BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia
menciptakan
kebudayaan
dalam
menjalani
dan
mengisi
kehidupannya. Kebudayaan itu berkembang dari waktu ke waktu, dengan tujuh unsur universal yaitu agama, bahasa, organisasi, sosial, pendidikan, teknologi dan kesenian, yang diwujudkan dalam bentuk ide (gagasan), kegiatan (tindakan) dan artifak (bendabenda). Dalam kebudayaan masyarakat Batak khususnya masyarakat Angkola Sipirok di Tapanuli Selatan memiliki artifak budaya berupa kain yang lazim disebut ulos atau abit. Sipirok 1 merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Sipirok tergolong dalam sub etnis Batak yaitu Batak Angkola yang mayoritas masyarakatnya adalah marga Siregar. Masyarakat Sipirok pada umumnya hidup dengan mata pencaharian dari sektor pertanian, pedagang, pegawai negeri, guru, pengusaha kerajinan tangan atau bertenun dan sebagainya. Kegiatan bertenun kain merupakan tradisi yang telah lama dilakukan masyarakat Sipirok, yaitu sejak awal abad ke 20. Tidak diperoleh keterangan yang
1
Menurut cerita lisan yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat, kata Sipirok berasal dari nama jenis kayu yang disebut Sipirdot. Setelah mengalami transformasi, kata Sipirdot berubah menjadi Sipirok yang digunakan sebagai nama untuk mengidentifikasikan satu kelompok masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan di Kabupaten tapanuli Selatan.
1
Universitas Sumatera Utara
pasti sejak kapan sesungguhnya kegiatan bertenun tersebut berkembang di Sipirok.2 Akan tetapi yang jelas, masyarakat Sipirok telah melakukan kegiatan bertenun sejak lama dalam memproduksi kain adat sekaligus pemasok utama Abit Godang 3 dan ParompaSadun 4, kedua jenis kain tenun ini digunakan dalam kegiatan upacara adat oleh masyarakat Sipirok. Kegiatan bertenun sangat identik dengan kaum wanita. Umumnya, kegiatan bertenun dilakukan diteras-teras rumah penduduk, dengan menggunakan alat tenun tradisional yang biasa mereka sebut dengan hasaya. 5 Pelaku kegiatan bertenun dapat dibagi dalam beberapa golongan, antara lain: a) para pengrajin mandiri, yaitu mereka yang mengerjakan seluruh tahapan pekerjaan dengan tenaga sendiri dan modal
2
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan masyarakat Sipirok, Medan: BPPS dan USU Press, 1998, hal. 105. 3 Abit Godangyang berarti “Kain Kebesaran” merupakan kata lain dari penyebutan ulos bagi masyarakat Angkola Sipirok. Abit Godang atau Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayangg antara anak dan orangtua dan anak – anaknya atau antara seseorang dan orang lain. Bentuknya menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya berjuntai – juntai dengan panjang sekitar 15 cm. Abit Godang biasanya digunakan sebagai sabe-sabe atau selendang manortor, penutup hidangan upacara Mangupa, barang bawaan yang diberikan oleh orang tua ketika putrinya menikah,dan sebainya. 4 Parompa sadun biasanya diucapkan paroppa adalah kain tenun tradisional sub suku batak Angkola.Kain ini berukuran kurang lebih 100 x 200 cm, dihiasi dengan manik – manik dan rumbai di ujung kain, dan tenunan motif khas.Paroppa dimaksudkan sebagai kain gendong meskipun tidak dipakai sehari – hari karena yang dipakai tiap hari untuk menggendong adalah tetap kain batik panjang. Kain adat ini diberikan oleh orang tua kepada seorang anak wanitanya yang baru di anugerahi anak pertama, baik bayi laki – laki atau perempuan, tetapi jika anak pertama adalah perempuan biasanya akan diberikan lagi jika adik lelaki pertama lahir, akan tetapi jika anak pertama adalah laki – laki, adik perempuannya tidak diberi lagi. 5 Hasaya merupakan seperangkat alat tenun tradisional masyarakat Angkola, Tapanuli Selatan.Alat ini merupakan alat tenun yang tergolong paling tua di angkola karena berkembang paling awal.Dalam pengerjaannya lebih mengutamakan tenaga tangan.Alat tenun tersebut terdiri dari beberapa bagian, yakni pamapan, pambibir, balobas, guyung sijobang, guyun raya, guyun lok-lok, simbolan, tipak, pagabe, pamanggung, dan tadokan.Alat tenun ini merupakan alat tenun sederhana.Terbuat dari kayu, bambu atau batang riman dan pelepah enau.Sebagai alat pengikat menggunakan rotan, tali ijak atau plastik.Semua bahan, peralatan dan perlengkapan untuk membuatnya dapat diperoleh disekitar kawasan permukiman pengrajin.Sehingga mudah dibuat oleh kaum laki – laki setempat.
2
Universitas Sumatera Utara
sendiri, b) pekerja upahan, yaitu mereka yang hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian bertenun dengan cara mengambil upahan sesuai dengan jenis pekerjaan yang dikuasai dan diminati, c) para pengusaha 6, yaitu mereka yang memiliki modal besar dan dengan modal tersebut mereka mengupah orang lain untuk memproduksi kain tenun. Kegiatan bertenun telah dikembangkan sebagai sebuah kegiatan usaha ekonomi di Sipirok. Hal ini dipelopori oleh seorang ibu rumah tangga yang kini lebih dikenal dengan nama Ompu Rivai. Kegiatan bertenun mampu menyerap sejumlah tenaga kerja wanita di daerah Sipirok sehingga sebagian dari wanita di Sipirok menjadikan kegiatan bertenun sebagai mata pencaharian utama dan sebagian lagi sebagai mata pencaharian selingan atau sumber penghasilan tambahan disela-sela aktivitas pertanian atau pekerjaan lainnya. 7 Pembinaan dan pengembangan kerajinan tradisional bertenun memperluas lapangan kerja sehingga dapat menampung pencari kerja, dan sekaligus melestarikan warisan budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tumbuhnya jalur pemasaran merupakan salah satu pendorong berkembangnya kerajinan tradisional bertenun. Selain
merupakan
suatu
warisan
budaya
yang
perlu
dilestarikan,
dalam
perkembangannya, kerajinan tradisional bertenun sudah banyak mengalami perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan benda-benda kerajinan yang menyangkut proses pembuatan, bentuk maupun motif-motif yang digunakan. Banyak 6
Para pengusaha ini pada umumnya merupakan sebagai pedagang yang memiliki toko di pasar Sipirok, atau memiliki jaringan pemasaran di luar Sipirok. 7 Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis,op.cit., hal. 105.
3
Universitas Sumatera Utara
diantara hasil kerajinan tradisional yang mengandung nilai artistik yang khas dan sebagian telah memasuki pasaran sehingga memiliki nilai ekonomi yang semakin tinggi. Dengan demikian barang kerajinan tradisional artistik itu tidak hanya sekadar berfungsi dalam budaya masyarakat pendukungnya. 8 Seperti yang sudah dikatakan diatas, produksi kain tenun masyarakat Sipirok pada awalnya hanya terbatas pada dua jenis kain adat yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun. Namun, sejak tahun 1980 mulai dikembangkan jenis hasil tenunan lainnya seperti bakal baju, kain sarung atau songket, hiasan dinding, taplak meja, dan lain-lain. Tidak hanya dari segi jenis hasil tenunan, masyarakat pengrajin kain tenun juga mulai berkreasi dengan kain tenun, mulai dari corak ataupun warna. Penganekaragaman jenis produk tenunan di Sipirok, secara langsung dan bertahap dapat meningkatkan permintaan jumlah tenaga kerja terampil. Hal ini tidak terlepas dari adanya bantuan dari pemerintah yang memberikan suntikan modal, peralatan Alat Tenun Bukan Mesin 9, serta pelatihan. Sehingga, dalam perkembangan usaha kain tenun di Sipirok tidak terlepas dari peran pemerintah daerah Sipirok. Pemerintah daerah Sipirok senantiasa berusaha mendampingi pengrajinnya dalam memajukan hasil karya khas milik daerahnya, yang dalam hal ini berada dalam naungan Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tapanuli Selatan beserta Dewan Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan. 8
J. Gultom,Pengrajin Tradisional di Daerah Sumatera Utara, Tanpa kota dan penerbit, hal.
2. 9
Alat Tenun Bukan Mesin lebih dikenal dengan sebutan Silungkang oleh penenun di Sipirok.Sebutan Silungkang untuk ATBM mereka analogikan dengan tenunan Silungkang di Sumatera Barat. Padahal, alat ini merupakan bentuk/ukuran standar yang sama di balai pertenunan tradisional yang ada di Indonesia.
4
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan tenun ulos di Sipirok yang juga berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat Sipirok yang juga tidak terlepas dari peran pemerintahnya dalam kesungguhannya untuk memperkenalkan dan memajukan hasil karya masyarakatnya. Penulis merasa tertarik memilih judul “Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1980 – 2006)”. Penulis mulai dari tahun 1980, karena pada tahun ini perkembangan dari tenun ulos Sipirok mulai tampak dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari jenis produksi kain tenun yang awalnya hanya terbatas pada kain adat yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun kini lebih bervariasi, seperti bakal baju, kain sarung atau songket dan sebagainya, sehingga wilayah pemasaran kain tenun Sipirok tidak hanya untuk wilayah Tapanuli Selatan tetapi juga ke berbagai daerah. Hal ini menjadikan masyarakat Sipirok lebih serius dengan kegiatan bertenun, yaitu dengan menjadikannya sebagai mata pencaharian pokok. Selain dari jenis produksi kain tenun yang mulai bervariasi, para pengrajin atau penenun mulai diperkenalkan sekaligus menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin disamping mereka masih menggunakan alat tenun tradisional hasaya milik mereka. Penelitian ini diakhiri tahun 2006, karena pemerintah daerah Sipirok semakin gencar memperkenalkan kain tenunnya kepada masyarakat luas yaitu dengan menjadikan kain tenun khas Sipirok sebagai ikon Sipirok yang dimulai dengan keputusan Bupati Tapanuli Selatan saat itu Ongku P. Hasibuan untuk mewajibkan kepada para pegawainya untuk menggunakan seragam dari kain tenun Sipirok. Hal
5
Universitas Sumatera Utara
ini merupakan salah satu cara pemerintah daerah Sipirok untuk memperkenalkan dan mempromosikan kain tenun masyarakat Sipirok. 1.2 Rumusan Masalah Dalam melakukan suatu penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang sangat penting dari sebuah penelitian karena akan memudahkan peneliti dalam proses pengumpulan data dan analisis data. Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penelitian ini mencoba melihat perkembangan pertenunan ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1980-2006. Penjabaran permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini akan dipandu melalui pertanyaan – pertanyaan utama sebagai berikut: 1. Bagaimana kegiatan bertenun ulos di Sipirok sebelum tahun 1980? 2. Bagaimana perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga 2006? 3. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam perkembangan pertenunan di Sipirok? 1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka, adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menjelaskan kegiatan bertenun ulos di Sipirok sebelum tahun 1980. 2. Menjelaskan perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga 2006.
6
Universitas Sumatera Utara
3. Menjelaskan peran pemerintah dalam perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga 2006. Dan adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1. Bagi kepentingan ilmu pengetahun, penelitian ini dapat memberikan informasi perkembangan usaha tenun kain dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat Sipirok. 2. Bagi masyarakat, terutama masyarakat angkola agar mengetahui tentang hasil budaya daerah asalnya sebagai generasi pewaris dan penerus. 3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan ke depan untuk pelestarian sekaligus memajukan warisan budaya serta terus mendampingi para penenun hingga mampu mandiri. 1.4 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, buku pertama yang menjadi rujukan penulis adalah karya Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis (1998) yang berjudul Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Buku ini menjelaskan mengenai kehidupan masyarakat Sipirok dengan keberagaman kebudayaannya. Buku ini sangat membantu penulis dalam memahami bagaimana corak kehidupan masyarakat Sipirok yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai Halak Angkola(orang angkola) yang menjadi bagian utama dalam penelitian ini. Selanjutnya, terdapat karya dari Ahmad Husin Ritonga,dkk. (1993) yang berjudul Kerajinan Tradisional Abit Godang dan Parompa Sadun Daerah Sumatera
7
Universitas Sumatera Utara
Utara. Dalam buku ini, Ahmad Husin, dkk. mencoba untuk menjelaskan secara jelas tentang hasil kerajinan tradisional masyarakat Sipirok yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun. Kain tenun Abit Godang dan Parompa Sadun dihasilkan untuk kegiatan upacara adat masyarakat angkola Sipirok seperti upaca perkawinan, kematian, upacara danak tubu, manjagit parompa dan sebagainya. Sebagai bagian dari kegiatan upacara adat masyarakat angkola Sipirok, setiap motif atau corak beserta warna yang terdapat dalam Abit Godang dan Parompa Sadun memiliki makna yang penting dalam adat dan kehidupan masyarakat Sipirok. Kemudian terdapat buku dari J. Gultom,dkk. (1991) yang berjudul Pengrajin Tradisional di Daerah Provinsi Sumatera Utara. Buku ini merupakan hasil kegiatan Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, dalam rangka menggali dan mengungkapkan khasanah budaya luhur bangsa. Buku ini menjelaskan sejauh mana pengrajin tradisional khususnya pengrajin daerah Provinsi Sumatera Utara terhubung dengan kegiatan ekonomi, khususnya dalam hal peningkatan pendapatan dan bagaimana kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja. Selanjutnya terdapat tesis dari Bontor Arifin Hutasoit (2005) yang berjudul Hubungan Subkontraktor Antara Partonun dengan Toke: Studi kasus pada industri kerajinan ulos di Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara.Tesis ini menggambarkan bagaimana pola hubungan yang terjadi antara penenun dengan toke dalam industri pertenunan dengan melihat aspek modal, bahan baku, tenaga kerja dan pemasaran. Buku ini dianggap sangat perlu karena dapat melihat dan juga
8
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan dengan jelas hubungan penenun dengan toke yang terjalin secara spontan, informal dan tidak tertulis. 1.5 Metode Penelitian Setiap penelitian diwajibkan menggunakan metode, terutama metode penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha untuk mengumpulkan bahan – bahan bagi sejarah, kemudian menilainya secara kritis untuk selanjutnya disajikan dalam suatu sintesa dari hasil-hasilnya, yang biasanya dalam bentuk tulisan. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah. 10 Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama adalah heuristik, pada tahap heuristik dilakukan pengumpulan data atau sumber yang berhubungan dengan topik penelitian. Tentu dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan kegiatan bertenun khususnya untuk wilayah Sipirok, baik primer maupun sekunder, lisan maupun tulisan. Sumber tertulis didapatkan dengan menggunakan studi kepustakaan, seperti yang terdapat dari koleksi milik berbagai perpustakaan seperti Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Penulis juga menggunakan sumber internet sebagai bahan rujukan. 10
Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta:UI Press, 1985, hal. 39.
9
Universitas Sumatera Utara
Proses heuristik awal dilakukan di Kota Padangsidimpuan dan juga Sipirok. Hal pertama yang penulis lakukan adalah mengunjungi kantor-kantor dinas pemerintahan daerah yang berhubungan dengan industri pertenunan di Sipirok. Kantor Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan adalah dua instansi pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kegiatan pertenunan di Sipirok. Data-data yang tersedia tergolong sedikit, karena ketidakpedulian para pegawai pemerintah dalam menjaga dan merawat data-data pemerintah terdahulu, sehingga data-data terdahulu sangat sulit untuk ditemukan dikantor pemerintahan ini. Kesulitan dalam memperoleh data dari pihak pemerintah, penulis mencoba menggali informasi dari pihak penenun di Sipirok. Dalam hal ini, penulis sangat terbantu atas informasi dari pihak penenun, akan tetapi sedikit kesulitan ketika ditanyakan angka atau tahun pasti ketika penenun melakukan
kegiatan-kegiatan
untuk
perkembangan
pertenunan
di
Sipirok.
Selanjutnya, penulis melakukan studi kepustakaan dengan mengunjungi beberapa perpustakaan daerah Tapanuli Selatan, perpustakaan Kota Padangsidimpuan, dan perpustakaan lainnya. Setelah pengumpulan sumber, maka tahap selanjutnya adalah kritik sumber. Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah diperoleh diverifikasi kembali untuk mengetahui keabsahannya. 11 Oleh karena itu perlu dilakukan kritik untuk mengetahui otensitas atau memastikan kebenaran sumber yang didapatkan dengan
11
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1995, hal.
99
10
Universitas Sumatera Utara
melalui kritik ekstern yang dilihat dari penampilan fisik sumber-sumber sezaman serta kritik intern berupa analisa isi sumber dan perbandingan terhadap sumber yang didapatkan atas kesamaan maupun ketidaksamaan yang ada. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut. 12 Penulis kemudian melanjutkan penelitian ini dengan tahap interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi. Dalam tahapan ini fakta-fakta yang terkumpul ditafsirkan dengan menggabungkan keterkaitan antara fakta yang satu dan lainnya, sehingga akan diperoleh data yang objektif untuk diceritakan kembali kedalam sebuah tulisan. Tahapan terakhir dari metode sejarah yaitu historiografi.Historiografi atau penulisan merupakan proses menceritakan rangkaian fakta (penulisan sejarah) secara kronologis dalam suatu bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi dengan terlebih dahulu menulis rancangan isi skripsi. 1.6 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini berupa skripsi yang terdiri atas beberapa bab, yang menjelaskan mengenai perkembangan kegiatan bertennun ulos di Kecamatan Sipirok yang dalam perkembangannya juga terdapat peran pemerintah daerah Kabupaten
12
Ibid.
11
Universitas Sumatera Utara
Tapanuli Selatan. Untuk menjelaskan bagian-bagian tersebut maka disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut: Bab satu merupakan bagian pendahuluan yang berisi tentang alasan pemilihan tema penelitian, dengan rumusan permasalahan yang dibatasi secara spasial dan temporal. Selain itu terdapat juga tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini, serta dicantumkan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan dan perbandingan dalam penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi, dan terdapat pula sistematika penulisan yang menjelaskan poin-poin isi dari setiap bab. Bab dua membahas tentang keadaan atau gambaran umum wilayah Sipirok. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang wilayah penelitian yaitu Sipirok, agar mempermudah dalam menggambarkan dan mengetahui keadaan wilayah penelitian yaitu Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Selain itu, akan dijelaskan pula tentang masyarakat Sipirok, kependudukannya, kebudayaan masyarakat Sipirok, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sipirok. Hal ini menjadi perlu dijelaskan karena untuk melihat pola atau corak kehidupan masyarakat Tapanuli Selatan khususnya masyarakat di Sipirok. Bab tiga membahas tentang kegiatan bertenun sebelum tahun 1980. Pada bab ini, penulis akan menjabarkan tentang latar belakang adanya kegiatan bertenun yang awalnya hanya memproduksi dua jenis kain adat yaitu abit godang dan parompa sadun, dengan menggunakan alat tenun hasaya. Tenunan tradisonal abit godang dan
12
Universitas Sumatera Utara
parompa sadun sebagai hasil ataupun wujud kebudayaan masyarakat Sipirok, akan penulis jelaskan tentang bentuk, corak atau motif hingga penggunaannya dalam kegiatan upacara adat di Tapanuli Selatan. Bab empat terfokus pada perkembangan tenun kain di Sipirok yang dimulai dari tahun 1980 hingga tahun 2006. Bab ini dimulai dengan menjelaskan tentang Alat Tenun Bukan Mesin yang menjadi awal adanya kesempatan bagi para penenun untuk mewujudkan ide ataupun kreatifitas pada hasil produksi mereka, perolehan bahan baku, modal, tenaga kerja, hubungan yang terjalin antara penenun dengan toke, sistem pengupahan, modifikasi dan diversifikasi jenis produksi kain tenun Sipirok hingga penyebaran wilayah pemasaran kain tenun Sipirok. Bab lima membahas tentang peranan pemerintah dalam perkembangan pertenunan di Sipirok. Akan dijelaskan beberapa bentuk dari peranan pemerintah dalam perkembangan pertenunan seperti mengadakan pelatihan, menyediakan alat tenun bukan mesin, memberikan bahan baku untuk kegiatan bertenun bagi masyatakat Sipirok hingga pada tujuan pemerintah daerah Sipirok dalam keikutsertaannya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat Sipirok serta memajukan daerah Sipirok. Bab Keenam merupakan bab akhir dari penelitian ini. Bab ini memaparkan kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta terdapat saran dari penulis untuk perkembangan pertenunan di Sipirok untuk masa mendatang.
13
Universitas Sumatera Utara