BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terkenal sebagai daerah tujuan wisata domestik dan mancanegara. Hal ini tidak lepas dari beragamnya kekayaan wisata DIY, baik wisata alam dan wisata budaya, berbagai predikat yang dimiliki DIY sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota perjuangan, dan kota pariwisata serta visi pembangunan pariwisata DIY 2012-2025 yaitu terwujudnya Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, memiliki keunggulan saing dan banding, berwawasan budaya, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah dan berbasis kerakyatan sebagai pilar utama perekonomian (Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Yogyakarta pada tahun 2013 jumlah kunjungan mencapai 2,6 juta wisatawan domestik dari target 2,2 juta orang dan kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1,8 juta wisatawan. Kondisi ini tentu saja menjadi indikator yang dapat menggambarkan berkembangnya kegiatan pariwisata DIY (Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2014). Berkembangnya kegiatan pariwisata berpengaruh positif terhadap industri perhotelan. Industri perhotelan memang tidak bisa dipisahkan dari sektor pariwisata. Kegiatan pariwisata tidak akan bisa berkembang dengan baik apabila tidak didukung industri perhotelan. Tumbuhnya industri perhotelan yang terjadi di DIY tidak lepas dari peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke daerah ini. Berdasarkan data yang
terlihat pada Tabel 1.1 mengenai jumlah akomodasi hotel, kamar, dan tempat tidur di DIY 2004-2013, selama tahun 2013 akomodasi hotel berbintang tercatat sebanyak 61 unit, jumlah tersebut meningkat sebanyak 7 unit dibanding tahun 2012. Akomodasi hotel non bintang tercatat sebanyak 1109 unit pada tahun 2013, meningkat dari jumlah 1100 unit pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2014). Tabel 1.1 Jumlah Akomodasi Hotel, Kamar, dan Tempat Tidur di DIY, 2004-2013 (Unit)
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Bintang Akomodasi Kamar 36 36 37 38 34 34 36 41 54 61
Non Bintang Akomodasi Kamar
Tempat Tidur 3.416 5.555 1.092 11.221 1.415 5.573 1.089 11.221 3.458 5.640 1.046 11.307 3.458 5.640 1.039 11.307 3.297 5.439 1.095 12.158 3.373 5.633 1.092 12.091 3.631 5.807 1.098 12.519 3.953 6.389 1.063 12.407 5.150 8.171 1.100 13.309 5.801 9.280 1.109 13.547 Sumber: Badan Pusat Statistik DIY (2014)
Tempat Tidur 17.307 17.228 17.459 17.459 18.270 17.735 18.293 18.586 21.720 21.549
Tabel 1.1 memperlihatkan data mengenai jumlah akomodasi hotel, kamar, dan tempat tidur di DIY 2004-2013. Peningkatan hotel bintang secara signifikan terjadi sejak tahun 2010. Jumlah kamar yang tersedia di hotel bintang pada tahun 2013 mencapai 5.801 unit dengan tempat tidur sebanyak 9.280 unit. Sedangkan jumlah kamar yang tersedia di hotel non bintang tercatat sebanyak 13.549 unit dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 21.549 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 2012,
jumlah kamar hotel non bintang meningkat, namun kapasitas tempat tidurnya mengalami penurunan karena beberapa hotel non bintang berubah statusnya menjadi hotel bintang (Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, 2014). Hotel
yang
merupakan
sarana
pokok
kepariwisataan
(main
tourism
superstructures) memiliki peranan penting bagi daerah tujuan wisata. Fungsi utama hotel adalah sebagai sarana akomodasi bagi wisatawan untuk menginap. Minat pengunjung yang semakin tinggi untuk berwisata ke DIY tentunya mendorong kebutuhan Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel. Pola perkembangan TPK hotel pada Tabel 1.2 selama tahun 2005-2013 mengalami fluktuasi. Tercatat dua kali jumlah TPK mengalami penurunan, yaitu tahun 2006 sebagai dampak gempa bumi yang terjadi di DIY dan tahun 2011 sebagai dampak dari erupsi Gunung Merapi (Badan Pusat Statistik DIY, 2014). Tabel 1.2 TPK Hotel di DIY menurut Jenis Hotel, 2005-2013 (Persen) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Hotel Bintang
Hotel Non Bintang 40,99 21,50 37,86 19, 51 45,85 24,18 49,26 30,97 49,44 57,15 48,83 31,59 50,65 34,55 55,19 36,56 56,20 30,02 Sumber: Badan Pusat Statistik DIY (2014)
Jumlah 26,13 23,07 29,29 35,73 55,54 35,34 37,82 40,72 36,41
Data Tabel 1.2 mengenai TPK hotel di DIY menurut jenis hotel 2005-2013 menunjukkan bahwa pada tahun 2013, TPK hotel bintang tercatat 56,20 dan meningkat dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar 55,19 persen. Sementara TPK hotel non bintang tercatat sebesar 30,02 persen dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu sebesar 36,72 persen (Badan Pusat Statistik DIY, 2014). Fenomena ini menggambarkan perkembangan kecenderungan wisatawan untuk menginap di hotel bintang yang lebih tinggi dibandingkan dengan hotel non bintang. Untuk memenuhi kebutuhan akomodasi wisatawan yang terus bertambah, selama tahun 2013 pembangunan hotel-hotel di DIY berjalan cukup pesat. Hal ini lah yang mengakibatkan persaingan bisnis perhotelan semakin ketat dan perlu diiringi dengan perkembangan sumber daya manusianya, baik secara kualitas karyawan maupun kuantitas, untuk dapat memenangkan persaingan yang ada. Pertumbuhan di sektor industri perhotelan DIY membuat manajer SDM (Sumber Daya Manusia) ditantang oleh kenaikan kebutuhan tenaga kerja berkualitas. Realitas saat ini mengenai meningkatnya pekerjaan berbasis pengetahuan, kekurangan pelamar yang kompeten dan berkualitas, beragamnya tenaga kerja, serta kesulitan menarik dan mempertahankan karyawan yang berbakat merupakan tantangan yang harus segera dihadapi untuk dapat mencapai keberhasilan organisasi dalam memenangkan persaingan. Diantara faktor-faktor yang menentukan keberhasilan organisasi, membangun hubungan kerja yang baik antara perusahaan dan karyawan kini menjadi perhatian utama. Hubungan kerja berkaitan dengan kesepakatan yang dibuat mengenai apa
yang ditawarkan perusahaan dan bagaimana karyawan dapat memberikan kontribusinya untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesepakatan ini tidak hanya berupa kontrak yang bersifat legal, seperti sistem penggajian maupun sistem penilaian kerja karyawan, namun ada kontrak lain yang dinilai lebih penting yaitu mengenai hubungan kepercayaan diantara keduanya yang disebut sebagai kontrak psikologis. Kontrak psikologis merupakan komponen dasar dalam membangun hubungan kerja (The Work Foundation, 2009). Employer branding secara langsung dikaitkan dengan tawaran pengalaman kerja berbeda dengan mempertimbangkan berbagai manfaat yang nantinya akan digunakan untuk membentuk kesepakatan antara karyawan dan perusahaan. Employer branding didefinisikan sebagai suatu paket dari manfaat fungsional, ekonomi, dan psikologi yang disediakan oleh perusahaan serta diidentifikasi dengan pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan tersebut (Ambler dan Barrow, 1996). Teori kontrak psikologis mendukung strategi employer branding dalam menawarkan suatu pengamalan kerja yang unik dan berbeda bagi karyawan (Backhaus dan Tikoo, 2004). Brand sering digunakan untuk membedakan produk dan perusahaan dalam rangka membangun nilai ekonomi bagi konsumen dan perusahaan (Sokro, 2012). Salah satu pemahaman yang paling dasar tentang brand berasal dari American Marketing Association yang mendefinisikan brand sebagai nama, tanda, simbol, desain, atau kombinasi diantaranya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari suatu kelompok penjual dan untuk membedakan mereka dari para pesaing (Backhaus dan Tikoo, 2004).
Brand merupakan aset tidak berwujud perusahaan yang paling berharga. Meskipun perusahaan biasanya fokus pada upaya branding untuk mengembangkan produk dan perusahaan mereka, branding juga dapat digunakan dalam bidang manajemen SDM (Sokro, 2012). Ambler dan Barrow (1996), pertama kali menerapkan konsep brand untuk bidang manajemen SDM, melihat perusahaan sebagai brand dan karyawan sebagai pelanggan. Employer branding merupakan pendekatan yang relatif baru bagi perusahaan sebagai pemberi kerja untuk merekrut dan mempertahankan bakat terbaik dalam lingkungan yang semakin kompetitif. Backhaus dan Tikoo (2004), mendefinisikan employer branding sebagai proses membangun identitas perusahaan yang terdiferensiasi dan unik sebagai konsep perusahaan untuk membedakannya dari pesaing. Employer branding merupakan strategi jangka panjang yang ditargetkan untuk mengelola persepsi dan kesadaran karyawan, karyawan potensial, dan stakeholder terkait dengan perusahaan tertentu (Sullivan, 2004). Employer branding dihasilkan oleh perusahaan itu sendiri sebagai identitas untuk menciptakan daya tarik bagi pihak internal maupun pihak eksternal. Dalam percakapan sehari-hari terkadang kita melihat antusiasme berbeda setiap orang ketika sedang membicarakan suatu perusahaan. Rasa ingin tahu dan kagum yang ditunjukkan oleh orang lain terhadap suatu perusahaan tentunya akan menciptakan rasa kebanggaan tersendiri bagi karyawan dan bagi calon karyawan, semakin tinggi reputasi perusahaan akan menjadikan ketertarikan untuk bekerja juga semakin tinggi.
Menurut Backhaus dan Tikoo (2004) perusahaan membentuk employer branding melalui tiga tahapan, yaitu mengembangkan Employment Value Proposition (EVP), memasarkan EVP tersebut kepada calon aplikan, dan mengkomunikasikan brand kepada karyawan perusahaan. Pertama, perusahaan memgembangkan konsep EVP yang menjadi bagian dari employer brand. Menurut Eisenberg et.al. (2001) dalam Backhaus dan Tikoo (2004), EVP merupakan pesan utama yang disampaikan oleh brand tentang image perusahaan. Hal ini menjadi kunci penting bahwa EVP berasal dari audit menyeluruh dari karakteristik yang membuat perusahaan menjadi tempat yang baik untuk bekerja. Kedua, perusahaan memasarkan EVP tersebut kepada karyawan potensial yang menjadi target perekrutan (Backhaus dan Tikoo, 2004). Brand merupakan janji yang dibuat dalam perekrutan dan bagian dari budaya organisasi. Sehingga, perusahaan harus mampu memberikan preview pekerjaan dengan realistis sehingga tidak menimbulkan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tahap kedua dalam proses pembentukan employer branding ini menggunakan strategi external marketing. External marketing membentuk persepsi perusahaan sebagai employer of choice sehingga memungkinkan perusahaan untuk memperoleh calon-calon karyawan terbaik (Backhaus dan Tikoo, 2004). Perusahaan membangun employer of choice di dalam industri perusahaan tersebut berada sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan oleh manajer SDM dalam menghadapi persaingan untuk mendapatkan dan mempertahankan karyawan yang berkualitas serta menekan tingkat turnover (Lenaghan dan Eisner, 2006). Perusahaan yang menjadi employer of choice tidak
hanya mampu memastikan bahwa karyawannya bergabung dan tetap tinggal di perusahaan, tetapi juga mampu mengidentifikasi visi perusahaan, nilai-nilai dan memberikan loyalitas, komitmen, serta kinerjanya (Sehgal dan Malati, 2013). Asumsinya adalah keunikan yang ditawarkan oleh perusahaan melalui employer branding akan mampu menarik karyawan yang memiliki potensi unik dan unggul untuk membuat perusahaan selangkah lebih maju dibandingkan pesaingnya. Ketiga, perusahaan harus melakukan
internal
marketing
dengan
cara
mengkomunikasikan brand secara efektif kepada karyawan perusahaan dengan tujuan menciptakan tenaga kerja yang akan sulit ditiru oleh perusahaan lain (Backhaus dan Tikoo, 2004). Karyawan dengan potensi unik merupakan salah satu sumber daya yang mampu membawa keunggulan kompetitif bagi perusahaan di mana ia bekerja. Internal marketing juga berkontribusi dalam mempertahankan karyawan (Ambler dan Barrow, 1996) dengan menggunakana brand perusahaan untuk memperkuat hubungan kerja sehingga karyawan tetap tinggal dalam organisasi. Data dari The Economist (2003) menunjukkan bahwa dengan pengelolaan cermat atas praktik employer branding dapat memberikan manfaat yang nyata. Data tersebut menunjukkan peningkatan 20 persen atas ketersediaan pekerja, peningkatan komitmen sebesar empat kali lipat, dan penurunan 10 persen atas biaya gaji. Studi yang dilakukan oleh The Society of Human Resources Management menemukan bahwa disaat employer branding secara tepat merepresentasikan budaya perusahaan, hal tersebut lebih memungkinkan bagi perusahaan untuk mempertahankan karyawan
mereka, menghemat biaya rata-rata sejumlah $2,915 untuk setiap proses perekrutan karyawan (The Society for Human Resources Management, 2007). Backhaus dan Tikoo (2004) mengungkapkan bahwa hasil akhir yang ingin dicapai oleh organisasi melalui employer branding adalah brand equity organisasi, yaitu efek dari brand knowledge terhadap karyawan potensial dan karyawan yang sudah dimiliki perusahaan. Brand equity perusahaan mendorong calon karyawan potensial untuk mendaftar di perusahaan tersebut. Bagi karyawan perusahaan saat ini, brand equity yang dimiliki perusahaan tempat mereka bekerja mendorong karyawan untuk tetap bertahan dan mendukung perusahaan. Brand equity ini selanjutnya akan menghasilkan dua aset penting, yaitu brand association dan brand loyalty (Backhaus dan Tikoo, 2004). Employer brand association membentuk image organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pada ketertarikan calon aplikan terhadap organisasi tersebut. Sementara employer brand loyalty merupakan komitmen yang diberikan karyawan terhadap organisasi yang akan berdampak pada produktivitas kerja karyawan. Brand berfungsi sebagai janji. Perusahaan dengan employer branding yang sukses adalah mereka yang secara konsisten memenuhi janji yang melekat pada brand di seluruh siklus hidup perusahaan (The Work Foundation, 2009) berkaitan dengan image perusahaan sebagai organisasi terbaik untuk bekerja. Selanjutnya, janji ini yang akan menjadi pedoman untuk membentuk kontrak hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan. The Work Fundation (2009) mengemukakan bahwa
organisasi yang mampu menawarkan kontrak menarik akan memperoleh kembali kontribusi lebih seperti kinerja tinggi, fleksibilitas, keahlian, dan discretionary effort. Manajemen SDM dinyatakan berhasil apabila mampu menujukkan adanya peningkatan kontribusi yang diberikan karyawan atas ketercapaian tujuan organisasi. Discertionary effort merupakan upaya yang tidak diminta, berasal dari keinginan individu untuk terlibat dalam suatu kegiatan karena menikmati, tertarik, dan bersedia untuk memberikan tambahan usahanya pada kegiatan tersebut (Katoma, 2011). Menurut Yankelovich dan Immerwahr (1983) discretionary effort merupakan upaya sukarela karyawan melebihi apa yang disyaratkan oleh pekerjaaannya. Pada kenyataannya efektivitas dan produktivitas organisasi sangat dipengaruhi oleh discretionary effort karyawan. Perusahaan membutuhkan karyawan untuk mengeluarkan potensinya secara maksimal dan memberikan kinerja terbaiknya. Tuntutan atas discretionary effort semakin tinggi terutama pada industri yang memiliki hubungan dekat dan timbal balik dengan pelanggan seperti industri keuangan dan perhotelan (April dan Katoma, 2009). Meningkatnya perubahan dari fokus bisnis manufaktur menjadi bisnis orientasi pelayanan menjadikan human effort menjadi lebih penting dalam pembentukan nilai. Pembentukan nilai ini mencakup mempertahankan pelanggan karena membangun pelayanan pelanggan dikembangkan dari discretionary behaviour karyawan (Katoma 2011). Lebih dari itu, pelanggan puas secara emosional adalah pelanggan yang puas dengan produk dan pelayanan yang diberikan perusahaan sehingga menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan perusahaan.
Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian. Hubungan kerja tersebut berkaitan dengan kesepakatan yang dibuat mengenai apa yang ditawarkan perusahaan, berupa employer branding, dan bagaimana karyawan dapat memberikan discretionary effort sebagai wujud atas kontribusinya untuk mencapai tujuan perusahaan. Neil (2012) menyatakan terdapat pengaruh employer branding terhadap discretionary effort. Employer branding yang baik harus mampu menyelaraskan ke arah perusahaan dan menjelaskan mengapa karyawan berbakat harus memberikan discretionary effort untuk mendorong kesuksesan tujuan perusahaan (Neil, 2012). Dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti pengaruh employer branding terhadap internal perusahaan (existing employee). Employee engagement digunakan sebagai variabel mediasi untuk meneliti pengaruh employer branding terhadap discretionary effort. Kahn (1990) mendefinisikan employee engagement sebagai perilaku yang menunjukkan bahwa individu karyawan melaksanakan perannya sesuai jabatan dalam organisasi secara penuh dan menanggalkan peran lain yang disandangnya selama berada dalam lingkungan kerja dan pelaksanaan tugas jabatannya. Selain itu, Saks (2006) mengungkapkan engagement sebagai sebuah konstruksi yang unik dan berbeda yang terdiri dari komponen kognitif, emosional, dan perilaku yang berkaitan dengan peran kinerja individu. Beberapa alasan dipilihnya employee engagement sebagai variabel mediasi adalah pertama, terdapat pengaruh yang kuat employer branding terhadap employee engagement. Pada tahun 2007, Brain Heger mengadakan studi empiris menggunakan
data dari 614 responden, untuk mengidentifikasi pengaruh antara EVP, komponen utama dari employer branding, terhadap tingkat engagement responden (Park dan Zhou, 2013). Studi tersebut mengungkapkan bahwa employee engagement dipengaruhi oleh EVP organisasi, dalam atribut EVP (unsur daya tarik bagi karyawan) tersebut bertindak untuk memotivasi karyawan sebuah perusahaan (Heger, 2007). Survey yang dilakukan oleh Corporate Leadership Council juga menemukan bahwa karyawan yang mempersepsikan EVP perusahaan tempatnya bekerja kurang kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lainnya memungkinan disengage dengan mengurangi kontribusi atau meninggalkan perusahaan (Corporate Leadership Council, 2006). Studi empiris lain yang dilakukan pada 113 perusahaan lintas industri mengungkapkan bahwa di perusahaan yang mengembangkan employer branding, karyawan lebih cepat engaged dalam pembuatan keputusan dan proses manajemen (Kucherov & Zavyalova, 2011). Kedua, employee engagement merupakan variabel yang penting untuk mengindikasikan discretionary effort. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004) serta Saks (2006) mengungkapkan bahwa karyawan yang merasa engaged lebih memungkinkan untuk bekerja lebih keras melalui bertambahnya tingkat discretionary effort dan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk meninggalkan perusahaan dibandingkan karyawan yang disengage. Discretionary effort adalah perwujudan perilaku dari keputusan kognitif dan emosional untuk engagement (Macey dan Schneider, 2008; Saks, 2006).
Ketiga, employer branding mempengaruhi discretionary effort melalui employee engagement. Beberapa praktisi dari Chartered Institute of Personnel and Development mengemukakan bahwa employer branding dapat memainkan peranannya dalam membangun engagement dengan cara meyakinkan karyawan untuk memberikan discretionary effort selama bekerja, melebihi persyaratan minimal untuk menyelesaikan pekerjaan (Chartered Institute of Personnel and Development, 2008). Employer branding memiliki tujuan untuk meyakinkan karyawan bahwa organisasi yang mereka pilih merupakan tempat kerja yang baik, untuk mempertahankan karyawan, dan memastikan pemahaman mereka tentang tujuan organisasi serta komitmen untuk mencapai tujuan organisasi tersebut (Sullivan, 2004) yang pada akhirnya akan mempersepsikan organisasi sebagai employer terbaik. Employer terbaik dapat dibedakan dari pesaing dengan tingkat employee engagement yang tinggi (Aon Hewitt, 2011), menghubungkan pada tingginya discretionary effort yang pada akhirnya akan mengarahkan pada tingginya pendapatan, laba, dan kembalinya investasi yang selanjutnya menghasilkan keunggulan kompetitif perusahaan (Ritson, 2002; Backhaus dan Tikoo, 2004; Barrow dan Mosley, 2005). Motivasi perlunya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan adalah pertama, beberapa studi mengungkapkan pengaruh employer branding terhadap employee engagement, sementara beberapa studi lain mengungkapkan pengaruh employee engagement terhadap discretionary effort. Meskipun demikian, beberapa pengaruh tersebut tidak memperhatikan teori-teori yang memunculkannya dan diteliti secara unidimensional. Kedua, studi secara
multidimensional
mengenai
pengaruh antara
employer
branding,
employee
engagement, dan discretionary effort merupakan studi yang langka, khususnya melalui pendekatan akademis. Ketiga, dalam industri jasa seperti perhotelan, karyawan memainkan peranan penting dalam menjaga hubungan perusahaan dengan pelanggan. Meningkatnya jumlah hotel dari tahun ke tahun di DIY menyebabkan perusahaan harus mampu membedakan dengan pesaingnya untuk memperoleh dan mempertahankan karyawan yang berbakat, serta membangun kepuasan pelanggan atas layanan perusahaan. Employer branding merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk memenangkan persaingan tersebut. Dari penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh employer branding terhadap discretionary effort dan employee engagement memediasi pengaruh employer branding terhadap discretionary effort. Selanjutnya penelitian ini akan dikemas dengan judul “Pengaruh Employer Branding terhadap Discretionary Effort dengan Employee Engagement sebagai Variabel Mediasi”. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas, secara umum pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.2.1
Apakah employer branding berpengaruh terhadap discretionary effort?
1.2.2
Apakah employer branding berpengaruh terhadap employee engagement?
1.2.3
Apakah employee engagement berpengaruh terhadap discretionary effort?
1.2.4
Apakah employee engagement memediasi pengaruh employer branding terhadap discretionary effort?
1.3 Batasan Masalah 1.3.1
Penelitian ini terbatas pada satu organisasi yang menjadi objek penelitian yaitu Wisma MM UGM Yogyakarta.
1.3.2
Analisis yang diteliti pada penelitian ini terbatas pada variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini, meskipun ada beberapa kemungkinan terdapat variabel-variabel lain diluar model yang berpengaruh terhadap variabelvariabel yang diteliti.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis 1.4.1
Pengaruh employer branding terhadap discretionary effort;
1.4.2
Pengaruh employer branding terhadap employee engagement;
1.4.3
Pengaruh employee engagement terhadap discretionary effort;
1.4.4
Employee engagement memediasi pengaruh employer branding terhadap discretionary effort.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak perusahaan, akademisi, dan peneliti lain. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.5.1
Pihak perusahaan Bagi pihak perusahaan, penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi empiris mengenai pengaruh employer branding terhadap discretionary effort dengan employee engagement sebagai variabel
mediasi sehingga dapat menjadi bahan pertimbanan sebagai dasar pengambilan keputusan. 1.5.2
Pihak akademisi Bagi pihak akademisi, hasil penelitian ini dapat menambah informasi mengenai pengaruh employer branding terhadap discretionary effort dengan employee engagement sebagai variabel mediasi yang dapat digunakan sebagai acuan penelitian lebih lanjut dalam mengembangkan model .
1.5.3
Pihak peneliti Bagi pihak peneliti, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengaruh employer branding terhadap discretionary effort dengan employee engagement sebagai variabel mediasi.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian yang utama: BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab II merupakan telaah literatur yang berisi argumen-argumen konseptual yang akan diuji dalam penelitian dan pengembangan hipotesis.
BAB III METODE PENELITIAN Bab III menjelaskan tentang pengambilan sampel dan teknik pengolahan data. Pengolahan data yang dilakukan terdiri atas beberapa tahapan mulai dari penjelasan jenis penelitian, metode pengumpulan data, penjelasan variabelvariabel penelitian, rumus yang digunakan, dan metode analisis data melalui pengujian statistik. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab IV merupakan analisis data, dalam bab ini menjelaskan hasil penelitian berdasarkan analisis yang telah dilakukan, meliputi model estimasi dan pengujian hipotesis. Hasil penelitian dianalisis sesuai dengan teori dalam Bab II. BAB V PENUTUP Bab V berisi penutup yang menyimpulkan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan, implikasi serta kemungkinan keterbatasan-keterbatasan yang ditemui penulis selama melakukan penelitian, serta memberikan saran yang mampu menunjang atau menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Bagian ini berisi buku teks, artikel jurnal, dan bacaan lain yang digunakan sebagai referensi dalam membahas permasalahan.