BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perlindungan merupakan sesuatu hal yang menjadi aspek terpenting di dalam kehidupan manusia dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Dikatakan sebagai aspek terpenting karena perlindungan memberi suatu jaminan untuk keselamatan, kesehatan, dan keamanan dalam hidup manusia. Republik Indonesia yang merupakan negara yang berlandaskan hukum masalah perlindungan diatur dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Oleh karena itu tujuan tersebut harus diwujudkan demi terwujudkan tujuan negara yang sesungguhnya. Juga berdasarkan alinea keempat tersebut, salah satu bentuk perlindungan yang diberikan adalah dalam hal Pendidikan, dimana Negara Indonesia memberikan jaminan kepada seluruh rakyat untuk dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran, sebagaimana juga yang tertuang didalam pasal 31 UUD 1945. Pendidikan pertama–tama dapat dilihat sebagai aktivitas untuk mengubah posibilitas, yaitu kemungkinan–kemungkinan yang didasarkan atas keterbukaan ***
Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
manusia itu menjadi aktualitas. Implikasi kedua ialah bahwa perilaku manusia tidak ditentukan sebelumnya. Perilaku manusia diperoleh melalui proses belajar. Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunianya atau kebudayaanya. Karena itu, dapat dikatakan, pendidikan adalah suatu “keharusan” dalam hidup manusia. 1 Dalam dunia pendidikan, guru dan murid merupakan elemen dalam mendukung terciptanya kegiatan belajar dan mengajar. Baik dalam pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Guru dapat dihormati oleh masyarakat karena kewibawaannya, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat percaya bahwa dengan adanya guru, maka dapat mendidik dan membentuk kepribadian anak didik mereka dengan baik agar mempunyai intelektualitas yang tinggi serta jiwa kepemimpinan yang bertanggungjawab. Jadi dalam pengertian yang sederhana, guru dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Seorang guru mempunyai kepribadian yang khas. Disatu pihak guru harus ramah,
sabar,
menunjukkan
pengertian,
memberikan
kepercayaan
dan
menciptakan suasana aman. Akan tetapi di lain pihak, guru harus memberikan tugas, mendorong siswa untuk mencapai tujuan, menegur, menilai, dan mengadakan koreksi. Dengan demikian, kepribadian seorang guru seolah-olah terbagi menjadi 2 bagian. Di satu pihak bersifat empati, di pihak lain bersifat kritis. Di satu pihak menerima, di lain pihak menolak. Maka seorang guru yang 1
Tony D. Widiastono,Pendidikan Manusia Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
tidak bisa memerankan pribadinya sebagai guru, ia akan berpihak kepada salah satu pribadi saja. Dan berdasarkan hal-hal tersebut, seorang guru harus bisa memilah serta memilih kapan saatnya berempati kepada siswa, kapan saatnya kritis, kapan saatnya menerima dan kapan saatnya menolak. Dengan perkatan lain, seorang guru harus mampu berperan ganda. Peran ganda ini dapat di wujudkan secara berlainan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tugas guru sebagai suatu profesi, menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik, meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Dunia pendidikan mengenal adanya pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment), sebagai salah satu alat pendidikan pemberian hukuman (punishment) kepada siswa yang melanggar bertujuan untuk mendidik siswa tersebut. Hukuman yang diberikan bisa dalam bentuk teguran lisan ataupun tertulis, bisa juga dalam bentuk hukuman lain yang bersifat mendidik, memberikan efek jera untuk tidak mengulanginya. Tujuannya adalah agar siswa tahu akan norma dan aturan yang berlaku .2 Pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru ini yang sering diartikan sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi oleh orang tua murid. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”. Fenomena 2
http://admelia.blogspot.com/2013/12/ p o l e m ik-pemberian-hukuman-punishment.html Judul Artikel : Polemik Pemberian Hukuman (Punishment) Problematika Pendidikan, diakses pada Senin, 7 Mei 2015, pukul 12.54 WIB
Universitas Sumatera Utara
kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. 3 Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru kepada siswa. Sejak UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. 4 Salah satu contoh kasus yaitu Guru SMK Gajah Mungkur (GM) 1 Wuryantoro berinisial M yang dilaporkan menganiaya muridnya dikarenakan murid tersebut melanggar disiplin saat upacara bendera 5 Beberapa contoh kasus lainnya adalah Ahmad Guntur, guru SMPN 20 Kota Jambi, terdakwa kasus menampar siswanya, M. Tandriadi yang tertangkap menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, dituntut hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan.6 Kemudian Sari Asih Sosiawati binti Rohmatan, guru SDN Tiuhbalak, Kecamatan Baradatu dilaporkan Erwan, orang tua Diko, murid yang dicubitnya pada September 2012 lalu di Polsek Baradatu karena tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah
3
Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu, Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 1 4 http://www.kompasiana.com/post/read/501624/1/uu-perlindungan-anak-derita-guru.html Judul Artikel : UU Perlindungan Anak : Derita Guru, Diakses pada Minggu1 Februari 2015, pukul 21.00 WIB 5 http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman35-tahun-85302 Judul Artikel : Aniaya Murid, Guru SMK GM 1 Terancam Hukuman 3,5 Tahun, Diakses pada Jumat, 24 April 2015, Pukul 00.48 WIB 6 http://www.antaranews.com/berita/175346/guru-tampar-siswa-dituntut-tiga-bulanpercobaan Judul artikel : Guru Tampar Siswa Dituntut 3 bulan Percobaan, diakses pada Senin, 7 Mei 2015, Pukul 13.13 WIB
Universitas Sumatera Utara
dua kali, sehingga dia mendapatkan nilai nol, 7 serta kasus Rizali Hadi (RH). Terdakwa kasus guru cubit murid itu, dinyatakan bersalah melakukan tindak penganiayaan terhadap anak di bawah umur dalam persidangan. 8 Dari beberapa contoh kasus diatas, dapat dilihat bagaimana perbuatan pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru berujung pada dilaporkannya guru tersebut kepada pihak yang berwajib, padahal apa yang dilakukan oleh guru tersebut bertujuan untuk menegakkan disiplin kepada anak didik. Hal ini menyebabkan eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah dalam melaksanakan tugas keprofesiannya, dikarenakan takut dilaporkan kepada pihak yang berwajib apabila guru tersebut memberikan hukuman guna memberikan didikan tegas kepada anak murid. Sehingga guru apabila seorang murid melakukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan disekolah cenderung melakukan pembiaran terhadap anak didik tersebut. Pada saat ini guru seperti kehilangan kewenangannya di sekolah dalam melakukan pengajaran dan seperti acuh terhadap tingkah laku siswa di sekolah. Efeknya sangat jelas ketika hal tersebut berimbas kepada sikap, perilaku dan moral siswa dalam kesehariannya seperti siswa akhirnya berani melawan guru,
7
http://sp.beritasatu.com/home/berlebihan-guru-cubit-murid-dipidanakan/33611 Judul artikel : Berlebihan, Guru Cubit Murid Dipidanakan, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.17 WIB 8 http://www.jpnn.com/read/2013/10/04/194167/Cubit-Murid,-Guru-Didenda-Rp20-JutaJudul artikel : Cubit Murid, Guru Didenda 20 juta, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.42 WIB
Universitas Sumatera Utara
siswa melakukan aksi ugal-ugalan dijalanan, bahkan siswa seperti tidak takut pada apapun dalam kesehariannya. 9 Penulis sepakat, guru bukan malaikat, bisa saja melakukan pelanggaran hukum. Jika memang benar melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Tetapi dalam konteks kasus tersebut di atas, baik guru maupun keluarga anak didik tidak menghendaki adanya peristiwa tersebut. Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh guru ini terjadi diakibatkan oleh akumulasi beberapa faktor, baik dari guru ataupun murid itu sendiri, misalnya tekanan beban kerja oleh guru, keadaan keluarga dari si guru, pola pengajaran yang masih terpaku pada budaya lama, yaitu sistem pengajaran satu arah yang masih menekankan pola otoritas dari guru tersebut, serta kurangnya komunikasi antara guru dengan orang tua murid terhadap perilaku atau tindakan anak didik selama proses belajar mengajar. Namun juga tindakan ini tidak terlepas dari sikap murid dan kualitas murid dimana terjadi degradasi kualitas etika, tata krama, dan sopan santun di kalangan pelajar di negeri ini yang sewaktu-waktu bisa memicu tindakan spontanitas yang dinilai sebagai kekerasan oleh guru, seperti menampar, mencubit, dan sejenisnya. Di Indonesia, Perlindungan hukum terhadap guru telah diatur didalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Pasal 7 ayat (1) huruf h mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
9
http://w.analisadaily.com/opini/news/perlunya-perlindungan-hukum guru /129680/2015/ 05/02 Judul artikel : Perlunya Perlindungan Hukum Guru, diakses pada Senin 18 Mei 2015, Pukul 13.05 WIB
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan tugas keprofesionalan. Selanjutnya pada Pasal 39 secara rinci dinyatakan: 1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. 2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. 3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. 4. Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. 5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain. Ketika
guru
terkena
masalah
hukum
khususnya
yang
berkaitan dengan tugasnya, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut seharusnya dapat menjadi dasar payung hukum bagi guru dalam hal perlindungan hukum profesi keguruan. Namun dalam prakteknya perlindungan guru tersebut masih belum memberikan upaya yang optimal bagi profesi guru. Sehingga guru seolah-olah berjuang sendiri dalam penyelesaian masalahnya khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum. Anak yang merupakan tunas generasi bangsa perlu diberikan suatu usaha perlindungan dalam tumbuh dan berkembangnya dan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
Universitas Sumatera Utara
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Dalam
melaksanakan tugasnya guru mendapat perlindungan. Perlindungan guru yang dimaksud sebagaimana dimaksud pada UU Guru dan Dosen adalah perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuannya agar guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja dengan baik.Sejauh mana perlindungan tersebut sudah dilaksanakan? Sampai sejauh ini memang belum ada evaluasi yang menyeluruh. Tetapi secara umum, memang perlindungan bagi guru dinilai masih rendah. Maka dari itu penulis membuat judul skripsi tentang Tindak Pidana Kekerasan dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan UU No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
B. Rumusan Masalah Berbicara mengenai guru cakupan sangat luas, maka dari itu penulis membatasi permasalahan pada : 1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 ? 2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar ? (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak dan guru. 2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar.
D. Manfaat Penulisan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pengkajian dalam melaksanakan perlindungan guru dan anak. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi kepada masyarakat terutama kalangan guru dan orang tua murid, dalam menghadapi masalah guru melakukan kekerasan dalam kegiatan belajar mengajar. 3. Secara akademis, hasil penelitian ini di harahapkan dapat menjadi sumbangan bagi almamater penulis. E. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi yang berjudul “Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru Dan Anak (Studi Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan
Universitas Sumatera Utara
MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)” belum pernah ditulis. Permasalahan yang diajukan belum pernah dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun judul skripsi tersebut diatas merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah ada tulisan lain dalam bentuk skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawakan secara ilmiah. F. Tinjauan Pustaka 1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.10Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. 11 Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaar feit antara lain : 12 a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1); b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No.1 Tahun 1945 tentang Tindakan Sementara dan Cara Pengadilan-pengadilan Sipil; c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere bepaligen; 10
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67 11 Ibid., hal 69 12 Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, hal 31
Universitas Sumatera Utara
d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No.16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; e. Tindak Pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bahkti dalam rangka Pemasyarakatan Bagi Terpidana Karena Tindak Pidana Yang Berupa Kejahatan. f. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latindelictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.13 Pembentuk undang–undang kita telah menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang–Undang Hukum pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid sedang strafbaar berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 14 Secara literlijk istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feeiten een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana 13
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 68 P.A.F Lamintang, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181 14
Universitas Sumatera Utara
formil). Demikian juga istilah feitdalam banyak rumusan norma-norma tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Hindia Belanda) 15 Terdapat perbedaan pandangan oleh para ahli dalam pemberian pengertian dari strafbaar feit, yaitu pandangan dualistis, adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan dan pandangan monistis, yakni pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan dualistis adalah : 16 1. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh undang-undang. 3. Menurut R.Tresna, persitiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undangundang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Menurut ajaran dualistis pertanggungjawaban pidana itu terpisah dengan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana bukanlah unsur tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan syarat atau tidak dipidananya seorang pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana. 17
15
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 70 Mohammad Ekaputra, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal 81 17 Ibid., hal 83 16
Universitas Sumatera Utara
Adapun pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu 18 : 1. Simons dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian : a. Definisi pendek adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-undang b. Definisi panjang atau yang lebih mendalam, adalah suatu kelakuan yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dapat dipertanggung jawabkan. 4. J.Bauman dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui, bahwa penganut aliran monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku, syarat untuk dapatnya dipidananya itu masuk kedalam dan menjadi unsur tindak pidana, sedangkan bagi penganut aliran dualistis unsur mengenai diri (orang) yakni adanya pertanggungjawaban pidana bukan merupakan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya pelaku.19 Penjabaran suatu tindak pidana ke dalam unsur–unsurnya dan kemahiran untuk menentukan keadaan–keadaan yang dapat dimasukkan sebagai “essentialia dari delik” adalah sangat penting dalam hubungannya
18
Ibid., hal 85 Ibid., hal 86
19
Universitas Sumatera Utara
dengan ajaran mengenai opzet dan culpa serta dalam hubungannya dengan penerapan dari hukum acara pidana. 20 Setiap tindak yang terdapat dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur–unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur– unsur subjektif dan unsur–unsur objektif. 21 Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut : 1. Unsur subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas tiga bentuk, yakni : 1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk); 2) Kesengajaan
dengan
keinsafan
pasti
(opzet
als
zekerheidsbewustzijn); 3) Kesengajaan
dengan
keinsafan
akan
kemungkinan
(dolus
evantualis)
20
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal 190 Ibid., hal 193
21
Universitas Sumatera Utara
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni : 1) Tak berhati-hati; 2) Dapat menduga akibat perbuatan itu. 22 2. Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas : a. Perbuatan manusia, berupa : 1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; 2) Onmission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan; b. Akibat (result) perbuatan manusia Akibat
tersebut
membahayakan
atau
merusak,
bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. c. Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain : 1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; 2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan. d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
22
Leden Marpaung, Grafika, 2005) hal 9
Asas–Teori–Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Sinar
Universitas Sumatera Utara
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, biasa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari pengadilan.23 4. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah perilaku, baik terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bersifat bertahan (deffensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain 24 Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work Dictionary, Barker mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause physcal, psychological, or fiancial harm to an individual or group” (Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami oleh individu atau kelompok)25. Kekerasan
merupakan
tindakan
agresi
dan
pelanggaran
(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang akan 23
Ibid., hal 10 Thomas Santoso,Teori- Teori Kekerasan, Penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002,
24
hal . 11
25
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak,Penerbit Nuansa, Bandung, 2008, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang
lain.
Istilah
“kekerasan”
juga
mengandung
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang. Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. 26 Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang disakiti. Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa kejahatan dengan kekerasan merupakan suatu kejahatan yang mempergunakan elemen kekerasan fisik, mencoba menggunakan, mengancam untuk menggunakan atau menimbulkan resiko yang penting dari penggunaan kekerasan fisik pada seseorang atau harta benda lainnya (violent crime : a crime that has an element the use, attempted use, threatened use, or substantial risk of use ouse of physical force against the person, or property of another-also termed crime of violence).27
26
Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, 1994,
hal. 223
27
Bryan A. Garner (Ed), Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, Seventh Edition, 1999 hal 378
Universitas Sumatera Utara
Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasan itu merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat misalnya berakibat bagi kerugian orang lain. Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme. 28 Kondisi perilaku kekerasan dewasa ini sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, dengan tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil hal ini menjadi faktor kerugian bagi kita sebagai bangsa yang besar . Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan dengan kekerasan tidak secara otentik dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya saja dalam Bab IX Pasal 89 KUHP dinyatakan bahwa membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.29
28
Diakses dari www.wikipedia.com R.Soesilo, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Serta Komentar – Komentar Lengkap dengan Pasal demi pasal Politea, Bogor, 1994, hlm 98 29
Universitas Sumatera Utara
Pasal 89 ini hanya mengatur mengenai perbuatan yang disamakan dengan kekerasan. Melakukan kekerasan artinya menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau segala macam senjata, menyepak, menendang dan lain-lain. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya memberi minuman racun kecubung atau obat, sehingga orang tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang yang tidak berdaya masih sadar apa yang terjadi pada dirinya. 30 Dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, kita dapat menjumpai beberapa bentuk–bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi : 31 1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; 2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, sperti perilaku mengancam; 3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan; 4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai perindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif biasa bersifat terbuka atau tertutup.
30
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy :Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal 34 31 Thomas Santoso, loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Martin R. Haskel dan Lewis Yasblonski mengemukakan ada empat kategori sebagai bentuk dari kekerasan, yaitu : 32 a. Legal, sanctioned, rational violence, kategori ini merupakan kekerasan yang mendapat dukungan oleh hukum. Tindakan kekerasan ini misalnya Tentara atau polisi yang melakukan kekerasan di dalam melaksanakan tugasnya. Kekerasan ini juga terdapat pada olahragolahraga agresif tertentu, misalnya tinju, sepakbola, serta tindakantindakan yang bertujuan untuk mempertahankan diri. b. Illegal, rational, socially sanctioned violence, yaitu kekerasan yang tergolong illegal yang juga mendapat sanksi social. Dalam hal ini, faktor yang penting untuk menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadap kekerasam tersebut. c. Illegal, nonsacntioned, rational violence, yaitu kekerasan yang illegal, yang dipandang rasional dan tidak ada sanksi sosialnya. Kekerasan ini biasanya digunakan oleh pelaku kejahatan dan dianggap rasional dalam konteks melakukan kejahatan. Kekerasan dalam kategori ini misalnya kekerasan untuk memperoleh keuntungan financial, kejahatan perampokan atau tindakan pembunuhan dalam kejahatan terorganisir. d. Illegal, nonsanctioned, irrational violence, merupakan kekerasan yang tidak rasional dan melawan hukum. Kekerasan ini juga dikenal sebagai “kekerasan tidak berperasaan” (senseless violence) yang terjadi tanpa didahului oleh adanya provokasi dan tidak adanya motivasi yang logis. Sedangkan dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana mengemukakan jenis–jenis kejahatan yang disertai dengan kekerasan, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338 – 350. Kejahatan penganiayaan pasal 351 – 358 Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan pasal 365 Kejahatan terhadap kesusilaan pasal 285, 289 Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan 359-361
32
Martin R Haskel & Lewis Yablonski : Criminology, Crime, and Criminality, Harper & Row Publisher, New York, 1983, hal 207 dalam buku Mahmud Mulyadi, Op Cit., hal 30-31
Universitas Sumatera Utara
The Federal Bureau of Investigation, dibawah Uniform Crime Reporting Program, telah mengembangkan jenis–jenis kejahatan dengan kekerasan, yaitu:33 1. Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (Criminal homicide, comprising murder and nonnegligent manslaughter, the willfull (nonnegligent) killing of one human being by another). 2. Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita dengan ancaman penggunaan kekerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against her will). 3. Perampokan : Pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery : taking or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or violence and/or by putting Victim in fear). 4. Penganiayaan berat, serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka parah atau luka berat (aggravated assault : an unlawfull attack by one person upon anoter for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury). 5. Serangan lainnya (yang sederhana), serangan atau usaha untuk melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak mengakibatkan luka–luka yang serius atau luka berat pada korban (Other Assault (simple) : assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to victim). Berdasarkan pembagian diatas, maka secara garis besarnya, kejahatan kekerasan terdiri dari pembunuhan, perkosaan, perampokan, dan penganiyaan berat. 34
33
Ibid,.hal 6-7 Ibid, hal. 7
34
Universitas Sumatera Utara
5. Peran dan Fungsi Guru Guru merupakan bagian dari tenaga kependidikan sebagaimana yang diatur dalam UU No 20 Tahun 2003, dimana Pendidik menurut UU No 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktor, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Sedangkan pengertian guru menurut UU No 14 Tahun 2005 Pasal (1) menyebutkan : Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang mempunyai kompetensi. Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 2004 Pasal 10 ayat (1) yaitu bahwa guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Definisi yang kita kenal sehari–hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau wibawa.
35
Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya
senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid. Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi 35
H.Hamzah B.Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hal 15
Universitas Sumatera Utara
semua muridnya. Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru. 36 Secara tradisional atau oleh masyarakat awam guru adalah seorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta. Secara umum guru memiliki fungsi untuk menunjang terselenggaranya sistem pendidikan nasional dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, serta memiliki peran sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tugas guru sebagai suatu profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru
36
Ibid, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
disekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan
tugas
perkembangannya
mulai
dari
sebagai
makhluk
bermain
(homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (Homopither), dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (Homosapiens).37 Terdapat beberapa peran guru dalam proses pembelajaran tatap muka, yaitu sebagai berikut : a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi, pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik. b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk. c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik. Guru sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi juga bersama peserta didik harus menari kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik, atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik. d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok. e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. Sebagai evaluator, guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban untuk melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjuk kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual, kelompok, maupun secara klasikal. 38 Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas
37
Ibid, hal. 20 Ibid, hal. 27-28
38
Universitas Sumatera Utara
mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.
G. Metode penelitian Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah sebagai berikut : 1.
Jenis dan Sifat Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan studi kepustakaan atau studi dokumen. Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau teori baru. 2.
Jenis dan Sumber Data Penelitian hukum Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data
utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah bahan–
Universitas Sumatera Utara
bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier guna memecahkan dan menjawab permasalahan pada objek penelitian. Data sekunder yang penulis pakai adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang–undangan yang terkait, antara lain : UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU no 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 23 tahun 2003, tentang Perlindungan Anak, MoU PGRI dengan POLRINo.B/53/XII/2012 dan No 1003/UM/PB/XX/2012, serta Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP). b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel, artikel, hasil–hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, jurnal ilmiah, dan bahan – bahan lainyang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yag diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 3.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet.Untuk
memperoleh
data
dari
sumber
ini
penulis
memadukan,
mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku–buku dan arti–arti yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
4.
Analisis Data Mengumpulkan bahan hukum sekunder, dan tertier yang relevan dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan pemilahan terhadap bahan–bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan masing– masing
permasalahan
yang
dibahas.
Kemudian
mengolah
dan
menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. Dan memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dantulisan.
H. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini bertujuan agar dapat memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama lain yang dapat dilihat sebagai berikut : BAB I
: Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat
apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi ini, kemudian apa masalah yang dapat dirumuskan dalam rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan BAB II akan
: Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini
membahas
mengenai
peraturan–peraturan
yang
mengatur
tentang
Universitas Sumatera Utara
perlindungan guru dan tentang perlindungan anak dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. BAB III
: Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan
membahas mengenai penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar serta analisa kasus dari putusan. BAB IV
: Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk
memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara