PEMBANGUNAN KESETARAAN GENDER BACKGROUND STUDY RPJMN iii (2015 – 2019) DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, DAN PERLINDUNGAN ANAK BAPPENAS
Australia Indonesia Partnership for Economic Governance
Bekerja Sama Dengan:
Didukung Oleh:
TAHUN ANGGARAN 2013
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) ISBN 978-602-19591-1-4 ©2013 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Diterbitkan dan diperbanyak oleh:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Penyusun: Penanggung Jawab: Nina Sardjunani (Deputi Meneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan) Ketua Pelaksana:
Tim Penulis:
Sanjoyo (Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak-Bappenas)
- Koordinator & Penyunting: Fithriyah - Wakil Koordinator: - Anggota:
- Pendukung:
Aini Harisani
Susiati Puspasari (Tenaga Ahli-Bappenas), Yulfita Raharjo (AIPEG), Hana Satriyo (The Asia Foundation), Novi Anggriani (The Asia Foundation), Yulia Immajati (The World Bank), Dwi Faiz (UN Women), Henny Irawati (Tenaga Ahli-UN Women), Syafirah Hardani (KPAN) Fitriati Peni Palupi, Dani Ramadan
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkah dan hidayah-Nya sehingga kajian “Pembangunan Kesetaraan Gender: Background Study RPJMN III (2015-2019)” ini dapat diselesaikan. Sebagaimana telah diketahui, Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan salah satu dari tiga pengarusutamaan, yang merupakan prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II (2010-2014). RPJMN tersebut juga mencantumkan tiga isu/kebijakan nasional terkait pengarusutamaan gender, yaitu: 1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan; 2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan; dan 3) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, PUG dalam pembangunan merupakan strategi yang digunakan untuk mengintegrasikan isu-isu gender yang disebabkan oleh kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta dalam berpartisipasi, dan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan. Penerapan pengarusutamaan gender ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, yang merupakan salah satu tujuan pembangunan dalam UUD 1945.
Sehubungan dengan akan berakhirnya RPJMN II dan akan disusunnya RPJMN III pada tahun 2014, maka menjadi tantangan bagi Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak untuk mampu mengaitkan berbagai prioritas nasional sebagaimana tertuang dalam UU No 17 tahun 2007, perkembangan dan permasalahan pembangunan hingga RPJMN II, serta tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini, untuk dapat dipertimbangkan dalam perumusan RPJMN III (2015-2019); dengan memperhitungkan pula aspek dinamika internal, aspek daerah, aspek global serta antisipasi ke depan yang diperkirakan berpotensi untuk berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia pada periode 2015-2019. Untuk itu, disusunlah background study Pembangunan Kesetaraan Gender yang merupakan bagian dari proses penyiapan rancangan RPJMN III (2015-2019) ini.
Untuk itu, ucapan terima kasih kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kajian ini: para mitra pembangunan yang telah memberikan dukungan finansial dan substansi, yaitu Ibu Yulfita Raharjo (pakar gender-AIPEG), DFATD-Canada, The Asia Foundation, The World Bank, dan UN Women, serta KPAN yang telah memberikan dukungan substansi terkait isu gender dalam HIV/AIDS. Di samping itu, terima kasih kami sampaikan pula kepada BPS, KPP&PA, dan K/L lainnya yang terkait, serta keempat pemerintah provinsi (Bali, Jateng, Kalteng, dan Papua); Ibu Susiati Puspasari yang telah membantu pelaksanaan kajian ini sebagai tenaga ahli; dan juga kepada seluruh pihak terkait yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu di sini, Sdr. Sanjoyo selaku Direktur Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak, serta para anggota Pelaksana/Tim Teknis, dan Tenaga Pendukung; khususnya Sdri. Fithriyah, selaku motor penggerak yang telah mengoordinasikan kajian ini sejak awal hingga akhir, dibantu oleh Sdri. Aini Harisani sebagai pelaksana kajian tersebut, serta didukung oleh Sdri. Fitriati Peni Palupi dan Sdr. Dani Ramadan. Akhir kata, semoga hasil kajian yang belum sempurna ini dapat bermanfaat dalam penerapan Pengarusutamaan Gender di berbagai tahapan dan bidang pembangunan pada periode RPJMN III, baik untuk tingkat nasional, maupun di daerah.
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................................................................ iv DAFTAR TABEL .................................................................................................................................... v DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR .................................................................................................... vi DAFTAR ISTILAH ................................................................................................................................. viii ABSTRAK ............................................................................................................................................... xi BAGIAN I LATAR BELAKANG BACKGROUND STUDY RPJMN BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II KERANGKA KERJA BACKGROUND STUDY .................................. 7 BAGIAN II BIDANG PRIORITAS DAN STRATEGIS PENINGKATAN KESETARAAN GENDER BAB III PENDIDIKAN ............................................................................................. 13 BAB IV KESEHATAN ............................................................................................... 28 BAB V KETENAGAKERJAAN .............................................................................. 40 BAB VI HUKUM ......................................................................................................... 57 BAB VII POLITIK ........................................................................................................ 62 BAGIAN III LINTAS BIDANG PENINGKATAN KESETARAAN GENDER BAB VIII PERLINDUNGAN TERHADAP BERBAGAI TINDAK KEKERASAN ............................................................................. 73 BAB IX KEMISKINAN .............................................................................................. 89 BAB X PERUBAHAN IKLIM .................................................................................. 97 BAGIAN IV KELEMBAGAAN PUG BAB XI EVALUASI REVIEW PUG ........................................................................ 107 BAB XII PENERAPAN PUG: KEMENTERIAN/LEMBAGA ......................... 111 BAGIAN V PENUTUP BAB XIII REKOMENDASI PROGRAM DAN KEBIJAKAN RPJMN 2015-2019 ................................................................................... 125 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 163 LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Tema dan Topik Temu Pakar (Expert Group Meeting/EGM) ............................................... 169 LAMPIRAN 2. Tema dan Topik Seminar Serial .......................................... 177
iv
DAFTAR TABEL
TABEL 1. Indikator Hasil Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender ................... 5 TABEL 2. Capaian Indikator Utama Pembangunan Pendidikan .......................................... 13 TABEL 3. Jumlah Siswa Menurut Jenis Ketunaan Tiap Provinsi Sekolah Luar Biasa Negeri + Swasta, Tahun 2010/2011 .................................... 25 TABEL 4. AKBa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Wilayah ..................................................... 36 TABEL 5. Persentase Balita Menurut Status Gizi dan Daerah (2003-2005), dan Menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin (2007-2010) ................................ 36 TABEL 6. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 2004 - 2013 ............................................................................................................. 41 TABEL 7. Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Kegiatan dan Jenis Kelamin .................... 42 TABEL 8. TKI Berdasarkan Jenis Pekerjaan (2007-2012) .................................................... 54 TABEL 9. Negara Terbanyak Penerima TKI Sektor Informal ............................................... 55 TABEL 10. Undang-undang terkait Gender di Indonesia, hingga Periode RPJMN II ..... 57 TABEL 11. Jumlah Korban dan Pelaku menurut Jenis Kelamin dan Umur ........................ 85 TABEL 12. Pelaku TPPO yang berada di Lapas Tahun 2012 .................................................... 85 TABEL 13. Jumlah total korban TPPO (dewasa dan anak) yang mendapatkan Pelayanan dari RPSA Kemensos sejak tahun 2004 sampai dengan 2011 .......................... 86 TABEL 14. Korban TPPO yang mendapatkan Pelayanan dari Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Kemensos Tahun 2012 (berdasarkan jenis kelamin) ................. 87 TABEL 15. Korban TPPO yang Mendapatkan Layanan Melalui Fasilitas dari International Catholic Migration Commission (ICMC) Tahun 2012 ............................................. 87 TABEL 16. Garis Kemiskinan dan Perubahannya menurut Daerah ......................................... 91 TABEL 17. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat/ PNPM Mandiri dan Penerima Manfaatnya......................... ......................................... 94 TABEL 18. Ketersediaan Air Permukaan Nasional ........................................................................... 99
v
DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR BAGAN 1. Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dalam RPJPN 2005-2025 & RPJMN 2010-2014 ................................................ 2 GAMBAR 1. Kerangka Pikir Background Study RPJMN 2015-2019 Kesetaraan Gender ........................................................................................................ 8 GAMBAR 2. Alur Penyusunan Background Study RPJMN III-Kesetaraan Gender ........ 10 GAMBAR 3. Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun Ke Atas ................................... 14 GAMBAR 4. Persentase Buta Aksara Penduduk 15 Tahun Ke Atas ................................... 14 GAMBAR 5. Angka Partisipasi Murni (APM) menurut Jenjang Pendidikan, 2009-2012 ......................................................................................................................... 15 GAMBAR 6. Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Di 20 Persen Ke Bawah Menurut Jenis Kelamin, dan Ijazah/STTB Tertinggi yang Diperoleh ....... 16 GAMBAR 7. Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 7-12 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah dan Putus Sekolah di SD .................................... 17 GAMBAR 8. Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 13-15 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah, Putus Sekolah di SD, dan Putus Sekolah di SMP ................................................................................................................................ 17 GAMBAR 9. Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun yang Belum Pernah Bersekolah atau Tidak Sekolah Lagi di Bawah Garis Kemiskinan ........... 18 GAMBAR 10. Jarak Sarana Pendidikan Berdasarkan Kategori Daerah .............................. 19 GAMBAR 11. Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2005/2006 ......................... 21 GAMBAR 12. Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2011/2012 ......................... 22 GAMBAR 13. Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Tahun 2010/2011 ......... 23 GAMBAR 14. Kecenderungan Angka Kematian Ibu (AKI), 1991-2007 ............................. 29 GAMBAR 15. Karakteristik Ibu Meninggal ................................................................................... 30 GAMBAR 16. Penolong Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan, 1995-2011 ........................... 30 GAMBAR 17. Perkiraan Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan di Indonesia (2010) .................................................................................................... 31 GAMBAR 18. Ibu Mendapat Penjelasan Tanda Bahaya Kehamilan .................................... 32 GAMBAR 19. Tren Angka Kematian Balita (AKABa) dari tahun 1997 hingga 2007 ......... 34 GAMBAR 20. Angka Kematian Balita Menurut Provinsi, 2002 dan 2007 (per 1.000 kelahiran hidup) ................................................................................... 34 vi
GAMBAR 21. Persentase Balita Menurut Status Gizi,2003-2010 ...................................... 36 GAMBAR 22. Jumlah Kasus HIV & AIDS di Indonesia 2005 – Juni 2012 ....................... 37 GAMBAR 23. Persentase Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008 - 2012 ...................................................................................................... 38 GAMBAR 24. Persentase Penduduk Usia Kerja (15 Tahun Ke Atas) yang Termasuk Angkatan Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kegiatan (2009-2011) ............. 42 GAMBAR 25. Rata-rata Upah/Gaji Bersih (Rupiah) Buruh/Karyawan/Pegawai Selama Sebulan menurut Jenis Kelamin, 2005-2012 .................................... 44 GAMBAR 26. Rata-rata Lama Jam Kerja Menurut Jenis Kelamin (2010-2012) ............ 45 GAMBAR 27. Tingkat Upah (%) Menurut Jenis Kelamin (2010-2012) ............................ 45 GAMBAR 28. Persepsi Pekerja tentang Diskriminasi di Perusahaan ................................ 46 GAMBAR 29. Jumlah Pekerja Formal dan Informal menurut Jenis Kelamin (2010 dan 2012) .......................................................................................................... 48 GAMBAR 30. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Seminggu yang Lalu menurut Tingkat Pendidikan, Jenis Kelamin dan Sektor Pekerjaan, Tahun 2011 ....................................................................... 50 GAMBAR 31. Persentase Pekerja Yang Tidak Dibayar (unpaid worker) ........................... 51 GAMBAR 32. Jumlah TKI Sektor Formal dan TKI Sektor Informal (2008-2012) ........ 52 GAMBAR 33. Persentase TKI Formal dan TKI Informal (2008-2012) ............................. 52 GAMBAR 34. Jumlah TKI Menurut Jenis Kelamin (2006-2012) .......................................... 53 GAMBAR 35. Persentase Lima Permasalahan Terbesar TKI, Tahun 2012 ..................... 55 GAMBAR 36. Proporsi Keterwakilan Laki-laki dan Perempuan di DPR .......................... 62 GAMBAR 37. Representasi Perempuan dalam DPR dan DPRD Hasil Pemilu 2009 ......... 63 GAMBAR 38. Persentase Menteri, Bupati/Wali Kota, gubernur, Lurah/ Kepala Desa Menurut Jenis Kelamin 2010 (Eksekutif) ............................... 64 GAMBAR 39. Persentase PNS (Eksekutif) Tingkat K/L menurut Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin 2012/2013 ............................................................................... 64 GAMBAR 40. Jumlah Pejabat (berdasarkan pangkat) POLRI di Markas Besar POLRI Menurut Jenis Kelamin (2010) ............................. 64 GAMBAR 41. Jumlah Jaksa di Kejaksaan RI Menurut Jenis Kelamin .................................. 65 GAMBAR 42. Keterwakilan Perempuan dalam Fraksi di DPR (2009) ............................... 67 GAMBAR 43. Persentase PNS Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin ........... 69 GAMBAR 44. Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan 2001-2012 ....................... 73 GAMBAR 45. Kasus kekerasan berdasarkan ranah .................................................................. 74 GAMBAR 46. Rekapitulasi data hasil PODES 2011 untuk TPPO .......................................... 83 GAMBAR 47. Jumlah Korban dan Kasus TPPO (2011-2013) ............................................... 85 GAMBAR 48. Jumlah Pelaku Tertangkap dan Pelaku Terpidana ......................................... 85 GAMBAR 49. Jumlah Kasus TPPO yang ditangani Kejaksaan Agung (2004-2012) ..... 86 GAMBAR 50. Prosentase angka kemiskinan di ASEAN dengan ukuran kemiskinan $1,25/hari ............................................................................................... 89 GAMBAR 51. Tren Jumlah (juta orang) dan persentase Penduduk Miskin .................... 90 vii
GAMBAR 52. Karakteristik Rumah Tangga Miskin menurut Daerah dan Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga, 2006 dan 2012 ........................ GAMBAR 53. Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga (2002-2011) ................................................................... GAMBAR 54. Pemanfaat PNPM Mandiri (2007-2012) ........................................................... GAMBAR 55. Sebaran Kejadian Bencana dan Akumulasi Jumlah Korban Meninggal ...... BAGAN 2. Ketersediaan Air Baku dan Penggunaannya ................................................... GAMBAR 56. Jenis Sumber Air ........................................................................................................... GAMBAR 57. Emisi karbon per sektor secara nasional ...........................................................
viii
91
92 95 98 100 101 103
DAFTAR ISTILAH AKI APM ARG ASEAN Bappenas BKN BPS CEDAW GDI GII HDI HDR IDG IKG IKKG IKPUG ILO Inpres IPG K/L KDRT Kejakgung Kemendagri Kemenag Kemensos Kemlu Keppres Komnas Perempuan KPP&PA KPU LSM MA MDGs MTEF Ormas P2TP2A PDB Pergub Permendagri
: Angka Kematian Ibu : Angka Partisipasi Murni : Anggaran Responsif Gender : Association of Southeast Asian Nations : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Badan Kepegawaian Nasional : Badan Pusat Statistik : Committee on the Elimination of Discrimination Against Women : Gender-related Development Index : Gender Inequality Index : Human Development Index : Human Development Report : Indeks Pemberdayaan Gender : Indeks Ketidaksetaraan Gender : Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender : Indikator Kelembagaan Pengarusutamaan Gender : International Labour Organization : Instruksi Presiden : Indeks Pembangunan Gender : Kementerian/Lembaga : Kekerasan dalam Rumah Tangga : Kejaksaan Agung : Kementerian Dalam Negeri : Kementerian Agama : Kementerian Sosial : Kementerian Luar Negeri : Keputusan Presiden : Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak : Komisi Pemilihan Umum : Lembaga Swadaya Masyarakat : Mahkamah Agung : Millenium Development Goals : Medium Term Expenditure Framework : Organisasi Kemasyarakatan : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak : Pendapatan Domestik Bruto : Peraturan Gubernur : Peraturan Menteri Dalam Negeri ix
Polri PPRG PUG Renja Renstra Repeta RKA-K/L RKPD RPJMD RPJMN RPJPN RPSA RPTC RSU/RSUD RTD S1/S2/S3 Sakernas Satgas SD SDKI SDM SK SKPD SLTA SLTP SMA SMK SMP Susenas TPAK UN UNDP UN WOMEN UPPA UU WCC
: Kepolisian Republik Indonesia : Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender : Pengarusutamaan Gender : Rencana Kerja : Rencana Strategis : Rencana Pembangunan Tahunan : Rencana Kerja dan Anggaran K/L : Rencana Kerja Pembangunan Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional : Rumah Perlindungan Sosial Anak : Rumah Perlindungan Trauma Center : Rumah Sakit Umum/ Rumah Sakit Umum Daerah : Round-Table Discussion : Strata 1/Strata 2/Strata 3 : Survai Angkatan Kerja Nasional : Satuan Tugas : Sekolah Dasar : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia : Sumber Daya Manusia : Surat Keputusan : Satuan Perangkat Kerja Daerah : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Sekolah Menengah Atas : Sekolah Menengah Kejuruan : Sekolah Menengah Pertama : Survai Sosial Ekonomi Nasional : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja : United Nations : United Nations Development Programs : United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (di Polda dan Polres) : Undang-undang : Women Crisis Center
x
ABSTRAK
Pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, termasuk anak-anak maupun dewasa. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women), yang tertuang di dalam UU No. 7 Tahun 1984. Tujuan dari berbagai kerangka hukum ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-20251. Sasaran kebijakan RPJPN 2005-2025 dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) I periode 2004-2009, RPJMN II periode 2010-2014, dan seterusnya. Selanjutnya RPJMN tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan perencanaan tahunan, yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Salah satu dari delapan arah RPJPN 20 tahun tersebut adalah mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Arahan ini selanjutnya dijabarkan menjadi lima sasaran, yang salah satunya adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Sedangkan masalah, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender dalam pembangunan di RPJPN 2005-2025 (UU No. 17/2007) pada RPJMN II ini selanjutnya diuraikan di dalam Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan statistik gender. Permasalahan besar yang dihadapi dalam pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yaitu masih terdapatnya kesenjangan gender di berbagai bidang. Hal ini tercermin pada masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, termasuk meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, yang disebabkan oleh: (i) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (ii) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (iii) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Memperhatikan uraian di atas, maka pada tahun 2013 ini Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak melaksanakan background study, yang merupakan bagian dari proses awal penyiapan rancangan RPJMN 2015-2019. Tujuan background study ini adalah menyusun rumusan kebijakan, prioritas, program, dan kegiatan prioritas pembangunan terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sebagai bahan masukan bagi penyusunan RPJMN III periode tahun 2015 – 2019, khususnya terkait Kesetaraan Gender. Adapun hasil yang diharapkan dari background study ini adalah dokumen usulan rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender dalam Rencana RPJMN III periode tahun 2015 – 2019, yang mencakup: (1) Hasil analisis dari baseline: kebijakan, program, dan pelaksanaan 1
UU No. 17 Tahun 2007.
xi
pembangunan di bidang kesetaraan gender pada RPJMN II yaitu periode 2010-2014; (2) Identifikasi permasalahan dan lessons learned pelaksanaan pembangunan bidang kesetaraan gender pada masa RPJMN I dan II (pada bidang-bidang pembangunan tertentu sebagai sampel); (3) Hasil analisis kebijakan, program, dan pelaksanaan pembangunan di bidang kesetaraan gender pada Rencana RPJMN II yaitu periode 2010-2014; (4) Hasil reviu peraturan perundang-undangan yang relevan, baik pusat dan daerah; (5) Kerangka konsep pembangunan kesetaraan gender yang dikaitkan dengan bidang–bidang lain yang relevan, khususnya bidang sumber daya manusia, seperti kependudukan, kemiskinan, pendidikan serta kesehatan untuk RPJMN; serta (6) Rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender sebagai bahan masukan bagi penyusunan RPJMN III tahun 2015 – 2019. Ruang lingkup background study ini adalah: 1) penjabaran visi, misi, dan arah pembangunan dalam RPJPN tahun 2005–2025; 2) reviu dan analisis kebijakan dan pelaksanaan RPJMN II tahun 2010-2014 bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang dikaitkan dengan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang relevan; 3) analisis situasi: peluang, tantangan, hambatan, dan potensi; 4) studi literatur, pengumpulan data dan informasi gender (PDIG); 5) temu pakar yang melibatkan pakar dari perguruan tinggi, organisasi profesi, narasumber dari instansi pemerintah di pusat dan daerah, serta masyarakat; dan 6) lingkup provinsi sampel: Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Papua. Keempat provinsi tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi Indonesia sebagai masukan dalam kajian ini. Metode penyusunan background study ini terbagi tiga tahapan, antara lain: Pertama, tahap pengumpulan data terkait capaian pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pada RPJMN I dan II dengan melihat indikator-indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan (berdasarkan kondisi saat ini, komitmen nasional/internasional, hasil evaluasi, dan tingkat urgensinya untuk ditangani pada lima tahun mendatang) ke dalam 4 kelompok isu gender, yaitu: prioritas, strategis, elemental/ mendasar, dan yang sedang mengemuka (emerging)-yaitu isu-isu yang sedang/akan muncul dan diperkirakan akan berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kedua, yaitu analisis dari hasil tahap pertama tersebut. Analisis ini dilakukan dalam 3 langkah, yaitu pengumpulan data dan fakta situasi dan kondisi saat ini, analisis penyebab tak langsung, dan akar permasalahan. Tahap ini dilakukan melalui serangkaian temu pakar, diskusi kelompok terfokus, dan seminar serial di tingkat nasional, serta seminar daerah. Ketiga, yaitu penyusunan rekomendasi kebijakan untuk RPJMN III, berdasarkan hasil dari tahap 1 dan 2 di atas. Rekomendasi. Background study ini merekomendasikan 9 (sembilan) fokus untuk RPJMN III (2015-2019) Kesetaraan Gender. Fokus-fokus tersebut adalah: i) bidang pendidikan; ii) bidang kesehatan; iii) bidang ketenagakerjaan; iv) bidang hukum; v) bidang politik; vi) lintas bidang perlindungan terhadap berbagai tindak kekerasan; vii) lintas bidang kemiskinan; viii) lintas bidang perubahan iklim; dan ix) kelembagaan PUG. Kesembilan fokus ini bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan menuju kesetaraan gender, dalam rangka mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Selanjutnya kesembilan fokus ini dijabarkan ke dalam kegiatan dan indikator dari berbagai instansi pelaksana terkait.
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
1
BAB I PENDAHULUAN Pembangunan di Indonesia pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan rakyat Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Hak warga negara Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidupnya merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.2 Pemenuhan HAM termasuk hak asasi perempuan, tercantum di dalam Undang-undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women), yang tertuang di dalam UU No. 7 Tahun 1984.
Tujuan dari berbagai kerangka hukum ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-20253. Sasaran kebijakan RPJPN 2005-2025 dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) I periode 2004-2009, RPJMN II periode 2010-2014, dan seterusnya. Selanjutnya RPJMN tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan perencanaan tahunan, yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Salah satu dari delapan arah RPJPN 20 tahun tersebut adalah mewujudkan bangsa Indonesia yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Arahan ini selanjutnya dijabarkan menjadi lima sasaran, yang salah satunya adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Sedangkan masalah, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender dalam pembangunan di RPJPN 2005-2025 (UU No. 17/2007) pada RPJMN II ini selanjutnya diuraikan di dalam Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Dasar pertimbangan memasukkan arah, strategi, dan sasaran kebijakan Pembangunan Kesetaraan Gender ke dalam RPJPN 2005-2025 dan RPJMN 2010-2014 adalah: 1) kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh hak, kesempatan dan tanggung jawab dalam pembangunan merupakan wujud dari penghormatan terhadap hak asasi dan pemenuhan asas keadilan sosial; dan 2) kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan prasyarat sekaligus menjadi indikator yang efektif dalam pembangunan yang berkelanjutan, dengan selalu mempertimbangkan penghapusan kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan.
Kesetaraan gender bukan berarti memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama, melainkan mewujudkan perlakuan yang adil bagi laki-laki dan perempuan, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Secara kualitatif, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender ditujukan untuk secara sistematis menjawab berbagai isu ketidaksetaraan gender yang terdapat di berbagai bidang pembangunan dan lintasbidang pembangunan. Secara kuantitatif, kesetaraan gender mengacu pada: 1) pencapaian kemampuan dasar (pendidikan, kesehatan, dan ekonomi) yang merata bagi laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari prioritas pembangunan; dan 2) meningkatkan keseimbangan keterwakilan perempuan dalam ranah pengambilan 2 3
UUD RI Pasal 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, dan 28H. UU No. 17 Tahun 2007.
2
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
keputusan. Pengukuran pencapaian kesetaraan gender secara umum dapat dilihat melalui indikator komposit yaitu Indikator Ketidaksetaraan Gender (Gender-inequality Index-GII).4 BAGAN 1. Pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dalam RPJPN 2005-2025 & RPJMN 2010-2014
Pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan statistik gender. Sejak RPJMN I dan II, PUG ditetapkan sebagai salah satu strategi dalam pembangunan nasional.5 Strategi tersebut juga tertuang dalam dokumen perencanaan tahunan, yaitu 4
GII (UNDP) mengukur ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki di dalam pembangunan, dengan fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik dan pengambilan keputusan (jabatan publik). 5 Strategi Nasional Percepatan PUG melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) telah disahkan melalui Surat Edaran 4 (empat) menteri, yaitu Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 1 November 2012.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
3
RKP. Strategi PUG ini digunakan untuk memastikan penghapusan kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta berpartisipasi dan mengontrol proses pembangunan, penguasaan dalam akses sumber daya pembangunan, termasuk informasi, teknologi, finansial, dan sebagainya. Strategi PUG dilakukan dengan cara mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di berbagai bidang, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pemantauan, dan evaluasi pembangunan.
Adapun prioritas dalam RPJMN III (2015-2019) sebagaimana tercantum di dalam RPJPN 2005-2025 adalah: RPJMN III berlandaskan pada pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJMN II, serta ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang, dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas, serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Sedangkan untuk prioritas pembangunan SDM, diarahkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kemajuan Peningkatan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan
Perspektif gender diterapkan dalam proses pembangunan secara implisit maupun eksplisit, dan berjalan dalam proses kesepakatan global yang berkesinambungan.6 Meskipun promosi prinsip kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah terlebih dahulu masuk ke dalam agenda pembangunan, akan tetapi baru dinyatakan secara lebih kongkrit dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995. Hasil dari konferensi yang dikenal sebagai Beijing Platform for Action (BPFA) tersebut menetapkan PUG sebagai strategi pembangunan negara. Pemerintah Indonesia mengadopsi deklarasi dan platform tersebut untuk upaya-upaya yang bertujuan mengatasi hambatan terhadap kesetaraan gender, agar penduduk perempuan –sebagaimana halnya penduduk laki-laki– dapat berpartisipasi aktif dalam semua bidang pembangunan, terutama 12 bidang kritis yang telah disetujui untuk ditangani secara sistematis.7
6
Berbagai kesepakatan global tersebut antara lain: Konvensi Hak Politik Perempuan Indonesia diratifikasi melalui UU 68/1958; CEDAW diratifikasi melalui UU 7/1984; hak pekerja Indonesia diratifikasi Konvensi ILO No. 100/1957 tentang remunerasi yang sama untuk pekerjaan yang sama bagi perempuan dan laki-laki; Indonesia juga setuju untuk menjalankan rekomendasi dari Deklarasi Kopenhagen tentang Pembangunan Sosial (1994) dan Kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Demography/ICPD) di Kairo 1994. 7 Ke-12 bidang kritis itu adalah: 1) perempuan dan kemiskinan; 2) pendidikan dan pelatihan yang tidak merata dan tidak memadai; 3) ketidaksetaraan dalam status kesehatan dan ketimpangan akses dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai; 4) kekerasan terhadap perempuan; 5) dampak konflik (bersenjata) terhadap perempuan; 6) ketimpangan akses dan partisipasi perempuan dalam struktur dan kebijakan ekonomi serta proses produksi; 7) ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan di semua tingkatan; 8) kurangnya mekanisme di semua tingkatan untuk mempromosikan kemajuan perempuan; 9) kurangnya kesadaran dan komitmen internasional dan nasional mengakui hak-hak asasi perempuan; 10) kurangnya mobilisasi media massa untuk mempromosikan kontribusi positif perempuan kepada masyarakat; 11) kurangnya pengakuan dan dukungan yang memadai terhadap peran perempuan dalam mengelola sumber daya alam dan pelestarian lingkungan; dan 12) perlindungan bagi anak perempuan terhadap berbagai tindak diskriminasi.
4
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Pada tahun 2000, Indonesia mengadopsi kesepakatan baru yang tertuang dalam Deklarasi Milenium PBB dengan delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 20158. Keterkaitan antara Landasan Aksi Beijing (BPFA) dengan Deklarasi MDGs adalah BPFA menyediakan agenda untuk pencapaian hak asasi perempuan, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan; yang selanjutnya menjadi pedoman yang komprehensif untuk pencapaian tujuan MDGs yang responsif gender.
Akan tetapi pada tingkat teknis, keterkaitan antara BPFA dengan tindakan untuk mencapai tujuan MDGs tidak cukup jelas. Perspektif gender tidak tecermin baik ke dalam tujuan, target dan indikator MDGs; tidak juga secara eksplisit terintegrasi ke dalam strategi maupun perencanaan untuk mencapai tujuan. Dalam MDGs, gender tercantum dalam Tujuan 3, yang berbunyi “mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.” Pernyataan ini dapat menimbulkan pemahaman bahwa gender pada Tujuan 3 tersebut merupakan tujuan MDGs yang berdiri sendiri. Dari sisi pengarusutamaan gender, perspektif gender seharusnya diarusutamakan ke dalam semua tujuan MDGs (tidak hanya pada Tujuan 3 saja), dan terintegrasi di dalam tujuan, analisis target, dan indikator. Beberapa negara memasukkan perspektif gender saat mereviu pelaksanaan MDGs, antara lain dengan menggunakan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan menggunakan analisis gender untuk laporan reviunya. Indonesia menyelaraskan tujuan kesepakatan BPFA dan MDGs terkait Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan ke dalam prioritas nasional dan indikator terkait, antara lain ke dalam Pengarusutamaan Gender (PUG) pada RPJMN II (Buku II-Bab I), yang menyebutkan bahwa gender merupakan salah satu prinsip yang harus diarusutamakan ke dalam semua program dan kegiatan di berbagai bidang pembangunan nasional.
Selanjutnya dilakukan inisiatif percepatan PUG yang didefinisikan sebagai pengintegrasian PUG ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran nasional, yang kemudian diikuti di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Sesuai dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka RPJPN, RPJMN, dan RKP menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah dalam perumusan RPJPD, RPJMD, RENSTRA K/L/SKPD, RKPD, RENJA K/L/SKPD, dan RKA K/L/SKPD.
Inisiatif ini kemudian disebut Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas No. KEP.30/M.PPN/HK/03/2009, bersamaan dengan diterapkannya reformasi sistem keuangan negara. Reformasi sistem keuangan ini membuka ruang untuk mengintegrasikan PPRG ke dalam sistem penganggaran nasional melalui dokumen anggaran K/L. Sebagai langkah awal dari inisiatif ini, PPRG diujicobakan pada 7 K/L, yaitu: Kementerian PU, Kementan, Kemenkes, Kemendiknas, Kemenkeu, KPP&PA, dan Bappenas. Sampai dengan tahun 2012, PPRG telah dilakukan di 34 K/L dan diujicobakan di 10 pemda provinsi. Di awal tahun 2013, Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG diluncurkan melalui 8
Delapan butir tujuan MDGs: 1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) menurunkan angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7) memastikan kelestarian lingkungan; dan 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
5
Surat Edaran empat menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Tahun 2015 adalah batas akhir target pencapaian 8 Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan diawalinya RPJMN III. Hingga kini telah dilakukan 3 kali evaluasi pelaksanaan PUG di RPJMN dan 3 kali review pelaksanaan MDGs, serta pelajaran yang dapat dipetik dari beberapa pilot pelaksanaan PPRG9. Dari berbagai evaluasi dan review tersebut, teridentifikasi berbagai hasil capaian dan permasalahan umum, antara lain sebagai berikut: TABEL 1. Indikator Hasil Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender
2005
2008
2007
2010
HDI 1) GII 1) IKKG
0,5488
2)
Sumber:
1) 2)
0,5236
0,793
RPJMN I (2005-2009)
0,796
2011 0,617
0,5046
RPJMN II (2010-2014)
Keterangan 0 = Semakin baik
1 = Semakin baik
HDI Report (UNDP, berbagai tahun). Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender dan Indikator Kelembagaan Pengarusutamaan Gender: Kajian Awal (Bappenas, 2012).
Hasil pembangunan sumber daya manusia Indonesia secara umum dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-HDI). HDI mengetengahkan indikator bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan, sebab kemampuan dan potensi manusia untuk berpartisipasi dalam pembangunan sangat bergantung pada ketiga aspek tersebut. Menurut HDI Report tahun 2011, nilai HDI Indonesia adalah 0,617. Namun dalam hal Gender Inequality Index (GII), nilai GII Indonesia hanya 0,5046 atau terdapat kesenjangan gender hingga 50 persen. Bila melihat tren GII dari tahun 2005, telah peningkatan yaitu terjadi penurunan kesenjangan dari 0,5488 (2005) menjadi 0,5236 (2008), lalu menurun lagi menjadi 0,5046 (2011). Sebagai perbandingan, hasil studi Bappenas tahun 2012 dengan temuan awal Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) menunjukkan telah adanya peningkatan kesetaraan gender sebesar 0,3 persen dari 0,793 pada tahun 2007, menjadi 0,796 pada tahun 201010. Dengan kata lain, terjadi peningkatan kesetaraan gender rata-rata sebanyak 0,1 persen setiap tahunnya. Dengan demikian, untuk mempercepat pencapaian kesetaraan gender akan diperlukan upaya yang lebih besar, lebih komprehensif, lebih bersinergi, serta lebih kritis dalam menganalisis berbagai permasalahan gender. Permasalahan besar yang dihadapi dalam pembangunan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan yaitu masih terdapatnya kesenjangan gender di berbagai bidang. Hal ini tercermin pada masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, termasuk meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, yang disebabkan oleh: (i) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/ kota; (ii) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan 9
10
Evaluasi yang dilaksanakan Bappenas tahun 2006; 2007, dan 2011 IKKG mencakup bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, dan aspek kekerasan.
6
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
publik, dan di bidang ekonomi; dan (iii) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Lebih jauh lagi melihat akar permasalahan kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi (Evaluasi PPRG-2011) adalah masih lemahnya kelembagaan pengarusutamaan gender, yang disebabkan oleh: (i) belum optimalnya pengintegrasian perspektif gender ke dalam penyusunan kebijakan, yang mengakibatkan masih banyaknya kebijakan yang belum merespon perspektif gender; (ii) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, yang ditandai dengan masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia, termasuk kemampuan dalam memberikan bantuan teknis pelaksanaan PUG, minimnya ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin dan penggunaannya dalam siklus pembangunan; dan (iii) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender, nilai-nilai kesetaraan gender, dan manfaat PUG dalam pembangunan, baik di pusat maupun di daerah.
Kesetaraan gender merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam kaitan itu, pembangunan nasional harus memenuhi prinsip pemenuhan hak asasi manusia dan selayaknya memberikan akses dan manfaat yang memadai bagi orang dewasa dan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, untuk berpartisipasi dalam pembangunan, untuk mendapatkan akses dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta memberikan penguasaan/kontrol terhadap sumberdaya pembangunan. Dengan demikian, PUG dalam pembangunan merupakan strategi yang digunakan untuk mengintegrasikan isu-isu gender yang disebabkan oleh kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta dalam berpartisipasi dan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan. Penerapan pengarusutamaan gender ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan.
Memperhatikan uraian di atas, maka menjadi tantangan bagi Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak untuk mampu mengaitkan berbagai prioritas nasional sebagaimana tertuang dalam UU No 17 tahun 2007, perkembangan dan permasalahan pembangunan hingga RPJMN II, serta tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan selama ini, untuk dapat dipertimbangkan dalam perumusan RPJMN III. Untuk itu, pada tahun 2013 ini Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak melaksanakan background study, yang merupakan bagian dari proses awal penyiapan rancangan RPJMN 2015-2019. Selain itu, akan diperhitungkan pula aspek dinamika internal, aspek daerah, aspek global, serta antisipasi ke depan, yang diperkirakan berpotensi untuk berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia pada periode 2015-2019.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
7
BAB II KERANGKA KERJA BACKGROUND STUDY Background Study ini merupakan bagian dari proses penyiapan rancangan RPJMN 20152019 terkait pengintegrasian gender ke dalam pembangunan nasional, yang disusun oleh Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak-Bappenas. Kajian ini akan menganalisis hasil capaian, permasalahan, dan tantangan pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang telah dilakukan, sebagai bahan analisis dan perumusan rekomendasi kebijakan dalam penyusunan RPJMN III mendatang. Tujuan kajian ini adalah menyusun rumusan kebijakan, prioritas, program, dan kegiatan prioritas pembangunan terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sebagai bahan masukan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ketiga (RPJMN III) periode tahun 2015-2019, khususnya terkait Kesetaraan Gender. Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah dokumen usulan rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ketiga (RPJMN III) periode tahun 2015-2019, yang mencakup:
1. Hasil analisis dari baseline: kebijakan, program, dan pelaksanaan pembangunan di bidang kesetaraan gender pada RPJMN II yaitu periode 2010-2014; 2. Identifikasi permasalahan dan lessons learned pelaksanaan pembangunan bidang kesetaraan gender pada masa RPJMN I dan II (pada bidang-bidang pembangunan tertentu sebagai sampel);
3. Hasil analisis kebijakan, program, dan pelaksanaan pembangunan di bidang kesetaraan gender pada Rencana RPJMN II yaitu periode 2010-2014; 4. Hasil reviu peraturan perundang-undangan yang relevan, baik pusat dan daerah;
5. Kerangka konsep pembangunan kesetaraan gender yang dikaitkan dengan bidang–bidang lain yang relevan, khususnya bidang sumber daya manusia, seperti kependudukan, kemiskinan, pendidikan serta kesehatan untuk RPJMN;
6. Rumusan kebijakan, sasaran, prioritas dan program pembangunan kesetaraan gender sebagai bahan masukan bagi penyusunan RPJMN III tahun 2015-2019.
Adapun ruang lingkup Background Study RPJMN III Kesetaraan Gender (BS RPJMN-KG) ini adalah: 1) penjabaran visi, misi, dan arah pembangunan dalam RPJPN tahun 2005–2025; 2) reviu dan analisis kebijakan dan pelaksanaan RPJMN II tahun 2010-2014 bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang dikaitkan dengan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang relevan; 3) analisis situasi: peluang, tantangan, hambatan, dan potensi; 4) studi literatur, pengumpulan data dan informasi gender (PDIG); 5) temu pakar yang melibatkan pakar dari perguruan tinggi, organisasi profesi, narasumber dari instansi pemerintah di pusat dan daerah, serta masyarakat; dan 6) lingkup provinsi sampel: Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Papua. Keempat provinsi tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi Indonesia sebagai masukan dalam kajian ini.
8
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Kerangka kerja penyusunan BS RPJMN-KG ini adalah sebagai berikut:
GAMBAR 1. Kerangka Pikir Background Study RPJMN 2015-2019 Kesetaraan Gender
1. Tahap awal, yaitu tahap pengumpulan data terkait capaian pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan pada RPJMN I dan II dengan melihat indikator-indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut kemudian dikelompokkan (berdasarkan kondisi saat ini, komitmen nasional/internasional, hasil evaluasi, dan tingkat urgensinya untuk ditangani pada lima tahun mendatang) ke dalam 4 kelompok isu gender, yaitu: prioritas, strategis, elemental/mendasar, dan yang sedang mengemuka (emerging)-yaitu isu-isu yang sedang/akan muncul dan diperkirakan akan berdampak terhadap peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kemudian ditetapkan bahwa isu-isu yang akan diprioritaskan dalam background study bidang kesetaraan gender ini terdapat pada bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan isu lintas bidang terkait kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, isu-isu yang dianggap strategis dalam pencapaian kesetaraan gender terdapat pada bidang hukum, politik, dan ekonomi, terutama terkait penanggulangan kemiskinan yang merupakan isu lintas-bidang. Permasalahan terkait penguatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender pada tingkat nasional dan daerah termasuk dalam kategori isu elemental/mendasar. Adapun permasalahan lintasbidang yang mengemuka selama beberapa tahun terakhir (emerging issues) yang dianggap berdampak terutama pada perlindungan perempuan adalah: tindak pidana perdagangan orang, dan perubahan iklim.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
9
2. Tahap kedua, yaitu analisis dari hasil tahap awal tersebut. Analisis ini dilakukan dalam 3 langkah, yaitu pengumpulan data dan fakta situasi dan kondisi saat ini, analisis penyebab tak langsung, dan akar permasalahan (lihat Gambar 2). Tahap ini dilakukan melalui serangkaian temu pakar (Expert Group Meeting/EGM), diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion/FGD), dan seminar serial di tingkat nasional, serta seminar daerah, yang meliputi 10 topik, yaitu: a. Perspektif Gender dalam Pendidikan Bagi yang Belum Terjangkau (mencakup wilayah/komunitas termiskin, wilayah tertinggal, wilayah perbatasan, difabel, dan komunitas adat terpencil). b. Percepatan Penurunan AKI, AKB dan AKABa dari perspektif gender.
c. Dampak ancaman HIV/AIDS (mencakup aspek perlindungan perempuan).
d. Isu Gender di Bidang Ketenagakerjaan (termasuk upah, status, jam kerja, pekerja migran, jaminan sosial, kekerasan, pelecehan, dll.).
e. Dampak Uncounted/Undocumented Statistics terhadap kesetaraan gender dan perlindungan perempuan (mencakup bidang ketenagakerjaan dan hukum).
f. Isu Gender dalam Hukum dan Politik: penegakan hukum secara responsif gender dan pemenuhan hak partisipasi dalam hukum dan politik. g. Tindak Pidana Perdagangan Orang. h. Isu Gender terkait Kemiskinan.
i. Dampak Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup (mencakup aspek kualitas hidup perempuan).
j. Kesetaraan Gender dari Sudut Pandang Agama dan Budaya; meliputi kualitas hidup perempuan, termasuk –tetapi tidak terbatas pada– kesetaraan gender di ruang publik seperti: partisipasi perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan politik, kekerasan dan diskriminasi. Topik ini tidak akan mendiskusikan teori budaya dan teologi.
Hasil dari berbagai pertemuan tersebut, didukung dengan studi literatur dan pengumpulan data dan informasi gender (PDIG) yang meliputi 34 K/L, menjadi gambaran kondisi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan saat ini, yang merupakan baseline untuk penyusunan RPJMN III.
3. Tahap terakhir, yaitu penyusunan rekomendasi kebijakan untuk RPJMN III, berdasarkan hasil dari tahap 1 dan 2 di atas11.
Adapun alur penyusunan BS RPJMN KG ini adalah sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
11
Untuk mempermudah pembaca melihat keterkaitan antara rekomendasi BS RPJMN KG ini dengan RPJMN II dan III , maka rekomendasi kebijakan RPJMN III tersebut disajikan per bidang, serta beberapa isu lintas bidang. Isu di satu bidang ditangani oleh beberapa Kementerian/Lembaga, sedangkan isu lintas bidang adalah isu yang harus ditangani secara simultan dari beberapa bidang terkait, yang melibatkan lintas-Kementerian/Lembaga.
10
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 2. Alur Penyusunan Background Study RPJMN III-Kesetaraan Gender
Hasil selengkapnya dari PDIG disajikan pada laporan yang terpisah. Namun, untuk hasil PDIG beberapa K/L yang terkait dengan penanganan isu-isu gender yang telah diidentifikasikan dalam BS RPJMN KG disampaikan secara singkat dalam laporan Background Study ini.
Bagian ini akan mengetengahkan bidangbidang prioritas dan strategis bagi peningkatan kesetaraan gender. Setiap Bab bidang hanya akan berfokus pada hal-hal yang dinilai akan mendorong pencapaian kesetaraan gender secara mendasar dan/atau signifikan. Dengan kata lain, tidak akan mengetengahkan semua capaian dan permasalahan bidang terkait.
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
13
BAB III PENDIDIKAN I. Dasar Hukum UUD telah menjamin hak semua dan setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali untuk mendapatkan pendidikan. Kemudian UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan mengemukakan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat yang dapat diakses oleh penduduk Indonesia. UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merinci hak dan kewajiban para tenaga didik dan pemerintah, serta semua yang berkaitan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, merupakan perundang-undangan yang terkini disahkan untuk meningkatkan pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan.
II. Pencapaian Pembangunan Pendidikan terkait Gender
UUD 1945 sangat berpihak pada pembangunan kualitas warga negara Indonesia, terutama dalam peningkatan pendidikannya dengan mengamanatkan anggaran 20 persen bagi pendidikan. Didukung oleh UUD, dan perundang-undangan lain, serta penganggaran yang sangat besar dibandingkan anggaran bidang manapun (kecuali pembayaran utang negara), tentu sangat diharapkan pencapaian yang signifikan dalam bidang pembangunan pendidikan. Berikut adalah beberapa pencapaian pembangunan pendidikan secara umum. TABEL 2. Capaian Indikator Utama Pembangunan Pendidikan
NO 1
INDIKATOR
KONDISI AWAL (2009)
3
Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (Tahun) Rata-rata Lama Sekolah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas (%) APM SD/SDLB/MI/Paket A (%)
95,5
6
APK PT Usia 19-23 Tahun (%)
21,6
2
4 5
APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B (%) APK SA/SMK/MA/Paket C (%)
Sumber: BPS, Kemendikbud
7,7
5,3
74,5 69,6
CAPAIAN
7,9
2012 (sementara) 8,0
95,4
95,6
95,7
21,6
27,1
27,4
2010 7,9
4,8
75,6 70,5
2011
4,4
77,7 76,5
4,3
75,4 79,0
Dari tabel di atas nampak bahwa pembangunan pendidikan secara umum telah menunjukkan banyak peningkatan capaian, pada semua indikator utama pendidikan untuk periode tahun 2009 sampai dengan 2011. Untuk indikator proses yaitu Angka Partisipasi Murni (APM), pada semua jenjang juga telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan pada jenjang perguruan tinggi, capaian meningkat pesat hingga sekitar 6 persen. Pada indikator output, yaitu Rata-rata Lama Sekolah, juga telah menunjukkan peningkatan lama sekolah.
14
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 3 Rata-rata Lama Sekolah Penduduk 15 Tahun ke Atas
Sumber: Kemendikbud (bahan paparan Wamen Bidang Pendidikan disampaikan pada Seminar 2 Juli 2013) GAMBAR 4 Persentase Buta Aksara Penduduk 15 Tahun ke Atas
Sumber: Kemendikbud (bahan paparan Wamen Bidang Pendidikan disampaikan pada Seminar 2 Juli 2013)
Dari grafik pertama di atas, tampak bahwa dalam hal capaian rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2010 dan 2011 telah melebihi target yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014. Hal yang sama juga terlihat pada grafik angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, yang menunjukkan bahwa persentase buta aksara telah menurun melampaui target RPJMN 2010-2014.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
15
GAMBAR 5 Angka Partisipasi Murni (APM) menurut Jenjang Pendidikan, 2009-2012
Sumber: BPS, Hasil pengolahan data Susenas Maret 2013.
Pada Gambar 5 di atas, capaian untuk indikator APM menurut jenjang pendidikan menunjukkan peningkatan pada jenjang sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Untuk jenjang pendidikan SMA, baik APM laki-laki maupun perempuan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan APM 2012 dengan APM 2009. Namun terjadi penurunan APM untuk jenjang pendidikan SD, baik APM laki-laki maupun perempuan, bila dibandingkan APM 2012 dengan APM 2009. Pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah apakah semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah terkait pendidikan telah benar-benar berlaku dan melindungi serta memenuhi hak pendidikan semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali? Berikut capaian pembangunan pendidikan secara khusus mencakup penduduk miskin dan di bawah garis kemiskinan, penduduk yang menyandang disabilitas dan/atau berkebutuhan khusus, penduduk yang berada di area terluar/terjauh/terpencil, dan penduduk dari Komunitas Adat Terpencil. Pendidikan untuk Semua (Education for All) diharapkan selain untuk memenuhi hak mendapatkan pendidikan bagi setiap penduduk Indonesia, juga untuk meningkatkan daya saing penduduk Indonesia, salah satunya dalam rangka memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015.
A. Penduduk Miskin/di Bawah Garis Kemiskinan
Data statistik nasional yang digunakan adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa data Susenas ini tidak bisa disilangkan dengan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
16
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Kemendikbud tidak membedakan sekolah yang berada di permukiman kumuh/miskin, hanya per wilayah kabupaten/kota. GAMBAR 6 Persentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas Di 20 Persen Ke Bawah Menurut Jenis Kelamin, dan Ijazah/STTB Tertinggi yang Diperoleh
Sumber: Susenas-BPS
Terjadi penurunan persentase penduduk 15 tahun ke atas (di 20 persen ke bawah) baik laki-laki maupun perempuan yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah. Pada tahun 2004, terdapat 31,96 persen penduduk laki-laki yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, sedangkan perempuan lebih banyak yaitu 41,66 persen. Lima tahun kemudian (2009), terjadi sedikit penurunan persentase penduduk yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, yaitu 31,21 persen penduduk laki-laki, sedangkan perempuan 39,69 persen. Tujuh tahun sejak RPJMN dimulai, peningkatan capaian pendidikan perlahan namun terus terjadi bagi penduduk di 20 persen ke bawah. Pada tahun 2011, terdapat 30,72 persen penduduk laki-laki yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah, sedangkan perempuan 38,69 persen. Dengan kata lain, terjadi penurunan persentase sebesar 1,24 persen pada penduduk laki-laki, dan sekitar 2,97 persen pada penduduk perempuan 15 tahun ke atas di 20 persen ke bawah (di garis kemiskinan) yang tidak pernah sekolah/tidak punya ijazah. Pada jenjang SD, terjadi penurunan persentase lagi, namun untuk jenjang SLTP ke atas terjadi peningkatan persentase. Dengan kata lain, upaya pembangunan pendidikan menengah menunjukkan adanya sedikit peningkatan capaian baik bagi penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan 15 tahun ke atas di 20 persen ke bawah (di garis kemiskinan).
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
17
GAMBAR 7 Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 7-12 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah dan Putus Sekolah di SD
Sumber: Susenas-BPS (data diolah)
Dari grafik persentase anak usia 7-12 tahun yang di bawah garis kemiskinan di atas, nampak bahwa setiap tahunnya lebih banyak anak laki-laki yang tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan. Demikian juga yang putus sekolah di SD, lebih banyak anak laki-laki. Sebaliknya, untuk tingkat SMP, lebih banyak anak perempuan yang putus sekolah. GAMBAR 8 Presentase Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Usia 13-15 Tahun yang Tidak Pernah Sekolah, Putus Sekolah di SD, dan Putus Sekolah di SMP
Sumber: Susenas-BPS (data diolah)
18
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Dari grafik persentase anak usia 13-15 tahun yang di bawah garis kemiskinan di atas, nampak bahwa setiap tahunnya hampir sama banyaknya anak laki-laki yang tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan. Namun yang putus sekolah di SD dan di SMP, setiap tahunnya lebih banyak anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Beberapa penyebab putus sekolah atau tidak bersekolah bagi penduduk miskin, antara lain adalah: i) tidak ada biaya; ii) bekerja/mencari nafkah; iii) menikah/mengurus RT; iv) merasa pendidikan cukup; v) tidak diterima; vi) sekolah jauh; dan vii) cacat. Dari grafik di bawah ini, nampak bahwa selalu lebih banyak laki-laki putus sekolah atau tidak bersekolah karena berkerja/mencari nafkah dibandingkan perempuan. Namun, selalu lebih banyak perempuan yang putus sekolah atau tidak bersekolah karena menikah/mengurus rumah tangga. Selain itu, sekitar 3-4 persen penduduk (di bawah garis kemiskinan) berumur 5-24 tahun yang belum pernah bersekolah atau tidak sekolah lagi merasa pendidikan yang dimiliki sudah cukup. Sebagai ilustrasi, Di daerah pemasok tenaga kuli bangunan dan pembantu rumah tangga yang merupakan daerah miskin, pandangan umum dari orangtua dan masyarakatnya sama, yaitu berpendidikan SD ataupun SMP akan sama saja nasibnya. Pilihan pekerjaan tetap sangat terbatas, hanya sebagai kuli bangunan/jualan keliling/buruh kasar/pekerja rumah tangga. Kesemuanya ini merupakan tantangan yang perlu dijawab untuk menekan angka putus sekolah. Kajian yang lebih mendalam mengenai motivasi pendidikan bagi penduduk miskin perlu dilakukan. GAMBAR 9 Persentase Penduduk Berumur 5-24 Tahun yang Belum Pernah Bersekolah atau Tidak Sekolah Lagi di Bawah Garis Kemiskinan
Sumber: Susenas (BPS) (data diolah)
Hal lain yang perlu menjadi pertimbangkan pemerintah di masa mendatang adalah bagaimana bentuk penjaminan pendidikan yang lebih berkelanjutan bagi penduduk miskin atau bagi anak didik yang jarak sekolahnya sangat jauh atau tidak aman. Pemberian beasiswa per tahun belum merupakan bentuk penjaminan yang baik untuk penduduk miskin atau bagi anak didik yang jarak sekolahnya sangat jauh atau tidak aman, rentan terhadap tidak
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
19
diterimanya dana pendidikan karena kesalahan penganggaran atau perubahan kebijakan birokrasi, dsb. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pengembangan skema jaminan pendidikan bagi mereka.
B. Penduduk Wilayah Tertinggal/Terluar/Terpencil
Untuk lebih memfokuskan pemetaan wilayah kemiskinan, maka digunakan data wilayah tertinggal di Indonesia. Terdapat 111 kecamatan di 38 Kabupaten di 12 provinsi (NAD, Sumut, Riau, Kep. Riau, Kalbar, Kaltim, Sulut, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Papua) yang merupakan wilayah terluar perbatasan, yang merupakan fokus penanganan pembangunan daerah tertinggal (termasuk di bidang pendidikan) hingga tahun 2014. Terdapat 183 kabupaten tertinggal yang menjadi fokus pembangunan (termasuk bidang pendidikan) daerah tertinggal pada periode 2010-2014.12 GAMBAR 10 Jarak Sarana Pendidikan Berdasarkan Kategori Daerah
Sumber : BPS 2011, data diolah dengan mengkombinasikan pemetaan kabupaten tertinggal
Idealnya, jarak maksimal menuju SD maksimal 3 kilometer dan menuju SMP maksimal 6 kilometer. Namun, pada daerah tertinggal jarak menuju SD 3 kali lebih jauh, sedangkan untuk SMP 2 kali lebih jauh dari jarak ideal.
Terkait dengan tenaga didik di wilayah tertinggal dan terpencil, baik dari segi kualitas dan kuantitas tenaga didik, maupun kesejahteraan dan perlindungan tenaga didik, terutama perlindungan tenaga didik perempuan, masih perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Secara keseluruhan, jumlah guru di Indonesia telah memadai, namun yang menjadi masalah adalah distribusi guru. Sebagian besar guru berada di perkotaan. Umumnya guru yang telah berkeluarga tidak bertahan lama ditempatkan di wilayah tertinggal dan terpencil, sebab perjalanan menuju dan kembali dari sekolah ke rumah sangat sulit dan jauh, serta membutuhkan biaya. Akomodasi dan transportasi seringkali tidak memadai dan tidak aman untuk digunakan. Kondisi geografis yang membahayakan keselamatan diri guru kadang kala juga menjadi faktor penghambat untuk bertahan mengajar. Selain itu, penerimaan gaji sering tertunda. Terlebih lagi, tidak ada pemberian kuota dan bantuan khusus bagi peningkatan kapasitas tenaga didik di wilayah tertinggal dan terpencil.
12
Materi paparan Dit. Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal-Bappenas, disampaikan pada EGM 13 Juni 2013.
20
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
C. Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas dan Kebutuhan Khusus Sebelum melihat lebih lanjut tentang pendidikan bagi penyandang disabilitas, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai disabilitas. Menurut UU No. 4 tahun 1997, penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: i) penyandang cacat fisik; ii) penyandang cacat mental; dan iii) penyandang cacat fisik dan mental. Penggunaan istilah cacat dan kecacatan mencerminkan pandangan negatif dan merendahkan terhadap penyandang disabilitas. Untuk mendorong pada pandangan yang lebih positif, dalam kajian ini digunakan istilah disabilitas dan berkebutuhan khusus.13 Selama ini, penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus selalu termarginalkan. Bahkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, hanya ada 2 pasal yang merujuk pada pendidikan bagi penyandang disabilitas. Kemudian, pada PP No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan PP perubahannya tidak menjelaskan baik secara umum -apalagi secara khusus- mengenai penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus.14
Data mengenai berapa jumlah anak usia sekolah penyandang disabilitas belum tersedia. Saat ini data penyandang disabilitas hitungan per orang berasal dari Kementerian Sosial (Kemensos). Menurut data Rekapitulasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), jumlah Penyandang Cacat adalah sebanyak 1.250.780 orang. Namun, data ini berkemungkinan bias karena cakupannya adalah untuk penduduk yang mengalami hambatan (dirugikan) dalam memenuhi kesejahteraan sosial mereka.15 Sebagai perbandingan, data Susenas 2009 menunjukkan perkiraan penyandang disabilitas sekitar 2,1 juta penduduk. Kemudian data dari Kementerian Kesehatan (Riset Kesehatan Dasar-Riskesdas 2007) diperkirakan bahwa prevalensi nasional disabilitas penduduk usia 15 tahun ke atas menurut status disabilitas, yang sangat bermasalah sekitar 1,8 persen, yang bermasalah mencapai 19,5 persen.
Pendataan penyandang disabilitas berdasarkan klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and Health (ICF) dilakukan oleh Kemensos pada tahun 2010 di 14 (empat belas) provinsi.16 Hasil pendataan menunjukkan terdapat 647.441 orang laki-laki dan 519.670 orang perempuan penyandang disabilitas di 14 provinsi cakupan (total 1.167.111 orang penyandang disabilitas). Sekitar 14,9 persen (atau 173.900 orang) dari mereka berusia 5-19 tahun, yang merupakan penduduk usia sekolah (PAUD-SMA). 13
UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Dalam Konvensi dinyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. 14 Istilah yang digunakan dalam PP No. 17 tahun 2010 dan PP No. 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan dan PP No. 66 tahun 2010 ttg perubahan terhadap PP tersebut adalah peserta didik berkelainan. 15 Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/2343354-penyandang-disabilitas-siapa-danberapa/#ixzz2lEzxHrPo 16 14 provinsi cakupan: Jambi, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
21
Kemendikbud menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa (Special School) untuk memberikan layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas atau yang sering disebut ketunaan. 3 (tiga) jenis ketunaan yang diterima SLB, yaitu: i) Tuna Daksa yang merupakan kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan (contoh: tuna netra/kerusakan fungsi penglihatan dan tuna rungu/kerusakan fungsi pendengaran); ii) Tuna Grahita yang merupakan kondisi keterbelakangan mental, atau disebut juga retardasi mental (mental retardation); dan iii) Tuna Laras yang merupakan gangguan atau hambatan atau kelainan dalam tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain itu, terkadang penyandang difabel menyandang lebih dari satu jenis kondisi, misalnya penyandang tunanetra dengan tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai dengan tunagrahita atau bahkan tunadaksa, tunarungu, dan tunagrahita sekaligus. Penyandang ganda atau multi kondisi disebut Tuna Ganda/Campuran. GAMBAR 11 Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2005/2006
Sumber: Kemendikbud (materi paparan Balitbang-Kemendikbud disampaikan pada EGM 13 Juni 2013)
22
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 12 Jumlah Siswa Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Tahun 2011/2012
Sumber: Kemendikbud (materi paparan Balitbang-Kemendikbud disampaikan pada EGM 13 Juni 2013)
Jumlah total anak didik di SLB (publik dan swasta) di 33 provinsi untuk tahun ajaran 20102011 adalah 85.542 orang. Bila membandingkan dengan estimasi penduduk usia sekolah di 14 provinsi saja yang telah mencapai lebih dari 173 ribu, maka masih sangat banyak anak usia sekolah penyandang disabilitas yang belum mendapatkan hak pendidikannya. Dari grafik di atas, nampak bahwa sejak tahun 2005/2006 hingga 2011/2012, jumlah anak didik perempuan dan laki-laki Sekolah Luar Biasa (SLB) terbanyak di Pulau Jawa. Hal ini bisa berarti: i) jumlah SLB di Pulau Jawa lebih banyak, yang berarti memudahkan bagi penyandang difabel di Pulau Jawa untuk mengakses pendidikan luar biasa; ii) jumlah penyandang difabel di Pulau Jawa lebih banyak; jumlah tenaga didik SLB lebih banyak di Pulau Jawa.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
23
GAMBAR 13 Jumlah Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Luar Biasa Negeri dan Swasta Menurut Jenis Kelamin Tiap Provinsi, Tahun 2010/2011
Sumber: Kemendikbud (materi paparan Balitbang-Kemendikbud disampaikan pada EGM 13 Juni 2013)
Namun, bila ketiga hal ini benar, berarti: akses pendidikan bagi penyandang difabel di luar Pulau Jawa sangat sulit dijangkau. Jumlah anak didik perempuan penyandang difabel selalu lebih sedikit dibandingkan jumlah anak didik laki-laki penyandang difabel di semua provinsi. Hal ini bisa berarti: jumlah anak laki-laki difabel lebih banyak dibandingkan jumlah anak perempuan difabel ATAU akses terhadap pendidikan bagi anak perempuan difabel lebih sulit. Kebutuhan dan masalah pendidikan yang dihadapi oleh difabel perempuan di perdesaan dan miskin lebih kompleks, karena menghadapi tantangan sosial yang lebih berat, budaya, geografis, dan ekonomi. Pilihan jenis-jenis keterampilan untuk pendidikan kejuruan formal maupun pendidikan non-formal masih stereotipe gender. Penentuan pilihan terhadap jenis keterampilan pun ditetapkan oleh keluarga, lingkungan/ masyarakat dan sekolah berdasarkan stereotipe gender.
Selanjutnya, penyelenggaraan pendidikan bagi perempuan penyandang disabilitas dan anak perempuan berkebutuhan khusus sangat perlu mempertimbangkan perlindungan bagi mereka, terutama dari perlakuan pelecehan seksual. Penyandang disabilitas netra, wicara, dan retardasi sangat rentan terhadap tindak pelecehan seksual di dalam dan di luar area persekolahan. Ancaman tindak pelecehan bahkan dapat datang dari sesama peserta didik disabilitas. Bila melihat jumlah keseluruhan anak didik SLB, dan dibandingkan dengan prevalensi penyandang disabilitas, maka sangat mungkin sebagian besar penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus tidak masuk ke SLB. Sebagian (sangat) kecil mungkin telah berhasil masuk ke sekolah reguler/umum/inklusi, sebagian lain mungkin mendapatkan layanan pendidikan di sentra/klinik terapi, atau di rumah (homeschooling). Namun yang lebih perlu dikuatirkan adalah sebagian (besar) tidak mendapatkan pendidikan dalam bentuk apapun, tersembunyi di rumah, dan kelak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya.
24
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Kondisi khusus yang semakin banyak disebut beberapa tahun terakhir ini adalah autisme. Autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif yang termanifestasi dalam tingkah laku yang tidak/kurang fleksibel dan tidak umum, sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kesulitan dalam mengidentifikasi penyandang autisme adalah kurangnya informasi mengenai tanda-tanda pada anak, sehingga kemungkinan hanya dianggap hiperaktif, tidak bisa konsentrasi, sulit berkomunikasi, dan bahkan kemungkinan retardasi mental. Penyandang kondisi autisme lebih banyak anak laki-laki dibanding perempuan, sedangkan guru pendamping di sekolahsekolah inklusi lebih banyak perempuan. Saat ini permintaan akan guru pendidikan khusus dan guru pendamping khusus baik di sekolah umum/negeri maupun sekolah swasta terus meningkat. Namun, ketersediaan guru pendidikan khusus dan guru pendamping khusus masih sangat terbatas. Pasokan guru pendidikan khusus dari Perguruan Tinggi sangat terbatas, kurang lebih hanya 10 perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan luar biasa. Selain itu, posisi sebagai guru pendidikan khusus dan terutama guru pendamping khusus kurang diminati baik oleh perempuan apalagi laki-laki. Penyebab utamanya adalah posisi guru pendamping masih temporer dan honorer, dengan gaji minimal dari sekolah atau orangtua anak bersangkutan. Posisi temporer dan honorer berarti tidak memiliki kepastian atas pekerjaan, apalagi karir. Bila melihat tabel di bawah ini nampaknya penyandang autisme yang diterima di sekolah luar biasa hanya 385 siswa. Umumnya pakar autisme menyarankan agar penyandang autisme masuk ke sekolah regular/umum, sebab penyandang autisme cenderung meniru perilaku orang di sekitarnya. Dengan demikian, diharapkan penyandang autisme akan lebih cepat belajar dan menguasai perilaku normatif anak-anak. Namun, hal ini tergantung pada tingkat keparahan kondisi dan kapasitas kognisi penyandang. Bila penyandang autisme ataupun berkebutuhan khusus lainnya tidak mencapai tingkat kognisi minimal, atau memiliki kecenderungan perilaku agresif yang membahayakan dirinya dan orang disekitarnya, maka disarankan untuk masuk ke sekolah khusus/sekolah luar biasa.
Permasalahan yang sangat perlu mendapatkan perhatian adalah kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus. Walaupun telah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendiknas) No. 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademis dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, namun pada sekolah inklusi, mutu pendidikan yang diterima anak didik berkebutuhan khusus belum tentu sama dengan anak didik lainnya di sekolah tersebut. Keterbatasan ketersediaan guru pendidikan khusus dan guru pendamping khusus, dapat berakibat pada terjadinya pembiaran terhadap penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus, berkeliaran di kelas ataupun di area sekolah saat jam pelajaran sedang berlangsung. Selain itu, umumnya guru pendamping adalah perempuan, padahal cukup banyak anak berkebutuhan khusus laki-laki. Untuk keperluan sosial dan sanitasi di sekolah sebaiknya anak berkebutuhan khusus didampingi oleh guru pendamping dengan jenis kelamin sama.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
25
TABEL 3 Jumlah Siswa Menurut Jenis Ketunaan Tiap Provinsi Sekolah Luar Biasa Negeri + Swasta, Tahun 2010/2011 No. 1
Provinsi DKI Jakarta
Tuna Netra
Tuna Rungu
98
2
Jawa Barat
480
5
DI Yogyakarta
160
3 4 6 7 8 9
10
11
12
13 14
15 16
17
Banten
Jawa Tengah Jawa Timur
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung
Kalimantan Barat
18
Kalimantan Tengah
21
Sulawesi Utara
19 20
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
22
Gorontalo
25
Sulawesi Barat
23 24
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
26
Sulawesi Tenggara
29
Bali
27 28 30
31
32
33
Maluku
Maluku Utara
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Papua
Papua Barat TOTAL
-
227 307 -
386 21
289 -
124 -
25 -
-
Tuna Grahita
866
1,187 193
1,628 189
1,863 34
238 176 10 -
-
Tuna Daksa
1,834
2,562
Tuna Laras -
-
176
123
3,594
63
2,279 350 -
476 233 48 -
Ganda
42 -
67
80
149
-
16
-
-
23
200 -
-
-
-
-
114 -
147 -
34 -
147 -
206
90
-
-
-
139 -
-
57
-
-
-
24
-
89
184 -
-
-
-
-
-
139
57
111
-
-
-
-
-
25
252
-
-
-
-
-
-
-
-
-
35
679
-
-
34
110
-
-
68 -
-
37 -
-
-
-
51
434
16
43
99
260 -
2,821
167
4
124
-
7 -
298 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7,768
12,850
300
-
-
Autisme Campuran Jumlah
277
2,707 865
2,462
-
-
1,561
79
7,919
45
917
-
395
-
388
142
138
-
978
595
261 -
45 -
-
580
7
122
-
142
134
592 73
8,479
-
67
776
2,397
2,385
-
-
-
3,845
1,965 1,339 1,033
2,336
5,502
15,415 2,985
10,737 3,508
16,422 1,784 3,050
3,296
98
1,468
866 358
1,569 358
315
645
-
692
21
436
396
595 954
608
899
542
968
1,564
103
534
-
1,070
-
619
68
-
145 96
-
2,208
2,660
-
-
513 222
-
150
515
427
-
423
431 147
141
1,174 313
80
82
18,211
-
-
-
-
-
-
385
240
1,411
420
518
96
259
852
43
42,528
649 766
561 658 609
1,520
1,532
1,627
562
125
85,542
Sumber: Kemendikbud (materi paparan Balitbang-Kemendikbud disampaikan pada EGM 13 Juni 2013)
Bagi penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus yang berada di wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal, maka kemungkinan mereka untuk mendapatkan pendidikan semakin kecil. Melihat jarak SD rata-rata 9 kilometer, maka penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus akan sangat sulit untuk mengaksesnya. Kemungkinan bagi penyandang disabilitas perempuan di wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal untuk mendapatkan
26
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
pendidikan bahkan bisa dibilang nihil. Dengan kata lain, tidak ada akses pendidikan bagi penyandang disabilitas perempuan di wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal.
D. Pendidikan bagi Penduduk Komunitas Adat Terpencil
Data kuantitatif mengenai pendidikan bagi Komunitas Adat Terpencil (KAT) masih sangat terbatas, berdasarkan etnis, belum akurat dan terpilah. Namun, dalam kajian ini, data yang digunakan adalah data kualitatif mengenai anak didik dan guru di beberapa komunitas adat terpencil.17
Sebagian adat budaya KAT disalahartikan atau tidak mendukung pendidikan, terutama pendidikan formal bagi warganya. Oleh karena itu, diperlukan tekad kuat dan dukungan keluarga inti bagi warga KAT yang ingin mendapatkan pendidikan. Tekanan menjadi lebih berat bagi warga KAT perempuan yang ingin bersekolah, sebab bila telah bertekad kuat pun dan mendapat dukungan keluarga, anak perempuan masih harus menghadapi tantangan jarak/geografis, dan kendala akomodasi.
Beban guru di KAT juga lebih berat dibandingkan guru di perkotaan maupun perdesaan. Mereka harus mengajar dengan bahasa lokal dan mengajarkan Bahasa Indonesia. Di samping itu mereka juga harus melakukan pendekatan persuasif pada warga terutama pemuka KAT, untuk memberikan pemahaman mengenai manfaat pendidikan bagi warga KAT. Pendidikan saat ini hanya digunakan untuk keperluan berinteraksi dengan masyarakat luar. Oleh karena itu, belum menjadi prioritas bagi umumnya KAT. Alternatif pendidikan bagi anak-anak KAT adalah dengan rancangan kurikulum yang lebih berorientasi pada lingkungan hidup, pengetahuan sosial, dan pengetahuan alam yang lebih dekat dengan kehidupan sehariharinya. Namun, proses pendidikan tidak pernah hanya satu arah. KAT menyimpan ilmu pengetahuan yang sangat kaya mengenai ilmu pengetahuan alam praktis dan nilai-nilai kearifan lokal. Ilmu tersebut dapat membantu dalam pengayaan kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan program pembelajaran bagi penyusun kurikulum pada KAT, yang memungkinkan adanya sharing informasi oleh KAT mengenai ilmu pengetahuan alam praktis dan nilai-nilai kearifan lokal. Berikut hasil penggalian permasalahan di Provinsi Papua, sebagai provinsi yang memiliki KAT terbanyak di Indonesia (lebih dari 300 KAT). - Buta aksara cukup tinggi di Papua, dan wajib belajar 6 tahun juga masih belum tuntas, sehingga menjadi prioritas Pemprov Papua. Angka rata-rata lama sekolah masih rendah, antara 2 sampai 6,1 tahun. Kejadian “buta aksara kembali” ditemukan di Papua sebab kurangnya pengulangan/latihan membaca.
- Pendidikan anak usia dini kurang diprioritaskan, baik dari orangtua maupun lingkungan. Pendekatan program/kurikulum PAUD di Papua perlu diadaptasi agar lebih menekankan pada pengenalan alam dan hutan. Penetapan kapasitas tutor PAUD perlu diadaptasikan untuk kampung-kampung di Papua, sebab tidak banyak lulusan SMA. Hal lebih dipentingkan adalah potensi lulusan SMP yang mampu menjadi tutor dan kreatif dalam mendidik anak usia dini. 17
Sumber: makalah PGRI diolah dari berbagai media sumber.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
27
- Pendidikan self-esteem (kepercayaan diri) rakyat Papua sangat diperlukan. Oleh sebab itu, perlu dimasukkan dalam kurikulum semua jenjang pendidikan.
- Pemerataan pendidikan masih belum berhasil, beberapa kabupaten masih sangat rendah angka partisipasi sekolah-nya, terutama di daerah pegunungan di Papua. Disparitas antara perempuan dan laki-laki cukup signifikan terutama di daerah pegunungan.
- Ketersediaan tenaga didik sangat tidak merata di Papua, sehingga proporsi guru-anak didik sangat tidak proporsional. Ada sekolah yang memiliki hanya 1 tenaga didik untuk sekitar 200 anak didik, padahal idealnya adalah 1 tenaga didik untuk 20 anak didik. Tenaga didik untuk bidang-bidang spesifik seperti keterampilan dan ekstrakurikuler masih sangat terbatas sehingga kadang tidak diselenggarakan di sekolah-sekolah.
- Sarana dan prasarana pendidikan di Papua juga sangat terbatas, sehingga tidak dapat menampung anak-anak didik. Pengembangan kapasitas tenaga didik juga sangat minim, dan kurang dapat diakses oleh tenaga didik di kampung-kampung pegunungan KAT.
28
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
BAB IV KESEHATAN I. Dasar Hukum Undang-undang Dasar RI telah menjamin warga negara Indonesia atas hak hidup sehat. Penjaminan ini tercantum pada Pasal 28H ayat 1 dan pada pasal 34 ayat 2 dan 3.18 Selanjutnya hak, kewajiban, dan penyelenggaraan kesehatan diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain itu, untuk penanganan penyakit menular, telah diatur dalam UU No. tahun 1984 tentang wabah penyakit menular. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur termasuk jaminan kesehatan bagi penduduk Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan mengatur penjaminan layanan kesehatan bagi penduduk Indonesia yang kurang mampu secara finansial. Berbagai peraturan pemerintah dan peraturan menteri terkait penyelenggaraan layanan kesehatan juga sudah ditetapkan untuk mendorong pada peningkatan kesehatan penduduk Indonesia.
II. Pencapaian Pembangunan Kesehatan terkait MDGs
Bidang pembangunan kesehatan sangat luas aspek dan cakupannya. Oleh karena itu, sebagai salah satu bidang prioritas dalam peningkatan kesetaraan gender dalam kajian ini, hanya difokuskan pada masalah terkait pencapaian Target Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs) 2015. Dalam MDGs, terdapat 4 target yang berkaitan langsung dengan bidang kesehatan, yaitu: i) target 4 menurunkan angka kematian anak; ii) target 5 meningkatkan kesehatan ibu; dan iii) target 6 menanggulangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya. Dari ketiga target tersebut, fokus kajian lebih menyempit lagi pada: a) menurunkan angka kematian ibu; b) menurunkan angka kematian balita; dan c) mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS.
A. Menurunkan Angka Kematian Ibu
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target MDGs yaitu menurunkan AKI hingga 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.19 Grafik di bawah menunjukkan dalam kurun waktu 16 tahun, AKI telah menurun dari 390 pada tahun 1991, menjadi 228 pada tahun 2007. Dengan menggunakan metode regresi linear, AKI akan turun hingga mencapai 161 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Dengan kata lain, bila upaya yang digunakan saat ini terus dilakukan, maka diperkirakan target 2015 tidak akan tercapai. Oleh karena itu, akan 18
UUD Pasal 28H ayat 1: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.UUD Pasal 34 ayat 2:Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. UUD Pasal 34 ayat 2: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan penyediaan fasilitas umum yang layak. 19 AKI adalah banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100 000 kelahiran hidup. AKI diperhitungkan pula pada jangka waktu 6 minggu hingga setahun setelah melahirkan.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
29
diperlukan upaya yang jauh lebih keras, melebihi yang dilakukan saat ini untuk mencapai target AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup. Namun, yang lebih penting, melebihi angka tersebut adalah, penyelamatan nyawa setiap ibu yang melahirkan dari ancaman kematian. GAMBAR 14 Kecenderungan Angka Kematian Ibu (AKI), 1991-2007
Sumber: SDKI, diolah oleh Kemenkes, 2011.
AKI merupakan indikator dampak (outcome), yang berarti terdapat beberapa indikator keluaran (output) yang perlu dicermati yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan AKBa. Dalam hal ini, termasuk pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terdidik, ketersediaan pelayanan kesehatan (termasuk jarak geografis), cakupan pelayanan, dan pengaruh agama-budaya.
Dari data grafik di bawah ini, terlihat bahwa ibu yang meninggal karena melahirkan sebagian besar (65,2 persen) berusia antara 20 sampai dengan 35 tahun, diikuti oleh ibu berusia di atas 35 tahun. Persentase kematian terbesar berdasarkan urutan anak yang dilahirkan adalah saat melahirkan anak pertama, yaitu mencapai 45,6 persen. Dari sisi pendidikan ibu, 60,9 persen ibu yang meninggal karena melahirkan berpendidikan SD atau tidak sekolah. Nampaknya, semakin rendah pendidikan yang dimiliki, semakin besar resiko meninggal saat melahirkan. Resiko meninggal saat melahirkan juga lebih besar bagi yang ibu yang tinggal di perdesaan dibandingkan di perkotaan, sebab persentase ibu meninggal lebih besar di perdesaan. Dengan demikian, untuk pencegahan kematian bagi ibu melahirkan perhatian khusus perlu diberikan pada wanita yang baru menikah dan ibu-ibu yang hamil pertama kali, yang berada di perdesaan, yang berpendidikan SD dan sekolah menengah.
30
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 15 Karakteristik Ibu Meninggal
Sumber : Kajian Lanjut hasil SP 2010 - Kemenkes
Faktor penolong utama dalam persalinan aman (safe delivery) adalah tenaga kesehatan terdidik. Menurut analisis data SDKI per propinsi di Indonesia, peningkatan cakupan persalinan tenaga kesehatan di Indonesia memiliki kontribusi 45 persen untuk menentukan angka kematian ibu. Peningkatan proporsi persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sudah semakin meningkat, dari tahun 1995 yang hanya 46,13 persen menjadi 81,25 persen. Namun, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa persalinan di fasilitas kesehatan masih sekitar 55,40 persen. Dari grafik Gambar 16, 50 persen dari estimasi penyebab kematian ibu melahirkan adalah perdarahan dan eklampsia. Ibu melahirkan yang mengalami perdarahan ataupun eklampsia perlu penanganan medis di fasilitas kesehatan. GAMBAR 16 Penolong Kelahiran oleh Tenaga Kesehatan, 1995-2011
Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
31
GAMBAR 17 Perkiraan Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan di Indonesia (2010)
Sumber: Kemenkes (diolah dari SDKI 2007 dan Laporan Rutin Kia 2010)20
Hingga saat ini masih cukup banyak persalinan yang tidak ditangani oleh tenaga kesehatan terlatih, melainkan dengan bantuan dukun bayi. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa sekitar 43,2 persen ibu melahirkan di rumah. Sekitar 40,2 persen dari mereka melahirkan dengan bantuan dukun, bukan bidan terlatih. Dukun bayi umumnya mendapatkan pengetahuan dan kemampuannya secara turun temurun dari keluarganya. Oleh sebab itu, ilmu terkait kondisi fisiologis dan patologis sangat terbatas. Terlebih lagi pengetahuan mengenai komplikasi persalinan. Dukun bayi umumnya merupakan orang tua yang telah dipercaya secara turun temurun di suatu komunitas untuk membantu proses persalinan dan mendampingi dan merawat ibu dan bayi, minimal hingga putus tali pusar bayi. Oleh karena kepercayaan yang telah turun temurun pada dukun bayi, maka peran dukun bayi tidak mudah tergantikan oleh tenaga kesehatan terlatih. Hingga saat ini telah dilakukan pendekatan melalui tokoh masyarakat untuk mendorong agar dukun-dukun bayi setempat bersedia mengikuti pelatihan kebidanan. Sejumlah dukun bayi telah berhasil dilatih dan mendapatkan sertifikat. Namun, masih banyak juga yang belum mendapatkan pelatihan kebidanan yang sesuai standar Kemenkes.
Dari hasil seminar di Papua, diketahui bahwa karena terjadinya relokasi pada beberapa desa untuk pembangunan waduk ataupun pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan, maka dukun-dukun bayi banyak yang mengungsi ke desa-desa lain tempat kerabatnya. Akibatnya, sebagian persalinan di desa-desa yang terkena relokasi sama sekali tanpa pendampingan dukun bayi, apalagi tenaga kesehatan. Terkait masalah relokasi desa-desa, pemerintah daerah setempat dan pihak terkait diharapkan dapat melakukan koordinasi secara responsif gender, dengan memperhatikan kebutuhan spesifik dan keselamatan para ibu hamil dan ibu menyusui. Selain itu, dukun bayi terlatih yang ada di kampung terkadang pindah dari kediamannya ke kampung lain, bila situasi kampung tidak aman. Sebagai catatan tambahan, jumlah dukun bayi menunjukkan tren menurun, disebabkan rendahnya regenerasi. Dukun yang ada telah tua dan tidak digantikan oleh anggota keluarga lain. Materi paparan Kemenkes, disampaikan pada Pertemuan Teknis Kesehatan Ibu, 2011
20
32
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Namun, akar permasalahan dari masih rendahnya (55,40 persen) persalinan di fasilitas kesehatan adalah kemiskinan. Bila melihat kembali grafik pada Gambar 14, nampak bahwa sekitar 60,9 persen ibu melahirkan yang meninggal adalah berpendidikan SD atau tidak sekolah. Kemungkinan besar mereka berasal dari keluarga miskin. Beban finansial persalinan di rumah dibantu dukun bayi lebih murah, dibandingkan di fasilitas kesehatan. Untuk membantu pembiayaan persalinan, telah ada Jaminan Persalinan (Jampersal). Cakupan kepesertaan Jampersal perlu diperluas agar menjangkau ibu-ibu hamil dari keluarga miskin. Selain Jampersal, terdapat pula Program Keluarga Harapan yang memberikan bantuan finansial langsung pada keluarga miskin dengan ibu hamil. Setiap ibu hamil perlu mendapatkan penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya kehamilan, terutama ibu dengan kehamilan beresiko tinggi. Hal ini penting untuk meningkatkan kesadaran ibu dan keluarganya mengenai pentingnya kesehatan ibu hamil dan apa tandatanda yang harus diwaspadai. Dari grafik di bawah, nampak bahwa persentase ibu hamil yang mendapat penjelasan mengenai tanda bahaya kehamilan masih rendah (rata-rata provinsi di bawah 50%). Provinsi yang terendah adalah Sulawesi Tengah dan Maluku. Bahkan provinsi yang tertinggi, yaitu DI Yogyakarta, persentase ibu yang mendapatkan penjelasan bahaya kehamilan hanya 58,9 persen. Bila ibu hamil tidak dibekali pengetahuan mengenai tanda bahaya kehamilan, kecil kemungkinannya suami dan anggota keluarganya serta masyarakat sekitarnya mengetahui hal-hal tersebut. Hal ini mempunyai dampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan oleh keluarga ibu hamil untuk mengambil tindakan saat tanda bahaya kehamilan muncul. Diperkirakan bahwa dengan adanya bekal pengetahuan tersebut, ibu hamil dan keluarganya akan lebih sigap mengambil keputusan untuk bertindak. GAMBAR 18 Ibu Mendapat Penjelasan Tanda Bahaya Kehamilan
Sumber : Riskesdas 2010
Seperti halnya pada pembekalan pengetahuan gizi dan pengasuhan balita, pembekalan pengetahuan tentang bahaya kehamilan juga tidak perlu selalu dibebankan pada tenaga kesehatan puskesmas ataupun rumah sakit dan rumah bersalin. Pembekalan pengetahuan dapat disampaikan pada ibu hamil dan anggota keluarganya melalui perkumpulan atau organisasi masyarakat setempat, seperti Tim PKK, Majelis Taklim, Karang Taruna, Bina Keluarga Balita, dll. Bahkan, promosi kesehatan ibu hamil dan balita dapat menggunakan
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
33
momen pembagian Bantuan Langsung Tunai, PKH, Gerakan Sayang Ibu, ataupun momenmomen lainnya.
Faktor penting lainnya yang juga berkontribusi terhadap masih tingginya AKI adalah 3 Terlambat. Pertama, kepala keluarga atau keluarga terlambat mengambil keputusan, sehingga ibu yang akan melahirkan terlambat untuk mendapatkan penanganan. Ibu melahirkan terlambat sampai ke tempat rujukan karena kendala transportasi dan/atau jauhnya fasilitas rujukan. Pada daerah terpencil di pegunungan atau pulau-pulau kecil, sarana transportasi sangat terbatas, dan rute perjalanan terkadang berbahaya untuk dilalui dengan cepat. Ketiga adalah ibu melahirkan terlambat mendapat penanganan karena kurang memadainya fasilitas dan tenaga kesehatan. Ketiga faktor ini merupakan penyebab tingginya kematian ibu melahirkan di Provinsi Papua.21 Selain itu, karena sistem rujukan yang kurang terkoordinasi, rumah sakit provinsi sering kali menerima pasien ibu melahirkan yang dirujuk dari sejumlah rumah sakit kabupaten melebihi kapasitasnya. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah RS Kabupaten/kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK). Selain itu, diperlukan kebijakan yang mendorong pada pendirian rumah-rumah bersalin di tingkat kecamatan. Kemudian, yang juga sangat dibutuhkan di Papua untuk membantu penurunan kasus kematian ibu melahirkan (dan kematian bayi baru lahir) adalah dokter-dokter terbang. Kondisi yang sering ditemukan di kampung-kampung di Papua adalah Puskesmas Pembantu (Pustu) yang tutup dan dokter jaga tidak berada di tempat.
B. Menurunkan Angka Kematian Balita
Indikator Angka Kematian Balita (AKBa)22 merupakan indikator dampak (outcome), yang berarti terdapat beberapa indikator keluaran (output) yang perlu dicermati yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan AKBa. Dalam hal ini, termasuk status gizi, cakupan imunisasi, pola pengasuhan, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan pengaruh agama-budaya.
Bila melihat grafik tren AKBa di bawah ini nampak bahwa dalam kurun waktu 15 tahun, telah terjadi penurunan AKBa yang signifikan. AKBa menurun dari 97 balita meninggal per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 44 balita meninggal per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun, bila dilihat khusus pada tahun 2003 dan 2007, penurunan sangat kecil, sehingga bisa dikatakan relatif stagnan, yaitu hanya menurun dari 46 menjadi 44 balita meninggal per 1.000 kelahiran hidup.23 Target MDGs Indonesia adalah menurunnya AKBa menjadi 32 balita meninggal per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih besar untuk menyelamatkan balita-balita Indonesia dari kematian, dan mendorong penurunan AKBa secara lebih cepat.
21 22
23
Hasil seminar daerah di Jayapura, Papua. AKBa: jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. Nilai normatif AKBa > 140 sangat tinggi, antara 71 – 140 sedang dan < 20 rendah.(BPS) Diolah dari Laporan Capaian MDGs Indonesia 2011, Bappenas.
34
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 19 Tren Angka Kematian Balita (AKABa) dari tahun 1997 hingga 2007
Sumber: BPS, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) berbagai tahun
AKBa per provinsi menunjukkan penurunan. Provinsi yang tetap tinggi adalah NTB (pada tahun 2002 AKBa 103, lalu turun menjadi 92 pada tahun 2007), NTT yang justru meningkat (dari 73 pada tahun 2002 menjadi 80 pada tahun 2007), dan Maluku dengan AKBa 93 pada tahun 2007 (AKBa tahun 2002 tidak tersedia). Sementara itu, Bali dan Kalimantan Selatan menunjukkan adanya peningkatan AKBa yang cukup menguatirkan. Provinsi Bali pada tahun 2002 telah sangat rendah yaitu 19, namun pada tahun 2007 malah meningkat hingga 38. AKBa pada provinsi-provinsi yang baru muncul sebagai pemekaran wilayah administrasi umumnya tinggi, terutama provinsi Sulawesi Barat (96 pada tahun 2007). GAMBAR 20 Angka Kematian Balita Menurut Provinsi, 2002 dan 2007 (per 1.000 kelahiran hidup)
Sumber: BPS, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2007
Bila melihat berdasarkan jenis kelamin, maka AKBa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada tahun 2002 AKBa laki-laki 58 dan menurun pada tahun 2007 menjadi 56 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKBa perempuan 51 dan menurun pada tahun 2007 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
35
balita laki-laki lebih rentan untuk meninggal dibandingkan balita perempuan. AKBa di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa balita laki-laki di perdesaan adalah yang paling rentan untuk meninggal. Saat ini belum diketahui dengan pasti mengapa umumnya bayi dan balita laki-laki lebih rentan daripada perempuan. Penjelasan sementara adalah bahwa secara genetis, kromosom Y pada laki-laki tidak se-stabil kromosom X. Namun, seberapa jauh dampak dari masalah genetis termanifestasi pada kerentanan bayi dan balita laki-laki, masih perlu dikaji lebih mendalam. Terlepas dari masalah genetis, umumnya masyarakat, dan khususnya para ibu, sebagai pengasuh primer bayi dan balita, belum paham mengenai perbedaan kerentanan bayi dan balita laki-laki dan perempuan. Kurangnya pengetahuan tersebut, diperparah dengan pemahaman yang salah mengenai maskulinitas anak laki-laki yang membudaya, menyebabkan menurunnya kewaspadaan keluarga akan kerentanan bayi dan balita lakilaki. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembekalan pengetahuan bagi ibu hamil dan ibu menyusui untuk mempromosikan kesehatan bayi serta balita laki-laki dan perempuan melalui pengasuhan yang tepat dan aman bagi bayi dan balita laki-laki dan perempuan. TABEL 4 AKBa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Wilayah
Jenis Kelamin laki-laki
perempuan
Tahun 2002-2003
2007
51
46
58
56
Daerah perkotaan
perdesaan
Sumber: BPS, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2007
Tahun 2002-2003
2007
65
60
42
38
Menurut Laporan Capaian MDGs Indonesia 2011 yang disusun oleh Bappenas, kematian balita terutama disebabkan oleh diare dan pneumonia, serta terkait erat dengan masalah gizi (gizi buruk dan gizi kurang). Berikut grafik persentase balita dengan status gizi dari tahun 2003 sampai dengan 2010. Tampak dari grafik di bawah ini, persentase balita dengan status gizi baik/normal terus meningkat, yaitu dari 69,6 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 76,2 persen pada tahun 2010. Persentase balita dengan status gizi kurang menunjukkan sedikit penurunan dari 19,6 persen di 2003 menjadi 19,2 persen pada tahun 2005. Lalu menunjukkan penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2007 menjadi 13,0 persen, tetapi kemudian stagnan pada tahun 2010. Persentase balita dengan status gizi buruk menurun namun lebih perlahan sedangkan balita dengan status gizi lebih justru meningkat terus.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
36
GAMBAR 21 Persentase Balita Menurut Status Gizi, 2003-2010
Sumber: BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat 2007 TABEL 5 Persentase Balita Menurut Status Gizi dan Daerah (2003-2005), dan Menurut Status Gizi dan Jenis Kelamin (2007-2010) Status Gizi Balita
lebih
normal kurang buruk
Perkotaan
2003
2,58
72,1 18,16 7,16
2005
4,2
71,3 17,15 7,34
Perdesaan
2003
2,02
67,95 20,58 9,46
2005
Sumber: BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat 2007
3,06
66,87 20,43 9,64
Status Gizi Balita
lebih
normal kurang buruk
Laki-laki
2007
4,6
76,3 13,3 5,8
2010
5,9
75,0 13,9 5,2
Sumber: Riskesdas 2007, 2010
Perempuan
2007
4,0
78,2 12,7 5,0
2010
5,8
77,5 12,1 4,6
Kemiskinan merupakan faktor penyebab utama dari bayi lahir dengan berat badan rendah, dan balita dengan status gizi kurang dan buruk. Kurangnya ketersediaan makanan di rumah tangga-rumah tangga miskin menyebabkan ibu-ibu hamil dan balita miskin mengalami kekurangan asupan gizi. Akan halnya perbedaan status gizi balita laki-laki dan perempuan, di mana balita laki-laki lebih rendah status gizinya dibandingkan balita perempuan, salah satu faktor penyebab utamanya adalah pola pengasuhan yang berbeda. Pola pengasuhan terbentuk oleh pengaruh budaya setempat dan pemahaman gizi dan kesehatan yang rendah dari orangtua terutama ibu. Balita laki-laki memerlukan energi yang lebih untuk bertumbuh, dibandingkan balita perempuan. Dengan asupan gizi yang sama, maka balita perempuan lebih optimal pertumbuhannya dibandingkan balita laki-laki. Dalam keluarga miskin, dengan keterbatasan ketersediaan makanan, balita laki-laki akan cenderung mendapat asupan gizi yang kurang dari memadai untuk pertumbuhannya. Sebagai akibatnya, balita laki-laki pada rumah tangga miskin cenderung mengalami gizi kurang dan bahkan gizi buruk. Bila bayi atau balita laki-laki gizi buruk mengalami diare, maka defisit energinya semakin bertambah tinggi, yang kemudian memperparah pertahanan tubuhnya yang telah rentan. Keluarga dengan balita berstatus gizi buruk dan kurang umumnya dari rumah tangga miskin dan berada di daerah yang kurang terjangkau. Dengan demikian, informasi dan layanan Makanan Pendamping (MP)-ASI dan Makanan Tambahan (MT) yang diberikan melalui posyandu dan puskesmas kurang dapat diakses. Peran masyarakat setempat sangat penting dalam tahap identifikasi awal kasus gizi kurang dan gizi buruk. Selain itu, masyarakat setempat, terutama
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
37
penduduk perempuan dapat juga menjadi pembawa informasi layanan gizi ke rumah tanggarumah tangga miskin di lingkungan sekitar. Mekanisme jemput bola juga perlu diterapkan oleh dinas kesehatan daerah dengan mendatangi rumah tangga-rumah tangga miskin yang memiliki bayi dan balita gizi kurang/buruk, sesuai laporan identifikasi awal dari masyarakat untuk menyampaikan langsung layanan MP-ASI dan MT. Penyaluran berkala MP-ASI dan MT dapat dilanjutkan oleh kelompok-kelompok masyarakat seperti kader PKK atau kader Bina Keluarga Balita (BKB), dll. Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan telah berupaya meningkatkan ketersediaan pangan/makanan pada rumah tangga-rumah tangga miskin. Beberapa dari program tersebut adalah program ketahanan keluarga (PKH), pemberian beras bagi keluarga miskin (raskin), dan pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri-Generasi). Koperasi komunitas setempat sebenarnya juga dapat menjadi alat untuk mendorong ketersediaan pangan bagi anggotanya, yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan status gizi balita.
Di samping itu pembekalan pengetahuan tentang kebutuhan gizi dan kerentanan biologis balita yang berbeda antara balita laki-laki dan perempuan tidak harus selalu dibebankan pada tenaga kesehatan puskesmas ataupun rumah sakit dan posyandu. Pembekalan pengetahuan dapat disampaikan pada orangtua melalui perkumpulan atau organisasi masyarakat setempat, seperti Tim PKK, Pos PAUD, Majelis Ta’lim, Karang Taruna, BKB, dll. Bahkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota selayaknya turut mencanangkan program kesetaraan gender yang mempromosikan pengasuhan yang tepat bagi balita laki-laki dan perempuan.
C. Goal 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS
Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987. Setelah lebih dari 2 (dua) dekade, kasus HIV/AIDS menunjukkan tren meningkat berkali lipat. Dari grafik di bawah, nampak bahwa terjadi peningkatan tajam pada jumlah kasus HIV pada tahun 2010, lebih dari 100 persen. Penyebab peningkatan belum jelas, apakah terjadi karena meningkatnya perilaku seksual menyimpang dan jumlah pengguna narkoba suntik, karena perbaikan sistem deteksi (screening) HIV, atau karena meningkatnya kesadaran akan ancaman HIV/AIDS. Ancaman HIV/AIDS telah mulai menyebar di semua provinsi Indonesia, dengan konsentrasi kasus pada provinsi Papua, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. GAMBAR 22 Jumlah Kasus HIV & AIDS di Indonesia 2005 – Juni 2012
Sumber: KPAN, 2013
38
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 23 Persentase Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008- 2012
Sumber: KPAN (diolah dari Laporan Dinas Kesehatan Provinsi, 2013)
Dari grafik di atas, nampak bahwa penyandang HIV positif selalu lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Namun demikian, mengingat HIV merupakan kasus yang sensitif dan penyandangnya selalu mendapat stigma sangat negatif, maka diperkirakan jumlah dan persentase dari kasus HIV yang terlaporkan masih jauh dari jumlah sebenarnya. Selain itu, laki-laki yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan, diperkirakan melakukan hubungan menyimpang tersebut pada lebih dari 1 (satu) perempuan/laki-laki. Dengan demikian, besar kemungkinan jumlah perempuan penyandang HIV positif jauh lebih besar daripada data tersebut di atas, dan kemungkinannya bisa melebihi jumlah laki-laki penyandang HIV positif.
Pemetaan kelompok penduduk beresiko tinggi terhadap ancaman HIV/AIDS antara lain adalah laki-laki dan perempuan pelaku seksual di luar perkawinan, perempuan dan lakilaki pekerja seks komersial, perempuan dan laki-laki penyalahguna narkoba suntik, dan anak-anak serta bayi yang terlahir dari ibu yang HIV positif. Perempuan pada kelompok penduduk beresiko tinggi terhadap ancaman HIV/AIDS perlu diberikan perhatian lebih sebab mempunyai kemungkinan hamil dan dapat menularkan virus HIV kepada janinnya. Pencegahan penyebaran HIV/AIDS baik terhadap kelompok yang beresiko tinggi terlebih lagi terhadap penduduk yang tidak beresiko sulit dilakukan, sebab konten dari KIE terkait dengan perilaku seksual dan penyalahgunaan narkoba, yang sangat sensitif dari perspektif keagamaan. KIE pencegahan penyebaran HIV/AIDS perlu dirancang dengan sangat hatihati sebab kemungkinan beresiko memberi efek sebaliknya pada kelompok penduduk tidak beresiko. Dengan kata lain, KIE yang tidak dirancang khusus sesuai dengan ajaran agama dikhawatirkan justru beresiko untuk mendorong pada perilaku seksual menyimpang yang aman, dan penyalahgunaan narkoba suntik yang aman. Kedua hal ini sama sekali bukan merupakan target pembangunan kesehatan terkait pencegahan penyebaran HIV/ AIDS. Oleh sebab itu, KIE perlu diarahkan pada pencegahan dan perubahan perilaku yang beresiko, yang sesuai dengan ajaran agama.
Di Kabupaten Jember, Jawa Tengah, kasus HIV positif mengalami peningkatan, khususnya pada ibu rumah tangga. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh adanya praktek nikah kontrak yang kemungkinan dilakukan oleh pengusaha furnitur dari luar negeri dengan perempuan di Jember. Di Kalimantan Tengah, terutama di pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, kasus HIV meningkat di kalangan pekerja migran. Di Papua, HIV positif juga meningkat di
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
39
kalangan ibu rumah tangga. Kesadaran penduduk Papua mengenai HIV/AIDS semakin meningkat, sehingga tidak terlalu sulit lagi untuk mendorong orang memeriksakan diri untuk screening HIV. Hal yang dianggap cukup urgen untuk dilakukan adalah pemberdayaan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), mengingat tingginya jumlah ODHA di Papua. Dengan pemberdayaan ODHA, diharapkan mereka tetap bisa produktif dan mandiri.
40
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
BAB V KETENAGAKERJAAN I. Dasar Hukum Negara telah menjamin warga Indonesia untuk mencari nafkah, sebagaimana tercantum dalam UUD pasal 28D.24 Pengaturan hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja serta hukumnya tercakup dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adapun warga negara Indonesia yang bekerja di luar negara Indonesia, hak dan kewajiban serta perlindungannya ditetapkan melalui UU No. 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Perlu dipahami bahwa UU Ketenagakerjaan tidak mengatur warga negara yang dipekerjakan oleh pemerintah dan berstatus pegawai negeri sipil (diatur dalam UU yang terpisah). Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga tidak mengatur pekerja di sektor informal. Sektor informal adalah segala usaha yang tidak berbadan hukum. Bila tidak dilindungi oleh UU, secara otomatis pekerja menjadi rentan terhadap kondisi dan situasi diskriminatif dan eksploitatif. Bab ini mengupas tentang bagaimana kualitas tenaga kerja laki-laki dan perempuan, serta bagaimana daya saingnya dalam perspektif gender. Dalam kajian ini pembahasan akan difokuskan pada pekerja laki-laki dan perempuan di sektor formal, sektor informal dan migran (TKI), termasuk pekerja rumahan (home-workers), pekerja rumah tangga, dan pekerja tidak dibayar (unpaid-worker) pada sektor informal.
II. Pencapaian Pembangunan Ketenagakerjaan terkait Gender
Pembangunan ketenagakerjaan sepanjang RPJMN I dan II senantiasa mengupayakan peningkatan kualitas tenaga kerja. Bahkan pada RPJMN II salah satu prioritas pembangunan ekonomi adalah peningkatan daya saing ketenagakerjaan. Fokus pertama dari prioritas tersebut adalah peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja. Berikut adalah pencapaian bidang ketenagakerjaan untuk beberapa indikator umum selama periode 2004 hingga awal 2013.
Nampak dari tabel di bawah, jumlah penduduk yang bekerja terus meningkat, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun dilihat dari indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), peningkatan yang terjadi hanya 1,66 persen selama periode 20042013.
24
UUD Pasal 28D: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b. Bekerja
c. Lainnya
7,495,757
30,877,274
11,577,230
49,950,261
9.86
10,251,351
93,722,036
67.55
103,973,387
7,582,866
29,245,027
12,919,459
49,747,352
10.26
10,854,254
94,948,118
68.02
105,802,372
155,549,724
2005
8,191,557
30,806,003
13,978,325
52,975,885
10.45
11,104,693
95,177,102
66.74
106,281,795
159,257,680
2006
8,767,428
31,133,071
14,320,491
54,220,990
9.75
10,547,917
97,583,141
66.6
108,131,058
162,352,048
2007
8,684,669
32,122,769
13,281,107
54,088,545
8.46
9,427,590
102,049,857
67.33
111,477,447
165,565,992
2008
8,275,717
32,578,420
13,665,903
54,520,040
8.14
9,258,964
104,485,444
67.6
113,744,408
168,264,448
2009
8,400,098
32,419,795
14,199,461
55,019,354
7.41
8,592,490
107,405,572
67.83
115,998,062
171,017,416
2010
7,306,869
30,005,869
13,944,026
51,256,764
6.80
8,117,631
111,281,744
69.96
119,399,375
170,656,139
2011
Sumber :Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013
Ket.: Data yang ditampakkan adalah data bulan Februari setiap tahun, kecuali tahun 2004 tanpa bulan tertentu.
**) Pengangguran Terbuka : Mencari Pekerjaan, Mempersiapkan Usaha, Merasa Tidak Mungkin Mendapat Pekerjaan, Sudah Punya Pekerjaan tetapi belum dimulai
*) TPAK (%) adalah [( Penduduk yang Bekerja + Pengangguran Terbuka)/Penduduk Usia 15 tahun ke atas] x 100
b. Mengurus Rumah Tangga
a. Sekolah
Bukan Angkatan Kerja
c. Penganguran Terbuka **) d. Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
3
a. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%)*)
Angkatan Kerja
153,923,648
Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas
2
1
2004
JENIS KEGIATAN
TABEL 6 Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan, Tahun 2004 - 2013
6,693,234
31,447,888
14,307,802
52,448,924
6.32
7,614,241
6,749,343
32,185,937
14,971,720
53,907,000
5.92
7,170,523
112,802,805 114,021,189
69.66 69.21
120,417,046 121,191,712
2013
172,865,970 175,098,712
2012
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 41
42
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) TABEL 7 Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Kegiatan dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Penduduk Usia Kerja
Kegiatan Seminggu yang Lalu
Perempuan 2009
Angkatan Kerja
Bekerja Pengangguran Sekolah
Bukan Angkatan Kerja
Mengurus RumahTangga Lainnya
2010
Laki-laki 2011
2009
2010
2011
46,68
47,24
48,44
77,37
78,61
79,32
7,94
8,02
7,54
8,37
8,26
7,72
3,71
6,15
6,17
6,07
4,32
37,35 3,71
4,52
36,43 3,78
3,99
36,32
6,28
1,83
Sumber : BPS-RI, Sakernas Agustus 2009, Sakernas Agustus 2010, dan Sakernas Agustus 2011
5,15
1,81
4,97
1,91
GAMBAR 24 Persentase Penduduk Usia Kerja (15 Tahun Ke Atas) yang Termasuk Angkatan Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kegiatan (2009-2011)
Sumber : BPS-RI, Sakernas Agustus 2009, Sakernas Agustus 2010, dan Sakernas Agustus 2011
Dari grafik di atas, nampak adanya peningkatan persentase tenaga kerja setiap tahunnya, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, kenaikan tersebut hanya sekitar 1 persen setiap tahunnya. Demikian juga dengan persentase pengangguran, hanya menurun sekitar 1 persen setiap tahun, baik laki-laki maupun perempuan.
A. Sektor Formal
Melihat tabel Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Kegiatan dan Jenis Kelamin, dan mempertimbangkan Grafik di bawah ini, kondisi yang saat ini terjadi adalah rata-rata perempuan menunjukkan prestasi yang lebih baik bila dibandingkan laki-laki secara
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
43
akademis, akan tetapi jumlah perempuan yang masuk angkatan kerja dan yang bekerja jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dari tabel tersebut nampak bahwa pada tahun 2009, hanya sekitar 47 persen perempuan yang masuk angkatan kerja. Peningkatan terlihat pada tahun 2011, di mana terdapat lebih dari 52 persen perempuan masuk dalam angkatan kerja. Namun, tetap berarti bahwa sekitar 48 persen perempuan belum memanfaatkan ilmu dan kapasitasnya untuk pembangunan ekonomi secara langsung. Lebih lanjut, dapat dilihat pada tabel tersebut: pada tahun 2011, ada sekitar 36 persen perempuan yang memilih untuk mengurus rumah tangga (dapat diasumsikan sudah menikah), kemungkinan tidak bekerja ataupun tidak mencari kerja.
Hambatan masuk bagi perempuan yang sudah menikah untuk masuk ke dunia kerja berkaitan erat dengan fungsi reproduksi perempuan. Perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak tentu berharap dapat terus menjaga kesehatan reproduksinya. Kendala pertama yang perlu ditangani adalah masalah cuti melahirkan yang maksimal hanya 3 bulan. Dari perspektif kesehatan reproduksi, cuti melahirkan sebaiknya 1 bulan sebelum perkiraan masa melahirkan dan 6 bulan setelah melahirkan. Namun, dari perspektif ekonomi, perusahaan akan sulit menerapkan cuti sepanjang 7 bulan. Permasalahan berikut adalah masih sangat terbatasnya sarana dan prasarana terkait kesehatan reproduksi di tempat kerja. Umumnya hanya instansi pemerintah dan badan usaha yang berskala besar saja yang kemungkinan memberikan perhatian dan menyediakan sarana dan prasarana kesehatan reproduksi tersebut. Di samping itu, faktor pendorong perempuan yang sudah menikah untuk tidak masuk ke dunia kerja adalah kekhawatiran pengasuhan anak menjadi terbengkalai bila perhatian dan waktu tersita oleh pekerjaan. Kekuatiran ini cukup beralasan, mengingat fakta menunjukkan masih sangat terbatasnya ketersediaan layanan pengasuhan anak di lingkungan kerja. Tantangan di sektor formal ketenagakerjaan adalah bahwa umumnya perusahaan, bahkan juga instansi pemerintah belum memahami bahwa pemenuhan hak kesehatan reproduksi pekerja/pegawai perempuan adalah merupakan kewajiban dari perusahaan dan instansi pemerintah. Dasar hukum mengenai hak kesehatan reproduksi sudah termuat di dalam berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah, antara lain adalah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 36 tahun 2010 tentang Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian ASI Ekslusif. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan bentuk insentif yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi pekerja perempuan.
Masih terkait hambatan masuk dalam pasar kerja, rekrutmen bagi penyandang disabilitas dalam pasar kerja bisa dikatakan nihil, karena masih jauh dari kuota 1 orang per 100 tenaga kerja dalam 1 perusahaan.25 Pekerja penyandang disabilitas lebih sering dianggap tidak memiliki kemampuan (under-estimated), sehingga bentuk pekerjaan yang diberikan pun tidak mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensinya. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, terlebih lagi bagi perempuan penyandang disabilitas masih menjadi hambatan masuk yang tinggi dan kokoh. Kebijakan pemerintah belum juga tercermin di dalam sistem rekrutmen pegawai negeri sipil baik di tingkat nasional maupun daerah. Persyaratan sehat jasmani dan rohani, masih diartikan tidak menyandang disabilitas. Umumnya instansi pemerintah belum memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas perempuan dan laki-laki untuk mengikuti seleksi rekrutmen. Tantangan ke depan terkait 25
SE Menakertrans 01/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Kecacatan di Perusahaan.
44
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
penghapusan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah bagaimana menurunkan hambatan masuk terhadap penyandang disabilitas agar bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan calon pekerja lainnya. Tantangan ini perlu dihadapi pertama-tama oleh pemerintah tingkat nasional dan daerah, dengan kebijakan afirmatif dalam penerimaan pegawai negeri sipil.
Permasalahan bidang ketenagakerjaan di sektor formal selain pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi, juga terdapatnya kesenjangan gender dalam hal alokasi jam kerja yang berkait erat dengan besaran upah/gaji yang diterimakan. Rata-rata jam kerja pekerja laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Kondisi ini menurun pada tahun 2011 dan bertahan pada tahun 2012. Kemudian, upah pekerja laki-laki masih lebih tinggi dibandingkan perempuan baik dari besaran upah maupun persentase tingkat upah. Kondisi ini tidak mengalami perubahan selama tiga tahun terakhir. Indonesia telah menandatangani Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kebijakan pengupahan agar baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan upah secara adil, dan untuk pekerjaan yang sama atau setara tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Permasalahan upah yang berbeda antara pekerja lakilaki dan perempuan, merupakan akibat dari pemahaman yang kurang tepat mengenai sistem pengupahan yang kadang dikaitkan dengan status kawin. Upah/gaji semestinya hanya terkait dengan kualifikasi, produktivitas, dan kualitas kerja dari pekerja, sedangkan status kawin pekerja hanya terkait dengan tunjangan. GAMBAR 25 Rata-rata Upah/Gaji Bersih (Rupiah) Buruh/Karyawan/Pegawai Selama Sebulan menurut Jenis Kelamin, 2005-2012
Sumber: Sakernas, November 2005 dan Agustus 2006-2012
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
45
GAMBAR 26 Rata-rata Lama Jam Kerja Menurut Jenis Kelamin (2010-2012)
GAMBAR 27 Tingkat Upah (%) Menurut Jenis Kelamin (2010-2012)
Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperluas sektor formal ketenagakerjaan adalah dengan menerapkan strategi perluasan kesempatan kerja di sektor formal. Kebijakan yang diterapkan dalam rangka pelaksanaan strategi ini adalah fleksibilitas dan desentralisasi. Kebijakan fleksibilitas hanya akan menjadi kesempatan yang menguntungkan bagi pekerja terampil (skilled-workers). Padahal pekerja di sektor informal baik laki-laki dan terutama perempuan, sebagian besar tidak terampil dan berpendidikan rendah. Kebijakan fleksibilitas juga disinyalir telah mengubah status kerja yang seharusnya permanen menjadi temporer, yang seharusnya sebagai staf pekerja pada perusahaan, menjadi non-staf. Dengan sistem kerja kontrak dan pihak-ketiga (out-sourcing) pekerja menjadi tidak memiliki karir yang dapat dibangun, dan remunerasi untuk hasil kerja yang bagus. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa kontrak kerja akan diperpanjang, sehingga meningkatkan kerentanan finansial pekerja. Dengan demikian sektor formal menyerap karakteristik sektor informal, yaitu non-permanen, pekerja lepas, dan kerentanan finansial. Dengan kata lain, fleksibilitas justru menyebabkan informalisasi pada sektor formal. Kebijakan fleksibilitas ini diterapkan tidak hanya pada dunia usaha/swasta, namun juga pada badan pemerintahan.
46
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Akan halnya kebijakan desentralisasi, dianggap kurang mendorong perbaikan sektor formal, karena tidak diikuti dengan perbaikan sistem pengawasan. Kelemahan ini berdampak pada meningkatnya sistem percaloan tenaga kerja, yang semakin menempatkan perempuan pencari kerja pada posisi yang rentan.
Di samping itu, dalam hal perlindungan terhadap pekerja perempuan baik dalam hal keselamatan saat bekerja, maupun dalam hal pemenuhan hak-hak reproduksi pekerja perempuan masih belum terlindungi. Data kualitatif dari suatu studi persepsi pekerja pada tahun 2011 menemukan bahwa responden pekerja tidak menganggap pemerintah mendiskriminasikan pekerja berdasarkan jenis kelamin. Namun, sebaliknya perusahaan/ badan usaha yang dianggap telah melakukan diskriminasi pekerja berdasarkan jenis kelamin.26
Dari studi tersebut, ditemukan pula bahwa dari 10 faktor diskriminasi, 5 di antaranya (usia, kondisi kehamilan, kondisi fisik, status pernikahan, dan jenis kelamin) berkaitan dengan persepsi gender (gender-related). Perempuan akan terdiskriminasi dalam hal usia, sebab adanya fungsi reproduksi yang harus dijalani yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak (child-rearing) sebelum anak memasuki usia sekolah. Secara alami, perempuan akan memasuki dunia kerja setelah melewati usia 25 tahun. Sedangkan kebanyakan perusahaan menetapkan usia penerimaan pekerja berkisar 20-25 tahun. GAMBAR 28 Persepsi Pekerja tentang Diskriminasi di Perusahaan
Sumber: Studi Persepsi Pekerja. ILO, AKATIGA, KSPSI, KSBSI, dan KSPI, 2011
Kondisi kehamilan seharusnya sudah tidak menjadi penyebab PHK ataupun perlakuan diskriminatif oleh perusahaan, dengan adanya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun pada kenyataannya, pekerja perempuan yang hamil masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Terkadang perlakuan diskriminatif dilakukan secara terselubung dengan tidak memperpanjang kontrak kerja. Status pernikahan dan apalagi jenis kelamin seharusnya tidak menjadi penyebab perlakuan diskriminatif oleh perusahaan. Namun, perusahaan lagi-lagi lebih mengutamakan perempuan yang belum menikah, dengan alasan produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang telah menikah. Alasan preferensi perusahaan terhadap status lajang pekerja antara lain adalah: tidak perlu ada cuti hamil dan melahirkan,
26
Studi Persepsi Pekerja. ILO, AKATIGA, KSPSI, KSBSI, dan KSPI, 2011
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
47
tidak banyak mengajukan izin terkait masalah keluarga, dan mobilitas lebih tinggi (dapat ditempatkan di manapun) dibandingkan perempuan yang telah menikah.
Dari hasil seminar daerah di Provinsi Papua, permasalahan terbesar yang dihadapi di Papua terkait kesukuan, yaitu tingginya hambatan masuk ketenagakerjaan bagi penduduk asli Papua. Perekrutan tenaga kerja di instansi pemerintah daerah maupun perusahaan swasta masih sulit ditembus oleh penduduk asli Papua. Dengan rata-rata lama sekolah antara 2-6,1 tahun, kualifikasi penduduk asli Papua tentu termasuk rendah. Terlebih lagi kesempatan dan pilihan pendidikan non-formal di Papua masih sangat terbatas, maka secara umum penduduk asli Papua memiliki akses yang tidak sama dengan penduduk pendatang yang secara umum memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi lebih tinggi. Perempuan Papua lebih sulit lagi menembus hambatan masuk tersebut, dengan pendidikan dan kompetensi yang sama dengan penduduk asli laki-laki, penduduk asli perempuan Papua tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi untuk jabatan-jabatan strategis. Oleh sebab itu, bukan hanya kesempatan dalam proses seleksi yang diberikan pada penduduk asli Papua, terutama perempuan Papua, namun juga dalam hal penjenjangan karir. Bila kapasitas belum memadai, maka diperlukan kebijakan afirmatif untuk program peningkatan kapasitas pekerja penduduk asli Papua, terutama perempuan Papua. Selain hambatan masuk, alokasi jam kerja dan upah, serta perlindungan dari tindakan diskriminatif di tempat kerja, permasalahan ketenagakerjaan di sektor formal yang paling urgen untuk segera diatasi adalah masih rendahnya kualitas dan kompetensi pekerja perempuan dibandingkan pekerja laki-laki. Dikatakan urgen karena dalam waktu kurang dari 2 tahun (tahun 2015) Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah mulai diberlakukan. Pekerja-pekerja formal Indonesia secara umum lebih rendah kualifikasinya dan kompetensinya dibandingan pekerja-pekerja sektor formal negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Pengangguran di negara-negara tersebut, umumnya berpendidikan terendah tamatan SMA dan S1. Pekerja formal dan pengangguran dari negara-negara tersebut umumnya menguasai bahasa Inggris. Bahkan di Thailand sudah ditambahkan dengan kemampuan bahasa dari salah satu negara ASEAN. Dengan kata lain, tantangan yang dihadapi adalah peningkatan kapasitas pekerja sektor formal Indonesia baik perempuan maupun laki-laki untuk siap bersaing memasuki era MEA pada tahun 2015. Secara alamiah, perempuan memiliki artikulasi yang lebih tinggi dan minat terhadap linguistik yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai potensi pekerja perempuan untuk meningkatkan kemampuan penguasaan bahasa asingnya, terutama bahasa Inggris dan bahasa negara ASEAN lainnya. Perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja dari kekerasan dan pelecehan seksual masih perlu ditingkatkan. Data dari KPPPA menunjukkan bahwa dari kasus kekerasan yang diterima pada tahun 2011, 10 persen kasus kekerasan terjadi di tempat kerja. Sesuai UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 76 ayat (3) menyebutkan bahwa pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 berhak mendapatkan fasilitas angkutan/transportasi antar-jemput bagi yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d 05.00. Namun, pada kenyataannya, pekerja perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 tidak selalu disediakan angkutan antar-jemput, sehingga mereka menanggung resiko rawan terhadap tindak kekerasan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penerapan perlindungan pekerja perempuan yang saat ini belum berjalan secara optimal perlu ditingkatkan.
48
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
B. Sektor Informal Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tenaga kerja di sektor informal, perlu ditelaah terlebih dahulu berapa besar jumlah tenaga kerja dan berapa porsi sektor formal dan informal, berapa banyak laki-laki dan perempuan bekerja di sektor formal dan berapa banyak di sektor informal. Berikut adalah grafik mengenai jumlah pekerja untuk tahun 2010 dan 2012. GAMBAR 29 Jumlah Pekerja Formal dan Informal menurut Jenis Kelamin (2010 dan 2012)
Sumber: Sakernas 2010, 201227
Dari grafik di atas, nampak bahwa sektor informal menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan. Pada tahun 2010, total jumlah tenaga kerja di Indonesia mencapai lebih dari 107 juta orang. Sekitar 71,3 juta bekerja di sektor informal. Pekerja laki-laki di sektor informal berjumlah sekitar 43,7 juta orang, sedangkan pekerja perempuan berjumlah sekitar 27,6 juta orang. Bila UU Ketenagakerjaan hanya melindungi pekerja formal, maka hanya sekitar 35,7 juta orang yang dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Sisanya yang 2 kali lipat, yaitu 71,3 juta orang tidak terlindungi oleh negara. Sebagaimana telah disebutkan di atas, jumlah pekerja sektor informal jauh melebihi pekerja di sektor formal. Pekerja sektor informal paling diserap oleh pekerjaan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, perdagangan, industri pengolahan, dan rumah makan.
Permasalahan berikut dari sektor informal adalah rendahnya kualitas tenaga kerja. Lebih dari 70 persen pekerja sektor informal baik perempuan maupun laki-laki berpendidikan tamat SD atau lebih rendah. Dengan kualifikasi hanya tamat SD atau bahkan tidak tamat SD, kesempatan untuk meningkatkan posisi kerja mengecil, dan bahkan pilihan pekerjaan juga menjadi terbatas. Rendahnya daya saing yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan formal dan kurangnya kualifikasi pendidikan non-formal pekerja sektor informal secara 27
diolah dari paparan Dit. Naker dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas)
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
49
umum, akan menempatkan mereka pada posisi yang sangat rentan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Tantangan yang dihadapi dalam rangka mempersiapkan pekerja-pekerja sektor informal menghadapi persaingan dari negara-negara ASEAN adalah mengatasi keterbatasan jumlah dan ragam pendidikan non-formal yang tersedia di Indonesia, sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas dan daya saing pekerja sektor informal perempuan dan laki-laki Indonesia, termasuk para pekerja rumahan dan PRT.
Pekerja sektor informal yang belum memiliki pengalaman kerja sama sekali umumnya berawal pada posisi pekerja yang tidak dibayar. Setelah bekerja sebagai pekerja tidak dibayar beberapa waktu, bila dia tidak diberhentikan, maka dia kemungkinan diberi upah. Namun umumnya upah tersebut jauh dari upah minimum regional. Pekerja sektor informal tidak memiliki jaminan pekerjaan permanen, sehingga sangat rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Terlebih lagi, tidak ada peraturan yang mengharuskan pemberi kerja di sektor informal untuk menyediakan pesangon bagi pekerjanya yang diberhentikan. Hak-hak yang dinikmati oleh pekerja sektor formal, belum tentu dapat dinikmati oleh pekerja sektor informal, seperti hak cuti sehari saat haid setiap bulan, hak mendapatkan upah saat sakit, dan hak mendapatkan pekerjaan yang sama saat kembali bekerja setelah sakit. Pekerja sektor informal dapat kehilangan pekerjaannya sewaktuwaktu tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan bahkan dapat kehilangan pekerjaannya saat jatuh sakit. Di Kalimantan Tengah, terjadi diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan di perkebunan-perkebunan, serta pelanggaran hak-hak reproduksi pekerja perempuan (tidak diberikannya cuti hamil dan haid).28 Jam kerja di sektor informal umumnya cukup tinggi. Suatu studi di Kab. Batang (tahun 2011) dengan menggunakan data dasar dari Sakernas 2011, menunjukkan bahwa pekerja sektor informal di Kab. Batang 61 persen bekerja lebih dari 35 jam per minggu. Namun yang bekerja di bawah jumlah jam kerja normal yaitu di bawah 35 jam per minggu juga cukup banyak, yaitu berkisar 34 persen.29 Studi lain terkait jam kerja pekerja sektor informal di Kota Medan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah jam kerja mencapai 45 jam per minggu.30
Terlebih lagi, sebagian pekerjaan sektor informal adalah pekerjaan yang sulit/berat (secara fisik), kotor, dan berbahaya. Para pekerja yang melakukan pekerjaan tersebut seperti (pemulung sampah, kuli bangunan lepasan, penambang liar, dll.) tidak mempunyai jaminan kesehatan maupun jaminan keselamatan kerja. Dengan demikian, dengan upah yang sangat rendah, mereka mengambil resiko sangat besar bagi kesehatan dan keselamatan mereka.
28
Hasil Seminar Daerah di Provinsi Kalimantan Tengah. Analisis Pekerja Sektor Informal. Setiawan Budi Santoso. 2012 30 Sektor Informal Kota: Analisis Ekonomi Rumah Tangga Pekerja Sektor Informal di Kota Medan. Syafirah Zahrah.2003. 29
50
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 30 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Seminggu yang Lalu menurut Tingkat Pendidikan, Jenis Kelamin dan Sektor Pekerjaan, Tahun 2011
Sumber: BPS, Sakernas Agustus 2011
Di sektor informal ini terdapat juga pekerja rumahan (home-workers) yang seringkali tidak terdokumentasi dan tidak terhitung dalam statistik nasional dan daerah. Yang dimaksud dengan pekerja rumahan dalam kajian ini adalah orang yang melakukan kegiatan yang menguntungkan secara ekonomi di dalam rumah mereka atau di sekitarnya, tetapi tidak di kantor perusahaan/tempat majikan.31 Mereka umumnya perempuan, ibu rumah tangga yang menerima pekerjaan melalui perantara, baik secara individual maupun secara berkelompok kecil. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Pusat Kajian Wanita Universitas Brawijaya selama beberapa tahun terakhir mengindikasikan bahwa pekerja rumahan umumnya dibayar di bawah upah minimum daerah, tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. Sistem pengupahan berdasarkan produksi, tanpa mempertimbangkan waktu yang diperlukan. Sebagai contoh, usaha garmen yang membutuhkan pemasangan payet yang rumit pada gaun. Untuk menyelesaikan satu gaun kemungkinan menghabiskan waktu 3-8 jam kerja, namun yang dihitung hanya jumlah gaun yang sudah diselesaikan. Pekerja rumahan umumnya tidak memiliki kontak langsung dengan pasar untuk barang yang mereka hasilkan, sehingga tidak mengetahui “nilai nyata” dari hasil kerja mereka. Oleh karena itu mereka rentan terhadap ekploitasi. Terlebih lagi, pekerja rumahan tidak diakui sebagai pekerja oleh badan usaha yang menggunakan jasa mereka, bahkan oleh perantara. Tantangan yang perlu diatasi adalah ketiadaan jejaring antara pekerja rumahan, terutama yang bekerja secara individual, sehingga tidak dapat menguatkan posisi tawar mereka terhadap perantara ataupun pemberi kerja. Saat ini pemerintah bekerjasama dengan ILO dan AusAID melakukan program percontohan Maju Perempuan Indonesia untuk Kesejahteraan dan Keadilan (MAMPU), yang salah kegiatannya mencakup upaya perbaikan kondisi kerja dan perlindungan sosial bagi pekerja rumahan. Di samping itu, masalah perlindungan terhadap hak-hak pekerja di rumah tangga juga perlu segera ditangani dengan lebih baik. Pekerja di rumah tangga, termasuk Pembantu Rumah Tangga (PRT) memiliki hak-hak sebagaimana pekerja di sektor formal, antara lain
31
Konvensi ILO tahun 19(6 tentang Pekerja Rumahan (homeworkers)
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
51
adalah: hak untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan, hak cuti, hak untuk mengikuti Pemilihan Umum, dan hak untuk dilindungi dari berbagai tindak kekerasan. Tantangan terkait pekerja di rumah tangga adalah rendahnya pemahaman di tingkat keluarga atas hak-hak pekerja di rumah tangga dan hak-hak pemilik rumah tangga sebagai pemberi kerja.
Sektor informal banyak menampung pekerja yang tidak dibayar. Pekerja tidak dibayar ini sebagian besar perempuan. Dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2012, persentase pekerja perempuan tidak dibayar tidak mengalami banyak perubahan, masih terus berkisar pada 30 persen. Diperkirakan jumlah pekerja yang tidak dibayar lebih besar daripada yang tercatat pada statistik nasional, sebab belum mencakup pekerja yang bekerja kurang dari 5 hari berturut-turut. GAMBAR 31 Persentase Pekerja yang Tidak Dibayar (unpaid worker)
Sumber: BPS, Sakernas berbagai tahun.
C. TKI Informal Terdapat sejumlah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, yang disebut sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Setiap tahunnya ratusan ribu TKI bekerja di berbagai negara. Sebagian dari TKI bekerja di sektor formal dan sebagiannya lagi di sektor informal. Sektor informal dalam hal ini umumnya adalah pekerja domestik. Bila melihat grafik di bawah, nampak bahwa pada tahun 2008 jumlah TKI sektor informal jauh lebih besar dibandingkan TKI sektor formal. Namun setelah tahun 2009, TKI sektor informal mulai menurun. Dari ratusan ribu TKI lebih dari separuhnya adalah TKI perempuan. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 76 persen TKI perempuan. Namun jumlah dan persentasenya menurun sejak tahun 2010, dan pada tahun 2012 TKI perempuan hanya 57 persen dari total TKI.
Pada tahun 2012, jumlah TKI sektor informal sudah lebih sedikit dibanding jumlah TKI sektor formal. Dari grafik persentase di bawah, terlihat lebih jelas mengenai rasio TKI di sektor informal dibandingkan sektor formal. Kebijakan pemerintah memperketat prosedur TKI sektor informal mendorong pada penurunan jumlah dan persentase TKI sektor informal. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan perlindungan bagi TKI sektor informal masih kurang, sehingga rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan di tempat TKI bekerja.
52
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 32 Jumlah TKI Sektor Formal dan TKI Sektor Informal (2008-2012)
Sumber: BNP2TKI (laporan berbagai tahun)
GAMBAR 33 Persentase TKI Formal dan TKI Informal (2008-2012)
Sumber: BNP2TKI (laporan berbagai tahun)
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
53
GAMBAR 34 Jumlah TKI Menurut Jenis Kelamin (2006-2012)
Sumber: Kemenakertrans dan BNP2TKI
Masalah terkait TKI, bermasalah dari hulu hingga hilir, dari prapenempatan, masa penempatan, hingga purnapenempatan (pemulangan). Menurut hasil survei TKI oleh Kementerian PP&PA, sekitar 75% TKI responden mendapatkan informasi mengenai pekerjaan dari calo/sponsor, sisanya 25 persen dari PPTKIS, dan tidak satupun responden yang mendapat informasi dari pemerintah setempat/dinas terkait.32 Idealnya pusat informasi mengenai pekerjaan berada di berbagai tempat, tidak harus berada di kota/kabupaten, tidak harus berada hanya di dinas ketenagakerjaan. Pusat informasi kesempatan kerja dapat juga ditempatkan pada kantor desa/kelurahan, dan sekolah menengah atas. Daerah pengirim TKI terbesar seperti Kab. Indramayu, Cilacap, Cirebon, Cianjur, Lombok Tengah dan Timur perlu memberikan perhatian khusus mengenai penyediaan informasi yang benar dan tepat di desa-desa asal sebagian besar TKI-nya.
Dari hasil survei yang sama juga ditemukan bahwa sekitar 55 persen TKI responden mendapatkan sumber pembiayaan keberangkatan dan pelatihan dari calo/sponsor. Hanya 8 persen TKI responden yang menggunakan jasa perbankan, dan sekitar 10 persen mendapatkan dari pinjaman perorangan dengan bunga tinggi. Rendahnya penggunaan jasa perbankan perlu dikaji lebih mendalam, apa yang menjadi kendalanya. Bila memungkinkan ada keringanan persyaratan perbankan bagi TKI perempuan, sebab kepemilikan aset maupun kemampuan finansial perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. TKI pada saat keberangkatan ada yang terkena pungutan di bandara, menurut sekitar 24 persen TKI responden. Kemudian, 90 persen responden menyatakan bahwa mereka dipungut biaya di bandara pada saat kembali ke Indonesia, dan dalam perjalanan menuju desanya. Namun data yang didapatkan tidak terpilah menurut jenis kelamin, sehingga tidak diketahui tepatnya apakah semua responden tersebut adalah perempuan atau ada responden laki-laki. Terlepas dari data yang tidak terpilah, dalam hal ini mekanisme pengamanan pemulangan TKI ke kampung halamannya yang selama ini diberikan pemerintah dapat dikatakan tidak efektif atau sangat rendah tingkat keefektifannya. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali dengan perspektif gender mengenai mekanisme dan pemilihan petugas pendamping TKI. 32
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2012 melakukan survei di 5 negara.
54
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Data BNP2TKI tahun 2012 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen TKI yang umumnya perempuan hanya berpendidikan SMP atau SD. Dikombinasikan dengan lama latihan yang hanya sekitar 2 bulan, maka pilihan bentuk pekerjaan bagi mereka hanya pekerjaan fisik. Bagi TKI perempuan pilihan mereka semakin terbatas hanya pada pekerjaan domestik, yaitu penata laksana rumah tangga (PLRT). Dari data BNP2TKI sebagaimana terlihat pada tabel berikut, dari sejak tahun 2008 hingga 2012 sebagian besar TKI perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (housemaids, women workers, caretakers). Kemudian dikaitkan pada negara-negara terbanyak bermasalah, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, ada hambatan bahasa dan budaya yang besar. Budaya di negara-negara tersebut, posisi PLRT tidak berbeda dengan budak, yang berarti tidak memiliki hak apapun selain yang ditentukan oleh pemilik rumah. Oleh karena itu, resiko perlakuan salah menjadi lebih besar bagi TKI perempuan di negara-negara tersebut. Terkait hambatan bahasa dan budaya, pelatihan dan pembekalan yang dipersyaratkan bagi pemberangkatan TKI menjadi sangat esensial. Masa pelatihan di BLK hanya 20 sampai dengan 60 hari. Pelatihan ini sudah mencakup keterampilan, bahasa dan budaya lokal tempat kerja. Masa pelatihan yang maksimal hanya 60 hari (umumnya kurang dari 2 bulan), tentu jauh dari memadai dalam membekali TKI. Pelajaran bahasa asing kurang dari 2 bulan sama sekali tidak akan optimal. Penguasaan bahasa yang rendah kemungkinan besar menjadi penyebab kesalahan komunikasi di tempat kerja, hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak pada TKI. Lebih jauh lagi, bila penguasaan bahasa lebih baik, TKI perempuan akan lebih bisa mengenali tanda-tanda awal perlakuan salah, terutama pelecehan dan penganiayaan verbal. Pembekalan mengenai budaya juga tidak kalah pentingnya, terutama bagi TKI perempuan yang akan mengalami banyak benturan sosial dalam bentuk perlakuan berbeda di negara tujuan. TABEL 8 TKI Berdasarkan Jenis Pekerjaan (2007-2012)
No
Jabatan
Tahun 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
1
House Maid
2.256
63.903
52.212
50.928
136.999
50.062
356.360
3
Care Taker
1.656
39.008
15.745
18.618
48.474
18.113
141.614
2 4
5
Women Worker Operator
Plantation Worker
6
Worker (Man)
8
Housekeepers/PLRT
7
9
10
11
Labour
General Worker
Driver Automotive
Agricultural Labour
Sumber: BNP2TKI (website per Juni 2012)
7.338
64.188
554
23.336
193
6.390
108
29.712 15.960
5.137
19.559
464
11.286
6.894
18
3.272
81
368
2
5.745
2.526
916
47.002 35.137
21.538
129.918 40.842
6.983
14.638
1.674
2.446
3.499
2.703
76.692
9.129
7.658
9.028
7.982
17.098
33.398
4.153
131.386
13.648
18.761
292.176
15.557
39.624
9.968
2.936
14.018
6.675
99.614
47.807 41.780
8.366
3.343
28.180
6.814
1.146
14.027
11.809
2.184
22.060
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
55
TABEL 9 Negara Terbanyak Penerima TKI Sektor Informal No
TAHUN
Negara
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
1
Saudi Arabia
278.411
251.875
211.623
272.676
215.513
105.929
5.405
1.341.432
3
Taiwan
40.432
45.775
53.023
53.932
54.459
60.052
25.131
332.804
39.614
34.997
31.295
13.533
201.094
581
100.845
22
48.872
2
4
5
6
7
8
9
10
Malaysia
Singapore
62.609
United Emirate Arab Hong Kong Kuwait Qatar
Yordania Oman
28.117
22.350
19.092
24.551 5.590
10.512 5.147
54.068
37.373
26.675
29.968
25.588 7.575
12.050 7.136
60.238
21.767
32.630
30.199
26.251 6.869
9.722
7.633
39.047
33.072
32.412
22.894
605
39.520
33.235 109
6.427
38.131
48.264 871
5.754
228.748
19.472
217.452
17.912
211.082
8.867
12.036
12.597
7.933
61.467
9.660
8.849
5.978
3.327
47.730
10.920
5.556
90
Dari grafik di bawah ini, permasalahan yang paling sering muncul adalah PHK sepihak, kemudian majikan bermasalah, sakit akibat kerja. Walaupun dari segi persentase rendah, namun masalah gaji tidak dibayar, penganiayaan, dan pelecehan seksual justru sangat perlu menjadi perhatian pemerintah. Ketiga masalah ini merupakan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap TKI perempuan. Terlebih lagi penganiayaan dan pelecehan seksual berdampak permanen bagi TKI perempuan baik secara fisik maupun secara psikis. GAMBAR 35 Persentase Lima Permasalahan Terbesar TKI, Tahun 2012
Moratorium (penghentian penempatan) TKI PLRT ke negara seperti Saudi Arabia, Malaysia, Yordania, Kuwait, dan Syria telah menyebabkan penurunan jumlah TKI pada tahun 2012 (dan 2013). Namun ternyata kebijakan ini masih kurang efektif bagi perlindungan beberapa TKI, yang mengalami transfer dari negara tetangga yang tidak ada moratorium kembali masuk ke negara yang telah ada moratorium. Transfer ini dilakukan secara ilegal, sehingga semakin membahayakan TKI, yang dapat masuk ke dalam kasus penyelundupan
56
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
manusia, bahkan perdagangan orang antarnegara. Data mengenai transfer ilegal ini belum diterima, dan tidak diketahui apakah TKI perempuan berada di antara yang ditransfer secara ilegal.
Dari segi tatalaksana pemerintah dalam penanganan masalah TKI juga masih terjadi tumpang-tindih. Masih terjadi kesalahpahaman terkait penanganan TKI bermasalah selama berada di luar negeri dan pemulangan dan penampungan setelah berada di dalam negeri, terutama tentang K/L mana yang berwenang dan bertanggung jawab. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PP&PA) yang secara mandat tupoksinya tidak melakukan kegiatan teknis, pada kenyataannya “mendapat mandat” untuk memberikan bantuan sosial bagi TKI perempuan yang bermasalah.
Selain masalah TKI itu sendiri, ternyata pengiriman TKI pun menimbulkan masalah lain di tingkat keluarga TKI yang ditinggalkan. Permasalahan yang sering timbul adalah disharmoni keluarga, termasuk perceraian. Bila TKI meninggalkan anak, maka pengasuhan anak seringkali menjadi terbengkalai, karena anak dititipkan pada anggota keluarga lain yang terkadang tidak dapat mengasuh dengan maksimal (kakek/nenek/suami yang juga bekerja, kerabat, dll.). Uang hasil kerja TKI yang dikirim ke kampung sebagian besar tidak dimanfaatkan untuk usaha ekonomi. Dari survei TKILN yang dilakukan KPP&PA (2012), hanya 12 persen dari responden yang menyatakan pengiriman uang pendapatan dimanfaatkan untuk usaha ekonomi. Sekitar 25 persen mengatakan uang pendapatannya dimanfaatkan untuk pendidikan anak, namun 63 persen responden menyatakan dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya (termasuk perbaikan rumah, bayar utang, dll.). Tantangan yang perlu diatasi ke depan adalah penanganan masalah dampak dari pengiriman TKI, dan sekaligus meningkatkan ketahanan keluarga TKI.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
57
BAB VI HUKUM Berbagai program pembangunan bidang hukum telah mendorong upaya pencapaian kesetaraan gender, di antaranya: telah dilakukannya langkah awal pengkajian berbagai peraturan dan kebijakan yang bias gender baik di pusat maupun di daerah, hingga usulan memperbaiki peraturan dan kebijakan yang menjadi penyebab utama ketidakadilan gender. Meskipun dilakukan secara parsial, langkah ini merupakan kemajuan yang berarti dan sejalan dengan upaya reformasi regulasi yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah. Penguatan basis hukum telah mencakup berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga ke daerah dalam bentuk peraturan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, termasuk peraturan kepala daerah. Dalam kajian ini, cakupan analisis meliputi perangkat lunak (software) serta pelaksana (user) pembangunan bidang hukum.
Software hukum dalam hal ini dibatasi pada proses pembentukan regulasi, dan substansi peraturan-peraturan perundangan, yaitu mengkaji UU yang dinilai bias gender dan berpotensi merugikan warga negara perempuan dan/atau laki-laki, serta upaya penegakan hukum. User pembangunan hukum dalam kajian ini adalah aparat penegak hukum (APH). Kajian ini tidak akan membahas hardware hukum, yaitu bentuk dan kondisi institusi perangkat hukum.
I. Dasar Hukum Pembangunan Bidang Hukum terkait Gender
Hingga periode RPJMN II (2010-2014), telah cukup banyak peraturan perundangundangan yang mendukung kesetaraan gender dan mendorong perlindungan bagi perempuan di Indonesia. Berbagai undang-undang yang dimaksud antara lain adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut. TABEL 10 Undang-undang terkait Gender di Indonesia, hingga Periode RPJMN II
UU No.
UU No. UU No. UU No. UU No. UU No.
UU No.
UU No. UU No. UU No. UU No. UU No.
UU No.
7
3 39 23 23 11
12
13 13 21 17 17
2
Tahun
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Tahun
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Tahun
1984
1997 1999 2002 2004 2005
2005
2005 2006 2007 2006 2007
2011
tentang
tentang tentang tentang tentang tentang
tentang
tentang tentang tentang tentang tentang
tentang
Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
Peradilan Anak Hak Asasi Manusia Perlindungan Anak Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik
Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya Perlindungan Saksi dan Korban Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kewarganegaraan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20052025
Partai Politik, mengganti UU 2/2008 tentang hal yang sama
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
58 UU No.
6
Tahun
2011
tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya ( International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families).
UU No. UU No.
19 8
Tahun Tahun
2011 2012
tentang tentang
Ratifikasi Konvensi mengenai Hak penyandang Disabilitas Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengganti UU 10/2008 tentang hal yang sama
UU No.
11
Tahun
2012
tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mencabut UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Selain undang-undang tersebut di atas, ada berbagai peraturan perundang-undangan lainnya terkait gender, di antaranya adalah Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Anak, Hasil Konferensi Dunia IV tentang Perempuan mengenai Deklarasi dan Rencana Aksi Beijing-1995, dan Deklarasi Tujuan Pembangunan Milenium/Millennium Development Goals/MDGs-2000. Di atas seluruh Undang-undang tersebut, konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Undang-undang Dasar (UUD) 1945 merupakan dasar hukum utama pembangunan bidang hukum terkait gender. Dalam UUD 1945, ada 14 Rumpun Hak yang dijabarkan ke dalam 40 Hak Konstitutional setiap warga Negara Indonesia. Dalam pasal 27, secara jelas disebutkan bahwa Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki.33
II. Pencapaian Pembangunan Bidang Hukum terkait Gender
Berbagai upaya pencapaian pembangunan bidang hukum terkait gender terus dilakukan. Upaya mencapai pembangunan bidang hukum ini dilakukan mulai dari tahapan perumusan peraturan dan kebijakan, pengkajian substansi atau isi dari produk peraturan dan kebijakan, hingga penegakan hukum yaitu memonitor bagaimana implementasi dari berbagai peraturan dan kebijakan. Meskipun pada tahapan penegakan hukum masih perlu upaya besar dan kerjasama dari berbagai pihak baik pengguna maupun penegak hukum terutama dalam hal pemberlakuan sanksi dari suatu peraturan, pada tataran produk kebijakan, sudah cukup banyak yang dihasilkan untuk pelaksanaan program-program pembangunan menuju kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Pada bulan November tahun 2011, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan atau selanjutnya disebut Parameter Kesetaraan Gender (PKG). Walaupun idealnya PKG ini merupakan bagian dari UU Pembentukan Perundang-undangan, namun adanya pedoman ini sendiri sudah merupakan kemajuan berarti dan dapat berkontribusi besar terhadap upaya pemerintah dalam proses rekonseptualisasi pembentukan regulasi yang saat ini sedang dilakukan. Dengan diterbitkannya PKG diharapkan keadilan gender di dalam berbagai kebijakan baik yang tertuang dalam Peraturan Perundang-undangan, program pembangunan, maupun dalam kebijakan teknis lainnya dapat terjamin; kesenjangan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam pencapaian pembangunan dapat menurun dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat menurun. Adapun implementasi 33
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
59
nyata dari digunakannya PKG ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, merupakan pekerjaan rumah yang harus dipantau dan dilaksanakan secara bersama-sama antara perumus kebijakan dan peraturan, penegak hukum serta pelaksana hukum.
Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang disebutkan dalam bagian satu juga dicatat sebagai pencapaian pembangunan bidang hukum terkait gender dari dua RPJMN sebelumnya (RPJMN I dan RPJMN II) serta periode sebelum itu. Peraturan perundangundangan dan kebijakan terkait lainnya yang termasuk ke dalam pencapaian hingga periode akhir RPJMN II adalah adanya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Instruksi Presiden No. 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, Surat Edaran Bersama No. 270/M.PPM/11/2012, No. SE-33/MK.02/2012, No. 050/4379A/SJ, No. SE 46/MPP-PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (Stranas PPRG). Di tingkat pemerintahan daerah, hingga tahun 2011, menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), telah ada sedikitnya 40 kebijakan daerah yang kondusif bagi pemenuhan hak konstitusional perempuan, antara lain, tentang pemulihan korban, perlindungan bagi buruh migran, pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dan penanganan HIV/AIDS. Keempat puluh kebijakan ini belum termasuk inisiatif di beberapa wilayah untuk menerbitkan kebijakan daerah tentang pendidikan dan layanan kesehatan yang murah bahkan gratis, sesuai dengan kemampuan daerahnya. Jumlah ini memang jauh lebih kecil dibandingkan jumlah perda yang dikeluarkan pada tahun 2012 berdasarkan data dari situs setkab.go.id dan Biro Hukum Kemendagri, karena hingga saat ini, belum ada upaya menyeluruh dari pemerintah untuk mengkaji berbagai peraturan, khususnya di daerah, yang kondusif bagi pemenuhan hak konstitutional perempuan tersebut.34
III. Permasalahan terkait Kesetaraan Gender dalam Hukum
Walaupun telah banyak kemajuan bagi kesetaraan gender terkait penyusunan peraturan perundang-undangan, namun masih banyak juga peraturan perundang-undangan yang bias gender, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, masih banyak UU yang diskriminatif terhadap perempuan, misalnya UU mengenai sistem pengupahan tenaga kerja perempuan, tunjangan keluarga, dan tunjangan kesehatan-di mana perempuan dianggap lajang, sehingga suami dan anak-anak tidak mendapatkan tunjangan sebagaimana diterima pekerja laki-laki. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No.7 tahun 1990 tentang Upah, PP No 37 tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan negara, Permen Pertambangan No.2/P/M/1971, Permen Pertanian No K440/01/2/1984 dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No 4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8 UU No.7/1983, pasal 4 Permen Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan pasal 8 UU No. 10 tahun 1994 tentang prosedur memperoleh NPWP. 35 34
Informasi dari Biro Hukum Kemendagri-seperti disampaikan dalam presentasi Direktur DAPP Bappenas 15 Juli 2013 di Jakarta: jumlah perda yang dievaluasi/klarifikasi oleh Kemendagri adalah 3000 (2010), 9000 (2011), dan 3000 (2012). 35 Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
60
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Peraturan perundang-undangan yang bias gender di tingkat daerah menunjukkan adanya kecenderungan untuk meningkat. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2009 terdapat 154 peraturan daerah yang diskriminatif atau bias gender, dan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya, yaitu 184 (2010), 217 (2011), dan 282 (2012). Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD.36
Selain persoalan substansi peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan/atau bias gender, serta ketidakharmonisan substansi antar undang-undang yang menyebabkan ketidakadilan gender, permasalahan terkait gender bidang hukum terutama juga terjadi dalam hal proses perumusan peraturan dan kebijakan, implementasi produk hukum serta upaya penegakan hukum. Dalam hal penegakan hukum misalnya, sudah ada UU yang mengatur Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun upaya penegakan hukumnya masih minim, ditunjukkan di antaranya dengan masih sering terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Selain itu telah adanya UU yang mengatur Sistem Peradilan Pidana Anak pada tahun 2012 – dalam hal ini kebutuhan akan adanya ruang khusus untuk sidang anak sudah diakomodir; namun permasalahan yang sama, belum adanya mekanisme yang memantau bagaimana kepatuhan pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Walaupun telah ada upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan, namun hanya terkait harmonisasi antara UU dan turunannya, termasuk peraturan daerah. Hingga saat ini, belum ada mekanisme pemantauan, evaluasi dan pemetaan secara terintegrasi untuk peraturan perundang-undangan terkait gender. Permasalahan terkait Aparat Penegak Hukum (APH), antara lain adalah bahwa sebagian besar APH masih belum responsif gender. APH yang terutama paling diharapkan untuk responsif gender adalah APH yang berhubungan langsung dengan penduduk yang bermasalah dengan hukum, terutama perempuan dan anak, pada setiap tahapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT). Sebagian polisi pada unit UPPA masih belum responsif gender dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Kriminalisasi korban masih terjadi karena adanya stereotipe dari polisi. Masih ada jaksa yang belum responsif gender dalam penuntutan kasus kekerasan terhadap perempuan atau perempuan sebagai pelaku. Sebagian hakim terkadang belum responsif gender dalam proses peradilan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama terkait perkosaan dan eksploitasi. Dalam proses pemasyarakatan juga, sebagian petugas Bapas dan Lapas belum responsif gender, terutama berkaitan masalah kesehatan reproduksi.
Penanganan kasus oleh polisi yang belum responsif gender sering justru menghambat pelaksanaan hukum. Korban perempuan dari tindak kekerasan di rumah tangga/tempat kerja/ruang publik sering kali justru diperlakukan sebagai yang bersalah (kriminalisasi korban). Menurut Komnas Perempuan, sekitar 60 persen korban Kekerasan di rumah tangga (KDRT) menghadapi kriminalisasi.37 Contoh kriminalisasi korban antara lain adalah: i) pendahuluan kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh pelaku KDRT; dan ii) korban KDRT melakukan perlawanan terhadap setelah lama mendapatkan perlakukan kekerasan, namun korban yang melawan kemudian dianggap pelaku dalam kasus yang dilaporkan. Contoh peradilan yang responsif gender adalah dikeluarkannya Surat Edaran Perlindungan Anak. 36 Parameter Keseteraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 2011 37 Data Catatan Tahunan 2011-2013, Komnas Perempuan
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
61
Ketua MA yang mengharuskan korban kasus KDRT untuk didahulukan oleh kepolisian dan kejaksaan, sebelum kasus pencemaran nama baik yang diajukan pelaku KDRT.
Perlakuan kriminalisasi korban seringkali terjadi karena adanya persepsi dan stereotip dari APH. Untuk mengubah persepsi dan menghilangkan stereotip pada APH, APH perlu memiliki pemahaman mengenai penegakan hukum yang responsif gender. Penegakan hukum yang responsif gender juga termasuk mengenai penggunaan UU yang responsif gender seperti UU No. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan TPPO, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Langkah yang telah diambil adalah memasukkan pelatihan gender dalam program pelatihan hakim pengadilan agama. Di samping itu, HAM dan gender telah dimasukkan juga dalam kurikulum Akademi Kepolisian.
62
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
BAB VII POLITIK Pembangunan bidang politik dalam negeri semakin menjadi area yang strategis bagi pencapaian kesetaraan gender. Pengambilan keputusan dan kontrol terhadap pembangunan adalah bagian utama dari politik. Sebelum memasuki era reformasi, politik dalam negeri tidak banyak mengalami perubahan. Pengambilan keputusan dan kontrol terhadap pembangunan sangat didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan dalam politik masih sangat minim perannya. Memasuki era reformasi, dorongan untuk meningkatkan peran perempuan bersama laki-laki dalam wilayah politik mulai meningkat.
I. Dasar Hukum Pembangunan Bidang Politik terkait Gender
Pada tahun 2008, dengan dikeluarkannya UU No. 10 tentang Pemilihan Umum, kebijakan afirmatif diberlakukan dengan menetapkan kuota minimal 30 persen anggota legislatif terdiri dari perempuan. Dengan kuota 30 persen tersebut diharapkan pemikiran-pemikiran perempuan lebih terwakili di dalam parlemen Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 2012, dikeluarkan UU No. 8 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menggantikan UU No. 10 tahun 2008 tentang hal yang sama.
Dalam UU No. 8 tahun 2012, hal yang penting untuk diperhatikan terkait kesetaraan gender dan kebijakan afirmatif adalah persyaratan yang mengharuskan setiap partai politik mengajukan 1 (satu) calon legislatif perempuan untuk setiap 3 (tiga) nama calon legislatif. Bab Politik ini tidak hanya mengkaji sisi legislatif, namun juga mengkaji posisi pengambil keputusan pada eksekutif dan yudikatif.
II. Pencapaian Pembangunan Bidang Politik terkait Gender
Berikut grafik proporsi keterwakilan laki-laki dan perempuan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). GAMBAR 36 Proporsi Keterwakilan Laki-laki dan Perempuan di DPR
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
88.0%
12.0%
1992-1997
90.1%
9.9%
11.3%
1999-2004
2004-2009
laki-laki
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU)
88.7%
perempuan
82.1%
18.4%
2009-2014
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
63
Dari grafik di atas, nampak bahwa tidak banyak perubahan keterwakilan perempuan di DPR selama periode 1992-1997 (pra-reformasi) dan periode 1999-2009, yaitu berkisar pada 9-12 persen. Namun, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, terjadi peningkatan keterwakilan perempuan menjadi 18,4 persen. Sementara itu pada tingkat DPRD I rata-rata keterwakilan perempuan mencapai 16 persen, dan DPRD II mencapai 12 persen. Semua DPRD Provinsi telah memiliki representasi perempuan, kecuali Bali. DPRD Maluku tercatat sebagai tertinggi dalam jumlah anggota legislatif perempuan. Salah satu faktor pendorong adalah adanya imbauan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar partai politik peserta Pemilu mengajukan (minimal) 30 persen calon legislatif perempuan untuk setiap wilayah pemilu. Untuk DPRD tingkat kabupaten/kota, masih ada 29 kabupaten/kota yang belum memiliki satupun anggota legislatif perempuan (masih 100 persen laki-laki). GAMBAR 37 Representasi Perempuan dalam DPR dan DPRD Hasil Pemilu 2009
Sumber: Pusat Kajian Politik FISIP-UI (2010)
Selain di ranah legislatif, pengambilan keputusan dan kontrol terhadap pembangunan di ranah eksekutif juga masih sangat didominasi oleh laki-laki. Berikut grafik persentase jabatan publik (menteri, bupati/walikota, gubernur, hingga lurah/kepala desa) menurut jenis kelamin. Di tingkat Kementerian, perbandingan masih 9:1 menteri laki-laki dibanding menteri perempuan. Demikian pula halnya pada tingkat provinsi, untuk setiap 10 gubernur terdapat 1 gubernur perempuan. Pada tingkat kabupaten/kota, perbandingan lebih mencolok, yaitu untuk setiap 100 bupati/walikota hanya ada 1 (satu) bupati/walikota perempuan, dan di tingkat kelurahan kelurahan tidak jauh berbeda.
64
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 38 Persentase Menteri, Bupati/Wali Kota, gubernur, Lurah/Kepala Desa Menurut Jenis Kelamin 2010 (Eksekutif)
GAMBAR 39 Persentase PNS (Eksekutif) Tingkat K/L menurut Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin 2012/2013
Sumber: BKN per Januari 2013
Nampak dari grafik di atas, jabatan pengambilan keputusan masih jauh dari berimbang antara pejabat laki-laki dan perempuan untuk semua eselon. Data dari 652 pejabat eselon I di tingkat K/L, hanya terdapat 107 orang pejabat perempuan. Rata-rata perbandingan sekitar 8:2 antara pejabat laki-laki dan perempuan. Kecuali untuk jabatan eselon III yang kondisinya lebih baik, sekitar 7:3 perbandingan antara pejabat laki-laki dan pejabat perempuan. Untuk instansi kepolisian, di Markas Besar POLRI, 1 orang PATI perempuan berbanding 121 orang PATI laki-laki. Sedangkan di Kejaksaan RI, sudah lebih baik, dengan perbandingan sekitar 2:5 antara jaksa perempuan dan jaksa laki-laki. GAMBAR 40 Jumlah Pejabat (berdasarkan pangkat) POLRI di Markas Besar POLRI Menurut Jenis Kelamin (2010)
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
65
GAMBAR 41 Jumlah Jaksa di Kejaksaan RI Menurut Jenis Kelamin
Sumber: Data Kepolisian RI, 2010
III. Permasalahan dalam Pembangunan Bidang Politik terkait Gender Ranah Legislatif Dilema yang kemudian muncul adalah, kualitas anggota legislatif perempuan terutama di tingkat DPR yang menjadi sorotan. Umumnya anggota legislatif perempuan yang terpilih adalah figur publik yang tidak/kurang memiliki latar belakang pendidikan maupun pengalaman di bidang politik. Tanpa pendidikan dan pengalaman politik, pengetahuan politik dan pemahaman mengenai hukum, perundang-undangan dan pembangunan nasional diperkirakan juga rendah. Terlebih lagi dikhawatirkan rendahnya pemahaman mengenai konsep kesetaraan gender di kalangan anggota legislatif perempuan. Oleh karena itu, dikhawatirkan akan menjadi bumerang dalam upaya peningkatan kesetaraan gender. Namun demikian, yang lebih perlu diperhatikan adalah bahwa masalah kualitas yang rendah tidak terisolasi hanya pada anggota legislatif perempuan, tetapi juga merupakan masalah pada anggota legislatif laki-laki. Tidak sedikit anggota legislatif lakilaki yang kurang memiliki pengetahuan memadai terkait hukum, perundang-undangan dan pembangunan nasional. Namun kenyataan ini tertutup oleh jumlah anggota legislatif laki-laki yang masif, sedangkan anggota legislatif perempuan yang kurang berkualitas menjadi lebih nampak karena jumlah yang sedikit. Pembentukan Kaukus Perempuan DPD-RI merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perempuan di legislatif. Namun yang seharusnya lebih mengupayakan peningkatan kualitas anggota legislatif adalah partai-partai politik itu sendiri. Pembekalan dan upaya pembinaan partai politik sudah tidak lagi menjadi bagian dari kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berwenang dan tidak berfungsi untuk memberikan pembekalan politik maupun ilmu pembangunan nasional kepada calon dan anggota legislatif. Masing-masing partai politik yang berkewajiban memberikan pembekalan dan pembinaan bagi calon dan anggota legislatifnya. Terlepas dari itu, KPU masih dapat memainkan peran yang cukup strategis dalam peningkatan kualitas calon legislatif. KPU dapat menjadikan pendidikan dan pelatihan politik, hukum, dan pembangunan nasional
66
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
sebagai persyaratan calon anggota legislatif (caleg) laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, partai politik terdorong untuk lebih mengupayakan peningkatan kapasitas bagi para caleg laki-laki dan perempuan.
Keterwakilan perempuan dalam fraksi-fraksi di DPR dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa merupakan partai yang jumlah anggota legislatifnya paling tinggi persentasenya (di atas 24 persen). Sementara partai politik yang paling sedikit anggota legislatif perempuannya adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (hanya sedikit di atas 5 persen). Tidak satupun fraksi yang mencapai kuota 30 persen dari yang dimandatkan UU Pemilihan Umum. Dengan demikian, KPU perlu mendorong agar semua partai politik peserta pemilihan umum mengajukan lebih dari (bukan maksimal) 30 persen calon legislatif perempuan dalam daftar calon legislatifnya. Partai Keadilan Sejahtera perlu menunjukkan upaya yang lebih besar lagi dalam memenuhi mandat kuota 30 persen untuk fraksinya di DPR. Kurangnya anggota legislatif perempuan juga menjadi cerminan dari kurangnya calon legislatif perempuan, walaupun tidak berbanding lurus. Umumnya partai politik mengalami kesulitan dalam mendapatkan perempuan yang cukup berpotensi dan berminat sebagai calon legislatif. Rendahnya animo perempuan untuk masuk ke dalam ranah politik cukup banyak dipengaruhi oleh stereotip dunia politik yang negatif, kotor, penuh permainan, dunia laki-laki, tidak cocok untuk perempuan. Di samping itu, budaya dan atmosfir di dalam partai politik yang masih sangat didominasi oleh laki-laki serta di dalam parlemen juga masih belum kondusif bagi perempuan. Anggota legislatif perempuan menganggap perlu menunjukkan sikap keras dan tegas dalam pertemuan-pertemuan politik, dan sangat penting untuk didukung oleh data dan fakta agar memungkinkan (tapi belum pasti) suara mereka didengar dan ditanggapi. Padahal, anggota legislatif laki-laki tanpa didukung data dan fakta sudah mendapat respon dan tanggapan. Dengan demikian, sikap feminin merupakan karakteristik yang menghambat dalam politik. Nampaknya pandangan bahwa perempuan tidak siap untuk memasuki dunia politik tidak sepenuhnya tepat, sebab dunia politik juga belum benar-benar siap menerima kehadiran perempuan. Tantangan perempuan dalam politik adalah rendahnya persiapan calon dan anggota legislatif perempuan dalam menghadapi budaya politik baik di partai masing-masing, maupun di dalam parlemen. Pendidikan formal belum cukup untuk menjadi modal berkiprah dalam politik. Kemampuan melakukan lobi merupakan modal utama dalam politik. Oleh karena itu, partai-partai politik perlu membangun kapasitas komunikasi para kadernya, terutama kader perempuan yang akan membantu dalam membuka pintu komunikasi dengan konstituennya dan dengan kolega politiknya.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
67
GAMBAR 42 Keterwakilan Perempuan dalam Fraksi di DPR (2009)
Sumber: UNDP Policy Paper: “Women’s Participation in Politics and Government in Indonesia”, data diambil dari “List of Member (2009), Setjen DPR RI.
Salah satu bentuk ketidaksiapan dunia politik menerima perempuan, adalah bahwa jumlah perempuan dalam susunan pengurus harian partai politik sangat rendah. Tidak cukup dengan jumlah yang sangat rendah itu, umumnya partai politik menempatkan kaderkader perempuan pada posisi-posisi yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reproduksi dan stereotipe peran perempuan. Dalam kepengurusan partai politik, umumnya kader perempuan ditempatkan pada divisi/badan sosial dan bidang (pemberdayaan) perempuan/ kewanitaan, atau bagian yang kurang strategis. Sangat sedikit yang ditempatkan pada posisi yang strategis, seperti ketua bidang politik (PDI-P), dan wakil ketua umum III (PD). Hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa pada kumpulan indikator kelembagaan PUG yang (dalam kajian awal Bappenas tahun 2012), salah satunya adalah Proporsi Perempuan dalam Kepengurusan Parpol. Penetapan indikator ini akan menjadi alat pemantau proksi untuk melihat perkembangan kesiapan dunia politik dalam menerima perempuan.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah keterpilihan anggota legislatif perempuan berkorelasi dengan keberadaan anggota keluarga di partai politik yang mengusungnya. Hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP-UI pada tahun 2010 pada 10 DPRD Provinsi menunjukkan bahwa anggota legislatif perempuan umumnya memiliki suami (24 persen) atau orangtua (29 persen responden) atau saudara kandung (22 persen responden) atau anak (7 persen responden) di partai politik mereka.38 Melihat hubungan ini, muncul pandangan bahwa keterpilihan anggota legislatif perempuan banyak dipengaruhi oleh figur keluarga yang telah lebih dulu berkiprah di dunia politik di masing-masing partai politiknya. Fenomena ini muncul dengan semakin maraknya praktek politik dadakan, partai politik mengusung keluarga dari anggotanya yang telah terlebih dulu mapan di arena politik, walaupun pengetahuan dan pengalaman politiknya minim. Inilah salah satu dampak negatif 38
Survei Puskapol di 10 DPRD Provinsi, 2010
68
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
dari sistem pemilihan umum langsung (bukan musyawarah). Pemilih kemungkinan besar memilih calon legislatif yang lebih sering muncul (lebih populer) di media nasional ataupun lokal. Pemilihan kemungkinan bukan karena kualitas atau ideologi atau hal-hal prinsipil yang diperjuangkan oleh calon legislatif, namun kemungkinan besar lebih karena popularitas. Walaupun popularitas bukan hal yang negatif, namun partai politik perlu membangun kualitas dan kapasitas kadernya, agar selain populer juga dapat memberikan pandanganpandangan dan usulan-usulan yang bermakna dalam parlemen. DPRD Papua anggota legislatif perempuan sekitar 11 persen, yaitu 6 orang dari 56 orang. Kuota 30 persen caleg yang diterapkan oleh Parpol masih pada taraf “pelengkap” persyaratan. Selain itu, caleg perempuan masih belum dilihat mampu untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, sehingga tingkat keterpilihan caleg perempuan masih rendah. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas bagi caleg perempuan menjadi sangat esensial untuk meningkatkan probabilitas keterpilihan. Para konstituen perempuan perlu didorong agar lebih memberikan dukungan bagi caleg perempuan. Pendidikan politik praktis bagi perempuan di Papua hampir nihil. Oleh karena itu KPUD perlu melakukan pemantauan secara reguler terhadap kewajiban partai-partai politik memberikan pendidikan politik bagi kadernya, dan terutama bagi para caleg-nya. Ranah Eksekutif
Bila data pada grafik disilang dengan data persentase PNS menurut tingkat pendidikan, maka nampak bahwa untuk pendidikan S3 menunjukkan perbandingan yang sama dengan rata-rata perbandingan pejabat eselon, yaitu 8:2 antara PNS laki-laki dan perempuan. Menilik grafik persentase di bawah, nampak bahwa PNS perempuan lebih sedikit yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Sarjana Strata 1, dan semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit jumlah PNS perempuan. Dengan demikian, kemungkinan PNS perempuan untuk mendapatkan promosi jabatan akan meningkat bila tingkat pendidikannya semakin tinggi. Faktor-faktor yang diperkirakan sebagai penghambat bagi peningkatan jumlah PNS perempuan untuk mendapatkan pendidikan S2 terkait minat, pertimbangan keluarga, dan jarak sarana pendidikan. Namun, kajian khusus mengenai apa penyebab kurangnya PNS berpendidikan Strata 2 dan terlebih lagi Strata 3 perlu dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Tantangan kesetaraan gender di lembaga eksekutif adalah bagaimana meningkatkan daya saing PNS perempuan untuk jabatan struktural. Hal ini terkait dengan kualifikasi pendidikan, kompetensi, dan kapasitas kepemimpinan. Selain itu, pemahaman mengenai kesetaraan gender dalam birokrasi perlu diberikan kepada semua calon pejabat eselon. Oleh karena itu, materi kesetaraan gender perlu dimasukkan dalam kurikulum pelatihan dan pendidikan kepemimpinan untuk semua tingkatan eselon, terutama untuk eselon I dan II. Tantangan lain adalah bagaimana meningkatkan minat para sarjana hukum perempuan untuk berkarir sebagai jaksa.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
69
GAMBAR 43 Persentase PNS Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin
Sumber: BKN per Januari 2013
Ranah Yudikatif Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik menerbitkan Profil Perempuan Indonesia 2012. Menurut data Profil 2012, ternyata dari ketiga lembaga suprastruktur, lembaga yudikatif merupakan lembaga yang paling rendah apresiasinya terhadap kemampuan perempuan dalam memimpin. Dari empat institusi yudikatif, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial, hanya Mahkamah Konstitusi yang memiliki pimpinan perempuan di dalam badan pimpinan. Tantangan ke depan adalah bagaimana meningkatkan minat perempuan yang mendalami bidang hukum untuk menjadi hakim.
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Bagian ini akan mengetengahkan masalah lintas bidang prioritas, strategis, dan mengemuka (emerging) terkait peningkatan kesetaraan gender. Setiap Bab lintas bidang hanya akan fokus pada hal-hal yang dinilai akan mendorong pencapaian kesetaraan gender secara mendasar dan/atau signifikan. Dengan kata lain, tidak akan mengetengahkan semua capaian dan permasalahan bidangbidang terkait.
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
73
BAB VIII PERLINDUNGAN TERHADAP BERBAGAI TINDAK KEKERASAN UUD pasal 28G ayat 2 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Dengan demikian, setiap orang berhak untuk tidak mengalami kekerasan, terlindungi dari tindak kekerasan. Dalam kajian ini, tindak kekerasan dibatasi hanya mencakup 5 (lima) isu, yaitu: i) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT); ii) Kekerasan di Tempat Kerja (KDTK); iii) Kekerasan di Ruang Publik; iv) Pornografi; dan V) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan memberikan informasi jumlah dan jenis kekerasan yang dilaporkan korban kepada penyedia layanan baik yang berbasis komunitas, lembaga swadaya masyarakat, lembaga bantuan hukum maupun lembaga layanan pemerintah seperti P2TP2A, pengadilan agama, UPPA dan BP3AKB di berbagai provinsi. Berdasarkan CATAHU, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahunnya. Pada tahun 2001, terdapat 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani. Pada tahun 2012, terdapat 216.156 kasus yang dilaporkan dan ditangani. Peningkatan ini, meskipun tidak memberikan informasi mengenai insiden kekerasan yang dialami perempuan selama hidupnya (prevalensi), mengindikasikan bahwa kesadaran untuk melaporkan kasus kekerasan di kalangan masyarakat semakin meningkat, demikian pula dengan respon dari pemberi layanan untuk melaporkan kepada Komnas Perempuan. GAMBAR 44 Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan 2001-2012
Sumber: Komnas Perempuan, Catatan Tahunan 2013
74
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 45 Kasus Kekerasan Berdasarkan Ranah
Sumber: Catahu 2013 (disampaikan wakil Komnas Perempuan pada EGM 30 Mei 2013)
Permasalahan yang paling mendasar terkait Perlindungan terhadap Kekerasan adalah belum tersedianya data prevalensi yang dapat memberikan informasi menyeluruh mengenai dampak kekerasan bagi perempuan. Data kekerasan yang tersedia saat ini adalah data yang didasari oleh laporan kasus kekerasan yang diterima penyedia layanan (P2TP2A, Komnas Perempuan, WCC, Lembaga Bantuan Hukum, Polri, Kejaksaan, Pengadilan Agama). Data ini masih belum menunjukan angka kekerasan yang sebenarnya karena banyak korban yang tidak pernah melaporkan tindak kekerasan. Sementara data prevalensi yang menunjukkan tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan di rentang usia tertentu dan dalam rentang waktu tertentu membutuhkan peranti survei yang secara metodologi bisa dipertanggungjawabkan validitasnya karena isu ini sangat sensitif. Survei nasional seperti ini sulit sekali dilakukan. Kesulitan pertama adalah bahwa insiden kekerasan umumnya merupakan masalah sensitif bagi korban maupun keluarga korban, sehingga petugas survei tidak dimungkinkan untuk menanyakan dengan pertanyaan langsung. Padahal, pertanyaan survei harus menanyakan pertanyaan yang tidak bermakna ganda. Oleh karena itu, diperlukan upaya tersendiri untuk merangkum hal-hal terkait kekerasan dalam beberapa pertanyaan bermakna tunggal yang tidak menyebabkan responden survei (yang mungkin saja merupakan korban atau keluarga korban kekerasan) bingung atau menjadi menarik diri/memberikan jawaban yang tidak akurat.
Pengumpulan data survei juga harus memperhatikan sensitivitas isu kekerasan yang bagi banyak perempuan sangat pribadi, terutama jika pelakunya adalah orang terdekat dalam keluarga. Terlebih lagi, petugas yang melakukan survei hanya bertugas untuk mengumpulkan data, tidak ditugaskan memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi. Pada tahun 2006, upaya untuk memperoleh data prevalensi dilakukan dengan menambah satu modul dalam susenas, tetapi baik secara metodologi maupun sensitivitas pelaksanaan survei, data yang diperoleh masih jauh dari memadai. Adanya data yang komprehensif bukan hanya memberikan gambaran tentang dampak kekerasan terhadap perempuan, namun data tersebut juga akan memberikan informasi lengkap untuk penganggaran yang memadai bagi tersedianya layanan bagi korban.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
75
I. Kekerasan dalam Rumah Tangga Perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga telah dijamin oleh negara melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Beberapa K/L pemberi layanan telah menyusun peraturan pelaksana, panduan dan Kesepakatan Bersama (MoU) sebagai bentuk implementasi dari UU PKDRT dan upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Sebagian di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Kesepakatan Bersama antara Komnas Perempuan dengan Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian RI dan Asosiasi Advokat tentang Akses terhadap Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan tahun 2011
2. Permen KPP dan PA No. 01 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
3. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 4. Peraturan Kapolri No. 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Manajemen Layanan bagi Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepolisian 5. Peraturan Kapolri No. 3 tahun 2008 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
6. MoU antara KPP dan PA dengan Polri 2011 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Korban Kekerasan 7. Peraturan Menteri Sosial 102 tahun 2007 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Rumah Perlindungan dan Trauma Centre
Beberapa provinsi, di antaranya Papua, telah menyusun Peraturan Daerah sebagai pelaksana UU PKDRT. Perda No. 8 tahun 2013 tentang Perlindungan terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan arahan bagi terlaksananya UU ini di tingkat provinsi, dengan menyertakan konteks lokal dalam upaya pencegahan berbasis komunitas bernama ‘kampung aman.’ Mekanisme kampung aman melibatkan peran serta pemimpin adat, agama dan pemerintah (SKPD) yang menjadi karakteristik penyelesaian konflik yang selama ini dilaksanakan di Papua, atau terkenal dengan sebutan pendekatan “tiga tungku.” Capaian penting dari pelaksanaan UU No. 23 tahun 2004 ini adalah tersusunnya peraturan pelaksana yang mengatur standar pelayanan minimal (SPM) bidang layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang berada di bawah koordinasi KPP dan PA dengan melibatkan kementerian dan lembaga layanan terkait.
SPM bidang layanan terpadu ini memberikan arahan bagi kementerian dan lembaga yang berwenang memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan dalam penanganan laporan/pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial. Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang diatur dalam SPM ini meliputi: Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dan Pusat Krisis Terpadu (PKT) yang berbasis rumah sakit, puskesmas, P2TP2A, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), RPTC, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), BP4 dan lembaga keumatan lainnya, kejaksaan, pengadilan, Satgas Pelayanan Warga di Perwakilan RI di Luar Negeri, Women Crisis Center (WCC), lembaga bantuan hukum dan lembaga sejenis lainnya. Layanan
76
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
ini dapat berbentuk satu atap (one stop crisis centre) atau jejaring tergantung kebutuhan di masing-masing daerah. Selain dasar hukum yang kuat untuk perlindungan korban dan peraturan pelaksana yang menjamin tersedianya layanan bagi perempuan dan anak korban KDRT, capaian lainnya adalah pemantauan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara berkala oleh KPP dan PA dan Komnas Perempuan.
Permasalahan dan Tantangan
Penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi korban, terutama korban kekerasan seksual. Meskipun UU PKDRT memberikan kepastian hukum bagi korban kekerasan di ranah domestik, dalam pelaksanaannya, penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi korban yang melaporkan kasus kekerasan masih belum bisa dijamin. Penyebabnya adalah reviktimisasi (situasi ketika korban dipersalahkan kembali atas tindakan kekerasan yang dialaminya). Situasi ini terjadi ketika baik masyarakat maupun penegak hukum masih belum memiliki kesadaran mengenai kekerasan terhadap perempuan, menganggap bahwa korban “pantas” menerima kekerasan tersebut karena tindakannya sendiri. Kemungkinan lain adalah reviktimisasi karena proses hukum yang berjalan secara paralel. Seperti yang dikutip dari CATAHU Komnas Perempuan tahun 2011: “Komnas Perempuan menerima pengaduan 20 kasus reviktimisasi terhadap perempuan korban, 12 kasus (60 persen) diantaranya korban KDRT. Reviktimisasi dialami oleh para korban KDRT akibat proses hukum yang berjalan hanya memprioritaskan kepentingan hukum semata. Penegakan hukum hanya diukur berdasarkan laporan dan terpenuhinya unsur-unsur yang diatur dalam pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHAP juga sebagai acuan hukum acara pidana tidak mengatur tentang proses hukum terkait tindakan saling lapor. Adanya laporan pidana lain yang terkait laporan korban atau bahkan tindakan pelaku terhadap korban yang tidak dilaporkan ke pihak kepolisian dan upaya hukum yang dilakukan guna melemahkan korban mendapatkan haknya. Akibatnya, pihak kepolisian memproses semua laporan. Dampaknya, perempuan korban mengalami proses hukum yang ganda, diperlakukan secara timpang yang semuanya merupakan perbedaan perlakuan, pembatasan dan pengucilan.”
Dari berbagai kasus reviktimisasi yang dilaporkan terkait KDRT, yang paling sering diterima korban adalah: 1. Gugatan perceraian dan mempertahankan hak asuh anak oleh perempuan korban yang kemudian dilaporkan oleh suaminya sebagai penganiayaan anak dan KDRT, sehingga korban dilarang bertemu anak. 2. Pembelaan diri hak istri sah yang mengungkap kebenaran di depan publik kemudian dilaporkan sebagai tindakan pencemaran nama baik. 3. Melaporkan suami secara pidana, kemudian suami ganti melaporkan istri melakukan KDRT/penganiayaan suami.
4. Memberikan hak anak atas kasih sayang pasca putusan perceraian oleh pengadilan, kemudian dilaporkan suami sebagai pelaku penculikan anak.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
77
Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam penanganannya, hampir semua laporan korban tidak berlanjut atau terhambat, sebaliknya laporan pelaku yang lebih dulu diproses oleh polisi. Perbedaan perlakuan terhadap pelaporan ini adalah menghambat terpenuhinya rasa keadilan bagi perempuan yang melaporkan tindak kekerasan.
Untuk meminimalisasi reviktimisasi perempuan korban, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE-007/A/JA/11/2011 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan, yang isinya antara lain adalah: “Jaksa Penuntut Umum harus mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, dalam penunjukan Jaksa Penuntut Umum agar lebih diutamakan yang sudah pernah mengikuti pelatihan penanganan perkara Kekerasan Terhadap Perempuan (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perdagangan Orang dan Perlindungan Anak) ataupun pernah mengikuti Seminar tentang Penanganan HAM; Gender; Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Tindak Pidana Perlindungan Anak.”
Kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai KDRT masih rendah. Sebagian besar masyarakat belum memahami bahwa tindakan kekerasan yang bersifat menyiksa telah melampaui batas domestik, dan menjadi urusan pemerintah. Sebagian lagi berusaha menyembunyikan berbagai tindak kekerasan yang dialami ataupun yang diketahui, sebab dianggap aib dan tidak sepantasnya disampaikan pada orang lain. Selain itu, budaya melindungi keluarga masih sangat kental di Indonesia, sehingga walaupun telah melakukan kesalahan, pelaku kekerasan masih dilindungi oleh korbannya dengan tidak dilaporkan pada yang berwajib.
Belum selarasnya koordinasi antarpenyedia layanan, terutama untuk layanan rujukan dan minimnya anggaran untuk layanan terpadu. Peraturan Menteri KPP&PA No. 01/2010 adalah sebuah upaya komprehensif untuk menjamin tersedianya layanan terpadu yang bisa diakses oleh korban, akan tetapi pelaksanaan di masing-masing kementerian/lembaga penyedia layanan baik pemerintah maupun nonpemerintah masih belum maksimal. Salah satu kendala terbesarnya adalah minimnya anggaran untuk pelayanan terhadap korban kekerasan dan layanan rujukan yang belum terkoneksi secara sempurna.39 Belum adanya program pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang komprehensif, terutama dengan melibatkan perubahan perilaku berbagai pihak, penyedia layanan, publik, komunitas dan individu, baik di lingkungan masyarakat, maupun individu. Berdasarkan temuan Komnas Perempuan mengenai reviktimisasi, laporan dan kasus kekerasan yang dilaporkan namun tidak memberikan kepastian hukum bagi pelapor/korban, sikap penyedia layanan, komunitas, dan individu; masih belum berpihak terhadap korban. Meskipun budaya kerap dianggap sebagai salah satu penyebabnya, namun upaya pencegahan komprehensif dengan memperhatikan akar permasalahan dari sikap tersebut belum dilakukan.
Salah satu contoh adalah penyebab tingginya kekerasan di Provinsi Papua yang dipicu oleh minuman keras. Rifka Annisa pada tahun 2012 melakukan survei di tiga lokasi di Indonesia, yaitu Jakarta, Purworejo, dan Jayapura dengan jumlah responden lebih dari 2.400 laki-laki berusia 18-50 tahun, untuk melihat pengalaman hidup laki-laki yang dihubungkan dengan sikapnya terhadap kekerasan. Hasil survei Rifka Anisa menunjukkan adanya kecenderungan 39
Hasil analisa dari “Costing for Multi-sectoral Services for Women Subjected to Violence”, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan UN Women, 2012.
78
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
yang tinggi di antara laki-laki dengan pengalaman kekerasan di masa kanak-kanak dan cara mereka dibesarkan dengan norma maskulinitas yang identik dengan kekerasan dan kuasa atas perempuan, untuk lebih toleran terhadap kekerasan terhadap perempuan. Masalah kecanduan alcohol dan NAPZA juga menjadi salah satu faktor dari kecenderungan melakukan kekerasan dan sikap yang tidak mendukung kesetaraan gender. Selain masalah alkohol, pola pendidikan dan pembelajaran sosial dari lingkungan terdekat juga menjadi salah satu akar permasalahan dari toleransi terhadap kekerasan.
Di Provinsi Papua, kasus KDRT cukup tinggi, namun kasus yang dilaporkan sangat rendah. Salah satu kendalanya adalah belum adanya lembaga perlindungan saksi dan korban, sehingga korban KDRT tidak memiliki tempat berlindung saat akan menjalani proses hukum. Saat ini, telah disusun Peraturan Daerah terkait Perlindungan Korban Kekerasan, dan akan segera disahkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah minuman keras (miras). Oleh karena itu, perlu ditingkatkan regulasi yang menekan konsumsi miras. Selain itu, perlu juga dikembangkan budaya “malu minum miras.” Walaupun miras umumnya dikonsumsi oleh laki-laki, namun efek dari miras bisa menjadi KDRT bahkan tindak pidana seperti perusakan dan perkosaan. Kasus miras di Timika sangat tinggi, dan menjadi akar masalah sosial. Kasus miras terjadi pada rumah tangga ekonomi tinggi maupun rendah.
Potensi pencegahan kekerasan komprehensif. Beberapa WCC dan penyedia layanan nonpemerintah sudah melakukan intervensi untuk mengubah perilaku individu dengan pelibatan laki-laki. Sebagai contoh adalah Rifka Anisa di Yogyakarta, yang membuka program konseling bagi pelaku kekerasan dengan melibatkan konselor laki-laki. Beberapa kelompok laki-laki bergabung dalam sebuah gerakan bernama “Aliansi Laki-Laki Baru” di beberapa provinsi (Jakarta, Yogyakarta, Aceh, Bengkulu, NTT, dan Maluku), dan bekerja sama dengan LSM perempuan dan universitas untuk memberikan pendampingan bagi kelompok lakilaki dalam membangun citra maskulinitas yang positif dan prokesetaraan gender untuk mencegah kekerasan. Modul pembelajaran pelibatan laki-laki ini bisa diterapkan di lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas, kelompok komunitas dan kemasyarakatan yang bisa didukung oleh kementerian dan SKPD terkait.
II. Kekerasan di Tempat Kerja
Berdasarkan data dari KPP&PA, pada tahun 2011 tindak kekerasan berupa pelecehan seksual di tempat kerja adalah sekitar 10 persen (lihat Bab Ketenagakerjaan). Sejumlah kendala yang menyebabkan kekerasan di tempat kerja terus terjadi, antara lain adalah: - relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku di tempat kerja (biasanya dilakukan atasan/supervisor terhadap bawahan/staf) menyebabkan korban enggan melapor karena kekhawatiran akan diberhentikan secara sepihak;
- situasi dapat berbalik arah dengan pelaporan tindak pencemaran nama baik oleh pelaku tindak kekerasan, karena pembuktiannya yang sulit; - belum adanya sarana dan mekanisme pelayanan perlindungan terhadap kekerasan di tempat kerja. Terkadang perusahaan tidak memiliki prosedur penanganan tindak kekerasan, sehingga laporan korban tidak dapat ditindaklanjuti secara efektif; - penegakan hukum atas tindak kekerasan di tempat kerja masih rendah. Penyebabnya
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
-
79
adalah karena dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah hanya terkait keselamatan dan kesehatan kerja, tidak termasuk perlindungan moral dan kesusilaan; dan
masih rendahnya pemahaman pekerja mengenai macam-macam tindakan yang termasuk kategori tindak kekerasan di tempat kerja, yang dapat ditindaklanjuti secara hukum bila dilakukan.
Oleh karena itu, perlu ditetapkan suatu mekanisme pengawasan terpadu terhadap pelanggaran hak dan perlakuan kekerasan serta diskriminasi terhadap pekerja. Selain itu, perlu dilakukan advokasi, sosialisasi, dan KIE perlindungan hak pekerja terhadap berbagai tindak kekerasan di tempat kerja. Lebih jauh, perlu disediakan sarana pelayanan perlindungan berbagai tindak kekerasan di tempat kerja, serta perlu adanya mekanisme pelayanan perlindungan berbagai tindak kekerasan di tempat kerja.
III. Kekerasan di Ruang Publik
Pencegahan kekerasan di ranah publik/komunitas/negara. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 telah mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan di dalam rumah tangga, tetapi belum menjangkau perempuan korban kekerasan di luar ranah rumah tangga, atau di ranah publik/komunitas/negara. CATAHU Komnas Perempuan pada tahun 2012 mencatat kekerasan di ranah komunitas mencapai 4.293 kasus atau 34% dari keseluruhan kasus. Sepanjang tahun 2011 hingga 2013, kasus-kasus kekerasan di ranah publik telah menjadi sorotan media, seperti kasus perkosaan di kendaraan umum. Data dari Polda Metro Jaya menyebutkan, sepanjang tahun 2011 terjadi 68 kasus perkosaan yang kebanyakan terjadi di ruang publik, seperti di angkutan umum. Reviktimisasi juga sering dialami oleh korban kekerasan seksual, seperti yang menjadi sorotan di tahun 2011 ketika korban perkosaan di kendaraan umum yang dipersalahkan karena pakaiannya yang dianggap mengundang syahwat. Stigmatisasi dan reviktimisasi yang masih sangat umum terjadi ini membuat korban kekerasan seksual enggan untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.
Hingga saat ini belum ada upaya yang komprehensif untuk pencegahan kekerasan di ruang publik, seperti di transportasi umum dan tempat kerja. Beberapa tindakan pencegahan seperti razia angkutan umum yang berkaca gelap dan pengendara yang tidak memiliki identitas masih bersifat ad hoc dan sporadis. Sementara panduan mengenai pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2011 masih belum diimplementasikan dan memiliki kekuatan mengikat untuk penegakan hukum.
Beberapa terobosan berupa panduan, seperti pencegahan pelecehan di tempat kerja, dapat ditindaklanjuti dengan peraturan yang lebih mengikat dan memberi kepastian hukum. Hal ini harus diiringi pula dengan peningkatan kapasitas para pengambil keputusan tentang kekerasan terhadap perempuan dan kesetaraan gender.
Kejadian pelecehan seksual dan verbal seringkali terjadi dalam durasi yang singkat, dan tidak banyak saksi, sehingga pembuktian menjadi sulit. Sementara itu, berhadapan dengan hukum masih menjadi ‘momok’ bagi masyarakat umumnya, apalagi perempuan, sehingga penempuhan jalur hukum atas kasus kekerasan di ruang publik menjadi opsi yang terakhir bagi korban pelecehan. Perempuan dan anak penyandang disabilitas/berkebutuhan khusus
80
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
menjadi kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan pelecehan seksual dan verbal. Mereka lebih sulit lagi bila harus berhadapan dengan hukum, sehingga penempuhan jalur hukum atas kasus kekerasan di ruang publik bagi penyandang disabilitas/kebutuhan khusus korban kekerasan di ruang publik memerlukan mekanisme yang berbeda dan lebih sensitif. Namun, saat ini masih sangat sedikit lembaga bantuan hukum yang berpengalaman dan mengkhususkan diri dalam penanganan kasus kekerasan di ruang publik bagi penyandang disabilitas/kebutuhan khusus.
Mekanisme perlindungan hukum untuk kasus tindak kekerasan di ruang publik menjadi salah satu tantangan yang harus dituntaskan untuk meningkatnya akses perempuan terhadap perempuan, juga penyandang disabilitas/kebutuhan khusus. Selain ketersediaan mekanisme, pemahaman Pemda dan APH dalam menyediakan mekanisme khusus yang sensitif gender terkait rute aman dan selamat ke dan dari sekolah/sarana pendidikan perlu ditingkatkan lagi. Misalnya dengan memperluas jangkauan P2TP2A (penempatan pos-pos di ruang publik) untuk mempermudah dan mempercepat penanganan awal pengaduan tindak kekerasan di ruang publik dan sosialisasi dalam bentuk KIE tentang perlindungan hukum yang telah tersedia.
IV. Pornografi
UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi ditetapkan antara lain untuk mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. Dalam UU No. 44 tahun 2008 tersebut, ditekankan bahwa setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi, dan mencegah anak mengakses informasi pornografi. Namun, saat ini bullying di sekolah yang mengarah pada pornografi mulai muncul. Sementara itu, baik Kemendikbud, maupun sekolah-sekolah, belum menyediakan kebijakan/regulasi untuk mencegah bullying di sekolah secara efektif. Selain itu, penegakan hukum bagi penyebar pornografi sendiri masih lemah. UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada pasal 27 ayat 1 telah melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Saat ini pornografi begitu mudah diakses oleh masyarakat. Bahkan anak remaja dan anak di bawah umur dapat mengakses pornografi dengan mudah melalui berbagai media, terutama media internet. Berikut adalah sejumlah penelitian terbatas mengenai akses dan perilaku seksual anak usia sekolah:
1. Center for Human Resource Studies and Development FISIP Universitas Airlangga Surabaya melakukan penelitan terhadap 300 responden, dan mengemukakan bahwa terdapat 56,5 persen remaja pria usia 15 - 19 tahun mengaku pernah melihat film porno, dan 18,4 persen remaja putrinya mengaku pernah membaca buku porno.
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2010 telah melakukan survei terhadap 4.500 remaja tentang perilaku seksual di 12 kota besar. Hasil survei tersebut memberikan potret memprihatinkan mengenai perilaku seksual anak usia sekolah tingkat SMP-SMA, antara lain sebagai berikut: • 97 persen responden remaja pernah menonton film porno; • 93,7 persen responden remaja pernah ciuman, oral seks;
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
81
• 62,7 persen responden remaja SMP tidak perawan; • 21,2 persen responden remaja SMA pernah aborsi.
3. Menurut Yayasan Kita dan Buah Hati yang melakukan penelitian dengan responden siswa SMA pada periode 2012-2013 menyatakan bahwa : • 99 persen responden siswa SMA pernah mengakses media pornografi dan hanya 1 persen yang tidak pernah mengakses media pornografi. • Alasan siswa melihat media pornografi karena: tidak disengaja (48 persen), penasaran (30 persen), iseng (13 persen), terpengaruh teman (5 persen), lain-lain (4 persen). • Tempat siswa responden melihat materi pornografi di: rumah sendiri/saudara (38 persen), lain-lain (22 persen), bioskop (18 persen), rumah teman (13 persen), warnet (5 persen), sekolah (2 persen). • Perasaan anak saat melihat materi pornografi adalah: biasa saja (28 persen), terangsang/senang (23 persen), jijik (22 persen), kaget (15 persen), lain-lain (8 persen), takut (3 persen), tidak menjawab (1 persen). • Media pornografi yang dilihat anak dan remaja adalah melalui: situs internet (20 persen), film/bioskop (18 persen), VCD/DVD (18 persen), komik (12 persen), games (7 persen), iklan (7 persen), media cetak (7 persen), handphone/HP (5 persen), buku cerita (4 persen), sinetron televisi (2 persen). 4. Yayasan Kita dan Buah Hati melakukan penelitian dengan responden siswa SD kelas 4, 5, dan 6 di wilayah Jabodetabek pada tahun 2008 hingga 2010: sekitar 67 persen dari 2.818 siswa SD kelas 4-6 sudah pernah mengakses informasi pornografi. Sekitar 24 persen mengaku melihat pornografi melalui media komik. Selain itu, sekitar 22 persen melihat pornografi dari situs internet, 17 persen dari games, 12 persen melalui film di televisi, dan enam persen lewat telepon genggam. Hampir separuhnya mengakses pornografi di rumah. Dampak pornografi bagi masyarakat, keluarga, perempuan, dan terutama anak sangat negatif. Pornografi merupakan bentuk eksploitasi seksual terhadap manusia, terutama perempuan dan anak. Setiap anak dan dewasa laki-laki merupakan sasaran utama/target konsumen dalam industri pornografi. Setiap anak dan dewasa perempuan berkemungkinan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual, terutama perkosaan. Oleh karena itu, perlu penanganan yang terpadu dalam pencegahan dan penegakan hukum terhadap orang dan badan usaha yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Selain itu, akses terhadap pornografi perlu diperketat, terutama akses melalui media elektronik dan media cetak. Kemudian, pemahaman masyarakat dan keluarga tentang UU Pornografi perlu ditingkatkan melalui berbagai komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE). Kesadaran akan rentannya anak terhadap ancaman pornografi juga perlu disosialisasikan lebih jauh.
V. Tindak Pidana Perdagangan Orang
Letak geografis Indonesia sangat strategis untuk perdagangan antarnegara. Namun ternyata, letak strategis itu tidak hanya untuk perdagangan komoditas legal, akan tetapi juga strategis bagi perdagangan ilegal yaitu senjata ilegal, NAPZA, dan perdagangan orang dewasa
82
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
(laki-laki dan perempuan) dan anak (laki-laki dan perempuan). Khusus terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Indonesia bukan hanya menjadi negara asal korban TPPO, namun juga sebagai negara transit dan negara tujuan. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang keras dari berbagai pihak untuk mencegah, menangani, dan menghapuskan TPPO di Indonesia.
A. Dasar Hukum
UUD Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. TPPO merupakan bentuk perbudakan, oleh karena itu TPPO merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia.
Mengawali penanganan kasus TPPO, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak untuk periode 2002-2007. RAN PPPA ini kemudian yang menjadi dasar dalam penanganan dan pencegahan TPPO. Selanjutnya, pada tahun 2007, ditetapkan dasar hukum yang lebih kuat dan spesifik untuk Penghapusan TPPO, yaitu UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Di dalam UU PTPPO tersebut, ditetapkan definisi perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sejak disahkannya UU PTPPO hingga saat ini, terdapat setidaknya 7 (tujuh) provinsi yang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara). Selain UU PTPPO, telah dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pada tingkat kebijakan teknis, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Gugus tugas ini diketuai oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Ketua Harian, serta beranggotakan 19 K/L.
B. Capaian Pembangunan terkait Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pada RPJMN I (2004-2009), TPPO telah mulai ditangani, namun masih pada tahap penanganan kasus TPPO transnasional. Kegiatan penanganan kasus TPPO transnasional berada di dalam Program Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, melalui kegiatan
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
83
pokok penyelenggaraan penanggulangan dan penanganan terhadap kejahatan transnasional. Kemudian, pada RPJMN II (2010-2014), penanganan TPPO telah lebih menyeluruh dan lintasbidang, melibatkan berbagai K/L terkait. Program pembangunan yang mencanangkan secara eksplisit mengenai TPPO adalah: i) Program Pemantapan Hubungan dan Politik Luar Negeri serta Optimalisasi Diplomasi di Kawasan Asia Pasifik dan Afrika; dan ii) Program Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.
Basis data makro nasional untuk kasus TPPO belum tersedia di BPS, sebab kasus TPPO sensitif bagi korban maupun keluarga korban. Selain itu, ada kendala bahwa terkadang korban TPPO itu sendiri tidak menyadari bahwa yang dialaminya masuk dalam kategori perdagangan orang. Untuk itu, BPS melakukan pendataan pendekatan tidak langsung, melalui survei Potensi Desa (PODES) tahun 2008 dan 2011.40 Data hasil PODES 2011: i) 22 dari 33 provinsi terindikasi ada korban TPPO di desa-desanya; ii) terdapat 119 desa yang terindikasi ada korban TPPO; iii) umumnya desa-desa tersebut tersebar di masing-masing provinsi, kecuali di Jawa Barat; Jawa Barat terindikasi sebagai provinsi dengan jumlah desa terbanyak yang memiliki korban TPPO. GAMBAR 46 Rekapitulasi data hasil PODES 2011 untuk TPPO
Sumber: BPS, Survei PODES 2011
Pendataan kasus TPPO pada tingkat mikro pun masih terbatas dan tersebar pada masingmasing institusi. Berapa jumlah sebenarnya kasus TPPO yang ditangani, hingga saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti. Data ‘terlengkap’ saat ini bukan dari pemerintah, namun dari organisasi internasional nonpemerintah yang khusus menangani pekerja migran. Menurut International Organization for Migration (IOM), dari kasus-kasus yang sudah mereka tangani di Indonesia sejak Maret 2005 hingga Desember 2012, korban TPPO telah mencapai 4.873 orang. Dari jumlah tersebut, 4.160 orang adalah perempuan (3.323 dewasa dan 837 anak) dan 713 korban laki-laki (551 dewasa dan 162 anak). Kemudian, dari total korban TPPO tersebut, 4.668 orang (atau 95,79 persen) adalah warga negara Indonesia. Para korban TPPO berasal dari 32 provinsi. DKI Jakarta tidak memiliki korban TPPO dari kasus yang ditangani IOM, namun tidak dapat diartikan tidak memiliki kasus TPPO. Provinsi Jawa 40
Responden survei PODES adalah aparat desa dan tokoh masyarakat di desa sampel. Cakupan survei: korban perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual. Dengan demikian, survei tersebut tidak mencakup korban TPPO untuk tujuan kerja paksa, dll. Hasil survei tidak menunjukkan berapa jumlah korban TPPO per desa, hanya mengindikasikan ada korban TPPO di desa tersebut.
84
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Barat merupakan provinsi yang memiliki terbanyak korban TPPO (26,09 persen dari seluruh jumlah korban asal Indonesia yang ditangani IOM), diikuti oleh Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bila data dari IOM ini disandingkan dengan data survei PODES sebagai proksi TPPO dari BPS, maka kedua data nampak saling mendukung. Dari kedua sumber data tersebut terindikasi bahwa Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat adalah provinsi-provinsi yang mempunyai masalah TPPO terbanyak.
Umumnya korban TPPO terdorong untuk bermigrasi karena masalah kemiskinan/ kesulitan finansial di daerah asal. Ketiadaan atau minimnya informasi ketenagakerjaan di tingkat desa/kelurahan, membuka peluang bagi organisasi kejahatan perdagangan orang untuk merekrut korban. Kerentanan korban TPPO antara lain karena rendahnya pendidikan, pengetahuan, dan keahlian/keterampilan, serta mudanya usia korban. Kemudian, terjadinya TPPO salah satunya adalah karena pelaku TPPO adalah justru orang-orang yang seharusnya melindungi korban. Dari berbagai kasus TPPO, diketahui bahwa pelaku TPPO bisa saja merupakan keluarga korban (suami, orangtua, saudara), tetangga/teman/kenalan, sponsor/ calo TKI, oknum aparat pemerintah, oknum perusahaan perekrutan TKI, dan majikan tempat kerja. Di samping itu, terkait posisi geografis Indonesia, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sangat “strategis” bahkan untuk perdagangan ilegal, termasuk perdagangan orang. Bentuk kepulauan yang luas dan tersebar, serta berbatasan dengan beberapa negara tetangga semakin mempersulit pengawasan kejahatan transnasional seperti perdagangan orang. Terdapat banyak celah yang dapat menjadi jalur keluar dan masuk pelaku membawa korban TPPO ke tempat tujuan.
Data dari Kepolisian terkait jumlah kasus yang ditangani dan jumlah korban TPPO untuk tahun 2004 hingga 2010 masih belum diterima. Namun dari data tahun 2011-2013, nampak bahwa tren TPPO mengalami penurunan, baik dari jumlah kasus maupun jumlah korban. Sebagai potret dari penanganan awal kasus TPPO, berikut adalah data per September 2012 dari Kepolisian RI. Dari 116 kasus TPPO, korban TPPO perempuan mencapai 132 orang perempuan dewasa dan 72 orang perempuan anak. Dari data ini tidak diketahui kewarganegaraan atau daerah asal korban. Di samping itu, mengenai pelaku TPPO, baik data dari Kepolisian maupun data dari Kemenhukham menunjukkan bahwa pelaku TPPO lebih banyak berjenis kelamin perempuan. Dari tabel di bawah nampak bahwa hampir 60 persen pelaku TPPO adalah perempuan. Pelaku TPPO yang telah terpidana dan berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) pada tahun 2012 sebagian besar juga adalah perempuan (230 orang dari 390 orang pelaku terpidana). Fakta ini menunjukkan bahwa kerentanan perempuan terkait TPPO cukup tinggi, rentan untuk terlibat sebagai pelaku TPPO maupun rentan sebagai korban TPPO. Oleh karena itu, upaya perlindungan perempuan terkait TPPO tidak hanya difokuskan pada pencegahan menjadi korban TPPO, namun juga pencegahan dari terlibat sebagai pelaku TPPO.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
85
GAMBAR 47 Jumlah Korban dan Kasus TPPO (2011-2013)
TABEL 11 Jumlah Korban dan Pelaku menurut Jenis Kelamin dan Umur
Jumlah Korban
Jumlah Kasus
Anak
116
Dewasa
L
P
L
P
0
72
0
132
Sumber: POLRI, data per September 2012
Proses Lidik & Sidik
P21
73
43
Jumlah Pelaku (Gender/Umur) Anak
Dewasa
L
P
L
P
1
3
65
87
TABEL 12 Pelaku TPPO yang berada di Lapas Tahun 2012
Jumlah Terpidana 390
Jenis Kelamin
Umur
L
P
Anak
Dewasa
160
230
0
390
GAMBAR 48 Jumlah Pelaku Tertangkap dan Pelaku Terpidana
Sumber: Polri, Sep 2012; dan Kemenhukham 2012
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
86
Penanganan kasus TPPO pada tingkat perkara kejaksaan, tren kasus TPPO menunjukkan adanya kenaikan jumlah kasus yang signifikan dari 2006 hingga 2011, kemudian penurunan yang cukup drastis pada tahun 2012. Tren meningkat diperkirakan merupakan cerminan komitmen penegakan hukum yang juga meningkat sejalan dengan telah menguatnya dasar hukum bagi penanganan kasus TPPO. Sedangkan penurunan jumlah kasus TPPO pada tahun 2012 diperkirakan merupakan cerminan upaya pencegahan TPPO telah mulai berkerja dengan baik. GAMBAR 49 Jumlah Kasus TPPO yang ditangani Kejaksaan Agung (2004-2012)
Sumber: Kejaksaan Agung, Capaian Kinerja Tindak Pidana Umum Tahun 2012
Korban TPPO yang diselamatkan di Indonesia mendapatkan Perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sesuai UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada tahun 2012 terdapat 10 orang perempuan dewasa yang mendapatkan layanan Rumah Aman, Pendampingan Proses Pengadilan, dan Fasilitasi Restitusi. Kemudian, korban TPPO dapat juga dirujuk ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Kemensos. Jumlah total korban TPPO dewasa dan anak yang mendapatkan Pelayanan dari Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Kemensos sejak tahun 2004 sampai dengan 2011 (tidak berdasarkan jenis kelamin) adalah sebanyak 285 orang. Untuk tahun 2012, RPSA/RPTC/RPSW Kemensos menangani 486 orang korban TPPO, lebih dari 95 persen adalah perempuan. Selain Ruman Aman dan Rumah Perlindungan, penanganan korban TPPO juga dilakukan oleh organisasi internasional non-pemerintah. Peran organisasi internasional dalam TPPO di Indonesia cukup signifikan. Pengetahuan dan keahlian mereka sangat membantu dalam penetapan korban TPPO (apakah korban perdagangan orang atau penyelundupan orang atau eksploitasi, dll.), pendampingan, penampungan, perawatan medis, pemulangan, hingga reintegrasi. Bahkan nampak adanya kecenderungan pemerintah “bergantung” pada kehadiran dan keaktifan organisasi-organisasi tersebut untuk kesuksesan penanganan kasus TPPO.
TABEL 13 Jumlah total korban TPPO (dewasa dan anak) yang mendapatkan Pelayanan dari RPSA Kemensos sejak tahun 2004 sampai dengan 2011 Tahun 2004 1
2005 60
2006 38
2007 61
Jumlah 2008 57 ‘
2009 34
2010 29
2011 5
285
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
87
TABEL 14 Korban TPPO yang mendapatkan Pelayanan dari Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Kemensos Tahun 2012 (berdasarkan jenis kelamin) Jumlah korban
Lembaga Penyelenggara Layanan
Umur Anak
RPSA KEMENSOS
Dewasa
29
RPTC KEMENSOS
RPSW KEMENSOS
Laki-Laki
Rehsos
Pemulangan
21
4
29
25
203
0
TOTAL:
Perempuan
0
0
188
254
29
Jenis Layanan*
Jenis Kelamin
254
457
463
15
0
19
203
203
254
254
486
482
Reintegrasi 25
203
254
482
TABEL 15 Korban TPPO yang Mendapatkan Layanan Melalui Fasilitas dari International Catholic Migration Commission (ICMC) Tahun 2012 Jumlah korban Jumlah Korban
Anak L
127
P 0
Jenis Layanan
Dewasa
23
L
P 8
119
Shelter
Bantuan Hukum
127
117
Sumber: KPPPA, Kompilasi data tahun 2012.
Medis 127
Mental health 17
Pemulangan 127
Reintegrasi 127
Ke”bergantung”an pemerintah tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain: i) kuantitas dan kapasitas SDM pelaksana penanganan TPPO masih terbatas; ii) peranti khusus untuk mengidentifikasi korban TPPO secara cepat belum dimiliki (saat ini masih “meminjam” formulir dari IOM); iii) lintasbidang-lintasdaerah-lintasnegara telah membuat penanganan secara satu-atap menjadi sangat sulit, sedangkan koordinasi lintas-K/L masih belum tertata dengan baik; dan iv) data terkait kasus TPPO belum terintegrasi, sehingga menyulitkan untuk melihat progres dan capaian pencegahan dan penanganan TPPO secara menyeluruh.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang telah dibentuk di 191 Kabupaten/Kota merupakan wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di berbagai bidang dan masalah termasuk penanganan TPPO perempuan dan anak. Namun, masalah utama yang dihadapi di semua P2TP2A adalah bahwa umumnya petugas P2TP2A belum mendapatkan pelatihan dan pembekalan mengenai cara identifikasi dan penangangan awal kasus TPPO. Dengan demikian, pengidentifikasian korban TPPO masih belum dapat dilakukan pada P2TP2A.
Penanganan TPPO sebagaimana telah disampaikan di awal, dikoordinasikan dalam suatu Gugus Tugas Nasional PTPPO yang dipimpin oleh Kemenko Kesra, dan kepengurusan harian diketuai oleh KPP&PA. Kelembagaan PTPPO yang didirikan sejak tahun 2008 dengan Perpres No. 69 Tahun 2008 belum pernah dievaluasi efektivitasnya. Namun, bila mempertimbangkan prinsip pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam TPPO, maka mungkin ada baiknya bila penanganan TPPO dikoordinasikan oleh Kemenko Polhukham, dan kepengurusan harian diketuai oleh Menteri Hukum dan HAM. Kepengurusan Harian dari Gugus Tugas PTPPO
88
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
yang ditempatkan di KPP&PA dikhawatirkan justru “menyembunyikan” kenyataan bahwa terdapat juga korban perdagangan orang laki-laki.
Di dalam Gugus Tugas PTPPO, koordinasi di tingkat kebijakan adalah pada tingkat menteri. Sedangkan koordinasi teknis dipimpin oleh Ketua Harian Gugus Tugas Pusat, melalui Peraturan Ketua Harian Gugus Tugas Pusat. Koordinasi teknis nampaknya merupakan salah satu titik kelemahan kelembagaan PTPPO, sebab tidak mencerminkan komitmen dari para pimpinan Gugus Tugas Nasional. Koordinasi teknis dalam bentuk keputusan bersama dari semua anggota Gugus Tugas Nasional (Surat Edaran Bersama atau Peraturan Bersama) akan lebih mencerminkan kesatuan komitmen dalam penghapusan TPPO.
Di daerah hingga saat ini sudah terbentuk 27 Gugus Tugas PTPPO Provinsi dan 88 Gugus Tugas Kabupaten/Kota. Adapun provinsi yang belum membentuk gugus tugas adalah Bengkulu, Sulbar, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
89
BAB IX KEMISKINAN I. Dasar Hukum Konstitusi Indonesia telah menjamin pembelaan terhadap penduduk Indonesia yang miskin, sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Pasal 4 ayat 1, Pasal 28 C ayat 1, dan Pasal 34. Selain itu, berbagai Undang-undang dan peraturan telah dikeluarkan untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia. Contohnya, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights,UndangUndang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, dan Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Bahkan UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 mencanangkan penanggulangan kemiskinan untuk 20 tahun pembangunan jangka panjang Indonesia. Dalam RPJMN I dan II juga telah dicanangkan berbagai program pembangunan untuk mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Dengan begitu banyaknya peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan, tentu sangat diharapkan masalah kemiskinan semakin tertangani dan kondisi penduduk miskin mengalami perbaikan. Berikut adalah pencapaian pembangunan lintas bidang terkait penanggulangan kemiskinan dengan perspektif gender.
II. Pencapaian Pembangunan Lintas Bidang terkait Kemiskinan dengan Perspektif Gender Pada tingkat regional Asia Tenggara, dengan menggunakan ukuran kemiskinan US$ 1,25 per hari melihat persentase angka kemiskinan dengan ukuran kemiskinan, Indonesia berada di belakang Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Akan tetapi, dari segi penurunan selama 20 tahun terakhir (1990-2009), Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak menunjukkan penurunan persentase kemiskinan. Hanya Vietnam yang mengalahkan Indonesia dalam pencapaian ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia sudah pada jalur yang tepat dalam penanggulangan kemiskinan. GAMBAR 50 Prosentase Angka Kemiskinan di ASEAN dengan Ukuran Kemiskinan $1,25/hari
Sumber: Data diolah dari ESCAP, ADB, UN, 2012
90
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Di dalam negeri, kemiskinan diukur dengan berbagai macam metode. Salah satunya adalah definisi kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Penduduk miskin asalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan setiap tahun mengalami perubahan, tergantung pada besarnya pengeluaran per kapita per bulan.
Dari kedua grafik berikut di bawah ini, nampak bahwa trend kemiskinan menurun dari tahun ke tahun. Akan tetapi sejak tahun 2009, laju penurunan melambat. 2,5 juta terentas dari kemiskinan, sejak 2009 s/d 2012 hanya 1-1,5 juta/tahun (Maret 2011 menurun 0,84 persen, Maret 2012 menurun 0,53 persen, September 2012 menurun 0,30 persen). Perlambatan laju pertumbuhan pada sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dari penduduk miskin. Dari sisi produksi, sektor yang memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan adalah sektor padat modal seperti Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta Pengangkutan dan Komunikasi. Oleh karena itu perlu upaya yang lebih optimal untuk mencapai target tingkat kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun 2014. GAMBAR 51 Tren Jumlah (Juta Orang) dan Persentase Penduduk Miskin
Sumber data: data olahan Dit. LinKesMas, Bappenas (2013)
Untuk periode September 2012 sampai dengan Maret 2013, BPS telah mengeluarkan data terkait garis kemiskinan sebagai berikut.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
91
TABEL 16 Garis Kemiskinan dan Perubahannya menurut Daerah Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
Daerah/Tahun
Makanan
Perkotaan Sep 2012
Mar 2013
Perubahan (%) Perdesaan Sep 2012
Mar 2013
Perubahan (%)
Perkotaan+Perdesaan Sep 2012
Mar 2013
Perubahan (%)
4,08
5,51
4,68
Bukan Makanan
194.207
83.175
185.967
54.474
190.758
68.762
202.137
196.215
199.691
86.904 4,48
57.058 4,74
71.935 4,61
Total
4,20
5,34
4,66
277.382 289.041 240.441 253.273 259.520 271.626
Sumber: BPS, diolah dari data Survei Ekonomi Sosial Nasional/Susenas (Sep 2012 dan Mar 2013)
Tabel di atas menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk miskin berkisar 271 ribu rupiah per kapita per bulan atau sama dengan rata-rata 9 ribu rupiah per hari. Pengeluaran (expenditure) adalah proksi dari pendapatan (income) per kapita per bulan penduduk miskin. Bila dibandingkan dengan data tahun 2009, yaitu Rp 233.740.- per kapita per bulan atau sekitar Rp 7.780.- per orang per hari. Maka selama kurun waktu 3 tahun telah terjadi peningkatan garis kemiskinan. Dari segi jumlah penduduk miskin juga telah terjadi penurunan, dari sekitar 31 juta orang pada tahun 2010 menjadi sekitar 28,6 juta orang pada tahun 2012. Dengan kata lain, sekitar 3 juta orang penduduk yang awalnya berada di bawah garis kemiskinan telah keluar dari kemiskinan. Dengan demikian, bahkan dalam satu tahun pun telah ada perubahan garis kemiskinan sekitar 4 persen. Lebih dari separuh penduduk miskin berada di pulau Jawa, yaitu sekitar 15 juta orang. GAMBAR 52 Karakteristik Rumah Tangga Miskin menurut Daerah dan Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga, 2006 dan 2012
Sumber: BPS (diolah dari data yang disampaikan pada EGM 5 Juli 2013).
92
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) GAMBAR 53 Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga (2002-2011)
Sumber: Susenas (2002-2011)
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melakukan kajian gender dengan menggunakan data terpilah dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.41 Hasil kajian gender tersebut menemukan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan mencakup 14 persen dari semua rumah tangga berdasarkan Sensus Penduduk 2010. Sekitar 3 juta rumah tangga dari 14 persen tersebut berada pada 3 desil terendah dalam BDT. Sekitar 24 persen dari 3 juta rumah tangga perempuan tersebut berusia di atas 60 tahun. Meski tidak ada kesenjangan gender dalam penurunan kemiskinan secara per kepala untuk laki-laki dan perempuan, hal demikian tidak terjadi dalam pengurangan kemiskinan antara rumah tangga miskin yang dikepalai oleh laki-laki (RTM-L) dan rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan (RTM-P). Secara keseluruhan, penurunan tingkat kemiskinan untuk RTM-P lebih rendah dari RTM-L. Pengukuran mengenai tingkat kemiskinan berdasar pengeluaran konsumsi per kepala tidak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan secara keseluruhan proporsi RTM-P jauh lebih rendah dari RTM-L. Hal ini tidak serta merta berarti tidak ada kesenjangan gender dalam penurunan angka kemiskinan. Secara keseluruhan, angka penurunan kemiskinan untuk RTM-P, terutama di pedesaan, jauh lebih rendah dari RTM-L. Selama tahun 2006-2012, sementara RTM-L mengalami penurunan sebesar 1,09, RTM-P mengalami penaikan dengan angka yang sama. Pola yang sama dan jauh lebih kontras terjadi untuk tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan untuk rumah tangga miskin di perkotaan. Penurunan tingkat kedalaman kemiskinan RTM-P di perkotaan 41
TNP2K bekerjasama dengan AusAID, 2012-2013. PPLS 2011 dijadikan Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial. Data PPLS adalah data yang khusus diambil dengan cara survei terhadap masyarakat yang dinyatakan miskin by name and by address oleh pemerintah setempat, dan digunakan sebagai database bagi program bantuan masyarakat. Artinya, dalam pengambilan data survei dilakukan tidak pada seluruh penduduk Indonesia tetapi purposive hanya pada kelompok yang sudah diperkirakan miskin, lebih sebagai validasi terhadap status reponden apakah benar-benar miskin atau tidak. Untuk klasifikasi, digunakan kategori Miskin (sudah dalam keadaan miskin) dan Rentan Miskin (potensial menjadi miskin – kerena sebab tertentu).
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
93
(7 persen) lebih rendah dari RTM-L (21 persen), dan tingkat keparahan kemiskinan untuk RTM-P (19 persen) juga lebih rendah dari RTM-L (25 persen).42
Kesenjangan gender dalam pengurangan RTM-P terutama terjadi di Pedesaan. RTM-P mengalami peningkatan angka kemiskinan sebesar 2.86, berbanding terbalik dengan RTM-L di pedesaan. Namun, berbeda dengan di pedesaan, RTM-P di perkotaan mengalami penurunan sebesar 2, berbanding terbalik dengan RTM-L yang mengalami penaikan dengan angka yang sama.
RTM-P lebih berkemungkinan dan lebih rentan untuk semakin jatuh miskin dibanding dengan RTM-L terutama jika terjadi guncangan. Beberapa kajian penting tentang kemiskinan dan dimensi gendernya seperti Narayan (2000) menunjukkan beberapa sebab yang membuat rumah tangga menjadi RTM-P. Perceraian, baik cerai mati maupun hidup, misalnya pada hakekatnya bermakna kehilangan salah satu atau bahkan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Meskipun umumnya RTM-P akan menemukan titik keseimbangan ekonomi mereka, akan ada masa-masa penyesuaian dimana RTM-P harus merealokasi sumber daya rumah tangganya dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Migrasi suami untuk mencari nafkah, baik bersifat musiman ataupun jangka waktu yang lebih panjang, juga sering memposisikan perempuan sebagai pencari nafkah satu-satunya karena kiriman yang tidak secara segera, sering, atau rutin datang atau bahkan sama sekali tidak pernah datang. Tidak bekerjanya suami karena sakit atau lain hal, juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab perempuan mengepalai rumah tangganya, meskipun secara sosialbudaya maupun legal laki-laki tetap diakui sebagai kepala rumah tangga. Data Susenas 2010, di kalangan RTM-P di tiga desil termiskin menunjukkan tingkat disabilitas dari pasangan berkisar 10 persen dan tingkat kesakitan berkisar 11 persen sedikit lebih tinggi dari RTM-L (TNP2K, 2012). RTM-P lebih berkecenderungan untuk menggunakan strategi bertahan yang negatif dibanding RTM-L, seperti memperkerjakan anak-anak. Tahun 2009, angka anak miskin yang tidak bersekolah dan anak miskin yang bekerja untuk RTM-P lebih tinggi dibanding RTM-L, baik untuk perkotaan maupun pedesaan, di Indonesia. Secara umum di tingkat nasional, meskipun proporsi anak miskin tidak bersekolah adalah sama di RTM-P dan RTM-L yaitu 18 persen, proporsi anak miskin yang bekerja di RTM-P (9 persen) lebih tinggi dari RTM-L (7 persen). Data tersebut mengisyaratkan bahwa sebagian dari anak miskin yang tidak bersekolah dari RTM-P, masuk ke dunia kerja. Dibanding dengan RTM-L, dari sisi jenis pekerjaan kepala rumah tangga, RTM-P jauh lebih rentan dan berada di margin aktifitas ekonomi. Susenas 2009 menunjukkan bahwa mayoritas mereka adalah berusaha sendiri (38 persen) dan berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap (21 persen). Kebanyakan dari RTM-P tersebut berpenghasilan minim dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (BPS, 2010).
Berbagai skema perlindungan sosial bagi penduduk miskin seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM) cukup banyak membantu menguatkan rumah tangga miskin. Namun demikian, bagi RTM-P yang telah lanjut usia, program seperti PKH tidak dapat diakses, karena persyaratannya adalah terdapat 42
Data menggunakan Susenas tahun 2004-2009. Sumber: KPPA et al., Seri Kertas Kebijakan Gender dan Pembangunan, Kertas Kebijakan No 5, Kemiskinan, Kerentanan, dan Perlindungan Sosial, 2011.
94
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
ibu hamil atau menyusui dan/atau anak balita atau anak usia anak usia pendidikan dasar 9 tahun (SD-SMP) dalam keluarganya.
Yang kemungkinan luput dari program penanggulangan kemiskinan adalah bantuan khusus bagi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga lanjut usia (RT-Lansia) dan/atau rumah tangga yang memiliki kepala keluarga atau anggota keluarga penyandang disabilitas (RTD). Prevalensi lanjut usia dan disabilitas pada RTM-P lebih tinggi dibandingkan pada RTM-L. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan karakteristik RTM-P 24 persen berusia di atas 60 tahun. Mempertimbangkan usia lanjut dari sebagian RTM-P dan prevalensi disabilitas pada RTM-P, maka pemerintah perlu menyediakan bantuan khusus bagi RTM-LS dan RTD, untuk membantu mengurangi beban keluarga-keluarga tersebut. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. TNP2K juga melaksanakan Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat yang dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri terdiri dari 12 (duabelas) program penanggulangan kemiskinan sebagaimana tabel di bawah ini : TABEL 17 Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri dan Penerima Manfaatnya
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
Program PNPM Mandiri Perdesaan PNPM Mandiri Perkotaan
PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (Berakhir Tahun 2012)
Sasaran Kelompok Masyarakat Perdesaan Kelompok MasyarakatPerkotaan
Kelompok Masyarakat Pedalaman, Tertinggal dan Khusus (Bencana, Konflik dll)
Rural Infrastructur Support(RIS PNPM) Kelompok Masyarakat Perdesaan PNPM Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Kelompok Masyarakat Perdesaan Wilayah (PISEW) PNPM Peningkatan Usaha Agrobisnis Pertanian (PUAP)
Kelompok Masyarakat Pertanian Perdesaan
PNPM Generasi
Kelompok Masyarakat Perdesaan
PNPM Kelautan dan Perikanan (KP) PNPM Pariwisata
PNPM Green Kecamatan Development Program (G-KDP)
11 PNPM Neigbourhood Development (ND) 12 PNPM Perumahan dan Permukiman
Kelompok Masyarakat Pesisir dan Pelaut
Kelompok Masyarakat Perdesaan Potensial Kelompok Masyarakat Perdesaan
Kelompok Masyarakat Perkotaan Masyarakat Perdesaan da Perkotaan
Sumber: Dit. Penanggulangan Kemiskinan (Bappenas) disampaikan pada EGM 5 Juli 2013.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
95
GAMBAR 54 Pemanfaat PNPM Mandiri (2007-2012)
Sumber: Diolah dari data Dit. Penanggulangan Kemiskinan (Bappenas) yang disampaikan pada EGM 5 Juli 2013.
PNPM Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Wilayah (PISEW) lebih ke arah kegiatan infrastruktur sehingga kegiatan lebih mengarah kepada kegiatan padat karya produktif dengan pemanfaat laki-laki. Sedangkan Pemanfaat PNPM Generasi adalah perempuan dengan tujuan pemberdayaan demi menunjang pendidikan dan kesehatan bagi ibu dan anak dari rumah tangga miskin. Umumnya program pemberdayaan masyarakat diakses dengan mengajukan proposal kegiatan. Kendala pertama yang harus ditangani adalah penduduk miskin umumnya berpendidikan rendah (SD), yang sudah tentu tidak mengenal metode penyusunan proposal. Salah satu ekses dari persyaratan pengajuan proposal untuk mengakses dana dari program pemberdayaan masyarakat adalah menjamurnya jasa pembuatan proposal di tingkat kecamatan dan bahkan di perdesaan. Oleh sebab itu, tantangan terkait pemberdayaan masyarakat miskin bukan hanya mengenai pembiayaan usaha ekonomi, namun juga mengenai identifikasi kebutuhan dan kapasitas, serta mengembangkannya menjadi proposal.
Kendala berikut adalah kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) dan/atau kartu keluarga (KK). Hasil kajian TNP2K (2012), dengan menggunakan data Susenas 2010, untuk tiga desil termiskin menunjukkan bahwa ketiadaan KTP di kalangan RTM-L berkisar 12 persen, sementara di kalangan RTM-P mencapai 21 persen. Berarti masih sekitar 33 persen RTM yang tidak dapat mengakses berbagai bantuan dan jaminan sosial. Selain itu, mereka akan mengalami kesulitan untuk akses terhadap aset-aset penghidupan terutama aset finansial. Sebagian besar dari mereka adalah RTM-P. Tim Master Plan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) sedang melakukan pengkajian yang melihat aset-aset penghidupan dan hubungannya dengan ketimpangan gender dalam kemiskinan berdasarkan area/koridor kepulauan. Hasil dari kajian tersebut akan dirilis pada akhir tahun 2013. KPP&PA telah melakukan proyek ujicoba terkait dengan pengembangan usaha rumahan sebagai alternatif peningkatan pendapatan rumah tangga miskin. Ujicoba tersebut dilakukan
96
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
di wilayah Kendal, Jawa Tengah yang merupakan daerah pengirim tenaga kerja yang cukup tinggi. Dari survei industri rumahan yang mendapat bantuan program pengembangan Koperasi dan Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (KUMKM), diketahui bahwa pelaku utama dari industi tersebut adalah perempuan dan program pengembangan usaha yang dilakukan terbukti dapat mengangkat dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pembelajaran terbaik (best practice) dalam mengupayakan pemberdayaan penduduk miskin adalah upaya yang dilakukan oleh Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) sejak tahun 2001 hingga kini dengan anggota tersebar di 495 Desa, 123 Kecamatan, 36 Kabupaten, dan 18 Provinsi. Program pemberdayaan yang diampuh PEKKA antara lain adalah pemberdayaan ekonomi dalam bentuk koperasi. Sepertiga dari anggota PEKKA hidup di bawah garis kemiskinan. Separuh dari anggota PEKKA tidak memiliki surat nikah, dan lebih dari separuh anak-anak anggotanya tidak memiliki akte kelahiran. Ketiadaan kartu pengenal menyulitkan mereka untuk mengakses bantuan langsung tunai (BLT) dan jaminan sosial lainnya. Sebagai penduduk miskin, mereka tidak ingin semakin miskin dengan meminjam dana dari orang lain, sehingga memilih untuk berkelompok dan memajukan kelompok mereka. Simpanan koperasi mereka bertumbuh 50 persen setiap tahunnya, penghasilan perhari anggota melalui usaha ekonomi koperasi meningkat hingga 24 persen. Pemberdayaan lain yang juga dilakukan oleh PEKKA adalah peningkatan kapasitas terkait informasi dan komunikasi, pendidikan bagi anak usia dini dan dewasa buta huruf, pengetahuan hukum, serta pelatihan kepemimpinan. Di tingkat provinsi, Provinsi Papua sebenarnya memiliki program pemberdayaan untuk setiap kampung yang disebut Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Sekitar 15 persen dari dana RESPEK sebenarnya dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan baik untuk ekonomi maupun sosial termasuk kesehatan. Namun program RESPEK ini kurang disosialisasikan, terutama mengenai alokasi 15 persen untuk pemberdayaan perempuan. Sebagai akibatnya, umumnya dana 15 persen tidak terserap untuk pemberdayaan perempuan, dan bilapun diserap, hanya oleh kampung-kampung terdekat dari kota, serta teralihkan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
97
BAB X PERUBAHAN IKLIM I. Dasar Hukum Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam, baik di daratan maupun di dalam lautan dan dasar laut. Namun demikian, perlindungan dan konservasi lingkungan hidup tidak dilindungi oleh Konstitusi UUD Republik Indonesia. Pada UUD Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28H disebutkan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam hal ini, istilah lingkungan hidup disebutkan dalam artian yang kurang luas, yaitu lingkungan hidup masyarakat, bukan dalam artian wilayah Republik Indonesia. Sedangkan pada Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial pasal 33 disebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini hanya melihat nilai ekonomis dari pemanfaatan lingkungan hidup, belum menyentuh mengenai perlindungan lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Terlepas dari ketiadaan perlindungan pada tingkat konstitusi, negara telah berusaha mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pada tingkat di bawah UUD. Sebagian diantaranya adalah: i) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change; ii) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim; iii) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; iv) Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim; dan v) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/ atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup.
II. Gender dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Fenomena perubahan iklim merupakan salah satu efek dari pemanasan bumi (global warming). Fenomena perubahan iklim ini tidak dapat diputar-balikkan (reversed) dan dicegah terjadinya. Oleh karena itu, dalam penanganan masalah perubahan iklim difokuskan pada upaya pelambatan efek pemanasan bumi dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Upaya adaptasi perlu dilakukan untuk penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim guna mengurangi kerentanan, dan meningkatkan ketahanan untuk keberlanjutan sistem produksi. Pada dasarnya pemanasan bumi dan fenomena perubahan iklim menimpa semua penduduk bumi, manusia, hewan, dan tumbuhan. Akan halnya manusia, efek dari perubahan iklim telah menunjukkan dampak yang lebih berat bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Kapasitas adaptif perempuan umumnya lebih terbatas dibandingkan laki-laki disebabkan oleh adanya perbedaan akses dan hak terhadap kepemilikan aset dan finansial serta
98
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
sumberdaya, serta keterbatasan akses terhadap informasi. Dengan keterbatasan tersebut, perempuan menjadi lebih rentan terhadap perubahan iklim dibanding laki-laki. Berikut upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim seperti bencana alam, krisis air, krisis pangan, dan ancaman kesehatan.
A. Penanganan Bencana
Persiapan menghadapi ancaman bencana dan penanganan bencana alam masih bias gender. Ketidaksetaraan gender dalam hal terbatasnya akses perempuan dalam persiapan menghadapi bencana dapat terlihat mulai dari kesiapan menghadapi bencana (disaster preparedness), penanganan, hingga rehabilitasi. Sebuah studi tentang dampak bencana alam terhadap angka harapan hidup menemukan bahwa bencana alam menurunkan angka harapan hidup perempuan dibandingkan laki-laki. Dengan kata lain, bencana alam rata-rata mengambil korban nyawa perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.43
Kelemahan pendataan di Indonesia sangat nyata dalam penanganan bencana. Korban yang meninggal dan yang dirawat tidak dicatat berdasarkan jenis kelamin dan perkiraan kelompok umur. Keteledoran ini menyebabkan banyak perempuan, anak, dan lansia yang tidak mendapatkan bantuan sesuai kebutuhan spesifiknya masing-masing. Sebagai perbandingan, sehari setelah kejadian bencana, pendataan korban bencana berdasarkan jenis kelamin bahkan perkiraan usia sudah tersedia. Kesiapan mekanisme pendataan ini membantu memperlancar penanganan para korban selanjutnya. Para korban bencana perempuan, anak, dan lansia langsung mendapatkan bantuan sesuai kebutuhan spesifiknya masing-masing. Ibu hamil dan ibu menyusui segera terdata dan segera mendapatkan bantuan khusus. Para lansia lalu dikumpulkan dengan keluarga-keluarga yang ada anak balita-nya, sebab ternyata ada proses “saling-menyembuhkan” dengan terjadinya interaksi sosial antara lansia dan anak balita. GAMBAR 55 Sebaran Kejadian Bencana dan Akumulasi Jumlah Korban Meninggal
43 Eric Neumayer& Thomas Plümper (2007): The Gendered Nature of Natural Disasters: The Impact of Catastrophic Events on the Gender Gap in Life Expectancy, 1981–2002, Annals of the Association of American Geographers, 97:3, 551-566
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
99
Tingginya jumlah korban bencana alam, terutama gempa dan erupsi volkanik mencerminkan rendahnya kesiapan penduduk setempat menghadapi ancaman bencana. Terkait kesiapan menghadapi ancaman bencana, Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB/D)telah mulai melakukan berbagai penerangan dan pelatihan persiapan menghadapi bencana di daerah-daerah rawan bencana. Edukasi dan latihan praktis bagi masyarakat dan keluarga dalam menghadapi bencana perlu dilakukan dengan lebih teratur dan intensif pada daerah rawan bencana. Edukasi secara terpisah laki-laki dan perempuan, dan menurut kelompok usia perlu dilakukan. Perempuan dan remaja cenderung menjadi pasif pada even pertemuan warga secara umum. Oleh karena itu, akan lebih efektif bila edukasi dan latihan praktis menghadapi bencana dilakukan secara terpisah. Penyebaran informasi mengenai persiapan menghadapi bencana ditemukan lebih efektif bila disampaikan kepada kelompok perempuan. Para perempuan yang telah mendapatkan penerangan terkait bencana, umumnya akan menyampaikan informasi tersebut kepada anggota keluarganya dan orangorang di sekitarnya. Nampaknya, karakteristik alami umumnya perempuan yaitu informatif dan komunikatif merupakan potensi untuk wacana KIE terkait bencana alam bagi keluarga dan lingkungannya.
Sebagai care-giver utama dalam rumah tangga, perempuan juga terkena dampak yang lebih besar setelah kejadian bencana alam sebab perawatan terhadap anggota keluarga yang sakit menjadi tanggung jawabnya, bahkan saat dirinya juga menderita sakit akibat bencana. Oleh karena itu, pada kamp pengungsian akibat bencana alam, bantuan medis tidak cukup dengan mendirikan tenda medis. Diperlukan juga petugas medis yang berkeliling mengunjungi para korban bencana yang kurang sehat. Selain itu, relawan sosial juga dibutuhkan untuk memberikan waktu istirahat yang cukup terutama bagi ibu-ibu yang memiliki bayi dan/atau balita, dengan menyelenggarakan pengasuhan anak sementara.
B. Ancaman Krisis Air
Ketersediaan air yang dinyatakan sebagai tebal aliran, menunjukkan seberapa basah atau kering suatu wilayah. Dengan demikian dapat diperkirakan seberapa besar jumlah air yang tersedia pada suatu titik di sungai. TABEL 18 Ketersediaan Air Permukaan Nasional
Sumber: Ditjen. SDA Kementerian PU (disampaikan pada EGM, 11 Juni 2013)
100
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa zona Jawa dan zona Bali-Nusa Tenggara memiliki potensi air yang terendah dan ketersediaan airnya juga termasuk terendah. Akan tetapi persentase penduduk pulau Jawa merupakan yang terbesar. Dengan ketidakseimbangan antara pengguna air dan ketersediaan air, maka pulau Jawa termasuk dalam kategori berstatus kritis air. BAGAN 2 Ketersediaan Air Baku dan Penggunaannya
Khususnya sumber air baku rumah tangga, sekitar 74 persen kebutuhan air bersih rumah tangga di Indonesia pada tahun 2004 dipenuhi dari air tanah. Sisanya 18 persen dipenuhi dari ledeng (perusahaan air minum), 3 persen dari air sungai, 3 persen dari air hujan, 2,5 persen dari air dalam kemasan, dan 0,5 persen dari sumber lainnya.
Perubahan iklim dapat mempengaruhi ketersediaan air bersih secara signifikan. Perpanjangan musim kemarau, secara signifikan menyebabkan ketersediaan air baku tanah menipis, dan demikian juga halnya dengan ketersediaan air untuk irigasi sawah. Dari bagan di atas menunjukkan bahwa 80,5 persen air baku yang sudah dimanfaatkan dipergunakan untuk irigasi. Bila bagian yang 80,5 persen tersebut berkurang secara signifikan, maka kemungkinan besar akan terjadi kegagalan panen dan akan berakibat pada menurunnya ketersediaan pangan, yang akhirnya dapat menjadi pemicu krisis pangan. Dengan demikian, perubahan iklim mempunyai efek negatif yang berantai dan bagai bola salju yang semakin lama semakin membesar, sehingga melanda semua bagian dan menjadi tidak terkendali. Bila kemarau panjang mengurangi persediaan air baku tanah secara perlahan, maka ada beberapa bencana alam yang dapat mengurangi ketersediaan air bersih secara drastis dan tiba-tiba. Bencana alam seperti banjir bandang, gelombang tsunami yang mencapai pantai, dan gempa bumi dapat merusak instalasi air bersih dalam sekejap. Air bersih merupakan kebutuhan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak. Namun demikian, kekurangan air bersih relatif berdampak lebih besar terhadap perempuan dewasa dibandingkan laki-laki dewasa dan anak-anak. Hal ini disebabkan oleh pembagian peran secara tradisional yang menempatkan perempuan sebagai care-taker anggota keluarga.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
101
Penampungan/penyimpanan dan penggunaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga umumnya menjadi tugas perempuan. Oleh karena itu, dalam proses perencanaan lokal mengantisipasi ancaman bencana alam dan pengungsian, para perempuan di daerah-daerah rawan bencana perlu lebih dilibatkan. Langkah awal dari pelibatan perempuan dalam proses perencanaan adalah fasilitasi warga perempuan mengenai proses perencanaan partisipatif, dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi secara aktif. Dalam hal ini, peran fasilitatif dari BPPKB/MD sangat dibutuhkan. GAMBAR 56 Jenis Sumber Air
3%
1%
3% 3%
Air tanah
18%
Air perpipaan Air sungai Air hujan Air minum kemasan Sumber lainnya 74%
Kemudian, masyarakat di daerah rawan bencana perlu mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai konservasi air dan teknologi tepat guna untuk pengadaan air bersih di musim kemarau yang berkepanjangan. Budaya hemat penggunaan air juga perlu ditanamkan sejak dini pada anak-anak dan juga ditekankan pada orang dewasa. Selain itu, perlu dilakukan berbagai upaya penelitian dan pengembangan teknologi konservasi air, sebagaimana yang telah lama dilakukan oleh Australia, Jepang, dan negara-negara lainnya.
C. Ketahanan Pangan
Perubahan iklim juga berdampak pada ketahanan pangan Indonesia. Saat ini penduduk Indonesia masih sangat tergantung pada satu jenis pangan pokok, yaitu beras. Produksi beras dan bahan pangan lainnya banyak mengalami masalah, baik dari segi penurunan luas lahan karena alih fungsi, bahan pangan dikonversi untuk menjadi sumber bahan bakar (bio fuel), maupun gangguan alam yaitu perubahan musim, banjir, kekeringan, hama, dll. Dengan tingkat konsumsi beras yang tinggi (> 100 kg/kap/th), penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 243,53 juta (proyeksi penduduk tahun 2012) membutuhkan ketersediaan bahan pangan pokok beras dalam jumlah yang banyak. Gangguan pada produksi beras akan berdampak besar terhadap ketahanan pangan Indonesia.
Dengan terjadinya perubahan musim sebagai efek pemanasan bumi, maka produksi pangan pun terancam menurun. Pada beberapa daerah di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi terjadi curah hujan berlebihan, sehingga sebagian sawah terendam air. Lahan persawahan yang baru saja ditanami padi terendam dan gagal. Selain itu, banjir juga menyebabkan meningkatnya kematian hewan ternak. Hujan dan badai di laut akibat cuaca ekstrim
102
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
menyebabkan nelayan menjadi semakin sulit untuk melaut. Bahkan budi-daya di pesisir pantai juga menjadi terganggu bahkan rusak atau hancur dengan gelombang pasang yang sering terjadi dan menyebabkan salinitas air pada tambak dan budi-daya lainnya menjadi rusak dengan masuknya air laut. Perpanjangan musim hujan yang terjadi menyebabkan serangan hama pada tanaman pangan meningkat. Kemenerian Pertanian (Kementan) mencatat pada tahun 2012 total areal pertanian di Indonesia yang terkena dampak banjir mencapai 170.228 ha. Badai Puso menyebabkan kegagalan panen padi pada 38.926 ha. Sedangkan pada beberapa daerah lain di pulau-pulau tersebut mengalami kekeringan, sehingga gagal panen. Kekeringan juga menyebabkan budi daya tambak di pesisir pantai menjadi rusak, sebab kadar garam pada air meningkat dengan menguapnya air tambak. Akibatnya, produksi pangan secara keseluruhan mulai mengalami penurunan, walaupun pada beberapa daerah tidak mengalami masalah dan tetap produktif. Dengan demikian, kelompok petani dan nelayan merupakan kelompok pekerja yang paling rentan untuk kehilangan mata pencarian sebagai akibat dari perubahan iklim. Dari 110,8 juta penduduk (usia 15 tahun ke atas) yang bekerja, terdapat sekitar 35,46 persen laki-laki dan 34,48 persen perempuan yang bekerja di bidang pertanian, perikanan, perhutanan, dan perburuan. Ini berarti, sekitar 38 juta penduduk laki-laki dan perempuan akan terancam menurun penghasilannya atau bahkan hilang mata pencariannya akibat perubahan iklim bila tidak segera dilakukan upaya adaptasi.
Kemudian, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada ketersediaan pangan. Dampak yang lebih jauh adalah pola konsumsi pangan yang terkait erat dengan ketersediaan pangan, terutama bagi penduduk miskin yang rawan pangan. Penduduk miskin tidak mampu mengkonsumsi pangan secara beragam, bergizi, dan aman. Dengan keterbatasan finansial, pilihan bahan pangan penduduk miskin menjadi sangat terbatas. Bila terjadi penurunan ketersediaan pangan pokok (beras) di pasar, yang menyebabkan harga pangan pokok meningkat, maka konsumsi pangan penduduk miskin bukan saja menjadi tidak beragam, tetapi juga berkurang kuantitasnya. Akibatnya kejadian status gizi kurang dan buruk akan meningkat terutama pada penduduk miskin yang rawan pangan. Penduduk miskin yang paling rentan terhadap ancaman gizi kurang dan buruk adalah ibu hamil dan ibu menyusui, serta bayi dan balita laki-laki, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Bab IV Kesehatan.
D. Kesehatan
Perubahan iklim berarti juga perubahan musim. Di Indonesia, yang mulai nampak adalah terjadinya perpanjangan musim, sehingga musim hujan bertambah panjang dan musim kemarau pun bertambah panjang. Dengan perubahan musim ini, beberapa penyakit yang kejadiannya meningkat antara lain penyakit yang disebarkan oleh nyamuk, yang dapat mengakibatkan demam berdarah (pada perpanjangan musim hujan) dan malaria (pada perpanjangan musim kemarau).44 Walaupun nyamuk menyerang tanpa melihat jenis kelamin maupun usia, namun nampaknya perempuan dan anak-anak lebih banyak yang terkena penyakit demam berdarah dengue dibandingkan laki-laki dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena nyamuk demam berdarah lebih banyak terdapat pada genangan air bersih yang berada di sekitar dan di dalam rumah. Perempuan dewasa dan anak-anak lebih banyak/lama berada di sekitar rumah, sehingga lebih besar kemungkinannya tergigit oleh Surveilans dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes.
44
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
103
nyamuk demam berdarah. Sebaliknya nyamuk malaria lebih banyak berada di area terbuka dan pepohonan, sehingga laki-laki dewasa yang umumnya lebih sering berada/bekerja di area terbuka seperti perkebunan dan hutan, lebih besar kemungkinannya terserang penyakit malaria. Oleh karena itu, perlu diupaya tindakan promotif dan preventif praktis di masyarakat. Penyadaran masyarakat dan keluarga akan pentingnya kebersihan lingkungan dan sanitasi menjadi esensial dalam pemberdayaan masyarakat untuk memberantas sarang nyamuk, dan menghindari terjangkitnya demam berdarah dan penyakit serangga menular lainnya. Dalam preventif, upaya bersama untuk mendorong pemeliharaan lingkungan sehat perlu dilakukan terutama dalam penyediaan dan pemeliharaan saluran pembuangan air (selokan/sewerage) dan septik tank. Edukasi dan informasi mengenai kebiasaan hidup sehat dan bersih tidak akan berdampak bila sarana saluran pembuangan air kotor tidak ada.
III. Gender dan Mitigasi
Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk menurunkan emisi karbon di permukaan bumi. Emisi karbon ini sebagian diakibatkan oleh kegiatan manusia dan sebagian lagi terjadi secara alami, dilakukan dengan berbagai cara, dengan atau tanpa intervensi teknologi. Mitigasi emisi karbon secara langsung berkaitan dengan energi sumber daya mineral (ESDM). Bidang ESDM merupakan bidang yang dianggap “maskulin”, high-funds involvement, dan high-profile. Para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait ESDM sebagian besar adalah laki-laki, baik pejabat pemerintahan, legislatif, pengusaha, maupun pakar/akademisi. Mitigasi emisi karbon juga erat kaitannya dengan kehutanan/lahan gambut, yang juga dianggap sebagai area “maskulin”. Akibatnya, keterlibatan perempuan sangat rendah dalam perencanaan serta implementasi program dan kegiatan terkait mitigasi emisi karbon. GAMBAR 57 Emisi Karbon Per Sektor Secara Nasional
Saat ini negara-negara penghasil emisi karbon terbesar melakukan berbagai riset dan pengembangan teknologi untuk mendorong penurunan emisi karbon secara lebih efektif. Indonesia juga perlu menggalakkan riset dan pengembangan teknologi untuk mendorong penurunan emisi karbon, dan tidak lupa untuk melibatkan perempuan dalam riset-riset dan penelitian tersebut, sebab hingga saat ini partisipasi perempuan masih rendah dalam
104
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
riset dan pengembangan teknologi terkait mitigasi emisi karbon. Pengembangan berbagai industri baru yang membantu penyerapan karbon perlu dikembangkan secara responsif gender. Sebagai contoh: budidaya rumput laut terbukti banyak menyerap karbon secara efektif. Rumput laut ternyata dapat diproses menjadi kertas berkualitas tinggi. Dengan demikian, industri budidaya rumput laut dapat dikembangkan ke industri pemrosesan kertas. Dengan demikian, penebangan kayu hutan untuk pembuatan bubur kertas dapat dikurangi, penduduk di pesisir pantai diberdayakan termasuk perempuan, dan sekaligus menurunkan emisi karbon. Industri-industri seperti ini perlu dikembangkan dengan memanfaatkan kekayaan hayati laut dan darat serta angkatan kerja yang besar di Indonesia. Partisipasi perempuan dalam kegiatan konservasi hutan lindung kurang didokumentasikan, padahal pada banyak area, justru perempuan yang lebih berperan (hasil seminar di Kalteng dan Papua). Di tingkat nasional, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon turut berkontribusi mengurangi kadar gas karbondioksida di udara, yang pada akhirnya turut berkontribusi dalam pencegahan perubahan iklim jangka panjang.
Bagian ini akan mengetengahkan berbagai aspek kelembagaan pengarusutamaan gender di Kementerian/Lembaga, termasuk Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender.
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
107
BAB XI EVALUASI REVIEW PUG Sebagaimana yang telah dikemukakan pada Bab I, dalam uraian perkembangan PUG, Bappenas telah memulai proses PUG pada siklus perencanaan dengan mengembangkan peranti analisis gender, yang dimulai sejak tahun 1998. Pada saat itu, Bappenas bekerjasama dengan CIDA, mengembangkan suatu peranti analisis gender untuk perencanaan program dan kegiatan nasional, yang disebut Gender Analysis Pathway atau GAP. GAP ini merupakan peranti analisis gender yang didesain khusus untuk para perencana dalam melakukan analisis dan perumusan kebijakan/program/kegiatan pembangunan agar menjadi responsif gender.
Untuk melihat hasil dari upaya penerapan PUG pada siklus perencanaan, maka Bappenas dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP, sekarang KPP & PA) menilai perlunya dilakukan evaluasi. Pada tahun 2005, evaluasi dilakukan terhadap penerapan PUG di sembilan sektor (sekarang bidang) pembangunan, yaitu: ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM), kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup. Evaluasi ini mencakup 12 K/L terpilih dari sembilan sektor pembangunan tersebut. Pada tingkat daerah, dipilih tiga provinsi dan tiga kabupaten/kota secara acak untuk dievaluasi. Evaluasi dilakukan dengan melihat lima aspek yang menjadi prasyarat PUG, yaitu: i) dukungan (politik) dari pimpinan K/L; ii) ketersediaan wadah, baik struktural maupun fungsional yang memungkinkan PUG (berpotensi) terlembaga; iii) ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; iv) SDM yang memahami dan mampu melaksanakan dan mengawal PUG; dan v) jumlah program/kegiatan yang responsif gender. Hasil dari evaluasi tersebut menunjukkan:45
“1) implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut dapat dikatakan sebagian besar belum terlaksana;
2) meskipun sudah ada kemajuan, akan tetapi secara umum pelaksanaan PUG belum berjalan dengan baik. Beberapa penyebab utamanya adalah sebagai berikut:
• Adanya perubahan dari Repeta 2001-2004 menjadi RPJMN 20042009, berdampak terhadap operasionalisasi ke-38 program yang sudah responsif gender itu, karena tidak lagi menjadi program yang diusulkan. • Inpres No. 9 tahun 2000 yang merupakan payung hukum pelaksanaan PUG di setiap instansi baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, tidak tersosialisasi dengan baik.
45
• PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai strategi pembangunan yang sifatnya cross-cutting, menyeluruh dan terintegrasi.
Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP). (2005)
108
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
• Dampak otonomi daerah yang mengindikasikan bahwa sebagian besar pemerintah daerah tidak menempatkan kesenjangan gender sebagai isu utama, dan tidak memprioritaskan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pelaksanaan PUG.
• Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena tidak ada keharusan bagi setiap instansi untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin, apalagi digunakan untuk keperluan analisis. • Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di masing-masing lembaga.”
Selanjutnya pada tahun 2007, Bappenas melakukan kajian “Analisis Gender dalam Pembangunan” yang bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan PUG di 18 kementerian/ lembaga, tujuh provinsi, dan tujuh kabupaten/kota terpilih.46 Sebagaimana halnya dengan evaluasi tahun 2005, evaluasi tahun 2007 ini dilakukan dengan melihat lima aspek yang menjadi prasyarat PUG tersebut di atas. Hasil umum evaluasi PUG yang dilakukan Bappenas menunjukkan bahwa strategi PUG masih belum dilaksanakan dengan baik di sebagian besar bidang pembangunan. Berdasarkan kajian tersebut juga, ditemukan beberapa faktor penyebab kurang berhasilnya PUG di kementerian/lembaga, antara lain:47 • lemahnya dukungan politik dan kebijakan yang disertai dengan kurangnya pemahaman para pimpinan dan pengambil kebijakan;
• kurang tersosialisasikannya payung hukum PUG (Inpres No. 9 tahun 2000, RPJMN 2004-2009, dan Surat Keputusan Mendagri No. 32 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah); • kelangkaan data terpilah, dan kurangnya kemauan politik pimpinan yang berwenang dalam hal penyediaan data yang terpilah menurut jenis kelamin, serta tidak adanya keharusan untuk menyediakan data terpilah dan menggunakannya dalam melakukan analisis perencanaan; • masih rendahnya posisi struktural penanggung jawab PUG; • belum optimalnya wadah fungsional;
• kurangnya advokasi gender bagi para pimpinan; dan
46
47
• kurangnya jumlah SDM yang handal dalam melakukan analisis gender yang tepat. Selain daripada itu dapat dikatakan bahwa perencanaan yang sudah responsif gender itu masih berada di tingkat perencanaan, tidak sampai dianggarkan apalagi diimplementasikan.
18 K/L terpilih yaitu: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi Negara. Tujuh provinsi terpilih: Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara. Tujuh kabupaten/kota terpilih: Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lobar, Kota Banjarmasin, dan Kota Manado. Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan Pembangunan. Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan-Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, BAPPENAS. 2007.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
109
Evaluasi terkait PUG yang berikutnya dilakukan dalam rangka menilai (assess) ujicoba PPRG (yang merupakan upaya percepatan PUG). Evaluasi tersebut dilakukan pada tahun 2011 dan mencakup tujuh K/L dan empat pemerintah provinsi (pemprov).48 Cakupan penilaian evaluasi ini meliputi enam prasyarat PUG, yaitu: i) dasar hukum, ii) komitmen dan kelembagaan, iii) instrumen PPRG - termasuk di dalamnya program dan kegiatan, iv) kapasitas SDM, v) data dan informasi, dan vi) pendanaan. Cakupan ini merupakan adaptasi dari evaluasi tahun 2005 dan 2007, disesuaikan dengan keperluan penilaian PPRG. Hasil dari evaluasi PPRG tersebut adalah:49
“Ujicoba PPRG telah berhasil dilakukan dengan baik. Semua K/L yang ditunjuk telah memenuhi target dengan mengumpulkan minimal satu GBS, dan bahkan beberapa K/L telah melampaui target tersebut. Permasalahan utama yang ditemukan pada 7 K/L dan 4 Pemprov tersebut adalah sebagai berikut: • Dasar hukum: i) untuk K/L: kurangnya penekanan terkait target, manfaat, insentif/ disinsentif, mekanisme penelaahan GBS, serta mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kegiatan yang dilampiri GBS; dan ii) untuk Pemprov: perlunya penguatan dasar hukum pelaksanaan PPRG di tingkat RKA-SKPD, agar PPRG benarbenar terintegrasi di dalam mekanisme perencanaan dan penganggaran daerah.
• Pemahaman, komitmen, dan kelembagaan baik di K/L maupun di Pemprov: i) pemahaman PPRG di jajaran pejabat tinggi masih rendah; ii) komitmen pejabat tertinggi sudah kuat, namun kurang tecermin pada jajaran pejabat di bawahnya (eselon 1 dan 2 untuk K/L, eselon 2 dan 3 untuk Pemprov); iii) pelaksanaan ujicoba PPRG masih terisolasi pada pokja PUG; dan iv) masih lemahnya koordinasi antara Tim Penggerak PPRG dengan K/L teknis atau SKPD teknis.
• Akan halnya instrumen PPRG, baik di tingkat K/L maupun di tingkat Pemprov, para pelaksana PPRG mengalami kesulitan menggunakan peranti analisis gender dan GBS. Kesulitan terbesar adalah pada penentuan isu gender, keterbatasan data pembuka wawasan, dan membedakannya dengan data dasar/baseline, dan indikator gender, serta keterkaitannya dengan perubahan struktur dokumen perencanaan dan penganggaran. Tim Penggerak PPRG juga perlu memberikan perhatian terkait arahan GBS yang belum mendorong penyusunan pada tingkat Kegiatan atau Output. Sistem pendokumentasian GBS juga masih belum berjalan dengan baik di tingkat K/L maupun Pemprov. Kemudian, ketidaksesuaian kerangka waktu penyusunan GBS dengan proses penganggaran yang melalui beberapa tahap sebelum anggaran disahkan oleh DPR/D. • Kapasitas SDM di tingkat K/L dan Pemprov masih belum memadai, terutama dalam hal analisis gender. Namun, permasalahan juga muncul dari sisi fasilitasi PPRG K/L, yaitu kurang memadainya kapasitas fasilitator untuk pelatihan dan pendampingan PPRG dalam hal teknis bidang pembangunan, dan dalam penyampaian target PPRG yang diharapkan (kuantitas dan kualitas). Selain itu, kurangnya keterlibatan motor
Tujuh
48
49
K/L yang dinilai adalah: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Bappenas. Empat pemprov yang dinilai adalah: Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Evaluasi Pelaksanaan Uji Coba Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) 2009-2010. Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak-Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, BAPPENAS. 2011.
110
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
penggerak lainnya, baik Bappenas maupun Kemenkeu, dalam pelatihan PPRG K/L juga berakibat pada kualitas pelatihan yang kurang memadai.
• Khusus di tingkat pemprov, kompetensi perencanaan kurang memadai sehingga banyak terjadi kerancuan dalam perumusan indikator keluaran kegiatan (output) dan indikator dampak program (outcome). Selain itu, para perencana/penyusun GBS Pemprov belum benar-benar memahami bahwa kegiatan yang disusun GBS-nya sebaiknya bukan kegiatan baru. GBS TA 2010 yang telah disusun juga belum banyak yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam prioritas nasional/daerah/SKPD. • Permasalahan yang terakhir yaitu terkait data dan informasi untuk mendukung pelaksanaan PPRG. Hingga saat ini, baik di tingkat K/L maupun Pemprov, data terpilah belum atau kurang tersedia, dan telah menjadi kendala sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden tentang Pelaksanaan PUG pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan belum optimalnya upaya penyediaan dan pemutakhiran data terpilah belum dilakukan secara sistematis dan berkala.”
Menilai hasil-hasil evaluasi terkait PUG yang dilakukan pada tahun 2005, 2007 dan 2011, nampak pola yang mirip, yaitu: i) ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin tetap menjadi kendala; ii) kelembagaan yang keberlanjutannya belum pasti karena bersifat ad hoc; iii) pemahaman konsep gender yang rendah/parsial; dan iv) kapasitas SDM yang kurang memadai. Pada Bagian IV Kelembagaan PUG akan dibahas dengan lebih menyeluruh mengenai PUG dan kelembagaannya.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
111
BAB XII PENERAPAN PUG: KEMENTERIAN/LEMBAGA Sebagaimana yang telah disampaikan pada Bagian Pendahuluan, pengarusutamaan gender (PUG) ditetapkan sebagai salah satu dari tiga strategi pengarusutamaan dalam pembangunan nasional pada RPJMN 2010-2014. Dengan demikian, setiap kementerian/ lembaga (K/L) harus mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan/ program dan kegiatan pembangunannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masingmasing.
Untuk memotret gambaran terkini serta pemetaan mengenai berbagai kebijakan dan program, serta capaian dan tantangan yang dihadapi terkait dengan peningkatan kesetaraan gender, telah dilakukan kegiatan Pengumpulan Data dan Informasi Gender (PDIG) pada 34 K/L terpilih.50K/L tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan penerapan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) yang dilakukan pada Tahun Anggaran 2013. Metode PDIG dilakukan secara partisipatif melalui roundtable discussion, indepth interview, dan telaah berbagai dokumen terkait. Lingkup penilaian PDIG meliputi kemampuan Kementerian/Lembaga dalam menerjemahkan Inpres 9 Tahun 2000 tentang PUG sebagai strategi ke dalam Rencana Strategis (Renstra) K/L, khususnya ke dalam visi, misi, tujuan, sasaran prioritas, sasaran strategis, target dan indikator, serta penjabaran visi misi tersebut ke dalam program dan/ atau kegiatan di tingkat unit kerja eselon 1 dan 2.
Pencapaian Pengarusutamaan Gender
Hasil assessment terhadap penerapan PUG melalui PDIG menunjukkan kondisi yang positif, namun masih terdapat beberapa kelemahan yang harus dibenahi. Hal positif adalah adanya 11 (32,4 persen) K/L yang memiliki komitmen sangat kuat dalam menerjemahkan Inpres 9 Tahun 2000 ke dalam visi dan misinya. Pada K/L tersebut, formulasi visi dan misinya berkontribusi secara langsung untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Selain itu, terdapat 10 (29,4 persen) K/L yang memiliki komitmen cukup kuat dalam menerjemahkan Inpres 9 tahun 2000 ke dalam visi dan misinya. Pada K/L tersebut, formulasi visi dan misinya berkontribusi secara tidak langsung untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Selebihnya, masih terdapat 7 (20,6 persen) K/L yang memiliki komitmen kurang kuat dalam menerjemahkan Inpres 9 tahun 2000 ke dalam visi dan misinya. Pada K/L tersebut, formulasi visi dan misinya belum berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Sisanya, (6 K/L) belum diterima 34 K/L terpilih:Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perdagangan, Kementerian
50
Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, Mahkamah Agung, Lembaga Pertahanan Nasional, Badan Nasional Narkotika, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Sekretariat Negara.
112
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Renstra-nya hingga akhir PDIG ini. Dilihat dari sisi pelaksanaan, terdapat beberapa K/L yang mampu menerjemahkan kesetaraan dan keadilan gender dalam program/kegiatan di tingkat direktorat jenderal/setara dan direktorat/ setara, namun masih terdapat beberapa K/L yang belum dapat menerjemahkan komitmen tersebut di tingkat direktorat jenderal/ setara dan direktorat/ unit kerja setara.
Berbagai capaian positif dari ke 34 K/L dengan mengacu kepada prasyarat PUG, antara lain: (i) beberapa K/L telah mempunyai landasan hukum yang kuat berupa Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender, Peraturan Menteri tentang Uji coba PPRG pada beberapa K/L, Peraturan Menteri tentang Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG), dan Peraturan Menteri tentang Penyusunan Data Terpilah Menurut Jenis Kelamin; (ii) terdapat beberapa K/L yang kelembagaan PUGnya bersifat struktural dengan keanggotaan pejabat struktural eselon 1 hingga eselon 3, dan kelembagaan PUG fungsional dengan keanggotaannya para ahli gender perwakilan dari berbagai lembaga, baik lembaga penelitian, BPS, PT/PSW, dan LSM; (iii) beberapa K/L telah memiliki sejumlah SDM yang paham tentang gender dan mampu mendesain perencanaan dan penganggaran responsif gender melalui analisis gender (GAP dan GBS); (iv) beberapa K/L telah memiliki sejumlah peranti untuk implementasi PPRG, baik berupa data terpilah menurut jenis kelamin, modul ataupun panduan perencanaan dan penganggaran responsif gender, modul atau panduan penyusunan data terpilah menurut jenis kelamin; (v) beberapa K/L telah menerapkan PPRG pada beberapa program/kegiatan/subkegiatan dengan melampirkan GAP dan GBS sebagai bagian tak terpisahkan dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang mereka buat; dan (vi) pada beberapa K/L telah melakukan jejaring dengan civil society, baik melalui kemitraan dengan LSM maupun PT/PSW dan memperoleh pendanaan dari lembaga donor di dalam dan luar negeri. Hasil dari PDIG tersebut selengkapnya tercantum dalam Laporan Akhir PDIG. Kelembagaan PUG yang disampaikan di sini adalah yang berkaitan dengan kinerja beberapa K/L yang akan terlibat dalam penanganan isu-isu gender yang telah diidentifikasikan dalam kajian ini.
TIM PENGGERAK DAN PENDUKUNG PUG
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) KPP&PA pada awalnya hanya memiliki 1 (satu) kedeputian yang menangani PUG. Seluruh kegiatan fasilitasi dan sosialisasi terkait PUG menjadi tanggung jawab kedeputian bidang PUG. Namun, seiring dengan meningkatnya tuntutan kebutuhan advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi terkait PUG, maka kapasitas Kedeputian PUG menjadi tidak memadai, terutama dari sisi jumlah SDM-nya. Untuk menjawab tantangan RPJMN 2010-2014 yang mengangkat PUG sebagai salah satu strategi yang diarusutamakan ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah, serta dilakukannya restrukturisasi organisasi di seluruh K/L dalam rangka penganggaran berbasis kinerja pada akhir tahun 2010, maka KPP&PA melakukan restrukturisasi organisasi dengan memecah kedeputian bidang PUG menjadi 2 kedeputian berdasarkan bidang pembangunan yang ditangani, yaitu Deputi Bidang PUG Bidang Ekonomi dan Deputi Bidang PUG Bidang Politik, Sosial, dan Hukum (Polsoskum). Selain itu, KPP&PA juga mengupayakan mekanisme insentif bagi K/L dan Pemda yang berkomitmen tinggi menerapkan PUG secara aktif dan inovatif, melalui Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE).
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
113
Tantangan yang dihadapi KPP&PA pada RPJMN 2015-2019 antara lain adalah: i) adanya tuntutan penambahan fungsi teknis KPP&PA dalam menjalankan mandatnya. Saat ini KPP&PA menjadi Ketua Pengurus Harian Penanggulangan TPPO, padahal KPP&PA hanya memiliki tupoksi koordinator kebijakan, bukan pelaksana teknis (implementing agency). Selain itu, KPP&PA juga mendapat tambahan mandat untuk menangani TKI perempuan yang bermasalah, padahal KPP&PA tidak memiliki anggaran bantuan sosial; ii) masih bervariasinya pemahaman terhadap PUG, baik di tingkat nasional, maupun daerah; dan iii) masih belum terlembaganya sistem pendataan terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sehingga pemanfaatan data dan informasi untuk perencanaan ke depan menjadi kurang optimal.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Dari sisi output, Bappenas sebagai lembaga perencana telah menghasilkan banyak inisiatif dan dokumen-dokumen perencanaan yang responsif gender, di antaranya adalah: mengembangkan peranti analisis gender bagi perencana (Gender Analysis Pathway/GAP) pada tahun 1998, yang hingga kini semakin luas digunakan oleh instansi pemerintah, pusat-pusat kajian, dan LSM; Kepmeneg PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP. 30/M.PPN/HK/03/2009 tentang Tim Teknis dan Tim Pengarah PPRG (yang merupakan inisiatif awal dari Percepatan PUG melalui PPRG, dan kemudian ditindaklanjuti oleh Kemenkeu dengan PMK terkait ARG yang diperbaharui setiap tahunnya); Pengarusutamaan Gender dalam RPJMN 2010-2014 (yang untuk pertama kalinya memuat matriks kegiatan lintas K/L, termasuk target, dan indikatornya); dan inisiatif serta koordinator penyusunan Strategi Nasional Percepatan PUG Melalui PPRG (Stranas PPRG), yang selanjutnya ditetapkan sebagai Surat Edaran Empat Menteri (Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Menkeu, Mendagri, dan Meneg PP & PA) pada tanggal 1 November 2012. Namun, terkait penerapan PUG secara internal institusi, sampai dengan tahun 2011, pelaksanaan PPRG di Bappenas hanya dikoordinasikan oleh satu unit kerja eselon II, yaitu Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (KP3A), di bawah Kedeputian Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan (SDMK). Hal ini terkait erat dengan masih berbedanya pemahaman dalam hal penanggung jawab pelaksanaan PUG untuk internal Bappenas. Direktorat KP3A sebagai perencana teknis bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan selama ini dianggap sebagai ‘penanggung jawab’ semua inisiatif terkait upaya kesetaraan gender dalam pembangunan. Dengan demikian, pelaksanaan ujicoba PPRG menjadi ‘terisolasi’ pada Direktorat KP3A, walaupun sosialisasi terkait PUG telah dilakukan secara rutin oleh Direktorat KP3A bagi seluruh pejabat dan staf Kementerian PPN/Bappenas sejak pertengahan tahun 2010.
Oleh sebab itu, pada tahun 2012, Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas memutuskan dibentuknya Tim Pengarah (beranggotakan seluruh Eselon I-Kementerian PPN/Bappenas) dan Tim Teknis PUG (beranggotakan 44 pejabat eselon II di lingkungan Eselon I terkait) di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas. Dengan adanya Kepmen tersebut, maka pelatihan rutin terkait PUG dan percepatannya melalui PPRG dilakukan setahun 2 kali bagi seluruh pejabat dan staf di Kementerian PPN/Bappenas; yaitu menjelang penyusunan RKP dan menjelang penyusunan RKA-KL. Pada tahun 2010-2012, Bappenas mendapatkan APE Madya, dan pada tahun 2013 meningkat menjadi penerima APE Utama.
114
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Kementerian Keuangan Sejak tahun 2004, Kemenkeu membentuk Kelompok Kerja (Pokja) PUG. Surat Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembentukan Tim PUG Kemenkeu diperbaharui setiap tahun. Kelembagaan PUG Kemenkeu menyerupai kelembagaan PUG Kementan, yaitu dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, sebagai Pengarah, yang merupakan satu-satunya pejabat eselon 1 di dalam tim tersebut. Ketua Pelaksana PUG pada tingkat eselon 2, yaitu Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan-Sekretariat Jenderal). Anggota Tim Pelaksana PUG adalah perwakilan dari semua unit eselon 1, yang sebagian besar adalah pejabat eselon 3 dan 4, dibantu beberapa staf pelaksana.
Komitmen Kemenkeu terhadap penerapan PPRG khususnya sebagai salah satu tim penggerak PPRG, sangat kuat, khususnya di lingkungan Ditjen Anggaran Kemenkeu. PMK RKA-K/L yang memuat ARG merupakan cerminan langsung komitmen kuat tersebut. Dalam perannya sebagai kementerian pelaksana PPRG, komitmen Kemenkeu juga termasuk kuat. Uji coba PPRG dilaksanakan dengan melibatkan sebagian besar unit eselon 1 Kemenkeu. Namun, pelaksanaannya masih ‘terisolasi’ pada anggota Pokja PUG. Pokja PUG ini berada pada unit Sekretariat Ditjen, dan beranggotakan perwakilan dari Bagian Perencanaan, Bagian Kepegawaian, dan Bagian Organisasi dan Tata Laksana. Untuk mengatasi hal tersebut, Kemenkeu berupaya memperluas pelaksanaan PPRG di luar Pokja PUG dengan melakukan pelatihan-pelatihan bagi perencana-perencana dari unit eselon 2 lainnya.
Selain itu, sebagian besar unit eselon 2 belum memahami tentang pelaksanaan PPRG melalui penyusunan analisis gender dan GBS, karena perencana teknis Kemenkeu (direktorat teknis) tidak terlibat langsung dalam penyusunan analisis gender dan GBS. Berdasarkan hasil diskusi yang dilaksanakan secara terpisah, seluruh responden mengusulkan perlunya penguatan komitmen di tingkat pejabat eselon 1 dan 2, agar PPRG lebih terefleksi dalam penyusunan RKA-K/L Kemenkeu. Dalam perannya sebagai tim penggerak PPRG, Kemenkeu merupakan tim penggerak utama PPRG bersama Bappenas, sesuai dengan tupoksi mereka terkait perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional. Hal ini membuat K/L teknis (di luar penggerak) melihat bahwa pelaksanaan PPRG bukan dominasi dan tugas KPP&PA, melainkan tugas bersama K/L dalam merencanakan dan menganggarkan kegiatan masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penyusunan analisis gender dan GBS dilakukan oleh anggota Pokja PUG, dan bukan oleh para perencana teknis. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat perluasan pelaksanaan PPRG ke depan. Kurangnya jumlah SDM anggota Pokja PUG saat ini tidak memungkinkan untuk menangani seluruh proses perencanaan dan penganggaran di masing-masing unit eselon 2. Idealnya, pelaksanaan PPRG dilaksanakan oleh setiap unit perencana teknis, dan dikoordinasikan oleh Biro Perencanaan. Anggota Pokja PUG dapat memberikan dukungan dalam hal pembekalan konsep gender dan PUG.
Kementerian Dalam Negeri
Komitmen Kemendagri untuk penerapan PUG di internal kementerian dimulai sejak tahun 2003 dengan adanya SK Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri No. 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum PUG. Pada tahun 2006 diterbitkan SK Mendagri No. 411 tahun 2006 tentang Percepatan Program Pemberdayaan Perempuan dalam PUG. Komitmen Kemendagri
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
115
semakin kuat tercermin dengan bergabungnya Kemendagri dalam Tim Penggerak PPRG dalam Surat Edaran Empat Menteri tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG. Di samping itu, saat ini telah mulai dibentuk Sekretariat Bersama PPRG di Kemendagri.
BIDANG PENDIDIKAN
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menerapkan PUG secara internal institusi sejak tahun 2002 dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) PUG melalui SK Menteri No. No. KEP-89/E/MS/2002. Unit penggerak utama pokja PUG sejak 2002 hingga saat ini adalah Ditjen PAUD-NI (dulu PNFI). Peningkatan komitmen terus dilakukan dengan dikeluarkannya SK Menteri Pendidikan RI No. 060/P/2007 tentang Pokja Gender Nasional, dan diikuti dengan diberlakukannya Peraturan Menteri No. 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan. Pada tahun 2002, Pokja PUG diketuai oleh pejabat eselon II (Direktur Pendidikan Luar Sekolah). Kemudian, pada tahun 2007 Pokja PUG diketuai oleh pejabat eselon I (Sekretaris Jenderal Kemendiknas) dengan wakil pejabat eselon II (Direktur Pendidikan Masyarakat - dulu PLS). Berdasarkan Permen No. 84 tahun 2008, jumlah eselon 1 yang dilibatkan meningkat menjadi 7 pejabat eselon 1, sedangkan Tim PUG beranggotakan semua unit eselon I.
Salah satu bentuk pencapaian dari Permen No. 84 tahun 2008 dalam dokumen pembangunan adalah telah disajikannya sejumlah indikator capaian pendidikan (terutama yang terkait dengan indikator MDGs) secara terpilah berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, sebagian program pendidikan telah menjadi lebih responsif gender, setelah disusun berdasarkan analisis gender. Namun, sejalan dengan berlangsungnya reformasi birokrasi internal Kemendikbud, terjadi kecenderungan stagnasi. Ujicoba PPRG selama 2 (dua) tahun hanya melibatkan 1 (satu) unit eselon 2, dengan 1 (satu) GBS, tanpa ada peningkatan ataupun perluasan. Selain itu, terjadi dikotomi dengan memisahkan antara PUG dan PPRG dengan leading unit PUG tetap berada di Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dit. Dikmas), sedangkan Biro Perencanaan dan KLN-Setjen berfungsi sebagai koordinator PPRG. Pemisahan antara PUG dan PPRG seharusnya tidak terjadi, sebab PPRG adalah bagian dari PUG. PPRG merupakan upaya percepatan PUG, dan bukan merupakan inisiatif yang berbeda dari PUG.51Untuk selanutnya, diharapkan dapat dilakukan perluasan PPRG pada kegiatan di luar pemberantasan buta aksara (sebagaimana yang saat ini dilakukan oleh Dit. Dikmas), sehingga akan mendorong pada pencapaian pendidikan bagi penduduk miskin, terpencil, penyandang disabilitas, serta KAT.
BIDANG KESEHATAN
Kementerian Kesehatan Komitmen Kementerian Kesehatan terhadap pelaksanaan PUG sudah terlihat sejak dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) PUG pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2004,
Evaluasi Pelaksanaan Uji Coba Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) 2009-2010.
51
Direktorat Kependudukan, dan Pemberdayaan Perempuan-Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, BAPPENAS. 2011.
116
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
diterbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 615/Menkes/VI/2004 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan (PUG-BK). Dari tahun ke tahun pelaksanaan pengarusutamaan gender terus berkembang dan komitmen para pejabat Kemenkes terus menguat, hingga pada tahun 2007 diterbitkan SK Menteri Kesehatan No. 878/Menkes/ SK/XI/2006 tentang Tim PUG-BK. Melalui Surat Edaran yang baru tersebut, para pejabat eselon 1 dilibatkan dan diberi tanggung jawab yang lebih besar, yaitu sebagai Tim Pengarah PUG-BK. Para pejabat unit eselon 2 ditunjuk sebagai gender focal point di unit kerja masingmasing dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan PUG di unit kerjanya. Hingga saat ini, komitmen untuk melaksanakan PUG di bidang kesehatan tetap terjaga.
Selain itu, Kemenkes dan KPP&PA menguatkan komitmen bersama dengan menandatangani dokumen Kesepakatan Bersama tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender di bidang kesehatan pada tahun 2010. Kesepakatan bersama tersebut meliputi pelaksanaan PPRG, penyediaan data terpilah, dan peningkatan kapasitas terkait PUG. Masa kesepakatan ini berlaku selama 5 (lima) tahun. Komitmen yang kuat tersebut terefleksi pada pelaksanaan PPRG. Hal ini tercermin pada diterbitkannya SK Menteri Kesehatan No. 1459/ MENKES/SK/X/2010 tentang panduan perencanaan dan anggaran responsif gender bidang kesehatan. Dari sisi kelembagaan PUG di Kemenkes, seperti halnya dengan Kemendikbud, Kemenkes juga menunjukkan adanya tendensi dikotomi. Tim Pelaksana memiliki 2 (dua) ketua, yaitu: i) Ketua Pengembangan Program Responsif Gender (Koordinator Pelaksanaan PUG), yaitu Direktur Bina Kesehatan Ibu; dan ii) Ketua Perencanaan Program Responsif Gender (Koordinator Pelaksanaan PPRG), yaitu Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran. Direktur Bina Kesehatan Ibu bertanggung jawab dalam hal pengembangan PUG-Bidang Kesehatan, sedangkan Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran bertanggung jawab dalam hal pengembangan dan pelaksanaan PPRG.
Kelembagaan PUG yang sudah tergolong meluas hingga ke unit eselon 2 di Kemenkes sangat mendukung pelaksanaan PPRG. Para pelaksana PPRG adalah eselon 3 di unit setditjen, yaitu Kabag Program dan Informasi (PI), yang juga merupakan sekretaris dari sub tim pelaksana di unit eselon 2. Dengan demikian, mekanisme PPRG menjadi lebih terintegrasi ke dalam sistem perencanaan Kemenkes, bila dibandingkan dengan K/L lainnya. Ruang untuk lebih maju dalam pelaksanaan PPRG masih cukup luas bagi Kemenkes, yaitu pelibatan perencana-perencana teknis di semua unit eselon 2. Kemenkes telah memiliki visi dan misi responsif gender. Visi Kemenkes adalah masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani, serta melindungi kesehatan masyarakat, dan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. Meski demikian, upaya-upaya ini perlu terus ditingkatkan agar mampu menurunkan AKI, AKBa, dan meningkatkan status gizi balita.
BIDANG KETENAGAKERJAAN
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Komitmen Kemenakertrans telah mulai dibangun sejak awal 2002, dengan dilakukannya ujicoba analisis gender menggunakan peranti GAP bersama empat kementerian lainnya.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
117
Pada tahun 2007, dikeluarkan SK Sekretaris Jenderal Tahun tentang Pokja PUG dan Gender Focal Point. Kemudian terdapat delapan program yang disusun secara responsif gender, yaitu: i) Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja; ii) Peningkatan perlindungan dan pengawasan pekerja/buruh perempuan; iii) Perluasan dan pengembangan kesempatan kerja; iv) Pengembangan wilayah tertinggal; v) Pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; vi) Pengelolaan SDM aparatur; vii) Penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan; dan viii) Penguatan kelembagaan (Iptek). Saat ini, Kemnakertrans mengembangkan Program Pengembangan Hubungan Industrial dan Peningkatan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Program Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan Sistim Pengawasan Ketenagakerjaan yang responsif gender. Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan mencakup: a) Peningkatan syarat kerja non-diskriminasi; b) Sosialisasi pengaturan syarat kerja non-diskriminasi di tempat kerja; c) TOT non-diskriminasi di tempat kerja; dan d) Peningkatan perlindungan pekerja perempuan dan penghapusan pekerja anak. Kemudian, program lain yang masuk dalam PPRG Kemenakertrans adalah yaitu: i) Program Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas; ii) Program Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja; iii) Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi. (Sumber: GBS Kemenakertrans Tahun 2013).
Kementerian Pertanian
Kementan termasuk K/L yang pertama kali melaksanakan PUG sejak awal keluarnya Inpres PUG pada tahun 2000. Namun, bila melihat dari hasil evaluasi PUG tahun 2007 dan 2011, nampak komitmen Kementan cenderung stagnan. Hal ini lebih terkait pada belum optimalnya pelibatan pejabat eselon 1 dan 2 Kementan di dalam kelembagaan PUG. Surat Keputusan Menteri Pertanian tentang Tim Koordinasi PUG menunjuk Sekretaris Jenderal Kementan sebagai Ketua, sedangkan anggotanya adalah kepala bagian perencanaan di setiap unit eselon 1 Kementan.
Pemahaman yang tepat tentang PPRG sebagai percepatan pelaksanaan PUG mungkin merupakan salah satu penyebab dari kecenderungan stagnasi tersebut. Untuk itu, Tim Penggerak PPRG perlu meningkatkan advokasi PPRG bagi pejabat eselon 1 dan 2 pada para K/L pelaksana PPRG, termasuk Kementan. Komitmen Sekretaris Jenderal Kementan selaku Ketua Tim Koordinasi PUG dalam pelaksanaan ujicoba PPRG di Kementan cukup kuat. Hal ini tecermin pada pelaksanaan ujicoba PPRG yang melibatkan sebagian besar unit eselon 1 Kementan.
Pelaksanaan uji coba PPRG di Kementan menggunakan jalur Pokja PUG. Anggota Pokja PUG sebagian besar merupakan pejabat eselon 4 Bagian Perencanaan dari unit-unit eselon 1 Kementan (Sekretariat Ditjen). Hal ini menguntungkan Kementan karena berarti PPRG langsung terintegrasi ke jalur dan mekanisme perencanaan dan penganggaran Kementan. Namun, untuk perluasan PPRG ke depan, Kementan perlu melibatkan unit eselon 2 teknis selain Sekretariat Ditjen. Dengan kata lain, PPRG dilaksanakan secara luas di semua unit eselon 2 Kementan, atau kelembagaan PUG diperluas ke semua unit eselon 2 Kementan.
Program yang kegiatannya masuk dalam PPRG Kementan, adalah: i) Penciptaan Teknologi dan Varitas Unggul Berdaya Saing; ii) Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian; iii) Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan Untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan; iv) Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian; v) Peningkatan Produksi,
118
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Produktivitas dan Mutu Tanaman Hortikultura Berkelanjutan; vi) Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat; vii) Pengembangan SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani; dan viii) Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan (Sumber : GBS Pertanian TA 2013).
BIDANG HUKUM
Kementerian Hukum dan HAM Hasil Evaluasi PUG 2007 menunjukkan bahwa PUG diterapkan di Kemenhukham sejak tahun 2002, dengan dikeluarkannya SK Menhukham Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim/ Pokja KKG Bidang Hukum. Salah satu strategi yang terdapat di dalam Renstra Kemenhukham 2004-2009 adalah terkait PUG, pada no. 11, yaitu: Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak. Adapun yang ditunjuk untuk menangani adalah Subbid Penelitian Hak Perempuan dan Anak, dan pada Subbid Pengembangan Hak Perempuan dan Anak. Dari 13 (tiga belas) program pembangunan yang berkaitan dengan HAM perempuan, 6 (enam) program di antaranya sudah responsif gender.
Kepolisian RI
Komitmen Polri untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui penerapan PUG di lingkungan Polri sudah lama dimulai dan terus berkembang. Penerapan PUG telah tecermin mulai dari tahap perekrutan melalui SK Kapolri 22 Maret 2002 tentang penerimaan Tarunataruni. Kemudian pada tahap pengembangan kapasitas (pelatihan dan pendidikan) melalui SK Kapolri 9 November 2006 tentang Seleksi Dik Sespim Polri. Kemudian pada tahap penanganan kasus melalui Kesepakatan 3 Menteri tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dan ditindaklanjuti dengan SK Kapolri 17Ok 03 tentang PPT di RS Polri. Program/Kegiatan yang dinyatakan responsif gender, antara lain adalah: i) Pengembangan SDM; ii) Lidik dan Sidik; iii) Harkamtibmas; iv) Kajian pemberdayaan Polwan; dan v) Pelatihan Peningkatan kapasitas Polwan dan penyusunan Perkap PUG.
Mahkamah Agung
Penerapan PUG di internal MA telah dimulai sejak tahun 2005 dengan diterbitkannya SK Penanggung jawab Kelembagaan PUG 17 Mei 2005, tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Perlindungan Wanita dan Anak. Hal ini dilanjutkan pula dengan penunjukan Fokal Poin.
BIDANG POLITIK
Lembaga Aparatur Negara Sampai dengan 2007, belum ada SK Kepala LAN terkait penerapan PUG, walaupun LAN sudah memiliki gender focal point di setiap unit eselon I. Di samping itu, sejak tahun 2007 juga telah banyak didiskusikan tentang masuknya PUG dalam kurikulum, namun masih di tingkat staf. LAN juga telah melaksanakan sosialisasi, diklat, dan lokakarya PUG, serta melakukan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PUG di birokrasi.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
119
LINTAS BIDANG PERLINDUNGAN TERHADAP BERBAGAI TINDAK KEKERASAN Kementerian Sosial Kementerian Sosial melalui Badan Litbangsos, telah mengeluarkan SK Kepala Badan Litbangsos No. 01/PPS/KSM/SK/I/2002 berkenaan dengan pembentukan Tim Teknis Pokja PUG. Tidak lama setelah itu, diterbitkan SK Mensos RI No. 07/PEGHUK/2002 tentang dibentuknya Pokja PUG Bidang Kesejahteraan Sosial. SK tersebut kemudian direvisi menjadi SK Mensos RI No. 93/HUK/2005 tentang Keanggotaan Pokja PUG Bidang Kesejahteraan Sosial.
Gugus Tugas Nasional Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
Penanganan TPPO telah dilakukan melalui pembentukan Gugus Tugas Nasional PTPPO, yang dipimpin oleh Kemenko Kesra, dan KPP&PA sebagai Ketua Pengurus Harian (KPH), melalui Perpres No. 69 Tahun 2008. Di dalam Gugus Tugas PTPPO, koordinasi di tingkat kebijakan adalah pada tingkat menteri. Sedangkan koordinasi teknis dipimpin oleh Ketua Harian Gugus Tugas Pusat, melalui Peraturan Ketua Harian Gugus Tugas Pusat.
Koordinasi teknis nampaknya merupakan salah satu titik kelemahan kelembagaan PTPPO, karena komitmen dari para pimpinan Gugus Tugas Nasional masih perlu ditingkatkan. Koordinasi teknis dalam bentuk keputusan bersama dari semua anggota Gugus Tugas Nasional (Surat Edaran Bersama atau Peraturan Bersama) akan lebih mencerminkan kesatuan komitmen dalam penghapusan TPPO. Kelemahan lain dari Gugus Tugas Nasional adalah bersifat temporer, ad hoc. Padahal kejahatan TPPO seharusnya ditangani secara komprehensif dan dalam bentuk lembaga yang jelas keberlanjutannya. Bila menilik bentuk kejahatan transnasional lainnya, yaitu perdagangan narkoba yang ditangani oleh badan khusus, maka perlu juga dipertimbangkan kemungkinan pembentukan suatu institusi khusus yang menangani TPPO hingga tuntas. Di daerah hingga saat ini sudah terbentuk 27 Gugus Tugas PTPPO Provinsi dan 88 Gugus Tugas Kabupaten/Kota. Adapun provinsi yang belum membentuk gugus tugas adalah Bengkulu, Sulbar, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
LINTAS BIDANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN Kementerian KUKM
Komitmen Kementerian KUKM untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui penerapan PUG telah dimulai sejak diterbitkannya SK Menteri Tahun 2006 tentang Tim PUG Bidang KUKM. Hal ini diikuti dengan SK Menteri Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan UKM responsif gender.
Kementerian Riset dan Teknologi
Kemenristek telah menunjukkan komitmen untuk menerapkan PUG secara internal kementerian dengan menerbitkan SK Tim Focal Point dan Pokja PUG pada tahun 2004, yang
120
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Pada dipimpin oleh Kepala Bidang Masyarakat dan Gender (Es III) sebagai pelaksana. Di samping itu, Kemenristek juga telah menyusun Strategi PUG dalam Bidang Iptek.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
TNP2K ini diketuai oleh Wakil Presiden, dengan beranggotakan menteri-menteri terkait, dan memiliki Sekretaris Eksekutif yang mengelola kelompok-kelompok kerja untuk mengoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Terdapat 3 (tiga) kelompok kerja, yaitu: i) Kelompok Kerja Program Bantuan Sosial Terpadu Berbasis Keluarga; ii) Kelompok Kerja Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat, dan iii) Kelompok Kerja Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Pada tingkat daerah, telah mulai dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. TKPKD diketuai oleh Wakil Gubernur/Walikota/Bupati, dibantu oleh Sekretaris yang dijabat oleh Kepala Bappeda.
LINTAS BIDANG PERUBAHAN IKLIM DAN LINGKUNGAN HIDUP Kementerian Lingkungan Hidup
Pokja Gender dibentuk dengan ditetapkannya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103 Tahun 2003. Namun, berdasarkan hasil evaluasi PUG tahun 2005, kegiatan Pokja di Kemeneg LH itupun berakhir dengan berakhirnya proyek Development Planning Assistance (DPA) untuk melakukan pelatihan analisis gender.
Kementerian Kehutanan
Kemenhut melakukan kegiatan Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Hutan melalui kegiatan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan (Sumber: GBS Kementerian Kehutanan , 2011).
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Hingga tahun 2007 belum ada SK Menteri untuk penerapan PUG dan pembentukan Pokja atau Tim PUG atau bahkan fokal poin gender, namun sudah terbentuk forum gender. Adapun staf KKP yang pernah dilatih KPP&PA terkait PUG adalah sebanyak 35 orang.
Kementerian Pekerjaan Umum
Kementerian PU tergolong ‘pendatang baru’ (new entrant) dalam pengadopsian kesetaraan gender dan dalam melaksanakan PUG. Namun, keterlambatan dalam memulai dikompensasi dengan kecepatan mengejar para pendahulunya. Komitmen Kementerian PU dinilai kuat, yang tecermin dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PU Tahun 2010-2014, yang telah mengedepankan aspek kesetaraan gender; serta dalam tataran implementasi, yang telah diatur melalui Surat Keputusan (SK) Menteri PU No. 363/ KPTS/M/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarusutamaan Gender Departemen PU. SK ini telah diperbaharui melalui SK Menteri PU No. 134/KPTS/M/2011 tentang Perubahan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 363/KPTS/M/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarusutamaan Gender Kementerian PU. Tim PUG Kementerian PU beranggotakan wakilwakil dari semua unit, meliputi eselon 1-4, dan beberapa staf di Kementerian PU.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
121
Komitmen yang sama tecermin pada tingkat eselon 1, dengan disusunnya Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam Perencanaan Program dan Anggaran di Kementerian PU, oleh Sekretariat Jenderal PU pada tahun 2009. Hingga laporan ini disusun, review terhadap buku panduan tersebut sedang dilakukan untuk disesuaikan dengan peraturan dan kebijakan baru yang terkait. Bila pelaksanaan PPRG di Kementerian PU diperluas hingga seluruh unit eselon 2, maka minimal diperlukan arahan dari pejabat eselon 1 Kementerian PU mengenai hal ini. Lebih jauh lagi, bila penerapan GBS lebih diutamakan pada tingkat output kegiatan, maka komitmen kuat dari pejabat eselon 2 Kementerian PU menjadi krusial. Kemudian, idealnya, pelaksanaan PPRG dilaksanakan oleh setiap unit perencana teknis, dan dikoordinasi oleh Biro Perencanaan dan KLN bersama dengan Sekretariat PUG. Hal ini telah diakomodasi dalam SK Menteri PU No. 134/KPTS/M/2011. Anggota Pokja PUG dapat memberikan dukungan dalam hal pembekalan konsep gender dan PUG, termasuk dalam rangka penyusunan analisis dan/atau GBS. Hal ini akan memudahkan pengintegrasian perspektif gender secara meluas di tubuh Kementerian PU. Kementerian PU berpeluang besar untuk meningkatkan komitmennya terhadap percepatan PUG melalui PPRG, yaitu dengan melibatkan sebanyak mungkin unit eselon 2 teknis Kementerian PU. Sejak tahun 2011, Kementerian PU merupakan penerima APE Utama.
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
DNPI diketuai oleh Presiden, dengan Wakil Ketua Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan beranggotakan 17 (tujuh belas) orang Menteri dan 1 (satu) Kepala Badan. Ketua Harian dibantu oleh 8 Kelompok Kerja dan Sekretariat. Sekretariat DNPI, dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat, yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim. Struktur keorganisasian internal DNPI terdiri dari Kelompok Kerja (Pokja) dan Divisi.
- Kelompok Kerja dalam DNPIi) Kelompok Kerja Adaptasi; ii) Kelompok Kerja Mitigasi; iii) Kelompok Kerja Alih Teknologi; iv) Kelompok Kerja Pendanaan; v) Kelompok Kerja Negosiasi Internasional (Post Kyoto 2012); dan vi) Kelompok Kerja Tata Guna Lahan dan Kehutanan (Kehutanan dan Alih Guna Lahan)
- Divisi-divisi dalam DNPI: i) Divisi Komunikasi, Informasi dan Edukasi; ii) Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon; iii) Divisi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Keputusan Dewan; iv) Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan; dan v) Divisi Administrasi Umum.
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Bagian ini akan mengetengahkan rangkuman rekomendasi bidang, lintas bidang, dan kelembagaan PUG untuk penyusunan RPJMN III (20152019).
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
125
BAB XIII REKOMENDASI PROGRAM DAN KEBIJAKAN RPJMN 2015-2019 Berdasarkan serangkaian diskusi, seminar, dan studi literatur yang telah dilakukan dalam rangka Background Study ini, maka direkomendasikan sembilan fokus untuk RPJMN III (2015-2019) Kesetaraan Gender. Fokus-fokus tersebut adalah: i) bidang pendidikan; ii) bidang kesehatan; iii) bidang ketenagakerjaan; iv) bidang hukum; v) bidang politik; vi) lintas bidang perlindungan terhadap berbagai tindak kekerasan; vii) lintas bidang kemiskinan; viii) lintas bidang perubahan iklim; dan ix) kelembagaan PUG. Kesembilan fokus ini bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup dan perlindungan terhadap berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi, dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender, menuju bangsa Indonesia yang berdaya saing, untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. Berikut adalah permasalahan, tantangan, potensi, sasaran, kegiatan, indikator, dan instansi pelaksana untuk masing-masing fokus yang direkomendasikan untuk penyusunan RPJMN III (2015-2019) Kesetaraan Gender.
1
NO.
- komunitas adat terpencil (KAT)
- dari daerah terpencil
- penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus;
Masalah pendataan yang underdocumented pada anak usia sekolah: - dari keluarga miskin dan di bawah garis kemiskinan;
PENDIDIKAN
PERMASALAHAN
Masih sangat terbatasnya pengumpulan, pemutahiran, dan pemanfaatan data terpilah menurut jenis kelamin terkait anak usia sekolah, termasuk dari keluarga miskin, penyandang disabilitas/berkebut uhan khusus, penduduk di daerah terpencil, dan KAT.
TANTANGAN
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan
- UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hakhak Penyandang Disabilitas
- UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
- UUD Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan
Dasar hukum yang kuat, antara lain yaitu:
POTENSI
- dari daerah terpencil
- komunitas adat terpencil (KAT)
- penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus;
- dari keluarga miskin dan di bawah garis kemiskinan;
Meningkatnya cakupan pendataan terpilah, khususnya:
BIDANG
SASARAN
Perumusan kebijakan dan peraturan bersama menteri untuk mempromosikan pendataan terpilah jenis kelamin untuk pemenuhan hak pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, terutama perempuan dengan disabilitas, dan penduduk di daerah terpencil/tertinggal dan KAT.
KEGIATAN
- Rasio anak usia sekolah dan anak bersekolah untuk kategori penduduk miskin, dan daerah terpencil/tertin ggal, dan KAT.
Antara lain:
- komunitas adat terpencil (KAT)
- dari daerah terpencil
- penyandang disabilitas dan berkebutuhan khusus;
- dari keluarga miskin dan di bawah garis kemiskinan;
Data terpilah berdasarkan jenis kelamin:
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemendikbud, Kemenag, BPS, KPPPA, Kemendagri, Kemen Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemen PDT), Kemensos, Kemenkes, dan Kemenko Kesra.
INSTANSI PELAKSANA
MATRIKS PERMASALAHAN, TANTANGAN, POTENSI, SASARAN, KEGIATAN, DAN INDIKATOR
126 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
2
NO.
angka partisipasi anak di daerah terpencil dan KAT.
angka partisipasi penyandang disabilitas/berk ebutuhan khusus
-
-
angka partisipasi dan capaian angka kelulusan anak didik pada keluarga miskin.
-
Masih rendahnya:
PERMASALAHAN
- Kurangnya akses pendidikan formal dan non-formal bagi penyandang disabilitas/berkek hususan, terutama anak perempuan. - Kurangnya sarana dan prasarana sekolah luar biasa, sekolah khusus, dan unit intervensi dini bagi anak berkebutuhan khusus usia prasekolah.
- Terbatasnya kemampuan finansial keluarga miskin.
TANTANGAN
Terjadinya perubahan pandangan secara perlahan mengenai penyandang disabilitas dan anak berkebutuhan khusus: menempatkan mereka sebagai individu yang punya potensi khusus, berpotensi untuk mandiri, dan produktif.
Beasiswa untuk anak miskin (BSM)
- PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
POTENSI
Meningkatnya jumlah sekolah reguler yang mampu menyediakan pendidikan inklusi bagi anak penyandang disabilitas/berkebutu han khusus laki-laki dan perempuan.
Meningkatnya angka partisipasi anak didik dengan disabilitas/ berkekhususan, terutama persentase anak perempuan pada SLB dan inklusi.
Meningkatnya Angka Kelulusan dan Angka Melanjutkan bagi anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin
SASARAN
Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dengan jarak yang lebih memadai di daerah terpencil;
Penyediaan sarana dan prasarana SLB dan sekolah inklusi secara responsif gender.
Perumusan kebijakan dan peraturan bersama menteri untuk mempromosikan pendidikan bagi anak perempuan dengan disabilitas/ berkekhususan.
Beasiswa penuh (full scholarship) bagi anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin.
Peningkatan akses pendidikan:
KEGIATAN
- Dokumen kebijakan yang mengatur mekanisme perlindungan anak didik perempuan dengan disabilitas/ berkekhususan
Angka Melanjutkan anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin (SD-SMPSM)
Angka Kelulusan anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin (SD-SMPSM)
- Jumlah penyandang disabilitas nasional dan daerah, termasuk jumlah anak usia sekolah penyandang disabilitas.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemendikbud , Kemenag, KPPPA
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 127
3
NO.
- penyandang disabilitas/berkebu tuhan khusus di SLB maupun sekolah inklusi: kuantitas, kualitas.
Masih rendahnya kesiapan SDM tenaga didik untuk:
PERMASALAHAN
Distribusi guru – terutama guru pendidikan khusus, termasuk guru pendamping– sangat tidak seimbang, terkonsentrasi pada perkotaan.
- Beberapa adat budaya yang keliru dimaknai atau memang tidak mendukung pemenuhan hak pendidikan warganya.
- Permendiknas No. 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademis dan Kompetensi
- UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Adanya berbagai alternatif pendidikan non-formal (Kelompok Belajar Paket AB-C, dan berbagai metode belajar dan kurikulum yang kreatif, fleksibel, berorientasi pada alam dan lingkungan hidup)
- Masih rendahnya perlindungan bagi anak didik perempuan penyandang disabilitas terutama dari tindak pelecehan seksual
- Rendahnya pemahaman orangtua akan pentingnya anak menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun dan melanjutkan ke SMA/sederajat.
POTENSI
TANTANGAN
Meningkatnya kesiapan SDM tenaga didik:
Tersedianya mekanisme perlindungan terutama bagi guru perempuan di daerah terpencil dan KAT
Tersusunnya dokumen kebijakan perlindungan anak didik perempuan dengan disabilitas/ berkekhususan; dan diterapkannya kebijakan perlindungan tersebut.
Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan bagi anakanak di daerah terpencil dan KAT
Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan bagi penyandang disabilitas
SASARAN
Peningkatan kapasitas guru pendidikan khusus, guru kelas dan guru pendamping khusus pada SLB dan sekolah inklusi.
Peningkatan kesiapan SDM tenaga didik:
Penyediaan Alat Bantu Belajar Alternatif yang dapat diterima dan digunakan bagi anakanak usia sekolah KAT, secara berkala.
KEGIATAN
Persentase guru pendidikan khusus yang mendapatkan pelatihan.
Rasio guru di daerah terpencil/ tertinggal yang mendapatkan pelatihan.
Proporsi jumlah anak usia sekolah dengan disabilitas/ berkekhususan yang bersekolah terhadap jumlah total anak usia sekolah dengan disabilitas/ berkebutuhan khusus.
- Jumlah anak didik dengan disabilitas/ berkebutuhan khusus pada SLB dan sekolah reguler/inklusi
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemendikbud, Kemenag, Kemen PAN, KPPPA, Kemen PU
INSTANSI PELAKSANA
128 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
NO.
- daerah terpencil dan KAT.
PERMASALAHAN
Kesejahteraan guru di daerah terpencil dan KAT umumnya masih lebih rendah: penerimaan gaji bulanan sering tertunda, akomodasi dan transportasi tidak
Gaji/honor guru pendamping khusus merupakan tanggungan orangtua anak didik berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan entrybarrier bagi anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang merupakan haknya.
Posisi temporer bagi guru pendamping khusus di sekolah inklusi (publik dan swasta), padahal kebijakan education for all merupakan kebijakan jangka panjang.
TANTANGAN Guru Pendidikan Khusus.
POTENSI
daerah terpencil dan KAT
penyandang disabilitas/berkebutu han khusus di SLB maupun sekolah inklusi
SASARAN
Pemantauan dan evaluasi kondisi taraf kesejahteraan guru di daerah terpencil dan KAT, termasuk ketepatan waktu penerimaan gaji, akomodasi dan transportasi.
Kajian kebijakan terkait formasi guru pendidikan khusus, termasuk guru pendamping khusus di sekolah inklusi.
Penetapan kuota pendidikan dan pelatihan bagi guru di daerah terpencil/tertinggal dan KAT sebagai tindakan afirmasi peningkatan kualitas guru daerah terpencil.
KEGIATAN
INDIKATOR dan SUMBER DATA
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 129
1
NO.
- 5 penyebab utama: perdarahan, eklampsia, sepsis (infeksi bakteria pada rahim), infeksi penyakit menular (terutama malaria, tuberkulosis, hepatitis), dan gagal pernafasan akut.
Dalam kurun waktu 16 tahun, AKI telah menurun dari 390 pada tahun 1991, menjadi 228 pada tahun 2007. Masih cukup jauh dari target MDGs 2015: 102 per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa penyebab penting dari masih tingginya AKI adalah:
Status kesehatan ibu masih memprihatinkan:
KESEHATAN
PERMASALAHAN
- Dukun melahirkan/ bayi pada suatu desa kemungkinan tidak berada di tempat saat diperlukan (berdasarkan hasil seminar di Papua dan Kalimantan Tengah)
- Sebagian besar dukun melahirkan/bayi belum pernah mendapatkan pelatihan kebidanan yang sesuai standar Kemenkes.
Pengaruh budaya masih cukup besar di perdesaan, sehingga masih ada ibu melahirkan yang menggunakan bantuan dukun bayi.
memadai, sehingga perlindungan terhadap keselamatan guru menjadi rendah.
TANTANGAN
Adanya PKH (Program Keluarga Harapan) yang memberikan bantuan finansial langsung pada keluarga miskin
Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
UUD Pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 2 dan 3
POTENSI
Terbentuknya mekanisme siagaantar bagi ibu hamil di tingkat desa (Desa Siaga) dan mekanisme
Meningkatnya persentase keluarga yang memiliki ibu hamil yang mendapat penjelasan mengenai tanda bahaya kehamilan.
Meningkatnya persentase RS kab/kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)
Meningkatnya persentase puskesmas rawat-inap yang mampu memberikan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar (PONED)
SASARAN
Pelatihan kebidanan yang sesuai standar Kemenkes bagi Dukun bayi.
Perluasan cakupan kepesertaan Jampersal pada keluarga miskin dengan ibu hamil.
Kampanye dan KIE Keluarga Siaga di tingkat desa, terutama di kab/kota yang tinggi jumlah kematian ibu melahirkan.
Pembentukan mekanisme siaga-antar bagi ibu hamil di tingkat desa (Desa Siaga) dan mekanisme lintasdesa lintaskecamatan.
Peningkatan cakupan KIE tanda bahaya kehamilan bagi ibu hamil.
KEGIATAN
Persentase keluarga yang memiliki ibu hamil yang mendapat penjelasan mengenai tanda bahaya kehamilan.
Persentase RS kab/kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)
Persentase puskesmas rawat inap yang mampu Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar (PONED)
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemenkes, KPP&PA, Kemendagri, BKKBN
INSTANSI PELAKSANA
130 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
NO.
Masih adanya persalinan yang dilakukan tanpa tenaga kesehatan dan di luar fasilitas kesehatan: - Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih adalah 83 persen pada tahun 2012.Berarti ada 17 persen ibu melahirkan tanpa tenaga kesehatan terlatih. - Proporsi ibu melahirkan di fasilitas kesehatan meningkat dari 40 persen pada tahun 2002 menjadi 63 persen pada tahun 2012. Namun, berarti masih ada 37 persen persalinan di luar fasilitas kesehatan. - Masih terbatasnya kapasitas tenaga kesehatan di daerah perdesaan. - Masih terbatasnya fasilitas kesehatan terutama untuk penanganan kasus perdarahan dan komplikasi - Akar permasalahan ibu melahirkan di rumah adalah kemiskinan. Beban
PERMASALAHAN
Persentase ibu hamil yang mendapat penjelasan mengenai tanda bahaya kehamilan masih rendah (ratarata provinsi di bawah 50%).
- 3 Terlambat: i) terlambat mengambil keputusan, sehingga terlambat untuk mendapat penanganan; ii) terlambat sampai ke tempat rujukan karena kendala transportasi/keua ngan (terutama jika suami sedang tidak di rumah); dan iii) terlambat mendapat penanganan karena kurang memadainya sarana dan tenaga kesehatan.
Beberapa faktor penting lainnya yang juga berkontribusi terhadap masih tingginya AKI adalah:
TANTANGAN
Trend berkurangnya secara perlahan jumlah dukun bayi disebabkan rendahnya regenerasi. Dukun yang ada telah tua dan tidak digantikan oleh anggota keluarga lain.
Organisasi masyarakat dan LSM peduli ibu dan anak semakin marak dan bersemangat untuk bekerjasama dengan pemerintah
Gerakan Sayang Ibu
Adanya Jaminan Persalinan (Jampersal)
dengan Ibu Hamil)
POTENSI
Terlatihnya Dukun Bayi tentang kebidanan yang sesuai standar Kemenkes.
Meluasnya cakupan kepesertaan Jampersal, terutama pada keluarga miskin dengan ibu hamil.
Meningkatnya kesadaran keluarga tentang pentingnya keluarga yang siaga dalam menjaga keselamatan Ibu Hamil dan Ibu Melahirkan.
lintas desa lintas kecamatan.
SASARAN
KEGIATAN
Dokumen kebijakan Desa Siaga yang responsif gender.
Persentase/prox y persentase Dukun Bayi terlatih
Persentase Bidan terlatih.
Persentase cakupan kepesertaan Jampersal terhadap ibu hamil
INDIKATOR dan SUMBER DATA
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 131
Status gizi buruk dan kurang balita lakilaki selalu lebih buruk dari balita
Pada tahun 2002 AKBa laki-laki 58 dan menurun pada tahun 2007 menjadi 56 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKBa perempuan 51 dan menurun pada tahun 2007 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa balita laki-laki lebih rentan untuk meninggal dibandingkan balita perempuan. Beberapa penyebabnya antara lain adalah: diare dan pneumonia, serta terkait erat dengan masalah gizi.
Angka Kematian Balita masih tinggi:
Status kesehatan anak masih memprihatinkan:
finansial melahirkan di rumah dibantu dukun jauh lebih murah.
PERMASALAHAN
2
NO.
Keluarga miskin dengan balita berstatus gizi buruk dan kurang
Masyarakat belum memahami kebutuhan gizi terutama energi protein pada balita laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada balita perempuan.
Masyarakat belum paham mengenai perbedaan kerentanan bayi dan balita laki-laki dan perempuan, sehingga kurang waspada akan kerentanan dari bayi dan balita laki-laki.
Belum diketahui dengan pasti mengapa bayi dan balita laki-laki selalu lebih rentan daripada bayi dan balita perempuan.
TANTANGAN
PKK Daerah
Bina Keluarga Balita
Adanya PKH yang memberikan bantuan finansial langsung pada keluarga miskin yang memiliki balita.
POTENSI
Meningkatnya akses informasi dan layanan MP-ASI serta Makanan Tambahan bagi bayi dan balita pada tingkat desa bagi keluarga miskin.
Menurunnya ancaman diare, pneumonia, serta gizi kurang terhadap bayi dan balita laki-laki dan perempuan.
SASARAN
Pemberian bantuan khusus MP-ASI dan MT bagi keluarga miskin dengan bayi dan/atau balita.
Kunjungan rumah oleh tenaga medis secara berkala bagi keluarga di daerah terpencil/keluarga termiskin.
Perumusan kebijakan pencerdasan ibu hamil dan ibu menyusui untuk mempromosikan kesehatan bayi serta balita laki-laki dan perempuan melalui pengasuhan yang tepat dan aman bagi bayi dan balita laki-laki dan perempuan.
KEGIATAN
Persentase balita yang mendapat bantuan khusus MP-ASI dan MT
Persentase ibu menyusui dan ibu dengan balita yang mendapat penjelasan mengenai pengasuhan yang tepat bagi bayi dan balita laki-laki dan perempuan, serta penjelasan tanda bahaya kekurangan gizi, termasuk kekurangan energi protein.
Persentase ibu hamil yang mendapat penjelasan mengenai hamil yang aman dan tanda bahaya kehamilan
Data terpilah
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP&PA, Kemenkes, BKKBN, Kemendiknas, Kemenag
INSTANSI PELAKSANA
132 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
3
NO.
Bertambahnya kasus infeksi baru HIV pada kelompok pekerja migran (berdasarkan masukan dari seminar daerah di Jateng, Kalteng, dan Papua).
Pendekatan program penanggulangan HIV/AIDS belum komprehensif untuk menjawab penyebab utama dari aspek
Under-documented statistics untuk Orang yang Hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA), sebab: Stigma negatif bagi ODHA sangat kuat, sehingga menghambat individu untuk menjalani tes HIV apalagi mengakui kondisinya pada petugas statistik.
umumnya berada di daerah yang kurang terjangkau, sehingga informasi dan layanan Makanan Pendamping-ASI dan Makanan Tambahan yang diberikan melalui posyandu dan puskesmas kurang dapat diakses.
perempuan. Faktor penting yang menyumbang pada kejadian gizi buruk adalah kemiskinan. Ketidaktersediaan makanan pada keluarga miskin berarti asupan gizi rendah, yang merupakan penyebab dari status gizi kurang dan buruk.
Ancaman HIV/AIDS telah mulai menyebar di semua provinsi Indonesia. Jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS dari suami (yang berperilaku seksual beresiko) kepada isteri semakin meningkat, dan berdampak pada janin yang dikandung.
TANTANGAN
PERMASALAHAN
- Telah tersedianya Layanan Tes Konseling Sukarela di Puskesmas dan Rumah Sakit Rujukan.
- Sinkronisasi program yang sudah ada.
POTENSI
Terlaksananya Konseling Tes Sukarela (KTS) untuk HIV dan AIDS.
Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS.
Meningkatnya efektivitas mekanisme pelaporan dan akurasi pendataan HIV dan AIDS.
SASARAN
Konseling Tes Sukarela (KTS) untuk HIV (tanpa identitas) di lokasi rawan transaksi seksual komersial bagi semua pihak (pelanggan dan pekerja seks komersial),
KIE deteksi dini HIV di tingkat kab/kota.
Pencegahan dan perubahan perilaku beresiko dan reintegrasi ODHA ke masyarakat.
KIE pencegahan dan perubahan perilaku yang beresiko, yang sesuai dengan ajaran agama.
Perbaikan mekanisme pelaporan dan keakuratan pendataan HIV dan AIDS.
KEGIATAN
Laporan Triwulan Kemenkes terkait HIV dan AIDS.
Indikator perubahan perilaku masuk dalam IBBS (Integrated Biological and Behavior Survailance) dan SDKI (Survei Demografi Kesehatan Indonesia).
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemenkes, KPAN, BPS, BKKBN, BNN, Kemenakertra ns.
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 133
1
NO.
Jumlah dan kualitas pengawas tenaga kerja terbatas dan belum responsif gender
Mekanisme pengawasan atas penegakan hukum yang responsif gender
Seringkali istri terlambat mengetahui suaminya HIV positif, yaitu ketika dirinya telah terdeteksi HIV positif.
Perubahan perilaku sangat dipengaruhi lingkungan
pencegahan dan perubahan perilaku berisiko.
TANTANGAN
- Persyaratan kerja (yang Pendataan mempersempit ketenagakerjaan pilihan pekerjaan nasional yang belum bagi pencari kerja responsif gender perempuan)
Masih lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran peraturan perundang-undangan atas perlakuan diskriminasi, khususnya penegakan norma kerja perempuan:
Sektor Formal
KERJAAN
KETENAGA
PERMASALAHAN
UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hakhak Penyandang Disabilitas
UU no. 4 tahun1997 tentang Penyandang Cacat (Penca)
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa n
POTENSI
Meningkatnya pemahaman perusahaan yang mempekerjakan perempuan, termasuk penyandang
Terlaksananya sistem pengupahan berdasarkan produktivitas dan kualitas, bukan berdasarkan status kawin pekerja (perusahaan tidak mencampuradukkan upah/gaji dengan tunjangan keluarga)
SASARAN
Mekanisme pengawasan terpadu terhadap pelanggaran hak dan perlakuan diskriminatif terhadap pekerja perempuan.
Advokasi, sosialisasi, dan KIE kebijakan nondiskriminatif, termasuk upah/gaji pekerja perempuan dan laki-laki, dan mekanisme perlindungan pekerja perempuan terhadap perlakuan diskriminatif
dan lokasi rawan pengguna suntik narkoba.
KEGIATAN
Persentase perusahaan yang telah memiliki sistem pengaduan dan penindakan terhadap pelaku diskriminasi dan kekerasan
Persentase pelanggaran peraturan perundangundangan atas perlakuan diskriminatif dan kekerasan
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemnakertran, Kemenkes, KPP-PA, Kemenhukha, BPS
INSTANSI PELAKSANA
134 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
3
2
NO.
Walaupun secara akademis, perempuan menunjukkan prestasi akademis yang lebih baik bila dibandingkan lakilaki, ternyata jumlah
Kondisi saat ini:
Perusahaan/pimpin an instansi belum memahami kewajibannya dalam pemenuhan hak kespro pekerja perempuan dengan menyediakan sarana dan
Peningkatan kesempatan peningkatan kapasitas bagi pekerja perempuan di seluruh bidang pembangunan
Pasar kerja yang non-diskriminatif
- Diskriminasi upah - Jam kerja - Cuti - Kuota 1% Pekerja Penyandang Disabilitas - HIV/AIDs
Kualitas pekerja perempuan sektor formal masih rendah dibandingkan lakilaki. Salah satu faktor penting adalah terbatasnya akses dan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi pekerja perempuan.
TANTANGAN
PERMASALAHAN
UU No. 36 tahun 2010 tentang Kesehatan
UU1/1970 tentang Keselamatan Kerja
SE Menakertrans 01/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penca di Perusahaan
Kebijakan Equal Employment Opportunity (EEO)
Kepmenakertra ns 49/2004 tentang Struktur dan Skala Upah
POTENSI
Tersedianya layanan terpadu pengasuhan dan pendidikan anak di lingkungan kerja.
Tersedianya sarana dan prasarana terkait kesehatan reproduksi di tempat kerja.
Meningkatnya akses pekerja perempuan untuk peningkatan kapasitasnya.
Meningkatnya kualitas pekerja perempuan.
Meningkatnya pemahaman pekerja, terutama perempuan dan penyandang disabilitas, atas hakhaknya
disabilitas perempuan dan laki-laki.
SASARAN
Mekanisme pengawasan terpadu terhadap pelanggaran hak kespro pekerja perempuan.
Advokasi, sosialisasi, dan KIE kebijakan pemenuhan hak kespro di tempat kerja
Pelatihan dan pendidikan yang responsif gender di berbagai bidang pembangunan.
KEGIATAN
Persentase K/L yang menyediakan sarana dan prasarana kespro, terutama bagi pegawai perempuan.
TPAK menurut karakteristik (jabatan, status, dll)-Sakernas
terhadap pekerja, terutama pekerja perempuan.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemnakertran s, Kemenkes, KPP-PA, Kemen PU, Kemendikbud, Kemensos
Kemenakertra ns’ KPP PA, Kemendikbud
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 135
4
NO.
Pekerja sektor informal, termasuk pekerja rumahan, Pembantu Rumah Tangga /PRT, dan pekerja tidak dibayar, umumnya tidak tercatat dalam statistik karena umumnya adalah ibu rumah tangga (yang tidak termasuk
Sektor Informal
- masih sangat terbatasnya layanan pengasuhan anak di lingkungan kerja.
Permasalahannya antara lain adalah: - masih sangat terbatasnya sarana dan prasarana terkait kesehatan reproduksi (kespro) di tempat kerja.
perempuan yang masuk angkatan kerja dan yang bekerja jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
PERMASALAHAN
Pendataan pekerja sektor informal, termasuk pekerja rumahan (homeworkers), pekerja rumah tangga (PRT), dan pekerja tidak dibayar (unpaid workers/unpaid care workers)
prasarana yang memadai.
TANTANGAN PP No. 33 tahun 2013 tentang Pemberian ASI Eksklusif
POTENSI
Tersedianya data yang lebih akurat untuk statistik ketenagakerjaan sektor informal, termasuk pekerja rumahan, PRT dan pekerja tidak dibayar
SASARAN
Pendataan pekerja sektor informal
Penetapan kebijakan penyediaan layanan terpadu pengasuhan dan pendidikan anak yang memadai dan terjangkau bagi pekerja di lingkungan kerja.
KEGIATAN
Ketersediaan data pekerja sektor informal
Tersedianya layanan terpadu pengasuhan dan pendidikan anak di lingkungan kerja.
Persentase perusahaan yang menyediakan layanan kespro bagi pekerja prempuan.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
BPS, KPP-PA, Kemnaker trans
INSTANSI PELAKSANA
136 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
5
NO.
Rendahnya kualifikasi pekerja sektor informal baik laki-laki maupun perempuan, dengan tingkat pendidikan formal tertinggi adalah SMP atau SD Rendahnya kompetensi pekerja sektor formal.
Permasalahannya antara lain adalah:
Tahun 2012, sekitar 66% pekerja adalah di sektor informal; 41% diantaranya adalah perempuan (tanpa memasukkan ibu rumah tangga, yang bukan angkatan kerja)
Kondisi Saat Ini:
dalam kategori angkatan kerja)
PERMASALAHAN
Masih terbatasnya jumlah dan ragam pendidikan nonformal untuk peningkatan kualitas dan daya saing pekerja sektor informal perempuan dan laki-laki, termasuk pekerja rumahan dan PRT.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai tahun 2015. Rendahnya kualifikasi dan kompetensi pekerja sektor informal Indonesia, memperlemah daya saing pekerja Indonesia terhadap pekerja dari negaranegara ASEAN. Pengangguran di Filipina, Thailand, dan Malaysia sebagian besar adalah lulusan SMA dan S1.
TANTANGAN
POTENSI
Meningkatnya jumlah pemberi layanan pelatihan non-formal pekerja sektor informal.
Meningkatnya daya saing pekerja sektor informal laki-laki dan perempuan, melalui pendidikan nonformal
SASARAN
Peningkatan keragaman jenis pelatihan dan kursus yang relevan dengan kebutuhan tenaga kerja MEA yang responsif gender, berdasarkan assessment kebutuhan pelatihan ketenagakerjaan MEA.
Peningkatan jumlah pemberi layanan kursus dan pelatihan non-formal, yang mudah diakses oleh pekerja sektor informal.
Penetapan kebijakan afirmatif untuk peningkatan penyediaan layanan pendidikan kesetaraan (Paket A, B, C) yang responsif gender bagi pekerja sektor informal, baik laki-laki maupun perempuan.
KEGIATAN
Persentase tingkat ketersediaan pelatihan dan kursus di Indonesia terhadap tingkat kebutuhan pelatihan ketenagakerjaan MEA.
Persentase pekerja sektor informal yang terlatih (laki-laki dan perempuan)
Persentase pekerja sektor informal yang menerima layanan pendidikan kesetaraan (Paket A, B, C)
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemnakertran s, Kemenperin, Kemendag, Kemenparekra f, Kemendikbud, KPP&PA, Kemen.KUKM
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 137
6
NO.
Perlindungan terhadap pekerja di rumah tangga (termasuk PRT) belum terlindungi oleh peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.
PERMASALAHAN
Rendahnya pemahaman PRT akan hak-haknya sebagai pekerja di rumah tangga.
bekerja secara individual atau kelompok yang sangat kecil. Rendahnya pemahaman di tingkat keluarga atas hak-hak asasi PRT dan haknya sebagai pekerja, serta hak-hak pemilik rumah tangga sebagai pemberi kerja.
Ketiadaan jejaring antara pekerja rumahan, sehingga tidak dapat menguatkan posisi tawar terhadap pemberi kerja.
Posisi tawar pekerja rumahan sangat rendah dan rentan terhadap eksploitasi.
TANTANGAN Draft RUU Pekerja Rumah Tangga
POTENSI
Meningkatnya posisi tawar pekerja rumahan.
Terlindungnya pekerja rumah tangga, termasuk PRT oleh peraturan perundang-undangan.
SASARAN
Penyuluhan bagi PRT terkait hak dan kewajiban, serta perlindungan hukum.
KIE pada tingkat keluarga akan hak-hak pekerja bagi pekerja rumahan dan pekerja rumah tangga yang sama dan hak-hak pemilik rumah tangga (sebagai pemberi kerja)
Pendampingan untuk pembangunan jejaring pekerja rumahan
Penetapan peraturan perundang-undangan perlindungan pekerja rumah tangga.
KEGIATAN
INDIKATOR dan SUMBER DATA Kemenaker trans, Kemenhuk ham, KPP&PA, Kemen KUKM
INSTANSI PELAKSANA
138 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
8
7
NO.
Pengiriman TKI ke luar negeri meninggalkan masalah di tingkat keluarga TKI:
Masih minimnya perlindungan pekerja migran terutama perempuan, walaupun mereka sebagai penyumbang devisa yang besar
Pekerja Migran
PERMASALAHAN
Pengembangan kebijakan perllindungan dan ketahanan keluarga TKI yang holistik
- Masa penempatan - Purna penempatan
- Pra penempatan
Masih minimnya regulasi dan penerapannya terkait dengan perlindungan bagi pekerja migran:
TANTANGAN
- UU No. 52 tahun 2009 tentang Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga.
Surat Presiden kepada 6 Menteri untuk membahas revisi UU 39/2004 dengan DPR-RI.
UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri
POTENSI
Menurunnya jumlah kasus keluarga TKI yang bermasalah
Tersusunnya peraturan pelaksanaan yang responsif gender
- Purna penempatan: Pelayanan pemulangan dan reintegrasi
- Masa Penempatan: Pelayanan pengaduan, Pelayanan kesehatan, Pelayanan rehabilitasi sosial, dan Pelayanan hukum
- Pra penempatan: Informasi pasar kerja, Rekrutmen, Pembiayaan TKI, dan Pelatihan TKI
Disempurnakannya sistem perlindungan pekerja migran pada tahap:
Disahkannya revisi UU 39/2004
SASARAN
Pengembangan dan penguatan Kelompok Bina Keluarga TKI
Penyusunan peraturanperaturan pelaksanaan yang responsif gender
Penyelesaian revisi UU 39/2004
KEGIATAN
Jumlah kelompok Bina Keluarga TKI
Peraturan pelaksanaan (PP, Perpres, Permen)
UU baru mengenai perlindungan TKI
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP-PA, Kemendagri, Kemenaker trans, BKKBN
Kemenakertra ns, KPP-PA, Kemenlu, Kemendagri, Kemenkes, Kemensos, MA, Kejagung, Kemenhukha m, Polri, BNP2TKI
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 139
1
NO.
Peraturan perundang-undangan yang bias gender.
HUKUM
- pengasuhan anak yang tidak memadai.
- tidak dikelolanya remitansi dengan baik;
keluarga;
- disharmoni
PERMASALAHAN
Masih terbatasnya pemahaman pembuat peraturan
Dibutuhkan mekanisme dan proses yang dapat memantau kualitas produk hukum sehingga tidak memasukkan unsurunsur bias dan diskriminatif, dan secara komprehensif melihat persoalan relasi gender di masyarakat.
TANTANGAN
KPPPA, KemenKumham dan Kemendagri menyusun Pedoman Praktis mengenai Parameter Kesetaraan Gender (PKG) dalam proses penyusunan/ perancangan peraturan perundangundangan, baik tingkat nasional
- Permendagri 52/2013 tentang Kebijakan Calon dan Purna TKI
- Permen PP-PA 20/2010 tentang Panduan Umum BK-TKI
- PP No. 38 tahun 2007 terkait pembagian tugas dan wewenang pusat dan daerah
- Inpres No. 3 tahun 2010 tentang Pembangunan Berkeadilan
POTENSI
- Berkurangnya produk hukum yang diskriminatif gender.
- Meningkatnya kapasitas SDM dan pemahamn perancang peraturan perundangan yang berperspektif gender.
SASARAN
- penyusun dan perancang peraturan perundangan di Badan Legislasi DPR-RI, Tim legal drafter DPR Propinsi dan DPR Kabupaten/Kota.
- penyusun dan perancang di Biro Hukum KL, Biro/bagian Hukum, SKPD Provinsi dan Kab Kota
Pelatihan Parameter Kesetaraan Gender bagi:
KEGIATAN
Tersedianya materi KIE PKG dalam pembentukan peraturan perundangan
Jumlah peraturan perundangan yang responsif gender
Presentase SDM penyusun perancang yang berperspektif gender
Persentase kasus keluarga TKI yang bermasalah
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Sekwan DPR Propinsi dan
Sekjen DPR-RI
Biro/Bagian hukum Provinsi an Kab kota
Biro Hukum KL
Setkab
Setneg
Kemenkumha m
Kemendagri
KPP PA
INSTANSI PELAKSANA
140 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
2
NO.
- sebagian polisi pada unit UPPA masih belum responsif gender dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Kriminalisasi korban masih
Sebagian Aparat Penegak Hukum (APH) pada tahapan SPPT masih belum responsif gender:
Kondisi Saat Ini:
PERMASALAHAN
Pasal 50 UU PKDRT tentang konseling pelaku tidak dapat diterapkan karena pengadilan tidak memiliki konselor
Masih kurang maksimalnya penerapan UU yang responsif gender seperti UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT.
Adanya ketentuan hukum/ peraturan perundangundangan yang responsif gender (memperhatikan, mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan masyarakat yg sangat heterogen, kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki, termasuk anak perempuan dan laki-laki).
perundangundangan yang berdampak pada diskriminasi, terutama terhadap perempuan dan/atau anak.
TANTANGAN
Adanya Surat Edaran Ketua MA yang mengharuskan kasus KDRT korban untuk didahulukan oleh kepolisian dan kejaksaan sebelum kasus pencemaran nama baik yang diajukan pelaku.
maupun tingkat daerah/Perda.
POTENSI
Meningkatnya jumlah penegakan keputusan pengadilan untuk melindungi dan menghormati hak perempuan dan anak oleh APH seperti pembiayaan anak oleh
Meningkatnya persentase APH yang mendapatkan pelatihan gender dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan.
SASARAN
Penyusunan materi KIE dan modul penegakan hukum yang berkeadilan menuju kesetaraan bagi APH
Sosialisasi, advokasi,pelatihan penegakan hukum yang berkeadilan menuju kesetaraan bagi APH
Memasukkan materi gender pada kurikulum pelatihan dan pendidikan jenjang karir hakim, jaksa, dan kepolisian.
Penyusunan materi KIE PKG bagi eksekutif dan leislatif
Penetapan indikator yang responsif gender dalam produk daerah.
Memasukkan Parameter Kesetaraan Gender dalam panduan penyusunan peraturan perundangundangan bagi anggota DPR-RI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten/Kota.
KEGIATAN
- pemasyarakat
- peradilan oleh hakim, dan
- penuntutan oleh jaksa,
- penyelidikan dan penyidikan oleh polisi,
Presentase APH yang mendapatkan pelatihan gender untuk:
nya
dan pelaksanaan
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP&PA
Kemenhuk ham
Kejagung Mahkamah Agung
POLRI
DPR Kabupaten/ kota
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 141
1
NO.
Rendahnya keterlibatan perempuan dalam
POLITIK
- sebagian petugas Bapas dan Lapas belum responsif gender dalam proses pemasyarakatan, terutama berkaitan masalah kesehatan reproduksi.
- sebagian hakim terkadang belum responsif gender dalam proses peradilan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama terkait perkosaan dan eksploitasi, dan
Pengetahuan dan kesadaran tentang perspektif gender
dan kurangnya lembaga rujukan.
terjadi karena adanya stereotipe dari polisi.
- sebagian jaksa terkadang belum responsif gender dalam penuntutan kasus kekerasan terhadap perempuan atau perempuan sebagai pelaku,
TANTANGAN
PERMASALAHAN
UU No.8 tahun 2012: Setiap parpol harus
Masuknya HAM dan gender dalam kurikulum Akademi Kepolisian
Adanya program training gender untuk hakim pengadilan agama.
POTENSI
Meningkatnya pemahaman pengurus partai politik tentang
ayah kandung setelah perceraian.
SASARAN
Advokasi kesetaraan gender kepada lembaga legislatif, eksekutif, dan
Mengadakan konseling di pengadilan negeri dan memperbaiki sistem referal untuk rujukan konseling pelaku KDRT
KEGIATAN
Jumlah dan persentase perempuan
Jumlah kasus yang ditangani oleh UPPA
an oleh petugas Bapas dan Lapas
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP-PA, Kemdagri, LAN, Partai
INSTANSI PELAKSANA
142 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
NO.
- Rendahnya komitmen lembaga-lembaga Yudikatif untuk mengejar kesenjangan representasi perempuan di posisi-posisi kunci lembaga
Walaupun sarjana hukum perempuan cukup banyak, namun sangat sedikit yang kemudian menjadi jaksa dan hakim.
Rekrutmen para hakim dan eksekutif belum mempertimbangk an kesetaraan gender dan tidak menerapkan sistem kuota
Materi kesetaraan gender belum masuk dalam kurikulum Diklatpim I dan II
Sedikitnya jumlah perempuan yang menempati posisi pengambil keputusan di eselon I dan II.
di legislatif, eksekutif, dan yudikatif masih rendah meskipun gender sudah terintegrasi dalam berbagai PUU
proses pengambilan keputusan dan/atau politik di Legislastif, Eksekutif, dan Yudikatif.
- Rendahnya kesadaran partai politik atas pentingnya partisipasi perempuan dan pentingnya perspektif gender dalam perkembangan sistem politik Indonesia
TANTANGAN
PERMASALAHAN
UU No. 43 Tahun 1999 tentang pokokpokok perubahan kepegawaian, antara lain equal pay for equal work serta akses terhadap pelatihan dan pendidikan
Peraturan KPU tentang pemilihan umum di daerah mewajibkan parpol untuk menaati kuota 30% dan menempatkann ya dan mendiskualifika si parpol yang tidak memenuhi ketentuan ini.
menyediakan 30% calon legislatif perempuan dengan penempatan minimal 1 perempuan untuk setiap 3 nama
POTENSI
Diterapkannya sistem meritrokrasi dalam penentuan kenaikan jabatan kepegawaian.
Meningkatnya jumlah perempuan yang menempati eselon I dan II di K/L/SKPD.
Terintegrasinya perspektif gender dalam proses pengambilan keputusan di eksekutif.
Meningkatnya minat dan jumlah jaksa dan hakim perempuan
Memberikan peluang dan kesempatan yang mendukung bertambahnya perempuan untuk menjadi pejabat publik.
Meningkatnya kuantitas dan kualitas calon legislatif perempuan pada semua partai politik
kesetaraan gender dan pentingnya gender perspektif dalam politik
SASARAN
Penguatan kapasitas bagi jaksa perempuan dan hakim perempuan
Penetapan kebijakan afirmatif bagi pengangkatan jaksa dan hakim perempuan.
Pemupukan minat mahasiswi fakultas hukum di perguruan tinggi
Penyusunan kurikulum Diklatpim I dan II yang responsif gender, dengan memasukkan materi kesetaraan gender ke dalam kurikulum.
Pengembangan manajemen organisasi perempuan politik
Peningkatan kapasitas organisasi perempuan dalam politik.
yudikatif
Peningkatan kapasitas institutsi penyelenggara pemilihan umum
KEGIATAN
Jumlah dan persentase hakim perempuan
Jumlah dan persentase jaksa perempuan
Jumlah dan persentase perempuan di struktur kepengurusan harian setiap partai politik
Jumlah dan persentase perempuan anggota legislatif di setiap fraksi
calon legislatif di setiap partai politik
INDIKATOR dan SUMBER DATA Politik, KPU/D, Bawaslu, Kempan & RB, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung.
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 143
NO.
PERMASALAHAN
TANTANGAN
Buku Panduan dalam rangka Peningkatan Peran Perempuan di lembaga Legislatif
Peta Perempuan dalam politik , pemilu, legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Peraturan KPU No.7 tahun 2012 tentang Tahapan Pemilu yang responsif gender.
MoU antara KPP-PA dengan MA, Menkopulhuka m, KPU, Bawaslu
UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
POTENSI
SASARAN
KEGIATAN
INDIKATOR dan SUMBER DATA
INSTANSI PELAKSANA
144 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
-
1
2
NO.
- Masih rendahnya persiapan calon dan anggota legislatif perempuan dalam menghadapi budaya politik baik di partai masing-masing, maupun di dalam parlemen. Partai politik perlu membangun kapasitas komunikasi para kadernya, terutama kader perempuan yang akan membantu dalam membuka pintu komunikasi dengan konstituennya dan dengan kolega politiknya.
TANTANGAN
POTENSI
Data terkait KDRT, KDTK, KDRP,
Belum terlembaganya ketersediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data kekerasan dengan baik
- Masih belum dipahaminya pentingnya data kekerasan
- Data kekerasan hingga saat ini masih merupakan fenomena gunung es - Permen PP&PA No.01/2010 tentang Standar
- Permen PP&PA No. 6/2009 tentang penyelenggaraa n data gender dan anak
PERLINDUNGAN TERHADAP BERBAGAI TINDAK KEKERASAN
Masih kuatnya budaya politik patriaki yang menghambat kemajuan perempuan di bidang politik
PERMASALAHAN
Termutakhirnya data kekerasan secara
- Tersedianya data kekerasan sampai tingkat unit pelayanan
Terlembaganya data kekerasan:
LINTAS BIDANG
- Meningkatnya pemahaman mengenai politik Indonesia, terutama penduduk perempuan.
- Meningkatnya dukungan organisasi masyarakat dan partai politik akan keterlibatan perempuan di bidang politik.
SASARAN
- Pembentukan clearing house (instansi kliring) data kekerasan di tingkat
Pengembangan sistem pengelolaan data kekerasan antarkementerian/lemba ga, dan antarnasionaldaerah:
Pengayaan pengetahuan politik dan budaya politik terutama bagi penduduk perempuan.
Pengkajian sistem dan nilai budaya politik perspektif gender tingkat lokal dan nasional.
Advokasi dan sosialisasi peraturan perundangan bidang politik
Peningkatan kapasitas perempuan calon anggota legislatif dan anggota legislatif .
KIE Politik Perspektif gender bagi Parpol dan Ormas, Perguruan Tinggi, dan unsur lainnya.
KEGIATAN
- Jumlah SDM terlatih sistem pencatatan dan pelaporan data kekerasan.
- Clearing house nasional dan daerah
Jumlah dan persentase perempuan anggota legislatif dan calon legislatif yang mendapatkan pelatihan minimal 5 hari per tahun
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Badan PP Provinsi, Kab Kota
POLRI
Kemensos
Kemenkes
BPS KPP&PA
KPP-PA, Kemdagri, Parpol, Perguruan Tinggi
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 145
2
NO.
- Masih rendahnya kapasitas SDM unit pelayanan dalam pencataan dan pelaporan data kekerasan,
Pornografi, Bencana, Konflik, dan TPPO (terutama korban, pelaku, bentuk, jenis, tempat terjadi, dan sebab terjadinya kekerasan).
Masih rendahnya cakupan layanan korban KDRT.
⁻ Belum optimalnya penerapan SPM Bidang Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
⁻ Masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap KDRT
⁻ Lemahnya penegakan hukum terkait KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
- Masih lemahnya mekanisme koordinasi pengelolaan data kekerasan.
TANTANGAN
PERMASALAHAN
⁻ UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
⁻ UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
⁻ UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW
Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang memuat Sistem pencatatan dan pelaporan data kekerasan.
POTENSI
⁻ Diterapkannya pemenuhan SPM: layanan pengaduan, kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, bantuan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial
⁻ Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap KDRT
⁻ Meningkatnya penyelesaian kasus sesuai UU PKDRT
berkala
Termanfaatkannya data kekerasan untuk perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
SASARAN
- Sosialisasi dan KIE tentang KDRT
- Penguatan kapasitas SDM di pusat layanan.
- Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan SPM.
- Penguatan mekanisme koordinasi penerapan SPM.
- Pengintegrasian materi HAM (termasuk gender) dalam kurikulum/ materi diklat APH, pendidikan formal, dan media .
- Sosialisasi, advokasi, dan peningkatkan kapasitas APH dalam penanganan KDRT
- Pelaksanaan survei kekerasan secara berkala
- Pemetaan, analisis, dan pemanfaatan data kekerasan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah
nasional dan daerah
- Pelatihan sistem pencatatan dan pelaporan data kekerasan
KEGIATAN
⁻ Proporsi perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapat layanan pengaduan, kesehatan, rehabilitasi
⁻ Proporsi kasus KDRT yang diputuskan sesuai dengan UU PKDRT terhadap jumlah kasus KDRT yang dilaporkan
⁻ Proporsi APH yang menangani KDRT yang telah dilatih
- Prevalensi kekerasan.
- Jumlah korban kekerasan yang dilaporkan
- Jumlah dokumen perencanaan pembangunan nasional dan daerah yang mengintegrasika n data kekerasan
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Lemdikpol, Badiklat, Kejagung, Badiklat MA, Diklat Kemenkumha m, Kepolisian, Kemenkes, Kemenhukha m, Kemensos, Lembaga masyarakat terkait
KPPPA
INSTANSI PELAKSANA
146 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
3
NO.
Masih rendahnya perlindungan pekerja terutama perempuan di tempat kerja
Kekerasan di Tempat Kerja
PERMASALAHAN
- Belum tersedianya
- Rendahnya pemahaman dan kesadaran terhadap kekerasan
- Lemahnya penegakan hukum berbagai tindak kekerasan di tempat kerja
⁻ Tidak adanya pemantauan berkala secara mandatori terhadap keluarga dengan kasus KDRT.
TANTANGAN
UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
POTENSI
- Meningkatnya pemahaman pekerja mengenai peraturan dan mekanisme perlindungan dari tindak kekerasan di tempat kerja.
- Meningkatnya penegakan hukum terhadap berbagai kekerasan di tempat kerja
⁻ Meningkatnya partisipasi laki-laki dalam pencegahan dan penanganan kekerasan.
SASARAN
- Advokasi, sosialisasi, dan KIE perlindungan hak pekerja terhadap berbagai tindak kekerasan di tempat
- Penyusunan mekanisme pengawasan terpadu terhadap pelanggaran hak dan perlakuan kekerasan serta diskriminasi terhadap pekerja.
- Sosialisasi, advokasi, dan peningkatan pelibatan laki-laki dalam pencegahan dan penanganan KDRT bagi Toga, Todat, dan Toma. - Sosialisasi, advokasi, pelatihan pembinaan perkawinan dalam kesetaraan bagi peradilan agama.
(pencegahan, hak, dan layanan untuk korban).
KEGIATAN
- Jumlah sarana pelayanan perlindungan berbagai tindak
- Jumlah pekerja korban kekerasan di tempat kerja yang dilaporkan
- Mekanisme pengawasan terpadu
⁻ Jumlah KUA/Kanwil yang melakukan sosialisasi, advokasi, pelatihan, dan pembinaan perkawinan
⁻ Jumlah Toga, Toma, dan Todat yang paham dan sadar tentang KDRT
sosial, dan bantuan hukum, sesuai SPM bidang layanan terpadu perempuan dan anak korban kekerasan.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemnakertran s, Kemenkes, KPP-PA, Kemenhukha m, dan K/L/ SKPD terkait
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 147
4
NO.
Masih lemahnya penegakan hukum bagi tindak kekerasan di ruang publik, terutama pelecehan seksual dan verbal di stasiun, terminal, mal/pusat perbelanjaan, dan taman umum.
Kekerasan di Ruang Publik
PERMASALAHAN
- Kejadian pelecehan seksual dan verbal seringkali terjadi dalam durasi yang singkat, dan tidak banyak saksi, sehingga pembuktian menjadi sulit. - Berhadapan dengan hukum masih menjadi ‘momok’ bagi masyarakat umumnya, apalagi perempuan, sehingga penempuhan jalur hukum atas kasus kekerasan di ruang publik menjadi opsi yang terakhir bagi korban pelecehan.
sarana dan mekanisme pelayanan perlindungan terhadap kekerasan di tempat kerja
TANTANGAN
POTENSI
Meningkatnya akses perempuan terhadap mekanisme perlindungan hukum untuk kasus tindak kekerasan di ruang publik
- Tersedia dan berfungsinya sarana dan mekanisme pelayanan perlindungan terhadap berbagai tindak kekerasan di tempat kerja
SASARAN kerja.
- Perluasan jangkauan P2TP2A (penempatan pos-pos di ruang publik) untuk mempermudah dan mempercepat penanganan awal pengaduan tindak kekerasan di ruang publik.
- Fasilitasi pembentukan jejaring komunitas perlindungan perempuan terhadap kekerasan di ruang publik.
- KIE mekanisme perlindungan hukum untuk kasus tindak kekerasan di ruang publik terhadap perempuan.
- Penyusunan mekanisme pelayanan perlindungan berbagai tindak kekerasan di tempat kerja
- Penyediaan sarana pelayanan perlindungan berbagai tindak kekerasan di tempat kerja
KEGIATAN
- Mekanisme pelayanan perlindungan berbagai tindak kekerasan di tempat kerja.
kekerasan (K/L, perusahaan, dan tempat kerja lainnya)
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemkokesra, Kemdagri, kemkumham, kemkes, Kemhub, Kominfo, Kem PU, Kepolisian, BPS
INSTANSI PELAKSANA
148 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
5
NO.
- Tidak adanya rute aman dan mekanisme pengamanan ke dan dari sekolah/sarana pendidikan bagi anak penyandang disabilitas/berkeb utuhan khusus, terutama perempuan (rute bebas tawuran, pemalakan, narkoba, dll.)
- Masih lemahnya pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap penanganan hukum yang layak bagi anak dan dewasa penyandang disabilitas/ berkebutuhan khusus.
PERMASALAHAN
- Kejadian pelecehan seksual dan verbal seringkali terjadi dalam durasi yang singkat, dan tidak banyak saksi, serta keterbatasan kondisi penyandang disabilitas/berkeb utuhan khusus, sehingga pengaduan serta pembuktian menjadi sangat sulit. - Penyandang disabilitas/kebutu han khusus sulit berhadapan dengan masyarakat umum, terlebih lagi berhadapan dengan hukum, sehingga penempuhan jalur hukum atas kasus kekerasan di ruang publik bagi penyandang disabilitas/kebutu han khusus korban kekerasan di ruang publik memerlukan mekanisme yang berbeda dan lebih sensitif.
TANTANGAN
POTENSI
- Meningkatnya kapasitas APH dalam penanganan penyandang disabilitas/kebutuhan khusus .
- Meningkatnya pemahaman Pemda dan ketersediaan mekanisme khusus terkait rute aman dan selamat ke dan dari sekolah/sarana pendidikan.
- Meningkatnya akses penyandang disabilitas/kebutuhan khusus terhadap mekanisme perlindungan hukum untuk kasus tindak kekerasan di ruang publik.
SASARAN
- Fasilitasi, advokasi dan sosialisasi dan pelatihan tentang keadilan restorasi dan KHA
- Fasilitasi, advokasi dan sosialisasi terkait pentingnya rute aman dan selamat ke dan dari sekolah
- Perluasan jangkauan P2TP2A (penempatan pos-pos di ruang publik) untuk mempermudah dan mempercepat penanganan awal pengaduan tindak kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas/kebutuhan khusus di ruang publik.
- KIE mekanisme perlindungan hukum untuk kasus tindak kekerasan di ruang publik, terutama perempuan penyandang disabilitas/kebutuhan khusus. - Fasilitasi pembentukan jejaring komunitas perlindungan perempuan penyandang disabilitas/kebutuhan khusus.
KEGIATAN Persentase penanganan kasus kekerasan di ruang publik terhadap perempuan penyandang disabilitas/kebutu han khusus.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
LBH, APH (Kepolisian, Kejaksaan, MA, dan Pengacara)
KPP-PA Polri, Kemendikbud
Kemkokesra, Kemdagri, kemkumham, kemkes, Kemhub, Kominfo, Kem PU, BPS
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 149
6
NO.
Mudahnya akses terhadap pornografi (survei terbatas: situs internet (20%), film/bioskop (18%), VCD/DVD (18%), komik (12%), games (7%), iklan (7%), media cetak (7%), HP (5%), buku cerita (4%)).
Pornografi
PERMASALAHAN
Masih rendahnya penegakan hukum bagi penyebar pornografi.
Belum adanya kebijakan/regulasi untuk mencegah bullying di sekolah secara efektif
Meningkatnya bullying di sekolah yang mengarah pada pornografi
- Masih sedikit lembaga bantuan hukum yang berpengalaman dan mengkhususkan diri dalam penanganan kasus kekerasan bagi penyandang disabilitas/kebutu han khusus.
TANTANGAN
UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
UU No. 44 Tahun 2008 Pornografi
POTENSI
Berkurangnya akses terhadap pornografi
SASARAN
- Survei nasional tentang akses terhadap pornografi
- Penindakan secara hukum bagi penyebar pornografi - Penetapan kebijakan pendidikan terkait pornografi dan bullying di sekolah.
- Pembatasan produksi media cetak dan elektronik yang mendukung dan menayangkan pornografi
- Sweeping DVD/VCD pornografi
- Pemblokiran/pembatasa n akses terhadap situs internet pornografi
KEGIATAN
- Dokumen kebijakan pendidikan terkait pornografi dan bullying di sekolah.
- Jumlah kasus pornografi yang diproses secara hukum
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemen Kominfo, Polri, Kemenhukha m, KPPPA
INSTANSI PELAKSANA
150 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
8
7
NO.
TANTANGAN
POTENSI Meningkatnya pemahaman masyarakat dan keluarga tentang UU Pornografi, dan kesadaran akan rentannya anak terhadap ancaman pornografi.
SASARAN
Rendahnya perhatian dan pemberian perlindungan bagi perempuan di area pengungsian akibat bencana dan di daerah konflik
Bencana dan konflik seringkali terjadi tiba-tiba, sehingga perlu ada mekanisme perlindungan yang cepat bagi perempuan terhadap ancaman bencana dan tindak kekerasan.
RAN Pengurangan resiko Bencana (PRB) 2010-2014 mencantumkan penanganan bencana dengan memperhatikan perspektif gender. - Terbentuknya mekanisme perlindungan yang cepat bagi perempuan terhadap kekerasan di daerah rawan konflik.
- Meningkatnya pemahaman K/L, pemda dan lembaga masyarakat tentang perlindungan perempuan terhadap kekerasan di area pengungsian akibat bencana dan di daerah konflik.
Kekerasan terhadap perempuan di area pengungsian akibat bencana dan di daerah konflik
Masih rendahnya kesadaran instansi pemerintah, masyarakat dan keluarga tentang UU Pornografi dan rentannya anak lakilaki dan perempuan terhadap ancaman pornografi, baik sebagai pelaku maupun korban eksploitasi seksual.
PERMASALAHAN
- Penyediaan kebutuhan harian spesifik
- Pendataan korban bencana dan konflik secara terpilah menurut jenis kelamin.
- SPM mekanisme perlindungan perempuan terhadap kekerasan di area pengungsian akibat bencana dan di daerah konflik.
- KIE perlindungan perempuan terhadap kekerasan di area pengungsian akibat bencana dan di daerah konflik.
- Sosialisasi UU Penanggulangan Bencana yang responsif gender.
- KIE bagi keluarga mengenai pentingnya pendampingan anak saat mengakses internet, menonton DVD/VCD, dan membeli buku cerita/komik.
- Sosialisasi Undang Undang Pornografi
KEGIATAN - Jumlah keluarga yang mendapatkan KIE mengenai pentingnya pendampingan anak saat mengakses internet, menonton DVD/VCD, dan membeli buku cerita/komik.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP PA, BNPB, Kemen PU, Kemensos, Polri, TNI
KPP PA, Kemenag, Kominfo, Kemkumham, Kemendagri
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 151
1
9
NO.
TANTANGAN
- Kurangnya jumlah
Belum memadainya penanganan TPPO mulai dari pencegahan, penanganan, perlindungan saksi dan korban, hingga pemulangan dan reintegrasi.
Belum dipenuhinya 5 (lima) jenis indikator pelayanan dalam pencapaian target minimal sesuai Peraturan Menteri PP PA No.01/2010 tentang Standar
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Kurang dan terbatasnya pelibatan perempuan dalam perencanaan mekanisme penanganan bencana dan dalam penanggulangan bencana dan konflik.
PERMASALAHAN
- Tercantumnya peran Bappeda sebagai
- Adanya regulasi percepatan SPM melalui Surat Edaran Mendagri No.100 Tahun 2011
POTENSI
Adanya instansi khusus yang menangani TPPO secara terpadu.
Terpenuhinya
Tersedianya sarana, prasarana, dan layanan perlindungan bagi korban TPPO
Meningkatnya partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penanggulangan bencana dan konflik.
SASARAN
- Penyusunan kebijakan penanganan TPPO secara khusus dan terpadu. - Pelatihan bagi petugas P2TP2A untuk pengaduan dan identifikasi dini, dan sistem rujukan, serta pendampingan awal korban TPPO (laki-laki
- Pelatihan kesiagaan dan perlindungan diri bagi perempuan oleh perempuan di daerah rawan konflik.
- Pelatihan kesiagaan menghadapi bencana bagi perempuan (idem Bab Perubahan IklimBencana Alam)
- Pelatihan SAR dan relawan bencana bagi perempuan.
- Perencanaan mekanisme pencegahan dan penanggulangan bencana secara responsif gender, dengan melibatkan masyarakat (berbasis komunitas).
perempuan di area pengungsian akibat bencana dan di daerah konflik.
KEGIATAN
Dokumen penetapan instansi khusus
Proporsi korban TPPO yang mendapatkan layanan perlindungan, pemulangan, dan reintegrasi.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
Kemenko Polhukham, Kemenko Perekonomian, Kemenko Kesra, KPPPA, Kemkes, Kemsos, Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah
Bappenas, KPP PA, Kemensos, Polri, TNI, Bappeda
INSTANSI PELAKSANA
152 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
1
NO.
Kemiskinan berdampak lebih berat untuk RTM-P (termasuk RTM-D dan RTM-Lansia) dibanding RTM-L Kondisi saat ini: RTM-P bebannya berat : rendahnya kualitas SDM, kurangnya akses terhadap bantuan sosial dan kepemilikan asetaset penghidupan, rentan terhadap berbagai tindak kekerasan.
KEMISKINAN
Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota
petugas terlatih untuk kasus TPPO, di semua provinsi, terutama di provinsi yang rawan pengirim dan penerima.
Banyak perempuan miskin yang tidak memiliki KTP Masih rendahnya pemahaman dan akses terhadap informasi mengenai hakhak dan berbagai bantuan pada perempuan miskin. Masih rendahnya akses RTM-P terhadap asset finansial
Lemahnya institusi PTPPO yaitu gugus tugas nasional yang bersifat ad hoc, dengan instansi pengurus harian KPPPA yang tidak tupoksi-nya tidak pada tataran teknis.
TANTANGAN
PERMASALAHAN
UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenan Social and Cultural Right.
UU D 1945 pasal34; pasal 28
- Inisiasi penetapan target SPM dalam RPJMD dan peraturan daerah lainnya
Koordinator Pencapaian Target SPM Bidang Layanan Terpadu Perempuan dan anak korban kekerasan Permendagri No.23 Tahun 2013 Tentang RKPD
POTENSI
Tersedianya bantuan khusus bagi RTM-P, RTM-Lansia dan RTMD, untuk membantu mengurangi beban keluarga-keluarga tersebut
Meningkatnya perlindungan dan kualitas hidup RTM-P
SASARAN
Sosialisasi dan KIE tentang hak-hak sipil dan layanan yang terkait, termasuk jaminan perlindungan sosial dan akses finansial, bagi RTMP, RTM-Lansia, dan RTM-D.
Identifikasi RTM-P yang tanpa KTP dan Kartu Keluarga, dan pemberian layanan administrasi kependudukan (termasuk KTP, Akta Kelahiran, dst) gratis untuk RTM-P yang membutuhkan.
perempuan dan anak korban kekerasan.
- Evaluasi pelaksanaan SPM Bidang layanan terpadu
dan perempuan, dewasa dan anak).
KEGIATAN
Dokumen kebijakan perlindungan
Jumlah RTM-P, RTM-D, dan RTM-Lansia yang mendapat layanan administrasi kependudukan
Jumlah RTM-P, RTM-D, dan RTM-Lansia yang tanpa KTP dan Kartu Keluarga
yang menangani TPPO secara terpadu.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP-PA, Kemendagri, Kemensos, Kemen KUKM, Kemen Perindustrian, Kemperdag, Kemenparekra f, Kemen Ristek, BPPT, BPS
Kemenko Kesra, Kemenko Perekonomian, KPDT
Agung, Kemlu, BNP2TKI, Kemenag
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 153
NO.
PERMASALAHAN
Sudah ada Mou antara KPPPA dengan Kominfo, BPPT Pendampingan Penyusunan PPRG dan ARG di Kominfo, Menristek, KPDT, dan Lipi
Sistem data terpadu kemiskinan (TNP2K)
Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan kemiskinan Ber bagai program penanggulangan kemiskinan bisa didayagunakan secara efektif dan efisien. Organisasiorganisasi berbasis Masyarakat berpotensi menjadi mitra pembangunan (antara lain PKK , Dasa Wisma, Karang Taruna)
Masih rendahnya cakupan bantuan sosial bagi RTM-P, RTM-Lansia dan
RTM-D yang sudah tidak produktif.
POTENSI
TANTANGAN
SASARAN
Pemberdayaan sosial ekonomi bagi RTP, RTLS dan RTD yang masih produktif.
Pemberian bantuan sosial bagi RTM-P, RTLS dan RTD yang sudah tidak produktif.
Bantuan tunai ke RTMLansia
Pengembangan kapasitas IPTEK (teknologi tepat guna dan informasi) dari SDM RTM-P dan RTM-D untuk mendukung usaha ekonomi produktif mereka
Pengembangan dan pendampingan usaha ekonomi produktif untuk RTM-P dan RTM-D.
Pengembangan Kredit mikro dan koperasi yang menjangkau dan mudah diakses RTM-P, RTMLansia, dan RTM-D
Penyusunan dan penetapan payung kebijakan perlindungan bagi pekerja dan pemberi kerja sektor informal, terutama pertanian.
KEGIATAN
Proporsi RTM-P, RTLS dan RTD (yang tidak produktif) penerima bantuan sosial
Jumlah usaha ekonomi produktif dari RTM-P dan RTM-D yang mengadopsi IPTEK (teknologi tepat guna dan informasi)
Jumlah usaha ekonomi produktif yang dimiliki oleh RTM-P, RTM-D, RTM-Lansia
Jumlah RTM-P, RTM-D, RTMLansia yang mengakses kredit mikro dan koperasi.
bagi pekerja dan pemberi kerja sektor informal, terutama pertanian.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
INSTANSI PELAKSANA
154 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
1.
NO.
Kebijakan terkait adaptasi terhadap perubahan iklim yang masih netral gender
PERUBAHAN IKLIM
PERMASALAHAN
Kebijakan terkait adaptasi perubahan iklim belum menjawab akar permasalahan yang dihadapi perempuan, serta belum memenuhi kebutuhan dan kepentingan perempuan, bahkan dalam pembahasan kebijakan berbeda antara perempuan yang satu dengan yang lainnya karena pengaruh aspek geopolitik, geokultural dan aspek-aspek lainnya dalam masyarakat
TANTANGAN
Roadmap perubahan iklim pembangunan (ICCR) sektorsektor prioritas : pertanian, pantai, lautan dan perikanan, energi, kehutanan; sektor-sektor
Kesepakatan global dalam COP 19 UNFCC yang memasukkan aspek gender dalam perubahan iklim serta penyesuaian pola pembangunan yang akan dilakukan melalui berbagai upaya pendekatan dalam pemberian informasi, transfer teknologi teknologi, serta peningkatan kapasitas
POTENSI
Meningkatnya akses, partisipasi, pemanfaatan, dan kontrol penduduk perempuan dalam penyusunan kebijakan pemerintah nasional dan daerah terkait adaptasi perubahan iklim.
SASARAN
2. Analisis Gender 3. Penyusunan Peraturan
1. Penyediaan Data Terpilah
Perumusan kebijakan dan strategi pengarusutamaan gender dalam pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan melalui :
Identifikasi berbagai Peraturan dan perijinan yang membatasi akses, partisipasi, pemanfaatan, dan kontrol perempuan dalam penyusunan kebijakan pemerintah nasional dan daerah terkait adaptasi perubahan iklim.
KEGIATAN
Jumlah Peraturan Bersama terkait pelaksanaan pengarusutamaa n gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Survei, LM, PT)
Jumlah Peraturan peraturan dan perijinan terkait sumber daya alam dan lingkungan yang responsif gender
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPPPA, DNPI, KLH, Kemenhut, Kementan, ESDM
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 155
2.
NO.
Persiapan dan penanganan bencana alam yang masih bias gender
PERMASALAHAN
Indonesia rentan terhadap bencana alam (sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim) seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gelombang badai dll.
TANTANGAN
- Karakteristik alami perempuan yang informatif dan komunikatif merupakan potensi untuk wacana KIE terkait bencana alam bagi keluarga dan lingkungannya.
- Dukungan Peraturan Kepala BNPB tentang pengarusutama an gender dalam penanggulanga n bencana.
sekunder : kesehatan, transportasi, infrastruktur, air, industri; sektoral : keamanan nasional, keaneka ragaman hayati, kemiskinan
POTENSI
Meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan perempuan dan keluarga dalam menghadapi kemungkinan bencana alam.
SASARAN
Latihan evakuasi berkala di tingkat sekolah, terutama di daerah rawan bencana
Pelatihan persiapan menghadapi bencana bagi perempuan di daerah rawan bencana
Pengumpulan dan pemanfaatan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan usia.
KEGIATAN
Jumlah dan persentase sekolah yang melakukan latihan evakuasi berkala.
Jumlah dan persentase perempuan di daerah rawan bencana yang telah diberi pelatihan terkait bencana alam.
Jumlah korban bencana alam berdasarkan jenis kelamin dan usia.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
BNPB, KPP&PA. Kemendagri, Kemen Kominfo, Kemendiknas
INSTANSI PELAKSANA
156 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
4.
3
NO.
Ancaman krisis pangan - Petani perempuan menghadapi kondisi makin sulit. Kemenerian Pertanian (Kementan) mencatat pada tahun 2012 total areal pertanian di Indonesia yang terkena dampak banjir mencapai 170.228 ha. Badai Puso menyebabkan kegagalan panen padi pada 38.926 ha.
Ancaman krisis air
PERMASALAHAN
- Berdasarkan proyeksi peningkatan kenaikan muka air laut akibat pemanasan global di pulau jawa, jika terjadi tambahan peningkatan sebesar 0,5 meter, maka diproyeksikan sebanyak 113 ribu hektar sawah akan hilang, jika sebesar 1 (satu) meter sebanyak 146,5 hektar
Bagi perempuan miskin di pedesaan dan yang sangat bergantung hidupnya dari alam, perubahan iklim menyebabkan meningkatnya curahan waktu terhadap beban pekerjaan domestik akibat hilangnya sumber air bersih.
TANTANGAN
UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
RAN Adaptasi Perubahan Iklim
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
POTENSI
Meningkatnya riset dan pengembangan teknologi pertanian terkait ancaman krisis pangan, termasuk sistem penyimpanan dan pengawetan hasil panen/ternak.
Meningkatnya akses, partisipasi, pemanfaatan, dan kontrol penduduk perempuan dalam ketersediaan pangan dan difersifikasi/peragam an bahan pangan pokok
Pengetahuan tentang konservasi air dan teknologi tepat guna untuk pengadaan air bersih di saat musim kemarau.
Tersedianya sarana dan prasarana air bersih yang berfungsi dekat dengan permukiman penduduk
SASARAN
Riset dan pengembangan teknologi pertanian yang responsif gender terkait ancaman krisis pangan, termasuk sistem penyimpanan dan pengawetan hasil panen/ternak.
Perumusan kebijakan informasi, pelatihan, teknologi dan permodalan kepada lakilaki dan perempuan dalam pelaksanaan pemenuhan pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga
Riset dan pengembangan teknologi konservasi air untuk perkotaan dan perdesaan
Pelatihan metode praktis konservasi air dan pengadaan air bersih saat musim kemarau
Perumusan kebijakan penyediaan sarana dan prasarana air bersih yang berfungsi pada wilayahwilayah permukiman yang padat dan miskin
KEGIATAN
Persentase Keluarga yang mendapatkan KIE peragaman bahan pangan.
Dokumen peraturan bersama terkait pemenuhan pangan keluarga
Jumlah sarana dan prasarana air bersih dekat permukiman yang tersedia dan berfungsi (BPS)
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP&PA, Kementan, LIPI
KPP&PA, Kementerian PU, BUMN dan Swasta, BPS, LIPI, Kemen RISTEK
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 157
5.
NO.
Ancaman kesehatan
PERMASALAHAN
- Kegagalan panen akibat perubahan iklim akan berkontribusi terhadap memburuknya krisis pangan dan pemenuhan gizi masyarakat terutama pada perempuan dan
- Pada musim kemarau, terjadi penurunan jumlah panen dan penghasilan petani akibat kekeringan, yang menyebabkan petani hanya bisa panen satu tahun sekali dengan hasil 3 tom setiap kali panen.
sawah di pulau Jawa tenggelam, kondisi ini akan mempengaruhi penurunan hasil pertanian atau produksi pangan padi antara 20 – 27 persen, jagung 13 persen, kedalai 12 persen dan tebu sekitar 7 persen pada tahun 2050.
TANTANGAN
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1018/MENKES/P ER/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan terhadap Dampak Perubahan Iklim
POTENSI
Berkurangnya resiko penyakit akibat perubahan iklim terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan, terutama ibu hamil, ibu menyusui dan anak-anak.
SASARAN
- KIE pengetahuan tandatanda bahaya penyakit
- KIE kesehatan lingkungan keluarga
- Pengumpulan dan Analisis data gender untuk melihat tingkat resiko kesehatan akibat kerusakan sumber daya alam dan lingkungan.
KIE diversifikasi/peragaman bahan pangan pokok untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga.
KEGIATAN
- Jumlah dan persentase perempuan dan laki-laki yang mengalami gangguan kesehatan akibat kerusakan sumber daya alam dan
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP&PA, Kemenkes, Kemen PU
INSTANSI PELAKSANA
158 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
6.
NO.
Mitigasi penurunan emisi karbon
PERMASALAHAN
- Kurangnya keterlibatan perempuan dalam perencanaan program dan kegiatan terkait mitigasi emisi karbon
- Perubahan cuaca ekstrim kemarau panjang dan musim hujan berkepanjangan menyebabkan meningkatnya penyakit menular seperti DBD, malaria, dll. yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak.
- Krisis air bersih diakibatkan oleh pencemaran air maupun oleh kemarau yang berkepanjangan sangat berpengaruh terhadap ibu hamil dan ibu menyusui.
anak yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi.
TANTANGAN
UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change
POTENSI
Pelibatan perempuan dalam perencanaan dan pemantauan program/kegiatan terkait mitigasi emisi karbon, dan konservasi hutan lindung.
SASARAN
Riset dan pengembangan teknologi terkait mitigasi
Perencanaan dan pemantauan program/kegiatan terkait mitigasi emisi karbon, dan konservasi hutan lindung secara responsif gender.
- Penyediaan dan pembersihan berkala saluran pembuangan air kotor.
menular dan penanganan awal di tingkat keluarga.
KEGIATAN
Rasio perempuan dan laki-laki dalam tim perumus kebijakan program/kegiatan serta tim pemantau
- Persentase keluarga yang mendapatkan KIE lingkungan sehat dan pengetahuan umum terkait penyakit menular
lingkungan
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KLH, BNPB, DNPI KPP&PA
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 159
NO. UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim
- Kurangnya partisipasi perempuan dalam riset dan pengembangan teknologi terkait mitigasi dan ekonomi. - Partisipasi perempuan dalam kegiatan konservasi hutan lindung kurang didokumentasika n, padahal pada banyak area, justru perempuan yang lebih berperan (hasil seminar di Kalteng dan Papua)
- kelembagaan yang kurang stabil
- ketersediaan data terpilah berdasarkan jenis kelamin tetap menjadi kendala;
Permasalahan yang persisten dalam melembagakan PUG baik di tingkat nasional maupun daerah adalah:
-
- Meningkatkan posisi institusional PUG menjadi permanen. Surat Edaran Bersama tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG.
UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN
Inpres 9/2000 tentang PUG
Perpres tentang RAN-Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
POTENSI
TANTANGAN
PENGARUSUTAMAAN GENDER
PERMASALAHAN
- Tersedianya dan dimanfaatkannya data
- Meningkatnya kapasitas SDM pelaksana PUG termasuk PPRG.
- Melembaganya PUG secara permanen di internal K/L dan Pemda
Meningkatnya komitmen K/L dan Pemda dengan:
SASARAN
Peningkatan kapasitas secara berkala bagi SDM Badan PP Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pelatihan PUG secara berkala bagi K/L dan Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota
Implementasi Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG
Implementasi RAN Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
dan ekonomi secara responsif gender.
KEGIATAN
Persentase dan jumlah SDM Badan PP Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mendapatkan pelatihan
Persentase dan jumlah SDM K/L dan Pemda yang mendapatkan pelatihan PUG
program/kegiatan terkait mitigasi emisi karbon dan konservasi hutan lindung.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
KPP, Bappenas, Kemenkeu, Kemendagri, BPS, Badan PP Pemprov dan Pemkab/kot.
INSTANSI PELAKSANA
160 Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
NO.
- kapasitas SDM yang kurang memadai.
- pemahaman konsep gender yang rendah/parsial yang mempengaruhi komitmen penerapan PUG; dan
karena masih ad hoc;
PERMASALAHAN
TANTANGAN
POTENSI terpilah berdasarkan jenis kelamin untuk peningkatan kesetaraan gender di masing-masing bidang.
SASARAN
Menyediakan Statistik Gender secara berkala
Pembentukan Tim Nasional Pakar Kesetaraan Gender
Forum Fokal Poin Gender pada tingkat nasional dan Provinsi
KEGIATAN perencanaan, penganggaran, penanganan, pemantauan, dan evaluasi program pembangunan secara responsif gender.
INDIKATOR dan SUMBER DATA
INSTANSI PELAKSANA
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019) 161
Selain rekomendasi yang tertuang di dalam matriks di atas, background study ini juga merekomendasikan beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam RPJMN III (2015-2019) Kesetaraan Gender, antara lain: NO.
BIDANG / LINTAS BIDANG
REKOMENDASI
1.
Pendidikan
•
2.
Kesehatan
•
•
• 3.
Ketenagakerjaan
•
•
Akuntabilitas guru.
Kapasitas guru perempuan yang secara umum lebih rendah dibandingkan guru laki-laki. Diperkirakan penyebabnya adalah kurangnya peningkatan kapasitas. Oleh karena itu direkomendasikan untuk penetapan kuota guru perempuan dalam pelatihan, serta peningkatan kemudahan akses terhadap pelatihan terutama bagi guru perempuan.
Penanganan penyakit menular TB secara responsif gender. Dari data kasus Kemenkes, walaupun kasusnya lebih banyak ditemukan pada perempuan, yang menerima pengobatan lebih banyak laki-laki, sedangkan perempuan cenderung terlambat ditangani, karena terlambat dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Penanganan penyakit non-menular seperti serangan jantung, stroke, diabetes, dan kanker yang menjadi penyakit pembunuh terbanyak penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Peningkatan kapasitas khusus penyandang disabilitas laki-laki dan perempuan untuk meningkatkan daya saing dan daya tawar sebagai pekerja. Selama ini, penyandang disabilitas dianggap kurang memiliki potensi dan kapasitas, sehingga sulit mendapatkan pekerjaan, dan bila dipekerjakan, masih jauh di bawah kapasitasnya (underestimate). Pelatihan yang saat ini diberikan oleh Kemensos masih juga underestimate kemampuan kognitif penyandang disabilitas, dan kurang memberikan pembekalan mengenai kepercayaan diri (self-esteem). Peningkatan upaya perlindungan terhadap eksploitasi pekerja anak.
Demikian rekomendasi dari background study bidang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan untuk penyusunan RPJMN III (2015-2019).
162
DAFTAR PUSTAKA 1. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah Desk-Review. Irwanto, Eva Rahmi Kasim, Asmin Fransiska, Mimi Lusli, dan Siradj Okta. Pusat Kajian Disabilitas, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. 2010. 2. Bergegas dengan Cerdas Memenangi Persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Core Indonesia. Jakarta. Oktober 2013.
3. Briefing Paper on the Feminization of Poverty. International Development Studies. Bridge Institute for Development Studies. Brighton. 2001. 4. Consumption Expenditure and Female Poverty: A review of the Evidence. PolicyReserach Report on Gender and Development, Working Paper Series No 11. Lampietti, Julian A. and Stalker, Linda. The World Bank. Washington D.C., USA. 2000.
5. Evaluasi Kebijakan Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2012
6. Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP). 2005. 7. Hasil Kajian Gender dari Basis Data Terpadu. Lockely, Anne., Tobias, Julia., dan Bah, Adama. AusAID, TNP2K. Januari 2013. 8. Improving Access to Financial Services in Indonesia. The World Bank and The Netherlands Embassy. Washington D.C., USA. 2010.
9. Indonesia Jobs Reports, Towards Better Jobs and Security for All. World Bank & the Netherlands Embassy. Washington D.C., USA. 2010. 10. Indonesian Migrant Domestic Workers: A case study on human rights, gender, and migration. Renita Moniaga. Desember 2008.
11. Intra Household Allocation and Gender Relations: New Empirical Evidence. Policy Research Report on Gender and Development, Working Paper Series, no. 2. Quisumbing, Agnes R & Maluccio, John A. The World Bank. Washington D.C., USA. 1999. 12. Karakteristik Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dedi Afandi, Wendy Yolanda Rosa, Suyanto, Khodijah, dan Chunin Widyaningsih. J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 11, November 2012
13. Key Sheet for Sustainable Livelihoods, Overview. DFID. 1999., tersedia di http://www. odi.org diakses 14 Oktober 2013.
14. Kondisi Perempuan dan Anak di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jakarta. 2010. 15. Laporan Capaian MDGs Indonesia 2011. Bappenas. 2012 163
16. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Jakarta. 2010.
17. Laporan Survei Nasional Pola Remitans Tenaga Kerja Indonesia 2008. Bank Indonesia. Jakarta. 2009. 18. Measuring Violence Against Women. Statistics Canada. Ministry of Industry. Canada. February 2013. 19. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Jakarta. 2010. 20. Professional assistance during birth and maternal mortality in two Indonesian districts. C Ronsmans, S Scott, SN Qomariyah, E Achadi, D Braunholtz, T Marshall, E Pambudi, KH Witten & WJ Graham. Bulletin of the World Health Organization 2009;87:416-423.
21. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2013. Berita Resmi Statistik No. 47/07/Th.XVI. Badan Pusat Statistik. Juli 2013. 22. Profil Perempuan Indonesia 2012. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik. Jakarta. 2012.
23. Qualitative Study on the Impact of the 2010 PNPM-Rural in East Java, West Sumatera, and Southeast Sulawesi. SMERU Research Institute. 2011.
24. The relationship between attendance at birth and maternal mortality rates: an exploration of United Nations’ data sets including the ratios of physicians and nurses to population, GNP per capita and female literacy. Robinson JJ, and Wharrad H. Journal of Advanced Nursing. 2001 May;34(4):445-55.
25. The Structure of Social Disparities in Education: Gender and Wealth. Policy Research Report on Gender and Development, Working Paper Series, No. 5. Filmer, Deon. The World Bank. Washington, USA. (20xx). 26. The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction: An Introduction. Division for Policy and Socio-Ecoonomic Analysis. Krantz, Lasse. SIDA. 2001.
27. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik (BPS). Jakarta. 2007.
28. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. Calverton, Maryland, USA. 2007. 29. Voices of the Poor, Can Anyone Hear Us?. Narayan, Deepa. The Wold Bank. Washington, USA. 2000.
30. World Development Report 2012: Gender Equality and Development. The World Bank. Washing ton D.C., USA. 2012.
164
Peraturan Perundang-undangan: • UUD 1945
• UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
• UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas • UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen • UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
• UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. • UU No. 13 tshun 2003 tentang Ketenagakerjaan
• UU no. 4 tahun1997 tentang Penyandang Cacat (Penca) • UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
• UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri • UU No. 52 tahun 2009 tentang Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga. • UU No.8 tahun 2012
• UU No. 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok perubahan kepegawaian
• UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
• UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW
• UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT • UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak • UU No. 44 Tahun 2008 Pornografi
• UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
• UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenan Social and Cultural Right. • UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
• UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan • UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change • UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim • Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup • UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN
• Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan • PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan 165
• PP No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. • PP No. 33 tahun 2013 tentang Pemberian ASI Eksklusif
• PP No. 38 tahun 2007 terkait pembagian tugas dan wewenang pusat dan daerah • Peraturan Presiden (Perpres) tentang RAN-Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca • Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan kemiskinan
• Surat Presiden kepada 6 Menteri untuk membahas revisi UU No. 39 tahun 2004 dengan DPR-RI. • Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG • Inpres No. 3 tahun 2010 tentang Pembangunan Berkeadilan
• Surat Edaran Bersama tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG. • Kepmenakertrans No. 49/2004 tentang Struktur dan Skala Upah
• SE Menakertrans No. 01/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penca di Perusahaan • Permen PP-PA No. 20/2010 tentang Panduan Umum BK-TKI
• Permendagri No. 52/2013 tentang Kebijakan Calon dan Purna TKI
• Peraturan KPU No. 7 tahun 2012 tentang Tahapan Pemilu yang responsif gender • Permen PP&PA No. 6/2009 tentang penyelenggaraan data gender dan anak
• Permen PP&PA No. 01/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban kekerasan • Permendagri No. 23 Tahun 2013 Tentang RKPD
• Peraturan Menteri Kesehatan No. 1018/MENKES/PER/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan terhadap Dampak Perubahan Iklim • Permendiknas No. 32 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademis dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus. FOTO SAMPUL:
Batik motif Parang Kusumo: http://baltyra.com/2011/04/13/arti-dan-cerita-di-balikmotif-batik-klasik-jawa-3/ diakses 25 November 2013.
LAMPIRAN
HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN
LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Tema dan Topik Temu Pakar (Expert Group Meeting/EGM) Dalam rangka pemantapan arah dari background study ini, maka akan dilakukan seminar awal yang bertujuan untuk menyamakan presepsi tentang maksud, tujuan, alternative framework, keluaran diharapkan serta proses kegiatan selanjutnya (methodology) di antara semua pihak yang terkait. Selanjutnya pengumpulan data dan verifikasi akan dilakukan dalam tiga tahapan yaitu melalui tahap expert group meeting (EGM), tahap seminar, focus group discussion (FGD). Serial EGM akan diselenggarakan terlebih dahulu untuk melakukan penilaian (assessment) dan analisis terhadap data-data yang akan digunakan sebagai bahan acuan di dalam serial seminar. Memberikan gambaran yang termanifesto sebagai capaian, dengan memberikan berbagai data dan informasi berkaitan dengan sasaran/capaian itu. Data-data sebaiknya digambarkan (misalnya dalam bentuk besaran, pola, trends, proyeksi, indikator, indeks, dst.) yang memperlihatkan dinamika dari RPJMN 2004-2009 dan 2010 – 2014; Bila memungkinkan ada perbandingan dalam konteks Asia atau secara global/internasional; Uraian berupa penilaian (assessement) tentang apa yang telah dicapai; serta Analisa dan Identifikasi apa yang menjadi sebab langsung, yaitu: isu, tantangan, serta apa yang berpotensi menjadi masalah ∗ Bila memungkinkan, apa rekomendasi indikator yang lebih sensitive/sesuai; Peserta yang diharapkan hadir dalam serial EGM adalah mereka yang menguasai data kuantitatif. Dengan demikian, untuk serial EGM diundang wakil-wakil dari BPS, TNP2K, pusat-pusat studi terkait, pakar di bidang terkait, wakil-wakil Balitbang K/L terkait, dan direktorat terkait di Bappenas. Data dan informasi hasil dari EGM akan digunakan dalam seminar serial sesuai masing-masing topik.
169
170
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Adapun tema dan topik-topik yang diangkat dalam EGM serial adalah sebagai berikut:
Tema: Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan menuju kesetaraan gender. Di dalam RPJPN 2005-2015 diuraikan bahwa pembangunan terkait erat dengan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Kondisi kehidupan masyarakat tercermin pada kualitas penduduk, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Kemudian dijabarkan menjadi salah satu arah kebijakan RPJPN 2005-2015 terkait kesetaraan gender, yaitu peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan. Tidak kalah penting dan urgent untuk segera tertangani adalah perlindungan terhadap perempuan. Cakupan perlindungan dalam hal ini ditetapkan di dalam arah kebijakan RPJPN 2005-2025 adalah perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan melalui proses yang cukup panjang dan sangat penting untuk didukung oleh suatu strategi pengarusutamaan. Oleh sebab itu, pengarusutamaan gender di dalam pembangunan menjadi strategi yang telah diterapkan sejak RPJMN I (2005-2009) hingga RPJMN II (2010-2014). Arah kebijakan RPJPN 2005-2015 yang ketiga dan terakhir terkait kesetaraan gender adalah penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender (PUG). Dengan demikian, tema dan 10 topik dari serial EGM background study ini senantiasa mencakup ketiga arah kebijakan dari RPJPN 2005-2015. Berikut adalah 10 topik yang akan dibahas di dalam 10 EGM (dan 10 seminar serial). Topik 1: Isu Gender di bidang Ketenagakerjaan (termasuk upah, status, jam kerja, pekerja migran, jaminan sosial, kekerasan, pelecehan, dll.) Tujuan : memberikan gambaran data dan informasi terkait bidang ketenagakerjaan. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II); terhadap isu-isu tersebut diatas; 2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup: a) kualitas SDM/tenaga kerja; b) perlindungan tenaga kerja; dan c) kelembagaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah), instansi pemberi kerja, dan organisasi pekerja;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami. 4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja, dengan memberikan proyeksi-proyeksi;
5. bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai; 6. berdasarkan data yang dimiliki, merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah ketenagakerjaan;
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
171
7. khusus peserta dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada data dan informasi berdasarkan pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain.
Topik 2: Dampak uncounted/undocumented statistics terhadap kesetaraan gender dan perlindungan perempuan (mencakup bidang ketenagakerjaan dan hukum) Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait uncounted/ undocumented statistics secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Lingkup : istilah uncounted/undocumented statistics dalam studi ini adalah kegiatan-kegiatan yang tidak tercakup dan tidak terhitung di dalam sistem statistik nasional Indonesia. Contoh: kegiatan-kegiatan bernilai ekonomi-sosial seperti pekerjaan sektor informal, pembantu di rumah/ di tempat kerja yang tidak bergaji (un-paid non-care workers), anggota keluarga yang bertindak sebagai pengasuh/perawat orang sakit/anak di rumah, relawan PKK/Posyandu (un-paid care workers), dll. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II);
2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup: a) kualitas pendataan dan pengolahan data dan informasi; dan b) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah); 3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trends, proyeksi dll., dengan penyajian yang mudah dipahami (dalam bentuk bar-charts, pie chart, dst.) ;
4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk penanganan masalah uncounted/ underdocumented statistics, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai ;
5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah uncounted/ undocumented statistics; Topik 3: Percepatan penurunan AKI, AKB dan AKABa dari perspektif gender Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait AKI, AKB dan AKABa. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II);
172
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup kualitas layanan kesehatan dan nutrisi dan kualitas kesehatan ibu dan anak (hasil layanan kesehatan dan nutrisi), dan kelembagaaan kesehatan;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami. 4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak kesehatan ibu dan anak, dengan memberikan proyeksi-proyeksi AKI, AKB, dan AKABa;
5. Bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai;
6. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah AKI, AKB dan AKABa; 7. khusus peserta dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada penyediaan data dan informasi berdasarkan pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain.
Topik 4: Dampak ancaman HIV/AIDS (mencakup aspek perlindungan perempuan) Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait HIV/AIDS, serta kemungkinan trendske depan. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II); 2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup kualitas serta cakupan informasi-edukasi bagi masyarakat dan kualitas layanan kesehatan dan nutrisi, dan kelembagaaan terkait; 3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll., termasuk gambaran penyandang HIV/AIDS laki-laki, perempuan; anak laki-laki dan perempuan; daerah dengan kasus terbanyak, daerah dengan trend menurun., dengan penyajian yang mudah dipahami awam;
4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan melalui proyeksi-proyeksi tentang perkembangan HIV/AIDS ;
5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan langkahlangkah penanganan masalah (misalnya, berkaitan tentang pencatatan), dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai;
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
173
6. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan target audience yang lebih tepat untuk pendataan HIV/AIDS dan provinsi-provinsi/ daerah rawan yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah pencatatan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.
Topik 5: Isu gender dalam Hukum dan Politik: penegakan hukum secara responsif gender dan pemenuhan hak partisipasi dalam hukum dan politik Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait penegakan hukum serta pemenuhan hak partisipasi dalam hukum dan politik. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II); 2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup:
bidang hukum: a) kualitas SDM penegak hukum; b) jumlah produk hukum yang bias gender dan yang responsif gender; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah) dan organisasi perlindungan hukum; bidang politik: a) kualitas SDM (peserta pemilu dan pemilih); b) peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bias gender dan yang responsif gender; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah) dan organisasi politik;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami maknanya;
4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan melalui proyeksi-proyeksi untuk peningkatan kesetaraan gender di bidang hukum dan politik, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikatorindikator (baru) yang lebih sensitif/sesuai; 5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah penegakan hukum dan perlindungan hukum, dan partisipasi politik;
Topik 6: Dampak trafficking in person (tindak perdagangan orang) Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait penanganan dan pencegahan trafficking. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II);
174
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan dan trend, mencakup: a) kualitas SDM penegak hukum dan pendamping; b) perlindungan terhadap korban dan informan kasus trafficking; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah) dan organisasi perlindungan korban trafficking;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami maknanya;
4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk penanganan dan pencegahan kasus trafficking melalui proyeksi-proyeksi, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai; 5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah trafficking;
6. khusus peserta dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada penyajian data dan informasi berdasarkan pengalaman dan lessons learned dari negaranegara lain.
Topik 7: Isu Gender terkait Kemiskinan Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait penanganan kemiskinan. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II); 2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup: a) kualitas hidup dan kondisi kerentanan penduduk miskin dan hampir-miskin; b) perlindungan sosial terhadap penduduk miskin dan hampirmiskin; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah);
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami maknanya; 4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk penanggulangan kemiskinan melalui proyeksi-proyeksi, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai;
5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah kemiskinan;
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
175
6. khusus peserta dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada penyajian data dan informasi berdasarkan pengalaman dan lessons learned dari negaranegara lain, dan tidak menyertakan data dan temuan dari program kerjasama Indonesia.
Topik 8: Dampak perubahan iklim dan lingkungan hidup (mencakup aspek kualitas hidup perempuan) Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait perubahan iklim dan lingkungan hidup. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II); 2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup: a) fenomena perubahan sumber daya alam dalam hubungannya dengan perubahan iklim; b) perlindungan lingkungan hidup dari perusakan dan eksploitasi; c) perubahan pola dan kualitas hidup sebagai dampak dari perubahan iklim dan pengrusakan lingkungan hidup dan d) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah); 3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll., agar mudah dipahami maknanya;
4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penanganan masalah lingkungan hidup melalui proyeksi-proyeksi, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai; 5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah perubahan iklim dan lingkungan hidup;
6. khusus peserta dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada penyajian data dan informasi berdasarkan pengalaman dan lessons learned dari negaranegara lain, dan tidak menyertakan data dan temuan dari program kerjasama Indonesia.
Topik 9: Perspektif gender dalam pendidikan bagi yang belum terjangkau (mencakup wilayah/komunitas termiskin, wilayah tertinggal, wilayah perbatasan, difabel, dan komunitas adat terpencil) Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkaitpendidikan bagi penduduk yang sulit terjangkau dan yang menyandang kondisi khusus. Peserta EGM diharapkan: 1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II);
176
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup kualitas pendidikan dan anak didik (hasil pendidikan), peraturan perundangan dan regulasi, serta kelembagaaan pendidikan;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami maknanya; 4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak pendidikan melalui proyeksi-proyeksi, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai;
5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah kesetaraan gender terkait pendidikan bagi yang belum/sulit terjangkau.
Topik 10: Kesetaraan gender dari sudut pandang agama dan budaya Tujuan : untuk memberikan data dan informasi yang ada terkait kesetaraan gender. Lingkup : meliputi kualitas hidup perempuan, termasuk –tetapi tidak terbatas pada– kesetaraan gender di ruang publik seperti: partisipasi perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan politik, kekerasan dan diskriminasi. Topik 10 tidak akan mendiskusikan teori budaya dan teologi. Peserta EGM diharapkan:
1. mengetengahkan data kuantitatif dan kualitatif mengenai sasaran (de jure) dan hasil yang dicapai (de facto) untuk kurun waktu 2004-2009 (RPJMN I) dan 2010 – 2014 (RPJMN II);
2. menggunakan data dan informasi tersebut untuk mengidentifikasi permasalahan, mencakup kualitas hidup, perlindungan dan kelembagaaan;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid dalam bentuk pola, trend, dll. Diharapkan sebisa mungkin data terpisah berdasarkan jenis kelamin (sex-disaggregated data), dengan penyajian yang mudah dipahami maknanya; 4. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, mengidentifikasi potensi ke depan untuk peningkatan kesetaraan gender melalui proyeksi-proyeksi, dan bila memungkinkan merekomendasikan indikator-indikator lain/baru yang lebih sensitif/sesuai; 5. berdasarkan data dan informasi yang dimiliki, merekomendasikan provinsiprovinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait peningkatan kesetaraan gender di ruang publik dari sudut pandang agama dan budaya.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
177
Setelah semua sesi EGM dilaksanakan, seminar serial untuk 10 topik yang sama akan diselenggarakan. Seminar serial tersebut akan menggunakan data dan informasi yang telah disepakati dalam EGM. Dengan demikian, pembahasan mengenai perbedaan dalam hal data dan informasi yang digunakan oleh masing-masing pemakalah seminar tidak akan berlarutlarut. Di dalam seminar serial akan dibahas akar permasalahan dan penyebab langsung dari permasalahan yang diketengahkan dalam 10 topik tersebut.
LAMPIRAN 2 Tema dan Topik Seminar Serial Peserta yang diharapkan hadir dalam Seminar adalah mereka yang menguasai memahami konsep, teori, filosofi serta root-causes dari permasalahan pencapaian RPJMN I dan II. Dengan demikian, pemakalah untuk seminar serial terdiri dari wakil pimpinan Kementerian/Lembaga terkait, pakar-pakar di bidang terkait, aktivis dari LSM dan wakilwakil dari Badan Internasional. Seminar serial ini akan menggunakan data dan informasi hasil dari EGM serial dari topik terkait. Rincian dari pemakalah dan cakupan makalah sesuai 10 topik adalah sebagai berikut. Topik 1: Isu Gender di bidang Ketenagakerjaan (termasuk upah, status, jam kerja, pekerja migran, jaminan sosial, kekerasan dan pelecehan, dll.) Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam bidang ketenagakerjaan secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Pemakalah diharapkan: 1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup: a) kualitas SDM/tenaga kerja; b) perlindungan tenaga kerja; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah), instansi pemberi kerja, dan organisasi pekerja, apakah telah responsif gender atau belum;
2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja secara responsif gender; 3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah ketenagakerjaan;
6. khusus bagi pemakalah dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain.
178
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Pemakalah 1. Drs. Adji Dharma (Direktur Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Kemenakertrans)
2. KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) 3. APINDO 4. LBH Ketenagakerjaan 5. ILO
Cakupan Kebijakan pemerintah dalam menangani isu gender di bidang ketenagakerjaan Pengamatan dengan perspektif gender mengenai keselarasan dan kesenjangan antara kebijakan ketenagakerjaan dengan realita di tempat kerja Pengamatan dengan perspektif gender mengenai dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap perusahaan Pengalaman dan pembelajaran dari pelaku bantuan hukum tentang pemenuhan dan perlindungan hak pekerja Pengalaman dan pembelajaran internasional terkait kebijakan penanganan isu gender di bidang ketenagakerjaan
Topik 2: Dampak uncounted/undocumented statistics terhadap kesetaraan gender dan perlindungan perempuan (mencakup bidang ketenagakerjaan dan hukum) Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penanganan masalah uncounted/ undocumented statistics secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Lingkup : istilah uncounted/undocumented statistics dalam studi ini adalah kegiatan-kegiatan yang tidak tercakup dan tidak terhitung di dalam sistem statistik nasional Indonesia. Contoh: kegiatan-kegiatan bernilai ekonomi-sosial seperti pekerjaan sektor informal, pembantu di rumah/di tempat kerja yang tidak bergaji (un-paid non-care workers), anggota keluarga yang bertindak sebagai pengasuh/perawat orang sakit/anak di rumah, relawan PKK/Posyandu (un-paid care workers), dll. Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup: a) kualitas pendataan dan pengolahan data dan informasi; dan b) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah), apakah telah responsif gender atau belum; 2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk penanganan masalah statistik secara responsif gender;
3. menyajikan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya menggunakan data dari hasil EGM untuk topik yang sama;
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
179
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah uncounted/undocumented statistics; Pemakalah
Cakupan
1. Dr. Hamonangan Ritonga (Direktur Statistik Kesejahteraan RakyatBPS)
Kebijakan pemerintah mengenai penyediaan statistic untuk pencapaian kesetaraan gender dan perlindungan perempuan
3. DR. Hendri Saparini (ECONIT)
Uncounted/undocumented statistics dalam perekonomian Indonesia: estimasi nilai dan potensi dengan perspektif gender
2. Hesti Wijaya (Unibraw)
4. Widjajanti (Smeru)
The magnitude of uncounted/undocumented statistics di Indonesia dan dampaknya terhadap kebijakan kesetaraan gender dan perlindungan perempuan
Pengalaman dan pembelajaran mengenai uncounted/undocumented statistics di tingkat grass root
Topik 3: Percepatan penurunan AKI, AKB dan AKABa dari perspektif gender Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penurunan AKI, AKB dan AKABa secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup kualitas layanan kesehatan dan nutrisi dan kualitas kesehatan ibu dan anak (hasil layanan kesehatan dan nutrisi), dan kelembagaaan kesehatan (responsif gender atau belum);
2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak kesehatan ibu dan anak secara responsif gender;
3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah AKI, AKB dan AKABa;
180
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
6. Khusus bagi pemakalah dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain. Pemakalah
Cakupan
1. Nila Anfasa Moeloek (Duta MDGs)
Kebijakan pemerintah yang responsif gender untuk percepatan penurunan AKI, AKB dan AKABa
3. PKBI (Pengurus Harian Nasional)
Pengamatan dari perspektif gender mengenai kebijakan kespro untuk percepatan penurunan AKI, AKB, dan AKABa
2. Triyono Soendoro (Kemenkes)
4. UNICEF
Peluang dan hambatan bagi penurunan AKI, AKB dan AKABa
Pengalaman dan pembelajaran internasional untuk percepatan penurunan AKI, AKB, dan AKABa di Indonesia.
Topik 4: Dampak ancaman HIV/AIDS (mencakup aspek perlindungan perempuan) Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penanganan HIV/ AIDS secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup kualitas serta cakupan informasi-edukasi bagi masyarakat dan kualitas layanan kesehatan dan nutrisi, dan kelembagaaan terkait (responsif gender atau belum); 2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak kesehatan secara responsif gender;
3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya menggunakan data dari hasil EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah penanganan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS yang responsif gender.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Pemakalah 1. Kemal Siregar (KPAN) 2. Dir. P2PL, Kemenkes
3. Prof. Irwanto (Puska Kesos UI)
4. Irwan Hidayana (Puska Gender UI)
5. Baby Rivona (Ikatan Perempuan Positif Indonesia)
opik 5:
181
Cakupan Isu gender dalam program penanggulan HIV/AIDS Kualitas pelayanan
HIV/AIDS pada anak perempuan Kespro dan HIV/AIDS
Kesenjangan antara program dan realitas yang ada
Isu gender dalam Hukum dan Politik: penegakan hukum secara responsif gender dan pemenuhan hak partisipasi dalam hukum dan politik Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penegakan hukum serta pemenuhan hak partisipasi dalam hukum dan politik secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan.
Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup:
bidang hukum: a) kualitas SDM penegak hukum; b) perlindungan terhadap penegak hukum dan terhadap warga yang berhadapan dengan hukum; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah) dan organisasi perlindungan hukum, apakah telah responsif gender atau belum;
bidang politik: a) kualitas SDM (peserta pemilu dan pemilih); b) perlindungan hak partisipasi politik bagi peserta pemilu dan pemilih; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah) dan organisasi politik, apakah telah responsif gender atau belum;
2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk peningkatan kesetaraan gender di bidang hukum dan politik; 3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah penegakan hukum dan perlindungan hukum, dan partisipasi politik;
182
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Pemakalah
Cakupan
1. DR. Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM-Kemenhukham)
Kebijakan pemerintah dalam penegakan hukum yang responsif gender
3. Rita Kolibonso (Mitra Perempuan)
Peluang dan hambatan pemerintah penanganan isu gender di bidang hukum
2. Ninik Rahayu, Komnas Perlindungan Perempuan
4. Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, S.I.P., MSi. (KPU) 5. Sri Eko Budi Wardani (Puskapol UI)
Pengamatan dari sudut keselarasan dan kesenjangan antara pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dengan realita di masyarakat Upaya pencapaian partisipasi politik
kesetaraan
gender
Peluang dan hambatan pemerintah penanganan isu gender di bidang politik
dalam
dalam
dalam
Topik 6: Dampak trafficking in person (tindak perdagangan orang) Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penanganan dan pencegahan trafficking secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup: a) kualitas SDM penegak hukum dan pendamping; b) perlindungan terhadap korban dan informan kasus trafficking; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah) dan organisasi perlindungan korban trafficking, apakah telah responsif gender atau belum; 2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk penanganan dan pencegahan kasus trafficking secara responsif gender;
3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah trafficking; 6. Khusus bagi pemakalah dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
Pemakalah
183
Cakupan
1. Diar Nurbiantoro, SH, MH (Direktorat Hukum-Kemenlu) atau Octavino Alimudin, SH, LLM (Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan-Kemenlu)
Kebijakan pemerintah terkait penanganan masalah tindak kejahatan transnasional perdagangan orang
3. (Bareskrim Mabes-POLRI)
Kebijakan pemerintah dalam pencegahan dan penanganan kasus kejahatan perdagangan orang domestik dan transnasional.
2. Moh. Jumhur Hidayat (Kepala BNP2TKI) atau Dr. Adji Dharma (Direktur Penempatan Tenaga KerjaKemenakertrans)
Kebijakan pemerintah dalam pencegahan masalah kejahatan transnasional perdagangan orang
4. (Ditjen Rehsos-Kemensos)
Kebijakan pemerintah terkait penanganan rehabilitasi dan reintegrasi pascakejahatan perdagangan orang domestik dan transnasional.
5. Yuyun Wahyuningrum (Human Rights Working Group) 6. IOM/Anis Hidayah (Migrant Care)
Pengamatan dari sudut keselarasan dan kesenjangan antara pelaksanaan kebijakan penanganan trafficking dengan realita di masyarakat Pengalaman dan pembelajaran internasional untuk pencegahan dan penanganan tindak kejahatan transnasional perdagangan orang
Topik 7: Isu Gender terkait Kemiskinan Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penanganan kemiskinan secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup: a) kualitas hidup dan kondisi kerentanan penduduk miskin dan near-poor; b) perlindungan sosial terhadap penduduk miskin dan near-poor; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah), apakah telah responsif gender atau belum; 2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk penanggulangan kemiskinan secara responsif gender;
184
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah kemiskininan; 6. Khusus bagi pemakalah dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain. Pemakalah
Cakupan
1. Sekretaris Wapres Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan (Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K)
Kebijakan pemerintah dalam percepatan penanggulangan kemiskinan
3. Sudarno Sumarto (SMERU)
Peluang dan hambatan dengan perspektif gender bagi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan
2. Hamid Muhammad (Diknas)
4. NGO ketenagakerjaan/Koalisi Perempuan Indonesia/Solidaritas Perempuan 5. Nani Zulminarni (PEKKA)
6. Vivi Alatas (World Bank)-Jaminan Perlindungan Sosial (Social Protection)
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dalam pencegahan kemiskinan: peluang dan hambatan Pengamatan dari sudut keselarasan dan kesenjangan antara pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesetaraan gender
Pengalaman dan pembelajaran penanggulangan kemiskinan di tingkat grass root Pengalaman dan pembelajaran internasional untuk penanggulangan kemiskinan dengan perspektif gender
Topik 8: Dampak perubahan iklim dan lingkungan hidup (mencakup aspek kualitas hidup perempuan) Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan obyektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam penanganan perubahan iklim dan masalah lingkungan hidup secara responsif gender, serta kemungkinan solusi ke depan.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
185
Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup: a) fenomena perubahan kualitas hidup perempuan dalam hubungannya dengan perubahan iklim; b) perlindungan lingkungan hidup dari perusakan dan eksploitasi; dan c) kelembagaaan penyelenggara kebijakan (nasional dan daerah), apakah telah responsif gender atau belum;
2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penanganan masalah lingkungan hidup secara responsif gender; 3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan masalah dan pengembangan/ pemanfaatan potensi secara responsif gender, dan bila memungkinkan indikator terkait; 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah penyebab perubahan iklim dan pengrusakan lingkungan hidup; 6. Khusus bagi pemakalah dari badan internasional, diharapkan untuk fokus pada pengalaman dan lessons learned dari negara-negara lain. Pemakalah
Cakupan
1. Dewan Nasional Perubahan Iklim (Rahmat Witoelar atau Amanda Katili)
Kebijakan pemerintah dalam menangani perubahan iklim dan lingkungan hidup
3. Suraya Affif (UI)/Siti Amanah (IPB)
Pengalaman dan pembelajaran di masyarakat dengan perspektif gender mengenai dampak perubahan iklim dan lingkungan hidup
2. Ikatan Ahli Perubahan Iklim Indonesia/WALHI
4. FAO
Pengamatan dengan perspektif gender terhadap implementasi kebijakan pemerintah dalam menangani perubahan iklim dan lingkungan hidup
Pengalaman dan pembelajaran internasional untuk perubahan iklim dan penanganan masalah lingkungan hidup dengan perspektif gender
Topik 9: Perspektif gender dalam pendidikan bagi yang belum terjangkau (mencakup wilayah/komunitas termiskin, wilayah tertinggal, wilayah perbatasan, difabel, dan komunitas adat terpencil) Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan objektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam pencapaian kesetaraan gender, serta kemungkinan solusi ke depan.
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
186
Pemakalah diharapkan:
1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup kualitas pendidikan dan anak didik (hasil pendidikan), dan kelembagaaan pendidikan (responsif gender atau belum); 2. mengidentifikasi potensi ke depan untuk pemenuhan hak pendidikan secara responsif gender; 3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid, dan sebaiknya data dari EGM untuk topik yang sama;
4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan dan pengembangan/ pemanfaatan potensi yang logis untuk pemenuhan hak pendidikan secara responsif gender dan bila memungkinkan indikator terkait;
5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait masalah kesetaraan gender terkait pendidikan bagi yang belum terjangkau. Pemakalah 1. Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, M.S. (Wamen bidang pendidikan Kemendikbud)/Prof. Dr. H. Nur Syam (Dirjen Pendidikan Islam Kemenag) 2. Prof. dr. Fasli Djalal, Ph.D.
3. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara 4. HWPCI (Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia) Topik 10:
Cakupan Perspektif gender dalam kebijakan pemerintah “education for all” yang mendorong pada pemenuhan hak pendidikan bagi penduduk yang sulit dijangkau Tantangan dan potensi pengembangan kebijakan “education for all” untuk pemenuhan hak pendidikan bagi penduduk yang sulit dijangkau dan yang menyandang kondisi khusus. Pengamatan dengan perspektif gender mengenai keselarasan dan kesenjangan antara kebijakan pendidikan dengan realita bagi komunitas adat terpencil Pengamatan dengan perspektif gender mengenai keselarasan dan kesenjangan antara kebijakan pendidikan dengan realita bagi para diffabel dewasa dan anak-anak
Kesetaraan gender dari sudut pandang agama dan budaya. Tujuan : untuk menggali secara lebih mendalam dan objektif mengenai penyebab masalah, hambatan, dan tantangan dalam pencapaian kesetaraan gender, serta kemungkinan solusi ke depan. Lingkup : ruang lingkup Topik 10 meliputi kualitas hidup perempuan, termasuk –tetapi tidak terbatas pada– kesetaraan gender di ruang
Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III (2015-2019)
187
publik seperti: partisipasi perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan politik, kekerasan dan diskriminasi. Teori budaya dan teologi tidak didiskusikan dalam Topik 10.
Pemakalah diharapkan: 1. mengidentifikasi permasalahan dan lessons learned, mencakup kualitas hidup, perlindungan dan kelembagaaan; 2. mengidentifikasi potensi ke depan; 3. menyediakan data-data yang relevan dan dari sumber yang valid; 4. merekomendasikan langkah-langkah penanganan dan pengembangan/ pemanfaatan potensi yang logis, dan bila memungkinkan indikator terkait; dan 5. merekomendasikan provinsi-provinsi yang perlu mendapat perhatian khusus terkait peningkatan kesetaraan gender di ruang publik dari sudut pandang agama dan budaya. Pemakalah
Cakupan
1. Prof. Dr. Nazaruddin Umar (Wamenag)
Kebijakan pemerintah
3. K.H Husein Muhammad (Pendiri Fahmina Institute dan Kyai ‘Feminis’ Indonesia)
Interpretasi kesetaraan gender dalam kehidupan beragama
2. Hj. Khofifah Indar Parawansa/ Lies Marcoes
4. Prof. Dr. Melanie Budianta (Guru Besar Susastra UI dan pakar budaya) 5. Romo Herry Priyono (Katolik/ Kristen/Budha/Hindu) 6. KPI/BSF/Asosiasi TV Swasta Indonesia
Pengamatan dari sudut keselarasan dan kesenjangan antara kebijakan kesetaraan gender dengan realita di masyarakat Pengamatan terhadap kebijakan kesetaraan gender dari sisi kebudayaan Pengamatan dampak kebijakan kesetaraan gender terhadap kehidupan beragama masyarakat
Andil/pengaruh media massa (sebagai kendaraan budaya) terhadap kesetaraan gender
Setelah seminar serial, FGD verifikasi akan dilakukan untuk membahas secara lebih terfokus hasil dari seminar, terutama yang terkait dengan akar permasalahan (root causes).