1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah
satu
tujuan
pembangunan
pertanian
di
Indonesia
adalah
pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan hortikultura adalah petani berlahan sempit atau petani gurem dengan banyak kelemahan, yaitu: lemah pengetahuan dan keterampilan, lemah modal, lemah teknologi, lemah atau kurang akses kredit, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap mereka. Semua kelemahan ini menyebabkan usaha mereka sulit berkembang dan belum mampu menghasilkan pendapatan yang layak bagi mereka. Johnson dan Mellor (1961) mengidentifikasi paling tidak ada 5 (lima) peran sektor pertanian dalam pembagunan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia tenaga kerja dan lapangan kerja terbesar, karena sektor pertanian merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Sektor pertanian menyediakan pasar bagi produk-produk sektor industri karena jumlah penduduk pedesaan yang sangat banyak dan terus meningkat. Sektor pertanian sebagai penghasil devisa dan tidak kalah penting dengan sektor lainnya. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang efektif untuk mengurangi kemiskinan di wilayah pedesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian, karena selama ini kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2009) tantangan pembangunan pertanian Indonesia ke depan adalah meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian. Salah satu komoditas pertanian yang potensial dan mempunyai nilai
2
ekonomi untuk dikembangkan adalah komoditas hortikultura. Konsumsi perkapita sayur-sayuran di Indonesia pada tahun 2003 sampai 2008 berturut-turut adalah 34.52 kg per tahun, 33.49 kg per tahun, 35.33 kg per tahun, 33.78 kg per tahun, 39.39 kg per tahun dan 35.64 kg per tahun seperti yang terlihat dalam Lampiran 1. Angka tersebut jauh dibawah standar FAO untuk konsumsi sayur-sayuran, dimana tingkat konsumsi sayur-sayuran minimal adalah 73 kilogram per kapita per tahun. Saat ini standar tersebut bahkan sudah diperbaharui menjadi 91.25 kilogram per kapita per tahun. Rendahnya tingkat konsumsi sayur masyarakat disebabkan berbagai faktor yaitu kurangnya pemahaman terhadap manfaat dan fungsi sayuran dalam mendukung kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Tabel 1. Tenaga Kerja di Sub Sektor Hortikultura Tahun 2003-2008 (1 000 Jiwa) Tahun No Kel. Komoditas 2003 1
Buah-buahan
2
Sayuran
3
Tanaman Hias
4
Tanaman Biofarma Total
2004
2005
2006
2007
2008
466
587
607
739
898
902
2 254
2 337
2 272
3 002
2 838
2 843
1.4
2.0
1 .5
0.8
0.8
0.9
15
16
20 931
31 283
34 628
32
2 736
2 943
2 902
3 773
3 771
3 778
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010. Pengembangan usahatani hortikultura diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan terutama petani miskin pelaku usahatani hortikultura. Selain itu peningkatan kesejahteraan dapat dicapai melalui pengurangan pengangguran, karena usahatani hortikultura dari tahun ketahun mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja pada usahatani hortikultura pada tahun 2003 sampai 2008 mengalami
3
peningkatan menurut kelompok komoditasnya adalah sebesar 93.28 persen (komoditas buah-buahan), 26.14 persen (sayuran), 121.48 persen (tanaman biofarma), sedangkan untuk tanaman hias penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan sebesar 34.65 persen seperti yang terlihat pada Tabel 1. Komoditas hortikultura, khususnya sayuran dan buah-buahan mempunyai beberapa peranan strategis, yaitu: (1) sumber bahan makanan bergizi bagi masyarakat yang kaya akan vitamin dan mineral, (2) sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta kesempatan berusaha, (3) bahan baku agroindustri, (4) sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara, dan (5) pasar bagi sektor non pertanian. Melalui usahatani hortikultura diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani terutama didaerah pedesaan. Walaupun usahatani hortikultura sangat potensial untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, usahatani hortikultura memiliki kendala. Adapun kendala dasarnya menurut Hastuti (2004) yaitu: (1) pemanfaatan potensi sumberdaya yang kurang diberdayakan, (2) belum sepenuhnya dalam menerapkan teknik budidaya yang baik (penggunaan benih unggul bermutu, penerapan teknologi budidaya, berusahatani yang aman konsumsi, dan yang lainnya), (3) kelembagaan petani belum kuat, (4) terbatasnya modal usahatani, dan (5) penanganan pasca panen. Faktor modal penting karena usahatani memerlukan input yang berasal dari luar sektor pertanian, seperti pupuk kimia, pestisida, bibit dan tehnologi. Dengan demikian faktor modal mempengaruhi tingkat produktivitas usahatani. Petani memerlukan kredit sebagai tambahan modal usahataninya dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebelum panen. Untuk menutupi kekurangan modal usahanya, para petani pada umumnya
4
mengajukan pinjaman ke lembaga pembiayaan disekitar tempat tinggal mereka, baik secara formal maupun non formal.
Kredit formal dapat berupa kredit
program dan kredit komersial. Tabel 2. Produktivitas Tanaman Kentang, Kubis, Wortel, Cabe dan Tomat di Sumatera Utara (Ton/Ha) Tahun Jenis Tanaman 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Kentang
21.1
19.17
16.67
16.97
16.03
16.24
Kubis
22.61
25.58
28.76
25.37
26.78
26.69
Wortel
25.82
19.91
23.18
23.1
22.72
21.66
2.87
7.41
7.82
8.04
8.53
8.57
Tomat 23.16 20.42 20.6 21.34 18.91 Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia dari berbagai Tahun, diolah.
18.83
Cabe
Salah satu kawasan penghasil kamoditas sayuran adalah Sumatera Utara. Propinsi Sumatera Utara berpotensial sebagai penghasil komodititas sayuran. Produktivitas tanaman sayuran kentang, kubis, wortel, cabe dan tomat di Sumatera Utara mengalami peningkatan kecuali produktivitas kentang dan tomat seperti yang terlihat pada Tabel 2. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah modal usahatani. Modal penting karena input usahatani berasal dari luar usahatani seperti pupuk, pestisida, tenaga kerja dan lain lainnya. Soekartawi (1989) menyatakan salah satu yang mempengaruhi produktivitas adalah faktor alam atau tanah (tingkat kesuburan tanah, tofografi, dll), faktor modal dan faktor tenaga kerja. Petani sayuran pada umumnya memiliki modal yang kecil untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan input yang digunakan untuk usahatani sayuran berasal dari luar sektor usahatani tersebut, seperti: pupuk, pestisida dan bibit unggul yang harganya mahal.
5
Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran khususnya tomat dan kentang di Sumatera Utara. Menurut data Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 daerah yang merupakan sentra tanaman sayuran komoditi cabe dihasilkan oleh Kabupaten Karo, Simalungun, Tapanuli Selatan dan Deli Serdang yang mengkontribusi cabe sebesar 59.04 persen (produksinya mengalami penurunan karena pada tahun 2004 daerah ini menghasilkan 90.74 persen) dari total produksi. Untuk komoditi kentang Kabupaten Simalungun dan Karo menghasilkan sebesar 96.78 persen dari total produksi kentang di Sumatera Utara. Begitu juga untuk komoditi tomat Kabupaten Karo dan Simalungun menghasilkan 94.26 persen dari total produksi tomat di Sumatera Utara. Produksi wortel terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Karo dan Simalungun yang menghasilkan
sebesar 94.26 persen dari total
produksi wortel. Produksi kubis di Sumatera Utara dikontribusi oleh Kabupaten Karo dan Simalungun sebesar 92.21 persen dari total produksi kubis. Produktivitas usahatani tomat dan kentang mengalami penurunan. Menurunnya produktivitas tomat dan kentang di duga dipengaruhi oleh penggunaan dan pengelolaan input usahatani tersebut. Ini diduga karena penggunaan input yang tidak tepat terutama kualitas dan kuantitas. Pengadaan input dipengaruhi oleh berapa besar modal yang dimiliki oleh petani. Maka untuk melakukan usahatani memerlukan modal. Soekartawi (1989) menyatakan faktorfaktor yang mempengaruhi produktivitas adalah faktor alam atau tanah (tingkat kesuburan tanah dan tofografi), faktor modal dan faktor tenaga kerja. Faktor modal itu penting karena input yang digunakan untuk usahatani sayuran berasal
6
dari luar sektor usahatani tersebut, seperti: pupuk, pestisida dan bibit unggul yang harganya mahal. Modal untuk berusahatani dapat berasal dari modal sendiri (dari petani sendiri jika petani memiliki kemampuan finansial sendiri) dan dari kredit (jika petani tidak memiliki modal sendiri). Keberadaan kredit dibutuhkan oleh petani untuk tujuan produksi, pengeluaran sehari-hari sebelum hasil panen terjual dan pertemuan sosial lainnya. Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani kecil adalah adanya jurang pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga pemodalan dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan kepada petani, tetapi pada kenyataannya hanya diakses oleh kelompok masyarakat tertentu sedangkan petani kecil yang berlahan sempit atau tidak memiliki lahan tetap tidak dapat mengaksesnya. Terbatasnya akses petani pada kredit dari lembaga formal, mendorong petani mengakses kredit dari lembaga non formal yang berada di sekitarnya. Kredit yang diakses petani berbeda-beda, maka perlu dibuktikan apakah dengan sumber kredit yang berbeda memberikan efek efisiensi usahatani, pendapatan usahatani dan distribusi pendapatan yang berbeda kepada petani. Untuk membuktikannya maka dilakukan penelitian tentang menganalisis perbedaan akses kredit terhadap usahatani sayuran di Kabupaten Simalungun. Diduga dengan perbedaan akses menyebabkan perbedaan dalam hal efisiensi usahatani dan distribusi pendapatan.
1.2. Rumusan Masalah Petani tomat dan kentang di Kabupaten Simalungun masih menghadapi berbagai masalah dalam melakukan usahataninya. Masalah yang paling utama
7
adalah terbatasnya modal usahatani. Maka untuk mendukung usahataninya petani dapat mengakses kredit dari perbankan, tetapi tidak semua petani dapat mengakses kredit dari perbankan karena adanya persyaratan agunan. Petani yang dapat mengakses kredit dari bank adalah petani yang memiliki agunan dan berusahatani dalam skala besar. Sedangkan petani kecil akan mengakses kredit dari lembaga keuangan non formal yang tersedia disekitarnya. Petani yang mengakses kredit dari lembaga keuangan non-formal disekitarnya merasa bahwa lembaga ini mengerti akan kebutuhan oleh petani. Setiap sumber kredit berbeda tingkat suku bunga dan peraturannya, maka akan mengakibatkan perbedaan efesiensi usahatani dan distribusi pendapatan usahatani. Tetapi bagi petani didaerah pedesaan tinggi rendahnya bunga bukan hanya faktor penentu, tetapi juga biaya transaksi yang harus dibayar oleh peminjam. Semakin tinggi transaksi akan menyebabkan biaya kredit secara total akan semakin tinggi. Akses petani terhadap sumber kredit dari bank masih rendah. Rendahnya akses kredit petani terhadap lembaga keuangan formal diduga karena status kepemilikan lahan. Petani di Simalungun kepemilikan lahannya kebanyakan adalah warisan keluarga. Sehingga lahan tidak bisa digunakan sebagai agunan untuk mengajukan kredit ke perbankan. Selain itu masalah utama petani kecil tidak mampu mengakses kredit dari lembaga keuangan formal adalah sistem pengembaliannya yang bersifat bulanan, sedangkan hasil produk pertanian bersifat musiman. Petani tidak mengakses kredit kelembaga formal walaupun tingkat suku bungannya rendah karena total biaya yang dikeluarkan cukup besar yaitu untuk cost transaction, sehingga bunga yang kecil tidak dapat menjadi kompensasi terhadap biaya-biaya yang lain yang relatif besar. Maka petani pedesaan membutuhkan sumber kredit yang mudah, murah, cepat dan tepat. Artinya tidak terlalu banyak persyaratan yang diperlukan untuk meminjam,
8
tersedia pada saat diperlukan dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Persyaratan-persyaratan itu belum bisa di penuhi oleh lembaga keuangan formal maka petani kecil cenderung meminjam kredit dari lembaga-lembaga keuangan non-formal yang berada disekitarnnya. Hastuti (2006) menyatakan aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Petani banyak mengakses kredit non formal dari pada kredit formal, karena kredit non formal tidak memerlukan persyaratan yang rumit, misalnya keharusan adanya agunan dan proses penyaluran kredit dapat dilakukan dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian tidak jarang ditemui bahwa kekurangan modal atau biaya merupakan kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam mengelola dan mengembangkan usahataninya (Nurmanaf et al., 2006). Di Kabupaten Simalungun ada beberapa lembaga keuangan non formal yang banyak di akses petani adalah: (1) pedagang dimana memiliki modal dan adanya perjanjian tidak tertulis dengan petani, dimana hasil usahatani petani dijual kepada pedagang tersebut, (2) toko sarana produksi pertanian yang menjual alatalat pertanian, obat-obatan, benih dan pestisida, dan (3) Credit Union. Maka diduga dari akses kredit yang berbeda akan memberikan dampak efisiensi usahatani sayuran dan distribusi pendapatan usahatani sayuran yang berbeda bagi petani. Sumber kredit di Kabupaten Simalungun berasal dari lembaga keuangan formal (bank umum yaitu Bank Rakyat Inodnesia dan Bank Sumut) dan dari lembaga keuangan non formal (Credit Union), pedagang, dan pengusaha saprotan (hasil analisis di lokasi penelitian 2010). Akses petani kepada perbankan untuk
9
mendapatkan kredit tidak mudah, petani kecil sering tidak mampu memberi agunan yang cukup memadai, sementara pihak bank menuntut agunan yang bernilai tinggi. Perbankan masih menganggap sektor pertanian sangat beresiko sehingga menerapkan prinsip kehati-hatian, seleksi nasabah yang ketat dan diberlakukan persyaratan harus memiliki agunan. Sementara di pihak petani adanya agunan dirasakan cukup memberatkan, apalagi agunan dalam bentuk sertifikat tanah, juga prosedur administrasi yang rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama. Akibatnya saat petani membutuhkan dana yang sifatnya segera untuk membeli sarana produksi tidak tersedia. Selain itu sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran kredit harus dilakukan bulanan. Maka petani mengakses kredit yang bersifat non formal yang tersedia di lapangan, seperti pedagang input dan pedagang sayur juga para pelepas uang. Sumbersumber ini ”sangat mengerti” kondisi dan kebutuhan para petani. diberikan tanpa agunan dengan prosedur yang sederhana.
Pinjaman
Realisasi dilakukan
dengan cepat, dekat, tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan para petani, walaupun harus membayar dengan tingkat suku bunga tinggi. Salah satu alasan utama petani kurang akses ke lembaga formal adalah keuntungan tingkat bunga rendah yang diberikan dikalahkan oleh lebih banyaknya waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan kredit. Disamping itu, lembaga non-formal juga memberikan beberapa keuntungan: (1) relatif tidak ada biaya transaksi, (2) frekuensi berhubungan lebih cepat antara 1-3 kali, dan (3) lama pengurusan kredit antara 1-3 hari. Pedagang sarana produksi pertanian dan pedagang sayuran menetapkan suku bunga rendah, karena mereka mengutamakan hubungan kerjasama dalam pemasaran dan keberlanjutan usahatani. Perbedaan akses kredit dapat memberikan perbedaan pendapatan usahatani dan efisiensi usahatani. Jika ada petani yang dapat mengakses kredit dari lembaga
10
keuangan formal tentu akan dapat membeli input usahatani dari toko sarana produksi pertanian yang lebih murah dan menjual hasil usahataninya kepedagang yang harganya lebih mahal, sedangkan jika ada petani yang meminjam modal dari pedagang maka dia harus menjual hasil usahataninya kepada pedagang tersebut dengan harga yang ditekan. Perbedaan akses akan mempengaruhi perbedaan jumlah input, harga input dan harga output usahatani yang digunakan dan dihasilkan oleh petani. Selain dilihat dari efisiensi usahatani juga perlu dilihat dari distribusi pendapatan usahatani. Bisa saja efisiensi tetapi pembagian (proporsi) keuntungan masing-masing pelaku usahatani malah menekan petani (penggarap). Berdasarkan latar belakang permasalahan tesebut, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti yaitu: 1. Bagaimana pengaruh perbedaan sumber akses kredit terhadap efisiensi teknis, pendapatan, dan distribusi pendapatan usahatani tomat dan kentang di Kabupaten Simalungun? 2. Kebijakan apakah yang harus dilakukan oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan akses petani terhadap modal usahatani tomat dan kentang? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efesiensi teknis usahatani tomat dan kentang. 2. Menganalisis pengaruh akses kredit terhadap efisiensi teknis usahatani tomat dan kentang. 3. Mengetahui pengaruh akses kredit terhadap pendapatan usahatani tomat dan kentang. 4. Mengetahui pengaruh akses kredit terhadap distribusi pendapatan usahatani.
11
5. Mendeskripsikan kebijakan yang tepat untuk petani kentang dan tomat dalam mengakses kredit untuk meningkatkan meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan kesejahteraan petani di Kabupaten Simalungun. Manfaat hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk memberikan pinjaman kredit maupun arah pembangunan pertanian di Kabupaten Simalungun. Terutama bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan dalam memberikan pinjaman kredit maupun arah pembangunan industri kecil beserta kelembagaan tataniaga, khususnya pengolahan sayur yang akan berinvestasi di Kabupaten Simalungun.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data cross section yang di laksanakan pada salah satu wilayah sentra penghasil kentang dan tomat di Provinsi Sumatera Utara yaitu di Kabupaten Simalungun. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini terbatas pada petani yang mengakses kredit dari bank, pedagang, Credit Union dan toko sarana produksi pertanian yang menggunakannya untuk usahatani kentang ataupun tomat. Tingkat pendapatan usahatani dihitung dalam jangka waktu satu kali musim tanam dan sesuai dengan jenis komoditas yang di usahakan. Studi ini menganalisis karakteristik kredit yang ada dilokasi penelitian, faktor-faktor efisiensi, inefisiensi, dan distribusi pendapatan usahatani kentang dan tomat. Data-data yang dikumpulkan mencakup karakteristik tumahtangga petani (umur, pendidikan, pengalaman, status kepemilikan lahan, usahatani kentang ataupun tomat dalam bentuk input dan output (per persil), jumlah tenaga kerja, dan pendapatan dari usahatani kentang dan tomat. Bentuk fungsi produksi
12
yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi ini dipilih karena pertimbangan, yaitu: (1) lebih sederhana, (2) bersifat homogen, sehingga dapat digunakan untuk menurunkan fungsi biaya dari fungsi produksi, dan (3) jarang menimbulkan masalah multicollinearity.