BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengembangan kebudayaan nasional yang beranekaragam dan kebudayaan tiap-tiap daerah memiliki kepribadian sendiri dinyatakan dalam UUD 1945, Bab XIII, pasal 32, yaitu : (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya; (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional (MPR RI, 2005:78). Berdasarkan pasal ini, pengembangkan nilai budaya guna memperkuat kepribadian bangsa dan mengembangkan kebudayaan nasional diarahkan menuju nilai-nilai luhur. Kebudayaan daerah perlu dikembangkan dan diperkenalkan kepada masyarakat luas untuk memperkokoh sikap kepribadian bangsa. Hal ini berarti menempatkan kebudayaan daerah sebagai sumber aspirasi dan bahan rumusan yang berharga untuk digali, dikaji, dan dilestarikan. Salah satu wujud kebudayaan daerah Sulawesi Selatan yang dibahas adalah mantra dalam upacara ritual sebelum menanam padi dan melaut yang dilakukan oleh masyarakat tradisional suku Makassar. Mantra adalah bentuk kesusastraan yang paling tua di Indonesia sebagai aspek kebudayaan lama yang masih bertahan sampai sekarang, bahkan masih digunakan oleh masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional suku Makassar menggunakan mantra sesuai dengan tujuannya. Mantra menanam padi atau mantra bercocok tanam disebut
1
2
mantra Tulembang, sedangkan mantra melaut atau menangkap ikan disebut mantra Tupakbiring. Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya, meliputi budaya lokal, suku, agama hingga adat istiadat. Masing-masing daerah memiliki kekhasan budaya, menyimpan kearifan lokal daerahnya masing-masing dan menurunkan warisan budaya mereka secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Budaya adalah keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat dan kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai anggota masyarakat (Mattulada, 1997:55). Hal ini yang menimbulkan pentingnya penelitian mengenai keanekaragaman budaya sebagai cara lain untuk mengkaji pola hubungan sosial suatu suku bangsa. Secara keseluruhan, berbagai hasil penelitian budaya tersebut diharapkan menjadi cara untuk merumuskan nilai-nilai bagi kesatuan bangsa Indonesia. Wujud kebudayaan yang eksistensinya hampir punah adalah mantra masyarakat suku Makassar. Mantra adalah berupa ucapan atau perkataan yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kekuatan tersebut bertujuan untuk memberikan kekuatan bagi manusia dalam menjalankan berbagai kegiatan. Wujudnya berupa puji-pujian terhadap sesuatu yang gaib atau yang dianggap harus dikeramatkan seperti dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatang ataupun Tuhan, biasanya diucapkan oleh dukun dan pawang. Pentingnya kajian mengenai mantra dalam kajian sastra tradisional didasarkan adanya hubungan antara mantra dan masyarakat. Artinya, mantra tercipta dari masyarakat. Mantra tidak mungkin ada jika tidak ada masyarakat
3
pewarisnya. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat tradisional yang berpegang teguh pada adat istiadatnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mantra. Kepercayaan adanya kekuatan gaib selalu mendorong mereka untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional suku Makassar, mantra digunakan dalam berbagai adat, yaitu ketika upacara ritual menanam padi (mantra Tulembang) dan upacara ritual musim melaut (mantra Tupakbiring). Mantra yang terdiri atas dua macam tersebut tidak terlepas dari komunitas dalam suatu masyarakat, yaitu komunitas yang tinggal di dataran dan komunitas yang tinggal di daerah pesisir pantai. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan atau disebut Tulembang atau Turaya sedangkan masyarakat yang bertempat tinggal di pantai disebut Tupakbiring (Maknun, 2006; 1-2). Hal inilah kemudian membentuk dua jenis mantra dalam suku Makassar. Mantra Tulembang dan Tupakbiring menggunakan kata yang terkadang merepresentasikan sesuatu yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Terkadang mantra menggunakan kata-kata arkais atau kuno. Mantra juga terkadang menggunakan permainan bunyi sehingga tidak jelas maknanya. Namun, apabila diinterprestasikan secara mendetail, kata-kata yang digunakan sebenarnya memiliki kaitan dengan kehidupan masyarakat suku Makassar. Interprestasi tersebut memiliki keunikan karena kekayaan budaya suku Makassar. Secara struktur sosial, penggunaan mantra tidak sembarang menempatkan pinati/pawang atau tokoh masyarakat tertentu sebagai bagian masyarakat yang dihormati. Penggunaan mantra biasanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Orang-orang
4
yang berhak mewarisi dan menggunakan mantra dikategorikan sebagai orang tua (pinati/pawang/orang tertentu) saja yang dianggap mampu membacakan mantra tersebut. Pengucapannya pun harus disertai oleh upacara ritual tertentu, misalnya : asap dupa, duduk bersila, gerak tangan, ekspresi wajah, dan mulut berkomatkamit. Mantra Tulembang dan Tupakbiring perlu dilestarikan dan diadakan penggalian nilai-nilai luhur budaya daerah untuk memperkaya budaya Nusantara. Mantra Tulembang dan Tupakbiring mengandung unsur bahasa, sastra, budaya, dan kehidupan suku Makassar yang bersifat religius dan filosopis. Oleh karena itu, inventarisasi dan dokumentasi mantra dilakukan dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan khususnya dan di Indonesia pada umumnya penting untuk mendapat perhatian. Mantra dalam kesusastraan Indonesia termasuk kategori puisi karena terikat oleh irama. Irama dalam bahasa adalah pergantian turun-naik, panjangpendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa yang teratur dan irama merupakan ciri khas yang mutlak bentuk puisi (Pradopo, 1995:40). Menurut pengamatan mantra yang menggunakan bahasa Indonesia maupun mantra yang menggunakan bahasa daerah, jumlah barisnya tidak menentu. Ada yang terdiri atas lima baris, delapan baris, sepuluh baris, atau lebih dari itu. Irama merupakan ciri mutlak bentuk puisi. Mantra merupakan puisi yang berisi perkataan atau kalimat yang memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib ditimbulkan oleh mantra berasal dari permainan bunyi yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan, walaupun kata-kata itu tidak diketahui artinya (Ratnawaty, 2002:21). Ikatan irama dan ikatan pada mantra
5
itulah menjadi alasan atau sebagai dasar pertanggungjawaban untuk memasukkan mantra ke dalam bentuk puisi dan sekaligus dapat menjadi dasar bahwa puisi lebih tua daripada prosa. Mantra adalah salah satu bentuk kesusastraan yang memiliki bahasa dan irama yang teratur, puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius; berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang mempunyai melodi (Pradopo, 1995:45). Apabila mantra dilihat dari segi struktur atau bentuknya dan bahasanya terdiri atas kata-kata yang indah, diksi mengandung makna yang dalam sehingga mampu untuk mencapai tujuan, rima dan ritma yang begitu padu sehingga menimbulkan suasana religius. Ini merupakan ciri estetis yang dimiliki oleh mantra. Mantra Tulembang dan Tupakbiring dapat dijadikan sebagai teks sastra, karena menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki sistem tanda yang mempunyai makna. Ratna (2006:97) mengatakan bahwa dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien. Dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, bahkan dengan makhluk di luar dirinya. Oleh karena itu, mantra Tulembang dan Tupakbiring sebagai salah satu jenis puisi lama menarik untuk dikaji dari aspek semiotika. Semiotika merupakan hubungan yang muncul dari tiga unsur dalam tanda, yaitu : representamen, objek, dan interpretan. Representamen adalah unsur tanda yang mewakili sesuatu. Objek adalah sesuatu yang diwakili dan interpretan adalah tanda yang tertera di dalam pikiran si penerima setelah si penerima melihat representamen (Zaimar, 2008:4). Mantra merupakan karya sastra, yaitu sastra
6
lisan, dan di dalam mantra itu banyak terdapat tanda-tanda, baik yang berupa ikon, indeks, maupun simbol yang dapat dikaji melalui semiotika. Kajian semiotika digunakan sebagai upaya untuk menilik keterkaitan mantra dengan masyarakat suku Makassar. Mereka sering mengadakan ritual yang dilakukan setiap tahun, seperti pengelolaan sawah dan tolak bala. Ritual dimulai dari tahap membajak sawah dan berakhir masa panen, misalnya saja dalam mantra Tupakbiring sebagai berikut; Ikau Jekne assalaknu Labbi jekne matanna jako Antu Adam akjari jekne…………… Terjemahan: Engkau air asalmu Lebih air matanya saja Nabi Adam menjadi air…………… Dalam interprestasi semiotika dapat diasumsikan bahwa kehidupan masyarakat nelayan, air menjadi sumber penghidupan. Masyarakat nelayan suku Makassar menganggap air merupakan asal kehidupan bukan hanya bagian dari penyusun tubuh. Interprestasi terhadap syair mantra tersebut juga menunjukkan bahwa Islam menjadi agama yang mempengaruhi kehidupan suku Makassar. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan nama Nabi Adam sebagai orang suci. Demikian pula dalam petikan mantra lainnya. Assalama alaikum Oh maraya Iccida Daeng Ngalle Apane passareku Terjemahan : Assalama alaikum Oh batu yang terlihat di dasar laut Inilah pemberianku
7
Dalam mantra di atas disebutkan nama maraya Iccida Daeng Ngalle sebagai salah satu leluhur yang dijunjung tinggi keberadaannya. Sebelum mantra dibaca diberi sesajen yang terdiri atas daun sirih yang berisi kapur sirih dan buah pinang. Mantra juga diucapkan apabila telah sampai di daerah yang terlihat batu di dasar laut. Interprestasi terhadap syair mantra ini menunjukkan bahwa pada umumnya nelayan tidak hanya menjunjung tinggi agama Islam tetapi juga menghormati para leluhur sebagai sumber kekuatan perlindungan mereka. Mantra Tulembang dan Tupakbiring dipilih sebagai objek penelitian karena masih digunakan oleh para petani di daerah Bukrung-bukrung, Kecamatan Pattalasang, Kabupaten Gowa. Mantra Tupakbiring juga masih digunakan di daerah Pallaklakang, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Peneliti menetapkan empat belas buah mantra di kedua desa tersebut yang didasarkan pada fungsi dan intensitas penggunaan mantra dalam kehidupan masyarakat suku Makassar. Selain itu, alasan memilih mantra Tulembang dan Tupakbiring karena terdapat keunikan dalam kehidupan suku Makassar yang mayoritas beragama Islam, tetapi mereka masih menggunakan mantra. Hal ini menunjukkan bahwa mantra tidak hanya memiliki keunikan dan kekayaan penggunaan kata-kata arkais/kuno yang jarang digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, namun juga makna kata-kata dalam mantra merepresentasikan hal-hal yang ada dalam kehidupan masyarakat suku Makassar. Selain itu, setiap mantra Tulembang dan Tupakbiring memuat hal-hal yang natural dan supernatural dan aspek adat dan budaya. Penelitian ini menunjukkan pentingnya mendokumentasikan kekayaan
8
budaya melalui mantra yang digunakan suku Makassar. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian terhadap mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar.
1.2 Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah kandungan dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring yang merepresentasikan kehidupan suku Makassar. Representasi isi mantra Tulembang dan Tupakbiring tersebut spesifik sesuai dengan kondisi sosial masyarakat suku Makassar. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka dirumuskan empat masalah penelitian, sebagai berikut. 1) Bagaimanakah struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring? 2) Bagaimanakah fungsi dan variasi teks mantra Tulembang dan Tupakbiring? 3) Bagaimanakah makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring? 4) Bagaimanakah strategi pewarisan teks mantra Tulembang dan Tupakbiring?
1.3 Tujuan Penelitian Secara
umum
penelitian
ini
bertujuan
untuk
menjelaskan
dan
menginterpretasikan mantra Tulembang dan Tupakbiring. Tujuan penelitian ini dibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini diharapkan memberikan gambaran mengenai
mantra Tulembang dan Tupakbiring dan menambah pengetahuan, yaitu ilmu sastra dari sudut pengkajian sastra tradisional terutama yang menyangkut mantra Tulembang dan Tupakbiring. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
9
mantra Tulembang dan Tupakbiring dengan sasaran kajiannya mencakup struktur teks, fungsi teks, makna teks, dan strategi pewarisan.
1.3.2
Tujuan Khusus Sehubungan dengan sasaran kajian ini, maka secara khusus penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. 2) Untuk mengetahui fungsi dan variasi teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. 3) Untuk mengetahui makna teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. 4) Untuk
mengetahui
strategi
pewarisan
teks
mantra
Tulembang
dan
Tupakbiring.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menjembatani mantra Tulembang dan Tupakbiring dengan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pemerhati kebudayaan Indonesia dalam sastra lisan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menunjang pembangunan di daerah Bukrung-bukrung, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa dan daerah Pallaklakang, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar.
1.4.1
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat akademik dalam
pengembangan teori sastra lisan, terutama untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan selanjutnya baik terhadap mantra Tulembang dan Tupakbiring maupun bentuk-bentuk sastra lisan lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat
10
membuka ruang apresiasi, penghayatan, dan pemahaman terhadap salah satu genre suku Makassar yang kelak memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia, khususnya karya sastra lisan yang masih berkembang di masyarakat.
1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis sebagai
motivasi bagi peneliti sastra lisan suku Makassar dan jenis sastra lisan lainnya. Selain itu, diharapkan menjadi bahan dokumentasi, rujukan bagi peneliti dan sebagai usaha melestarikan serta mengembangkan sastra lisan yang telah ada untuk pemerintah Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar. Hasil penelitian ini, juga diharapkan memberikan gambaran bagi masyarakat mengenai kebudayaan atau sastra lisan suku Makassar.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Sesuai dengan judul mantra Tulembang dan Tupakbiring, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar. Penelitian ini membahas tujuh mantra Tulembang dan tujuh mantra Tupakbiring yang telah diperoleh pada penelitian awal. Kemudian, teks mantra Tulembang dan Tupakbiring sebagai materi kajian dianalisis menurut bentuk, fungsi, makna, dan sistem pewarisannya. Secara umum, petani tradisional di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa dalam beraktivitas bertani melakukan upacara ritual dengan menyiapkan umba-umba/kelepon, leko rappo/daun sirih,
pakleo/kapur sirih, rappo/buah
pinang. Kelepon dipercaya oleh para petani akan membawa keberuntungan
11
dengan melihat latar pembuatannya yang mucul dipermukaan air apabila telah masak. Daun sirih, kapur sirih, dan buah pinang dipercaya sebagai penolak bala oleh masyarakat setempat. Selanjutnya, pembacaan mantra Tulembang dilakukan secara berurutan yang, meliputi : appasuki pakjeko/membajak, aklessoro ase/ menurunkan bibit, akbine/menabur/memilah/mencabut benih, pammula annanang ase/permulaan menanam padi, annanang ase/menanam padi,
rappo ase/ bulir
padi, appa sulapa nikutaknang/ bertanya ke empat arah. Nelayan tradisional di Kecamatan Galesong Utara dalam beraktivitas juga melakukan upacara ritual sebelum berangkat melaut. Ada persiapan dimulai dari rumah sampai ke perahu. Para nelayan menyiapkan bahan-bahan sebagai persyaratan upacara ritual, seperti dua ekor ayam kampung jantan dan betina yang disembelih di pusat perahu yang masih berada di darat. Darahnya ditumpahkan di pusat perahu yang tutupnya telah dibuka sehingga darahnya turun membasahi pasir di pantai. Anak buah perahu lalu membawa dua ekor ayam tersebut mengelilingi perahu sambil mengeluskan ke perahu dan diikuti oleh tampong tawarak.Tampong tawarak yang terdiri atas satu butir telur ayam kampung, satu biji kelapa setengah tua, satu kilo gula merah, satu tempat dupa berisi sabuk kelapa dan kulit kelapa, kemenyan, satu genggam beras. Selain itu, ada pula pisang tiga sisir, yaitu pisang raja yang diletakkan di dalam kamar perahu dan satu sisir pisang diletakkan di pusat perahu. Kemudian, disiapkan tai bani/lilin merah menerangi tampong tawarak, dan biseang/perahu. Upacara ritual dimulai dari rumah punggawa sawi /juragan nelayan. Juragan nelayan duduk menghadap ke Timur, arah munculnya matahari atau rezeki lalu menghadap ke perahu yang akan
12
dipakai berlayar. Selanjutnya, nelayan berdiri dan memeriksa nafas yang ke luar dari hidung apabila nafas besar ke luar dari lubang hidung sebelah kanan tanda baik untuk memulai dengan memberi salam kekanan dengan mengucapkan Oh Yamming lalu memberi salam ke kiri dengan mengucapkan Waladdalling. Setelah itu, mulai membaca mantra. Petani dan nelayan harus mengikuti semua proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Pelanggaran ketentuan ini akan merusak tatanan kehidupan suku Makassar.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Pada umumnya, penelitian sering berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian tersebut terdapat kesamaan objek dan memungkinkan bersentuhan dengan penelitian sebelumnya. Dalam kajian pustaka, peneliti memaparkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian mantra Tulembang dan Tupakbiring. Penelitian terhadap mantra telah dilakukan dalam beberapa penelitian yang digunakan sebagai rujukan dan pustaka acuan dalam penelitian ini sebagai berikut. Uniawati (2007) meneliti “Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre”. Penelitian Uniawati ini adalah penelitian lanjutan dari “Fungsi Mantra Melaut Suku Bajo” (2006). Penelitian Uniwati dilandasi oleh pemikiran bahwa mantra melaut suku Bajo merupakan salah satu wujud dari kepercayaan dan keyakinan yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat suku Bajo untuk memperoleh keselamatan dan kesuksesan. Penelitian Uniawati bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan, yaitu: (1) mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Bajo melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik; (2) menentukan matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut; dan (3) menemukan hubungan intertekstual mantra melaut dengan teks lain. Untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut,
13
14
digunakan pendekatan semiotika dengan memanfaatkan teori semiotika Riffaterre. Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam sepuluh mantra melaut suku Bajo menggambarkan pula kepercayaan masyarakat suku Bajo terhadap Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, keberadaan nabi-nabi, dan adanya makhluk dan kekuatan gaib. Penelitian Uniwati menunjukkan adanya hubungan representamen, objek, dan interpretan. Mantra sebagai budaya suatu masyarakat dapat menjadi cerminan yang bagus mengenai kehidupan sosial masyarakat, tempat mantra tersebut digunakan. Penelitian Uniwati memiliki kesamaan dengan penelitian penulis yakni meneliti materi mantra melaut. Uniwati meneliti mantra suku Bajo di Sulawesi Tenggara, sedangkan peneliti meneliti mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar, di Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam penelitian ini dikaji struktur teks, makna, dan sistem pewarisan sehingga berbeda Namun penelitian Uniwati dapat digunakan sebagai referensi. Widodo (2007) meneliti “Mantra Dalam Kehidupan Masyarakat Modern: Sebuah Kajian Bentuk, Isi, dan Fungsi”. Penelitian ini merupakan penelitian awal yang secara teoretis bermanfaat untuk menyediakan laporan penelitian yang dapat digunakan sebagai ancangan awal dan data bagi penelitian sejenis secara lebih mendalam. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) inventarisasi berbagai bentuk mantra berdasarkan fungsi dan kandungan kekuatannya dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, (2) mendeskripsikan unsur-unsur pembangun struktur mantra dan perbedaan
15
struktur mantra dari waktu ke waktu; dan (3) mengungkap fungsi mantra dalam kehidupan masyarakat modern. Penelitian Widodo menyimpulkan beberapa hal, yaitu : Pertama, secara garis besar wujud mantra dikenal dengan beberapa sebutan lain, yaitu: Japa, Japamantra, Kemad, Peled, Aji-Aji, Rajah, Donga, dan Sidikara. Namun demikian, tampaknya masyarakat Surakarta saat ini yang sudah tidak lagi memahami perbedaan definisi dari berbagai macam sebutan mantra tersebut dengan baik. Mereka hanya mengenal dan membedakan mantra, japa mantra, peled, aji-aji, rajah, dan donga. Di wilayah Surakarta terdapat empat belas jenis mantra, yaitu: (1) mantra anak-anak; (2) mantra pengasihan; (3) mantra dagang atau mantra penglarisan; (4) mantra pengobatan; (5) mantra panyuwunan; (6) mantra panulakan; (7) mantra pertanian; (8) mantra kanuragan; (9) mantra trawangan; (10) mantra pangracutan; (11) mantra pedhanyangan; (12) mantra kasuksman; (13) mantra sirep; dan (14) mantra panglarutan. Mantra kanuragan nomor 8 sampai dengan mantra panglarutan nomor 14 sudah jarang digunakan. Kedua, berdasarkan pengelompokan keajengan tema atau isi, struktur mantra terdiri atas tiga bagian besar. Tiap-tiap bagian terdiri atas unsur-unsur. Tiap unsur disusun atas komponen-komponen unsur yang kait-mengait dan sinergi sehingga membentuk kesatuan unsur yang membangun sebuah struktur. Unsur head memiliki tiga komponen, yaitu: komponen salam, niat, dan nama mantra. Unsur body memiliki empat komponen, yaitu komponen perintah (visualization), nama sasaran (target), harapan (hope), dan diksi, bunyi, dan majas. Adapun unsur foot memiliki satu komponen, yaitu komponen penutup.
16
Terkait dengan fungsi mantra, perlu dipertimbangkan geososial dan budaya masyarakat di Kota Surakarta. Mantra pengasihan digunakan untuk mengatasi perkara asmara, pekerjaan, dagang, jasa, dan rumah tangga. Mantra pelarisan spesifik untuk perdagangan. Mantra jaya kawijayan digunakan untuk perkara pekerjaan, dan kekuatan fisik. Mantra keselamatan seringkali digunakan untuk perkara dagang, jasa, dan rumah tangga. Penggolongan fungsi mantra dilakukan berdasarkan kategori dan tujuan penggunaan di lapangan. Dengan demikian, profil pengguna mantra pun menjadi bagian penting dalam penelitian ini. Ketiga, persepsi masyarakat Surakarta terhadap keberadaan mantra dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) persepsi negatif; (2) persepsi prapositif (netral apresiatif); dan (3) persepsi negatif. Dari penelitian Widodo dapat dikembangkan penelitian selanjutnya. Dasar kajian peneliti karena mantra memiliki fungsi dan bentuk teks yang memiliki perbedaan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan pada fungsi dan bentuk teks adalah kondisi sosial masyarakat, tempat mantra tersebut terbentuk dan digunakan. Penelitian Widodo memiliki kemiripan dengan penelitian penulis yang masing-masing meneliti mantra dan sasaran kajian bentuk, isi, dan fungsi. Terlepas dari kemiripan itu, ada perbedaan mendasar antara kedua penelitian ini, yaitu Widodo meneliti mantra yang digunakan dalam masyarakat modern, sedangkan penelitian ini meneliti mantra dalam masyarakat tradisional suku Makassar. Selain itu, penelitian Widodo berlokasi di Surakarta, Jawa Tengah,
17
sedangkan penelitian ini berlokasi di Pattallassang, Kabupaten Gowa dan Pallaklakang, Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Rita Nilawijaya (2011) meneliti “Struktur Dan Isi Mantra Lisan Masyarakat Desa Pandan Dulang Kecamatan Semidang Aji Kabupaten Ogan Komering Ulu: Sebuah Analisis Semiotik”. Tujuan penelitian Rita Nilawijaya untuk mendeskripsikan struktur dan isi mantra lisan masyarakat Desa Pandan Dulang Kecamatan Semidang Aji Kabupaten Ogan Komering Ulu. Mantra yang terdapat pada mayarakat Desa Pandan Dulang, yaitu mantra ketingungan, mantra pergi ke hutan, mantra untuk berbedak, mantra untuk terkilir dan mantra untuk anak menangis malam. Dari mantra yang diperoleh dianalisis berdasarkan struktur mantra, yaitu: bunyi, kata, baris, bait, tipografi, dan isi mantra. Semua dianalisis berdasarkan pembacaan semiotika, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutika. Dengan demikian, analisis mantra masyarakat di Desa Pandan Dulang mempunyai struktur dan isi. Penelitian ini menjadi dasar penggunaan metode penelitian yang digunakan, yaitu semiotika melalui pembacaan heuristik dan hermeneutika. Pijakan metode semiotika didasarkan kesamaan tujuan antara penelitian Rita Nilawijaya dengan penelitian penulis dalam mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna dalam mantra. Perbedaan penelitian Rita Nilawijaya dengan penelitian penulis terletak pada bahasa mantra dan sistem pewarisannya. Meskipun demikian, beberapa gagasan terkait dengan bentuk tekstual dan kontekstual mantra Pandan Dulang dapat dijadikan panduan dalam menganalisis mantra Tulembang dan Tupakbiring suku Makassar.
18
Resen (2014) dalam penelitian “Manifestasi Kredo Puitika Sutan Takdir Alisjahbana dalam Sajak-Sajak dan Renungan: Sebuah Kajian Stilistika”. Tujuan penelitian Resen adalah untuk mengungkapkan bagaimana kredo puitika STA termanifestasi melalui gaya bahasa dan tema puisi-puisi tersebut. Ada 7 puisi yang dijadikan objek dan sumber data utama dalam penelitian ini. Teori yang digunakan adalah teori stilitika moden dan teori hermeneutika di bawah payung teori wacana dan latar keperagaan penulisnya sebagai kerangka pendekatan dan alat bedahnya. Empat penelitian, Resen yakni: (1) gaya bahasa puisi STA dibangun melalui kekhasan pengunaan bahasanya; (2) tema puisi STA disosokkan sejalan dengan terbangunnya gaya puisi tersebut; (3) kredo puitika STA termanifestasikan dalam puisi sejalan dengan gaya bahasa dan temanya; dan (4) sejauh mana gaya bahasa dan tema puisi serta kredo puitika STA dapat dipertahankan dalam versi terjemahan bahasa Inggris puisi-puisi tersebut. Hasil penelitian Resen menunjukkan bahwa: (1) gaya bahasa puisi-puisi STA dibangun oleh pernggunaan bahasa yang pada umumnya transparan dan mensinyalkan nada atau sikap optimis, progresif, dan intelektual si persona (si aku lirik); (2) tema puisi dalam variasinya dari puisi ke puisi terjalin oleh stau benang merah, yakni perlunya perubahan sikap dan perilaku dari yang tradisional menunju yang modern untuk membangun bangsa yang maju dan modern; (3) gaya bahasa dan tema puisi-puisi STA kuat memanifestasikan kredo puitika STA, yakni kredo seni bertenden dialektis; (4) gaya bahasa dan tema versi asli puisipuisi STA dapat dipertahankan keutuhannya pada puisi-puisi versi terjemahan bahasa Inggris.
19
Penelitian Resen menjadi dasar peneliti dalam melihat hubungan representamen, objek, dan interpretan. Konsep kredo puitika STA mengacu pada keyakinan terhadap jenis estetika yang dianggap benar dan pantas. Penelitian Resen memiliki kesamaan penelitian ini karena menggunakan konsep „kajian stilitika‟ yang mengacu pada mode pengkajian yang bertitik tolak dari kajian rinci terhadap penggunaan bahasa dalam karya. Fokusnya pada pengungkapan rancangan yang terbangun dari berakumulasi dan berkonfigurasi berbagai unsur dari berbagai tataran deskripsi dalam teks karya. Perbedaan ini dilihat dari penelitian Resen yang meneliti puisi-puisi kredo puitika STA, sedangkan peneliti meneliti mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar, di Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam penelitian ini dikaji struktur teks, makna, dan sistem pewarisan sehingga berbeda, tetapi penelitian Resen dapat digunakan sebagai referensi.
2.2 Konsep Penelitian 2.2.1
Konsep Sastra Lisan Menurut Bartlett (1965:244-245), “Sastra lisan merupakan sastra yang
diperdengarkan”. Sastra lisan merupakan karya sastra daerah yang diekspresikan oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Sastra lisan pada hakikatnya adalah tradisi lisan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu. Keberadaannya diakui, bahkan dekat dengan kelompok masyarakat yang memilikinya. Di dalam sastra lisan, ceritanya sering mengungkapkan keadaan sosial dan budaya masyarakat yang melahirkannya. Misalnya, berisi gambaran latar sosial, dan budaya, serta sistem kepercayaan masyarakat. Selain itu, di dalamnya juga berisi
20
gambaran kaum bangsawan (masyarakat yang berpangkat), miskin dan kaya, masyarakat profesi, serta masalah sosial kemasyarakatan yang lain. Sastra lisan merupakan hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis pada masa modern. Sastra yang diwariskan secara lisan, seperti: pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat. Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Oleh karena itu, banyak sastra lisan yang hilang karena tidak dapat dipertahankan. Selain keterbatasan memori manusia dalam mengingat, perkembangan teknologi yang semakin canggih pada era globalisasi ikut menggeser sastra lisan yang pernah ada. Hutomo (1986:6) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim; (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi masyarakatnya; (3) mempunyai bentuk tertentu dan varian; (4) berkaitan dengan kepercayaan; dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Supratno (1990:18) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim; (2) berversi atau bervariasi; (3) memunyai bentuk tertentu; (4) berguna bagi kehidupan bersama; (5) bersifat polos atau lugu; (6) milik kolektif; dan (7) tradisional. Ciri lain dikemukakan oleh Sastrowardoyo (1983:2) bahwa sastra lisan berciri bersahaja dan lugas dalam bentuk lahir. Penelitian sastra lisan pada saat ini mulai mengemuka (Ahmadi 2010:17) seiring dengan isu kearifan lokal dan pengetahuan lokal. Penelitian tentang sastra lisan penting untuk dilakukan karena di samping berguna sebagai bentuk cerminan pemikiran, pengetahuan, dan harapan (Lutfi 2010:42) berguna juga
21
sebagai sarana dokumentasi, inventarisasi, dan sarana eksplorasi nilai budaya dan fungsi khasnya bagi masyarakat pendukungnya. Endraswara (2003:251), mengatakan sastra lisan dikaji sebaiknya yang berasal dari daerah terpencil karena di daerah demikian, keberadaan sastra lisan relatif utuh dan murni sebab fasilitas teknologi dan mobilitas masyarakat pendukungnya terbatas. Sastra lisan yang kuat berada di daerah terpencil. Kuatnya sastra lisan di daerah terpencil disebabkan penduduknya berdaya baca rendah dan kuat dalam memegang tradisi (Hutomo 1991:2; 1992:25; 2002:34). Kedua faktor tersebut, menurut Sudikan (2001:58), membuat sastra lisan lebih kuat daripada sastra tulis.
2.2.2
Konsep Tradisi Lisan Secara historis, tradisi lisan pada hakikatnya adalah „sejarah‟ masyarakat
daerah yang sarat nilai, daya sebar budaya yang diwahanainya (divergensi) dan daya padu (konvergensi) antarbudaya yang merupakan kesejarahan budaya lokal (Kuntowijoyo, 2005:9) yang disebut sebagai budaya lokal. Sardar & Loon (1998:7) menyatakan bahwa budaya lokal sebagai cultural identity yang telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Sebab, local wisdom telah mentradisi secara ajeg dalam sifat kedaerahan dengan berpegang teguh pada nilainilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Ada beberapa ciri-ciri budaya lokal yang masih mendarah daging hingga sekarang, di antaranya adalah sebagai berikut. 1) mampu bertahan terhadap budaya luar; 2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
22
3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; 4) mempunyai kemampuan mengendalikan; dan 5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Tradisi lisan sebagai budaya lokal dapat dilihat dari bahasa daerah besar dengan tradisi lisannya berkembang, seperti: bahasa Jawa, Madura, Bali, Sunda, dan lainnya yang berfungsi untuk mewahanai pelbagai bidang keilmuan, sebagaimana tradisi lisan berdasarkan tata bahasa, sastra, arsitektur, kesehatan, filsafat dan sebagainya (Rosidi, 1999:59-60). Secara etimologis – tradisi lisan berasal dari bagian folklor yang bercirikan secara lisan atau sering disebut oral atau orally atau selanjutnya disebut folklor lisan. Folklor lisan bercirikan: verbal berupa kata-kata; tanpa tulisan; milik kolektif rakyat; memiliki makna fundamental, ditransmisikan dari generasi ke generasi (Endraswara, 2013:26). Adapun bentuk folklor lisan, yakni ujaran rakyat (folk speech) yang biasa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan kalimat tradisional, pertanyaan rakyat, mitos, legenda, nyanyian rakyat, dan sebagainya. Berdasarkan bentuk-bentuk folklor lisan tersebut, diperlukan model penelitisan sastra lisan. Model ini bisa diterapkan untuk diseleraskan dengan tujuan penelitian, yakni mengungkapkan pesan berdasarkan model analisis pesan (isi), kendati untuk menemukan keindahan dalam folklor dapat memanfaatkan model estetika, stilistika, dan struktural. Sisi pesan dan nuansa folklor bertumpu
23
pada beberapa golongan, yakni: oral literature, social folks custome, material culture, dan folks arts (Endraswara, 2013:20-31). Tradisi lisan setidaknya memuat dua konfigurasi dalam bagian folklor. Pertama, tradisi lisan sebagai bagian produk, yakni pesan lisan yang didasarkan pada generasi sebelumnya. Kedua, tradisi lisan sebagai proses, yakni proses pewarisan pesan melalui mulut ke mulut. Kedua aspek ini, kemudian difungsikan secara mutlak, sebagai sistem proyeksi (pencerminan angan-angan suatu masyarakat yang kolektif); alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; alat pendidik anak; serta alat koersif atau pengawas agar normanorma dapat terpenuhi (Kuntowijoyo, 2005:10). Tradisi
lisan
memiliki
kecenderungan
yang
bernilai
minus.
Kecenderungan tersebut setidaknya memiliki 3 asumsi. Pertama, tradisi lisan cenderung tindak reliable, yakni cenderung berubah-ubah atau rentan akan perubahan. Kedua, berisi kebenaran terbatas, seperti hanya memuat kebenaran intern (masyarakat tertentu) dan tidak universal. Ketiga, tradisi lisan hanya memuat aspek historis masa lalu (Endraswara, 2003:32). Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa tradisi lisan merupakan produk kearifan lokal dalam suatu budaya yang berlaku dan hidup di dalam maupun di luar masyarakat di wilayah tertentu. Budaya ini menjadi keunikan bagi masyarakat dan mewarnai aktivitas kolektif dan individu pada masyarakat. Budaya lokal yang arif memiliki nilai baik dan kebenaran yang berakar dari budaya leluhur dan masih tetap dianggap relevan hingga saat ini. Adanya nilainilai dari kearifan lokal dalam kenyataannya sebagai nilai yang tidak hanya
24
berfungsi sebagai petunjuk dan berperilaku atau sosialisasi dalam sebuah komunikasi manusia, melainkan lebih dari itu sebagai nilai leluhur atau nilai asli yang dapat diperluas dalam pola pengembangan manusia secara utuh. Tradisi lisan harus dijadikan kepedulian guna menjaga keberadaannya dengan berbagai cara. Pertama, selalu memproduksi dan menceritakannya secara berulang-ulang. Kedua, memfasilitasi pelaksanaan pertunjukan seni tradisional. Ketiga, tradisi lisan dapat dibukukan dalam rangka pelestarian kebudayaan guna dimanfaatkan dalam wakktu yang lama. Keempat, tradisi lisan dapat dijadikan sebagai kajian pembelajaran melalui muatan lokal.
2.2.3
Konsep Mantra Mantra ada dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia dan
berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu kepada Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang paling gaib, yang oleh penciptanya dipandang kontak dengan Tuhan. Kata-kata terdapat dalam suatu mantra memiliki kekuatan gaib apalagi kalau dibacakan dengan khusuk dan penuh keyakinan. Dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Budha dan agama lainnya, mantra dapat berupa doa, nyanyian atau ujaran dalam upacara keagamaan yang memiliki kekuatan gaib dan diucapkan untuk menggugah pikiran seseorang untuk kembali ke
jalan
yang
benar
atau
sebaliknya
(Monier-William,
2012,
http//sanskrit.inria.fr//MW/195.html). Dengan cara demikian, apa yang diminta atau dimohon oleh pengucap mantra dipenuhi oleh Tuhan. Mantra merupakan bentuk kesusastraan asli milik Indonesia yang dituturkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut. Mantra berbentuk puisi lama
25
mempunyai rima dan ritme. Dalam mantra, ritme dan makna kata-katalah yang diutamakan, sedangkan rima tidak terlalu diperhatikan. Mantra diucapkan oleh penggunanya untuk keselamatan dan harapan, yakni mantra untuk terhindar dari bahaya dan mantra yang mengandung harapan agar mendapat rezeki yang banyak (Maknun, 2012:56). Menurut Anwar (2005:213), “Mantra adalah perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan daya gaib, jampi, dan pesona”. Menurut Hehahia dan Farlin (2008:274), “mantra adalah kalimat yang diucapkan dan diulang atau dilafalkan secara khusus untuk mendatangkan daya gaib, susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan”. Oleh karena itu mantra seringkali dikaitkan dengan puisi karena kesamaan struktur yang dimiliki dan dikaitkan dengan doa karena kesamaan tujuannya. Pendapat berbagai ahli tentang kesamaan mantra baik dengan puisi maupun doa mengundang perdebatan. Masing-masing pendapat didasarkan pada kekayaan unsur dan tujuan mantra dalam berbagai budaya di Indonesia. Hal inilah yang menarik berbagai penelitian selanjutnya. Apabila ditilik dari masuknya mantra dalam kajian puisi, masih muncul berbagai perdebatan. Ada dua pandangan terhadap mantra, yaitu yang menggolongkan sebagai karya sastra dan yang tidak mengakui mantra sebagai karya sastra. Tidak selalu semua konvensi sastra dapat dipenuhi sekaligus oleh sebuah karya sastra. Mantra perlu dilihat dari segi struktur atau bentuknya. Bahasa yang terdiri atas kata-kata yang indah dan diksi yang terpilih mengandung makna yang dalam sehingga mantra mampu mencapai tujuan dengan irama yang beraneka ragam. Semuanya itu merupakan ciri estetis mantra. Ada dua unsur
26
dalam membangun puisi. Pertama, hakikat puisi yang meliputi: makna, rasa, nada dan amanat (tujuan, maksud). Kedua metode puisi yang terdiri atas diksi, imajinasi, majas, irama, dan rima. Dengan demikian, dari segi intrinsik mantra merupakan karya sastra (Ikram, 1993:4-5). Mukarovski dan muridnya Vodicka menyodorkan pendapat mengenai karya sastra dan penikmatnya, bahwa karya sastra sebagai artefak yang mati sebagai tugu dan dapat dihidupkan lewat konkretisasi oleh pembacanya (Teeuw, 1993:15). Bukan saja mantra, bahkan karya sastra lainnya pun tanpa dihidupkan oleh pembaca/pendengarnya tidak bearti apa-apa dan hanya merupakan benda mati belaka. Apabila karya puisi, sudah dibaca pun masih belum tentu dapat dimengerti. Dilihat dari segi bentuknya mantra sebagai karya sastra yang sarat dengan rima tersusun secara indah dengan diksi-diksi yang terpilih dan dianggap mempunyai kekuatan gaib. Mantra merupakan bentuk puisi lama yang erat pula dengan kepercayaan sejak masa purba. Kata-kata dalam mantra dianggap mengandung kekuatan gaib. Yunus (1981:214) mengatakan bahwa mantra ditujukan kepada makhluk gaib, kalau dihadapkan kepada manusia menjadi sesuatu yang tidak mudah dipahami, bahkan tidak mempunyai arti. Hal utama yang dipentingkan dalam mantra adalah bukannya bagaimana dapat memahaminya, akan tetapi bagaimana dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia. Senada dengan pendapat tersebut di atas (Suprapto, 1993:77) mengatakan bahwa mantra merupakan bentuk puisi lama yang dapat mendatangkan kekuatan gaib yang biasanya diajarkan atau diucapkan oleh pawang untuk menandingi kekuatan yang lain.
27
Djamaris (1990:20) mengatakan bahwa mantra merupakan suatu gubahan bahasa yang diresapi oleh kepercayaan dunia gaib dan sakti. Sujiman (1986:25) mengatakan bahwa mantra dapat mengandung tantangan atau kekuatan terhadap sesuatu kekuatan gaib dan dapat berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan. Mantra merupakan puisi magis, yang merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan cara yang luar biasa. Oleh karena itu, dalam menggunakan mantra tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Mastrawijaya (dalam Ikram, 1993:16) menggolongkan mantra menjadi dua kelompok, yaitu mantra magis putih dan mantra magis hitam. Mantra magis putih digunakan untuk kebaikan dan mantra magis hitam digunakan untuk kejahatan. Mantra mempunyai unsur irama yang berpola tetap perwujudannya dapat berupa pertentangan yang berselang seling antara suku kata panjang dengan suku kata tidak beraksen. Mantra adalah karya sastra lama dan dianggap sebagai puisi tertua di Indonesia, yang berisi puji-pujian terhadap sesuatu yang gaib atau yang dianggap dikeramatkan seperti dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatang ataupun Tuhan, biasanya diucapkan oleh dukun dan pawang. Apabila dalam hidup seseorang menemui permasalahan yang tidak dapat dipecahkan melalui akal dan pikiran, mereka mempergunakan mantra-mantra, dengan harapan tujuan tercapai. Apabila ditilik dari maksud dan tujuan mantra dan doa, keduanya tidak mempunyai perbedaan yang jelas. Oleh karena itu, orang kadang-kadang menyamakan doa dan mantra. Dalam konteks penelitian ini, perbedaan yang mendasar antara mantra dengan doa adalah pemakaian istilah saja. Adapun
28
perbedaan mendasar lainnya tampak dalam pemakaian bahasanya. Apabila ditinjau dari segi makna, mantra dan doa mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama mengandung arti permohonan terhadap kekuatan yang gaib untuk memenuhi harapan atau keinginan. Namun demikian, kedua kata tersebut belum digolongkan sebagai kata yang bersinonim. Kekaburan perbedaan makna antara mantra dengan doa tidak menghalangi orang mengidentifikasikan mantra ataupun doa secara terpisah seperti berikut ini. Mantra adalah kata-kata yang mengandung khidmat kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh pawang. Kesalahan dalam mengucapkan mantra dianggap dapat mendatangkan marabahaya (Haeruddin, 2011:34). Badudu (1984:5) memberi batasan tentang mantra sebagai suatu bentuk puisi lama dan dianggap sebagai puisi tertua di Indonesia. Kata dan kalimatnya tetap merupakan aturan yang tidak bisa ditawar lagi. Kedua pendapat di atas, terangkum dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang mengartikan mantra sebagai: (a) perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib; (b) susunan kata berunsur puisi (rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib yang lain. Dalam mantra sebagaimana puisi pada umumnya terdapat dua bentuk atau pola, yaitu: 1) Bentuk bebas Bentuk bebas atau pola bebas yang dimaksud adalah pola yang tidak terikat oleh jumlah kata, baris ataupun bait, dan jumlah baris setiap bait, ataupun dari rima dan persajakan. Seperti dikatakan Jalil dan Elmustian (2002:49) bentuk
29
suatu mantra sama dengan puisi bebas yang lain, bahkan mungkin mantra lebih bebas. 2) Bentuk terikat Bentuk terikat atau pola tetap mementingkan jumlah lirik, jumlah kata pelarikannya, dan kesamaan rima. Unsur puisi dapat dilihat dalam susunan baris, jumlah suku kata, serta hubungan baris dengan baris. Hamidy (1993:58) memberi definisi mengenai pola baris puisi sebagai kesatuan gaya bahasa yang terjadi dalam korespondensi berulang kembali, sehingga tiap baris puisi mempunyai hubungan atau korespondensi satu dengan yang lain. Menurut Hartarta (2009:55), bentuk mantra tidak memiliki pola umum, sehingga variasi bentuk struktur sangat bervariasi. Secara garis besar struktur di dalam tubuh mantra ada tiga unsur, yaitu awal/purwa, tengah/madya, dan akhir/wasana. Jika dijabarkan lebih mendetail, muncul variasi-variasi bentuk dikaitkan dengan pemaknaan mantra yang dideskripsikan sebagai berikut. 1) Komponen Salam Pembuka Unsur pembuka adalah kata pertama yang terdapat pada mantra yang berisi salam pembuka. Komponen pembuka merupakan pengakuan tunduk, takhluk, dan mohon perlindungan Allah Penguasa alam semesta. 2) Komponen Niat Secara tegas dan jelas dinyatakan dengan kata kunci niat. Makna kata niat sering disejajarkan dengan kata tekad. Dalam konteks pemanfaatan mantra tertentu harus disesuaikan dengan niat atau keinginan yang akan dicapai. Niat diungkapkan dengan dua cara, yaitu: secara langsung dan tidak langsung.
30
3) Komponen Nama Mantra Komponen ini berisi penyebutan nama mantra yang hendak digunakan (diamalkan). Tidak semua jenis mantra memiliki komponen nama karena nama mantra sekadar dilisankan oleh pihak pemberi mantra (dukun, sesepuh). Jadi, unsur ini hanya memberikan identitas nama. 4) Komponen Sugesti Unsur sugesti adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi yang dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan potensi kekuatan magis atau gaib pada mantra. Sugesti yang diterima serupa dengan kalimat mantra. Komponen sugesti untuk beberapa mantra didominasi oleh sentuhan-sentuhan mitologi. 5) Komponen Visualisasi dan Simbol Komponen viasualisasi disebut juga komponen proses yang berisi perintah. Komponen ini berisikankan bagian yang menggambarkan satu peristiwa yang menjadi tugas mantra terhadap sasarannya. Komponen visualisasi dekat dengan komponen harapan dan gaya bahasa. Adapun simbol atau lambang yang terdapat di dalam mantra merupakan sosok pembayangan di dalam mantra. 6) Komponen Nama Sasaran Komponen ini berisi penyebutan nama sasaran (objek) yang hendak dituju. Sasaran dapat berupa nama perorangan maupun kelompok masyarakat (kolektif).
31
7) Komponen Tujuan Unsur tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra dalam mengamalkan mantra. Komponen tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Unsur tujuan juga berfungsi untuk membedakan mantra satu dengan mantra yang lain. 8) Komponen Harapan Komponen ini merupakan komponen‟permintaan‟ agar apa yang telah dilakukan (mengamalkan ajian atau mantra) dapat terlaksana dengan baik dan berhasil dengan gemilang. 9) Komponen Penutup yang merupakan larik akhir. Dalam penelitian ini digunakan bentuk struktur menurut Hartata (2009:73) yang menyatakan bahwa bentuk mantra terdiri dari tiga hal, yaitu: awal, tengah, dan akhir. Setiap bagian tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda sehingga memberikan variasi yang berbeda. Variasi yang dimaksud adalah: (a) komponen salam pembuka; (b) komponen niat; (c) komponen nama mantra; (d) komponen sugesti; (e) komponen visualisasi dan simbol; (f) komponen nama sasaran; (g) komponen tujuan; (h) komponen harapan; dan (i) komponen penutup. Untuk mengetahui makna masing-masing bentuk mantra, peneliti menggunakan kajian semiotika. Hal ini untuk mengetahui makna secara eksplisit dan implisit. Dengan demikian, hasil pengamatan terhadap bentuk
32
mantra memberikan hasil berupa identifikasi terhadap bentuk, makna, dan variasi yang muncul. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirangkum bahwa pengertian mantra adalah ucapan atau perkataan yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kekuatan tersebut bertujuan untuk memberikan kekuatan bagi manusia dalam menjalankan berbagai kegiatan manusia.
2.3 Landasan Teori 2.3.1
Struktur Teks Mantra Jakobson (dalam Sobur, 2003:56) juga melakukan analisis structural
fonem antara lain : (a) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada-tidaknya ciri pembeda dalam tanda-tanda tersebut ; (b) memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masingmasing istilah, sehingga tanda-tanda ini cukup berbeda satu dengan yang lain; (c) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah kebahasaan dengan distinctive features dan dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya ; (d) menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis, yakni perbedaan antar tanda yang masih dapat saling menggantikan. Aminudin (2004:136) mengatakan bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi: bunyi, kata, larik atau baris, bait, dan tipografi. Pernyataan ini sebenarnya merujuk pada
33
pemahaman bahwa bentuk mantra sama dengan puisi karena mantra merupakan salah satu genre puisi (Harun, 1989: 442). Mantra sebagai bentuk karya sastra lama mempunyai susunan kata berunsur puisi, penuh dengan makna, ambiguitas, dan memiliki norma. Dalam mantra, juga terdapat deviasi gramatika, fonologi, semantik, ataupun unsur rima atau pengulangan bunyi, irama, dan matra. Mantra juga memiliki: (1) gaya bahasa yang digunakan; (2) diksi atau pilihan leksikal mantra; dan (3) rima atau persajakan pada mantra (Nurhayati, 2013). Untuk selanjutnya diuraikan sebagai berikut. 1) Gaya Bahasa Penggunaan gaya bahasa pada mantra, jika dicermati seperti ada cerita, ada asal usul, ada pemahaman budaya, religi dan pemahaman tentang hidup dan kehidupan. Ada keinginan yang akan dicapai, larangan atau ancaman yang diberikan oleh pemakai mantra. Ada kerjasama yang diajukan serta kepasrahannya. Semua itu dikemas dengan bahasa yang khas, mudah dipahami, memakai metafor, serta kiasan untuk memadatkan gagasan dan keinginan pengucap mantra. Berikut merupakan gaya bahasa yang dapat digunakan dalam suatu bahasan, di antaranya: a) Antiklimaks, yang berarti tidak tegang atau tidak ada peningkatan ketegangan, maka larik-larik pada mantra ini juga tidak menunjukkan suatu ketegangan atau tidak bersifatp eriodik, justru lebih cenderung menurun.
34
b) Klimaks, berdasarkan arti klimaks yakni, gaya bahasa yang merupakan puncak dari suatu hal, kejadian, keadaan dan sebagainya yang berkembang secara berangsur-angsur. c) Paralelisme, yaitu adanya kandungan maksud yang sama antara larik pertama dengan larik terakhir. d) Repetisi, yaitu pengulangan dalam kalimat yang dapat berupa bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang merupakan kunci atau yang dianggap penting untuk memberikan penegasan atau tekanan atau efek tertentu. Gaya bahasa repetisi meliputi: a. Epizeuksis, pengulangan yang bersifat langsung. Patokanya kata atau frase yang dipentingkan diulang beberapa kali pada kalimat yang sama. b. Tautotes, adalah repetisi yang terjadi pada sebuah kata dalam konstruksi yang sama. c. Anafora, adalah jenis repetisi yang terjadi karena adanya pengulangan kata di awal tiap larik atau kalimat yang berbeda. d. Epistrofa/ Epifora, adalah jenis repetisi yang berujud perulangan kata atau frasa pada akhir kalimat berurutan. e. Simploke, adalah jenis repetisi yang menggabungkan antara anafora dan epistrofa, yaitu perulangannya terjadi pada awal dan akhir baris pada larik atau kalimat yang berurut. f. Mesodiplosis, adalah perulangan yang terjadi di tengah larik atau kalimat yang berurutan.
35
g. Epanalepsis, adalah repetisi yang kata awalnya diulang pada akhir larik dalam kalimat yang sama. Tujuan dari gaya jenis repetisi ini adalah untuk menegaskan maksud si pemakai mantra. h. Anadiplosis, terjadi karena kata terakhir atau klausa terakhir dari larik atau kalimat sebelumnya diulang menjadi kata awal atau pemula dari larik atau kalimat berikutnya. i. Gaya bahasa Retoris (Keraf, 1990:40), adalah gaya bahasa yang mengalami penyimpangan makna semata-mata karena penyimpangan konstruksi biasa demi mendapatkan atau mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris yang dimaksud meliputi gaya bahasa seperti tersebut di bawah ini. a) Aliterasi sebagai pengulangan konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau awal kata secara berurutan. Verhar (1990:104) menyebut aliterasi sebagai wujud perulangan berupa konsonan yang sama. Fungsinya untuk perhiasan atau untuk penekanan. Dalam KBBI, (2008) aliterasi, yaitu sajak awal dengan fungsi untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi. b) Asonansi merupakan kebalikan aliterasi, yaitu pengulangan bunyi vokal pada suku kata atau kata yang berurutan. Dalam arti kamus, asonansi biasa disebut purwakanti. Selain itu, ada gaya bahasa kiasan yang mencari sifat kesamaan atau pun selisih. Gaya bahasa ini meliputi:
36
a) Simile (persamaan), dinyatakan secara langsung persamaannya secara eksplisit dengan memakai kata bantu (seperti, sama, bagaikan, laksana, sebagai dan akan) supaya merujuk pada yang dipersamakan itu. b) Metafora, adalah jenis kiasan yang membandingkan dua buah benda secara singkat dan langsung atau dengan analogi benda lainnya secara singkat tanpa memakai kata bantu. c) Personifikasi atau Prosopopoeia, merupakan corak khusus dari metafora yang menganggap benda mati, binatang, dan tanaman sebagai benda hidup yang memiliki sifat kemanusiaan. Artinya, semua benda mati, binatang, dan tumbuhan yang disebutkannya memiliki sifat penginsanan, seperti: bertindak, berbuat, dan berbicara seperti layaknya manusia. Alusi, merupakan jenis gaya bahasa kiasan yang memberikan semacam acuan referensi yang eksplisit atau implisit. 2) Diksi Diksi atau pilihan kata adalah penentuan kata yang tepat, selaras dan berefek dalam konteks penggunaan untuk penggambaran gagasan. Artinya, diksi yang dipilih dalam mantra telah memiliki jiwa (perasaan-perasaan penyair) yang maknanya disesuaikan dengan fungsi dan tujuan mantra. Diksi yang dimaksud meliputi: kata yang maknanya dapat langsung dimengerti (denotatif), seperti: kata mari, kemari, jangan dll. Kata yang maknanya perlu penjabaran (konotatif) seperti hubungan kata „hendak menanam‟. Artinya, akan menanam bibit. Kata yang bermakna sinonim, misalnya: ruh, semangat, kecil, burung, halus (semangat), temui, uri, tali pusat, (plasenta). Kata yang
37
antonim, misalnya: kecil x besar, muda x tua, tidak hujan x hujan, tidak sama x sama, tak tinggi x tinggi, hantu x malaikat dsb. Kata yang homonim, misalnya bisa yang artinya racun dan dapat, upas artinya racun dan ipuh, dsb. Kata yang memakai simbol agama, Bismillahirahmanirahim, Barakkat, Lailahaillah, Muhammadarrasullulah, Min, Nun, Dal, Lam, Allah dsb. Kata yang berhubungan dengan budaya: pakkjeko, aklessoro, akbine, annanang, appa sulupa, bulang, bintoeng, yukkung, yakkung, dan yaccing. Struktur teks mantra berbeda dengan struktur sastra lisan yang lain, karena di dalam mantra memuat unsur daya magis, gaib, dan pesona (Anwar, 2005:213). Menurut Hehahia dan Farlin (2008:274), mantra kebanyakan diucapkan
dengan
menggunakan
pengulangan
bunyi
yang
diyakini
menumbuhkan kekuatan magis. Oleh karena itu, mantra sering dianggap atau disamakan dengan doa. Terlepas dari itu, secara struktur teks, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mantra mempunyai pola bebas dan terikat. Lebih lanjut, Hartarta (2009:5) menyatakan secara garis besar struktur di dalam tubuh mantra menjadi tiga unsur, yaitu: awal/purwa, tengah/madya, dan akhir/wasana.
2.3.2
Fungsi Teks Mantra Dalam memahami fungsi tradisi, peneliti menggunakan teori yang
dikembangkan
oleh
Bascom
(http//www.jstor.org/stable/536411/accessed
:20/07/2011). Menurutnya, ada empat fungsi sastra lisan, yaitu: 1) sebagai bentuk hiburan; 2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan;
38
3) sebagai alat pendidikan anak; 4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Teori fungsi untuk menganalisis mantra Tulembang dan Tupakbiring sebagai berikut. 1) Sebagai Bentuk Hiburan Sebagai sebuah tradisi turun-temurun, pembacaan mantra Tulembang dan Tupakbiring bentuk hiburan tersendiri bagi masyarakat setempat. “Hiburan” sifatnya langsung merangsang panca-indra atau juga tubuh untuk mengikuti dengan gerak; mementingkan sifat glamour dan sensasional (Sedyawati, 2006:131). Pembacaan Mantra Tulembang dan Tupakbiring memiliki keindahan, baik dari segi mantra maupun prosesi ketika menjalankan ritual. Bagi masyarakat suku Makassar, tradisi membaca Mantra Tulembang dan Tupakbiring merupakan bentuk kesenian yang menghibur. Hiburan dalam konteks ini bukan hanya sebuah tontonan, melainkan alat yang dapat membuat pikiran dan perasaan masyarakat menjadi lega. Isi mantra dapat memberikan penyegaran jiwa bagi pembaca mantra. Selain mantra, prosesi adalah hal yang menonjol dan membuktikan bahwa ritual Mantra Tulembang dan Tupakbiring sebagai bentuk hiburan. 2) Sebagai Alat Pengesahan Pranata-pranata dan Lembaga-lembaga Kebudayaan Menurut Rahman (2004:101), setiap lembaga kebudayaan memiliki ciri-ciri spesifik. Konvensi di masyarakat tertentu menjadi dasar terbentuknya lembaga tersebut. Dalam masyarakat religi terdapat sistem sosial budaya yang
39
berlaku di dalam tata kehidupannya. Fungsi religi di dalam sistem sosial budaya menjadi penting dan melekat erat, seakan-akan mustahil melemah dan tersisihkan dari struktur sistem tersebut secara keseluruhan. Fungsi sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan adalah apabila kegiatan tersebut rutin dilakukan pada kesempatan atau waktu tertentu. 3) Sebagai Alat Pendidikan Anak Filsafat etika mengajarkan tentang apa yang baik dan buruk. Ukuran bagi sesuatu yang baik dan buruk adalah kata hati. Kata hati dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan, lingkungan, agama, dan usia (Sulistyorini, 2008:75). Setiap individu anak dan orang dewasa selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu (yang bersifat ritual, biologis, dan kemanusian atau sosial kultural) untuk mempertahankan hidupnya. Demikian pula seorang anak, selalu berusaha mengatasi semua hambatan dan menghilangkan ketegangan-ketegangan
batinnya
sebagai
akibat
belum
terpenuhinya
kebutuhan. Jika pemenuhan kebutuhan itu sudah terlaksana, akan tercapai keseimbangan batin dan kepuasan. Fungsi primer yang terpenting dari keluarga adalah pewarisan norma kebudayaan dari satu generasi ke generasi lainnya. Hal-hal religius sudah mulai diajarkan sejak kecil di lingkungan rumah tangga. Pendidikan ketuhanan akan mempertajam pandangan untuk melihat gejala-gejala pertama dari perkembangan religius yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari kandungan isi mantra yang bertujuan untuk menyampaikan nilai-nilai baik secara implist maupun eksplisit. Selain fungsi tersebut, fungsi agamis juga
40
diberikan oleh tradisi kepada seorang anak. Hal tersebut dapat dilihat dari cara untuk mendapatkan sesuatu tidak gampang, memerlukan kerja keras serta rasa berserah diri (tawakkal) kepada Allah. 4) Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas agar Norma-norma Masyarakat Selalu Dipatuhi Anggota Kolektifnya Hal yang melekat dan mengakar dalam kehidupan masyarakat adalah norma-norma tertentu yang diturunkan dari masyarakat terdahulu. Norma hukum yang mengikat masyarakat untuk bertindak baik secara individu maupun kolektifnya. Ikatan para pelaku tradisi terdapat pada rasa kewajiban untuk melestarikan dan mengenalkan tentang kebudayaan pemanggil hujan. Tradisi tersebut dilaksanakan untuk mengingatkan masyarakat untuk tidak melupakan bersyukur dan berdoa kepada Sang Pencipta (Tuhan). Jika tradisi tersebut tidak dilaksanakan, maka keimanan masyarakat setempat akan menurun. Ketika Mantra Tulembang dan Tupakbiring mulai didengarkan, maka hal tersebut akan mengingatkan dan memaksa masyarakat untuk meresapi isi dari mantra tersebut. Tidak peduli masyarakat tersebut termasuk dalam kategori orang yang berpendidikan atau tidak, mantra tersebut memaksa orang terhadap keyakinannya. Baik muda maupun tua, mereka tetap hanya bisa mengikuti dan tidak bisa menolak mantra tersebut. Berdasarkan uraian di atas analisis fungsi pada mantra Tulembang dan Tupakbiring dikaji berdasarkan pemenuhannya terhadap teori Bascom
yang
menyatakan bahwa mantra memiliki fungsi, yaitu: (1) sebagai bentuk hiburan; (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan; (3)
41
sebagai alat pendidikan anak; dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuh anggota kolektifnya. Fungsi dalam sastra lisan bergantung pada kondisi, sikap, dan pandangan masyarakat setempat. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat intelektual masyarakat (Badrun, 2014:16). Secara teoretis, fungsi mantra telah dikembangkan oleh Bascom (http//www.jstor.org/stable/536411/accessed:20/07/2011), yakni sebagai bentuk hiburan; alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan; alat pendidikan anak; dan alat pemaksa dan pengawas agar normanorma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Mantra juga mengandung unsur teologi, religius, sosial, dan budaya. Teologi dalam pengertian luas, merupakan filosofi tentang Tuhan (Ferm, dalam Runes (ed.), 1979:317). Dalam konteks Islam, teologi dimaknai sebagai ilmu yang membahas aspek ketuhanan secara rasional (Razak dan Anwar, 2006:90). Adapun religius taat pada dan melakukan praktik keagamaan misalnya sembahyang, dan berdoa (KBBI, 2002:738). Fungsi religius di dalam mantra merupakan fungsi yang menunjukkan bahwa ada kekuatan lain di luar kekuatan manusia. Fungsi religius mempengaruhi pemikiran dan perilaku. Fungsi sosial mantra di dalam suatu masyarakat adat sebagai pengendali norma sosial dan fungsi proyeksi angan-angan suatu kolektif (Badrun, 2014:16). Namun demikian, fungsi sosial bergantung pada masyarakat pemiliknya, pada sikap dan pandangan masayarakat pemiliknya. Fungsi budaya sebuah mantra dapat sebagai fungsi pengesahan kebudayaan atau alat pengesahan pranata-
42
pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Artinya, fungsi ini sebagai kegiatan rutin yang dilakukan pada kesempatan atau waktu tertentu. Variasi teks dikatakan sebagai proses penciptaan. Menurut Badrun (2014:15), dalam sastra lisan, khususnya mantra bergantung pada kebiasaan masyarakat pemilik tradisi. Secara teoritis, proses penciptaan mengandung unsur hafalan, pola rima, dan formulaik. Dikatakan hafalan karena mantra diturunkan dengan syarat tertentu, pola rima karena mantra penekanan pada permainan bunyi. Dikatakan formulaik karena mantra diberikan dengan pembiasaan diri untuk mendengar. 2.3.3
Teori Fungsional Jakobson (1971:87), salah seorang pakar linguistik meneliti pembelajaran
dan fungsi bahasa, memberi penekanan pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili
oleh
gambaran
metafor
retoris
(kesamaan)
dan
metonimia
(kesinambungan). Bagi Jakobson, bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu: (1) fungsi emotif (emotive), pengungkap keadaan pembicara; (2) fungsi referensial (referential), pengacu pesan; (3) fungsi puitik (poetic), penyandi pesan ; (4) fungsi metalinguistik (metalinguistics), penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi konotif (conative), pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (6) Fungsi fatik (phatic), pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak. Peneliti menggunakan salah satu fungsi dari teori fungsional Jakobson (1971:43) sebagai pelopor fungsi puitik (poetic function) memiliki teori yang
43
eksplisit dalam pendekatan sastra secara strukturalistis. Menurutnya, fungsi puitik menjadi perhatian kritikus sastra yang ditumpukkan pada bahasa yang menyebabkan seni sastra berada. Disamping itu, puisi sebagai sebuah karya sastra secara linguistik karena poetika bagianya adalah bagian dari linguistik. Dengan pengertian lain, fungsi puitik mengarahkan segenap upaya dan perhatian pada unsur-unsur. Guna mempelajari bahasa puitis, Jakobson mempergunakan konsep polaritas dan konsep ekuivalensi. Konsep polaritas diambil dari teori Saussure tentang hubungan sintagmatis dan asosiatif (paradigmatis). Konsep ini memperlihatkan oposisi biner metafora dan metonomia. Metafora bersifat paradigmatis, sedangkan metonimia bersifat sintagmatis. Keduanya mendasari proses pembentukan tanda-tanda bahasa atas seleksi dan kombinasi. Atas dasar itu, fungsi puitik memberikan definisi sebagai fungsi untuk memanfaatkan seleksi dan kombinasi untuk menigkatkan ekuivalensi (Kridalaksana, 2005:49). Bahasa puitik ada hubungannya dengan masalah yang ada dalam struktur verbal. Linguistik merupakan pengetahuan menyeluruh tentang struktur verbal, maka bahasa puitik dapat dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari linguistik. Ternyata sarana-sarana yang digunakan dalam bahasa puitik tidak terbatas pada seni verbal saja. Ciri-ciri bahasa puitik tidak hanya termasuk dalam ilmu bahasa, tetapi juga dalam semua teori mengenai tanda, yaitu semiotika umum. Pernyataan ini berlaku bagi semua variasi bahasa karena dalam bahasa ada beberapa wilayah yang erat kaitannya dengan sistem-sistem tanda yang lainnya, bahkan dengan semua sistem itu (ciri-ciri pansemiotik) (Budianta, dkk., 2008:40).
44
Berbeda halnya dengan linguistik, bahasa puitik ada kaitannya dengan evaluasi. Sesungguhnya setiap perilaku verbal mempunyai tujuan, tetapi tujuan itu berbeda dan kecocokan sarana yang digunakan dengan efek yang diinginkan merupakan masalah yang senantiasa menyibukkan peneliti berbagai jenis komunikasi verbal. Ada hubungan yang lebih erat yang tidak terduga oleh para kritikus antara masalah fenomena linguistik yang berkembang dalam ruang dan waktu dan terentangnya model-model sastra dalam ruang dan waktu. Bahkan, penyebaran yang terputus-putus sebagai halnya pemunculan kembali penyairpenyair yang dilupakan dan yang terlupakan pada masa kini (Kridalaksana, 2005:50). Jakobson menyatakan pula bahwa gaya-gaya literer berbagai aliran dapat dibedakan atas pemanfaatan metafora atau metonimia, seperti: aliran romantisme, simbiolisme, dan surrealisme yang mengutamakan metafora. Aliran realisme dan kubisme mengutamakan metonimia. Di sisi lain, Jakobson juga berargumen bahwa kepuitisan atau fungsi puitis tidak hanya terbatas pada puisi, melainkan pada (dalam) semua penggunaan bahasa. Dengan kata lain, apabila akan mempelajari fungsi puitis, maka linguistik tidak boleh membatasi pada puisi saja (Rokhmansyah, 2014:68).
2.3.4
Teori Semiotika Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda, sudah lahir pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Akan tetapi, ilmu ini baru berkembang pada pertengahan abad ke-20. Ilmu semiotika dalam sastra tidak terpisah dari teori
45
strukturalisme seperti yang dikemukaan oleh Yunus (1981:17) bahwa semiotika itu merupakan lanjutan strukturalisme. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang mempelajari fenomena sosial budaya termasuk sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980). Tanda mempunyai dua aspek, yaitu: penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda, dalam bahasa berupa satuan bunyi atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda adalah yang ditandai oleh penandanya. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda serta petandanya maka ada tiga jenis tanda, yaitu: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar rumah pada peta yang menunjukkan bahwa rumah yang ditandai (petanda) menandai rumah yang sesungguhnya. Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya asap menandai api, mendung menandai hujan. Simbol adalah tanda yang menanda tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah, hubungannya arbiter (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol. Di samping ketiga tanda itu ada tanda yang disebut dengan simtom (gejala) yang petandanya belum pasti. Misalnya suhu panas orang sakit tidak menunjukkan penyakit tertentu (Culler, 1981:40). Dalam semiotika terdapat dua sistem yang dapat diidentifikasi, yaitu: (1) sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics); dan (2) sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics). Bahasa adalah bahan karya sastra. Sebelum menjadi karya sastra, bahasa sudah merupakan tanda yang mempunyai
46
arti. Oleh karena itu, bahasa disebut sebagai sistem semiotik tingkat pertama, kemudian menjadi tanda sastra dan ditingkatkan menjadi sistem semiotik tingkat kedua. Arti bahasa menjadi arti sastra, maka arti sastra disebut sebagai significance atau makna. Makna ini arti dari arti (Preminger, 1974:981-982). Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi. Michael Riffaterre (1978) mengemukakan prinsip-prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik, antara lain: 1) Ketidaklangsungan Ekspresi. Ketidaklangsungan ekspresi dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Riffaterre menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005:124). Ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
47
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance). a) Penggantian arti (displacing of meaning) Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori. Metafora adalah bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding: bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya. b) Penyimpangan arti (distorting of meaning). Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan,
48
humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan Nonsense. Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran. Ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan. Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi Nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra. c) Penciptaan arti (creating of meaning) Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti merupakan organisasi teks di luar linguistik. Dalam kajian mantra,
49
semiotika dapat dikaji dari dua penanda, yaitu: verbal maupun non verbal (Ratna 2010:105). Dalam penelitian ini digunakan konsep teori semiotika Riffaterre untuk mengkaji sistem lambang (sign) dan perlambangan pada mantra Tulembang dan Tupakbiring. Seperti diuraikan dalam teori sebelumnya bahwa mantra Tulembang dan Tupakbiring termasuk dalam puisi yang menjadi pendekatan semiotika yang digunakan oleh teori semiotika Riffaterre. Di samping itu, penggunaan semiotika Riffatere ini bertujuan untuk mendapatkan makna dari ekspresi tidak langsung dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Makna dalam teks dapat dipahami dengan menafsirkan lambang dan perlambangan yang hadir dalam teks dan dihubungkan dengan penerimaan umum dalam masyarakat. 2) Heuristik Heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutika merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. Menurut Santosa (2004:231), pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal. HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu
50
bahasa. Selanjutnya, Pradopo (1995:135) memberi definisi pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat pertama. Fungsi pembacaan heuristik adalah mantra dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa (Santosa, 2004:231). 3) Hermeneutika Hermeneutika adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks.
Hermeneutika berkembang sebagai usaha untuk menggambarkan
pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan demikian, hermeneutika mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi, yaitu: (1) peristiwa pemahaman teks; dan (2) persoalan yang mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu. (Palmer, 1969:8) Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika adalah pemahaman (understanding) pada teks. Secara etimologis kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia
51
merupakan proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah menafsirkan teks klasik dan asing menjadi milik yang hidup pada zaman dan tempat berbeda. (Umiarso, 2011:193). Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes yang bertugas menyampaikan tugas Yupiter kepada manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang hermes yang begitu penting. Apabila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan dewa. Berhasil atau tidaknya misi ini tergantung bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika
secara
sederhana
diartikan
sebagai
proses
mengubah
ketidaktahuan menjadi tahu. (Sumaryono, 1999:24-25). Ebeling (dalam Mudjia, 2012:28) membuat interpretasi yang dapat dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan oleh Hermes. Menurutnya proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutika yang mendasar, yakni: (a) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian; (b) menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti; (c) menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai pembaca. Ketiga pengertian di atas terangkum dalam pengertian menafsirkan (interpreting, understanding). Dengan demikian, hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika adalah metode atau cara untuk menafsirkan simbol
52
berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa depan. Dengan demikian, hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Sumaryono, 1999:2). Pemaknaan adalah suatu dialektika antara penjelasan dan pemahaman. Penjelasan merupakan analisis struktur yang dilakukan terhadap karya dengan melihat hubungannya pada dunia yang ada di dalam teks. Model ini menjelaskan sisi objektif sebagai ranah ilmu alam. Dari sini dapat dilihat bahwa hasil pemaknaan hermeutika adalah pemahaman diri (refleksi), yaitu membiarkan teks (objektif) dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman “aku-lirik” pembaca (subjektif) tentang diri “aku-lirik” sendiri (Kurniawan, 2009:112-113). Pembacaan
hermeneutika
menurut
Santosa
(2004:234)
adalah
pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (1995:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya hermeneutika.
dengan
pemahaman
yang
terjadi
dalam
pembacaan
53
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutika pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun
dari
berbagai
unsur
kebahasaan.
Proses
pembacaan
yang
dimaksudkan oleh Riffaterre (1978:126) dapat diringkas menjadi: (1) membaca untuk arti biasa; (2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa; (3) menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks; (4) menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah penyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks. Fungsi hermeneutika dalam penelitian ini, yaitu membantu peneliti untuk menginterprestasikan kata, kalimat, serta struktur dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Hal ini sesuai dengan pernyataan Palmer (1969) bahwa hermeneutika dapat diartikan sebagai cara memahami dan mengerti karena ada proses interpretasi. Dalam proses interpretasi ada sejumlah masalah yang menuntut penjelasan, yakni pesan yang disampaikan, melalui kata, kalimat, atau struktur dalam mantra. Menurut Halliday (1978:110) bahasa adalah suatu sistem semiotika sosial. Sistem semiotika bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotika. Terdapat tiga hal penting sistem
54
komunikasi bahasa menurut Halliday (1978:19-20), yaitu: metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain, harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika sosial untuk membantu peneliti dalam menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik berupa kata maupun rangkaian kata atau kalimat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (2003:6) bahwa semiotika sosial lebih cenderung melihat bahasa sebagai sistem tanda atau simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial kebahasaan. Teori semiotika sosial digunakan untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat. Makna tersurat adalah makna bahasa yang dapat dilihat dalam kamus, sedangkan makna tersirat adalah makna bahasa yang tidak terdapat dalam kamus, tetapi dapat ditelusuri dengan melihat konteksnya (Riana, 2003:10).
2.3.5
Teori Stilistika Kajian komprehensif Ratna (2009:19) dalam stilistika, mengungkapkan
bahwa pembicaraan stilistika dalam analisis karya sastra difokuskan pada batasan deskripsi penggunaan khas bahasa, seperti: inversi, hiperbola, litotes, dan
55
sebagainya. Secara etiologis, stilistika memiliki pemaknaan dari kata stilistika atau stil (style) yang diartikan sebagai ilmu tentang gaya. Gaya merupakan salah satu cabang ilmu dalam bidang kritik sastra yang relevansinya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu atau semata-mata teks sastra. Dengan kata lain, stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya dalam karya sastra. Gaya pada dasarnya telah melahirkan kegairahan sebab dengan citra baru dalam mencapai kepuasan. Kendati demikian, gaya tidak harus dilakukan di luar batas kebiasaan sehingga melanggar norma, sebab gaya harus menyesuaikan dengan etika, adat istiadat, dan kebiasaan yang fungsinya sebagai pembatas. Terlepas dari batasan tersebut, sastra memberlakukan gaya sebagai kekhasan dalam semua bentuk ekspresi, sehingga gaya bersifat superior dan inferior, kuat dan lemah, atau baik dan tidak baik. Beberapa kekhasan yang dimaksud adalah tentang gaya bahasa, indisipliner antara linguistik dengan sastra, penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, menyelidiki pemaknaan bahasa dalam karya sastra, serta menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannnya sekaligus latar belakang sosialnya. Stilistika membicarakan bagaimana memahami dan mengkaji sastra dari segi penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penyair. Hal ini dikemukakan oleh Atmazaki (2007:152) bahwa stilistika merupakan salah satu pendekatan dalam kritik sastra, yaitu kritik sastra yang menggunakan linguistik sebagai dasar kajian. Kajian stilistika ini berkaitan dengan bagaimana kata-kata tersebut menimbulkan efek dan makna tertentu. Analisis stilistika merupakan pendekatan struktural,
56
sehingga analisis stilistika boleh dimulai dari unsur kebahasaan manapun. Stilistika dalam kaitannya dengan studi retorika haruslah merupakan suatu pencarian filosofis tentang bagaimana kata-kata bekerja atau berpengaruh dalam wacana. Menurut Abrams, unsur style atau gaya bahasa terdiri dari unsur: fonologi, sintaksis, leksikal, retorika (berupa karakteristik penggimaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya). Leech dan Short menyebut unsur style dengan istilah stylistics categories. Menurut mereka unsur stile terdiri atas kategori leksikal, gramatikal, figures of speech, konteks, dan kohesi. Kemudian, Nurgiyantoro (1995:290) membuat simpulan bahwa unsur gaya bahasa terdiri atas unsur leksikal, gramatikal, retorika, dan kohesi. Unsur retorika meliputi pemajasan, penyiasatan struktur kalimat, dan pencitraan. Dengan demikian, style atau gaya bahasa terdiri atas unsur leksikal, gramatikal, kohesi, dan retorika. Dalam penelitian ini unsur gaya bahasa yang digunakan adalah unsur retorika. Pembahasan unsur-unsur gaya bahasa yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah unsur retorika yang meliputi pemajasan, penyiasatan struktur kalimat, dan pencitraan.
2.4 Model Penelitian Model penelitian ini mendeskripsikan tentang kebudayaan suku Makassar yang memiliki sastra lisan disebut Tulembang dan Tupakbiring. Dalam penelitian ini juga dianalisis dengan menggunakan analisis struktur, fungsi, makna, dan pewarisan. Teori semiotika sosial digunakan untuk menganalisis fenomena sosial yang tersurat dan tersirat dalam mantra. Semiotika Reffaterre menyebutkan, ketidaklangsungan
ekspresi
disebabkan
oleh
tiga
hal:
(1)
pergantian
57
arti/displacing of meaning; (2) penyimpangan arti/distorting of meaning; dan (3) penciptaan arti/creating of meaning. Ketiganya digunakan untuk menganalisis fenomena bentuk struktur, fungsi, dan makna. Gambar 2.1 Model Penelitian Kebudayaan Makassar
Sastra Lisan
Teori Semiotika
Struktur Teks
Teks Mantra Tulembang & Mantra Tupakbiring
Fungsi dan variasi
Makna
Metode kualitatif
Sistem Pewarisan
Temuan Baru
Berdasarkan Gambar 2.1, dapat dijelaskan bahwa konsep mantra Tulembang dan Tupakbiring adalah tradisi lisan berupa mantra yang dimiliki oleh masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam perjalanannya, telah memberi konfigurasi kajian sastra tradisional. Ada hubungan antara mantra dengan masyarakat. Mantra tercipta dari masyarakat, sebab masyarakat adalah pewarisnya. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat tradisional yang berpegang teguh pada adat istiadatnya, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
58
mantra. Mantra Tulembang dan Tupakbiring direfleksikan atas teks sastra, karena menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan memiliki sistem tanda yang mempunyai makna. Mantra Tulembang mempunyai struktur teks yang terdiri atas salam pembuka dengan larik basmallah dan assalamualaikum. Batang tubuh lebih banyak berupa permohonan keberkahan dan penolak bala. Penutup menggunakan puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Mantra Tupakbiring cenderung lebih bebas dalam struktur teks. Pembuka lebih banyak diawali oleh penyebutan nama bayangan pembaca mantra. Batang tubuh lebih banyak memuat permohonan keselamatan dan pengusiran hal yang jahat (tolak bala). Mantra Tulembang dan Tupakbiring sampai sekarang masih memiliki fungsi bagi masyarakat pemiliknya dan masih bertahan. Kedua mantra memiliki fungsi teologi, religius, sosial, budaya, dan pengendali sosial. Fungsi ini tercermin pada teks yang selalu menghimbau kepada umat manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, himbauan untuk selalu berlaku rendah hati yang merupakan representasi kontrol sosial dan fungsi kedua mantra tersebut sebagai media komunikasi kepada Sang Maha Pencipta, sebagai bentuk kepuasan batiniah bagi penyapa dan pesapa mantra. Pemaknaan dalam Mantra Tulembang dan Tupakbiring merupakan perkataan atau kalimat yang dapat mendatangkan daya gaib, jampi, dan pesona sehingga dapat mengandung kekuatan dan mengabulkan permohonan sesuai si empunya niat. sistem pewarisan masih bersifat alamiah, yakni dengan hubungan vertikal heirarki (mantra Tulembang) dan vertikal-
59
horisontal (mantra Tupakbiring). Selain itu, belum ada upaya Pemerintah Daerah secara maksimal untuk melestarikan budaya mantra suku Makassar ini. Temuan ini penting dipahami dan dipedomani oleh tokoh masyarakat terutama generasi muda di Kabupaten Gowa dan Takalar agar dapat memelihara dan melestarikan kebudayaan daerah miliknya terutama mantra. Bagi pembaca dan peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam pembahasan hal yang sama. Keunikan dan kekayaan penggunaan kata-kata arkais/kuno mantra Tulembang dan Tupakbiring jarang digunakan dalam pembicaraan sehari-hari dan perlu
ditelaah
bahasanya.
Namun,
makna
kata-kata
dalam
mantra
merepresentasikan hal-hal yang ada dalam kehidupan masyarakat suku Makassar. Selain itu, mantra Tulembang dan Tupakbiring memuat hal-hal yang natural dan supernatural, dan berbagai aspek adat dan budaya. Penelitian ini menunjukkan pentingnya upaya untuk mendokumentasikan kekayaan budaya melalui mantra yang digunakan suku Makassar. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian terhadap mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar.
60
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Mantra Tulembang dan Tupakbiring memiliki ciri-ciri pengenal utama sastra lisan seperti yang dikemukakan oleh Bartlett (1965:244-245), yaitu dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu, dekat dengan kelompok masyarakat yang memilikinya dan mengungkapkan keadaan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya. Selanjutnya, dilakukan penelaahan dengan metode semiotika. Penelitian ini dirancang dengan metode semiotika bersifat kualitatif interpretatif. Artinya, penelitian memfokuskan pada “tanda” dan “teks” sebagai objek kajian, serta “menafsirkan” dan “memahami kode” di balik tanda dan teks tersebut kemudian, memberikan kesimpulan yang komprehensif mengenai hasil penafsiran dan pemahaman yang telah dilakukan. Untuk mengkaji fungsi, makna, dan struktur mantra, penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23) penelitian kualitatif tidak menggunakan angka-angka tetapi mengutamakan pengahayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Moleong (2000:6) mengatakan penelitian kualitatif adalah data yang ditemukan atau dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Apabila dilihat sifat penelitian yang membahas tentang budaya suatu daerah, mengharuskan peneliti mendapatkan data dan mengkaji masalah sosial masyarakat setempat. Oleh karena itu, penelitian ini dimasukkan dalam rancangan
60
61
penelitian field work. Penelitian dimulai dari pemerolehan teks. Teks diperoleh dengan cara merekam suara bacaan mantra informan lalu ditulis sesuai suara rekaman tersebut. Transkripsi teks diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk kepentingan analisis teks, mantra Tulembang dan Tupakbiring diubah dan disesuaikan terjemahannya. Selanjutnya, penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data mantra Tulembang dan Tupakbiring. Peneliti ini juga menggunakan penelitian kepustakaan berupa informasi dari laporan penelitian ataupun tulisan lain yang relevan dengan permasalahan yang diteliti sebagai sumber bahan sekunder. Di samping itu, informasi juga diperoleh di dalam media elektronik melalui internet, misalnya artikel-artikel, buku-buku elektronik, dan hasil penelitian.
3.2 Sumber Data dan Informan Data utama atau primer digunakan untuk mendeskripsikan aspek bentuk dan variasi serta fungsi yang terkandung dalam mantra. Unsur-unsur Islam juga eksis dalam teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. Sehubungan dengan hal ini, peneliti menggunakan sumber data berupa: 1) Data primer, berupa hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat serta pembaca mantra. Informan penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria berikut. a) Terlibat langsung dalam penelitian ini sebagai warga suku Makassar yang berdomisili di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa dan Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar; b) Memunyai waktu yang cukup dalam kegiatan penelitian ini sehingga peneliti dan informan dapat selalu bekerjasama;
62
c) Non analitis tetapi memiliki wawasan pengetahuan tentang budaya tradisi lisan, khususnya Mantra Tulembang dan Tupakbiring; d) Produktif dalam berdiskusi yang menghasilkan teks mantra beserta terjemahan, menjelaskan perbendaharaan bahasa Makassar yang sulit dalam Mantra tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan empat informan, seperti: (1) Baso Daeng Sila selaku tokoh adat; (2) Akhmad Daeng Naba sebagai pembaca mantra dan keduanya berasal dari desa Bukrung-bukrung Pattallassang, Kabupaten Gowa; (3) Maddatuang Daeng Ngagu selaku tokoh adat; dan (4) Sandi Daeng Sanre sebagai pembaca mantra dan keduanya berasal dari desa Pallaklakang, Galesong, Kabupaten Takalar. Pemilihan informan berdasarkan informasi dari Kepala Desa terhadap tokoh-tokoh Agama, pemuka masyarakat, tokoh adat, ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di masing-masing lokasi penelitian. Kepala Desa dan Ketua RW sebagai tempat bertanya dan berkonsultasi untuk menentukan informan yang mengetahui tentang mantra Tulembang dan Tupakbiring. 2) Data sekunder, berupa dokumentasi mantra Tulembang dan Tupakbiring yang terdapat di Kantor Desa serta infomarsi budaya dalam masyarakat suku Makassar. Budaya yang dimaksud, yaitu ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat Makassar di Pattallassang dan Pallaklakkang dalam bertani dan melalut.
63
3.3 Instrumen Penelitian Instrumen utama penelitian teks mantra Tulembang dan Tupakbiring adalah buku catatan. Buku catatan digunakan untuk mencatat data teks mantra Tulembang dan Tupakbiring dan kata-kata sulit serta terjemahannya. Buku catatan ini juga dapat digunakan memilah-milah dan mengelompokkan teks mantra menurut bentuk dan fungsinya. Penelitian ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, beberapa petani dan nelayan, dukun obat serta masyarakat lainnya sebagai informan. Agar wawancara terarah dan terstruktur, peneliti membawa panduan sebagai penuntun wawancara. Catatan pertanyaan sebagai panduan wawancara agar tidak terjadi pertanyaan ulangan atau ada hal-hal yang terlupakan. Alat perekam atau handphone digunakan untuk merekam wawancara dan dapat didengar ulang agar lebih jelas informasi yang didapat di lapangan.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan adalah metode lapangan (field Research). Metode ini dilakukan dalam rangka mencari data primer, yaitu mantra Tulembang dan Tupakbiring yang masih digunakan oleh masyarakat tradisional Makassar yang tinggal di Desa Bukrung-bukrung, Kecamatan Paktallasang, Kabupaten Gowa dan Pallaklakang, Kecamatan Galesong, Kabupaten Gowa. Sehubungan dengan itu, dikumpulkan informasi yang berhubungan dengan mantra Tulembang dan Tupakbiring dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, rekaman.
64
1) Teknik Observasi Observasi adalah pengamatan, peninjauan secara cermat (Anwar, 2005:228)”. Peneliti mengadakan pengamatan di daerah yang menjadi tempat penelitian dengan tujuan untuk mencari informan tentang mantra yang ada di wilayah yang didominasi oleh suku Makassar. Observasi ini dilakukan melalui teknik pengamatan terhadap proses pembacaan mantra. Tujuan observasi untuk mengecek dan mericek data yang diperoleh. Observasi ini juga dapat memperkecil kesalahan atau data yang kurang cocok. Peneliti ikut berperan dalam semua kegiatan pembacaan mantra dan ritualnya. Sejalan dengan pendapat Danandjaya (1994:101) dan Ratna (2004;47) bahwa penggunaan metode observasi dalam penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh tentang sosial budaya suku Makassar yang melatari teks mantra Tulembang dan Tupakbiring. 2) Teknik Wawancara. Wawacara atau interview adalah tanya jawab antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai (Anwar, 2005:392). Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan keterangan mengenai struktur dan isi mantra, bentuk serta variasi fungsi yang terkandung makna dan kehadiran unsur-unsur teks Islam dan sistem pewarisan. Teknik wawancara mendominasi di lapangan, terutama teknik wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara mendalam seorang peneliti akan menggali apa yang tersembunyi dalam sanubari informan, dan akan menggali terus agar mendapat informasi yang akurat (Bungin, 2011:65).
65
Teknik wawancara langsung digunakan kepada beberapa informan dan sekaligus merekam dengan menggunakan tape recorder atau video kamera. Wawancara diadakan dengan informan secara santai dan menyenangkan agar memperoleh data yang reliable. Kegiatan wawancara dilakukan berulangulang dari satu informan ke informan lainnya untuk mericek keabsahan data. Selain itu, daftar pertanyaan selalu dilihat sebagai panduan agar tidak ke luar dari ruang lingkup mantra Tulembang dan Tupakbiring. 3) Teknik Dokumentasi Teknik
yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
teknik
dokumentasi. Teknik ini untuk mengumpulkan data tentang mantra dan kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Teknik ini berdasarkan data tertulis. Dokumen yang digunakan sebagai sumber rujukan dalam pengumpulan data, yaitu buku-buku, hasil penelitian, disertasi, tesis, artikel, dan makalah. 4) Teknik Rekam. Rekaman adalah suatu dokumen yang menyatakan bahwa sesuatu hasil telah dicapai atau suatu bukti kegiatan telah dilaksanakan (Anwar, 2009:2). Peneliti melakukan rekaman wawancara dengan informan menggunakan alat perekam untuk merekam respon informan. Rekaman dilakukan terhadap informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan dengan instrumen yang telah disiapkan.
66
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan aspek sastra yang terdapat dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Kedua jenis mantra ini dianalisis dengan cara menginterpretasi secara semiotik terhadap mantra Tulembang Suku Makassar. Misalnya, makna yang terkandung berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik akan mengungkap model yang terdapat dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring. Dalam kaitannya dengan pemaknaan mantra Tulembang dan Tupakbiring, pembacalah atau peneliti yang seharusnya bertugas memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi, proses pemaknaan dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik. Kemudian, menangkap arti sesuai teks yang ada dan diartikan dengan bahasa yang sesuai dengan teks. Pembaca harus memilki kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti (meaning) dan unsur-unsurnya menurut kemampuan bahasa berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang dunia luar (mimetic function). Kemudian, pembaca harus meningkatkannya ke tataran kedua yaitu pembacaan hermeneutik untuk menginterpretasi makna secara utuh. Pembaca harus memahami apa yang dia sudah baca lalu memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. Di dalamnya terdapat kode karya sastra yang diungkap (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu, tanda-tanda dalam puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Riffaterre juga mengungkapkan metode pemaknaan puisi secara semiotik dengan tuntas. Berdasarkan hal itu, teori Riffaterre tepat untuk mengungkapkan mantra
67
Tulembang dan Tupakbiring, sebagai salah satu jenis puisi. Langkah-langkah pemaknaan terhadap puisi yang dikemukakan oleh Riffaterre memberikan ruang untuk dapat mengungkap makna yang terdapat dalam mantra Tulembang dan Tupakbiring secara total.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Metode
formal
digunakan
untuk
merumuskan
tanda-tanda
dan
perlambangan dan metode informal menyajikan hasil analisis. Rancangan hasil analisis mantra Tulembang dan Tupakbiring disajikan dalam bentuk deskriptif atau dalam bentuk penceritaan. Hal ini disebabkan penelitian mantra Tulembang dan Tupakbiring dalam kehidupan suku Makassar bersifat kualitatif. Penyajian lain adalah pembagian dari satu bab ke bab yang lain untuk memperjelas setiap bab. Dalam pengelolaan data digunakan analisis semantik, yaitu studi tentang apa yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca) dalam artian studi tentang maksud penutur. Dengan demikian, terjadi kesesuaian antara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat tradisional dengan mantra yang dibacakan pada saat prosesi berlangsung.