PROSIDING
Seminar dan Lokakarya Nasional Menelaah Perda untuk Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas Pengimplementasian Perda
Diterbitkan atas kerjasama :
Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) Dengan dukungan :
Justice for the Poor – Bank Dunia
Editor : Bambang Soetono Eko Susi Rosdianasari Peri Umar Farouk Jakarta, Agustus 2006
KATA PENGANTAR
Seiring berjalannya waktu, otonomi daerah yang telah memasuki tahun ke-enam, mulai menyentuh isu Peraturan Daerah (Perda). Diawal proses desentralisasi bukan tidak tersentuh masalah Perda ini, namun tertutup oleh berbagai isu manajemen kepemerintahan daerah, seperti keuangan daerah, reorganisasi Pemda, dan sebagainya. Perda merupakan koridor hukum yang berlaku lokal untuk mengatur pelaksanaan kepemerintahan daerah. Keberadaannya juga seharusnya menjadi kepastian bagi masyarakat dalam menerima pelayanan yang baik dari Pemerintah daerah (Pemda). Namun proses pembelajaran sedang berlangsung, di banyak daerah penyusunan Perda hanya sebatas pada tujuan yang dangkal. Tidak menyentuh atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, bahkan kadang bertentangan dengan produk hukum diatasnya. Tidak beraturan dan hanya menciplak dari daerah yang lain. Dalam proses belajar ini diperlukan kekritisan dari masyarakat, untuk itu Justice for the Poor, sebuah program dari Bank Dunia memiliki sebuah sub program yang pada dasarnya mengajak masyarakat untuk turut mengkritisi Perda melalui Program Perda Review, yang salah satu kegiatannya adalah menyelenggarakan kompetisi makalah mengkritisi Perda dan menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya Nasional dengan tema Peraturan Daerah dalam Pencapaian Tujuan Otonomi Daerah: Meningkatkan Akses dan Partisipasi Publik dalam Menelaah Perda untuk Menjamin Transparansi dan Akuntabilitas Pengimplementasian Perda. Kegiatan tersebut diatas berhasil diselenggarakan bersama Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI). Buku ini merupakan catatan dari pelaksanaan kegiatan tersebut di atas. Diharapkan dari catatan kecil ini dapat menjadi inspirasi publik dalam berperan aktif mengkritisi Perda yang pada akhirnya menjadi sumbangan positif bagi pelaksanaan dan pencapaian tujuan otonomi daerah. Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Kata Sambutan
Sambutan dari YIPD oleh Alit Merthaysa, Ph.D Sambutan dari ADKASI oleh Ketua Umum ADKASI, H.M. Harris Sambutan dari Bank Dunia oleh Scott Guggenheim Pidato Pembukaan oleh Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, Ph.D Pidato Utama oleh Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida, Ph.D
BAB 1 : Mengkaji Implementasi Perda Pelayanan Publik
yang Berpihak pada Kepentingan Masyarakat
1.
Dinamika Implementasi Perda Pelayanan Publik di bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan dan SDA yang berpihak kepada Masyarakat Miskin, Perempuan dan Anak, serta Masyarakat Tertinggal di Propinsi Lampung dan Jawa Tengah Enny Nurbaningsih, SH, MH, dan H.S. Tisnanta, SH, MH, Tim Peneliti KRISIS Semarang, Universitas Lampung dan Universitas Gadjah Mada
2.
Making Services Work for the Poor: A Synthesis of Nine Case Studies from Indonesia Stefan Nachuk dan Susannah Hopkins Leisher, Senior Poverty Specialist Bank Dunia, Indonesia. Dipresentasikan oleh Maulina Cahya Ningrum
3.
Iklim Berusaha dan Investasi Pasca Diterapkannya Kebijakan Otonomi Daerah: Studi Kasus di Beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia Agus Pramusinto, MDA, Ph.D., Staf Pengajar UGM
4.
Diskusi dan Tanya Jawab
BAB 2 : Penyusunan dan Implementasi Perda 1.
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Perda dan Implementasi Perda tentang APBD Tahun 2006 Kota Tarakan Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D, Kepala Bappeda Kota Tarakan
iii
2.
Implementasi Perda di Kota Gorontalo (Sebuah Kajian dan Telaahan Mengenai Perda No. 2, 3, 4 Tahun 2002) HI. Medi Botutihe, Walikota Gorontalo
3.
Potensi Penyimpangan Substansi Dalam Proses Legislasi Peraturan Daerah Ari Nurman, ST, M.Sc, Diding Sakri, ST dan Saeful Muluk, S.Sos, Perkumpulan INISIATIF, Bandung
4.
Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elite Capture: Analisis Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah (Kasus Perda Partisipasi Kabupaten Lebak) Wawan Sobari, IFP Fellow-Ford Foundation, Indonesia - MA Student at Institute of Social Studies (ISS), The Hague, the Netherlands
5.
Diskusi dan Tanya Jawab
BAB 3 : Perda Pelayanan Publik:
Kesehatan, Ketenagakerjaan & Sumber Daya Alam
1.
Kebijakan Pemberdayaan PKL di Perkotaan dengan Pendekatan Perkotaan (Studi Kasus di Kota Surakarta) Dr. Absori, SH,MHm, Staf Pengajar Univ Muhammadiyah Surakarta
2.
JPKM Kab Purbalingga Provinsi Jawa Tengah: Studi Kasus Perda. No. 15 Tahun 2003 serta Realisasinya di Lapangan Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si, Staf Pengajar Universitas Diponegoro Semarang
3.
4.
iv
Dapatkah Perda Menjamin Komitmen Kerjasama Antar Wilayah? Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat Hikmat Ramdan, Staf Pengajar Univ Winaya Mukti, Sumedang dan Ahmad Dermawan, CIFOR, Bogor Meneguhkan Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber Daya Hutan: Kajian Atas Perda-Perda Perhutanan Sosial (Social Forestry) Di Tiga Daerah Imam Subkhan
5.
Merebut Kembali Hak Perempuan atas Layanan Kesehatan (Telaah Kritis atas Alokasi Anggaran Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Perempuan di Kabupaten Bantul, Yogyakarta) Yusnita Ike Christanti dan Tenti Novari Kurniawati
6. Air Berkualitas Baik Bukan Untuk Warga Miskin Cilacap Zulfatun Ni’mah dan Tri Lindawati
7.
Diskusi dan Tanya Jawab
BAB 4 : Evaluasi dan Analisis Kebijakan: Menuju Perda yang
Partisipatif & Komprehensif
1.
Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional: Studi Terhadap Implementasi Perda No.19 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Puslit KP2W Lemlit Universitas Padjajaran
2.
Menuju Perda yang Realistis, Partisipatif dan Progresif: Kasus Kaum Marginal (Pelacuran) yang Terpinggirkan IGPA Rhama Wijaya, Tim IR-BTN, Jakarta
3.
Diskusi dan Tanya Jawab
BAB 5 : Perda Online BAB 6 : Hasil Rekomendasi Hasil Rekomendasi
KATA SAMBUTAN Sambutan YIPD Yang kami hormati Bapak Menteri Hukum & HAM, Bp. Dr. Hamid Awaluddin; Bp. Scott Guggenheim sebagai wakil dari Bank Dunia; Bp. Dr. La Ode Ida, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah; Bapak-bapak dan Ibu para pimpinan lembaga tertinggi negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, peserta semiloka yang kami muliakan.
Ass. Wr. Wb, selamat pagi dan salam sejahtera. Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena hanya atas berkatNya lah kita bisa berkumpul di ruangan ini dalam suasana seperti apa adanya saat ini. Sementara mungkin di beberapa daerah saudara-saudara kita sedang bergelut, berjuang untuk dapat mengatasi cobaan-cobaan yang kian menerpa negara kita. Bp. Menteri, Ibu/Bapak yang kami hormati, pada hari ini dan besok kita bersamasama di dalam satu proses pembelajaran, proses saling bertukar pengalaman, serta proses saling mengingatkan mungkin dari berbagai kegiatan-kegiatan yang Ibu/ Bapak sudah laksanakan pada instansi/lembaga masing-masing dan juga mungkin dari berbagai aktifitas akademik yang Ibu/Bapak lakukan di perguruan-perguruan tinggi yang Ibu/Bapak emban. Acara ini, Seminar dan Lokakarya Nasional, merupakan satu rangkaian proses dari proyek Justice for the Poor yang didanai Bank Dunia, yang sudah melakukan berbagai aktifitasnya sejak tahun 2002 dan sudah membangun satu jejaring dan database yang Ibu/Bapak bisa akses secara mudah melalui Perda Online - www. perdaonline.org Pada kesempatan hari ini dan besok kita akan bersama-sama mendengarkan kajian yang dilakukan para pemenang lomba yang kami selenggarakan dalam rangka menyikapi bagaimana perkembangan-perkembangan tata pemerintahan khususnya terkait dengan peraturan daerah. Seminar ini akan menghadirkan 8 pemakalah sebagai pemenang dari lomba yang kami laksanakan sejak kurang lebih sebulan yang lalu yang kami saring dan ditetapkan oleh dewan juri yang independen dari sekitar 108 peserta yang mengirimkan abstraknya. 12 dari 108 kami pilih untuk melengkapi abstrak tersebut hingga menjadi satu kesatuan makalah yang utuh. Dan dari 12 makalah yang kami terima, kami menilai dan menetapkan 8 makalah yang akan menerima penghargaan atau hadiah yang secara nominal mungkin tidak begitu besar, namun kami berharap kita dapat pahami bersama apa yang menjadi perhatian ke delapan panelis ini bisa menambah wawasan kita dan juga bisa kita terapkan di daerah masing-masing.
vi
Bp. Menteri, Ibu/Bapak hadirin yang kami hormati. Pada kesempatan ini kami mewakili penyelenggara dari Justice for the Poor, Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia dan juga Decentralization Support Facilities yang didanai World Bank serta seluruh anggota penyelenggara yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, kami selaku panitia mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan di hati Ibu/Bapak selama kontak-kontak dengan Ibu/Bapak sekalian sampai memfasilitasi hadir pada acara pembukaan dan semiloka 2 hari ini. Dan terakhir, kami mohon kita bersama memberi applause pada adik-adik kita dari Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara, yang telah menyumbangkan paduan suaranya yang cukup merdu bisa menghibur kita dalam suasana ini. Selanjutnya, mari kita bersama mengikuti acara kegiatan yang telah kami susun, mudah-mudahan kegiatan selama 2 hari ini dapat memberi pencerahan bagi kita semua. Terima kasih. Was. Wr. Wb. Jakarta, Agustus 2006 Alit Merthayasa Direktur Eksekutif
vii
Sambutan ADKASI Assalamu’alaikum, Wr, Wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Secara faktual, perkembangan Politik dan Demokrasi di Indonesia sedikit banyak turut mempengaruhi berbagai sektor kehidupan strategis lainnya, baik terkait dengan persepsi maupun regulasi yang kemudian dikembangkan sebagai salah satu perangkat administrasi dalam operasionalisasinya. Persoalan kesejahteraan dan pemenuhan keadilan sosial misalnya, pun turut dipengaruhi oleh persepsi dan regulasi yang di kemudian hari diterjemahkan menjadi sebuah kebijakan untuk mengatur dan menjaminnya. Dalam berbagai telaah dan studi tentang politik dan pengembangan demokrasi di berbagai negara, tentu prasyarat bagi terpenuhinya kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat merupakan prasyarat dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Sebagai produk politik, regulasi menjadi cerminan atas orientasi dari representasi politik pada tingkat institusional politiknya. DPRD Kabupaten merupakan bagian dari institusionalisasi politik yang diharapkan dapat mengembangkan orientasi representasi politiknya secara maksimal dan kualitatif, agar prasyarat tegaknya demokrasi di tingkat lokal dapat terjamin. Produk politik (baca:PERDA) yang dihasilkannya pun diharapkan tidak sekedar merupakan cerminan dari orientasi dan persepsi aktor politiknya, namun proses perumusan, penyusunan, dan pengawasannya harus memenuhi prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Prinsip-prinsip tersebut perlu untuk dikembangkan secara serius agar pada tataran aplikasi politiknya dapat diwujudkan menjadi “sarana” bagi pencapaian dan tegaknya demokrasi pada praktek penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. ADKASI menyampaikan banyak terima kasih atas kerja bersama ini dengan Justice for the Poor World Bank dan YIPD dalam penerbitan buku ini. ADKASI akan terus berupaya untuk membangun dan mengembangkan pola kerjasama yang konstruktif dengan berbagai elemen, utamanya bagi penegakan demokrasi, HAM, dan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Selamat membaca, mudahmudahan bermanfaat bagi kita semua.
Wassalam Jakarta, Agustus 2006 H.M. Harris Ketua Umum ADKASI
viii
Sambutan Bank Dunia Selamat pagi Bapak dan Ibu peserta Seminar dan Lokakarya Nasional Perda yang berbahagia dan terimakasih kepada Panitia yang telah memberikan kesempatan berbicara pada acara pembukaan ini. Mohon maaf karena saya belum lancar berbahasa Indonesia dan saya tidak dalam kapasitas untuk berbicara mengenai perundang-undangan Indonesia, tapi hendak menyampaikan beberapa kata pengantar untuk membuka Semiloknas ini. Saya sedikit terlambat pagi ini karena tadi malam saya membaca sebuah buku yang sangat menarik, berjudul “The Rise of American Democracy” karangan Sean Wilentz. Temanya cukup menarik, tentang munculnya demokrasi Amerika bukan Indonesia. Buku ini sangat kontroversial. Argumentasi didalam buku ini adalah demokrasi Amerika tidak muncul pada abad ke-18, saat perjuangan kemerdekaan Amerika, yang selama ini menjadi pikiran umum di Amerika, tetapi pada abad ke-19, hampir seratus tahun setelah kemerdekaan Amerika. Kenapa ini menarik untuk diskusi hari ini? Pendapat saya, di dalam tulisan ini, penulis hendak menjelaskan dan mengargumentasikan bahwa untuk membuat demokrasi di negara besar tidak hanya terkait dengan prinsip-prinsip moral atau etika tetapi perlu institusiinstitusi, di tingkat nasional maupun ditingkat lokal. Institusi-institusi inilah yang membuat politik pada tingkat filosofis diterjemahkan ke dalam kehidupan seharihari. Institusi-institusi tersebut harus dibangun dengan semangat berdialog dan perjuangan bersama. Di Amerika 200 tahun yang lalu, ada perjuangan lama sekali untuk membangun sistem demokratis tentang apa hak Negara dibandingkan dengan hak Negara Bagian, dengan kabupaten atau propinsi, apa peran komunitas didalam proses demokratisasi, apa yurisdiksi negara didalam kehidupan masyarakat, dan bagaimana hubungan antara tingkat paling bawah dan tingkat paling tinggi di dalam struktur pemerintahan. Saya tidak mau membuat argumentasi rinci dari sejarah Amerika ke sejarah Indonesia tapi saya pikir dari pengalaman ini ada 3 (tiga) pelajaran yang sangat relevan untuk diskusi hari ini. Yang pertama adalah kita harus melihat proses demokratisasi sebagai proses tidak sebagai fakta, dan ada banyak perjuangan, banyak argumentasi dan diskusi sebelum bisa mewujudkan sistem yang benarbenar demokratis. Tetapi untuk apa sebenarnya perjuangan ini? Banyak maknanya. Bagi sebagian orang, demokrasi diartikan sebagai ”semua orang memberikan suaranya.” Secara formal tidak diragukan lagi bahwa ini adalah definisi yang baik bagi para ilmuwan politik, akan tetapi hal ini tidak mencukupi bagi sebagian besar kita yang berada di ruangan ini. Kita tahu dari pengalaman bahwa dengan adanya hak bersuara bagi rakyat, maka kita akan tetap jauh terpinggirkan dari pusat kekuasaan politik. Sementara sebagian orang yang lain, mendasarkan pada
ix
penekanan dikembalikannya hak-hak individual yang mendasar dan tradisional, yang mungkin mendefiniskan demokrasi sebagai kebebasan untuk meraih kebahagiaan individual. Tetapi tetap saja ada yang menggunakan terminologi yang lebih abstrak, bahwa demokrasi adalah ”kebiasaan hati” atau cara idealis untuk mengorganisasi masyarakat dimana aturan-aturan yang ada merupakan subordinat dari aturan-aturan yang lainnya. Berbagai orang menggunakan definisi demokrasi yang berbeda-beda tidak disebabkan oleh karena perbedaan perhatian – ini adalah perdebatan dan interaksi diantara para filosof yang berbeda yang akan mendefinisikan bentuk Indonesia seperti apa yang hendak diwujudkan. Akan tetapi, untuk mengutip filosof terkenal lainnya, bahkan jika orang-orang seperti Anda yang berada disini hari ini hendak mewujudkan demokrasi Indonesia ke depan, Anda tidak akan dapat mewujudkannya, meskipun Anda menginginkannya. Orang hidup dengan warisan berbagai keyakinan, kelembagaan, kekuatan, dan organisasi kemasyarakatan yang memandu dan mengkaitkannya dengan arus sejarah. Kesempatan seperti Semiloknas ini adalah peluang bagi kita untuk mencairkan perbedaan, sehingga kita dapat merefleksikan akan kemana kita melangkah. Pelajaran kedua, hal yang sangat relevan untuk diskusi hari ini adalah harus ada perspektif jangka panjang, tidak hanya jangka pendek. Walaupun ada deklarasi kemerdekaan Amerika pada abad ke-18, sebelum 50 tahun ke depannya tidak bisa dilihat hasil di tingkat paling bawah dan saya pikir ini sangat relevan untuk Indonesia saat ini juga. Pada tahun 1789, ketika demokrasi konstitusional mulai dikenal dan berkembang di seluruh dunia, bangsa Amerika Asli pada saat itu sedang direndahkan martabatnya dan dalam kondisi yang tidak bisa menolak: Konstitusi yang ada saat itu menyatakan bahwa suara 5 orang kulit hitam dihitung sama dengan hanya suara 2 orang kulit putih; dan perempuan tidak punya hak pilih sama sekali. Membangun demokrasi berarti menterjemahkan prinsip-prinsip yang mulia dari ketentuan yang ada oleh seseorang kedalam langkah konkrit yang menghapuskan hambatan partisipisasi politik dan memberikan hak suara kepada setiap orang, tidak hanya sekelompok kecil orang. Akan tetapi, poinnya di sini bukannya untuk mengutuk atau menyanjung salah satu pandangan demokrasi tertentu, tetapi lebih untuk memahami bagaimana definisi intelektual, politis, sosial dan kultural dari politik dan keterlibatan masyarakat terabstraksikan dari arus panjang perkembangan sejarah yang didefinisikan secara jelas daripada dialog yang maju mundur antara keberlanjutan dan perubahan. Pelajaran ketiga terkait dengan diskusi hari ini, adalah perbedaan di antara prinsip-prinsip di tingkat nasional berkenaan dengan demokratisasi atau partisipasi masyarakat atau konstitusinya dan kegiatan di tingkat masyarakat, itu proses lama, itu proses sulit, ada banyak kontradiksi, tapi merupakan kunci untuk membuat sistem yang demokratis.
Tetapi fakta bahwa membangun demokrasi adalah sangat rumit, bukan berarti bahwa hal ini tidak bisa dianalisis dan difahami. Orang-orang yang berada di pemerintahan melalui institusi-institusinya; melalui hukum dan perundangundangannya; melalui berbagai forum dan ruang yang diciptakan dimana orang dapat berpendapat mengenai perubahan aturan-aturan demokrasi. Perpolitikan, kepemimpinan, pemerintahan, dan kepastian hukum banyak mempengaruhi masyarakat dan ekonomi Indonesia. Memahami aturan dan institusi apa yang berkaitan dengan demokrasi Indonesia adalah alasan mengapa kita berada disini selama dua hari ini. Pada waktu saya baru datang ke Indonesia, 8 tahun yang lalu saya tidak bisa mengerti sistem pemerintahan disini, dari perspektif umum, itu sangat demokratis, ada 3 bagian lembaga kenegaraan (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Namun dari perspektif fungsional, tidak ada demokrasi disini, semua kekuasaan terpusat dibagian eksekutif. Walaupun saya mengerti waktu itu ada perbedaan pendapat antara negara kesatuan dan negara federalis, saya lihat banyak bupati tinggal di Jakarta, tidak tinggal di daerahnya. Demokrasi Indonesia yang terpisah dengan masa lalu telah berakhir. Sekarang Indonesia sangat berbeda dibandingkan waktu itu, otonomi daerah sangat riil, DPRD sangat kuat dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Tapi saya pikir belajar dari sejarah Amerika sangat relevan untuk sejarah Indonesia sekarang. Demokrasi harus dibangun, itu bukan fakta sendiri, dan konstruksi demokrasi yang akan membantu demokrasi Indonesia belum selesai. Kegiatan hari ini bukan hanya kesempatan untuk belajar tentang beberapa perda yang bermunculan dimana-mana di Indonesia sekarang ini. Kesempatan ini harus dilihat sebagai sebuah proses untuk membangun demokrasi disini, dan setiap negara mempunyai sejarah yang berbeda. Proses ini sangat penting untuk tidak hanya mengerti proses administratif, tapi untuk mengerti proses politis ke masa depan. Segera setelah Konstitusi Amerika ditulis dan disebarluaskan, salah seorang dari ke delapan belas orang ahli perumus konstitusi menjauh dari dunia politik untuk merefleksikan tentang apa arti dokumen tersebut. ”Kesalahan mendasar bangsa Amerika”, dia menuliskan, “adalah bahwa mereka berfikir revolusi telah berakhir ketika hal itu baru saja dimulai.” Saya berharap diskusi hari ini akan menjadi sangat menarik untuk semua hadirin. Saya menyampaikan terimakasih untuk seluruh teman-teman disini dan sekarang saya mengundang Bapak Menteri untuk membuka Semiloknas ini. Terimakasih banyak. Jakarta, Agustus 2006 Scott E. Guggenheim Lead Social Scientist
xi
Pidato Pembukaan Dr. La Ode Ida, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah; Pak Alit, Pak Scott, Teman-teman, Adik-adik, Para Aktifis, Para Pemerhati yang saya hormati. Apa yang berubah di Republik Indonesia setelah kita reformasi? Itu merupakan pertanyaan yang paling elementer. Diantara sekian banyak hal berubah, apa yang paling menonjol, jawabannya satu. Agenda Local Otonomy/Agenda Otonomi Daerah. Lalu kita bedah, di antara agenda local otonomy yang paling menonjol itu apa? Yang paling menonjol itu adalah maraknya pembuatan peraturan daerah. Kalau ukuran pembuatan peraturan daerah menjadi indikator berdayanya daerah, maka daerah sekarang sangat berdaya, karena daerah sudah sangat produktif dan sangat otonom dalam membuat peraturan daerah. Masalah timbul ketika kita bicara apakah perda itu sudah fungsional, Kalau ini yang menjadi masalah, maka memang beberapa aspek harus kita lihat: 1. Sebuah peraturan itu dibuat tujuannya satu, bagaimana menjaga tatanan kehidupan masyarakat agar tidak tumpang tindih, agar tidak terjadi kekacauan dalam semua aspek kehidupan 2. Peraturan itu dibuat untuk memajukan kesejahteraan rakyat 3. Sebuah peraturan dibuat agar dijadikan instrumen rekayasa sosial. Rekayasa dalam konteks konstruksi sosial, itu tujuan sebenarnya secara normatif mengapa ada peraturan. Kalau frame ini kita pakai dalam mengukur perda-perda yang jumlahnya ribuan, maka memang banyak sekali persoalannya, itulah yang menurut saya yang mengharuskan kita memberi apresiasi saudara-saudari yang hadir terutama Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah yang mau mencurahkan perhatian dan program di dalam hal penyorotan, di dalam hal melihat secara penuh bagaimana perda-perda itu berfungsi, apakah keluar dari koridor yang saya sebutkan tadi atau tidak. Masalahnya ada banyak sekali klise yang kita dengar, peraturan dibuat di sebuah kabupaten, kalau kita telusuri para anggota dewan, kita tanya, “Koq perda Anda ini dibuat begini?” Jawabannya seragam, “Wah itu kami ngga tahu Pak, itu konsultan yang buatkan, kita hanya ketuk.” Berarti ada persoalan kan? Siapa yang bisa menjamin konsultan itu tidak mempunyai agenda. No body can guarantee that the consultant is truly independent consultant, but they have something behind. Ada juga kasus misalnya “Kenapa peraturan ini dibuat?” Jawabannya, “Wah kita Pak, mendengar di kabupaten lain ada begini, kita buat juga.” Jadi DPRD berfungsi sebagai fotocopy dari kegiatan DPRD lainnya. Ada lagi peraturan daerah dibuat, “Kenapa ini dibuat?” Dijawab “Wah kita kan anggota DPRD, harus terhormat, karena itu muatan peraturan daerah yang dibuat harus disimbolkan pemberdayaan DPRD dalam bentuk misalnya insentif dalam bentuk fasilitas dan seterusnya.”
xii
Kalau kita kategorikan peraturan-peraturan daerah di awal-awal pengguliran otonomi daerah pada umumnya itu hanya berkisar pada kesejahteraan anggota dewan dan perbaikan status pemerintah daerah. Misalnya perda tentang rumah jabatan, terutama daerah-daerah pemekaran itu. Perda tentang insentif dewan, itu semua diperdakan. Lalu ada pertanyaan kenapa fenomena ini terjadi semua. Kita tahu bahwa bangsa kita ini berada dalam masa transisi dalam tahap antitetis. Dulu sistem pemerintahan kita kan sangat sentralistis, tiba-tiba terjadi perubahan antitesis semuanya upside-down/dibalikkan, Nah kita berada dalam masa yang bernama antitetis. Dalam tahap antitesis seperti ini semua bentuk masyarakat mengalami proses penyesuaian diri, antara sepenuhnya meninggalkan yang lama namun belum menemukan bentuk yang baru yang sebenarnya, oleh karena masa antitetis ini sangat-sangat rentan itulah pentingnya kita kawal. Salah satu manifestasi komitmen kita mengawal periode transisi ini adalah mengambil salah satu bagian yang ada yakni peraturan daerah. Karena itu saya sangat menyambut gembira inisiatif yayasan ini untuk pengawal peraturan daerah. Karena kalau secara normatif ukuran ujian peraturan daerah itu bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, tapi itu kalau sudah jadi produk, barulah secara hukum pemerintah bisa mengevaluasi dengan takarantakaran tertentu. Tetapi pertanyaannya dalam proses pembuatan, siapa yang mengevaluasi, Pemerintah tidak bisa punya kewenangan itu, yang ada adalah masyarakat sipil, karena disitulah peran masyarakat sipil sebagai bagian dari stakeholder perkembangan masyarakat. Anda-anda semualah yang mengawal proses pembuatannya itu, apa sudah benar mencerminkan aspirasi, apakah ini bukan aspirasi dari konsultan semata, apa betul keinginan masyarakat yang ada di kabupaten itu menginginkan seperti ini dan seterusnya. Ini yang harus dikawal. Dengan ucapan Bismillah hirrahman nirrahhim Seminar dan Lokakarya tentang Peraturan Daerah dalam Kaitannya dengan Otonomi Daerah saya buka secara resmi.
Was. Wr. Wb. Jakarta, Agustus 2006 Hamid Awaludin Ph.D. Menteri Hukum & HAM RI
xiii
Pidato Utama Merekonstruksi Visi dan Orientasi Peraturan Daerah untuk Pencapaian Tujuan Otonomi Daerah Implementasi otonomi daerah (otda) sebenarnya diharapkan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan publik, memperbaiki kualitas/derajat kesejahteraan atau kelayakan hidup rakyat, di mana pemerintahan dan pembangunan dikelola dalam proses-proses yang demokratis. Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan di daerah harus lebih peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya, harus mampu mengidentifikasi berbagai potensi yang tersedia dalam lingkup wilayah kelola administrasinya, dengan selalu melibatkan stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Posisi pemerintah daerah hanyalah sebagai fasilitator yang bijak untuk memberikan pelayanan terbaik, bukan sebaliknya merasa menjadi pemilik daerah (the owner) yang bersikap “otoriter” dan “arogan” untuk kemudian melakukan apa saja yang dikehendakinya. Otonomi daerah memang menjadikan daerah dengan pengelolanya yang lebih mandiri, karena sejumlah kewenangan yang sebelumnya berada di tangan pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah (Pemda). Namun demikian bukan berarti harus mengabaikan berbagai kepentingan pihak lain atau daerah lain dengan masyarakatnya. Karena kemandirian bukan berarti otonomi dalam kesendirian suatu daerah tanpa ketergantungan dengan daerah atau pihak lain. Sebaliknya justru di era otda tercipta saling ketergantungan antara suatu daerah dengan daerah lainnya, baik secara fisik bertetangga maupun tidak, termasuk dalam kaitan dengan pihak-pihak luar yang secara sosial maupun ekonomi berkepentingan terhadap daerah itu. Dengan kata lain, implementasi otda sebenarnya juga merupakan manajemen saling ketergantungan (interdependency management), sehingga perkembangan atau kemajuan pembangunan dan kualitas pelayanan publik di suatu daerah merupakan bagian dari produk saling ketergantungan itu. Dalam proses-proses pengelolaan daerah seperti itulah diperlukan berbagai kebijakan berupa peraturan perundangan yang lebih memungkinkan terwujudnya tujuan otda. Kebijakan pemerintah pusat (undang-undang dan peraturan pemerintah) hanya merupakan payung atau panduan umum yang operasionalnya di lapangan ditentukan oleh pemda dalam bentuk peraturan daerah (perda). Dengan sendirinya pemda memiliki ruang bebas untuk berkreativitas membuat perda dalam proses-proses yang demokratis, melibatkan stakeholders yang ada di daerahnya. Muara dari semua kebijakan pemerintah dan perda yang dibuat oleh pemda, tidak lain adalah untuk menjamin terlayaninya kebutuhan atau kepentingan masyarakat daerah, berkembang-terbangunnya daerah di mana kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan menjadi tujuan akhirnya.
xiv
Apa yang mau saya katakan di sini adalah bahwa suatu perda atau berbagai perda yang dibuat dalam rangka : 1. menjabarkan aturan hukum (kebijakan) yang lebih tinggi sebagai panduan operasional untuk menjalankan agenda pemerintah, pengelolaan masyarakat dan pembangunan (pengembangan potensi sumberdaya) daerah; dan 2. menjamin terkelolanya daerah sesuai dengan kebutuhan, kepentingan atau aspirasi stakeholders. Dan kalau semua itu dilaksanakan dengan baik, maka diharapkan daerah terkelola dengan tertib dan dinamis secara berkelanjutan. Masyarakat atau rakyat di daerah pun akan merasakan manfaat dari eksistensi pemerintah daerah, nilai lebih dari implementasi otda, yang pada akhirnya akan merasa puas dengan manajemen Indonesia baru yang modern. Kalau mimpi ini terwujud, maka potensi disintegrasi akibat ketak puasan masyarakat terhadap kebijakan dan manajemen pemerintahan akan tereliminir secara signifikan, yang berarti NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia) akan tetap terjamin keberlanjutannya. Tetapi realita yang terjadi selama implementasi otda, justru demikian banyak produk perda yang dianggap “bermasalah”, sehingga kerap secara signifikan mengganggu roda perjalanan dan atau mencederai nilai-nilai substansial dari manajemen otda sendiri. Setidaknya terdapat empat ciri-kategorik perda-perda yang dipandang bermasalah itu.
Pertama, bertentangan dengan kebijakan atau aturan yang berada di atasnya. Proses-proses pembuatan Perda tidak terlebih dahulu mengacu atau disinkronkan dengan kebijakan atau aturan hukum yang lebih tinggi. Kedua, bersifat eksploitatif, di mana Pemda lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi (menaikkan pendapatan asli daerah) dengan membebankannya kepada masyarakat dan dunia usaha. Ketiga, menguntungkan segelintir elite. Para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) terpengaruh oleh kepentingan ekonomi fragmatis jangka pendek dari kelompok kepentingan tertentu. Keempat, ”mengekang” pluralitas di masyarakat. Para pembuat kebijakan juga terpengaruh oleh suatu kelompok kepentingan tertentu dengan mengabaikan eksistensi keragaman yang ada dalam masyarakatnya. Akibatnya, produk perda itu justru cenderung menjadi pemicu ketegangan dan konflik antar kelompok dalam masyarakat. Padahal seharusnya keberadaan pemerintah haruslah menciptakan rasa aman dan mengayomi seluruh elemen masyarakat yang berada dalam wilayah otoritasnya. Berdasarkan semua itu, diharapkan Pemda ke depan harus melakukan perubahan visi dan orientasi dalam mengelola daerahnya, terutama dalam kaitan dengan
xv
pembuatan Perda yang harus secara lebih peka dan dalam proses-proses pembuatannya harus lebih partisipatif (melibatkan stakeholders berupa civil society, dan elemen-elemen masyarakat lainnya di daerah). Di sinlah diperlukan sentuhan penyadaran kepada Pemda dan seluruh stakeholders di daerah, yang bisa dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah pusat dan atau dengan lembaga-lembaga yang berkompeten untuk itu. Jakarta, Agustus 2006. La Ode Ida Wakil Ketua DPD RI
xvi