MODEL PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN Direktorat Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, BAPPENAS
[email protected] atau
[email protected] ABSTRAK Kajian ini bertujuan menemukan model pembiayaan dan skema kerjasama dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan. Metodologi kajian ini bersifat kualitatifeksploratif dan dilaksanakan di 10 provinsi di Indonesia. Lingkup kegiatan kajian meliputi studi literatur; pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam (depth interview) dengan 59 responden dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion). Hasil penelitian menunjukkan, kualitas pembiayaan aset-aset kebudayaan di daerah semakin rendah, lantaran rendahnya dukungan pembiayaan dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, dunia usaha dan masyarakat. Kajian memetakan alternatif penyelesaian masalah tersebut, dengan mengidentifikasi tiga model pembiayaan, yakni; (1) model konvensional, (2) model transisional, dan; (3) model ideal (budget sustainability). Untuk mewujudkan model ideal perlu diupayakan kerjasama dengan berbagai pihak secara sinergis dengan mempertimbangan tiga aspek, yaitu: rekan untuk bermitra, bentuk kerjasama, dan jangka waktu pelaksanaan. Melihat kondisi aset budaya di daerah yang semakin memperihatinkan, pemerintah pusat perlu melakukan intervensi khusus, misalnya melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Dekonsentrasi, atau bantuan kegiatan terhadap aset budaya yang membutuhkan penanganan segera sebagai tindakan penyelamatan. 1. LATAR BELAKANG Pelaksanaan otonomi daerah, di satu sisi memberi harapan besar bagi kemajuan daerah, khususnya bagi daerah yang kaya sumber daya alamnya. Namun di sisi lain, hal ini menjadi tantangan bahkan dilema bagi daerah yang sumber daya alamnya terbatas. Keterbatasan sumberdaya tersebut mengakibatkan kemampuan daerah dalam pembiayaan pembangunan daerah sangat terbatas dan berimplikasi pada pembiayaan pembangunan kebudayaan di daerah. Satu temuan yang cukup memprihatinkan dari hasil penelitian Bappenas (2002) adalah banyaknya aset-aset kebudayaan yang sudah didesentralisasikan menjadi tidak terpelihara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 2000/2001 ke 2001/2002 pada umumnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di seluruh Indonesia mengalami kenaikan 22% (Bappenas, 2002: 52). Namun kenaikan APBD tersebut berbanding terbalik dengan alokasi anggaran untuk bidang kebudayaan yang semakin menurun. Hal ini terlihat dari anggaran yang diterima museum dan taman budaya yang sebagian besar mengalami kekurangan atau bahkan ada yang tidak mendapat anggaran (Bappenas, 2002: 29). Semangat untuk memajukan daerah yang dilaksanakan melalui mekanisme otonomi daerah ternyata tidak diikuti upaya memajukan kebudayaan di daerah. Padahal pembangunan kebudayaan daerah memiliki peran signifikan dalam memperkuat kebudayaan nasional, karena dengan membangun kebudayaan daerah akan tercipta puncak-puncak kebudayaan daerah yang pada akhirnya menjadi kebudayaan nasional Indonesia (Penjelasan UUD 1945).
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
1
Untuk mengatasi masalah pembiayaan ini, sebenarnya pemerintah daerah bisa memanfaatkan potensi sumber-sumber pembiayaan yang ada di daerah, seperti dunia usaha dan masyarakat melalui kerjasama atau kemitraan (partnership). Program kemitraan (partnership) ini bisa menjadi alternatif terbaik bukan hanya untuk mengatasi masalah pembiayaan (dalam arti untuk menutupi kekurangan), tetapi juga untuk mendukung terwujudnya kemandirian pembiayaan pembangunan kebudayaan daerah, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan. Potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha cukup tinggi, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu perlu dilakukan kajian mendalam mengenai pola kerjasama pembiayaan kebudayaan yang telah dilakukan masyarakat dan dunia usaha, sehingga dapat ditemukenali potensi, peluang dan kendala kerjasama yang bisa dilakukan oleh semua stakeholder kebudayaan. Selanjutnya potensi tersebut dipetakan, sehingga ditemukan model dan skema kerjasama yang bisa dijadikan acuan. Model pembiayaan kebudayaan yang didasarkan pada kerjasama tersebut diharap dapat menjamin pemeliharaan dan pemanfaatan aset budaya secara berkesinambungan. Dengan demikian kebijakan otonomi mampu mendorong kesadaran dan kemampuan daerah untuk mengembangkan kebudayaan melalui kerjasama. 2. TUJUAN Tujuan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kualitas pembiayaan pembangunan kebudayaan, khususnya dalam pengembangan aset-aset kebudayaan. 2. Menemukenali peran pemeritah pusat dan pemerintah daerah dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan. 3. Mengidentifikasi peran masyarakat dan dunia usaha dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan (on-going partnership). 4. Memetakan dan mendesain kerangka model pembiayaan dan skema kerjasama untuk pembiayaan pembangunan kebudayaan, khususnya dalam pengelolaan aset-aset kebudayaan. Secara subtansial kajian ini mencakup beberapa pokok materi yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu: 1. Kebudayaan yang dikaji adalah aset-aset kebudayaan yang nyata (tangible) yang meliputi: Museum, Taman Budaya, dan Perpustakaan. 2. Kualitas pengelolaan aset budaya yang meliputi: besar anggaran, diversifikasi sumber pembiayaan, dan variasi penggunaan anggaran: apakah hanya untuk rutin atau termasuk untuk pengembangan. 3. Peran pemerintah, baik di pusat maupun daerah yang meliputi: jenis dan besar dukungan. 4. Peran masyarakat dan dunia usaha yang meliputi: jenis dan besarnya dukungan yang diberikan. 5. Model pembiayaan merupakan gambaran mengenai format pembiayaan aset kebudayaan yang dilihat dari sumber-sumber biaya yang meliputi sumber pemerintah dan sumber non-pemerintah. 6. Skema kerjasama atau kemitraan (partnership) yang dikaji dalam studi ini meliputi jenis-jenis kerjasama yang bisa dilakukan oleh pengelola aset kebudayaan. Kemitraan ini meliputi: (1) institusi sebagai partner; (2) bentuk kerjasama; (3) jangka waktu pelaksanaan.
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
2
3. METODOLOGI 3.1 Metode Pelaksanaan Kajian Kajian yang bersifat kualitatif-eksploratif ini dilakukan di 10 provinsi, yakni: Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Aset budaya yang diteliti meliputi museum, taman budaya, dan perpustakaan baik yang dikelola pemerintah daerah, pemerintah pusat maupun swasta. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada kriteria: (1) Jawa–Luar Jawa, dengan penekanan pada tujuh provinsi luar Jawa; (2) Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dengan prioritas pada tujuh provinsi di KTI; (3) tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan penekanan pada provinsi dengan PAD tertinggi yaitu DKI Jakarta, dan yang paling rendah di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur Lingkup kegiatan kajian meliputi studi literatur; pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara mendalam (depth interview), diskusi kecil terfokus (focus group discussion). Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, yang meliputi tahapan reduksi data, kategorisasi, analisis komparasi, display data, penarikan kesimpulan dan pemodelan. 3.2
Kerangka Analisis Pembangunan kebudayaan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Karena itu kerjasama atau kemitraan antara ketiga komponen tersebut adalah keharusan. Di beberapa negara, tren kemitraan ini telah dilakukan dengan saling memanfaatkan kelebihan masing-masing mitra yang terlibat. Mereka memperkuat kinerja lembaga yang bermitra, membangun nilai lebih suatu aset budaya, dan membuat aset budaya makin penting di tengah masyakat modern. Dari perspektif manajemen dapat dipahami bahwa kompleksitas masalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan hanya oleh satu pihak. Maka aliansi strategis (strategic alliance) dengan pihak luar merupakan pilihan terbaik yang bisa dilakukan. Melalui aliansi strategis tersebut sinergi potensi menjadi keniscayaan yang bisa diharapkan agar terwujud menjadi kekuatan, guna menutup kekurangan kondisi yang dihadapi, demi eksistensi bersama (Kertajaya:2000). Dalam perspektif psikologis, hasrat bekerjasama ini didorong naluri rasa memiliki (sense of belonging) yang merupakan salah satu dasar alamiah untuk mengatasi berbagai permasalahan. Tanpa rasa memiliki ini, dapat dimengerti mengapa masyarakat tidak acuh terhadap kerusakan pada benda-benda budaya. Demikian pula mengapa dunia usaha yang memiliki potensi besar untuk mengembangkan budaya, justru cenderung tidak peduli. Rasa memiliki yang rendah kemudian gagal menciptakan sense of cultural pada masyarakat. Sebagimana diyakini banyak pihak, rasa memiliki terhadap aset budaya akan membuat semua pihak dengan mudah memberikan kontribusi dan saling bekerjasama (Rakhmat: 1990). Contoh yang menarik adalah tindakan komunitas museum di Kanada. Ontario Museum Association (OMA) Kanada bekerjasama dengan pemerintah Kanada mengidentifikasi pola kerjasama yang dilakukan komunitas museum dalam menjalin kerjasama antara pihak museum dengan berbagai pihak, baik dunia usaha, lembaga profesi, maupun masyarakat secara berkesinambungan. Hal serupa juga dilakukan komunitas perpustakaan di Inggris, Amerika Serikat dan Selandia Baru (Holt: 1999). Berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan potensi yang ada di Indonesia, dikembangkan model pembiayaan pembangunan kebudayaan yang bertumpu pada prinsip
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
3
kemitraan (partnership principle). Model ini melibatkan empat sumber pembiayaan, yaitu: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Daerah; (3) dunia usaha, dan; (4) masyarakat. Secara skematis sinergi berbagai komponen dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan di daerah dapat digambarkan seperti di bawah ini. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Skema Kerjasama Pembiayaan Pembangunan Kebudayaan
Pemerintah Pusat -Dana Alokasi Khusus -Bantuan Kegiatan
Pemerintah Daerah -APBD -Bantuan Kegiatan
Kualitas Pembiayaan Kebudayaan
Masyarakat - Donasi - Partisipasi
Dunia usaha -Kerjasama -Bantuan -Hibah
Melalui kerjasama dengan berbagai institusi itu, akan dapat digali berbagai sumber pembiayaan dan akhirnya akan terwujud kemandirian pembiayaan dalam pengembangan aset-aset kebudayaan. Pola pembiayaan demikian disebut pola pembiayaan dalam jangka panjang atau budget sustainability (Iskandar, 2003). 3.3 Data Sumber data dan informasi kajian ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu: (1) pejabat dinas provinsi yang berkait dengan kebudayaan; (2) pengelola aset budaya: museum pusat, museum daerah, museum swasta, taman budaya, perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, dan perpustakaan swasta; (3) tokoh dan pelaku budaya, pengamat dan pemerhati budaya; (4) pimpinan perusahaan dan yayasan; dan (5) pejabat pusat yang berkait dengan kebijakan keuangan negara yang seluruhnya berjumlah 59 orang.
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
4
4. HASIL KAJIAN 4.1
Kualitas Pembiayaan Aset-aset Budaya
4.1.1 Museum Secara umum kualitas pembiayaan museum relatif rendah. Hal ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran dari APBD. Bahkan beberapa museum negeri mengalami penurunan anggaran setelah diberlakukannya otonomi daerah. Alokasi anggaran yang tersedia pun lebih banyak untuk kegiatan rutin, tidak banyak atau bahkan tidak ada anggaran untuk kegiatan atau program-program pengembangan. Maka kegiatan museum hanya sekedar menjalankan fungsi pokoknya. Dari aspek sumber pembiayaan, pembiayaan museum lebih banyak mengandalkan angaran pemerintah, yakni APBD. Pembiayaan dari non pemerintah, baik dari dunia usaha maupun masyarakat sangat terbatas. Kerjasama dengan dunia usaha lebih banyak bersifat sponsorship, yakni pemberian bantuan untuk kegiatan-kegiatan insidental atau eventual dan jumlahnya tidak besar. Tidak ada kerjasama jangka panjang (long-term collaboration) yang menghasilkan pendapatan. Kerjasama yang cukup banyak dilakukan adalah dengan lembaga sejenis, antara lain baik dalam bentuk pameran bersama. Memang ada kerjasama dengan yayasan dalam bentuk bantuan program, seperti yang dilakukan Museum Bahari dari Yayasan Phinisi Nusantara. Sedangkan kerjasama dengan masyarakat, baru berupa sumbangan koleksi seperti di Museum Bahari Jakarta, Museum Negeri NTT dan lainnya. Melihat kondisi ini tampaknya museum negeri di daerah sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah pusat, apakah itu dana alokasi khusus, bantuan kegiatan atau jenis-jenis intervensi lainnya. Intervensi ini dapat berupa pemeliharaan dan pembinaan teknis untuk menjaga eksistensi dan keberlangsungan museum negeri yang telah didesentralisasikan ke daerah. 4.1.2
Taman Budaya
Kondisi taman budaya yang diteliti di delapan lokasi tidak lebih baik dari museum negeri. Ditinjau dari jumlah anggaran dari APBD, beberapa di antaranya bahkan sangat buruk. Hal ini berlangsung di Taman Budaya Bali, yang untuk biaya operasional saja, semisal listrik, mengalami defisit. Contoh lain adalah Taman Budaya Kalimantan Tengah yang pengelolaannya diserahkan ke kabupaten. Alokasi anggaran dari APBD sangat terbatas, sehingga hanya cukup untuk kegiatan rutin, tidak cukup untuk membiayai kegiatan atau program pengembangan. Sumber pembiayaan taman budaya sama seperti museum negeri yang masih bergantung pada anggaran pemerintah. Tidak banyak atau bahkan tidak ada biaya yang didapat dari sumber-sumber non pemerintah dan tidak ada kerjasama atau kemitraan yang bisa dijadikan sumber pembiayaan. Pemasukan dari jasa layanan dan penyewaan jumlahnya relatif minim. Pemasukan ini pun seluruhnya harus diserahkan ke kas daerah sebagai bagian dari PAD. Dengan kata lain, sulit bagi taman budaya untuk melakukan kegiatan yang bersifat menghasilkan pendapatan. Dapat dikatakan bahwa kualitas pembiayaan taman budaya masih rendah. Faktor utama yang menyebabkannya antara lain adalah: sibuknya pihak-pihak terkait pada isu eksistensi taman budaya pasca otonomi daerah dan rendahnya komitmen pemerintah daerah terhadap taman budaya. Komitmen yang rendah ini terlihat dari penurunan eselon pimpinan taman budaya dan penurunan anggaran kegiatan. Sama halnya dengan museum negeri, untuk menyelamatkan eksisitensi serta pengembangan taman budaya, harus ada E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
5
intervensi dari pemerintah pusat, baik dalam bentuk pendanaan maupun pembinaan teknis. Alokasi melalui dana dekonsentrasi atau Dana Alokasi Khusus (DAK) atau dana bantuan kegiatan bisa menjadi jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan nasib taman budaya yang memprihatinkan. 4.1.3
Perpustakaan Daerah
Umumnya, kualitas pembiayaan perpustakaan daerah lebih baik bila dibandingkan dengan taman budaya dan museum. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah anggaran yang dimiliki dan banyaknya sumber-sumber pembiayaan yang diperoleh perpustakaan daerah. Sehingga hal ini berdampak pada beragamnya jenis program kegiatan, yang bukan hanya bersifat rutin-operasional, melainkan juga bersifat pengembangan. Selain dari APBD yang alokasinya cukup besar, perpustakaan daerah mendapatkan pembiayaan yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan bantuan dari beberapa yayasan dan perusahaan, seperti: Coca-Cola Foundation Indonesia, Bank Dunia, IBM, Yayasan Marukki Makassar, PT Newmont, PT Djarum dan perusahaan jamu. Kemitraan dengan Coca-Cola Foundation bahkan telah banyak dilakukan oleh perpustakaan daerah yang bukan hanya di Jawa, melainkan juga di luar Jawa. Yayasan Marukki Makassar (lembaga sosial milik perusahaan Jepang, PT Marukki), bahkan menyediakan sebagian lahan perusahaan untuk dijadikan perpustakaan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat. Dengan banyaknya kemitraan yang dilakukan perpustakaan dengan perusahaan dan yayasan ini, maka telah terjadi diversifikasi sumber-sumber pembiayaan pada perpustakaan daerah. Kemitraan dengan masyarakat juga sudah dilakukan oleh perpustakaan daerah. Kemitraan itu diwujudkan dalam bentuk program-program yang berupaya menjadikan perpustakaan sebagai pusat pembelajaran masyarakat, sehingga pada gilirannya masyarakat pun dapat memberikan peran positif dan optimal dalam kemitraan dengan perpustakaan. Beberapa perpustakaan bahkan telah memasukan internet sebagai salah satu sumber informasi modern yang merupakan pengembangan fungsi perpustakaan sebagai pusat belajar masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Daerah NTT yang bekerja sama dengan PT Telkom. Kerjasama dengan melibatkan masyarakat (siswa) dalam kegiatan perpustakaan daerah, baik dalam bentuk lomba atau lainnya juga sangat mendukung tumbuhnya iklim kemitraan antara perpustakaan daerah dengan masyarakat dan iklim ini perlu terus dikembangkan untuk kemajuan perpustakaan. 4.2 Aset Budaya Tingkat Pusat Aset budaya yang dikelola pemerintah pusat umumnya tidak terlalu memprihatinkan. Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional memperoleh dukungan dana cukup besar sehingga mampu membuat program-program pengembangan. Di samping itu telah banyak kemitraan yang mereka lakukan. Sementara itu Museum Kebangkitan Nasional, walaupun tidak menerima banyak dana program pengembangan dan belum ada kemitraan yang efektif, namun tetap mampu untuk menjalankan programprogram rutin guna menjaga eksistensi dan keberlangsungan fungsi museum sebagai sumber informasi perjuangan nasional. Kasus unik yang cukup sukses adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMI). Meskipun tidak ada suntikan dana dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, namun melalui kreativitas program-program kerjasama dan kemitraan, TMII mampu mandiri membiayai kegiatan operasional dan pengembangannya. Sumber-sumber pembiayaan utamanya adalah dari jasa layanan, penyewaan, dan sponshorship dengan dunia usaha, E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
6
khususnya dengan industri televisi. Program-program pagelaran musik dan kesenian yang ditayangkan secara langsung oleh TV menjadi program andalan untuk memperoleh dana. 4.3 Peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan Masyarakat Dukungan pemerintah pusat secara khusus kepada aset-aset budaya relatif kecil. Dukungan itu hanya kepada perpustakaan dalam bentuk dana dekonsentrasi dan bantuan kegiatan terhadap museum tertentu yang dikelola secara nasional. Sedangkan dukungan dari pemerintah daerah, yang dialokasikan melalui APBD juga relatif kecil, kecuali untuk perpustakaan. Terobosan pendanaan, khususnya untuk museum dan taman budaya, adalah melalui bantuan gubernur. Meskipun dukungan dari dunia usaha dan yayasan sudah ada, tetapi jumlahnya relatif terbatas dan hanya disalurkan kepada perpustakaan daerah. Museum dan taman budaya belum banyak mendapat dukungan. Sementara itu dukungan dari masyarakat, relatif masih rendah. Pasalnya, apresiasi masyarakat terhadap aset budaya relatif rendah sehingga kepeduliannya rendah. Dukungan dan kontribusi dunia usaha serta masyarakat yang rendah mengakibatkan pembiayaan aset budaya sangat bergantung pada anggaran pemerintah. Tabel 1 menunjukkan alokasi APBD di beberapa provinsi untuk pembiayaan museum, taman budaya dan perpustakaan daerah. Tabel 1. Anggaran Museum, Taman Budaya (TB) dan Perpustakaan Daerah Yang Bersumber dari APBD Tahun 2003 No
Provinsi
1
DKI Jakarta
2 3 4 5
Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah
6 7 8
9 Sulawesi Selatan 10 Sulawesi Utara JUMLAH
Museum 410,0
APBD Taman Budaya Perpustakaan -
(dlm Jutaan Rp) Keterangan Jumlah 410,0
1.900,0 1.034,0 0 900,0
2.000,0 507,0 504,0 100,0
2.000,0 2.350,0 0 1.400,0
5.900,0 3.891,0 504,0 2.400,0
400,0
0
200,0
600,0
15,0 15,0
125,0 *)
250,0 0
390,0 15,0
1.300,0 1.440,0 7.414,0
1.575,0 1.600,0 6.411,0
3.300,0 1.600,0 11.100,0
6.175,0 4.640,0 24.925,0
DKI tidak memiliki Perpusda dan TB. 0=data belum masuk 0=data belum masuk 0=data belum masuk *) TB dibubarkan
Sumber: Data olahan Bappenas 2003 4.4 Model Pembiayaan Berdasarkan data lapangan dan kajian literatur, khususnya berdasarkan pengalaman kemitraan dan alternatif pembiayaan perpustakaan dan museum yang telah dilakukan di Jerman, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat, ditemukan tiga model pembiayaan dalam pembangunan kebudayaan, yakni: (1) model ideal; (2) model transisional; dan (3) model konvensional. Model ideal adalah pembiayaan yang didasarkan pada pola “pembiayaan berkelanjutan” (budget sustainabilty). Dalam model ini institusi atau aset kebudayaan
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
7
dapat membiayai sendiri berbagai program dan kegiatannya, baik yang bersifat operasional maupun pengembangan. Sumber-sumber biaya itu diperoleh dari jasa layanan aset kebudayaan dan hasil kemitraan, apakah kemitraan dengan dunia usaha maupun masyarakat. Dengan demikian institusi tidak bergantung pada anggaran pemerintah. Model pembiayaan ideal mengedepankan kemandirian finansial dalam pembiayaan pengembangan kebudayaan, khususnya dalam pengelolaan dan pengembangan aset-aset kebudayaan. Model ini ditemukan pada pembiayaan yang dilakukan TMII. Model transisional adalah model yang masih mengandalkan anggaran pemerintah, tetapi tidak sepenuhnya, yaitu 70% dari total anggaran yang dibutuhkan. Sedangkan kekurangannya harus dicari oleh manajemen atau pengelola institusi kebudayaan, antara lain melalui peningkatan fungsi layanan; program-program kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat; serta program-program kompetitif. Anggaran dari pemerintah khusus ditujukan untuk kegiatan operasional atau rutin, sedangkan untuk pengembangan diupayakan melalui kemitraan. Model ini sudah dilaksanakan Museum Nasional, Perpustakaan Nasional dan beberapa perpustakaan daerah. Model yang ketiga adalah model konvensional. Model pembiayaan ini sangat mengandalkan atau sangat bergantung pada anggaran pemerintah. Tidak ada atau tidak banyak kemitraan dalam rangka memperoleh sumber-sumber pembiayaan dari non pemerintah. Model ini ditemukan pada sebagian besar institusi kebudayaan yang menjadi obyek penelitian seperti museum negeri di daerah, taman budaya di daerah, dan museum kebangkitan nasional. Akibatnya pengembangan pun tidak bisa dilakukan. Gambar 2. Model-model Pembiayaan Pembangunan Kebudayaan
Model Konvensional
Model Transisional
Model Ideal
Keterangan: = Anggaran Non Pemerintah
= Anggaran Pemerintah
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
8
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis sebagaimana diuraikan terdahulu dapat ditarik kesimpulan, bahwa dilihat dari indikator besaran anggaran, variasi sumber pembiayaan, dan variasi penggunaan anggaran, kualitas pembiayaan aset-aset kebudayaan masih relatif rendah. Rendahnya kualitas pembiayaan aset-aset kebudayaan sangat dipengaruhi oleh: (1) terbatasnya alokasi anggaran dari APBD untuk pengembangan aset-aset kebudayaan, utamanya untuk museum negeri dan taman budaya; (2) ketiadaan atau terbatasnya alokasi anggaran dan intervensi dari Pemerintah Pusat; (3) rendahnya dukungan dan partisipasi masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok; dan (4) belum optimalnya kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh pengelola aset kebudayaan dengan dunia usaha, lembaga funding atau yayasan. Berdasarkan pengalaman pembiayaan yang dilakukan institusi atau pengelola aset kebudayaan, ditemukan tiga model pembiayaan dalam pengelolaan aset kebudayaan, yaitu: (1) model konvensional; (2) model transisional; dan (3) model ideal atau pembiayaan berkelanjutan (budget sustainability). Pembiayaan yang berkelanjutan sangat bergantung pada kerjasama atau kemitraan yang dilakukan pengelola aset kebudayaan. Dalam praktiknya model ini harus mempertimbangkan tiga aspek, yakni: (1) partner atau mitra yang bisa diajak bekerjasama; (2) bentuk kerjasama, dan (3) waktu pelaksanaan kerjasama tersebut. 5.2 Rekomendasi Dari kesimpulan di atas dapat disampaikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Perlu Komunikasi Dialogis antarstakeholders Kebudayaan Kesadaran akan pentingnya pemeliharaan berbagai aset budaya akan lebih efektif jika dilakukan berdasarkan kesepahaman (mutual understanding) di antara para pemangku peran, sehingga dapat disepakati peran-peran yang dapat dilakukan para stakeholders tersebut. Peningkatan dialog pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat di sekitar asset budaya berada sudah harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan kesepakatan dan aksi kongkret. Keberhasilan dialog dan pembagian peran dan tanggung jawab akan meningkatkan kesepahan tentang urgensi pembangunan kebudayaan, sehingga tidak semata-mata dipandang dalam perspektif jangka pendek sebagai cost centre. 2. Perlu Intervensi Pemerintah Pusat Terbatasnya kemampuan keuangan dan rendahnya kesadaran dan komitmen pemerintah daerah dalam melestarikan aset budaya dalam jangka panjang, akan mengakibatkan terbengkalainya aset budaya tersebut. Karena itu, perlu upaya penyelamatkan aset-aset budaya yang telah diserahkan kepada daerah. Penyelamatan tersebut terutama adalah pendanaan, misalnya dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK) atau model berbagi tanggung jawab pendanaan (matching block-grant). pemerintah pusat berkontribusi, pemerintah daerah berkontribusi dan masyarakat juga berkontribusi. 3. Usulan Model Pembagian Peran dan Tanggung Jawab `Untuk meningkatkan efektifitas kerja sama dan kemitraan antarstakeholders dalam mengelola dan melestarikan aset budaya, dibutuhkan model yang merepresentasikan realitas obyektif pengelolaan aset budaya saat ini. Model ini disandingkan dengan pengembangan pengelolaan aset budaya di masa depan secara E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
9
kongkret, realistis dan dapat diimplementasikan dengan mudah. Idealnya model pembiayaan yang dikembangkan adalah model budget suatainability. Karena itu kerjasama dan kemitraan harus banyak dilakukan oleh pengelola aset budaya. Berdasarkan gambaran obyektif yang dirangkum dalam hasil penelitian ditemukan skema kerjasama yang bisa dilakukan museum negeri, taman budaya dan perpustakaan daerah seperti terlihat pada tabel 2, 3 dan 4.
DAFTAR PUSTAKA Alto, Madealine. 1999. Fundraising Components in Public Library. North Carolina. Cambels, Nicola. 2000. Organizational Change in Public library. London. Depdikbud. 1997. Data Inventaris Aset /Kekayaan negara 1996/1997 di Dirjen Kebudayaan. Jakarta. Depdikbud. 1995. Data Realisasi Pembangunan Fisik 1994/1995 di Dirjen Kebudayaan. Jakarta. Holt, Glen E. 2000. Public Library partnership: Mission Driven Tools for 21Th century Success. London. Giapiconni, Thierry. 2000. Marketing Mix as A Tool for Objective Service. London. Manik, Malik R. 2002. “Pengelolaan Museum DKI Jakarta dalam Otonomi Daerah” makalah, Jakarta. Ontario Museum Association. 1991. Strategic Direction: Planning for Partnership. Canada. Piliang, Yasraf A. 2002. “Tinjauan Filosofis Otonomi Daerah”, makalah.
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
10
Tabel 2. Skema Kerjasama yang Bisa Dilakukan Museum
Kerjasama
Pendanaan
Pendidikan dan Pelatihan
Mitra Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Dana dekonsentrasi; Dana alokasi khusus; Hibah.
APBD Bantuan khusus Gubernur
Lembaga dana (foundation) nasional dan transnasional
Hibah
Perusahaan swasta
Hibah Sponsorship
Penelitian
Pengembangan
Pelatihan tenaga teknis
Pelatihan tenaga teknis
Penambahan Koleksi
Kegiatan Bersama
Pembangunan dan renovasi fisik; Bantuan fasilitas.
Penelitiaan benda sejarah dan purbakala
Pembangunan dan renovasi fisik; Bantuan fasilitas
Penelitiaan benda sejarah dan purbakala
Bantuan fasilitas
Bantuan fasilitas
Sewa ruangan/ tempat
Lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi).
Sumber belajar bagi siswa dan mahasiswa
Pameran; Lomba kesenian; Kemah bersama
Lembaga sejenis lokal
Pelatihan tenaga teknis
Pameran bersama
Lembaga sejenis regional dan nasional
Pertukaran dan peminjaman koleksi
Pameran bersama
Lembaga sejenis Transnasional
Pertukaran dan peinjaman koleksi
Pameran bersama
Sumbangan koleksi
Media massa (cetak dan elektronik).
Sponsorship
Masyarakat (perorangan, kelompok, dan LSM).
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
Penyewaan
Publikasi & sosialisasi Sewa ruangan/ tempat
11
Tabel 3. Skema Kerjasama yang Bisa Dilakukan Taman Budaya Kerjasama
Pendanaan
Pendidikan dan Pelatihan
Mitra Pemerintah Pusat
Dana dekonsentrasi; Dana alokasi khusus (DAK) Bantuan kegiatan
Pemerintah Daerah
APBD Bantuan khusus Gubernur
Penelitian
Pelatihan tenaga teknis
Penelitian budaya yang hampir punah
Pelestarian dan Pengembangan
Bantuan sarana dan prasarana
Bantuan sarana dan prasarana
Lembaga dana (foundation) nasional dan transnasional Perusahaan swasta
Lembaga sejenis lokal
Lembaga sejenis regional dan nasional
Penelitian budaya yang hampir punah. Lomba kesenian
-Pembinaan sanggar
Lembaga sejenis Transnasional
Festival budaya nasional/ internasional
Pagelaran bersama; Pertukaran budaya
Pagelaran bersama. Festival kesenian
Fasilitasi pagelaran
Fasilitasi pagelaran
Penyewaan
Hibah, sponsorship
Lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi).
Media massa (cetak dan elektronik).
Pagelaran dan Festival
Sponsorship
Masyarakat (perorangan, kelompok, dan LSM).
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
Pelestarian kesenian yg hampir punah. Penggunaan ruang untuk pameran
Pembinaan dan pelestarian budaya.
Sosialisasi dan publikasi budaya.
Penyewaan konjungsi
Sewa tempat
12
Tabel 4. Skema Kerjasama yang Bisa Dilakukan Perpustakaan Daerah Kerjasama
Pendanaan
Pendidikan dan Pelatihan
Mitra Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Dana dekonsentrasi; Dana alokasi khusus (DAK); Bantuan kegiatan
Penelitian
Pengembangan
Bantuan fasilitas
Bank Dunia
Hibah
Dunia usaha ( PT Marukki;P T Djarum; Perusahaan. Jamu; Newmount; IBM
Hibah Sponsorship
PT Telkom Lembaga sejenis lokal Lembaga sejenis Nasional
Bantuan kegiatan
Kegiatan bersama
Penyewaan
Pelatihan tenaga teknis
APBD Bantuan khusus Gubernur
Yayasan/Funding (Coca Cola Foundation).
Penambahan koleksi
Pelatihan petugas perpustakaan
Pelatihan tenga teknis
Banatuan fasilitas
Pemasangan Jaringan Internet
Bantuan koleksi
Hibah koleksi
Pameran bersama
Lomba resensi buku
Lembaga pendidikan: sekolah Media massa (elektronik dan cetak). Masyarakat (perorangan; kelompok; dan LSM).
E:\Jurnal\Editor Baru 22_104\Permintaan_Approve\kajian_kebudayan_AccHim.doc
Publikasi dan sosialisasi kegiatan
Sumbangan koleksi
Pemanfaatan layanan
13