BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum 4.1.1. Gambaran Umum Keenergian DIY Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi Indonesia yang tidak memiliki potensi energi fosil. Hampir seluruh kebutuhan energi di DIY seperti bahan bakar minyak (BBM), LPG di-supply dari luar daerah dengan penggunaan yang makin meningkat tiap tahun. Energi listrikpun dipasok dari jaringan interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) karena belum adanya pembangkit listrik yang memenuhi permintaan listrik masyarakat DIY. Hal ini berarti bahwa segala kegiatan masyarakat di wilayah DIY sangat tergantung pada stabilitas pasokan energi dari daerah lain. Di sisi lain sebagai icon Kota Budaya, Kota Pendidikan, dan daerah tujuan wisata kedua setelah Bali, maka DIY menjadi salah satu destinasi pendidikan dan wisata yang sangat potensial bagi warga dari luar wilayah. Hal ini jelas akan berimplikasi pada makin banyaknya aktivitas ekonomi dan manusia yang menggunakan energi baik BBM maupun listrik di wilayah ini. Di sisi lain pola konsumsi energi di DIY merupakan pola konsumsi energi yang konsumtif. Energi yang telah digunakan sebagain besar tidak digunakan untuk mendukung pertumbuhan perekonomin. Hal ini terlihat dari penggunana energi terbesar ada disektor rumah tangga dan transportasi, yatu mencapai 28,5% dan 59,45% dari keseluruhan energi yang digunakan di tahun 2013, sisanya adalah energi yang digunakan di sektor komersial dan industri. Komposisi jenis energi yang 127
digunakan di DIY masih sangat didominasi oleh jenis energi dari BBM yang mencapai lebih dari 60% dari keseluruhan pemakaian energi di tahun 2013. Sedangkan elastisitas pertumbuan penggunaan energi terhadap pertumbuhan PDRB pada periode yang sama adalah sebesar 1,16. Nilai elastisitas ini menunjukkan bahwa penggunaan energi di DIY masih boros karena untuk menjalankan sektor aktivitas dengan pertumbuhan sebesar 1% per tahun dibutuhkan energi dengan pertumbuhan sebesar 1,16% pertahun.
28.52%
Rumah Tangga
Komersial Industri 59.45%
Sektor Lainnya 7.26%
Transportasi
3.73% 1.03%
Sumber : Dinas PUP dan ESDM DIY, 2014 Gambar 4.1. Penggunaan Energi per Sektor Tahun 2013 Di tahun 2013, bauran energi primer terlihat bahwa penggunaan minyak bumi sangat mendominasi, yaitu sebesar 71,91%. Minyak bumi digunakan dalam penyediaan jenis-jenis bahan bakar minyak dan LPG. Batubara yang digunakan dalam pembangkitan energi listrik memiliki persentase sebesar 16,59% di tahun 2013. Selain digunakan dalam pembangkitan energi listrik, sebagian kecil batubara juga digunakan dalam aktivitas sektor industri. Gas alam yang digunakan dalam pembangkitan energi listrik memiliki persentase sebesar 9,60%. Di tahun 2013, penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) hanya memiliki persentase sebesar
128
1,90%. EBT ini terdiri dari tenaga air dan panas bumi yang digunakan dalam pembangkitan energi listrik melalui sistem JAMALI serta kayu bakar yang digunakan untuk aktivitas memasak di sektor rumah tangga.
Tenaga Air
EBT
Panas Bumi Biogas Biodiesel
71.91%
9.60%
1.43%
Angin Biomasa
1.90%
Matahari 16.59%
Kayu Bakar 0.42% 0.05%
Batubara Minyak Bumi
Gas Alam
Sumber : Dinas PUP dan ESDM DIY, 2014 Gambar 4.2.Bauran Energi Primer di Tahun 2013 4.1.1.1. Ketenagalistrikan DIY Sebagai daerah yang tidak memiliki sistem pembangkit berskala besar, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada dalam sistem interkoneksi JAMALI. DIY juga tidak mempunyai deposit sumber daya energi fosil. Meskipun demikian, daerah memiliki beberapa potensi sumber energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Karena kebutuhan tenaga listrik DIY akan dipenuhi oleh sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI), maka dalam perencanaan sistem pembangkit juga disesuaikan dengan pengembangan sistem pembangkit yang tergabung pada sistem interkoneksi JAMALI. Gambar 1 menunjukkan sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali. 129
SLAYA PLTGU CILEGON PLTGU BOJONEGARA KMBNG CWANG
CLGON
MRTWR
SRANG BLRJA
BKASITMBUN
CBATU
JAWA
PWTAN
GNDUL DEPOK
U
TJATI
CRATA CIBNG
MADURA
CRBON
SGLNG BDSLN
CSKAN LGDAR
NGBNG UJBRG
PMLNG
GRSIK
UNGAR SBBRT
TSMYA
SBLTN PITON
PKLAN
BNGIL GRATI KLTEN
Keterangan :
BALI
KDBRU WTDOL
GLNUK
GITET Existing GITET Rencana
KAPAL EDO-P3B
SUTET Existing SUTET Rencana
Sumber : PT. PLN (Persero) APJ Yogyakarta, 2014 Gambar 4.3. Sistem Interkoneksi Jawa-Madura-Bali Dengan sistem interkoneksi tersebut, penyediaan listrik di Daerah Istimewa Yogyakarta bisa berasal dari berbagai pembangkit yang berada pada sistem interkoneksi tersebut. Palayanan tenaga listrik untuk pelanggan di DIY saat ini dilayani oleh 8 gardu induk dengan kapasitas total 616 MVA, dengan beban puncak untuk DIY sebesar 292.3 MVA. Sistem tersebut disalurkan melalui Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dengan panjang total 4.660,850 kms dan Jaringan Tegangan Rendah (JTR) dengan panjang total6.845,523 kms. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan MVA tersambung ke pelanggan adalah 6,56% dengan nilai penambahan rata-rata adalah 45.353,72 kVA. Sedangkan besaran energi listrik yang di konsumsi untuk seluruh wilayah DIY sampai dengan akhir 2011 adalah sebesar 1.869 Gwh. Jika dilihat sampai dengan akhir tahun 2010, konsumsi energi DIY mencapai angka 1.481.575.542 kWh. Gambaran tersebut bisa dilihat dalam Tabel 4.2. Sistem ketenagalistrikan untuk wilayah pelayanan Daerah Istimewa 130
Yogyakarta (DIY) dikelola oleh PT PLN (Persero) Unit Distribusi Jawa Tengah dan DIY, yang berkedudukan di Semarang. Untuk kepentingan pelayanan pelanggan di DIY ditangani langsung oleh PT. PLN (Persero) area pelayanan dan jaringan (APJ) Yogyakarta, yang merupakan bagian dari manajemen PT. PLN (Persero) distribusi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasokan tenaga listrik untuk wilayah DIY hampir seluruhnya diperoleh dari sistem interkoneksi JAMALI, ditambah produksi sendiri dengan kapasitas yang relatif masih kecil. Hal ini dikarenakan di provinsi DIY tidak ada pembangkit dalam skala besar yang dapat menyuplai kebutuhan listrik DIY. Untuk wilayah DIY, terdapat 78 kecamatan dan 438 desa serta 4.514 dusun. Kondisi kelistrikannya sampai dengan triwulan tahun 2014, seluruh desa telah terlistriki oleh jaringan PLN, dengan demikian rasio desa berlistrik di DIY adalah 100%. Namun, rasio elektrifikasi secara total baru mencapai angka 81,42%, sebagaimana tampak dalam Tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1. Rasio Elektrifikasi DIY Kabupaten/Kotamadya Pelanggan Jumlah Rasio Kepala Elektrifikasi Keluarga Kota Yogyakarta 88.999 130.964 67,96 Bantul 230.677 268.990 85,62 Kulon Progo 88.677 111.463 Sleman 290.001 358.855 Gunungkidul 144.212 198.082 Total 891.816 1.068.354 Sumber : PT. PLN (Persero) distribusi Jateng & DIY 2014
79,56 80,81 72,80 81,42
131
Tabel 4.2. Jumlah Gardu Induk, Unit yang Disuplai dan Kapasitas No
GI
1.
Keuntungan
2.
Bantul
3.
Gejayan
4.
Wirobrajan
Mensuplai Wilayah Kerja UPJ
Kapasitas (MVA)
Sleman, Yk. Utara, Kalasan Sedayu, Yk. Selatan, Yk. Utara, Bantul Yk. Utara, Yk. Selatan, Kalasan Yk. Utara, Yk. Selatan, & Sedayu
60 60 60 60 60 60
Beban Puncak (MVA) 44,5 17,2 23,7 34,6 25 25
60
30 30 6. Medari Sleman 30 30 7. Wates Wates 16 30 8. Semanu Wonosari 30 Jumlah 616 Sumber : PT. PLN (Persero) APJ Yogyakarta, 2014 5.
Godean
Sleman, & Sedayu
Kapasitas Jumlah (%) Feeder 74,16 28,67 39,50 57,67 41,67 41,67
7 3 4 8 4 4
27,5
45,83
5
8,5 14,1 21 11 6,5 21,3 12,4 292,3
28,33, 47,00 70,00 36,67 40,63 71,00 41,33 47,45
3 3 6 3 2 3 2 57
Pelanggan PT. PLN (Persero) APJ Yogyakarta berjumlah 891.816 pelanggan sampai dengan akhir Triwulan I tahun 2014. Sebagian besar dari pelanggan tersebut di dominasi oleh pelanggan sektor Rumah Tangga (golongan R), yakni 92,5%. Penjualan tenaga listrik di DIY pada tahun 2014 mencapai 1.481.575.974 kWh, dengan kontribusi terbesar dari pelanggan rumah tangga yaitu 55,95%, sedangkan rupiah penjualan sudah mencapai Rp. 917.324.886 dengan kontribusi terbesar juga berasal dari sektor rumah tangga yakni 50,33%. Pertumbuhan jumlah pelanggan di DIY rata-rata naik sebesar 4,02% per tahun sejak tahun 2002, yang berarti permintaan tenaga listrik relatif kecil jika di bandingkan dengan daerah lain.
132
Tabel 4.3. Komposisi Pelanggan Listrik di DIY No 1 2 3 4
Golongan pelanggan Rumah Tangga Komersial Publik Industri Total
Jumlah pelanggan Persentase (%) 825.014 92,5 37.981 4,26 28.320 3,17 501 0,07 891.816 100
Sumber : PT. PLN (Persero) APJ Yogyakarta, 2014 4.1.1.2. Pasokan BBM dan LPG Jalur distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) dari unit pengolahan BBM di DIY didistribusikan dari Cilacap dengan menggunakan jalur pipa menuju Depo Pemasaran Rewulu.BBM yang dipasok berupa bensin, solar, minyak tanah, oli dan gas. Dari Depo Rewulu bensin dan solar langsung didistribusikan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum/Khusus (SPBU/K) atau agen minyak di wilayah DIY. Kemudian dari SPBU/K dan agen minyak, BBM didistribusikan ke konsumen. Khusus untuk minyak tanah jalur distribusinya langsung melalui agen minyak, dilanjutkan ke pangkalan minyak, kemudian pengecer atau ke konsumen. Untuk bahan bakar gas, dari UP IV Cilacap dipasok langsung ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), kemudian ke agen dan pengecer, terakhir ke konsumen. Distribusi BBM dan untuk Propinsi DIY,mempunyai alur dari Instalasi Pengampon/Depot Rewulu diambil langsung oleh Agen Minyak dan kemudian disalurkan menuju SPBU dan pangkalan-pangkalan minyak tanah dibawahnya. Agen Minyak Tanah dan LPG adalah anggota/pemegang Saham PT. Pengusaha Minyak Tanah(PMT) berbentuk Perorangan/ Koperasi yang diangkat/ ditunjuk oleh Pertamina 133
dan diberi jatah/ Alokasi Minyak Tanah untuk disalurkan ke Pangkalan-Pangkalan Minyak
Tanah
maupun
LPG.
Agen
Minyak
Tanah
dan
LPG
harus
memiliki/menguasai alat-alat penyaluran (mobil Tanki/truk) yang memenuhi persyaratan yang berlaku dan jumlahnya cukup untuk menyalurkan alokasi Minyak Tanah maupun LPG. Dalam melaksanakan penyaluran, Agen Minyak Tanah maupun LPG harus mempunyai Pangkalan. Agen Minyak Tanah maupun LPG yang berbentuk Koperasi, disamping menyalurkan langsung Minyak Tanah/LPG kepada konsumen yang menjadi anggota Koperasi tersebut, dapat juga mempunyai pangkalan. Dalam hal Penyaluran Minyak Tanah, maka Agen Minyak Tanah/LPG d iwajibkan: a.
Mempunyai Pangkalan-Pangkalan Minyak Tanah/LPG yang tetap.
b.
Menyerahkan daftar nama, alamat dan alokasi Minyak Tanah Pangkalan-Pangkalannya.
c.
Melaporkan kepada Pertamina realisasi penyaluran Minyak Tanah/LPG yang disalurkan ke Pangkalan-Pangkalannya.
Untuk memenuhi sistem penyaluran yang dapat mendukung pengawasan penyaluran minyak tanah yang lebih efektif maka diadakan Rayonisasi per Kabupaten/ Kota. Alasan lain diadakannya Rayonisasi per Kabupaten/ Kotamadya adalah: a. Agar mudah dalam pengawasan. b. Menunjang penyebaran daerah peliputan 134
c. Sejalan dengan rencana Otonomi Daerah (OtDa) Pola distribusi BBM dan LPG saat ini dijelaskan dalam Gambar 4.4 sebagai berikut.
Sumber : Pertamina DIY, 2014 Gambar 4.4. Alur Pengangkutan dan Distribusi BBM dan LPG Adapaun angka nyata realisasi penyaluran BBM dan LPG diberikan dalam Tabel berikut ini:
Tabel 4.4. Realisasi Penyaluran BBM (KL) di DIY JENIS BBM
2011
2012
2013
2014
425.688
458.064
504.623
521.374
577.682
101.456
104.504
112.640
126.166
130.527
140.056
73.130
-
-
-
-
-
-
30.794
43.311
48.131
52.793
58.600
65.046
72.071
2008
2009
2010
PREMIUM (KL)
364.344
392.320
SOLAR (KL)
93.920
M TANAH (KL) GAS LPJ (ton)
Sumber : Pertamina Yogyakarta, 2015
135
4.1.1.3 Potensi Energi Terbarukan Daerah Istimewa Yogyakarta diidentifikasi tidak memiliki sumber-sumber energi tak terbarukan seperti minyak bumi, batubara dan gas alam. Sehingga selama ini kebutuhan akan energi final yang berasal dari minyak bumi, batubara dan gas alam selalu dipasok dari daerah lain di Indonesia. Namun, disebabkan semakin menipisnya sumber cadangan energi tak terbarukan, Pemerintah dan badan-badan penelitian nasional maupun swasta serta kalangan akademisi mulai memfokuskan perhatian pada pemanfaatan energi yang berasal dari sumbersumber energi terbarukan, seperti energi surya, angin, ombak, air dan biomasa. Hingga saat ini telah diketahui bahwa di wilayah DIY terdapat beberapa sumber energi terbarukan yang hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, diantaranya adalah dijelaskan pada bagian berikut: a.
Energi Air Pada saat ini telah diidentifikasi adanya petensi energi air yang terletak di
Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sleman. Data potensi energi air dapat dilihat pada Tabel 4.5. Di Kabupaten Kulonprogo potensi berasal dari pemanfaatan saluran irigasi Kalibawang yang mengalir sepanjang tahun dengan fluktuasi debit yang tidak begitu tinggi. Kendalanya, selama ini fasilitas irigasi tersebut tidak dalam perawatan yang baik sehingga potensi yang ada belum dapat dimanfaatkan.
136
Sumber : Survey Lapangan, 2014 Gambar 4.5. Potensi Mikrohidro di Kulonprogo Sedangkan untuk Kabupaten Sleman, potensi sumber energi air berasal dari selokan Van der Wicjk dan Selokan Mataram. Informasi dari Bagian Proyek Waduk Sermo, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Progo, Opak dan Oyo, bahwa fungsi waduk Sermo adalah untuk irigasi = 3.004 Ha, air baku = 0,13 m3/dt, pengendali banjir dan kekeringan (elevasi minimal = 113,70 m, disamping itu fungsi Waduk Sermo direncanakan pula untuk pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan tebal aliran yang disediakan sebesar 0,488 m/dt, dengan luas genangan 1,57 m2 dan debit aliran sekitar 76,62 m3/dt dan diperkirakan dapat membangkitkan listrik sebesar 400 kW. Adapun kendala dari pemanfaatan energi aliran sungai ini adalah debit aliran air yang tidak teratur sepanjang tahun dan letaknya tersebar.
137
Tabel 4.5. Potensi Energi Air di DIY No.
Nama
Lokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Saluran Kalibawang Saluran Kalibawang Saluran Kalibawang Saluran Kalibawang Saluran Kalibawang Selokan Kamal Sel. Van Der Wicjk-3 Sel. Van Der Wicjk-4 Sel. Van Der Wicjk-5 Sel. Mataram-1 Sel. Mataram-2 Sel. Mataram-3 Sel. Mataram 4 Sel.Mataram 8 Kali Buntung Bendung Tegal Sel. Van Der Wicjk-4 Sumber Cincin Guling 1 Sumber Cincin Guling 2 Sumber air tejun Slumpret
Kedungrong 1 Kedungrong 2 Semawung Tempel, Pendoworejo, Girimulyo Kemukus, Tanjungharjo, Nanggulan Kamal, Giripurwo, Girimulyo Klagaran, Sedangrejo, Mingir Kajoran, Banyuredjo, Sayegan, Kedungprahu, Sendangrejo, Minggir Gasiran, Banyuredjo, Sayegan Bluran, Tirtonadi, Mlati Trini, Trihanggo, Gamping Gemawang Candisari, Kalasan Kricak, Tegalrejo Tegal, Kebonagung, Imogiri Desa Kajoran, Banyuredjo, Sayegan,
18 19 20
Potensi (kW) 90 100 614 35 5,3 34 22 25 14,7 9,5 31 23 3,5 4,7 12,4 106 25
Gedad, Banyusoco, Playen
3,5
Gedad, Banyusoco, Playen
3
Mengguran, Bleberan, Playeng Total Sumber : Dinas PUP&ESDM DIY, 2014
41 788,6
b. Energi Surya Secara praktis bahwa intensitas energi surya yang diterima oleh atmosfer dari matahari adalah sekitar 1.353 Watt/m2, sedangkan yang dapat diterima oleh bumi menjadi sekitar 1 kW/m2. Artinya, kalau ada luasan sebesar 1 m2 yang dikenai sinar matahari di bumi saat itu, maka potensi energi yang dimiliki adalah sekitar 1 kWatt. Potensi sebesar ini akan turun dengan drastis bila terdapat awan yang tebal. Jumlah 138
energi yang diterima tersebut bergantung pada lamanya dan diukur dalam satuan kWh (kilo watt jam). Energi surya dapat dikonversi menjadi jenis energi lain dengan tiga cara yaitu eksitasi termal (kolektor surya termal), efek Photovoltaik (PV) dan reaksi kimia (fotosintesa tumbuhan). Potensi radiasi matahari di Provinsi DIY dapat dihitung dengan menggunakan metode clearness index atmosfir (Gambar 4.6). Clearness index merupakan sebagian radiasi matahari yang dipancarkan melalui atmosfir dan mancapai permukaan bumi. Clearness index ini memiliki nilai antara 0 dan 1, yang didefinisikan sebagai perbandingan antara radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi dengan radiasi ekstraterrestial. Clearness index memiliki nilai yang besar atau mendekati 1 pada saat keadaan atmosfir cerah dan memiliki nilai yang rendah atau mendekati 0 pada saat keadaan berawan. Perhitungan potensi radiasi matahari dengan menggunakan clearness index dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak HOMER. Hasil dari perhitungan ini dapat dilihat pada gambar 3 dan tabel 12. Dari Gambar 4.7 dan Tabel 4.6. berikut dapat dilihat bahwa rata-rata radiasi matahari harian terjadi di bulan September sebesar 5,54 kWh/m2/hari dengan clearness index sebesar 0,55.
139
Global Horizontal Radiation
1.0
5
0.8
4 0.6 3 0.4 2
Clearness Index
Daily Radiation (kWh/m²/d)
6
0.2
1 0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Daily Radiation
Jul
Aug Sep Oct
Nov
Dec
0.0
Clearness Index
Sumber : Dinas PUP dan ESDM DIY, 2012
Gambar 4.6. Potensi Radiasi Matahari di DIY
Bulan January
Tabel 4.6. Potensi Radiasi Matahari di DIY Clearness Index Daily Radiation (kWh/m2/d) 0,40 4,28
February
0,41
4,47
March
0,44
4,59
April
0,48
4,72
May
0,53
4,73
June
0,54
4,55
July
0,56
4,80
August
0,56
5,25
September
0,55
5,54
October
0,51
5,39
November
0,44
4,71
December
0,43
4,57
Rata-rata
0,49
4,80
Sumber : Dinas PUP dan ESDM DIY, 2012 140
c. Energi Angin Dari beberapa macam energi terbarukan yang ada, wilayah Propinsi DIY mempunyai potensi energi angin karena posisi geografisnya yang berada di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Data lengkap mengenai arah dan kecepatan angin per bulan di DIY dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Potensi Energi Angin di DIY No.
Lokasi
1
Sepanjang pantai Selatan Yogyakarta
2
Pantai Sundak, Srandakan, Baron, Samas
Kecepatan Angin (m/s)
Kapasitas Potensi (MW)
2,5 s.d 4
Up s.d 100
4 s.d 5
10 s.d 100
Sumber : Dinas PUP&ESDM DIY, 2013 Kecepatan angin rata-rata tahunan yang ada di wilayah DIY adalah sebesar 4,89 m/s, secara praktis kecepatan tersebut sudah dapat dimanfaatkan untuk mengoperasikan turbin angin guna membangkitkan listrik. Rata-rata kecepatan angin setiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 4.8. Untuk lebih mengoptimalkan kecepatan angin yang ada disekitar pantai perlu dilakukna pengukuran langsung untuk mengamati pola kecepatan angin setiap jamnya dalam satu hari. Dari hasil pengukuran kecepatan angin yang dilakukan pada tanggal 6 dan 7 Juni 2009 tersebut dapat diamati bahwa kecepatan maksimal terjadi pada jam 16.00 sore hari.
141
Tabel 4.8 Frekuensi Distribusi Kecepatan Angin Pantai Sundak, G.Kidul DIY Ketinggian 15 Meter Kelas Jan Feb Maret April Mei Juni Juli 0–1 1–2 2–3 3–4 4–5 5–6 6–7 7–8 8–9 9 – 10 10 – 11 11 – 12 12 – 13 13 – 14
1.9 33.2 32.2 11.9 7.9 4.5 2.7 2.8 1.7 0.6 0.4 0.1 0.1 0
0.9 23.9 26.5 12.5 10.5 9.4 7.4 4.8 2.6 1.2 0.3 0 0.1 0
3.2 30 37.1 14.5 7.4 4.6 1.7 0.6 0.4 0.2 0.1 0.1 0 0
2.3 32.1 26.7 16.9 13 5.5 1.9 0.8 0.5 0.2 0.1 0.1 0 0
3.8 20.9 23.4 20.5 19.4 10.4 1.7 0 0 0 0 0 0 0
4.3 10 11.4 18.8 24.3 21.9 7.6 1.7 0.1 0 0 0 0 0
7.8 9.9 12.1 19.6 25.1 14.9 8.8 1.8 0.1 0 0 0 0 0
Ags
Okt
Nov
Des
3.63 8.58 16.04 26.9 21.28 13.58 7.37 2.02 0.6 0 0 0 0 0
4.77 11.07 18.37 26.72 25.58 11 2.28 0.18 0.02 0 0 0 0 0
5.5 25.9 30.88 16.85 10.97 6.23 2.22 0.93 0.23 0.16 0.07 0.05 0 0
2.28 27.93 26.46 14.67 13.1 7.28 3.88 2.22 1.1 0.52 0.43 0.11 0.02 0
Sumber : Pusat Studi Energi UGM, 2011 Tabel 4.9 Potensi Energi Angin Berdasarkan Arah Angin pada Sepanjang Tahun Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov Des
Wind Speed 5,14 4,63 4,63 4,12 4,63 4,63 5,14 5,14 5,14 5,14 5,14 5,14 (m/s) Sumber : Pusat Studi Energi UGM, 2011 D. Biomasa Biomasa adalah bahan bakar nabati atau organik baik berasal dari manusia dan aktivitasnya, hewan maupun tumbuhan. Teknologi Bioenergi memungkinkan biomasa dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik dengan berbagai kapasitas. Teknologi bioenergi adalah teknologi yang menggunakan sumber daya biomasa terbarukan untuk menghasilkan sejumlah produk energi terkait, antara lain 142
Ratarata 4,89
listrik, bahan bakar cair, padat dan gas, panas, material kimia dan sebagainya. Potensi biomasa di Provinsi DIY yang berasal dari limbah tanaman dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10. Potensi Biomasa yang Berasal dari Limbah Pertanian No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5
Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta Total Sumber: BPS DIY, 2014
Padi 90.886,19 128.437,94 233.381,07 217.157,97 839,83 670.703,00
Potensi Biomassa (ton) Jagung Kelapa Tebu 13.315,25 22.525,00 2.176,38 17.649,82 11.119,19 5.474,76 202.163,16 8.399,05 158,63 15.763,29 8.457,83 4.569,22 68,48 80,72 248.960,00 50.581,79 12.378,99
DIY memiliki potensi biomasa yang berasala dari limbah sampah kota. Berdasarkan data pengelolaan sampah di DIY tahun 2010 diperoleh tingkat produksi sampah sebesar 5.703 m3/hari. Hampir 35%-nya dapat diangkut ke beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di DIY.
Sumber : Survey Lapangan, 2014 Gambar 4.7. TPA Piyungan, Bantul 143
Salah satu TPA terbesar adalah TPA Piyungan yang berada di Kabupaten Bantul dengan luas 12 hektar dan mampu menampung 2,7 juta meter kubik sampah. Data potensi sampah perkotaan berdasarkan lokasi kabupaten dan kota di DIY pada tahun pengelolaan dapat dilihat pada Table 4.11. Tabel 4.11. Potensi Limbah Sampah Kota Potensi Limbah Sampah Kota No.
Kabupaten/Kota
1
Kulonprogo
2
Bantul
3
Gunungkidul
4 5
Produksi Sampah (m3/hari)
Sampah Terangkut (m3/hari)
Pelayanan
585.00
78.00
13.33%
1,145.00
178.00
15.55%
981.00
158.00
16.11%
Sleman
1,268.00
285.00
22.48%
Yogyakarta
1,724.00
1,321.00
76.62%
5,703.00
2,020.00
35.42%
Total Sumber: BPS DIY,2014
Kotoran sapi, kerbau dan kambing banyak mengandung selulose. Selain mengadung banyak selulose, kotoran sapi dan kerbau berbentuk bubur sehingga sangat baik sebagai bahan baku biogas. Kandungan protein, lemak dan karbohidrat dalam kotoran ternak merupakan salah satu faktor penentu produksi biogas. Adapun kondisi proses pembentukan biogas dari kotoran sapi dipengaruhi beberapa faktor, antara lain : Suhu, pada kondisi anaerob, bakteri aceton dan bakteri metana akan menguraikan bahan organik menjadi biogas, bakteri akan berkembang biak dengan cepat antara 36,7 – 54,4 ºC; pH, bakteri pembentuk metana akan giat bekerja pada 144
kisaran pH 6,8 – 8; konsentrasi padatan dalam air sekitar 3-10%; waktu tinggal/ reaksi antara 10 hingga 30 hari. Secara praktis setiap ekor sapi bisa menghasilkan sekitar 600 liter biogasper hari dengan kandungan energi kira-kira sebesar 22,5 MJ per liter gas. Tabel 4.12 memperlihatkan potensi biogas. Tabel 4.12. Potensi Biogas No
Kabupaten/ Kota
Potensi Biogas (animal) Sapi
Kambing
Ayam
Babi
Kerbau -
1
Kulonprogo
44.478
73.580
2.061.720
-
2
Bantul
48.157
33.150
1.895.801
-
3
Gunungkidul
109.187
127.112
1.888.063
-
4
Sleman
45.007
30.627
4.856.340
-
5
Yogyakarta
181
212
247.010
264.681
Total
Domba 1.304
2 -
12.418 177
44
12.531
61.764 3.929
38
3.311
10.763.688 3.929
84
29.741
Sumber: BPS,2014 Potensi biomasa yang memungkinkan dapat dikonversi menjadi biofule berasal dari tanaman ketela dan tebu. Potensi biofuel yang terdapat di provinsi DIY dapat dilihat pada Tablel 4.13 Tabel 4.13. Potensi Biofuel No.
Kabupaten/Kota
1 Kulonprogo 2 Bantul 3 Gunungkidul 4 Sleman 5 Yogyakarta Sumber : BPS, 2014
Potensi Biofuel (ton) Ketela Tebu 47.763,76 2.176,38 43.090,56 5.474,76 811.028,07 158,63 18.996,26 4.569,22 30,35 -
145
e. Panas Bumi Potensi energi yang berasal dari panas bumi terdapat di Pantai Selatan Yogyakarta, terutama di sekitar Pantai Parangtritis. Berdasarkan geotermometer SiO2 (ac), pendugaan suhu bawah permukaan sekitar 115 oC yang termasuk ke dalam entalpi rendah. Dengan perkiraan luas prospek sekitar 4 km2 dari hasil tahanan jenis semu dan dengan temperatur cut-off 90 oC, dan dengan rumus: Q = 0.2317 x A x (Tag – Tcut-off) Dimana : Q 0.2317 A Tag A Tcut-off
: Potensi sumber panas bumi : Koefisien : Luas prospek : Pendugaan suhu di bawah permukaan laut : Temperatur cut-off
Seterusnya diperoleh hasil perhitungan kasar bahwa potensi sumber daya panas bumi Parangtritis adalah sekitar 10 MWe. Kemungkinan pemanfaatan langsung sumber daya panasbumi yang secara langsung adalah untuk kegiatan wisata pantai Parang Tritis berupa pemandian dan balai pengobatan airpanas. Dengan demikian, potensi panas bumi ini juga dapat dikembangkan untuk pembangkit listrik yang dapat digunakan untuk menyediakan energi listrik didaerah sekitar pantai Parangtritis, terutama untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata di daerah tersebut 4.1.2. Gambaran Umum Energi Daerah Propinsi Jawa Tengah Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya antara 5o40’ dan 8o30’ Lintang Selatan dan antara 108o30’ dan 111o30’ Bujur Timur (termasuk Pulau 146
Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke Selatan 226 km (tidak termasuk Pulau Karimunjawa). Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah Jawa Tengah pada tahun 2008 tercatat sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia). Luas yang ada, terdiri dari 992 ribu hektar (30,50 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,50 persen) bukan lahan sawah. Populasi penduduk Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah 32.626.390 dan tumbuh sebesar 0,76% setiap tahunya. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah menurut BPS tahun 2009 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu 5,46 persen. Hal tersebut cukup beralasan mengingat kondisi perekonomian relatif terus membaik. Dari Sektor Energi, kebutuhan energi listrik, akan terus meningkat sejalan dengan roda perekonomian daerah. Sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di perdesaan, pemerintah telah mengupayakan program listrik masuk desa, sehingga terdapat 8.560 desa sudah beraliran listrik dari PT. PLN (Persero) sebagai sumber energinya, dengan jumlah pelanggan 6,908 juta pelanggan. Jumlah energi listrik yang terjual sebesar 12,83 milyar kwh atau meningkat 6.71 persen dibandingkan dari tahun sebelumnya. Energi listrik tersebut sebagian besar dimanfaatkan oleh rumahtangga (45.39 persen), berikutnya untuk Bisnis (9,54 persen), selebihnya untuk industri (36.11 persen), dan sisanya untuk kantor pemerintah, penerangan jalan dan sosial. 147
4.1.2.1. Potensi Energi Primer a. Potensi Energi Surya di Jawa Tengah Dengan letak geografis wlayah yang berbeda di daerah khatulistiwa, Jawa Tengah mendapatkan matahari yang relatif stabil sepanjang tahun dengan kondisi penyinaran yang sedikit lebih tinggi pada musim kemarau. Intensitas tenaga matahari hanya tergantung pada keadaan awan/musim. Pada saat musim hujan intensitas tenaga surya relatif lebih kecil karena banyak tertutup awan, sedangkan pada musim kemarau dimana awan sangat tipis maka penyinaran matahari dapat maksimal. Intensitas tenaga matahari secara teoritis telah diteliti untuk setiap jamnya. Provinsi Jawa Tengah berada pada kisaran 10 LS dan memilki radiasi matahari sebesar 3,5 kwh/m2 sampai dengan 4,67 kwh/m2. Dengan penyebaran penyinaran surya di Jawa Tengah yang merata, maka di semua tempat dapat dimungkinkan untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga surya. Tenaga surya masih relevan untuk diterapkan di dusun belum berlistrik di Jawa Tengah. b. Potensi Angin Jawa Tengah Potensi angin di Jawa Tengah sangat kecil dan dari hasil beberapa penelitian tahun 2004-2005 hanya terletak di daerah pesisir pantai selatan Tengah di Desa Harjobinangun Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Cilacap. Di Kabupaten Purworejo didapati kecepatan angin 6,1 m/sec, 5,74 m/sec, dan 5,49 m/sec pada ketinggian masing-masing 100m, 80m, dan 60m. Hal ini hanya dibuktikan dengan adanya pembangkit listrik tenaga angin sebagai Pilot 148
proyek di Purworejo dengan kapasitas 5 kW dan Pembangkit tenaga angin yang dibangun masyarakat di Kabupaten Cilacap. c. Potensi Gas Rawa Potensi Energi dari gas rawa di Provinsi Jawa Tengah terdapat di desa Sidengkok Kec. Pejawaran, Kab. Banjarnegara, dan di Kab. Rembang. Gas rawa ini sementara hanya dimanfaatkan oleh rumah tangga untuk keperluan memasak. Pada tahun 2008 di Kab. Sragen telah digunakan gas rawa sebagai pengganti minyak tanah / LPG untuk 44 KK. Sedangkan di Kab. Banjarnegara pada tahun 2009 gas rawa digunakan untuk mengganti minyak tanah/LPG untuk 28 KK dan ditambah lagi pada tahun 2010 sebanyak 20 KK. d. Potensi Energi dari Biomasa Potensi Energi Biomassa berasal dari sekam padi dan sampah penduduk, selain itu dapat juga berasal dari kotoran sapi. Sekam padi yang dihasilkan dari produksi padi dapat digunakan sebagai pengganti LPG di rumah tangga atau sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Tapi untuk biomassa dari sampah hanya digunakan untuk bahan bakar di pembangkit. Potensi biomassa dari sekam padi dan sampah dapat dilihat pada Tabel 4.14. Tabel 4.14. Potensi Biomassa di Provinsi Jawa Tengah No Jenis Biomassa Potensi/th 1 Sekam Padi 8.616.865 m3 2 Sampah 6.925.319 m3 3 Hewan Ternak 1.533.725 m3 Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2014
149
Potensi energi biogas berasal dari peternakan sapi yang tersebar di Porvinsi Jawa Tengah, Setiap satu ekor sapi akan menghasilkan 5 – 7 kg kotoran per hari. Kotoran sapi kemudian dicampur dengan air dengan perbandingan 1: 2 dan dimasukkan dalam digester unaerob akan menghasilkan gas bio yang mengandung ± 60 % metana yang dapat bakar sebagai bahan bakar gas semacam LPG.Pada Tahun 2009 dibangun demplot biogas di Kab.Sragen (1 unit), Boyolali (2 unit), Blora (2 unit), Wonogiri (2 unit).Demplot di wonogiri terdapat di kecamatan Wonogiri, Desa Manjung dusun Purwosari dan digunakan untuk 6 KK. e. Potensi Panas Bumi Jawa Tengah Jawa Tengah merupakan daerah deratan gunung berapi sehingga mempunyai potensi panas bumi yang cukup besar. Energi panas bumi juga sudah dimanfaatkan sebagi pembangkit listrik di Wonosobo. Daerah protensi pans bumi di Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
150
Tabel 4.15. Potensi Panas Bumi di Jawa Tengah
Lokasi
Kapasitas Terpasang (MW)
1
Banyugaram, Cilacap
2
No
Cadangan (MWe)
Sumber Daya (MWe) Total Hypoth Specula (MWe) -esis -tives
Prov -en
Proba -ble
Possible
-
-
-
-
-
Banyumas
-
-
185
-
-
3
Guci, Tegal
-
-
-
-
-
4
Mangunan Wanayasa, Banjarnegara
-
-
-
-
-
5
Dieng, Wonosobo
60
280
185
115
200
6
Krakal, Kebumen
-
-
-
-
-
7
Semarang
-
-
8
Kuwuk, Grobogan
-
-
-
-
-
9
G.Lawu, Karanganyar
-
-
-
-
-
60
280
614
115
342
Total
100 92
52
-
142
125
25
25
205 100 92
25
865
25
25
25
219
25
25
25
25
275
1,686
Sumber : RUPPED Jateng 2009 f. Potensi Energi Air Potensi air untuk energi listrik di Jawa Tengah cukup dan sudah dimanfaatkan untuk energi PLTA yang tersambung ke jaringan Nasional ON gride dan OFF gride yang terpisah dari jaringan Nasional, seperti terlihat pada tabel berikut ini;
151
Tabel 4.16. Potensi Tenaga Air Skala Besar N0 Jenis 1 PLTA 2 PLTMH Sumber : RUKD Jateng, 2010
Jumlah 28 19
Kapasitas Terpasang 322.18 MW 3.267.000 Wp
g. Potensi Energi Biofuel Potensi Energi Biofuel di Jawa Tengah berasal dari tanaman penghasil energi hijau seperti jarak, tebu, kappas, ubi kayu, ubi jalar dan jagung. Potensi yang ada ini nantinya akan dikembangkan untuk menghasilkan biofuel seperti bio-diesel, biopremium, dan bio-pertamax. Potensi yang ada di Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 4.17. Tabel 4.17. Potensi Biofuel Jawa Tengah N0
Lokasi
Jenis
Potensi (Ha)
2
Kab. Cilacap
Nyamplung
42.966
3
Kab.Rembang
Singkong+Tebu
33.250
4
Kab. Kudus
Singkong+Tebu
282
5
Kab. Boyolali
Singkong+Tebu
75.916
6
Kab. Banjarnegara
Singkong+Tebu
3.718.523
7
Kab. Purworejo
Singkong
93
Sumber : RUPPED Jateng, 2009 Pada tahun 2010 telah dibangun demplot biofuel di Kabupaten Blora (1 unit) dengan berbasis singkong, dan di Kabupaten Banyumas (1unit) dengan berbasis salak afkir.Dari table diatas terdapat daerah–daerah yang mendapat perhatian khusus untuk
152
pengembangan biofuel tersebut, diantaranya; Biodiesel–Nyamplung terdapat di Kab. Cilacap, Kebumen, dan Purworejo. Bioethanol–Salak Afkir di Kab. Basnjarnegara. 4.1.2.2. Konsumsi Energi Listrik a. Jumlah Pelanggan Jumlah pelanggan tahun 2010 seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah yang dilayani atau dikelola oleh PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah sebanyak 6.398.562, dengan jumlah terbanyak adalah pelanggan kelompok tarif rumah tangga yaitu sebanyak 6.002.195 pelanggan, sedangkan sisanya adalah pelanggan kelompok tarif bisnis, sosial, publik dan industri. Jumlah pelanggan dari seluruh kategori kelompok menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat setiap tahun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jumlah penggunaan energi listrik juga akan meningkat setiap tahunnya. Data konsumsi energi listrik meliputi data jumlah pelanggan, daya tersambung, energi terjual adalah seperti pada Tabel 4.18. Jumlah pelanggan dari kelompok bisnis merupakan jumlah pelanggan terbesar kedua setelah kelompok pelanggan rumah tangga. Sedangkan kelompok pelanggan industri merupakan kelompok pelanggan dengan jumlah yang paling sedikit. Meskipun demikian kapasitas terpasang di kelompok industri jaub lebih besar bila dibandingkan dengan kapasitas terpasang pada kelompok pelanggan bisnis. Oleh karena ini meskipun kelompok pelanggan industri dari sisi jumlah relatif paling kecil, namun penggunaan energi di kelompok tidak sedikit. 153
Tabel 4.18. Realisasi Perkembangan Jumlah Pelanggan Jawa Tengah N0 Kelompok 1 2 3 4
Pelanggan Rumah Tangga Bisnis Umum Industri Jumlah
2008 5.056.023
2009 5.213.037
Jumlah Pelanggan 2010 2011 5.791.744 6,002.195
2012 6.220.074
2013 6.445.863
143.095 25.621 4.174 5.228.913
153.058 26.718 4.198 5.397.011
188.052 186.457 4.395 6.170.648
200.199 204.100 4.571 6.628.944
206.588 213.537 4.661 6.870.649
194.008 195.079 4,482 6.395.764
Sumber: PT. PLN Distribusi Jateng dan DIY, 2014 Sampai dengan tahun 2013, kapasitas daya tersambung di wilayah Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan mencapai 6.467 MVA. Dari jumlah tersebut kelompok pelanggan rumah tangga memilikimkapasitas terpasang paling besar dibandingkan kelompok pelanggan yang lain, sedangkan kelompok pelanggan industri merupakan kelompok pelanggan dengan kapasitas terpasang terbesar kedua. Kondisi ini dapat dicermati pada Tabel 4.19. b. Daya Tersambung Tabel 4.19. Realisasi Daya Tersambung (MVA) Provinsi Jawa Tegah No
Kelompok Pelanggan
1
Rumah Tangga
3
2008
Kapasitas terpasang (MVA) 2009 2010 2011 2012
2013
3,214
3,353
3,536
3,543
3,713
3,914
Bisnis
504
586
611
688
763
823
4
Umum
325
314
176
401
431
461
5
Industri
1,028
1,045
1,132
1,173
1,255
1269
Total 5,071 5,298 5,455 Sumber: PT. PLN Distribusi Jateng dan DIY, 2014
5,805
6,162
6,467
154
c. Listrik Pedesaan Perkembangan desa berlistrik di daerah kerja PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah & D.I. Yogyakarta yang meliputi Provinsi Jawa Tengah seperti yang tersaji dalam Tabel dibawah ini, sampai dengan akhir tahun 2010 rasio desa berlistrik di Jawa Tengah sudah mencapai 100% dari total desa 8.560 desa. Walaupun rasio desa berlistrik sudah tinggi, namun permintaan masyarakat desa untuk dapat menikmati listrik masih besar dan pemenuhan akan permintaan tersebut terkendala oleh ketersediaan dana Pemerintah (APBN). Rasio elektrifikasi merupakan perbandingan jumlah KK di Jawa Tengah yang telah menikmati listrik dibandingkan jumlah KK seluruh Jawa Tengah. Sedangkan rasio elektrifikasi Jateng pada tahun 2009 yaitu 73,30%. Untuk sistem isolated untuk daerah terpencil di Jateng sudah banyak terpasang di beberapa daerah yaitu :
Tabel 4.20. Pasokan Energi Listrik off-gride No
Jenis Jumlah (unit) Pembangkit 1 PLTD 7 2 PLTS 2.729 3 PLTMH 19 Jumlah 2.755 Sumber; RUKD Jateng 2010
Kapasitas Terpasang (Wp) 700.000 171.850 3.287.000 4.158.850
Jumlah Pelanggan 1.884 2.927 1.949 6.760
Walaupun rasio desa berlistrik sudah mencapai 100 %, namun belum semua penduduk (KK) di Provinsi Jawa Tengah telah mendapatkan suplai tenaga listrik. Hal ini dapat diketahui dari rasio elektrifikasi (RE) sebesar 67,19 % pada Tahun 2007 dan mengalami peningkatan menjadi 72,7 sampai dengan tahun 2008 dan menjadi 72.73 % pada tahun 2009 triwulan III, yang berarti masih terdapat 2.370.795 KK yang belum mendapatkan suplai tenaga listrik. Berikut adalah jumlah KK yang belum 155
berlistrik tiap Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah secara makro yaitu mendukung diversifikasi energi untuk pemenuhan energi listrik masyarakat yaitu dengan mengganti Bahan Bakar Minyak dengan Bahan Bakar Batubara maupun sumber daya yang lain; Pembangunan Interkoneksi Jamali maupun PLTU Cilacap, PLTU Tambak Lorok, PLTU Tanjung Jati B; serta melakukan kajian teknis terhadap potensi energi baru terbarukan di Jawa Tengah seperti Panas Bumi, Bayu (angin), Surya, dan Air. Dalam PP No. 3 tahun 2005 tertuang peran Pemda ada dalam Pasal 2A yang menyebutkan bahwa “Pemerintah Daerah menyediakan tenaga listrik untuk membantu kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan pembangunan listrik pedesaan”. Oleh karena itu kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah secara mikro antara lain memfasilitasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) maupun pembangunan jaringan listrik. 4.1.2.3. Konsumsi Energi Non-Listrik a. Konsumsi Bahan Bakar Minyak Konsumsi bahan bakar minyak di wilayah Provinsi Jawa Tengah meliputi jenis bahan bakar Avtur, premium, minyak tanah, minyak solar, minyak disel, dan minyak bakar. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, konsumsi bahan bakar 156
minyak di wilayah ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Premium dan minyak solar merupakan jenis bahan bakar minyak yang penggunaannya cukup tinggi dan relatif mendominasi dibanding jenis energi fosil yang lain. Penggunaan minyak solar yang cukup tinggi di wilayah ini karena Provinsi Jawa Tengah merupakan jalur utama distribusi barang dan jasa melalui Jalur Pantai Utara (Pantura) yang menggunakan alat transportasi truk maupun bus. Minyak tanah juga cukup memdominasi penggunaannya di wilayah Provinsi Jawa tengah namun seiring dengan kebijakan pemerintah terhadap konversi penggunaan minyak tanah ke gas LPG, maka penggunaan jenis energi ini mengalami penurunan sejak tahun 2009. Kondisi ini dapat dicermati dalam Tabel 4.21. Tabel 4.21. Konsumsi BBM Provinsi Jawa Tengah No
Jenis BBM
1 2 3 4
Avtur Premium Minyak Tanah Minyak Solar Minyak Diesel Minyak Bakar
5 6
Penjualan BBM (KL) 2008
2009
2010
2011
2012
2013
24.526
39.330
39.635
39,940
40.247
40.557
1.910.354 1.239.373 1.853.435
1.932.784 1.173.725 1.125.344
2.045.584 994.380 1.149.098
2.662.200 478.600 1.440.797
3.464.687 1.806.953
4.509.047 2.266.099
22.515
12.884
38.651
38.652
38.653
38.654
436.473
503.262
603.914
603.915
603.917
603.920
Sumber : Pertamina, 2014
157
Tabel 4.22. Konsumsi LPG Provinsi Jawa Tengah No
Kelompok Pelanggan
Penjualan LPG (Ton) 2008
2009
2010
2011
2012
2013
1
Rumah Tangga
95.680
129.435
264.180
357.380
483.464
654.030
2
Industri
14.247
19.273
39.337
53.214
71.988
97.386
3
Bisnis
15.374
20.798
42.449
57.425
77.685
105.092
468.019
633.137
856.508
Total
125.301
169.506
345.942
Sumber: Pertamina, 2014
4.1.2.4. Pasokan Energi Listrik Kelistrikan di Pulau Jawa, Pulau Madura dan Pulau Bali merupakan satu kesatuan yang terhubung secara interkoneksi oleh Transmisi Tegangan Ekstra Tinggi (TET) 500 KV dan Transmisi Tegangan Tinggi 150 KV, jadi kebutuhan tenaga listrik di Provinsi Jawa Tengah tidak hanya dapat dipenuhi dari Provinsi sendiri namun juga dapat dipenuhi dari Provinsi Jawa Barat maupun dari Provinsi Jawa Timur, hal ini sangat tergantung dari kesiapan unit pembangkitnya dan pola operasi yang termurah. Sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali, pembangkitan tenaga listriknya dipasok oleh PT. Indonesia Power, PT. PLN (Persero) Pembangkit Jawa Bali (PJB) dan beberapa pembangkit swasta dengan skala besar terinterkoneksi di dalam suatu sistem. Pasokan utama Subsistem kelistrikan Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta dilayani atau dipasok dari PLTU Tanjung Jati, PLTU Tambaklorok, PLTA Mrica dan Pusat Pembangkit lainnya yang melalui jaringan Sistem Transimisi 500 KV dan 150 KV. Rinci jenis dan kapasitas terpasang pembangkit yang beroperasi pada tahun 2009 seperti Tabel 4.23. Dalam Tabel 4.23 tampak bahwa kebutuhan energi listrik di wilayah Provinsi 158
Jawa Tengah berasal dari pembangkit skala besar, baik PLTU, PLTA, maupun PLTG. Tabel 4.23. Pasokan Energi Listrik dari Pembangkit On-Gride Jawa Tengah No Jenis Bahan Bakar Kapasitas Daya mampu Pembangkit Terpasang (MW) (MW) 1
PLTU
Batubara
2.965
2.756
2
PLTG
HSD
1.098
954
3
PLTP
BBM
210
190
4
PLTA
BBM
322.58
312.9
Sumber : RUKD Jateng, 2010 Dengan memperhatikan uraian pasokan tenaga listrik seperti tersebut diatas, bahwa Sistem Kelistrikan yang ada di Pulau Jawa, Pulau Madura, dan Pulau Bali menjadi satu kesatuan terinterkoneksi dihubungkan jaringan Sistem Transmisi 500 KV maupun oleh Sistem 150 KV, sehingga permasalahan Kelistrikan khususnya mengenai penyediaan daya/energi yang ada di salah satu Provinsi tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya begitu juga untuk Provinsi Jawa Tengah. Untuk lebih jelasnya Sistem Kelistrikan (Transmisi 500 KV dan 150 KV) yang ada di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta terlihat pada gambar 4.8.
159
Sumber : RUKD Jateng, 2010 Gambar 4.8. Sistem Kelistrikan (Transmisi 500 KV dan 150 KV) di Provinsi Jawa Tengah Dari Gambar tersebut terlihat bahwa jaringan Transmisi 500 KV terbentang di Provinsi Jawa Tengah dijalur sebelah utara terhubung ke Gardu Induk 500/150 KV Ungaran dari / ke GI Krian di Jawa Timur dan GI Bandung Selatan di Jawa Barat, serta dijalur sebelah selatan terhubung di GI 500/150 KV Pedan dari / ke GI Kediri Baru di Jawa Timur dan rencana ke GI Tasikmalaya di Jawa Barat. Sedangkan untuk Transmisi 150 KV tersebar di jalur utara dari/ ke GI Bojonegoro di Jawa Timur dan GI Sunyaragi di Jawa Barat dan di jalur selatan dari / ke GI Ngawi di Jawa Timur dan GI Banjar di Jawa Barat. Adapun instalasi terpasang Gardu Induk dan Transmisi pada akhir tahun 2008 adalah seperti berikut ini: a. Gardu Induk 500 KV : 2 Buah. b. Gardu Induk 150 KV : 65 Buah. c. Trafo tenaga 500 / 150 KV : 4 Unit / 2.000 MVA. d. Trafo Tenaga 150 / 20 KV : 118 Unit / 4.070,6 MVA. 160
e. Transmisi 500 KV : 773,28 KM ; 836,52 Kms. f. Transmisi 150 KV : 1.806,74 Km ; 3.485,55 Kms. g. Transmisi 30 KV : 16,82 Km ; 33,64 Kms Beberapa trafo 150/20 KV saat ini sudah berbeban lebih dari 80% adalah sebanyak 29 Unit trafo atau 18,6 % dari jumlah trafo yang ada dan diharapkan ada penambahan trafo–trafo baru yang saat ini sedang dibangun dapat diselesaikan sesuai target waktu yang telah ditetapkan atau trafo relokasi untuk mengatasi adanya kenaikan beban. Sedangkan Kondisi tegangan maupun beban untuk beberapa GI 150 kV cukup mengkhawatirkan dan akan berakibat membatasi penjualan tenaga listrik. Kondisi sistem distribusi mengalami kenaikan dari tahun ke tahun seperti terlihat pada tabel 4.28. Dari tabel 4.28 dapat dilihat Panjang jaringan tegangan menengah pada tahun 2004 sebesar 36.519 kms menjadi sebesar 41.613 kms (bertambah 5.094 kms) sampai dengan Triwulan III Tahun 2009 atau bertambah rata-rata 1.018,72 kms setiap tahun. Gardu distribusi mengalami penambahan rata-rata per tahun sebesar 4.684 buah dari 69.648 buah di tahun 2004 menjadi 93.072 buah di tahun 2009. Demikian juga dengan jumlah sambungan rumah dengan jumlah sambungan sebanyak 5.229.113 pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan sebanyak 1.087.116 sambungan menjadi 6.316.229. Angka tersebut berarti setiap tahun jumlah sambungan rumah bertambah 217.423 sambungan.
161
TABEL 4.24 Jaringan Distribusi Provinsi Jawa Tengah Uraian Jar. Teg Menengah
Satuan
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Kms
36,519
37,007
38,306
39,456
40,214
41,613
Jar. Teg Rendah
Kms
36,519
40,655
42,226
45,554
46,066
46,434
Gardu Distribusi
Unit
69,648
74,347
79,456
80,378
81,375
93,072
MVA
3,101
3,276
3,538
3,665
3,998
5,017
Samb Rumah
SR
5,229,113 5,397,011 5,641,939 5,955,388 6,267,705 6,316,229
Sumber: PLN Distribusi Jateng & DIY, 2014
4.1.2.4. Pasokan Energi BBM Pasokan Bahan Bakar Minyak di Provinsi Jateng berasal dari Kilang Cepu dan Kilang Cilacap, selain itu Provinsi Jawa Tengah juga mengimpor minyak dari kilang Balongan dan Unit Pengapon. Unit Pengapon terletak di Kota Semarang yang berfungsi sebagai pengumpul BBM dari kilang –kilang yang berada di luar Pulau Jawa Seperti Kilang UP V Balikpapan. Proses distribusi BBM dari kilang dilakukan dengan cara memasok ke Depot BBM, adapun depot yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.25
162
Tabel 4.25. Depot BBM Provinsi Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama
Lokasi Kab. Cilacap Kab. Cilacap Kota Surakarta Kab. Blora Kota Semarang Kab. Tegal Kab. Cilacap Kab. Cilacap Kab. Boyolali
Cilacap Maos Solo Cepu Pengapon Tegal Lomanis Rewulu Boyolali Total
Kapasitas (KL) 29,929 41,850 4,293 8,380 252,352 6,315 231,997 55,500 99,000 729,616
Sumber : Pertamina, 2014
Pola Pendistribusian BBM Provinsi Jawa Tengah secara jelas dapat dilihat pada Gambar 4.10 berikut ini. Dari gambar dapat dilihat bahwa terdapat 9 Depot BBM dimana jenis BBM yang didistribusikan lewat Depot berbeda-beda tergantung jenis konsumsi tiap Kabupaten.
Sumber : PT Peramina, 2012 Gambar 4.9. Pola Pendistribusian BBM Provinsi Jawa tengah
163
4.1.2.5. Pasokan Energi LPG a. Pendistibusian LPG Pendistribusian LPG dilakukan oleh Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG. 1. Kegiatan pendistribusian LPG kepada pengguna skala kecil, pelanggan kecil, transportasi dan rumah tangga wajib melalui Penyalur yang ditunjuk, kecuali kegiatan pendistribusian LPG secara langsung kepada pengguna besar (curah/bulk) dan pengguna transportasi. 2. Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga LPG wajib melaporkan penunjukan Penyalur kepada Menteri melalui Direktur Jenderal untuk dapat diberikan Surat Keterangan Penyalur. 3. Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG wajib memiliki atau menguasai sarana dan fasilitas untuk melakukan kegiatan pengangkutan dan penyimpanan termasuk fasilitas pengisian tabung LPG (bottlingplant) sebagai penunjang kegiatan usaha Niaganya. 4. Apabila Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG hanya melakukan kegiatan usaha niaga LPG dalam bentuk curah/bulkPressurized atau Refrigeratedhanya wajib memiliki dan/atau menguasai sarana dan fasilitas pengangkutan dan/atau penyimpanan. a. Pendistribusian LPG Tertentu dilaksanakan oleh Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG kepada Pengguna LPG Tertentu untuk rumah tangga 164
dan usaha mikro yang pelaksanaannya melalui mekanisme penugasan dari Menteri. b. Penugasan Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tertentu dilakukan melalui penunjukan langsung atau lelang dengan mendasarkan pada Wilayah Distribusi LPG Tertentu. c. Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG yang mendapatkan penugasan penyediaan dan pendistribusian LPG Tertentu wajib melakukan Kegiatan Penyaluran LPG Tertentu melalui Penyalur LPG Tertentu yang ditunjuk Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG melalui seleksi. d. Dalam rangka menjamin kelancaran pendistribusian LPG Tertentu, Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga LPG yang mendapatkan penugasan penyediaan dan pendistribusian LPG Tertentu dapat menunjuk sub Penyalur LPG Tertentu berdasarkan usulan Penyalur LPG Tertentu. LPG provinsi Jawa Tengah berasal dari kilang Cilacap, Kilang balongan , Eretan, Depot Tanjung mas dan Depot LPG Surabaya Kemudian LPG di salurkan ke SPBE (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpji) yang tersebar di seluruh daerah di Provinsi Jawa Tengah, adapun pola pendistribusiannya secara detail dapat melihat gambar berikut ini.
165
Sumber : PT Peramina 2013 Gambar 4.10. Pola Pendistribusian LPG Provinsi Jawa tengah
4.2. Perkiraan Permintaan Energi DIY Permintaan energi di D.I. Yogyakarta disusun berdasarkan tahun 2010 sebagai tahun dasar dan tahun 2030 sebagai tahun akhir proyeksi. Permintaan energi disusun berdasarkan metode intensitas energi dan menggunakan perangkat lunak LEAP sebagai alat bantu dalam melakukan perhitungan prakiraan permintaan energi. Intensitas energi ini merupakan parameter yang menyatakan penggunana energi untuk setiap aktivitas. Dalam perhitungan prakiraan permintaan energi yang dikembangkan dengan menggunakan model LEAP ini, permintaan energi dibagi menjadi 5 sektor aktivitas, yaitu sektor rumah tangga, komersial, industri, transportasi, dan sektor lainnya. Sektor lainnya terdiri dari sektor pertanian, pertambangan, dan konstruksi. Aktivitas di sektor rumah tangga direpresentasikan oleh jumlah rumah tangga, sehingga intensitas energi untuk sektor rumah tangga adalah banyaknya konsumsi energi yang digunakan untuk setiap rumah tangga. Aktivitas di sektor komersial, 166
industri, dan sektor lainnya direpresentasikan dengan nilai tambah PDRB untuk masing-masing sektor.Untuk ketiga sektor ini, parameter intensitas energi menyatakan banyaknya energi yang digunakan untuk setiap nilai tambah yang dihasilkan oleh ketiga sektor ini. Sektor transportasi terdiri dari moda jalan raya dan moda non-jalan raya. Aktivitas transportasi moda jalan raya yang terdiri dari mobil penumpang, mobil barang, sepeda motor, dan bus direpresentasikan oleh jumlah kendaraan. Dalam hal ini, intensitas energi adalah banyaknya energi yang digunakan oleh setiap unit kendaraan. Sedangkan untuk transportasi moda non-jalan raya yang terdiri dari kereta api dan pesawat udara, aktivitas direpresentasikan oleh jarak tempuhnya. Intensitas energi untuk sektor transprotasi moda non-jalan raya ini menyatakan banyaknya energi yang digunakan untuk setiap km jarak tempuh. Selanjutnya, perhitungan permintaan energi disusun berdasarkan tiga buah skenario, yaitu Business As Usual (BAU), dan Skenario efisiensi energi, yang terdiri dari skenario moderat (MOD), dan skenario optimis (OPT). Dalam skenario BAU, perhitungan prakiraan energi didasarkan pada pola penggunaan energi yang sama seperti yang terjadi pada tahun dasar. Dalam skenario ini, belum ada intervensi kebijakan baru mengenai pola konsumsi energi dalam hal konservasi energi dan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan sebagai sumber energi primer. Skenario efisiensi energi dikembangkan berdasarkan skenario BAU dengan intervensi kebijakan energi dalam hal konservasi energi dan energi terbarukan. Dalam skenario efisiensi energi moderat (MOD), target-target konservasi energi dan pengembangan energi terbarukan lebih rendah jika dibandingkand engan skenario optimis (OPT). 167
Target konservasi energi dalam bentuk peningkatan efisiensi penggunaan energi untuk skenario MOD didasarkan pada target yang secara rasional dapat dicapai dengan biaya menengah. Sedangkan dalam skenario OPT, target konservasi energi adalah target maksimal yang mungkin dicapai sesuai dengan potensi efisiensi energi yang ada. Penyusunan skenario yang lebih rinci akan dijelaskan pada bagian berikutnya. 4.2.1. Permintaan Energi Final Berdasarkan Sektor Aktivitas Hasil perhitungan proyeksi permintaan energi di wilayah D.I. Yogyakarta berdasarkan pada skenario-skenario yang telah disusun dapat dilihat pada Gambar 4.11 dan Gambar 4.12. Permintaan energi final mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 7,63 % per tahun. Di tahun 2030, permintaan energi final keseluruhan adalah sebesar 9,848.17 Ribu SBM. Dalam tersebut terlihat bahwa sektor transportasi merupakan sektor dengan permintaan energi terbesar selama periode proyeksi jika dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain dengan persentase lebih dari 60% dari permintaan energi final keseluruhan. Permintaan energi untuk sektor transportasi di tahun 2030 adalah 6,043.43 SBM. Pertumbuhan rata-rata permintaan energi final di sektor transportasi selama periode proyeksi 3,5% per tahun. Untuk sektor transportasi, hasil perhitungan proyeksi menghasilkan nilai yang sama untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Hal ini disebabkan skenario energi efisiensi belum diikutsertakan dalam perhitungan. Dalam sektor transportasi, skenario energi terbarukan telah diikutsertakan dengan mengganti sebagian dari penggunaan minyak solar dengan biodisel. 168
Sumber : Lampiran A1 Gambar 4.11.Proyeksi Permintaan Energi di DIY Berdasarkan Aktivitas Skenario BAU
Sumber : Lampiran A2, A3 Gambar 4.12.Proyeksi Permintaan Energi di DIY Berdasarkan Aktivitas Skenario MOD Dan OPT
169
Permintaan energi final untuk sektor rumah tangga merupakan permintaan terbesar kedua setelah sektor transportasi. Di tahun 2030, permintaan energi final sektor rumah tangga berdasarkan skenario BAU, MOD, dan OPT berturut-turut adalah sebesar 1,923.91 Ribu SBM, 1,858.05 Ribu SBM , dan 1,714.28 Ribu SBM. Pertumbuhan rata-rata permintaan energi final sektor rumah tangga adalah 1,59% per tahun, 1,40% per tahun, dan 1,11% per tahun untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Hal ini memperlihatkan bahwa skenario OPT menghasilkan pertumbuhan permintaan energi final yang palling rendah di sektor rumah tangga jika dibandingkan dengan skenario BAU dan MOD. Perbedaan ini sebagai hasil dari implementasi efisiensi energi di sektor rumah tangga. Dengan implementasi efisiensi energi yang optimis, permintaan energi final di sektor rumah tangga dapat diturunkan sampai 8,45% jika dibandingkan dengan skenario BAU. Di tahun 2030, permintaan energi final di sektor komersial mencapai 1,337.21 Ribu SBM, 1,019.34 Ribu SBM, dan 964.24Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Pertumbuhan rata-rata permintaan energi final di sektor komersial adalah 6,69% per tahun, 5,41% per tahun, dan 5,14% per tahun berturutturut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Dari sini terlihat bahwa pengaruh dari implementasi efisiensi energi di sektor komersial dapat menurunkan permintaan energi final di sektor komersial. Jika dibandingkan dengan skenario BAU, skenario OPT dapat menurunkan permintaan energi sebesar 27,89%. Di sektor industri, permintaan energi final di tahun 2030 adalah sebesar350.35 Ribu SBM, 318.73 Ribu SBM, dan 292.68 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario 170
BAU, MOD, dan OPT. Pertumbuhan rata-rata permintaan energi final di sektor industri adalah 3,14% per tahun, 2,71% per tahun, dan 2,33% per tahun berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Implementasi program-program efisiensi energi di sektor industri juga dapat menurunkan permintaan energi final jika dibandingkan dengan skenario BAU. Dalam hal ini, skenario OPT dapat menurunkan permintaan energi final sebesar 16,46% jika dibandingkan dengan permintaan energi final yang dihasilkan dengan skenario BAU. Permintaan energi final di sektor lainnya merupakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan permintaan energi final di sektor-sektor yang lain. Permintaan energi final di sektor ini hanya sebesar 1,75% dari keseluruhan permintaan energi final. Di tahun 2030, permintaan energi final di sektor ini mencapai193.28 Ribu SBM, 176.87 Ribu SBM, dan 173.97 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Pertumbuhan rata-rata permintaan energi final di sektor lainnya adalah 6,59% per tahun, 6,18% per tahun, dan 6,12% per tahun berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Skenario OPT menurunkan permintaan energi final di sektor lainnya sebesar 9,99% jika dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan skenario BAU. 4.2.1.1. Sektor Rumah Tangga Terdapat 4 jenis energi yang digunakan di sektor rumah tangga, yaitu listrik, LPG, kayu bakar, dan briket batubara.Untuk skenario energi terbarukan, biogas merupakan
jenis
energi
tambahan
yang
digunakan
di
sektor
rumah
tangga.Berdasarkan skenario-skenario yang telah disusun, permintaan energi final di 171
sektor rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 4.13 dan Gambar 4.14. Dalam tersebut LPG dan listrik merupakan 2 jenis energi yang sangat umum digunakan di sektor rumah tangga. Di tahun 2030, permintaan terhadap LPG adalah sebesar 1.095,43 Ribu SBM, untuk skenario BAU dan MOD dan 1.090,63 Ribu SBM untuk skenario OPT. Hasil perhitungan yang berbeda pada skenario OPT disebabkan oleh implementasi skenario energi terbarukan. Dalam skenario MOD, biogas digunakan untuk menggantikan energi jenis kayu bakar dan briket batubara pada kelompok pendapatan sedang dan di bawah 1,5 kali garis kemiskinan. Biogas juga digunakan untuk menggantikan sebagian dari permintaan LPG di skenario OPT. Di tahun 2010, penggunaan biogas di sektor rumah tangga adalah sebesar 1,04 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 1,52 Ribu SBM untuk skenario OPT. Di tahun 2030, permintaan terhadap biogas naik menjadi 4,25 Ribu SBM dan 9,31 Ribu SBM untuk skenario MOD dan OPT. Implementasi skenario energi terbarukan juga mempengaruhi permintaan terhadap kayu bakar dan briket batubara. Di tahun 2010, permintaan terhadap kayu bakar adalah 3,28 Ribu SBM untuk skenario BAU dan 2,61 Ribu SBM untuk skenario MOD dan OPT. Di tahun 2030, permintaan jenis energi kayu bakar mengalami peningkatan untuk skenario BAU menjadi 3,64 Ribu SBM. Namun demikian, permintaan kayu bakar untuk skenario MOD dan OPT mengalami penurunan menjadi 1,03 Ribu SBM di tahun 2030. Permintaan terhadap briket batubara di tahun 2010 adalah 2,86 Ribu SBM untuk skenario BAU dan 2,21 Ribu SBM untuk skenario MOD dan OPT. Sama hal nya dengan permintaan terhadap kayu bakar, permintaan terhadap briket batubara 172
mengalami peningkatan di tahun 2030 menjadi sebesar 3,41 Ribu SBM untuk skenario BAU. Namun demikian, permintaan terhadap briket batubara mengalami penurunan menjadi 0,66 Ribu SBM untuk skenario MOD dan OPT di tahun 2030.
Sumber : Lapiran C1 Gambar 4.13. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Skenario BAU
Sumber : Lapiran C2 dan C3 Gambar 4.14. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Skenario MOD Dan OPT 173
Di dalam gambar di atas hasil perhitungan terhadap permintaan energi listrik berbeda untuk ketiga skenario yang telah disusun.Perbedaan hasil perhitungan ini sebagai akibat dari implementasi efisiensi energi di sektor rumah tangga khususnya untuk penggunaan energi listrik. Di tahun 2030, permintaan energi listrik adalah sebesar 860,32 Ribu SBM, 794,61 Ribu SBM, dan 695,47 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Implementasi program-program efisiensi energi melalui skenario OPT dapat menurunkan permintaan terhadap energi listrik sebesar 19,16% jika dibandingkan dengan yang dihasilkan melalui skenario BAU. Permintaan energi final di sektor rumah tangga berdasarkan kelompok pendapatan dapat dilihat pada Gambar 4.15, dan Gambar 4.16, kelompok pendapatan sedang memiliki persentase permintaan terhadap energi final yang paling besar jika dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang lain. Dalam periode 2010 sampai dengan 2030, persentase permintaan energi final kelompok pendapatan sedang berkisar 55% terhadap keseluruhan permintaan energi final di sektor rumah tangga. Persentase permintaan energi final untuk kelompok pendapatan di bawah garis kemiskinan mengalami peningkatan dari 5,3% di tahun 2010 menjadi 6,4% di tahun 2030 untuk semua skenario. Persentase permintaan energi final untuk kelompok pendapatan di bawah 1,5 kali garis kemiskinan juga mengalami peningkatan dari 11,5% di tahun 2010 menjadi 12,4% di tahun 2030 untuk semua skenario. Di lain pihak, permintaan terhadap energi final untuk kelompok pendapatan 20% teratas mengalami penurunan, yaitu dari 28% di tahun 2010 menjadi 26% di tahun 2030. Penurunan permintaan energi final untuk kelompok pendapatan 20% teratas 174
disebabkan oleh implementasi energi efisiensi dalam skenario MOD dan OPT. Skenario OPT dapat menurunkan permintaan energi final untuk kelompok pendapatan 20% teratas sebesar 8,86% jika dibandingkan dengan hasil dari skenario BAU.
Sumber : Lapiran D1 Gambar 4.15. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Skenario BAU Berdasarkan Kelompok Pendapatan
Sumber : Lapiran D2 dan D3 Gambar 4.16. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pendapatan Skenario MOD dan OPT
175
4.2.1.2. Sektor Komersial Permintaan energi final di sektor komersial ditunjukkan pada Gambar 4.17, dan Gambar 4.18. Dalam tersebut perbedaan hasil perhitungan dengan skenario BAU dan skenario lainnya terlihat dengan jelas. Hal ini disebabkan oleh skenario efisiensi energi yang diimplementasikan di dalam skenario MOD dan OPT. Skenario energi efisiensi diterapkan untuk jenis energi listrik dan jenis-jenis energi yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di sektor komersial, yaitu minyak solar. Di tahun 2030 permintaan terhadap energi listrik adalah 1.338,40 Ribu SBM, 1.003,80 Ribu SBM, dan 936,88 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Di tahun yang sama, permintaan terhadap minyak solar adalah 117,90 Ribu SBM, 88,42 Ribu SBM, dan 82,53 Ribu SBM untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Sebagai dampak dari implementasi efisiensi energi, permintaan terhadap energi listrik dan minyak solar mengalami penurunan berturut-turut sebesar 30% dan 29,99% untuk skenario OPT terhadap skenario BAU. Di samping sebagai dampak dari skenario efisiensi energi, permintaan terhadap minyak solar juga dipengaruhi oleh skenario energi terbarukan. Di dalam skenario ini, biodisel digunakan untuk mengganti sebagian dari permintaan minyak solar di sektor komersial.
176
Sumber : Lampiran E1 Gambar 4.17. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
Sumber : Lampiran E2 dan E3 Gambar 4.18. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT. Di tahun 2030, permintaan terhadap biodisel adalah sebesar 1,77 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 11,79 Ribu SBM untuk skenario OPT. Permintaan terhadap jenis energi minyak tanah dan LPG tidak dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi dan skenario energi terbarukan. Dengan demikian, hasil perhitungan permintaan 177
terhadap kedua jenis energi ini adalah sama. Di tahun 2030, permintaan terhadap LPG adalah sebesar 56,38 Ribu SBM dan permintaan terhadap minyak tanah adalah sebesar 11,45 Ribu SBM untuk semua skenario. Permintaan energi final di sektor komersial berdasarkan subsektor ditunjukkan pada Gambar 4.19 dan Gambar 4.20. Di tahun 2030, permintaan energi final keseluruhan di sektor komersial adalah sebesar 1.524,12 Ribu SBM, 1.161,81 Ribu SBM, dan 1.099,02 Ribu SBM untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Subsektor rumah makan memiliki persentase permintaan energi final terbesar selama periode proyeksi. Di tahun 2030, permintaan energi final subsektor rumah makan lebih dari 55% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor komersial untuk ketiga skenario yang telah disusun. Permintaan energi final untuk subsektor rumah makan adalah sebesar 846,77 Ribu SBM, 649,54 Ribu SBM, dan 610,10 Ribu SBM. Jasa sosial memiliki permintaan energi final yang paling kecil jika dibandingkan dengan subsektor yang lain, yaitu kurang dari 2% terhadap keseluruhan permintaan energi final di sektor komersial. Di tahun 2030, permintaan energi final untuk subsektor jasa sosial adalah sebesar 29,36 Ribu SBM, 22,07 Ribu SBM, dan 20,86 Ribu SBM untuk skenario BAU, MOD, dan OPT.
178
Sumber : Lampiran F1 Gambar 4.19. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial berdasarkan Subsektor Skenario BAU
Sumber : Lampiran F2 dan F3 Gambar 4.20. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial berdasarkan Subsektor Skenario MOD dan OPT
.2.1.3. Sektor Industri Permintaan energi final di sektor industri ditunjukkan pada Gambar 4.21 dan Gambar 4.23. Dari gambar tersebut efisiensi energi sangat terlihat untuk mengurangi permintaan terhadap energi di sektor industri. Skenario energi efisiensi diterapkan 179
untuk jenis energi listrik dan jenis-jenis energi yang berhubungan dengan pembangkitan energi listrik di sektor industri. Di tahun 2030 permintaan terhadap energi listrik adalah sebesar 218,39 Ribu SBM, 196,55 Ribu SBM, dan 174,71 Ribu SBM untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Di dalam tahun yang sama, pemintaan terhadap minyak solar, minyak disel, dan minyak bakar berturut-turut adalah sebesar 55,58 Ribu SBM, 0,31 Ribu SBM, dan 43,45 Ribu SBM untuk skenario OPT. Sebagai dampak implementasi efisiensi energi di dalam skenario OPT, permintaan terhadap energi listrik, minyak solar, minyak disel, dan minyak bakar berkurang sebesar 20% jika dibandingkan dengan yang dihasilkan berdasarkan skenario BAU.
Sumber : Lampiran G1 Gambar 4.21. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
180
Sumber : Lampiran G2 dan G3 Gambar 4.22. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT Selain sebagai dampak dari implementasi skenario efisiensi energi, permintaan terhadap minyak solar juga dipengaruhi oleh skenario energi terbarukan.Di dalam skenario ini, biodisel digunakan untuk menggantikan sebagian dari permintaan minyak solar di sektor industri. Di tahun 2030, permintaan terhadap biodisel adalah 1,04 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 6,95 Ribu SBM untuk skenario OPT. Permintaan terhadap batubara, LPG, dan minyak tanah yang tidak disubsidi tidak dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi dan skenario energi terbarukan. Dengan demikian, hasil perhitungan ketiga jenis energi ini memiliki hasil yang sama untuk semua skenario. Di tahun 2030, permintaan terhadap batubara, LPG, dan minyak tanah berturut-turut adalah 23,96 Ribu SBM, 4,49 Ribu SBM, dan 3,01 Ribu SBM. Permintaan energi final di sektor industri berdasarkan subsektor ditunjukkan pada Gambar 4.22 dan Gambar 4.23. Di tahun 2030 permintaan energi final secara keseluruhan adalah 181
374,01 Ribu SBM, 340,26 Ribu SBM, dan 312,46 Ribu SBM untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Subsektor tekstil memiliki permintaan energi yang paling besar selama periode proyeksi. Di tahun 2030, permintaan energi final untuk subsektor tekstil adalah 46,47% dari keseluruhan permintaan energi di sektor industri. Permintaan energi final untuk aktivitas industri tekstil di tahun 2030 adalah sebesar 170,23 Ribu SBM, 155,38 Ribu SBM, dan 141,85 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Subsektor industri kertas memiliki permintaan energi yang paling kecil jika dibandingkan dengan subsektor-subsektor yang lainnya selama periode proyeksi. Persentase permintaan energi final untuk subsektor industri kertas kurang dari 1% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor industri untuk semua skenario. Permintaan energi final untuk subsektor industri kertas adalah 4,08 Ribu SBM, 3,67 Ribu SBM, dan 3,28 Ribu SBM.
Sumber : Lampiran H1 Gambar 4.22. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Subsektor Skenario BAU
182
Sumber : Lampiran H2 dan H3 Gambar 4.23. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Subsektor Skenario MOD dan OPT
4.2.1.4. Sektor Transportasi Permintaan energi final di sektor transportasi ditunjukkan pada Gambar 4.24 dan Gambar 4.25. Dari gambar tersebut hasil perhitungan permintaan energi final di sektor transportasi dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi yang berupa pengalihan moda dan diversifikasi energi CNG untuk menggantikan sebagian premium dan minyak solar serta skenario energi terbarukan yang berupa implementasi biodisel yang digunakan untuk menggantikan sebagian minyak solar. Skenario energi terbarukan di sektor transportasi digunakan untuk menganalisis dampak implementasi biodisel untuk menggantikan sebagian dari permintaan minyak solar. Di sektor transportasi, permintaan terhadap premium sangat dominan jika dibandingkan dengan jenis energi yang lain. Premium digunakan di moda transportasi jalan raya, yaitu mobil penumpang, angkutan barang, dan sepeda motor. Di tahun 2030 (lihat lampiran I), permintaan terhadap premium untuk skenario BAU, MOD, dan OPT 183
berturut-turut adalah sebesar 4,586.47 Ribu SBM, 4,331.14 Ribu SBM, dan 3,296.44 Ribu SBM. Di tahun yang sama, persentase permintaan terhadap premium untuk skenario BAU, MOD, dan OPT berturut-turut adalah 75,89%, 72,54%, dan 56,47% terhadap keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Hasil yang diperoleh melalui skenario OPT memberikan nilai presentase permintaan terhadap permium yang turun sebesar 28,13% terhadap skenario BAU. Hasil ini diperoleh melalui diversifikasi penggunaan bahan bakar CNG yang digunkan baik untuk moda bus dan mobil pribadi. Permintaan terhadap CNG untuk skenario MOD dan OPT adalah sebesar 459,90 Ribu SBM dan 1.397,68 Ribu SBM di tahun 2030.
Sumber : Lampiran I1 Gambar 4.24. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
184
Sumber : Lampiran I2 dan I3 Gambar 4.24. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT
Permintaan terhadap minyak solar dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi, skenario energi terbarukan, dan skenario diversifikasi energi. Di tahun 2030 persentase permintaan terhadap minyak solar dari hasil skenario MOD dan OPT adalah 11,37% dan 10,54% terhadap keseluruhan permintaan energi di sektor transportasi. Nilai-nilai ini lebih rendah jika dibandingkan hasil skenario BAU di tahun yang sama, yaitu sebesar 15,96%. Di tahun 2030, permintaan terhadap minyak solar adalah sebesar 964,80 Ribu SBM, 678.94 Ribu SBM, dan 618,15 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Di tahun 2030, permintaan terhadap biodisel adalah sebesar 8,93 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 59,53 Ribu SBM untuk skenario OPT. Berdasarkan skenario OPT, persentase permintaan terhadap biodisel hanya sebesar 1,02% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Avtur adalah jenis energi yang hanya digunakan oleh pesawat terbang. Permintaan terhadap avtur di tahun 2030 adalah sebesar 523,75 Ribu SBM. 185
Persentase permintaan terhadap avtur sebesar 8,20% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Permintaan energi final di sektor transportasi berdasarkan jenis moda ditunjukkan pada Gambar 4.25 dan Gambar 4.26. Dari gambar tersebut moda transportasi jalan raya sangat dominan. Moda transportasi jalan raya ini terdiri dari mobil penumpang, sepeda motor, bus, dan angkutan barang (truk). Di tahun 2030 (lihat lampiran J), permintaan energi untuk moda jalan raya untuk skenario BAU, MOD, dan OPT berturut-turut adalah sebesar 4,472.56 Ribu SBM, 4,431.14 Ribu SBM, dan 3,990.90 Ribu SBM dengan persentase lebih dari 71% untuk ketiga skenario tersebut dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Sepeda motor dan mobil penumpang memiliki permintaan energi yang paling besar. Permintaan energi jadi dua jenis moda transportasi ini untuk skenario BAU, MOD, dan OPT berturut-turut adalah sebesar 4,195.63 Ribu SBM, 4,195.63 Ribu SBM, dan 3,593.60 Ribu SBM. Di lain pihak, permintaan energi final untuk moda kereta api adalah yang terkecil dengan permintaan di tahun 2030 sebesar 47,72 Ribu SBM atau 0,74% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi.
186
Sumber : Lampiran J1 Gambar 4.25. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Moda Skenario BAU
Sumber : Lampiran J2 dan J3 Gambar 4.26. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Moda Skenario MOD dan OPT.
4.2.1.5. Sektor Lainnya Permintaan energi final di sektor lainnya berdasarkan jenis energi ditunjukkan pada Gambar 4.27 dan Gambar 4.28. Dari gambar tersebut permintaan terhadap minyak solar sangat dominan. Di tahun 2030 permintaan terhadap minyak solar 187
adalah 1.238,04 Ribu SBM, 1.114,24 Ribu SBM, dan 990,43 Ribu SBM berturutturut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Permintaan terhadap minyak solar terpengaruh baik oleh skenario efisiensi energi maupun skenario energi terbarukan. Sebagai hasilnya, permintaan terhadap minyak solar berdasarkan skenario OPT menurun 19,99% jika dibandingkan dengan skenario BAU di tahun 2030. Di tahun yang sama, permintaan terhadap biodisel adalah 18,57 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 123,80 Ribu SBM untuk skenario OPT. Terdapat sedikit permintaan terhadap minyak tanah di sektor lainnya yaitu mencapai 0,97 ribu SBM di tahun 2030
Sumber : Lampiran K1 Gambar 4.27. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Jenis Energi, Skenario BAU
188
Sumber : Lampiran K2 dan K3 Gambar 4.28. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Jenis Energi, Skenario MOD dan OPT Permintaan energi final di sektor lainnya berdasarkan subsektor ditunjukkan pada Gambar 4.29 dan Gambar 4.30. Dari gambar tersebut terlihat bahwa subsektor konstruksi memiliki permintaan energi yang paling besar jika dibandingkan dengan subsektor-subsektor yang lain. Di tahun 2030 permintaan energi di subsektor konstruksi 177,67 Ribu SBM, 162.57 Ribu SBM, dan159.9 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Sebagai akibat dari implementasi energi efisiensi di dalam skenario OPT, permintaan energi final di sektor konstruksi berkurang 10,00% jika dibandingkan terhadap hasil yang diperoleh berdasarkan skenario BAU. Untuk subsektor pertanian, permintaan energi final di tahun 2030 adalah sebesar 34,66 Ribu SBM, 31,73 Ribu SBM, dan 31,21 Ribu SBM. Berturutturut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Berdasarkan skenario OPT, permintaan energi final di sektor pertanian berkurang 9,97% jika dibandingkan dengan hasil yang 189
diperoleh berdasarkan skenario BAU. Subsektor pertambangan memiliki permintaan energi final yang palingkecil. Permintaan energi final untuk subsektor ini adalah sebesar 0,76 Ribu SBM, 0,69 Ribu SBM, dan 0,68 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Permintaan energi final di subsektor pertambangan berkurang 10,43% berdasarkan skenario OPT jika dibandingkan dengan skenario BAU.
Sumber : Lampiran L1 Gambar 4.29. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Subsektor, Skenario BAU
Sumber : Lampiran L2 dan L3 Gambar 4.30. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Subsektor, Skenario MOD dan OPT 190
4.2.2. Permintaan Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Permintaan energi final berdasarkan jenis energi untuk semua sektor aktivitas ditunjukkan pada Gambar 4.31 dan Gambar 4.32. Terdapat 3 jenis energi yang tidak dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi dan skenario energi terbarukan. Ketiga jenis energi ini adalah avtur, minyak tanah, dan premium. Permintaan terhadap premium adalah yang paling besar selama periode proyeksi. Di tahun 2030 permintaan terhadap premium adalah sebesar 4,586.47 Ribu SBM atau 46% dari keseluruhan permintaan energi final untuk semua skenario. Secara umum, permintaan terhadap bahan bakar minyak yang terdiri dari minyak solar, minyak disel, minyak bakar, minyak tanah, dan avtur sangat mendominasi permintaan energi final. Permintaan keseluruhan untuk bahan bakar minyak di tahun 2030 adalah 6.861,35 Ribu SBM, 6.782,24 Ribu SBM, dan 6.651,82 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Setelah permintaan terhadap bahan bakar minyak, permintaan terhadap listrik dan LPG adalah permintaan energi final yang terbesar berikutnya. Di tahun 2030, permintaan terhadap energi listrik adalah sebesar 2,221.61 Ribu SBM, 1,842.81 Ribu SBM, dan 1,666.49 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Permintaan terhadap LPG di tahun 2030 adalah 1,125.91 Ribu SBM untuk skenario BAU dan MOD dan 1,079.01 untuk skenario OPT. Permintaan LPG berdasarkan skenario OPT dipengaruhi oleh penggunaan biogas untuk menggantikan sebagian permintaan LPG di sektor rumah tangga. Permintaan terhadap jenis energi padat yang terdiri dari batubara, briket batubara, dan kayu bakar di tahun 2030 adalah sebesar 31,01 Ribu 191
SBM, 25,04 Ribu SBM, dan 25,65 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Permintaan terhadap biogas dan biodisel sebagai dampak dari implementasi energi terbarukan di dalam skenario OPT masih sangat rendah jika dibandingkan permintaan energi final secara keseluruhan. Permintaan energi untuk kedua jenis energi ini di tahun 2030 adalah 18.53 Ribu SBM untuk skenario MOD, dan 100.16 Ribu SBM untuk skenario OPT. Persentase kedua jenis energi ini hanya 1,56% terhadap keseluruhan permintaan energi final berdasarkan skenario OPT.
Sumber : Lampiran B Gambar 4.31.Permintaan Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
Sumber : Lampiran B Gambar 4.31.Permintaan Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Skenario
MOD dan OPT 192
4.2.3. Efisiensi Energi di DIY Indeks yang biasa digunakan untuk mengukur kebutuhan energi terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara adalah Efisiensi Energi dan Intensitas Energi. Efisiensi energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) tertentu. Angka efisiensi energi di bawah 1,0 dicapai apabila energi yang tersedia telah dimanfaatkan secara produktif. Sedangkan Intensitas Energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto. Semakin efisien suatu negara, maka intensitasnya akan semakin kecil. Angka efisiensi yang relatif tinggi menunjukkan bahwa pemakaian energi termasuk tidak efisien atau boros. Kondisi ini juga mengindikasikan rendahnya daya saing industri karena terjadi inefisiensi energy yang berdampak pada tingginya biaya produksi. Berdasarkan serangkaian analisis yang telah dilakukan, Efisiensi energi di DIY tampak dalam Tabel 4.26. Dari tabel di atas tampak bahwa efisiensi energi DIY dengan menggunakan Skenario BAU sampai dengan akhir tahun proyeksi masih lebih besar dari 1 ( e> 1), baik untuk energi listrik maupun BBM. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemakaian energi di DIY belum efisien atau boros, karena untuk meningkatkan 1% pertumbuhan ekonomi memerlukan energi dalam jumlah yang lebih besar.
193
Tabel 4.26 Efisiensi Energi DIY Berdasarkan Skenario Base Line Tahun Efisiensi Tahun Efisiensi Tahun Efisiensi Tahun Efisiensi Tahun Efisiensi Tahun Efisiensi
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 1,20582 1,25967 1,31602 1,37507 1,43703 1,50211 1,55352 1,60834 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 1,66689 1,72946 1,79643 1,87119 1,95073 2,03540 2,12557 2,22161 Skenario MOD 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 1,14896 1,137 1,12825 1,11451 1,09709 1,083638 1,035761 1,020532 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 1,00323 0,98443 0,96458 0,973356 0,949815 0,928367 0,902123 0,875276 Skenario OPT 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 1,03885 1,03107 1,01807 1,00158 0,98865 0,972731 0,904477 0,887766 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 0,869608 0,850381 0,830385 0,829815 0,826101 0,825408 0,827974 0,825442
Sumber : Lampiran B data diolah Sementara itu berdasarkan Skenario efisiensi energi baik yang Moderat maupun Optimis dengan memasukan aspek kebijakan konservasi energi sebagaimana telah dikemukakan di atas, Efisiensi Energi DIY sampai dengan akhir tahun proyeksi mencatat angka lebih kecil dari 1 (e<1), baik untuk energi listrik maupun BBM. Efisiensi penggunaan energi menurut skenario Moderat mulai dicapai pada tahun 2024 sampai akhir tahun proyeksi, sedangkan berdasarkan skenario Optimis efisiensi energi sudah dicapai pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai pelaksanaan program konservasi maka DIY dapat mengoptimalkan penggunaan energi menjadi lebih efisien. Implikasinya adalah bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1% hanya akan memerlukan penggunaan energi yang lebih kecil, dan energi yang tersedia akan dimanfaatkan secara produktif. Penggunaan 194
energi yang lebih rendah relatif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi akan dapat dicapai kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan yang makin baik karena berkurangkan emisi gas buang (eksternalitas negatif) atas pemakaian energi. Menurunnya angka efisiensi energi berdasarkan Skenario efisiensi energi adalah karena adanya tindakan dan program-program konservasi terhadap pemakaian energy, sesuai dengan kebijakan yang diusulkan, yaitu langkah-langkah efisiensi, konservasi dan diversifikasi energi. Langkah efisiensi energi tersebut sangat penting, agar sumber daya yang terbatas bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, terutama bagi masyarakat yang belum beruntung mendapatkan pelayanan energi. Konservasi energi perlu dilakukan bukan karena negara saat ini secara finansial mengalami kesulitan untuk menyediakan energi secara murah, melainkan karena secara fundamental konservasi energi akan membuat pola konsumsi energi menjadi lebih sehat. Di sisi lain membiarkan konsumsi energi tumbuh cepat dan boros jelas akan sangat merugikan, baik dari sisi ekonomi, lingkungan maupun upaya untuk mempertahankan manfaat dari sumberdaya energi itu sendiri. Upaya melakukan penghemtan energi bukanlah suatu hal yang mudah karena kompleksitas masalah dalam pengembangan budaya hemat energi ini menyangkut masalah struktural seperti intergrasi kebijakan hemat dalam kerangka umum pengembangan energi nasional, serta investasi yang masih rendah di sektor energi, terutama ketenaga-listrikan. Sementara itu, penghematan energi pada sektor industri juga membutuhkan investasi besar dalam perubahan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Gaya hidup dan budaya masyarakat yang masih boros energi merupakan 195
salah satu masalah penting yang perlu diatasi. Langkah hemat energi tidak mungkin bisa tercapai hanya dengan mengandalkan peran pemerintah saja, namun harus menjadi gerakan masyarakat untuk mempromosikan gaya hidup hemat energi sebagai bagian dari budaya masyarakat. Hal tersebut juga perlu didukung melalui pengembangan pengetahuan untuk promosi produk-produk hemat energi yang mampu menjangkau masyarakat luas. 4.3. Perkiraan Permintaan Energi Propinsi Jawa Tengah Permintaan energi di Propinsi Jawa tengah juga disusun berdasarkan tahun 2010 sebagai tahun dasar dan tahun 2030 sebagai tahun akhir proyeksi. Permintaan energi disusun berdasarkan metode intensitas energi dan menggunakan perangkat lunak LEAP sebagai alat bantu dalam melakukan perhitungan prakiraan permintaan energi. Intensitas energi ini merupakan parameter yang menyatakan penggunana energi untuk setiap aktivitas. Dalam perhitungan prakiraan permintaan energi yang dikembangkan dengan menggunakan model LEAP ini, permintaan energi dibagi menjadi 5 sektor aktivitas, yaitu sektor rumah tangga, komersial, industri, transportasi, dan sektor lainnya. Sektor lainnya terdiri dari sektor pertanian, pertambangan, dan konstruksi. Aktivitas di sektor rumah tangga direpresentasikan oleh jumlah rumah tangga, sehingga intensitas energi untuk sektor rumah tangga adalah banyaknya konsumsi energi yang digunakan untuk setiap rumah tangga. Aktivitas di sektor komersial, industri, dan sektor lainnya direpresentasikan dengan nilai tambah PDRB untuk masing-masing sektor. Untuk ketiga sektor ini, parameter intensitas energi menyatakan banyaknya energi yang digunakan untuk setiap nilai 196
tambah yang dihasilkan oleh ketiga sektor ini. Sektor transportasi terdiri dari moda jalan raya dan moda non-jalan raya. Aktivitas transportasi moda jalan raya yang terdiri dari mobil penumpang, mobil barang, sepeda motor, dan bus direpresentasikan oleh jumlah kendaraan. Dalam hal ini, intensitas energi adalah banyaknya energi yang digunakan oleh setiap unit kendaraan. Sedangkan untuk transportasi moda non-jalan raya yang terdiri dari kereta api dan pesawat udara, aktivitas direpresentasikan oleh jarak tempuhnya. Intensitas energi untuk sektor transprotasi moda non-jalan raya ini menyatakan banyaknya energi yang digunakan untuk setiap km jarak tempuh. Selanjutnya, perhitungan permintaan energi disusun berdasarkan skenario, Business As Usual (BAU). Dalam skenario BAU, perhitungan prakiraan energi didasarkan pada pola penggunaan energi yang sama seperti yang terjadi pada tahun dasar. Dalam skenario ini, belum ada intervensi kebijakan baru mengenai pola konsumsi energi dalam hal konservasi energi dan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan sebagai sumber energi primer. 4.3.1. Permintaan Energi Final Berdasarkan Sektor Aktivitas Skenario BAU Hasil perhitungan proyeksi permintaan energi di wilayah Propinsi Jawa Tengah berdasarkan pada scenario BAU yang telah disusun dapat dilihat pada Gambar 4.32. Permintaan energi final secara total mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,57% per tahun, dimana pada tahun 2030, permintaan energi final keseluruhan adalah sebesar 85,401.03 Ribu SBM. Dalam gambar 4.49, terlihat bahwa sektor transportasi merupakan sektor dengan permintaan energi terbesar selama 197
periode proyeksi jika dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain dengan persentase 67,43% dari permintaan energi final keseluruhan. Permintaan energi untuk sektor transportasi di tahun 2030 adalah 57,583.88 ribuSBM. Pertumbuhan rata-rata permintaan energi final di sektor transportasi selama periode proyeksi 5,86% per tahun. Sektor kedua yang mendominasi penggunaan energy adalah sector rumah tangga yaitu sebesar 14,241.01 ribu SBM, atau sebesar 16,67% dari permintaan energy final secara keseluruhan. Sektor industri merupakan pengguna energi tebesar ketiga setelah sektor transportasi dan sektor rumah tangga, dengan penggunaan di tahun 2030 mencapai angka sebesar 6,003.11 Ribu SBM atau sebesar 6,8% dari penggunaan energi final secara keseluruhan. Di tahun 2030, permintaan energi final di sektor komersial mencapai 4,712.19 Ribu SBM, merupakan pengguna energi terendah kedua setelah sektor lainnya yang hanya mencapai angka 2,860.84 Ribu SBM.
Sumber : Lampiran M4 Gambar 4.32. Permintaan Energi Final Berdasarkan Sektor Aktivitas di Propinsi Jawa Tengah 198
4.3.2. Permintaan Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Propinsi Jawa Tengah Skenario BAU Permintaan energi final berdasarkan jenis energi untuk semua sektor aktivitas ditunjukkan pada Gambar 4.33. Permintaan terhadap premium di Propinsi Jawa Tengah merupakan penggunaan energi yang paling besar selama periode proyeksi. Di tahun 2030 permintaan terhadap premium adalah sebesar 33.342,88 Ribu SBM atau 39,04% dari keseluruhan permintaan energi final untuk scenario skenario BAU. Secara umum, permintaan terhadap bahan bakar minyak yang terdiri dari minyak solar, minyak disel, minyak bakar, minyak tanah, dan avtur sangat mendominasi permintaan energi final. Penggunaan minyak solar atau Automotive Diesel Oil (ADO) merupakan jenis energi bahan bakar yang penggunaannya terbesar kedua setelah premium, yang mencapai angka sebesar 25.638,15 Ribu SBM atau sebesar 30% dari keseluruhan penggunaan energi final. Tingginya penggunaan jenis energi ini dimunginkan karena Propinsi Jawa tengah, terutama bagian utara merupakan jalur utama penghubunga antar propinsi dalam hal distribusi barang yang menggunakan kendaraan berat seperti truck, tronton dan lain-lain. Sementara itu jenis kendaraan berat ini menggunaan minyak solar sebagai bahan bakar utamanya. Di Provinsi Jawa Tengah, penggunaan energi jenis minyak tanah juga masih cukup besar, meski pemerintah pusat telah melakukan konversi 100% dengan gas LPG, yaitu mencapai angka 7.942,88 Ribu SBM, atau sebesar 9,3% dari keseluruhan energi final di tahun 2030. Jenis energi ini merupakan jenis energi yang penggunaannya terbesar ketiga setelah minyak solar, 199
terutama digunakan oleh sektor industri mapun rumah tangga. Hal ini sejalan dengan penggunaan energi berdasarkan sektor aktivitas, dimana sektor industri merupakan konsumen energi terbesar ketiga setelah sektor rumah tangga. Permintaan terhadap energi listrik permintaan energi final yang terbesar berikutnya, atau keempat. Di tahun 2030, permintaan terhadap energi listrik adalah sebesar 7,869.52 Ribu SBM atau sebesar 9,2% dari total energi final secara keseluruhan. Rendahnya penggunaan energi listrik di Provinsi Jawa Tengah relatif dibandingkan dengan jenis energi lainnya, dimungkinkan karena rasio elektrifikasi di wilayah ini masih cukup rendah, meskipun berdasarkan sektor aktivitas, sektor rumah tangga merupakan sektor kedua yeng mendominasi penggunaan energi. Hal ini juga menguatkan argumentasi bahwa sektor rumah tangga di wilayah Provinsi Jawa Tengah dalam aktivitasnya tidak hanya menggunakan energi jenis listrik, tetapi juga menggunakan jenis energi lainnya, seperti : minyak tanah, kayu, maupun LPG. Kondisi ini terkonfirmasi dari hasil proyeksi penggunaan energi berdasarkan jenis energi, bahwa penggunaan energi minyak tanah mencapai angka sebesar 7.942,88 Ribu SBM, gas LPG mencapai 2.721,71 Ribu SBM, dan penggunaan energi kayu bakar mencapai angka sebesar 3.412,61 Ribu SBM. Penggunaan gas LPG dan kayun bakar secara keseluruhan mencapai sebesar 7,18%.
200
Sumber : Lampiran M3 Gambar 4.33. Permintaan Energi Final Berdasarkan Jenis Energy Jawa Tengah 4.3.3. Permintaan Energi Final Berdasarkan Sektor Aktivitas Skenario Efisiensi Skenario efisiensi energi daerah didasarkan pada potensi efisiensi energi yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Skenario efisiensi energi diimplementasikan untuk sektor rumah tangga, sektor komersial, dan sektor industri. Skenario efisiensi energi belum dapat diimplementasikan untuk sektor transportasi karena belum tersedianya data potensi efisiensi energi di wilayah Proipinsi Jawa tengah. Potensi efisiensi energi dapat dilihat pada Tabel 4.27. Dalam model LEAP, batas atas potensi efisiensi energi digunakan dalam penyusunan skenario OPT dalam hal konservasi energi. Sedangkan batas bawah potensi efisiensi energi di dalam Tabel 4.27 digunakan dalam penyusunan skenario MOD.. Potensi efisiensi energi ini digunakan untuk menurunkan intensitas energi di masing-masing sektor yang berkaitan.
201
Tabel 4.27. Potensi Efisiensi Energi di Wilayah Jawa Tengah No.
Sektor
Potensi Efisiensi Energi
1 Sektor Industri 15 – 20% 2 Sektor Rumah Tangga 10 – 25% 3 Sektor Komersial 25 – 30% 4 Sektor Lainnya 25 - 30% Sumber : Dinas ESDM Prop.Jawa Tengah, 2011 Di sektor transportasi, efisiensi energi dilakukan dengan pengalihan moda untuk mengoptimalkan penggunaan angkutan umum untuk memenuhi kebutuhan perjalan dalam km-passanger. Dalam model LEAP dirancang seperti kondisi kondisi di DIY, target pengalihan moda dari moda transportasi pribadi ke moda transprotasi umum adalah untuk meningkatkan load factor moda bus dari 24,34% menjadi 60% di tahun 2030. Peningkatan load factor moda bus dilakukan melalui pengalihan penggunan sepeda motor dan mobil penumpang pribadi. Besar pengalihan dari sepeda motor dan mobil penumpang pribadi berturut-turut adalah sebesar 14% dan 11% di tahun 2030. Diversifikasi energi di sektor transportasi juga digunakan dalam skenario efisiensi energi. Skenario diversifikasi energi dilakukan untuk angkutan umum dalam skenario moderat dan juga dilakukan untuk transportasi moda pribadi dalam skenario optimis.Dalam skenario moderat diversifikasi energi, bahan bakar CNG diasumsikan untuk menggantikan seluruh bahan bakar minyak solar yang digunakan oleh moda bus di tahun 2030.Untuk skenario optimis diversifikasi energi, bahan bakar CNG juga digunakan untuk menggantikan sebesar 30% premium yang digunakan oleh moda mobil pribadi di tahun 2030. 202
Permintaan energi final berdasarkan jenis energi untuk semua sektor aktivitas ditunjukkan pada Gambar 4.34. Berdasarkan skenario Efisiensi Moderat maupun skenario Efisinesi Optimis, permintaan terhadap premium di Propinsi Jawa Tengah merupakan penggunaan energi yang paling besar selama periode proyeksi. Di tahun 2030 permintaan terhadap premium adalah sebesar 33.342,88 Ribu SBM atau 39,04% dari keseluruhan permintaan energi final untuk scenario skenario KED Optimis. Secara umum, permintaan terhadap bahan bakar minyak yang terdiri dari minyak solar, minyak disel, minyak bakar, minyak tanah, dan avtur sangat mendominasi permintaan energi final. Penggunaan energi listrik selama tahun proyeksi juga masih cukup besar di wilayah Provinsi Jawa Tengah, disamping karena jumlah penduduk yang cukup besar, juga di wilayah ini banyak tersebar industri kelas menengah yang cukup besar konsumsinya terhadap jenis energi ini. Seiring dilepaskannya harga minyak tanah melalui mekanisme pasar, dan dikonversi dengan jenis energi LPG, penggunaan jenis energi kayu bakar menjadi semakin besar selama tahun proyeksi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tidak semua masyarakat sasaran pemerintah untuk penggunaan LPG tidak menggunakan jenis energi ini. Hal ini kemungkinan besar karena masyarakat merasa kurang familiar dengan penggunaan kompor gas sebagai alat memasak, atau juga banyak industri atau usaha rumah tangga yang masih setia menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak
203
Sumber : Lampiran M1 dan M2 Gambar 4.34. Permintaan Energi Final Berdasarkan Jenis Energy Skenario MOD dan OPT
4.3.4. Permintaan Energi Final Berdasarkan Sektor Aktivitas Hasil perhitungan proyeksi permintaan energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah berdasarkan pada skenario-skenario yang telah disusun dapat dilihat pada Gambar 4.35 dan Gambar 4.36. Dalam
gambar tersebut terlihat bahwa sektor
transportasi merupakan sektor dengan permintaan energi terbesar selama periode proyeksi jika dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain dengan persentase lebih dari 60% dari permintaan energi final keseluruhan. Sektor transportasi, merupakan sektor yang paling besar permintaan energinya, dan hasil perhitungan proyeksi menghasilkan nilai yang tidak sama untuk skenario Efisiensi MOD, dan OPT. Hal ini disebabkan skenario energi efisiensi telah diikutsertakan dalam perhitungan serta skenario energi terbarukan telah diperhitungkaan dengan mengganti sebagian dari penggunaan minyak solar dengan biodiesel dan bioetanol. 204
Sumber : Lampiran M4 Gambar 4.35. Permintaan Energi Final Berdasarkan Aktivitas Skenario BAU
Sumber : Lampiran M5 dan M6 Gambar 4.36. Permintaan Energi Final Berdasarkan Aktivitas Skenario MOD dan OPT
4.3.4.1. Sektor Rumah Tangga Terdapat 4 jenis energi yang digunakan di sektor rumah tangga, yaitu listrik, LPG, kayu bakar, dan briket batubara.Untuk skenario energi terbarukan, biogas merupakan
jenis
energi
tambahan
yang
digunakan
di
sektor
rumah 205
tangga.Berdasarkan skenario-skenario yang telah disusun, permintaan energi final di sektor rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 4.37 dan Gambar 4.38. Dalam gambar tersebut tersebut LPG dan listrik merupakan 2 jenis energi yang sangat umum digunakan di sektor rumah tangga. Di tahun 2030, permintaan terhadap LPG adalah sebesar 8.299,76 Ribu SBM, untuk scenario MOD dan 6.235,21 Ribu SBM untuk skenario OPT. Hasil perhitungan yang berbeda pada skenario OPT disebabkan oleh implementasi skenario energi terbarukan. Dalam skenario MOD, biogas digunakan untuk menggantikan energi jenis kayu bakar dan briket batubara pada kelompok pendapatan sedang dan di bawah 1,5 kali garis kemiskinan. Biogas juga digunakan untuk menggantikan sebagian dari permintaan LPG di skenario OPT. Di tahun 2010, penggunaan biogas di sektor rumah tangga adalah sebesar 1,64 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 2,36 Ribu SBM untuk skenario OPT. Di tahun 2030, permintaan terhadap biogas naik menjadi 10,95 Ribu SBM dan 23,75 Ribu SBM untuk scenario MOD dan OPT. Implementasi skenario energi terbarukan juga mempengaruhi permintaan terhadap kayu bakar dan briket batubara. Di tahun 2030, permintaan jenis energi kayu bakar untuk skenario BAU sebesar 5.356,54 Ribu SBM. Namun demikian, permintaan kayu bakar untuk skenario MOD dan OPT mengalami penurunan menjadi 3.119,71 Ribu SBM dan 2.639,17 Ribu SBM di tahun 2030. Sama hal nya dengan permintaan terhadap kayu bakar, permintaan terhadap briket batubara mengalami peningkatan di tahun 2030 sebesar 3,41 Ribu SBM untuk skenario BAU. Namun demikian, permintaan terhadap briket batubara mengalami penurunan menjadi 322,25 Ribu SBM untuk skenario MOD dan sebesar 207,57 Ribu 206
SBM untuk skenario OPT di tahun 2030. Yang cukup menarik di sekrot rumah tangga adalah adanya pemanfaatan listrik dari sistem of gird/non PLN yang berasal dari pemanfaatan sumber air melalui pembangkit mikrohidro (PLTMH) yang cukup besar. Pada periode akhir tahun proyeksi, permintaan sektor rumah tangga terhadap jenis energi of gird listrik sebesar 945,32 Ribu SBM, namun dengan pemanfaatan potensi jenis energi ini permintaan energy of gird listrik meningkat menjadi 1.020,63 Ribu SBM menurut skenario MOD, dan 1.172,96 Ribu SBM untuk skenario OPT.
Sumber : Lapiran O1 Gambar 4.37. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
Sumber : Lapiran O2 dan O3 Gambar 4.38. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT 207
Di dalam Gambar 4.38 hasil perhitungan terhadap permintaan energi listrik berbeda untuk ketiga skenario yang telah disusun. Perbedaan hasil perhitungan ini sebagai akibat dari implementasi efisiensi energi di sektor rumah tangga khususnya untuk penggunaan energi listrik. Di tahun 2030, permintaan energi listrik adalah sebesar 8.661,26 Ribu SBM, 8.094,64 Ribu SBM, dan 7.523,74 Ribu SBM berturutturut untuk skenario BAU, MOD, dan OPT. Implementasi program-program efisiensi energi melalui skenario OPT dapat menurunkan permintaan terhadap energi listrik sebesar 13,13% jika dibandingkan dengan yang dihasilkan melalui skenario BAU. Permintaan energi final di sektor rumah tangga berdasarkan kelompok pendapatan dapat dilihat pada Gambar 4.39 dan Gambar 4.40. Dari gambar tersebut kelompok pendapatan sedang memiliki persentase permintaan terhadap energi final yang paling besar jika dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang lain. Dalam periode 2011 sampai dengan 2030, persentase permintaan energi final kelompok pendapatan sedang berkisar 43,34% terhadap keseluruhan permintaan energi final di sektor rumah tangga. Persentase permintaan energi final untuk kelompok pendapatan di bawah garis kemiskinan mengalami peningkatan dari 9,57% di tahun 2011 menjadi 6,77% di tahun 2030 untuk semua skenario. Persentase permintaan energi final untuk kelompok pendapatan di bawah 1,5 kali garis kemiskinan juga mengalami peningkatan dari 16% di tahun 2011 menjadi 20% di tahun 2030 untuk semua skenario. Di lain pihak, permintaan terhadap energi final untuk kelompok pendapatan 20% teratas mengalami penurunan, yaitu dari 37,78% di tahun 2011 menjadi 28,87% di tahun 2030. Penurunan permintaan energi final untuk kelompok pendapatan 20% 208
teratas disebabkan oleh implementasi energi efisiensi dalam skenario MOD dan OPT. Skenario OPT dapat menurunkan permintaan energi final untuk kelompok pendapatan 20% teratas sebesar 7,86% jika dibandingkan dengan hasil dari skenario BAU.
Sumber : Lampiran N1 Gambar 4.39. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pendapatan, Skenario BAU
Sumber : Lampiran N2,N3 Gambar 4.40. Permintaan Energi Final di Sektor Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pendapatan Skenario MOD dan OPT
209
4.3.4.2. Sektor Komersial Permintaan energi final di sektor komersial didominasi oleh permintaan jenis energi minyak tanah dan listrik, sedangkan permintaan terbesar ketiga adalah jenis energi minyak solar. Kondisi permintaan energi final di sektor komersial secara keseluruhan ditunjukkan pada Gambar 4.41 dan Gambar 4.42. Dalam gambar tersebut perbedaan hasil perhitungan dengan skenario OPT dan skenario MOD terlihat dengan jelas. Hal ini disebabkan oleh skenario efisiensi energi yang diimplementasikan di dalam skenario MOD dan OPT. Skenario energi efisiensi diterapkan untuk jenis energi listrik dan jenis-jenis energi yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di sektor komersial, yaitu minyak solar. Di tahun 2030 permintaan terhadap energi listrik adalah 1778,63 Ribu SBM, dan 1763,08 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Di tahun yang sama, permintaan terhadap minyak solar adalah 743,14 Ribu SBM, dan 736,64 Ribu SBM untuk skenario MOD, dan OPT. Sebagai dampak dari implementasi efisiensi energi, permintaan terhadap energi listrik dan minyak solar mengalami penurunan berturut-turut sebesar 20% dan 15% untuk skenario OPT terhadap skenario BAU. Di samping sebagai dampak dari skenario efisiensi energi, permintaan terhadap minyak tanah juga dipengaruhi oleh skenario energi terbarukan. Di dalam skenario ini, biodisel digunakan untuk mengganti sebagian dari permintaan minyak tanah di sektor komersial.
210
Sumber : Lampiran S3 Gambar 4.41. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
Sumber : Lampiran S1 dan S2 Gambar 4.42. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT Di tahun 2030, permintaan terhadap biodisel adalah sebesar 479,82 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 475,62 Ribu SBM untuk skenario OPT. Permintaan terhadap jenis energi minyak tanah dan LPG tidak dipengaruhi oleh skenario efisiensi 211
energi dan skenario energi terbarukan. Dengan demikian, hasil perhitungan permintaan terhadap kedua jenis energi ini adalah sama. Di tahun 2030, permintaan terhadap LPG adalah sebesar 150,53 Ribu SBM dan permintaan terhadap minyak tanah adalah sebesar 2757,08 Ribu SBM untuk skenario MOD dan OPT. Permintaan energi final di sektor komersial berdasarkan subsektor ditunjukkan pada Gambar 4.43 dan Gambar 4.44. Di tahun 2030 permintaan energi final keseluruhan di sektor komersial adalah sebesar 6.143,79 Ribu SBM, dan 6.090,67 Ribu SBM untuk skenario MOD, dan OPT. Subsektor perdagangan memiliki persentase permintaan energi final terbesar selama periode proyeksi. Di tahun 2030, permintaan energi final subsektor perdagangan mencapai 48,70% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor komersial untuk skenario efisiensi yang telah disusun. Permintaan energi final untuk subsektor rumah makan adalah sebesar kedua setelah sub sektor perdagangan dengan nilai sebesar 2.823,19 Ribu SBM, 2.798,50dan 610,10 Ribu SBM. Jasa keuangan memiliki permintaan energi final yang paling kecil jika dibandingkan dengan subsektor yang lain, yaitu kurang dari 1% terhadap keseluruhan permintaan energi final di sektor komersial. Di tahun 2030, permintaan energi final untuk subsektor jasa sosial adalah sebesar 10,20 Ribu SBM, dan 10,11 Ribu SBM untuk skenario MOD, dan OPT.
212
Sumber : Lampiran R3 Gambar 4.40. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial Berdasarkan Subsektor Skenario BAU
Sumber : Lampiran R1 dan R2 Gambar 4.41. Permintaan Energi Final di Sektor Komersial Berdasarkan Subsektor Skenario MOD dan OPT 4.3.4.3. Sektor Industri Permintaan energi final di sektor industri ditunjukkan pada Gambar 4.42 dan Gambar 4.43. Dari gambar tersebut peran efisiensi energi sangat terlihat untuk mengurangi permintaan terhadap energi di sektor industri. Skenario energi efisiensi 213
diterapkan untuk jenis energi listrik dan jenis-jenis energi yang berhubungan dengan pembangkitan energi listrik di sektor industri. Di tahun 2030, permintaan terhadap energi listrik adalah sebesar 4.293,11 Ribu SBM, dan 4.256,11 Ribu SBM untuk skenario MOD, dan OPT. Di dalam tahun yang sama, pemintaan terhadap minyak solar, minyak disel, dan minyak bakar berturut-turut adalah sebesar 710,24 Ribu SBM, 0,31 Ribu SBM, dan 43,45 Ribu SBM untuk skenario OPT. Sebagai dampak implementasi efisiensi energi di dalam skenario OPT, permintaan terhadap energi listrik, minyak solar, minyak disel, dan minyak bakar berkurang sebesar 20% jika dibandingkan dengan yang dihasilkan berdasarkan skenario BAU. Selain sebagai dampak dari implementasi skenario efisiensi energi, permintaan terhadap minyak solar juga dipengaruhi oleh skenario energi terbarukan. Di dalam skenario ini, biodisel digunakan untuk menggantikan sebagian dari permintaan minyak solar di sektor industri.
Sumber : Lampiran Q3 Gambar 4.42. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU 214
Sumber : Lampiran Q1 dan Q2 Gambar 4.43. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT Di tahun 2030, permintaan terhadap biodisel adalah 981,56 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 1.057,66 Ribu SBM untuk skenario OPT. Permintaan terhadap batubara, LPG, dan minyak tanah yang tidak disubsidi tidak dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi dan skenario energi terbarukan. Dengan demikian, hasil perhitungan ketiga jenis energi ini memiliki hasil yang realtif sama untuk semua skenario. Di tahun 2030, permintaan terhadap batubara, LPG, dan minyak tanah berturut-turut adalah 1.987,40 Ribu SBM, 218,76 Ribu SBM, dan 56,76 Ribu SBM. Permintaan energi final di sektor industri berdasarkan subsektor ditunjukkan pada Gambar 4.44 dan Gambar 4.45. Di tahun 2030 permintaan energi final secara keseluruhan adalah 9.210,35 Ribu SBM, 8.994,58 Ribu SBM untuk skenario MOD, dan OPT. Subsektor tekstil 215
memiliki permintaan energi yang paling besar selama periode proyeksi. Di tahun 2030, permintaan energi final untuk subsektor tekstil adalah 27,02% dari keseluruhan permintaan energi di sektor industri. Permintaan energi final untuk aktivitas industri tekstil di tahun 2030 adalah sebesar 2.489,15 Ribu SBM, dan 2.395,06 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Subsektor industri non logam merupakan konsumen energi terbesar kedua dari keseluruhan energi final di sektor industri, yaitu sebesar 2.487,33 Ribu SBM dan 2.422,05 Ribu SBM untuk skenario MOD dan OPT, sedangkan sektor industri kimia memiliki permintaan energi terbesar ketiga dari keseluruhan energi final di sektor industri selama periode proyeksi. Persentase permintaan energi final untuk subsektor industri kimia sebesar 15,57% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor industri untuk scenario MOD dan OPT. Permintaan energi final untuk subsektor industri kimia adalah 1.420,14 Ribu SBM, dan 1.400,48 Ribu SBM.
Sumber : Lampiran P3 Gambar 4.44. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Subsektor Skenario BAU 216
Sumber : Lampiran P1 dan P2 Gambar 4.45. Permintaan Energi Final di Sektor Industri Berdasarkan Subsektor Skenario MOD dan OPT 4.3.4.4. Sektor Transportasi Permintaan energi final di sektor transportasi ditunjukkan pada Gambar 4.46, dan Gambar 4.47. Dari gambar tersebut hasil perhitungan permintaan energi final di sektor transportasi dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi yang berupa pengalihan moda dan diversifikasi energi CNG untuk menggantikan sebagian premium dan minyak solar serta skenario energi terbarukan yang berupa implementasi biodisel yang digunakan untuk menggantikan sebagian minyak solar. Skenario energi terbarukan di sektor transportasi digunakan untuk menganalisis dampak implementasi biodisel untuk menggantikan sebagian dari permintaan minyak solar. Di sektor transportasi, permintaan terhadap premium sangat dominan jika dibandingkan dengan
217
jenis energi yang lain. Premium digunakan di moda transportasi jalan raya, yaitu mobil penumpang, angkutan barang, dan sepeda motor. Di tahun 2030 permintaan terhadap premium untuk skenario MOD, dan OPT berturut-turut adalah sebesar 28.983,71 Ribu SBM, dan 26.676,78 Ribu SBM. Di tahun yang sama, persentase permintaan terhadap premium untuk skenario MOD, dan OPT berturut-turut adalah 35,88%, dan 38,79% terhadap keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Hasil yang diperoleh melalui skenario OPT memberikan nilai presentase permintaan terhadap permium yang turun sebesar 24,13% terhadap skenario BAU. Hasil ini diperoleh melalui diversifikasi penggunaan bahan bakar bioetanol yang digunkan baik untuk moda bus dan mobil pribadi. Permintaan terhadap bioetanol untuk skenario MOD dan OPT adalah sebesar 5.679,86 Ribu SBM dan 6.668,72 Ribu SBM di tahun 2030.
Sumber : Lampiran U3 Gambar 4.46. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
218
Sumber : Lampiran U1 dan U2 Gambar 4.47. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT Permintaan terhadap minyak solar dipengaruhi oleh skenario efisiensi energi, skenario energi terbarukan, dan skenario diversifikasi energi. Di tahun 2030 persentase permintaan terhadap minyak solar dari hasil skenario MOD dan OPT adalah 26,07% dan 24,8% terhadap keseluruhan permintaan energi di sektor transportasi. Nilai-nilai ini lebih rendah jika dibandingkan hasil skenario BAU di tahun yang sama, yaitu sebesar 31,96%. Di tahun 2030, permintaan terhadap minyak solar adalah sebesar 20.023,34 Ribu SBM, dan 17.989,76 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Di tahun 2030, permintaan terhadap biodisel adalah sebesar 17.687,12 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 12.719,86 Ribu SBM untuk skenario OPT. Berdasarkan skenario OPT, persentase permintaan terhadap biodisel hanya sebesar 18,43% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Avtur adalah jenis energi yang hanya digunakan oleh pesawat terbang. Permintaan 219
terhadap avtur di tahun 2030 adalah sebesar 1.531,95 Ribu SBM. Persentase permintaan terhadap avtur sebesar 1,89%% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Permintaan energi final di sektor transportasi berdasarkan jenis moda ditunjukkan pada Gambar 4.48 dan Gambar 4.47. Dari gambar tersebut moda transportasi jalan raya sangat dominan. Moda transportasi jalan raya ini terdiri dari mobil penumpang, sepeda motor, bus, dan angkutan barang (truk). Di tahun 2030 permintaan energi untuk moda jalan raya untuk skenario MOD, dan OPT berturutturut adalah sebesar 60.769,78 Ribu SBM, dan 52.558,79 Ribu SBM dengan persentase lebih dari 70% untuk kedua skenario tersebut dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi. Sepeda motor dan mobil penumpang memiliki permintaan energi yang paling besar. Permintaan energi jadi dua jenis moda transportasi ini untuk skenario MOD, dan OPT berturut-turut adalah sebesar 38.479,76 Ribu SBM, dan 34.960,12 Ribu SBM. Di lain pihak, permintaan energi final untuk moda kereta api adalah yang terkecil dengan permintaan di tahun 2030 sebesar 18.073 Ribu SBM atau 0,02% dari keseluruhan permintaan energi final di sektor transportasi.
220
Sumber : Lampiran T3 Gambar 4.48. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Moda Skenario BAU
Sumber : Lampiran T1 dan T2 Gambar 4.48. Permintaan Energi Final di Sektor Transportasi Berdasarkan Jenis Moda Skenario MOD dan OPT
4.3.4.5. Sektor Lainnya Permintaan energi final di sektor lainnya berdasarkan jenis energi ditunjukkan pada Gambar 4.49. Dari Gambar 4.50, permintaan terhadap premium merupakan 221
jenis energi yang paling banyak digunakan di sektor ini. Di tahun 2030 permintaan terhadap premium adalah sebesar 1.390,11 Ribu SBM, dan 1.376,23 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Permintaan terhadap premium terpengaruh baik oleh skenario efisiensi energi maupun skenario energi terbarukan. Sebagai hasilnya, permintaan terhadap premium berdasarkan skenario OPT menurun 15,46% jika dibandingkan dengan skenario BAU di tahun 2030. Di tahun yang sama, permintaan terhadap biodisel adalah 315,46 Ribu SBM untuk skenario MOD dan 318,64 Ribu SBM untuk skenario OPT. Permintaan terhadap minyak tanah di sektor lainnya masih cukup tinggi dibanding jenis energi lainnya yaitu mencapai 1.139,30 ribu SBM atau sebesar 23,22% di tahun 2030.
Sumber : Lampiran W3 Gambar 4.49. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Jenis Energi Skenario BAU
222
Sumber : Lampiran W1 dan W2 Gambar 4.50. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Jenis Energi Skenario MOD dan OPT
Permintaan energi final di sektor lainnya berdasarkan subsektor ditunjukkan pada Gambar 4.51, dan Gambar 4.52. Dari gambar tersebut terlihat bahwa subsektor konstruksi memiliki permintaan energi yang paling besar jika dibandingkan dengan subsektor-subsektor yang lain. Di tahun 2030 permintaan energi di subsektor konstruksi 4.312,52 Ribu SBM, dan 4.269,46 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Sebagai akibat dari implementasi energi efisiensi di dalam skenario OPT, permintaan energi final di sektor konstruksi berkurang 10,00% jika dibandingkan terhadap hasil yang diperoleh berdasarkan skenario BAU. Untuk subsektor pertanian, permintaan energi final di tahun 2030 adalah sebesar418,66 Ribu SBM, dan 414,48 Ribu SBM. Berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Berdasarkan skenario OPT, permintaan energi final di sektor pertanian berkurang 9,97% jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh berdasarkan skenario BAU. Subsektor pertambangan memiliki permintaan energi final yang palingkecil. 223
Permintaan energi final untuk subsektor ini adalah sebesar 175,62 Ribu SBM, dan 173,27 Ribu SBM berturut-turut untuk skenario MOD, dan OPT. Permintaan energi final di subsektor pertambangan berkurang 8,43% berdasarkan skenario OPT jika dibandingkan dengan skenario BAU.
Sumber : Lampiran V3 Gambar 4.51.Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Subsektor Skenario BAU
Sumber : Lampiran V1 dan V2 Gambar 4.52. Permintaan Energi Final di Sektor Lainnya Berdasarkan Subsektor Skenario MOD dan OPT 224
4.3.5. Efisiensi Penggunaan Energi Provinsi Jawa Tengah Indeks yang biasa digunakan untuk mengukur kebutuhan energi terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara adalah Efisiensi Energi dan Intensitas Energi. Efisiensi energi adalah pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) tertentu. Angka efisiensi energi di bawah 1,0 dicapai apabila energi yang tersedia telah dimanfaatkan secara produktif. Sedangkan Intensitas Energi adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto. Semakin efisien suatu negara, maka intensitasnya akan semakin kecil. Angka efisiensi yang relatif tinggi menunjukkan bahwa pemakaian energi termasuk tidak efisien atau boros. Kondisi ini juga mengindikasikan rendahnya daya saing industri karena terjadi inefisiensi energy yang berdampak pada tingginya biaya produksi. Berdasarkan serangkaian analisis yang telah dilakukan, efisiensi energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut:
225
Tabel 4.28. Efisiensi Energi Jawa Tengah Berdasarkan Skenario
Tahun Elastisitas Tahun Elastisitas
2015 1,17173 2023 1,38282
Tahun Elastisitas Tahun Elastisitas
2015 1,1053 2023 0,9060
Tahun Elastisitas Tahun Elastisitas
2015 1,1658 2023 0,7843
Base Line 2016 2017 2018 2019 2020 1,17720 1,18535 1,19641 1,22767 1,272970 2024 2025 2026 2027 2028 1,42562 1,45586 1,48264 1,51766 1,54325 Skenario Efisiensi Energi MOD 2016 2017 2018 2019 2020 1,0952 1,0835 1,0692 1,0334 1,0048 2024 2025 2026 2027 2028 0,8756 0,8399 0,8190 0,7935 0,7657 Skenario Efisiensi Energi OPT 2016 2017 2018 2019 2020 1,1485 0,9891 0,9645 0,9353 0,8964 2024 2025 2026 2027 2028 0,7504 0,72875 0,6958 0,6753 0,6562
2021 1,31894 2029 1,58286
2022 1,35532 2030 1,64358
2021 0,9642 2029 0,7288
2022 0,9254 2030 0,6916
2021 0,8407 2029 0,6334
2022 0,8105 2030 0,6121
Sumber : Lampiran M1, M2, M3 data diolah Dari tabel di atas tampak bahwa Efisiensi Energi di Wilayah Jawa Tengah dengan menggunakan Skenario BAU sampai dengan akhir tahun proyeksi masih lebih besar dari 1 ( e> 1), baik untuk energi listrik maupun BBM. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemakaian energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah belum efisien atau boros, karena untuk meningkatkan 1% pertumbuhan ekonomi memerlukan energi dalam jumlah yang lebih besar. Sementara itu berdasarkan Skenario efisiensi energi baik yang moderat maupun optimis dengan memasukan aspek kebijakan konservasi energi sebagaimana telah dikemukakan di atas, Efisiensi Energi di Provinsi Jawa Tengah sampai dengan akhir tahun proyeksi mencatat angka lebih kecil dari 1 (e<1), baik untuk energi listrik maupun BBM. Efisiensi penggunaan energi menurut skenario Moderat mulai dicapai pada tahun 2021 sampai akhir tahun proyeksi, sedangkan berdasarkan skenario
226
Optimis efisiensi energi sudah dicapai pada tahun 2017. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berbagai pelaksanaan program konservasi maka Provinsi Jawa Tengah dapat mengoptimalkan penggunaan energi menjadi lebih efisien. Implikasinya adalah bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1% hanya akan memerlukan penggunaan energi yang lebih kecil, dan energi yang tersedia akan dimanfaatkan secara produktif. Penggunaan energi yang lebih rendah relatif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi akan dapat dicapai kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan yang makin baik karena berkurangkan emisi gas buang (eksternalitas negatif) atas pemakaian energi. Menurunnya angka elastisitas energi berdasarkan Skenario efisiensi energi adalah karena adanya tindakan dan program-program konservasi terhadap pemakaian energy, sesuai dengan kebijakan yang diusulkan, yaitu langkah-langkah efisiensi, konservasi dan diversifikasi energi. Langkah efisiensi energi tersebut sangat penting, agar sumber daya yang terbatas bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, terutama bagi masyarakat yang belum beruntung mendapatkan pelayanan energi. Konservasi energi perlu dilakukan bukan karena negara saat ini secara finansial mengalami kesulitan untuk menyediakan energi secara murah, melainkan karena secara fundamental konservasi energi akan membuat pola konsumsi energi menjadi lebih sehat. Di sisi lain membiarkan konsumsi energi tumbuh cepat dan boros jelas akan sangat merugikan, baik dari sisi ekonomi, lingkungan maupun upaya untuk mempertahankan manfaat dari sumberdaya energi itu sendiri.
227
Upaya melakukan penghemtan energi bukanlah suatu hal yang mudah karena kompleksitas masalah dalam pengembangan budaya hemat energi ini menyangkut masalah struktural seperti intergrasi kebijakan hemat dalam kerangka umum pengembangan energi nasional, serta investasi yang masih rendah di sektor energi, terutama ketenaga-listrikan. Sementara itu, penghematan energi pada sektor industri juga membutuhkan investasi besar dalam perubahan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Gaya hidup dan budaya masyarakat yang masih boros energi merupakan salah satu masalah penting yang perlu diatasi. Langkah hemat energi tidak mungkin bisa tercapai hanya dengan mengandalkan peran pemerintah saja, namun harus menjadi gerakan masyarakat untuk mempromosikan gaya hidup hemat energi sebagai bagian dari budaya masyarakat. Hal tersebut juga perlu didukung melalui pengembangan pengetahuan untuk promosi produk-produk hemat energi yang mampu menjangkau masyarakat luas. 4.4. Pembahasan dan interpretasi 4.4.1. Perkiraan Permintaan Energi Final Keseluruhan Serangkaian analisis permintaan energi dan efisiensi energi yang telah dilakukan baik untuk wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), secara umum memberikan gambaran bahwa simulasi terhadap impelementasi program-program efisiensi energi melalui pemanfaatan potensi efisiensi energi serta pengembangan energi terbarukan penggunaan energi menjadi semakin efisien. Implementasi Road-map program-program konservasi melalui pengembangan energi terbarukan dan pemanfaatan potensi efisiensi energi tersebut ke 228
dalam simulasi teknik skenario proyeksi penggunaan energi, memperlihatkan penggunaan energi secara keseluruhan yang makin menurun setiap tahunnya. Secara keseluruhan permintaan energi baik di wilayah Jawa Tengah maupun DIY menggunakan skenario BAU, Efisiensi Energi Moderat, dan skenario Efisiensi Energi Optimis menunjukkan penggunaan yang makin berkurang. Kondisi ini dapat dicermati pada Tabel 4.29. Tabel 4.29. Dampak Pemanfaatan Potensi Efisiensi Dan Pengembangan Energi Terbarukan Terhadap Penggunaan Energi di Provinsi Jawa Tengah (Ribu SBM) Skenario 2015
2020
61.608,51 79.949,81 BAU 59.410,38 75.040,74 MOD 58.252,66 66.511,66 OPT Sumber : Lampiran M1, M2,M3
Tahun 2025 105.000,94 94.412,92 75.441,62
2030
Pertumb uhan (%)
Total Penggunaan Eenrgi
121.890,90 106.758,65 85.401,03
6,65 5,45 4,72
1.683.091,24 1.554.163,05 1.405.829,46
Permintaan energi final di wilayah Provinsi Jawa Tengah berdasarkan skenario BAU secara keseluruhan mencapai 1.683.091,24 Ribu SBM. Berdasarkan skenario efisiensi energi Moderat dan Optimis penggunaan energi mengalami penurunan, berturut-turut sebesar 1.554.163,05 Ribu SBM dan 1.405.829,46 Ribu SBM. Hal ini berarti penggunaan skenario OPT telah menurunkan penggunaan energi sebesar 16,47% bila dibandingkan dengan permintaan energi dengan menggunakan skenario BAU. Kondisi ini dapat dilihat dari gambar berikut :
229
Sumber : Lampiran M1, M2,M3 Gambar 4.53. Perkiraan Permintaan Energi Final Provinsi Jawa Tengah
Sementara itu, di wilayah DIY, pemanfaatan jenis energi terbarukan seperti energi matahari, energi angin, tenaga air, dan biomasa dikembangkan sebagai energi primer dalam penyediaan energi listrik. Biogas dan biodisel yang digunakan pada sisi permintaan yaitu untuk menggantikan sebagian jenis energi yang sesuai. Biogas digunakan untuk mengganti sebagian dari permintaan LPG, kayu bakar, dan briket batubara di sektor rumah tangga, sementara biodisel diimplementasikan untuk mengganti sebagian permintaan minyak solar di sektor komersial, industri, transportasi, dan sektor lainnya. Implementasi Road-map program-program konservasi melalui pengembangan energi terbarukan dan pemanfaatan potensi efisiensi energi tersebut ke dalam simulasi teknik skenario proyeksi penggunaan energi, memperlihatkan penggunaan energi secara keseluruhan dan tingkat pertumbuhan penggunaan energi yang makin menurun dari tahun ke tahun selama periode proyeksi. Kondisi tersebut dapat dicermati pada Tabel 4.29. 230
Tabel 4.30. Dampak Pemanfaatan Potensi Efisiensi Dan Pengembangan Energi Terbarukan Terhadap Penggunaan Energi DIY (Ribu SBM) Skenario
BAU MOD OPT
Tahun 2025
2015
2020
6.955,45 6.757,16 6.605,98
10.015,10 9.082,97 8.656,25
15.040,99 12.045,89 11.096,85
2030
Pertumb (%)
Total Penggunaan Energi
23.500,77 15.785,22 14.528,73
10,03 6,53 5,99
236.923,6 195.878,1 184.695,1
Sumber : Lampiran A1,A2,A3 Permintaan energi final keseluruhan di wilayah ini adalah sebesar 23.500,77 Ribu SBM, 15.578,22 Ribu SBM, dan 14.528,73 Ribu SBM di tahun 2030, untuk masing-masing skenario BAU, Efisiensi Energi MOD, dan Skenario Efisnesi energi OPT. Dengan demikian penggunaan skenario OPT terjadi penurunan penggunaan energi sebesar 22,04% bila dibandingkan dengan skenario BAU. Kondisi ini dapat dicermati dalam gambar berikut:
Sumber : Lampiran A1,A2,A3 Gambar 4.54. Perkiraan Permintaan Energi Final DIY
231
Penurunan penggunaan energi secara total selama tahun proyeksi seiring dengan pemanfaatn potensi efisiensi energi per sektor serta program pengembangan energi terbarukan, selaras dengan out-look bauran energi yang diterbitkan oleh Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia Tahun 20112030. Berdasarkan out-look tersebut, di akhir tahun 2030 pangsa energi fosil atau minyak perannya semakin berkurang, sementara pangsa energi terbarukan perannya semakin besar, dari 4,7% di tahun 2010 menjadi 13,5% di tahun 2030. Dari pemanfaatan energi terbarukan, wilayah Provinsi Jawa Tengah menyumbang sebesar 1,17% terhadap pemanfaatan energi terbarukan secara nasional, sementara DIY memberi kontribusi sebesar 0,44%. Sebagai satu-kesatuan sistem pembangunan energi, maka baik wiilayah Provinsi Jawa Tengah maupun DIY tidak dapat lepas dari kebijakan energi nasional. Oleh karena itu, satu kebijakan dasar yang perlu ditegaskan dalam perencanaan efisiensi energi di kedua wilayah ini adalah mendukung implementasi kebijakan energi nasional.
Sumber : Kementrian ESDM RI Tahun 2009 Gambar 4.55. Proyeksi Bauran Energi Primer Indonesia 2030 232
Implikasi dari penurunan penggunaan energi secara keseluruhan terkait implementasi program konservasi dan pemanfaatan potensi energi terbarukan adalah disamping akan terjaminnya pasokan energi bagi aktivitas ekonomi masyarakat juga energi makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi yang memiliki karakter; 1.
Dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi
2.
Dapat menyediakan energi dalam skala lokal regional
3.
Mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta
4.
Cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.
Oleh karena itu momentum krisis energi ini saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menata kembali kebijakan yang mendukung efisiensi penggunaan energi dan mengoptimalkan berbagai potensi energi yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY dan segera harus dilakukan. 233
Lebih lanjut, konservasi energi melalui program pengebangan potensi energi terbarukan yang ada, juga akan berdampak pada meningkatkatnya kesehatan lingkungan karena terjadi pengurangann emisi gas CO₂. Oleh karena dalam penelitian ini permintaan energi dilakukan terhadap seluruh aktivitas ekonomi, yaitu sektor rumah tangga, transportasi, industri, komersial, dan sektor lainnya dimana sektorsektor ini adalah pembentuk nilai tambah perekonomian daerah, maka nilai tambah yang dihasilkan setiap sektor merupakan nilai tambah yang memberikan kontribusi pada lingkungan yang makin sehat. Inilah yang kami sebut juga sebagai Ekonomi Hijau melalui pendekatan konservasi energi. Ekonomi hijau merupakan ekonomi yang menghasilkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan serta tidak membuat generasi mendatang mengalami resiko lingkungan karena aktivitas ekonomi. 4.4.2. Perkiraan Permintaan Energi Final Per Sektor Secara sektoral, penggunaan energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun di wilayah DIY didominasi oleh sektor transportasi sebagai konsumen terbesar, dengan penggunaan energi mencapai lebih dari 60% dari energi final secara keseluruhan. Sedangkan sektor rumah tangga merupakan konsumen terbesar kedua dengan persentase masing-masing untuk Provinsi Jawa tengah dan DIY berturut-turut sebesar 20,67% dan 19,5% dari energi final secara keseluruhan. Dari sisi sektor transportasi, moda roda dua dan mobil pribadi mendominasi penggunaan energi, sementara sementara dari sisi golongan pendapatan di sektor rumah tangga di kedua 234
wilayah baik wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun DIY, golongan pendapatan sedang merupakan konsumen terbesar, meliputi 43,34% dan 55% terhadap keseluruhan permintaan energi final secara keseluruhan. Kondisi ini dapat dipahami karena jumlah rumah tangga golongan sedang ini merupakan jumlah terbesar dari seluruh jumlah rumah tangga yang ada di kedua wilayah penelitian Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 4.56 berikut.
Gambar 4.56. Penggunaan Energi Final Per Sektor di Provinsi Jawa Tengah dan DIY
Meskipun berdasarkan skenario pemakaian energi di kedua sektor ini menurun, namun dominasi moda roda dua dan mobil pribadi serta rumah tangga dalam penggunaan energi, menunjukkan bahwa penggunaan energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun DIY relatif masih bersifat konsumtif sehingga sebagian besar penggunaan energi belum sepenuhnya untuk mendorong peningkatan nilai tambah ekonomi di kedua wilayah ini. Implikasi dari perkiraan energy final per sektor di Provinsi Jawa Tengah maupun DIY, maka untuk menjamin pasokan energi
235
di kedua wilayah ini, pemerintah harus mampu menyediakan kebutuhan energy sebagaimana tampak dalam table berikut 4.31. Tabel 4.31. Kebutuhan Energi Pada Tahun 2030 No 1 2 8 9 10
Provinsi Jawa Tengah Jenis Energi Kebutuhan Listrik (MWh) 12.837.719,22 Premium (KL) 8.087.759,69 LPG (Ton) 1.050.735,52 Batubara (Ton) 459.523,92 Briket Batubara (Ton) 134.101,24
D I Yogyakarta Jenis Energi Kebutuhan Listrik (MWh) 2.746,28 Premium (KL) 1.117.074,14 LPG (Ton) 135.078,48 Batubara (Ton) Briket Batubara (Ton) 176,78
4.4.3. Efisiensi Penggunaan Energi Tindakan dan program-program konservasi terhadap pemakaian energy, sesuai dengan skenario
yang digunakan,
yaitu
langkah-langkah efisiensi dengan
pemanfaatan potensi efisiensi yang ada, konservasi dan diversifikasi energi melalui pengembangan energi terbarukaan telah menghasilkan penggunaan energi yang makin efisien. Efisiensi penggunaan energi ditunjukkan dengan tingakt besarnya elastisitas atas penggunaan energi tersebut terhadap pembentukan nilai tambah ekonomi di wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun DIY. Angka elastisitas energi di bawah 1,0 akan dapat dicapai apabila energi yang tersedia telah dimanfaatkan secara produktif. Angka efisiensi energi yang relatif tinggi menunjukkan bahwa pemakaian energi termasuk tidak efisien atau boros. Kondisi ini juga mengindikasikan rendahnya daya saing industri karena terjadi inefisiensi energi yang berdampak pada tingginya biaya produksi Berdasarkan serangkaian analisis yang telah dilakukan, Efisiensi Energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY adalah sebagai berikut :
236
Sumber :Tabel 4.40 Gambar 4.44. Efisiensi Penggunaan Energi Provinsi Jawa Tengah
Sumber :Tabel 38 Gambar 4.45. Efisiensi Penggunaan Energi di DIY Berdasarkan Gambar 4.48 dan Gambar 4.49 di atas tampak bahwa Efisiensi Energi di kedua wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY dengan menggunakan Skenario BAU sampai dengan akhir tahun proyeksi masih lebih besar dari 1 ( e > 1). Kondisi ini menggambarkan bahwa pemakaian energi dikedua wilayah tersebut belum efisien atau boros, karena untuk meningkatkan 1% pertumbuhan ekonomi memerlukan energi dalam jumlah yang lebih besar. Sementara itu berdasarkan skenario efisiensi energi baik MOD maupun OPT dengan memasukan aspek 237
kebijakan konservasi energi sebagaimana telah dikemukakan di atas, Efisiensi Energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY sampai dengan akhir tahun proyeksi mencatat angka lebih kecil dari 1 (e<1). Efisinesi penggunaan energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah dicapai mulai tahun 2021 dan tahun 2017 masing-masing untuk skenario Efisiensi Energi MOD dan skenario Efisiensi Energi OPT. Sedangkan efisiensi penggunaan energi di DIY dicapai mulai tahun 2024 dan tahun 2019 masing-masing untuk skenario Efisiensi Energi MOD dan skenario Efisiensi Energi OPT. Pencapaian efisiensi energi melalui skenario efisiensi, di wilayah Provinsi Jawa Tengah lebih awal daripada yang dicapai oleh DIY. Kondisi ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yang relatif lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi DIY, sementara itu pertumbuhan permintaan energi di Provinsi Jawa Tengah lebih rendah daripada pertumbuhan permintaan energi di DIY. Pertumbuhan energi yang lebih tinggi di DIY disebabkan karena wilayah ini menjadi pilihan masyarakat sebagai destinasi tujuan wisata, belajar, belanja, maupun tempat tinggal, sehingga berimplikasi pada makin banyaknya kebutuhan energi guna mendukung aktivitas ekonomi masyarakat. Di sisi lain, DIY juga tidak memiliki sumber energi fosil yang dapat mendukung aktivitas ekonomi masyarakat. Efisiensi penggunaan energi yang rendah juga menunjukkan bahwa dengan berbagai pelaksanaan program konservasi maka baik Provinsi Jawa Tengah maupun DIY dapat mengoptimalkan penggunaan energi menjadi lebih efisien. Implikasinya adalah bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1% hanya akan 238
memerlukan penggunaan energi yang lebih kecil, dan energi yang tersedia akan dimanfaatkan secara produktif. Penggunaan energi yang lebih rendah relatif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi akan dapat dicapai kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan yang makin baik. 4.4.4. Implikasi Upaya Pencapaian Efisiensi Energi di Provinsi Jawa Tengah dan DIY Berdasarkan hasil analisis prakiraan permintaan energi final dalam berbagai sektor dan berbagai jenis energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY dengan skenario BAU, MOD, dan skenario OPT sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka implikasinya upaya efisiensi penggunaan energi adalah : a. Meningkatkan efisiensi, konservasi dan pelestarian lingungan hidup dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi. Dalam hal penggunaan energi, posisi strategis DIY sekarang ini memang masih lebih banyak berperan pada posisi pengguna daripada penyedia energi (dalam arti produksi kuantitas yang memadahi). Meskipun demikian, di DIY tetap memiliki potensi sumber-sumber energi yang dapat dikembangkan dan dikelola. Sementara itu wilayah Provinsi Jawa Tengah, meskipun telah memiliki sumber energi fosil yang cukup potensial, namun sebagian produksinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di wilayah lain, seperti DIY. Energi fosil pun di wilayah Provinsi Jawa Tengah masih dipasok dari daerah lain, yaitu dari kilang Balongan dan Unit Pengapon. Permintaan energi di kedua wilayah ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi masyarakat.
239
Oleh karena itu, kebijakan dasar yang dikembangkan perlu berpegang pada berprinsip efisiensi, konservasi, dan pelestarian lingkungan hidup, baik dalam pengelolaan maupun penggunaan energi. Dalam hal pemanfaatan energi, disandarkan pada paradigma bahwa energi merupakan modal untuk pembangunan, maka penggunaan energi harus efisien dan efektif guna mendukung proses pembangunan. Prinsip efisiensi ini sangat perlu ditekankan dan dikedepankan karena energi menjadi modal pembangunan yang sifatnya terbatas. Diperkirakan hingga tahun 2030, basis energi yang digunakan di Provinsi Jawa tengah maupun DIY masih didominasi energi yang diproduksi dari energi fosil, terlebih lagi sifat nilai/harga energi masih mengandung
unsur
subsidi
(belum
semua
harga
energi
sesuai
harga
keekonomiaannya). Pola konsumsi energi yang efisien sangat terkait dengan pola pikir dan sikap hidup. Oleh karena itu, upaya membangun pola pikir dan sikap hidup efisien dalam penggunaan energi ini diperlukan program dan tindakan yang terstruktur dan berkesinambungan. Pola pikir dan sikap hidup dapat dipengaruhi melalui edukasi berkelanjutan sejak usia dini terkait dengan pemanfaatan energi; program dan kegiatan pengkondisian lingungan (insentif dan disinsentif) sehingga konsumen energi (masyarakat, industri, dan pemerintah) memiliki sikap dan tindakan yang mendukung efisiensi konsumsi energi. Sikap konsumsi efisien dalam penggunaan energi, tidak lepas dari upaya strategis lain berupa konservasi dan pelestarian lingkungan hidup. Sebagaimana sikap efisiensi, proses konservasi dan pelestarian lingkungan hidup juga terkait dengan pola pikir dan sikap hidup.Oleh karena itu, 240
upaya pengkondisian pada perilaku konsumen untuk efisiensi dalam konsumsi energi, konservasi dan melestarikan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan tindakan yang dapat dikondisikan secara simultan. Secara teknis, proses konsumsi energi yang efisien dan efektif yang dikembangkan pada konsumsi rumah tangga, perusahaan, maupun instansi pemerintah perlu dilakukan pengukuran kinerjanya melalui proses audit energi. Dalam hal ini, audit energi tidak semata difahami sebagai proses sistematis dengan instrumen dan parameter-parameter terstandar sebagaimana yang sudah dilakukan secara parsial selama ini, namun dalam kebijakan ini lebih didorong agar para pihak melakukan self assessment atas optimasi penggunaan energi. Dengan demikian, perlu ada program dan kegiatan yang mendorong dan memfasilitasi sehingga para pihak (masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah) secara suka rela melakukan self assessment atas penggunaan energi secara kontinu dan melakukan tindakantindakan praktis untuk meningkatan pola konsumsi energi yang efisien dan efektif. Beberapa kegiatan dan uapaya yang dapat dilakukan bias dicermati dalam table 4.32
241
Tabel 4.32. Program dan Kegiatan Upaya Efisiensi Energi Meningkatkan Efisiensi, Konservasi dan Pelestarian Lingungan Hidup dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Energi
Program
Pengembangan budaya perilaku konsumsi energi yang efisien
Penyusunan Regulasi Efisiensi Konsumsi dan Konservasi Energi
Kegiatan
Leading Sektor
Sektorterkait
Audit energy pada instansi pemerintah dan Dinas PUP dan swasta ESDM Pengembangan instrumen self assessment Dinas PUP dan konsumsi energi ESDM
Semua dinas, swata Forum Energi, Perguruan tinggi Sosialisasi dan implementasi instrumen self Dinas PUP dan Forum Energi, assessment konsumsi energi ESDM Perguruan tinggi, Media Masa Kampanye pola konsumsi energy yang efektif Dinas PUP dan Dinas ESDM Informatika, Pemda kab/kota, Forum energy daerah Kerjasama media masa untuk kampanye hemat Dinas PUP dan Media masa energi ESDM (cetak dan elektronik) Penghargaan Lembaga dan Individu Peduli Dinas PUP dan Semua dinas, Efisiensi dan Konservasi Energi ESDM forum energy, pemkab/kot Penyusunan peraturan pajak daerah terkait Dinas PUP dan DPRD, dengan pajak kendaraan yang berperspektif ESDM Bappeda, efisiensi dan konservasi energy Dispenda Koordinasi regulasi fiskal terkait dengan Dinas PUP dan Pemda konservasi energi ESDM Kab/kota, Dispenda
b. Meningkatkan Pangsa Sumber Daya Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Upaya meningkatkan pangsa sumberdaya baru dan terbarukan (EBT) menjadi bagian kebijakan efisiensi energi baik di wilayah Provinsi Jawa Tengah maupun DIY 242
yang sangat strategis untuk dilakukan. Upaya meningkatkan kemampuan pasokan energi baru terbarukan ini didasarkan pada berbasis potensi lokal. Potensi alam di kedua wilayah ini dan kegiatan masyarakat produksi yang terkait dengan sumbersumber EBT sangat mendukung untuk meningkatkan pangsa EBT dalam bauran energi. Meskipun pangsa EBT ditargetkan terus meningkat sejalan dengan target nasional, namun dalam proyeksi jangka panjang dalam periode perencanaan ini, posisi EBT masih minoritas dibandingkan jenis energi yang bersumber dari energi fosil. Proses penggalian dan pemanfaatan sumber energi terbarukan (EBT) secara terstruktur dilakukan melalui program dan kegiatan penelitian, pengembangan, rekayasa teknis, percontohan/model pengembangan, serta upaya-upaya insentif dan disinsenif pada kegiatan-kegiatan pengembangan EBT yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, masyarakat, perusahaan swasta maupun instansi pemda. Proses pengembangan dan optimalisasi sumber-sumber EBT dilakukan lintas sektor, oleh karena itu diperlukan kesepahaman dan sinergitas program dan kegiatan lintas instansi serta tetap mengedepankan partisipasi publik (masyarakat dan perusahaan swasta) dalam implementasi pengembangan EBT. Beberapa kegiatan dan uapaya yang dapat dilakukan bias dicermati dalam tabel 4.33
.
243
Tabel 4.33. Program Dan Kegiatan Upaya Efisiensi Energi Meningkatkan Pangsa Sumber Daya Energi Baru Dan Terbarukan (EBT)
Program
Pengembangan Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan (EBT)
Kegiatan
Leading Sektor
Perencanaan Detail Pengembangan Bappeda Obyek Potensial Energi Baru Terbarukan Pengembangan inovasi dan teknologi Dinas PUP dan Energi Baru Terbarukan ESDM Evaluasi Pengembangan Energi Baru Dinas PUP dan Terbarukan ESDM
Meningkatkan ketersediaan sarana penyedia Energi Baru Terbarukan (EBT)
Pengembangan model-model sumber energy baru terbarukan
Dinas PUP dan ESDM
Stimulan/subsidi pengembangan Dinas PUP dan sumber energy baru terbarukan ESDM
SektorTerkait
Dinas PUP dan ESDM, Pemda kab/kota Bappeda, Pemdakab/ kota, Perguruan Tinggi Bappeda, Pemda kab/ kota, Dinas terkait, Bappeda, Pemda kab/ kota, Perguruan Tinggi Dinas pertanian, perkebunan, peternakan, industri, Pemda kab/kota
c. Meningkatkan Partisipasi Publik (Masyarakat/Pelaku Usaha Swasta) dalam Pengembangan Energi Secara Mandiri Terkait dengan program pengembangan EBT untuk meningkatkan rasio bauran energi, maka partisipasi publik menjadi tumpuan utama pelaksanaan kebijakan ini. Proses peningkatan partisipasi dilakukan secara sistimatis melalui program dan kegiatan yang bersifat insentif. Tumpuan partisipasi publik dalam pengembangan EBT karena sumber daya dan potensi mayoritas berada pada publik. Proses sosialisasi, edukasi, dan percontohan/modeling yang selama ini sudah 244
dilakukan masih perlu diintensifkan dan ditingkatkan pada skala yang lebih luas. Secara praksis, publik akan merespon kebijakan pengembangan EBT selama publik mendapatkan nilai tambah (teknis dan ekonomi) dari kegiatan pengembangan EBT tersebut. Untuk itu, proses edukasi, sosialisasi dan insentif merupakan langkah strategis dalam implementasi kebijakan peningkatan partisiasi publik dalam pengembangan dan pengelolaan energi secara mandiri. Beberapa kegiatan dan uapaya yang dapat dilakukan bias dicermati dalam tabel 4.34. Tabel 4.34. Program dan Kegiatan Umum Perencanaan Energi Meningkatkan Partisipasi Publik dalam Pengembangan Energi Secara Mandiri
Program
Kegiatan
Peningkatan Pengembangan Model Investasi partisipasi Swasta/Masyarakat dalam Penyedian Energi swasta/masyarak at dalam penyediaan Penyediaan stimulan/subsidi pada pelaku energi (swadaya) swasta/masyarakat dalam pengembangan swadaya energi
Penghargaan Swadaya Energi Terbarukan
Leading Sektor Dinas PUP dan ESDM
Dinas PUP dan ESDM
Dinas PUP dan ESDM
SektorTerkait
Bapeda, Perguruan Tinggi, BKPM, Pemda kab/kota Dinas perindustrian, Dinas pertanian, perkebunan, peternakan, Pemda kab/kota Forum Energi, Pemda kab/kota
d. Mendukung Implementasi Kebijakan Energi Nasional.
Sebagai satu-kesatuan sistem pembangunan energi, maka daerah tidak dapat lepas dari kebijakan energi nasional. Oleh karena itu, satu kebijakan dasar yang perlu ditegaskan dalam perencanaan efisiensi energi di wilayah Provinsi Jawa Tengah 245
maupun DIY adalah mendukung implementasi kebijakan energi nasional. Bentuk dukungan, bukan berarti semua kebijakan nasional langsung diadopsi dan diimplementasikan, namun juga membangun sikap kritis atas kebijakan yang akan dilaksanakan sehingga tidak berbenturan dengan kepentingan publikdi kedua wilayah ini secara luas. Setiap kebijakan daerah yang mendukung implementasi kebijakan energi nasional tetap perlu melalui langkah-langkah kebijakan sebagaimana prinsipprinsip desentralisasi seiring dengan semangat Otonomi Daerah. Dalam hal ini, kegiatan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan terkait dengan penyediaan dan penggunaan energi menjadi mutlak diperlukan. Selain itu, penguatan kelembagaan bidang energi juga bagian dari implementasi kebijakan ini, sehingga kelembagaan yang sudah ada seperti Forum Energi Daerah yang merupakan wadah lintas instansi yang konsern dalam pembangunan energi di daerah tetap perlu difasilitasi dan dilibatkan dalam membahas kebutuhan ataupun merespon atas kebijakan energi dari pemerintah pusat.
246