KEBUDAYAAN DAN PEMBANGUNAN NASIONAL
A. Pembangunan Nasional dan Tantangannya
Memasuki millinium ke-II bangsa Indonsia masih dan sedang melaksanakan Pembangunan Nasional Jangka Panjang Kedua (1994-2019). Pembangunan Jangka Panjang Kedua ini merupakan kelanjutan, peningkatan, perluasan dan pembaharuan dari pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Sasaran utamanya adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonsia yang maju dalam suasana tenteram, sejahtera lahir batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara berdasarkan Pancasila, selaras dalam hubungan antara sesama manusia, manusia dengan masyarakatnya, dan manusia dengan Tuhannya.
Upaya untuk mendorong kehidupan bangsa Indonsia yang lebih baik, kebijakan pembangunan Indonesia lebih diarahkan pada pengembangan kegiatan industri guna menyambut pasar terbuka sebagai tuntutan dari proses globalisasi. Apabila Strategi pembangunan yang dirancang pemerintah Orde Baru dapat berjalan lancar maka tidak lama lagi Indonesia akan memasuki era industrialisai. Pada era industrialisasi ini diharapkan akan memacu peningkatan bahan kebutuhan pokok hidup manusia dan mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, modernisasi dan industrialisasi yang didukung teknologi dianggap dapat membawa keberuntungan bagi manusia.
Dalam era industrialisasi itu kehidupan masyarakat yang semula lebih banyak bertumpu pada kegiatan pertanianberalih ke industri. Aktivitas ekonomi pertanian tidak lagi berorientasi untuk mencukupi kebutuhan hidup saja tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pasar. Masyarakat industrial akan semakin banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi pasar yang menjadi bagian dari aktivitas industri.
Menyadari bahwa manusia merupakan kekuatan utama dan menjadi tujuan dari pembangunan maka peningkatan kualitas manusia sebagai sumber daya insani menjadi sangat penting. Masalah-masalah yang timbul seperti kelangkaan sumberdaya manusia, tata nilai yang berubah, tuntutan ke arah managemen nasional yang demokratis dan institusional, pengelolaan sumber daya alam, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tata hubungan internasional yang semakin dinamis, dan tata informsi dan perkembangan komunikasi yang semakin
Universitas Gadjah Mada
1
cangggih. Menghadapi persoalan-persoalan tersebut jelas dituntut adanya kualitas manusia Indonesia yang lebih produktif, kreatif, jujur, agamis, dan disiplin dalam melanjutkan derap lajunya pembangunan nasional. Kualitas bangsa seperti itulah yang nantinya akan mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, berwibawa, demokratis, dan konstitusional.
Upaya pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini, sejak pelita pertama sampai runtuhnya kekuasaan Suharto, menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Kesejahteraan sebagian penduduk mengalami peningkatan. Hal itu tercermin, misalnya membaiknya bidang kesehatan yang memungkinkan meningkatnya usia rata-rata penduduk Indonesia, Meningkatnya rata-rata pendapatan penduduk, peningkatan pendidikan, menurunnya jumlah orang miskin, dan lain sebagainya.
Sementara itu, pada awal pembangunan era Orde Baru kita telah diingatkan oleh pakar Antropologi tentang kelemahan mentalitas bangsa Indonesia yang mempunyai potensi kuat untuk merintangi usaha pembangunan yang sedang diusahakan. Adapun mentalitas itu adalah budaya nrabas, meremehkan mutu, tidak percaya pada din sendiri, tidak bertanggung jawab, dan tidak disiplin. Mentalitas semacam itu tidak cocok untuk menopang pembangunan karena mereka yang dihinggapi mentalitas seperti itu akan selalu menghindari kerja keras, menghindari disiplin tinggi, dan menhghindari tanggung jawab tugas yang dibebankan kepadanya.
Mentalitas nrabas sudah terbukti membawa akibat buruk bagi masyarakat Indonesia. Satu kenyataan bahwa mentalitas nrabas telah membawa sebagian masyarakat Indonesia ke dalam situasi semakin menipisnya rasa malu. Rasa malu yang sering dicerminkan dalam bentuk misalnya ewuh pakewuh menjadi menipis dan hal inilah yang kemungkinan menjadikan sebagian masyarakat terjerumus ke dalam tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Gejala yang mengiringi situasi itu adalah prilaku masyarakat yang mengarah pada budaya tegel. Kata tegel berbeda dengan kata tega. Kalau kata tega bisa mengandung pengertian positif dan negatif tetapi kalau kata tegel hanya digunakan dalam pengertian negatif. Rasa kemanusiaan bangsa Indonesia yang dahulu diagungkan kini semakin
menyusut.
Banyak
kasus
menunjukkan
bahwa
orang
semakin
tegel
memperlakukan orang lain seenaknya untuk mencapai suatu keinginan tertentu. Pengusaha tegel menjarah hutan lindung. Orang tegel memaksa orang lain untuk menjual tanahnya dengan harga sangat murah. Orang tegel membunuh orang lain dengan alasan yang sepele, dan lain sebagainya. Beberapa bentuk prilaku tegel ini tidak hanya terbatas
Universitas Gadjah Mada
2
pada kehidupan ekonomi saja tetapi juga telah merambah pada kehidupan sosial dan politik.
B. Kebijakan mengenai Kebudayaan Nasional
Dalam UUD 45 pasal 32 disebutkan bahwa pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonsia dan penjelasannya dijelaskan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budidaya rakyat Indonsia seluruhnya. Kebudayaan lama dan ash terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan hams menuju ke arah kemajuan, adab, budaya, dan persamaan, dengan tidak menolak bahan baru dan kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan-kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonsia.
Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam bidang kebudayaan telah ditetapkan dalam GBHN seperti pembinaan kesenian daerah, pembinaan bahasa daerah, pembinaan bahasa Indonesia, disiplin nasional, pembinaan nilai-nilai budaya, usaha pembauran bangsa dan lain sebagainya. Salah satu kebijakan yang tertuang dalam GBHN tersebut adalah "membina dan memelihara tradisi-tradisi serta peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan dan kebanggaan serta kemanfaatan nasional untuk memupuk dan memperkaya serta memberi corak pada kebudayaan Nasional". Oleh karena itu, fungsi dari peninggalan sejarah sebagai warisan kebudyaan nasional antara lain adalah:
1) alat atau media yang mencerminkan cipta, rasa, dan karya leluhur bangsa, yang unsur-unsur kepribadiannya dapat dijadikan suri tauladan bangsa, kini dan yang akan datang dalam rangka membina dan mengembangkan kebu dayaan nasional. 2) Alat atau media yang memberikan inspirasi, aspirasi, dan akselerasi dalam pembangunan bangsa baik material maupun spiritual sehingga tercapai keharmonisan dia ntara keduanya.
3) Objek ilmu pegetahuan di bidang sejarah dan kepurbaka laan pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Universitas Gadjah Mada
3
4) Mat atau media untuk memupuk saling pengertian di kalangan masyarakat dan bangsa serta umat manusia melalui nilai-nilai sosial budaya yang terkandung oleh peninggalan sejarah sebagai warisan budaya masa lalu itu.
Dan contoh seperti itu, kebijakan yang tertuang dalam GBHN tersebut mempunyai fungsi yang strategis bagi pengembangan kebudayaan Nasional.
C. Pembangunan dan Sistem Sosial Budaya
Pengembangan teknologi sebagai salah satu upaya dari pembangunan nasional terus menerus ditingkatkan. Upaya pengembangan teknologi itu tidak hanya terbatas pada teknologi pertanian saja tetapi juga teknologi industri perkapalan, pelayaran, dan lain sebagainya. Sebelum dibicarakan bagaimana pengaruh teknologi terhadap sistem sosial budaya perlu dijelaskan pengertian teknologi dan pengertian sosial budaya. Teknologi adalah sistem peralatan dan perlengkapan hidup yang umumnya dipakai untuk mencari, menghasilkan dan memenuhi kebutuhan manusia bagi kelangsungan hidupnya. Adapun sistem sosial budaya adalah kalakuan dan tata kelakuan dari suatu kelompok masyarakat.
Teknologi sebagai hasil karya dan budi daya manusia yang berupa alat merupakan sarana terpenting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Begitu pula penguasaan teknologi dan perkembangannya mengantarkan manusia mampu mengatasi dan menguasai keterbatasan sumber daya alam sekitarnya. Kemajuan yang dicapai dalam pembangunan nasional, dengan memanfaatkan teknologi mutakhir untuk mengeksploitasi lingkungan hidup terbukti juga mengakibatkan timbulnya persoalanpersoalan sosial budaya dalam kelompok masyarakat.
Aplikasi teknologi dan eksploitasi terhadap lingkungan alam melalui mekanisasi, misalnya, banyak membawa aspek-aspek sosial budaya suatu masyarakat berkembang dan berubah. Hal itu dapat kita saksikan, misalnya, dalam pelaksanaan program pembangunan pertanian dan perindustrian.
Dengan tidak menutup mata kita ketahui bahwa program pembangunan pertanian, sejak diterapkannya mekanisasi tahun 1960-an, banyak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Produksi padi secara maksimal mengalami kenaikan, pendapatan para petani mengalami kenaikan, dan keberhasilan swasembada beras pada Orde Baru. Universitas Gadjah Mada
4
Namun dibalik itu semua ternyata aplikasi teknologi pertanian membawa akibat sampingan yang merugikan. Pemakaian bahan kimia yang berlebihan dalam pembangunan pertanian secara perlahan-lahan mengganggu keseimbangan lingkungan (ecological balance). Begitu juga penggunaan traktor, mesin giling, misalnya, juga mengurangi pekerjaan dan penghasilan terutama petani penggarap. Sementara itu petani-petani kecil yang tidak mampu
menyesuaikan
dengan
kemajuan
teknologi
terpaksa
menyerahkan
hak
pengusahaan tanahnya pada petani-petani besar.
Pembangunan sektor perindustrian kayu, misalnya, selain membawa berkah bagi sekelompok kecil pengusaha dan penduduk di sekitar industri tersebut juga mempunyai efek samping yang merugikan. Pemberian hak pengusahaan hutan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengelola kawasan hutan, dalam beberapa kasus telah dialihkan pada para kontraktor. Pelanggaran-pelanggaran pengelolaan hutan sering terjadi sehingga mendatangkan bencana seperti kekeringan, erosi tanah, dan bahaya banjir.
D. Masyarakat Transisional dan Kecenderungan-Kecenderungan Budaya Baru
Para ahli berpendapat bahwa sampai saat ini masyarakat Indonsia sedang berada dala keadaan transisional, yakni suatu masyarakat yang sedang bergerak dari masyarakat agraris-tradisional menuju masyarakat Industrial modern. Corak kehidupan masyarakat agraris-tradisional tidak hilang sama sekali dan warna kehidupan masyarakat industrial modern sudah terasa dalam kehidupan masyarakat. Sifat ambigu atau mendua mulai tampak sebab dalam masyarakat Transisional untuk tetap bertahan dan berpegang teguh pada kehidupan tradisional jelas tidak mungkin lagi karena dianggap tidak cocok dan ketingalan zaman. Sementara itu, untuk meninggalkan seluruhnya juga tidak mungkin sebab kehidupan dunia modern belum dipahami sepenuhnya. Posisi yang demikian itu mendorong masyarakat cenderung mengadobsi simbol-simbol budaya dunia modern secara sepotong-potong. Unsur budaya asing yang diambil dan dipertahankan umumnya memuat nuansa kebendaan bukan karena makna yang ada dibalik unsur kebudayaan asing tersebut. Akibatnya, unsur kebudayaan asing yang ditempat asalnya sudah ditinggalkan sementara disini justru dijadikan bagian dari kehidupan baru masyarakat.
Mengiringi kondisi masyarakat transisional seperti itu adalah timbulnya kecendenrugan budaya antara lain: budaya konsumtif, kebendaan, fragmentasi, dan individualisasi.
Universitas Gadjah Mada
5
1. Budaya konsumtif
Sekalipun sektor pertanian masih mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia, namun dengan membanjirnya produk-produk teknologi tinggi dari negara-negara maju ke Indonsia, secara tidak langsung masyarakat kita telah menikmati budaya masyarakat industri tanpa harus menjadi masyarakat industri terlebih dulu. Bersama dengan negaranegara berkembang lainnya Indonesia menjadi daerah pemasaran yang empuk dari produk-produk industri maju. Dengan memanfaatkan teknologi canggih, terutama teknologi informasi, Indonsia terus menerus digoda dan diimingOimingi produk-produk negaranegara maju. Teknologi sendiri sebenanya mempunyai daya manipulatif untuk merubah benda-benda alamiah menjadi bermanfaat bagi kepentingan manusia. Akan tetapi, demi kepentingan pemasaran produksi melalui iklan dan propaganda justru telah memainkan minat dan ambisi manusia dan bukan mendorong meningkatkan mutu masyarakat. Akibatnya, masyarakat Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya terjerat dalam satu bentuk budaya yang dinamakan budaya konsumen (consumen culture) yang mendorong prilaku konsumtif. Diantara ciri prilaku konsumtif itu adalah orang mengkonsumsi sesuatu bukan karena betul-betul membutuhkan tetapi lebih didorong karena merasa membutuhkan. Sesuatu yang dikonsumsi tidak lagi dinilai dari fungsinya tetapi lebih dinilai pada makna simbolisnya. Semakin langka suatu benda yang dikonsumsi semakin tinggi penilaian makna simbolisnya. Dengan harga yang tinggipun orang akan berlomba-lomba membelinya. karena hal itu berkaitan dengan status sosial atau hanya sekedar pamer. Persoalannya, kalau pendapatan orang yang membeli produk simbolis mencukupi tidak menjadi masalah. Akan tetapi, kalau orang yang membeli produk simbolis tidak mencukupi justru akan memancing prilaku tegel, nrabas, dan hilangnya rasa malu. Inilah yang menjadi sumber malapetaka timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
2. Budaya kebendaan
Kepuasan seseorang diukur dengan kebendaan. Keberhasilan Keluarga Berencana, misalnya, diukur dengan sejumlah akseptor, kemajuan kehidupan beragama diukur dengan banyaknya tempat-tempat ibadah dan lain-lain. Sebenarnya gejala seperti itu adalah normal-normal saja. manusia sebagai mahluk jasmaniah memang membutuhkan pemenuhan sara-sarana jasmani. Akan tetapi, kalau benda-benda tersebut sudah dianggap sebagai terminal terakhir. Segala sesuatunya lalu diukur berdasarkan kebendaan, maka yang terjadi adalah munculnya materialisme. Kalu kondisinya sudah demikian, pada gilirannya akanterjadi pendangkalan fikiran dan pendangkalan kesadaran Universitas Gadjah Mada
6
etis masyarakat. Kalau pola kehidupan seperti itu terus dibiarkan maka yang akan terjadi adalah lenyapnya kesadaran yang menggugah dan menggerakan solidaritas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
3. Fragmentasi Fragmentasi atau pengkotak-kotakan dapat terjadi dalam semua bidang kehidupan masyarakat dan gejala seperti itu sudah merambah masyarakat Indonesia. Umpamanya, akibat pengembangan teknologi telah mensyaratkan pembagian kerja dan profesionalisme. Oleh karena itu, untuk mendapat suatu pekerjaan seseorang dituntut memiliki ketrampilan dan keahlian dalam bidang tertentu. Keadaan tersebut akhirnya mendorong munculnya prilaku masyarakat yang menghargai seseorang berdasarkan jabatannya, kedudukannya, atau keahliannya. Hubungan yang terjadi di dalam masyarakat tidak lagi berdasarkan pada hubungan yang bersifat manusiawi tetapi telah bergeser pada hubungan atas dasar jabatan, kedudukan, dan profesi. Manusia kemudian terkotak-kotak dalam dalam dunianya sendiri, dunia profesi. Komunikasi lintas profesi, misalnya, menjadi terhambat sehingga pemahaman terhadap masalah-masalah sosial di luar dunianya menjadi dangkal.
4. Individualisasi Ciri utama dari individualisasi adalah semakin renggangnya ikatan seseorang dengan masyarakatnya dan semakin besarnya peranan individu dalam tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat dua kecenderungan umum dari individualisasi ini yakni individualisme dan egoisme. Individualisme mempunyai anti bahwa seseorang mulai sadar dan percaya akan kemampuan dirinya dalam berinisiatif dan berprestasi serta bertindak lebih rasional dan memiliki tanggung jawab. Sikap dan prilaku yang demikian itu mempunyai makna positip dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akantetapi, individualisme tanpa didasari dengan rasa kemanusiaan akan mendorong manusia bertindak serakah dan merusak masyarakatnya. Adapun egoisme mempunyai arti bahwa seseorang bersikap mau menangnya sendiri. Egisme ini dapat kita saksikan misalnya kesemrawutan lalu lintas, penyerobotan harta rakyat dan negara oleh sekelompok kecil orang dan lain sebagainya. Kecenderungan-kecenderungan budaya seperti tersebut di atas kalau tidak segera dapat diantisipasi akan banyak menimbulkan masalah bagi pelaksanaan pembangunan nasional.
E. Faktor-Faktor Dasar Budaya dalam Pembangunan Universitas Gadjah Mada
7
Dalam kehidupan yang lebih maju dan modern saat ini telah menyadarkan banyak orang bahwa kebudayaan mempunyai peranan dan kedudukan penting dalam proses Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Kesadaran itu muncul bukan semata-mata karena banyaknya masalah-masalah sosial budaya yang timbul tetapi pendekatan kebudayaan tampaknya lebih berkemampuan komprehensif dan evaluatif. Oleh karena itu pemahaman mendasar mengenai faktor-faktor dasar budaya sangat dibutuhkan. Menurut pakar ekonomi, Thomas Suyatno, faktor-faktor dasar budaya dalam pembangunan nasional itu adalah: 1) Anthropos; 2) Oikos; 3) Tekne; dan 4) Ethnos.
1. Anthropos mengacu pada din manusia. Dalam pembangunan nasional manusia secara individual merupakan faktor sentral. Manusia dipandang tidak hanya subjek pendukung pembangunan tetapi juga menjadi tujuan dari pembangunan nasional itu. karena manusia sesungguhnya merupakan mahluk yang memiliki kemampuan kreatif dalam mengelola
lingkungan dan dunianya menjadi manusiawi maka ia akan memberi nilai kemanusiaan kepada alam lingkungannya melalui karyakarya kreatifnya. Melalui kreatifitas manusia itu membuat lingkungan menjadi bermakna tidak saja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk sesamanya.
2. Oikos mengacu pada lingkungan yang digunakan manusia untuk menjalankan proses pembudayaan. Lingkungan tidak hanya sebagai sarana untuk kelangsungan hidup saja tetapi juga sebagai medan perjuangan untuk hidup melalui karya-karyanya. Dengan begitu, terlihat hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya. Hubungan yang erat itu memacu simpati dan solidaritas manusia untuk menjaga lingkungan sebagai tempat bermukim yang layak huni secara alamiah.
3. Teknos mengacu pada peralatan yang digunakan manusia sebagai alat bantu untuk mengelola dunianya. kemajuan teknoloi mencerminkan perkembangan kebudayaan manusia. Teknologi dapat juga mengakibatkan perubahan mendasar bagi kehidupan masyarakat baik tu dalam aspek ekonominya, sosial, politik, maupun kebudayaannya.
Universitas Gadjah Mada
8
4. Ethnos merujuk pada komunitas. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan nasional sebagai unsur kebudayaan merupakan hasil interaksi antar pribadi yang tergabung dalam masyarakat. Setiap pemikiran maupun karya dari individu, sekalipun orisinil dan unik akan segera lenyap apabila tidak ditampung dalam kolektivitas, tidak diartikuiasikan dan ditransmisikan sebagai warisan bersama. Hal itu berarti bahwa pencapaian tujuan pembangunan nasional harus dituangkan dan dilestarikan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
F. Pengayaan Unsur Budaya nasional
Pengayaan atau enrichment kebudayaan nasional akan terus berlangsung baik itu karena pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari luar (ekstemal) ataupun karena dinamika di dalam kebudayaan itu sendiri (internal). Pengayaan berarti bertambahnya unsur kebudayaan nasional setelah melaui proses seleksi dan pemeliharaan yang berkelanjutan. Pemeliharaan yang berkelanjutan berarti menjaga unsur budaya yang ada, menambah unsu-unsur barn, dan mencegah terjadinya pengkikisan unsur-unsur budaya lokal. Pemeliharaan berkaitan pula dengan kelestarian budaya sebab kelestarian budaya dapat dijadikan inspirasi bagi timbulnya unsur-unsur kebudayaan barn yang positif. Sementara itu, seleksi diperlukan dengan mempertimbangkan tingkat relevansinya bagi perkembangan kebudayaan nasional.
Sekalipun dalam proses pengayaan itu telah dilakukan seleksi yang ketat agar sesuai dengan kebudayaan nasional, tetapi harus disadari bahwa unsur kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dapat terjadi melalui berbagai cara, misalnya kumpul kebo, pergaulan bebas yang tidak mengindahkan norma-norma setempat, kontes ratu-ratuan yang mempertontonkan aurat, dan lain sebaginya. Adapun unsur-unsur budaya yang secara umum dapat diterima namun mempunyai potensi merugikan perkembangan unsur budaya lokal perlu mendapat perhatian. Pengaruh beberapa jenis musik barat kontemporer,
misalnya,
sekalipun
dalam
batas-batas
tertentu
tidak
mematikan
perkembangan seni musik tradisional, tetepi kegandrungan sebagian besar remaja terhadap musik barat kontemporer dapat mempengaruhi perkembangan seni musik tradisonal. Bahkan dapat terjadi menipisnya penghargaan terhadap seni musik tradisional. Oleh karena itu, pengayaan unsur-unsur kebudayaan nasional dapat dilakukan dengan cara pemikiran dan kreasi alternatif. Dalam seni musik, umpamanya, munculnya Emha Ainun Najib dengan "Kyai Kanjeng"-nya, atau Djaduk Ferianto dengan musik "Dua Warna"-
Universitas Gadjah Mada
9
nya merupakan langkah alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk pengayaan unsurunsur budaya nasional yang lain.
Universitas Gadjah Mada
10