LAPORAN PENELITIAN
WACANA KESETARAAN GENDER DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Tim Penyusun: 198011292005011002 197408052006042002 197001262005012001
Lumban Arofah, S.Sos, M.Sc Alfisyah, S.Ag, M.Hum Sigit Ruswinarsih, S.Sos, M.Pd
Ketua Peneliti Anggota Anggota
Yuli Apriati, S.Sos, MA
198404162008122006
Anggota
Syahlan Mattiro, SH, M.Si
198003092009121002
Anggota
Nasrullah, S.Sos, I, MA
197905262009121001
Anggota
Tutung Nurdiyana, S.Sos, MA, M.Pd
197610212005012001
Anggota
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT NOVEMBER 2013
|i
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN 1. Judul Penelitian : WACANA KESETARAAN GENDER DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2. Ketua Penelitian: a. Nama Lengkap : Lumban Arofah, S.Sos, M.Sc b. Jenis Kelamin : Laki laki c. NIP : 198011292005011002 d. Jabatan Struktural :e. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli f. Bidang Keahlian : Sosiologi g. Fakultas/Jurusan : FKIP/Jurusan Pendidikan IPS h. Perguruan Tinggi : Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin i. Tim Peneliti : No. Nama NIP 1 Alfisyah, S.Ag, M.Hum 19740805 2006042002 2 Sigit Ruswinarsih, S.Sos, M.Pd 197001262005012001 3 Yuli Apriati, S.Sos, MA 198404162008122006 4 Syahlan Mattiro, SH, M.Si 198003092009121002 5 Nasrullah, S.Sos, I, MA 197905262009121001 6 Tutung Nurdiyana, S.Sos, MA, M.Pd 197610212005012001 3. Jangka Waktu Penilaian : 6 Bulan 4. Pembiayaan : a. Jumlah biaya BNOPTN : Rp. 6.000.000,Mengetahui, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Banjarmasin, November 2013 Ketua Tim Peneliti,
Drs. H. Ahmad Sofyan, MA NIP. 1951110 197703 1 003
Lumban Arofah, S.Sos, M.Sc NIP. 198011292005011002 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Ahmad Alim Bachri, SE, M.Si NIP. 196712311995121002
| ii
ABSTRAK Dalam dekade terakhir ini, upaya pengarus utamaan gender menjadi diskursus di berbagai kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci. Mengingat pentingnya kaitan antara gender dan pendidikan, penelitian ini akan berusaha untuk mendapatkan gambaran persepektif gender menurut Mahasiswa FKIP mengingat mereka disiapkan untuk menjadi guru pelajaran. Sehingga, perspektif mereka tentang gender nantinya akan diturunkan kepada anak-anak didik dimana mereka mengajar. Penelitian ini juga berusaha untuk menginvestigasi darimana wacana gender itu berasal dan bagaimana operasionalisasi konsep gender bagi mahasiswa. Untuk menjawab masalah penelitian tersebut penelitian ini menggunakan metode penelitan kualitatif dengan mengedepankan penggunaan wawancara dan observasi sebagai alat untuk menggali data. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa terdapat tiga jenis wacana gender menurut perspektif mahasiswa; Pertama, Pandangan mahasiswa berpendapat bahwa kesetaraan gender itu adalah kesamaan posisi, derajat, kedudukan, hak, dan kewajiban antara Laki-laki dan Perempuan. Implikasi dari pandangan tersebut terletak dari pernyataan bahwa tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan perempuan dalam memperoleh dan mendapatkan posisi di masyarakat. Setiap individu berhak mendapatkan posisinya di masyarakat tanpa adanya pembatasan dari jenis kelamin lainnya. Oleh karena itu, perempuan dan Laki-laki berhak untuk memperjuangkan posisinya masing-masing. Kedua, Pandangan mahasiswa yang percaya bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan oleh karena itu maka perbedaan akan konstruksi sosial antara keduanya harus dihapuskan. Namun, ada perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara laki-Laki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak pada fisik antara jenis kelamin tersebut, atau dalam kata lain terdapat perbedaan biologis antara keduanya. Oleh karena itu, maka walaupun dimungkinkan tidak ada perbedaan dalam konstruksi sosial, namun perbedaan dalam hal biologis akan berpengaruh dalam hal kehidupan dan peran peran juga dimasyarakat. Ketiga, Pandangan mahasiswa yang tidak menyetujui kesetaraan gender. pandangan tersebut berasal dari kenyataan bahwa Mahasiswa memandang tidak perlu ada kesetaraan gender, karena peran dan posisi masing-masing individu tidak lah sama. Oleh karena itu, mengingat peran dan posisi masing-masing telah ditentukan baik oleh faktor biologis maupun faktor sosial, maka tidak perlu ada kesetaraan gender.
Kata Kunci: Gender, Feminsime, Kesetaraan, Pengarusutamaan, Perspektif, Pandangan, Mahasiswa
| iii
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya Penulisan Laporan Penelitian dengan Judul “WACANA KESETARAAN GENDER DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT”. Penelitian ini bertujuan untuk menggali wacana gender bagi Mahasiswa dan bagaimana operasionalisasi konsep Kesetaraan dan Pengarusutamaan Gender bagi Mahasiswa. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan terciptanya sebuah karya ilmiah yang membahas dan berkontribusi untuk menjawab permasalahan tentang tantangan apa saja yang perlu diatas dalam upaya promosi kesetaraan gender terutama di dalam dunia pendidikan. Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. 2. 3. 4. 5.
Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat. Dekan FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP Unlam Juga diucapkan terima kasih kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP Berbagai masukan dan diskusi yang dilakukan baik di dalam kelas maupun dalam pertemuan informal turun memperkaya khasanah penelitian ini.
Kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penelitian kali ini. Namun demikian, semoga kegiatan ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong untuk kegiatan yang sejenis
Banjarmasin, November 2013
Tim Penyusun
| iv
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ i ABSTRAK...................................................................................................... ii KATA PENGANTAR .................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................. iv DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi BAB I.
PENDAHULUAN ......................................................................... 1
I.1
Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1
I.2
Fokus Penelitian ...................................................................................................... 2
I.3
Rumusan Permasalahan .......................................................................................... 3
I.4
Tujuan Penelitian .................................................................................................... 3
I.5
Manfaat Penelitian .................................................................................................. 3
I.5.1
Manfaat Praktis ................................................................................................ 3
I.5.2
Manfaat Teoritis .............................................................................................. 3
BAB II. LANDASAN TEORI .................................................................... 4 II.1
Teori-teori Gender .................................................................................................. 4
II.1.1
Teori Struktural-Fungsional ............................................................................ 4
II.1.2
Teori Sosial-Konflik ........................................................................................ 8
II.1.3
Teori Feminisme ............................................................................................ 12
II.1.3.1
Teori Feminisme Liberal ........................................................................ 13
II.1.3.2
Feminisme Cultural ................................................................................ 15
II.1.3.3
Teori Feminisme Marxis-Sosialis .......................................................... 16
II.1.3.4
Teori Feminisme Radikal ....................................................................... 18
II.1.3.5
Feminisme Multicultural dan Global ..................................................... 20
II.1.3.6
Teori Ekofeminisme ............................................................................... 21
II.1.4
Teori Psikoanalisa ......................................................................................... 23
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 25 III.1
Lokasi Penelitian................................................................................................... 25
III.2
Penentuan Informan .............................................................................................. 26
III.3
Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 26
III.4
Teknik Pengumpulan dan Analisa Data ................................................................ 26
|v III.4.1
Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 26
III.4.2
Analisa Data .................................................................................................. 27
III.4.2.1
Reduksi Data. ......................................................................................... 27
III.4.2.2
Penyajian Data........................................................................................ 27
III.4.2.3
Menarik Kesimpulan .............................................................................. 27
BAB IV. HASIL PENELITAN DAN ANALISA DATA ........................ 29 IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. .................................................................... 29 IV.1.1
Keadaan Geografis Kota. ............................................................................... 29
IV.1.2
Komposisi Masyarakat di Kota Banjarmasin ................................................ 32
IV.1.3
Kondisi Perekonomian daerah ....................................................................... 33
IV.1.4
Pendidikan Masyarakat.................................................................................. 34
IV.2 Hasil dan Pembahasan .......................................................................................... 35 IV.2.1
Pengarusutamaan Gender di Indonesia.......................................................... 35
IV.2.2
Usaha Pengarusutamaan Gender di Bidang Pendidikan................................ 37
IV.2.3
Perspektif Gender Menurut Mahasiswa ........................................................ 42
IV.2.4
Pendapat Mahasiswa Tentang Kesetaraan dan Pengarusutamaan Gender. ... 46
IV.2.5
Diskusi Teori. ................................................................................................ 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 57 V.1
Kesimpulan ........................................................................................................... 57
V.2
Saran ..................................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 59 LAMPIRAN ................................................................................................. 60 PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 84 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN ................................................................................................ 60
INDEKS ....................................................................................................... 61
| vi
DAFTAR TABEL Tabel 1. Luas Banjarmasin Berdasarkan Kecamatan ................................................... 30 Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin .............................................................. 33 Tabel 3. Distribusi Presentase Kegiatan Ekonomi ......................................................... 34
|1
BAB I. I.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan oleh pendirinya. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya sekaligus pencipta manusia yang memiliki peradaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial masyarakat sekitar sehingga perlu dibuat sebuah sistem yang memperhatikan khasanah pendidikan dalam aras lokal Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu lakilaki dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, baik lakilaki maupun perempuan diharuskan memiliki tingkat pembelajaran yang setara serta didukung oleh satuan pendidikan yang mendukung
hal
tersebut. Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah
|2
klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilainilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Dalam dekade terakhir ini, upaya pengarus utamaan gender menjadi diskursus di berbagai kalangan aktivis perempuan, keluargakeluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci. Mengingat pentingnya kaitan antara gender dan pendidikan, penelitian ini akan berusaha untuk mendapatkan gambaran persepektif gender menurut Mahasiswa FKIP mengingat mereka disiapkan untuk menjadi guru pelajaran. Sehingga, perspektif mereka tentang gender nantinya akan diturunkan kepada Anak didik dimana mereka mengajar. Penelitian ini juga berusaha untuk menginvestigasi darimana wacana gender itu berasal dan bagaimana operasionalisasi konsep gender bagi mahasiswa. I.2
Fokus Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan kepada; 1. Makna Gender bagi mahasiswa 2. Bagaimana kesetaraan gender menurut Mahasiswa.
|3
I.3
Rumusan Permasalahan Penelitian ini berupaya untuk menjawab: 1. Makna Gender bagi mahasiswa 2. Bagaimana kesetaraan gender menurut Mahasiswa.
I.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini berupaya untuk menjawab: 1. Makna gender bagi mahasiswa 2. Bagaimana kesetaraan gender menurut Mahasiswa.
I.5 I.5.1
Manfaat Penelitian Manfaat Praktis Pemangku kebijakan, sebagai sarana untuk mengevaluasi pendidikan gender di perguruan tinggi.
I.5.2
Manfaat Teoritis Dosen sebagai sarana evaluasi dan informasi tentang pendidikan gender yang telah dilakukan.
|4
BAB II.
LANDASAN TEORI
II.1 Teori-teori Gender Menurut Marzuki (2013: 1-15) secara khusus belum ditemukan teori yang melihat dan membicarakan persoalan gender. Teori yang digunakan dalam melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial dan psikologis Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan permasalahan gender, dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.
II.1.1 Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan salah satu teori yang dikembangkan dalam keilmuwan sosiologi yang digunakan dalam melihat bagaimana bekerjanya pranata sosial yang lebih khusus disebut dengan pranata keluarga. Pendekatan Struktural Fungsional melihat bagaimana masyarakat tersebut terdiri dari sebuah sistem yag terdiri dari berbagai sub sistem – sub sistem yang saling mempengaruhi satu sama lain. Berdasarkan pendapat diatas, dapat dilihat bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang didalamnnya terdiri dari berbagai bagian-bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pendekatan ini
|5
berusaha menginvetigasi sub sistem-sub sistem apa saja yang ada di dalam masyarakat dan bagaimana sub sistem tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, dan bagaimana fungsi dari sub sistem tersebut dalam masyarakat. Beberapa sosiolog yang termasuk ke dalam pendekatan Struktural Fungsional antara lain; William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56). Pendekatan struktural-fungsional mengakui adanya segala berbagai keperbedaan dan keragaman di dalam kehidupan sosial. Adanya perbedaan tersebut menimbulkan konsekwensi adanya perbedaan struktur, status, dan peran dalam masyarakat sebagai sebuah sistem. Dalam sebuah organisasi sosial pasti terdapat perbedaan posisi yang mengandung potensi status dan peran yang pada tujuannya menciptakan tujuan organisasi yang akan menimbulkan keharmonisan, keteraturan bagi keseluruhan sistem dalam masyarakat. Adanya perbedaan struktur dan fungsi dalam masyarakat dipengaruhi oleh pranata, sistem sosial, dan sistem norma yang berlaku secara ajeg dalam masyarakat. (Ratna Megawangi, 1999: 56). Dalam hal pembagian jenis kelamin berdasarkan gender, perspektif structural fungsional melihat aspek kesejarahan pada masyarakat pra-industri terutama munculnya pembagian kerja berbasis jenis kelamin yang terjadi pada masyarakat pra industri dimana peran laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan. Laki-laki berperan dalam penyedia makanan melalui kegiatan berburu sementara perempuan menjadi peramu di dalam wilayah rumah. Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya pembagian kerja berbasis jenis kelamin dimana laki-laki berperan di wilayah
|6
publik sementara perempuan bekerja di dalam wilayah privat atau di dalam rumah dan keluarga. Jika ditelisik lebih lanjut, peran laki=laki memiliki dimensi yang lebih luas, karena peran di wilayah publik memiliki dimensi yang lebih luas, dibandingkan wilayah privat. Bagi perempuan, tugas di wilayah privat atau di dalam rumah memiliki dimensi yang lebih sempit, dimana perempuan terbatas hanya berperan dari bidang reproduksi yaitu mengandung, memilihara anak, memelihara rumah, memelihara pekarangan, dan lain sebagainya. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dalam menciptakan masyarakat yang stabil dan mengidamkan equilibrium atau keseimabangan. Dengan pembagian kerja berbasis jenis kelamin, masyarakat akan mengalami keharmonisan sehingga meminimalisir konflik, karena pembagian kerja tersebut dianggap dapat meminimalisir konflik terutama dalam keluarga. Pendekatan struktural-fungsional dianggap masih relevan jika diterapkan dalam masyarakat modern.
Pembagian peran secara jenis kelamin dianggap
sebagai suatu yang biasa dan wajar adanya(Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik dan harmonis. Penyimpangan terjadi karena munculnya konflik antar fungsi dalam keluarga. Oleh karena itu, maka sistem sosial berupa pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin harus dijamin keutuhannya. Prinsip yang sama berlaku untuk keluarga di masyarakat modern. Gangguan diminimalkan, harmoni dimaksimalkan, dan dan keluarga bermanfaat ketika pasangan saling membutuhkan satu sama lain. (Parsons dan Bales, 1955; Parsons, 1966). Ketika suami/ayah mengambil peran instrumental, ia diperkirakan
|7
akan mempertahankan integritas fisik keluarga dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal dan menghubungkan keluarga ke dunia luar rumah. Ketika istri/ ibu mengambil peran privat, ia diharapkan untuk mempererat hubungan dan memberikan dukungan dan memelihara kegiatan emosional yang menjamin berjalan rumah tangga lancar. Jika terlalu banyak penyimpangan dari peran-peran ini terjadi , atau ketika ada terlalu banyak tumpang tindih, sistem keluarga didorong ke dalam keadaan ketidakseimbangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup unit keluarga Lindsey LL and Christie S. (1997; 6). Fungsionalisme cenderung mendukung kelas menengah. Model keluarga yang menekankan kegiatan ekonomi kepala rumah tangga kepada laki-laki dan kegiatan domestik kepada wanitanya. Wanita berfungsi di luar rumah hanya sebagai tenaga kerja cadangan , seperti ketika tenaga mereka dibutuhkan di masa perang. Model ini tidak berlaku untuk perempuan miskin dan orang tua tunggal yang oleh kebutuhan harus bekerja di luar rumah untuk menjaga rumah tangga . Ini mungkin tidak berlaku untuk Negara Afrika Wanita Amerika , yang cenderung dengan pilihan untuk keluarga dan pekerjaan yang terpisah dan yang mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi dari kedua peran tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa spesialisasi tugas rumah tangga berdasarkan gender di keluarga kontemporer lebih disfungsional daripada fungsional. wanita terdegradasi peran keluarga yang mereka lihat membatasi, misalnya, tidak bahagia dalam pernikahan dan lebih mungkin untuk memilih keluar dari hal tersebut.
|8
Pendekatan struktural-fungsional ini mendapat kritik dari para feminis. Pendekatan ini dianggap menyetujui adanya peran dan status sosial yang dihasilkan dari jenis kelamin.. Perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh peran mereka dalam urusan publik dan privat.
Kondisi tersebut akan memberikan
implikasi berupa diteruskannya dominasi yang kental dari laki-laki kepada perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Namun, meski pendekatan strultural fungsional telah mendapatkan berbagai kritik tajam, namun masyarakat modern masih mempertahankan sistem pembagian kerja berbasis jenis kelamin, karena masyarakat masih menekankan aspek prinsip ekonomi dengan menekankan produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena masyarakat modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral. II.1.2 Teori Sosial-Konflik
Paradigma konflik sosial memandang bahwa masyarakat merupakan sebuah entitas yang selalu diwarnai oleh konflik sosial. Hal tersebut terutama
|9
disebabkan oleh karena pembagian sumber daya yang terbatas dan terkadang tidak adil. Kompetisi sebagai salah satu hal asasi di masyarakat akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan dan menimbulkan pertentangan antara kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai. Kondisi tersebut akan menimbulkan perbedaan kepentingan dan pertentangan antar dua kelompok yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76). Dalam masalah gender, pendekatan sosial-konflik mendapatkan pengaruh besar dari Teori Marx,dalam Das Kapital yang juga ditulis oleh Frederic Engels. Kedua Tokoh tersebut mengemukakan suatu gagasan yang menyatakan bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari konflik kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) diibaratkan dengan hubungan an tara kaum ploretar dan kaum borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan pendekatan sosial-konflik berasal dari teori diterminisme ekonomi Marx. Teori ini berpandangan bahwa walaupun manusia telah memiliki pola hubungan sesuai dengan sistem sosial yang ajeg, namun pola tersebut dibentuk atas kepentingan individu atau kelompok sosial, hal tersebut cenderung akan menghasilkan konflik sosial. Pandangan teori
| 10
ini menolak pendapat yang menyatakan bahwa konflik sosial merupakan sumber perpecahan masyarakat, lebih lanjut, teori ini berpendapat bahwa konflik sosial yang disebabkan karena pendistribusian daya yang terbatas terutama kekuasaan justru menjadi dasar dari munculnya perubahan sosial di masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81). Akumulasi harta, benda, serta kontrol laki-laki atas produksi menjadi sebab insubordinasi perempuan baik di masyarakat maupun di keluarga. Negasi teori ini sesuai dengan perkembangan masyarakat yang menunjukkan keunggulan antara kaum kapitalis dan kaum pekerja. (Nasaruddin Umar, 1999: 62). Sebagaimana sistem masyarakat yang kapitalistik, keluarga dipandang bukan sebagai sebuah sistem sosial yang normatif dimana didalamnya berlangsung hubungan yang harmonis dan seimbang. Keluarga, dipandang sebagai sebuah sistem sosial yang penuh dengan konflik yang bersumber pada perbedaan biologis. Lembaga dan pranata di masyarakat yang paling eksis dalam menjunjung peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan kesetaraan gender adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91). Teori konflik berfokus pada penempatan sosial dari fungsi keluarga bahwa sejak lahir orang akan diberikan kepada ke dalam keluarga yang memiliki berbagai tingkat sumber daya ekonomi . Orang-orang cukup beruntung untuk diberikan
ke
dalam
keluarga
kaya
akan
bekerja
untuk
melestarikan
ketidaksetaraan yang ada dan daya hubungan dalam masyarakat yang lebih luas
| 11
karena mereka jelas memberikan manfaat dari keseluruhan ketidakseimbangan kekuasaan. Kelas sosial endogami (menikah dalam kelas yang sama) dan pola warisan memastikan bahwa properti dan kekayaan disimpan di tangan keluarga yang kuat. Keyakinan tentang ketimpangan dan ketidakseimbangan menjadi kekuatan yang dilembagakan - mereka diterima dan bertahan dari waktu ke waktu sebagai sesuatu yang sah oleh kedua pihak baik yang mendapatkan hak istimewa maupun yang tertindas. mereka yang lahir dalam keluarga miskin tetap miskin karena mereka tidak memiliki bakat dan etos kerja yang dilanggengkan. Kondisi struktural yang menopang kemiskinan diabaikan . Penempatan sosial beroperasi melalui sistem patriarkal dan sistem patrilineal , kekayaan lebih terkonsentrasi di tangan laki-laki dan lebih lanjut membuat sikap tunduk perempuan , penelantaran , dan kemiskinan . teori konflik sependapat dengan pandangan Engels dengan menyarankan bahwa ketika wanita mendapatkan kekuatan ekonomi dengan juga menjadi penerima upah , kekuasaan mereka di dalam rumah akan diperkuat dan dapat menyebabkan pengaturan yang lebih egaliter Lindsey LL and Christie S. (1997; 8) . Teori ini mendapatkan kritik karena terlalu menekankan pada faktor ekonomi, padahal konflik juga terjadi karena disebabkan oleh ketegangan antara orang tua dan anak, istri dan suami, laki – laki dan perempuan dan lain-lain (NasaruddinUmar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh
| 12
para feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal. II.1.3 Teori Feminisme
Teori feminis yang menawarkan kerangka terhadap organisasi perempuan dalam upaya untuk mengubah posisi sosial perempuan yang rendah dari posisi sosial, politik, dan diskriminasi ekonomi serta pola dan tindakan yang mengabadikan hal tersebut. Banyak organisasi dibawah jaringan dan payung feminisme, bertujuan auntuk mengakhiri persoalan seksisme dan penindasan seksis
dengan
memberdayakan
perempuan.
Tiga
puluh
tahun
lalu gerakan perempuan tersendat karena tidak realistis menjelaskan bagaimana kategori pendindasan yang saling berpotongna satu sama lain (Breines, 2006). Melalui upaya jaringan feminis di seluruh dunia dan di bawah kepemimpinan PBB dan konferensi perempuan mereka terorganisir dan persoalan ini dijembatani. Perubahan sosial global menyajikan tantangan baru dan berkelanjutan bagi perempuan, sehingga agenda feminis dalam menangani kebutuhan semua perempuan belum pernah dapat diselesaikan. Feminis menerima tujuan mengakhiri seksisme dengan memberdayakan perempuan, tetapi ada banyak ketidaksepakatan tentang bagaimana tujuan yang harus dicapai. Karena gerakan feminis bersifat inklusif, tidak mungkin akan pernah ada kesepakatan penuh pada persoalan mengidentifikasi masalah dan menentukan
| 13
strategi untuk mengatasi masalah. Karena sangat
inklusivitas dan beragam,
gerakan untuk menyatukan gerakan menjadi sangat mustahil. Karena tidak adanya kesatuan pandangan yang lengkap dalam menyusun agenda tentang pengentasan perempuan dari dominasi, hal tersebut memunculkan perdebatan di seluruh dunia yang sering mengakibatkan muncul eklusivisme tentang siapa yang paling kreatif, realistis, dan inovatif dalam menyusun strategi untuk pemberdayaan perempuan. Karena kesulitan dalam mengadopsi satu agenda, gerakan feminism cenderung untuk partisi dirinya menjadi beberapa cabang yang berbeda menurut perbedaan filosofis umum. Perempuan dan laki-laki mengidentifikasi dengan organisasi dan prinsipprinsip yang mungkin jatuh di bawah lebih dari satu cabang. Selain itu, cabang adalah cairan, mereka terus menciptakan sendiri gelombang yang berbeda feminisme mengalir melalui masyarakat. Cabang feminis, oleh karena itu, tidak saling eksklusif atau lengkap. Feminis sebagai individu atau formal kelompok mana mereka berasal, namun, umumnya berlangganan prinsip-prinsip satu atau lain dari cabang-cabang berikut.
II.1.3.1 Teori Feminisme Liberal
Feminisme liberal , juga disebut " feminisme egaliter dan feminisme mainstream " dianggap sebagai cabang yang paling moderat . Hal ini didasarkan pada proposisi sederhana yang menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan oleh karenanya kesetaraan kesempatan tidak boleh ditolak karena gender. Karena kedua jenis kelamin sama-sama diberi manfaat dengan adanya
| 14
penghapusan seksisme, pria diintegrasikan ke dalam feminism ini. Feminisme liberal didasarkan pada pencerahan terhadap keyakinan rasionalitas , pendidikan , dan hak-hak alam yang berlaku untuk semua laki-laki dan perempuan . Hal ini dituangkan dalam John Stuart Mill (1869/2002) The Subjection of WomenKetaatan Perempuan , dengan pernyataannya bahwa " apa yang sekarang disebut sifat perempuan merupakan hal - yang nyata buatan hasil dari penindasan paksa di beberapa arah, stimulasi tidak wajar pada orang lain . " Wanita bisa bekerja sama dalam sistem pluralistik dan memobilisasi konstituen mereka untuk efek perubahan sosial yang positif dan produktif. Tuntutan akan terpenuhi jika dipegang ooleh mobilisasi efektif dan tekanan efisien (Deckard, 1983:463). Feminis liberal percaya masyarakat tidak harus benar-benar direstrukturisasi untuk mencapai pemberdayaan bagi perempuan dan memasukkan perempuan ke dalam dan peran yang lebih adil . Pandangan ini cenderung dianut oleh perempuan kelas menengah professional yang menempatkan nilai tinggi pada pendidikan dan prestasi . Para wanita ini cenderung memiliki sumber daya ekonomi untuk lebih bersaing dengan laki-laki untuk diinginkan Teori ini mendasarkan pandangannya pada tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, maka perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama baik didalam kehidupan publik maupun domestik, di masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga. Namun, pandangan teori ini menolak pandangan tidak adanyana perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-
| 15
laki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak dari unsur biologis yang dimiliki antara perempuan dan laki-laki yang menimbulkan akibat dalam kehidupan di masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228). Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik. II.1.3.2 Feminisme Cultural
Feminis liberal juga dapat disebut dengan "feminisme budaya"dengan menfokuskan pada pemberdayaan perempuan dengan menekankan kualitas positif yang terkait dengan peran perempuan seperti pengasuhan, peduli, kerjasama, dan keterhubungan kepada orang lain (Worell, 1996:360). Masalah berapa banyak wanita sama dan berapa banyak mereka berbeda disorot dalam penekanan ini, meskipun tidak merupakan cabang terpisah dari feminisme keseluruhan, perdebatan sekitar "Tingkat perbedaan jenis kelamin atau kesamaan" telah memungkinkan feminisme budaya menjadi tergabung dalam semua cabang feminis pada tingkat tertentu. Feminis liberal, namun, lebih mungkin untuk berhubungan prinsip-prinsip ini daripada wanita di cabang lain.
| 16
II.1.3.3 Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini disebut juga sebagai " feminisme Marxis , " feminisme sosialis umumnya mengadopsi Model Marx- Engels yang dijelaskan sebelumnya dimana menghubungkan posisi inferior perempuan pada sistem kapitalisme berbasis kelas dan keselarasan dengan keluarga patriarkal di kapitalistik masyarakat. Feminisme sosialis berpendapat bahwa seksisme dan kapitalisme saling mendukung. Tenaga kerja perempuan yang tidak dibayar dalam rumah dan tenaga mereka dibayar sebagai cadangan angkatan kerja secara simultan melayani kapitalisme patriarki. Banyak sosialis feminis – baik pria maupun wanita - juga percaya bahwa ketergantungan ekonomi dan emosional saling berkaitan. Takut kehilangan keamanan ekonomi, kekuasaan suami atas Istri adalah mutlak. Kapitalisme perlu dihilangkan dan prinsip-prinsip sosialis yang diadopsi untuk kedua rumah dan tempat kerja. Seksisme dan penindasan ekonomi yang saling memperkuat, sehingga agenda sosialis revolusioner diperlukan untuk mengubah keduanya. Feminisme sosialis terlihat pada perenpuan kelas pekerja dan mereka yang kehilangan kesempatan ekonomi pada masyarakat kapitalis. Feminisme ini membuat banyak kemajuan di Amerika Latin dan telah menjadi contoh sebagai titik simpul yang kuat bagi perempuan di Negara berkembang lainnya. kumpul kuat
| 17
Namun sungguh ironis bahwa Negara yang kuat pengaruh Marx yaitu, Uni Soviet , di mana perempuan terus membawa berat beban kerja rumah tangga yang tidak dibayar sementara juga berfungsi dalam angkatan kerja yang dibayar. Meskipun feminisme sosialis secara eksplisit terkait dengan teori Marxis, ada perbedaan kunci antara keduanya. Jika teori Marxis berfokus pada properti dan kondisi ekonomi untuk membangun sebuah ideologi, feminisme sosialis berfokus pada seksualitas dan gender. Pria dan wanita mempertahankan kepentingan dalam kelompok jenis kelamin mereka sendiri, sehingga tidak jelas apakah sosialisme yang berjuang untuk adalah sama bagi pria dan wanita(Hartmann, 1993). Feminisme pada dasarnya menghendaki adanya kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Menurut pandangan dari teori ini, ketimpangan dan dominasi terhadap perempuan disebabkan karena sistem kapitalis yang berujung pada pembagian kelas dan pembagian kerja yang terjadi di dalam keluarga. Teorema dasar dari pandangan ini meniru pandangan yang dikembangkan oleh Karl Marx yang melihat pendindasan kaum ploretar oleh kaum kapitalis. Marx berpendapat bahwa kaum proletar harus disadarkan agar tidak mendapatkan penindasan dari kaum borjuis. Penyadaran yang sama harus dilakukan kepada kaum perempuan agar mereka sadar bahwa dalam sistem sosial keluarga tradisional mereka adalah kaum yang tertindas. Dengan adanya penyadaran tersebut, kaum perempuan akan bangkit dan merubahan keadaan dari sistem sosial tersebut (Ratna Megawangi, 1999: 225).
| 18
Jika teori sosial konflik memandang bahwa adanya akumulasi modal berupa property pribadi sebagai kerangka utama, teori feminis Marxist sosialis memandang seksualitas dan gender sebagai titik tolak acuan teori. Teori ini mendapatkan kritik karena menolak pekerjaan domestik, padahal pekerjaan domestik juga berpengaruh terhadap pekerjaan publik. Makanan layak yang dihasilkan di sektor domestik, rumah yang baik untuk ditinggali, serta suasana kekeluargaan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan laki-laki pada sektor pekerjaan publik. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143). II.1.3.4 Teori Feminisme Radikal
Secara umum, teori ini hampir serupa dengan teori feminism marxissosialis. Namun teori ini banyak menganalisa sistem partiarkhi dan lembaga keluarga. Lembaga sosial terutama keluarga merupakan tempat berkembangnya dominasi laki-laki atas perempuan. Feminis tipe ini cenderung untuk mendorong perempuan agar mandiri dan menafikkan keberadaan laki-laki. Lebih lanjut, teori ini berpendapat bahwa menjadi lesbian merupakan jalan untuk terbebas dari dominasi laki-laki. Dan oleh karena itu, lesbianism adalah salah satu sarana dan cara yang perlu dijadikan oleh acuan bagi perempuan untuk mandiri. (Ratna Megawangi, 1999: 226).
| 19
Feminis radikal kontemporer percaya bahwa seksisme merupakan inti dari masyarakat patriarkal dan semua lembaga sosial mencerminkan seksisme tersebut. Ketika feminisme liberal fokus pada kerja dan perubahan hukum, feminis radikal fokus pada keluarga patriarkal sebagai situs utama dominasi dan penindasan (Shelton dan Agger , 1993). Mereka percaya bahwa karena semua lembaga sosial begitu terjalin,maka hampir tidak mungkin untuk menyerang seksisme dalam berbagai cara. Penindasan perempuan berasal dari dominasi laki-laki, jadi jika laki-laki adalah masalah , tidak kapitalisme , sosialisme atau , maupun
sistem yang didominasi
laki-laki lain akan memecahkan masalah . Oleh karena itu , perempuan harus menciptakan lembaga terpisah yang menjadi perempuan sebagai pusat – atau individu dan masyarakat yang harusnya bergantung pada perempuan daripada laki-laki. Feminis radikal akan setuju dengan feminisme budaya bahwa jalur alternatif bagi perempuan adalah menjadi berbeda dibandingkan laki-laki . Sebuah masyarakat akan muncul di mana kebajikan perempuan terdapat dalam pengasuhan, keinginan berbagi, dan intuisi sosial akan mendominasi berdasarkan kebajikan perempuan tersebut. Karena ketidakmungkinan menghapus seksisme dari semua lembaga, feminis radikal bekerja di tingkat lokal dan di lingkungan mereka untuk mengembangkan keuntungan dan tidak - untuk lembaga nirlaba yang dioperasikan sendiri oleh perempuan untuk melayani lainnya wanita, seperti usaha kecil,
| 20
fasilitas penitipan anak, pusat konseling, dan
rumah aman bagi perempuan
melarikan diri kekerasan dalam rumah tangga. Merefleksikan lebih beragam secara keseluruhan dari salah satu cabang lain dalam jajarannya, terutama yang berkaitan dengan ras dan orientasi seksual , lembaga-lembaga ini sangat bervariasi dalam struktur , filosofi , dan strategi untuk mencapai
tujuan
mereka.
Cetak
biru
untuk
masyarakat
perempuan
mengidentifikasi mereka membayangkan tertera pada kegiatan mereka yang jauh lebih individual di cabang feminis lainnya . Keyakinan bahwa supremasi laki-laki dan penindasan perempuan adalah karakteristik masyarakat adalah apa yang menyatukan elemen berbeda dari feminisme radikal . Namun, justru karena sifatnya yang radikal, teori ini mendapatkan kritik baik oleh kalangan ilmuwan sosial maupun pendapat dari kalangan feminism sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari sifat biologis perempuan itu sendiri, dengan menafikkan laki-laki maka akan merugikan kaum perempuan itu sendiri karena laki-laki akan bebas sementara perempuan harus menanggung kondisi biologis mereka sendiri. II.1.3.5 Feminisme Multicultural dan Global Perhatian terhadap isu-isu keragaman di tingkat makro jelas antara feminis yang mengatur sekitar isu-isu multikultural dan global. Cabang feminis ini berfokus pada titik persimpangan gender dengan ras, kelas , dan isu-isu yang berkaitan dengan penjajahan dan eksploitasi perempuan di negara berkembang . Feminisme global adalah pergerakan orang yang bekerja untuk perubahan melintasi batas-batas nasional. Dunia ini saling tergantung dan menjadi lebih luas.
| 21
Feminisme global berpendapat bahwa tidak ada wanita ketergantungan dan dominasi
yang bebas dari
sampai kondisi yang menindas perempuan di
seluruh dunia dieliminasi ( Bunch , 1993:249 ) . Feminisme multikultural berfokus pada unsur-unsur budaya tertentu dan kondisi sejarah yang berfungsi untuk mempertahankan penindasan perempuan . Di Amerika Latin, misalnya , rezim militer telah menyusun pola tertentu hukuman dan perbudakan seksual bagi perempuan yang menentang rezim mereka ( Bunster - Bunalto , 1993) . Feminisme global bekerja untuk memberdayakan perempuan Timur Asia Selatan dan Tengah yang dibatasi dari pendidikan , perawatan kesehatan , dan pekerjaan yang dibayar hanya karena mereka adalah perempuan. Dalam upaya untuk memberdayakan perempuan , mereka tidak mendukung gagasan relativisme budaya ketika melanggar hak asasi manusia perempuan, seperti membatasi akses seorang gadis untuk pendidikan atas dasar agama. Para wanita yang datang bersama-sama untuk Amerika Pertemuan Bangsa tentang Perempuan mewakili pandangan ini II.1.3.6 Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme merupakan wacana ketidakpuasan perempuan terhadap kondisi ekologi dunia yang semakin kritis dan bertolak belakang dari teori feminisme lainnya. Jika teori feminisme cenderung untuk melihat perempuan sebagai makhluk otonom dan dapat menentukan hidupnya sendiri serta lepas dari pengaruh lingkungan tempat mereka berada. Kondisi tersebut mengakibatkan
| 22
manusia lepas dari pengaruh alam. Pendekatan ekofeminisme percaya bahwa individu baik laki-laki maupun perempuan adalah makhluk yang tidak akan sepenuhnya lepas dari alam. Sebagai makhluk, manusia selalu bergantung dari alam (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Beberapa perempuan ditarik ke dalam feminisme oleh aktivis lingkungan. wanita-wanita ini adalah katalis ecofeminism, cabang baru feminisme. Ecofeminism menghubungkan degradasi dan penindasan terhadap perempuan dengan degradasi ekosistem. Berbasis pada citra spiritual bumi, ecofeminism menunjukkan bahwa dunia agama memiliki tanggung jawab etis untuk menantang sistem patriarki perusahaan globalisasi yang memperdalam pemiskinan bumi dan orang-orangnya (Lowdan Tremayne, 2001; Ruether, 2005). Planet ini dapat disembuhkan dan ekologi harmoni dipulihkan melalui aksi politik menekankan prinsip kesetaraan semua makhluk bumi(Bowerbank, 2001). Dengan sudut pandang holistik dan menekankan pada saling ketergantungan dalam segala bentuknya, ecofeminism sangat kompatibel dengan feminisme global. Teori ini melihat kenyatakan bahwa ketika terjadi kesetaraan gender yang ditunjukkan dengan masuknya perempuan dalam sektor publik, perempuan kehilangan jatidirinya sebagai perempuan dan justru menjadi laki-laki dimana sifat maskulinitasnya jauh berubah melampui sifat femininmnya. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan
| 23
pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183). II.1.4 Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) Menurut Marzuki (2013: 1-15), Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46). Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak lakilaki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi
| 24
sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41). Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati. Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat diperlukan agar dapat ditarik kesimpulan yang benar.
| 25
BAB III.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan adalah bersifat kualitatif, sehingga data yang dikumpul dan dianalisa bersifat deskriftif, naratif, argumentative yang melalui paparan kalimat-kalimat.Alasan memilih metode penelitian kualitatif ini karena data yang akan dikumpulkan berisi pandangan mendalam tentang pengetahuan gender yang dimiliki para mahasiswa FKIP Unlam di Banjarmaisn yang tidak dapat dicapai melalui ukuran penghitungan angkaangka. Penggunaan metode penelitian kulitatif ini mempengaruhi pilihan penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, Jenis dan sumber data serta teknik pengumpulan dan analisa data yang akan diteliti. III.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Pemilihan lokasi penelitian ini adalah: 1. Merupakan tempat yang memiliki mahasiswa dengan berbagai tingkat keilmuwan yang beragam dari sudut keilmuwan; 2. Oleh karena itu dimungkinkan timbul perspektif yang berbeda tentang gender. 3. Mahasiswa FKIP Unlam dididik untuk menjadi pengajar sehingga perspektif yang diyakini oleh mereka saat ini, dimungkinkan akan diajarkan pula kepada anak didik mereka di kemudian hari.
| 26
III.2 Penentuan Informan
Informan ditentukan dengan cara dipilih secara sengaja oleh peneliti (purposive sampling) dengan dua pertimbangan utama. Pertama, sebagai informan adalah mahasiswa FKIP Unlam. Kedua, diutamakan kepada mahasiswa pada program studi PKn, Sejarah, dan Sosiologi dan Antropologi, hal tersebut dikarenakan sebagian besar ilmu yang mereka ajarkan memiliki prespektif gender. III.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digali meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang digali meliputi pandangan Mahasiswa FKIP Unlam di Banjarmasin tentang Gender dan Pespektif mereka tentang gender. Sumber data primer dari hasil wawancara dengan sejumlah informan. Sementara data sekunder yang digali meliputi informasi tentang keadaan Mahasiwa FKIP Unlam, jumlah Mahasiswa, dll. III.4 Teknik Pengumpulan dan Analisa Data III.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yakni wawancara dan dokumentasi.
Wawancara
dilakukan
kepada
informan
dengan
cara
menyampaikan beberapa pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya, dan mengembangkan pertanyaan dari jawaban informan tersebut. Dokumentasi berupa data visual berkaitan dengan penelitian.
| 27
III.4.2 Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang digunakan oleh Miles dan Huberman. Aktivitas penelitian kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dan analisis datanya meliputi : III.4.2.1 Reduksi Data.
Data yang telah didapatkan baik melalui observasi maupun wawancara akan dirangkum untuk diperoleh hal-hal pokok serta isu-isu strategis apa yang mengemuka. Dalam reduksi data, tim peneliti berusaha menemukan suatu yang dianggap asing atau tidak umum untuk diperhatikan guna menemukan pola. III.4.2.2 Penyajian Data
Selanjutnya data akan dijasikan dan diorganisasikan secara sistematis sehingga semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif ini, penyajian data dilakukan melalui uraian singkat. III.4.2.3 Menarik Kesimpulan
Setelah data diorganisasikan, maka dilakukan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah jika ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada
| 28
tahap pengumpulan data berikutnya. Jika data yang didapatkan sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian serta sesuai dengan kerangka teori
yang
berguna sebagai point of departure, maka dapat dikatakan bahwa kesimpulan yang didapat merupakan kesimpulan yang kredibel.
| 29
BAB IV.
HASIL PENELITAN DAN ANALISA DATA
IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. IV.1.1 Keadaan Geografis Kota.
Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota di Propinsi Klaimantan Selatan, secara geografis terletak antara 3o16 46 - 3o22 54 LS dan antara 114o31 40 114o39 55 BT. Daerah ini berbatasan dengan Barito Kuala di utara dan barat, Kabupaten Banjar di timur dan selatan. Luas wilayah Kota Banjarmasin 72 Km2. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi lima Kecamatan dan 51 Kelurahan. Daerah ini juga mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan antara lain di sektor perkebunan dengan komoditi utamanya berupa kelapa sawit, karet, dan kelapa dalam, dari hasil perkebunan ini terdapat beberapa industri yang bahan bakunya berasal dari hasil perkebuanan ini salah satunya PT. Sinar Mas Group yang mengolah kelapa sawit menjadi minyak goreng. Kota Banjarmasin yang letaknya strategis yaitu di sekitar muara Sungai Barito, menyebabkan kampung kecil (Kampung Banjar) menjadi gerbang bagi kapal-kapal yang hendak berlayar ke daerah pedalaman di Kalimantan Selatan dan Kalimantan tengah. Dan cikal bakal Kota Banjarmasin ini berkembang menjadi bandar perdagangan dan ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari pelbagai negeri.
| 30
Tabel 1. Luas Banjarmasin Berdasarkan Kecamatan No
Kecamatan
Luas (Km)2
1.
Banjarmasin Selatan
20,18
2.
Banjarmasin Timur
11,54
3.
Banjarmain Barat
13,37
4.
Banjarmasin Tengah
11,66
5.
Banjarmasin Utara
15,25
Total
72,00
Sumber : BPS Kota Banjarmasin,2011 Orientasi Wilayah Wilayah Kota Banjarmasin memiliki luas wilayah 72 Km² dengan batas-batas berikut :
Batas Utara : Kabupaten Barito Utara
Batas Selatan : Kabupaten Banjar
Batas Timur : Kabupaten Banjar
Batas Barat : Kabupaten Barito Kuala
Kota Banjarmasin, dengan kondisi daerah yang berawa-rawa (perpaya-paya), tergenang air dan pengaruh dengan musim hujan dan musim kemarau dan memiliki Flora dan Fauna yang spesifik, juga cukup kaya akan sumber nutfahnya.Wilayah rawanya ditumbuhi berbagai jenis tanaman diantaranya jenis Rambai (soneritia Alba), Ranggas (Gluta Rengas), Bakau Panggang, Pulantan (Alstonia Sp) /api-api, Waru Tancang (Brueiera SP), Belangiran
| 31
(Shorea belangiran) Jambu (Eugenia Sp), nipah, Pandan, Bakung piai dan Jeruju. Adapun Fauna yang hidup seperti mamalia Bekantan dan Kera. Jenis melata ; Biawak.Jenis Aves ; Ketilang. Jenis Ikan ; Gabus, Papuyu, Patin. Bekantan adalah kera spesial yang hanya ditemukan di sini, penampilan fisik dari Bekantan sangat lucu. Dengan bulu yang berwarna coklat kemerahan dan hidung yang panjang. Binatang ini dipercaya
oleh
sebagian
warga
bisa
mendatangkan
kebaikan
dan
keberuntungan. Sesuai dengan kedudukannya maka pemerintahan Kota Banjarmasin berperan sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator kegiatan pembangunan disegala bidang ditingkat kota. Dalam pelaksanaan tugasnya berusaha menjembatani penyampaian aspirasi masyarakat. Termasuk menciptakan hubungan yang harmonis seluruh elemen dan sumber daya yang ada antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta agar menjadi satu kesatuan yang kuat dan bermartabat. Disinilah peran pemerintah untuk menumbuhkan rasa memiliki dan gotong-royong terhadap lingkungannya. Dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Banjarmasin, yang sangat membanggakan dan mendapat perhatian adalah peran aktif dan swadaya masyarakat yang tinggi. Masyarakat di lingkungan Kota Banjarmasin sangat menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga yang baik dan taat sehingga bukan hanya objek tapi juga sebagai subjek dalam pembangunan.
| 32
Hal ini dapat terlihat dari tingginya partisipasi dan swadaya masyarakat, mulia dari ketaatan dalam pembayaran PBB, pembangunan/rehab rumah ibadah, pembangunan fasilitas umum seperti posyandu, poskamling dan lain-lain. Meningkatnya kegiatan organisasi, perempuan dan dan kepemudaan. Disamping itru meningkatnya permintaan pelayanan menunjukkan kesadaran masyarakat akan taat dan patuh akan aturan yang berlaku, tingginya kesadaran masyarakat dalam menjaga keamanan dan bergotong-royong, serta menjaga kebersihan lingkungan. IV.1.2 Komposisi Masyarakat di Kota Banjarmasin
Berdasarkan hasil catatan komposisi penduduk di Kota Banjarmasin berjumlah 527.415 jiwa, dengan kepadatan rata-rata 7.325 jiwa/km2. Wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi berada di kecamatan Banjarmasin Barat, yaitu 9.418 jiwa/km2. Sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk terendah yaitu kecamatan Banjarmasin utara (5.205 jiwa/km2). Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel berikut :
| 33
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin No 1.
Kecamatan Banjarmasin Selatan
Jumlah Penduduk 126,313
Kepadatan 6.259
2.
Banjarmasin Timur
99,453
8.618
3.
Banjarmain Barat
125,916
9.418
4.
Banjarmasin Tengah
96,348
8.263
5.
Banjarmasin Utara
79.383
5.205
Total
527.415
Sumber : BPS Kota Banjarmasin
IV.1.3 Kondisi Perekonomian daerah
Kontribusi
yang
cukup
signifikan
membangun
perekonomian
Kota
Banjarmasin yaitu sektor industri pengolahan (30,37%), kemudian diikuti oleh sektor pengangkutan dan komunikasi (22,58%), perdagangan, hotel dan restoran (15,69%), sektor keuangan (10,67%), jasa-jasa (10,51%), sedangkan sektor lainnya (10,18%) meliputi sektor bangunan, listrik, dan gas, serta pertanian. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
| 34
Tabel 3. Distribusi Presentase Kegiatan Ekonomi No Bidang 1. Perdagangan,Hotel dan Restoran 2. Bangunan 3. Listrik, Gas dan Air Bersih 4. Pengangkutan dan Komunikasi 5. Keuangan 6. Jasa-jasa 7. Pertanian 8. Industri Pengolahan Sumber : BPS Kota Banjarmasin
Jumlah (%) 15,69 6,54 2,75 22,58 10,67 10,51 0,89 30,37
IV.1.4 Pendidikan Masyarakat
Berdasarkan tingkat pendidikan, di Kota Banjarmasin pada umumnya relatif merata dan tidak terlalu tinggi. Hampir rata-rata berpendidikan sekolah Dasar sampai Pendidikan menengah, namun ada sebagian masyarakat yang berpendidikan tinggi tetapi relative sangat kecil. Jumlah lembaga pendidikan yang terdapat di Kota Banjarmasin kota Banjarmasin yaitu tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) 236 unit, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 34 unit, Sekolah Menengah Atas (SMA) 13 unit, (sumber data Kota Banjarmasin). Jumlah guru yang ada di kota Banjarmasin berdasarkan jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak (TK) guru negeri 55 orang, guru swasta 1.164, tingkat sekolah dasar (SD) guru negeri 2.539 orang, guru swasta 539 orang, tingkat SMP guru negeri 1.241, guru swasta 417 orang, tingkat SMA guru
| 35
negeri 1000 orang, guru swasta 685 orang, tingkat SMK guru negeri 348 orang, dan guru swasta 333 orang. IV.2 Hasil dan Pembahasan IV.2.1 Pengarusutamaan Gender di Indonesia
Pengarusutaman gender merupakan tema yang selalu belum mendapat tempat yang layak terutama di Negara-negara berkembang (Pitts, 2011: 11-14). Selain itu di dalam Lembaga-lembaga Intenational pun, hal serupa juga terjadi. Indonesia dipandang sebagai Negara yang masih dalam tahap yang dini dalam menginisiasi munculnya pengarus utamaan Gender. Hal tersebut tidak lepas dari masih dicarinya strategi yang memunkinkan munculnya pekerjaan yang masih dicari formatnya, karena ideology Negara yang sebelumnya berbeda ketika era reformasi. Aparatur Negara masih dianggap belum menemukan format yang jelas tentang bagaimana pengarusutamaan gender akan dilakukan. Hal tersebut dapat terlihat dalam ketidaksanggupan aparatur dalam menunjukkan perwakilan gender yang memadai dan memiliki kapabilitas yang luas ketika mengambil keputusan, bagaimana mengejawantahkan kebijakan pengarusutamaan gender di Indonesia Trend tentang pengarusutamaan gender di Indonesia dimulai ketika pergantian rejim dari rejim orde baru ke rejim reformasi. Hal tersebut diinisasi dengan dibuatnya Undang-undang yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender. Namun disisi lain, terdapat kelompok-kelompok lain yang tidak setuju dengan pengarusutamaan gender juga memperkuat posisinya ditengah-tengah
| 36
masyarakat. Lebih lanjut, kronologis pengarusutamaan gender di Indonesia akan ditampilkan dalam lampiran. Agenda pengarus utamaan gender mengalami titik kulminasinya ketika adanya peristiwa 11 September 2001 yang dibarengi oleh invasi Amerika ke Afganistan dan Irak. Pengarusutamaan gender sebagai salah satu program Pemerintah dan berbagai Organisasi perempuan dikhawatirkan akan dianggap merupakan agenda dan kebijakan dari Negara-negara barat yang dipaksakan ke Negara-negara berkembang. Berbagai
upaya
telah
dilakukan
pemerintah
untuk
mendukung
pengarusutamaan gender di Indonesia. Salah satunya dengan membuat Undangundang dan Peraturan yang mendukung kearah pengarusutamaan gender, antara lain;
Peraturan Pemerintah nomor IV-1999 perihal Pedoman luas Kebijakan Negara 1999-2004 menetapkan kesetaraan gender sebagai salah satu amanat bagi pembangunan nasional.
Selanjutnya, Undang-undang nomor 22/2000 tentang Program Pembangunan Nasional menegaskan kesetaraan dan keadilan gender sebagai isu pembangunan dalam segala bidang.
Keputusan Presiden nomor 163/1999, kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diberi amanat untuk melaksanakan pengarusutamaan gender.
| 37
Inpres nomor 9/2000 yang berisi pedoman mengenai cara mengikutsertakan isu gender dalam program dan kebijakan pembangunan dalam semua lapisan pemerintahan Indonesia.
Pembangunan Nasional jangka menengah tahun 2004-2009 (Peraturan
Pemerintah
No.
7/2005)
didesain
untuk
mempromosikan kualitas kehidupan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender.
IV.2.2 Usaha Pengarusutamaan Gender di Bidang Pendidikan Pendidikan adalah salah satu aspek yang penting dalam usahanya mengembangkan sebuah kebijakan sosial yang memberikan kesempatan yang sama dalam hal hak dan kewajiban kepada berbagai individu (Piits, 2011: 8-14) Pengarusutamaan Gender dituangkan ke dalam Beijing Action Platform yang memberikan tujuan agar perempuan dapat mengidentifikasi dan mengetahui keunggulan apa saja yang ada dalam dirinya
sendiri, kemudian dengan
mengetahui keunggulan mereka, hal tersebut dapat disalurkan dan memberikan dampak positif kepada orang lain. Beberapa tujuan strategis yang ingin dicapai dalam platform tersebut antara lain; 1. Memberikan akses yang seimbang antara Laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan.
| 38
2. Diminimalisirnya buta huruf dan ketidakberaksaraan terutama di kalangan perempuan. 3. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk mengikuti pelatihan, vokasi, dan iptek serta berbagai pendidikan lanjutan. 4. Mengembangkan Pendidikan dan Pelatihan yang tidak diskriminatif. 5. Memberikan sumberdaya yang cukup. 6. Memperkenalkan long-live education bagi perempuan. Disamping memberikan penyadaran dan
promosi akan pentingnya
pendidikan bagi perempuan, platform ini juga menyadarkan kepada khalayak ramai akan adanya tindakan-tindakan yang dianggap memberikan kontribusi terhadap mundurnya tindakan pengarusutamaan gender. Tindakan tersebut antara lain; 1. Sikap dari beberapa adat dan kebudayaan yang menempatkan perempuan dibawah Laki-laki. Kondisi tersebut melanggengkan sikap dominasi Laki-laki terhadap perempuan. Sikap tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan pelecehan seksual yang terjadi terhadap perempuan 2. Adanya pernikahan dini yang berujung pada kehamilan dini. Kedua hal tersebut saling kait-mengkait satu sama lain, pernikahan dan kehamilan dini berkaitan dengan bagaimana sikap dan kondisi psikologis perempuan. Dengan adanya tindakan yang dilakukan
| 39
pada saat usia yang belum matang, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kondisi pernikahan dan janin yang dikandungnya. 3. Belum dipahaminya pengetahuan tentang Gender oleh Pendidik di berbagai jenjang pendidikan. 4. Terlalu beratnya beban bagi perempuan dalam pekerjaannya di sektor domestik. Lebih lanjut Platfrom tersebut juga menjelaskan bagaimana cara mengenali dan mengetahui bagaimana diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan dapat terjadi melalui beberapa hal berikut:
1. Terdapat Sumber belajar dan Pendidikan yang terdiri dari materi, buku, kurikulum, dan perangkat pembelajaran yang tidak menunjang pengarusutamaan gender namun justru menyimpan 2. Kurangnya fasilitas penunjang pendidikan, terutama untuk keperluan khusus. 3. Adanya gambar-gambar visual yang justru menunjukkan pandangan
tradisional
tentang
perempuan
sehingga
mengakibatkan menebalnya gambaran stereotip dominasi Lakilaki atas perempuan. Kondisi tersebut akan menebalkan dominasi tersebut bahkan diajarkan dalam buku-buku pelajaran untuk anak usia dini.
| 40
Hasil
penelitian
dari
tim
Universitas
Pendidikan
Indonesia
menemukan data bahwa pada tahun 2001 Index Pembangunan Gender di Indonesia menempati urutan 91 dari 144 negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan gender masih merupakan tema yang harus diperjuangkan di Indonesia. Di bidang pendidikan, walaupun UU menjamin tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan, namun dalam kenyataannya perempuan masih tertinggal dalam menikmati kesempatan untuk belajar. Sebagai cintih, tahun 1980 hanya 63% perempuan yang tidak buta aksara, sementara angka bagi Laki-laki telah mendekati 80%. Namun, pada saat ini kesenjangan yang ada masih saja terjadi. Fenomena ketimpangan Gender di bidang pendidikan nampaknya masih sangat kuat. Anak perempuan bukanlah merupakan prioritas untuk melanjutkan pendidikan. Sebagai contoh, munculnya anggapan bahwa perempuan tidak cocok untuk sekolah di jenjang kejuruan, jikalau boleh, hanya untuk jenjang kejuruan tertentu, seperti SMK Tata Boga, SMK Tata Busana, SMK Perhotelan. Sementara itu, sekolah Kejuruan berbasis teknik, mesin, dan otomotif rata-rata dipersepsikan sebagai sekolah khusus laki-laki. Di jenjang Perguruan Tinggi, hal tersebut juga terjadi. Dimana mayoritas
| 41
Perguruan Tinggi dengan Program Studi Teknik kebanyakan siswanya berasal dari jenis kelamin Laki-laki. Permasalahan gender di Indonesia terlihat dari beberapa aspek antara lain, aspek pemerataan pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan sumber daya manusia, kurikulum, bahan ajar, proses pembalajaran, dan lain-lain. Salah satu factor yang menyebabkan kesenjangan gender tersebut terlihat dari faktor sosial budaya berupa adat-istiadat setempat yang tidak sesuai dengan usaha pengarusutamaan gender. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan, antara lain: Pengarusutamaan Gender terutama dalam bidang pendidikan dapat ditemukan dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” dan Pasal 20 yang memperinci bahwa pemerintah menyediakan suatu sistem pendidikan nasional yang didukung oleh hukum. Oleh karena itu, maka Pemerintah Indonesia kemudian membentuk berbagai Program Pendidikan Wajib Nasional 1994 yang mewajibkan pendidikan selama 9 tahun atau sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama. Lebih lanjut, Pemerintah kemudian membentuk Undang-undang Nomor 20/2003 (UU) mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Semangat dari Undang-undang ini adalah bahwa setiap warga Negara berhak untuk memperoleh hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh pendidikan
| 42
yang berkualitas dan Pemerintah harus memberikan kesempatan ini kepada setiap warga Negara, terlepas dari asal, jenis kelamin, status ekonomi sosial dan agama, sehingga setiap orang dapat memiliki akses ke semua bentuk dan tingkat pendidikan yang sama (Widodo, Hariyati and Sugiarti dalam Pitts: 2011, 3). Berdasarkan
Instruksi
Presiden
Nomor
9/2000
tentang
Pengarusutamaan Gender, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengembangkan
kebijakan
untuk
mengatasi
adanya
kesenjangan
pengetahuan gender dalam pendidikan (Sardjunani: 2008, 3). Kementerian telah mulai memperbaiki kurikulum dan mencoba membuat bahan pengajaran dan pembelajaran yang lebih berwawasan gender, baik dari segi kualitas maupun relevansi di bidang Pendidikan. Mereka juga berusaha untuk meningkatkan kualitas para guru dan dosen dengan terus mengadakan pelatihan pendidikan yang menyangkut pemahaman isu-isu gender, pentingnya sikap berwawasan gender, dan penerapan sensitivitas gender dalam proses belajar mengajar.
IV.2.3 Perspektif Gender Menurut Mahasiswa Sub bab berikut akan menggali tentang bagaimana perspektif Mahasiswa tentang Pengarusutamaan Gender. Sub bab ini akan berusaha untuk menggali tentang bagaimana perspektif mahasiswa dan bagaimana perspektif tersebut berasal.
| 43
Salah seorang mahasiswa, Karlina menyatakan bahwa kesetaraan gender tersebut adalah . kesetaraan, kesamaan, keseimbangan, peran dalam masyarakat Gender merupakan penggolangan sifat berdasarkan peran yang dimilikinya jadi kesetaraan jender adalah pemerataan status gender tersebut dalam masyarakat berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa Karlina melihat kesetaraan gender sebagai sebuah posisi dimana seorang perempuan memiliki peran yang sama, setara, dan seimbang dalam perannya di masyarakat. Diharapkan dengan adanya posisi yang sama, setara, dan seimbang tersebut akan muncul kesetaraan akan status antara Laki-laki dan Perempuan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Norwegia yang menyatakan bahwa Yang saya ketahui tentang jender adalah semua perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki misalnya dalam pekerjaan Peran laki-laki dan peran perempuan memiliki kesetaraan dan hak yang sama Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa kesetaraan gender dipahami sebagai bentuk pelaksanaan hak dan kewajiban yang sama antara Laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaan. Norwegia berpendapat bahwa tidak ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan secara spesifik oleh jenis kelamin tertentu. Setiap pekerjaan bisa saja dilakukan oleh baik oleh laki-laki maupun perempuan, yang membedakan adalah konstruksi sosial sesorang yang terkadang dihubungkan dengan jenis kelamin. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Wasilah yang menyatakan bahwa proses kesetaraan gender itu dilihat dari pekerjaan yang dilakukan, dimana
| 44
Proses pekerjaan perempuan setara dengan laki-laki seperti dalam pekerjaan rumah tangga Konstruksi bahwa pekerjaan memegang peranan penting juga disampaikan oleh Muhammad Arsyad yang menyatakan bahwa Saya sedikit mengetahui tentang kesetaraan gender itu sendiri, yang mana merupakan apa yang bisa dan lazim dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan. Yang bisa dilakukan oleh laki-laki seperti pekerjaan, profesi, maupun kebiasaan yang dasarnya bisa dilakukan oleh kaum perempuan Pekerjaan, profesi, mupun kebiasaan yang bisa dilakukan oleh Laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan, kondisi tersebut senada dengan pendapat lainnya yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada batasan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya dengan pencapaian pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan. Sementara salah seorang Mahasiswa, Suriansyah berpendapat bahwa, kesetaraan gender adalah suatu bentuk yang beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki itu tidak berbeda, yang berbeda hanya fisik. Artinya, kegiatan yang dilakukan oleh perempuan juga bisa dilakukan oleh Laki-laki, begitu juga sebaliknya hanya yang membedakan bahwa perempuan dapat melahirkan sedangkan Laki-laki tidak. Pendapat dari Suriansyah mencerninkan pernyataan bahwa antara Laki-laki dan Perempuan hanya dibedakan oleh faktor biologis yaitu faktor fisik semata. Kondisi tersebut tidak dapat dipertukarkan, namun posisi seseorang di masyarakat dapat dilakukan sehingga tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan perempuan. Sementara pendapat dari Paramitha Satya Rini menyatakan bahwa Kesetaraan gender itu adalah keseimbangan dan kesamaan peran maupun posisi kedudukan seseorang antara suami dan istri
| 45
Sementara salah seorang mahasiswa lainnya, Nornina memandang bahwa Gender itu adalah Menurut sepengetahuan saya kesetaraan jender merupakan peran yang dimiliki oleh itu baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan bermasyarakat Saya kurang memahami tentang kesetaraan gender namun laki-laki maupun perempuan sudah memiliki peranya masing-masing Berdasarkan pernyataan diatas, Nornina menganggap bahwa kesetaraan Gender tersebut adalah sebuah peran yang dimilliki oleh Laki-laki maupun Perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nornina, setiap jenis kelamin memiliki kehidupan sendiri-sendiri yang tidak dapat lagi dipertentangkan. Hal tersebut mengingat bahwa setiap individu yang memiliki jenis kelamin berbeda memiliki kondisi biologis tertentu yang konsewensinya akan memiliki peran yang berbeda pula. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Abdus Salam yang menyatakan bahwa Kesetaraan gender adalah kedudukan Laki-laki dan perempuan, dimana kedudukan Laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, karena bagaimanapun perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena sudah ada pengaturan kedudukan yang sudah ditata Pendapat diatas menunjukkan bahwa antara Laki-laki dan perempuan merupakan sebuah kondisi yang tidak dapat disatukan. Antara Laki-laki dan perempuan telah memiliki sikap dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang masingmasing diantaranya memiliki konseweknsi dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut mengakibatkan bahwa Laki-laki harus didudukkan lebih tinggi dibandingkan dengan Perempuan. Hal tersebut dikarenakan pemimpin keluarga
| 46
adalah Laki-laki, sementara Perempuan hanya bisa menjadi anggota keluarga atau pendamping suami. IV.2.4 Pendapat Mahasiswa Tentang Kesetaraan dan Pengarusutamaan Gender. Sub bab ini akan membahas tentang bagaimana pendapat mahasiswa tentang konsep
kesetaraan
dan
pengarusutamaan
gender
dan
apa
saja
yang
melatarbelakangi pandangan tersebut. Sebagian mahasiswa setuju bahwa perlu adanya perjuangan untuk melakukan kesetaraan gender di masyarakat. Hal itu tidak lepas dari masih adanya hambatan akan kesetaraan gender yang masih mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat tentang kesetaraan dan pengarusutamaan gender disampaikan oleh Karlina yang menyampaikan bahwa Setuju, karena dengan adanya kesetaraan jender maka tidak akan terjadi ketidakadilan jender yang membuat masyarakat tidak aman menjalani jender tersebut Karlina berpendapat akan persetujuannya dalam menghadapi kesetaraan gender, karena dengan adanya kesetaraan gender dapat menjadi masyarakat yang memiliki keadilan dalam pelaksanaan gender. Dengan adanya kesetaraan gender, diharapkan muncul keadilan dalam memperlakukan hak dan kewajiban antara Laki-laki dan Perempuan. Oleh karena itu, maka perlu diwujudkan melalui upaya untuk membangkitkan kesadaran perempuan melalui pemberian keleluasaan bagi perempuan untuk berkembang di masyarakat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi Perempuan terutama yang berkeluarga untuk
| 47
mengembangkan diri dalam kehidupan sehari-hari salah satu contohnya dengan memberikan kesempatan Perempuan untuk bekerja. Selain itu, Perempuan juga harus diberi kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat yang sama dengan Laki-laki. Harapannya, tercipta harmoni antara Laki-laki dan Perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat Karlina dibawah ini; Tidak karena perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri diluar menjadi seorang istri, maka diperlukan kesetaraan jender sehingga perempuan tidak lagi dianggap lemah Harus, karena perempuan juga memiliki hak untuk berbicara di dalam ranah keluarga, walaupun keputusan tidak dapat seenaknya diputuskan oleh perempuan, tetapi dalam hal urusan keluarga perempuan berhak menyampaikan pendapat. .Karena rumah tangga tidak hanya dibangun oleh laki-laki saja tetapi perempuan juga sangat berperan penting Pendapat tersebut boleh jadi diakibatkan karena, Karlina melihat bahwa masih ada hambatan bagi Perempuan untuk mengembangkan diri dibandingkan Laki-laki. Salah satu contoh yang mengemuka adalah adanya anggapan dimana perempuan tidak perlu untuk disekolahkan tinggi karena toh nanti kembali ke rumah juga. Kondisi tersebut dapat dianggap merupakan halangan dari terciptanya kesetaraan gender. Hal tersebut dapat terungkap dari hasil wawancara berikut ini: Ada, contohnya masih ada perempuan yang tidak disekolahkan oleh orang tuanya karena dianggap perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Pendapat yang sama disampaikan oleh Wasilah yang menyatakan persetujuannya bagi perempuan untuk dapat bekerja dan memiliki kedudukan yang setara dengan perempuan. Hal tersebut tidak lepas dari bagaimana perempuan dapat menjadi tenaga kerja yang potensial untuk mencukupi nafkah di keluarga, terutama ketika terjadi krisis dalam keluarga. Dengan adanya kesetaraan
| 48
tersebut, maka perempuan tidak dapat hany dikategorikan sebagai pendamping Laki-laki namun juga sebagai mitra dalam keluarga. Selain itu, Wasilah berpendapat bahwa antara Laki-laki dan perempuan sudah sewajarnya diberikan porsi yang sama dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, karena itu walaupun Laki-laki masih dianggap pemimpin keluarga dan pengambil keputusan dalam keluarga, sudah sewajarnya mempertimbangkan masukan, dari masingmasing pihak dari anggota kelurga yang lain seperti Istri dan Keluarga. Hal tersebut tampak dari pendapat dibawah ini; Setuju, karena wanita dituntut bekerja. Bekerja tidak hanya ibu rumah tangga, tidak hanya laki-laki yang mencari nafkah tetapi perempuan juga mencari nafkah. Ya jelas karena perempuan sudah jadi istri berhak mendampingi suami dimanapun berada. Sebenarnya laki-laki berhak mengambil keputusan, apabila laki-laki tidak bisa memutuskan maka perempuan boleh memutuskan . laki-laki wajib mengambil dulu mengambil keputusan karena laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Tapi dalam rumah tangga pengambilan keputusan harus ada persetujuan ke dua belah pihak.
Pendapat dari Wasilah tersebut adalah hasil dari kesetaraan Gender yang telah dicapai melalui dunia pendidikan. Saat ini, baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan dapat dianggap merupakan salah satu alat untuk meningkatkan kepedulian akan kesetaraan gender. hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Wasilah seperti tertuang di bawah ini; Sudah menerapkan kesetaraan jender, dilihat kondisi pendidikan. Misalnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki pendidikan yang tinggi, sama-sama memiliki pekeran. Suami juga tidak memaksa memang dasar dari awal sebagian suami tidak mewajibkan istri untuk bekerja
| 49
tetapi terserah istri suami tidak memaksa. Yang paling penting suami mencari nafkah untuk anak istri. Pendapat yang serupa disampaika oleh Ulfa Nurwita yang menyatakan persetujuannya akan konsep kesetaraan gender. Dengan konsep tersebut, akan tercipta kehidupan yang harmonis antara Laki-laki dan Perempuan sehingga, dikemudian hari diharapkan kehidupan harmonis tersebut akan menumbuhkan Keluarga yang harmonis pula. Oleh karena itu, perlu didorong adanya sikap yang menerima perempuan sebagai mitra perempuan dibandingkan hanya sebagai pendamping Laki-laki. Dengan adanya sikap tersebut, maka urusan rumah tangga dapat dijadikan sebagai urusan bersama, dan pada gilirannya akan menimbulkan harmoni dalam keluarga. Selain itu, dengan dikembangkannya potensi perempuan,
akan
membuat
perempuan
semakin
mandiri
dan
dapat
mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Hal tersebut tampak dari pernyataan Ulfa Nurwita berikut ini Setuju, karena dengan konsep kesetaraan kedua belah pihak dan berkambang, tidak ada yang ditekan maupun yang tertekan. Perempuan adalah sebagai mitra suami dimana antara keduanya saling melengkapi dan saling membantu dalam urusan rumah tangga. Dengan kerjasama tersebut maka urusan-urusan rumah tangga dapat dijalankan dengna baik, jika hanya sebagai pendamping, maka istri tidak terlalu banyak ikut campur dalam urusan rumah tangga dan akibatnya terjadi ketidakseimbangan. Sebagai mitra suami perempuan dapat bekerja mengembangkan potensi dan keahlian yang dimilliki dan bersama suami dapat saling memberi masukan. Pendapat dari Ulfa Nurwita tersebut salah satunya disebabkan masih dijumpainya diskriminasi berbasis gender dimasyarakat. Salah satunya adalah adanya pembatasan bagi Perempuan untuk dapat menjadi pemimpin. Oleh karena itu, menurut narasumber, perlu dikembangkan upaya untuk mengembangkan
| 50
usaha sadar gender dan hal tersebut dapat dimulai dari rumah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Narasumber sebagai berikut; Ada, contohnya dimasyarakat masih ada pembatasan bagi perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Akan ada banyak suara-suara protes terhadap hal tersebut. Dalam lingkungan adat tertentu juga terdapat laranganlarangan dan aturan yang membatasi gerak perempuan. Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Akbar Fadhilah yang memandang bahwa terkadang dalam urusan sehari-hari contohnya dalam Organisasi Kemahasiswaan, masih terdapat diskriminasi gender yang terjadi. Seperti hasil wawancara berikut ini; Misalnya didalam organisasi, maka biasanya yang menjadi pemimpin (ketua) itu pada umumnya kebanyakan Laki-laki. Jarang sekali terdapat perempuan seperti juga di Lembaga Pemeintahan daerah baik propinsi maupun kota dan kabupaten. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh beberapa mahasiswa berikut yang menyatakan ketidaksetujuannya akan adanya kesetaraan gender. Hal tersebut dikarenakan, antara Laki-laki dan Perempuan masing-masing telah memiliki fungsi dan tugas masing-masing sehingga keduanya tidak dapat diperdebatkan hak dan kewajibannya masing-masing, selain itu adanya kesetaraan gender dikhawatirkan akan konflik dalam keluarga ketika adanya posisi yang setara antara Laki-laki dan Perempuan dalam keluarga. Hal tersebut tampak dari hasil wawancara dengan Nornina Tidak setuju, karena laki-laki derajatnya lebih tinggi dari perempuan dan tidak bisa disetarakan Perempuan hanya berperan sebagai pendamping suami, karena tugas laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan istrinya hanya mendampingi Perempuan juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga karena perempuan juga memiliki hak dalam urusan keluarga karena
| 51
perempuan juga memiliki hak dalam urusan keluarga tidak semua urusan keluarga diserahkan kepada laki-laki. Dalam pernyataannya Nornina tidak setuju, karena sebetulnya Laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi daripada perempuan, oleh karena itu maka Perempuan hanya menjadi pendamping saja bagi laki-laki di rumah tangga. Namun, menurut Narasumber, walaupun berbeda tetap saja Perempuan harus dilibatkan dalam urusan pengambilan keputusan sehari-hari, mengingat perempuan juga memiliki tugas yang tersendiri di rumah tangga. Pendapat yang sama disampaikan oleh Norwegia yang menyatakan akan ketidasetujuannyadalam kesetaraan gender karena dapat memicu angka perceraian dalam keluarga. Wujud dari kesetaraan gender adalah diperbolehkannya perempuan untuk bekerja diluar sektor domestik. Dikhawatirkan, ketika perempuan bekerja maka akan timbul ego yang tinggi antara perempuan maupun laki-laki. Ego tersebut akan menimbulkan rasa ingin menang sendiri yang pada gilirannya akan berakibat konflik yang terbuka dalam keluarga. Tentu saja akan mengakibatkan disharmoni dan berujung pada keretakan rumah tangga. Oleh karena itu menurut narasumber, kondisi yang ideal adalah Perempuan bukan menjadi mitra Laki-laki namun menjadi pendamping Laki-laki. Sebagaimana terlihat dalam hasil wawancara berikut ini. Tidak setuju, karena dengan adanya kesetaraan jender ini dapat memiliki tingkat perceraian mislanya dalam rumah tangga suami istri dua-duanya sama-sama bekerja sama-sama sibuk kemudian terjadi cekcok dalam rumah tangga sehingga perempuan dapat mengajukan cerai karena perempuan merasa dirinya bisa menghidupi keluarganya walau tanpa suami. Dari situ istri merasa setara dengan laki-laki.
| 52
Ya. Karena tugas seorang istri hanya mendampingi suami, mengurus rumah tangga walaupun bekerja tetapi bukan kewajiban seorang istri Pernyatan
yang
sama
disampaikan
oleh
Yulia
Andriani
yang
mengkhawatirkan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan akan mengakibatkan munculnya konflik terbuka dalam keluarga serta berujung pada ketidakharmonisan dalam keluarga , sebagaimana hasil wawancara berikut ini; Tidak setuju, karena jika dalam keluarga kedudukan laki-laki dan perempuan sama maka akan sering terjadi konflik didalam keluarga tersebut, serta sulit dalam kepemimpinan keluarga tersebut. Tapi dizaman sekarang sudah hampir setara antara laki-laki dan perempuan terutama dalam hal pekerjaan. Pernyataan yang sedikit berbeda disampaikan oleh Pharamita Satya Rini yang menyatakan ketidaksetujuannya dalam kesetaraan gender. Narasumber beranggapan bahwa dengan adanya kesetaraan gender, maka akan menafikan azasi manusia yang telah berbeda secara biologis. Hal tersebut terlihat dalam hasil wawancara berikut ini; Saya kurang setuju karena gender merupakan suatu perangkat sendiri yang berbeda. Hanya saja mungkin dari aspek peran bila dikatakan saat ini kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dimana perempuan bukan hanya sebagai istri tetapi juga menjadi wanita karier. Bahkan banyak diantara wanita-wanita menjadi super dalam menopang perekonomian. Akan tetapi secara kodrat antara Laki-laki dan Perempuan tetap berbeda. Pendapat yang sama disampaikan oleh Abdus Salam yang menyatakan bahwa antara Perempuan dan Laki-laki tidak dapat disetarakan. Karena perbedaan kedudukan baik secara Agama maupun konstruksi sosial. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini; Menurut saya konsep kesetaraan gender dalam rumah tangga tidak setuju, karena kalau kedudukan perempuan misalnya lebih tinggi kedudukannya dari pada laki-laki, perempuan dan laki-laki sangat berbeda kalau misalnya
| 53
si perempuan menjadi pemimpin maka rumah tangga tidak harmonis. Karena perempuan memiliki sikap dan sifat yang berbeda.
IV.2.5 Diskusi Teori. Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga pandangan dari mahasiswa tentang kesetaraan gender: Pertama, pandangan mahasiswa berpendapat bahwa kesetaraan gender itu adalah kesamaan posisi, derajat, kedudukan, hak, dan kewajiban antara Laki-laki dan Perempuan. Implikasi dari pandangan tersebut terletak dari pernyataan bahwa tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan perempuan dalam memperoleh dan mendapatkan posisi di masyarakat. Setiap individu berhak mendapatkan posisinya di masyarakat tanpa adanya pembatasan dari jenis kelamin lainnya. Oleh karena itu, perempuan dan Laki-laki berhak untuk memperjuangkan posisinya masingmasing. Pendapat tersebut sesuai dengan Teori Feminisme Liberal yang
juga
disebut "feminisme egaliter dan feminisme mainstream " dianggap sebagai cabang yang paling moderat . Hal ini didasarkan pada proposisi sederhana yang menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan oleh karenanya kesetaraan kesempatan tidak boleh ditolak karena gender. Karena kedua jenis kelamin samasama diberi manfaat dengan adanya Teori ini mendasarkan pandangannya pada tidak adanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Oleh karena itu, maka perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama baik didalam kehidupan publik maupun domestik, di
| 54
masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga. Namun, pandangan teori ini menolak pandangan tidak adanyana perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang signifikan antara lakilaki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak dari unsur biologis yang dimiliki antara perempuan dan laki-laki yang menimbulkan akibat dalam kehidupan di masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228). Kedua¸ pandangan mahasiswa yang percaya bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan oleh karena itu maka perbedaan akan konstruksi sosial antara keduanya harus dihapuskan. Namun, ada perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara laki-Laki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak pada fisik antara jenis kelamin tersebut, atau dalam kata lain terdapat perbedaan biologis antara keduanya. Oleh karena itu, maka walaupun dimungkinkan tidak ada perbedaan dalam konstruksi sosial, namun perbedaan dalam hal biologis akan berpengaruh dalam hal kehidupan dan peran peran juga dimasyarakat. Pendapat tersebut sama dengan teori Feminis liberal juga dapat disebut dengan "feminisme budaya"dengan menfokuskan pada pemberdayaan perempuan dengan menekankan kualitas positif yang terkait dengan peran perempuan seperti pengasuhan, peduli, kerjasama, dan keterhubungan kepada orang lain (Worell, 1996:360). Masalah berapa banyak wanita sama dan berapa banyak mereka berbeda disorot dalam penekanan ini, meskipun tidak merupakan cabang terpisah dari
| 55
feminisme keseluruhan, perdebatan sekitar "Tingkat perbedaan jenis kelamin atau kesamaan" telah memungkinkan feminisme budaya menjadi tergabung dalam semua cabang feminis pada tingkat tertentu. Feminis liberal, namun, lebih mungkin untuk berhubungan prinsip-prinsip ini daripada wanita di cabang lain. Ketiga, pandangan mahasiswa yang tidak menyetujui kesetaraan gender. pandangan tersebut berasal dari kenyataan bahwa Mahasiswa memandang tidak perlu ada kesetaraan gender, karena peran dan posisi masing-masing individu tidak lah sama. Oleh karena itu, mengingat peran dan posisi masing-masing telah ditentukan baik oleh faktor biologis maupun faktor sosial, maka tidak perlu ada kesetaraan gender. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat dari teori gender/feminism struktural fungsional dimana, dalam hal pembagian jenis kelamin berdasarkan gender, perspektif structural fungsional melihat aspek kesejarahan pada masyarakat pra-industri terutama munculnya pembagian kerja berbasis jenis kelamin yang terjadi pada masyarakat pra industri dimana peran laki-laki dan perempuan dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan. Laki-laki berperan dalam penyedia makanan melalui kegiatan berburu sementara perempuan menjadi peramu di dalam wilayah rumah. Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya pembagian kerja berbasis jenis kelamin dimana lakilaki berperan di wilayah publik sementara perempuan bekerja di dalam wilayah privat atau di dalam rumah dan keluarga. Jika ditelisik lebih lanjut, peran laki=laki memiliki dimensi yang lebih luas, karena peran di wilayah publik memiliki dimensi yang lebih luas, dibandingkan wilayah privat. Bagi perempuan, tugas di
| 56
wilayah privat atau di dalam rumah memiliki dimensi yang lebih sempit, dimana perempuan terbatas hanya berperan dari bidang reproduksi yaitu mengandung, memilihara anak, memelihara rumah, memelihara pekarangan, dan lain sebagainya. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dalam menciptakan masyarakat yang stabil dan mengidamkan equilibrium atau keseimabangan. Dengan pembagian kerja berbasis jenis kelamin, masyarakat akan mengalami keharmonisan sehingga meminimalisir konflik, karena pembagian kerja tersebut dianggap dapat meminimalisir konflik terutama dalam keluarga. Pendekatan struktural-fungsional dianggap masih relevan jika diterapkan dalam masyarakat modern.
Pembagian peran secara jenis kelamin dianggap
sebagai suatu yang biasa dan wajar adanya(Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik dan harmonis. Penyimpangan terjadi karena munculnya konflik antar fungsi dalam keluarga. Oleh karena itu, maka sistem sosial berupa pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin harus dijamin keutuhannya.
| 57
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data penelitian didapatkan beberapa temuan sebagai berikut: 1. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengembangkan kebijakan pengarusutamaan gender melalui berbagai tindakan dan kebijkan di bidang kependidikan, namun masih saja ditemuai berbagai
kendala terutama berhubungan dengan sikap dan nilai
budaya masyarakat yang masih resisten terhadap budaya gender. 2. Pandangan mahasiswa tentang gender terbagi menurut tiga kharakteristik teori; a. Pandangan mahasiswa berpendapat bahwa kesetaraan gender itu adalah kesamaan posisi, derajat, kedudukan, hak, dan kewajiban antara Laki-laki dan Perempuan. Implikasi dari pandangan tersebut terletak dari pernyataan bahwa tidak ada perbedaan
antara
Laki-laki
dan
perempuan
dalam
memperoleh dan mendapatkan posisi di masyarakat. Setiap individu berhak mendapatkan posisinya di masyarakat tanpa adanya pembatasan dari jenis kelamin lainnya. Oleh karena itu, perempuan dan Laki-laki berhak untuk memperjuangkan posisinya masing-masing.
| 58
b. Pandangan mahasiswa yang percaya bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan oleh karena itu maka perbedaan akan konstruksi sosial antara keduanya harus dihapuskan. Namun, ada perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara laki-Laki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak pada fisik antara jenis kelamin tersebut, atau dalam kata lain terdapat perbedaan biologis antara keduanya. Oleh karena itu, maka walaupun dimungkinkan tidak ada perbedaan dalam konstruksi sosial, namun perbedaan dalam hal biologis akan berpengaruh dalam hal kehidupan dan peran peran juga dimasyarakat. c. Pandangan mahasiswa yang tidak menyetujui kesetaraan gender. pandangan tersebut berasal dari kenyataan bahwa Mahasiswa memandang tidak perlu ada kesetaraan gender, karena peran dan posisi masing-masing individu tidak lah sama. Oleh karena itu, mengingat peran dan posisi masingmasing telah ditentukan baik oleh faktor biologis maupun faktor sosial, maka tidak perlu ada kesetaraan gender. V.2 Saran Saran yang diberikan sebagai berikut; Perlunya pembenahan dibidang pendidikan terutama pelatihan pemahaman gender kepada pendidik sehingga konsep kesetaraan gender dapat dipahami baik oleh peserta didik diberbagai tingkatan jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai tinggi.
| 59
DAFTAR PUSTAKA Lindsey LL and Christie S. (1997) Gender roles: A Sociological Perspective: Prentice Hall. Marzuki (2013) Kajian Awal Tentang Teori-teori Gender. UNY Press Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet. I. Mulia, Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka. Utama. Cet. Rosalie, Pitt (2011) PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER PADA SEKOLAH DASAR NEGRI DAN SEKOLAH DASAR AGAMA DI MALANG DAN BATU. AUSTRALIAN CONSORTIUM FOR INCOUNTRY INDONESIAN STUDIES (ACICIS) Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Cet. I
| 60
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 84 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN
| 61
INDEKS
F feminisme · 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 25, 55, 56
G gender · 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 14, 17, 18, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 59, 60
P pendapat · 1, 4, 10, 20, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 54, 57 Pendidikan · i, v, 1, 26, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 50 Pengarusutaman · 36 perspektif · 2, 5, 26, 44, 57
S Sikap · 39
M Mahasiswa · v, 2, 3, 26, 27, 44, 45, 47, 57, 60