BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium Development Goals (khususnya goal 1), padahal sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 adalah
menurunkan
prevalensi
kekurangan
gizi
pada
balita
yang
telah
dioperasionalkan melalui beberapa program dan kegiatan pembangunan nasional yang diupayakan untuk mendukung sasaran tersebut (Bappenas, 2012). Strategi yang dilakukan berupa gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1.000 hari pertama kehidupan pada tataran global yang disebut Scaling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia menggunakan istilah Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1.000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK). Scaling Up Nutrition (SUN) Movement merupakan upaya global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan gizi sejak 1.000 hari dari masa kehamilan hingga anak usia dua tahun dengan fokus pada indikator penurunan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR), anak balita pendek (stunting), kurus (wasting), gizi kurang (underweight) (Achadi, E.L., 2014).
2
Pada akhir perjalanan mencapai target MDGs 2010-2015 dan ternyata upaya yang telah dilakukan dapat dilihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun 2010, dan 2013). Hasil Riskesdas 2010, fakta memperlihatkan target MDGs 20102015 persentase balita pendek kurus sebesar 2,1 %, kurus sebesar 13,3 %, gizi kurang sebesar 13 %, sedangkan untuk Provinsi Lampung, prevalensi gizi kurang 10 %, kurus 13,9 % dan pendek kurus 1,6 %. Hasil Riskesdas 2013, fakta memperlihatkan target MDGs 2010-2015 persentase balita gizi kurang sebesar 19,6 %, kurus sebesar 12,1 %, pendek sebesar 37,2 %, sedangkan untuk Provinsi Lampung, prevalensi gizi kurang 18,8 %, kurus 11,8 % dan pendek 42,6 %. Melihat hasil Riskesdas tersebut, maka masih diperlukan kerja keras dalam mencapai target MDGs yang diinginkan atau dapat dikatakan pemerintah masih belum berhasil menurunkan prevalensi masalah status gizi di Indonesia, termasuk Provinsi Lampung, yang memperlihatkan prevalensi gizi kurang dan pendek justru meningkat. Banyak teori menyatakan bahwa dampak yang sangat memprihatinkan terkait dengan tingginya prevalensi gizi kurang adalah kaitannya dengan tingginya angka kematian bayi dan balita karena keadaan gizi mempengaruhi status kesehatan yang memberikan ketahanan balita terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kondisi kurang gizi inilah yang diduga berkontribusi signifikan menjadi penyebab tingginya angka kematian bayi dan balita Provinsi Lampung dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Kejadian gizi kurang tidak terjadi secara tiba-tiba, kekurangan gizi terjadi mulai dari tingkat ringan sampai tingkat berat secara perlahan-lahan dalam waktu cukup
3
lama. Balita kurang gizi ditemukan di posyandu yang sekarang disebut pemantauan pertumbuhan balita dengan program yang dikenal dengan surveilens gizi. Balita yang mengalami masalah gizi akan terlihat dari hasil plot titik pertumbuhannya dengan grafik yang menurun (tidak naik) pada grafik di KMS, dimulai dari tidak naik satu kali kemudian tidak naik dua kali sampai dengan titik pertumbuhan pada Kartu Menuju Sehat (KMS) berada pada Garis Merah (Depkes RI, 2009 b). Balita ini sudah memiliki masalah gizi sehingga perlu mendapatkan perhatian dan segera ditindaklanjuti sebagai respon cepat agar kejadian gizi kurang yang lebih parah dapat dicegah (Depkes RI, 2008). Status pertumbuhan balita menentukan status gizi yang akan menentukan keadaan fisik balita ketika memasuki usia bulan berikutnya, sehingga balita lebih siap berkembang dan bertumbuh secara fisik, kecerdasan, daya tahan dan produktivitas secara optimal. Balita dengan kurang gizi merupakan salah satu gangguan pertumbuhan fisik balita yang sering dialami oleh balita yang tentunya akan mengganggu kesehatan dan gizi balita yang dapat berakibat serius yang berdampak pada kualitas hidup Balita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa gangguan pertumbuhan yang ditandai dengan balita dengan kurang gizi sangat tidak menguntungkan bagi balita ketika memasuki siklus kehidupan berikutnya. Dimulai dari bayi dengan kurang gizi periode siklus berisiko mengalami kurus dan atau pendek ketika memasuki masa balita, demikian seterusnya (Berg A., 1986; Berger SG dkk., 2007; Engle PL dkk., 2007). Balita dengan keadaan seperti ini tentu akan
4
memiliki fisik, tingkat produktivitas, kecerdasan, dan ketahanan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan balita yang tidak pernah mengalami kurang gizi. Permasalahan tersebut di atas, oleh Jahari (2008), dijelaskan bahwa balita kurang gizi akan berisiko mengalami stunting/pendek dan wasting/kurus. Gizi kurang pada masa bayi dan balita mengakibatkan kelainan yang sulit atau tidak dapat disembuhkan dan menghambat perkembangan selanjutnya. Gizi kurang berpengaruh terhadap perkembangan otak yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan mental dan kemampuan berpikir. Jaringan otak anak yang tumbuh normal akan mencapai 80% berat otak orang dewasa sebelum berumur tiga tahun. Gangguan gizi kurang yang terjadi pada masa tersebut dapat menimbulkan kelainan-kelainan fisik dan mental. Pertumbuhan badan yang terhambat biasanya disertai dengan kurang kemampuan imunologik yang dapat berakibat kematian. Kelaparan dapat secara permanen menghambat pertumbuhan fisik dan mental (Meadow R, 2005). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan faktor risiko penyebab BGM adalah faktor balita dan ibu. Faktor balita disebabkan oleh kekurangan zat gizi. Sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya, balita membutuhkan zat gizi makro seperti energi, protein, dan lemak yang adekuat yang akan digunakan oleh tubuh balita sebagai fungsi energi, pembangun dan pengatur (Pudjiati S, 1997; Putra I dkk, 2007; Sunita A, 2005). Balita yang tidak mengonsumsi makanan yang memenuhi syarat gizi seimbang, secara berangsur-angsur grafik pertumbuhan berat badan balita pada KMS menuju titik di bawah garis normal sehingga kemudian dinyatakan sebagai balita BGM (Depkes RI, 2009 a). Penyebab lainnya adalah penyakit infeksi
5
karena balita terkena infeksi membutuhkan energi protein sebagai pengganti energi yang dibutuhkan untuk menyembuhkan infeksi yang diderita (Riyadi, H. dkk., 2011; Rudolf, M. dan Levene, M., 2006). Selain itu, balita yang mengalami infeksi mengalami gangguan selera makan yang berdampak pada penurunan berat badan balita. Keadaan gizi atau status gizi masyarakat menggambarkan tingkat kesehatan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat- zat gizi yang dikonsumsi seseorang. Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, dan anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan gangguan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi. Anak yang sering terkena infeksi dan gizi kurang akan mengalami gangguan tumbuh-kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas di masa dewasa (Shakir, A., 1975; Alisyahbana, A., 1985; Erni dkk., 2008). Tidak seperti penyakit menular, kejadian balita gizi kurang tidak dapat diprediksi waktunya. Kasus balita gizi kurang dapat terjadi sepanjang waktu selama faktor risiko tidak diantisipasi sebagai faktor penyebab terjadinya BGM gizi kurang (Siagian, 2010). Faktor ibu mencakup umur, pendidikan, pengetahuan (Anderson, F, 1986; Khomsan, A. dkk, 2009; Damanik, M.R. dkk., 2010; Durmus, U. dkk., 2011) membuktikan bahwa tingkat kematangan ibu dalam memberikan perhatian pelayanan kesehatan dan gizi berhubungan dengan umur, pengetahuan, dan pendidikan ibu. Jumlah anak dengan jarak kelahiran yang sangat dekat membutuhkan ketersediaan
6
pangan dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan perhatian pelayanan kesehatan yang optimal bagi seorang ibu, demikian juga dengan tingkat pendapatan dan pola asuh (Black, R.E. dkk., 2013; Campbell, A.A. dkk., 2008; Khomsan, A. dkk, 2009; Murashima, M. dkk., 2012; Suhardjo, 1989). Penyakit infeksi seperti diare, ISPA, cacingan, HIV/AIDS, dan TBC sangat sering dialami oleh balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada dasarnya, penyakit ini terjadi akibat perilaku positif masyarakat yang masih rendah terhadap kesehatan dan gizi (Norton, M., 2003; Rudolf, M. dan Levene, M., 2006; Koethe, J.R. dan Heimburger, D.C., 2010; Sengupta, P. dkk., 2010). Kealpaan pengelola program selama ini adalah masalah gizi yang dianggap sebagai tanggung jawab sektor kesehatan semata. Sementara itu, hanya 30% masalah gizi yang bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan, sedangkan 70% lainnya oleh sektor lainnya (Achadi, E.L., 2014). Upaya program perbaikan gizi yang dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan global melalui SUN atau gerakan HPK tidak hanya menjadi tanggung jawab dan dilakukan oleh pemerintah, tetapi perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang terdiri dari kementerian dan lembaga, dunia usaha, mitra pembangunan internasional, lembaga sosial kemasyarakatan, dan didukung oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, serta media. Selama ini alat yang digunakan untuk memantau pertumbuhan balita adalah KMS tanpa rekomendasi tertulis yang harus dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan jika balita sudah mengalami tidak naik satu kali, dua kali, bahkan BGM.
7
Instrumen lain yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan RI hanya untuk menentukan status gizi adalah Antropometri WHO 2005 dan program Nutriclin untuk memprediksi masalah gizi yang terkait dengan diet yang harus diberikan kepada pasien yang memerlukan konseling gizi (Kemkes RI, 2012). Instrumen surveilens gizi, Antropometri WHO 2005, dan Nutriclin belum dalam digunakan untuk memprediksi balita BGM. Kegiatan bulanan di posyandu sangat efektif untuk mencegah masalah gizi kurang. Selain kegiatan pemberian makanan tambahan, penyuluhan gizi, konsultasi gizi, dan pemberian vitamin A, di posyandu juga dilaksanakan pelayanan KIA, KB, penanganan diare, dan imunisasi. Penanganan dan pencegahan gizi kurang (BGM) sudah dilaksanakan sejak tahun 1974 (Tampubolon, E., 2008) dengan melakukan intervensi secara sistem paket. Artinya, balita yang diketahui BGM dari hasil penimbangan dikonfirmasi untuk diputuskan apakah mengalami gizi buruk atau tidak, lalu dilakukan intervensi dengan pemberian asupan makanan yang adekuat dengan mempertimbangkan penurunan berat badan terhadap grafik pertumbuhan pada KMS (Kemkes RI, 2012). Kartu Menuju Sehat (KMS) digunakan sebagai alat untuk memantau secara dini dalam kurun waktu bulanan melalui kegiatan penimbangan bulanan di posyandu. Alat ini tentu masih kurang peka atau kurang dini untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan balita karena baru diketahui setelah genap bulan melalui penimbangan di posyandu. Ternyata intervensi yang dilakukan terhadap balita BGM mengalami kendala karena balita yang dinyatakan BGM, setelah diintervensi, sangat lambat mencapai grafik pertumbuhan berat badan normal. Kondisi ini membuat kader dan pelaksana kegiatan di tingkat puskesmas frustasi.
8
Untuk itu, diperlukan alat pemantauan pertumbuhan balita sebagai
surveilens
terhadap masalah gizi pada balita yang dapat memprediksi secara lebih dini balita yang mengalami masalah gizi, yaitu sebelum berat badan balita turun satu kali, dua kali, atau BGM yang dapat dilakukan setiap saat ketika balita kontak dengan kader atau petugas kesehatan di mana saja dan kapan saja. Selama ini, respon terhadap balita BGM baru dapat dilakukan setelah kasus ditemukan. Belum ada metode yang dikembangkan untuk memprediksi balita berisiko BGM. Memprediksi risiko BGM menjadi sangat perlu mengingat balita BGM berisiko lost generation lebih besar dibandingkan dengan melakukan intervensi ketika risiko BGM akan dialami oleh balita bahkan membutuhkan biaya yang lebih besar. Sampai sekarang belum pernah ada instrumen yang dapat dijadikan standar praktis untuk memprediksi BGM balita. Risiko balita BGM hanya dianalisis berdasarkan berat badan balita yang tidak naik ketika ditimbang. Dalam kondisi sekarang, dengan keterbatasan anggaran dalam penanganan dan pencegahan gizi kurang, diperlukan sebuah instrumen yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan akan peluang terjadinya BGM pada balita setelah faktorfaktor risiko dimasukan kedalam alat simulator untuk dianalisis. Alat simulator ini diberi nama Permata Bunda berupa grafik gambar/grafis seorang balita duduk menghadap kedepan. Alat ini dapat digunakan baik di tingkat puskesmas maupun desa oleh tenaga gizi puskesmas, kader, dan ibu sebagai upaya memprediksi balita yang dikonsultasikan oleh orang tuanya dan diberi nasihat gizi dan kesehatan oleh petugas gizi puskesmas. Novelty penelitian ini memberikan solusi terhadap
9
permasalahan tersebut di atas karena alat ini tentunya akan murah, cepat memberikan informasi intervensi, tepat dalam memberikan keputusan, dapat digunakan secara massal, dan mudah digunakan terutama bagi petugas kesehatan di tingkat kecamatan dan desa. Diharapkan instrumen ini menjadi salah satu model yang sangat bermanfaat untuk penentuan pertumbuhan balita dan alternatif pemecahan masalahnya secara tepat bagi ibu balita.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MPASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor Balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor Ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, Indeks Masa Tubuh (IMT), jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) secara bersama-sama berkontribusi terhadap risiko terjadinya BGM? 2.
Apakah faktor paling dominan yang mempengaruhi risiko terjadinya balita BGM di Provinsi Lampung?
3. Apakah faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MPASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, IMT, jumlah anggota keluarga, paritas,
pendapatan, dan pola asuh)
dapat
10
membentuk instrumen simulasi risiko BGM dengan program komputer yang dapat diterima penggunaannya oleh kader, tenaga pelaksana gizi di puskesmas, dan ahli gizi untuk memotivasi orang tua dalam memperhatikan kesehatan dan gizi Balita ? 4. Apakah model simulator Permata Bunda yang berdasarkan faktor peluang untuk terjadinya BGM dapat menjadi model penentuan status pertumbuhan balita?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menyusun simulator risiko BGM berupa instrumen simulasi dengan program komputer bagi balita berdasarkan faktor risiko yang terbukti berpengaruh. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui kontribusi faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MP-ASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor Ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, IMT, jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) terhadap risiko terjadinya BGM; 2. Mengetahui faktor paling dominan yang mempengaruhi risiko terjadinya balita BGM di Provinsi Lampung;
11
3. Mengetahui faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MP-ASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor Ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, IMT, jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) untuk membentuk instrumen simulasi risiko BGM dengan program komputer dan atau manual yang dapat diterima penggunaannya oleh kader, tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan ahli gizi untuk memotivasi orang tua dalam memperhatikan kesehatan dan gizi balita; 4. Menyusun model simulator Permata Bunda yang berdasarkan faktor peluang untuk terjadinya BGM sebagai model penentuan status pertumbuhan balita.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan 1. Menjelaskan peran sektor kesehatan dan pemangku kepentingan; 2. Menjelaskan faktor risiko BGM yang berpengaruh pada balita; 3. Memberikan informasi yang berguna untuk pengembangan keilmuan; 4. Mengembangan alat ukur penilaian risiko BGM. 1.4.2 Manfaat bagi Program dan Pembuat Kebijakan 1. Memudahkan penilaian risiko BGM untuk setiap balita; 2. Menghasilkan instrumen simulasi risiko BGM bagi balita;
12
3. Intervensi dapat dilakukan lebih efektif dan efisien; 4. Meningkatkan partisipasi ibu balita dalam memantau pertumbuhan balita di posyandu; 5. Mengefektifkan identifikasi risiko BGM; 6. Membuat dokumentasi perjalanan risiko tiap Balita; 7. Memudahkan pemantauan dan evaluasi; 8. Untuk pengatur kebijakan tingkat nasional; 9. Sebagai metode ini dapat direplikasi di posyandu, BKB, PAUD. 10. Bahan hasil rekomendasi lebih tepat sasaran sehingga dapat menurunkan angka lebih jauh dari BGM pada balita. 1.4.3 Manfaat bagi Praktisi dan Masyarakat 1. Menemukan indeks komposit tingkat risiko BGM bagi balita di posyandu; 2. Menemukan faktor dominan BGM yang terjadi pada balita; 3. Menentukan urutan prioritas balita untuk dilakukan intervensi; 4. Memotivasi perubahan perilaku pada ibu balita; 5. Sebagai Indikator perubahan faktor risiko setiap balita; 6. Saran intervensi menurut kelompok faktor risiko yang dimiliki setiap Balita.