghilangkan sumberdaya yang sudah ada seperti jala, SD Inpres, dan lahanlahan pertanian. Masukan ini mendapat tanggapan dari Gubernur Jambi dengan mengadakan pertemuan untuk membahas masalah tersebut pada bulan Pebruari 1992. Namun pada tahun 1992 diberlakukan UU No. 5 tahun 1992 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAHE), sehingga pemerintah daerah mengeluarkan peraturan mengenai larangan kepada masyarakat untuk tidak lagi menanam setelah panen atau tidak menanam
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
tanaman baru pada lahan yang berada dalam kawasan TNKS. Pada tahun 1993 dilakukan penentuan dan penetapan tata batas, yang mengakibatkan hampir semua akses ekonomi masyarakat berada di dalam kawasan TNKS. Masyarakat sekitar TNKS secara umum terdiri dari dua kelompok besar; kelompok pertama adalah masyarakat Melayu Jambi yang mendiami wilayah bagian utara-timur dan masyarakat keturunan Minang yang mendiami wilayah pedalaman dan pegunungan. Pada kedua masyarakat tersebut hukum adat masih berlaku di lingkungan keluarga terutama dalam hal upacara sekitar daur kehidupan mereka, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Dalam banyak hal hukum adat itu bercampur dengan hukum agama Islam. Berkaitan dengan hak ulayat, hanya masyarakat keturunan Minang saja yang memilikinya. Mereka, yang kebanyakan tinggal di pedalaman yang bergunung dan berhutan mempunyai sistem kepemilikan komunal atas sumberdaya tanah, hutan, dan sungai/danau//lubuk. Ada tanah adat, hutan adat dan lubuk adat yang pemakaiannya diatur secara adat. Masyarakat Melayu Jambi tidak memiliki hak ulayat seperti itu, mereka lebih merujuk kepada kepemilikan komunal yang sebagian pengaturannya diatur oleh adat. Saat ini masyarakat Melayu mendaftarkan kepemilikan tanahnya ke dinas agraria yang mengacu pada hukum nasional. Di desa-desa yang berbatasan langsung atau berada dalam wilayah taman merupakan desa masyarakat keturunan Minang dengan segenap hak ulayat dan aturan adat mengenai sumberdaya alam. Dengan konsep seperti ini, sebagian wilayah taman nasional berada dalam wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat, tetapi ada pula memang wilayah taman yang berada di luar klaim adat. Menurut penduduk desa-desa sekitar taman, secara adat batas wilayah dengan taman nasional sedikit banyak mulai jelas. Ada beberapa wilayah yang dipatok oleh taman dan
masuk ke dalam wilayah taman nasional; penduduk desa diminta pindah ke tempat lain. Sebaliknya ada pula warga desa yang mengklaim sebagian wilayah hutan di taman nasional dan menjadikannya sebagai hutan adat. Selain kesepakatan yang dihasilkan secara adat terdapat juga ketentuan yang masih diikuti masyarakat sampai sekarang, yaitu ketentuan dari Bupati Kerinci. Taman Nasional Kutai Sangkima adalah desa yang wilayah administratifnya secara keseluruhan masuk dalam kawasan Taman Nasional Kutai (TNK). Desa ini juga merupakan tempat pemukiman penduduk yang cukup tua. Desa Sangkima dapat dibagi dalam tiga perkampungan yakni Sangkima Lama (sering juga disebut Sangkima Dam), Sangkima Baru (sering juga disebut Km 13) dan Teluk Lombok (sering juga disebut Sangkima airport). Masyarakat Sangkima sangat yakin bahwa keberadaan masyarakat Sangkima (Lama) jauh lebih dahulu daripada penetapan TNK. Pada awalnya perkampungan ini telah dihuni oleh suku Basap dan berturutturut datang juga suku Dayak Punan dan suku Kutai. Selanjutnya datang orang-orang dari Sulawesi Selatan. Sangkima dapat dikatakan sebagai salah satu perkampungan yang sudah sangat tua. Kenyataan ini diakui oleh tokoh masyarakat Sangkima dengan menunjuk salah satu wilayah (Sangkima Tua) di mana di sana terdapat sejumlah tanaman buah-buahan yang tidak biasanya tumbuh sendiri, melainkan sengaja ditanam seperti durian, langsat dan sebagainya. Tempat ini sangat diyakini sebagai salah satu tempat bermukim sekelompok orang di masa lalu. Gelombang kedatangan orang Sulawesi Selatan (Bugis) ke Sangkima bermula dari kekalahan kerajaan Gowa dengan diawali oleh hadirnya Datuk Solong pada tahun 1922 bersama dua orang anaknya yang bernama Dato
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
281
La Talana dan Dato La Dolomong. Kemudian pada tahun 1927 Dolomong mendapat persetujuan dari seorang Sultan Kerajaan Kutai melalui Surat Jangkar yang memberikan wilayah kelola mulai dari Muara Sangkima hingga ke Sungai Lengkes. Pada tahun 1934 tercatat lagi sebagai gelombang kehadiran orang Sulawesi Selatan menuju Kalimantan dan dibagikan tanah sebagai tempat untuk bermukim dan bercocok tanam. Jumlah penduduk yang telah datang hingga tahun itu tercatat kurang lebih 70 jiwa. 8 Gelombang terakhir perpindahan orang Bugis ke Sangkima terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai akibat terjadinya boom industri di Kalimantan, terutama dengan dibukanya kilang PT Badak LNG dan PT. Pupuk Kaltim. 8
Sistem pemerintahan desa Sangkima dimulai dari sistem Kepala Adat berawal pada tahun 1937 dengan Tahera (anak dari La Talana, cucu dari Dato Dolomong) sebagai kepala adat. Tahera digantikan oleh Ali pada tahun 1941. Tahun ini tercatat sebagai tahun panen besar penduduk Sangkima terhadap tanaman kelapa dan buah-buahan. Saat itu penduduk yang ada di Sangkima sudah mencapai kurang lebih 170 an jiwa. Pada tahun 1947 istilah kepala adat diganti dengan Petinggi oleh Asisten Wedana Bontang, H. Raden Sastroamidjojo. Petinggi I saat itu dijabat oleh Somboleng, yang berasal dari suku Kutai Bajau. Pada saat itu masyarakat Sangkima hidup sebagai petani sawah dan mengalami panen besar pada tahun 1964. Pada tahun 1966 setelah Pemilu I dibentuklah Kepala Kampung sebagai pengganti Petinggi. Kepala Kampung I adalah Untung Suropati yang menjabat dua periode yakni sejak 1966 hingga 1973. Era tahun 1968 adalah masa awal masuknya investasi dan eksploitasi kayu atau yang lebih dikenal sebagai banjir kap. Era eksploitasi ini sempat menimpa kawasan TNK khususnya pada kawasan pesisir ke arah Barat sepanjang 10 Km dari arah selat Makassar. Pada tahun 1970 PT. Kayu Mas Timber membuka camp di Teluk Kaba, namun perusahaan ini kemudian ditutup pada tahun 1973 oleh Gubernur Muda Raden Patno. Selanjutnya pada tahun 1972 Pertamina mengadakan eksplorasi di Teluk Kaba dan Sangkima. Pada tahun 1975 Pertamina membuka kantor di Masabang, Sangatta Selatan. Baru pada tahun 1977 kompleks perumahan karyawan Pertamina rampung dibuat beserta fasilitas pendukungnya seperti lapangan golf, kolam renang, dan sekolah.
282
Keberadaan Balai Taman Nasional Kutai baru diketahui penduduk pada tahun 1976, yakni ketika menempati kantor sementara di Teluk Lombok dan menumpang di rumah seorang warga setempat. Baru pada tahun 1979/ 80 dilakukan operasi awal pada wilayah kerja yang meliputi Muara Sangkima hingga ke Guntung. Masyarakat mencatat bahwa pada era tahun 1984 hingga 1985 PPA melakukan operasi yang dinilai sangat ganas dan mengerikan, hingga akhirnya kantor PPA pindah ke Sangkima Km 13 hingga saat ini. Sebelum penetapan taman nasional, wilayah hutan TNK merupakan hutan rimba yang tidak berpenghuni. Dilaporkan adanya beberapa kelompok Dayak yang berpindah-pindah di sekitar lokasi itu, namun tidak pernah menetap. Kelompok migran dari Sulawesi Selatan, terutama orang Bugis dan Makassar dan Pangkajene dan kepulauan pertama kali menggarap wilayah sekitar TNK. Mereka datang di wilayah tak bertuan dan menjadi perintis untuk membuka hutan di situ. Pemindahan hak atas kawasan tidak pernah terjadi antara pemilik dan pendatang; sementara di antara para pendatang, perolehan suatu kawasan cukup dilakukan dengan membuka hutan. Dengan demikian susah untuk membicarakan adanya hak ulayat masyarakat setempat atas kawasan ini. Sejak pertengahan 1970-an, Pertamina membuka eksplorasi minyak di daerah Sangatta. Tahun 1975, di desa Sangatta telah berdiri kompleks pemukiman perumahan Pertamina. Industri lain yang datang kemudian adalah pembangunan PT Pupuk Kaltim (PKT) dan perusahaan tambang batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC) di wilayah tersebut, yang mengharuskan TNK melepaskan sebagian wilayahnya untuk daerah penambangan. Baik kelompok pendatang Sulawesi Selatan maupun industri yang berkembang di wilayah TNK, semuanya telah menduduki dan mengambil wilayah TNK. Pelepasan wilayah untuk industri
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
dilakukan secara formal melalui keputusan di tingkat Menteri, sementara kelompok pendatang yang menduduki TNK diharapkan untuk pindah. Sesudah penetapan TNK, petugas melarang penduduk untuk bercocok tanam dan membuka ladang di wilayah TNK. Sebagian besar tetap mendiami wilayah dan petugas TNK dengan tegas melarang mereka melalui berbagai cara. Cara paling lunak adalah dengan pemasangan papan larangan untuk membuka lahan dan mendiami wilayah TNK; kemudian cara yang makin keras dilakukan dengan mencabuti tanaman yang sudah ditanam penduduk. Khusus untuk penebangan kayu, petugas TNK yang dipersenjatai senapan api ketika sedang bertugas, bertindak sangat tegas dengan pengejaran dan penangkapan para pelaku. Namun ketegasan ini seringkali terganggu dengan adanya kerjasama yang ditengarai terjadi antara pelaku penebangan liar dengan petugas TNK. Sejak penetapan menjadi taman nasional hingga kini, persoalan kebijakan atas siapa yang menguasai kawasan ini tidak hentihentinya menggerogoti kondisi kawasan. Namun pemerintah pusat dan daerah selaku penentu kebijakan selama ini seakan-akan tidak pernah melihat persoalan tumpang tindih kebijakan ini sebagai permasalahan mendasar. Beberapa contoh di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru kontraproduktif dengan konsep pengelolaan taman nasional, misalnya: (1) izin operasi dan eksploitasi serta fasilitas perumahan/perkantoran Pertamina di dalam kawasan TNK, termasuk bandara, pelabuhan laut, rumah sakit, kolam renang, dan lapangan golf; (2) beroperasinya dua HPH besar yakni PT. Silva Duta dan Kayu Mas Timber di dalam kawasan TNK; (3) pembangunan jaringan jalan Trans Kalimantan yang membelah kawasan TNK sepanjang 65 Km; (4) pembangunan jaringan listrik interkoneksi Kalimantan; (5)
penetapan empat (4) desa definitif di dalam kawasan oleh pemerintah daerah; (6) pusat pelatihan pertanian PT. Kaltim Prima Coal berada di dalam kawasan; (7) prona atau sertifikasi tanah masyarakat dalam kawasan sebanyak 115 lembar oleh Gubernur Kaltim; (8) pelepasan kawasan untuk keperluan perluasan kawasan industri PT. Pupuk Kaltim; (9) pelepasan kawasan taman nasional untuk perluasan kota Bontang; dan (10) inisiatif enclave yang dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Kondisi tidak ada kelompok masyarakat yang dianggap sebagai kelompok masyarakat asli dan fakta bahwa masyarakat pendatang tidak pernah menganggap pentingnya eksistensi sebuah taman nasional, membuat persoalan-persoalan di atas menjadi makin berlarut. Persoalan ini diperparah dengan pandangan masyarakat yang berdiam di dalam kawasan terhadap TNK: (1) TNK adalah milik orang asing karena banyak orang asing yang datang mengadakan penelitian dan dibiayai oleh PBB; (2) TNK tidak menginginkan kehadiran masyarakat di TNK, dan selalu mengejar-ngejar masyarakat; (3) TNK adalah wilayah Indonesia, anehnya masyarakat Indonesia sendiri yang mau hidup di dalamnya justru dilarang; (4) keberadaan masyarakat lebih dulu dari keberadaan TNK dengan asumsi bahwa TNK baru masuk memasang plang sekitar tahun 1982; (5) TNK adalah gudang masalah karena konflik kepentingan berbagai pihak terlalu banyak; (6) TNK kaya akan sumber daya alam sehingga banyak orang yang mengincar; (7) TNK merupakan taman dunia untuk itu menjadi perhatian dunia; dan (8) TNK adalah tempat perlindungan hewan langka.
Diskusi dan kesimpulan Penilaian terhadap dampak penerapan taman nasional terhadap hak ulayat harus dilakukan secara kontekstual dengan mem-
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
283
perhatikan beberapa aspek. Dari aspek historis dari penduduk sekitar taman; perhatikan apakah mereka penduduk asli atau pendatang. Dengan merujuk pada konsep dan proses teritorialisasi yang dilakukan negara sebagaimana Vandergeest dan Peluso (1995) dan Vandergeest (2003) ungkapkan, saya melihat bagaimana peran negara demikian dominan dalam mengatur keseluruhan kegiatan dan gagasan mengenai pengelolaan lingkungan. Taman nasional sebagai manifestasi teritorialisasi negara mewujud dalam bentuk peniadaan pengakuan atas masyarakat asli atau masyarakat setempat; semuanya dianggap sebagai warga negara Indonesia yang berhak mengelola sumberdaya alam di manapun di wilayah negara melalui peraturan yang berlaku. Kasus-kasus yang terjadi di keempat taman nasional menunjukkan bahwa status sebagai anggota masyarakat asli atau yang bertempat tinggal di sekitar taman nasional tidak secara otomatis akan mendapatkan hak atau keuntungan dengan adanya taman nasional. Alih-alih mereka justru diharapkan kesadarannya untuk menyerahkan sebagian wilayah adatnya bagi kepentingan nasional yang mempunyai nilai lebih luas di masa Orde Baru. Resistensi atas wacana ‘kepentingan nasional’ dan bahwa ‘kepentingan nasional harus diletakkan di atas kepentingan kelompok’ seakan teredam oleh gemuruh pembangunan fisik yang seringkali dijaga secara ketat pelaksanaannya oleh militer. Pembangunan poros jalan di sekitar TNKS yang membuka isolasi wilayah selatan oleh pihak militer menunjukkan kontrol yang demikian tinggi dari militer atas suatu wilayah. Tidak kurang dari militer, birokrasi di daerah dan di tingkat pusat juga terlibat dalam pendudukan wilayah warga dan wilayah taman nasional, sebagaimana terjadi di TNK. Sementara kerjasama negara dan militer dengan investor, ditengarai muncul di TNGL dan TNGP secara masif, dan di kedua taman nasional lainnya.
284
Lalu di mana meletakkan aspek hak ulayat dan hukum adat; apakah keberlakuan hukum adat, pranata adat dan masyarakat adat masih memiliki peran dalama urusan taman nasional? Setali tiga uang; nampaknya kuatnya dominasi negara menyebabkan adat termargnalisasikan. Baru pada pascarejim Orde Baru, bermunculan klaim dan reklaim wilayah oleh masyarakat adat di keempat wilayah taman nasional. Terutama di TNK, masyarakat secara demonstratif menduduki wilayah taman untuk pertanian, tidak kalah Pemerintah Daerah juga mengambil posisi untuk mencaplok wilayah taman nasional sebagai daerah pengembangan. Dalam kajian yang lain, yaitu Vietnam pascasosialisme, Sowerwine (2004:20) menunjukkan fenomena innovative customary property relations d i mana pemahaman masyarakat setempat, kepentingan pemerintah daerah dan iklim investasi yang menjanjikan membuat semua komponen masyarakat mesti menata ulang hubungan-hubungan sosial antarlembaga. Proses yang di Vietnam adalah berupa terbukanya wilayah tersebut untuk investasi asing, di Indonesia pasca Orde Baru ditandai dengan munculnya lembaga masyarakat adat dan pemerintah adat yang menguat. Dalam hal taman nasional, di keempat kasus, penguatan tersebut berdampak pada reklaim teritori yang sebelumnya diperoleh melalui keputusan pemerintah (pusat) sebagai satu-satunya pemegang otoritas hukum. Namun menyatakan bahwa hukum adat atau aturan lokal pupus begitu saja ketika berhadapan dengan aturan nasional juga tidak sesederhana itu. Kajian mengenai pluralisme hukum, terutama yang melihat perspektif pelaku menunjukkan bahwa setiap individu memiliki legitimasi tersendiri untuk menyatakan aturan mana yang hendak dia ikuti (Kleinhans dan Macdonald 2005). Ketika kekuasaan negara semakin melemah maka kesempatan untuk bersentuhan dengan hukum adat atau hukum
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
Tabel 1 Wilayah
Kasus studi
Etnik
Hukum adat dan hak ulayat
TNGP
Desa Pangkal Tapang
Mayoritas Melayu
• Tidak ada yang berhubungan langsung dengan tanah • Hukum yg berlaku identik dengan budaya/agama Islam
TNGL
Desa Embu Ridi
Melayu, Aceh, Batak
• Cenderung menggunakan aturan hukum yg dianggap ringan hukumannya atau dgn kata lain lebih menguntungkan.
TNKS
Desa Batu Kerbau Desa Batang Kibul
Melayu Jambi, Keturunan Minang
• Masih berlaku terutama pada masyarakat keturunan Minang; • Orang Melayu Jambi tidak mengenal hak ulayat untuk hutan
TNK
Desa Teluk Kaba Desa Sangkima Desa Teluk Pandan
Bugis (Sulawesi Selatan)
• Belum ada sewaktu penetapan kawasan sebagai taman nasional
di luar negara menjadi semakin besar (Peluso 2005). Dalam penelitian teridentifikasi bagaimana kedudukan hukum adat dan aturan lokal pada situasi pluralisme seperti yang terlihat dalam tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa aturan adat yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam khususnya hutan yang bersinggungan dengan taman nasional sudah tidak lagi efektif. Namun tidak berarti bahwa aturan tersebut lalu hilang sama sekali, ketika kekuatan hukum positif pasca Orde Baru melemah maka klaim adat mulai bermunculan. Oleh karenanya, pengertian adat dalam hal aturan lokal yang dikembangkan masyarakat mesti dipahami sebagai sesuatu hal yang dinamik dan berada dalam proses terus membentuk. Dengan pemahaman seperti ini maka klaim bahwa hukum adat belum ada pada saat taman nasional ditetapkan seperti pada kasus TNK atau bahwa di TNGP tidak dikenal hukum adat berkaitan dengan tanah dapat dipahami dari sisi yang lain. Kemungkinan aturan adat tersebut
tertutup oleh keberlakuan hukum nasional, termarginalisasikan atau belum teridentifikasi orang laur. Sekalipun demikian, dinamika pross penciptaan hukum lokal seperti hukum adat ini, tetap terus berlangsung sampai saat ini, berdampingan dengan proses pembentukan hukum nasional berupa UU, Peraturan di tingkat nasional maupun Peraturan Daerah. Dari aspek ekonomi, pertanyaan apakah ketergantungan masyarakat sekitar hutan pada sumberdaya hutan masih tinggi tetap relevan untuk diajukan. Beda utamanya terletak pada motif produksi yang merupakan hasil dari sumberdaya hutan. Sekarang, sisi komersial hutan dalam bentuk kayu menjadi hasil utama hutan, sementara sebelumnya berbagai produk non-kayu seperti getah, biji-bijian, buah dan sebagainya menjadi komoditas penting. Pada masyarakat sekitar juga terjadi proses monetisasi yang secara sistematis masuk melalui perkebunan, konsesi HPH dan pertambangan. Di keempat lokasi yang menjadi wilayah studi
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
285
terlihat adanya perubahan pola pekerjaan dan orientasi ekonomi pada masyarakat yang tinggal di sekitar taman nasional. Diperlukan riset yang mendalam untuk mengatakan bahwa perubahan tersebut merupakan dampak dari keberadaan taman nasional, tetapi merupakan sebuah fakta bahwa masyarakat di sekitar taman nasional saat ini sudah berubah dari semula. Tabel 2 meringkas perubahan mata pencaharian pada masyarakat sekitar taman nasional sebelum dan sesudah penetapan menjadi taman nasional. Pelabelan taman nasional bertentangan atau bersesuaian dengan kepentingan masyarakat setempat atau tidak harus dilihat secara fair dalam konteks yang luas. Selain menempatkan sudut pandang masyarakat setempat dan negara, saya juga merasa perlu untuk mengangkat kinerja lembaga taman nasional itu sendiri, berikut petugas yang ada di dalamnya. Dari sudut pandang mereka, beberapa hal mengemuka, misalnya: di TNGP dan TNGL proses penetapan batas taman cenderung bisa dikatakan mengabaikan hak ulayat masyarakat dengan kata lain masyarakat dirugikan. Oleh karena itu label
negatif pada taman nasional berikut petugasnya menjadi jelas terlihat. Namun di TNKS proses pendampingan masyarakat dilakukan intensif oleh para petugas dari taman nasional sehingga masyarakat desa bisa mengusulkan hutan desa ke pengelola. Kemudian, di TNK masyarakat aktif mengolah wilayah taman pasca kebakaran dan setelah ada jalan kabupaten menyebabkan taman nasional dirugikan. Di TNK, walaupun masyarakat merasa senang dengan terbukanya wilayah hutan, dari sis i konservasi sebenarnya terdapat kerugian besar. Salah satu kunci memahami dinamika taman nasional dewasa ini adalah juga dengan memperhatikan aspek sosial-politik lokal; dengan menanyakan bagaimana dampak perubahan sosial politik di tingkat nasional berimbas ke masyarakat sekitar taman nasional. Dinamika politik lokal merupakan kunci utama untuk menyelesaikan persoalan taman nasional; berbagai kepentingan lokal baik pada masyarakat maupun pemerintah daerah sangat mewarnai klaim dan reklaim wilayah taman. Pada posisi inilah sebenarnya terjadi negosiasi
Tabel 2 Wilayah
Kasus studi
Sebelum Penetapan
Sesudah Penetapan
TNGP
Desa Pangkal Tapang
• Pertanian • Perkebunan
• Perkebunan • Berladang • Penebangan kayu
TNGL
Desa Embu Ridi
• Berladang • Penebangan kayu • Berburu • Kerajinan rotan
• Berladang (di lahan terbatas) • Penebangan kayu • Berburu • Kerajinan rotan
TNKS
Desa Batu Kerbau Desa Batang Kibul
• Persawahan • Perkebunan • Berladang
• Persawahan • Perkebunan • Berladang
TNK
Desa Teluk Kaba Desa Sangkima Desa Teluk Pandan
• Kayu bakar • Bahan bangunan
• Bahan bangunan • Perkebunan • Perumahan
286
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005
konseptual mengenai negara dan bagaimana negara dikelola, terjadi pertemuan kepentingan antara bagaimana aturan yang mewakili interest lokal bertemu dengan konteks yang lebih luas di tingkat nasional.
Referensi Anwar, C. 1997 Hukum adat Indonesia. Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Rineka Cipta. Griffiths, J. 1986 “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law (24):1– 56. Irianto, S 2005 ”Sejarah Pluralisme Hukum dan Konseluensi Metodologisnya”, dalam Pluralisme Hukum. Sebuah Pendekatan Interdisipliner. Jakarta:Huma. Hlm. 3–68. Kleinhans, M dan R.A. Macdonald 2005 ”Apakah Pluralisme Hukum Itu? Sebuah Tinjauan Epistemologis”, dalam Pluralisme Hukum. Sebuah Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Huma. Hlm. 121–151. Jepson, P. dan Whittaker, R.J. 2002 “Histories of Protected Areas: Internalisation of Conservasionist Values and Their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia),” Environment and History 8(2) :129– 172. Lynch, J.L. dan E. Harwell 2002 Whose Natural Resources? Whose Common Goods? Towards a New Paradigm of Environment Justice and the National Interest in Indonesia. Jakarta: Elsam. Peluso, N.L. 1992 Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. 1993 “Coercing Concervation? The Politics of State Resource Control”, Global Environmental Change (3)2:199–217. 2005 “Seeing Property in Land Use: Local Territorialization in West Kalimantan, Indonesia”, Geografisk Tidsskrift, Danish Journal of Geography 105(1):1–15. Sassen, S. 2000 “Territory and Territorialty in the Global Economy”, International Sociology 15(2):372– 393. Sayer, J. & B. Campbell 2004 The Science of Sustainable Development. Local and the Global Environment. Cambridge: Cambridge University Press.
Purwanto, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat
287
Sowerwine, J.C. 2004 “Territorialization and the Politics of Highland Landscape in Vietnam: Negotiating Property Relations in Policy, Meaning and Practice”,Conservation and Society 2(1):19–58. Vandergeest, P. dan N.L. Peluso 1995 “Territorialization and State Power in Thailand”, Theory and Society, Renewal and Critique in Social Theory 24(3):385–426. Vandergeest, P. 2003 “Racialization and Citizenship in Thai Forest Politics”, Society and Natural Resources 16(1):19–37. Wiratno, D. Indriyo, A.Syarifudin, A. Kartikasari 2001 Berkaca-kaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: Forest Press, The Gibbon Fondation, PILI-NGO Movement. Zerner, C. 2000 “Toward a Broader Vision of Justice and Nature Conservation”, dalam C. Zerner (peny.) People, Plants and Justice. The Politics of Nature Conservation. New York: Columbia University Press. Hlm. 3–20.
288
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 3, 2005