1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan.1 Kebudayaan tersebut tersebar di berbagai daerah, salah satunya ada di pulau Jawa. Salah satu bentuk kebudayaan yang terdapat di pulau Jawa adalah kebudayaan Jawa. Pada masa kerajaan Mataram (abad 17 M) daerah Jawa dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu negarigung, mancanegari, dan pesisiran. Negarigung ialah wilayah yang menjadi pusat pemerintahan Mataram, (Yogyakarta dan Solo). Sebagai ibukota kerajaan, keduanya disebut sebagai Kota Negari (Kotanegara) tetapi sebagai kawasan pemerintahan, keduanya disebut sebagai daerah Negarigung. Perbedaan antara keduanya adalah soal istilah kepemimpinan yaitu Yogya dipimpin oleh seorang sultan sementara Solo dipimpin oleh seorang sunan. Baik istilah sultan maupun sunan keduannya adalah peminjaman dari sistem pemerintahan Islam. Oleh karena itu, pembagian pemerintahan Mataram tersebut terjadi setelah mengenal peradaban Islam (Thohir, 2006: 39).
1
Menurut Koentjaraningrat kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, rasa, karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu (Koentjaraningrat, 1979: 181).
2
Daerah-daerah yang ada di sekitar atau di luar kerajaan tetapi masih menjadi bagian kekuasaannya, disebut wilayah mancanegari. Dalam arti politik, daerah mancanegari merupakan daerah-daerah yang dipimpin oleh residen (bupati) yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram dan dalam arti kebudayaan, memiliki kemiripan dengan kebudayaan Jawa Negarigung tetapi dari segi kualitas peradabannya termasuk Tradisi Kecil sehingga tidak sehalus peradaban kraton . Sedangkan kebudayaan pesisiran merupakan kebudayaan yang hidup di sepanjang daerah pantai utara Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan masyarakat pesisir atau orang pesisir2 (Thohir, 2006: 39-40). Tradisi yang berkembang dan terkenal di daerah pesisir utara (Pemalang) ialah Tradisi baritan (selanjutnya disingkat TB). TB merupakan tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat Asemdoyong, Pemalang. Tradisi sedekah laut
diharapkan
bisa
membuat
kehidupan
masyarakat
(pelaku
tradisi)
berpenghasilan lebih melimpah dan terhindar dari segala musibah.3 Upacara rakyat dalam hal ini TB dilakukan dan disebarkan secara turun temurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya, sehingga menjadi sebuah tradisi4 di dalam masyarakat.
2
Untuk kawasan pantai utara Jawa, mereka yang disebut orang pesisir adalah masyarakat Jawa yang tinggal di sepanjang daerah Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Kudus, Pati, Juwana, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Cengkal Sewu yang umumnya bersifat terbuka, lugas, dan egaliter (Thohir, 2006: 39). 3 Menurutt (Purwasita, 2003) tradisi merupakan adat kebiasaan yang diproduksi oleh suatu masyarakat berupa aturan atau kaidah yang biasanya tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh masyarakat berupa petunjuk perilaku yang harus dan atau sebaliknya dilakukan, atau apa yang harus dan sebaiknya tidak dilakukan berupa tabu-tabu (larangan). Sedangkan bagi yang melanggar kaidah tersebut akan mendapatkan sanksi-sanksi yang biasanya bersifat sanksi sosial. 4 Tradisi dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis keberadaanya dan keberlangsungannya bersifat turun-temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat (Koentjaraningrat, 1994: 9).
3
Kajian terhadap upacara sedekah laut masyarakat Asemdoyong merupakan kajian pada ranah folklor.5 Jan Harold Brundvand dalam Danandjaja (1984), menggolongkan folklor berdasarkan tipenya menjadi 3, yaitu : folklor lisan (verbal folklore); folklor sebagian lisan (partly verbal folklore); dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Bentuk folklor lisan misalnya bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, dan pesta rakyat. Sedangkan folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Berdasarkan penggolongan di atas, TB termasuk kategori folklor sebagian lisan yang berupa ritual upacara rakyat. Ada beberapa macam upacara rakyat dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa, antara lain yaitu : a. Upacara adat yang berhubungan dengan bulan, tahun dan peristiwa tertentu, misalnya upacara bersih desa, nyadran, syuranan, ruwatan, syawalan dan lain-lain. 5
Kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan demikian definisi folklor secara keseluruhan adalah tradisi kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke generasi (Danandjaja, 1984: 2).
4
b. Upacara yang berhubungan dengan perjalanan hidup (daur hidup), misalnya upacara sebelum kelahiran, setelah kelahiran, dan kematian seseorang. c. Upacara yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan, misalnya membangun rumah, membuat jalan baru, membuat sumur, menanam padi, dan lain-lain. Dilihat dari waktu pelaksanaannya, TB dilaksanakan pada setiap bulan Syura6(Muharram). Bulan Muharram bagi sebagian umat Islam, disambut dengan berbagai macam aktifitas, misalnya berpuasa Syura, membagikan bubur Syura kepada para tetangga dan saudara, membagikan hasil panen atau melakukan tradisi lainnya. Hal ini karena masyarakat Islam meyakini adanya keutamaan dan keistimewaan pada bulan Muharram. Bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan yang dinamakan bulan haram (Sitanggal: 1991: 397). Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt sebagai berikut yang artinya. “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36).
6
Bulan Syura merupakan bulan pertama dalam perhitungan kalender Jawa dan Muharram bulan pertama juga dalam perhitungan kalender Islam (Hijriyah). Menurut (Pranoto dkk, 2009: 151-152) dalam tahun Islam terdapat 12 bulan, yaitu Muharram (30 hari), Shafar (29 hari), Rabi’ul Awal (30 hari), Rabi’ul Akhir (23 hari), Jumadil Awwal (30 hari), Jumadil Akhir (29 hari), Rajab (30 hari), Sya’ban (29 hari), Ramadhan (30 hari), Syawal (29 hari), Dzulqa’idah (30 hari), Dzulhijjah (29 atau 30 hari).
5
Dengan melakukan sambutan/kegiatan-kegiatan tersebut di atas, berarti masyarakat Islam telah memuliakan bulan Syura sebagai sarana untuk memperbaiki diri (introspeksi), menambah amal baik, dan melakukan kegiatankegiatan positif menurut ajaran Islam. Rangkaian TB di Asemdoyong Pemalang berlangsung selama satu minggu menjelang tanggal 1 Syura. Acara puncak TB terjadi pada tanggal 1 Syura, sehingga masyarakat Asemdoyong menyebut TB sebagai tradisi syuranan. Di antara acara yang diselenggarakan untuk memeriahkan TB di Asemdoyong yaitu permainan sepak bola, pertunjukan wayang, dan pasar rakyat. Pada acara pelarungan dalam TB, perahu-perahu pengiring sesaji dihias indah untuk menarik perhatian pengunjung dan memeriahkan acara. TB di Asemdoyong Pemalang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi, TB sempat berhenti setelah kemerdekaan Republik Indonesia (RI), karena pada saat itu suasana politik kekuasaan masih bergejolak dan masyarakat Asemdoyong merasa belum aman jika melaksanakan TB. TB baru dilaksanakan kembali pada tahun 1979. TB muncul karena adanya keyakinan masyarakat nelayan bahwa di laut ada penguasa laut.7
7
Kalau di pesisir laut kidul (Selatan), masyarakat menganut kepercayaan agama raja-raja, Kraton Jogja-Solo. Akan tetapi wiliyah pesisir (laut) utara, menganut kepercayaan Nabi Khidir., sebagai penguasa laut utara atau konsep islamisasinya. (Thohir dalam SemNas Dies Natalis FIB Undip ke46 “Membangun Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Kebudayaan” Semarang, 27/10/11)
6
Berdasarkan pengamatan peneliti sampai saat ini, TB yang ada di Asemdoyong Pemalang belum diteliti. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya dokumentasi yang terkait dengan TB yang terdapat di masyarakat dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pemalang. Selain itu, teks lisan TB menghadapi ancaman kepunahan. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya masyarakat yang mengetahui sejarah TB. Penurunan cerita sejarah TB hanya terjadi pada saat upacara TB berlangsung. TB di Asemdoyong merupakan satu-satunya tradisi keagamaan yang menjadi ikon kota Pemalang. TB di Asemdoyong selalu dilaksanakan tiap tahun. Uraian di atas dijadikan dasar bagi peneliti untuk meneliti TB. Penelitian ini difokuskan untuk mendokumentasikan prosesi TB dan mengungkapkan resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap cerita TB.
2. Permasalahan 1. Bagaimana suntingan cerita lisan TB di Asemdoyong, Pemalang? 2. Bagaimana prosesi ritual TB di Asemdoyong, Pemalang? 3. Bagaimana resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap makna simbolik TB di Asemdoyong, Pemalang?
7
B. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: a. Membuat suntingan cerita lisan TB di Asemdoyong, Pemalang. b. Membuat deskripsi prosesi ritual TB di Asemdoyong, Pemalang. c. Mengungkap resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap makna simbolik TB di Asemdoyong, Pemalang. C. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini meliputi, manfaat praktis dan teoritis. 1.
Manfaat Praktis a. Dengan penelitian ini warisan budaya leluhur masyarakat Asemdoyong dapat terlindungi dari ancaman kepunahan dengan menjadikannya sebuah tulisan sehingga generasi berikutnya tahu bahwa TB sebagai bagian dari kebudayan mereka.
2. Manfaat Teoritis a. Diperoleh secara lengkap penyebaran dan resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap TB. D. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Sebelumnya Sejauh pengamatan penulis, TB di Asemdoyong Pemalang belum pernah diteliti. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukan data hasil penelitian TB di
8
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jawa Tengah dan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pemalang.8
Beberapa penelitian
terdahulu yang berobjek sedekah laut di antaranya adalah:
a. ”Mitos Masyarakat terhadap Cerita Rakyat tentang Sumur dan Sedekah Laut di kecamatan Sarang Kabupaten Rembang” karya Dwi Sulistyorini (1999). Penelitian Dwi Sulistyorini menggunakan pendekatan kualitatif dan hasilnya berupa deskripsi cerita rakyat mengenai sebuah sumur yang dianggap keramat dan tradisi sedekah laut yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan
Sarang
Kabupaten
Rembang.
Akan
tetapi,
pada
penelitiannya, skripsi Dwi tidak menganalisis objek penelitiannya dengan teori apapun. b. “Praktek Tradisi Ritual Sedekah Laut di Kecamatan Juawana Kabupaten Pati (Tinjauan Teoligis)” karya Evanulia ( 2005).9 Penelitian tersebut berisi deskripsi praktik ritual sedekah laut pada masyarakat Juwana. Masyarakat Juwana Pati menganggap tradisi sedekah laut dipandang sakral sehingga mereka melaksanakannya setiap tahun. Mereka beranggapan bahwa jika telah melakukan tradisi sedekah laut, maka mereka akan merasa hidup menjadi aman, hasil panen melimpah dan terhindar dari bencana-bencana, serta terhindar dari gangguan makhluk gaib.
8
Peneliti melakukan survei langsung ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemalang (Rabu, 3/8/11). 9 Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (http://library.walisongo.ac.id/2011/12/16/praktek-tradisi-ritual-sedekah-laut-di-kecamatanjuawana-kabupaten-pati/).
9
Sebaliknya, jika tidak menyelanggarakannya, mereka beranggapan akan mendapat bencana, gangguan makhluk gaib, dan hasil panen yang menurun. Fokus penelitian Evanulia, diarahkan pada dokumentasi acara dan ditinjau dari segi theologis dengan menggunakan metode kualitatif dan fenomenologi. Dari kajian teologis dititikberatkan pada rangkaian acara ritual-ritual sedekah laut yang semula dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, kemudian mengalami proses akulturasi. Hasil simpulan dari penelitian tersebut ialah bahwa tradisi ritual sdekah laut di Juwana merupakan warisan budaya nenek moyang yang patut dilestarikan. Tradisi sedekah laut ini sudah ada sebelum masuknya penyebaran agama Islam di Pati. Tradisi ini juga termasuk hasil akulturasi kebudayaan Islam. Bagi masyarakat Pati, tradisi sedekah laut ini berfungsi mewujudkan dan menumbuhkan solidaritas di antara warga masyarakat, karena mereka secara bersama-sama melakukan tradisi sedekah laut. Pada penelitian ini objek kajian dianalisis dari segi struktural atau deskripsi saja. c. “Perbedaan Sikap dalam Tradisi Sedekah Laut di Masyarakat Pesisir Teluk Penyu Cilacap” karya Muliana Dewi (2009).10 Pada penelitian tersebut, Muliana Dewi mendeskripsikan perbedaan sikap masyarakat dalam menanggapi tradisi sedekah laut dengan tinjauan 10
Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. (http://etd.eprints.ums.ac.id/2011/12/13/perbedaan-sikap-dalam-tradisi-sedekah-laut-dimasyarakat-pesisir-teluk-penyu-cilacap/).
10
psikologi. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di desa Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap. Sampel dalam penelitian adalah masyarakat di empat RT (RT 02, RT 05, RT 07, dan RT 14) dari 87 kelompok RT. Metode pengumpulan data menggunakan skala yaitu skala sikap tradisi sedekat laut. Hasil dari penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan sikap terhadap tradisi sedekah laut, antara masyarakat yang berpendidikan rendah dengan masyarakat berpendidikan tinggi; antara masyarakat nelayan dengan masyarakat bukan nelayan; dan antara kaum muda dengan kaum tua. Penelitian ini memfokuskan pada aspek kajian psikologi masyarakat di desa Cilacap terhadap tradisi sedekah laut, bukan fokus pada esensi ritual tradisi sedekah laut.
d. “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Upacara Sedekah Laut di Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap” karya Atiq Murtadlo (2010).11 Penelitian ini terfokus pada akulturasi Islam dan budaya lokal dalam upacara sedekah laut yang ada di Cilacap. Teori yang digunakan adalah teori akulturasi yang dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal tradisional. Keduanya saling bertemu, budaya luar mempengaruhi budaya lokal yang telah mapan untuk menuju suatu keseimbangan. Dalam hal ini budaya luar atau asing adalah budaya Islam.
11
Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. http://digilib.uin-suka.ac.id/2011/12/15/-akulturasiislam-dan-budaya-lokal-dalam-tradisi-upacara-sedekah-laut-di-pantai-teluk-penyu-kabupatencilacap/).
11
Hasil dari penelitian ini adalah pertama, proses akulturasi Islam dan budaya lokal dalam pelaksanaan upacara sedekah laut, berawal dari dakwah Haji Hasan Masnawi, dia terlibat langsung dalam pelaksanaan upacara sedekah laut dan mendapat dukungan penuh dari bupati Cilacap. Sebagian besar masyarakat Cilacap menerima adanya proses akulturasi ini, karena pada masa itu sebenarnya masyarakat Cilacap sudah banyak yang beragama Islam. Kedua, nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara sedekah laut adalah nilai aqidah seperti adanya pembacaan kalimat syahadat, nilai ibadah seperti adanya pembacaan doa selamat, dan nilai akhlak seperti kebersamaan dalam menjaga kebersihan.
Masyarakat Islam Cilacap merespon baik upacara sedekah laut dengan harapan dalam pelaksanaan upacara sedekah laut, tidak terdapat nilai-nilai yang berbenturan dengan kaidah Islam. Sebaliknya, masyarakat Cilacap yang beragama Islam lemah, merespon secara negatif, karena mereka menginginkan keutuhan dan kemurnian pelaksanaan upacara sedekah laut. Sedangkan bagi masyarakat non-Islam merespon secara positif, karena sebenarnya mereka juga tidak setuju dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
Penelitian-penelitian tersebut di atas sebagian besar hanya mengkaji tradisi sedekah laut dari segi struktural tanpa dianalisis secara mendalam. Oleh karena itu, pada penelitian ini, peneliti akan menyajikan deskripsi upacara TB yang
12
lengkap disertai tanggapan masyarakat terhadap makna simbolik TB sehingga tujuan untuk mengungkap makna TB bagi masyarakat dapat tercapai. 2.
Landasan Teori
Teori dibutuhkan sebagai pegangan-pegangan pokok secara umum. Teori adalah pendapat yang berdasarkan pada penelitian dan penemuan yang didukung oleh data dan argumen: asas atau hukum umum yang menjadi dasar suatu ilmu pengetahuan. Teori digunakan untuk menganalisis objek penelitian. Tanpa teori penelitian tersebut hanya menjadi pengetahuan tentang seperangkat fakta saja, tetapi tidak ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1997: 10). Teori adalah seperangkat penjelasan logis yang mempunyai nilai-nilai keilmiahan untuk memahami permasalahan atau objek yang akan dikaji. Teori digunakan sebagai alat untuk mengungkap hubungan sebab-akibat antara gejalagejala sosial yang ada dengan permasalahan penelitian, termasuk terhadap data yang dikumpulkan.12 Fokus kajian dalam penelitian ini adalah sebuah teks lisan cerita TB dan resepsi masyarakat terhadap prosesi jalannya TB dan makna simbolik TB. Jadi, teori yang digunakan dalam penelitian ini tidak hanya teori folklor, tetapi juga menggunakan teori resepsi sastra. Pengertian resepsi di sini ialah pandangan atau tanggapan masyarakat Asemdoyong terhadap cerita TB.
12
Bimbingan dengan dosen pembimbing 1 (Kamis, 8/12/12).
13
Dengan demikian, resepsi masyarakat akan ditandai oleh indikatorindikator sebagai berikut: (1) kemampuan masyarakat Asemdoyong menerima TB; (2) kemampuan masyarakat Asemdoyong memahami TB; dan (3) kemampuan masyarakat menceritakan kembali cerita TB. a. Teori Folklor Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-menurun (Danandjaja 1984 : 1). Folklor biasa disebut dengan tradisi lisan sebab pada umumnya penyebarannya dilakukan melalui tutur kata. Selanjutnya Danandaja menerangkan bahwa sebenarnya istilah tradisi lisan lebih sempit dari folklor. Tradisi lisan hanya mecakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat; sedangkan folklor lebih dari itu misalnya mencakup tarian dan arsitektur rakyat (Danandjaja, 1984 : 5). Ciri-ciri folklor yaitu: 1) Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. 2) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). 3) Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan. 4) Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi. 5) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
14
6) Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. 7) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum 8) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. 9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya (Danandjaja, 1997: 4). Berdasarkan ciri-ciri di atas, TB di Asemdoyong, Pemalang memiliki hampir semua ciri-ciri tersebut, yaitu penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, bersifat tradisional, ada dalam versi dan varian-varian yang berbeda, memiliki fungsi bagi masyarakat, dan menjadi milik bersama. Jan Harold Brunvand menggolongkan Folklor ke dalam tiga kelompok besar yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan dan folklor bukan lisan (Danandjaja, 1997: 21). TB termasuk dalam kelompok Folklor sebagian lisan, yaitu upacara rakyat karena bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Unsur lisan TB terdapat pada narasi kelisanan yang penyebarannya dilakukan secara turun temurun secara lisan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Sedangkan unsur bukan lisan terdapat pada perlengkapan dan benda-benda yang berhubungan dengan jalannya upacara TB. Dalam penelitian ini, teori folklor digunakan untuk mendeskripsikan cerita dan upacara TB di Asemdoyong, Pemalang, Jawa Tengah. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti melakukan observasi langsung ke tempat pelaksanaan
15
upacara TB dan mengikuti prosesi jalannya
upacara tersebut.
Untuk
mengumpulkan teks cerita dilakukan dengan observasi, wawancara dan penyebaran kuesioner. Hasil wawancara yang telah direkam ditranskip ke dalam bentuk tulisan kemudian disusun menjadi struktur cerita. Upaya untuk mendapatkan tanggapan atau resepsi penikmat cerita terhadap TB dibutuhkan wawancara mendalam kepada sejumlah penutur (informan) terpilih, lalu melakukan analisis guna memperoleh satuan narasi yang lengkap. Setelah narasi lengkap tentang TB tersusun, berikutnya ditanyakan ulang kepada para informan untuk diketahui respesi mereka tehadap TB. b. Teori Resepsi Sastra Konsep dasar resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Hal ini berarti bahwa karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Menurut Jauss, apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi (Jauss, 1982:1213).13
13
Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan karya dengan seorang pembaca, elainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna, 2004: 165).
16
Karya sastra (lisan maupun tulisan) bersifat dinamis. Karya sastra akan bermakna tergantung pembaca atau penerimanya. Junus menyebutkan (1985: 35) bahwa karya sastra baru mempunyai makna bila ia telah hidup dalam diri pembacanya. TB yang hidup dalam tradisi lisan bisa bertahan lama karena adanya tradisi yang dilakukan masyarakat Asemdoyong yaitu memperingati TB setiap tahun sebagai bentuk tanggapan masyarakat Asemdoyong terhadap TB (Endraswara, 2011: 122). Pada penelitian ini objek analisis adalah deskripsi cerita TB
yang
tergolong dalam kategori folklor. Sesuai dengan tingkat ingatan-ingatan perhatian warga terhadap TB, berkonsekuensi pada munculnya penggalan-penggalan cerita yang tidak lengkap. Dari sini penulis merangkainya menjadi cerita utuh. Setelah itu, ditanyakan tanggapan masyarakat. Dari sinilah teori resepsi sastra diaplikasikannya. Teori resepsi sastra ini dikategorikan pada kemampuan penerimaan yang mencakup kemampuan menerima, memahami dan menceritakan kembali cerita dan prosesi TB. Langkah-langkah penelitian resepsi sastra yang dilakukan secara eksperimenter (Teeuw, 1984)14 adalah sebagai berikut: 1) Pengumpulan teks lisan yang terdapat di masyarakat (pembaca) dengan wawancara tak berstruktur untuk mendapatkan cerita yang utuh.
14
Bersifat eksperimental yaitu teks tertentu disajikan kepada para pembaca tertentu, baik secara individual, maupun secara berkelompok, agar mereka memberi tanggapan yang kemudian dianalisis dari segi tertentu. Penelitian semacam itu dapat dilakukan dengan daftar pertanyaan, kemudia jawaban para responden dianalisis secara siste,atik dan kuantitatif, dapat pula dipancing analisis yang tak terarah dan bebas, kemudian diberikan analisis kualitatif (Teww, 1984: 208-209).
17
2) Pemberian daftar kuesioner kepada masyarakat Asemdoyong untuk menentukan variasi teks di masyarakat dan wawancara kepada tokoh masyarakat Asemdoyong untuk mendapatkan variasi teks. 3) Analisis cerita dengan teori resepsi sastra untuk mengetahui resepsi masyarakat terhadap cerita dan prosesi TB. E. Metode Penelitian Metode adalah cara atau jalan, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang akan dijadikan bahan penelitian (Koentjaraningrat, 1985: 7). Sedangkan metode menurut (Potter dalam Thohir, 2007: 56) adalah alat, teknik-teknik untuk mengumpulkan data, teknik analisis, dan teknik menulis laporan. Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan penelitian dengan metode folklor yaitu pengumpulan data (inventarisasi), klasifikasi data (klasifikasi), dan analisis data. 1. Pengumpulan Data Data adalah bahan keterangan mengenai apa yang dialamai oleh individuindividu tertentu dari suatu warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian (Koentjaraningrat, 1977: 197)15 Data diambil dari masyarakat yang dibatasi secara geografis dan kultural menjadi pemilih resepsi TB. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara kepada sejumlah informan, dan pengisian angket atau kuesioner dari sampel penelitian.
15
Menurut Harsono (1999: 78) data adalah segala keterangan atau informasi yang berkaitan dengan penelitian.
18
a. Populasi Populasi artinya keseluruhan objek yang akan diteliti (Harsono, 1999: 77). Populasi penelitian ini adalah masyarakat Asemdoyong yang dijadikan dua golongan yaitu: 1) Masyarakat Asemdoyong pada umumnya, hanya tahu TB secara umum. 2) Masyarakat Asemdoyong secara khusus, masyarakat yang tahu secara jelas tentang TB. Mereka adalah para sesepuh atau tokoh masyarakat Asemdoyong. b. Sampel Sampel merupakan bagian kecil yang memiliki kelompok. Sampel merupakan objek sesungguhnya dari penelitian (Koentjaraningrat, 1997: 98). Sampel data pada penelitian ini adalah bagian kecil dari populasi masyarakat Asemdoyong yang dijadikan objek penyebaran kuesioner. Sampel dipilih secara purposif (purposive sampling),16 terdiri atas 30 responden dari 14.906 jiwa penduduk Asemdoyong. Sampel dari 30 responden diambil berdasarkan klasifikasi usia, yaitu usia 12-25 tahun diambil 10 responden, usia 26-45 tahun diambil 10 responden, dan usia 45tahun ke atas diambil 10 responden.17
16
Responden adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendidirian atau pandangan dari individu yang diwawancara. Sedangkan informan adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1977: 163). 17 Sampling bertujuan atau purposive sampling adalah metode sampling dengan tujuan tertentu, untuk mendeskripsikan gejala sosial atau masalah sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1977: 115). Dalam hal ini responden dipilih berdasarkan aspek pengetahuan, usia dan latar belakang.
19
Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan langsung, baik dalam bentuk observasi maupun wawancara kepada sejumlah narasumber yang meliputi cerita lisan TB, gambaran latar belakang sosial budaya lokasi penelitian, dan urutan jalannya TB. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapat di luar data primer yaitu data dari buku, jurnal, surat kabar, dan sumber lain yang berkaitan dengan objek penelitian. Data primer diperoleh melalui tiga cara, yaitu wawancara berstruktur dan wawancara tak berstruktur18 pada masyarakat Asemdoyong, observasi dengan cara memantau langsung prosesi TB, dan dokumentasi berupa foto dan video dari panitia atau peneliti TB. Teknik wawancara penelitian terbagi dalam dua cara yaitu wawancara berstruktur (daftar pertanyaan yang sudah ditentukan) dan wawancara tidak berstruktur (pertanyaan fleksibel, kondisional, sesuai kondisi saat wawancara). Kemudian dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner.19 Selain cara-cara tersebut di atas, peneliti juga mengumpulkan data tertulis mengenai gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh secara langsung dari Kantor Kelurahan Asemdoyong.
18
Wawancara berstruktur (closed interview) adalah wawancara yang terdiri dari pertanyaanpertanyaan yang bentuknya sedemikian rupa sehingga kemungkinan jawaban dari responden atau informan amat terbatas, cenderung menjawab “ya” atau “tidak” . Wawancara tak berstruktur (open interview) memungkinkan jawaban dari responden atau informan lebih luas, tidak terbatas pada jawaban “ya” atau “tidak” (Koentjaraningrat, 1977: 175) 19 Kuesioner adalah sutau daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai suatu hal atau dalam suatu bidang. Kuesioner dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden {orang-orang yang menjawab} (Koentjaraningrat, 1977: 215).
20
Responden dipilih dan diklasifikasikan berdasarkan empat kriteria yaitu usia, pendidikan, budaya dan status kependudukan. Klasifikasi tersebut di atas dibuat berdasarkan penguasaan cerita, kemampuan menuturkan cerita dan kemampuan berkomunikasi. Dengan kriteria tersebut diharapkan mewakili tanggapan masyarakat Asemdoyong terhadap TB sehingga akan didapatkan informasi yang bervariasi dan memperkaya cerita yang tersimpan dalam memori masyarakat Asemdoyong tentang TB. Berikut rincian data primer yang diperoleh: 1) Data yang dikumpulkan dari teknik wawancara20 berstruktur dan tidak berstruktur adalah: (a) Teks lisan cerita TB. (b) Tanggapan tokoh masyarakat Asemdoyong terhadap TB. 2) Data yang dikumpulkan menggunakan metode observasi adalah: (a) Kondisi sosial geografis Desa Asemdoyong, Pemalang. (b) Urutan prosesi TB. 3) Data berupa dokumentasi (foto dan video) dari panitia atau peneliti TB Asemdoyong, Pemalang.
20
Wawancara adalah suatu proses yang mengharuskan penafsiran dan penyesuaian terus menerus. Wawancara adalah salah satu cara untuk mencari fakta dengan meminjam indera (mengingat dan merekontruksi) sebuah peristiwa, mengutip pendapat narasumber. Kunci wawancara yang baik adalah memungkinkan narasumber mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan, bukan memikirkan apa yang mau dikatakan (Hikmat dan Purnama, 2009: 189).
21
2. Klasifikasi Data Data dan informasi yang telah diperoleh dari wawancara berwujud narasi atau cerita, kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian. Pengklasifikasian dibagi berdasarkan perbedaan keutuhan cerita dari masing-masing cerita dengan kategori lengkap dan tidak lengkap. Fungsi dari pengklasifikasian tersebut adalah untuk mengetahui sejauh mana masyarakat yang bersangkutan menerima dan memahami makna cerita yang terkandung dalam TB. 3. Analisis Data Setelah semua data diperoleh dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, langkah selanjutnya adalah penganalisisan dengan menggunakan teori folklor dan teori resepsi sastra. Dengan memadukan teori-teori tersebut karena keduannya relevan dengan
materi objek kajian yaitu tentang TB (folklor) sehingga inti
dibalik makna TB dapat terungkap.
22
E. Sistematika Penulisan Penyajian hasil laporan menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan hasil analisis objek dengan sebenarnya, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, terdiri atas latar belakang dan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Kondisi sosial geografis Desa Asemdoyong Pemalang terdiri atas kondisi geografis dan kondisi lingkungan sosial, mencakup deskripsi penduduk, mata pencaharian, pendidikan, dan agama. Bab III Deskripsi TB di Asemdoyong Pemalang Bab IV Analisis resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap TB. Bab V Penutup, yang meliputi simpulan dan saran.