Model Pembiayaan Pendidikan di Indonesia Armida Fakultas Adab IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Pembiayaan dalam dunia pendidikan bukanlah hal sederhana. Di negara maju, pembiayaan pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Dalam sejarah Indonesia, setidaknya ada dua model pembiayaan pendidikan. Model pertama adalah sentralisasi, yang dilaksanakan pada masa Orde Baru. Bersamaan dengan reformasi dengan semangat desentralisasi, persoalan pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab daerah. Dalam hal pembiayaan, ada tiga komponen yang bertanggung jawab: pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam perjalannya, ketiga komponen ini sering tidak satu kata. Walhasil, amanat undang-undang bahwa pendidikan memeroleh 20 persen anggaran acap tidak terlaksana. Kata Kunci: Pembiayaan pendidikan, kebijakan pembangunan, anggaran.
A. Pendahuluan Biaya adalah harga pokok yang merupakan gambaran pengorbanan dalam bentuk kuantitatif pada saat barang atau jasa diperlukan. Bentuk lain diartikan harga pokok merupakan nilai pengorbanan dalam bentuk uang yang diberikan kepada produksi yang pada gilirannya menghasilkan produksi. Menganalisis biaya pendidikan sebagai modal yang produktif, dan sebagai barang modal tentu meiliki Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
140 ARMIDA
fungsi untuk produksi selanjutnya. Untuk melihat manfaatnya, maka biaya pendidkan perlu dihitung apakah mencapai rate of return.1 Untuk mencapai rate of return pada suatu pemerintahan di daerah harus mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berpendidikan yang dapat mengusai berbagai ilmu pengetahuan dan tegnologi. Oleh karena itu pendidikan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah dan masyarakat. Sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia, pemerintah tidak bisa melepaskan diri dengan pihak swasta dan masyarakat. Hubungan pemerintah, masyarakat, dan swasta merupakan hubungan yang tidak terpisahkan dalam peranannya meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan. Berbeda dari sistem pendidikan di negara maju, negara berkembang memprioritaskan anggaran daerahnya untuk pembangunan pandidikan dan dilakukan dengan berbagai model pembiyaan yang menguntungkan bagi pembangunan pendidikan di negaranya.
B. Gambaran Pembiayaan Pendidikan di Indonesia Landasan dan Arah Kebijakan Pembiayaan Pendidikan Indonesia mempunyai sumber daya alam yang cukup potensial dan terdiri dari pulau-pulau yang terbentang luas, namun belum diimbangi sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Intitusi yang paling berperan dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) adalah intitusi pendidikan, yang harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masarakat. Pembangunan daerah yang mengacu pada pembangunan nasional, bahwa dengan diberlakukan UU Otonomi Daerah, memang telah diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi UU No. 22 Tahun 1999 tentang kewenangan Pemerintah Daerah,UU No.25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU tersebut juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 (Peraturan tentarng Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom). UU Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
MODEL PEMBIAYAAN PENDIDIKAN 141
Otda No 22/2000; PP No. 25; PP No. 80; Revisi UU Otda No. 35/ 2005 UU Sisdiknas No. 20/2003. Pasal 6 ayat 6 menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan pengendalian untuk layanan penedidikan. Pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.” Demikian juga Pasal 49 ayat 1 menyatakan lokasi dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan 20 persen APBD di luar gaji. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, dituntut kesungguhan dari para elite politik, para pelaku pendidikan agar mampu mengembangkan sitem pendidikan sehingga lembaga mampu dijadikan penggerak bagi kemajuan daerahnya. Kenyataannya sampai sekarang masih banyak daerah yang belum dapat melaksanakan amanat undang-undang tersebut, dan intitusi pendidikan berjalan apa adanya. Tujuan Pengembangan Sistem Pembiayaan Pemerintah daerah kab/kota di era otonomi selayaknya mengambil wewenang untuk mengurus atau memfokuskan pembangunan pada sektor pendidikan sebagaiman diamanatkan oleh undang-undang terdahaulu. Pembangunan sektor pendidikan dianggap sebagai faktor penentu bagi pertumbuhan ekonomi sosial bagi daerahnya, yaitu memfokuskan peningkatan sumber daya manusia yang akan berdampak bagi kemajuan daerahnya nanti. Fattah menyampaikan analisis Bank Dunia yang menunjukkan bahwa investasi pendidikan sebagai kegiatan inti pengembangan sumber daya manusia (SDM) terbukti telah memiliki sumbangan yang sangat signifikan terhadap tingkat keuntungan ekonomi.2 Berdasarkan temuan studi tersebut bahwa keuntungan ekonomi (rate of return) investasi pendidikan ternyata lebih tinggi dari investasi fisik dengan membandingkan ratarata 15,3 persen dan 9,1 persen. Ini berarti investasi pendidikan merupakan upaya yang menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
142 ARMIDA
Pusat perhatian mendasar dari sisi ekonomi yang dihadapi pemerintah ialah bagaimana mengalokasikan sumber-sumber yang terbatas untuk mencapai berbagai tujuan yang beranekaragam, bahkan mungkin bertentangan satu sama lain. Sumber-sumber daya tersebut terdiri atas tenaga kerja, modal, teknologi, dan sumbersumber alam lainnya. Sumber-sumber terbatas bagaimana pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran pada sektor pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMU/MA dan seterusnya. Pembangunan pendidikan telah terbukti mampu menanamkan berbagai dimensi pembangunan seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan agama. Arah Kebijakan Pembangunan di Indonesia Arah kebijakan pembangunan di Indonesia, salah satu wewenang pemerintah daerah di era otonomi ialah mengurus sektor pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu urusan pemerintah daerah yang amat penting menyangkut hajat hidup orang banyak, yang sangat menentukan masa depan anak bangsa, dan juga ikut menentukan maju-mundurnya daerah itu sendiri. Otonomi daerah harus bersifat kreatif, mandiri, dan mampu mengembangkan daerahnya dan untuk kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program pendidikan. Membangun sektor pendidikan bersifat jangka panjang (human investment) yang mengarah pada proses peningkatan kualitas SDM, dan harus dirancang dalam berbagai program pembangunan. Di dalam kebijakan pendidikan bukan menghitungkan hasil jangka pendeknya, tetapi hasil yang secara sistematis dan terwujud dalam jangka panjang yaitu, tatanan masyarakat yang didukung oleh mekanisme itu sendiri dan untuk mendorong kemandirian daerah. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dalam bagian ketiga dan empat mengamanatkan hak dan kewajihan masyarakat dan pemerintah daerah dalam bidang pendidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 8, 9, 10, dan 11.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
MODEL PEMBIAYAAN PENDIDIKAN 143
Pasal 6 ayat 6 menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan pengendalian untuk layanan pendidikan. Dan Pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.” Penentuan prioritas program dilakukan bagaimana daerah memperlihatkan prioritas pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Tentu proses perjuangan dalam memperhatikan pendidikan untuk rakyat tentang masalah anggaran, yaitu anggaran yang dapat meningkatkan pendidikan. Pembangunan pendidikan berbeda dengan pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pendidikan dibiayai dengan dana yang bersumber dari: (1) pemerintah pusat, (2) pemerintah daerah, (3) orang tua siswa, dan (4) masyarakat. Dana pendidikan yang berasal dari pemerintah pusat dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah “taksiran atau perkiraan jumlah pendapatan penerimaan negara yang diperlukan pemerintah untuk membiayai rencana belanja pengeluaran pemerintah untuk satu periode tertentu (lazimnya satu tahun) yang akan datang, yang ditetapkan dengan undang-undang.”3 Pasai 34 UU No. 20 Tahun 2003 ayat 1 menyatakan setiap warga negara yang berusia enam tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, dan ayat 3 menyatakan wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sementara Pasal 49 ayat 1 mengatakan lokasi dana pendidikan minimal 20 % dari APBN dan 20 % dari APBD selain gaji. Pemerintah berupaya meningkatkan mutu pendidikan agar di kemudian hari akan diperoleh SDM yang semakin menguasai keahlian dan keterampilan, dapat bekerja secara profesional, serta Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
144 ARMIDA
dapat menghasilkan karya-karya yang bermutu sehingga SDM tersebut dapat memberikan peranan dalam pembangunan bangsa ke depan. Sistem pendidikan di Indonesia memperlihatkan bahwa biaya sekolah masih dibebankan sebagian besar kepada pemerintah. Karena itu, jumlah anggaran pendidikan di tengah perkembangan ekonomi kita yang kurang baik sangatlah minim, terlebih lagi kurang seriusnya pemerintah dalam mencurahkan perhatiannva terhadap pendidikan yang belum memandangnya sebagai sektor ekonomi prioritas. Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi minimnya dana pendidikan kita adalah dengan membolehkan sekolah-sekolah negeri menggalang dana dari masyarakat, yang berasal dari orang tua ataupun berupa sumbangan dari masyarakat dan dunia usaha lainnya. Hal ini ditempuh karena anggaran dana pemerintah untuk operasional harian. Sedangkan anggaran untuk pengembangan sekolah dirasakan kurang memadai, untuk menutupi kebutuhan sekolah. Dan lebih bermasalah lagi pada negara Indonesia bahwa anggaran pendidikan telah ditetapkan 20% dari APBD tahun 2007, pada tahap aplikasi di lapangan diperkirakan hanya 11% dari anggaran APBN. Lebih dari itu kondisi kebijakan di daerah-daerah tidak merespons sepenuhnya kebijakan nasional tersebut, ditambah kondisi sebagian daerah lagi sumber dana alamnya tidak mendukung atau karena kemampuan keuangan APBD tidak mendukung terhadap pembangunan daerahnya sendiri dan juga diakibatkan faktor-faktor lainnya. Lain hal model pembiayaan pendidikan yang dilakukan di negara lain, di negara berkembang pada waktu pembangunan dan menguntungkan bagi sektor pendidikan.
C. Model-Model Pembiayaan Pendidikan Di negera lain, model-model pembiayaan pendidikan memiliki dua sisi yaitu sisi pengalokasian dan sisi penghasilan. Menurut John S Mrophet, pada dasarnya pembiayaan diklasifikasikan menjadi dua model, yaitu:4 Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
MODEL PEMBIAYAAN PENDIDIKAN 145
Flat Grant Model Flat grant model menggunakan sistem distribusi dana. Semua distrik atau kabupaten/kota menerima jumlah dana yang sama untuk setiap muridnya tidak memperlihatkan perbedaan kemampuan daerah. Daerah yang sumber dayanya kaya raya dan daerah yang sumber daya alamnya tidak mendukung (miskin), untuk membiayai program pendidikan tetap menerima dana dengan jumlah yang sama dan dihitung biaya per siswa dalam 1 (satu) tahun yang direflesikan sebagai kebutuhan yang bervariasi dalam unit biaya yang diberikan kepada sekolah. Equalization Model Equalization model ini bertitik tolak pada ability to pay (kemampuan membayar) masyarakat. Masyarakat yang miskin tentu perlu menerima bantuan dana lebih serius dibanding dengan masyarakat yang income-nya lebih tinggi. Karena itu sekolah miskin akan memperoleh kesempatan sejajar dengan sekolah lainnya, artinya setiap daerah akan menerima jumlah dana yang berbeda tiap tahun tergantung bagaimana membagi sesuai kepada kemampuan daerah. Daerah miskin akan menerima 5 per mil ditambah dengan 7 per mil dana dasar daerah. Menurut Thomas H. Jones, ada enam model pembiayaan pendidikan, yaitu:5 Flat Grant Flat grant merupakan tipe perencana bantuan pembiayaan pendidikan yang pertama dan tertua. Dalam rencana ini, setiap sekolah memiliki sejumlah dana yang sama, yang dihitung per siswa atau per unit pendanaan lainnya. Sebagaimana penjelasan terdahulu, akibat dari sistem bagi rata, maka sekolah yang jumlah siswanya banyak akan mengeruk uang lebih besar, sehingga atas dasar hal tersebut flat grant tidak dianggap sebagai equalizing. Flat grant bisa cocok di bawah kondisi-kondisi politik yang Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
146 ARMIDA
memiliki konsensus yang memutuskan bahwa semua distrik atau semua sekolah mendapat bantuan yang sama terlepas dari seberapa besar kekayaan mereka atau seberapa rendah tarif pajak yang mereka berlakukan. Power Equalizing Power equalizing dibebankan kepada distrik-distrik yang sangat kaya untuk membayarkan sebagian pajak sekolah yang mereka pungut kembali ke kantong negara bagian. Negara bisa menggunakan uang yang dari distrik-distrik kaya untuk manambah bantuan bagi distrikdistrik yang miskin. Setiap daerah akan menerima jumlah dana berbeda tergantung pada kemampuan penghasilan daerah (APBD). Daerah miskin akan menerima 5 per mil ditambah dengan 7 per mil dana dasar daerah. Dengan demikian akan ada keseimbangan dana antar daerah-daerah yang sumber daya alamnya kaya. Complete State Model Complete state model adalah satu-satunya rencana pembiayaan pendidikan yang dirancang untuk menghapus semua perbedaan lokal, baik dalam pembelanjaan maupun dalam pemerolehan pajak tidak akan ada pajak property sekolah lokal dengan berbagai taraf dan basis pajak lokal adalah unequal (tidak seimbang). Para pendukung juga mengatakan bahwa pengawasan keuangan lokal tidak efisien untuk masyarakat secara keseluruhan. Maka complete state model menempatkan lebih banyak tanggung jawab untuk akuntabilitas pendidikan secara merata di tingkat negara bagian. Foundation Plan Foundation plan, dirancang untuk menggali empat masalah besar dalam pendidikan dan keuangan, yaitu: kesetaraan pembelanjaan, penetapan-penetapan standar pajak dan pembelanjaan sekolah minimum, pemisahan (demarkasi) wewenang politik antara distrikMedia Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
MODEL PEMBIAYAAN PENDIDIKAN 147
distrik sekolah lokal dengan negara bagian, dan provisi untuk perbaikan berkesinambungan atas proses pendidikan. Para pendukungnya menganggap bahwa negara harus mematok batas-batas minimum dan pemerintah lokal harus diperbolehkan untuk melampaui batas-batas minimum hingga ke tingkatan yang memang ingin mereka lakukan. Cara kerja foundation plan adalah, pertama, negara harus menentukan biaya per siswa per tahun bagi program pendidikan yang memuaskan. Kedua, negara harus mematok tarif pajak minimum yang harus diberlakukan oleh semua distrik sekolah. Ketiga, negara memberikan hibah (grants) kepada tiap distrik sekolah dengan jumlah yang sama. Sedangkan besarnya bantuan adalah situasional terhadap kekayaan lokal tetapi tidak pada upaya pajak. Foundation plan membagi kue dengan porsi yang sama, namun distrik-distrik miskin lebih diutamakan. Guaranteed Percent Equalizing Model Guaranteed percent equalizing model ini dimaksudkan bahwa negara membayar persentase tertentu dari total biaya pendidikan yang diinginkan oleh tiap distrik sekolah lokal. Penyertaan persentase negara diberlakukan tinggi pada distrik-distrik sekolah melarat, dan persentase sekolah rendah pada distrik yang kaya. Para pendukung model ini menyatakan bahwa memaksimalkan pengawasan local, kesetaraan wajib pajak, dan efisiensi sekolah lokal. Model ini juga mendukung kesetaraan pembayar pajak. Model ini memastikan atau menjamin tiap distrik sekolah lokal dengan sejumlah dana tertentu persiswa untuk tiap per mil pajak yang dipungut secara lokal. Complete Local Support Model Dalam complete local support model, semua sumber dana dari pemerintah negara bagian atau dana dari provinsi diharapkan seluruh biaya pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah lokal atau daerah. Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
148 ARMIDA
Sistem ini akan memberikan dampak pada sistem pendidikan yang ada didaerah, karena bisa saja pendapatan daerahnya yang tinggi memberi jumlah dana yang tinggi pula, yang pada akhirnya berbuah pada kualitas hasil (output) yang berbeda. Model pembiayaan yang dijelaskan di atas memberi gambaran bahwa ada keunggulan dan kelemahan pada masing-masing model. Sistem pembiayaan di Indonesia agaknya sulit merujuk kepada salah satu model. Di Indonesia masing-masing elemen seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang tua murid, dan masyarakat secara ideal harus memberi biaya untuk pendidikan. Ada baiknya beberapa model di atas akan dapat dimodifikasi menjadi sebuah model yang ideal untuk disesuaikan dengan setting area pendidikan ataupun setting sosial budaya daerah.
D. Penutup Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengelola suatu pembiayaan pendidikan diperlukan suatu konsep dan sistem perencanaan yang matang, agar mampu merumuskan sistem pembiyaan nasional pendidikan Indonesia dalam kerangka otonomi daerah. Semua ini akan sangat dipengaruhi oleh pembiayaan dalam pendidikan, baik tingkat nasional dan daerah. Pembiyaan sebagai salah satu komponen sistem pendidikan memerlukan kajian pemikiran yang lebih mendalam dan penelitian yang lebih cermat, supaya untuk menggunakan dana-dana yang tersedia secara tepat. Model pembiayaan yang ideal di suatu daerah sangatlah tergantung pada berbagai kondisi. Boleh jadi dengan memilih salah satu ataupun dengan mengombinasikan dua atau lebih dari model yang ada. Untuk kondisi Indonesia, model pembiayaan tidak bisa terlepas dari subsidi pemerintah pusat, sekalipun telah ada wewenang sebagaimana diamanatkan UU Otonomi Daerah. Hal ini dikarenakan kemampuan sumber daya alam yang sangat berbeda atau penghasilan (PAD) yang sangat rendah, kesadaran ada pembangunan investasi Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
MODEL PEMBIAYAAN PENDIDIKAN 149
pendidikan masih tanda tanya, dan berbagai faktor lainnya. Catatan: 1. Idochi Anwar, Kepemimpinan dalam Proses Belajar-Mengajar, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 34. 2. N. Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 79. 3. D. Clark et al., Financing of Education in Indonesia, (Manila: Asian Development Bank, 1998), hlm. 11. 4. L.R. Johns & L.F. Morphet, The Economics and Financing of Education: A System Approach, (New Jersey: Prentice-Hall Englewood Cliffs, 1975), hlm. 253. 5. T.H. Jones, Introduction to School Finance: Technique and Social Policy, (New York: Macmillan Publishing Company Jones, 1985), hlm. 100-131.
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011
150 ARMIDA
DAFTAR PUSTAKA Anwar, Idochi, Kepemimpinan dalam Proses Belajar-Mengajar, (Bandung: Angkasa, 1990). Clark, D., et al., Financing of Education in Indonesia, (Manila: Asian Development Bank, 1998). Fattah, N. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000). Johns, L.R., & L.F. Morphet, The Economics and Financing of Education: A System Approach, (New Jersey: Prentice-Hall Englewood Cliffs, 1975). Jones, T.H., Introduction to School Finance: Technique and Social Policy, (New York: Macmillan Publishing Company Jones, 1985).
Media Akademika, Vol. 26, No. 1, Januari 2011