BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Indonesia termasuk sebagai salah satu wilayah yang berada di daerah ekuatorial yang memiliki jumlah kejadian petir yang cukup tinggi dengan jumlah hari petir mencapai 100 sampai 200 hari setiap tahunnya (Zoro, 2014). Dibandingkan dengan wilayah ekuator lain di dunia seperti di Afrika dan di Amerika, Indonesia merupakan daerah dengan pertumbuhan awan konvektif yang paling tinggi. Tingginya jumlah petir di Indonesia disebabkan oleh aktifnya pertumbuhan awan-awan konvektif disebagian besar wilayah Indonesia (Tjasyono, 2004; Fitriani, 2004). Menurut Syakur dan Sukmadi (2000) jumlah kejadian petir di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di benua Eropa dan Amerika. Petir merupakan fenomena alam yang cukup ditakuti oleh manusia karena sering mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan, misalnya kecelakaan pada pesawat terbang, pohon tumbang, rusaknya bangunan dan alat-alat elektronik, dan dapat mengakibatkan luka bakar hingga kematian kepada manusia maupun hewan. Petir dapat menyambar setiap objek yang ada di muka bumi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sambaran petir langsung adalah yang sambaran yang langsung mengenai objek, sedangkan sambaran tidak langsung adalah sambaran efek dari sambaran langsung yang dapat menyebar melalui radiasi, konduksi atau induksi
1
gelombang elektromagnetik petir (Zoro, 2009). Sambaran petir tidak langsung memberikan efek kerusakan yang tinggi karena dapat menyebar mencapai jarak 2 km dari sumber petir sehingga dapat mengganggu jarigan listrik dan merusak alat-alat elektronik (Sulistyanto, 2002). Petir terlebih dahulu akan menyambar objek yang terdekat, sehingga objek yang terdekat dengan awan memiliki potensi terbesar untuk tersambar petir (Zoro, 1999). Subardjo (2005) menyatakan bahwa tingginya jumlah petir di suatu wilayah menyebabkan tinggi pula resiko terjadinya bencana di wilayah tersebut. Kejadian petir merupakan fenomena cuaca yang sangat penting untuk selalu diamati waktu dan posisi kejadiannya terutama di wilayah bandara, karena petir secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan kecelakaan pada pesawat. Kejadian petir ditandai dengan adanya pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb) yang sering disertai dengan kondisi cuaca ekstrim lainnya seperti hujan lebat, angin puting beliung, wind gust (angin kencang secara tiba-tiba), down burst (sentakan udara dingin ke bumi), dan kondisi ekstrim lainnya yang sangat berbahaya khususnya bagi pesawat yang akan mendarat (landing) dan lepas landas (take off). Pengamatan petir secara langsung telah dilakukan menggunakan dua metode, yaitu : 1) Pengamatan petir secara visual, yaitu pengamatan yang dilakukan seorang pengamat cuaca di stasiun meteorologi yang mencatat dan melaporkan kejadian petir dari suara petir terdengar, dan 2) Pengamatan dengan menggunakan alat dengan sistem Lightning Detector (LD), yang merekam kejadian petir secara otomatis. Pemanfaatan radar cuaca dan citra satelit
2
secara maksimal menjadi alternatif terbaik untuk meningkatkan kualitas akurasi data kejadian petir sehingga meningkatkan pelayanan informasi cuaca khusunya bagi penerbangan. Pesawat merupakan salah satu alat transportasi yang semakin diminati oleh masyarakat di Indonesia, selain membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk sampai ke tujuan, biaya yang keluarkan juga relatif murah dan hampir sama dengan sarana tranportasi umum lainnya.
Hal ini menyebabkan bandara-bandara yang ada di
Indonesia semakin lama semakin sibuk, bahkan Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng masuk dalam daftar bandara yang tersibuk di dunia. Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng merupakan bandara yang paling sibuk di Indonesia dengan jumlah diikuti oleh bandara Juanda Surabaya yang berada pada peringkat kedua, dalam melayani penumpang yang datang maupun yang akan pergi baik dari dalam negri maupun luar negri. Farhan (2015) menulis dari informasi pada situs ACI (Airports Council International) bahwa pada tahun 2014 dari 20 bandara terpadat di dunia, bandara Soekarno-Hatta Cengkareng menempati peringkat 12 bandara tersibuk di dunia dengan jumlah penumpang tercatat sebanyak 57,2 juta penumpang atau turun satu peringkat dari tahun 2013. ACI merupakan suatu organisasi dunia yang meneliti tentang perkembangan dan traffic bandara internasional di seluruh dunia. Sejak tahun 1991 ACI selalu mengeluarkan daftar bandara tersibuk yang kemudian menjadi bahan kajian ICAO (Civil Aviation Organization) atau asosiasi penerbangan dunia internasional atau kementrian transportasi di tiap negara.
3
Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng terletak di kota Tangerang propinsi Banten yang sebelah utara wilayahnya berada cukup dekat dengan pantai utara Jawa dan sebelah selatan banyak terdapat deretan perbukitan dari wilayah Pandeglang memanjang ke arah timur hingga wilayah Bogor. Kondisi geografis ini menyebabkan terjadinya interaksi sirkulasi lokal yaitu angin darat-laut berkombinasi dengan sirkulasi angin lembah-gunung sehingga di wilayah Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng dapat terjadi pertumbuhan awan Cb yang dapat menimbulkan petir dan kondisi cuaca ekstrim lainnya yang cukup berbahaya bagi keselamatan penerbangan (Soeharsono, 2015). Data citra satelit MTSAT telah banyak digunakan sebagai alat untuk menghasilkan data cuaca seperti klasifikasi jenis awan, suhu puncak awan, estimasi hujan, dan lainnya. Septiadi (2015) telah memanfaatkan data kanal infrared (IR) dari citra satelit MTSAT untuk menganilisis kejadian hilangnya pesawat Airasia dan menyimpulkan bahwa di area jatuhnya terdapat pertumbuhan awan Cb yang berpotensi menghasilkan sambaran petir dan kondisi cuaca ekstrim lainnya. Kanal IR pada citra MTSAT juga digunakan menampilkan citra awan konvektif yang di interpretasi dari tingkat kecerahan suhu puncak awan (SPA). Molinie dan Jacobson (2003) menganalisis data SPA dan data petir CG di benua Amerika dan menemukan bahwa terjadinya petir dan kepadatan jumlah nya memiliki hubungan yang kuat terhadap SPA, sehingga semakin rendah data SPA maka potensi terjadinya petir dan jumlahnya pun akan cenderung semakin tinggi.
4
Penelitian ini bertujuan melakukan pengolahan citra MTSAT kanal IR1 untuk menghasilkan nilai SPA pada saat terjadi petir di wilayah bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, kemudian dianalisis sehingga menghasilkan threshold SPA yang digunakan sebagai parameter untuk estimasi petir. 1. 2 Perumusan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang berada wilayah equator yang memiliki jumlah petir yang cukup tinggi. Pengamatan petir di Indonesia telah lama dilakukan baik secara konvensional (visual) maupun menggunakan alat otomatis seperti Lightning Detector (LD). Dari kedua metode pengamatan petir yang telah dilakukan selama ini masih terdapat keterbatasan, diantaranya karena wilayah Indonesia yang luas dan mahalnya peralatan untuk pengamatan cuaca di darat, sehingga masih banyak wilayah di Indonesia yang belum dapat dilakukan pengamatan cuaca dan pelayanan informasi cuaca secara lengkap (Swarinoto, 2009), hal ini mengakibatkan tidak semua wilayah indonesia dapat dilakukan pengamatan petir sehingga tidak diketahui informasi kejadian petir pada wilayah tersebut. Untuk itu perlu ada suatu metode pengamatan petir yang murah dan dapat memberikan informasi terjadinya petir secara menyeluruh untuk semua wilayah Indonesia, sehingga dapat menyempurnakan metode pengamatan petir yang sudah ada. Citra MTSAT adalah salah satu citra satelit yang banyak dimanfaatkan oleh peneliti dan instansi pemerintah sebagai data input untuk menganalisis dan
5
mengestimasi kondisi cuaca. Di Indonesia telah dilakukan beberapa penelitian yang memanfaatkan citra MTSAT, misalnya yang dilakukan oleh Swarinoto dan Husain (2012), Avia dan Haryanto (2013) yang memanfaatkan citra MTSAT untuk mengestimasi curah hujan, yang dilakukan oleh Surendra (2015) untuk memanfaatkan citra MTSAT untuk estimasi radiasi matahari dan yang dilakukan oleh lainnya, namun dalam pemanfaatan citra MTSAT untuk menghasilkan estimasi petir masih belum dilakukan, sehingga belum diketahui seberapa baik kemampuan citra MTSAT untuk estimasi kejadian petir. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penilitian ini adalah : 1. Melakukan pengolahan citra satelit MTSAT kanal inframerah (IR) untuk mendapatkan nilai threshold SPA terjadinya petir di wilayah bandara Soekarno-Hatta Cengkareng yang digunakan untuk mengestimasi petir di wilayah bandara Juanda Surabaya. 2. Membandingkan seberapa kuat hubungan nilai SPA terhadap data kejadian petir dari pengamatan visual dan menggunakan alat Lightning Detector (LD). 3. Menentukan nilai threshold SPA untuk estimasi petir dan mengevaluasi hasil estimasi petir.
6
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Dapat digunakan oleh prakirawan cuaca sebagai bahan analisis dalam menentukan adanya kejadian petir menggunakan citra MTSAT. 2. Secara akademis, khususnya dalam bidang penginderaan jauh atmosfer, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kemampuan citra satelit MTSAT dalam mengestimasi kondisi cuaca khususnya kejadian petir pada wilayah tertentu, melalui kajian awan. 3. Studi ini dapat digunakan sebagai data pembanding untuk verifikasi data pengamatan petir menggunakan LD. 1. 5 Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penulis belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini terkait dengan penelitian tentang pengolahan citra satelit MTSAT untuk estimasi terjadinya petir, namun ada beberapa penelitian yang memiliki unsur yang sejalan pada beberapa bagian dalam penyusunan penelitian ini, misalnya dalam pemanfaatkan data citra satelit geostasioner untuk mengetahui data SPA pada saat terjadi petir dan dalam mengestimasi petir dengan memanfaatkan metode dan unsur cuaca lain.
7
Adapun penelitian yang memiliki unsur yang sejalan adalah sebagai berikut : 1. Molinie dan Jacobson 2003 menganalisis data SPA dari citra satelit GOES-8 dan data petir CG dari bulan Mei hingga Oktober 1999 di benua Amerika dengan metode statistik. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa diketahui bahwa terjadinya petir dan kepadatan jumlah nya memiliki hubungan yang kuat terhadap SPA. Semakin rendah data SPA maka potensi terjadinya petir dan jumlah nya akan cenderung semakin tinggi 2. Bothwell (2002) dalam disertasinya melakukan prediksi petir CG di Amerika Serikat bagian Barat dengan menggunakan data dari model numerik RUC2 dan data klimatologi petir. Penelitian dilakukan dengan metode Regresi Logistik sehingga menghasilkan prakiraan petir untuk tiga jam. 3. Harjana (2007) dalam disertasinya melakukan estimasi hujan curah hujan di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data GMS IR dan menentukan data threshod SPA sebesar 220 oK untuk terjadinya hujan. Kemudian melakukan pengklasifikasian awan ada hujan dan awan tidak ada hujan dengan menggunakan metode stastistik Critical Succes Index (CSI), False Alarm Rate (FAR), probability of detection (POD) dan Hit Rate (HR) dan menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,62 dan root mean square error sebesar 11,8 4. Avia dan Haryanto (2013) menentukan variasi suhu threshold awan hujan secara spasial untuk Indonesia berdasarkan data satelit Multi-functional Transport Satellite-1Replacement (MTSAT-1R) dan Tropical Rainfall 8
Measuring Mission (TRMM). Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 728 set data satelit MTSAT-1R dan satelit TRMM yang merupakan data grid dengan resolusi temporal 3 jam-an dari bulan Desember 2007 sampai Februari 2008. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada umumnya suhu threshold awan hujan di wilayah Indonesia bervariasi sekitar nilai 216K sampai 256K berdasarkan metode Perfect Correct (PC) yang bervariasi pada rentang nilai 0,8 sampai 0,9. 5. Fitriani (2012) Melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara aktivitas petir CG (Cloud-to-Ground) dengan awan konvektif di wilayah Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data citra satelit MTSAT kanal IR untuk menganalisis potensi awan konvektif yang kemudian di validasi menggunakan data observasi petir. Berdasarkan penelitian terdahulu, dalam menentukan hubungan antara kejadian petir terhadap data SPA, penelitian ini mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh Molinie dan Jacobson (2003) yang menganalisis data SPA dari citra satelit GOES-8 dan data petir CG dari bulan Mei hingga Oktober 1999 di benua Amerika. Dalam menggunakan metode estimasi dan evaluasi, penelitian ini mengacu kepada metode yang telah dilakukan oleh Harjana (2007), Avia dan Haryanto (2013) yang memanfaatkan data citra satelit MTSAT untuk mengestimasi hujan dengan menggunakan nilai threshold SPA dari citra TRMM dan mengevaluasi hasil estimasi dengan menggunakan metode statistik Critical Succes Index (CSI), False Alarm Rate 9
(FAR) dan Hit Rate (HR). Secara garis besar isi dari masing-masing penelitian terdahulu menunjukkan adanya persamaan dalam pemanfaatan data dan metode pengolahan namun secara khusus belum ada yang menganalisis tentang bagaimana hubungan SPA dan petir yang memanfaatan citra satelit MTSAT kanal IR dan data petir observasi dan data petir CG dari alat LD.
10
Tabe 1.1 Penelitian Terdahulu Peneliti, tahun
Lokasi
Molinie dan Benua Amerika Jacobson 2003
Bothwell, 2002
Harjana, 2007
Metode/Pendekatan Metode Statistik
Bahan yang digunakan Data SPA dari citra satelit GOES-8 dan data petir CG dari bulan Mei hingga Oktober 1999
Menggunakan data dari model numerik Prakiraan petir untuk tiga jam
bagian Barat
RUC2 dan data klimatologi petir
Indonesia
2013
Indonesia
Fitriani, 2012
Jawa Barat
Statistik CSI, FAR dan HR
GMS IR dan data hujan observasi
Estimasi Hujan
Statistik CSI, FAR dan PC
Data citra sateelit MTSAT dan TRMM
Estimasi Hujan
Membandingkan menganalisa
data
dan data citra satelit MTSAT kanal IR dan data Grafik dengan observasi petir CG
metode timesries dan spasial
(Penulis)
Prediksi Lokasi terjadi petir
Amerika Serikat Metode Regresi Logistik
Avia dan Haryanto, Wilayah
Mandoza,
Hasil
aktivitas
Cengkareng dan
CSI, FAR, POD dan PC.
petir
antara
CG
dengan
hubungan
antara
indeks konvektif
2015 Wilayah bandara Metode Korelasi dan Statistik Data satelit MTSAT dan data Petir dari - Grafik Soekarno-Hatta
perbandingan
pengamatan observasi meteorology dan data petir CG dari LD.
jumlah petir terhadap SPA - Estimasi Petir
bandara Juanda Surabaya.
11
12