Background Paper PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN Pendahuluan Bakground Paper ini disusun sebagai informasi awal untuk memberikan gambaran mengenai posisi diskursus pembiayaan pembangunan saat ini. Diharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan untuk menentukan tema atau fokus dalam melakukan advokasi ke depan baik di tingkat nasional maupun internasional, mengingat saat ini tengah disusun agenda pembangunan paska‐2015 dan rencana konferensi Perserikatan Bangsa‐Bangsa (PBB) mengenai pembiayaan pembangunan yang akan digelar di tahun 2015 atau 2016. Ada dua area hal yang diulas dalam paper ini yaitu sumber‐sumber pembiayaan di luar Official Development Assitance (ODA) dan peran lembaga keuangan yang berkaitan dengan sumber‐sumber pembiayaan tersebut. Latar belakang Pertanyaan yang akan diulas dalam paper ini yaitu bagaimana perkembangan diskursus mengenai pembiayaan pembangunan dalam debat internasional saat ini?serta bagaimana peran lembaga keuangan internasional dalam situasi saat ini? Pertanyaan ini berkaitan dengan tengah dibahasnya agenda pembangunan paska‐2015 oleh PBB. Perdebatan mengenai bagaimana agenda pembangunan setelah berakhirnya Millenium Development Goals (MDGs) telah dimulai sejak tahun 2012 saat PBB mengadakan Konferensi Pembangunan yang Berkelanjutan di Brazil atau dikenal dengan Rio+20 Summit. Sejak saat itu, berbagai forum diselenggarakan dengan melibatkan beragam multi‐stakeholder global dengan tujuan untuk mendapatkan masukan mengenai agenda pembangunan ke depan. Selain menyusun tujuan dan target pembangunan yang akan menjadi komitmen bersama, agenda lain yang tidak kalah penting yaitu mekanisme pelaksanaan (means of implementation) dari tujuan dan target pembangunan terutama terkait dengan kerjasama global. Hal ini didasarkan pada kenyataan di mana negara‐negara yang ada tidak memiliki kapasitas dan sumber daya yang sama, baik sumber daya keuangan, sumber daya manusia, maupun kemajuan tekhnologi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesepakatan mengenai mekanisme pelaksanaan terkait dengan skema kerjasama global amatlah penting. Pada saat yang sama, terjadi pergeseran peta politik dan ekonomi global akibat krisis berkepanjangan yang dialami negara‐negara maju dan juga tumbuhnya negara‐negara emerging seperti China, India, Rusia, Brazil dan juga Indonesia. Pergeseran ini juga membawa perubahan terhadap komitmen negara‐negara maju untuk memberikan bantuan berupa pinjaman luar negeri ke negara‐negara miskin dan berkembang. ODA yang selama ini diandalkan sebagai sumber
pembiayaan pembangunan terutama untuk tercapaianya MDGs kian berkurang dan tidak signifikan dibanding sumber‐sumber pembiayaan lainnya. ODA dan Perjalanan panjang pembiayaan pembangunan MDGs menetapkan pembiayaan untuk pembangunan menjadi agenda bersama yang tertuang dalam tujuan kedelapan yaitu kerjasama global. Di dalam goal delapan tersebut, terdapat empat indikator kerjasama global yaitu bantuan dari negara‐negara maju ke negara‐negara miskin dan berkembang dalam bentuk ODA atau pinjaman luar negeri, perdagangan terutama terkait dengan akses pasar, keberlanjutan pinjaman luar negeri, dan kerjasama farmasi untuk pemenuhan obat dasar bagi negara miskin dan berkembang. Dua tahun setelah MDGs disepakati menjadi komitmen global (2002), diadakan konferensi yang berlangsung di Monterrey, Meksiko, dengan agenda membahas pembiayaan untuk pembangunan. Tujuan utama dari konferensi tersebut yaitu untuk mobilisasi pendanaan untuk mencapai target MDGs. Konferensi tersebut kemudian menghasilkan konsensus di antara negara‐negara maju berupa komitmen bantuan dalam bentuk ODA kepada negara‐negara miskin sebesar 0,7% dari produk domestik bruto. Komitmen ini kemudian dikenal dengan Monterrey Concencus. Tiga tahun berikutnya (2005), OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) mengadakan pertemuan di Paris yang bertujuan untuk melakukan harmonisasi di antara negara‐ negara maju dalam rangka meningkatkan efektivitas bantuan. Pertemuan Paris menghasilkan lima poin kerjasama terdiri atas ownership (kepemilikan), alignment (keterpaduan), harmonisation (harmonisasi), result‐based oriented (berdasarkan pada hasil), dan mutual accountability (akuntabilitas timbal balik). Lima pilar ini kemudian dikenal dengan Deklarasi Paris yang hingga saat ini digunakan sebagai acuan dalam kerjasama bantuan berupa pinjaman luar negeri. Beragam pertemuan yang diadakan tersebut untuk memastikan efektivitas bantuan agar dapat mendukung tujuan pembangunan millenium. Namun berdasarkan laporan PBB di tahun 2012 (tiga tahun sebelum berakhirnya MDGs), hanya lima negara yang menjalankan komitmennya yaitu Swedia, Norwegia, Luxemburg, Denmark, dan Belanda. Sementara sebagian besar tidak mencapai target yang diharapkan. Secara total, ODA ditahun 2011 sebesar 0,31% dari GDP, jauh di bawah konsensus Monterrey. Meskipun ODA dianggap tidak mampu memenuhi harapan global terkait dengan pembiayaan pembangunan, namun bagi negara‐negara miskin (least developed countries/LDCs) menganggap ODA masih diperlukan guna mendukung pembangunan di negara mereka.
Tabel 1: Gap komitmen ODA dan implementasinya
Sumber: OECD
Potensi Sumber Pembiayaan untuk Pembangunan High level Panel of Eminent Person on Post‐2015 Development Agenda (HLPEP) yang dibentuk Sekjend PBB, Ban Ki Moon, dengan mandat menyusun agenda pembangunan paska‐2015 menekankan dua sumber pembiayaan yaitu pertama, ODA dengan komitmen yang sama yaitu 0,7% dari GDP dan 0,15 sampai 0,20 total GDP negara‐negara maju untuk LDCs, dan kedua, mengurangi pelarian modal dan pajak termasuk mengembalikan aset yang dicuri. Dua sumber tersebut menggambarkan sumber pembiayaan diharapkan selain dari bantuan luar negeri, juga didapat dari mobilisasi sumber daya domestik. Dokumen tersebut menggambarkan pergeseran kekuatan ekonomi global akibat krisis yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Krisis yang mulai terjadi di tahun 2008 dan hingga kini masih belum pulih menyebabkan negara‐negara maju mengurangi ODA dan mendorong pencarian sumber‐sumber pembiayaan baru. Terdapat beberapa usulan yang mengemuka di berbagai forum internasional seperti G20, APEC, PBB mengenai pembiayaan pembangunan, mulai dari kerjasama perpajakan, meningkatkan investasi khususnya FDI (Foreign Direct Investment), transparansi industri ekstraktif, hingga pelibatan swasta dalam pembangunan melalui public private partnership (PPP). Berikut beberapa usulan terkait dengan pembiayaan pembangunan yang berkembang dalam berbagai fora tersebut. Tabel 3. Sumber pembiayaan pembangunan No. Potensi 1. Mobilisasi sumber daya domestik (Domestik resource mobilisation)
Keterangan Pajak: OECD dan G20 tengah mendorong peningkatan kerjasama perpajakan untuk mengatasi penghindaran pajak. Hal ini mendapat dukungan dari masyarakat sipil mengingat potensi dana yang akan diperoleh jika kerjasama ini dilakukan. Berdasarkan laporan dari Global Integrity Network (2013), terdapat potensi penerimanaan global sebesar US$946.7 billion (Rp 11.460 triliun) dari sektor pajak yang hilang akibat pelarian pajak ke surga‐surga pajak (tax haven). Indonesia merupakan
sepuluh negara terbesar yang kehilagan pendapatannya karena pelarian modal.
2.
FDI dan PPP
3.
Pasar keuangan
4.
Inklusi keuangan
5.
Kerjasama selatan‐ selatan, Triangular, dan kerjasama regional
6.
Remitansi
7.
Pembiayaan untuk perubahan iklim (Climate Finance)
potensi
Pendapatan dari industri ekstraktif: Pemerintah Indonesia secara khusus menyinggung ini di forum Asia‐Pacific Outreach Meeting on Financing for Development yang diselenggarakan oleh UNESCAP. Namun belum secara detail diurai bagaimana ini bisa ditingkatkan untuk mendukung pembangunan. G20 dan APEC tengah mengodok skema long‐term financing for investment in infrastructure and SMEs. Skema ini untuk memperkuat pembiayaan terutama infrastruktur dan SMEs melalui PPP. Yang dilakukan G20 dan APEC adalah mendorong global enabling environment untuk PPP sekaligus adanya policy coordination untuk mendorong praktek PPP. Terkait dengan hal ini, masyarakat sipil global memberi perhatian yang serius karena dikhawatirkan skema ini dapat mempercepat kerusakan lingkungan dan juga konflik sosial. Masyarakat sipil di tingkat internasional tengah mendorong FTT (Financial Transaction Cost) guna mengurangi dominasi sektor keuangan di perekonomian. Secara khusus G20 merupakan forum yang secara intens membahas regulasi di sektor keuangan, namun hingga saat ini belum ada kemajuan yang berarti selain terbentuknya Financial Stability Board (FSB). Isu inklusi keuangan di tingkat internasional berkembang seiring dengan berkembangnya perhatian terhadap SMEs akibat krisis keuangan di tahun 2008. Ide dasarnya untuk memperkuat akses permodalan SMEs agar mampu bersaing di pasar. Hanya saja, perhatian terutama OECD dan G20 lebih pada meningkatkan peran negara dibanding peran perbankan. Kerjasama Selatan‐Selatan ditandai dengan terbentuknya Asia Infrastructure Fund yang diinisiasi oleh China. Tujuan utamanya untuk mendukung pembiayaan infrastruktur. Masyarakat sipil memberikan perhatian ke hal ini karena skema pembiayaan yang diinisiasi China tidak disertai dengan framework perlindungan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan. Cadangan devisa dari remitansi terus meningkat seiring dengan pasar tenaga kerja yang makin terbuka. Isu terkait dengan yang berkembang di tingkat global ada dua yaitu menurunkan biaya remitansi hingga 5% dan meningkatkan remitansi agar dapat meningkatkan cadangan devisa seperti yang diulas di awal. ‐
Peran Lembaga Keuangan Internasional Dalam konteks nasional, setelah dibubarkanya Consultative Group on Indonesia (CGI) seolah‐olah peran lembaga keuangan internasional terutama multilateral melemah karena forum multilateral yang mengurusi bantuan telah dibubarkan. Pembubaran CGI mendorong menguatnya kerjasama bilateral karena perjanjian bantuan langsung dilakukan secara bilateral. Namun yang sebenarnya, peran lembaga multilateral masih sangat besar dalam menentukan skema bantuan melaui pembentukan trust fund seperti PNPM Support Facility dan BaKTI yang dikoordinir oleh Bank Dunia. Pembentukan trust fund ini merupakan upaya harmonisasi antara multilateral dengan bilateral yang dikoordinir oleh lembaga keuangan internasional. Selain dalam konteks harmonisasi, lembaga keuangan internasional juga memberikan bantuan langsung ke pemerintah Indonesia. Mulai tahun 2000‐an, bantuan Bank Dunia ditujukan pada perubahan kebijakan pembangunan yang tertuang dalam pinjaman Development Policy Loan (DPL). DPL inilah yang mengarahkan kebijakan di Indonesia termasuk juga dalam hal pembiayaan pembangunan seperti pajak, PPP, inklusi keuangan, juga remitansi. Selain kebijakan, DPL juga mendorong pembentukan kelembagaan seperti pembentukan Indonesia Infrastructure Fund dan lain sebagainya. Ditingkat regional, Asia Development Bank (ADB) lebih mendorong regional integrity khususnya di kawasan Asia termasuk ASEAN melalui paket‐paket pinjamannya. ADB juga melalui DPL, sama dengan Bank Dunia, mendorong perubahan kebijakan dan juga pembentukan kelembagaan terkait dengan area‐area pembiyaan pembangunan seperti PPP. Bisa dikatakan, lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia dan ADB masih memiliki peranan besar terkait dengan pembiayaan pembangunan. ‐‐‐000‐‐‐