FINAL REPORT
BACKGROUND STUDY RPJMN 2015-2019 INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si.
Disampaikan Kepada Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional Desember 2013
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan 1.3. Tujuan 1.4. Ruang lingkup 1.5. Outline laporan
1 1 2 3 4 4
II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK LINGKUNGAN 2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan 2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan 2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup 2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan
6 6 9 10 12
III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan 3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS 3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011) 3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012) 3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP) 3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah
14 15 18 19 25 27 30 33
IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019 4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup 4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup
36 36 38
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
56
DAFTAR PUSTAKA
58
54
ii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), 2009 - 2011 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index (EPI) Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 20062012 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015 Komponen Penyusun IKL 2008 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx Klasifikasi IP dan Nilai IKA Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian Lingkungan Hidup) Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau PDRB Hijau Bali, 2010 PDB Hijau Indonesia, 2009 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010 Skala Green Rating Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1) Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2) Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB Roadmap Pengembangan IPLH
7 8 11 13 14 15 16 20 22 22 23 24 25 28 29 31 32 33 34 35 43 46 47 48 49 50 52 53
iii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan Framework (Kerangka Kerja Background Study) Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau Tahapan dalam Penentuan Green Rating Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010) Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010)
3 5 7 37 40 41 42 44 51 51
iv
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Pada tahun 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 akan berakhir dan Indonesia akan memasuki tahap ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yakni RPJM 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam UU 17/2007. Banyak hal yang telah dicapai selama dua kali periode pembangunan jangka menengah baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, selama periode 2005 – 2011, Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif pada kisaran 5 sampai 6.5% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% tersebut, pendapatan per kapita penduduk Indonesia juga meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 14.991,1 ribu pada tahun 2006 menjadi Rp 30.813,0 ribu pada tahun 2011. Bersamaan dengan itu, angka pengangguran juga menurun dari 11,2 % pada tahun 2005 menjadi 6,5% pada tahu 2011. Demikian juga dengan persentase penduduk miskin yang mengalami penurunan dari 15,9 % pada tahun 2005 menjadi 12,4% pada tahun 2011. Kemajuan di bidang sosial juga telah banyak dicapai diantaranya Angka Partisipasi Murni Sekolah dasar yang telah mencapai 91% pada tahun 2011, sementara APM SMP mencapai 68%. Demikian juga dengan Angka Melek Huruf (AMH) dimana terjadi peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2005. AMH tahun 2011 nasional telah mencapai 92,81%. Kemajuan di bidang sosial lainnya yang telah dicapai secara signifikan adalah menurunnya angka kematian bayi dari 68 per 1000 kelahiran di tahun 1991, menurun menjadi 28,2 kematian per 1000 bayi lahir pada tahun 2006 dan kemudian menurun lagi menjadi 24,3 per 1000 kelahiran. Dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan, mungkin indikator lingkungan yang mengalami tekanan yang berat sebagai akibat dari tekanan ekonomi dan sosial. Meski ada beberapa kemajuan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dengan upaya-upaya konservasi, seperti pencadangan wilayah konservasi, penanaman pohon, pengembangan ekonomi hijau dan berbagai upaya penyelamatan lingkungan lainnya, tekanan terhadap lingkungan hidup masih dirasakan besar selama beberapa tahun ke belakang. Hal ini dapat dilihat dari indikator bencana alam yang berkaitan dengan hydrometerological. Selama periode 2002 – 2010 bencana banjir meningkat dari 51 kejadian per tahun pada tahun 2002 menjadi 1016 banjir per tahun pada tahun 2010. Demikian juga dengan longsor dimana pada tahun 2002 terjadi 48 longsor, pada tahun 2010 terjadi 401 kejadian longsor (BNPB, 2011). Kegiatan pembangunan ekonomi juga mau tidak mau menyebabkan tekenan terhadap kualitas udara. Kegiatan industri dan tingginya penggunaan bahan bakar menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca. Jika pada awal tahun 1990an emisi CO2 masih di bawah 1 ton per kapita, pada tahun 2011, emisi tersebut telah mencapai 2 ton per kapita. Dari beberapa contoh indikator pembangunan di atas baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan, meski ada kecenderungan pembangunan yang mengarah kepada perbaikan seperti indikator ekonomi dan sosial, namun peningkatan taraf hidup ekonomi dan sosial tersebut sering harus di bayar cukup mahal dengan kerusakan lingkungan dengan banyaknya bencana alam yang ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah memenuhi tiga pilar pembangunan sekaligus. Hal ini juga menunjukkan apakah Indonesia masih berada di
1
sebelah kiri kurva Kuznet 1 atau sedang menuju titik tengah kurva Kuznet dimana peningkatan pendapat per kapita akan mengurangi kerusakan lingkungan.
1.2.Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, banyak indikator-indikator ekonomi dan sosial yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menunjukkan apakah pembangunan Indonesia sudah berada pada jalur pembangunan berkelanjutan atau belum. Selama ini untuk mengukur aspek pembangunan ekonomi digunakan pengukuran konvensional seperti pertumbuhan PDB (Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto) sementara untuk mengukur aspek sosial digunakan indeks pembangunan manusia atau IPM. Beberapa negara seperti Bhutan telah menggunakan indeks komposit dengan tidak menggunakan PDB dan IPM sebagai ukuran kemajuan pembangunan namun menggunakan Indeks Kebahagiaan (Gross Happiness Index). Hal ini disebabkan karena banyaknya kelemahan yang digunakan dalam menggunakan PDB sebagai indikator pembangunan. PDB sama sekali tidak menghitung deplesi dan degradasi dari sumber daya alam dan lingkungan sehingga pertumbuhan ekonomi sering dibayar dengan kerusakan lingkungan. Menyadari hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan indeks pembangunan yang mengakomodasi ketiga aspek pembangunan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan diantaranya ISEW (Index of Sustainable Economic Welfare), MEW (Measurement of Economic Welfare), Happy Planet Index atau dengan cara mengurangi deplesi dan degradasi lingkungan ke dalam PDB dengan ukuran Green GDP. Namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakan terkait dengan penggunaan indeks pembangunan tersebut. Indonesia sendiri sejak tahun 2009 telah mengembangkan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) sebagai indeks komplemen pembangunan di Indonesia, meski sejak tahun 2007, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengambangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL), khususnya untuk wilayah perkotaan. IKLH sendiri merupakan penyempurnaan dari IKL sebelumnya dengan unit analisis pada tingkat propinsi. Sejak 2009, Kementrian Lingkungan Hidup telah secara kontinu merilis IKLH yang meliputi tiga aspek utama yakni kualitas udara, air dan tutupan hutan. Salah satu catatan yang mungkin bisa dikemukakan adalah IKLH ini masih merupakan indeks parsial sehingga masih terlepas dari aspek ekonomi dan sosial sehingga menghasilkan keragaan yang sering bertentangan dengan indeks lainnya. Sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di bawah ini, data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa provinsi dengan indikator ekonomi dan IPM yang tinggi seperti DKI cenderung memiliki IKLH yang rendah. Sebaliknya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti Nusa Tenggara barat atau Maluku Utara justru memiliki indeks lingkungan yang tinggi. Hal ini tentu saja akan menyulitkan para pengambil kebijakan di daerah untuk menjalankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, karena bukan saja akan mengurangi semangat daerah untuk memperbaiki lingkungan namun juga menimbulkan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu harus di bayar dengan kualitas yang memburuk.
1
Kurva lingkungan Kuzent (Environmental Kuznet Curve atau EKC merupakan kurva yang berbentuk U terbalik yang menghubungkan antara pendapatan per kapita dengan tingkat kerusakan lingkungan. Pada pendapatn per kapita yang rendah, kerusakan lingkungan cenderung tinggi sampai mencapai titik puncak dimana setelah melewati titik tersebut, dengan pendapatan per kapita yang tinggi kerusakan lingkungan menurun
2
35 30 25 20 15 10
0
31. DKI Jakarta 36. Banten 35. Jawa Timur 62. Kalimantan Tengah 33. Jawa Tengah 53. Nusa Tenggara Timur 32. Jawa Barat 20. Kepulauan Riau 14. Riau 63. Kalimantan Selatan 94. Papua 91. Irian Jaya Barat 64. Kalimantan Timur 74. Sulawesi Tenggara 15. Jambi 76. Sulawesi Barat 73. Sulawesi Selatan 19. Bangka Belitung 34. Yogyakarta 16. Sumatera Selatan 61. Kalimantan Barat 11. Nanggroe Aceh Darussalam 82. Maluku Utara 81. Maluku 13. Sumatera Barat 71. Sulawesi Utara 18. Lampung 12. Sumatera Utara 52. Nusa Tenggara Barat 17. Bengkulu 72. Sulawesi Tengah 75. Gorontalo 51. Bali
5
Ranking PDRB
Ranking IIPM
Ranking IKLH
Sumber: Fauzi, 2012
Gambar 1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan IKLH sebagai suatu indikator awal mungkin sudah dapat dijadikan sebagai alat ukuran perkembangan kualitas lingkungan di Indonesia, namun indeks ini memerlukan penyempurnaan lebih jauh agar sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Penyempurnaan bukan saja pada aspek metodologi namun juga pada aspek kriteria dan ukuran yang lebih komprehensif dan konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan atau prinsip-prinsip ekonomi hijau.
1.3.Tujuan Dengan melihat beberapa rasionalitas di atas, nampak bahwa adanya “disconnected” antara aspek pembangunan ekonomi dan sosial dan lingkungan dalam konteks pembangunan di Indonesia. IKLH yang selama ini telah menjadi acuan baku juga memiliki banyak kelemahan untuk menggambarkan secara utuh capaian pembangunan di Indonesia. Oleh karenanya review secara komprehensif terkait dengan indeks kualitas lingkungan hidup tersebut sudah saatnya dilakukan untuk menunjang rencana pembangunan jangka menengah 2015-2019. Secara khusus tujuan dari background study ini adalah: a) Mengevaluasi komponen-komponen IKLH yang telah dikembangkan b) Mengidentifikasi indikator utama untuk bidang Lingkungan Hidup yang dapat dipergunakan sebagai indikator/ indeks utama (mengumpulkan data kuantitatif kualitas lingkungan hidup) c) Merumuskan Indeks Pembangunan Lingkungan Hidup komprehensif yang dapat dipergunakan secara nasional
3
1.4. Ruang lingkup Mengingat luasnya cakupan indeks pembangunan yang terkait dengan aspek lingkungan hidup, maka ruang lingkup background study ini dibatasi pada aspek review indikator yang telah dikembangkan pada tingkat nasional dan provinsi. Untuk melihat ketajaman tantangan dan peluang dalam implementasi IKLH pada level provinsi maka akan dilakukan site visit pada setidaknya empat provinsi yang mewakili wilayah barat Indonesia, wilayah tengah, dan wilayah timur. Draf backgrund study ini melingkupi beberapa aspek terkait dengan : a) Kebijakan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah selama RPJM tahap 2 dan harapan pada RPJM tahap 3 b) Karakteristik aspek sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi bagian dari pembangunan di tingkat nasional dan daerah c) Telaah terhadap indikator-indikator pembangunan terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan d) Kebijakan dan implementasinya terkait dengan aspek sumber daya alam dan lingkungan e) Review implementasi IKLH yang telah dilaksanakan sebelumnya 1.5. Outline laporan Secara garis besar laporan dokumen background study meliputi dan tidak terbatas pada beberapa aspek sebagai berikut: 1. Pendahuluan a. Latar Belakang b. Maksud dan Tujuan c. Ruang lingkup 2. Review Pembangunan Berkelanjutan dan Aspek Lingkungan Hidup a. Review capaian pembangunan berkelanjutan b. Peran sumber daya alam dan lingkungan c. Peran IKLH sebagai instrumen kebijakan lingkungan hidup d. Capaian pembangunan lingkungan 3. Review indeks pembangunan lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan berkelanjutan a. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 b. Indikator Pembangunan Berkelanjutan c. Indeks Kualitas Lingkungan BPS d. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH e. PDB/PDRB Hijau (Green GDP) f. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah 4. Pengembangan IPLH pada RPJM 2015-2019 a. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 b. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup
4
c. Tantangan dan peluang pengembangan Lingkungan Hidup 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
indikator
Indeks
Review Indikator Pembangunan Makro dan regional 2002-2012
Review RPJP dan Dan capain RPJM 2009-2014
Interkonek si dengan Sus Dev
Strong, weakness, challenges IKLH
Kriteria Dan indikator
Assessment Pengembangan IKLH
Assessment Pengembangan kriteria baru
Assessment Impementasi di daerah
Komposit
Review Status Lingkungan Hidup Indonesia
IKLH yang kompatibel (Komposit) Dengan RPJM 2015-2019
Gambar 2 Framework (Kerangka Kerja Background Study)
5
II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK LINGKUNGAN 2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan Adanya trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan, menjadi salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan. Seperti yang dituliskan oleh Fauzi (2004), pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari. Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang tersedia, sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi pemanfaatan sumber daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif keberimbangan, pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi dkk, 2009).Selain dimensi keberimbangan antar generasi, Heal 2008 (dalam Fauzi 2004) menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin (1996), melihat pembangunan berkelanjutan dari tiga dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan. Spangenberg (1999) kemudian menambahkan satu dimensi lagi, yaitu kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat. Keempat dimensi tersebut; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma keberlanjutan, prism of sustainability (Rustiadi dkk, 2009). Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, maka penilaian terhadap keberhasilan pembangunan tentunya juga harus melihat capaian dari keempat dimensi pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian akan terlihat bagaimana kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini bahkan mungkin akan menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial. Konflik akibat adanya kesenjangan sosial justru akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di masa yang akan datang. Sehingga penilaian pembangunan dari ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan secara bersamaan akan mampu memberikan arahan dalam pembangunan. Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Himawan (2012) mengistilahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sustainable growth. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia. Kondisi ini diperkuat dengan indikator ekonomi yang lain, rendahnya tingkat suku bunga Bank Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for Economic Co-operation 6
Sumber : Spangenberg J H dan Bonniot O, 1998
Gambar 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) Development (OECD) pada tanggal 27 September 2012. OECD menilai Indonesia telah memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan yang cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen. Gambaran tentang makro ekonomi Indonesia saja mungkin tidak cukup untuk menilai pembangunan Indonesia. Seperti disebutkan di awal, agar pembangunan dapat berkelanjutan, pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan bidang yang lain, salah satunya adalah lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan dimensi ekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah diuraikan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, di tengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di dunia, perekonomian Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun waktu yang sama, jumlah lahan kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara rata-rata, jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap tahunnya. Peningkatan lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali pulau Sumatera. Di daerah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap tahunnya. Kondisi inilah yang mungkin dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak, (Fauzi, 2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan ”stres” pada ekosistem bumi, yang Tabel 1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010
Pulau
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara, Maluku & Papua
PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Rata-rata 2006 2010 Pertumbuhan per tahun
Lahan Kritis (000 Ha) Rata-rata 2006 2010 Pertumbuha n per tahun
389,07 1093,32 160,69 79,15
468,06 1385,13 190,34 106,89
4.73 6.09 4.32 7.80
25898.97 3663.70 27918.05 6218.21
24771.47 4317.00 28012.61 7610.81
-1.11 4.19 0.08 5.18
55,72
71,18
6.31
14107.95
17464.55
5.48
5.73
77806.88
82176.44
1.38
Indonesia 1777,95 2221,60 Sumber : BPS dan Kementrian Kehutanan
7
mengakibatkan terjadinya progress trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan. Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut sehingga beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Pada pembangunan dimensi sosial, terdapat beberapa indikator yang biasa dipergunakan untuk mengukur pembangunan di Indonesia. Dua indikator yang sering dipergunakan adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat kemiskinan menggambarkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan gini rasio menggambarkan kesenjangan pendapatan. Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42 persen pada tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walaupun tingkat kemiskinan menalami penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan adanya peningkatan. Artinya, walaupun tingkat kemiskinan menurun, tetapi disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan Tabel 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 Tingkat Kemiskinan Provinsi 2011
*)
Gini Ratio 2012
*)
2008
2009
2010
2011
2012
2008
2009
2010
(1) NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
(2) 23.53 12.55 10.67 10.63 9.32 17.73 20.98 8.58 20.64 9.18 4.29 13.01 19.23 18.32 18.51 8.15 6.17 23.81 25.65 11.07 8.71 6.48 9.51 10.10 20.75 13.34 19.53 24.88 16.73 29.66 11.28 35.12 37.08
(3) 21.80 11.51 9.54 9.48 8.77 16.28 20.22 7.46 18.59 8.27 3.62 11.96 17.72 17.23 16.68 7.64 5.13 22.78 23.31 9.30 7.02 5.12 7.73 9.79 18.98 12.31 18.93 25.01 15.29 28.23 10.36 35.71 37.53
(4) 20.98 11.31 9.50 8.65 8.34 15.47 18.94 6.51 18.30 8.05 3.48 11.27 16.56 16.83 15.26 7.16 4.88 21.55 23.03 9.02 6.77 5.21 7.66 9.10 18.07 11.60 17.05 23.19 13.58 27.74 9.42 34.88 36.80
(5) 19.57 11.33 9.04 8.47 8.65 14.24 17.50 16.93 5.75 7.40 3.75 10.65 15.76 16.08 14.23 6.32 4.20 19.73 21.23 8.60 6.56 5.29 6.77 8.51 15.83 10.29 14.56 18.75 13.89 23.00 9.18 31.92 31.98
(6) 19.46 10.67 8.19 8.22 8.42 13.78 17.70 16.18 5.53 7.11 3.69 10.09 15.34 16.05 13.40 5.85 4.18 18.63 20.88 8.17 6.51 5.06 6.68 8.18 15.40 10.11 13.71 17.33 13.24 21.78 8.47 28.20 31.11
(7) 0.27 0.31 0.29 0.31 0.28 0.30 0.33 0.35 0.26 0.30 0.33 0.35 0.31 0.36 0.33 0.34 0.30 0.33 0.34 0.31 0.29 0.33 0.34 0.28 0.33 0.36 0.33 0.34 0.31 0.31 0.33 0.31 0.40
(8) 0.29 0.32 0.30 0.33 0.27 0.31 0.30 0.35 0.29 0.29 0.36 0.36 0.32 0.38 0.33 0.37 0.31 0.35 0.36 0.32 0.29 0.35 0.38 0.31 0.34 0.39 0.36 0.35 0.30 0.31 0.33 0.35 0.38
(9) 0.30 0.35 0.33 0.33 0.30 0.34 0.37 0.36 0.30 0.29 0.36 0.36 0.34 0.41 0.34 0.42 0.37 0.40 0.38 0.37 0.30 0.37 0.37 0.37 0.37 0.40 0.42 0.43 0.36 0.33 0.34 0.38 0.41
(10) 0.33 0.35 0.35 0.36 0.34 0.34 0.36 0.37 0.30 0.32 0.44 0.41 0.38 0.40 0.37 0.40 0.41 0.36 0.36 0.40 0.34 0.37 0.38 0.39 0.38 0.41 0.41 0.46 0.34 0.41 0.33 0.40 0.42
(11) 0.32 0.33 0.36 0.40 0.34 0.40 0.35 0.36 0.29 0.35 0.42 0.41 0.38 0.43 0.36 0.39 0.43 0.35 0.36 0.38 0.33 0.38 0.36 0.43 0.40 0.41 0.40 0.44 0.31 0.38 0.34 0.43 0.44
Indonesia
15.42
14.15
13.33
12.49
11.96
0.35
0.37
0.38
0.41
0.41
Sumber : BPS Catatan : *) Kondisi pada bulan September
8
pendapatan yang sangat lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial. Konflik sosial ini pada akhirnya akan bermuara pada ketidakberlanjutannya pembangunan. Dengan memperhatikan beberapa uraian sebelumnya, nampaknya pembangunan Indonesia masih belum menggambarkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan serta kelembagaan. Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi, tetapi lemah dalam pembangunan di bidang yang lain. Dalam bidang sosial, pembangunan semakin memunculkan perbedaan yang semakin lebar antara masyarakat golongan kaya dengan golongan miskin. Dari sisi lingkungan, pembangunan memunculkan lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas lahan.
2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sumber daya alam Indonesia merupakan 25 persen dari total aset kemakmuran negara/national wealth (World Bank 2006). Sumber daya alam menghasilkan rente (keuntungan) yang merupakan sumber penting bagi pendanaan pembangunan. Selama pemerintahan orde baru, Indonesia telah berhasil memanfaatkan rente sumber daya alam ini, khususnya dari minyak, sumberdaya mineral dan hutan untuk mendanai pembangunan Indonesia pasca tumbangnya rezim orde lama. Peran ekonomi sumberdaya alam ini terus berlanjut hingga saat ini. Namun harus diakui sekarang sumber daya alam mengalami penurunan yang cepat tanpa adanya pengganti yang memadai. Kerugian ekonomi akibat deplesi sumber daya dan degradasi lingkungan bisa menjadi hal yang substansial dalam jangka panjang, dengan besaran yang menunjukkan peningkatan, mulai dari 0,3 persen hingga 7 persen dari PDB Indonesia (Leitman et. al. 2009). Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selama orde baru telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan. Besar dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa "ekonomi cokelat" di masa lalu masih terpisah dari sumber daya dan pengelolaan lingkungan. Belajar dari kelemahan masa lalu dalam mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan pengelolaan lingkungan, Indonesia kini berjuang untuk mengambil kegiatan ramah lingkungan ke jalan pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan biaya lingkungan pengembangan dan mempertahankan sumber daya alamnya. Komitmen untuk menonjolkan pembangunan ekonomi hijau dimulai dengan menambahkan strategi prolingkungan ke dalam rencana pembangunan. Cukup banyak metode dan instrumen yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk mengintegrasikan langkahlangkah lingkungan ke dalam berbagai kegiatan ekonomi. Selain itu percepatan penyusutan sumberdaya alam ini semakin tinggi di era otonomi daerah. Hal ini karena selain adanya insentif dari dana bagi hasil dan keinginan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah/PAD (Leiman et. al. 2009), juga dikarenakan tumpang tindihnya kewenangan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam sehingga menimbulkan “moral hazard” dan mempercepat terjadinya penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Sebuah langkah besar menuju ekonomi Indonesia yang lebih hijau adalah dengan membangun kerangka kebijakan secara nasional. Payung hukum utama negara untuk pembangunan berkelanjutan adalah UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.Kemajuan menuju inisiatif ekonomi hijau mendapatkan momentum yang kuat dengan diberlakukannya undang-undang lingkungan yang terbaru Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini sangat mendorong penggabungan lingkungan ke dalam kegiatan sosial dan ekonomi seperti. Indonesia hijau hanya dapat dicapai melalui berbagai upaya dan mekanisme, seperti 9
pembiayaan, perencanaan pembangunan, dan penggunaan instrumen ekonomi untuk mencapai pengelolaan lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Perencanaan merupakan bagian penting dari strategi untuk meningkatkan pembangunan. Meskipun kegiatan sebagian besar akan dilakukan oleh sektor swasta dan masyarakat, pemerintah memainkan peran penting dalam memberikan bantuan dan menentukan pedoman standar untuk implementasi. Salah satu langkah strategis yang telah diambil adalah perumusan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).Rencana tersebut bertujuan untuk menggabungkan pengurangan emisi ke dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. RAN dan RAD GRK juga akan memfasilitasi peraturan pemerintah, standar dan dukungan pada pelaksanaan kebijakan rendah emisi karbon di berbagai sektor. Selain itu, juga akan mendukung pengembangan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai pengurangan emisi. Metode ini kemudian dapat diterapkan untuk jenis lainnya dari jasa lingkungan. Di sektor energi, beberapa peraturan telah dikeluarkan terutama untuk menjamin keamanan energi dan produksi serta penggunaan energi yang lebih bersih. Produk hukum energi yang pertama dikeluarkan pada tahun 2007. Undang-Undang Nomor 30/2007 mengamanatkan bahwa pemerintah, sektor swasta dan masyarakat berkewajiban untuk mengamankan dan menjamin ketersediaan, keberlanjutan dan efisiensi penggunaan sumber daya energi. Undang-undang ini juga menyediakan pedoman untuk diversifikasi energi dengan menggunakan energi terbarukan serta konservasi energi. Dalam rangka melaksanakan undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2009 tentang Konservasi Energi. Peraturan ini membagi tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat dalam pengelolaan energi, serta memberikan panduan tentang produksi, pemanfaatan dan konservasi, pembuatan standar dan peraturan pelabelan untuk efisiensi energi, mengatur fasilitas, memberikan insentif dan disinsentif, serta mengatur mekanisme pemantauannya. Meningkatnya kesadaran perlindungan lingkungan dan pertumbuhan permintaan energi telah mendorong dikembangkannya energi panas bumi serta energi terbarukan. Tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, sektor swasta dan masyarakat juga didorong untuk lebih terlibat dalam energi terbarukan. Penggunaan mikro hidro telah banyak dipergunakan dan menunjukkan tren meningkat. Peningkatan kesadaran swasta dan masyarakat tentang peran penting lingkungan juga melahirkan tindakan yang ramah lingkungan. Beberapa contohnya adalah produksi mebel berkelanjutan, pengelolaan pertanian berkelanjutan dan produk organik.
2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup Beberapa indikator pembangunan pada uraian sebelumnya; pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan lahan kritis, kemiskinan dan gini rasio; merupakan indikator yang bersifat tunggal dan bukan indikator komposit. Interpretasi yang diperoleh dari nilai masing-masing indikator tentunya hanya mewakili keterukuran dari indikator yang bersangkutan, belum dapat mewakili masing-masing dimensi pembangunan secara utuh. Untuk dapat mengukur capaian secara lebih kompleks tentunya dibutuhkan indikator gabungan berupa indeks komposit. Terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur dimensidimensi pokok pencapaian status kemampuan dasar penduduk: umur panjang dan sehat, 10
berpengetahuan dan keterampilan, serta aksesibilitas terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak. Sehingga IPM merupakan ukuran yang umum dipergunakan untuk mengukur tingkat capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun IPM masih luput mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan Dannish International Development Agency (DANIDA). IKLH mengadopsi konsep indeks yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia Commonwealth University (VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan. Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran sinergitas antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan lingkungan. Dengan mencermati Tabel 3, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara peringkat IPM dengan peringkat IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM baik, justru memiliki peringkat IKLH yang Tabel 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), 2009 - 2011 IPM Provinsi
2009 IPM
(1) NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
(2) 71.31 73.80 73.44 75.60 72.45 72.61 72.55 70.93 72.55 74.54 77.36 71.64 72.10 75.23 71.06 70.06 71.52 64.66 66.60 68.79 74.36 69.30 75.11 75.68 70.70 70.94 69.52 69.79 69.18 70.96 68.63 68.58 64.53 71.76
IKLH
2010
2011
Rank IPM Rank IPM Rank (3) 17 8 9 3 13 10 12 21 11 6 1 15 14 4 18 23 16 32 31 28 7 26 5 2 22 20 25 24 27 19 29 30 33
(4) 71.70 74.19 73.78 76.07 72.74 72.95 72.92 71.42 72.86 75.07 77.60 72.29 72.49 75.77 71.62 70.48 72.28 65.20 67.26 69.15 74.64 69.92 75.56 76.09 71.14 71.62 70.00 70.28 69.64 71.42 69.03 69.15 64.94 72.27
(5) 17 8 9 3 13 10 11 21 12 6 1 15 14 4 18 23 16 32 31 28 7 26 5 2 22 19 25 24 27 20 30 29 33
(6) 72.16 74.65 74.28 76.53 73.30 73.42 73.40 71.94 73.37 75.78 77.97 72.73 72.94 76.32 72.18 70.95 72.84 66.23 67.75 69.66 75.06 70.44 76.22 76.54 71.62 72.14 70.55 70.82 70.11 71.87 69.47 69.65 65.36 72.77
(7) 18 8 9 3 13 10 11 20 12 6 1 16 14 4 17 23 15 32 31 28 7 26 5 2 22 19 25 24 27 21 30 29 33
2009
2010
1)
2)
IKLH Rank IKLH (8) (9) 72.47 12 62.48 19 87.04 2 51.65 25 75.04 9 69.30 14 79.58 4 73.64 11 52.15 24 51.65 25 41.73 30 49.69 27 55.40 22 53.52 23 59.01 21 50.86 26 85.50 3 73.69 10 66.61 18 71.92 13 45.70 29 48.25 28 68.63 15 88.21 1 68.51 16 67.62 17 60.53 20 67.62 17 78.80 6 78.80 5 75.30 8 75.30 7 59.79
Rank IKLH2) Rank
(10) (11) 77.30 11 87.17 6 81.46 9 54.86 22 62.82 17 75.70 13 96.89 4 86.95 7 64.92 15 54.86 22 41.81 29 53.44 23 50.48 25 71.91 14 49.49 27 48.98 28 99.65 1 90.15 5 50.72 24 76.39 12 50.38 26 58.24 21 62.22 19 84.18 8 97.58 3 62.89 16 62.23 18 97.93 2 62.89 16 79.72 10 79.72 10 59.56 20 59.56 20 61.07
2011
(12) (13) 66.74 16 72.21 12 77.00 9 56.23 24 64.92 18 77.50 8 96.77 3 86.57 4 64.99 17 56.23 24 41.31 30 50.90 27 49.82 28 68.89 14 54.49 25 48.98 29 85.30 5 84.30 7 59.01 23 74.27 10 63.98 19 60.29 21 70.75 13 84.59 6 98.53 2 62.64 20 52.79 26 98.89 1 67.85 15 73.09 11 73.09 11 68.51 22 68.51 22 60.25
Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup Catatan : 1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung 2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung
11
tidak baik, contohnya Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat pertama, sedangkan nilai IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi yang peringkat IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik, misalnya provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011 berada pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24. Dalam posisi ini, IKLH memegang peran penting dalam mengontrol capaian pembangunan berkelanjutan. Penggunaan indikator ekonomi dan sosial dalam mengukur capaian pembangunan berkelanjutan tidaklah cukup, dibutuhkan indikator lain yang mampu mengukur capaian pembangunan bidang lingkungan, yang dicerminkan oleh IKLH.
2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan Merujuk pada evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014 yang telah dilakukan oleh Bappenas, berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam RPJMN, capaian pembangunan bidang lingkungan menunjukkan hasil yang cukup baik. Mengutip dari evaluasi tersebut, diketahui bahwa salah satu capaian pembangunan lingkungan diantaranya adalah semakin meningkatnya ketaatan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, dari 66 % pada periode 2010-2011 menjadi 69% pada periode 2011-2012. Pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan ditujukan untuk menurunkan beban pencemaran dan mereduksi Gas Rumah Kaca (GRK) guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Data dari Kementrian Kehutanan juga menunjukkan turunnya laju deforestasi, yang mampu ditekan dari 830.000 ha pada tahun 2006-2009, menjadi 450.000 per tahun pada periode 2009-2011. Kegiatan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) mampu mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan beban pencemarannya. Sementara upaya pengendalian kebakaran hutan juga berhasil mengurangi jumlah hotspot (titik api) di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pelayanan informasi cuaca juga mengalami perbaikan degan dipasangnya Automatic Weather Station (AWS) di 167 lokasi. Dengan sarana ini, informasi terjadinya cuaca ekstrim dapat diprediksi 3 jam sebelum kejadian, lebih awal 30 menit dibandingkan sebelum adanya AWS. Informasi tentang Gempa Bumi dan Tsunami menjadi lebih baik dengan Tsunami Early Warning System (TEWS). Waktu untuk mengolah data dan menyebarkan informasi kepada masyarakat dapat dipercepat menjadi kurang dari 5 menit setelah gempa terjadi. Sebelum adanya TEWS, dibutuhkan waktu 30 menit sampai 2 jam. Untuk penguatan kapasitas penanganan bencana, telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 Provinsi yang mencapai 366 BPBD tingkat kabupaten/kota dengan prioritas pada kabupaten/kota rawan bencana serta penguatan kapasitas Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SCR-PB). Target lainnya yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 adalah tersusunnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Seperti telah diuraikan sebelumnya, IKLH telah disusun sejak tahun 2010. Walau tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen RPJMN, IKLH diharapkan mampu mencapai nilai 70 pada tahun 2014. Pada tahun 2011 nilai IKLH baru mencapai 60,25 dengan tren menurun dari tahun sebelumnya. Pada akhir RPJMN 2010-2014, diharapkan IKLH dapat disusun sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hingga saat ini IKLH yang tersedia hanya pada tingkat nasional dan provinsi. Artinya penyusunan IKLH kabupaten/kota menjadi target RPJMN yang belum terealisasi.
12
Tabel 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan Indikator
Satuan
Fasilitasi rehabilitasi hutan dan lahan kritis pada DAS prioritas
Ha (ribu)
Fasilitasi pembangunan hutan rakyat kemitraan untuk bahan baku industri pertukangan
Ha (ribu)
Jumlah industri pertambangan, energi dan migas, agroindustri dan manufaktur yang dipantau dan diawasi
Jumlah industri
Persentase capaian indeks kualitas Lingkungan Hidup Nasional (IKLH)
Status Awal 2009
Target 2014
703,05 1.600,00
Capaian 2010
2011
2012
229,22
742,36 1.252,88
n.a
250
51,51
102,07
158,42
627
680
705
996
1.312
(%) terhadap IKLH max
59,79
70,00
61,07
60,25
n.a
Penurunan jumlah hotspot di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi berkurang 20% per tahun dari rata-rata tahun 2005-2009
%
58.89
67,20
83,42
51,65
45,11
Rencana Pengelolaan DAS terpadu
unit
n.a
108
22
58
95
Kesinambungan sistem analisa data di bidang gempa bumi dan tsunami
%
75
90
90
100
100
Persentase pengguna informasi perubahan iklim dan kualitas udara
%
75
90
39
68
80
Persentase tingkat kemampuan pelayanan data dan informasi meteorologi publik dan cuaca ekstrem
%
45
80
50
66,67
78,78
Terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (prov/kota)
Lokasi
5
77
16
265
160
Terbentuknya satuan reaksi cepat (SRC-PB)
lokasi
7
2
2
2
2
Fasilitasi penetapan areal kerja pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa (ribu)
(Titik rata-rata 2005 – 2009)
Ha (ribu)
78.24
2500 528,51
1.036,68 1.537,01
Sumber: Bappenas (2013)
13
III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Aspek lingkungan hidup telah menjadi perhatian serius dalam penilaian pembangunan berkelanjutan. Beberapa lembaga internasional bahkan telah mengembangkan berbagai metode penilaian beserta indikator-indikator lingkungan hidup untuk menilai progress pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Yale University didukung oleh World Economic Forum pada periode 2000-2005 mengembangkan Environment Sustainable Index (ESI) yang terdiri dari 21 indikator. Dalam skor ESI ini, pada tahun 2005, Indonesia berada pada urutan ke 53 dari 146 negara. Setelah tahun 2005, ESI kemudian dikembangkan menjadi Environmental Performance Index (EPI). EPI menggunakan 22 indikator lingkungan dengan 10 kategori (lihat Tabel 4). Berdasarkan ranking EPI ini, Indonesia berada pada urutan ke 74 dari 132 negara dari sisi skor EPI dan pada urutan ke 66 dari sisi perubahan skor EPI. Peringkat dan performa lingkungan Indonesia selama periode 2006-2012 dapat dilihat pada Tabel 5. Namun sayangnya, nilai skor dan peringkat yang dihasilkan tidak dapat dibandingkan secara langsung antar tahun, karena adanya perubahan dalam metode penghitungan EPI . Tabel 5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index (EPI) Objective
Policy Category Air (effects on human health)
Environmental Health
Water (effects on human health) Environmental Health Air pollution Water Biodiversity and habitat
Ecosystem Vitality
Forests
Fisheries Agriculture
Climate change
Indicator Indoor air pollution Particulate matter Access to drinking water Access to sanitation Child mortality SO2 emissions per capita SO2 emissions per $ GDP Change in Water Quantity Biome protection Marine protected areas Critical habitat protection Forest loss Change in forest cover Forest growing stock Coastal shelf fishing pressure Fish stocks overexploited Agricultural subsidies Pesticide regulation CO2 emissions per capita CO2 emissions per $ GDP Electricity emissions per KWH Percent of energy production from renewables
Sumber : http://epi.yale.edu
14
Tabel 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-2012 Tahun 2006 2008 2010 2012
Peringkat EPI Indonesia 79 dari 133 negara 102 dari 163 negara 134 dari 149 negara 74 dari 132 negara
Skor 60.7 66.2 44.6 -
Sumber : http://epi.yale.edu
Pengukuran kualitas lingkungan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Pada awalnya pengukuran kualitas lingkungan hanya menjadi bagian dari ukuran yang lebih makro, seperti capaian Milenium Development Goals (MDGs) dan bagian dari indikator pembangunan berkelanjutan. Namun dalam perkembangannya, kemudian muncul indikator komposit yang secara khusus mengukur kualitas lingkungan. Dalam hal ini paling tidak ditemukan dua indikator komposit yang dapat dipergunakan. Pertama adalah Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dihitung oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Kedua indikator tersebut bertujuan mengukur kualitas lingkungan hidup, namun dengan metode dan ruang lingkup yang berbeda. Uraian berikut membahas perkembangan dan metode yang dipergunakan pada beberapa ukuran kualitas lingkungan, mulai dari indikator parsial yang ada pada RPJMN 2010-2015 dan indikator pembangunan berkelanjutan, hingga indikator komposit seperti IKL dan IKLH.
3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 Pembangunan lingkungan menjadi salah satu isu penting dalam RPJMN 2004-2009. Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan, yang diantaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia. Persoalan lain yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahan iklim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor, dan bencana alam lainnya. Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak aktivitas pembangunan dan perubahan iklim tersebut terhadap lingkungan, dalam Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telah dilaksanakan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Pada RPJMN 2004-2009, indikator pembangunan lingkungan hidup paling tidak dapat ditemukan pada beberapa prioritas kegiatan, yaitu kebijakan lintas bidang perubahan iklim global, prioritas bidang perbaikan kualitas lingkungan hidup, prioritas bidang peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, dan prioritas bidang: peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana alam serta kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dari sejumlah indikator yang ada pada beberapa prioritas kegiatan tersebut, dipilih beberapa indikator yang dipandang menjadi fokus dari pembangunan lingkungan (Tabel 7).
15
Tabel 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015 No 1
2
3
4
5
Fokus Pengendalian Pencemaran Udara
Pengendalian Pencemaran Udara Dari Emisi dan Kebisingan Kendaraan Bermotor
Pengendalian Pencemaran Air
Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik
Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Kegiatan Pertambangan, Energi, Minyak dan Gas
Indikator Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang dipantau dan diawasi Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH Jumlah penurunan beban pencemar udara dari industri yang dipantau dan diawasi Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan Jumlah peraturan perundangan yang ditetapkan Jumlah daerah (provinsi/kota) yang difasilitasi dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang pengendalian pencemaran udara khususnya sumber bergerak Jumlah kota yang difasilitasi dalam penerapan pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor (P&P) Jumlah kebijakan sektor yang difasilitasi dalam mendukung reduksi emisi (penetapan standar emisi dan kebisingan, bahan bakar, manajemen transportasi, kendaraan tidak bermotor (NMT), uji emisi bagi kendaraan pribadi, land use planning ) Jumlah kota yang dievaluasi kualitas udaranya Jumlah pembinaan teknis dalam pengendalian pencemaran sumber bergerak Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang dipantau dan diawasi Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH Jumlah izin pembuangan air limbah ke laut yang dikeluarkan Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan Jumlah kota metropolitan dan besar yang dipantau Jumlah ibukota provinsi yang dipantau Jumlah penurunan beban pencemar dari sumber limbah cair domestik dari kegiatan apartemen dan perumahan mewah di 3 propinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) Jumlah pedoman teknis di bidang pengelolaan limbah domestik % capaian peningkatan kinerja pengelolaan sampah melalui pengawasan % volume pengurangan sampah melalui 3 R Jumlah produk perumusan kebijakan dan/atau standar dan/atau pedoman pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas [Draft Permen LH] Jumlah kegiatan pemantauan dan/atau analisis dan/atau evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas
Sifat Indikator Regu- Input/ Outlasi Proses put v v v v v v v v
v
v
v v v
v v v v v v v
v v v v
v
16
No
Fokus
Indikator Jumlah perusahaan yang mendapat pengawasan kinerja penaatan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas
Sifat Indikator Regu- Input/ Outlasi Proses put v
v
Jumlah daerah dan/atau perusahaan yang mendapat bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas Jumlah lingkup kegiatan dari seluruh ketentuan konvensi internasional pengelolaan B3 dan Limbah B3 6
7
8
9
Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Manufaktur, Agroindustri dan Jasa
Perlindungan Atmosfir dan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim
Pengendalian kebakaran hutan
Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dan Reklamasi Hutan di DAS Prioritas
Jumlah kebijakan, pedoman teknis yang diterapkan dalam Pengelolaan Limbah B3 pada kegiatan manufaktur dan agroindustri [dalam bentuk pedoman] Jumlah pengawasan kinerja industri yang dilakukan pembinaan dan pengawasan
v v
v
Jumlah daerah dan/ atau perusahaan yang mendapat bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan manufaktur agroindustri dan jasa
v
Jumlah lingkup kegiatan dalam pelaksanaan ketentuan konvensi internasional pengelolaan B3 dan limbah B3 (dari seluruh ketentuan internasional yang ada) Jumlah konsep kebijakan di bidang perlindungan atmosfir dan pengendalian dampak perubahan iklim
v
% penyiapan penyusunan perangkat untuk sektor yang akan mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan inventori GRK & BPO Jumlah sektor yang mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan inventori GRK & BPO % penetapan baseline untuk pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) - HCFC % pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) HCFC Jumlah pemerintah daerah provinsi yang dilakukan pembinaan teknis untuk kajian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim Jumlah sektor dan daerah yang mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan kegiatan perlindungan atmosfir dan pengendalian dampak perubahan iklim Implementasi konsep Program Kampung Iklim Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi berkurang 20% setiap tahun. Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50% dibandingkan kondisi tahun 2008 Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bahaya kebakaran hutan di 30 DAOPS Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS prioritas seluas 800.000 ha Fasilitasi rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritas seluas 500.000 ha Fasilitasi pengembangan hutan kota seluas 5.000 ha Fasilitas rehabilitasi hutan mangrove, gambut dan rawa seluas 295.000 ha
v v
v v v v
v
v v v v
v v v v
17
No 10
Fokus Peningkatan Konservasi Keanekaragaman Hayati
Indikator Jumlah dokumen laporan dan rekomendasi kebijakan konservasi keanekaragaman hayati Jumlah rekomendasi kajian kebijakan konservasi keanekaragaman hayati diimplementasikan Jumlah hasil rekomendasi pemantauan pelaksanaan kebijakan konservasi keanekaragaman hayati yang ditindaklanjuti Jumlah daerah kegiatan pemantauan pelaksanaan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati Terfasilitasinya pengembangan program Taman Keanekaragaman Hayati di beberapa daerah
Sifat Indikator Regu- Input/ Outlasi Proses put v v v
v v
Berdasarkan sifatnya, indikator-indikator yang ada pada tabel 7 secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu yang bersifat regulasi, input/proses dan indikator output. Dari 52 indikator, 16 indikator (30,77%) merupakan regulasi dan 29 indikator (55,7%) merupakan indikator input/proses. Hanya 7 indikator (13,46%) yang masuk ke dalam kategori indikator output. Dengan sudut pandang ini, keberhasilan pembangunan lingkungan nampaknya masih dominan diukur dari sisi input atau prosesnya, belum dari sisi outputnya. Indikator output yang dipergunakan juga tidak seluruhnya bersifat indikator, tetapi lebih bersifat “statistik”, seperti “Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”. Indikator seperti ini seperti ini memiliki kelemahan karena tidak dapat diperbandingkan secara langsung antar waktu. Jika jumlah industri yang taat peraturan meningkat 10% tidak secara langsung dapat diartikan bahwa telah terjadi keberhasilan. Ukuran keberhasilan juga ditentukan oleh pertumbuhan jumlah industri. Keberhasilan hanya dapat disimpulkan jika pertumbuhan jumlah industri lebih kecil dari 10%. Oleh karena ini, sebaiknya penggunaan indikator yang bersifat “statistik” dilengkapi juga dengan indikator yang bersifat “indikator”, misalnya menjadi “% jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”.
3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Untuk membantu negara-negara dalam mengambil keputusan yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, Komisi Pembangunan Berkelanjutan menyusun indikator pembangunan berkelanjutan sebagai acuan negara-negara dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 1995, Komisi Pembangunan Berkelanjutan berhasil menyusun sekitar 134 indikator pembangunan berkelanjutan dalam kerangka kerja Driving Force-StateResponse. Pada tahun 2001, Divisi Pembangunan Berkelanjutan merevisi 134 indikator pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi 58 indikator berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang telah menerapkan indikator tersebut. Indikator tersebut direvisi kembali menjadi 50 indikator utama dan 46 indikator lain pada tahun 2007. Indonesia, dalam hal ini Badan Pusat Statistik, (BPS) telah menelaah indikatorindikator yang dapat diimplementasikan dengan kondisi negara Indonesia, dan menyajikannya dalam bentuk publikasi khusus, yaitu Indikator Pembangunan Berkelanjutan. Dalam publikasi tersebut, BPS merilis 62 indikator yang mencakup berbagai dimensi pembangunan berkelanjutan. Dari 62 indikator tersebut terdapat beberapa indikator yang berkaitan dengan lingkungan, yaitu: Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik 18
Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh Jumlah desa menurut jenis bencana alam Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam Jumlah korban bencana menurut kondisi korban Jumlah kerusakan rumah akibat bencana / Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut jenis bahan bakar untuk memasak Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2 Luas lahan yang sementara tidak diusahakan Jumlah sebaran titik panas yang terdeteksi satelit Sebaran kawasan konservasi laut Luas dan kondisi terumbu karang Volume air bersih yang disalurkan perusahaan air bersih Kandungan maksimum biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) pada air sungai Kawasan konservasi daratan Spesies satwa yang dilindungi Spesies tumbuhan yang dilindungi Persentase remitan terhadap pendapatan nasional Pemakaian energi termasuk biomassa
3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS BPS telah memulai studi untuk mengukur kualitas lingkungan hidup dengan menyusun Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) pada tahun 2007. Studi ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi pada tahun 2008. Secara lebih rinci uraian berikut akan lebih memfokuskan pada penyusunan IKL 2008, sebagai studi paling akhir. Namun untuk melihat perkembangan studi yang dilakukan oleh BPS, juga disertakan perbandingan metodologi antara IKL 2007 dengan IKL 2008. 3.3.1. Perbandingan IKL 2007 dan IKL 2008 Terdapat beberapa perbedaan metodologi dalam penghitungan IKL 2007 dan IKL 2008, yaitu : 1. Indeks Kualitas Udara (IKU). Parameter penyusun IKU 2007 adalah SO2 dan NO2, sementara parameter IKU 2008 terdiri dari CO dan NOx. Metodologi pun berbeda, bila konsentrasi SO2 dan NO2 adalah hasil pengukuran Pusarpedal, maka konsentrasi CO dan NOx diperoleh dari hasil penghitungan konsumsi BBM kendaraan bermotor hasil Susenas Modul Konsumsi 2008. 2. Indeks Kualitas Air (IKA). IKA 2007 menggunakan 3 parameter yaitu BOD, COD, dan DO, sementara IKA 2008 menggunakan 9 parameter yaitu BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS, dan SO4. Seperti diketahui, pengambilan sampel air sungai dilakukan di beberapa titik. Pada IKA 2007, nilai yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai ratarata dari beberapa sampel tersebut, sedang pada IKA 2008 nilai yang diambil adalah nilai pada saat kondisi terburuk. 3. IKTp. Variabel sampah pada IKTp 2007 tidak dibagi dengan luas wilayah, pada IKTp 2008 menjadi memperhitungkan luas wilayah. Variabel penampungan akhir tinja pada 19
IKTp 2007 mengakomodir seluruh jenis penampungan, pada IKTp 2008 dibatasi hanya tangki SPAL saja. 4. IKP, ini merupakan aspek baru pada IKL 2008 yang tidak ada pada IKL 2007. 5. IKL. Pemberian bobot untuk masing-masing matra pada IKL 2008 mengacu pada Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu: IKA bobot 13, IKTP bobot 10 dan IKP bobot 10. Sementara pada penghitungan IKL 2007, bobot pada masing-masing matra diasumsikan sama (setiap matra mempunyai kontribusi yang sama besar dalam penyusunan IKL). 3.3.2. Metode Penyusunan IKL 2008 Berdasarkan data yang tersedia dari sumber data yang ada, beberapa variabel yang menjadi komponen dalam penyusunan IKL adalah
Tabel 8 Komponen Penyusun IKL 2008 Faktor (1) Kualitas Udara
Variabel (2) 1. Konsentrasi NOx pada udara ambien
2. Konsentrasi CO pada udara ambien
Kualitas Air
Kualitas Tanah Pemukiman
Populasi
1. Nilai maksimum kandungan BOD pada air sungai 2. Nilai maksimum kandungan COD pada air sungai 3. Nilai maksimum kandungan DO pada air sungai 4. Nilai maksimum kandungan NO3 (Nitrat) pada air sungai 5. Nilai maksimum kandungan NH3 (Amoniak) pada air sungai 6. Nilai maksimum pH pada air sungai 7. Nilai maksimum kandungan TDS(Total Dissolved Solid) pada air sungai 8. Nilai maksimum kandungan TSS (Total Suspensed Solid) pada air sungai 9. Nilai maksimum kandungan SO4 (Sulfat) pada air sungai 1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2 . 2. Persentase rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki/Saluran Pembuangan Akhir Limbah (SPAL) Kepadatan penduduk per Ha
Keterangan (3) Sumber data: BPS: Susenas Modul Konsumsi, BMKG. Diolah berdasarkan tata cara prediksi polusi udara skala mikro akibat lalu lintas dengan penyesuaian pada penghitungan kekuatan emisi Sumber data: KLH Diolah berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 tentang Indeks Pencemar
Sumber data: Dinas Kebersihan Kota, BPS BPS, Susenas-Kor
BPS, Susenas-Kor
20
IKL mengukur pencapaian kualitas lingkungan setiap ibukota provinsi dari empat matra lingkungan yaitu udara, air, tanah dan populasi. Nilai IKL berkisar antara 0 sampai dengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0 menggambarkan kualitas terburuk. Jarak nilai IKL suatu kota terhadap nilai ideal (100), mencerminkan kekurangan kualitas lingkungan kota tersebut, dan perbandingan nilai IKL selama beberapa waktu akan memperlihatkan perbaikan atau kemunduran kualitas lingkungan suatu kota. IKL mencakup empat matra yaitu udara, air, tanah, dan populasi dengan bobot pada keempat matra tersebut mengikuti pemberian bobot pada Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu: a. Indeks Kualitas Udara (IKU) diberi bobot 18, sesuai dengan bobot udara pada VEQI. Sementara IKU sendiri dihitung dari parameter CO dan NOX yang bobotnya menurut VEQI masing-masing adalah 11 dan 16. b. Indeks Kualitas Air (IKA) diberi bobot 13, angka ini sama dengan bobot air permukaan pada VEQI. IKA sendiri dihitung dari 9 parameter (BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS dan SO4). Bobot untuk kesembilan parameter ini tidak tersedia pada VEQI, sehingga dalam penghitungan IKA ini, dianggap semua parameter mempunyai bobot yang sama, masing-masing 1/9. c. Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) diberi bobot 10. Variabel pada IKTp adalah volume sampah yang tidak terangkut per hari (m3) per km2, dan persentase rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki/SPAL). Karena kedua variabel tersebut berkaitan erat dengan aktivitas penduduk, maka bobot untuk IKTp sama dengan bobot populasi yaitu 10. Sementara untuk penghitungan IKTp sendiri, kedua variabel penyusun diberi bobot yang sama, masing-masing ½. d. Populasi, sesuai dengan bobot pada VEQI yaitu sama dengan 10. Populasi diwakili satu variabel yaitu kepadatan penduduk per hektar dan dihitung indeksnya. e. Total bobot untuk IKL adalah 51.
Penghitungan Indeks Kualitas Udara (IKU) 1.
Menghitung kekuatan emisi (Q): Penilaian tentang konsumsi bahan bakar diperoleh dari Susenas Modul Konsumsi tahun 2008. Pada Susenas ini, kepada setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor, ditanyakan jumlah konsumsi bahan bakar selama sebulan untuk kendaraan bermotor baik yang menggunakan bensin maupun solar. Data ini diolah hingga menghasilkan konsumsi bahan bakar setiap detik. Selanjutnya, untuk memperoleh kekuatan emisi (Q), konsumsi bensin dan solar dikalikan faktor emisi masing-masing.
2.
Setelah nilai kekuatan emisi (Q) diperoleh, selanjutnya dihitung konsentrasi polutan (C) yang merupakan perkalian antara hasil bagi kekuatan emisi (Q) dan kecepatan angin dengan eksponensial dari ketinggian sumber emisi (H). Ketinggian sumber emisi (H), yang merupakan ketinggian dari knalpot kendaraan bermotor, diperkirakan tingginya adalah 0,3 meter. Sedangkan data kecepatan angin rata-rata dalam meter per detik diperoleh dari hasil pengukuran BMKG di setiap ibu kota provinsi. Jarak jalan ke reseptor ditentukan 0,1 km,dan stabilitas atmosfer dipilih kelas stabilitas siang hari dengan kategori sedang. Penghitungan nilai kekuatan emisi (C) ini dilakukan masingmasing untuk kandungan CO dan Nox.
21
3.
Penentuan sub IKU untuk CO (IKUCO)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu CO sebesar 30.000 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Tabel berikut menyajikan klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO: Tabel 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO Klasifikasi (1) 1 2 3 4
Konsentrasi C (Nilai C untuk CO)
ai
xi
(2) (3) 0 ≤C ≤30000 0,000333 30000 < C ≤60000 0,000667 60000 < C ≤90000 0,0010 C > 90000
0,001333
(4) x1 = C-0 x1= 30.000, x2 = C-30.000 x1= 30.000, x2=30.000, x3= C-60.000 x1= 30000, x2=30000, x3= 30000, x4= C-90000
Nilai sub IKU untuk CO (5) 100 - 90 89,99 - 70 69,99 - 40 < 40
Bila konsentrasi CO mencapai sekitar 120.000 μg/m3 maka sub indeks CO sama dengan 0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai sub indeks = 0. 4.
Penentuan sub IKU untuk NOx (IKUNOX)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu NO2 sebesar 400 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx ditampilkan pada tabel berikut: Tabel 10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx Klasifi kasi (1) 1 2
Konsentrasi NOx (Nilai C untuk NOx) (2) 0 ≤C ≤400 400 < C ≤800
ai
xi
(3) 0,025 0,05
(4) x1 = C-0 x1= 400, x2= C-400
3
800 < C ≤1200
0,075
4
C > 1200
0,01
x1= 400, x2= 400, x3= C-800 x1= 400, x2= 400, x3= 400, x4= C-1.200
Nilai sub IKU untuk NOx (5) 100 - 90 89,99 - 70 69,99 - 40 < 40
Bila konsentrasi NOx mencapai sekitar 1.600 μg/m3 maka sub indeks NOx sama dengan 0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0. 5.
Selanjutnya ditentukan IKU yang merupakan rata-rata tertimbang dari nilai IKUCO dan nilai IKUNOX, dengan bobot untuk masing-masing komponen adalah 11 dan 16.
Penghitungan Indeks Kualitas Air (IKA) Pada tahap awal, penghitungan IKA dilakukan untuk masing-masing komponen yang menentukan kualitas air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4). Nilai IKA dihitung berdasarkan nilai Indeks pencemar (IP). Cara penghitungan IP dapat dilihat pada lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003. Evaluasi terhadap nilai IP menurut lampiran keputusan tersebut adalah : a. 0 ≤ IP ≤ 1,0 = Kondisi baik (memenuhi baku mutu) 22
b. 1,0 < IP ≤5,0 = Cemar Ringan c. 5,0 < IP ≤ 10 = Cemar sedang d. IP > 10 = Cemar berat Sama seperti penghitungan IKU, enam ketentuan yang digunakan dalam penghitungan IKA 2008 adalah sebagai berikut : a. Kandungan BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4 pada air sungai merupakan pencemaran sedangkan kandungan DO dan pH dapat menggambarkan kualitas air tersebut. Dengan acuan bahwa kondisi ideal adalah tidak ada pencemaran atau zero emision atau IP = 0, maka kandungan BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS dan SO4 yang menghasilkan IP bernilai 0 adalah kondisi dengan kualitas terbaik, dengan kata lain indeks = 100. b. Selanjutnya, nilai maksimum dari BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4, nilai minimum DO dan nilai terburuk dari PH digunakan untuk menghitung nilai (IP). c. Nilai IP yang diperoleh digunakan sebagai dasar penghitungan IKA dengan rumus seperti telah dijelaskan di atas. d. Untuk nilai IP pada kategori baik (memenuhi baku mutu) atau klasifikasi pertama dengan rentang nilai IP 0 - 1 diberi nilai IKA dari 90 sampai dengan 100. Karena nilai IP = 1 menghasilkan nilai IKA = 90, maka diperoleh nilai untuk pembobotnya = 10. e. Selanjutnya pembobot untuk kategori berikutnya adalah 10 ditambah kelipatan dari 5 yaitu 15 dan 20. f. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0. Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai IKA yang merupakan rata-rata dari keseluruhan nilai IKA komponen pencemaran air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4). Penghitungan dengan metode rata-rata ini mencerminkan bahwa seluruh komponen pencemar air memiliki bobot yang sama dalam penghitungan IKA. Tabel 11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA Klasifikasi IP ai (1) (2) (3) 1 0 ≤IP ≤1 10 2 1 < IP ≤5 15 3 >5 20 Nilai IP = 6,5 ≈ Nilai IKA = 0.
xi (4) x1 = IP-0 x1 = 1, x2 = IP-1 x1 = 1, x2 = 4, x3 = IP-5
Nilai IKA (5) 100 - 90 89,99 – 30 <30
Penghitungan Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) Penghitungan IKTp menggunakan dua sub indeks, (1) Sub indeks volume sampah yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah) dan (2) Sub indeks persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL (IKTTangki). Penjelasan untuk masing-masing sub indeks adalah sebagai berikut : 1.
Sub Indeks Volume sampah yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah). a. Dikarenakan tidak adanya pedoman atau baku mutu nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per km2 (Y), maka digunakan klasifikasi sebagai berikut : 0 ≤ Y ≤ 1 = Kondisi baik 23
1 < Y ≤ 5 = Kondisi Sedang > 5 = Kondisi Buruk b. Sama halnya dengan penghitungan IKU dan IKA pada IKTSampah klasifikasi pertama nilai indeksnya antara 90 sampai dengan 100. Karena 1 m3 sampah per hari yang tidak terangkut per km2 nilai indeksnya = 90, maka bobot untuk kelas pertama = 10. c. Untuk masing-masing klasifikasi nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per km2 tersebut di atas, diberikan bobot yang berbeda secara berjenjang. Pemberian bobot yang berbeda secara berjenjang dimaksudkan agar kota yang memiliki nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per km2 yang menggambarkan kondisi kualitas tanah pemukiman yang lebih buruk berusaha untuk mencapai kondisi kualitas tanah pemukiman yang setingkat lebih baik dan seterusnya. Bobot yang digunakan adalah kelipatan 10 ditambah kelipatan 5 yaitu : 10, 15 dan 20. d. Selanjutnya, dengan menggunakan metode Atkinson yang telah disesuaikan, dilakukan penghitungan nilai indeksnya seperti pada tabel berikut: Tabel 12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah Klasifikasi Y (1) (2) 1 0 ≤Y ≤1 2 1 < Y ≤5 3 >5 Y = 6,5 ≈ Nilai IKTSampah = 0.
Ai (3) 10 15 20
xi (4) x1 = Y-0 x1 = 1, x2 = Y-1 x1 = 1, x2 = 4, x3 = Y-5
Nilai IKA (5) 100 - 90 89,9 – 30 <30
Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0. 2.
Sub Indeks Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL (IKTTangki) diperoleh dari nilai persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL.
Selanjutnya dilakukan penghitungan IKTp yang merupakan nilai rata-rata dari IKTSampah dan IKTTangki. Penghitungan Indeks Kepadatan Penduduk (IKP) Berikut adalah tahapan penghitungan indeks kepadatan penduduk: a. Kepadatan penduduk kurang dari atau sama dengan 96 jiwa per hektar diberi nilai indeks = 100. Acuan 96 jiwa dikutip dari WHO yang mensyaratkan suatu wilayah dianggap mempunyai kepadatan ideal bila berpenduduk 96 jiwa per hektar. b. Kepadatan penduduk yang lebih besar dari 96 jiwa per hektar, dihitung selisihnya terhadap nilai 96. Selanjutnya, angka tersebut digunakan sebagai faktor pengurang terhadap indeks. Dengan demikian maka IKP merupakan hasil pengurangan antara nilai maksimal indeks (100) dengan selisih antara tingkat kepadatan eksisting dengan tingkat kepadatan ideal.
24
3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011) Kerangka Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang diadopsi oleh KLH adalah Environmental Performance Index (EPI), yang dikembangkan oleh Virginia Commonwealth University (VCU) dan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dikembangkan oleh BPS. IKLH menggunakan kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan sebagai indikator. Karena keterbatasan data, kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan laut serta kondisi keanekaragaman hayati tidak dimasukkan dalam perhitungan IKLH Konsep IKLH, seperti yang dikembangkan oleh BPS pada tahun 2007, hanya mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan. Berbeda dengan BPS, IKLH dihitung pada tingkat provinsi sehingga akan didapat indeks tingkat nasional. Perbedaan lain dari konsep yang dikembangkan oleh BPS dan VCU adalah setiap parameter pada setiap indikator digabungkan menjadi satu nilai indeks. Penggabungan parameter ini dimungkinkan karena ada ketentuan yang mengaturnya, seperti: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Pedoman ini juga mengatur tatacara penghitungan indeks pencemaran air (IPA). b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep- 45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Pencemar Udara. Tabel 13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011 No. (1) 1.
Indikator
Parameter
(2) Kualitas Udara
(3) SO2 NO2
2.
Kualitas Air Sungai
Bobot (4) 1/3 0,5 0,5 1/3
pH TDS TSS*) DO*) BOD COD*) NO2 NO3 NH3 Fosfat Fenol Detergen 3.
Tutupan Hutan
Keterangan (5)
Dihitung nilai Indeks Pencemaran Air (IPA) Parameter yang dihitung dalam IKLH 2009, 2010,dan 2011adalah TSS, DO, dan COD
1/3 Luas Hutan Primer Luas Hutan Sekunder
Total luas sekunder
hutan
primer
dan
Nilai IKLH untuk setiap provinsi diperoleh dari rata-rata seluruh komponen IKLH (IPA, IPU dan ITH). Dengan demikian, maka seluruh komponen memiliki bobot yang sama dalam menentukan nilai IKLH. Setelah didapatkan nilai indeks provinsi kemudian dihitung indeks nasional dengan menggunakan rata-rata tertimbang. Proporsi jumlah penduduk pada masingmasing provinsi terhadap penduduk Indonesia dijadikan sebagai penimbang dalam penghitungan IKLH nasional. 25
Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu atau standar yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (baku mutu air dan baku mutu udara ambien). Sedangkan untuk indeks tutupan lahan/hutan menggunakan standar luas kawasan hutan di setiap provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yang ditetapkan baru ada untuk 30 provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks setiap indikatornya digabungkan dengan provinsi induknya. Penghitungan Indeks Pencemaran Air sungai (IPA) Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai penentuan status mutu air dengan metode indeks pencemaran (Pollution Index – PI). Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut: a. Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 ≤ PIj ≤ 1,0 b. Tercemar ringan jika 1,0 < PIj ≤ 5,0 c. Tercemar sedang jika 5,0 < PIj ≤ 10,0 d. Tercemar berat jika PIj > 10,0. Pada prinsipnya nilai PIj> 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel; b. Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, dan COD; c. Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj > 1, terhadap total jumlah sampel pada tahun yang bersangkutan. d. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik – terburuk) jumlah sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 (terburuk – terbaik). Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan empat kali setahun pada tiga lokasi sehingga setidaknya ada 12 sampel (data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Setiap provinsi diwakili oleh satu sungai yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: a. Sungai tersebut lintas provinsi, atau b. Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya.
Penghitungan Indeks Pencemaran Udara (IPU) Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 243 ibukota kabupaten/kota dengan menggunakan metode passive sampler. Dilakukan empat kali per tahun di lokasilokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, dan padat lalu lintas kendaraan bermotor. Sedangkan parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2. Nilai konsentrasi tahunan setiap parameter adalah rata-rata dari nilai konsentrasi triwulanan. Selanjutnya nilai konsentrasi 26
rata-rata tersebut dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 untuk setiap provinsi. Dengan demikian diperoleh nilai IPNO2 dan IPSO2 untuk masing-masing provinsi. Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai indeks pencemaran udara (IPU) yang merupakan rata-rata dari IPNO2 dan IPSO2. Penghitungan Indeks Tutupan Hutan (ITH) Indeks tutupan hutan (ITH) merupakan persentase antara luas hutan primer (LHP) dan hutan sekunder (LHS) terhadap luas kawasan hutan (LKH) berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan. Sama seperti indeks yang lain, penghitungan ITH juga dilakukan untuk masingmasing provinsi. Oleh karena itu, khusus untuk DKI Jakarta, yang tidak memiliki kawasan hutan, nilai ITH dihasilkan dengan memperbandingkan antara luas hutan kota dengan 10 persen luas wilayah.
3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012) Dalam perkembangannya, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dihitung oleh Kementrian Lingkungan Hidup kemudian mengalami perubahan pada tahun 2012. Perubahan penghitungan IKLH pada tahun 2012 terkait dengan perubahan metode perhitungan indeks dan penambahan parameter yang dipergunakan. Pada metode penghitungan indeks dilakukan perubahan dalam hal metodologi perhitungan indeks. Penghitungan indeks yang awalnya menggunakan bobot yang sama untuk setiap komponen (IPA, IPU dan ITH), maka pada penghitungan IKLH tahun 2012 bobot setiap komponen dapat berbeda. Komponen tutupan hutan (ITH) dipandang memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya, sehingga diberikan bobot yang lebih tinggi yaitu 40 persen dari total IKLH. Sedangkan dua komponen yang lain (IPA dan IPU) dipandang memiliki peran yang seimbang, masing-masing diberi bobot 30 persen dari total IKLH. Perubahan lainnya dalam metode penghitungan indeks adalah dengan menentukan benchmark dari nilai maksimum, minimum, median dan rerata. Guna memperoleh hasil yang lebih baik, pendekatan statistik juga dimanfaatkan untuk melakukan penapisan pencilan (outlier) dan konsistensi deret waktu (time series consistency). Selain perubahan metode penghitungan indeks, juga dilakukan perubahan pada parameter yang dipergunakan dalam menyusun IKLH. Pada penghitungan indeks pencemaran udara (IPU), selain menggunakan parameter NO2 dan SO2, juga ditambahkan parameter NOx dan SOx. Untuk indeks pencemaran air (IPA), selain menggunakan parameter TSS, DO dan COD, juga ditambahkan parameter BOD, total fosfat, fecal coli dan total coliform. Dalam metode IKLH 2012, selain penghitungan nilai IKLH, juga ditetapkan klasifikasi kualitas lingkungan hidup ke dalam 7 (tujuh) kategori. Kategori paling rendah adalah waspada, dan yang paling tinggi adalah kategori unggul. Penentuan klasifikasi dilakukan sebagai berikut : Unggul; IKLH > 90 Sangat baik; 82 < IKLH ≤ 90 Baik; 74 < IKLH ≤ 82 Cukup; 66 ≤ IKLH ≤ 74 Kurang; 58 ≤ IKLH < 66 Sangat Kurang; 50 ≤ IKLH < 58 Waspada; IKLH < 50 27
Sebagai perbandingan, metode yang dipergunakan dalam penghitungan IKLH tahun 2012 juga diimplementasikan untuk data tahun 2011. Dengan demikian, metode baru ini dapat memperbandingkan kondisi pada tahun 2012 dengan kondisi pada tahun 2011. Hasil lengkap penghitungan IKLH tersebut ditampilkan pada Tabel 16. Tabel 14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012
2011
2012
Provinsi
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta* Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara** Papua Barat Papua Nasional
IPU
IPA
ITH
IKLH
Peringkat
IPU
IPA
ITH
IKLH
Peringkat
90.96 89.60 91.05 67.07 90.33 89.34 87.80 87.23 89.52 90.82 47.21 71.03 81.93 78.51 73.84 74.05 80.15 89.51 92.19 95.38 93.26 88.69 87.35 90.77 89.07 91.42 90.00 95.06 88.89 95.01 96.94 92.51 91.07
53.68 60.19 61.90 55.60 58.86 60.80 64.10 62.96 61.85 60.88 35.65 46.27 48.23 42.03 57.94 51.04 56.15 47.25 56.73 63.63 54.69 54.32 50.88 55.95 59.93 53.44 54.75 53.50 55.84 48.93 54.63 64.50 49.43
75.06 47.20 67.24 60.49 51.85 34.52 59.14 30.19 39.44 57.23 30.11 38.24 48.27 34.15 51.72 37.92 39.32 62.83 57.31 64.87 76.58 45.15 82.36 63.54 91.11 50.21 87.08 83.83 69.75 81.45 80.98 92.54 98.91
73.42 63.82 72.78 61.00 65.50 58.85 69.23 57.13 61.19 68.40 36.90 50.49 58.36 49.82 60.22 52.70 56.62 66.16 67.60 73.65 75.02 60.96 74.42 69.43 81.15 63.54 78.26 78.10 71.32 75.76 77.86 84.12 81.72
11 20 12 23 19 26 15 28 22 16 33 31 27 32 25 30 29 18 17 10 8 24 9 14 3 21 4 5 13 7 6 1 2
89.65 85.50 86.02 51.91 84.49 84.06 87.26 78.44 83.93 89.46 44.31 65.53 79.27 83.65 68.88 53.13 83.64 86.20 87.84 89.19 88.48 77.46 83.94 84.90 87.96 87.98 84.65 89.17 87.03 89.71 96.94 91.03 90.19
57.00 62.00 59.29 54.30 55.00 55.00 57.40 53.29 59.50 61.00 41.05 43.75 52.40 49.04 57.09 53.50 61.50 54.00 54.82 63.25 54.25 53.26 51.39 53.85 70.00 61.00 56.50 52.19 60.84 48.67 57.57 54.50 55.00
74.15 46.06 65.36 54.81 48.29 34.68 56.54 31.15 37.85 56.09 27.99 38.49 53.66 33.59 52.93 36.95 38.87 61.74 56.70 61.89 71.00 43.80 83.69 60.00 88.16 50.05 85.83 81.22 67.86 81.02 79.71 92.52 96.97
73.65 62.67 69.74 53.79 61.16 55.59 66.01 51.98 58.17 67.57 36.80 48.18 60.96 53.25 58.96 46.77 59.09 66.76 65.48 70.49 71.22 56.74 74.07 65.62 82.65 64.72 76.68 74.90 71.51 73.92 78.24 80.67 82.34
9 20 13 28 21 27 16 30 25 14 33 31 22 29 24 32 23 15 18 12 11 26 7 17 1 19 5 6 10 8 4 3 2
65.50
64.21
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup Catatan : IPU (Indeks Pencemaran Udara); IPA (Indeks Pencemaran Air); ITH (Indeks Tutupan Hutan)
28
Tabel 15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian Lingkungan Hidup) Keterangan Metode yang diadopsi Ruang Lingkup Perhitungan Parameter yang digunakan
IKL (BPS) 2007 2008 Virginia Environmental Virginia Environmental Quality Index (VEQI) Index (VEQI) Ibukota Provinsi
Ibukota Provinsi
Kualitas Udara (IKU) 1. Konsentrasi SO2 2. Konsentrasi NO2 Kualitas Air (IKA) 1. Nilai maks BOD 2. Nilai maks COD 3. Nilai maks DO
Kualitas Udara (IKU) 1. Konsentrasi NOx 2. Konsentrasi CO Kualitas Air (IKA) 1. Nilai maks BOD 2. Nilai maks COD 3. Nilai maks DO 4. Nilai maks NO3 (Nitrat) 5. Nilai maks NH3 (Amoniak) 6. Nilai maks pH 7. Nilai maks TDS 8. Nilai maks TSS 9. Nilai maks SO4 Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp)
Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) 1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut 2. % RTdgn pembuangan akhir tinja berupa tangki (SPAL) dan lainnya
Pembobotan antar Matra
Quality
Sama
IKLH (Kemen LH) 2009-2011 2012 Environmental Performance Index (EPI), EPI Virginia Environmental Quality Index (VEQI) VEQI Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) Provinsi Provinsi Nasional Nasional Kualitas Udara Kualitas Udara 1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi SO2 2. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi NO2 3. Konsentrasi SOx 4. Konsentrasi NOx Kualitas Air Sungai 1. Nilai maks TSS 2. Nilai maks DO 3. Nilai maks COD
Kualitas Air Sungai 1. Nilai maks TSS 2. Nilai maks DO 3. Nilai maks COD 4. Nilai maks BOD 5. Nilai maks Total Fosfat 6. Nilai maks Fecal Coli 7. Nilai maks Total Coliform
Tutupan Hutan 1. Luas Hutan Primer 2. Luas Hutan Sekunder Sama
Tutupan Hutan 1. Luas Hutan Primer 2. Luas Hutan Sekunder Berbeda (IPU=30%; ITH=40%; Total=100%)
1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2. 2. % RTdgn pembuangan akhir tinja berupa tangki (SPAL) Populasi (IKP) 1. Kepadatan penduduk per Ha
Berbeda (IKU=18; IKA=13; IKTp=10; IKP=10; Total=51)
IPA=30%;
29
3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP) Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa akhir (final product) yang memberikan gambaran mengenai struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB/PDRB konvensional ini dikenal dengan PDB/PDRB cokelat (Brown GDP). PDRB belum memasukkan aspek penipisan sumber daya alam (deplesi) dan kerusakan lingkungan (degradasi). Sumber daya alam yang dieksploitasi dan menjadi input pada kegiatan ekonomi tidak pernah dihitung nilai penyusutannya. Demikian juga dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang memerlukan biaya pemulihan dan pemeliharaan tidak pernah dihitung sebagai biaya yang seharusnya mengurangi besaran pendapatan Buku sistem pendapatan nasional, SNA 2008, membahas tentang Sistem Pendapatan Nasional yang diperluas dengan memasukkan komponen penipisan sumber daya alam dengan degradasi lingkungan. Integrasi PDRB dengan penipisan sumber daya alam dan degradasi lingkungan dapat dilakukan dengan cara membuat neraca terpisah sebagai bagian dari sistem pendapatan nasional. Neraca terpisah atau neraca satelit ini merupakan suatu neraca yang mengintegrasikan neraca pendapatan nasional dan neraca lingkungan yang dinamakan Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Dengan kata lain, SEEA merupakan perluasan sistem pendapatan nasional yang memasukkan unsur sumber daya alam dan lingkungan. Aktivitas ekonomi membutuhkan sumber daya alam sebagai aset produksi, sehingga di dalam kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa tidak saja menggunakan aset buatan manusia yang berpengaruh (misalnya mesin-mesin, gedung, alat transpor) tetapi juga aset alam (sumber daya mineral, sumber biota alam seperti hutan, ikan, udara, air, tanah). Dalam SEEA, aset alam dibagi atas dua bagian yaitu aset alam yang bersifat ekonomis dan yang tidak bersifat ekonomis. Aset alam ekonomis adalah aset alam yang keberadaannya telah bisa dikontrol oleh pemiliknya. Hak kepemilikan ini biasanya telah diatur secara resmi oleh pemerintah, dikuasai oleh para pelaku ekonomi. Aset alam ekonomis apabila diputuskan untuk diolah dalam proses produksi akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Contoh aset alam ekonomis adalah barang-barang fisik dan mineral (minyak bumi, gas alam, batu bara, timah dan tembaga) yang siap ditambang, hutan yang dikuasai oleh pengusaha hutan (HPH), tanah pertanian, air dalam reservoir, ikan dalam kolam, tambak, danau dan laut yang dikuasai. Selanjutnya aset alam yang non ekonomis atau disebut juga sebagai aset lingkungan adalah semua aset yang keberadaannya di luar kontrol manusia, atau terjadi secara alamiah. Contoh aset ini adalah barang-barang mineral yang sudah diidentifikasi keberadaannya namun secara ekonomis belum dapat ditambang, ikan dalam laut lepas, flora dan fauna liar, kayu pada areal hutan dan sebagainya. Aset lingkungan ini biasanya tidak diketahui besaran stoknya, namun setiap pengambilan barang-barang alam ini untuk kemudian diolah, akan mengurangi stok di alam atau menipiskan persediaan cadangan dan sekaligus akan membawa dampak pada penurunan kualitas lingkungan sehubungan dengan kegiatan pengambilannya. Pemakaian aset alam ekonomis dan aset lingkungan untuk kegiatan produksi dalam SEEA diperhitungkan sebagai komponen penyusutan seperti halnya penyusutan pada barang modal tetap. Dalam PDB konvensional, penyusutan ini tidak diperhitungkan sehingga pemakaian aset alam tersebut tidak mempengaruhi besaran PDB. Apabila penyusutan sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang timbul karena kegiatan ekonomi diperhitungkan sebagai unsur pengurang dari PDB konvensional (Brown GDP), akan menjadi Environmentally Adjusted Domestic Product atau EDP (Green GDP) atau Produk Domestik
30
Regional Neto 2 (PDRN 2). Konsep inilah kemudian yang diadopsi oleh BPS dalam menghitung PDB Hijau (Green GDP). Secara nasional, BPS telah melakukan studi untuk menghitung Produk Domestik Neto 2 (PDN2). Sebelum menghitung PDN2, terlebih dahulu dihitung PDN1, yaitu Produk Domestik Neto dikurangi dengan deplesi sumber daya alam. Sumber daya alam yang dicakup dalam studi meliputi sumber daya hutan dan sumber daya mineral yang terdiri dari minyak bumi, gas alam, batubara, bauksit, timah, emas, perak dan bijih nikel. Selanjutnya dihitung nilai PDN2, yaitu PDN1 dikurangi dengan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dalam studi dihitung dengan pendekatan adanya emisi gas rumah kaca (GRK) yang merupakan dampak negatif dari aktivitas ekonomi. Gas rumah kaca yang dihitung hanya meliputi CO2 dan CH4 yang meliputi deforestasi, kerusakan hutan dan kebakaran hutan, kerusakan lahan sawah (CH4), penggunaan pupuk urea (CO2), konsumsi bensin, solar, minyak tanah, LPG, batubara dan briket batubara untuk industri dan transportasi (BPS, 2012). Namun studi yang dilakukan oleh BPS ini hanya mengukur PDB hijau pada level nasional, belum mendistribusikannya pada level provinsi. Tabel 16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau Uraian PDB PDN PDN1 PDN2 (PDN / PDB) x 100 (PDN1 / PDB) x 100 (PDN2 / PDB) x 100
2005 2,774,281 2,635,567 2,463,798 2,387,578 95.00 88.81 86.06
2006 3,339,217 3,172,256 3,001,153 2,938,687 95.00 89.88 88.01
2007 3,950,893 3,753,349 3,563,258 3,512,469 95.00 90.19 88.90
2008 4,948,688 4,701,254 4,445,758 4,376,022 95.00 89.84 88.43
2009 5,603,871 5,323,678 5,096,554 4,958,581 95.00 90.95 88.48
2010 6,422,918 6,101,772 5,853,609 5,786,735 95.00 91.14 90.10
Sumber : BPS (2012) Pada kajian yang lain, Kementrian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Dannish International Development Agency (DANIDA), melalui kegiatan Environmental Support Programme (ESP), juga telah memulai proyek percontohan untuk memperkirakan PDRB hijau di tingkat lokal sebagai langkah awal untuk melaksanakan perhitungan PDRB dan PDB Hijau. Kegiatan diawali dengan diskusi kelompok terfokus / FGD yang diadakan di Jakarta dengan melibatkan banyak ahli yang sebelumnya telah terlibat dalam penghitungan PDRB dan PDB di Indonesia, ahli yang memiliki latar belakang dan pengalaman dalam pengelolaan lingkungan, dan staf pemerintah dari berbagai kementrian yang telah menggunakan angka PDRB/PDB. Untuk tujuan uji coba metodologi, pemerintah daerah yang dipilih adalah Provinsi Bali dengan alasan adanya kesediaan pemerintah daerah untuk mendukung uji coba, ketersediaan data, dan tersedianya sumber daya manusia yang telah mengikuti pelatihan tentang cara membuat PDRB hijau. Dari proyek percontohan, pelajaran, ide-ide dan metode yang telah diperoleh dan dapat diterapkan dalam menciptakan PDRB Hijau Provinsi Bali dan PDB Hijau Indonesia. Kerangka umum yang dipergunakan dalam studi DANIDA-KLH hampir sama dengan yang dipergunakan oleh BPS, dimana PDRB/PDB Hijau setara dengan nilai PDRB/PDB konvensional dikurangi nilai total deplesi sumber daya alam dan degradasi jasa lingkungan. Perbedaan yang paling mendasar antara penghitungan adalah penempatan komponen penyusutan modal buatan (depresiasi modal buatan). BPS memasukkan komponen ini sebagai pengurang PDB/PDRB konvensional, sedangkan DANIDA-KLH melakukan yang 31
sebaliknya. Tidak dimasukkannya komponen ini didasari oleh alasan bahwa PDRB/PDB Hijau berkaitan dengan produk domestik bruto (PDB), bukan produk nasional bruto (national domestic product/NDP). Dengan demikian, secara matematis, perhitungan PDB/PDRB Hijau yang dilakukan oleh DANIDA-KLH merupakan hasil pengurangan antara PDRB Konvensional dengan deplesi sumber daya tak terbarukan (mineral dan batubara), deplesi sumber daya terbarukan (kehutanan dan perikanan) dan degradasi lingkungan. Dalam studi kasus di Provinsi Bali, nilai CGRDP Provinsi Bali diperoleh dari publikasi yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Perhitungan penipisan/deplesi sumber daya tak terbarukan (pertambangan dan produk penggalian seperti batu, pasir dan kerikil)akan diperoleh dengan mengalikan volume fisik produk di ekstraksi dengan masingmasing harga per unit atau rente ekonomi, sedangkan menipisnya sumber daya alam terbarukan (kayu, ikan dan air) dapat ditemukan dengan mengalikan total komoditas sumber daya yang di ekstrak dengan harga satuannya masing-masing. Degradasi lingkungan dibedakan menjadi degradasi sumber daya lahan, sumber daya air, dan sumber daya udara. Degradasi lahan terkait dengan adanya kegiatan penggalian, konversi lahan dan penurunan kesuburan tanah yang menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan. Dalam penghitungan PDRB Hijau Provinsi Bali, degradasi lahan dihitung dari lahan kritis yang disebabkan oleh galian C (penggalian pasir dan kerikil), penurunan kesuburan lahan pertanian akibat eksploitasi pertanian, serta penurunan fungsi lingkungan akibat adanya konversi lahan. Degradasi sumber daya udara dihitung berdasarkan penurunan kualitas udara karena CO2 yang berasal konsumsi bahan bakar untuk kendaraan bermotor (transportasi) dan konsumsi rumah tangga. Komponen lain yang menjadi bagian dari penghitungan degradasi sumber daya udara adalah yang berasal dari gas methan (CH4) yang berasal dari pertanian dan peternakan. Degradasi lingkungan juga memperhitungkan penurunan kualitas air dan hutan yang terdegradasi akibat illegal logging. Tabel 17 PDRB Hijau Bali, 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Item PDRB konvensional (Brown GRDP) Deplesi Sumber Daya Alam PDRB Semi Hijau (Semi Green GRDP) Degradasi lingkungan PDRB Hijau (Green GRDP) Penduduk Pertengahan tahun 2010 PDRB Hijau per Kapita PDRB Konvensional per Kapita
Juta Rupiah 66.690.598,00 1.776.471,00 64.914.127,00 1.251.732,02 63.662.394,98 3.890.757 16,36 17,14
Sumber : DANIDA 2012 Metode yang dipergunakan untuk menghitung PDRB Hijau di Provinsi Bali ini kemudian diterapkan untuk menghitung PDB hijau pada tingkat nasional. Namun upaya untuk melakukan hal ini masih menghadapi banyak kesulitan. Isu tentang ketersediaan data di seluruh wilayah dan lintas sektor menjadi kendala utama. Data yang dibutuhkan tidak selalu tersedia sesuai kebutuhan studi PDB Hijau. Selain deplesi produk yang sama mungkin memiliki satuan pengukuran yang berbeda,juga banyak data yang tidak tersedia karena penelitian terkait dengan penilaian terhadap pencemaran lingkungan dan degradasi sangat terbatas.
32
Tabel 18 PDB Hijau Indonesia, 2009 No. Item 1 PDB Konvensional (Brown GDP) 2 Deplesi Sumber Daya Alam 3 PDB Semi Hijau (Semi Green GDP) Degradasi Lingkungan: 4 Degradasi Udara dari hutan (CO2) 5 Degradasi Udara dari kendaraan (CO2) 6 Degradasi Udara dari rumah tangga (CO2) 7 Degradasi Udara dari pertanian padi (CH4) 8 Degradasi Udara dari peternakan (CH4) 9 PDB Hijau (Green GDP)
(Miliar Rupiah) 5.606.203,40 1.066.079,94 4.540.123,46 12.235,13 6.800,03 Na Na Na 4.521.088,30
Sumber : DANIDA 2012 3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah Hingga saat ini penghitungan IKLH hanya dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dengan analisis sampai pada tingkat provinsi. Tidak adanya aturan yang mengikat tentang penghitungan IKLH di daerah mempengaruhi belum munculnya inisiasi daerah (terutama kabupaten/kota) untuk mengukur kualitas lingkungannya dengan menggunakan IKLH. Ukuran kualitas lingkungan daerah hanya menggunakan indikator yang tercantum dalam Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Sebagian besar indikator penghitungan IKLH tercantum dalam SLHD, sehingga pengembangan SLHD akan membantu menghasilkan IKLH daerah. Karena belum adanya penghitungan IKLH di daerah, maka peluang, tantangan dan kendala dalam penerapan IKLH di daerah digali melalui diskusi dengan beberapa stakeholder yang terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan beberapa institusi adat. Diskusi dilakukan di beberapa daerah yaitu Kota Balikpapan. Berdasarkan hasil diskusi tersebut dapat disarikan beberapa tantangan dan kendala implementasi IKLH di daerah, sebagai berikut:
Ketersediaan data penunjang penghitungan IKLH masih sangat terbatas. Keterbatasan data terutama dialami untuk indikator yang terkait dengan biomassa dan tutupan hutan. Data kependudukan dan demografi dalam penghitungan SLHD juga mengalami persoalan lag data, dimana data yang tersedia adalah data tahun sebelumnya, bukan tahun berjalan. Data yang tersedia juga masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Keterbatasan kuantitas dan kualitas data ini terkait dengan minimnya peralatan, pendanaan dan sumberdaya manusia yang menangani urusan lingkungan. Proses mutasi pegawai yang tidak linier mengakibatkan pegawai yang sudah memiliki keahlian di bidang lingkungan dimutasikan ke unit kerja yang tidak berhubungan dengan lingkungan. Keterbatasan pembiayaan oleh daerah dalam hal pengukuran kualitas lingkungan dapat disiasati dengan menggandeng pihak swasta, terutama yang terkait dengan kegiatan usahanya, seperti pengukuran emisi udara dari cerobong asap dan pengukuran kualitas air sungai tempat buangan limbah. Indikator lingkungan yang dihasilkan selama ini pemanfaatannya masih belum optimal di dalam mengukur capaian pembangunan daerah. Implementasi IKLH di daerah akan sangat bermanfaat apabila indikator ini disebutkan secara mengikat di dalam dokumen perencanaan nasional, sehingga pada akhirnya juga akan mengikat pada perencanaan pembangunan daerah. Kalimantan Timur, dalam menyusun dokumen 33
perencanaannya(RPJMD) ke depan, sudah mulai memasukkan indikator lingkungan sebagai salah satu target capaian pembangunan daerah. Internalisasi indikator lingkungan dalam dokumen perencanaan (RPJMD) sudah dilakukan oleh Kota Surabaya. Indikator yang dimasukkan meliputi indikator kualitas air, udara, ruang terbuka hijau serta pengelolaan sampah. Tabel 19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya Indikator Persentase Luas RTH yang berfungsi Optimal terhadap keseluruhan luas RTH yang ada Cakupan layanan Kebersihan Jumlah sampah yang dikelola di TPA Rata – rata jumlah sampah yang diangkut dari TPS (m3) Kualitas air limbah industri BOD COD TSS Kualitas air limbah domestik BOD TSS Kualitas air limbah RS BOD COD TSS Kualitas air limbah hotel BOD COD TSS Kualitas udara emisi di kawasan Industry SO2 NO2
Kondisi Awal
Kondisi Akhir
16.13%
51, 88 %
163/175 1241.8 3625.07
175/175 1180.94 3447.41
54.64% 55.67% 47.66%
76% 70% 72%
21.45% 25.02%
52% 54%
21.71% 37.62% 28.14%
70% 70% 72%
22.58% 19.05% 18.06%
56% 46% 50%
60.93% 42.83%
85% 85%
Untuk melengkapi IKLH, diperoleh pula peluang untuk menghitung PDRB hijau sampai level provinsi/kabupaten/kota. Namun mengingat penghitungan PDRB hijau membutuhkan ketersediaan data yang cukup kompleks, maka penghitungan PDRB hijau dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penghitungan PDRB hijau cukup menghitung depresiasi dan deplesi sumberdaya alam saja, tanpa menghitung komponen degradasi lingkungan. Penghitungan degradasi lingkungan dapat dilakukan pada tahapan berikutnya. Provinsi Bali merupakan satu provinsi yang telah melakukan penghitungan PDRB hijau, untuk lingkup provinsi. Penghitungan PDRB provinsi Bali lebih mudah dibandingkan daerah lain, karena kondisi geografisnya yang berada dalam satu pulau, sehingga dapat meminimalkan potensi permasalahan dalam penghitungan, misalnya permasalahan penghitungan pencemaran air sungai yang menjadi sulit jika sungai tersebut melintasi lebih dari satu provinsi. Akan sulit menentukan apakah degradasi lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah yang ada di hulu atau di hilirnya. Berbeda dengan penghitungan PDRB hijau yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup34
DANIDA, penghitungan PDRB hijau provinsi Bali tidak saja menampilkan penghitungan secara total, tetapi juga sampai pada sektoral, walau masih terbatas pada penghitungan PDRB semi hijau. Untuk PDRB hijau penghitungan masih dilakukan secara total. Tabel 20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010 Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Penggalian 3. Industri 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Angkutan 8. Keuangan 9. Jasa-Jasa Total Sumber: BPS Provinsi Bali
PDRB Konvensional 2010 12,097,348.42 466,486.73 6,120,473.78 1,263,308.88 3,033,986.71 20,016,062.16 9,628,024.27 4,548,558.14 9,516,349.04 66,690,598.13
Deplesi 1,216,569.20 44,581.34 11,305.73 43,487.22 3,442.49 23,941.81 10,582.27 2,313.81 10,142.69 1,366,366.55
PDRB Semi Hijau Kesimpulan 2010 10,880,779.23 Terdeplesi 421,905.39 Terdeplesi 6,109,168.05 Terdeplesi 1,219,821.66 Terdeplesi 3,030,544.22 Terdeplesi 19,992,120.35 Terdeplesi 9,617,442.00 Terdeplesi 4,546,244.33 Terdeplesi 9,506,206.35 Terdeplesi 65,324,231.58 Terdeplesi
Penghitungan IKLH saat ini lebih banyak menggunakan indikator fisik yang sulit dipahami oleh orang awam, seperti CO, BOD, COD, TSS, dst. Untuk pengembangan IKLH, diusulkan pula untuk memasukkan indikator yang lebih mudah dipahami oleh orang awam, seperti bencana alam (banjir, longsor), tingkat kesehatan masyarakat, atau memanfaatkan hasil Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH) yang oleh BPS setiap tahun. Diperoleh pula usulan agar penghitungan IKLH daerah tetap dilakukan oleh pusat,terkait kekhawatiran adanya bias penghitungan. Atau, jika akan dihitung oleh daerah, perlu adanya penetapan instansi apa yang berwenang serta dibutuhkan transfer ilmu melalui pelatihan-pelatihan. Terdapat beberapa kegiatan terkait aspek lingkungan telah dilakukan di daerah, seperti pemberian label sekolah dengan nama yang terkait dengan lingkungan (misal sekolah mangrove dan sekolah hutan lindung di Balikpapan), pelaksanaan program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (PROPER) dan pelaksanaan car free day. Namun belum ada ukuran atau indikator yang melihat capaian dari kegiatan-kegiatan tersebut.
35
IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019 4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 Dalam kurun waktu 5 - 6 tahun ke depan dimana RPJM tahap 3 dimulai, penduduk Indonesia diprediksi akan mencapai hampir 260 juta jiwa. Jumlah penduduk yang demikian besar ini tentu saja akan menimbulkan tantangan tersendiri terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Tantangan yang dihadapi Indonesia bukan saja menyangkut pemenuhan kebutuhan pangan namun juga bagaimana menjaga keseimbangan sumber daya alam dan lingkungan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Percepatan pembangunan melalui berbagai program seperti MP3EI selain tentu akan memberikan dampak pengganda terhadap ekonomi, namun juga akan memberikan tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang tidak kecil. Dampak ini akan terasa pula pada tahapan pembangunan berikutnya yakni pada periode 2015-2019. Dengan demikian dalam RPJM mendatang indikator lingkungan hidup juga menghadapi situasi yang lebih kompleks dibanding dengan indikator yang telah dikembangkan selama ini. Untuk mengantisipasi berbagai skenario tersebut pengembangan indikator yang relevan dengan prediksi ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh dinamika ekonomi dan penduduk perlu menjadi perhatian khusus. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran terkait dengan relevansi indikator pembangunan lingkungan dalam RPJM 2015-2019. 1. Indikator hulu-hilir. Sebagaimana dikemukakan pada Bab 3, hasil temuan di daerah menunjukkan bahwa indikator lingkungan hidup yang ada saat ini sulit untuk diimplementasikan di daerah dan juga sulit dipahami bagi masyarakat awal dan para pengambil kebijakan di tingkat daerah karena menggunakan variabel-variabel yang bersifat teknis. Sebagian indikator ini lebih mengukur “dampak” ketimbang “penyebab”. Dengan kata lain indikator saat ini lebih bias ke arah degradasi atau kerusakan lingkungan daripada indikator pencegah kerusakan lingkungan. Dalam RPJM mendatang indikator yang terkait dengan aspek “hulu” patut menjadi pertimbangan karena dari sinilah ongkos kerusakan lingkungan dapat ditekan dan relevansi kebijakan lingkungan baik di pusat dan di daerah dapat diukur. Salah satu indikator “hulu” yang saat masih belum menjadi perhatian adalah kebijakan dan regulasi yang terkait dengan lingkungan. Meski sampai saat ini belum ada satupun studi yang mengukur dampak regulasi lingkungan ini terhadap indeks lingkungan hidup, variabel ini sebenarnya sangat relevan dalam mengukur kinerja pembangunan lingkungan hidup baik pada tingkat pusat dan daerah. Daerah dengan tingkat pencemaran sungai yang rendah bukan saja karena BOD atau COD yang rendah, namun mungkin saja disebabkan adanya regulasi yang mengatur dengan ketat pembuangan sampai di sungai, penyediaan anggaran kebersihan yang memadai, kebijakan yang terkait dengan tata ruang dan badan sungai atau kebijakan yang mengubah mindset masyarakat akan pentingnya sungai sebagai sumber kehidupan bukan sebagai tempat pembuangan sampah. Dalam IKLH yang digunakan saat ini variabel ini tidak terukur sama sekali sehingga tidak memberikan umpan balik kepada daerah maupun pusat akan pentingnya kebijakan dan regulasi yang terkait dengan lingkungan. 2. Bio-kapasitas. Aspek kedua yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan IPLH pada RPJM mendatang adalah terkait dengan bio-kapasitas. Bio-kapasitas dapat menjadi indikator pencegahan lingkungan karena akan mengukur kemampuan daya dukung suatu 36
lingkungan. Aspek bio-kapasitas selama ini memang belum menjadi pertimbangan dalam penentuan indikator lingkungan, namun di masa mendatang indikator ini patut menjadi pertimbangan mengingat akan terjadinya ketidakseimbangan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan baik untuk pangan maupun non pangan. 3. Ecological Footprint (EF). Aspek lain yang patut menjadi pertimbangan dalam penentuan IPLH adalah jejak ekologi atau ecological footprint. Saat ini Indonesia belum memperhatikan secara seksama ecological footprint yang ditimbulkan dari pembangunan, padahal dari sini akan diketahui apakah pembangunan tersebut mengarah ke efisiensi sumber daya atau tidak. Penggunaan akan membantu mendorong Indonesia menuju pembangunan yang berbasis ekonomi hijau. Pertimbangan EF dalam RPJM juga penting mengingat EF bukan saja memberikan indikator terkait pemanfaatan sumber daya, namun juga akan memberikan umpan balik bagi evaluasi pembangunan yang dijalankan setiap tahun. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam RPJM mendatang, indeks pembangunan lingkungan hidup seyogianya dibangun dari tiga indikator dasar yakni terkait dengan unsur kebijakan lingkungan (environmental policy), unsur pengelolaan lingkungan (environmental management) dan environmental impact sebagaimana terlihat pada Gambar 4di bawah ini. Unsur environmental impact saat ini sudah menjadi pertimbangan utama yang diukur dari dampak terhadap udara dan air serta tutupan hutan, namun kembali bahwa ini hanya merupakan dampak dari kebijakan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan baik pada tingkat nasional maupun regional. Memang komponen kebijakan dan pengelolaan lingkungan sudah tertera dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang secara berkala diterbitkan oleh KLH selama ini dimana unsur PSIR (Pressure-State-Impact-Response) sudah secara implisit dibahas di dalamnya. Namun demikian komponen ini belum terintegrasikan di dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup saat ini. Pertimbangan terhadap komponen environmental policy dan environmental management akan menggambarkan dinamika pembangunan yang dijalankan selama periode sebelumnya (pressure) dan dampaknya di masa kini dan mendatang serta respon kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah. Sektor/KLH
Input
Env
Env Management
Output Sektor/LH
Policy Process Env Impact
Penduduk 2015-2019 Pertumbuhan Ekonomi Dinamika Global
IPLH Indonesia Hijau Lestari
Gambar 4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019 37
4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup Dengan memperhatikan berbagai aspek terkait dengan indikator lingkungan hidup yang ada saat ini dan tantangan yang dihadapi dalam RPJM mendatang, maka dapat disampaikan bahwa penggunaan IKLH dengan pendekatan dan parameter yang ada saat ini untuk mendukung RPJM mendatang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan indikator pembangunan yang menyeluruh. Indikator lingkungan yang ada saat ini masih bersifat parsial dan seolah terlepas dari komponen pembangunan lain yakni aspek ekonomi dan sosial. Untuk menjembatani defisiensi tersebut maka diperlukan beberapa terobosan yang dapat digunakan untuk mengembangkan indikator pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan RPJM mendatang. Beberapa indikator tersebut, termasuk roadmap pengembangannya, diuraikan berikut ini. 4.2.1. Indikator Mikro: Penyempurnaan IKLH Defisiensi IKLH dapat direduksi dengan melakukan penyempurnaan pada IKLH. Penyempurnaan IKLH dapat dilakukan dengan mengubah bobot dan komponen penilaian media. Pada tahap awal diperlukan penyempurnaan standarisasi pengukuran sehingga indikator yang dinilai antar daerah menjadi “apple to apple”. Sebagai contoh luas tutupan hutan di Jakarta 10% bisa saja distandarkan atau disetarakan dengan 30% luas tutupan hutan di Kalimantan atau Papua. Hal ini disebabkan karena beban dan kondisi geografis yang berbeda antara Jakarta dengan kedua daerah tersebut. Standarisasi ini juga dilakukan dengan mempertimbangkan variabel input yang berperan dalam output lingkungan seperti anggaran dan SDM. Jadi 0,5 % anggaran di Papua mungkin bisa distandarkan dengan 2% di Jakarta dan sebagainya. Saat ini untuk IKLH 2012, meski tidak dilakukan standarisasi secara metodologis, perbedaan tutupan hutan antara Jakarta dan daerah lain memang dibedakan melalui Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk Jakarta telah digunakan RTH sebagai proxy untuk tutupan hutan. Standarisasi dalam penilaian kualitas air sungai juga dibutuhkan, terutama jika sungai tersebut melewati lebih dari satu daerah. Kerusakan sungai yang sudah terjadi di daerah hulu, tentunya akan berdampak langsung pada kondisi daerah yang berada di hilir, sehingga dibutuhkan standarisasi penilaian. Misalnya dengan menggunakan selisih antara kualitas air di hulu dan hilir sebagai indikatornya. Perbaikan lainnya yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan IKLH adalah melakukan perbaikan sampel. Sampel tentunya harus mampu mewakili kondisi daerah secara utuh, sehingga penentuan sampel yang proporsional antar daerah akan menjadi diskusi tersendiri. Penentuan titik sampel harus dilakukan secara objektif dan ditetapkan dengan mekanisme tertentu yang menjadi kesepakatan bersama. Untuk dapat mewakili kondisi wilayah, provinsi misalnya, pengukuran kualitas udara tentunya tidak cukup hanya dilakukan di daerah perkotaan saja dengan mengabaikan daerah yang lain. Keberlanjutan sampel juga perlu mendapat perhatian, agar keterbandingan antar waktu juga terjaga. Setelah dilakukan standarisasi, IKLH ini bisa digabung dengan indikator lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam (perikanan, kehutanan dan migas) sehingga dihasilkan indikator yang lebih komprehensif. Dengan demikian IKLH yang baru ini lebih bisa diterima oleh berbagai pihak ketika terjadi perbedaan yang sifatnya given dan lebih fair dari sisi bobot penilaian. Oleh karena sudah mempertimbangkan input dan output lingkungan, maka IKLH yang baru ini dijadikan sebagai indikator kinerja lingkungan. Di beberapa negara Eropa sistem ini juga sudah diterapkan dan disebut sebagai EPI (Environmental Performance Indicator)
38
IKLH juga sangat potensial untuk dikembangkan pada tingkat kabupaten/kota. Cikal bakal dari penghitungan IKLH adalah publikasi Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) yang telah rutin disusun oleh pemerintah kabupaten/kota. Pengembangan IKLH pada tingkat kabupaten ini tentunya mengikuti penyempurnaan yang dilakukan dalam penyusunan IKLH di tingkat nasional dan provinsi. 4.2.2. Indikator Makro : PDRB Hijau dan Genuine Saving Dua indikator makro yang layak dikembangkan dalam kerangka internalisasi kualitas lingkungan adalah PDRB hijau dan Genuine Saving. Penghitungan PDRB hijau telah banyak dibahas pada bab sebelumnya, yang pada intinya adalah memasukkan biaya lingkungan sebagai faktor koreksi terhadap PDRB konvensional, berupa deplesi dan degradasi. Penghitungan PDRB hijau telah dilakukan tidak hanya oleh institusi di tingkat pusat tetapi juga di tingkat provinsi, sehingga pengembangan PDRB hijau sebagai indikator makro menjadi sangat potensial. Permasalahan utama dan yang selalu menjadi persoalan klasik dalam penyusunan PDRB hijau adalah masih terbatasnya ketersediaan informasi terutama yang berkaitan dengan deplesi dan degradasi lingkungan. Pengalaman provinsi Bali dalam menyusun PDRB hijau menunjukkan bahwa penghitungan PDRB hijau menjadi lebih rumit karena penelitian-penelitian tentang degradasi lingkungan tidak sepenuhnya relevan dengan konteks daerah. Oleh sebab itu, maka pengembangan penelitian terkait dengan valuasi deplesi dan degradasi lingkungan akan menjadi langkah awal dalam pengembangan PDRB hijau. Indikator makro lain yang juga sering dijadikan ukuran pembangunan berkelanjutan adalah Genuine Saving, yang merupakan nilai tabungan domestik (gross domestic saving) dikurangi dengan depresiasi modal buatan (man made capital) dan sumber daya alam (natural capital). Dalam perjalanannya, indikator ini terus mengalami perkembangan, misalnya dengan masuknya modal manusia (human capital) sebagai salah satu faktor koreksi. Berbeda dengan modal buatan dan sumber daya alam, modal manusia dihitung sebagai apresiasi, bukan depresiasi. Faktor lain yang juga kemudian dimasukkan dalam penghitungan genuine saving adalah perubahan teknologi. Genuine saving sendiri secara sederhana memberikan gambaran tentang kesejahteraan secara total, dimana nilai negatif menunjukkan terjadinya penurunan kesejahteraan. Penghitungan genuine saving di Indonesia selama ini masih belum dilakukan secara rutin oleh institusi pemerintah, namun lebih bersifat penelitian ad hoc atau bahkan penelitian parsial yang dilakukan oleh para peneliti yang memiliki minat besar dalam mengukur capaian pembangunan berkelanjutan. Peneliti seperti Pearce dan Atkinson, Vincent dan Castaneda, Hamilton serta Alisjahbana dan Yusuf telah banyak berkontribusi dalam penghitungan indikator tersebut. Gustami (2012) bahkan telah menyajikan nilai genuine saving sampai level provinsi (Gambar 5). Faktor koreksi dari gunuine saving provinsi ini meliputi depresiasi modal buatan, deplesi sumber daya alam tidak terbarukan (minyak, gas dan komoditi pertambangan), deplesi sumber daya alam terbarukan (sumber daya hutan) dan degradasi lingkungan (hanya polusi CO2).
39
Sumber : Gustami, 2012
Gambar 5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005 Permasalahan dalam pengembangan genuine saving tidak jauh berbeda dengan PDRB hijau, yaitu terkait dengan terbatasnya penelitian yang menilai deplesi dan degradasi lingkungan. Ditambah lagi dengan banyaknya pilihan metode yang dapat dipergunakan dalam melakukan valuasi degradasi lingkungan, yang tentunya juga akan berimplikasi pada perbedaan hasil penghitungan. Dengan demikian pengayaan penelitian saja menjadi tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan diskusi serius tentang metode valuasi yang akan menjadi kesepakatan bersama. Pengayaan penelitian tentang deplesi dan degradasi juga diarahkan untuk melakukan penambahan komponen yang masuk ke dalam penghitungan deplesi dan degradasi. Penghitungan deplesi yang dilakukan selama ini masih terbatas pada beberapa sumber mineral dan hutan. Deplesi sumber daya bidang kelautan relatif belum tersentuh. Penghitungan degradasi lingkungan untuk saat ini juga masih sangat terbatas pada CO2 dan CH4. Komponen yang lain juga masih belum tersentuh dalam penghitungan PDRB hijau yang telah dilakukan. PDRB hijau masih memungkinkan untuk dihitung hingga tingkat provinsi. Pada tahap awal, penghitungan PDRB hijau provinsi dapat saja diperoleh melalui down-scaling PDRB hijau nasional. Perbaikan dalam penghitungan dapat dilakukan secara bertahap, hingga akhirnya dapat menghitung PDRB hijau provinsi yang mandiri seperti PDRB konvensional yang ada selama ini. Berbeda dengan IKLH, pengembangan dalam penghitungan PDRB hijau nampaknya hanya mungkin dilakukan sampai level provinsi. Keterbatasan informasi pada tingkat kabupaten/kota menjadi kendala utama dalam pengembangan indikator ini pada tingkat yang lebih rendah. Ditambah lagi dengan cukup rumitnya penghitungan PDRB hijau, yang tentunya harus ditunjang pula oleh sumber daya manusia yang memadai. Hal ini juga menjadi kendala dalam penghitungan PDRB hijau pada tingkat kabupaten/kota.
4.2.3. Indikator Meso : IPH, Green Rating dan IPB a. Indeks Pembangunan Hijau (IPH) Indeks Pembangunan Hijau (IPH) dapat dijadikan salah satu alternatif untuk dijadikan sebagai indeks komposit pembangunan lingkungan hidup. Indeks pembangunan hijau akan menggabungkan beberapa indikator ekonomi, sosial dan lingkungan dalam bentuk indeks komposit seperti PDRB cokelat, PDRB hijau, indikator yang berkaitan dengan kesehatan dan komponen lingkungan hidup. IPH misalnya sudah digunakan di beberapa negara seperti 40
China sebagai alat evaluasi pembangunan perkotaan yang ramah dengan lingkungan. Indeks Pembangunan Hijau (Green Development Index) China bahkan sudah dikembangkan pada tingkat perkotaan. Secara prinsip Indeks Pembangunan Hijau mengakomodasi kebijakan pembangunan khususnya kebijakan yang berkait dengan lingkungan yang akan menjadi bobot bagi penentuan indeks pembangunan di suatu daerah. Secara sederhana prinsip Indeks Pembangunan Hijau adalah menggabungkan komponen indikator pembangunan seperti PDRB dan PDRB hijau dengan indikator ekonomi dan kebijakan yang mendukungnya. Indikator ekonomi yang diarahkan adalah yang berkaitan dengan ekonomi hijau seperti PDRB hijau, Genuine Saving (GS) dan salah satu indikator pendukung yang berkaitan dengan lingkungan seperti kesehatan. Dasar pemikiran dari indikator ini adalah bahwa lingkungan yang baik akan menunjukkan tingkat kesehatan yang baik dan sebaliknya. Di sisi lain Genuine Saving merupakan salah satu indikator keberlanjutan lemah yang relatif mudah diukur secara makro karena ketersediaan data makro di BPS. Namun tentu saja harus didukung dengan data deplesi dari sumber daya alam dan pengeluaran untuk CO2. Di sisi lingkungan, indikator yang berkaitan dengan jejak ekologis, bio-kapasitas merupakan indikator yang sangat baik jika diterapkan dalam menentukan indeks lingkungan. Namun jika data ini belum tersedia maka bisa didukung dengan indikator efisiensi sumber daya seperti intensitas energi, maupun degradasi lingkungan dapat digunakan untuk mendukung Pembangunan Hijau. Kedua komponen tersebut kemudian didukung dengan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan. Perlu pula dicatat bahwa kearifan lokal sangat berperan penting dalam menentukan pembangunan yang hijau, oleh karenanya, kearifan lokal dapat dijadikan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap indeks pembangunan hijau. Gambar 6 di bawah ini menunjukkan kerangka makro dari Indeks Pembangunan Hijau yang dapat dikembangkan untuk RPJM mendatang.
Kebijakan Lingkungan
Makro Indikator Footprint
Bio-capacity
IPH Efisiensi SDA
LIn gku ng an
Degradasi Status Media
Kearifan Lokal
Mikro Indikator
Gambar 6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau Indeks Pembangunan Hijau (IPH) merupakan indeks yang paling ideal dalam mengukur pembangunan yang mengintegrasikan perhatian pada lingkungan ke dalam 41
pembangunan. Namun penyusunan IPH membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karena komponen penyusunnya belum seluruhnya tersedia, terutama yang terkait dengan kearifan lokal dan beberapa komponen lingkungan, seperti bio-capacity. Oleh karena itu, penyusunan IPH mungkin tidak akan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. b. Green rating (Peringkat Hijau) Alternatif lain untuk mengembangkan indikator pembangunan lingkungan adalah dengan menerapkan sistem Green Rating bagi setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi. Green rating pada prinsipnya dikembangkan dari penilaian indikator lingkungan berbasis input dan output. Input lingkungan seperti kebijakan, ketersediaan anggaran, ketersediaan sumber daya manusia dan kapasitas kelembagaan lingkungan dapat diukur dan dinilai sebagai komponen input untuk melakukan rating. Pada komponen output beberapa indikator yang terkait dengan kinerja lingkungan seperti kondisi kualitas udara, air, degradasi lingkungan serta hal-hal yang terkait dengan penegakan hukum dapat dibobot untuk digunakan indikator output komposit yang akan menentukan rating hijau dari daerah tersebut. Termasuk ke dalam komponen penghitungan green rating adalah anugerah bidang lingkungan yang diberikan kepada daerah, seperti : a. Adipura, merupakan penghargaan bagi kota/kabupaten yang memiliki komitmen dalam mewujudkan kota bersih dan hijau (clean and green city) b. Adiwiyata, merupakan penghargaan yang bertujuan mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Diharapkan setiap warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju lingkungan yang sehat dan menghindari dampak lingkungan yang negatif c. Raksayanita, merupakan penghargaan dalam rangka Menuju Indonesia Hijau, guna meningkatkan kualitas lingkungan dan membuka peluang bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam pelestarian sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan. d. Penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) yaitu penghargaan terhadap partisipasi aktif masyarakat yang telah melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk mendukung pencapaian target nasional pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), diberikan pada wilayah setingkat desa/kampung e. Langit Biru, diberikan kepada wilayah kota yang mampu mengendalikan pencemaran emisi sumber bergerak melalui implementasi kebijakan secara terkoordinasi dan terpadu f. Anugerah Ozon merupakan penghargaan kepada pihak-pihak yang berperan aktif memberikan kontribusi dalam upaya perlindungan lapisan ozon, termasuk pemerintah daerah Secara umum tahapan dalam penentuan green rating dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini. Kriteria bobot
Green skoring
Kalibrasi
rating
ii0
Pra-assessment
Assessment
Hasil
Gambar 7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating 42
Dalam green rating penentuan kinerja pembangunan lingkungan hidup didasarkan pada kombinasi penilaian kuantitatif dan kualitatif. Setiap komponen diberikan bobot sesuai dengan beban dan tingkat kepentingan dari indikator tersebut relatif terhadap output yang akan dihasilkan. Penentuan green rating kemudian dapat didasarkan pada skala yang kemudian dijabarkan dalam rating hijau seperti A, AB dan seterusnya seperti terlihat pada tabel 21 di bawah ini. Tabel 21 Skala Green Rating Skor 3.76 – 4.0 3.5- 3.75 3.1-3.4 2.5-3.0 2.00-2.4 <2.0
Rating A AB B BC C D
FLAG Hijau Hijau Semi Hijau Semi hijau Kuning Merah
Prinsip penentuan green rating dengan FLAG ini sudah banyak diuji coba di Eropa melalui Dashboard Sustainability Indeks dengan Flag hijau, kuning dan merah. Dashbord rating ini juga kini tengah dikembangkan secara intensif oleh Kementrian Lingkungan Hidup dengan unit analisis pada tingkat provinsi dengan indikator yang lebih luas dari indikator kualitas lingkungan hidup Indonesia. Dalam Dashboard Sustainability Index, kinerja lingkungan disajikan seperti halnya dashboard dalam kendaraan bermotor (mobil) di mana indikator lingkungan hidup disajikan secara lebih dinamis melalui indikator merah kuning dan hijau. Variabel lingkungan dan ekonomi disajikan dalam bentuk data tabulasi yang kemudian diberikan target apakah akan dimaksimumkan atau diminimumkan. Misalkan PDB adalah target maksimum sementara pencemaran adalah target minimum. Setiap indikator kemudian diberi pembobotan dan dilakukan perhitungan melalui algoritma tertentu sehingga dihasilkan rating hijau, semi hijau, kuning dan merah. c. Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) Mengacu kepada tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial dan lingkungan), maka ukuran pembangunan tentunya menjadi lebih komprehensif jika mampu menggambarkan capaian pembangunan pada keseluruhan dimensi. Indikator pembangunan yang dipergunakan saat ini masih bersifat parsial antar dimensi pembangunan. Pembangunan ekonomi dipantau dengan menggunakan capaian nilai PDRB, dan indikator turunannya seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Indikator pembangunan lainnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan gabungan antara indikator kesehatan, pendidikan dan daya beli. Dua indikator pertama dalam IPM merupakan indikator dimensi sosial sedangkan indikator terakhir adalah indikator ekonomi. Artinya IPM juga masih belum menggambarkan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan dengan absennya indikator lingkungan. Perkembangan terakhir dalam indikator pembangunan Indonesia adalah munculnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang hanya fokus dalam penilaian kualitas lingkungan. Penggabungan ketiga indikator pembangunan tersebut menjadi satu indeks komposit akan menjadi pilihan yang cukup rasional, mengingat indikator yang menjadi input dalam penghitungannya sudah tersedia. Indeks komposit ini dapat mengukur capaian pembangunan berkelanjutan secara lebih komprehensif, baik dari sudut pandang ekonomi, sosial maupun lingkungan, sehingga layak untuk disebut sebagai Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB). Langkah pertama dalam penyusunan IPB adalah menstandarisasikan seluruh indikator 43
menjadi bentuk indeks, khususnya untuk PDRB, karena dua indikator yang lain sudah berbentuk indeks (IPM dan IKLH). Agar memiliki keterbandingan antar wilayah, nilai PDRB yang dipergunakan adalah PDRB perkapita tanpa Migas. Penyusunan indeks PDRB perkapita tanpa Migas diawali dengan menetapkan nilai maksimum dan minimum yang akan dicapai. Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam menentukan nilai maksimum adalah dengan menetapkan target capaian PDRB perkapita tanpa Migas dalam dokumen perencanaan, seperti RPJMN, dan menjadikannya sebagai acuan nilai maksimum, sementara nilai minimum dapat dilakukan dengan menggunakan nilai terendah dari PDRB perkapita tanpa migas. Bagi daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa Migasnya sama atau berada di atas nilai maksimum maka nilai indeks PDRB-nya adalah 100. Sedangkan daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa migasnya berada di bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan indeksnya dengan menggunakan metode standarisasi maksimum minimum. Metode ini menghitung indeks dengan menggunakan perbandingan antara selisih nilai aktual dengan nilai minimum terhadap selisih nilai maksimum dengan minimum. Setelah seluruh indikator penyusun berbentuk indeks maka penghitungan IPB dapat dilakukan. Isu utama dalam penyusunan IPB adalah pada saat penentuan bobot, baik antar indikator, antar wilayah dan antar waktu. Metode pembobotan yang paling moderat adalah dengan memberikan bobot yang sama antar indikator, antar wilayah dan antar waktu. Pembobotan dengan metode ini mengindikasikan penekanan yang sama untuk seluruh dimensi pembangunan berkelanjutan pada seluruh wilayah. Pembobotan berbeda antar indikator sangat dimungkinkan jika fokus pembangunan berbeda antar dimensi. Begitu pula perbedaan pembobotan antar wilayah (regionalisasi) dan antar waktu. Perbedaan pembobotan antar wilayah dan antar waktu menggambarkan adanya dinamika pembangunan antar waktu dan wilayah. Dengan cara ini, pembobotan indikator di wilayah Jawa dapat berbeda dengan wilayah Papua, begitu pula dengan pembobotan pada tahun awal perencanaan dapat berbeda dengan tahun akhir dari perencanaan. Dimensi Ekonomi PDRB
Indeks PDRB Perkapita
Dimensi Sosial IPM
Dimensi Lingkungan IKLH
Pembobotan (Indikator, Wilayah, Waktu) IPB
Gambar 8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan Penghitungan IPB sebagai indikator pembangunan komposit yang sudah menggabungkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan adalah yang paling memungkinkan untuk saat ini, mengingat keseluruhan komponen penghitungannya telah tersedia. Pengembangan ke depan tentunya sangat terkait dengan penyempurnaan IKLH, sebagai salah satu komponen IPB. Dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, sudah relatif lebih dahulu berkembang, sehingga penghitungannya juga menjadi lebih baik.
44
Sebagai gambaran, berikut akan diberikan contoh penghitungan IPB dengan menggunakan data pada tahun 2009 hingga 2011. Penghitungan untuk tahun 2012 belum dimungkinkan, karena hingga laporan ini disusun nilai Indeks Pembangunan Manusia tahun 2012 belum selesai dihitung. Tahapan awal dalam menghitung IPB adalah melakukan penghitungan indeks PDRB perkapita. Dalam contoh penghitungan ini, nilai indeks PDRB dihasilkan dari nilai PDRB perkapita tanpa migas atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, nilai PDRB perkapita atas dasar harga kontan menggambarkan perkembangan kesejahteraan secara makro yang sudah menghilangkan dampak inflasi. Kedua, RPJMN 2009-2014 secara khusus telah menetapkan PDRB perkapita atas dasar harga konstan sebagai salah satu target capaian pembangunan. Ketiga, PDRB perkapita tanpa migas dapat dipergunakan sebagai indikator perbandingan antar wilayah, karena hasil migas tidak secara langsung dapat dinikmati oleh daerah penghasilnya. Sedangkan nilai maksimum dan minimum yang dipergunakan dalam menyusun indeks PDRB ditetapkan sebagai berikut : Nilai maksimum ditentukan dari target PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2000 pada tahun 2014 (akhir perencanaan) pada RPJMN, sebesar 12.058.000 rupiah Nilai minimum ditentukan dari garis kemiskinan daerah perkotaan tahun 2000, yaitu kondisi yang setara dengan tahun dasar PDRB atas dasar harga kontan, sebesar 91.632 rupiah per bulan atau 1.099.584 rupiah per tahun Penghitungan indeks PDRB perkapita, merupakan normalisasi nilai PDRB perkapita tanpa migas atas dasar harga kontan dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum yang telah ditetapkan di atas. Sesuai dengan uraian sebelumnya, maka daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa migasnya sama atau berada di atas nilai maksimum maka nilai indeks PDRB perkapitanya adalah 100, seperti Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Sedangkan daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa migasnya berada di bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan indeksnya dengan menggunakan metode standarisasi maksimum minimum. Hasil penghitungan ditampilkan pada Tabel 22. Tahapan selanjutnya dalam penghitungan IPB adalah menentukan pembobotan indikator. Dalam contoh penghitungan ini pembobotan indikator dilakukan dengan cara yang paling moderat, yaitu dengan memberikan pembobotan yang sama pada seluruh unsur penyusun IPB. Unsur penyusun IPB sendiri pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua hal, pertama dari sisi indikator penyusunnya (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) dan yang kedua dari sisi dimensi pembangunannya (ekonomi, sosial dan lingkungan). Oleh karena itu, maka penghitungan IPB dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yaitu: Skenario 1 : Pembobotan yang sama antar indikator penyusun. Pada skenario ini, indikator penyusun (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) masing-masing diberikan bobot yang sama, yaitu sepertiga (1/3). Skenario 2 : Pembobotan yang sama antar dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial dan lingkungan). Pada skenario ini fokusnya bukan pada indikator penyusunnya, melainkan pada dimensi pembangunan yang ada pada masing-masing indikator. PDRB dan IKLH masing-masing mewakili dimensi ekonomi dan lingkungan, sedangkan IPM mewakili dua dimensi sekaligus, sosial dan ekonomi. Agar bobot antar dimensi sama, maka masing-masing indikator diberikan bobot yang berbeda, seperenam (1/6) untuk Indeks PDRB, seperdua(1/2) untuk IPM dan sepertiga (1/3) untuk IKLH. Hasil penghitungan IPB serta peringkat masing-masing provinsi dengan menggunakan kedua skenario tersebut ditampilkan pada Tabel 23 dan 24.
45
Tabel 22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011 Provinsi 11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. Riau 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Bangka Belitung 20. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. Bali 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur 71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara 91. Papua Barat 94. Papua Nasional
Indeks PDRB Perkapita 2009 2010 2011 47.06 48.75 51.11 68.51 72.53 77.48 59.73 62.84 66.77 67.13 69.65 73.22 34.22 36.00 38.23 48.43 51.33 55.40 32.33 34.12 36.43 33.37 35.37 37.94 67.38 69.42 72.43 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 53.32 56.06 59.60 36.85 39.61 42.62 43.31 45.30 47.87 68.14 72.62 78.38 63.31 65.56 68.67 55.12 57.39 60.63 28.57 30.51 28.98 13.59 14.30 15.28 50.03 52.64 56.12 63.86 67.20 71.40 63.05 65.63 69.24 100.00 100.00 100.00 59.42 63.40 68.25 46.06 49.74 54.34 44.06 47.77 51.81 34.74 37.37 40.71 14.20 15.44 16.94 24.12 27.14 30.16 14.22 15.06 15.98 15.20 16.52 17.69 57.48 60.54 65.54 68.19 61.62 54.45 65.89
69.57
74.05
46
Tabel 23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1) Provinsi
Nilai IPB
Peringkat IPB
2009
2010
2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. Riau 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Bangka Belitung 20. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. Bali 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur 71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara 91. Papua Barat 94. Papua
63.61 68.26 73.40 64.79 60.57 63.45 61.49 59.31 64.03 75.40 73.03 58.22 54.78 57.35 66.07 61.41 70.71 55.64 48.93 63.58 61.31 60.20 81.25 74.44 61.76 60.87 54.93 53.64 54.66 54.21 67.12 69.34
65.92 77.96 72.69 66.86 57.19 66.66 67.98 64.58 69.07 76.64 73.14 60.60 54.19 64.33 64.58 61.67 76.44 61.95 44.09 66.06 64.07 64.60 79.26 74.56 72.82 60.76 56.53 61.22 53.22 55.40 55.09 63.08 62.04
63.34 74.78 72.68 68.66 58.82 68.77 68.87 65.48 70.26 77.34 73.09 61.08 55.13 64.36 68.35 62.87 72.92 59.84 47.35 66.68 70.15 66.66 82.32 76.46 74.83 62.20 54.68 62.22 56.04 53.65 53.42 67.90 62.77
Nasional
65.81
67.64
69.02
2009 13 8 4 11 21 15 17 23 12 2 5 24 28 25 10 18 6 26 32 14 19 22 1 3 16 20 27 31 29 30 9 7
2010 14 2 8 11 27 12 10 16 9 3 6 26 31 18 17 23 4 22 33 13 19 15 1 5 7 25 28 24 32 29 30 20 21
2011 20 5 8 13 27 12 11 18 9 2 6 25 29 19 14 21 7 26 33 16 10 17 1 3 4 24 30 23 28 31 32 15 22
47
Tabel 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2) Provinsi
Nilai IPB
Peringkat IPB
2009
2010
2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. Riau 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Bangka Belitung 20. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. Bali 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur 71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara 91. Papua Barat 94. Papua
67.66 69.14 75.69 66.20 66.94 67.48 68.19 65.57 64.89 71.15 69.26 61.27 60.66 62.67 66.56 62.53 73.45 61.65 57.77 66.71 63.06 61.24 77.10 77.15 65.86 65.35 60.73 61.15 64.12 63.12 68.97 68.73
69.74 78.24 74.52 67.93 63.31 70.26 74.44 70.59 69.64 72.49 69.40 63.30 59.67 69.41 64.41 62.49 78.92 67.73 52.92 68.81 65.31 65.31 75.19 76.67 76.39 64.74 61.97 70.36 60.31 64.79 63.84 64.52 62.59
66.84 74.31 73.93 69.21 64.66 71.78 75.03 71.15 70.42 73.30 69.42 63.27 60.18 69.10 67.32 63.25 74.96 66.04 56.09 68.94 70.76 66.86 78.36 77.84 77.71 65.59 59.66 71.20 62.70 62.96 62.05 68.58 64.59
Nasional
66.79
68.09
68.81
2009 11 7 3 16 13 12 10 18 20 5 6 27 31 24 15 25 4 26 32 14 23 28 2 1 17 19 30 29 21 22 8 9
2010 12 2 6 17 26 11 7 9 13 8 15 27 32 14 24 29 1 18 33 16 19 20 5 3 4 22 30 10 31 21 25 23 28
2011 21 6 7 15 24 9 4 11 13 8 14 26 31 16 19 27 5 22 33 17 12 20 1 2 3 23 32 10 29 28 30 18 25
Secara nasional, hasil skenario 1 dan skenario 2 relatif menunjukkan tingkat perubahan yang berbeda. Tingkat perubahan pada skenario 2 lebih landai dibandingkan skenario 1. Akibatnya, nilai IPB skenario 2 yang lebih tinggi dari skenario 1 pada tahun 2009 menjadi lebih rendah pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 2009-2011, IPB pada skenario 1 berubah sebesar 3,21 poin, sedangkan skenario 2 hanya berubah sebesar 2,02 poin. Secara implisit, kondisi ini menggambarkan bahwa perkembangan bidang ekonomi relatif lebih tinggi dibandingkan dua bidang yang lain, sosial dan lingkungan. Nilai IPB yang diperoleh oleh masing-masing provinsi juga menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok. Pada skenario 1, provinsi yang memiliki nilai didominasi oleh daerah 48
yang memiliki keunggulan di bidang ekonomi, seperti Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau. Sedangkan pada skenario 2, provinsi dengan IPB tertinggi bervariasi, seperti Sulawesi Utara pada tahun 2009, Bali pada tahun 2010 dan Kalimantan Timur pada tahun 2011. Namun untuk provinsi dengan nilai IPB terendah tetap diduduki oleh Nusa Tenggara Timur. Walaupun pada skenario 2 nilai IPB provinsi ini sudah terangkat naik, namun masih tetap tertinggal dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Berdasarkan dua skenario di atas nampak bahwa proses pembobotan menjadi hal yang penting dalam penyusunan IPB, karena dapat memberikan hasil yang sangat berbeda. Skenario 1 memberikan bobot yang relatif besar pada dimensi ekonomi, sehingga daerahdaerah yang ekonominya maju (tergambar dari Indeks PDRB perkapita) akan berpeluang menjadi daerah yang memiliki IPB tinggi. Sedangkan pembobotan yang seimbang antar dimensi pembangunan pada skenario 2, memberikan peluang pada daerah yang tidak terlalu maju dari sisi ekonomi, namun mampu membangun dimensi yang lain (sosial dan lingkungan), untuk menjadi daerah dengan IPB yang tinggi. Selain pembobotan, hal lain yang lebih penting adalah validitas dan reliabilitas dari indikator penyusun IPB itu sendiri. Perhatian khusus dalam penyempurnaan IKLH menjadi hal yang sangat penting, mengingat dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, relatif sudah lebih baik. Munculnya provinsi Kalimantan Timur sebagai daerah yang memiliki IPB tertinggi, baik pada skenario 1 dan 2, tentunya patut menjadi catatan, mengingat kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah ini juga cukup tinggi. Diduga persoalan ini muncul karena belum sempurnanya penghitungan IKLH yang telah dilakukan saat ini. Perbandingan hasil penghitungan IPB dengan menggunakan kedua skenario tersebut menunjukkan bahwa nilai IPB pada skenario 1 lebih bervariasi dibandingkan dengan skenario 2. Pencapaian IPB dengan menggunakan skenario 1 memiliki nilai tengah (median) dan tren peningkatan yang lebih tinggi dibanding skenario 2. Namun jika dibandingkan dengan nilai IPB nasional, median IPB skenario 1 juga memiliki selisih yang lebih besar dibandingkan skenario 2, artinya IPB skenario 2 memiliki sebaran yang lebih simetris (normal) dibandingkan dengan skenario 1. Didasari oleh pertimbangan tersebut, maka penghitungan IPB dengan menggunakan skenario 2 lebih direkomendasikan daripada skenario 1. Skenario 2 memberikan porsi yang seimbang antara ekonomi, sosial dan lingkungan. Hasil penghitungan pun menunjukkan sebaran yang relatif lebih homogen dan simetris. Tabel 25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2 Skenario 1
Summary IPB Nasional Median Nilai Minimum Nilai Maksimum Range
2009 65.81 62.39 48.93 81.25 32.31
2010 67.64 64.07 44.09 79.26 35.17
Skenario 2 2011 69.02 66.10 47.35 82.32 34.98
2009 66.79 65.72 57.77 77.15 19.38
2010 68.09 67.93 52.92 78.92 26.00
2011 68.81 68.58 56.09 78.36 22.27
PDRB Perkapita tanpa migas memang cukup baik untuk dipergunakan sebagai proksi perbandingan kemajuan ekonomi antar wilayah. Pengelolaan migas pada umumnya tidak banyak melibatkan masyarakat lokal, sehingga efek langsungnya tidak terlalu besar. Sehingga tidak jarang daerah yang memiliki kategori PDRB tinggi, namun dominasi sektor migas, memiliki tingkat kemajuan wilayah yang relatif sama dengan daerah yang PDRB-nya berada dalam kategori sedang bahkan rendah. Efek sumber daya migas lebih dominan dirasakan dalam konteks penerimaan keuangan daerah melalui mekanisme bagi hasil. Namun 49
penggunaan PDRB tanpa migas juga memiliki kelemahan karena seakan-akan mengabaikan peran sektor migas, yang justru menjadi tulang punggung perekonomian bagi sebagian daerah. Oleh karena itu, sebagai bahan perbandingan, dalam kajian ini juga akan dilakukan penghitungan IPB dengan menggunakan PDRB perkapita dengan memasukkan sektor migas. Tabel 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas (Menggunakan Skenario 2) Nilai IPB
Provinsi 11. Nanggroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. Riau 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Bangka Belitung 20. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. Bali 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan Selatan 64. Kalimantan Timur 71. Sulawesi Utara 72. Sulawesi Tengah 73. Sulawesi Selatan 74. Sulawesi Tenggara 75. Gorontalo 76. Sulawesi Barat 81. Maluku 82. Maluku Utara 91. Papua Barat 94. Papua Nasional
Peringkat IPB
2009
2010
2011
69.26 69.23 75.69 71.68 67.74 70.26 68.19 65.65 65.10 71.15 69.26 61.59 61.15 62.67 66.61 62.53 73.45 61.65 57.77 66.71 63.06 61.44 77.10 77.17 66.02 65.37 60.73 61.15 64.13 63.12 72.77 68.73
71.10 78.33 74.52 72.99 64.19 73.02 74.44 70.66 69.85 72.49 69.40 63.62 60.18 69.41 64.48 62.49 78.92 67.73 52.92 68.81 65.31 65.51 75.19 76.69 76.55 64.76 61.97 70.36 60.31 64.81 63.84 71.10 62.59
68.16 74.40 73.93 73.68 65.72 74.52 75.03 71.23 70.63 73.30 69.42 63.57 60.70 69.10 67.39 63.25 74.96 66.04 56.09 68.94 70.76 67.04 78.36 77.87 77.88 65.61 59.66 71.20 62.70 62.98 62.05 74.33 64.59
67.71
68.99
69.71
-
2009 9 11 3 6 14 8 13 18 20 7 10 27 29 24 16 25 4 26 32 15 23 28 2 1 17 19 31 0 30 21 22 5 12
2010 11 2 6 9 25 8 7 13 15 10 17 27 32 16 24 29 1 19 33 18 21 20 5 3 4 23 30 14 31 22 26 12 28
2011 19 7 9 10 23 6 4 12 15 11 16 26 31 17 20 27 5 22 33 18 14 21 1 3 2 24 32 13 29 28 30 8 25
Dengan memperhatikan beberapa catatan tentang keunggulan penghitungan IPB Skenario 2, maka penghitungan IPB dengan PDRB perkapita migas juga dilakukan menggunakan skenario ini. Dampak langsung dengan memasukkan sektor migas adalah meningkatnya nilai indeks PDRB yang pada akhirnya juga meningkatkan nilai IPB. Hasilnya, 50
Nasional
94. Papua
91. Papua Barat
81. Maluku
82. Maluku Utara
75. Gorontalo
76. Sulawesi Barat
73. Sulawesi Selatan
74. Sulawesi Tenggara
71. Sulawesi Utara
72. Sulawesi Tengah
64. Kalimantan Timur
63. Kalimantan Selatan
61. Kalimantan Barat
62. Kalimantan Tengah
53. Nusa Tenggara Timur
51. Bali
IPB Tanpa Migas (2010)
52. Nusa Tenggara Barat
36. Banten
34. Yogyakarta
35. Jawa Timur
32. Jawa Barat
33. Jawa Tengah
31. DKI Jakarta
20. Kepulauan Riau
18. Lampung
19. Bangka Belitung
17. Bengkulu
16. Sumatera Selatan
14. Riau
15. Jambi
13. Sumatera Barat
12. Sumatera Utara
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
11. Nanggroe Aceh Darussalam
IPB dengan menggunakan PDRB perkapita migas lebih tinggi dibandingkan IPB dengan PDRB perkapita tanpa migas. Namun karena kontribusi migas dalam PDB nasional tidak terlalu besar dan bobot dari indeks PDRB hanya seperenam, maka perbedaan antara kedua nilai IPB ini hanya berkisar sebesar satu poin saja. Namun di beberapa daerah penghasil migas, seperti Provinsi Riau dan Papua Barat, perbedaannya cukup tinggi, mencapai 5 hingga 6 poin.
IPB Dengan Migas (2010)
Gambar 9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010) Penggunaan PDRB dengan migas juga berdampak pada peringkat IPB antar provinsi. Dengan naiknya nilai IPB daerah-daerah penghasil migas, maka peringkat daerah-daerah tersebut juga ikut terdongkrak. Provinsi Riau dan Irian Barat peringkatnya bahkan meningkat 10 angka lebih baik. Sebaliknya, terjadi penurunan peringkat bagi daerah-daerah yang bukan penghasil migas. 35 30 25 20 15 10
Peringkat IPB Tanpa Migas (2010)
94. Papua
91. Papua Barat
81. Maluku
82. Maluku Utara
75. Gorontalo
76. Sulawesi Barat
73. Sulawesi Selatan
74. Sulawesi Tenggara
72. Sulawesi Tengah
71. Sulawesi Utara
64. Kalimantan Timur
63. Kalimantan Selatan
62. Kalimantan Tengah
61. Kalimantan Barat
53. Nusa Tenggara Timur
52. Nusa Tenggara Barat
51. Bali
36. Banten
34. Yogyakarta
35. Jawa Timur
33. Jawa Tengah
32. Jawa Barat
31. DKI Jakarta
20. Kepulauan Riau
19. Bangka Belitung
18. Lampung
17. Bengkulu
16. Sumatera Selatan
15. Jambi
14. Riau
13. Sumatera Barat
12. Sumatera Utara
0
11. Nanggroe Aceh Darussalam
5
Peringkat IPB Dengan Migas (2010)
Gambar 10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010)
51
Ketiga indikator meso; IPH, Green Rating dan IPB; memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Secara ringkas, tabel berikut menyarikan kelebihan serta kekurangan ketiga indikator tersebut, untuk selanjutnya memberikan rekomendasi terkait dengan implementasinya. Tabel 27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB Indikator Indeks Pembangunan Hijau (IPH)
Kelebihan
Green Rating
Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB)
Kekurangan
Mencakup keseluruhan dimensi (ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan) Mengakomodir kearifan lokal
Mengakomodir isu kebijakan lingkungan Penghitungan relatif mudah Memungkinkan penilaian secara gradasi (seperti Hijau,semi hijau, kuning dan cokelat) sehingga lebih mudah diterima oleh daerah
Merupakan indeks komposit (ekonomi, sosial dan lingkungan) Data relatif tersedia pada level pusat dan daerah Penghitungan relatif mudah Mampu menggambarkan kinerja pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah Dapat digunakan sebagai “novelty” (kebaruan) dalam mengukur pembangunan berkelanjutan di Indonesia
Catatan
Sulit untuk menguantifikasikan Data tidak seluruhnya tersedia Penghitungan relatif sulit
Menjadi prioritas di akhir tahun perencanaan. Direkomendasikan dilakukan pada level provinsi untuk menilai kinerja pembangunan berkelanjutan di tingkat provinsi
Penilaian terkadang bersifat subjektif Oleh karena telah banyak rating yang saat ini sudah berjalan seperti Adipura, Adiwiyata dan sejenisnya, kemungkinan adanya resistensi untuk menggabungkan menjadi satu rating karena kepentingan yang berbeda
Merupakan indikator komplemen
Sensitif terhadap pembobotan Belum ada standarisasi antar wilayah Perlu perbaikan komponen IKLH Diperlukan target kinerja ekonomi yang baku yang menjadi basis perhitungan indeks PDRB.
Dapat dilakukan segera
Dapat dijadikan indikator satelit pada IKLH atau SLHI (Status Lingkungan Hidup Indonesia)
Diperlukan sosialisasi ke daerah sehingga ada aspek penerimaan (acceptability) dan tidak menimbulkan resistensi
52
4.2.4. Roadmap Pengembangan IPLH Pengembangan beberapa indikator yang telah dibahas sebelumnya tentunya tidak akan dapat dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dibutuhkan pentahapan yang jelas dan terarah agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada tahun-tahun awal, kegiatan lebih ditekankan pada tahapan persiapan dan penghitungan beberapa indikator makro. Kegiatan pada tahapan persiapan antara lain adalah perubahan/penambahan komponen lingkungan hidup, perubahan pembobotan dan standarisasi kondisi eksogenous pada IKLH. Tahapan persiapan lainnya yaitu dilakukannya studi yang komprehensif tentang deplesi dan degradasi. Sementara indikator yang telah mulai dilakukan penghitungan adalah PDB Hijau dan Genuine Saving pada tingkat nasional. Penghitungan kedua indikator ini telah bisa dilakukan pada tahun awal, tetapi tentunya studi-studi tentang deplesi dan degradasi dapat dijadikan sebagai bahan untuk penyempurnaan kedua indikator ini pada tahun-tahun berikutnya. Penghitungan indikator yang lebih kompleks baru mulai dilakukan pada tahun ke empat. Tabel 27 menjabarkan secara lebih detil tahapan yang dibutuhkan dalam pengembangan IPLH. Tabel 28 Roadmap Pengembangan IPLH Tahun Kegiatan 2015 1. Perubahan/penambahan komponen lingkungan hidup dalam IKLH 2. Perbaikan sampel IKLH 3. Perubahan pembobotan IKLH 4. Standarisasi kondisi eksogenous (geografi) dan demografi pada IKLH 5. Penghitungan IKLH (nasional/provinsi) 6. Pengembangan IKLHD kabupaten 7. Penghitungan IKLHD kabupaten 8. Penghitungan PDB Hijau (nasional) 9. Penghitungan Genuine Saving (nasional) 10. Studi komprehensif tentang deplesi dan degradasi lingkungan 11. Pengembangan PDRB Hijau (provinsi) 12. PengembanganGenuine Saving (provinsi) 13. Pengembangan Indeks Pembangunan Hijau 14. Penghitungan Green Rating 15. Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan (nasional/provinsi)
2016
2017 2018 2019
Leading Sector
x
KLH
x x
KLH KLH KLH
x
x x x
x
x
x x
x x x
x x
x x
x x
x x
x x
x
x
x
x x x x
x x x x x
KLH KLH KLH BPS BPS BappenasBPS-KLH BPS BPS KLH-BPS KLH Bappenas
53
4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup Pengembangan indikator pembangunan lingkungan hidup yang mengakomodasi dinamika pembangunan lima tahun mendatang memang tidak mudah. Berbagai tantangan akan dihadapi yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama adalah menyangkut ketersediaan data. Masalah ini adalah masalah klasik yang sebenarnya sudah cukup lama dirasakan untuk mengembangkan indikator yang komprehensif. Namun demikian tidak semua informasi dan data ini tersedia baik pada tingkat pusat maupun daerah. Misalnya saja data terkait dengan deplesi sumber daya alam, data ini tidak tersedia secara mudah di BPS maupun sektor terkait. Demikian juga dengan degradasi lingkungan. Meski KLH mengeluarkan SLHI setiap tahun, namun sering data yang diperoleh juga belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya di daerah karena data yang tersedia masih bersifat agregat, belum pada unit kabupaten/kota atau provinsi. Kedua menyangkut kapasitas kelembagaan di daerah untuk mengembangkan indikator lingkungan yang komprehensif. Dari hasil FGD di berbagai kota ditemukan bahwa tidak semua daerah memiliki kapasitas untuk mengembangkan indikator lingkungan seperti PDRB hijau sekalipun yang lebih sederhana. Masalah ini diperberat pula oleh sistem otonomi daerah yang sekarang berjalan dimana investasi pada sumber daya manusia yang telah dididik atau mengikuti pelatihan PDRB hijau misalnya, bisa saja kemudian dimutasi di tempat lain, sementara penggantinya sama sekali belum bisa memahami esensi PDRB hijau atau aspek lingkungan secara menyeluruh. Tantangan ketiga yang akan dihadapi adalah terkait dengan kepentingan dan komitmen kepala daerah dalam mengembangkan ekonomi hijau secara menyeluruh. Di beberapa daerah aspek lingkungan belum menjadi prioritas dan akan terkalahkan oleh sektor yang lebih banyak menghasilkan PAD. Hasil kunjungan di daerah bahkan ada Kota yang kantor BLH (Badan Lingkungan Hidup) daerahnya “dititipkan” pada perkantoran swasta. Ini menunjukkan komitmen dan investasi di bidang lingkungan yang rendah yang tentu saja akan sulit mengembangkan indikator pembangunan yang hijau di masa mendatang. Tantangan lain yang akan dihadapi adalah menyangkut penyempurnaan metodologi perhitungan indeks yang komprehensif. Penyempurnaan ini memerlukan investasi pengetahuan publik dan finansial yang tidak sedikit dan juga memerlukan diskusi yang intens dengan berbagai sektor. Sebagai contoh pengembangan IKLH oleh Kementrian Lingkungan Hidup pada masa lalu misalnya banyak dibantu oleh lembaga donor seperti DANIDA. Oleh karenanya diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat untuk mengembangkan metodologi ini secara kontinu dan sistematis. Namun demikian dari berbagai tantangan-tantangan tadi tentu saja dapat dijadikan peluang bagi daerah dan pusat untuk mulai menyusun kebutuhan data yang sistematik sesuai dengan kebutuhan pengembangan indikator lingkungan. Dengan demikian akan dihasilkan efek domino kepada daerah untuk melakukan sistem basis data yang lebih baik. Pengembangan indikator yang baru juga akan memicu daerah untuk berlomba-lomba memperoleh rating hijau yang lebih misalnya sehingga akan memicu investasi yang lebih besar kepada bidang lingkungan hidup. Selain itu pengembangan indikator ini juga akan memberikan peluang kerja sama yang lebih baik dengan berbagai pihak di daerah seperti perguruan tinggi lokal, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya yang akan membantu meningkatkan kapasitas kelembagaan di daerah. Secara khusus, pengembangan Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) menjadi hal yang sangat potensial untuk dilakukan, mengingat komponen penyusunnya sudah dikenal luas, terutama untuk PDRB dan IPM. Tantangannya memang terletak pada IKLH yang merupakan indikator yang relatif baru dibandingkan dua indikator sebelumnya. Indikator ini 54
masih memerlukan beberapa penyempurnaan agar dapat dipergunakan sebagai indikator yang mampu mengukur capaian pembangunan lingkungan dan dapat diaplikasikan untuk melihat keterbandingan antar waktu dan antar wilayah. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka prasyarat dalam penghitungan IPB paling tidak meliputi hal-hal berikut ini: a. Tersedianya data yang dibutuhkan dalam penyusunan IPB pada tingkat provinsi hingga kabupaten. Tidak saja sekedar tersedia, data tersebut tentunya juga harus tersedia sepanjang waktu (kontinu) dan dapat dipercaya (reliable). Terjaminnya ketersediaan data sepanjang waktu akan menjadikan IPB sebagai indikator yang dapat menggambarkan periodisasi pengembangan wilayah. Data yang reliable tentunya akan menjamin objektivitas dari IPB sendiri, sehingga akan menjadi indikator yang mampu diterima oleh semua orang. b. Dibutuhkan kekuatan hukum yang menjadikan IPB sebagai indikator kinerja (key performace indicator), sehingga IPB tidak hanya sekedar angka tanpa makna. Penyepakatan IPB sebagai salah satu indikator pembangunan tentunya dapat dituangkan di dalam dokumen perencanaan makro seperti RPJM, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Skema insentif-disinsentif tentunya juga dibutuhkan agar IPB dapat menjadi barometer pembangunan. Tersedianya data PDRB dan IKLH secara rutin setiap tahun dan dipergunakan sebagai indikator pembangunan daerah, diyakini juga didorong oleh adanya skema yang mengaitkan kedua data tersebut dengan penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU). Skema seperti ini tentunya juga dapat dilakukan pada IPB, misalnya dengan juga mendorong IKLH sebagai komponen DAU. Artinya jika data PDRB, IPM dan IKLH telah tersedia, maka secara tidak langsung sudah menjamin tersedianya data untuk penghitungan IPB. c. Penghitungan IPB melibatkan koordinasi lintas institusi, sehingga mekanisme sinergi kelembagaan sangat dibutuhkan untuk pengembangan IPB. Paling tidak, koordinasi ini akan melibatkan institusi seperti Bappenas, BPS, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Keuangan. Koordinasi memang merupakan bahasa yang gampang diucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan, apalagi jika sudah menyangkut ego sektoral.
55
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari analisis yang telah dilakukan terkait evaluasi dan pengembangan indikator pembangunan lingkungan hidup, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Indikator lingkungan hidup yang digunakan saat ini meski diakui sebagai “the best available indicator” yang ada saat ini namun masih dirasakan memiliki defisiensi karena belum memiliki efek kebijakan pembangunan yang berarti khususnya di daerah. Dengan kata lain apa implikasi IKLH 60 atau 80 bagi daerah sampai saat ini belum memberikan efek perubahan. Sampai saat ini sulit menentukan target dari kinerja lingkungan hidup yang setara dengan target indikator lain seperti pertumbuhan ekonomi, IPM dan sejenisnya. Kesulitan ini dirasakan karena output dari LH bersifat multisektor dan melibatkan berbagai aspek kehidupan. Dari sisi komponen pembangunan masih dirasakan adanya pembobotan yang terlalu seragam sehingga unsur fairness dan standarisasi belum menjadi pertimbangan Di tingkat operasional di daerah, masih dirasakan sulit bagi daerah untuk mengembangkan indikator lingkungannya sehingga masih mengandalkan penilaian dari pusat. Namun ini pun menjadi pisau bermata dua karena jika dilakukan di daerah dikhawatirkan terjadi moral hazard dan ketiadaan independensi Tantangan pembangunan pada lima tahun mendatang semakin kompleks dan memerlukan indikator pembangunan yang lebih akomodatif dan komprehensif dengan mempertimbangkan unsur pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian beberapa rekomendasi kebijakan mendasar antara lain adalah Dalam RPJM mendatang aspek-aspek yang berkaitan dengan tekanan terhadap lingkungan seperti jejak ekologis (ecological footprint) dan biocapacity hendaknya dapat dipertimbangkan untuk menjadi bagian dalam penilaian indikator pembangunan lingkungan Dalam pelaksanaan memang mungkin ditemukan kesulitan dan hambatan untuk mengukur indikator di atas, untuk itu mungkin kedua indikator tersebut dapat digunakan sebagai indikator satelit (pelengkap) bagi laporan IKLH Mengingat IKLH sudah berjalan cukup lama dan sudah memiliki protokol perhitungan yang relatif mudah dilakukan, IKLH masih tetap bisa dipertahankan sebagai indikator lingkungan hidup. Namun demikian penyempurnaan terhadap variabel dan metode perhitungan IKLH yang ada saat ini harus dilakukan Penyempurnaan yang krusial adalah terkait dengan penggunaan komponen yang mudah diinterpretasikan dan informatif. Dengan kata lain skor IKLH harus memberikan informasi lingkungan yang mudah kepada pengambil kebijakan dan penjelesan terhadap komponen pembentuk IKLH yang bisa dikaitkan dengan program pembangunan. Sebagai contoh jika skor IKLH 60, bagaimana skor ini diinterpretasikan secara mudah dan komponen apa saja yang menyebabkan skor 60 tersebut sehingga intervensi kebijakan (misalnya apakah kualitas udara yang buruk atau tutupan hutan yang kurang) dapat dilakukan melalui komponen tersebut. Penyempurnaan IKLH ini menyangkut penggunaan indikator kinerja lingkungan yang terkait dengan hulu dan hilir atau input proses dan output, atau bisa saja terkait dengan komponen stock dan flow dari sumber daya alam dan lingkungan.
56
PDRB hijau atau semi hijau masih tetap relevan untuk digunakan karena akan menunjukkan bagaimana deplesi dan degradasi SDAL berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian diperlukan protokol atau metode baku terkait dengan perhitungan deplesi dan degradasi (memerlukan teknik valuasi ekonomi) yang mudah dilakukan dan mudah diinterpretasikan oleh pengambil kebijakan. Protokol ini juga akan memudahkan daerah untuk mengumpulkan data untuk menghitung PDRB hijau daerah tersebut. Mengembangkan indikator yang lebih komprehensif seperti Indeks Pembangunan Hijau (IPH) dan Green rating atau Dashboard Sustainbility Index (DSI). Oleh karena memerlukan tahapan yang memerlukan proses pembelajaran, indikator-indikator tersebut bisa saja sementara ini menjadi indikator komplemen Indikator yang bersifat “low hanging fruit” atau mudah untuk dilaksanakan sebagai indikator komposit pembangunan berkelanjutan adalah Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB). Indeks ini relatif mudah dilaksanakan dan diinterpretasikan, namun memerlukan kesepakatan terkait dengan target keluaran indeks ekonomi seperti target pertumbuhan ekonomi. Diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan untuk mengembangkan indikator di daerah sehingga setiap daerah akan memiliki insentif untuk menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan
57
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana dan Yusuf. 2007. Assessing Indonesia's sustainable development: long-run trend, impact of the crisis, and adjustment during the recovery period. MPRA Paper No. 1736. February 2007 Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2008 (Perbaikan dari Laporan tahun 2009).Jakarta : BPS Badan Pusat Statistik. 2012. Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2007-2011. Jakarta: BPS Bappenas. 2013. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta: Bappenas DANIDA. 2012. Methodology Development of Green GDP And Green GRDP For Indonesia. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta : Gramedia. Fauzi A. 2007. Economic of Nature’s Non Convexity: Reorientasi Pembangunan Ekonomi Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia [Orasi Ilmiah]. Disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 10 November 2007. Fauzi A. 2009. Rethinking Pembangunan Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.Artikel dalam buku Orange Book: Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Editor Rina Oktaviani, dkk. Bogor: IPB Press. Fauzi A. 2012. Ekonomi Hijau untuk Bumi.Harian Kompas, 7 Juli 2012 Gustami. 2012. Indonesiian Experiience in Developing Sustainable Development Indicator. Genewa. 6 Desember 2012 Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2010. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2009. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2011. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2012. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2011. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH Leitman.Et. al. 2009.Investing in a More Sustainable Indonesia: Country Environment Analysis.CEA Series East Asia and Pacific Region.Washington DC: The World Bank Rustiadi E., S. Saefulhakim, D.R. Panuju. 2009. Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Wilayah, Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia World Bank. 2006. Where is the Wealth of Nation? Measuring Capital for 21st Century.Washington DC: The World Bank.
58