Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ANTHRAX PADA MANUSIA DI WILAYAH KECAMATAN BABAKAN MADANG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT TAHUN 2004 YUYUN KURNIAWATI, HARYOTO KUSNOPUTRANTO dan GINDO M SIMANJUNTAK Universitas Sriwijaya Palembang
ABSTRAK Penyakit Anthrax merupakan penyakit zoonosa, dimana penularan penyakit ini melalui hewan berdarah panas kepada manusia. Masyarakat Jawa Barat mengatakan penyakit ini adalah caneung hideung atau Pesdar. Penyakit anthrax ini mempunyai empat tipe yaitu: tipe kulit (Cutaneous anthrax), tipe pencernaan (Gastro intestinal anthrax), tipe pernafasan (Pulmonary anthrax) dan tipe radang otak (Meningitis anthrax). Penelitian ini adalah untuk menggambarkan dinamika penularan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit anthrax yang terjadi pada manusia di Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study. Lokasi penelitian adalah di empat desa di Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yakni Desa Karang Tengah, Desa Kadumangu, Desa Citaringgul dan Desa Dipambuan. Lokasi tersebut diambil karena merupakan daerah endemis penyakit anthrax. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposif dan multi stage random sampling, sehingga sampel yang diteliti adalah 286 kepala keluarga. Dilakukannya wawancara mendalam dan observasi terhadap responden yang memiliki maupun yang tidak memiliki hewan dan kandang ternak. Dan hasilnya dianalisa dengan menggunakan uji Kai Kuadrat dan uji Regresi Logistic Ganda. Hasil analisa menunjukkan adanya hubungan yang bermakna ( p value < 0,05) antara saluran pembuangan air limbah (OR = 4,5), jarak kandang dengan rumah (OR = 0,23) dan riwayat makan daging (OR = 24,4) terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia. Sedangkan faktor yang dominan terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia adalah jarak kandang dengan rumah (OR = 0,6), saluran pembuangan air limbah (OR = 3,3), kebersihan kandang (OR = 0,5), vaksinasi (OR = 1,1) dan riwayat makan daging (OR = 8,3). Dinamika penularan penyakit anthrax pada manusia tahun 2004 yang terjadi di wilayah Babakan Madang Kabupaten Bogor Jawa Barat yang menjadi faktor paling dominan adalah adanya riwayat makan daging dan jeroan dari hasil ternak. Untuk menyikapi supaya tidak terjadi wabah anthrax berulang kembali, maka penting adanya keterbukaan antara masyarakat dan dinas terkait yaitu dinas kesehatan dan dinas peternakan untuk menanggulangi masalah kejadian anthrax ini. Kata kunci: Jarak kandang, saluran pembuangan, kebersihan kandang, vaksinasi anthrax riwayat makan dan wabah
PENDAHULUAN Daerah endemis anthrax di Indonesia tercatat ada 11 propinsi yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, NTB, NTT, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Papua (DEPKES RI, 2004). Pada tahun 2002 di Indonesia kasus anthrax terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Barat, Sumbawa NTB dan Kabupaten Bima. Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi peningkatan CFR yang cukup
tinggi yaitu dari 6,45% (tahun 2001) menjadi 27,6% (tahun 2002). Tahun 2004 kasus anthrax berulang kembali di Jawa Barat. Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi peningkatan CFR yang cukup tinggi yaitu dari 6,45% (tahun 2001) menjadi 27,6% (tahun 2002). Pada umumnya ledakan anthrax di Indonesia terjadi pada peralihan musim yaitu dari musim kemarau ke penghujan, seperti yang dilaporkan DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOGOR (2005) bahwa kejadian anthrax dari tahun 2001-2004 yang paling tinggi kasusnya terjadi pada bulan-bulan
197
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Oktober, dimana pada bulan tersebut merupakan awal bulan penghujan, seperti terlihat pada Grafik 1. Penyakit anthrax dibagi atas 4 tipe yaitu: tipe pencernaan, tipe kulit, tipe pernafasan dan tipe radang selaput otak. Mekanisme penularan penyakit anthrax dapat dilihat pada Gambar 1 (WHO, 1988). Kecamatan Babakan Madang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang tercatat mempunyai angka
kesakitan tertinggi dan angka kematian tertinggi di akhir tahun 2004 yaitu enam orang meninggal dunia akibat adanya penyakit anthrax ini dengan CFR 15% dari population at risk 195 orang (DINKES KAB. BOGOR, 2005). Maka dari itu peneliti ingin mengetahui dinamika penularan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit anthrax pada manusia di wilayah Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Grafik 1. Distribusi kasus anthrax berdasarkan kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 25 Oktober 2004 di wilayah Kabupaten Bogor
Gambar 1. Cara penularan kuman anthrax hewan ke manusia
198
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
METODE Studi ini menggunakan rancangan cross sectional study. Penelitian dilaksanakan pada akhir bulan Februari 2005 sampai dengan pertengahan bulan Juli 2005 di wilayah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Populasi sumber adalah desa yang endemis penyakit anthrax di wilayah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yaitu desa Citaringgul, desa Kadumangu, desa Karang Tengah dan desa Cipambuan. Sedangkan sampel penelitian adalah jumlah kepala keluarga yang mempunyai hewan ternak dan kandang ternak juga kepala keluarga yang tidak mempunyai hewan ternak dan kandang ternak. Jumlah sampel kepala keluarga dari empat desa tersebut adalah 286 sampel (IWAN ARIAWAN, 1998). Dan menggunakan metode sampling pruposif dan multistage random sampling yang dilakukan dalam beberapa tahap. Dimana tahap pertama dilakukan secara cluster random yaitu pemilihan RT dari masing-masing desa (ARIKUNTO, 2002). Tahap kedua pemilihan sampel kepala keluarga dilakukan secara acak (simpel random sampling) dari masing-masing RT terpilih. Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator yang telah dilatih. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (recall pada tahun 2004) dengan menggunakan lembar kuisioner dan check list kepada responden yang memiliki hewan ternak dan kandang ternak, juga kepada responden yang tidak memiliki hewan ternak dan kandang ternak. Sedangkan data penunjang (data sekunder tahun 2004) mengenai vaksinasi anti anthrax didapatkan dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor, sedangkan faktor lingkungan seperti tanah dan hewan yang terinfeksi kuman anthrax didapatkan dari Badan Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor tahun 2004. Studi ini menganalisis faktor lingkungan yang meliputi tanah yang mengandung spora Bacillus anthracis, hewan yang terinfeksi kuman Bacillus anthracis, cara pemberian pakan hewan ternak, keadaan kandang (kerapatan populasi hewan, jarak kandang dengan rumah, kebersihan kandang, saluran pembuangan air limbah); faktor vaksinasi anti anthrax pada hewan; faktor karakteristik
manusia yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, perilaku; faktor riwayat kontak dan faktor riwayat makan. Setelah data didapatkan dalam bentuk file program SPSS, peneliti melakukan editing atau sorting variabel serta melakukan pengkodean ulang sesuai dengan defenisi operasional. Analisis univariat hanya menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel. Pada analisis bivariat digunakan uji ChiSquare untuk menguji hubungan antara faktor lingkungan, faktor vaksinasi anti anthrax, faktor karakteristik manusia dan faktor riwayat kontak serta riwayat makan terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia. Dan untuk mengetahui faktor yang dominan terhadap kejadian penyakit anthrax dilakukan analisis multivariat dengan uji Regresi Logistik Ganda. (HASTONO SP, 2001). HASIL Analisis univariat Analisis univariat ditunjukkan dengan hasil distribusi frekuensi masing-masing variabel independen (faktor risiko) dan variabel dependen (kejadian penyakit anthrax), dapat dilihat pada Tabel 1. ANALISIS BIVARIAT Analisis bivariat ini dapat terlihat pada Tabel 2 dimana hubungan antara variabel independen (faktor risiko) terhadap variabel dependen (kejadian penyakit anthrax pada manusia). Pada hasil analisis bivariat (Tabel 2) terlihat bahwa hanya jarak kandang (p value = 0,011; Odds Ratio (OR) = 0,230 dengan 95% Convident Interval (CI) = 0,078-0,683), saluran pembuangan (p value = 0,028; OR = 4,5 dengan 95% CI = 1,234-16,570) dan riwayat makan (p value= 0,000; OR = 24,4 dengan 95% CI = 5,494-108,287) yang secara statistik mempunyai hubungan bermakna terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia. Dibawah ini adalah grafik dari p. value dan Odds Ratio dari masing-masing variabel (Grafik 2).
199
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 1. Distribusi frekuensi variabel independen terhadap kejadian penyakit anthrax di empat desa di Wilayah Babakan Madang , Kabupaten Bogor, Jawa Barat Variabel Kejadian penyakit anthax Sakit Tidak sakit Media tanah Positif Negative Hewan yang terinfeksi Positif Negatif Keadaan kandang Kerapatan populasi hewan ≥ 3 ekor < 3 ekor Jarak kandang dengan rumah Rapat Tidak rapat Kebersihan kandang Tidak bersih Bersih Saluran pembuangan air limbah Tidak baik Baik Cara pakan hewan ternak Dilepas Dikandang Vaksinasi Tidak dilakukan Dilakukan Karakteristik responden Umur Umur berisiko ( ≤ 46,8 thn) Umur tidak berisiko ( > 46,8 thn) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pengetahuan Rendah (≤ 8) Tinggi (>8) Pendidikan Rendah (< 9 thn) Tinggi (≥ 9 Thn) Perilaku Tidak baik (≤ 6) Baik (> 6) Pekerjaan Pekerjaan berisiko Pekerjaan tidak berisiko Riwayat kontak Kontak Tidak kontak Riwayat makan Ya Tidak makan
200
Frekuensi
Persentase
19 267
6,6 93,4
1 285
0,3 99,7
1 285
0,3 99,7
126 68
64,9 35,1
157 37
80,9 19,1
97 97
50,0 50,0
96 98
49,5 50,5
18 176
9,3 90,7
31 163
16,0 84,0
160 126
55,9 44,1
262 24
91,6 8,4
166 120
58,0 42,0
242 44
84,6 15,4
215 71
72,2 24,8
228 58
79,7 20,3
226 60
79,0 21,0
86 200
30,1 69,9
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 2. Hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen Riwayat
Penyakit
Sakit
Tidak sakit
Variabel independen Tanah Positif Negatif Total Hewan Positif Negatif Total
OR 95% CI
%
n
%
N
%
1 18
100 6,3
0 267
0 93,7
1 285
100 100
19
6,6
267
93.4
286
100
1 100 18 6,3 19 6,6 Riwayat
0 0 267 93,7 267 93,4 Penyakit
1 285 286
100 100 100
Sakit
Tidak sakit
Variabel independen Cara pemberian pakan Dilepas Dikandang Total Keadaan kandang Kerapatan populasi hewan Rapat (≥ 3) Tidak rapat (< 3) Total Jarak kandang Rapat Tidak rapat Total Kebersihan kandang Tidak beraih Bersih Total Saluran pembuangan Tidak baik Baik Total Vaksinasi anthrax Tidak dilakukan Dilakukan Total Karakteristik responden Umur Umur berisiko (≤ 46,8 thn) Umur tidak berisiko (> 46,8) Total Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Pendidikan Rendah ( < 9 thn) Tinggi ( ≥ 9 thn) Total Pengetahuan Rendah (≤ 8) Tinggi ( > 8 ) Total Perilaku Tidak baik ( ≤ 6) Baik (> 6) Total
Total
n
Total
P value
∞
0,066
∞
0,066
OR 95% CI
P value
100 100 100
1,567 0,325-7,569
0,635
126 68 194
100 100 100
1,086 0,356-3,317
1,000
94,9 30 92,3
157 37 194
100 100 100
0,230 0,078-0,683
0,011
91 88 179
9,3 90,7 92,3
97 97 194
100 100 100
0,645 0,220-1,887
0,591
12,5 3,1 7,7
84 95 179
87,5 96,9 92,3
96 98 194
100 100 100
4,524 1,234-16,570
0,028
1 14 15
3,2 8,6 7,7
30 149 179
96,8 91,4 92,3
31 163 194
100 100 100
0,355 0,045-2,801
0,473
10 9 19
6,3 7,1 6,6
150 117 267
93,8 92,9 93,4
160 126 286
100 100 100
0,867 0,341-2,202
16 3 19
6,1 12,5 6,6
246 21 267
93,9 87,5 93,4
262 24 286
100 100 100
0,455 0,123-1,689
0,206
15 4 19
6,2 9,1 6,6
227 40 267
93,8 90,9 93,4
242 44 286
100 100 100
0,661 0,209-2,093
0,508
10 9 19
6,0 7,5 6,6
156 111 267
94,0 92,5 93,4
166 120 286
100 100 100
0,791 0,311-2,009
0,799
13 6 19
6,0 8,5 6,6
202 65 267
94,0 91,5 93,4
215 71 286
100 100 100
0,697 0,255-1,908
0,582
n
%
n
%
N
%
2 13 15
11,1 7,4 7,7
16 163 179
88,9 92,6 92,3
18 176 194
10 5 15
7,9 7,4 7,7
116 63 179
92,1 92,6 92,3
8 7 15
5,1 18,9 7.7
149 30 179
6 9 15
6,2 9,3 7,7
12 3 15
0,951
201
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Sambungan Tabel 2 Riwayat
Penyakit
Sakit
Tidak sakit
Variabel independen Pekerjaan Pekerjaan berisiko Pekerjaan tidak berisiko Total Riwayat kontak Kontak Tidak kontak Total Riwayat makan Makan Tidak makan Total
Total
OR 95% CI
P value
100 100 100
0,951 0,303-2,981
1,000
226 60 286
100 100 100
5,106 0,668-39,044
0,139
80,2 99,0
86 200
100 100
24,391 5,494108,287
0,000
93,4
286
100
n
%
n
%
N
%
15 4 19
6,6 6,9 6,6
213 54 267
93,4 93,1 93,4
228 58 286
18 1 19
8,0 1,7 6,6
208 59 267
92,0 98,3 93,4
17 2
19,8 1,0
69 198
19
6,6
267
p value variabel-variabel independen 1.00
1.00
1.00
0.95
0.90
0.80
0.80
p value
0.70
0.64
0.60
0.59
0.58 0.47
0.50
0.51
p value
0.40 0.30
0.21
0.20
0.14
0.10 0.070.07
0.01
0.03
0.00
Ca ra
Pe Ta na K e mb H ra eri e h pa a n wa ta P n Ja n p aka r o Ke ak p u n be kan las i r s a sih d an lu a n g ra k n nd Va b ua ks ng in Je a ni U si s m k Pe ela ur Pe nd min ng id ik e t an ah Pe ua r n riw Pe ilak k a e u riw ya t rjaa ay ko n a t nt m ak ak an
0.00
variabel independen Grafik 2. P value dari masing-masing variabel independen
202
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Odds Ratio
nilai Odds Ratio
30
24.4
25 20 15
Odds Ratio
10 5
5.1
4.5 1.6
1.1
0.2
0.6
0.4
0.9
0.5
0.7
0.8
0.7
1.0
C ar a
Ta P na em be H h K ri ew er ap an an P at an aka n Ja pop ul ra as k K eb kan i da er si ha ng sa lu n k nd ra n bu an V g ak si na si Je ni Um s ke ur la m P en in P did en ik ge an ta hu an P er ila P k riw eke u ay rja a a riw t k n ay ont ak at m ak an
0
variabel independent
Grafik 3. Nilai Odds Ratio dari masing-masing variabel independen
ANALISIS MULTIVARIAT Dari 16 variabel yang diteliti pada tahap penentuan kandidat ternyata ada enam variabel yang masuk dalam model ditambah dua variabel yang secara substansi dapat masuk ke dalam model yaitu kebersihan kandang dan vaksinasi. Setelah dilakukan uji regresi logistik ganda pada tahap penentuan didapatkan lima variabel yang secara substansi mempunyai hubungan dengan kejadian penyakit anthrax pada manusia yaitu jarak kandang, kebersihan rumah, saluran pembuangan air limbah, vaksinasi dan riwayat makan. Selanjutnya dilakukan uji interaksi untuk melihat kemungkinan adanya interaksi diantara variable tersebut. Dari hasil uji interaksi ternyata semua variable tidak berinteraksi. Maka model akhir yang didapatkan adalah model tanpa interaksi (full model). Dan didapatkan 2 formula persamaan model akhir sebagai berikut: Formula 1 Logit (kejadian penyakit anthrax pada manusia) = 1,401 + 3,194 (riwayat makan). Formula 2 Dimana ada 4 substansi yang dianggap peneliti merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian penyakit anthrax yaitu jarak kandang, kebersihan kandang, saluran pembuangan air limbah dan vaksinasi, sehingga didapatkan persamaan model akhir seperti di bawah ini. Logit (kejadian penyakit anthrax pada manusia) = 1,750 – 0,56 (jarak kandang) + 0,7 (bersih kandang) + 1,2 (saluran pembuangan) 0,06 (vaksinasi) + 2 (riwayat makan) DISKUSI Keterbatasan penelitian Penelitian ini memilih rancangan studi cross sectional dikarenakan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mengenai penderita yang berdasarkan hasil laboratorium (Balivet Bogor) tahun 2004 yang kurang lengkap. Sedangkan keterbatasan lain yang didapat dalam penelitian ini yaitu adanya bias seleksi, seperti: a)karena pengambilan secara simple random sampling maka kemungkinan besar kasus tidak terjaring seluruhnya, b) karena kasus ini sangat menakutkan bagi masyarakat, banyak responden yang sekaligus peternak yang menjual hewan ternaknya, sehingga kemungkinan untuk mendapatkan data yang akurat tentang keberadaan hewan dan keadaan kandang sangat kecil, c) tidak melakukan pemeriksaan langsung pada lingkungan (tanah) yang diduga terdapat spora
203
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Bacillus anthracis dan hewan ternak yang diduga terinfeksi kuman Bacillus anthracis, d) kesalahan presepsi pada masyarakat adanya gejala yang mirip dengan gejala anthrax dan penyembuhan penyakit ini sangatlah mudah, cukup dengan minum obat sejenis antibiotik. Obat ini dapat dibeli dimana saja, sehingga kasus ini dapat cepat dikendalikan, dan peneliti kehilangan jejak. Dan adanya bias Informasi seperti: a) bias mengingat kembali, misalnya tentang riwayat makan daging beberapa hari sampai seminggu sebelum wabah anthrax terjadi pada bulan Oktober 2004, juga riwayat waktu kontak dengan hewan ternak, keadaan sehat atau sakit dari hewan ternak pada saat itu, adanya tindakan vaksinasi anti anthrax pada hewan ternaknya, b) bias pada pewawancara dalam melakukan wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa asli daerah, ini dapat dikendalikan dengan petugas kesehatan yang dapat berbahasa daerah dengan baik (Sunda), c) kartu vaksinasi anti anthrax pada hewan ternaknya yang diberikan secara rutin oleh petugas peternakan kebanyakan hilang, sehingga untuk mendapatkan data sudah atau belumnya hewan tersebut divaksinasi sangat kecil. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak kandang dengan rumah mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit anthrax. Jarak kandang yang rapat dengan rumah, memberikan suatu proteksi/pencegah terhadap kuman anthrax untuk masuk atau mengkontaminasi penghuni rumah penduduk dibandingkan dengan rumah yang tidak rapat. Hal ini dimungkinkan pada saat pengambilan sampel yang secara acak bahwa didapatkan bahwa jarak kandang yang dekat/rapat lebih dominan daripada jarak kandang dengan rumah yang tidak rapat, sehingga sifatnya menjadi data menjadi homogen. Dan ini mempengaruhi hasil analisa. Ada beberapa alasan yang mendasar bahwa jarak kandang menjadi salah satu masalah di daerah Babakan Madang, yaitu keterbatasan lahan pekarangan sehingga dalam menempatkan kandang dengan jarak yang jauh dari rumah sangat kecil kemungkinan terlaksana. Juga keresahan masyarakat dalam
204
hal keamanan ternak mereka karena kambing dan hewan ternak lain merupakan tabungan atau bagian dari mata pencarian mereka seharihari. Berdasarkan teori dari KUSNOPUTRANTO H (2002) dan MENRISTEK (2005) mengenai jarak kandang dengan rumah sebaiknya terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimum 10 meter. Hal ini berguna untuk menghindari adanya vektor pembawa bibit penyakit masuk ke dalam rumah dan menularkan penyakit kepada manusia seperti vektor lalat kandang atau Tabanus sp. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa saluran pembuangan air limbah mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit anthrax. Adanya saluran pembuangan air limbah pada kandang ternak yang baik dapat melindungi hewan ternak terhadap berbagai serangan penyakit dan menghindari intervensi dari serangga dan hama ke tempat hewan lain dan menularkan penyakit. Karena secara mekanik serangga seperti lalat atau insect lainnya yang berperan ikut menyebarkan spora anthrax kepada hewan lainnya atau kepada manusia (DHARMOJONO, 2001 dan MUKONO HJ, 1999). Mengenai saluran pembuangan air limbah kandang ternak di wilayah Kecamatan Babakan Madang ditemukan bahwa rata-rata di bawah kandang hanya dibuat lubang galian besar tanpa saluran pembuangan yang khusus dan tidak ada lantai dengan kemiringan ± 30 derajat yang bertujuan agar air limbah dapat mengalir ke parit seperti yang dianjurkan oleh DINAS PETERNAKAN dan PERIKANAN BOGOR ( 2005). Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa kebersihan kandang ternyata tidak berhubungan dengan kejadian penyakit anthrax, karena keadaan pada waktu observasi telah berbeda dengan keadaan pada saat wabah sehingga mengaburkan hasil analisa. Begitu pula pada cara penentuan sampel ini tidak terkait erat dengan ada tidaknya kandang milik responden sehingga hasil penelitian kurang menggambarkan seluruh kejadian penyakit anthrax. Salah satu manajemen kesehatan kandang yang penting diperhatikan adalah kebersihan kandang hewan, seperti pendapat MUDIGDO R dan DHARLI WA (1990) dalam HADISAPUTRO S (1990) yang menyatakan bahwa kesehatan hewan yang buruk dapat dikarenakan manajemen kesehatan kandang ternak yang tidak ditata dengan baik, seperti
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
pengelolaan saluran pembuangan air limbah dan kebersihan kandang. Salah satu masalah kesehatan kandang yang penting dipenuhi adalah perlunya sinar matahari yang masuk agar dapat membunuh kuman-kuman yang dapat membahayakan ternak sehingga terjamin kandang yang sehat, nyaman dan tampak kering sepanjang waktu (DINAS PETERNAKAN dan PERIKANAN, 2005). Dengan demikian, hewan ternak akan dapat tumbuh dengan sehat, yang tentunya akan menghasilkan kualitas daging yang baik dan aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor vaksinasi anthrax terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia. Berbeda dengan teori HARDJOUTOMO et al. (1993) dalam MARTINDAH E dan WAHYUWARDANI S (1998) yang menyatakan apabila ternak-ternak dibawah umur tiga bulan tidak divaksinasi maka sebenarnya ternakternak tersebut pada awal tahun tidak lagi mempunyai kekebalan. Atau kekebalan yang mulai turun pada akhir tahun yaitu 5-7 bulan dari pascavaksinasi, ini dikarenakan titer antibodi ternak hanya protektif 12 minggu atau tiga bulanper satu kali vaksinasi. Menurut WHO (1998), setidaknya enam minggu sebelum dipotong dan dikonsumsi, ternak agar lebih dahulu di vaksinasi anti anthrax. Dianjurkan pula agar sebaiknya vaksinasi diberikan kepada hewan yang tidak dalam pengobatan dengan antibiotik, misalnya pada sapi yang mendapat pengobatan antibiotika terhadap mastitis, karena ditakutkan pemberian vaksin menjadi tidak efektif. Salah satu contoh hasil penelitian dari GINDO MS (2002) bahwa dari 600 ekor hewan di wilayah Cibinong, Citeureup dan Babakan Madang yang diteliti serum darahnya dimana yang sebelumnya telah dilakukan vaksinasi ternyata hanya 1,6% yang mempunyai titer antibodi yang protektif terhadap penyakit anthrax sedangkan yang 98,4% lagi dinyatakan walaupun telah disuntik vaksinasi namun tidak mempunyai antibodi terhadap kuman anthrax, sehingga kemungkinan akan terjangkitnya kembali penyakit anthrax pada hewan tersebut, sangatlah tinggi. Menurut MUDIGDO R dan DHARLI WA (1990) dalam HADISAPUTRO S (1990), tindakan vaksinasi hewan harus dilakukan sampai radius terjauh yaitu lima km dari kasus atau 10 km dari kasus Maka dari itu
salah satu upaya yang paling efektif untuk menanggulangi penyakit anthrax adalah usaha pencegahan dengan vaksinasi anti anthrax pada hewan ternaknya. Kemungkinan tidak bermaknanya faktor vaksinasi terhadap kejadian penyakit yaitu adanya ketidakterbukaan responden karena kemungkinan merasa takut dipersalahkan sehingga menjawab tidak keberatan hewan tersebut divaksin namun ternaknya tidak divaksin karena responden tidak dapat menunjukkan kartu vaksinasi hewan ternaknya dengan alasan hilang. Kemungkinan lain pada tahun yang sama yaitu 2004 setelah wabah anthrax tersebut memang serentak dilakukan vaksinasi pada hewan ternak penduduk yang dilaksanakan pada bulan November. Sehingga jawaban responden terhadap masa suntik hewan ternaknya (jadwal vaksinasi) menjadi bias (bias informasi). Ada sebagian kecil dari peternak yang memang benar-benar hewannya tidak dilakukan penyuntikan, hal ini dikarenakan ada ketakutan hewan ternak mereka mendadak mati setelah disuntik, seperti yang mereka lihat atau dengar pada vaksinasi sebelumnya. Masalah vaksin ini masih perlu dikaji lagi terutama kualitas dan kuantitas daripada jenis vaksin itu sendiri. Karena apabila kenyataannya sudah dilakukan vaksinasi tetapi masih saja wabah berulang pada daerah yang sama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun dari waktu vaksinasi terakhir maka perlu ada tindakan cepat dinas peternakan untuk meninjau ulang kandungan dari vaksin tersebut dari segi potensi, keselamatan dan kualitasnya. Berdasarkan hasil analisis menyatakan bahwa riwayat makan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan NALIN (1977) dalam HADISAPUTRO S (1990) bahwa anthrax pencernaan dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada penderita dengan abdomen akut pada daerah di mana prevalensi anthrax tinggi atau daerah endemik dan riwayat adanya makan daging. Infeksi dapat terjadi akibat makan daging yang mengandung bakteri anthrax atau seseorang menyentuh daging terinfeksi anthrax ketika makan (HADISAPUTRO S, 1990). Pada pemodelan akhir ini dapat diketahui adanya peluang/probabilitas terkena penyakit anthrax, seperti peluang penularan penyakit
205
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
anthrax yang bernilai 99,4% dapat terjadi apabila jarak kandang yang terlalu dekat dengan rumah, kebersihan kandang yang kurang diperhatikan, saluran pembuangan air limbah yang tidak baik, vaksinasi hewan yang tidak dilakukan dengan baik dan adanya riwayat makan daging dan jeroan. Sedangkan jarak kandang yang tidak rapat, kebersihan kandang bersih, saluran pembuangan air limbah baik, dilakukannya vaksinasi hewan serta tidak makan daging maupun jeroan yang mempunyai probabilitas terkena penyakit anthrax adalah 85,5%. Kejadian dinamika penularan anthrax yang terjadi pada masyarakat Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tahun 2004 yang mempunyai faktor risiko paling dominan terjadinya anthrax pada tahun 2004 adalah akibat makan makanan yang berasal dari daging atau jeroan hewan ternak, yang dinyatakan positif terkena kuman Bacillus anthracis oleh Balitvet Bogor. Ini terlihat dari hasil analisa multivariat bahwa riwayat makan daging atau jeroan hasil ternak mempunyai faktor risiko 24,4 kali terkena penyakit anthrax dibandingkan dengan orang yang tidak makan daging atau jeroan hasil ternak. UCAPAN TERIMA KASIH
DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOGOR, 2005. Pengamatan dan Penanggulangan Penyakit Antraks di Kabupaten Bogor tahun 2001 s/d Oktober 2004, Bogor WHO, 1998. Guidelines for The Surveillance and Control of Anthrax in Human and Animals, third edition, Departement of Communicable Disease Surveillance and Response. ARIAWAN I, 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan, Jurusan Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Depok ARIKUNTO S, 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi V, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta HASTONO SP, 2001. Analisa Data, Modul perkuliahan, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Depok KUSNOPUTRANTO H, 2002. Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan lingkungan, Universitas Indonesia, Depok MENTERI NEGARA RISET dan TEKNOLOGI. 2005. Teknologi Tepat Guna Tentang Budidaya Peternakan Sapi Perah, Diakses tgl 12 April 2005 jam 11.30. http://www.ristek.go.id. DHARMOJONO H, 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia, Penerbit Melenia Populer, Jakarta
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sub. Direktorat Zoonosis Direktorat P2B2 Direktorat Jenderal P2MPL Departemen Kesehatan RI Jakarta atas bantuannya yang telah memberikan kelengkapan data kasus penyakit anthrax di Indonesia. Pemerintah Daerah Bogor Jawa Barat, Dinas Peternakan Kabupaten Bogor dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor yang telah memberikan ijin penelitian dan seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak secara langsung.
MUKONO HJ, 1999. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya
DAFTAR PUSTAKA
GINDO MS, 2002. Laporan Pelaksanaan Penelitian “Studi Lingkungan Penyebab Berulangnya Wabah Anthrax di Kabupaten Bogor, Jawa Barat”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
DEPARTEMEN KESEHATAN RI, 2004. Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Antraks di Indonesia, Sub.Dit Zoonosis Direktorat P2B2, Dit Jen PPM dan PLP, Jakarta.
206
DINAS PERTERNAKAN dan PERIKANAN KABUPATEN BOGOR, 2005. Petunjuk Teknis Budidaya Ternak, Bogor HADISAPUTRO S, 1990. Antraks Pada Manusia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang MARTINDAH E dan WAHYUWARDANI , 1997. Pola Kasus Antraks Pada Ternak Di Propinsi Nysa Tenggara Barat, Balai Penelitian Veteriner, Bogor