BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, seorang manusia senantiasa
membutuhkan kehadiran manusia yang lain. Pada masa dahulu ketika kehidupan manusia masih sangat sederhana, dikenal sistem tukar menukar atau barter yang dipakai untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari. Dengan menggunakan sistem barter, seorang petani penghasil beras dapat memperoleh telur dari seorang peternak ayam. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, muncul sebuah sistem baru dalam perdagangan yaitu dengan menggunakan uang sebagai alat tukar. Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakan uang sebagai alat tukar, namun dengan lahirnya sistem ini perdagangan di antara manusia menjadi semakin maju dan berkembang. Perdagangan adalah transaksi jual beli yang dilakukan antara penjual (produsen) dan pembeli (konsumen). Jual beli dapat terjadi bila terdapat pertemuan antara penawaran dan permintaan atas suatu barang maupun jasa. Dalam sebuah transaksi jual beli terdapat hubungan antara pihak penjual dan pembeli yang menimbulkan sebuah akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban, sehingga jual beli merupakan sebuah bentuk perjanjian.1 Dalam merumuskan suatu perjanjian diperlukan keseimbangan kedudukan dari para pihak. Hal ini dimaksudkan agar para pihak dalam perjanjian berada dalam keadaan
1
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
1
yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang mereka inginkan dalam perjanjian.2 Meski demikan, dalam praktik konsumen seringkali berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan produsen atau pelaku usaha. Hal ini disebabkan oleh dana dan daya dari pelaku usaha untuk membentuk opini atas suatu produk yang bisa jadi bertentangan dengan ekspektasi konsumen.3 Tidak jarang, konsumen selaku pengguna barang atau jasa dijadikan objek semata bagi pencarian keuntungan pelaku usaha. Fakta tersebut kemudian mengilhami lahirnya gerakan perlindungan konsumen (consumer movement). Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang cukup aktif berkontribusi dalam masalah perlindungan konsumen. Pada tahun 1891 di New York dibentuk Liga Konsumen untuk pertama kalinya. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi Liga Konsumen Nasional yang memiliki 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian Amerika Serikat pada tahun 1903.4 Selanjutnya di tahun 1962 Presiden John F. Kennedy menyampaikan sebuah pesan mengenai pentingnya pembentukan undangundang perlindungan konsumen.5 Pesan tersebut menginisiasi lahirnya sebuah gerakan konsumen global di berbagai negara di dunia. Emil Salim berpendapat bahwa gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi di berbagai bidang. Pertama, yaitu globalisasi produksi yang berarti tidak ada lagi produk yang hanya terdapat di satu negara. Kedua, yaitu globalisasi finansial yang berarti bahwa
2
Heniyatun, Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian Baku, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, hlm. 2, dikutip dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=114686&val=5245 diakses pada 28 Desember 2014 3 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen Sebagai Hak Konstitusional Ekonomi Warga Negara Indonesia, hlm. 1, dikutip dari http://eprints.unlam.ac.id/135/1/Jurnal%20MK_Hak-hak%20Konsumen.pdf diakses pada 28 Desember 2014 4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 12-13 5 Ibid., hlm.13-15
2
uang tidak lagi mengenal bendera suatu negara tertentu. Ketiga, yaitu globalisasi perdagangan yang tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif dunia untuk menjadi satu pasar. Keempat, yaitu globalisasi teknologi yang menyebabkan makin tergesernya alat-alat produksi tradisional oleh modernisasi dan mekanisme.6 Gerakan konsumen global tersebut juga dirasakan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan kelahiran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Pada awal pendiriannya, yayasan ini menyoroti kegiatan promosi atas barang-barang dalam negeri yang harus diimbangi dengan kualitas yang terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi diri dari barang bermutu rendah telah memacu usaha untuk melindungi konsumen dan dimulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.7 Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, diupayakan pembentukan suatu produk hukum yang dapat memberi perlindungan kepada konsumen. Upaya pembentukan produk hukum tersebut memakan waktu selama hampir 25 tahun. Berbagai lokakarya, seminar, dan penyuluhan dilakukan di dalam dan luar negeri guna membahas berbagai aspek dari perlindungan konsumen. Akhirnya dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi Indonesia, disahkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada dasarnya setiap orang merupakan konsumen. Perusahaan yang memproduksi suatu barang atau jasa sekalipun tentu menjadi konsumen dalam menyelesaikan tahap produksinya, misalnya dengan membeli bahan baku dari produsen lain. Lantas sejauh mana
6
Gerakan Konsumen Global Tidak Bisa Dihentikan, Kompas edisi 6 April 1994, hlm. 8, dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22532/3/Chapter%20II.pdf diakses pada 27 Desember 2014 7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hlm. 15-16
3
ketentuan hukum di Indonesia mengatur makna konsumen dalam kaitannya dengan upaya perlindungan konsumen? Sebelum diberlakukannya UUPK, hukum positif Indonesia belum mengatur dengan jelas pengertian dari konsumen. Barulah di tahun 2000 ditemukan pengertian mengenai konsumen yang cukup komprehensif di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Undang-Undang ini memberi definisi terhadap konsumen sebagai setiap pemakai dan pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Definisi ini dirasa cukup mengakomodir kepentingan konsumen, sehingga secara garis besar definisi ini pun diambil alih oleh UUPK sebagai berikut: Konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhuk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan.8 Dapat dipahami bahwa definisi konsumen yang diberikan oleh UUPK membatasi konsumen sebagai konsumen akhir yang menggunakan suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu, perlindungan yang hendak diberikan oleh ketentuan hukum tersebut adalah perlindungan bagi konsumen akhir yang cenderung memiliki posisi tawar lemah. Hukum tertulis telah mencita-citakan keseimbangan posisi tawar dari konsumen dan pelaku usaha meskipun dalam praktik konsumen cenderung menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
8
Pasal 1 angka 2 UUPK
4
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut kurang lebih menyediakan landasan hukum bagi upaya perlindungan terhadap konsumen mengingat adanya kesamaan derajat dari semua warga negara di mata hukum, terlepas dari perannya sebagai konsumen maupun pelaku usaha. Sebagai salah satu upaya melindungi konsumen, UUPK mengamanatkan pembentukan suatu badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) di Daerah Tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.9 BPSK bertugas untuk memberikan konsultasi seputar perlindungan konsumen serta berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui cara mediasi, konsiliasi, maupun arbitrase. Berdasarkan Keppres No. 90 Tahun 2001, dibentuk BPSK di 10 kota yaitu Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar.10 Jumlah tersebut kini telah meningkat pesat menjadi 88 cabang BPSK yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia.11 BPSK sebagai salah satu mekanisme out of court settlement dinilai cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku usaha. Menurut Srie Agustina, Direktur Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Pemberdayaan Konsumen Kementerian Perdagangan, penyelesaian di luar pengadilan memakan waktu lebih cepat, murah, dan prosesnya sederhana.12 Tercatat sebanyak 1.348 kasus yang masuk ke BPSK
9
Pasal 49 ayat (1) UUPK http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7910/deperindag-setengah-hati-dalam-membentuk-bpsk diakses pada 28 Desember 2014 11 http://ditjenspk.kemendag.go.id/en/direktorat-pemberdayaan-konsumen/kelembagaan/bpsk diakses pada 28 Desember 2014 12 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4dec97a6186/perkara-konsumen-sebaiknya-diselesaikan-di-luarpengadilan diakses pada 28 Desember 2014 10
5
sejak diberlakukannya UUPK. Dari jumlah tersebut hanya 15 sampai 17 kasus yang berlanjut hingga ke tingkat kasasi.13 Salah satu keberhasilan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen terlihat pada penanganan aduan seorang penumpang pesawat Lion Air bernama Herlina Sunarti di tahun 2011. Herlina yang ikut dalam penerbangan Jakarta ke Semarang pada 4 Agustus 2011 kehilangan tas miliknya yang berisi kosmetik dan pakaian. Atas kehilangan tersebut, Herlina melapor ke bagian Lost & Found Lion Air di Bandara Ahmad Yani Semarang namun tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Selanjutnya Herlina pun menempuh jalur out of court settlement dan melaporkan kasus tersebut ke BPSK Kota Semarang. Pada 3 Oktober 2011 BPSK Kota Semarang mengeluarkan putusan yang menghukum Lion Air untuk mengganti rugi sebesar 25 juta rupiah. Atas kekalahan tersebut, pihak Lion Air sempat mengajukan upaya hukum keberatan dan kasasi, namun pada akhirnya Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut dan menguatkan putusan BPSK Kota Semarang yang memenangkan Herlina Sunarti.14 Berdasarkan pemaparan tersebut, Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terkait peran BPSK khususnya BPSK Kota Semarang dalam menangani sengketa di bidang perlindungan konsumen. Oleh karenanya Penulis bermaksud mengangkat judul Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang dalam Penyelesaian Sengketa Lost Luggage Claim (Studi Kasus Herlina Sunarti Melawan PT Lion Mentari Airlines).
13
Ibid. http://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-bagasi-hilang-saat-terbang-dengan-lion-air/lion-air-harus-ganti-rp-25juta-atas-hilangnya-bagasi-herlina.html diakses pada 28 Desember 2014 14
6
B.
PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peran BPSK Kota Semarang dalam menyelesaikan perkara lost luggage claim antara Herlina Sunarti dan PT Lion Mentari Airlines? 2. Kendala apa sajakah yang ditemui oleh BPSK Kota Semarang dalam menangani perkara lost luggage claim tersebut pada khususnya dan dalam perkara perlindungan konsumen pada umumnya?
C.
TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Subjektif Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
2. Tujuan Objektif Secara objektif penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam ilmu hukum dagang terutama hukum perlindungan konsumen di Indonesia.
D.
KEASLIAN PENELITIAN Setelah melakukan penelusuran di database milik perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Penulis tidak menemukan satupun penulisan hukum yang pernah mengangkat topik ataupun menggunakan objek penelitian yang sama dengan yang hendak Penulis ajukan. Meski demikian, Penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang cukup relevan dengan milik Penulis yaitu sebagai berikut:
7
1.
Tesis yang diajukan oleh Abdul Latif di tahun 2012 berjudul Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Berdasarkan UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tesis tersebut meneliti implementasi peran BPSK Kota Yogyakarta serta daya kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh BPSK Kota Yogyakarta. Lewat penelitiannya, Abdul Latif menemukan bahwa: a.) Sebagai lembaga pengaduan, BPSK Kota Yogyakarta belum berperan aktif mewujudkan hak konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha karena belum ada pengaturan yang jelas dalam UUPK mengenai pelaksanaannya. Pemberian sanksi juga tidak pernah dilakukan karena tidak ada pengaturan mengenai tata cara penjatuhan sanksi tersebut. b.) Dalam penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dan mediasi putusan Majelis Hakim BPSK tidak memiliki irah-irah sehingga tidak dapat dieksekusi melainkan mengandalkan itikad baik pelaku usaha untuk memenuhi prestasi. Sementara dalam putusan arbitrasenya, terdapat irah-irah namun eksekusinya harus dimintakan ke pengadilan negeri yang memakan biaya tersendiri.
2.
Tesis yang diajukan oleh Dedi Hadiyat di tahun 2013 berjudul Kebebasan Pilihan Penyelesaian Sengketa Melalui Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Tesis tersebut meneliti efektivitas pelaksanaan kebebasan pilihan penyelesaian sengketa di BPSK Kota Bandung serta perlindungan hak-hak konsumen ketika konsumen dan pelaku usaha tidak sepakat dalam memilih penyelesaian sengketa. Lewat penelitiannya, Dedi Hadiyat menemukan bahwa: a.) Kebebasan pilihan penyelesaian sengketa
8
melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase hanya berjalan efektif apabila terdapat itikad baik dari pelaku usaha dan konsumen untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka. b.) Perlindungan yang diberikan oleh UUPK masih sangat lemah karena tidak memberikan solusi apabila pelaku usaha tidak memberikan persetujuannya untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK. 3.
Skripsi yang diajukan oleh Nuri Hermawati di tahun 2011 berjudul Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen (Studi Kasus Veronica Lindayanti Melawan PT Bank Century Tbk). Skripsi tersebut meneliti kendala apa saja yang dihadapi BPSK Kota Yogyakarta dalam menyelesaikan kasus Veronica Lindayanti melawan PT Bank Century Tbk dan alasan mengapa putusan BPSK Kota Yogyakarta dalam perkara tersebut tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta. Lewat penelitiannya, Nuri Hermawati menemukan bahwa: a.) Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, BPSK Kota Yogyakarta mengalami kendala pendanaan, sumber daya manusia, dan kendala peraturan yang masih bersifat diskriminatif. b.) Amar putusan BPSK Kota Yogyakarta tersebut tidak dapat dieksekusi karena tidak secara jelas menyebutkan jumlah kerugian konsumen yang harus dikembalikan oleh pelaku usaha sehingga putusan bersifat kabur.
Dari beberapa penulisan hukum yang Penulis temukan tersebut, Penulis beranggapan bahwa terdapat perbedaan antara penulisan hukum milik Penulis dengan penulisan hukum yang telah ada sebelumnya. Adapun perbedaan tersebut terletak pada: 1. Lokasi Penelitian
9
Lokasi penelitian berada di Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang yang berada di Kota Semarang dan Sekretariat Lembaga Konsumen Yogyakarta yang berkedudukan di Kota Yogyakarta.
2. Objek Penelitian Penelitian ini difokuskan pada peran BPSK Kota Semarang dalam menyelesaikan perkara lost luggage claim antara Herlina Sunarti dan PT Lion Mentari Airlines serta kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan peran tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, Penulis beranggapan bahwa penelitian ini dilakukan dengan itikad baik tanpa adanya maksud untuk melakukan tindakan plagiarisme. Apabila terdapat penelitian yang serupa, maka diharapkan penelitian ini dapat memperkaya penelitian sebelumnya serta memperluas khasanah penulisan hukum yang bersifat akademis.
E.
KEGUNAAN PENELITIAN 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia terutama bagi hukum perlindungan konsumen khususnya mengenai penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (out of court settlement).
10
2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan Penulis terkait peraturan normatif di bidang perlindungan konsumen dan praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
b. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat membuka mata masyarakat akan pentingnya upaya perlindungan konsumen terutama penegakkan hak konsumen untuk memperoleh ganti rugi dan upaya penyelesaian hukum yang patut.
11