BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi mendatang (Keraf, 1994: 1). Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain, karena dalam menjalani kehidupan sosial manusia selalu membutuhkan individu lain yang dapat menolongnya. Dalam proses tolong-menolong tersebut manusia membutuhkan bahasa supaya mereka dapat berkomunikasi dengan individu lain. Bahasa sebagai bagian kebudayaan digunakan manusia sebagai sarana untuk menginterpretasikan lingkungan, mengklasifikasikan atau mengkonseptualisasikan pengalamannya. Dengan bahasa kita dapat belajar mengenali lingkungan pada saat ini, maupun pada masa yang akan datang. Dengan demikian, bahasa terus berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan bahasa Batak Toba juga dipengaruhi besarnya jumlah penutur bahasa Batak Toba. Penutur bahasa ini diperkirakan sekitar lima juta orang (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006). Namun, perlu dipertegas bahwa penutur bahasa Batak Toba adalah semua masyarakat suku Batak Toba dan masyarakat suku lain yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Samosir ataupun yang tinggal di daerah lain. Bahasa Batak Toba digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat penuturnya yang tersebar di empat kabupaten yaitu; Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir yang berpusat di Balige, Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang berpusat di Pangururan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang berpusat di Tarutung, dan
Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan yang
berpusat di Dolok Sanggul yang berada di bagian tengah wilayah Provinsi Sumatera Utara, yakni di punggung Bukit Barisan yang terletak antara 10 20’-20 4’ Lintang Utara dan 980 10’-900 35’ Bujur Timur (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006). Kemudian masyarakat yang ada pada keempat kabupaten tersebut menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, khususnya di daerah Medan, Provinsi Sumatera Utara. Bahasa ini menjadi salah satu ragam dan kekayaan budaya di Indonesia. Keempat kabupaten yang didiami oleh masyarakat Batak Toba ini berbatasan dengan tujuh Kabupaten Daerah Tingkat II di Provinsi Sumatera Utara dan satu Kabupaten Daerah Tingkat II di Provinsi D.I Aceh. Di sebelah Utara, Kabupaten Daerah Tingkat II berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Daerah Tingkat II Karo, Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun; di sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Asahan dan Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu; di sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan; dan di sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Selatan (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006). Berdasarkan uraian tentang masyarakat penutur bahasa Batak Toba di atas, dapat
disimpulkan
bahwa
perkembangan
penduduk,
perluasan
lingkungan
pemukiman, dan pengaruh bahasa lain sangat mempengaruhi perkembangan bahasa Batak Toba. Hal ini menjadi salah satu hal yang penting diteliti terutama mengenai perkembangan bahasa Batak Toba dari segi struktur kalimat. Namun, pada kesempatan ini diberikan perhatian khusus terhadap stuktur frasa verbal dan fungsinya pada bahasa Batak Toba. Dalam bahasa Batak Toba dikenal adanya satuan linguistik yang disebut morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pelbagai satuan linguistik itu dibicarakan dalam ilmu yang berbeda. Morfem dan kata, misalnya dibahas dalam morfologi, sedangkan frasa, klausa, dan kalimat merupakan objek kajian sintaksis. Ramlan (1995: 22) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia ‘Sintaksis’ telah dijelaskan hubungan satuan linguistik tersebut. Dikatakannya bahwa satuan kalimat terdiri atas unsur-unsur yang berupa klausa; satuan klausa terdiri atas unsur-unsur yang berupa frasa; dan satuan frasa terdiri atas unsur-unsur yang berupa kata. Keterkaitan hubungan satuan linguistik itu tampak dalam contoh berikut ini. Kalimat Anggi ni omak ni ibana naeng diwisuda sadari on ‘adik ibu dia akan
Universitas Sumatera Utara
diwisuda hari ini’ terdiri dari satu klausa, yaitu anggi ni omak ni ibana naeng diwisuda sadari on. Dikatakan demikian karena telah terpenuhinya syarat sebuah kluasa, yakni adanya subjek (S): Anggi ni omak ni ibana ‘adik ibu dia’, dan predikat (P): naeng diwisuda ‘akan diwisuda’. Selanjutnya, klausa itu terdiri atas tiga frasa, yaitu Anggi ni omak ni ibana karena berfungsi sebagai subjek (S); naeng diwisuda karena berfungsi sebagai predikat (P); dan sadari on karena berfungsi sebagai keterangan (KET). Di sini terlihat bahwa frasanya ada yang terdiri atas lima kata (Anggi ni omak ni ibana) dan ada pula yang dua kata (naeng diwisuda; sadari on). Pertanyaan yang mungkin segera muncul adalah bagaimanakah cara menentukan frasa dalam bahasa Batak Toba. Frasa dapat ditentukan apabila masingmasing unsur yang berupa kata tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1995: 151) atau dalam istilah lain bersifat nonpredikatif (Kridalaksana, 1986: 81). Dengan kata lain, penentuan frasa dalam bahasa Batak Toba adalah jika kata-kata yang terdapat dalam konstruksi kalimat telah menduduki satu fungsi gramatikal, baik itu (S), (P), (O), (PEL), dan (KET). Maka, Anggi ni omak ni ibana ‘adik ibu dia’ digolongkan sebuah frasa karena menduduki satu fungsi S; naeng diwisuda ‘akan diwisuda’ sebuah frasa karena menduduki satu fungsi P; dan sadari on ‘hari ini’ satu frasa karena menduduki satu fungsi KET. Silaban (1987) dalam skripsinya Frasa Bahasa Batak Toba mengemukakan bahwa frasa bahasa Batak Toba terdiri atas, frasa endosentrik dan frasa eksosentrik. Yang dimaksud dengan frasa endosentrik adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi dan dapat berdistribusi dengan salah satu atau semua unsurnya (misalnya, frasa jonok
Universitas Sumatera Utara
hian ‘dekat sekali’). Frasa endosentrik dibedakan atas frasa endosentrik koordinatif, frasa endosentrik atributif, dan frasa endosentrik apositif. Frasa eksosentrik adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang salah satu unsurnya tidak dapat berdistribusi dengan unsur lainnya (Silaban, 1987: 43). Frasa eksosentrik dibaginya atas tiga bagian (berdasarkan posisi penghubung yang mungkin terdapat di dalamnya) yaitu frasa preposisi yaitu frasa yang intinya kata depan penunjuk tempat (misalnya, frasa di jabu ‘di rumah’), frasa pasposisi yaitu frasa yang intinya kata depan penunjuk asal (misalnya, frasa sian porlak ‘dari ladang’), dan frasa perposposisi yaitu frasa yang intinya kata depan yang mengapit suatu kata (misalnya, frasa sian hau i ‘dari pohon itu’). Seperti halnya Silaban (1987), Sibarani (1997) dalam bukunya Sintaksis Bahasa Batak Toba juga membedakan frasa bahasa Batak Toba menjadi dua bagian, yaitu frasa endosentrik dan frasa eksosentrik. Frasa endosentrik adalah frasa yang salah satu unsurnya dapat mewakili keseluruhan frasa itu untuk menduduki fungsi sintaksis yang sama (Sibarani, 1997: 24). Frasa endosentrik dibedakan atas frasa modifikatif (misalnya, frasa ndang modom ‘tidak tidur’) dan frasa beraneka hulu (misalnya, frasa hehe jala jongjong ‘bangun dan berdiri’). Frasa modifikatif terdiri atas frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa adverbial, sedangkan beraneka hulu dibedakan atas frasa koordinatif dan frasa apositif (Sibarani, 1997: 16). Sementara itu, frasa eksosentrik adalah frasa yang tidak ada satu pun unsurnya dapat mewakili keseluruhan frasa itu untuk menduduki fungsi sintaksis yang sama (Sibarani, 1997: 16). Misalnya, frasa tu ginjang ‘ke atas’ (frasa preposisi-lokatif).
Universitas Sumatera Utara
Frasa eksosentrik terbagi atas frasa preposisi-instrumental, frasa preposisi-agentif, frasa preposisi-komparatif, frasa preposisi-perihal, dan frasa preposisi-kausal. Sinaga (2002) dalam bukunya Tata Bahasa Batak Toba juga menyinggung frasa bahasa Batak Toba terbatas pada pembahasan adjektiva serta penggunaannya dalam berbahasa. Namun, dia menjelaskan unsur-unsur pembentuk kata sifat yang juga merupakan unsur atributif yang membentuk frasa. Alwi, dkk. (2000: 157) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia membedakan frasa verbal menjadi dua yaitu frasa verbal endosentrik atributif dan frasa verbal endosentrik koordinatif. Frasa verbal yang endosentrik atributif terdiri atas inti verba dan pewatas (modifier) yang ditempatkan di muka atau di belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang di belakang dinamakan pewatas belakang (misalnya, ‘harus menjunjung’). Frasa verbal endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang dihubungkan dengan memakai kata penghubung ‘dan’ atau ‘atau’, sebagai verba dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan atau belakang (misalnya, ‘tertawa atau marah’). Sedangkan, dari segi fungsinya dalam kalimat, frasa verbal dapat menduduki fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Mariani (1995) dalam skripsinya Analisis Frasa Verbal dalam Tabloid Nova menyimpulkan bahwa unsur-unsur yang membentuk frasa verbal adalah (1) verba + verba, (2) verba + adjektiva, (3) verba + nomina, (4) verba + adverbia, (5) verba + frasa preposisional, (6) adverbia + verba, (7) verba + nomina + adjektiva, (8) adverbia + numeralia + nomina, (9) adverbia + verba + adverbia, (10) adverbia + verba + verba, (11) adverbia + verba + nomina, (12) adverbia + verba + adjektiva, (13)
Universitas Sumatera Utara
adverbia + adverbia + verba, (14) adverbia + frasa koordinatif, (15) adverbia + adjektiva + verba, (16) adverbia + adverbia + verba + adverbia, (17) adverbia + adverbia + verba + verba, (18)
adverbia + adverbia + adverbia + verba, (19)
adverbia + verba + adverbia + verba, dan (20) verba + adverbia + adverbia + verba. Selanjutnya, dari tiga tipe frasa endosentrik, yaitu koordinatif, atributif, dan apositif, tidak ditemukan dalam data ( majalah Nova tersebut) frasa endosentrik apositif. Dari hasil kajian di atas terlihat bahwa (1) frasa dipahami sekurang-kurangnya terdiri atas dua anggota pembentuk, (2) klasifikasi frasa verba berdasarkan pada keberadaan intinya, (3) struktur frasa merupakan proyeksi dari inti dan frasa tanpa memperhatikan adanya kategori lain di antara keduanya, (4) dari segi fungsinya dalam kalimat, frasa verbal dapat menduduki fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, keterangan, dan (5) frasa verbal dapat didahului atau diikuti kelas kata yang lain. Kajian sintaksis terhadap bahasa Batak Toba, terutama menyangkut stuktur frasa dan klausa bahkan kalimat masih sedikit. Jika dibandingkan dengan kajian fonologi dan morfologi, kajian sintaksis masih menempati urutan terendah (Sibarani, 1997: 11). Menurut Nababan dan Percival (dalam Sibarani 1997: 11-13), pembicaraan frasa dan klausa yang mereka lakukan terasa kurang menyentuh sisi dasar frasa dan klausa bahasa Batak Toba. Misalnya, pembicaraan nominalisasi adjektiva untuk membentuk frasa nominal yang dibentuk dengan menggunakan preposisi ni seperti dalam uli ni basa ‘kebaikan’ dan burju ni roha ‘kebaikan hati’ tidak mereka singgung.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, penelitian yang mereka lakukan telah banyak memberikan bantuan dalam penelitian lanjutan tentang kajian tata bahasa Batak Toba, khususnya terhadap kajian sintaksis. Namun, hingga saat ini kajian sintaksis yang lebih mendalam belum banyak dilakukan, terutama kajian frasa baik frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa lainnya. Di antara frasa-frasa tersebut penelitian tentang frasa verbal dirasakan masih kurang mendalam, hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti frasa verbal dan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba. Untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini penulis mengambil dua buku sebagai penuntun utama, yakni Ilmu Bahasa Indonesia ‘Sintaksis’ (Ramlan, 1995) dan Alwi, dkk. (2000) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ramlan (1995) untuk menganalisis masalah yang pertama yaitu struktur frasa verbal dalam bahasa Batak Toba dan buku Alwi, dkk. (2000) untuk menganalisis masalah yang kedua yaitu kedudukan frasa verbal dilihat dari segi fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba. Buku ini penulis pilih karena dari semua buku yang membahas tentang frasa verbal kedua buku ini membahas masalah yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.
1.1.2
Masalah Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa masalah yang ingin dikemukakan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur frasa verbal dalam bahasa Batak Toba? 2. Bagaimanakah kedudukan frasa verbal dilihat dari segi fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba?
Universitas Sumatera Utara
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur frasa verbal bahasa Batak Toba serta menjelaskan kedudukan frasa verbal bahasa Batak Toba dilihat berdasarkan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba.
1.2.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut. 1. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam usaha pengembangan kajian sintaksis bahasa Batak Toba sehingga memperkaya kajian bahasa Batak Toba, khususnya yang berhubungan dengan frasa verbal bahasa Batak Toba. 2. Secara praktis penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain untuk mengungkapkan berbagai jenis frasa dalam bahasa-bahasa daerah terutama bahasa-bahasa di Sumatera Utara. Selain itu, penelitian ini dapat juga dimanfaatkan sebagai salah satu cara melakukan evaluasi terhadap kajian bahasa Batak Toba.
1.3 Metode dan Teknik Penelitian 1.3.1
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian adalah cara kerja yang dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan. Penelitian ilmiah haruslah berdasarkan fakta-fakta untuk mendukung
Universitas Sumatera Utara
kebenaran, sedangkan metode adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dalam pengumpulan data diterapkan metode kepustakaan yaitu dengan mencari buku-buku yang menjadi sumber data terutama data-data yang berupa frasa atau berhubungan dengan frasa verbal. Untuk mendapatkan data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-135), kemudian didukung oleh teknik catat, yaitu mencatat data-data yang ditemukan. Menurut Nazir (1988: 111), untuk mendapatkan data tulis digunakan studi pustaka yakni dengan mencari buku-buku yang menjadi sumber data yang berhubungan dengan objek kajian (dalam hal ini yang berupa frasa verbal). Setelah itu dilanjutkan dengan teknik catat yaitu mencatat data-data yang ditemukan. Untuk mengumpulkan data frasa verbal akan ditempuh langkah-langkah berikut. 1. Pencatatan hal-hal yang berhubungan dengan frasa verbal bahasa Batak Toba dari berbagai sumber, terutama dari buku-buku yang berhubungan dengan sintaksis bahasa Batak Toba. 2. Pengelompokan frasa verbal berdasarkan jenis dan kedudukan frasa verbal berdasarkan fungsinya dalam kalimat bahasa Batak Toba. Dalam pengumpulan data lisan digunakan metode wawancara. Pengumpulan data lisan ini dilakukan di Desa Sitorang, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir. Dengan metode ini peneliti terlibat langsung dalam percakapan dengan narasumber (penutur bahasa Batak Toba). Pemilihan narasumber didasarkan pada persyaratan-persyaratan berikut.
Universitas Sumatera Utara
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Berusia antara 25-65 tahun; Lahir dan besar di daerah penelitian; Berpendidikan maksimal tamatan pendidikan dasar (SD-SLTP); Memiliki kemampuan menggunakan bahasa daerahnya; Dapat berbahasa Indonesia; dan Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan sehat rohani (tidak gila atau pikun) (Maksun, 1995).
Data-data lisan tersebut diujikan kepada penutur bahasa Batak Toba melalui penggunaan daftar tanyaan. Hal ini jelas menuntut dan mengharuskan peneliti bertindak hati-hati pada tahap analisis dan interpretasi data. Untuk mengumpulkan data frasa verbal dan fungsinya ini ditempuh langkah-langkah berikut. Untuk mendapatkan data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-135) yang didukung oleh teknik catat. Data tulis itu bersumber dari buku Sintaksis Bahasa Batak Toba (Sibarani, 1997); Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia (Warneck, 2001); dan Tata Bahasa Batak Toba (Sinaga, 2002). Frasa verbal, ndang mangan ‘tidak makan’, misalnya, dimasukkan ke dalam kelompok frasa verbal endosentrik atributif dengan pewatas depan karena inti frasa tersebut adalah mangan ‘makan’, sedangkan pawatas depan sebagai atributifnya, ndang ‘tidak’, terletak di kanan atau sebelum inti. Sedangkan frasa verbal mangangguk muse ‘mengangguk lagi’, misalnya, dalam kelompok frasa verbal endosentrik atributif dengan pewatas belakang karena inti leksikal mangangguk ‘mengangguk’ terletak di kiri, sedangkan pewatas belakang sebagai atributif muse ‘lagi’, terletak di kanan atau sesudah inti leksikal.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2
Metode dan Teknik Pengkajian Data Pada tahap pengkajian data diterapkan dua metode. Pertama, metode tahap
referensial dengan teknik dasar berupa teknik pilah unsur penentu dan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan pokok (Sudaryanto, 1993: 21-27). Metode padan referensial berfungsi untuk menentukan referen sebuah kata, yaitu dengan cara membandingkan referen kerja dengan hal pokok berdasarkan daya pilah yang dimiliki oleh peneliti dan daya pilah yang melekat pada referen tersebut (Sudaryanto, 1993: 21-27). Misalnya, modom ‘tidur’ makna referensialnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah keadaan berhenti (mengaso) badan dan kesadarannya
(biasanya
dengan
memejamkan
mata);
hendak
(mulai)
mengistirahatkan badan dan kesadarannya. Kedua, metode agih dengan teknik dasar berupa teknik bagi unsur langsung dan teknik lanjutan berupa teknik lesap, teknik perluas, teknik balik, dan teknik ganti. Pada metode agih digunakan intuisi untuk membagi satuan lingual tersebut. Contohnya, terlihat pada kalimat sebagai berikut.
1. Mangan muse anak ni amanta i. ‘makan lagi anaknya bapak itu’ ‘Makan lagi anak bapak itu.’
Teknik lesap digunakan untuk melesapkan unsur tertentu agar diketahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Misalnya, pada frasa mangan muse ‘makan lagi’,
Universitas Sumatera Utara
unsur inti adalah mangan ‘makan’. Jika unsur ini dilesapkan, menjadi *muse ‘lagi’, bentuknya menjadi tidak gramatikal. Teknik perluas dilaksanakan dengan memperluas satuan lingual yang bersangkutan dengan menggunakan unsur tertentu. Pada frasa verbal, mardalan pat ‘berjalan kaki’ dapat diperluas dengan adverbia muse ‘lagi’ menjadi mardalan pat muse ‘berjalan kaki lagi’. Struktur seperti ini dapat diterima secara sintaksis dan semantik dalam bahasa Batak Toba. Teknik ganti dilakukan dengan mengganti satuan lingual yang menjadi pokok perhatian dengan satuan lingual pengganti, misalnya, adverbia muse pada frasa mardalan pat muse ‘berjalan kaki lagi’ dapat diterima sebagai pengganti adverbia museng dari frasa verbal mardalan pat museng ‘berjalan kaki juga’.
1.4 Landasan Teori 1.4.1
Konsep Dasar Istilah sintaksis diambil dari bahasa Belanda Syntaxis. Dalam bahasa Inggris
digunakan istilah Syntax. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, klausa, dan frasa, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk-beluk kata dan morfem (Ramlan, 1995: 21). Ramlan (1995) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia ‘Sintaksis’ mengatakan bahwa kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun naik, ada yang terdiri atas unsur klausa, dan ada yang terdiri atas unsur bukan klausa. Selanjutnya, beliau menyebutkan bahwa klausa itu adalah satuan gramatik yang terdiri dari S dan P baik disertai O, PEL, dan
Universitas Sumatera Utara
KET ataupun tidak. Unsur inti klausa ialah S dan P. Sedangkan frasa ialah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.
1.4.2
Pengertian Frasa Pembicaraan mengenai frasa termasuk bidang sintaksis karena menyangkut
hubungan antarkata (Verhaar, 1970: 97). Adapun ciri utama kata, yaitu dapat dipisahkan dari bentuk lainnya. Dalam frasa ‘tidak melupakan’, ‘tidak’ dan ‘melupakan’ merupakan dua buah kata karena antara kata ‘tidak’ dan ‘melupakan’ dapat dipisahkan dengan menyisipkan kata lain seperti kata ‘akan’ menjadi ‘tidak akan melupakan’. Bahkan, dalam posisinya sebagai jawaban, kata ‘tidak’ dan ‘melupakan’ dapat berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang disebut kata adalah bentuk bebas yang mengandung arti utuh. Hubungan antarkata dalam frasa, baik dari segi bentuk maupun makna, bersifat longgar, tetapi tidak melampaui batas fungsi yang diduduki. Misal, kalimat di bawah ini. 2. Dia sekarang menulis surat.
Dalam kalimat di atas, tidak ada frasa karena hubungan setiap kata telah melampaui batas fungsi, yakni ‘dia’ sebagai subjek (yang disingkat S), ‘sekarang’ berfungsi sebagai keterangan (yang disingkat KET), ‘menulis’ berfungsi sebagai predikat (yang disingkat P), dan ‘surat’ berfungsi sebagai objek (yang disingkat O). Jadi, masing-
Universitas Sumatera Utara
masing kata dalam kalimat ini mengisi satu fungsi sehingga hubungan yang ada di sini adalah hubungan antarfungsi. Berbeda halnya dengan hubungan antarkata ‘akan’ dengan ‘menulis’ dalam kalimat di bawah ini. 2a. Dia akan menulis surat. Pada kalimat di atas ditemukan frasa ‘akan menulis’ yang menduduki satu fungsi. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa frasa adalah hubungan dua kata yang tidak melampaui batas fungsi. Ramlan (1995: 151) mengatakan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Pendapat Ramlan ini didukung juga oleh pendapat Elson dan Picket (1969) mengatakan frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Tarigan, 1986: 50). Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan unsur klausa dari batasan di atas adalah satuan gramatik yang terdiri dari S dan P baik disertai O, PEL, dan KET maupun tidak (Ramlan, 1995). Malahan, sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, sebuah klausa dapat saja terdiri atas P tanpa perlu adanya unsur-unsur lain. Apabila satuan bahasa sudah melampaui batas fungsi, maka bukan lagi disebut frasa, melainkan klausa yang tetap berada di dalam konstruksi yang lebih besar, yaitu kalimat. Ada kalanya frasa terdiri atas dua kata , tiga kata, atau lebih. Apabila frasa terdiri atas dua kata, akan mudah ditentukan bahwa salah satu dari kata itu merupakan unsur intinya. Akan tetapi, apabila frasa itu sudah lebih dari dua kata, penentuan
Universitas Sumatera Utara
unsurnya haruslah memperhatikan prinsip hierarki dalam tata bahasa yang bersangkutan.
1.4.3
Frasa Verbal Tarigan (1986: 59) mengatakan frasa verbal adalah frasa modifikatif yang
hulunya berupa verba atau kata kerja. Ramlan (1995: 168) mengatakan frasa verbal adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verba. Kridalaksana (1988: 93) mengatakan frasa verbal ialah frasa yang terjadi dari verba sebagai induk dengan verba, atau kata berkelas kata lain, yaitu adverbia, atau frasa preposisional, sebagai modifikator. Moeliono (1988: 127) mengatakan frasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya dan tidak merupakan klausa. Alwi, dkk. (2000: 157) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia membedakan frasa verbal menjadi dua yaitu frasa verbal endosentrik atributif dan frasa verbal endosentrik koordinatif. Frasa verbal yang endosentrik atributif terdiri atas inti verba dan pewatas (modifier) yang ditempatkan di muka atau di belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang di belakang dinamakan pewatas belakang (misalnya, ‘harus menjunjung’). Frasa verbal endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang dihubungkan dengan memakai kata penghubung ‘dan’ atau ‘atau’, sebagai verba dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan atau belakang (misalnya, ‘tertawa atau marah’). Sedangkan, dari segi
Universitas Sumatera Utara
fungsinya dalam kalimat, frasa verbal dapat menduduki fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa frasa verbal ialah frasa yang intinya kata kerja (verba) atau frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata kerja. Persamaan distribusi ini dapat diketahui dengan jelas dalam kalimat berikut ini.
3. Allah akan menguji keimanan hamba-Nya dalam menghadapi perkara itu. 4. Allah ---- menguji keimanan hamba-Nya dalam menghadapi perkara itu.
Frasa ‘akan menguji’ dalam kalimat (3) mempunyai distribusi yang sama dengan kata ‘menguji’. Kata ‘menguji’ termasuk golongan verba, karena itu frasa verbal ‘akan menguji’ termasuk golongan verba.
1.4.4
Struktur Frasa Verbal Berdasarkan strukturnya, frasa verbal tergolong dalam frasa verbal
endosentrik yang dibagi lagi atas (a) frasa verbal endosentrik atributif dan (b) frasa verbal endosentrik koordinatif. Frasa verbal yang endosentrik atributif terdiri atas inti verba dan pewatas yang ditempatkan di muka atau di belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang di belakang dinamakan pawatas belakang. Salah satu kelompok kata yang dapat berfungsi sebagai pewatas depan adalah akan, harus, dapat, boleh, suka, ingin, dan mau. Konstruksi seperti akan membaik, akan mendarat, tidak harus pergi, merupakan contoh frasa verbal endosentrik atributif.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan wujud frasa verbal sangat sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan atau pewatas belakang. Perhatikan contoh berikut.
5. Mereka menangisi dan meratapi nasibnya. 6. Dia tidak akan mengakui atau mengingkari perbuatannya.
Pewatas depan dan belakang pada frasa verbal koordinatif seperti ini memberi keterangan tambahan pada kedua verba yang bersangkutan dan bukan pada verba yang pertama saja. Dengan demikian, maka pada kalimat (6) pewatas ‘tidak akan’ memberi keterangan tambahan pada ‘mengakui dan mengingkari’, bukan pada ‘mengakui’ saja.
1.4.5
Kedudukan Frasa Verbal dari Segi Fungsi dalam Kalimat Jika ditinjau dari segi
fungsi, frasa verba terutama menduduki fungsi
predikat. Walaupun demikian, frasa verbal dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, pelengkap, dan keterangan (dengan perluasannya berupa objek, pelengkap, dan keterangan). Berikut ini akan dijelaskan kedudukan frasa verbal dari segi fungsinya dalam kalimat. Pertama, frasa verbal sebagai predikat. Telah dikemukakan bahwa frasa verbal berfungsi terutama sebagai predikat atau sebagai inti predikat kalimat. Perhatikan contoh berikut.
Universitas Sumatera Utara
7. Pemerintah akan mengeluarkan peraturan moneter baru.
Pada kalimat (7) frasa ‘akan mengeluarkan’ yang berkedudukan sebagai predikat diikuti oleh objek ‘peraturan moneter baru’. Kedua, frasa verbal sebagai subjek. Pada kalimat di bawah ini terlihat bahwa frasa verbal dan perluasannya (yang berupa objek, pelengkap, dan/ atau keterangan) dapat berfungsi sebagai subjek. Pada umumnya verba yang berfungsi sebagai subjek adalah verba inti, tanpa pewatas depan ataupun pewatas belakang. Jika verba ini memiliki unsur lain seperti objek dan keterangan, unsur itu menjadi bagian dari subjek.
8. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
Pada kalimat (8) subjeknya adalah frasa verbal ‘bersenam setiap pagi’. Ketiga, frasa verbal sebagai objek. Dalam kalimat berikut frasa verbal dan perluasannya berfungsi sebagai objek.
9. Dia menekuni membaca buku setiap hari.
Dalam kalimat (9) yang berfungsi sebagai objek adalah frasa verbal ‘membaca buku’ yang diikuti oleh keterangan ‘setiap hari’.
Universitas Sumatera Utara
Keempat, frasa verbal berfungsi sebagai pelengkap. Frasa verbal dan perluasannya dapat berfungsi sebagai pelengkap dalam kalimat, seperti terlihat pada contoh berikut.
(10) Dia sudah berhenti dari merokok.
Frasa verbal ‘dari merokok’ dalam kalimat (10) berfungsi sebagai pelengkap dari predikat ‘berhenti’. Predikat itu tidak lengkap dan dengan demikian, predikat yang bersangkutan tidak berterima jika tidak diikuti oleh pelengkap. Kelima, frasa verbal berfungsi sebagai keterangan. Dalam kalimat berikut verba dan perluasannya berfungsi sebagai keterangan.
(11) Mereka baru saja pulang bertamasya.
Pada kalimat (11) terkandung pengertian ‘asal’ dan oleh sebab itu dapat disisipkan kata ‘dari’: ‘pulang dari bertamasya’; dalam hal ini frasa verbal (dengan perluasannya) menjadi bagian dari frasa preposisi.
Universitas Sumatera Utara