BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dasar hukumnya adalah Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pada ayat ini dinyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan sebagai berikut: “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK adalah laporan hasil pemeriksaan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, hasil pemeriksaan BPK harus berdasarkan standar pemeriksaan. Ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut: “Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan
1
2
profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan, yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan2 sebagai keputusan BPK.” Standar yang digunakan dalam pemeriksaan adalah berdasarkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, atau yang biasa disebut dengan SPKN. Salah satu hal yang diatur di dalam SPKN adalah Standar Pelaporan. Terdapat tiga Standar Pelaporan di dalam SPKN, yaitu: 1. Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan di dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 03; 2. Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja di dalam PSP 05; dan 3. Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu di dalam PSP 07. Berdasarkan SPKN, Pelaporan Pemeriksaan Keuangan antara lain harus memuat Pelaporan tentang Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan PerundangUndangan. Laporan atas kepatuhan mengungkapkan: (1) ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan
perundang-undangan
termasuk
pengungkapan
atas
penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana; dan (2) ketidakpatutan yang signifikan.1 Pengungkapan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan mengenai penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana tersebut ada kaitannya dengan hubungan BPK dengan instansi yang berwenang.
1
Lihat Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4707)
3
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur lebih rinci dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahuinya adanya unsur pidana tersebut. Laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang berkaitan dengan kerugian negara adalah tindak pidana korupsi (TPK). Tindak pidana tersebut secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 26 undang-undang tersebut menyatakan: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang biasa disebut
4
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Pasal 106 KUHAP, penyidik yang mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka penyidik dapat melakukan penyidikan yang bukan didasarkan pada laporan, atau dalam hal ini adalah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Penyidik dapat melakukan penyidikan berdasarkan sesuatu yang diketahuinya atau berdasarkan pengaduan. Meskipun tidak didasarkan pada LHP BPK, penyidikan atas suatu TPK masih dapat berhubungan dengan BPK. Keterlibatan BPK dalam penanganan perkara yang bukan didasarkan pada LHP BPK antara lain berkaitan dengan kewenangan BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, yaitu menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dalam pelaksanaannya terdapat temuan dalam LHP BPK yang tindak lanjut rekomendasinya berupa putusan pengadilan. Permasalahan yang muncul adalah ketika putusan pengadilan menyatakan bahwa nilai kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dalam perkara tersebut tidak sama dengan nilai kerugian negara yang dalam LHP BPK direkomendasikan untuk dikembalikan. Hal tersebut dapat mempengaruhi status tindak lanjut rekomendasi temuan tersebut dalam pemantauan.
5
Salah satu contohnya adalah temuan dalam LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Kulon Progo Tahun Anggaran (TA) 2005. Dalam LHP tersebut terdapat dua temuan yang berujung pada putusan pengadilan yang sama, yaitu Putusan Nomor 132/Pid.B/2008/PN.Wt. Rekomendasi BPK antara lain sebagai berikut: 1. Bupati Kulon Progo agar menegur dan memerintahkan Plt. Sekretaris Daerah supaya segera mengembalikan pinjaman pribadi kepada Pemegang Kas Sekretariat
Daerah
sebesar
Rp109.500.000,00
(Rp47.500.000,00
+
Rp62.000.000,00) dan menarik kerugian daerah atas bantuan penyelenggaraan tugas pemerintahan sebesar Rp112.950.000,00 serta menyetorkannya ke Kas Daerah. 2. Bupati Kulon Progo agar menegur Kepala BPKD yang telah mentolerir adanya penggunaan uang daerah untuk kepentingan pribadi dan memerintahkan agar pinjaman uang daerah sebesar Rp100.000.000,00 segera dikembalikan kepada Pemegang Kas. 3. Bupati Kulon Progo agar memerintahkan Kepala BPKD untuk menegur Pemegang Kas BPKD dan segera menyetorkan sisa UUDP yang menjadi tanggung jawabnya ke Kas Daerah sebesar Rp108.182.250,00. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo telah melakukan beberapa tindak lanjut terhadap rekomendasi dari BPK tersebut. Tindak lanjut dari Pemerintah Kabupaten Kulon Progo adalah sebagai berikut: 1. Teguran
6
2. STS atas kerugian daerah bantuan sebesar Rp112.950.000,00. 3. Sebagian sisa UUDP telah disetor ke Kas Daerah sebesar Rp8.162.250,00 pada tanggal 10 Juni 2006. 4. Kasus tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan. Berdasarkan Putusan Nomor 132/Pid.B/2008/PN.Wt tanggal 23 Februari 2009, Plt. Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi terus-menerus sebagai perbuatan yang dilanjutkan. Majelis Hakim mejatuhinya hukuman pidana penjara selama dua tahun, pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut maka dapat diganti dengan hukuman kurungan selama satu bulan, dan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp592.410.088,00 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita dan dilelang. Dengan telah dilakukannya penyetoran sebagian uang tersebut, maka dalam pemantauan tindak lanjut rekomendasi oleh BPK tercatat bahwa masih terdapat sisa nilai rekomendasi sebesar Rp309.500.000,00. Nilai tersebut berbeda dengan nilai uang pengganti yang harus dibayar oleh terdakwa berdasarkan putusan pengadilan. Di antara keduanya terdapat selisih sebesar Rp282.910.088,00. Contoh yang kedua adalah perkara TPK yang ditangani oleh Pengadilan Tipikor
(Tindak
Pidana
Korupsi)
Yogyakarta,
yaitu
Putusan
Nomor
27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor-Yk. Penyidikan yang dilakukan dalam perkara tersebut
7
bukan atas LHP BPK. Peran BPK dalam penanganan perkara tersebut berupa Laporan Penghitungan Kerugian Negara serta pemberian keterangan ahli di persidangan. Penghitungan kerugian keuangan negara tersebut dilakukan atas permintaan Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagaimana tertuang dalam Surat Kepala Kejaksaan Tinggi DIY Nomor R-732/0.4/Fd.1/12/2012 tanggal 12 Desember 2012 tentang Bantuan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah terhadap TPK dalam Kegiatan Operasional Bus Trans Jogja oleh PT JTT yang Dibiayai dari APBD Provinsi DIY. Dalam laporan tersebut disimpulkan bahwa telah terjadi indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp413.437.743,00. Sementara itu, dalam Putusan Pengadilan Tipikor Yogyakarta Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor-Yk dinyatakan bahwa terdakwa dinyatakan telah sah menurut hukum dan meyakinkan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan. Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp50.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Majelis Hakim tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Terhadap putusan tersebut telah dilakukan upaya hukum. Di tingkat banding, Majelis Hakim menguatkan Putusan Pengadilan Tipikor Yogyakarta Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk. Sementara pada tingkat kasasi Mahkamah
8
Agung membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 8/TIPIKOR/2014/PT.Y tanggal 30 Mei 2014. Putusan Kasasi tersebut menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TPK secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut. Mahkamah menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp200.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Mahkamah juga menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp413.437.743,00, dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dan terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun. Sebelum sampai pada putusan, salah satu tahapan yang harus ditempuh dalam penanganan suatu perkara di pengadilan adalah pembuktian. Dasar pembuatan keputusan oleh hakim adalah alat-alat bukti yang ada dalam persidangan. Alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan penggolongan tersebut, laporan dari BPK termasuk dalam kategori alat bukti surat. Ketentuan mengenai batasan agar suatu surat dapat digunakan sebagai suatu alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Salah satunya adalah surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
9
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Berkaitan dengan tugasnya sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, maka alat bukti dari BPK digunakan dalam proses pembuktian perkara yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam perkara TPK, peran BPK adalah dalam proses pembuktian unsur “yang dapat merugikan negara”. Hal ini berkaitan dengan kewenangan BPK untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat dua rumusan masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana kekuatan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai alat bukti dalam penentuan nilai kerugian negara oleh hakim dalam Putusan Nomor 132/Pid.B/2008/PN.Wt dan Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk? 2. Bagaimana mekanisme tindak lanjut terhadap rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan apabila Putusan Nomor 132/Pid.B/2008/PN.Wt dan Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk menyatakan nilai kerugian negara yang berbeda dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan?
10 C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kekuatan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai alat bukti dalam penentuan nilai kerugian negara oleh hakim dalam Putusan Nomor 132/Pid.B/2008/PN.Wt dan Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk. 2. Mengetahui mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan terhadap
rekomendasi
Badan
Pemeriksa
Keuangan
apabila
Putusan
Nomor
132/Pid.B/2008/PN.Wt dan Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Yk menyatakan nilai kerugian negara yang berbeda dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. D. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, belum ada penulisan hukum dengan judul “Implikasi Perbedaan Penghitungan Nilai Kerugian Negara dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dengan Putusan Pengadilan terhadap Penyelesaian Kerugian Negara”. Di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada terdapat beberapa penulisan yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan rencana penelitian ini, yaitu antara lain:
11
1. Dasar-dasar Penentuan Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Delik Korupsi terhadap Kekayaan Negara yang Dipisahkan pada BUMN 2 Penulisan hukum tersebut memiliki rumusan masalah sebagai berikut. a. Apakah dasar penentuan kerugian keuangan negara pada kekayaan
negara yang dipisahkan pada BUMN? b. Bagaimana menentukan kerugian keuangan negara?
2. Penyelesaian Kerugian Negara terhadap Bendahara Berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 20073 Penulisan hukum tersebut memiliki rumusan masalah sebagai berikut. a. Bagaimana mekanisme penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara
berdasarkan Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007? b. Bagaimana kedudukan Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang
“Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara terhadap Bendahara” dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia? c. Apakah penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara berhasil guna
untuk pemulihan keuangan negara dan peningkatan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara?
2
Esther Kumalasari, 2010, “Dasar-dasar Penentuan Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Delik Korupsi terhadap Kekayaan Negara yang Dipisahkan pada BUMN”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Riyanita Wulandari, 2010, “Penyelesaian Kerugian Negara terhadap Bendahara Berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2007”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
12
3. Tanggung Jawab Pegawai Negeri Bukan Bendahara terhadap Penyelesaian Kerugian Negara dalam Pengelolaan Barang Milik Negara 4 Penulisan hukum tersebut memiliki rumusan masalah sebagai berikut. a. Bagaimana tanggung jawab pegawai negeri bukan bendahara terhadap
penyelesaian kerugian negara dalam pengelolaan barang milik negara? b. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian kerugian negara
oleh pegawai negeri bukan bendahara dalam pengelolaan barang milik negara? Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Perbedaannya adalah bahwa penelitian ini bukan mengkaji mengenai bagaimana cara menentukan nilai kerugian negara atau bagaimana penyelesaian kerugian negara, melainkan lebih spesifik mengkaji mengenai kerugian negara yang sampai menjadi perkara di pengadilan. Penelitian ini berusaha menjawab apa fungsi Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dalam proses penanganan perkara di pengadilan dan bagaimana tindak lanjut terhadap putusan pengadilan yang menyatakan nilai kerugian negara yang berbeda dengan nilai yang dinyatakan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan.
4
Arif Rahmanto, 2014, “Tanggung Jawab Pegawai Negeri Bukan Bendahara terhadap Penyelesaian Kerugian Negara dalam Pengelolaan Barang Milik Negara”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
13
E. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut. 1. Hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Hasil penelitian ini dapat menyumbang pemikiran dalam upaya penyelesaian kerugian negara.