ISBN 978-979-3145-91-4
Prosiding Lokakarya Nasional PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka) Genetic Conservation Plots for Preservation of Treatened Tree Species (Ulin, Ebony and Cempaca)
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN LITBANG KEHUTANAN BEKERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION ITTO PROJECT PD 539/09 REV. 1 (F) BOGOR, 2012
ISBN 978-979-3145-91-4
Prosiding Lokakarya Nasional
PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka) Genetic Conservation Plots for Preservation of Threatened Tree Species (Ulin, Ebony and Cempaca)
Editor: Prof. Dr. M. Bismark, MS. Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc Dr. Ir. Murniati, M.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN LITBANG KEHUTANAN BEKERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER ORGANIZATION (ITTO PROJECT PD 539/09 REV. 1/F) BOGOR, 2012 i
Authors/Editors Institution’s full name, address
: M. Bismark, Atok Subiakto and Murniati : Centre for Conservation and Rehabilitation Research and Development; Jalan Gunung Batu No.5 Bogor, Indonesia; e-mail
[email protected]
The place and dated the report was issued Disclaimer
: Bogor, July 2012
Published by
ISBN
: Copyright © 2012 This workshop proceeding is a part of program ITTO PD 539/09 Rev.1 (F): Promoting Conservation of Selected Tree Species Currently Threatened by Habitat Disturbance and Population Depletion. : Centre for Conservation and Rehabilitation Research and Development, Jalan Gunung Batu No.5 Bogor, Indonesia Phone : 62-251-8315222, 7520067 Fax : 62-251-8638111 Email :
[email protected] : 978-979-3145-91-4
Project Number : Host Government : Name of the Executing : Agency and Project Coordinator Starting date of the project : Duration of the project :
PD 539/09 Rev.1 (F) Indonesia Centre for Conservation and Rehabilitation Research and Development, FORDA, Dr. Ir. Murniati, M.Si. April 1, 2010 24 months
PROSIDING LOKAKARYA NASIONAL PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka)
Tim pengarah lokakarya: Ketua Sekretaris Anggota
: Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian : 1. Prof. Dr. H. M. Bismark, MS. 2. Dr. Ir. Murniati, M.Si. 3. Ir. Sumarhani
Penulis: 1. Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Si. (Balai Penelitian Kehutanan Palembang). 2. Ir. Merryana Kiding Allo, M.Si. (Balai Penelitian Kehutanan Makasar). 3. Dr. Ir. Murniati, M.Si (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi). 4. Liliek Haryjanto, S.Hut., M.Sc., Tri Pamungkas Yudohartono, S.Hut., M.Sc., dan Prastyono, S.Hut., M.Sc. (Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan). 5. Susilo Purnomo, S.Hut. (Staf PT.Sari Bumi Kusuma), Widiyatno, S.Hut., M.Sc. (Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada). 6. Agung Priyo Sarjono, S.Hut., MBA. dan Taufiqurrahman, S.Hut. (PT.ITCI Kartika Utama). 7. Dr. Sapto Indrioko (Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada). 8. Ir. Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat, S.Hut., MT. (Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan). 9. Dr. Bambang Irawan, Ir. Mohd. Zuhdi, M.Sc. dan Ir. Fazriyas, M.Si. (Jurusan Kehutanan Fakultas Pertaninan Universitas Jambi).
iii
UCAPAN TERIMA KASIH Lokakarya Nasional ini dibiayai oleh dana hibah dari International Tropical Timber Organization (ITTO) kepada Pemerintah Indonesia melalui Proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F): "Promoting Conservation of Selected Tree Species Currently Threatened by Habitat Disturbance and Population Depletion." Pengelola proyek mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan seluruh panitia yang telah membantu penyelenggaraan Lokakarya Nasional ini.
iv
KATA PENGANTAR Ulin (Eusideroxylon zwageri), eboni (Diospyros celebica) dan cempaka (Michelia champaca) merupakan jenis pohon yang sudah mulai langka atau bahkan terancam punah secara ekologi. Oleh karena itu, program konservasi in-situ maupun ex-situ sangat mendesak untuk dilaksanakan. Pembangunan plot konservasi genetik jenis-jenis pohon terancam punah adalah suatu upaya untuk melindungi dan menjaga variasi genetik dari jenis-jenis tersebut dalam rangka pelestarian keragaman genetik dan pemanfaatan yang lebih luas untuk kepentingan ekologi, ekonomi dan nilai-nilai sosial budaya. Selain itu, plot konservasi genetik diharapkan pula dapat menyediakan materi genetik yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program pemuliaan pohon. Manfaat lain dari plot ini adalah sebagai sumber benih yang dapat disertifikasi dalam bentuk tegakan benih teridentifikasi. Lokakarya Nasional ini diselenggarakan dalam rangka menghimpun informasi dan teknologi serta berbagi pengalaman dalam membangun plot konservasi genetik jenis-jenis pohon terancam punah (ulin, eboni dan cempaka) sekaligus untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian kita semua dalam upaya konservasi jenis-jenis tersebut. Sejumlah makalah tentang pengelolaan sumberdaya genetik yang telah dilakukan dalam rangka kerjasama Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan ITTO melalui Proyek PD 539/098 Rev.1 (F) dan kegiatan sejenis yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian lain/ akademisi dan Perusahaan Kehutanan telah dipaparkan. Buku prosiding ini merupakan rangkuman seluruh makalah dan hasil diskusi yang berkembang selama berlangsungnya lokakarya. Diharapkan informasi dan strategi konservasi in-situ dan ex-situ yang telah dikembangkan dapat dimanfaatkan oleh para pihak dalam rangka konservasi jenis dan restorasi ekosistem serta program pemuliaan pohon hutan. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak atas terselenggaranya acara ini. Demikian pula kepada Tim Penyunting yang telah menyempurnakan penyusunan makalah dalam Buku Prosiding ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, para pengelola sumberdaya genetik dan para pengambil kebijakan.
v
vi
DAFTAR ISI
Halaman UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................
iv
KATA PENGANTAR ............................................................................
v
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vii
SAMBUTAN DAN PEMBUKAAN Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ...................................
ix
RUMUSAN HASIL ................................................................................
xiii
MAKALAH DAN PRESENTASI Bidang Konservasi Sumberdaya Genetik Secara Exsitu 1. Conservation Efforts of Threatened Tree Species (ulin/Eusideroxylon zwageri, ebony/Diospyros celebica Bakh and cempaka/Michelia champaca) Dr. Ir. Murniati, M.Si. .......................................................................
3
2. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Ulin (Eusideroxylon zwageri) di Hutan Penelitian Kamampo, Sumatera Selatan Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Si. .............................................
19
3. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan Ir. Merryana Kiding Allo, M.Si. ........................................................
45
4. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Cempaka (Michelia champaca) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Jawa Barat Dr. Ir. Murniati, M.Si. .......................................................................
66
5. Pembelajaran dari pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa Liliek Haryjanto, S.Hut., M.Sc., Tri Pamungkas Y., S.Hut., M.Sc. dan Prastyono, S.Hut., M.Sc. ............................................................
86
6. Representasi Diversitas Genetik dalam Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya Genetik Dr. Sapto Indrioko .............................................................................
102
vii
Bidang Teknologi Perbenihan dan Pembibitan 7. Teknologi Penanganan Benih dan Bibit Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Ir. Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat, S.Hut., MT. ..............................
119
8. Teknik Pembibitan Ulin (Eusideroxylon zwageri) Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Si. ...............................................
128
Bidang Pengelolaan Konservasi Sumberdaya Genetik di Kawasan Hutan Produksi 9. Konservasi In-situ Dipterocarps Susilo Purnomo, S.Hut. dan Widiyatno, M.Sc. ..................................
143
10. Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Pohon Hutan Jenis Ulin di HPH PT ITCI Kartika Utama Agung Priyo Sarjono, S.Hut., MBA dan Taufiqurrahman, S.Hut. ....
155
11. Analisis Vegetasi Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) di Distrik VIII PT. Wirakarya Sakti, Jambi Dr. Bambang Irawan, Ir. Mohd. Zuhdi, M.Sc. dan Ir. Fazriyas, M.Si. ...................................................................................................
168
LAMPIRAN ............................................................................................
179
Notulen Diskusi .................................................................................
181
Agenda Lokakarya .............................................................................
192
Daftar Peserta ....................................................................................
194
viii
Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan Pada Lokakarya Nasional PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka)
Assalamu’alaikum Wr. Wb dan salam sejahtera untuk kita semua Yang terhormat Bapak dan Ibu jajaran Eselon II dan III Kementerian Kehutanan; Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten (atau yang mewakili); Dekan Fakultas Kehutanan se Indonesia (atau yang mewakili); Para nara sumber, Prof. Riset, para peneliti/pejabat fungsional; Tokoh masyarakat peduli konservasi dan Para undangan yang saya hormati. Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas ijin dan rahmat-Nya maka pada pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama dalam rangka National Workshop tentang ”Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)” yang diadakan oleh Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan ITTO. Selamat datang dan terima kasih saya ucapkan kepada semua tamu undangan atas kesediaannya menghadiri lokakarya yang akan berlangsung selama 1 (satu) hari ini. Hadirin yang saya hormati, Hutan alam tropis Indonesia dikenal sebagai mega biodiversity, namun kondisi sekarang beberapa kawasan hutan kita telah mengalami deforestasi dan degradasi lahan sehingga sumberdaya genetik pohon hutan yang sangat bermanfaat untuk generasi yang akan datang terancam hilang/punah. Beberapa jenis pohon asli Indonesia yang terancam punah antara lain Ulin (Eusideroxylon zwageri) merupakan jenis asli Kalimantan dan Sumatera bagian selatan (Sumbagsel) dan Eboni (Diospyros celebica) yang merupakan jenis endemik Sulawesi. Ulin sebagai salah satu penyusun hutan hujan tropika basah di pulau Kalimantan dan Sumbagsel, merupakan jenis favorit untuk perdagangan lokal maupun ekspor. Kayu ulin yang sering juga disebut sebagai kayu besi sangat kuat dan sangat awet sehingga tergolong ke dalam Kelas Kuat I dan Kelas Awet I. Jenis kayu ini, banyak digunakan sebagai bahan baku konstruksi berat seperti dermaga kapal, pintu air,
ix
bendungan, jembatan, tiang listrik, pilar dan tonggak rumah, rumah tradisional masyarakat suku Dayak, dan lain-lain. Eboni termasuk kayu mewah (fancy wood) merupakan jenis endemik Sulawesi, memiliki warna dan corak kayunya yang bernilai artistik/dekoratif tinggi, awet dan sangat kuat. Banyak digunakan untuk bahan baku furniture, ukir-ukiran, patung, alat musik seperti gitar dan piano, tongkat, kayu lapis mewah, kotak perhiasan yang harganya sangat mahal yang di-export ke Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Cempaka (Michelia champaca Linn.), termasuk famili Magnoliaceae, memiliki serat kayu yang halus, dapat digunakan sebagai bahan baku industri, konstruksi, furniture, vinir, plywood, particle board, ukiran dan barang-barang dekorasi. Selain kayu, jenis ini menghasilkan bunga untuk wangi-wangian dan untuk bahan baku minyak atsiri yang mempunyai nilai jual tinggi. Di Indonesia, cempaka tumbuh tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil. Namun populasi alami M. champaca pada beberapa daerah sudah jarang dijumpai. Tetapi di beberapa daerah lain telah dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat. Untuk mencegah laju kepunahan jenis-jenis langka tersebut maka konservasi baik in-situ maupun ex-situ menjadi kegiatan yang sangat mendesak untuk dilaksanakan. Kayu jenis ulin dan eboni bernilai ekonomi tinggi namun pertumbuhannya sangat lambat sehingga memerlukan waktu panen yang lama, pohon induk yang sulit ditemukan sehingga koleksi benih yang terbatas, biaya pembibitan dan penanaman yang tinggi merupakan beberapa kendala yang meyebabkan masyarakat maupun dunia usaha enggan untuk membudidayakanya. Oleh karena itu, konservasi sumberdaya genetik jenis ulin dan eboni menjadi tugas pemerintah pusat maupun pemerintah daerah endemik jenis tersebut. Hadirin yang saya hormati, Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan/didanai dari Proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F) mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mempromosikan kegiatan konservasi jenis pohon terancam punah (Ulin/Eusideroxylon zwageri), Eboni/Diospyros celebica dan Cempaka/Michelia champaca) selama dua tahun (2010 - 2012).
x
Kegiatan tahun 2010 adalah studi literatur untuk sintesa hasil-hasil penelitian jenisjenis tersebut dan analisis keragaman genetik dengan pendekatan DNA. Dengan mengacu pada hasil kegiatan tahun 2010, kegiatan pembangunan Plot Konservasi ex-situ ke tiga jenis tersebut dilakukan pada tahun 2011-2012. Plot Konservasi exsitu jenis Michelia dibangun di Jawa Barat, jenis Ulin di Sumatera Selatan, dan jenis Eboni di Sulawesi Selatan yang masing-masing merupakan habitat alaminya. Pembangunan plot konservasi genetik diharapkan akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya melestarikan berbagai jenis pohon terancam punah tersebut. Kegiatan konservasi jenis-jenis terancam punah, khususnya ulin dan eboni dengan beberapa kendala yang dihadapi nampaknya membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun, khususnya untuk menghasilkan plot konservasi genetik yang ideal. Selain itu, pembangunan Plot Konservasi Genetik perlu dikembangkan untuk jenis-jenis terancam punah lainnya seperti cendana (Santalum album) jenis endemik Nusa Tenggara Timur dan Merbau (Intsia bijuga) jenis asli Papua dan Maluku. Oleh karena itu, diharapkan ITTO akan mempromot keberlanjutan proyek ini ke phase berikutnya untuk perluasan dan duplikasi plot konservasi genetik, pengkayaan sumber materi genetik, pengembangan/pembangunan plot konservasi genetik jenis cendana dan merbau. Untuk jangka panjang, perlu kiranya dipikirkan perihal tanggung jawab pemeliharaan plot-plot Konservasi ex-situ yang sudah dibangun dapat diteruskan oleh pemerintah daerah. Hadirin yang saya hormati, Pada kesempatan yang baik ini, kami ingin berbagi informasi tentang pembangunan plot-plot konservasi genetik jenis-jenis pohon terancam punah dan mengeksplorasi kegiatan sejenis yang telah dilakukan oleh BBPBPTH Yogyakarta, beberapa Perusahaan Kehutanan (PT. Sari Bumi Kusuma dan PT. ITCI) dengan bimbingan para ahli dari Fakultas Kehutanan UGM. Tokoh masyarakat penggiat konservasi ulin, eboni dan cempaka yang berkesempatan hadir pada lokakarya nasional ini diharapkan dapat berbagi pengalaman dan menyerap informasi dan teknologi baru yang belum dikuasai. Sesuai tujuannya, forum ini juga dimaksudkan sebagai media untuk meningkatkan kesadaran, motivasi dan upaya konservasi jenis-jenis pohon terancam punah melalui demonstrasi (poster) yang menyajikan metode-metode propagasi/perbanyakan jenis-jenis pohon dimaksud. Untuk itu, partisipasi aktif saudara sekalian dalam lokakarya ini sangat kami harapkan.
xi
Akhirnya, dengan mengucap Bismillahirrohmaanirrohiim, Lokakarya Nasional tentang ”Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)” ini secara resmi saya nyatakan dibuka. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan, perlindungan dan petunjuknya kepada kita semua, sehingga acara ini dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Semoga semua kerja keras kita memperoleh balasan kebaikan dari Allah SWT. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, 29 Mei 2012 Kepala Badan, ttd Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc.
xii
RUMUSAN HASIL
Memperhatikan sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan yang diwakili oleh Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, paparan para narasumber, pembahasan oleh Dr. Sapto Indrioko dan diskusi yang berkembang selama Lokakarya Nasional Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka) yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangaan Konservasi dan Rehabilitasi bekerjasama dengan International Tropical Timber Organization (ITTO), melalui proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F) di Bogor pada tanggal 29 Mei 2012, dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut: 1.
Hutan alam tropis Indonesia yang dikenal sebagai mega biodiversity, telah mengalami deforestasi dan degradasi sehingga sumberdaya genetik berbagai jenis pohon terancam punah seperti Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan jenis endemik Kalimantan dan Sumbagsel, dan Eboni (Diospyros celebica) jenis endemik Sulawesi. Oleh karena itu, program konservasi in-situ maupaun ex-situ sangat mendesak untuk dilaksanakan.
2.
Bebeberapa jenis pohon langka pada umumnya bernilai ekonomi tinggi, namun di sisi lain memiliki beberapa keterbatasan seperti pertumbuhan lambat sehingga daurnya lama, pohon induk di alam sulit ditemukan sehingga koleksi benih terbatas, dan biaya pembibitan serta penanaman yang tinggi. Hal ini menyebabkan masyarakat maupun dunia usaha enggan untuk membudidayakanya. Oleh karena itu peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menangani ancaman kepunahan jenis-jenis tersebut menjadi sangat penting.
3.
Proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F) dimulai dengan kegiatan studi literature dan pengamatan lapang tentang status pengelolaan dan konservasi, sebaran alam, musim berbuah di masing-masing sebaran alam, dan melakukan analisis keragaman genetik tiga jenis pohon terancam punah (ulin, eboni dan cempaka). Berdasarkan data dan informasi dari beberapa kegiatan tersebut, dilakukan pembangunan plot konservasi genetik jenis-jenis dimaksud yang meliputi kegiatan ekplorasi dan pengumpulan materi genetik, pembuatan bibit di persemaian, survei dan persiapan lokasi penanaman, dan penanaman bibit di lapangan.
4.
Proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F) telah membangun beberapa plot konservasi genetik pohon yaitu 1). Plot konservasi genetik jenis ulin
xiii
(Eusideroxylon zwageri) di KHDTK Kemampo-BPK Palembang berasal dari 29 pohon induk yang tersebar di 5 provenance, 2). Plot konservasi genetik jenis eboni (Diospyros celebica) di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan berasal dari 28 pohon induk yang tersebar di 6 provenance dan 3). Plot konservasi genetik jenis Cempaka (Michelia champaca) di Hutan Penelitian Pasir Hantap Sukabumi-PuskonseR yang materi genetiknya berasal dari 21 pohon induk yang tersebar di 4 populasi. 5.
Upaya pemeliharaan dan pengamatan pertumbuhan tanaman pada beberapa plot konservasi genetik yang sudah dibangun dan penambahan materi genetik dari populasi alam yang belum dikoleksi terutama untuk jenis ulin dan cempaka yang mempunyai sebaran alam yang cukup luas menjadi hal yang krusial untuk dilakukan sebagai tindak lanjut dari proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F). Dengan demikian, proyek ITTO yang saat ini hanya berlangsung selama 2 tahun, perlu diusulkan untuk fase berikutnya.
6.
Exit strategy proyek ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F) akan dirumuskan lebih lanjut dan diarahkan untuk mengoptimalkan peran Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang, Pemda dan masyarakat dalam konservasi jenis-jenis langka yang sudah maupun yang belum ditangani.
7.
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan pemeliharaan Demplot Konservasi Sumberdaya Genetik (KSDG) Tanaman Hutan di Jawa merupakan salah satu faktor kunci yang harus diperhatikan. BBPBPTH Yogyakarta, telah mengembangkan model pelaksanaan KSDGTH berbasis desa. Model pembangunan demplot ini melibatkan masyarakat mulai dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pengambilan keputusan tentang jenisjenis pohon yang akan ditanam di demplot tersebut, sehingga tujuan konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Model ini diharapkan bisa dikembangkan dengan bekerjasama dengan Pemda dengan memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau yang ada di setiap kota.
8.
Beberapa perusahaaan swasta telah terlibat aktif dalam pengelolaan sumberdaya genetik beberapa jenis pohon langka. Plot Konservasi in-situ jenis ulin di areal PT. ITCI Kartika Utama di Kaltim dibuat pada tahun 1996 dengan luas areal ± 120 Ha. Sedangkan di areal PT. Sari Bumi Kusuma, Kalteng telah dibangun plot konservasi in-situ jenis-jenis Dipterocarpa pada tahun 2003, kerjasama antara PT. Sari Bumi Kusuma, UGM dan ITTO, dan pada tahun 2006 kerjasama PT. Sari Bumi Kusuma, UGM dan Kementerian Kehutananan. Lokasi tersebut diharapkan dapat menjadi “laboratorium alam”
xiv
untuk beberapa aspek penelitian seperti biologi reproduksi, permudaan alam, silvikultur hutan alam, dinamika populasi tegakan, dan beberapa penelitian dengan menggunakan penanda molukuler. 9.
Pembangunan plot konservasi adalah salah satu strategi dalam pengelolaan sumberdaya genetik pohon secara in-situ dan ex-situ dalam rangka pelestarian keragaman genetik dan pemanfaatan yang lebih luas untuk kepentingan ekologi, ekonomi dan nilai-nilai sosial budaya. Plot konservasi genetik yang dikelola stakeholders secara kolaboratif dapat menjadi sumber keragaman genetik jenis pohon langka/terancam punah dan bernilai ekonomis tinggi. Plotplot konservasi ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong upaya masyarakat yang telah memiliki kearifan lokal dalam pengembangan jenis (konservasi exsitu), khususnya ulin, eboni dan cempaka melalui pengembangan kebun bibit rakyat dan hutan rakyat. Konservasi secara ex-situ telah terlihat dari pengembangan Hutan Rakyat (eboni) atau disebut dengan HEM (Hutan Eboni Masyarakat) di Sulawesi Selatan dan Agroforestri Cempaka di Sumatera Selatan yang dikelola oleh masyarakat.
10. Berdasarkan pentingnya ketersediaan pohon induk dan anakan sebagai sumber bibit, maka plot konservasi in-situ perlu dibangun di kawasan konservasi (Cagar Alam dan Taman Nasional). Pembangunan plot konservasi ini akan membantu teknis restorasi ekosistem kawasan konservasi tersebut. 11. Mengingat masih banyak jenis pohon langka yang belum ditangani, perlu disusun Strategi Konservasi Sumberdaya Genetik Pohon, sebagai acuan praktisi lapangan sehingga upaya pelestarian sumberdaya genetik jenis-jenis pohon langka dapat lebih optimal. Keragaman genetik suatu jenis pohon target merupakan informasi awal untuk menentukan strategi konservasi sumberdaya genetik. Pihak dunia usaha sektor kehutanan diharapkan memberikan dukungan terhadap upaya konservasi sumberdaya genetik melalui kolaborasi dengan para pihak terkait. Bogor, 29 Mei 2012
xv
xvi
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
MAKALAH DAN PRESENTASI Bidang Konservasi Sumberdaya Genetik Secara Exitu
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
1
Prosiding Lokakarya Nasional
2
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
CONSERVATION EFFORTS OF THREATENED TREE SPECIES (ulin/Eusideroxylon zwageri, ebony/Diospyros celebica, and cempaka/Michelia champaca) 1 By: Murniati 2
ABSTRACT Many tropical timber species are currently under serious threat. This is primarily due to human related activities which intensified lately. The species have been facing a great pressure to extinction caused by various disturbance and habitat encroachment in their natural range distribution. These conditions have also been enhanced by the lack of monitoring and up-dating of data and information on forest resources including the threatened forest tree species as well as less successful protection and conservation of those species both inside and outside their natural habitat. This paper focused on updating ecological and biological data, conservation status and efforts of ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.), ebony (Diospyros celebica Bakh.), and cempaka (Michelia champaca Linn). Method used was desk study through synthesized of several related studies. Ulin is a native species of Sumatra and Kalimantan, and ebony is a native species of Sulawesi that have to be maintained/preserved by the government, local communities, even the international societies. Currently, IUCN classified the ulin and ebony are as vulnerable species. Although cempaka is not a vulnerable species, it has good prospect to be developed and maintained because of its multiple uses. To maintain and to conserve genetic resources of ulin, eboni and cempaka, ex-situ conservation plots of the species have been established at three locations, namely at Kamampo Research Forest, South Sumatera for ulin, at Bantimurung Bulusaraung National Park, South Sulawesi for ebony and at Pasir Hantap Research Forest, West Java for cempaka. Keywords: Conservation effort, ex-situ conservation, native species
ABSTRAK Saat ini banyak jenis kayu tropis sedang dalam ancaman yang serius, terutama disebabkan oleh kegiatan manusia yang semakin intensif. Jenis-jenis ini semakin 1
2
Makalah penunjang pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. Centre for Conservation and Rehabilitation Research and Development
[email protected],
[email protected]
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
3
Prosiding Lokakarya Nasional
menghadapi kepunahan disebabkan oleh berbagai gangguan dan perambahan pada habitat alaminya. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya monitoring dan pemutakhiran data tentang sumberdaya hutan termasuk jenis pohon terancam punah serta belum optimalnya upaya perlindungan dan konservasi jenis-jenis tersebut, baik di dalam maupun di luar habitat alaminya. Makalah ini mencoba mereview dan memutakhirkan data ekologi dan biologi, status dan upaya-upaya konservasi ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.), eboni (Diospyros celebica Bakh.), dan cempaka (Michelia champaca Linn). Metode yang digunakan adalah studi pustaka dan sintesa berbagai laporan yang terkait. Ulin adalah jenis asli Sumatera dan Kalimantan, sedangkan eboni merupakan jenis asli Sulawesi yang harus dijaga dan dilestarikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat (lokal dan internasional). IUCN telah memasukkan kedua jenis ini pada kategori rentan. Sekalipun tidak termasuk jenis yang rentan, namun karena mempunyai manfaat ganda, cempaka mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dan dijaga kelestariannya. Untuk menjaga dan mengkonservasi sumberdaya genetik ulin, eboni dan cempaka, plot konservasi ex-situ dari ketiga jenis tersebut telah dibangun di tiga lokasi, yaitu di Hutan Penelitian Kemampo, Sumatera Selatan untuk ulin, di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan untuk eboni dan di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Jawa Barat untuk cempaka. Kata kunci: Upaya konservasi, konservasi ex-situ, jenis asli.
I. INTRODUCTION Indonesia have tropical rain forests that reach with timber tree species. However, some of the species are currently under serious threat to extinction caused by various disturbance and habitat encroachment in their natural range distribution. Lack of awareness on importance of the species sustainable management and its contribution to community welfare and national economy has been contributed to the threat. These conditions have also been enhanced by the lack of monitoring and up-dating of data and information on forest resources including the threatened forest tree species as well as less successful protection and conservation of those species both inside and outside their natural habitat. Among the tropical tree species that currently under serious threat, there are some tree species having a high value and a great demand, such as ulin/iron wood (Eusideroxylon zwagery Teijsm.& Binn.), ebony (Diospyros celebica Bakh.) and cempaka (Michelia champaca Linn.). Wood of those tree species are much favored since they have good natural properties, either in quality or beauty. Ulin wood is very strong and very durable, which is classified into Strength and Durability Class I (Martawijaya et al., 2005). Ebony belongs to luxury timber species. Beside it is durable and strong wood, the heartwood with black and reddish brown stripes
4
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
makes the texture very beautiful. The Strength and Durability of the ebony wood were also classified into Class I (Martawijaya et al., 2005). Cempaka wood has fine fiber, the strength and durability were classified into Class II and it can be used as raw material for industry, construction, furniture, veneer, plywood, particle board, carving and decoration items (Martawijaya et al., 1989). Cempaka flowers are used for raw material of perfumery and essential oils. Increase demand for these tree species has caused a high price and accelerated logging activities including illegal logging. Therefore, their potency and population decreased significantly and are getting difficult to find in natural forest. Currently, these species are mostly found only in national parks, protected forests, forest research areas and remote forest production areas. Various efforts including government policies, which are related to the management and utilization, maintenance and plantation in their natural habitat (in-situ conservation) and outside their natural habitat (ex-situ conservation) are required to keep the sustainability of the tree species. Activities such as enrichment planting and planting of ulin, ebony and cempaka need to be conducted immediately. Even though, in some places it has been done, but the results have not been maximal yet. The purpose of this paper is to present the biological and ecological data as well as the management and conservation efforts of the selected threatened tree species (ulin, ebony and cempaka). This paper also presents recommendations of efforts and activities needed to be carried out to preserve those tree species. The presented information is expected to assist policy makers in determining the steps needed to preserve ulin, ebony and cempaka.
II. METHODOLOGY Desk study through synthesized of several related study reports was used in this manuscript. Most of the repots produced by ITTO Project title “Promoting Conservation of Selected Tree Species Currently Threatened by Habitat Disturbance and Population Depletion”. The project focuses on conservation efforts and genetic diversity of some tree species having a high value and a great demand, such as ulin/iron wood (Eusideroxylon zwagery Teijsm.& Binn.), ebony (Diospyros celebica Bakh.) and cempaka (Michelia champaca Linn.).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
5
Prosiding Lokakarya Nasional
III. RESULTS AND DISCUSSION A. Biology and Ecology of Ulin, Ebony and Cempaka 1. Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) Ulin (E. zwagery Teijsm & Binn.) belongs to Lauraceae family. An evergreen tree of up to 40 (-50) m tall; bole straight, branchless for up to 20 m but usually less, sometimes slightly fluted at the base, up to 150(-220) cm in diameter; buttressed; bark surface red or grey-brown with thin cracks; crown dense, globular; Leaves arranged spirally, elliptical to ovated (Soerianegara and Lemmens, 1994). Ulin fruit is egg-shaped, pointed or blunt tip. Fruit size varies, large fruit sizing 1018 cm long with diameter of 7-10 cm. In each fruit contains one seed (Beckman, 1949 in Yusliansyah et al., 2004). Ulin wood is one of the heaviest wood, (Specific Gravity 1.04 (0.88 to 1.19), classified as Durability Class I and Strength Class I (Martawijaya, 1989, Barly, 2002), hence it is widely used for various purposes such as foundation in water and wetlands, shingle roof, frames and doors. In Banjarmasin ulin fossil is used as stone rings and jewelry (Anonymous, 2009). E. zwageri is a native tree species (indigenous tree species) of Indonesia. Ulin naturally found in the island of Sumatra (South Sumatra, Jambi), Bangka Belitung and on the island of Kalimantan. Ulin grows naturally in lowland primary forest at an altitude of up to 400 m above sea level (Heyne, 1987). In South Sumatra ulin grows in soils having sandy clay loam texture with low soil fertility (Nugroho, 2006). Soerianegara & Lemmens (1994), Sidiyasa (1995) and Sidiyasa et al. (2009) in Sidiyasa (2011) reported that ulin grows well at areas with an altitude of up to 500 (-625) m asl, flat and sloping areas, well drainage of soil and at 2500 – 4000 mm/year of rainfall. Further more Sidiyasa (2011) stated that the air humidity of ulin sites was relatively high and the soil pH was low to moderate with chemical fertility of the soil was low. 2. Ebony (Diospyros celebica Bakh.) Ebony (Diospyros celebica Bakh.) belongs to Ebenaceae family. It is a medium to large tree, the height reaching 40 m with clear bole height 10-21 m, diameter can reach 100 cm, large trees have buttresses of 3 m high, the color of sapwood is white, pink with 4.5 to 7 cm thick. Heartwood color is black or chocolate brown striped or black striped, when viewed its in cross-section line is a circle (Soerianegara, 1967a in Prajadinata et al., 2011). According Martawijaya
6
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
et al. (1989), ebony wood is very hard (Specific Gravity 1.05), Strength Class I and Durability Class I and widely used for luxury furniture, sculpture, carving, fan, statues, decorative tools, fancy veneer, musical instruments and ornaments. Prajadinata et al. (2011) described that the canopy of ebony is cylindrical to cone-shaped, leaves single alternate. Flowers are small, white colored. The fruit is oval and hairy. Flesh of fruit whitish colored and are eaten by wildlife, birds and mammals. The fruit has 10 seeds, but only 2-8 seeds become good seeds. Fruits are ripe during September and October. The seeds belong to recalcitrant seed (germinate quickly) so they cannot be stored for a long time. Directly germinated fresh seeds may reach 90%, while those stored for 12 days in the refrigerator, the germination decreased to 20% (Kiding Allo and Sallata, 1991). In nature D. celebica is commonly found in mixed forests ranging from Central Sulawesi (Poso, Donggala, Toli-Toli, Kolonodale and Banggai) to the South Sulawesi (Mamuju, Luwuk, Malili, Bone, Wajo, Barru, Maros, Pangkajene, and Polmas) and in North Sulawesi (Soerianegara, 1967a, Anonymous, 1981 and Paembonan, 2002 in Prajadinata et al., 2011). Grows at an altitude of 10 m - 400 m above sea level, on various soil types, ranging from chalky soil, clay to sandy or rocky, ground sloping to steep topography ranges 15-65% , with rainfall between 1230 to 2737 mm/year (Soerianegara, 1967a in Prajadinatan et al., 2011). According to Santoso (1997) in Parajadinata et al., 2011, ebony distributes naturally in Celebes (Sulawesi) island at an altitude of 500-700 m above sea level. Ebony is categorized as slow-growing tree species, its diameter increment during the first 20 years was 1.5 cm/year, then it decreased to 0.5 cm/year (Soerianegara, 1967b in Prajadinata et al., 2011). 3. Cempaka (Michelia champaca Linn.) Yellow cempaka (Michelia campaca Linn. Synonyms of M. velutina BL or M. pilifera Bakh, f) belongs to Magnoliaceae family. Cempaka tree generally 15-25 m tall and has a trunk diameter of 40-50 cm (Heyne, 1987). In nature the tree can reach 50 m high with a trunk diameter of 1.8 m. Flowering is throughout the year, the color ranges from yellow to orange. The tree starts flowering after the age of 4-5 years (Oyen et al., 1999 in Prajadinata et al., 2011). The flowers are used as fragrances and raw material of essential oils. The plants can be propagated by seeds or grafting. Cempaka wood has a fine fiber, classified into Strength Class II and Durability Class II and can be used as raw material for industry, construction,
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
7
Prosiding Lokakarya Nasional
furniture, veneer, plywood, particle board, carving and decoration items (Martawijaya, 1989). In Indonesia this species distributes in Sumatra, Jawa, Sulawesi and Lesser Sunda Islands. It grows at an altitude of 250- 1500 m above sea level (Oyen et al., 1999 in Prajadinata et al., 2011), at climate type A or B according to Smith and Ferguson classification with rainfall ranging from 1000 to 2000 mm/year (Saputra, 1991 in Iskandar, 2003). In Java cempaka cultivation is carried out on land up to about 1200 m above sea level (Heyne, 1987). Cempaka grows well in soils dominated by clay, slightly moist soil conditions and normal pH (Iskandar, 2003).
B. Genetic Diversity of Ulin, Ebony and Cempaka The availability of information on genetic diversity of a species is essential for designing an appropriate sampling strategy for genetic conservation purposes. Ideally, any genetic conservation works should have information on genetic diversity of the species before hand. However, the genetic diversity information for most tropical rain forest species is still limited. 1. Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) Genetic diversity of E. zwageri has been reported by Sulistyowati et al. (2005), Rimbawanto et al. (2006), Irawan (2005, 2011) and Widyatmoko et al., 2011. Sulistyowati et al. (2005) evaluated genetic diversity of four populations (provenances) of E. zwageri in three provinces in Kalimantan, namely Sepaku (East Kalimantan), Seruyan Hulu and Sumber Barito (Central Kalimantan), and Nanga Tayap (West Kalimantan) by using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). They reported that mean genetic diversity of four provenance of E. zwageri was 0.379. The highest genetic diversity belongs to Seruyan Hulu provenance (0.415) and the lowest one indicates by Sumber Barito provenance (0.329). A research was done by Rimbawanto et al., 2006, to analyze genetic diversity of five populations (provenances) of E. zwageri growth at 5 sites in East Kalimantan, i.e. Kutai National Park, Meratus, Sungai Wain, Samboja and Lempake. The result showed that genetic diversity of Kutai National Park and Sungai Wain populations was higher than the other populations and the mean genetic diversity of the five populations was 0.356. Other study on the genetic diversity of E. zwageri was conducted by Widyatmoko et al., 2011. They analyzed
8
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
genetic diversity of E. zwageri from two provenances in Sumatra (South Sumatra and Jambi Provinces). The result indicated that the mean genetic diversity of the two provenances was 0.368. Results of those three studies on genetic diversity of E. zwageri indicated that genetic diversity in the E. zwageri populations was still high. In order to reveal genetic degradation within population, Widyatmoko et al. (2011) were also analyzed two sample groups from each provenance, those were trees and wildlings. The result showed that genetic erosion from trees to wildling of ulin does not occurr. Irawan (2005 and 2011) reported a study result on genetic variation of E. zwageri using DNA marker as well as morphological trait analysis. The results show that genetic variation among E. zwageri varieties is high. The study also verified that morphological variability of E. zwageri varieties has a genetic basis. Seed morphological characteristics were chosen as the main characteristic to differentiate E. zwageri varieties since they show clear differentiation among varieties and are more stable than other characteristics. Four varieties of E. zwageri had been identified based on this study, namely zwageri, exilis, ovoidus and grandis. Exilis means “slender”, ovoidus means “rounded shape”, grandis means “big or giant”, while zwageri has a moderate seed shape; its shape is between long cylindrical and rounded. 2. Ebony (Diospyros celebica Bakh.) Genetic diversity of D. celebica has been reported by Widyatmoko et al., 2011. They analyzed genetic diversity of D. celebica from three provenances in Sulawesi (Wasupoda and Mangkutama Districts in South Sulawesi and Parigi Moutong in Central Sulawesi). The result indicated that the mean genetic diversity of the three provenances was 0.2886. The highest genetic diversity was revealed by Parigi (0.3217) and followed by Mangkutana (0.2966). The lowest genetic diversity was belonged to Wasupoda (0.2476). Genetic diversity of the D. celebica populations was still high, eventhough number of individual trees in some provenances/populations decreased. Some reasons of this condition are base genetic diversity of the provenances was high and high cross pollination between individual trees within provenances. In order to reveal genetic degradation within population, Widyatmoko et al. (2011) also analyzed two sample groups from each provenance, those were trees and wildlings. The result showed that genetic erosion from trees to wildling of ebony does not occur.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
9
Prosiding Lokakarya Nasional
3. Cempaka (Michelia champaca Linn.) Genetic diversity of M. champaca has been reported by Widyatmoko et al., 2011. They analyzed genetic diversity of M. champaca from three provenances, two from South Sumatra (Lahat District) and the other from East Java (Pasuruan District). The result indicated that the mean genetic diversity of the three provenances was 0.1878. In order to reveal genetic degradation within population, Widyatmoko et al. (2011) also analyzed three sample groups from each provenance, those were trees, poes and wildlings. The result showed that genetic erosion from trees to poles and wildling of cempaca occurred. Genetic diversity of seedling in Lahat (South Sumatra) and poles in Pasuruan (East Java) tended to decrease from their parents trees. This may be caused by high inbreeding through non-random mating system of the mother trees.
C. Conservation Status of Ulin, Eboni and Cempaka Conservation is an effort for widely sustainable use. Conservation should be interpreted as a continuity between the research, utilization and protection (Waluyo, 2002). Conservation does not mean just for protection but must also for widely used. To determine the conservation status of a species, its utilization, potency, distribution and regeneration status must be known. 1. Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) According to Indonesian Ministry of Agriculture decree No. 54/Kpts/UM/2/ 1972, E. zwageri is among the protected tree species and cutting is restricted to trees over 60 cm diameter at breast height. Based on the regulation of Forestry Minister No. P.35, 2009, export of ulin is only permitted for processed ulin wood products (prokalino/produk kayu ulin olahan). Oldfield, et al. (1998) showed that E. zwageri was in the list of threatened tree species. Its decline was first noted in 1955. Population reduction caused by over exploitation and shifting agriculture has been noted in the following regions: Kalimantan, Sumatra, Sabah, Sarawak and the Philippines. Its regeneration in logged forests is limited. So far, the species has only been planted on a small scale because the supply of seeds and seedlings is inadequate. Based on the 2000 IUCN red list of threatened species, E. zwageri’s category and criteria are VU A1cd+2cd. This means that E. zwageri is not critically endangered or endangered but is facing a high risk of extinction in the wild in the medium-term future (IUCN, 2001).
10
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
The major threats to E. zwageri are over-exploitation, shifting cultivation, the introduction of chain saws and extensive road systems by the timber industry, selective logging, infrastructure (roads, dams, power lines, etc.) (Peluso, 1992; Kostermans, et al., 1994; IUCN, 2001 in Irawan, 2011). Logging and clearing for plantations and agriculture have been especially heavy in the lowlands east of the Barisan Range, especially since the 1998-1999 economic crisis. Extensive stands of E. zwageri have been almost entirely destroyed in southern Sumatra (WWF, 2001 in Irawan, 2011). 2. Ebony (Diospyros celebica Bakh.) Since 1990 ebony was declared as protected species and prohibited to be felled. Ebony only be able to exploited based on approval and special permit from the government represented by the Ministry of Forestry (Decree of Forestry Minister No. 950/IV-TPHH/90). However, the activities of illegal exploitation of ebony wood still exist, eventhough recently logging mostly conducted at logged over areas and at hill top. Because in nature its population decreased drastically, the IUCN registered Diospyros celebica Bakh belong to vulnerable (VU A1 cd) category, which means that in natural habitat it was at a high risk for extinction. Criteria for determining this status is its population were diminished or decreased more than 20% in the last ten years and need to become a main target of conservation either its habitat or species. To prevent the excessive utilization trend that may worsen the status of this species, efforts towards sustainability of this species must be conducted immediately. 3. Cempaka (Michelia champaca Linn.) Cempaka wood is often used as materials for furniture because its quality is quite good and has beautiful performance. To get mature timber, based on silviculture system, cutting rotation of cempaka is 35-year. An annual height and stem diameter growth are between 1 to 1.8 m and 1.5 - 2 cm respectively. At the age of 16 years the trunk diameter reached 50 cm with a height of 20 m and at the age of 27 years has reached 27 m high with a trunk diameter of 55 cm (Iskandar, 2003). In Sulawesi, besides for local needs, cempaka wood also exported mainly to Japan and Australia. Nowdays, market demand both local and outside the country has increased which is followed by increase in price. Hence, the trees are harvested in age of 15-20 years although the production of wood has not optimal yet. In that
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
11
Prosiding Lokakarya Nasional
case, cempaka wood will diminish if it is not followed by intense planting. Based on its properties (grow fast and has a large distribution areas), planting of those species both in natural habitat and outside growing area promising a success plantation. Therefore, the plantation must be enlarged to prevent lack of timber supply of cempaka.
D. Conservation Efforts of Ulin, Ebony and Cempaka Conservation efforts of ulin, ebony and cempaka both in their natural habitat (in-situ conservation) and outside their natural habitat (ex-situ conservation) are necessary to guarantee their sustainable used. In-situ conservation effort may be through determination of seed stand, conservation forest, nature arboretum, and enrichment planting activities. Whereas ex-situ conservation efforts can be through the promotion of plantation activities and establishment of genetic conservation plots. 1. Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) Some of seed sources in different site were defined by The Directorate General of continuously. Until year 2009, The Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry had defined five sites of ulin seed source, each in Jambi, South Sumatra (Figure 1a), West Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan Provinces (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2009). In addition, some primary forests that can be able to use as conservation areas of ulin was reported by some references (Hakim, 2005; Iriansyah and Rayan, 2006; etc. in Prajadinata, 2011). Among them are: Ulin seed sources area belong to PT. ITCIKU, Balikpapan, East Kalimantan Province; Ulin forest in Kiham village, Seruyan Hulu Sub District, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan; Nature Arboretum of PT Suka Jaya Makmur, Ketapang District, West Kalimantan; ulin stand in Forest Area For Special Purposes (KHDTK) Samboja, East Kalimantan and Forest Reserve in Bukit Soeharto, East Kalimantan. Many efforts have been carried out in the framework of ex-situ conservation of ulin species, either by government or by societies. Several ex-situ conservation sites of ulin are: Sumberwringin Research Forest in Bondowoso, East Java; Arboretum of Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development, Bogor; Suban Jeriji and KHDTK Kemampo, South Sumatra (Figure 1b); Barabai City
12
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
Forest, South Kalimantan; Sempaja Arboretum and in the office circumstance of Forestry Research Center for Dipterocarp, Samarinda, East Kalimantan.
A
B
Figure 1. Two ulin trees at ulin seed stands in Mambang Custom Forest, South Sumatra (A), and two years old of ulin planted at Kemampo Research Forest, South Sumatra (B). A genetic conservation plot of ulin has been established in South Sumatra funded by the ITTO project PD 539/09 Rev.1 (F). The genetic materials were collected from several provenances in Sumatra (South Sumatra and Jambi Provinces) and Kalimantan (East and Central Kalimantan Provinces). 2. Ebony (Diospyros celebica Bakh.) There are six seed stand areas of ebony that had been designated as Identified Seed Stand, i.e Morowali, Parigi Moutong, Barru, East Luwu (2 locations) and Mamuju. In addition, local government/District Forestry Services have established ebony plantation in private communities land, combined with activities of Government Community Forestry Program. A local people in Ranang (West Kasimbar Village, Parigi Moutong District, Central Sulawesi Province) has been gradually planting ebony in their own gardens (in natural habitat of ebony) since 1989 and up to year 2010, the planting has covered area of 5 hectares of about 5,000 ebony trees (Figure 2A).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
13
Prosiding Lokakarya Nasional
Some planting activities have been done outside of the original habitat (exsitu conservation) for conservation and research objectives. Among others were carried out in Cikampek, West Java (Figure 2B); Wanagama (Central Java), at private communities lands in Central and South Sulawesi. Since 2001, in terms of “Prospective local species of Central Sulawesi Developing Program”, Forestry Service of Central Sulawesi Province, has been planting ebony in some places.
A
B
Figure 2. Ebony plantation forest in Parigi Moutong Custom Forest, Central Sulawesi (A), and Ebony plantation at Cikampek Arboretum (B). A genetic conservation plot of ebony has been done in South Sulawesi funded by the ITTO project PD 539/09 Rev.1 (F). The genetic materials were collected from several provenances in Central, West and South Sulawesi provinces. 3. Cempaka (Michelia champaca Linn.) Two seed sources of cempaka in South Sumatra Province were identified as an effort within the framework of implementing in-situ conservation. The seeds from these seed stands (Figure 3A) have been distributed to many places in Sumatra and even outside Sumatra. In the South Sumatra Province (mainly in Lahat and Empat Lawang Districts), cempaka has been planted on community’s land as a shading of coffee plantation (Figure 3B) and in combination with multi purposes tree species, like durian (Durio zibethinus Murr.) and petai (Parkia speciosa Hassk.). In East Java, cempaka trees have been planted in gardens around the slopes of Mount Arjuno as native habitat of cempaka in the area of about 410 to 764 meters above sea level. In the 2004/2005 Local Government supplied cempaka
14
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
planting stocks to communities in the villages along the edge of Mount Arjuno, Pasuruan District, to be planted in their gardens and house yards.
B
A
Figure 3. A cempaka tree in Muara Payang Seed Source (A), and cempaka trees mixed with coffee plantation (B). In 1988 cempaka were planted in the Jasa Tirta/Sumber Brantas Arboretum, about 12 ha, as an ex-situ conservation, located in Tulungrejo village (Bumiaji SubDistrict, Malang District, East Java Province). A genetic conservation plot of cempaka has been established in West Java funded by the ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F). The seeds were collected from several populations in South Sumatra and East Java Provinces.
IV. CONCLUSION Various efforts to conserve ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.), ebony (Diospyros celebica Bakh.) and cempaka (Michelia champaca Linn.) have been carried out including government policies, which related to the management and utilization, maintenance and plantation in their natural habitat (in-situ conservation) and outside their natural habitat (ex-situ conservation), but the results have not been maximal yet. To keep the sustainability of those tree species, the natural stands of ulin, ebony and cempaka in protected forests, national parks and
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
15
Prosiding Lokakarya Nasional
primary forests need to be maintained as germplasm, seed stands and mother trees. Activities such as enrichment planting and planting of ulin, ebony and cempaka need to be increased and continued.
REFERENCES Anonymous. 2009. Saatnya Melindungi Kayu Ulin. Viva Borneo. http://www.vivaborneo.com/saatnya melindungikayu ulin. htm. Diakses tanggal 4 November 2010. Barly. 2002. Kelas Keawetan 232 Jenis Kayu Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Mapeki V. Bogor 30 Agustus -1 September 2002. Bogor. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2009. Daftar Sumber Benih Tahun 2009. Departemen Kehutanan. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia II. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Irawan, B. 2011. Genetic Variation of Eusideroxylon zwageri and its diversity on Variety. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi bekerjasama dengan ITTO. Irawan, B. 2005. Ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) and its Varieties in Jambi, Indonesia. University of Gottingen. Gottingen. Iskandar. 2003. Teknik Budidaya Cempaka Sebagai Usaha Peningkatan Pendapatan Masyarakat. Tekno DAS. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur. Makassar. I.U.C.N. (2001). The 2000 IUCN list of threatened species. http://www.redlist.org/. Kiding A.M. and M.K. Sallata. 1991. Pengaruh lama dan tempat penyimpanan terhadap perkecambahan ebony. Jurnal Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Martawijaya, A., I. Kartasudjana, K. Kadir and S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Departeman Kehutanan. Jakarta.
16
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Conservation Efforts of Threatened… (Murniati)
Martawijaya, A., I. Kartasudjana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira and K. Kadir.1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Departeman Kehutanan. Jakarta. Nugroho, A.W. 2006 . Karakteristik Tanah pada Sebaran Ulin di Sumatra dalam Mendukung Konservasi. Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Oldfield, S., C. Lusty and A.M. Kinven. 1998. The world list of threatened trees. World Conservation Press. Prajadinata, S., R. Effendi and Murniati. 2011. Review of Management and Conservation Status of Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.), Ebony (Diospyros celebica Bakh.) and Cempaka (Michelia champaca Linn.) in Indonesia. ITTO Project in Cooperation with Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development, Ministry of Forestry. Rimbawanto, A., A.Y.P.B.C. Widyatmoko and Harkingto. 2006. Keragaman populasi Eusideroxylon zwageri Kalimantan Timur berdasarkan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Tanaman Hutan 3(3): 201-208. Sidiyasa, K. 2011. Sebaran, Potensi dan Pengelolaan Ulin di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi bekerjasama dengan ITTO. Soerianegara, I. and R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia No. 5(1) Timber trees: Major commercial timbers. Prosea, Bogor Indonesia. Pp 211-215. Sulistyowati, P., A.Y.P.B.C. Widyatmoko and A. Rimbawanto. 2005. Studi keragaman genetic 4 populasi Eusideroxylon zwageri menggunakan penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan: Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan (Eds. Eko B. Hardiyanto), pp 383-395. Waluyo, E.B. 2002. Gatra Etnobotani Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2. Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
17
Prosiding Lokakarya Nasional
Widyatmoko, A.Y.P.B.C., I.L.G. Nurtjahjaningsih and Prastyono. 2011. Study on the level of genetic diversity Diospyros celebica, Eusideroxylon zwageri and Michelia spp using RAPD Markers. ITTO Project in Cooperation with Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development, Ministry of Forestry. Yusliansyah, R. Effendi, Ngatiman, Sukanda, Ernayati and T. Wahyuni. 2004. Status Litbang Ulin (Eusideroxylon zwagery Teisjm & Binn). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan Samarinda.
18
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI GENETIK ULIN (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binnend.) DI HUTAN PENELITIAN KEMAMPO, SUMATERA SELATAN (Establishment of genetic conservation plots of ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binnend.) in Kemampo Research Forest, South Sumatera) 1 Oleh/By: Agung Wahyu Nugroho 2
ABSTRACT Over exploitation, shifting cultivation, forest fires and illegal logging are factors which caused ironwood (Eusideroxylon zwageri) endangered. Genetic resources conservation is important thing that has to be done urgently as a comprehensive effort in order to save ironwood from threat of extinction. Genetic conservation plots can provide genetic material for breeding program and maintain broad genetic base so that genetic variation can be saved. This paper explains and discusses the steps and strategies that have been made in establishing ironwood genetic conservation plot. Stages of activities undertaken include: exploration, selection of mother tree, collecting seed, seedling preparation, planting, and maintenance. The genetic conservation plots of ironwood have been established as wide as 1.5 ha in Kemampo Research Forest, Banyuasin District, South Sumatera Province. The genetic materials come from five provenances, namely Batanghari (10 mother trees), Sarolangun (6 mother trees), Musi Banyuasin (7 mother trees), Musi Rawas (6 mother trees) and Kalimantan. Maintenance of the plots and additions to mother trees need to be done to enrich genetic variation. Keywords: Conservation plot, genetic conservation, ironwood.
ABSTRAK Eksploitasi yang berlebihan, perladangan berpindah, kebakaran hutan dan illegal logging merupakan faktor-faktor yang menyebabkan ulin terancam punah. Konservasi sumber daya genetik merupakan hal penting mendesak dilakukan sebagai upaya 1
2
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
19
Prosiding Lokakarya Nasional
komprehensif guna menyelamatkan ulin dari ancaman kepunahan. Plot konservasi genetik dapat menyediakan material genetik untuk program pemuliaan dan mempertahankan luasnya basis genetik sehingga variasi genetik tetap terjaga. Tulisan ini memaparkan dan membahas langkah-langkah dan strategi yang telah dilakukan dalam membangun plot konservasi genetik ulin. Tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi: eksplorasi, pemilihan pohon induk, pengunduhan dan pengumpulan benih, pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan. Telah terbangun plot konservasi genetik ulin di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan seluas 1,5 Ha. Materi genetik berasal dari lima provenan dan terdiri dari 29 pohon induk., yaitu Batanghari (10 pohon induk), Sarolangun (6 pohon induk), Musi Banyuasin (7 pohon induk), Musi Rawas (6 pohon induk), dan Kalimantan. Pemeliharaan plot dan penambahan pohon induk perlu dilakukan untuk memperluas variasi genetik. Kata kunci: Plot konservasi, konservasi genetik, ulin.
I.
PENDAHULUAN
Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binnend.) atau yang dikenal dengan nama kayu besi borneo, tabulin, telian, tulian, belian, ulin di Kalimantan atau bulian, bulian rambai, onglen di Sumatera ini merupakan salah satu jenis pohon penyusun hutan tropika basah yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, dan hampir seluruh wilayah Kalimantan. Jenis ini dapat ditemukan pada berbagai jenis tanah dari dataran rendah hingga ketinggian 800 meter di atas permukaan air laut. Ulin termasuk jenis lambat tumbuh (slow growing) (Martawijaya dkk., 2005), termasuk dalam famili Lauraceae, ordo Laurales, kelas Magnoliopsida, filum Tracheophyta dan kingdom Plantae (IUCN, 2011). Ulin adalah jenis tanaman yang dapat tumbuh pada tanah bertekstur lempung liat berpasir dan kesuburan tanah yang rendah dengan nilai pH, KTK, KB dan kandungan N, P, K, C/N, K, Ca, Mg dan Na rendah dan kandungan Al yang tinggi (Nugroho, 2007). Ulin merupakan jenis kayu yang mempunyai banyak keunggulan dan termasuk jenis pohon penghasil kayu indah sehingga tidak mengherankan apabila banyak orang memburunya. Permasalahannya, kegiatan ini dilakukan tanpa diikuti usaha penanaman kembali sehingga populasi ulin di alam semakin menyusut/ rawan. Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), jenis ini telah terancam punah. Berdasarkan data IUCN (2011), jenis ini termasuk dalam kategori Vulnerable A1cd+2cd ver 2.3 artinya peka/sedang menghadapi resiko yang tinggi untuk mengalami kepunahan, dan telah dievaluasi untuk dimasukkan dalam Appendikx II
20
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
CITES. Potensi ulin di sebaran alaminya baik di Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat cenderung semakin menurun (Nugroho dkk., 2006; Sidiyasa, 2011). Penyebab utama keterancaman kepunahan ulin adalah eksploitasi yang berlebihan, perladangan berpindah, dan illegal logging (Irawan, 2002). Konservasi sumber daya genetik merupakan hal penting mendesak dilakukan sebagai upaya komprehensif guna menyelamatkan ulin dari ancaman kepunahan. Secara umum, konservasi sumber daya genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu konservasi in-situ dan ex-situ. Konservasi in-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di habitat alamnya. Konservasi ini bertujuan agar organisme berfungsi secara alami di ekosistem yang bersangkutan. Konservasi ex-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi ini bertujuan untuk melayani program breeding dan bioteknologi. Jadi konservasi ex-situ merupakan jembatan antara program pemuliaan dan bioteknologi dengan konservasi in-situ (Suseno dkk., 1998). Program konservasi genetik merupakan aktivitas yang menyatu dengan kegiatan pemuliaan pohon untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Kebun konservasi genetik dapat menyediakan material genetik yang diperlukan untuk menghasilkan benih unggul atau tanaman dengan karakteristik yang sesuai dengan keinginan (Soekotjo, 2004). Konservasi genetik juga berfungsi sebagai wahana untuk mempertahankan luasnya basis genetik (broad genetic base) suatu spesies, sehingga besarnya variasi genetik tetap terjaga. Dengan semakin luasnya basis genetik maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan. Kebun konservasi genetik merupakan kontribusi yang signifikan dalam upaya melestarikan berbagai jenis tumbuhan terancam kepunahan (langka), endemik, ekotipe, unik, dan bernilai ekonomi, yang di habitat alaminya mungkin sangat terancam atau bahkan telah punah (Widyatmoko, 2011). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan konservasi ulin terhadap ancaman kepunahan melalui pembangunan plot konservasi genetik ulin.
II. METODE PENELITIAN Secara umum, tahapan-tahapan dalam pembangunan plot konservasi meliputi: eksplorasi, pemilihan pohon induk, pengunduhan dan pengumpulan benih, persemaian, dan penanaman (Gambar 1).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
21
Prosiding Lokakarya Nasional Populasi 1
Populasi 2
Populasi 3
Populasi n
Pohon Induk
Pohon Induk
Pohon Induk
Pohon Induk
1
1
1
+++
+++
2
++
n
+ - -
3
+++
2
++
n
1
+++
2
++
n
+ - -
+ - -
3
3
2
++
n
+ - -
3
Pohon induk dengan fenotip baik, sedang, jelek
Pengumpulan benih
Persemaian
Penanaman
Populasi 1
Populasi 2
Populasi 3
Populasi n
Plot Konservasi Genetik
Gambar 1. Tahapan pembangunan plot konservasi ulin A. Eksplorasi dan Pengumpulan Benih Benih dikumpulkan dari pohon induk per populasi yang mewakili keseluruhan bentuk pohon penyusun tegakan (fenotipe jelek, sedang, bagus). Jarak antar pohon induk minimal 50 – 100 meter dengan asumsi tidak terjadi perkawinan antar pohon induk (Hakim dan Widyatmoko, 2011). Pendataan karakteristik pohon induk meliputi: diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter tajuk, kelimpahan biji, posisi koordinat pohon, ketinggian tempat, dan kondisi lingkungan. B. Skarifikasi Skarifikasi menggunakan metode mekanis yaitu merendam biji dalam air selama ± 2 jam, kemudian melakukan penjemuran di bawah terik matahari sampai kulit biji pecah dengan sendirinya (Leksono dan Kurnia, 1997). Biji yang sudah terlepas dari kulit kemudian dibersihkan dan direndam dalam larutan Atonik (1 liter air ± 10 cc cairan atonik) selama 48 jam untuk mempercepat proses perkecambahan. Selanjutnya biji disiram dengan air dan ditiriskan kemudian dihamparkan sampai kering angin.
22
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
C. Perkecambahan Biji ulin ditabur secara langsung ke dalam polybag (ukuran 25 cm x 20 cm) yang telah diisi media. Media terdiri dari campuran antara serbuk gergaji yang telah terdekomposisi dan pupuk kandang dengan perbandingan 4:1 (v:v). Penaburan dilakukan dengan membenamkan biji sedalam ± 2/3 bagian. Polybag yang telah ditaburi biji, kemudian diletakkan dan disusun ke dalam bedeng-bedeng ukuran 1 m x 10 m yang telah disiapkan. Untuk menjaga suhu, kelembaban, dan menghemat penyiraman, maka dibuat sistem genangan dan penyungkupan. Sistem genangan dibuat dengan menggunakan plastik yang dipasang pada dasar bedeng dan diisi air kurang lebih ¼ tinggi polybag. Penyiraman air ke dalam bedeng dilakukan secara fleksibel ketika volume air mulai berkurang. Penyungkupan dilakukan dengan membuat sungkup yang telah ditutup dengan plastik bening secara rapat. Bedeng yang telah disungkup kemudian diberi naungan dari paranet dengan intensitas naungan 75%. D. Pemeliharaan Bibit di Persemaian dan Lapangan Pembukaan sungkup plastik mulai dilakukan pada waktu bibit sudah mempunyai ± 4 helai daun. Penyiraman air dilaksanakan secara teratur setiap 2 – 3 hari sekali atau ketika media sudah mulai mengering. Untuk menghindari serangan jamur, dilakukan penyemprotan fungisida (Dytane 45 dengan dosis 2 g/lt) setiap 15 hari sekali. Untuk memacu pertumbuhan, dilakukan penyemprotan pupuk organik cair setiap 10 hari sekali dan pupuk daun (Gandasil D) dengan dosis 1 g/lt setiap 10 hari sekali. Pembersihan gulma (rumput) dilakukan rutin setiap 1 bulan sekali. Bibit yang sudah siap tanam ± umur 8 – 9 bulan, kemudian dipindahkan ke lapangan. Sebelum ditanam di lapangan, bibit di aklimatisasi selama kurang lebih 2 minggu untuk mengurangi stres. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyemprotan vitamin anti stres dan penyiraman air. E. Penanaman Penanaman dilaksanakan pada awal musim penghujan. Lokasi plot penanaman dipisahkan berdasarkan asal populasi. Untuk populasi yang sama diletakkan dalam plot yang sama dan dipisahkan dari plot populasi yang lain dengan jarak yang cukup (>50 m). Hal ini bertujuan untuk menghindari saling kawin antar populasi dan menjaga keaslian genetik dari masing-masing populasi.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
23
Prosiding Lokakarya Nasional
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Eksplorasi dan Pengumpulan Benih Penelitian yang dilakukan Widyatmoko, dkk. (2011) menunjukkan keragaman genetik ulin dari provenan Batanghari (Jambi) dan Musi Rawas (Sumatera Selatan) masih relatif tinggi dengan nilai rata-rata 0,3678. Keragaman genetik dalam provenan lebih tinggi daripada antar provenan. Demikian juga jarak genetik yang cukup tinggi antar klaster. Selanjutnya dikatakan bahwa koleksi materi genetik untuk konservasi ex-situ sebaiknya fokus baik pada individu di dalam provenan maupun pada setiap klaster. Setiap provinsi cukup diwakili oleh satu populasi atau provenan, dimana pada masing-masing populasi diwakili oleh jumlah individu yang cukup. Koleksi meteri genetik dapat dilakukan dari masingmasing pohon induk atau dapat juga secara bulk. Berdasarkan hasil penelitian di atas, kegiatan eksplorasi dan pengumpulan benih dilaksanakan pada lokasi sebaran alami di Provinsi Sumatera Selatan, dan Jambi. Sebaran alami ulin di Sumatera Selatan berada di Hutan Adat Mambang (Desa Beliti Jaya, Kabupaten Musi Rawas) dan areal PT REKI (Kabupaten Musi Banyuasin). Sedangkan di Provinsi Jambi berada di Cagar Alam Durian Luncuk 1 (Desa Guruh Baru, Kabupaten Sarolangun) dan Cagar Alam Durian Luncuk 2 (Desa Jangga Baru, Kabupaten Batanghari) (Siahaan, dkk., 2005; Junaidah, dkk., 2006; Nugroho, 2006). 1. Hutan Adat Mambang Lokasi ini telah ditetapkan sebagai Tegakan Benih Teridentifikasi (No. Sertifikat 38/V/BPTH.Sum-3/SSB/2006) dan secara administrasi berada di Desa Beliti Jaya, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan dengan posisi geografis 03004’ – 03005’ LS dan 103012’ - 103013’ BT dan ketinggian tempat 45-50 m dpl. Luas kawasan hutan ini berdasarkan hasil pengukuran Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan Wilayah II pada tahun 1997 seluas ± 30 ha. Vegetasi yang ada kebanyakan berupa kawasan berhutan dengan didominasi oleh jenis pohon ulin serta kawasan yang tidak berhutan diperkirakan sekitar ± 10 ha dari luas wilayah yang ada. Berdasarkan informasi dari Bapak Mahyudin dan Bapak Ridwan (jagawana), hutan adat ini merupakan kebun bulian yang ditanam oleh Moyang Desa Mambang dan Desa Bingin Jungut yaitu Moyang Telapa Libo (Telapa Lebar) pada abad X.
24
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Kayu bulian diambil dari kata bahasa musi “bellian” (artinya belanjaan). Konon, bibit dibeli dari daerah Palembang yang berasal dari kapal-kapal yang bersandar. Setelah sampai di Desa Mambang, ada yang bertanya “mudik ngunde ape?” (artinya mudik bawa apa) dari Palembang, dijawab “bellian” (artinya belanjaan). Hutan ini sampai sekarang tetap terjaga kelestariannya, karena masyarakat meyakini hutan adat mempunyai kekuatan magis sehingga ditakuti oleh masyarakat sekitar dan pendatang. Bentuk kearifan dari upaya pelestarian hutan adat ini melalui pengambilan kayu yang hanya dipergunakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan bersama. Pada waktu eksplorasi (Pebruari 2011), sedikit sekali ditemukan buah/biji, tapi banyak terdapat anakan alam dengan kerapatan ± 22 anakan per m2 dengan tinggi antara 50-100 cm. Dari hasil wawancara dengan jagawana, musim buah raya telah terjadi pada bulan Agustus tahun 2010. Selain itu, dijumpai adanya perbedaan pohon Ulin dilihat dari warna kulit batangnya. Ada 2 jenis warna kulit batang yaitu kulit batang warna kehitaman dan kulit batang warna kemerahan serta perbedaan ukuran daun antara keduanya. Untuk kulit batang kehitaman ukuran daun lebih panjang dari daun kulit batang kemerahan (Gambar 2). Dari lokasi ini, dapat diambil materi perbanyakan berupa buah dan anakan alam dari empat belas pohon induk (Tabel 1).
Gambar 2. Variasi bentuk daun ulin dewasa di Hutan Adat Mambang (Foto: Agung, 2011).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
25
Prosiding Lokakarya Nasional
Tabel 1. Karakteristik pohon induk di Hutan Adat Mambang Pohon Batang Dia. Induk ke(cm) 101 102
103
104
105 106 107 108 109 110 111 112 113 114
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 1 2 1 2
69 50 60 55 52 17 15 16 15 45 38 35 60 35 34 70 45 30 56 60 64 62,5 46 75
Tbc. T tot. Dia. Posisi Alt. (m) (m) tajuk geografis (m dpl) (m) (UTM) 10 20 8 15 25 15 20 28 13 22 31 14 23 27 14 12 17 11 10 18 10 10 16 12 11 16 17 12 16 12 12 17 11 14 18 11 15 25 6 10 15 8 12 15 8 15 30 12 7 15 10 8 17 10 59 02058’03” LS, 17 25 10 12 103010’33” BT 12 28 10 12 24 10 12 24 11 10 18 12 6 22
Keterangan
Buah Buah, anakan
Anakan
Buah, anakan
Anakan Anakan Anakan Anakan Buah, anakan Anakan Anakan Buah, anakan Buah Buah
Anakan alam dicabut dari tanah secara hati-hati setelah sebelumnya tanah di sekitar daerah perakaran digali. Bibit kemudian dimasukkan dalam karung yang telah berisi media pelembab (seresah dan tanah sekitar lokasi) dan diikat rapat per pohon induk (Gambar 3). Sebelum diangkut selama dalam perjalanan, daun anakan alam dipotong menjadi 2/3 bagian hingga menyisakan 2-3 daun. Akar anakan tersebut direndam selama kurang lebih 15 menit dalam cairan yang berisi hormon perangsang akar. Bibit dalam karung kemudian dimasukkan dalam plastik transparan dan diikat rapat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kehilangan air akibat transpirasi selama dalam perjalanan.
26
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 3. Proses pengepakan cabutan anakan alam (Foto: Agung, 2011). 2. Cagar Alam Durian Luncuk 1 Cagar Alam Durian Luncuk I telah selesai ditata batas definif pada tahun 1995 sebagai tindak lanjut penunjukkan kawasan konservasi (SK Menhut No: 34/Kpts-II/1987 tangggal 7 Mei 1987). Dari hasil tata batas tersebut, kawasan Cagar Alam Durian Luncuk I mempunyai luas 73,74 ha dan secara geografis terletak pada koordinat 103000’ - 103005’ BT dan 01055’ - 02000’ LS. Secara administratif pemerintahan, CA Durian Luncuk I terletak di Desa Guruh Baru, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Secara umum kondisi geografinya bergelombang yang berada pada ketinggian 3040 m dpl. Kondisi tanahnya merupakan jenis endapan aluvial. Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A. Terdapat sekitar 8 aliran anak sungai kecil di kawasan ini dengan aliran air yang stabil sepanjang tahun, walaupun pada musim kemarau debit aitnya agak berkurang (BKSDA Jambi, 2004). Berdasarkan informasi jagawana (Bapak Yatimun dan Bapak Kirno), ulin berbuah sepanjang tahun dan musim buah raya pada bulan Agustus-Oktober. Sehingga dari eksplorasi ini (Februari 2011), hanya ditemukan sedikit buah sisa dari tujuh pohon induk dengan karakteristik seperti pada Tabel 2.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
27
Prosiding Lokakarya Nasional
Tabel 2. Karakteristik pohon induk di Cagar Alam Durian Luncuk 1 Pohon Induk
Dia. (cm)
Tbc. (m)
201 202 203 204 205 206 207
30 32 28,5 28 39,5 60 46,8
6 8 7 12 10 7 4
T. tot. Dia. Posisi geografis Alt. (m) Tajuk (UTM) (m dpl) (m) 54 15 8 02001’24” LS, 103004’25”BT 12 7 13 8 16 8 20 9 22 10 20 11
Keterangan
Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah
Pengamatan di lapangan menunjukkan, kelestarian populasi ulin kawasan ini mulai terancam. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kayu gergajian (hasil) kegiatan penebangan liar (illegal logging) seperti kayu balok, kayu belahan, kayu bantalan, dan kayu chips (Gambar 4).
Gambar 4. Balok kayu ulin hasil penebangan liar di Cagar Alam Durian Luncuk 1 (Foto: Agung, 2011). Kayu belahan berasal dari sisa-sisa penebangan dan bekas tunggul ulin yang masih hidup. Kegiatan ini mengancam kelestarian pohon karena tunggul yang masih bisa bertunas digali sehingga akan mengakibatkan pohon mati. Kayu chips
28
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
adalah kayu log yang dipotong dengan ukuran ± 1,3 m. Ancaman yang lain adalah meningkatnya laju okupasi lahan kawasan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. 3. Cagar Alam Durian Luncuk 2 Seperti halnya Cagar Alam Durian Luncuk 1, Cagar Alam Durian Luncuk 2 telah selesai ditata batas definif pada tahun 1995 sebagai tindak lanjut penunjukkan kawasan konservasi (SK Menhut No: 34/Kpts-II/1987 tangggal 7 Mei 1987). Dari hasil tata batas tersebut, kawasan CA Durian Luncuk 2 seluas 41,37 ha. Secara geografis kawasan Cagar Alam Durian Luncuk 2 terletak pada koordinat 103000’ 103015’ BT dan 01045’ - 02000’ LS, ketinggian tempat 30 - 80 m dpl., pH tanah 5,4-5,7, dan kelembaban udara siang hari sebesar 75%. Secara administratif pemerintahan, Cagar Alam Durian Luncuk 2 terletak di Desa Jangga Baru Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Kondisi geografinya bergelombang dengan kondisi tanah merupakan jenis endapan alluvial. Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A. Di kawasan ini, terdapat satu aliran sungai kecil yang dikenal dengan sungai pecah mangkok yang mengalir dari arah selatan ke utara dan membelok ke arah timur dan bermuara di Sungai Jangga (BKSDA Jambi, 2004) (Gambar 5).
Gambar 5. Aliran anak sungai di Cagar Alam Durian Luncuk 2 (Foto: Agung, 2011).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
29
Prosiding Lokakarya Nasional
Pada waktu eksplorasi (bulan Pebruari 2011), tegakan ulin di lokasi ini sedang mengalami musim buah raya. Dari lokasi ini dapat diperoleh materi perbanyakan berupa buah dari sepuluh pohon induk dengan karakteristik seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik pohon induk di Cagar Alam Durian Luncuk 2 Pohon Dia. Tbc. T. tot. Dia. Induk (cm) (m) (m) tajuk (m) 301 302 303 304 305
54 42 52 104,5 43
5 12 12 12 11
15 16 16 22 17
8 7 7 12 9
Posisi geografis (UTM)
Alt. (m dpl.)
01055’23”LS, 103007’17”BT
Keterangan
33
pH=5,4, buah
0
0
30
pH=5,7, buah
0
0
40
buah
0
0
60
buah
0
0
68
buah
0
0
01 55’21”LS, 103 07’18”BT 01 55’20”LS, 103 07’19”BT 01 55’17”LS, 103 07’21”BT 01 55’16”LS, 103 07’24”BT
306
37
7
14
8
01 55’18”LS, 103 07’25”BT
81
pH=5,5, buah
307
48
10
15
8
01055’18”LS, 103007’28”BT
65
buah
308 309 310
98 50 43
7 7 2
25 16 15
9 7,5 6
0
0
59
buah, ulin sirap
0
0
63
buah
0
0
78
buah
01 55’18”LS, 103 07’29”BT 01 55’23”LS, 103 07’25”BT 01 55’26”LS, 103 07’22”BT
Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat, ulin di kawasan ini mempunyai empat nama yaitu ulin daging, ulin kapur, ulin sirap, dan ulin tanduk. Irawan dan Gruber (2002) melaporkan ulin di daerah Jambi mempunyai struktur morfologi yang bervariasi. Variasi struktur morfologi meliputi bentuk dan ukuran biji, bentuk daun, serta bentuk dan warna batang ulin. Biji ulin mempunyai variasi bentuk dan ukuran, dimana masing-masing mempunyai ciri yang spesifik (Gambar 6). Selain itu, telah diidentifikasi empat jenis ulin yaitu: zwageri, exilis, ovoidus, dan grandis dimana variasi genetik di antara varietas ulin tersebut cukup tinggi. Masyarakat setempat mengenal varietas daging untuk menyebut exilis, kapur untuk ovoidus, sirap untuk zwageri, dan tanduk untuk grandis (Irawan, 2011). Bentuk daun ulin sirap lonjong ke elips, daun ulin tanduk dan daging cenderung ke obovate sedangkan daun ulin kapur cenderung ke ovate. Ulin kapur dicirikan dengan pemukaan kulit batang yang lebih halus dan berwarna keputihan yang tidak dapat ditemukan pada varietas lain (Irawan dan Gruber, 2002).
30
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 6. Variasi bentuk dan ukuran biji ulin di CA Durian Luncuk 2 (Foto: Agung, 2005). 4. Sungai Kandang PT REKI Musi Banyuasin Secara umum, sebaran ulin di areal PT REKI tersebar di tiga blok yaitu: blok areal Sei Kandang, blok areal Km 49, dan blok areal Sei Kapas. Di areal Sei Kandang, jumlah pohon ulin yang ditemukan sekitar 335 pohon dengan rata-rata diameter sebesar 28 cm dan tinggi sebesar 17,3 m (Wahyudi, 2011). Pada waktu diadakan eksplorasi (Maret 2011), pohon induk yang berbuah sedikit jumlahnya. Informasi dari petugas pendamping, musim buah raya telah terjadi pada bulan Desember 2010. Biji ulin yang didapat berasal dari delapan pohon induk sisa dari musim buah tahun lalu dengan karakteristik seperti pada Tabel 4. Di lokasi ini, banyak dijumpai trubusan pohon ulin bekas dari kegiatan penebangan liar (Gambar 7).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
31
Prosiding Lokakarya Nasional
Tabel 4. Karakteristik pohon induk di PT REKI Pohon Dia. Tbc. T. tot. Dia. Induk (cm) (m) (m) tajuk (m) 401
25
7
14
8
402
31
8
17
12
403
-
-
-
-
Posisi geografis (UTM) 02005’21” LS, 103017’35” BT
Alt. Keterangan (m dpl.) -
pH=6, buah
02 05’16” LS, 103 17’39” BT
-
Buah
-
-
-
0
0
0
0
404
34
5
14
9
02 05’14” LS, 103 17’28” BT
-
Buah
405
31
6
15
7
-
Buah
406
20
-
11
6
02005’14” LS, 103017’28” BT 02005’17” LS, 103017’25” BT
-
Buah
-
-
-
-
-
-
-
-
407 408
-
-
-
Gambar 7. Trubusan ulin di Sungai Kandang PT REKI (Foto: Joni, 2011).
5. Kalimantan Bibit ulin asal Kalimantan didapat dari Taman Nasional Kutai, KHDTK Samboja, dan Bukit Baka. Bibit berasal dari biji hasil eksplorasi pada bulan Agustus 2010.
32
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
B. Pembuatan Bibit di Persemaian 1. Skarifikasi dan Perkecambahan Sebelum masa perkecambahan, sering kali suatu benih/biji mengalami masa yang disebut dormansi. Masa dormansi adalah suatu masa dimana biji dalam keadaan istirahat (biji belum bisa berkecambah). Dormansi benih dapat disebabkan antara lain karena adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas (oksigen), embrio yang belum tumbuh secara sempurna, hambatan mekanis kulit benih terhadap pertumbuhan embrio, belum terbentuknya zat pengatur tumbuh atau karena ketidakseimbangan antara zat penghambat dengan zat pengatur tumbuh di dalam embrio (Villlers, 1972 dalam Saleh, 2004). Dormansi bisa terjadi karena kondisi dari dalam biji itu sendiri kurang sesuai walaupun kondisi luar sudah sesuai dengan persyaratan tumbuh biji tersebut (suhu, kelembaban, dan atmosfer). Benih ulin memiliki dormansi yang diduga disebabkan oleh kulit benih yang keras sehingga sulit ditembus air. Kulit biji ulin yang terlalu keras dapat diatasi dengan tindakan skarifikasi (proses perusakan kulit biji agar menjadi lebih mudah ditembus oleh tunas) (Gambar 8). Dengan metode ini, kulit biji yang keras akan mudah pecah dengan sendirinya sehingga meminimalkan kerusakan embrio biji, dan mempercepat proses perkecambahan. Selain itu, metode ini jauh lebih efisien karena tidak membutuhkan tenaga pekerja yang banyak dengan waktu yang relatif singkat.
Gambar 8. Kulit biji ulin yang terlepas akibat skarifikasi mekanis (Foto: Agung, 2005)
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
33
Prosiding Lokakarya Nasional
Perkecambahan dapat diartikan sebagai dimulainya proses pertumbuhan embrio dari benih yang sudah matang dengan diawali dari proses imbibisi, reaktivasi, inisiasi pertumbuhan embrio, dan munculnya akar menembus kulit benih. Dengan lepasnya lapisan kulit biji ulin akibat skarifikasi, akan memudahkan masuknya air ke dalam biji (imbibisi). Imbibisi akan mengaktifkan enzim-enzim perombakan yang menjadikan karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa aktif. Dengan cara penaburan langsung ke dalam polybag ini, biji mulai berkecambah pada umur ± 2 bulan setelah ditabur dengan persentase kecambah sebesar 53,25%. Hasil yang tidak berbeda juga dilaporkan Hakim dkk. (2005) yang menyatakan bahwa perkecambahan biji ulin yang langsung pada polybag yang diisi tanah yang dinaungi sungkup dengan plastik transparan dan sarlon 50%, berkecambah pada hari ke-55 dengan persentase yang kecil. Sementara untuk persentase hidup bibit dari anakan alam lebih kecil bila dibandingkan dengan dari biji yaitu sebesar 26%. Hal ini diduga karena ada banyak air yang hilang oleh proses transpirasi selama dalam perjalanan serta lamanya perjalanan angkut bibit dari lapangan ke persemaian (kurang lebih 4 hari). Secara visual, ciri biji yang akan berkecambah akan mengalami perubahan warna dari coklat-kuning menjadi kehijau-hijauan, sedangkan biji yang tidak berkecambah akan berwarna hitam, berlendir, dan membusuk (Gambar 9).
(a)
(b)
Gambar 9. Biji ulin yang berkecambah (a) dan gagal berkecambah (b) (Foto: Agung, 2005).
34
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Bibit ulin mempunyai sistem perakaran tunggang (radix primaria) dengan satu atau lebih batang akar besar dengan beberapa cabang akar (Gambar 10). Bibit yang masih muda, panjang batang akar dan tunas rata-rata mempunyai perbandingan sebesar 1:2.
a
b
c
Gambar 10. Sistem perakaran tunggang bibit ulin dengan: a) satu batang akar, b) dua batang akar, c) tiga batang akar (Foto: Agung, 2005). 2. Pembibitan Pada pembibitan dengan sistem genangan dan media dari bahan organik, hal yang perlu diperhatikan adalah serangan penyakit karat daun. Dari laporan Rani (2011), jenis penyakit yang menyerang bibit ulin di persemaian adalah bercak daun yang disebabkan oleh patogen Phytophthora sp. Gejala dan tanda diawali dengan terbentuknya daerah yang mati pada daun (nekrosis), warna bercak keabu-abuan di bagian tengah dan disekelilingnya berwarna coklat kekuningan. Bercak tersebut kemudian meluas ke seluruh areal daun sehingga daun menjadi layu, kering, dan akhirnya rontok (Gambar 11). Dari pengamatan yang dilakukan, persentase serangan penyakit ini termasuk kategori ringan yaitu sebesar 6,97%.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
35
Prosiding Lokakarya Nasional
a
b
Gambar 11. a. Konidiofor Phytophthora sp., (Foto: Rani, 2011); b. Gejala dan tanda penyakit bercak daun (Foto: Agung, 2011).
Faktor yang memicu aktifnya patogen Phytophthora adalah kelembaban yang tinggi, kondisi media dan benih yang tidak steril. Upaya pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan adalah dimulai dari seleksi benih yang sehat dan steril, sterilisasi media tabur dan sapih, pengaturan kelembaban, dan aplikasi fungisida yang bijak. Penggunaan fungisida 3 g/liter secara teratur setiap 15 hari sekali cukup mampu menekan perkembangan dan penyebaran spora jamur, sehingga intensitas dan persentase serangan penyakit dapat menurun. Bila ada gejala serangan daun dan serangannya masih ringan, diusahakan secepatnya memetik dan membakar daun yang terserang tersebut. Bila hampir semua daun pada bibit terserang, sebaiknya dilakukan isolasi bibit dengan bibit yang sehat agar tidak terkontaminasi. Selama 9 bulan sejak benih ditabur, dari 39 pohon induk yang didapat waktu eksplorasi di Jambi dan Sumatera Selatan, ada 33 pohon induk mampu menghasilkan benih yang berkecambah, dan 29 pohon induk yang menghasilkan bibit siap untuk ditanam. Dari 29 pohon induk tersebut, dapat dipisahkan lagi menjadi dua berdasarkan asal provinsi yaitu 16 pohon induk sebagai wakil dari Provinsi Jambi dan 13 pohon induk mewakili Provinsi Sumatera Selatan. Bibit yang siap ditanam adalah bibit yang pertumbuhannya baik, tidak terserang hama dan penyakit dan rata-rata mempunyai jumlah daun sekitar >15-20 helai daun (Gambar 12).
36
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 12. Bibit ulin siap tanam (Foto: Agung, 2011). Ada perbedaan dalam jumlah individu yang dihasilkan untuk masing-masing pohon induk disebabkan perbedaan peluang untuk mendapatkan benih. Hal ini diduga adanya ketidakseragaman musim buah masing-masing populasi. Ulin di Provinsi Sumatera Selatan, musim buah raya jatuh pada bulan Agustus tahun lalu sedang ulin di Provinsi Jambi jatuh bulan Pebruari ketika eksplorasi dilaksanakan. Dari jumlah pohon induk yang ditanam tersebut, masih terbuka peluang untuk penambahan jumlah pohon induk (infusi) dari provenan lain yang belum dilakukan eksplorasi seperti provenan Bangka-Belitung. 3. Penanaman Kegiatan penanaman dimulai dari survey lokasi plot penanaman (pengukuran edafis dan klimatis), pengukuran lahan dan penentuan luas areal, pembersihan jalur tanam, penentuan jarak tanam, pengajiran, pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar, pemberian EM-4, pengadukan media, penanaman, pemberian bokashi cair, penyrumbungan, pemasangan papan nama, penyulaman, dan pengukuran pertumbuhan awal. Penentuan lahan penanaman didasarkan pada lingkungan fisik (iklim dan tanah) yang sesuai kondisi alaminya, akses (jalan) mudah, status hukum (legalitas) jelas, dan dekat dengan sumber air (Hakim dan Widyatmoko, 2011; Widyatmoko, 2011). Jenis ulin adalah jenis tanaman yang dapat tumbuh pada tanah bertekstur lempung liat berpasir sampai liat dengan nilai pH, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan kandungan N, P, K, C/N, K, Ca, Mg, Na rendah serta
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
37
Prosiding Lokakarya Nasional
kandungan Al yang tinggi (Pratiwi, 2004; Nugroho, 2007). Ulin mampu tumbuh pada daerah yang mempunyai tipe iklim A (Schmidt and Ferguson) dengan curah hujan 2.662 mm/tahun (Masano, 1984). Ulin dapat ditemukan pada berbagai jenis tanah dari dataran rendah hingga ketinggian 800 meter di atas permukaan air laut, termasuk jenis lambat tumbuh (slow growing) dan secara geografis penyebaran ulin terletak pada 50 LU – 30 LS (Heyne, 1987). Ulin di Sumatra bagian selatan dapat tumbuh pada ketinggian 46-190 meter di atas permukaan air laut dengan topografi datar-berbukit (Nugroho dkk., 2006). KHDTK Kemampo dipilih sebagai lokasi penanaman, karena lingkungan fisik (iklim dan tanah) yang sesuai dengan kondisi sebaran alaminya. Wilayah ini mempunyai tipe hujan B menurut Schmidt dan Ferguson dan tingkat kesuburan tanah sangat rendah (Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang, 2002). Berdasarkan data BMKG Kenten (2012), lokasi ini mempunyai curah hujan sebesar 1.452 mm/tahun dengan curah hujan terbanyak bulan Oktober dan November sebesar 278,5 mm dan 251,5 mm. Dari wawancara dengan petugas di lapangan, diketahui bahwa di KHDTK Kemampo dulunya merupakan areal tegakan ulin. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya tonggak-tonggak ulin dan beberapa pohon ulin yang masih hidup (Gambar 13). Selain itu, topografi yang relatif datar – berombak (0 – 8%), ketinggian tempat 60 m dpl., pH 6, status hukum yang jelas, akses yang mudah, menjadikan lokasi ini dipilih sebagai lahan untuk pembuatan plot konservasi ulin.
Gambar 13. Pohon dan tonggak Ulin di KHDTK Kemampo (Foto: Agung, 2011).
38
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Terdapat lima plot penanaman yang dipisahkan berdasarkan provenan yang masing-masing mempunyai luas yang berbeda disesuaikan dengan jumlah bibit yang dihasilkan. Jarak antar plot sekitar 40-50 meter. Lokasi penanaman berada di bawah tegakan campuran seperti: seru, simpur, talok yang berfungsi sebagai tanaman penaung dengan intensitas naungan berkisar 80-85%. Penanaman di lakukan di bawah tegakan karena secara alami ulin termasuk jenis pohon setengah toleran yang pada waktu mudanya memerlukan naungan yang sesuai (Masano dan Omon, 1983). Pembersihan lahan dilakukan secara manual dan kimia dalam jalurjalur dengan lebar 2 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 m x 5 m dengan pertimbangan panjang maksimum tajuk ulin dewasa dan luasan lokasi yang tersedia. Lubang tanam ukuran relatif besar (40 cm x 40 cm x 40 cm) mampu memberi ruang yang optimal bagi akar untuk menyerap unsur-unsur hara yang diperlukan. Pemberian bahan organik (pupuk kandang 2 kg/lubang dan EM-4) ditujukan untuk menambah kandungan unsur hara tanah dan menyelaraskan muatan ionik dalam tanah. Seperti diketahui, tanah pada lahan penanaman termasuk tanah Ultisol dimana kesuburan tanahnya tergantung kepada adanya bahan organik yang ditambahkan. Muatan ionik merupakan syarat terjadinya interaksi tanaman dan nutrisi tanah. Tanaman mampu menyerap hara tanah, jika nutrisi berbentuk ion. Tanaman tidak menyerap bahan organik ataupun pupuk kimia. Tugas penguraian bahan organik ataupun pupuk kimia menjadi ion-ion jatuh ke mikroorganisme. Bahan organik mampu mencegah pemadatan tanah. Hal ini dikarenakan aktivitas mikroorganisme dan hewan memunculkan rongga sehingga aerasi tanah terjaga. Dampaknya bahan organik mampu mempertahankan perbedaan muatan dan memudahkan akar menyerap nutrisi. Bahan organik juga mampu meningkatkan kapasitas tukar kation sampai 200-300 miliekuivalen per 100 g tanah sehingga sifat granulasi menjadi lebih bagus karena tanah mampu mencekeram unsur-unsur hara seperti mineral, nitrogen, atau fosfor. Selain itu unsur-unsur toksik seperti besi, mangan, dan aluminium terbungkus rapat dengan ikatan kelat sehingga tidak terserap akar. Tak kalah penting, bahan organik mampu mengikat air (setiap gram bahan organik mampu menyerap 4 ml air) sehingga tanah menjadi gembur (Chaniago, 2010). Untuk menjamin media siap ditanami (suhu tanah ± 270C, C/N sebesar 1215, tidak ada patogen), pupuk kandang diaduk secara merata dengan tanah bekas galian lubang tanam dan disiram dengan EM-4. Penanaman bibit dilakukan pada awal musim penghujan (bulan November 2011) dengan cara centre hole method
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
39
Prosiding Lokakarya Nasional
yaitu cara penanaman dimana bibit diletakkan di tengah-tengah lubang tanam dan diusahakan agar biji tidak terlepas dari bibitnya. 4. Pengukuran Pertumbuhan Awal Bibit di Lapangan Pertumbuhan ulin saat masih anakan dikenal sangat lambat, tetapi setelah mencapai tinggi 2,5 m pertumbuhannya akan lebih cepat. Soerianegara dan Lemmens (1993) menyebutkan bahwa pada kondisi yang baik, pertumbuhan diameter ulin muda dapat mencapai 0,9 cm per tahun, akan tetapi tingkat pertumbuhannya ini akan semakin lambat pada ulin-ulin tua. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa persentase hidup ulin umur 1 bulan setelah ditanam di lapangan relatif tinggi sebesar 98,81–100%. Sedangkan pertumbuhan tinggi dan diameter untuk masing-masing provenan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pertumbuhan awal ulin umur 1 bulan setelah penanaman No.
Provenan
1.
CA DL 2 (Batanghari, Jambi) CA DL 1 (Sarolangun, Jambi) Kalimantan PT REKI (Muba, Sumsel) Hutan Adat Mambang (Mura, Sumsel)
2. 3. 4. 5.
Jumlah Jumlah Persen Tinggi Diameter pohon Tanaman hidup (cm) (mm) induk (%) 98,81 38,55±12,63 5,61±1,22 335 10 37,88±7,8
5,29±0,88
6
154
100
7
66 76
100 100
56,68±16,07 6,63±1,59 35,87±10,11 5,17±1,07
6
48
100
32,81±13,33 4,61±0,97
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Telah dibangun lima plot konservasi genetik ulin di KHDTK Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan seluas 1,5 ha. 2. Plot konservasi ulin berasal dari lima populasi alam dan 29 pohon induk, yaitu Batanghari (10 pohon induk), Sarolangun (6 pohon induk), Musi Banyuasin (7 pohon induk), Musi Rawas (6 pohon induk), dan Kalimantan.
40
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
3. Persen tumbuh tanaman bervariasi antara 99 – 100%. 4. Perlu perawatan selanjutnya yang meliputi: weeding, pemupukan, dan pembuatan sekat bakar. 5. Untuk meningkatkan keragaman genetic perlu dilakukan infusi tanaman pada setiap populasinya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Dr. Murniati, Bapak Adi Susmianto (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi), Dr. Tetra Yanuariadi (ITTO), Bapak Suhariyanto (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Palembang), Joni Muara, Uwak Darmawan, Arli, Tanthowi Putra, Nesti Andriyani, Bapak Sudarto, Bapak Saenuddin, Bapak Budi, Bapak Matjuni, Bapak Mualimin (BPK Palembang), Ibu Evalin Sumbayak, Bapak Febri, Bapak Ridwan dan Bapak Mahyudin (Hutan Adat Mambang), Bapak Kirno dan Bapak Yatimun (Cagar Alam Durian Luncuk 1), Bapak Mujianto (Cagar Alam Durian Luncuk 2), Bapak Sarif dan Bapak Urip (PT REKI) dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang. 2002. Design engineering wanariset Kemampo. Kerjasama antara Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. BKSDA Jambi. 2004. Rencana pengelolaan Cagar Alam Durian Luncuk I dan II. Jambi. BMKG Kenten. 2012. Informasi hujan harian tahun 2011 di Pangkalan Balai, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Klas II Kenten Palembang. Chaniago, I.A. 2010. Bikin nutrisi siap santap. Trubus 491, Oktober 2010/XLI.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
41
Prosiding Lokakarya Nasional
Hakim, L., Prastyono dan A. Syakur. 2005. Eksplorasi ulin di Kalimantan untuk konservasi ex-situ. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol.2 No.1, April 2005, 21-31. Hakim, L. dan A.Y.P.B.C. Widyatmoko. 2011. Strategi konservasi ex- situ jenis ulin (Eusideroxylon zwageri), Eboni (Diospyros celebica), dan Cempaka (Michelia spp). Prosiding Lokakarya Nasional: Status konservasi dan formulasi strategi konservasi jenis-jenis pohon yang terancam punah (Ulin, Eboni, dan Michelia). Bogor, 18-19 Januari 2011. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Irawan, B. 2002. Ironwood (Eusideroxylon zwageri T. et B.): Present conditions and future development in Jambi, Indonesia. In: Sustainable development: Socio-economic and environmental problems (Birner, R., Nurrochmat, D., and Rosyadi, S., eds.). Cuvillier Verlag. Goettingen. Germany. ________. 2011. Genetic variation of Eusideroxylon zwageri and its diversity on variety. Prosiding lokakarya nasional: Status konservasi dan formulasi strategi konservasi jenis-jenis pohon yang terancam punah (ulin, eboni, dan Michelia). Bogor, 18-19 Januari 2011. Irawan, B. dan F. Gruber. 2002. Morphological variability of ironwood (Eusideroxylon zwageri T. et B.) in natural forest. The 3rd international symposium-cum-workshop. The southeast asia germany alumni network. Hanoi-Vietnam, 14-18 October 2002. IUCN. 2011. IUCN red list of threatened species. Version <www.iucnredlist.org.>. Downloaded on 12 January 2012.
2011.2.
Junaidah, A.W. Nugroho, H. Siahaan dan A. Sofyan. 2006. Status penelitian dan pengembangan ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) di Sumatera bagian selatan. Prosiding workshop sehari: Peran litbang dalam pelestarian ulin. Samarinda, Desember 2006. Leksono, B. dan A. Kurnia. 1997. Uji coba pengelolaan jenis ulin (Eusideroxylon zwageri) di hutan alam. Laporan Proyek BTR Palembang T.A. 1996/1997. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor-Indonesia.
42
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Agung Wahyu Nugroho)
Masano. 1984. Penanaman perkayaan jenis Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) di komplek hutan Senami Jambi. Laporan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Masano dan R.M. Omon. 1983. Observation on natural regeneration Eusideroxylon zwageri T. et B. in Senami forest complex, Jambi. Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Hutan Bogor. Nugroho, A.W., Junaidah, F. Azwar dan J. Muara. 2006. Teknik silvikultur ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Laporan hasil penelitian sumber dana DIPA tahun 2005. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang. Nugroho, A.W. 2006. Studi pustaka upaya konservasi ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Prosiding workshop sehari: Peran litbang dalam pelestarian ulin. Samarinda, Desember 2006. ___________. 2007. Karakteristik tanah pada sebaran ulin di Sumatera dalam mendukung konservasi. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian. Padang, 20 September 2007. Pratiwi. 2004. Karakteristik lahan habitat ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) di hutan alam Sungai Bakul-Sungai Musi. Sumatera Selatan. Gakuryoku. Agricultural Scientific Journal. Vol. X, No. 1: 25-30. Rani, A. 2011. Teknik pengamatan serangan bercak daun pada bibit ulin di persemaian. Laporan kerja praktek mahasiswa PGRI Palembang. Tidak dipublikasikan. Saleh, M.S. 2004. Pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah. Agrosains 6(2): 79-83. Siahaan, H., A. Sofyan dan N. Sagala. 2005. Pengembangan tanaman ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) di Sumatera Selatan. Laporan hasil penelitian. Balai penelitian dan pengembangan hutan tanaman Palembang tahun 2004. Tidak dipublikasikan. Sidiyasa, K. 2011. Sebaran, potensi, dan pengelolaan Ulin di Indonesia. Prosiding lokakarya nasional: Status konservasi dan formulasi strategi konservasi jenisjenis pohon yang terancam punah (ulin, eboni, dan Michelia). Bogor, 18-19 Januari 2011.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
43
Prosiding Lokakarya Nasional
Soekotjo. 2004. Status riset konservasi KSDG ‘indigenous species’ Indonesia. Workshop nasional konservasi, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya genetik tanaman hutan. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Japan International Cooperation Agency. Yogyakarta. Soerianegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1993. Plant resources of South East Asia. Timber trees: Major commercial timbers. PROSEA Vol. 5 (1): 1-610. Pudoc Scientific Publishers. Wageningen. Suseno, O.H., M. Na’iem dan M.S. Sabarnudin. 1998. Jaringan kerja pemuliaan pohon hutan menghadapi abad 21. Buletin Kehutanan UGM. Yogyakarta. Wahyudi, S. 2011. Pemulihan jenis bulian (Eusideroxylon zwageri) di Harapan Rain Forest, PT Restorasi Ekosistem Indonesia. Prosiding lokakarya nasional: Status konservasi dan formulasi strategi konservasi jenis-jenis pohon yang terancam punah (ulin, eboni, dan Michelia). Bogor, 18-19 Januari 2011. Widyatmoko, D. 2011. Teknik dan kelembagaan pembangunan kebun konservasi genetik. Prosiding lokakarya nasional: Status konservasi dan formulasi strategi konservasi jenis-jenis pohon yang terancam punah (ulin, eboni, dan Michelia). Bogor, 18-19 Januari 2011. Widyatmoko, A.Y.P.B.C., I.L.G. Nurtjahjaningsih dan Prastyono. 2011. Studi keragaman genetik pada beberapa jenis terancam punah (endangered species) menggunakan penanda RAPD. Prosiding lokakarya nasional: Status konservasi dan formulasi strategi konservasi jenis-jenis pohon yang terancam punah (ulin, eboni, dan Michelia). Bogor, 18-19 Januari 2011.
44
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI GENETIK EBONI (Diospyros celebica Bakh) DI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG, SULAWESI SELATAN (Establishment of genetic conservation plots of ebony (Diospyros celebica Bakh.) in Bantimurung Bulusaraung National Park, South Sulawesi) 1 Oleh/By: Merryana Kiding Allo 2 ABSTRACT Ebony (Diospyroscelebica Bakh) is an endemic species of the Wallacea region. The tree species grow in a specific natural habitat, mostly less than 600 meter above sea level in South, West and Central Sulawesi. Ebony has many superiorities, it has a beautiful wood pattern with highest strength and durability, made this species is the most expensive wood in the world. Natural ebony stand is being subject to illegal logging. On the other hand, the natural stand regeneration is poor and commercial plantation establishment is not atrractive, because of it has long cutting cycle i.e. 100 years. A genetic conservation plot is an alternative to save this high value species. Phenotypic variation of ebony wood among provenances in Sulawesi will be represented in this genetic conservation plot. Keywords: Ebony, genetic conservation, growth, provenance.
ABSTRAK Jenis eboni (Diospyros celebica Bakh) merupakan salah satu jenis flora endemik di kawasan Wallacea. Berbentuk pohon, hidup pada habitat alami yang spesifik dan hanya ditemukan tersebar di hutan-hutan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Eboni memiliki banyak keunggulan, sebagai pohon penghasil kayu yang bercorak indah dengan sifat kekuatan maupun keawetannya tertinggi, menyebabkan nilai jual kayu eboni tinggi. Habitat eboni alami menjadi sasaran pencurian karena harganya sangat mahal. Hingga saat ini belum ada hutan tanaman pengganti karena daur panen pohon eboni lebih dari 100 tahun sehingga apabila terus dipanen akan terancam punah. Konservasi genetik sebagai alternatif penyelamatan eboni yang memiliki sifat fisik kayu yang berbeda dari setiap provenan. Selain itu pula 1
2
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
45
Prosiding Lokakarya Nasional
bahwa keragaman genetik eboni yang ada masih cukup sehingga diperlukan segera tindakan konservasi. Kata kunci: Eboni, konservasi genetik, pertumbuhan, provenan.
I.
PENDAHULUAN
Kawasan Wallacea, meliputi Pulau Sulawesi, sebagian Pulau Bali dan Pulau Lombok, dikenal memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan bersifat endemik .Jenis-jenis flora dan fauna endemik di kawasan Wallacea memiliki perbedaan dengan di tempat lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses pembentukan dan sejarah geologi yang tidak sama dengan kawasan lainnya di dunia. Kehadiran jenis-jenis endemik tersebut merupakan suatu ciri dari wilayah peralihan/pertemuan antara jenis flora maupun fauna dari benua Asia dan Australia Tingginya laju perubahan akibat aktivitas manusia dan adanya perubahan fungsi lahan dalam rangka pembangunan akan merubah ekosistem alami yang sudah terbentuk, sehingga akan berdampak pada kelangsungan kehidupan keanekaragaman hayati khususnya pada jenis-jenis endemik. Jenis eboni (Diospyros celebica Bakh) merupakan salah satu jenis flora endemik di kawasan Wallacea. Berbentuk pohon, hidup pada habitat alami yang spesifik dan hanya ditemukan hidup tersebar di hutan-hutan Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah mengikuti alur pegunungan vulkanik tua dan tidak dapat dijumpai di kawasan hutan lainnya di dunia. Saat ini keberadaannya di alam sudah semakin terbatas, karena sebagai pohon eboni memiliki banyak keunggulan yaitu sebagai pohon penghasil kayu yang bercorak indah dengan sifat kekuatan maupun keawetannya tertinggi,menyebabkan nilai jual kayu eboni. Beberapa informasi menyebutkan bahwa harga jual kayu eboni mencapai 43 juta rupiah per meter kubik merupakan harga tertinggi di antara jenis-jenis kayu komersial yang ada di Indonesia, sehingga sangat diminati oleh masyarakat. Bahkan di beberapa kawasan hutan habitat eboni di Sulawesi Barat dan Tengah masih menjadi incaran pencurian dalam bentuk illegal logging. Berdasarkan sejarah perkembangan dan kehidupan, pohon eboni hidup di hutan-hutan alam pada topografi sedang hingga berat, pada beberapa tipe iklim dan jenis tanah. Ditengarai kondisi habitat yang makin terbatas oleh desakan-desakan kebutuhan baik kayu maupun lahan yang terus meningkat menyebabkan populasi eboni di alam makin menurun. Berdasarkan kondisi diatas dan beberapa hasil
46
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
penelitian, dapat disimpulkan bahwa penurunan populasi eboni di alam antara lain disebabkan oleh: a. Siklus umur yang sangat panjang (> 100 tahun) dan membudidayakannya sangat sulit; b. Eksploitasi eboni yang berlebihan (tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan tentang pembatasan/persyaratan penebangan); c. Perubahan fungsi lahan seperti untuk tambang, transmigrasi dan pertanian/ perkebunan. Konservasi sumber daya genetik merupakan hal penting mendesak dilakukan sebagai upaya komprehensif guna menyelamatkan eboni dari ancaman kepunahan. Dalam Jepson dan Whittaker (2002) disebutkan bahwa pembangunan kebun konservasi genetik, merupakan usaha untuk menyelamatkan komponen-komponen keanekaragaman hayati atau individu tumbuhannya sekaligus mengonservasi habitat alaminya. Selanjutnya Widyatmoko, dkk. (2011) berdasarkan hasil studi keragaman genetik eboni menyebutkan bahwa keragaman genetik eboni asal tiga provenan yaitu Wasuponda, Parigi Moutong dan Karaenta masih relatif tinggi. Sehingga penurunan keragaman genetik dapat dihindari apabila individu pohon dapat dilindungi dengan baik.
II. STATUS KONSERVASI EBONI Berdasarkan data IUCN (2011), jenis ini termasuk dalam kategori Vulnerable A1cd+2cd ver 2.3 artinya peka/sedang menghadapi resiko yang tinggi untuk mengalami kepunahan, dan telah dievaluasi untuk dimasukkan dalam Appendikx II CITES. Konservasi sumber daya genetik merupakan hal penting mendesak dilakukan sebagai upaya komprehensif guna menyelamatkan eboni dari ancaman kepunahan. Secara umum, konservasi sumber daya genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu konservasi in-situ dan ex-situ. Konservasi in-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di habitat alamnya. Konservasi ini bertujuan agar organisme berfungsi secara alami di ekosistem yang bersangkutan. .Konservasi ex-situ adalah konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya. Konservasi ini bertujuan untuk melayani program breeding dan bioteknologi. Jadi konservasi ex-situ merupakan jembatan antara program pemuliaan dan bioteknologi dengan konservasi in-situ (Suseno et al., 1998). Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
47
Prosiding Lokakarya Nasional
Beberapa hal penyebab hilangnya keragaman genetik suatu jenis flora dalam Myer (1989) dan McNeely (1992), antara lain: 1. Pemanfaatan sumberdaya genetika yang berlebihan, seperti penebangan yang berlebihan di habitatalaminya; 2. Perambahan hutan, perladangan berpindah, perluasan lahan pertanian dan perkebunan mengakibatkan berkurangnya kemampuan regenerasi alami suatu jenis; 3. Perubahan iklim seperti meningkatnya suhu udara, perubahan curah hujan, dan kecepatan angin, secara bersama-sama dapat memengaruhi ekosistem keseluruhan; 4. Polusi udara dan air berpengaruh nyata pada produksi dan komposisi hutan, khususnya di benua Eropa; 5. Masuknya jenis-jenis eksotik ke dalam hutan dapat mengurangi keragaman jenis, apabila jenis eksotik tersebut mendominasi di kawasan baru; 6. Pengembangbiakkan secara buatan yang dalam prakteknya berasal dari sejumlah kecil jenis yang terseleksi. Dalam hal konservasi genetika ini Pemerintah Indonesia telah menetapkan 356 areal konservasi di berbagai pulau yang total luasnya sekitar 17,7 juta hektar (Hardiyanto dan Na’iem, 2002). Areal konservasi tersebut di antaranya bertujuan untuk melindungi jenis flora maupun fauna yang mulai langka keberadaannya.
III.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Sumber Benih dan Lokasi Penanaman Penetapan lokasi sumber benih dilakukan berdasarkan letak tempat tumbuh eboni yang sudah teridentifikasi, berdasarkan kualitas benih maupun kualitas kayu yang dihasilkan. Adapun asal sumber benih/provenance antara lain dari Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, Kasimbar Barat, Kabupaten Parigi Moutong dan lokasi Sausu, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Parangloe, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan dan Cagar Alam Paruhumpenai, Mangkutana Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Penetapan lokasi penanaman dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan, diawali dari diskusi dengan pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan maksud dan tujuan kegiatan, survey
48
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
lapangan yang dipandu petugas lapangan (Polhut dan PEH Taman Nasional) kemudian menetapkan lokasi penanaman. B. Eksplorasi dan Pengumpulan benih Kriteria dalam pengumpulan benih dari lapangan selama kegiatan berlangsung dalam tahun 2010 hingga 2011 pada beberapa provenan eboni, yaitu bahwa benih dikumpulkan dari pohon induk (minimal 20 – 25 pohon induk) per populasi yang mewakili keseluruhan bentuk pohon penyusun tegakan (jelek, sedang, bagus), dimana jarak antar pohon induk minimal 50 – 100 meter dengan asumsi tidak terjadi perkawinan antar pohon induk. Kriteria tersebut tidak seutuhnya dapat dilaksanakan dalam kegiatan ini berhubung waktu masak fisiologis/reproduksi buah tidak bersamaan dalam satu habitat. Sehingga digunakan batasan-batasan sesuai dengan ketersediaan pohon eboni yang berbuah banyak. Provenan yang terletak pada bagian Barat mengalami masa berbuah lebih awal daripada provenan di bagian Timur. Pembuahan hanya terjadi pada beberapa pohon. Pohon-pohon yang berbunga belum tentu akan menghasilkan buah, nampaknya dalam fase bunga banyak yang gugur sebelum dibuahi. Bahkan ada pula buah yang tidak memiliki biji, terjadi inbreeding (perkawinan dalam satu pohon) atau penyerbukan yang gagal. Eksplorasi dilakukan sejak bulan Januari 2011. Persemaian dimulai Bulan Maret 2011. Pendataan karakteristik pohon induk meliputi diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, kelimpahan biji, posisi koordinat pohon, ketinggian tempat, dan kondisi lingkungan. C. Skarifikasi Benih yang digunakan berasal dari pohon yang sementara berbuah, buah yang diambil merupakan buah yang matang berwarna hijau kekuningan. Agar daging buah cepat lunak dimatangkan dengan diperam dalam karung goni yang telah dibasahi dengan air selama ± 2 minggu (disesuaikan dengan matangnya buah). Apabila buah sudah lunak, ditandai dengan daging buah berwarna putih berlendir biji berwarna coklat tua. Biji dikeluarkan dengan cara dipencet (Gambar 1), kemudian biji dicuci untuk mengeluarkan lendir lalu direndam dalam larutan dithane untuk menghindari jamur. Khususnya pada musim hujan kelembaban dapat mencapai 87%. Benih yang berasal dari satu provenance dicampur menjadi satu untuk ditanam dalam bak tabur.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
49
Prosiding Lokakarya Nasional
Pengambilan benih juga dilakukan pada anakan alam mengingat keterbatasan pembuahan pohon eboni yang terjadi sejak tahun 2010. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kondisi iklim yang kurang menentu. Adapun kriteria pengambilan anakan alam, sama dengan cara pengambilan buah, yaitu dengan berpedoman pada kriteria pohon induk. D. Perkecambahan Penanaman biji dilakukan langsung pada bak tabur dengan kedalaman <2 cm (Gambar 1), bak tabur merupakan wadah plastik yang berukuran 40cm x 25cm x 10cm. Menggunakan campuran media pasir 75% dan tanah 25%. Benih yang berasal dari buah dikecambahkan pada bak tabur dan benih yang berasal dari anakan alam ditanam langsung dalam polybag yang berukuran 17,5cmx 12cm. Adapun media dalam polybag digunakan campuran pupuk kandang dan tanah dengan perbandingan 2 : 2. Polybag diletakkan dalam bedeng persemaian dengan ukuran bedeng 8m x 1m secara terpisah sesuai dengan asal provenan, kemudian diberi sungkup plastik (tebal 2mm) dengan ukuran 0,80m x 4m x 1m untuk mengurangi penguapan dari bahan tanaman. Bibit eboni asal persemaian yang sudah siap ditanam dengan umur bervariasi 6-16 bulan. Pengamatan awal setelah ditanam dilakukan setiap hari dan terhadap pertumbuhan dilakukan setiap minggu dan dua minggu sekali.
Gambar 1. Bentuk buah dan cara mengeluarkan biji dari buah yang matang dan untuk selanjutnya disemaikan di bak tabur.
50
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
E. Pemeliharaan Bibit di Persemaian Pemeliharaan bibit di persemaian diawali dengan menggunakan sungkup plastik (tebal 2 mm), kemudian atap persemaian berupa paranet 70%. Kegiatan mengikuti lebar persemaian 1 m dan panjang 5 meter (menyesuaikan panjang balok). Manfaat sungkup plastik untuk mengurangi evapotranspirasi/penguapan dari bahan tanaman yang ada di dalamnya. Plastik sungkup di buka setiap pagi antara jam 08.00-10.00 untuk melancarkan sirkulasi dalam sungkup dan untuk mengurangi uap air pada bagian plastik. Pemeliharaan lainnya, yaitu penyiraman dilakukan secuku.pnya tidak setiap hari apabila hujan berturut-turut, karena hujan masih dianggap cukup. Apabila terlalu lembab benih dapat dijangkiti jamur Peniulliopsis clavariaeformis. Benih asal buah dalam satu populasi digabungkan menjadi satu (bulked) kemudian disemaikan pada bak tabur dengan cara biji dibenamkan (1-2 cm dalam wadah yang berisi campuran 3 bagian pasir, 1 bagian tanah dan 1 bagian pupuk) agar pada waktu benih mulai bertunas biji akan terangkat ke atas. F. Penanaman di lapangan Penanaman dilakukan pada petak-petak yang telah disiapkan sesuai dengan rancangan, luas total lokasi penanaman 20.000 m² (2 ha) dengan jarak antar tanaman 5mx5m (25 m²). Rancangan meliputi penentuan petak penanaman yang dipisahkan berdasarkan provenance, dengan jarak antar petak minimal 50 m sebagai bentuk perlindungan terhadap keaslian masing-masing genetik dan menghindari perkawinan silang antara provenance. Kemudian di dalam petak provenance yang sama dipisahkan dalam bentuk jalur antara bentuk benih asal buah dan anakan alami. Hal tersebut bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan nantinya. Masing-masing petak diberi nama sesuai dengan asal benih. Pembuatan lubang tanam yang ditandai dengan ajir, ukuran lubang 30cm x 30cm x 30cm (ukuran disesuaikan dengan panjang dan luas perakaran anakan eboni). Seiring dengan pembuatan lubang ke dilakukan pemupukan dasar menggunakan pupuk hayati yang telah matang dengan perbandingan 3 : 1 (yaitu 1 bagian pupuk dari 3 bagian tanah galian). Dibiarkan Ŧ seminggu dengan bantuan hujan, diharapkan pupuk sudah mulai menyatu dengan tanah kemudian dilakukan penanaman.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
51
Prosiding Lokakarya Nasional
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Lokasi dan Pohon Induk Kegiatan eksplorasi dan pengumpulan benih dilaksanakan pada lokasi-lokasi yang diketahui lokasi sebaran alami eboni di Sulawesi. Adapun lokasi tersebut, adalah Palado, Sulawesi Barat, lokasi Kasimbar dan Sausu di Sulawesi Tengah dan untuk Sulawesi Selatan terdapat beberapa lokasi, yaitu Maros, Gowa dan Mangkutana. Pengambilan materi genetik (buah dan anakan), dipisah-pisahkan berdasarkan provenan dan asal benih (buah dan anakan). Pendataan karakteristik pohon induk meliputi diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter tajuk, kelimpahan biji, posisi koordinat pohon, ketinggian tempat dan kondisi fisik lingkungan. Apabila dalam lokasi terdapat beberapa pohon eboni yang berbuah, maka digunakan jarak antar pohon induk > 50 meter, untuk menghindari adanya perkawinan campuran. 1. Hutan Bekas Tebangan Palado, Mamuju Lokasi ini merupakan areal bekas tebangan HPH PT. Inhutani I Wilayah Management Mamuju, Desa Le’beng, Kecamatan Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Berada pada koordinat 02˚29’11,8” LS dan 119˚11’34,5” BT, lokasi tempat tumbuh eboni berada pada ketinggian 250 m dpl dengan topografi berombak sampai bergunung (8 - >30%). Tipe iklim menurut Oldeman dan Syarifuddin (1977) termasuk dalam zona agroklimat C1, curah hujan rata-rata dalam 10 tahun terakhir adalah 2013,07 mm. Suhu udara pada siang hari rata-rata 29°C dan malam hari rata-rata 26°C. Eksplorasi dilaksanakan dalam bulan Juni 2010 dan diperoleh data bahwa tidak semua pohon eboni berbuah, dalam satu pohon yang sementara berbuah masih dijumpai adanya bunga. Pada beberapa pohon eboni berbuah sangat lebat dengan warna buah masak adalah hijau kekuningan, berbentuk bulat hingga bulat agak lonjong. Ukuran panjang buah 3 - 5cm dengan lebar 3,14 – 4,48 cm. Hampir tidak dijumpai semai bekas pembuahan tahun sebelumnya di bawah pohon induk, sebagai tanda bahwa pohon eboni tidak berbuah tahun sebelumnya. Sedangkan permudaan tingkat pancang hanya dijumpai 3 pohon dalam petak 50m x 50m (0,25 hektar). Adapun karakteristik 5 pohon induk dan lokasi serta materi perbanyakan yang diambil dari tegakan eboni Palado disajikan pada Tabel 1.
52
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
Tabel 1. Karakteristik pohon induk eboni di kelompok hutan Palado No. Tinggi Dia. Tinggi Dia. Pohon tot. (cm) bebas Tajuk (m) cbg. (m) (m)
Posisi geografis
Keting- Ketegian rangan tempat (m dpl) 254-370 Buah
1
18
25,4
10
7
02°05’33” - 02°29’12” LS
2
26
34,2
20
8
119°11’35”-119°30’56” BT
3
21
33,5
11
6
Buah
4
20
32
10
7
Buah
5
19
33,1
9
9
Buah
Buah
2. Ranang, Kasimbar Barat, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah Lokasi ini merupakan areal bekas konsesi HPH PT. Iradat Puri tahun 1970 an. Saat ini telah dialihkan fungsi menjadi lahan milik menjadi hak milik dengan terbitnya surat sertifikat. Keberadaan tegakan eboni yang ditanam tahun 1989 (umur 23 tahun) seluas 5 hektar dengan jumlah pohon mencapai 5000 dengan jarak tanam 3mx3m, memiliki diameter pohon terbesar 37 cm. Berada pada koordinat 00˚07’41,8”LS dan 119˚56’97,4”BT. Lokasi tempat tumbuh eboni berada pada ketinggian 300 m dpl dan bentuk topografi berbukit hingga bergunung (>30%). Tipe iklim menurut Oldeman dan Syarifuddin (1977) termasuk dalam zona agroklimat D2 (curah hujan >200 mm berturut-turut selama 6 bulan dan curah hujan <100 mm hanya terjadi satu kali dalam setahun) dengan jumlah curah hujan rata-rata dalam 10 tahun terakhir adalah 1366 mm. Suhu udara pada siang hari di bawah tegakan adalah rata-rata 29,5°C dan malam hari rata-rata 27°C pada tingkat kelembaban rata-rata 77%. Eksplorasi dilaksanakan dalam bulan Mei 2011, diperoleh data bahwa di antara 5000 pohon eboni, nampaknya yang berbuah dalam tahun 2011 sekitar 8 pohon dengan ukuran diameter bervariasi 16-27 cm. Sampai dengan bulan Desember 2011 tidak dijumpai lagi pohon yang berbuah. Ukuran buah, panjang 3 – 4,2cm dengan lebar 3,12 – 4,1 cm. Hampir tidak dijumpai semai bekas pembuahan tahun sebelumnya di bawah pohon induk, sebagai tanda bahwa pohon eboni tidak berbuah tahun sebelumnya. Sedangkan permudaan tingkat pancang hanya dijumpai 2 pohon dalam petak 50mx50m (0,25 hektar). Di lokasi tegakan eboni Kasimbar sesuai pengamatan terdapat lebih dari 5 pohon yang berbuah, namun beberapa di
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
53
Prosiding Lokakarya Nasional
antaranya menunjukkan pertumbuhan anakan yang kurang bagus (diserang hama), pada bagian daun. Sehingga materi perbanyakan berupa buah dan anakan hanya diambil dari 5 pohon induk. Adapun keterangan karakteristik pohon induk dan lokasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik pohon induk eboni di Ranang, Kasimbar No. Tinggi Pohon tot. (m) 1 11 2 3 4 5
13 10 12 14
Dia. (cm) 7,9 8,2 7,0 7,9 8,4
Tinggi Dia. Posisi geografis Ketinggian Keterangan bebas Tajuk tempat cbg. (m) (m) (m dpl) 5 3 Buah 00°07’42” LS 300 119°56’97” BT 6 5 Anakan 4,5 5 Anakan 6 4 Anakan 7 5 Anakan
3. Tegakan benih Sausu, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah Kawasan ini ditunjuk sebagai tegakan benih berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 670/Kpts-II/1997, tanggal 10 Oktober tahun 1997 dengan luas 57 hektar. Saat ini luas areal tersebut sudah banyak tereduksi akibat perambahan petani yang menanam coklat dan sangat aktif. Terletak di sebelah Timur kota Palu, dengan jarak tempuh ± 150 km. Secara administrasi pemerintahan, lokasi ini termasuk ke dalam salah satu di antara desa yang baru saja mekar dalam tahun 2010, sehingga nama tegakan benih Maleali oleh pemerintah setempat disepakati menjadi ‘tegakan benih Sausu Tambu’. Jadi lokasi tegakan benih Sausu secara administratif pemerintahan termasuk ke dalam Desa Sausu, Kecamatan Sausu Tambu, Kabupaten Poso. Secara administrasi kehutanan, tegakan benih Sausu berada dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Parigi Moutong. Posisi geografis berada pada 01º03’45”-01º04’25”LS dan 121º31’12”-121º31’55” BT. Tipe iklim menurut Oldeman dan Syarifuddin (1977) termasuk dalam zona agroklimat C1 (curah hujan >200 mm berturut-turut selama 5 bulan dan curah hujan <100 mm hanya terjadi satu kali dalam setahun) dengan jumlah curah hujan rata-rata dalam 10 tahun terakhir adalah 1700 mm. Suhu udara di bawah tegakan pada siang hari rata-rata 25°C dan malam hari rata-rata 24°C. Lokasi tegakan benih Sausu ini merupakan hamparan tegakan eboni, yang di dalamnya hidup berassosiasi jenis vegetasi, seperti aren (Arenga pinnata), jabon (Anthocephalus cadamba), cempaka (Elmerillia sp.), lengaru (Alstonia scholaris),
54
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
marowala (salah satu jenis Diospyros, yaitu D. macrophylla) dan beberapa jenis potensial lainnya. Sebagai tegakan benih yang telah teridentifikasi berbagai fasilitas berupa prasarana maupun sarana difasilitasi oleh Dinas Kehutanan, Provinsi Sulawesi Tengah. Potensi pohon induk mencapai 220 pohon (3,85 pohon/hektar). Karakteristik pohon induk dan lokasi pengambilan materi genetik disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik pohon induk eboni di Tegakan Benih Sausu, Kabupaten Poso No. Tinggi Dia. Tinggi Dia. Pohon tot. (cm) bebas Tajuk (m) cbg. (m) (m) 1 2 3
24 15 30
78 12,8 62
21 11 24
8 4 6
Posisi geografis
KetingKetegian rangan tempat (m dpl) 01°03’45”-01°04’25” LS 150 Anakan 121°31’12”-121°31’55” BT dan Buah
Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa musim panen raya pada beberapa provenan tidak terjadi dalam dua tahun terakhir (2010-2011). Apabila berbuah, hanya beberapa pohon saja yang menghasilkan buah. Pada provenan Sausu, hanya 2 pohon di antaranya yang cukup melimpah buahnya. Selain itu buah tidak banyak, bahkan ada pohon yang masih sedang berbunga, apabila terjadi perkawinan sempurna maka buah akan matang pada Bulan Maret 2012. Salah satu indikator bahwa terjadi pembuahan yang melimpah, adalah berlimpahnya anakan alami di bawah pohon induk yang dapat mencapai jumlah 56-220 anakan per m². Dari lokasi ini diperoleh materi perbanyakan berupa buah dan anakan alami dengan 2 daun. Dalam Sallata dan Renden (1991), bahwa cabutan anakan alami eboni yang berdaun 2-4 dan disimpan pada kondisi yang lembab selama seminggu berhasil tumbuh hingga 87% dan penyimpanan 3 minggu keberhasilan tumbuhnya mencapai 60%. Eksplorasi dilaksanakan pada Bulan Desember 2011. Pada beberapa pohon eboni yang berbuah sangat lebat, warna buah masak adalah hijau kekuningan, berbentuk bulat hingga bulat agak lonjong. Ukuran panjang buah 4,1 - 5cm dengan lebar 2,9-3,8 cm. Hampir tidak dijumpai semai bekas pembuahan tahun sebelumnya di bawah pohon induk, sebagai tanda bahwa pohon eboni tidak
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
55
Prosiding Lokakarya Nasional
berbuah tahun sebelumnya. Sedangkan permudaan tingkat pancang tidak dijumpai kemungkinan karena rapatnya tajuk sehingga perolehan cahaya sangat ketat. 4. Hutan Lindung Boribella, Parangloe, Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Lokasi ini merupakan areal hutan lindung yang berbatasan langsung dengan pemukiman. Kawasan hutan terletak pada koordinat 05˚14’14,8” LS dan 119˚05’32,3” BT. Lahan dengan kelerengan kurang dari 20% pada bagian pinggir sungai sampai kelerengan lebih dari 60% di bagian atas perbukitan. Ketinggian di atas permukaan laut dicatat dengan GPS adalah 135 m. Tipe iklim termasuk dalam zona iklim C2, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Januari dan curah hujan yang rendah yang menjadi penciri bulan kemarau terjadi pada bulan Agustus sampai bulan Oktober. Antara bulan Juli sampai September matahari bersinar penuh dan kelembaban udara rendah. Curah hujan rata-rata dalam 10 tahun terakhir adalah 2013,07 mm. Suhu udara pada siang hari rata-rata 29-31°C dan malam hari rata-rata 27°C. Tanah di bawah tegakan bertekstur lempung, pada lapisan atas dominan fraksi lempung, semakin ke bawah sampai kedalaman lebih dari 50 cm semakin kasar dengan kelas tekstur lempung berpasir. Drainase tanah sangat baik, mulai dari permukaan sampai kedalaman lebih dari 1 m dan pH tanah berkisar 4,21 – 4,93. Eksplorasi dilaksanakan dalam bulan Nopember 2011, diperoleh data bahwa dari 70 pohon eboni hanya 2 pohon yang berbuah, namun pembuahan tidak mencapai usia matang. Kondisi buah masih muda, dengan ukuran panjang buah 1,2-1,7 cm. Karena keterbatasan buah, sehingga diputuskan untuk menggunakan anakan alami berumur sekitar 20 bulan dengan jumlah daun 4-6 daun. Karakteristik pohon induk disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik pohon induk eboni di kelompok hutan Boribella, Gowa No. Tinggi Dia. Tinggi Dia. Posisi geografis Ketinggian Pohon tot. (cm) bebas tajuk tempat (m) cbg. (m) (m) (m dpl) 1 15 24,3 5 6,7 05°14’15” LS 60 - 150 119°05’32” BT 2 12 12,7 4 6 3 30 57,3 26 12 4 25 44,3 15 8 5 15 36,9 7 6
56
Keterangan Buah gugur sebelum matang dan Anakan
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
5. Cagar Alam Paruhumpenai, Mangkutana Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan Lokasi ini merupakan wilayah Cagar Alam Paruhumpenai, termasuk ke dalam Desa Kayu Langi, Kec. Mangkutana, Kab. Luwu Timur. Berada pada koordinat 02˚5’32,6” LS dan 119˚30’55,8” BT. Lokasi tempat tumbuh eboni berada pada ketinggian 90-300 m dpl dengan topografi berombak sampai bergunung (8-60%). Tipe iklim menurut Oldeman dan Syarifuddin (1977) termasuk dalam zona agroklimat A (curah hujan >200 mm berturut-turut selama 6 bulan dan curah hujan <100 mm hanya terjadi satu kali dalam setahun) dengan jumlah curah hujan rata-rata dalam 10 tahun terakhir adalah 2380 mm/tahun. Suhu udara pada siang hari rata-rata 27-34°C dan suhu tanah 26,5°C dengan kelembaban rata-rata 87%. Eksplorasi dilaksanakan dalam Bulan Mei 2011, diperoleh data bahwa pohon eboni yang berbuah hanya 3 pohon. Menurut informasi dari penduduk sekitar lokasi buah pohon eboni tahun ini sangat sedikit, tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya, bahkan dijumpai buah muda yang gugur sebelum mencapai ukuran buah matang. Ukuran buah panjang rata-rata 1,2-1,7 cm. Karena keterbatasan buah, sehingga diputuskan untuk mengambil anakan alami yang berumur sekitar 12 bulan dengan jumlah daun 4-6 daun. Karakteristik pohon induk di lokasi ini disajikan pada Tabel 5. Beberapa buah nampak seperti matang namun setelah diperam selama 2 minggu, daging buah lunak warna biji coklat muda bahkan ada buah yang tidak berbiji. Tabel 5. Karakteristik pohon induk di C.A. Paruhumpenai, Mangkutana No. Tinggi Diameter Tinggi Diameter Posisi Ketinggian Keterangan Pohon tot. tempat (cm) bebas tajuk (m) geografis (m) (m dpl) cbg. (m) 1 17 19,5 12 6,7 02°05’33” LS 60 - 150 Buah 119°30’56” BT gugur 2 14 17,1 12 6 sebelum 3 15 19,1 1 12 matang dan 4 12 14,3 8 8 Anakan 5 16 23,8 14 6
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
57
Prosiding Lokakarya Nasional
6. Blok Hutan Karaenta Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros Lokasi ini merupakan salah satu habitat eboni yang ada di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung, termasuk ke dalam Desa Kappang, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Posisi geografis lokasi pada koordinat 05˚01’50,5” LS dan 119˚44’59,5” BT. Blok hutan Karaenta ini letaknya terbagi dua, yaitu dibelah oleh jalan poros ke Kabupaten Bone. Telah diusulkan sebagian areal menjadi zona rimba, yaitu 25 m dari sebelah kiri kanan jalan poros dan bagian ke dalam lagi menjadi zona inti. Lokasi tempat tumbuh eboni berada pada ketinggian 150 - 450 m dpl dengan topografi bervariasi dari berbukit sampai bergunung (10 - 30%) (Nurkin, 1998). Kedaan geologi di lokasi penelitian didominasi oleh bahan induk batuan tuff dan vulkan alkali serta batuan gamping. Batuan induk tuff berasal dari gunung berapi, sedangkan batuan kapur berasal dari batu karang. Tipe iklim B2 (menurut klasifikasi Oldeman dan Syarifuddin, 1977) dengan jumlah curah hujan rata-rata dalam 10 tahun terakhir 2494 mm per tahun. Suhu udara pada siang hari rata-rata 25,9°C dengan kelembaban rata-rata 88%. Eksplorasi dilaksanakan dalam Bulan Mei 2011, diperoleh data bahwa tidak ada pohon eboni yang berbuah. Menurut informasi dari petugas Polhut taman Nasional bahwa tahun ini tidak terjadi pembuahan. Namun di sekitar beberapa pohon induk eboni dijumpai anakan alam, sehingga di putuskan untuk mengambil anakan alam bekas pembuahan dua tahun lalu, yaitu jumlah daun 4-6 daun (Tabel 6). Tabel 6. Karakteristik pohon induk eboni di blok hutan Karaenta, Maros No. Tinggi Diameter Tinggi Diameter KetePosisi Ketinggian Pohon tot. tempat (cm) bebas tajuk (m) rangan geografis (m) (m dpl) cbg. (m) 1 16 22,6 14 7,6 05°01’15” LS 150-450 Anakan 119°44’60”BT 2 18 23,8 15 6 3 22 24,5 18 6,5 4 19 28,9 12 8 5 18 30,2 15 7
B. Morfologi, Fenologi dan Perbenihan Eboni Morfologi pohon eboni yang dijumpai pada beberapa provenan yaitu batang lurus, jarang dijumpai batang bengkok, tinggi pohon rata-rata 32 m, dengan
58
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
percabangan monopodial dan tanpa banir (akar papan). Kulit batang hitam atau kehitaman, keras dan agak rapuh, permukaan kulit retak-retak, beralur atau bahkan memecah, jarang ditemukan kulit batang licin; di bagian dalam berwarna pucat. Daun tunggal, bertepi rata, terletak berseling (alternate) dalam dua deretan, bertulang menyirip, sering dengan bintik-bintik kelenjar yang tersebar jarang di lembaran daunnya. Tulang daun utama sering melekuk menjadi alur di tengah daun dan tanpa daun penumpu (stipule). Waktu berbunga dan berbuah pohon eboni secara umum telah diketahui, yaitu berbunga dalam Bulan Maret dan buah matang dalam bulan NopemberDesember. Namun dalam tahun 2010-2011 pada beberapa habitat eboni waktu reproduksi tersebut menyimpang, khususnya pada wilayah yang dipengaruhi oleh iklim pantai Barat. Waktu berbunga hingga berbuah terjadi lebih awal dari habitat eboni yang berada di wilayah tengah dan bagian timur. Kemungkinan besar kondisi ini dipengaruhi oleh iklim, yaitu jumlah penyinaran dan curah hujan. Santoso (1997) menyebutkan bahwa eboni memiliki bunga monocious, dimana satu pohon dijumpai bunga jantan dan bunga betina dan penyerbukannya dengan bantuan angin. Umumnya penyerbukan antara bunga jantan dan betina terjadi antar pohon. Penyerbukan dalam satu pohon (inbreeding) akan terbentuk buah yang tidak sempurna atau terbentuk buah namun gugur sebelum matang. Kadang-kadang pula ditemui pohon eboni yang berumah dua (dioecious) namun kadang-kadang monoecis. Tipe buah eboni adalah buah buni. Selanjutnya dikatakan bahwa hasil inventarisasi di Cagar Alam Kalaena, Sulawesi Selatan, dari 50 pohon eboni yang berbuah sekitar 7-10 pohon saja. Pembungaan dalam malai di ketiak bagian tengah ranting, dengan jumlah buah setiap ranting berbuah 8-10 buah. Kelopak bunga menetap (tidak rontok) berwarna putih gading mirip bunga cengkeh. Pohon yang berbuah umumnya pohon yang memiliki tajuk dominan dan bagian ranting yang berbuah umumnya terletak pada tajuk bagian luar, nampaknya kebutuhan akan sinar matahari sebagai faktor utama yang sangat berpengaruh pada pembuahan. Tergolong ke dalam kelas Dicotyledon, berakar tunggang, dengan ciri utama perakaran adalah mengembang ke arah vertikal, dimana ujung induk akar sering dijumpai menembusi permukaan horison batuan induk khususnya pada solum-solum yang dangkal. Kedalaman perakaran efektif maksimal 76 cm, pada bagian perakaran sering dijumpai batu kerikil.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
59
Prosiding Lokakarya Nasional
Pengumpulan benih meliputi pengumpulan buah dan pengumpulan anakan alami. Sesuai dengan prosedur pelaksanaan kegiatan, bahwa buah diambil dari pohon yang berbatang lurus, silindris, bentuk percabangan dan tajuk yang bagus dan tidak terserang hama penyakit. Pengumpulan buah dengan cara memanjat, tidak mencampur buah yang sudah jatuh. Buah yang matang berwarna hijau kekuningan. Buah diperam hingga dua minggu dalam karung goni yang dibasahi agar tetap lembab (waktu peram disesuaikan dengan tingkat kematangan buah). Buah yang sudah matang tersebut ditandai dengan daging buah menjadi lunak (apabila di pencet), keluarkan dari karung goni. Apabila terlambat dikeluarkan calon akar sudah mulai muncul pada bagian ujung biji. Buah yang sudah matang dikupas, biji dicuci bersih lalu biji direndam dalam air yang diberi cairan dithane selama 1 jam untuk menghindari biji terjangkit jamur, sebelum ditanam. Biji yang sehat berwarna coklat kehitaman, dalam Santoso (1997) dikatakan bahwa biji akan tenggelam apabila dimasukkan ke dalam air. C. Perkecambahan dan Pembibitan Benih yang ada merupakan benih generatif yang berasal dari buah dan anakan alami. Hasil perkecambahan benih dapat dilihat pada Tabel 7. Perkecambahan benih merupakan lanjutan dari kegiatan pertumbuhan pada akar, dimana secara perlahan dalam waktu 2 hari lembaga biji mulai terangkat ke atas. Dalam waktu hari, kulit lembaga akan gugur dan hari kemudian akan muncul daun muda yang berwarna kuning muda. Permasalahan fatal yang sering terjadi di persemaian, tingkat kematian bibit mencapai 80% pada kondisi kelembaban yang tinggi (>70%). Anakan diserang jamur pada bagian leher lembaga (calon daun) menyebabkan putus pada bagian leher. Dengan busuknya bagian tersebut makanan ke bagian daun akan terputus dan menyebabkan kematian. Bibit yang berasal dari anakan alami, sebaiknya langsung ditanam dalam polybag yang telah disiapkan. Selama bibit belum ditanam, akarnya sebaiknya direndam dalam air. Adaptasi di persemaian, bibit diletakkan dalam sungkup plastik. Pengamatan pertumbuhan dilakukan secara bersamaan pada periode yang sama.
60
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
Tabel 7.
Kondisi materi genetik sejak awal disemaikan di persemaian BPK Makassar
Asal provenan . Mamuju
Materi genetik Buah/Biji
2. Kasimbar
Buah/Biji Anakan
3. Sausu
Buah/Biji Anakan
4. Gowa
Buah/Biji Anakan
5. Mangkutana Anakan 6. Maros
Anakan
Biji/anakan yang tumbuh Keterangan (bulan) I II III IV 19 19 19 19 Diambil 198 biji, disemaikan 27/6/11 Disapih polybag 8/8/11 (Tumbuh 9,09 %) 1 1 1 1 Diambil 60 biji, disemai 06/12/11 (Tumbuh 1,6 %) 351 329 319 319 Diambil 373 anakan (daun 2), ditanam 07/12/11 (Tumbuh 85,5%) 123 123 110 110 Diambil 1.126 biji, disemai 06/12/11. (Tumbuh 9,76%) 221 210 210 210 Diambil 225 anakan(daun 2), ditanam 07/12/11 (Tumbuh 90,2%) 9 9 5 5 Diambil 11 biji, ditanam 04/11/11 (Tumbuh 45,5%) 36 35 32 32 Diambil 492 anakan (daun 4-6), ditanam 12/11/11 (Tumbuh 6,5%) 13 13 11 11 Diambil 25 anakan (daun 4), ditanam 05/05/11 (Tumbuh 44%) 3 2 2 1 Diambil 50 anakan (daun 4-6), ditanam 05/06/11 (Tumbuh 2%)
D. Persemaian Pemeliharaan di persemaian meliputi pembersihan dari rumput, penyiraman, penyemprotan fungisida, pemupukan, pembukaan sungkup plastik dan pembukaan paranet. Pembersihan rumput dilakukan sekali dalam seminggu, pada bagianbagian bedeng persemaian maupun pada bagian polybag yang dapat menghalangi penyiraman anakan. Penyiraman disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu apabila tanah masih dalam kondisi basah tidak dilakukan penyiraman. Apabila tidak ada hujan penyiraman dapat dilakukan 2 kali dalam sehari (pagi dan sore). Pemberian insektisida bubuk dilakukan sekali selama bibit di persemaian, untuk melindungi
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
61
Prosiding Lokakarya Nasional
tanaman dari semut dan serangga tanah lainnya, yang sering dijumpai pada pupuk hayati yang digunakan. Pemupukan dengan pupuk NPK (15,15,15) sebanyak 4 gr per polybag dilakukan sekali selama bibit di persemaian. Pembukaan sungkup plastik dilakukan setiap hari, antara jam 08.00-10.00 pagi, kemudian ditutup kembali. Pada waktu bibit sudah mencapai usia 3 bulan di persemaian dan daun baru sudah mulai muncul sampai dengan 2 daun, sungkup plastik sudah tidak digunakan lagi. Tujuannya agar fotosintesa dapat berlangsung sempurna. Kemudian sebulan berikutnya diikuti oleh pembukaan paranet (70%) untuk mengurangi kelembaban selama musim hujan (1 bulan sebelum bibit dipindahkan ke lapangan). Perlakuan ini khusus dilakukan pada persemaian eboni pada musim hujan seperti bulan Desember tahun 2011. Pertumbuhan bibit di persemaian di sajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit di persemaian, BPK Makassar Asal provenan 1. Mamuju 2. Kasimbar 3. Sausu 4. Gowa 5. Mangkutana 6. Maros
Materi genetik
Tinggi bibit (cm)
Buah/Biji Buah/Biji Anakan Buah/Biji Anakan Buah/Biji Anakan Anakan Anakan
8,22 6,4 7,32 5,68 5,06 6,5 9,10 10,02 10,55
Diameter batang (mm) 10,53 2,05 2,34 2,9 1,70 2,2 2,04 2,07 2,35
Keterangan Umur 14 bulan Umur 5 bulan Umur > 9 bulan Umur 5 bulan Umur > 6 bulan Umur 12 bulan Umur > 14 bulan Umur > 14 bulan Umur > 8 bulan
Jumlah bibit yang siap tanam seluruhnya 800 bibit, dimana 75% berasal dari bahan tanaman yang disemaikan di persemaian dan selebihnya diambil dari bibit cadangan untuk persiapan penyulaman di lapangan (Tabel 7). E. Penanaman di Lapangan Penanaman dilakukan dalam bulan April 2012 didukung oleh kondisi iklim pada saat itu masih cukup hujan. Persiapan lapangan sesuai dengan rancangan awal dilakukan sebulan sebelum bibit ditanam, yaitu meliputi pembuatan lubang tanam ukuran 30cm x 30cm x 30cm dalam jalur-jalur yang panjangnya bervariasi sesuai
62
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
dengan kondisi batas zona rimba yang telah ditentukan oleh pihak Taman Nasiona Bantimurung Bulusaraung. Jarak tanam antar bibit dalam jalur 5m x 5m. Pemberian pupuk hayati dengan dosis 0,250 kg per lubang sebelum penanaman dilakukan. Pemasangan ajir pada setiap lubang sebagai penanda. Pengangkutan bibit ke lapangan dilakukan setelah 2 minggu lubang tanam disiapkan. Penanaman bibit dilakukan pagi hari hingga selesai, dengan cara membuka bibit dari polybag secara hati-hati agar media tanah polybag tidak terhambur, lalu dimasukkan ke lubang tanam dan tanaman ditimbun dengan tanah galian setinggi 10 cm di atas tanah polybag. Seminggu kemudian bibit yang sudah ditanam disiram dengan larutan anti stress ’Grow Quik F Plus’, untuk lebih mempercepat adaptasi bibit di lapangan. 1. Persentase tumbuh Persentase tumbuh bibit asal 6 provenan selama sebulan setelah ditanam, diatas 90-95%. Tanaman yang mati disebabkan oleh ranting yang jatuh menimpa tanaman, karena bilamana hujan seringkali disertai angin yang kencang, khususnya pada waktu seminggu setelah bibit ditanam. Kondisi tanaman pada umumnya segar dengan ditandai oleh tumbuhnya 1-2 daun baru. 2. Pemeliharaan awal Pemeliharaan awal setelah 1 bulan ditanam, berupa pendangiran disekitar tanaman.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Plot Konservasi genetik eboni telah terbangun di areal zona rimba Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas 2 hektar, tanaman berasal dari 6 provenan dan 28 pohon induk. 2. Karakteristik fisik 6 provenan eboni berupa iklim B2 hingga D2, berada pada ketinggian tempat 60-450 meter di atas permukaan laut, topografi/kemiringan 8 hingga > 30% (berbukit hingga bergunung), kondisi kesuburan tanah kurang, tekstur tanah didominasi oleh fraksi liat hingga 43,53%, pH 4,21 hingga 6,8 (masam hingga agak masam), suhu udara 25 hingga 29,5°C dan kelembaban udara 67 hingga 85%.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
63
Prosiding Lokakarya Nasional
3. Pertumbuhan bibit di lapangan cukup baik dimana persen tumbuh mencapai 97 persen, dengan rata-rata tinggi 10,29 cm dan rata-rata diameter 2,05 mm. 4. Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, pemagaran dan perlindungan dari serangan hama penyakit merupakan hal yang penting untuk dilakukan pasca terbangunnya plot konservasi ini terutama pada musim kemarau.
UCAPAN TERIMA KASIH Kegiatan penelitian ini terlaksana atas dukung pembiayaan sepenuhnya oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1(F), Promoting Conservation of Selected Tree Species Currently Threatened by Habitat Disturbance and Population Depletion. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada ITTO Project & Management, atas dana untuk pelaksanaan kegiatan penelitian tentang eboni, kepada Dr. Ir. Murniati MSc. selaku Coordinator Project atas kesempatan yang diberikan, dimana saya memperoleh pengetahuan dan dapat lebih jauh lagi mengenal tentang eboni sebagai jenis endemik di Sulawesi yang mulai langka. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Kehutanan, Makassar dan Tim kerja yang terdiri dari Titus D. Manikallo, M. Azis Rahman, Lukas Palondongan dan teman-teman bagian angkutan kendaraan Balai yang senantiasa mendukung selama kegiatan berlangsung hingga penyusunan laporan akhir dan penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA IUCN. 2011. IUCN red list of threatened species. <www.iucnredlist.org.>. Diakses tgl.25 Pebruari 2012.
Version
2011.2.
Jepson, P. and R.J. Whittaker. 2002. Ecoregion in context: a critique with special reference to Indonesia. Conservation Biology 16(1): 42-57. Hardiyanto, E. and M. Na’iem. 2002. Present Status on Conservation, Utilization and Management of Forest Genetic Resources in Indonesia. Proc. Of The Southeast Asia Moving Workshop on Conservation, Management and Utilization of Forest Genetic Resources. J. Koskela et al. (eds). Pp 17-28. FORSPA, FAO Bangkok.
64
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi… (Merryana Kiding Allo)
McNeely, J.A. 1992. The Sinking Ark : Pollution and The World Wide Loss of Biodiversity. Biodiv.Conserv. 1(1) : 2-18. Myers, N. 1989. Deforestation Rates in Tropical Forest and Their Climate Implications. Friend of The Earth Report. London. Nurkin, B. 1998. Karakteristik vegetasi dan Sifat-sifat Tanah pada Lahan Perladangan Berpindah di Kawasan Hutan Bengo-Bengo, Maros. Lingkungan dan Pembangunan, 18(1): 9-23. Oldeman dan D. Syarifuddin. 1977. An Agroclimatic Map of Sulawesi. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor, No. 33. 39 p. Santoso, B. 1997. Pedoman Teknis. Budidaya Eboni (Diospyros celebica Bakh). Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Sallata, M.K. dan R. Renden. 1991. Pengaruh Lama Penyimpanan dan Jumlah Daun terhadap Pertumbuhan Anakan Eboni. Jurnal Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Suseno, O.H., M. Na’iem dan M.S. Sabarnudin. 1998. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan Menghadapi Abad 21. Bulletin Kehutanan UGM. Yogyakarta. Widyatmoko, A.Y.P.B.C., I.L.G. Nurtjahjaningsih dan Prastyono. 2011. Studi Keragaman Genetik pada Beberapa Jenis Terancam Punah (Endangered Species) menggunakan Penanda RAPD. Prosiding Lokakarya Nasional ‘StatusKonservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia)’. ITTO Project PD 539/09 Rev.1(F) in Coop. with Center or Conservation and Rehabilitation Reseacrh Dev. Bogor.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
65
Prosiding Lokakarya Nasional
PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI GENETIK CEMPAKA (Michelia champaca) DI HUTAN PENELITIAN PASIR HANTAP, JAWA BARAT (Establishment of genetic conservation plots of cempaka (Michelia champaca) in Pasir Hantap Research Forest, West Java) 1 Oleh/By: Murniati 2
ABSTRACT Cempaka (Michelia champaca Linn.), belong to Magnoliaceae family. Cempaka wood has fine fiber and can be used as raw material for industry, construction, furniture, veneer, plywood, particle board and decoration items. Beside the wood, the species produces flowers used for perfumery raw materials and essential oils that have a high price. In Indonesia, the species of cempaka is distributed in Sumatera, Java, Kalimantan, Sulawesi and Lesser Sunda Island. However, nowadays, it is difficult to find natural populations of M. champaca at some areas. Although cempaka is not endangered species, it has good prospect to be developed and maintained because of its multiple uses. To maintain and to conserve genetic diversity of cempaka, a genetic conservation plot has been established at Pasir Hantap Research Forest, as an ex-situ conservation strategy. The genetic materials obtained from four populations and 21 mother trees. The activities started from exploration and collection of genetic materials, preparation of seedlings at nursery, survey and preparation of planting areas, transplanting the seedling into the field plot and maintenance as well as an initial observation of the survival. The genetic conservation plot of cempaka is expected can be function as a preservation effort of the species from extinction. For the tree breeders, the plant genetic conservation plot can provide genetic materials that needed for tree improvement program. Keywords: Genetic material, ex-situ conservation, mother tree, plot, population.
ABSTRAK Cempaka (Michelia champaca Linn.), termasuk famili Magnoliaceae, memiliki serat kayu yang halus, dapat digunakan sebagai bahan baku industri, konstruksi, 1
2
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. Peneliti pada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan.
66
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
furniture, vinir, plywood, particle board, ukiran dan barang-barang dekorasi. Selain kayu, jenis ini menghasilkan bunga untuk wangi-wangian dan untuk bahan baku minyak atsiri yang mempunyai nilai jual tinggi. Di Indonesia, cempaka tumbuh tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil. Namun populasi alami M. champaca pada beberapa daerah sudah jarang dijumpai. Meskipun belum termasuk jenis langka, namun karena banyak kegunaannya, cempaka kuning mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dan dijaga kelestariannya. Untuk menjaga kelestarian dan keragaman genetik M. champaca, sebuah Plot Konservasi Genetik M. champaca yang merupakan strategi konservasi ex-situ telah dibangun di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dengan materi genetik berasal dari empat populasi dan 21 pohon induk. Kegiatan pembangunan plot dimulai dengan ekplorasi dan pengumpulan materi genetik, pembuatan bibit di persemaian, survei dan persiapan lokasi penanaman, penanaman bibit di lapangan serta pemeliharaan dan pengamatan awal keberhasilan tumbuh. Plot Konservasi Genetik Cempaka ini diharapkan dapat berfungsi sebagai usaha penyelamatan jenis pohon ini dari ancaman kepunahan. Bagi pakar pemulia tanaman (breeders), plot konservasi genetik dapat menyediakan materi genetik yang diperlukan untuk program pemuliaan. Kata kunci: Materi genetik, konservasi ex-situ, pohon induk, plot, populasi.
I. PENDAHULUAN Michelia champaca Linn., sinonimnya M. velutina BL atau M. pilifera bakh,f., termasuk famili Magnoliaceae (Heyne, 1987). Di Indonesia dikenal dengan beberapa nama daerah seperti cempaka, campaka honeng, campaga, jeumpa, campaka dan campaka giraji (Indriani, 2010). Di Sumatera Selatan, pohon M. champaca dikenal dengan nama daerah bambang lanang atau medang bambang. Kayu cempaka memiliki serat halus, dapat digunakan sebagai bahan baku industri, konstruksi, furniture, vinir, plywood, particle board, ukiran dan barang-barang dekorasi (Martawijaya et al., 1989). Selain kayu, jenis ini menghasilkan bunga untuk wangi-wangian (sering digunakan untuk upacara adat/ritual agama) dan untuk bahan baku minyak atsiri yang mempunyai nilai tinggi. Cempaka kuning berkerabat dekat dengan cempaka putih (Michelia alba DC.), karakteristik morfologi kedua jenis ini mempunyai kemiripan (Kalima, 2011). Beberapa pustaka menyebutkan daerah sebaran M. Champaca meliputi India, Myanmar, Cina, Banglades, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Indonesia (Sosef et al., 1998, Heyne 1987). Di Indonesia, cempaka kuning tumbuh tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil, di hutan tropika basah tumbuh di lereng gunung pada ketinggian 250 – 1500 m di atas permukaan laut (Oyen dan Xuan Dung, 1999), pada iklim tipe A atau B menurut Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
67
Prosiding Lokakarya Nasional
Smith dan Ferguson, dengan curah hujan berkisar antara 1000 – 2000 mm/tahun (Saputra, 1991 dalam Iskandar, 2003). Cempaka tumbuh baik pada tanah bertekstur yang didominasi lempung atau tanah liat, kondisi tanah agak lembab dan pH normal (Iskandar, 2003). Populasi alami M. champaca pada beberapa daerah sudah jarang dijumpai. Di Sumatera Selatan, populasi alami M. champaca dewasa ini disebutkan hanya terdapat di Suaka Margasatwa (SM) Gumai Pasema dan SM Isau-Isau Pasema (komunikasi pribadi dg Sunoto, Ka Resort UPDT BKSDA Seksi Konservasi Wilayah II Lahat, 2011). Meskipun belum termasuk jenis langka, namun karena banyak kegunaannya, cempaka mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dan dijaga kelestariannya. Dengan dimanfaatkan produksi bunganya (khususnya di Jawa), dikhawatirkan lambat laun regenerasi alami jenis ini semakin berkurang dan bahkan punah. Meskipun demikian, jenis ini sudah mulai dibudidayakan secara swadaya oleh masyarakat, terutama di Provinsi Sumatera Selatan dalam sistem agroforestry. Keragaman genetik merupakan dasar pembawa sifat suatu jenis tumbuhan untuk tumbuh, berkembang dan mempertahankan hidup generasi berikutnya sehingga dapat beradaptasi pada suatu tempat, serangan hama dan penyakit maupun perubahan iklim. Semakin besar nilai keragaman genetik atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat keragaman genetik suatu jenis pohon, maka daya adaptasinya juga semakin besar. Berdasarkan hasil analisis keragaman genetik M. champaca dengan sampel berasal dari populasi Sumatera Selatan dan Jawa Timur diketahui bahwa rata-rata keragaman genetik di dalam populasi adalah 0,188, sedangkan rata-rata jarak antar populasi (keragaman antar populasi) adalah 0,665. Dibandingkan dengan rata-rata keragaman genetik ulin dengan sampel berasal dari populasi Sumatera Selatan dan Jambi (0,368 di dalam populasi dan 0,257 antar populasi), dan rata-rata keragaman genetik eboni dengan sampel berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah (0,289 di dalam populasi dan 0,303 antar populasi), keragaman genetik M. champaca di dalam populasi relatif rendah dan cenderung menurun dari tingkat pohon ke tingkat tiang dan dari tingkat tiang ke tingkat semai (Widyatmoko et al., 2011). Ada dua hal yang perlu diperhatikan di dalam koleksi materi genetik untuk keperluan pembangunan plot konservasi genetik jenis ini yaitu materi genetik harus dikoleksi dari sebanyak mungkin pohon induk dan dikoleksi secara terpisah, serta pohon induk yang dikoleksi harus mewakili keseluruhan area tegakan (Widyatmoko et al., 2011).
68
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
Untuk menjaga keragaman genetik M. champaca, baik di dalam maupun antar populasi, sebuah plot konservasi genetik M. champaca yang merupakan strategi konservasi ex-situ telah dibangun di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Plot konservasi genetik cempaka ini diharapkan dapat berfungsi sebagai back-up bagi konservasi in-situ yaitu sebagai benteng terakhir bagi usaha penyelamatan jenis pohon ini dari ancaman kepunahan. Bagi pakar pemulia tanaman (breeders), plot konservasi genetik dapat menyediakan materi genetik yang diperlukan untuk program pemuliaan.
II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Pembangunan Plot Konservasi Genetik Cempaka dilaksanakan di Hutan Penelitian Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi yaitu di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kegiatan pembangunan Plot Konservasi Genetik Cempaka dilakukan sejak Bulan Februari sampai Desember 2011. Pengamatan kondisi awal tanaman di lapangan dilakukan pada Bulan Januari 2012 (ketika tanaman berumur satu bulan). B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada kegiatan pembangunan Plot Konservasi Genetik Cempaka meliputi materi genetik berupa biji cempaka yang berasal dari empat populasi, yaitu Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang (Sumatera Selatan), Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Bahan lainnya adalah bak kecambah, media semai, polybag, paranet, pupuk organik serbuk “Green Star”, pupuk NPK slow realese (dekastar), fungisida, insektisida nabati, label tanaman, dan lain-lain. Adapun alat-alat yang diperlukan adalah alat pengunduh buah, altimeter, GPS, kompas, meteran, kalifer, kamera dan lain-lain. C. Prosedur Kerja 1. Eksplorasi dan Pengumpulan Biji Eksplorasi dan pengumpulan biji cempaka di lakukan di empat populasi cempaka, dua populasi di Provinsi Sumatera Selatan dan dua populasi di Provinsi Jawa Timur. Biji di kumpulkan dari berbagai macam bentuk/kondisi/kualitas pohon induk (baik, sedang dan buruk), sehingga mewakili keseluruhan bentuk pohon
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
69
Prosiding Lokakarya Nasional
penyusun suatu tegakan/populasi. Dilakukan pendataan karakteristik pohon induk yang meliputi: diameter batang, tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter tajuk, kelimpahan biji, posisi koordinat dan ketinggian tempat. Biji dari masing-masing pohon induk dipisahkan dan disemai. 2. Pengecambahan Biji dan Persemaian Sebelum dikecambahkan, biji cempaka direndam dalam air dingin untuk melunakkan daging buahnya selama 24 jam agar biji mudah dibersihkan. Pengecambahan biji dilakukan di bak kecambah dengan media pasir yang di sterilkan terlebih dahulu menggunakan fungisida Dithane M-45. Bak kecambah di letakkan di dalam sungkup plastik untuk menjaga suhu dan kelembaban udara optimal untuk perkecambahan, kemudian diberi naungan paranet dengan intensitas cahaya yang masuk 65%. Biji dari masing-masing pohon induk ditanam dalam bak kecambah dengan jarak 2 cm x 2 cm sedalam 1 cm. Setelah biji cempaka berkecambah dan telah mencapai tinggi ± 5 cm serta telah mempunyai dua lembar daun (umur satu bulan), kecambah disapih ke polybag ukuran 12 cm x 15 cm dengan media terdiri dari campuran tanah, pasir, pupuk kandang, dan sekam dengan perbandingan 3:1:1:1. Polybag yang sudah ditanami dengan semai cempaka dari masing-masing pohon induk dan populasi disusun di bedeng semai, diberi label dan diberi naungan paranet dengan intensitas cahaya 65%. 3. Pemeliharaan bibit di persemaian Pemeliharaan bibit di persemaian meliputi penyiraman, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan secara teratur pagi dan sore atau sesuai kebutuhan bibit. Untuk memacu pertumbuhan, bibit diberi pupuk organik serbuk Green Start, melalui penyemprotan dengan dosis 20 gr/10 liter air untuk 1000 bibit. Penyemprotan larutan pupuk organik dilakukan setiap bulan sampai bibit berumur enam bulan. Dilakukan pengamatan dan pengendalian serangan hama dan penyakit. Pembersihan rumput-rumput liar di lakukan setiap bulan. 4. Penanaman Bibit yang sudah siap tanam (umur tujuh bulan di persemaian), dibawa dan ditanam di lokasi yang sudah dipersiapkan. Persiapan lapangan meliputi survey dan pemilihan lokasi. Setelah lokasi definitif terpilih dilakukan pembuatan plot
70
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
(pengukuran dan pembersihan jalur tanam, pemasangan ajir dan pembuatan lobang tanam). Plot penanaman di rancang berdasarkan daerah asal bibit atau populasi, dengan jarak antar populasi ≥ 50 m. Masing-masing populasi ditanam pada petak dengan luas 4.000 sampai 4.500 m2. Penanaman dilakukan pada bulan November 2011 yaitu pada awal musim penghujan. 5. Pemeliharaan dan Pengamatan Awal Pengamatan dan pengukuran pertumbuhan awal, penyiangan, pendangiran, pemupukan serta penyulaman dilakukan satu bulan setelah penanaman. Pengamatan meliputi persen tumbuh tanaman, pengukuran tinggi dan diamater batang. Dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk NPK slow release yaitu dekastar dengan komposisi 18-18-18 dengan dosis 5 gram per tanaman. Tanaman yang mati disulam sesuai asal bibit/populasi. Data persen tumbuh, tinggi dan diamater awal tanaman dirata-ratakan menurut asal bibit/populasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Lokasi dan Pohon Induk Asal Materi Genetik Materi genetik berupa biji dikumpulkan dari empat populasi yang berlokasi di Provinsi Sumatera Selatan (dua populasi, yaitu Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang), dan Provinsi Jawa Timur (dua populasi, yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan). Keempat populasi ini merupakan tanaman budidaya, karena populasi alaminya sudah sulit ditemukan. Pengumpulan biji di Provinsi Sumatera Selatan yaitu: 1) Desa Muara Payang, Kecamatan Muara Payang, Kabupaten Lahat; 2) Desa Padang Titiran, Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Empat Lawang. Pengumpulan biji cempaka di Provinsi Jawa Timur yaitu: 1) Arboretum Jasa Tirta, Kecamatan Bumiaji dan Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, dan 2) Beberapa desa di lereng Gunung Arjuno, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. 1. Kabupaten Lahat Tegakan M. champaca (nama lokal: bambang lanang) di lokasi ini sudah ditetapkan sebagai tegakan benih teridentifikasi berdasarkan SK BPTH Sumatera No 55/V/BPTH. Sum-3/SSB/2006 tanggal 1 Agustus 2006. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, nama botani dari pohon dengan nama daerah bambang lanang
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
71
Prosiding Lokakarya Nasional
adalah Madhuca aspera dari famili Sapotaceae. Namun setelah dilakukan identifikasi herbariumnya oleh Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (yang sekarang bernama Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi) dan Puslit Biologi-LIPI, nama yang benar untuk jenis pohon dengan nama daerah bambang lanang adalah Michelia champaca L. dari famili Magnoliaceae. Tegakan benih M. Champaca ini terletak di Desa Muara Payang, Kecamatan Muara Payang, Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan. Lokasinya dapat dicapai dengan berkendaraan mobil dari Palembang ke Lahat selama 5 jam dan dari Lahat ke Desa Muara Payang selama 2 jam, kemudian berjalan kaki sejauh 3 km. Terletak pada koordinat S 03°54’20,1”- 03°54’30,2”, E 103°7’27,6” - 103°7’33,6” dengan ketinggian tempat ± 700 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Lahat mempunyai jumlah curah hujan pada tahun 2010 sebesar 4.182 mm (Kabupaten Lahat, 2011), termasuk tipe iklim A. Luas tegakan benih M. champaca yang dikelola oleh Kelompok Tani Purnomo ini ± 2 ha dengan jumlah pohon induk 30 batang. Pohonpohon tersebut telah berumur 30 tahun dan mempunyai ciri-ciri batang lurus dengan tinggi bebas cabang yang cukup tinggi (≥ 10 m) (Gambar 1). Pada waktu pengumpulan biji (Februari 2011) buah dari sebagian besar pohon sudah dipanen. Oleh sebab itu buah yang dapat dikumpulkan hanya berasal dari lima pohon induk dengan jarak antar pohon induk ≥ 50 m. Karakteristik kelima pohon induk tersebut disajikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Pohon dan tegakan Michelia champaca di Desa Muara Payang, Kecamatan Muara Payang, Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan.
72
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
Tabel 1. Karakteristik pohon induk M. champaca di tegakan benih teridentifikasi Desa Muara Payang No. Diameter Tinggi bebas Tinggi total Pohon (cm) cabang (m) (m) 1. 79,5 9 25
Diameter tajuk (m) 14,9
2.
74,8
12
26
12,5
3. 4.
70,0 75,1
11 15
26 32
11,5 12,5
5.
84,3
12
32
9
Posisi gegrafis 03°54’28.6”LS, 103°07’33.5”BT 03°54’28.9”LS, 103°07`33.6`BT 03°54’29.4”LS, 103°07’30.1”BT 03°54’28.5”LS, 103°07’31.3”BT
Tegakan benih M. champaca dikelola dalam sistem agroforestry dengan tanaman kopi dan tanaman buah-buahan seperti durian. Di bawah tegakan jarang ditemukan anakan karena biji yang masak dipanen secara teratur untuk dijual dan atau disemaikan di tempat terpisah. Biji M. champaca dari tegakan benih teridentifikasi ini diperjual belikan dengan harga yang tinggi dan telah menjadi barang yang bernilai ekonomi/komersil. 2. Kabupaten Empat Lawang Biji M. champaca diunduh dari pohon induk di kebun masyarakat Desa Padang Titiran, Kecamatan Talang Padang. Pohon-pohon M. champaca dikelola dalam sistem agroforestry dengan tanaman kopi, durian, petai, dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat di 154 desa dan dua kelurahan di Kabupaten Empat Lawang telah membudidayakan M. champaca, namun biji yang dihasilkan belum diperjual belikan dan tidak bernilai ekonomi. Baik di Kabupaten Lahat maupun di Kabupaten Empat Lawang masyarakat membudidayakan M. champaca (bambang lanang) untuk diambil kayunya. Pohonnya lurus-lurus dengan sedikit percabangan dan cabang pertama umumnya pada ketinggian ≥ 10 m (Gambar 2). Dari lokasi ini dapat dikumpulkan biji M. champaca dari empat pohon induk dengan karakteristik disajikan pada Tabel 2.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
73
Prosiding Lokakarya Nasional
Gambar 2. Pohon dan tegakan M. champaca (dengan tanaman bawah kopi) di Desa Padang Titiran, Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan
Tabel 2. Karakteristik Pohon Induk M. champaca di Desa Padang Titiran, Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Empat Lawang No. Pohon 1. 2. 3. 4.
Diameter (cm) 40 28 60 55
Tinggi bebas cabang (m) 10 14 8 14
Tinggi total (m) 20 26 22 24
Diameter tajuk (m) 12 7,5 15,5 10
3. Kabupaten Malang Biji M. champaca diunduh dari pohon induk yang ditanam tahun 1988 di Arboretum Jasa Tirta, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji. Lokasi ini terletak pada ketinggian 1500 m di atas permukaan laut dengan koordinat 07°45’15,3” 07°45’25,1” LS dan 112°31’35,4” - 112°31’41,3” BT. Dikumpulkan pula biji dari pohon induk M. champaca yang terdapat di Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang, yang umumnya ditanam dipekarangan untuk dipanen bunganya. Oleh sebab itu pohon-pohon M. champaca yang ditemui di lokasi ini umumnya bercabang banyak dengan tinggi bebas cabang yang sangat rendah (Gambar 3). Jumlah pohon induk dari Kabupaten Malang adalah 4 pohon dengan karakteristik disajikan pada Tabel 3.
74
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
Gambar 3. Pohon Michelia champaca di Arboretum JasaTirta (kiri) dan Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang (kanan), Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Tabel 3. Karakteristik pohon induk M. champaca di Kabupaten Malang No Diameter Tinggi bebas Tinggi Pohon (cm) cabang (m) total (m) 1. 62 7 19 2. 42 6 14 3. 74 1,7 13 4. 34 4 15
Diameter tajuk (m) 6,5 7,5 10,5 6
Ketinggian tempat (m dpl) 1500 650 650 650
4. Kabupaten Pasuruan Biji M. champaca diunduh dari pohon yang ditemukan di desa-desa di lereng Gunung Arjuno. Sebagaimana halnya di Kabupaten Malang, di Kabupaten Pasuruan pohon M. champaca umumnya juga ditanam di pekarangan rumah untuk dipanen bunganya, sehingga karakteristik pohonnya bercabang banyak dengan tinggi bebas cabang yang sangat rendah (Gambar 4a). Namun beberapa pohon cempaka yang juga ditanam di pekarangan rumah yang tidak dipetik bunganya mempunyai karakteristik sebaliknya, berbatang lurus dan tinggi bebas cabang cukup tinggi (Gambar 4b). Jumlah pohon induk dari Kabupaten Pasuruan adalah 8 pohon dengan karakteristik disajikan pada Tabel 4.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
75
Prosiding Lokakarya Nasional
Gambar 4. Pohon Michelia champaca di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (kiri: bercabang banyak dan rendah, kanan: berbatang lurus dan tinggi bebas cabang cukup tinggi).
Tabel 4. Karakteristik pohon induk M. champaca di Kabupaten Pasuruan No. Pohon 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Diameter Tinggi bebas Tinggi total Diameter (cm) cabang (m) (m) tajuk (m) 25 3 7 4 22 3 9 3,8 31 7 11 6,5 35 5 12 2,5 27 8 14 5 38 8 17 8,5 30 7 13 5,5 34 6 14 7,5
Ketinggian tempat (m dpl) 400 450 470 450 620 650 740 740
Hakim dan Widyatmoko (2011) mengemukakan bahwa untuk konservasi ex-situ, pengumpulan materi genetik dari masing-masing populasi minimal dari 20 pohon induk yang tumbuh berjauhan (50-100 m) agar biji yang tekumpul merupakan hasil perkawinan dari lebih 20 pohon induk dan mewakili populasi tersebut. Memperhatikan persyaratan jumlah minimal pohon induk per populasi
76
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
yang dikemukakan diatas, maka jumlah pohon induk sebagai sumber materi genetik pada pembangunan Plot Konservasi Genetik M. champaca ini perlu ditambah atau dilakukan pengkayaan materi genetik untuk masing-masing populasi. B. Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan Bibit di Persemaian Biji cempaka yang ditabur di bak kecambah mulai berkecambah setelah dua minggu dengan rata-rata persentase berkecambah sebesar 51,5% (Tabel 5). Persentase berkecambah biji cempaka populasi Jawa Timur (Malang dan Pasuruan) tergolong rendah (rata-rata 35,5%), diduga karena biji yang dikumpulkan kurang tua (belum mencapai masak fisiologis). Pohon cempaka berbuah tidak serentak, sehingga sulit mendapatkan buah yang betul-betul sudah masak dari banyak pohon pada waktu yang sama. Sebagaimana diuraikan di muka, penyapihan kecambah cempaka ke polibag dilakukan setelah semai mencapai tinggi ± 5 cm dan mempunyai dua lembar daun (Gambar 5). Persen tumbuh dan pertumbuhan bibit di persemaian sampai umur tujuh bulan cukup baik (Gambar 6a) dengan rata-rata persen tumbuh 80,9%, tinggi bibit 54,2 cm dan diamater batang bibit 0,558 cm (Tabel 5). Persen tumbuh dan tinggi bibit tertinggi ditunjukkan oleh bibit populasi Lahat, hal ini dapat dipahami karena tegakan pohon induknya merupakan tegakan benih teridentifikasi dengan penampakan/temperamen pohon yang berkualitas tinggi. Populasi Lahat dan Empat Lawang menunjukkan tinggi bibit yang nyata lebih tinggi dari pada tinggi bibit dari populasi Malang dan Pasuruan (Gambar 6b). Hal ini diduga sebagai pengaruh dari sifat atau penampakan pohon induk masing-masing populasi. Pada saat bibit berumur empat bulan di persemaian, sebagian bibit diserang hama dalam bentuk stadium ulat (larva). Larva-larva tersebut menyerang dan memakan daun muda dengan pola tidak beraturan hingga hanya menyisakan tulang daun saja (Gambar 7). Hasil identifikasi Darwiati dan Anggraeni (2011) menunjukkan bahwa hama yang menyerang terdiri dari dua jenis yaitu Margaronia sp. (famili Pyralidae) dan Graphium sp. (famili Papilionidae) (Gambar 8). Untuk mengendalikan serangan ulat tersebut di lakukan penyemprotan menggunakan insektisida nabati yaitu ekstrak biji suren (Toona sureni) dengan dosis 10 ml/1 lt air. Penyemprotan dilakukan sampai tiga kali dengan interval satu minggu. Setelah itu serangan ulat sudah tidak terlihat lagi dan bibit tumbuh sehat dan subur.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
77
Prosiding Lokakarya Nasional
Gambar 5. Kecambah Michelia champaca di bak kecambah siap disapih ke polibag
Gambar 6. Kiri: Pertumbuhan bibit di persemaian dan Kanan: Tinggi bibit dari populasi Lahat dan Empat Lawang (A1 dan A2) nyata lebih tinggi dari populasi Malang dan Pasuruan (A3 dan A3).
78
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
Tabel 5.
Persen berkecambah, persen tumbuh, tinggi dan diameter bibit M. champaca umur tujuh bulan di persemaian
No.
Populasi
1. 2. 3. 4.
Lahat Empat Lawang Malang Pasuruan Rata-rata
Persen Persen tumbuh berkecambah (%) (%) 65,4 96,7 69,6 80,0 32,9 70,0 38,1 76,7 51,5 80,9
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
71,9 59,6 41,1 44,0 54,2
0,591 0,604 0,535 0,502 0,558
Gambar 7. Larva Margaronia sp (kiri) dan larva Graphium sp. (kanan) beserta serangannya pada daun M. Champaca (Darwiati dan Anggraeni, 2011)
Gambar 8. Imago Margaronia sp (kiri) dan imago Graphium sp. (kanan) (Darwiati dan Anggraeni, 2011).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
79
Prosiding Lokakarya Nasional
C. Pemilihan Lokasi Penanaman dan Persiapan Lahan Terdapat beberapa persyaratan lokasi pembangunan Plot Konservasi Genetik antara lain lingkungan fisik tempat tumbuh seperti iklim dan tanah yang sesuai/mendukung keberhasilan tumbuh dan pertumbuhan jenis yang akan ditanam, kepastian status peruntukan lahan/kawasan dan keamanan dari gangguan manusia, hewan dan kebakaran. Selain itu lokasi yang dipilih harus mudah dijangkau, sehingga memudahkan transportasi bibit, kegiatan pemeliharaan, pengawasan dan pengamanan (Hakim dan Widyatmoko, 2011). Berdasarkan persyaratan tersebut, lokasi pembangunan Plot Konservasi Genetik M. champaca terpilih adalah Hutan Penelitian Pasir Hantap. Lokasi ini terletak pada ketinggian 650 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah latosol coklat tua dan topografi berbukit. Tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951) adalah B dengan jumlah curah hujan rata-rata 3.165 mm per tahun (Badan Litbang Kehuatnan, 1994). Secara administrasif, Hutan Penelitian Pasir Hantap terletak di Desa Ginanjar, Kecamatan Ciambar, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dengan jarak ± 50 km dari kota Bogor. Lokasi dapat dicapai dengan kendaraan roda empat sampai ke ujung Desa Ginanjar, kemudian berjalan kaki sejauh 500 m. Hutan Penelitian Pasir Hantap dengan luas 35 ha terdiri dari 106 petak. Sebagian besar petak-petak tersebut sudah ditanami dengan jenis-jenis tanaman tertentu, baik jenis asli maupun jenis exotik. Namun demikian terdapat beberapa petak dalam keadaan kosong, hanya letaknya tidak dalam satu hamparan. Kondisi ini sesungguhnya memberikan keuntungan/kemudahan dalam rancangan penanaman karena jenis tanaman yang sudah ada akan berfungsi sebagai pembatas antar populasi M. champaca. Persiapan lahan dimulai dengan kegiatan pengukuran dan penentuan luas areal yang akan ditanami disesuaikan dengan jumlah bibit yang tersedia dari masing-masing populasi. Khusus untuk populasi Lahat, jumlah bibit tidak menjadi pembatas. Bibit tersedia dalam jumlah yang banyak (>1000 bibit), namun sebaliknya areal penanaman yang tersedia yang menjadi pembatas. Plot penanaman di rancang berdasarkan daerah asal bibit atau populasi, dengan jarak antar populasi ≥ 50 m. Hakim dan Widyatmoko (2011) mengemukakan bahwa rancangan yang digunakan dalam pembangunan Plot Konservasi Ex-situ untuk jenis yang sama dari beberapa populasi (provenan) harus dipisahkan antar populasi dengan jarak yang cukup agar tidak terjadi saling kawin antar populasi dan untuk menjaga keaslian genetik dari masing-masing populasi. Luas masing-masing populasi diupayakan minimal 1 ha dan tergantung juga pada dana, jarak tanam dan jumlah bibit siap
80
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
tanam. Pada Plot Konservasi Genetik M. champaca di Hutan Penelitian Pasir Hantap ini luas keseluruhan plot (empat populasi) adalah 1,5 ha atau rata-rata luas penananam per populasi 0,375 ha, disesuaikan dengan jumlah bibit yang tersedia, khusus untuk populasi Lahat disesuaikan dengan luas areal yang tersedia. Tata letak (layout) tanaman di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 1. Kegiatan pengukuran dilanjutkan dengan pembersihan jalur tanam, pemasangan ajir dan pembuatan lobang tanam dengan ukuran 30 cm x 30 xm x 30 cm. D. Penanaman, Pemeliharaan dan Keberhasilan Tumbuh Kegiatan penanaman dimulai dari mempersiapkan trasnportasi bibit dari persemaian ke lokasi penanaman. Setelah bibit sampai di lokasi penanaman, dilakukan pendistribusian bibit dengan menyesuaikan asal bibit (populasi) dengan petak yang dipersiapkan untuk populasi tersebut. Penanaman dilakukan dengan melepas polybag dan akar tanaman tidak tertekuk. Setelah selesai penanaman dibuat peta tanaman, papan nama plot konservasi genetik M. champaca disiapkan dan dipasang ditempat yang strategis agar mudah terlihat. Penanaman dilakukan pada bulan November (populasi Lahat dan Empat Lawang) dan bulan Desember 2011 (populasi Malang dan Pasuruan) yaitu pada awal musim penghujan. Kegiatan pemeliharaan awal dilakukan setelah tanaman berumur satu bulan meliputi penyiangan, pendangiran, penyulaman dan pemupukan. Tanaman yang mati disulam dengan bibit sesuai dengan populasinya. Pemupukan dilakukan setelah pendangiran menggunakan pupuk majemuk NPK slow release dengan komposisi 18:18:18 dengan dosis 5 gram per tanaman. Bersamaan dengan pemeliharaan tanaman dilakukan pula pengamatan awal meliputi keberhasilan tumbuh (persen tumbuh), tinggi dan diameter tanaman. Rata-rata persen tumbuh, tinggi dan diameter tanaman menurut populasi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Persen tumbuh, tinggi dan diameter tanaman M. champaca menurut populasi umur satu bulan di lapangan Populasi Lahat Empat Lawang Malang Pasuruan Rata-rata
Persen tumbuh (%) 93 86 95 99 93
Tinggi (cm) 55,2 46,0 33,8 35,2 42,6
Diamater (mm) 5,86 5,41 5,33 5,57 5,54
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
81
Prosiding Lokakarya Nasional
Rat-rata persen tumbuh tanaman umur satu bulan di lapangan dari empat populasi cukup tinggi yaitu 93%. Persen tumbuh tertinggi ditunjukkan oleh populasi Pasuruan (99%) dan terendah terdapat pada populasi Empat Lawang (86%). Jika persen tumbuh tanaman di lapangan (93%) dibandingkan dengan persen tumbuh bibit umur tujuh bullan di persemaian (80,9%), ternyata persen tumbuh tanaman umur satu bulan di lapangan jauh lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan dukungan kecocokan tempat tumbuh dan cukupnya volume curah hujan pada masa adaptasi bibit di lapangan. Rata-rata tinggi dan diameter tanaman umur satu bulan di lapangan tertinggi ditunjukkan oleh populasi Lahat. Hal ini sesuai dengan tinggi dan diameter bibit di persemaian, dimana tinggi dan diameter tertinggi juga ditunjukkan oleh populasi Lahat. Nampaknya bibit M. champaca yang berasal dari tegakan benih teridentifikasi konsisten menunjukkan superioritasnya mulai dari persemaian sampai pada masa adaptasi di lapangan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sebuah plot konservasi genetik cempaka (Michelia champaca) yang merupakan strategi konservasi ex-situ telah terbangun di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat seluas 1,5 ha dengan asal materi genetik dari empat populasi dan 21 pohon induk. Kegiatan pembangunan plot dimulai dengan eksplorasi dan pengumpulan materi genetik, pembuatan bibit di persemaian, survey dan persiapan lokasi penanaman, penanaman bibit di lapangan serta pemeliharaan dan pengamatan awal keberhasilan tumbuh tanaman. Rat-rata persen tumbuh tanaman umur satu bulan di lapangan dari empat populasi cukup tinggi yaitu 93%, dengan rata-rata tinggi dan diameter batang berturut-turut adalah 42,6 cm dan 5,54 mm. Melalui Plot Konservasi Genetik ini diharapkan keragaman genetik M. champaca dapat terjaga. Plot konservasi genetik cempaka merupakan usaha penyelamatan jenis pohon ini dari ancaman kepunahan. Bagi pakar pemulia tanaman (breeders), plot konservasi genetik dapat menyediakan materi genetik yang diperlukan untuk program pemuliaan. B. Saran Plot konservasi genetik cempaka ini disarankan untuk diperkaya sumber materi genetiknya dengan cara menambah jumlah pohon induk untuk masing-
82
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
masing populasi. Disarankan pula untuk mengembangkan populasi cempaka di Jawa Barat melalui pengembangan Konservasi Ex-situ Pola Hutan Rakyat dengan tetap menjaga kemurnian genetik dari masing-masing populasi. Plot konservasi genetik cempaka yang sudah terbangun ini perlu dirawat dan dijaga keamanannya dari gangguan manusia, hewan dan api (kebakaran).
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Kehutanan. 1994. Kebun Percobaan Pasirhantap, Sukabumi. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Darwiati, W. dan I. Anggraini. 2011. Identifikasi hama pada bibit cempaka (Michelia champaca L.) di persemaian. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Fakultas MIPA, Universitas Nusa Bangsa, 8 Desember 2011. Hakim, L. dan A.Y.P.B.C. Widyatmoko. 2011. Strategi konservasi ex-situ jenis ulin (Eusideroxylon zwageri), eboni (Diospyros celebica), dan cempaka (Michelia spp.). Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi bekerjasama dengan ITTO. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Indriani, D.V. 2010. Michelia champaca. http:/www.toiusd.multiply.com/ journal/item/167/Michelia_champaca. Diakses 20 Mei 2012. Iskandar. 2003. Teknik Budidaya Cempaka Sebagai Usaha Peningkatan Pendapatan Masyarakat. Tekno DAS. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur. Makassar. Kabupaten Lahat. 2011. Kabupaten Lahat Dalam Angka 2010. BPS Kabupaten Lahat, Kabupaten Lahat. Kalima, T. 2011. Kantil (Michelia alba DC.): Pohon Lokal Jawa Tengah Terancam Kepunahan. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi bekerjasama dengan ITTO.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
83
Prosiding Lokakarya Nasional
Martawijaya, A., I. Kartasudjana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira and K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Departeman Kehutanan. Jakarta. Oyen, L.P.A. and Nguyen Xuan Dung [editors]. 1999. Plant Resource of South East Asia. No. 19. Essensial oil Plant. PROSEA. Bogor. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesian with Western Newguinea. Kementerian Perhubungan. Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Djakarta. Sosef, M.S.M., L.T. Hong dan S. Prawirohatmodjo. 1998. Plant Resources of South-East Asia. No. 5(3). Timber trees: Lesser-known timbers. Backhuys Publisher. Leiden. Widyatmoko, A.Y.P.B.C., I.L.G. Nurtjahjaningsih and Prastyono. 2011. Study on the level of genetic diversity Diospyros celebica, Eusideroxylon zwageri and Michelia spp using RAPD Markers. ITTO Project in Cooperation with Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development, Ministry of Forestry.
84
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembangunan Plot Konservasi Genetik… (Murniati)
Lampiran 1. Tata letak (layout) tanaman menurut asal bibit (populasi) di Plot Konservasi Genetik Cempaka (Michelia champaca) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
85
Prosiding Lokakarya Nasional
PEMBELAJARAN DARI PELAKSANAAN KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TANAMAN HUTAN (KSDGTH) TINGKAT DESA (Lesson Learn from Implementation of Village Level of Tree Species Genetic Resources Conservation) 1 Oleh/By: Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono 2
ABSTRACT Forest genetic resources (FGR) in Indonesia have been threatened by deforestation and forest degradation. Conservation effort to save the remaining forest genetic resources is of the highest priority. A new concept on village level FGR conservation and management developed by the Asia Pacific Forest Genetic Resources Programme (APFORGEN) Indonesia Task Force is an alternative form of FGR conservation that combines the interests of conservation and the promotion of public welfare. Three demonstration plots of this concept have been established in Cilacap (Central Java), Gunungkidul (Yogyakarta) and Blitar (East Java). It is important to note that this concept can only be achieved by understanding genetic diversity of species target, socio-economic of local people and supported by government policies. Keywords: APFORGEN, community welfare, genetic resources conservation.
ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia merupakan ancaman yang serius terhadap keberadaan sumberdaya genetik yang dikandungnya. Upaya konservasi sumberdaya genetik diperlukan untuk menyelamatkan sumberdaya genetik pohon hutan yang masih ada. Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa merupakan konsep baru yang dibuat oleh Gugus Kerja Asia Pacific Forest Genetic Resources Programme (APFORGEN) Indonesia yang memadukan kepentingan konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Implementasi konsep tersebut yaitu dibangunnya demplot KSDGTH Tingkat desa di Cilacap (Jawa Tengah), Gunung Kidul (DI Yogyakarta) dan Blitar (Jawa Timur). Aspek penting yang perlu diperhatikan
1
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. 2 Peneliti pada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.
86
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
untuk mencapai tujuan tersebut meliputi genetik, sosial ekonomi masyarakat setempat dan dukungan kebijakan pemerintah. Kata kunci: APFORGEN, kesejahteraan masyarakat, konservasi sumberdaya genetik.
I.
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity, baik dari segi keanekaragaman ekosistem, jenis maupun genetik. Namun demikian Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat keterancaman yang tinggi pada sumberdaya hayatinya. Tekanan yang sangat kuat terhadap sumberdaya genetik hutan di Indonesia diakibatkan oleh pembalakan liar, kebakaran hutan, alih fungsi lahan telah mengakibatkan hilangnya sumberdaya genetik yang mengurangi potensi ketahanan dan potensi penggunaanya di masa mendatang. Untuk mencegah bertambahnya kerusakan hutan, maka perlu segera dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik. Menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, sumberdaya genetik adalah bahan genetik dari tumbuhan, hewan, mikroba atau sumber lainnya yang memiliki nilai nyata dan potensial (Sastrapraja, 2004). Sedangkan tujuan konservasi sumberdaya genetik hutan adalah melindungi kemampuan tanaman hutan untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi dasar untuk meningkatkan produksi dan keuntungan lain dari pertumbuhan pohon melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan (FAO, 1989 dalam Graudal dkk., 1997; Eriksson dkk., 1993 dalam Skroppa., 2005). Banyak jenis tanaman hutan yang karena memiliki nilai komersial baik kayu maupun non kayu sekarang ini dalam status jarang (rare) maupun terancam punah (endangered). Konservasi dan pemanfaatan haruslah tidak terpisahkan (Burley, 1994; Drovak, 1996). Pemanfaatan jenis-jenis target oleh masyarakat lokal juga dapat memberi manfaat ekonomi secara langsung. Penanaman tanaman langka setempat menjadi salah satu prioritas karena jenis tersebut telah beradaptasi sehingga mengurangi risiko kematian. Kegiatan pembangunan demonstration plot (demplot) Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa merupakan implementasi dari workshop nasional Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Genetik Hutan ke-3 tahun 2006 yang diselenggarakan oleh Pusat Litbang Hutan Tanaman (sekarang Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan) selaku
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
87
Prosiding Lokakarya Nasional
Koordinator Nasional untuk Asia Pacific Forest Genetic Resources Programme (APFORGEN) Indonesia. Makalah ini menyajikan pembelajaran hasil-hasil yang telah dicapai dan masalah yang dihadapi serta langkah ke depan demplot KSDGTH Tingkat Desa.
II. PENTINGNYA MENJAGA SUMBERDAYA GENETIK Keragaman genetik sering dikaitkan dengan tingkah laku reproduksi dari individu dalam populasi. Individu di dalam populasi biasanya berbeda secara genetik satu dengan lainnya karena tiap individu memiliki gen yang berbeda. Keragaman genetik diperlukan oleh setiap spesies untuk menjaga vitalitas reproduksi, ketahanan terhadap penyakit, dan kemampuan beradaptasi pada perubahan lingkungan. Semakin tinggi keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Disamping itu keragaman genetik merupakan aspek penting dalam program pemuliaan tanaman. Peningkatan perolehan genetik akan didapatkan manakala program pemuliaan tanaman tersebut berasal dari populasi dengan keragaman genetik yang cukup luas. Secara konseptual, hubungan antara keragaman dan perolehan genetik dilukiskan oleh Johnson et al. (2001) pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan konseptual antara keragaman dan perolehan genetik.
88
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
Sumbu absis menunjukkan keragaman genetik, sedangkan sumbu ordinat menunjukkan perolehan genetik. Populasi dasar (disebut juga populasi sumberdaya genetik) menggambarkan seluruh keragaman genetik yang tersedia yang dapat memberikan kontribusi pada populasi pemuliaan. Populasi ini termasuk tegakantegakan alam, uji provenans, kebun benih, uji keturunan, dan tanaman operasional. Berikutnya adalah populasi pemuliaan, populasi ini harus cukup memiliki keragaman genetik dan tersusun oleh individu yang berkualitas agar mampu mempertahankan perolehan genetik yang tinggi untuk beberapa generasi. Terakhir adalah populasi produksi yang terdiri dari kebun benih atau klon-klon yang digunakan untuk kegiatan pembuatan tanaman hutan skala operasional.
III.
KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK TANAMAN HUTAN (KSDGTH) TINGKAT DESA
A. Dasar Pemikiran dan Perkembangannya Ide awal konservasi berbasis desa ini berasal dari Setijati Sastrapraja (2005), bahwa jumlah desa di Indonesia sekitar 70.000 dan bila tidak semua desa memiliki lahan, diperkirakan 35.000-40.000 desa masih memiliki lahan terbuka baik berupa sawah, ladang, dan pekarangan. Bila satu desa menanam satu jenis pohon, maka ribuan jenis pohon yang bisa dilestarikan dan dimanfaatkan. Dasar pemilihan jenis disarankan unik dan khas, memberi keuntungan ekonomi dan digemari masyarakat. Gagasan ini kemudian berkembang bahwa yang dikonservasi bukan pada level jenis, tetapi pada level genetik sehingga penentuan jumlah sampel individu dalam populasi dan jumlah populasi yang menjadi target konservasi menjadi pertimbangan tergantung karakteristik jenis tersebut. Namun sebagai ketentuan umum untuk tujuan KSDGTH Tingkat Desa ini jumlah populasi diupayakan minimal lima populasi dari daerah yang secara geografis berbeda, sedangkan jumlah pohon induk setiap populasi minimal 20 pohon (Departemen Kehutanan, 2008). B. Implementasi Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan sudah dilakukan di 3 (tiga) lokasi yaitu Cilacap (2006), Gunung Kidul (2006 dan 2008) dan Blitar (2007). Demplot Cilacap dan Gunung Kidul adalah yang paling awal sehingga masih cenderung ke konservasi jenis, sedangkan demplot
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
89
Prosiding Lokakarya Nasional
Blitar telah menuju konservasi genetik. Implementasi ini sejalan dengan dinamika konsep awal sampai menjadi sebuah pedoman. Pada tahun 2011 dilanjutkan lagi dengan mengawali KSDGTH diupayakan mendekati ideal di Bantul, DIY. 1. Demplot KSDGTH Cilacap Lahan yang digunakan untuk demplot Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) tingkat desa termasuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Selok, yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. Dasar pemilihan lokasi ini yaitu lahan berupa tanah negara, lahan kosong, aksesibilitas mudah dan ada interaksi dengan masyarakat. Berdasarkan administrasi pemerintahan, TWA Gunung Selok ini termasuk dalam wilayah Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Plot KSDGTH Cilacap terdapat tujuh jenis tanaman pokok yang ditanam tahun 2006 seluas 5 ha. Jenis tanaman tersebut dipilih karena merupakan jenis asli setempat dan jenis MPTS (Multi Purpose Tree Species). Jenis tanaman yang merupakan jenis asli setempat adalah benda (Arthocarpus elastica). Sedangkan keenam jenis tanaman lain merupakan jenis MPTS yang menjadi pilihan masyarakat. Dengan pemilihan jenis MPTS ini diharapkan agar masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan plot dapat memperoleh manfaat dari tanaman tanpa harus menebang pohon. Jenis tanaman yang terdapat dalam plot tersebut yaitu : benda (Arthocarpus elastica) yang merupakan tanaman penciri desa, sementara tanaman yang diinginkan masyarakat yaitu petai (Parkia sp.), kedawung (Parkia roxburghii), salam (Eugenia polyantha), randu (Ceiba petandra), jengkol (Pithecollobium sp), rambutan (Nephelium laphaceum).
Gambar 2. Tanaman benda (kiri) dan petai (kanan).
90
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
Pengelolaan plot KSDGTH Cilacap dilakukan secara bersama-sama oleh Sekretariat APFORGEN, BKSDA Jawa Tengah dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimbun. KTH Rimbun diketuai oleh Resa Miharja dan memiliki 25 anggota. Keberadaan kelompok pengelola pada plot KSDGTH merupakan kunci utama terpeliharanya tanaman pokok, sehingga perhatian dan pendampingan secara periodik kepada kelompok tani dilakukan untuk merubah pola berpikir dan perilaku masyarakat terhadap fungsi hutan, dan meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat. Pendampingan secara periodik terhadap kelompok pengelola tersebut berupa, antara lain 1). Meningkatkan keterlibatan kelompok tani pada kegiatan perencanaan, dan pemeliharaan demplot, 2). Pertemuan kelompok tani secara periodik. Hasil inventarisasi di plot KSDGTH APFORGEN di Cilacap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah tanaman di plot KSDGTH APFORGEN di Cilacap No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis tanaman (Arthocarpus elastica ) Benda (Parkia sp) Petai Kedawung (Parkia roxburghii ) (Eugenia polyantha ) Salam (Ceiba petandra ) Randu (Pithecollobium sp) Jengkol Rambutan (Nephelium laphaceum ) Jumlah tanaman
Jumlah Tan awal 270 270 270 270 270 270 270 1890
Jumlah Tan Apr-11 187 252 352 281 360 113 55 1600
Persen Hidup (%) 69.3 93.3 130.4 104.1 133.3 41.9 20.4 84.7
Berdasarkan surat Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Nomor S.85/VIII/P3PH-3/2011 tanggal 14 Maret 2011 tentang Tindak Lanjut Pembangunan Plot Konservasi Sumber Daya Genetik (KSDG) Tingkat Desa APFORGEN maka mulai tahun 2011 terdapat perubahan dalam pengelolaan plot dimaksud. Mulai tahun 2011 dan tahun-tahun berikutnya pengelolaan Plot Konservasi Sumber Daya Genetik (KSDG) Tingkat Desa APFORGEN di Cilacap terutama pemeliharaan dan pengamanan diserahkan kepada BKSDA Jawa Tengah bersama-sama KTH Rimbun sedangkan monitoring dan evaluasi tetap dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
91
Prosiding Lokakarya Nasional
2. Demplot KSDGTH Gunung Kidul Demplot KSDGTH Gunung Kidul terletak di Blok Ngawar-awar, Dusun Tawarsari, Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul. Plot seluas 3 ha ini ditanam awal tahun 2008. Lokasinya secara administratif berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Gunung Kidul. Berdasarkan SK. Bupati Gunung Kidul No. 169/KPTS/2007, tanggal 3 September 2007, tentang Penetapan Areal Taman Kota dan Hutan Kota Kabupaten Gunung Kidul, lokasi Ngawar-awar ditetapkan sebagai Hutan Kota seluas ± 7 ha. Hutan kota diharapkan pada masa yang akan datang dapat menjadi salah satu “paru-paru” kota Wonosari yang dapat memberikan dampak positif baik aspek ekologi, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat setempat. Lokasi ini merupakan lokasi baru, karena sebelumnya demplot KSDGTH Gunung Kidul yang dibangun tahun 2006 terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo seluas 5 hektar mengalami kerusakan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Jenis tanaman yang terdapat dalam plot tersebut meliputi kepel (Stelechocarpus burahol), cendana (Santalum album), sawo kecik (Manilkara kauki), timoho (Kleinhovia hospita), kemiri (Aleurites moluccana), akasia (Acacia mangium), pulai (Alstonia sp), angsana (Pterocarpus indicus), mahoni (Swietenia sp), lowo (Pongamia pinata), elo (Ficus glomerata), gondang (Ficus cerifera), nyamplung (Calophyllum inophyllum), segawe (Adenanthera sp) dan petai (Parkia speciosa). Jenis-jenis tanaman yang dipilih tersebut merupakan jenis asli setempat, langka dan multiguna.
Gambar 3.Tanaman Timoho (kiri) dan Gondang (kanan) umur 3 tahun
92
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
Pengelolaan plot KSDGTH Gunung Kidul dilakukan secara bersama-sama oleh Sekretariat APFORGEN, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul dan KTH Tani Makmur. Kelompok tani ini diketuai oleh Warto Utomo dan memiliki 37 anggota di mana 16 orang diantaranya berada pada plot APFORGEN. Dari hasil inventarisasi diketahui bahwa tanaman dalam plot KSDGTH APFORGEN di Gunung Kidul mampu tumbuh dengan baik sesuai dengan karakteristik tanamannya. Beberapa jenis ada yang sudah mampu menghasilkan buah atau benih yaitu timoho (Kleinhovia hospita), dan gondang (Ficus cerifera). Jumlah tanaman di plot KSDGTH APFORGEN di Gunung Kidul disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah tanaman di plot KSDGTH APFORGEN di Gunung Kidul No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jenis Tanaman Elo (Ficus glomerata) Gondang (Ficus cerifera) Lowo (Pongamia pinata) Kepel (Stelechocarpus burahol) Timoho (Kleinhovia hospita) Sawokecik (Manilkara kauki) Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Segawe (Adenanthera sp) Angsana (Pterocarpus indicus) Kemiri (Aleurites moluccana) Pulai (Alstonia sp) Mangium (Acacia mangium) Mahoni (Swietenia macrophylla) Cendana (Santalum album) Petai (Parkia speciosa)
Tan.awal 11 34 46 2 19 1 34 42 41 24 122 52 105 35 0 568
Penyulaman (des 2009) 0 0 4 30 0 46 12 4 27 48 22 47 23 125 41 429
Jml. Tan Jan-10 11 34 50 32 19 47 46 46 68 72 144 99 128 160 41 997
Jml. Tan Mei 2010 10 34 50 32 19 46 46 46 68 72 140 85 110 110 32 900
Jml. Tan Apr-11 10 36 50 32 19 46 45 48 67 72 144 99 127 44 8 847
Berdasarkan surat Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Nomor S.85/VIII/P3PH-3/2011 tanggal 14 Maret 2011 tentang Tindak Lanjut Pembangunan Plot Konservasi Sumber Daya Genetik (KSDG) Tingkat Desa APFORGEN maka mulai tahun 2011 terdapat perubahan dalam pengelolaan plot dimaksud. Mulai tahun 2011 dan tahun-tahun berikutnya pengelolaan Plot Konservasi Sumber Daya Genetik (KSDG) Tingkat Desa APFORGEN di Gunung Kidul terutama pemeliharaan dan pengamanan diserahkan kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul bersama-sama KTH Tani Makmur sedangkan monitoring dan evaluasi tetap dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
93
Prosiding Lokakarya Nasional
3. Demplot KSDGTH Blitar Jenis yang dikonservasi yaitu Pterospermum javanicum dan lebih dikenal dengan wadang atau bayur. Kayunya banyak dipakai untuk jembatan, bahan bangunan rumah, perabot rumah tangga/mebel dan perahu. Kegunaan lain dari kayu wadang adalah sebagai bahan baku industri korek api, baik untuk batangnya maupun untuk kotak-kotaknya. Demplot KSDGTH Blitar dibangun di Desa Sumber Urip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur ditanam tahun 2007 seluas 5 ha. Materi genetik berasal dari Boyolali, Klaten, Yogyakarta (Sleman) dan Blitar. Lahan yang digunakan merupakan lahan milik masyarakat dan kas desa. Terdapat satu kelompok tani yang beranggotakan 19 orang yang menangani kebun konservasi Wadang. Luasan lahan petani bervariasi berkisar antara 0,1 Ha sampai 0,52 ha. Kondisi lahan berupa lereng dengan kemiringan rata-rata 50%. Pola yang akan dikembangkan adalah tanaman pokok wadang sebagai jenis target konservasi dengan penanaman dikelompokkan per populasi. Antar populasi ditanami durian dan matoa yang di masa mendatang menghasilkan buah sehingga dapat memberi manfaat ekonomi masyarakat. Sedangkan tanaman pertanian maupun perkebunan yang dikembangkan masyarakat adalah jagung, ubi jalar, coklat, kakao dan kopi. Tanaman lainnya yaitu sengon dan kaliandra untuk menghasilkan kayu dengan daur pendek dan untuk pakan ternak dari tanaman kaliandra. Pada tahun 2008 telah dilakukan kegiatan evaluasi dan pemeliharaan tanaman, dimana persen hidup mencapai 91,5% dengan pertumbuhan tinggi dan diameter rata-rata 55,12 cm untuk tinggi dan 8,78 mm untuk diameter. Tahun 2009 dievaluasi pada tanaman berumur 1,5 tahun menunjukkan keberhasilan mencapai 88,12% dengan pertumbuhan tinggi dan diameter rata-rata 142,2 cm untuk tinggi dan 18,15 mm untuk diameter. Pada tahun 2010, hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan pada tanaman umur 2 tahun menunjukkan keberhasilan hidup tanaman pada umur tersebut adalah 70%. Dengan tinggi antara 185 – 250 cm dan diameter antara 20 – 24 cm. Pada tahun 2011, hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan pada tanaman umur 3 tahun menunjukkan keberhasilan hidup tanaman pada umur tersebut adalah 40%. Dengan tinggi antara 200 – 300 cm dan diameter antara 25 – 30 cm. Keberhasilan hidup yang kurang baik ini dikarenakan banyak tanaman mati akibat gangguan terutama yang berada di lahan milik yang ingin diganti dengan menanam kopi.
94
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
Gambar 4. Tanaman Wadang Berdasarkan surat Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan Nomor S.85/VIII/P3PH-3/2011 tanggal 14 Maret 2011 tentang Tindak Lanjut Pembangunan Plot Konservasi Sumber Daya Genetik (KSDG) Tingkat Desa APFORGEN maka mulai tahun 2011 terdapat perubahan dalam pengelolaan plot dimaksud. Mulai tahun 2011 dan tahun-tahun berikutnya pengelolaan Plot Konservasi Sumber Daya Genetik (KSDG) Tingkat Desa APFORGEN di Blitar terutama pemeliharaan dan pengamanan diserahkan kepada Dinas Perkebunan Kab. Blitar sedangkan monitoring dan evaluasi tetap dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Dinas Perkebunan Kab. Blitar merencanakan akan mengaitkan dengan kegiatan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang selanjutnya akan mendistribusikan sebagian bibit di plot KSDGTH sebagai tanaman Multi Purpose Tree Species (MPTS) untuk penyangga tanaman pokok (wadang). Jenis yang disepakati yaitu sengon, jabon, kelapa hibrid dan nilam. 4. Rencana pembangunan Demplot KSDGTH Bantul, DIY Rencana lokasi plot konservasi dipilih di kawasan hutan lindung (HL) Sudimoro, yang secara administratif pengelolaan hutan berada di wilayah Blok Hutan Sudimoro I, RPH Mangunan, BDH Yogyakarta dan secara administratif pemerintahan berada di wilayah Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DIY.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
95
Prosiding Lokakarya Nasional
Jenis target yang akan dikonservasi yaitu kepel atau burahol (Stelechocarpus burahol (Blume) Hook.f & Thomson). Kepel merupakan jenis tanaman penciri Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daun kepel digunakan sebagai bahan baku produksi minuman celup dikarenakan pada daun kepel terkandung zat antioksidan yaitu flavanoid yang bermanfaat sebagai penangkal radikal bebas (anti kanker), menghaluskan kulit (Anonim, 2007). Secara tradisional burahol telah digunakan sebagai bahan parfum, khususnya di kalangan keraton, dengan mengkonsumsi buahnya dapat membuat bau keringat menjadi wangi, bau nafas menjadi harum, bahkan dapat mengharumkan bau air seni (Fachrurozi, 1980; Heyne, 1987; Sunarto, 1987; Verheij dan Coronell, 1997). Kegunaan burahol yang lain adalah untuk pencegahan kehamilan (alat kontrasepsi), peluruh kencing dan mencegah radang ginjal (Verheij dan Coronell, 1997). Jenis ini dipilih karena keberadaannya termasuk dalam kategori CD (Conservation Dependent) atau tergantung aksi konservasi untuk mencegah dari kepunahan yang artinya keberadaannya sulit ditemui karena telah langka/rare. Jika tidak dilakukan tindakan konservasi maka statusnya dapat meningkat satu tahap di atasnya yaitu vulnerable (rawan) (Mogea, 2001). Koleksi materi genetik baru dilakukan dari populasi Magelang dan Karanganyar, Jawa Tengah pada tahun 2011 dan akan dilakukan penambahan materi genetik dari populasi yang berbeda (Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali) pada tahun-tahun mendatang.
Gambar 5. Pohon (kiri) dan bibit kepel (kanan)
96
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
Untuk mengakomodir kepentingan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan, penanaman jenis lain di sela-sela tanaman kepel dapat dilakukan. Adapun jenis-jenis tanaman pengisi yang diusulkan oleh petani dan disepakati adalah jengkol (Phithecellobium jiringa Prain), melinjo (Gnetum gnemon L), kluwih (Arthocapus comunis), petai (Parkia speciosa Hassk) dan duren (Durio zibethinus). Rancangan penanaman kepel dilakukan dengan pola antar populasi terpisah untuk menjaga identitas populasi agar tidak tercampur polen dari populasi lain. Selain itu identitas individu dalam populasi harus dipertahankan - konsep konservasi sumberdaya genetik era ketiga menurut Soekotjo (2004). Kunci keberhasilan penyelenggaraan konservasi SDGTH Desa adalah peran serta aktif masyarakat setempat. Kelompok petani penggarap yang merupakan stakeholder utama dalam kegiatan konservasi SDGTH Desa akan dibentuk kemudian dengan berkoordinasi dengan aparat Desa Muntuk dan KRPH Mangunan. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan konservasi SDGTH Desa merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, fasilitasi secara berkesinambungan diperlukan sebagai katalisator, agar dapat mempercepat proses partisipasi tersebut.
IV. PERMASALAHAN DAN TINDAK LANJUT A. Pemilihan Jenis Target Konservasi Jenis target konservasi, walaupun bermanfaat, belum tentu sesuai dengan keinginan atau disukai masyarakat sehingga perlu ada kompromi untuk mensinergikan antara kepentingan pemerintah – menyelamatkan sumberdaya genetik jenis tertentu- dan kepentingan masyarakat – meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Sebagai contoh, jenis benda seperti di Cilacap termasuk jenis yang sudah langka, namun masyarakat setempat memerlukan jenis-jenis yang dapat cepat mendatangkan manfaat ekonomi. Demikian halnya dengan di Bantul, jenis kepel meskipun merupakan tanaman penciri Yogyakarta, namun mengingat tanaman ini membutuhkan waktu lama untuk dimanfaatkan, maka kelompok tani diberi keleluasaan untuk memilih jenis yang disukai. Konservasi terhadap jenis seperti kepel ini dapat dipandang sebagai tanggung jawab pemerintah untuk melindungi sumberdaya genetik yang merupakan milik dan aset bangsa Indonesia.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
97
Prosiding Lokakarya Nasional
B. Kurangnya Informasi mengenai Distribusi, Biologi Reproduksi, Distribusi Variasi Genetik dari Jenis Target Idealnya sebelum melakukan tindakan konservasi sumberdaya genetik, distribusi dan variasi genetik dari spesies target harus diketahui lebih dahulu. Sementara itu informasi tersebut untuk kebanyakan spesies di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu pola variasi genetik dapat diprediksi dari variasi ekogeografi seperti topografi, tanah, iklim dan tipe vegatasi. Asumsi yang digunakan adalah adanya sedikit perbedaan genetik pada populasi dengan kondisi ekologi yang sama (Graudal et al., 1997). Frankel (1970) juga menyatakan hal yang sama yaitu kondisi ekologis yang sama menunjukkan kesamaan susunan genetik. Pernyataan ini didasarkan asumsi bahwa adaptasi lokal melalui seleksi alam merupakan tenaga penggerak dalam proses deferensiasi antar populasi. C. Partisipasi Masyarakat Memerlukan Proses yang Panjang Proses partisipasi masyarakat dalam KSDGTH mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengambilan keputusan perlu dilibatkan sejak awal. Komunikasi yang baik diperlukan untuk mendapatkan tujuan yang sama. Contoh kasus kerusakan pada demplot di Desa Jepitu, Gunung Kidul, DIY dapat dijadikan pelajaran berharga dimana proses partisipasi belum dilakukan secara optimal dan hanya mengandalkan ketua kelompok tani. Peningkatan kemampuan yang mencakup pengetahuan tentang konservasi sumberdaya genetik, silvikultur dan pengetahuan teknis tentang hutan dan kehutanan bagi kelompok petani penggarap sekiranya perlu ditingkatkan dalam rangka mendukung keberhasilan program konservasi sumberdaya genetik. D.
Perlu Areal yang Cukup Luas dan Aman
Pada kenyataannya areal yang cukup luas dan aman tidaklah mudah dijumpai. Status lahan yang mendukung keamanan menjadi penting dan diupayakan dilakukan di lahan negara. KSDGTH di Blitar merupakan contoh yang baik dimana kerusakan banyak terjadi justru di lahan milik. Kerusakan di KSDGTH Gunung Kidul juga salah satunya dikarenakan lahan kas desa yang digunakan telah disewakan. Konservasi genetik dengan tujuan menjaga keragaman genetik dan keaslian populasi mensyaratkan perlunya isolasi antar populasi dan ulangan lokasi untuk menghindari risiko kerusakan. Apabila jumlah pohon induk tiap populasi minimal 20 pohon dan tiap pohon diwakili 30 anakan, maka tiap populasi diwakili 600 tanaman. Dengan jarak tanam 5m x 5 m, maka areal yang
98
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
diperlukan tiap populasi seluas 1,5 ha. Luas demplot dengan koleksi 5 populasi akan memerlukan areal seluas 7,5 ha. Luasan tersebut belum termasuk lahan sebagai jalur isolasi antar populasi.
V. KESIMPULAN Kegiatan pembangunan Demplot Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa memerlukan pemahaman aspek genetik jenis target, sosial ekonomi masyarakat setempat dan dukungan pemerintah. Model ini dapat mengakomodir kepentingan konservasi sekaligus upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada: Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan selaku National Coordinator untuk APFORGEN Indonesia, BBPBPTH Yogyakarta, Dishutbun Blitar, Dishutbun Gunung Kidul, BKSDA Jawa Tengah, Yasasan Shorea, KTH Rimbun, KTH Tani Makmur, KTH Sumber Urip, Dr. Harry Santoso, Dr. Nur Masripatin, Ir. Nugroho S. MSc, Bagus Novianto. MP, Bintoro, Mahfudz, MSc, Ir. Jayusman MP, Yayan Hadiyan, MSc, Lukman H. MP, Teguh Setyaji, MSc, Yuliah, MSc, Yudi FH, SHut, Mulyanto dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Journal Flavonoid Penangkap Radikal dari Daun Kepel. Majalah Farmasi Indonesia, 18. Burley, J. 1994. Balance between development and genetic conservation. In: Drysdale, R.M., John, S.E.T and Yapa, A.C. (eds). Proceeding from International Symposium on Genetic Conservation and Seed Production of Tropical Forest Tree Seed: ASEAN-Canadian Seed Centre, Muaklek, Thailand.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
99
Prosiding Lokakarya Nasional
Departemen Kehutanan. 2008. Pedoman Penyelenggaraan Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan Tingkat Desa. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Drovak, W.S. 1996. Integrating exploration, conservation and utilisation: threats and remedies in the 21st century. In Dieters, M.J., Matheson, A.C., Nikles, D.G., Hardwood,C.E. and Walkers, S.M. (eds). Tree improvement for sustainable tropical forestry, QFRI-IUFRO Conference, Caloundra, Queensland, Australia. Fachrurozi, Z. 1980. Burahol (Stelechocarpus burahol (Bl) Hk.f. & Th.) Deodoran Tempo Dulu dan Masalah Pelestariannya. Buletin Kebun Raya 4 (4): 127130. Frankel, O.H. 1970. Genetic conservation in perspective. In: Genetic Resources in Plant-Their Exploration and Conservation (eds. Frankel, O.H. and Bennet, E). IBP Handbook No 11. Blackwell, Oxford and Edinburgh. Graudal, L., E. Kjaer, A. Thomsen and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Johnson, R., B.S. Clair and S. Lipow. 2001. Genetic conservation in applied tree breeding programs. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. Of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta. Mogea, J.P. 2001. Kategori dan Kriteria Tumbuhan Langka. In: Mogea JP, Djunaedi Gandawidjaja. Harry Wiriadinata. Rusdy E. Nasution dan Irawati. Tumbuhan Langka Indonesia. Puslitbang Biologl – LIPI. Sastrapraja, S.D. 2004. Menjamin masa depan dengan plasma nutfah hutan. Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Sastrapraja, S.D. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Genetik Tumbuhan Hutan. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta.
100
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pembelajaran dari Pelaksanaan… (Liliek Haryjanto, Tri Pamungkas dan Prastyono)
Skroppa, T. 2005. Ex situ conservation methode. In: Geburek, T., dan Turok, J. (Eds). Conservation and management of forest genetic resources in Europe. Arbora Publisher, Zvolen. Soekotjo. 2004. Status Riset Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan Indigenous Species di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. P3BPTH, Yogyakarta. Sunarto, A.T. 1987. Burahol kosmetika alam bagi kerabat keraton. Trubus 18 (207):103-104. Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2. Buah-buahan yang dapat dimakan. Bogor: Prosea.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
101
Prosiding Lokakarya Nasional
REPRESENTASI DIVERSITAS GENETIK DALAM PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK (Genetic Diversity Representation on Establishment of Genetic Resources Conservation Plot) 1 Oleh/By: Sapto Indrioko 2 ABSTRACT Natural resources have very important role for fulfilling human needs. In order to sustainably utilize, the natural resources should be managed carefully. Over exploitation of natural resources could cause decreasing even lost of genetic resources. Genetic diversity is important to maintain species survival and reproductive potential in the short term and evolutionary potential in the long term. Therefore, genetic resources conservation efforts are important. The urgent early step is to measure and state the genetic diversity and its distribution in the population (s) using genetic marker, so the conservation strategy could be accurately arranged. Establishment of genetic resources conservation plot is one of techniques based on conservation strategy. Some principal aspects are: genetic diversity representation of the samples to the genetic resources, taxonomic certainty of the samples, sampling techniques in the resource populations, and genetic consideration in the planting design of genetic resources conservation plot. Keywords: Conservation strategy, genetic diversity, genetic resources conservation, representation.
ABSTRAK Sumberdaya alam memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Agar dapat dimanfaatkan secara lestari, sumberdaya alam harus dikelola dengan bijaksana. Pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya diversitas bahkan kepunahan sumberdaya genetik yang ada di dalamnya. Dalam hal ini diversitas genetik diperlukan bagi suatu species dalam jangka pendek untuk mempertahankan kemampuan hidup dan reproduksinya serta 1
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. 2 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Email:
[email protected]
102
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
dalam jangka panjang untuk menjaga potensi evolusi adaptif. Oleh karena itu, upaya konservasi terhadap sumberdaya genetik merupakan hal yang penting. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengukur dan menyatakan dengan jelas seberapa besar diversitas genetik dan distribusinya pada populasi dengan menggunakan penanda genetik, sehingga strategi konservasi dapat disusun secara akurat. Pembangunan plot konservasi sumberdaya genetik adalah merupakan salah satu teknik yang dilakukan berdasarkan strategi konservasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan plot konservasi sumberdaya genetik antara lain: representasi diversitas genetik terhadap sumber materi genetik yang diambil, kepastian status taksonomi sampel yang diambil dan ditanam dalam plot konservasi, teknik pengambilan sampel materi genetik dari populasi asal, serta penerapan pertimbangan diversitas genetik di dalam membuat desain penanaman plot konservasi sumberdaya genetik. Kata kunci: Strategi konservasi, diversitas genetik, konservasi sumberdaya genetik, representasi.
I. PENDAHULUAN Manusia memanfaatkan sumberdaya alam sebagai bahan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik sebagai sumber makanan, bahan obat-obatan, pakaian, konstruksi rumah, maupun kebutuhan estetika. Pemanfaatan lain ialah berupa jasa ekosistem yang dapat diperoleh secara gratis, termasuk di dalamnya oksigen yang dihasilkan oleh tanaman, iklim yang lebih kondusif dengan adanya hutan, adanya predator alami yang dapat mengendalikan serangan hama maupun patogen dan berbagai vektor yang membantu terjadinya penyerbukan dan pembuahan berbagai tanaman. Dengan menyadari ketergantungannya terhadap sumberdaya alam, maka manusia berkewajiban untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam ini, yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk mencegah kepunahan keragaman hayati atau biodiversitas. IUCN (International Union for Conservation of Nature) lebih jauh menguraikan biodiversitas pada tingkat genetik, species maupun ekosistem (McNeely et al., 1990). Terbentuknya diversitas genetik di muka bumi ini adalah akibat dari proses evolusi secara alami yang berjalan sangat lambat, yaitu lebih dari 3,5 milyar tahun yang lalu (Eisner et al., 1995). Dengan demikian tidak mungkin jika manusia menciptakan diversitas genetik secara artifisial (misalnya melalui mutasi induksi) yang dapat bertahan dan beradaptasi dengan baik pada suatu ekosistem alami dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karena itu tindakan konservasi di dalamnya terkandung makna lebih berupa melindungi diversitas hasil dari evolusi alami ini. Tujuan pokok dalam konservasi adalah untuk memastikan
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
103
Prosiding Lokakarya Nasional
kemampuan hidup dari suatu populasi dan untuk memelihara potensi evolusinya. Sedangkan Neel et al. (2001) menyebutkan sasaran dari suatu program konservasi sumberdaya genetik adalah untuk mempertahankan diversitas genetik dan meminimalkan proses yang dapat mengurangi diversitas tersebut. Kehilangan diversitas genetik dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu spesies untuk tetap dapat bertahan hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang cenderung berubah/dinamis.
II. PEMANFAATAN PENANDA GENETIK Secara teknis sumberdaya genetik merupakan sumber materi pewarisan yang membawa karakter-karakter genetik dari makhluk hidup. Oleh karena itu pemantauan terhadap sumberdaya genetik diperlukan untuk mengetahui secara pasti seberapa besar diversitas genetik yang dimiliki suatu species serta pola distribusi dari diversitas genetik populasi dari species tersebut. Untuk mengamati diversitas genetik ini diperlukan penanda genetik (genetic marker), yaitu semua karakter yang dapat diamati dan dapat menunjukkan segregasi alel pada setiap lokus sesuai pola menurut Mendel (White et al., 2007). Dengan demikian, karakter apapun yang diamati harus menunjukkan konsistensi pewarisan sifat dari induk kepada keturunannya. Idealnya penanda genetik dapat digunakan untuk mengamati diversitas genetik pada gen tunggal dari setiap individu yang diamati, namun hal ini sangat tergantung kepada karakter dari penanda genetik yang dipilih. Penanda genetik yang paling diinginkan adalah jika memiliki karakter sebagai berikut: polimorfisme tinggi yaitu mampu menunjukkan keragaman alel secara detail, tidak terpengaruh oleh variasi lingkungan dan pertumbuhan serta perkembangan tanaman; kodominan yaitu ekspresi karakter heterozigot dapat dibedakan dari kedua homozigotnya; dapat diamati dari bermacam-macam jaringan dalam berbagai kondisi (segar, kering, bahkan sudah terdegradasi); prosedur pelaksanaan di laboratorium mudah serta biaya yang diperlukan murah. Namun dalam kenyataannya tidak ada satu pun penanda genetik yang memenuhi semua keinginan ideal seperti tersebut di atas. Setiap penanda genetik selalu memiliki kelebihan di samping kekurangannya (Wang & Szmidt, 2001), meskipun secara umum memiliki fungsi yang sama yaitu untuk mengamati diversitas genetik. Oleh karena itu karakter masing-masing penanda genetik ini perlu dipahami dengan baik sebelum diaplikasikan sesuai dengan karakternya agar dapat diperoleh hasil penelitian yang paling optimal.
104
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
Secara umum penanda genetik dapat dibagi menjadi penanda morfologi, biokimia dan molekuler (White et al., 2007). Dengan penanda morfologi, keragaman genetik diamati berdasarkan polimorfisme morfologinya. Pemanfaatan penanda morfologi untuk pengamatan pewarisan menurut pola Mendel sangat terbatas karena mutan yang teramati secara morfologi sangat sedikit, misalnya bentuk daun pada Picea abies (Langner, 1953). Pengamatan variasi genetik secara morfologi cenderung berdasarkan pewarisan kuantitatif yang lebih rumit dengan adanya interaksi antar gen serta antara genetik dengan lingkungan yang kompleks (Griffiths et al., 2005). Penanda biokimia merupakan hasil translasi dari RNA (Ribonucleic Acid). Pada awalnya berupa monoterpene yang dimanfaatkan, namun karena terdapat kekurangan, seperti lebih mahal dan bersifat dominan, maka berikutnya berkembang penggunaan isoenzim hingga sekarang. Sedangkan dengan penanda molekuler pengamatan dilakukan secara langsung pada molekul DNA (Deoxyribonucleic acid) yang saat ini telah berkembang sangat pesat baik teknik pelaksanaan di laboratorium maupun pemanfaatannya.
III. PEMANTAUAN DIVERSITAS SUMBERDAYA GENETIK Diversitas genetik sangat diperlukan bagi suatu species untuk mempertahankan eksistensinya, baik untuk mempertahankan kemampuan hidup dan reproduksinya dalam jangka pendek maupun untuk menjaga potensi evolusi adaptif dalam jangka panjangnya. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa diversitas genetik suatu species yang rendah mengakibatkan kemampuan reproduksinya juga rendah, yang dapat diikuti dengan rendahnya potensi adaptasi dan evolusi, sehingga pada akhirnya lebih rentan terhadap kepunahan. Aktivitas manusia di dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung dapat mengubah diversitas genetik species di dalamnya. Pembalakan (logging) yang dilakukan terhadap hutan alam dapat menyebabkan penurunan diversitas genetik, seperti dilaporkan oleh Wickneswari et al. (1997) yang mengamati dengan menggunakan penanda genetik isoenzim dan DNA (berupa Random Amplified Polymorphic DNA/RAPD) terhadap hutan campur Dipterocarp di Malaysia. Ternyata heterozigositas mengalami penurunan sebesar 5 – 23,4 %, serta terdapat 7,7 – 25% alel yang mengalami kepunahan. Penurunan diversitas genetik secara lebih tajam terjadi pada species-species yang kelimpahannya lebih rendah. Lebih lanjut diuraikan bahwa penurunan diversitas genetik juga terjadi pada liana yang hidup pada pohon-pohon yang ditebang, sebagai dampak hilangya habitat tempat Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
105
Prosiding Lokakarya Nasional
tumbuhnya. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pembalakan dengan intensitas rendah masih dapat mempertahankan diversitas genetik seperti sebelum dipanen. Hal ini menunjukkan pentingnya informasi awal mengenai seberapa besar maupun bagaimana distribusi diversitas genetik sebelum dilakukan aktivitas pemungutan hasil hutan, sehingga selanjutnya dapat disusun strategi pengelolaan agar kelestarian sumberdaya alam dapat dipertahankan sampai pada tingkat kelestarian sumberdaya genetiknya. Keberlangsungan hidup species di hutan alam juga bergantung pada kemampuan regenerasi secara alami dari individu-individu yang bertindak sebagai pohon induk yang masih hidup dalam tegakan tinggal. Kegiatan pembalakan ternyata juga dapat mempengaruhi pola perkawinan pohon induk. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa species-species dipterocarp dalam hutan primer memiliki pola perkawinan yang cenderung bersilang luar (outcrossing) yang ditunjukkan dengan nilai outcrossing rate pada multilokus (tm) yang sangat tinggi (0,84 – 0,92) seperti diuraikan dalam Tabel 1. Namun kegiatan pembalakan menyebabkan pola perkawinan cenderung menjadi berubah, yang ditunjukkan oleh penurunan nilai outcrossing rate secara signifikan. Dengan kata lain terjadi peningkatan frekuensi perkawinan kerabat yang dapat berdampak pada peningkatan depresi inbreeding yang merugikan. Peningkatan frekuensi perkawinan kerabat ini dapat disebabkan oleh densitas pohon yang makin berkurang sehingga jarak antar pohon induk menjadi makin jauh sehingga pola aliran gen menjadi terganggu. Dengan demikian peningkatan frekuensi perkawinan kerabat juga menyebabkan kecenderungan untuk menurunkan diversitas genetik populasi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa diversitas sumberdaya genetik dari species target perlu diketahui dengan baik agar dapat ditentukan langkah-langkah pengelolaannya dengan benar. Upaya konservasi terhadap sumberdaya genetik jika dilakukan tanpa data yang representatif tentu dapat menyebabkan kegagalan untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu mempertahankan diversitas genetik. Dengan demikian diversitas genetik merupakan nilai yang harus diamati, diukur dan dinyatakan dengan jelas pada saat awal pelaksanaan konservasi. Variabel diversitas genetik ini selanjutnya digunakan sebagai dasar pedoman untuk menentukan teknik konservasi yang harus dilakukan, dan nilainya dapat selalu dipantau kembali untuk mengecek apakah teknik konservasi yang diterapkan dapat tetap mempertahankan tingkat diversitas genetik species target yang sudah diukur sebelumnya.
106
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
Tabel 1. Dampak pembalakan terhadap pola perkawinan beberapa species dipterocarp Nilai outcrossing rate (t ) m
Species
Referensi
Sebelum pembalakan
Setelah pembalakan
Dryobalanops aromatica
0,92
0,77
Lee (2000)
Shorea megistophylla
0,87
0,71
Murawski et al. (1994b)
Shorea curtisii
0,96
0,52
Obayashi et al. (2002)
Shorea congestiflora
-
0,87
Murawski et al. (1994a)
Shorea trapezifolia
-
0,54 – 0,62
Murawski et al. (1994a)
Shorea leprosula
0,84
-
Lee et al. (2000)
Stemonoporus oblongifolius
0,84
-
Murawski & Bawa (1994)
IV. DIVERSITAS SUMBERDAYA GENETIK PADA SPECIES YANG TERANCAM PUNAH Species yang terancam punah oleh IUCN (1996) dikategorikan sebagai rentan (vulnerable), terancam punah (endangered), maupun kritis (critically endangered) berdasarkan tingkat kemungkinan kepunahan dan prediksi lama waktu untuk sampai terjadi kepunahan (Tabel 2). Jumlah individu yang tersisa juga menjadi pertimbangan untuk menentukan tingkat ancaman terhadap kepunahan, sehingga semakin sedikit jumlah individu yang masih ada maka semakin tinggi pula resiko kepunahannya. Dengan jumlah individu yang sangat terbatas, maka representasi diversitas genetik merupakan hal yang penting di dalam pengelolaan species-species yang terancam punah.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
107
Prosiding Lokakarya Nasional
Tabel 2. Kategori species yang terancam punah Kriteria
Kemungkinan terjadi kepunahan
Waktu
Kritis (critically endangered)
50%
10 tahun atau 3 generasi
Terancam (endangered)
20%
20 tahun atau 5 generasi
Rentan (vulnerable)
10%
100 tahun
Sumber: IUCN, 1996
Keterbatasan jumlah individu juga dapat meningkatkan resiko kepunahan alel akibat efek peluang (chance). Jumlah individu yang terbatas menyebabkan tidak semua alel dapat diwariskan oleh populasi generasi induk kepada keturunannya. Alel yang tidak muncul pada generasi berikutnya ini berarti sudah terlanjur punah. Untuk memunculkan variasi genetik yang baru, alam memerlukan waktu yang sangat lama melalui proses evolusi dan adaptasi. Oleh karena itu, pemantauan terhadap perubahan frekuensi alel dan distribusinya maupun tingkat heterozigositas suatu populasi sangat penting untuk mendesain suatu strategi konservasi yang paling optimal pada jenis yang terancam punah. Pengelolaan sumberdaya genetik yang tidak bijaksana pada species yang terancam punah dapat makin menurunkan diversitas genetiknya. Hal ini dapat terjadi misalnya akibat dari: 1. Perubahan frekuensi alel secara acak maupun musnahnya alel tertentu. 2. Peningkatan perkawinan kerabat akibat terbatasnya jumlah individu maupun jarak antar individu yang makin berjauhan. 3. Pengelolaan populasi yang menyebabkan perubahan perilaku polinator sehingga mendorong terjadinya perkawinan kerabat. 4. Pengumpulan benih dari induk yang jumlahnya terbatas untuk keperluan pembangunan plot konservasi sumberdaya genetik. 5. Pemilihan induk dengan teknik yang tidak tepat sehingga diversitas genetik plot konservasi sumberdaya genetik yang dibangun tidak merepresentasikan diversitas genetik populasi alamnya.
108
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
Untuk melestarikan sumberdaya genetik species yang terancam punah lazimnya dapat dilaksanakan melalui konservasi secara in situ atau ex situ. Pemilihan salah satu dari kedua cara ini dapat ditempuh berdasarkan pertimbangan berikut: 1. Konservasi in situ dipertimbangkan untuk species-species yang belum didomestikasi, sehingga informasi teknik pembudidayaan dan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Dengan teknik ini juga masih memungkinkan species untuk melakukan proses evolusi secara alami. Data berdasarkan penanda genetik dalam hal ini diperlukan untuk mengetahui pola lanskap maupun diversitas genetik dalam maupun antar populasi, serta perlu atau tidak perlunya infusi materi genetik. 2. Konservasi ex situ dipertimbangkan untuk species-species yang tidak mampu untuk hidup jika dibiarkan pada sebaran alaminya. Oleh karena itu diperlukan representasi variasi genetik yang diambil dari sebaran alam melalui strategi sampling yang tepat. Data berdasarkan penanda genetik diperlukan untuk konfirmasi identitas materi genetik maupun perubahan struktur genetik yang mungkin terjadi jika dibandingkan dengan populasi alamnya.
V. TINJAUAN TERHADAP BEBERAPA PLOT KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK Apresiasi harus diberikan terhadap tindakan nyata yang telah dilakukan untuk menyelamatkan species-species yang terancam punah. Usaha ini diharapkan menjadi rintisan untuk memulai itikad baik, menunjukkan komitmen, serta memberikan dorongan bagi para pemangku kepentingan (stake holder) untuk turut bertanggung jawab dan berpartisipasi. Melalui proyek penelitian ITTO PD 539/09 Rev. 1 (F), Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah berusaha untuk menyelamatkan berbagai species langka yaitu ulin/bulian (Eusideroxylon zwageri), cempaka (Michelia champaka), serta eboni (Diospyros celebica) melalui pembangunan plot konservasi sumberdaya genetik (Kiding Allo, 2012; Murniati, 2012; Nugroho, 2012). Konservasi sumberdaya genetik ulin secara in situ (Sarjono dan Taufiqurrahman, 2012) dan berbagai species Dipterocarps (Purnomo dan Widiyatno, 2012) juga telah dilakukan. Sedangkan model konservasi sumberdaya genetik di tingkat desa dicoba dikembangkan oleh Haryjanto et al. (2012).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
109
Prosiding Lokakarya Nasional
Untuk lebih meningkatkan efektivitas kinerja plot konservasi sumberdaya genetik species yang telah dibangun tersebut, berikut diuraikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian: 1. Representasi diversitas genetik dari plot yang dibangun terhadap sumber materi genetik yang diambil perlu ditinjau kembali menggunakan penanda genetik (biokimia atau molekuler). Artinya diversitas genetik plot konservasi baik yang dibangun berupa konservasi in situ maupun ex situ perlu diukur untuk mengetahui secara pasti tingkat representasinya. Hal ini diperlukan untuk melindungi alel dari kepunahan serta menjamin kelestarian sumberdaya genetik. Dengan demikian jika keragaman genetik yang terangkum dalam individu-individu yang ada pada plot yang ditanam sebagai konservasi sumberdaya genetik belum representatif, maka tindakan infusi/penambahan materi genetik yang belum terwakili masih diperlukan. Plot-plot konservasi yang dibangun dengan bibit yang berasal dari induk yang jumlahnya sangat terbatas tentu tidak dapat merepresentasikan diversitas genetik populasi asal. Penentuan jumlah induk dan pemilihannya di lapangan yang paling ideal adalah berdasarkan informasi keragaman genetik yang sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa literatur memang mengajukan beberapa angka jumlah pohon induk sebagai bentuk pendekatan sederhana untuk pengambilan sampel dengan dasar pertimbangan yang berbeda (Brown dan Briggs, 1991; Brown dan Hardner, 2000; Frankham et al., 2002). 2. Kepastian status taksonomi harus diketahui sejak awal, untuk memastikan bahwa sampel yang diambil dan ditanam merupakan species target yang sama. Adanya pemberian nama ilmiah ganda, misalnya terhadap bambang lanang dengan nama Madhuca aspera dan Michelia champaca oleh beberapa pihak perlu diluruskan secara ilmiah. Koreksi yang dilakukan berdasarkan data herbarium perlu diumumkan secara luas kepada publik agar semua pemangku kepentingan segera memahami dan bersepakat untuk menggunakan nama yang sama. Data molekuler melalui analisis klaster (Widyatmoko et al., 2011) dalam hal ini justru menunjukkan bahwa sampel bambang lanang yang diperoleh dari Lahat membentuk kelompok besar yang terpisah dari kelompok sampel yang berasal dari Jawa (M. champaca dari Pasuruan ditambah species lain yaitu M. alba). Jarak genetik kedua kelompok besar ini (0,51-0,84) justru lebih jauh dibandingkan dengan jarak genetik antara M. champaca dan M. alba (0,070,23) yang dalam hal ini jelas merupakan species yang berbeda. Oleh karena itu, kajian filogenetik secara komprehensif menggunakan penanda genetik
110
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
yang lebih spesifik lebih lanjut perlu dilakukan untuk memberikan ketegasan status taksonomi species ini. 3. Pemanfaatan informasi dari penelitian sebelumnya diperlukan untuk mengetahui kekerabatan species target. Penanda genetik dapat dimanfaatkan pula untuk mengetahui variasi dan pengelompokan di dalam species. Jenis ulin/bulian misalnya, masyarakat dapat membedakannya menjadi 4 macam yaitu ulin sirap, tanduk, daging, dan kapur. Diversitas genetik dalam populasi ulin ternyata lebih besar dibandingkan antar populasi (Widyatmoko et al., 2011), karena keempat macam ulin ini tersebar secara kontinyu di dalam setiap populasi. Jika pengamatan diversitas genetik dipilah berdasarkan keempat macam variasi tersebut, ternyata hasil penelitian menunjukkan terdapat empat kelompok yang terpisah dan terdiri dari masing-masing variasi (sirap, tanduk, daging, dan kapur), yang ditunjukkan pula oleh kekhasan fenotipe dan dapat diidentifikasi sebagai varietas yang berbeda (Irawan, 2005). Dengan demikian keragaman varietas yang sudah diketahui ini perlu diwakili dalam pengambilan setiap sampel materi genetiknya dari hutan alam. 4. Teknik pengambilan sampel dari hutan alam maupun hutan tanaman adalah berdasarkan informasi keragaman genetiknya. Oleh karena itu idealnya informasi detail diperlukan untuk mengetahui letak keragaman alelik dari populasi (center of diversity) yang akan diambil materi genetiknya. Dengan demikian pengambilan sampel tidak sekedar menggunakan dasar pertimbangan variasi fenotipik pohon induk dengan kriteria misalnya: pohon yang baik, sedang, dan buruk. 5. Pengambilan sampel materi genetik berupa buah/biji hendaknya dilakukan pada saat puncak musim pembungaan dan pembuahan yang terjadi secara serentak. Hal ini untuk mendukung upaya memperoleh sampel keturunan yang diharapkan dapat mewarisi seluruh potensi keragaman genetik melalui perkawinan acak (random mating) dari pohon-pohon induknya. Pengambilan sampel materi genetik dari pohon soliter atau yang pembuahannya mendahului maupun terlambat dibandingkan pohon-pohon lainnya (buah-buah yang tersisa) tidak direkomendasikan, untuk menghindari sampel yang berasal dari hasil perkawinan kerabat. 6. Pertimbangan keragaman genetik hendaknya digunakan untuk menentukan desain penanaman saat memapankan plot konservasi sumberdaya genetik yang berasal dari beberapa populasi, terutama perlu/tidaknya memisahkan peletakan
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
111
Prosiding Lokakarya Nasional
bibit yang asalnya berbeda. Dalam hal ini jika di antara dua populasi sumber materi genetik ternyata tidak terdapat perbedaan genetik (misalnya jarak genetik = 0), maka tidak diperlukan pemisahan dalam penanaman bibitnya dalam plot konservasi sumberdaya genetik, karena memang sebenarnya merupakan populasi-populasi yang belum berevolusi lebih lanjut. Sebaliknya jika di dalam satu populasi diketahui terdapat species yang diversitasnya tinggi, seperti halnya yang terjadi pada ulin yang dapat diidentifikasi menjadi empat varietas (Irawan, 2005), maka plot konservasi sumberdaya genetik yang dibangun perlu memisahkan keempat varietas tersebut dalam unit manajemen yang berbeda untuk menghindari kemungkinan terjadinya depresi outbreeding yang merugikan.
VI. PENUTUP Konservasi sumberdaya genetik diperlukan untuk menjamin kepastian kelestarian diversitas genetik suatu species. Diversitas genetik dalam hal ini mencerminkan potensi suatu species untuk mempertahankan kemampuan hidup dan reproduksinya dalam jangka pendek maupun untuk menjaga potensi evolusi adaptif dalam jangka panjangnya. Oleh karena itu dalam pembangunan plot konservasi sumberdaya genetik harus direncanakan dengan baik, termasuk di dalamnya mempertimbangkan representasi diversitas genetik agar kinerja plot konservasi menjadi efektif sebagai sumber plasma nutfah yang diperlukan untuk keperluan pengembangan species tersebut di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Brown, A.H.D. and J.D. Briggs. 1991. Sampling Strategies for Genetic Variation in Ex Situ Collections of Endangered Plant Species. In: Falk, D.A.I. & Holsinger, K.E. (Editors), Genetic and Conservation of Rare Plants. Oxford University Press. Oxford. Brown, A.H.D. and C.M. Hardner. 2000. Sampling the Gene Pools of Forest Trees for Ex Situ Conservation. In: Young, A., Boshier, D. & Boyle, T. (Editors), Forest Conservation Genetics, Principles and Practices. CABI Publishing. Wallingford.
112
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
Eisner, T., J. Lubchenco, E.O. Wilson, D.S. Wilcove and M.J. Bean. 1995. Building a Scientifically Sound Policy for Protecting Endangered Species. Science 268: 1231–1233. Frankham, R., J.D. Ballou and D.A. Briscoe. 2002. Introduction to Conservation Genetics. Cambridge University Press. Cambridge. Griffiths, A.J.F., S.R. Wessler, R.C. Lewontin, W.M. Gelbart, D.T. Suzuki and J.H. Miller. 2005. Introduction to Genetic Analysis, Eighth Edition. W.H. Freeman and Company. New York. Haryjanto, T. Pamungkas dan Prastyono. 2012. Pembelajaran dari Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)”, Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. IUCN. 1996. 1996 IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN, Gland. Irawan, B. 2005. Ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn) and Its Varieties in Jambi Indonesia. Cuvillier Verlag. Göttingen. Kiding Allo, M. 2012. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)”, Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Langner, W. 1953. Eine Mendelspaltung bei Aurea-formen von Picea abies (L.) Karst als Mittel zur Klärung der Befruchtungsverhältnisse im Walde. Zeitschrift für Forstgenetik und Forstpflanzenzüchtung, 2: 48-51. Lee, S.L. 2000. Mating System Parameters of Dryobalanops aromatica Gaertn.f. (Dipterocarpaceae) in Three Different Forest Types and a Seed Orchard. Heredity 85: 338-345. Lee, S.L., R. Wickneswari, M.C. Mahani and A.H. Zakri. 2000. Mating System Parameters in a Tropical Tree Species, Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae), from Malaysian Lowland Dipterocarp Forest. Biotropica 32(4a): 693-702.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
113
Prosiding Lokakarya Nasional
McNeely, J.A., K.R. Miller, W.V. Reid, R.A. Mittermeier and T.B. Werner. 1990. Conserving the World’s Biological Diversity. IUCN, World Resources Institute, Conservation International, WWF-US, and the World Bank, Washington, DC. Murawski, D.A. and K.S. Bawa. 1994. Genetic Structure and Mating System of Stemonoporus oblongifolius (Dipterocarpaceae) in Sri Lanka. American Journal of Botany 81(2): 155-160. Murawski, D.A., B. Dayanandan and K.S. Bawa. 1994a. Outcrossing Rates of Two Endemic Shorea Species from Sri Lankan Tropical Rain Forests. Biotropica 26(1): 23-29. Murawski, D.A., I.A.U.N. Gunatilleke and K.S. Bawa. 1994b. The Effect of Selective Logging on Inbreeding in Shorea megystophylla (Dipterocarpaceae) from Sri Lanka. Conservation Biology 8: 997-1002. Murniati. 2012. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Cempaka (Michelia champaka) di Hutan Penelitian Pasir Hantap. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)”, Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Neel, M.C., J.R. Ibarra and N.C. Ellstrand. 2001. Implications of Mating Patterns for Conservation of the Endangered Plant Erigonum Ovalifolium var. vineum (Polygonaceae). American Journal of Botany. 88: 1214-1222. Nugroho, A.W. 2012. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Ulin di Sumatera Selatan. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)”, Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Obayashi, K., Y. Tsumura, T. Ihara-Ujino, K. Niiyama, H. Tanouchi, Y. Suyama, I. Washitani, C.T. Lee, S.L. Lee and N. Muhammad. 2002. Genetic Diversity and Outcrossing Rate between Undisturbed and Selectively Logged Forests of Shorea curtisii (Dipterocarpaceae) using Microsatellite DNA Analysis. International Journal of Plant Sciences 163(1): 151-158. Purnomo, S. dan Widiyatno 2012. Konservasi In-Situ Dipterocarps. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)”,
114
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Representasi Diversitas Genetik… (Sapto Indrioko)
Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Sarjono, A.P. dan Taufiqurrahman. 2012. Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Pohon Hutan Jenis Ulin di PT ITCI Kartika Utama. Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni, dan Cempaka)”, Bogor, 29 Mei 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Wang, X-R. and A.E. Szmidt. 2001. Molecular Markers in Population Genetics of Forest Trees. Scandinavian Journal of Forest Research 16: 199-220. White, T.L., W.T. Adams and D.B. Neale. 2007. Forest Genetics. CABI Publishing. Oxfordshire. Wickneswari, R., C.T. Lee, M. Norwati and T.J.B. Boyle. 1997. Effects of Logging on the Genetic Diversity of Five Tropical Rainforest Species in a Ridge Forest in Peninsular Malaysia. In: CIFOR Wrap-Up Workshops on Impact of Disturbance, Bangalore, August 1997. Center for International Forestry Research. Bogor. Widyatmoko, A.Y.P.B.C., I.L.G. Nurtjahjaningsih dan Prastyono. 2011. Studi Keragaman Genetik pada Beberapa Jenis Terancam Punah (Endangered Species) Menggunakan Penanda RAPD. Dalam: Bismark, M. & Murniati (Editor), Prosiding Lokakarya Nasional “Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia)”, Bogor, 18-19 Januari 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
115
Prosiding Lokakarya Nasional
116
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknologi Penanganan Benih… (Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat)
Bidang Teknologi Perbenihan dan Pembibitan
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
117
Prosiding Lokakarya Nasional
118
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknologi Penanganan Benih… (Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat)
TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT EBONI (Diospyros celebica Bakh.) (Seeds and Planting Stocks Handling of Ebony (Diospyros celebica Bakh.)) 1 Oleh/By: Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat 2
ABSTRACT Ebony (Diospyros celebica Bakh.) is a tree species produce a luxury wood that has high decorative and commercial value. This species is considered to be rare because usage of the wood is quite high. Therefore, the planting activities of the species is needed to be increased. Seed collection must be conducted from the good performance mother trees. The seed collection should be done in the appropriate harvesting time based on the monitoring of flowering and fruiting season. Ebony seed is categorized as recalcitrant seed that should be kept in air conditioned room with adjustable humidity in temperature ranging between 16 to 20ºC. Based on seed quality standards of Directorate of Forest Tree Seed Development, the adequate ebony seed are the germination percentage ≥ 60%, seed purity ≥99% and the moisture content varied from 35 to 47%. The media for seed germination is the mixture of sand and soil (3 : 1 v/v) anf the media for transplanting in the nursery is the mixture of soil, sand and manure (2 : 1 : 1 v/v). Standard of seedling quality for planting in the field are the seedling height ≥30 cm, stem diameter ≥3 mm, media in good compact condition when the polybag was opened, number of leaves ≥10, and the age of seedling at least 6 months. Keywords: Ebony, recalcitrant seed, seed and seedling handling, quality standard.
ABSTRAK Eboni (Diospyros celebica Bakh.) merupakan jenis tanaman hutan penghasil kayu mewah dengan nilai dekoratif dan komersial yang sangat tinggi. Jenis ini dikhawatirkan semakin langka karena penggunaan kayunya yang cukup tinggi sehingga memerlukan peningkatan budidaya tanaman. Pengumpulan benih dilakukan 1
2
Makalah penunjang pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi PerbenihanTanaman Hutan. Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
119
Prosiding Lokakarya Nasional
pada pohon-pohon induk yang memiliki phenotipa baik, dengan mempertimbangkan waktu pemanenan yang tepat berdasarkan pengamatan pembungaan dan pembuahan. Benih eboni termasuk kategori benih rekalsitran yang memerlukan penyimpanan di ruang AC dengan kelembaban yang dapat diatur pada suhu bervariasi 16-20ºC. Berdasarkan standar mutu benih Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, persyaratan benih eboni yang layak adalah benih dengan daya berkecambah ≥ 60%, kemurnian ≥99%, kadar air 35 – 47%. Media tabur benih eboni menggunakan campuran pasir halus dan tanah (3 : 1 v/v) dan media sapih menggunakan campuran tanah, pasir dan pupuk kandang (2 : 1 : 1 v/v). Standar mutu bibit siap tanam adalah tinggi bibit ≥30 cm, diameter pangkal batang ≥3 mm, kekompakan media baik (media utuh saat polibag dibuka), jumlah daun ≥10 lembar, dan umur bibit minimal 6 bulan. Kata kunci: Eboni, benih rekalsitran, penanganan benih dan bibit, standar mutu.
I. PENDAHULUAN Eboni (Diospyros celebica Bakh., Family Ebenaceae) merupakan jenis tanaman hutan penghasil kayu mewah dengan nilai dekoratif dan komersial yang sangat tinggi. Kayu eboni banyak digunakan untuk kerajinan pahat dan ukir, mebeler, perkakas rumah tangga, perlengkapan interior, dan bahan bangunan.Eboni tumbuh secara alami mulai dari Sulawesi Utara (Minahasa, Bolaang Mongondow), Sulawesi Tengah (Parigi, Poso, Donggala, Toli-toli, Kolonodale dan Luwuk) hingga Sulawesi Selatan (Maros, Barru, Luwu dan Mamuju) (Santoso, 1997; Hartati dan Kamboya, 2003). Jenis ini tumbuh secara alami di daerah lembab, tanah berkapur, tanah dangkal berbatu (tidak tergenang atau tidak terlalu kering) hingga ketinggian 540 m dpl dengan curah hujan berkisar 2000-2500 mm/tahun (Lemmens et al. 1995). Peningkatan keberhasilan budidaya eboni perlu mendapatkan dukungan sistem sistem silvikultur yang intensif. Salah satu aspek penting sistem silvikultur adalah teknologi penanganan benih dan bibit. Benih eboni dapat dikelompokan sebagai benih rekalsitran yang merupakan benih basah cepat rusak yang tidak tahan terhadap pengeringan dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah sehingga tidak dapat disimpan lama. Karakterisitik jenis rekalsitran masih menjadi permasalahan dalam pengadaan benih terutama dalam upaya untuk memperpanjang umur simpan benih (Nurhasybi et al., 2007). Aspek pembibitan juga seringkali masih terkendala terutama pada saat perkecambahan benih. Rendahnya daya berkecambah benih selain disebabkan oleh kualitas benih yang rendah juga dapat disebabkan oleh lingkungan perkecambahan yang kurang memadai. Dalam tulisan ini beberapa aspek penanganan benih dan
120
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknologi Penanganan Benih… (Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat)
bibit dibahas untuk memberikan gambaran bagaimana meningkatkan mutu benih dan bibit eboni sehingga mampu mendukung suksesnya program penanaman eboni secara lebih luas.
II. TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH A. Pengumpulan Benih Pengumpulan buah dilakukan hanya pada pohon-pohon yang memiliki fenotipe baik. Untuk jenis-jenis tertentu yang sumber benihnya belum tersedia, pengumpulan benih dapat dilakukan di hutan alam atau hutan tanaman yang memiliki penampilan tegakan secara rata-rata cukup baik dengan memilih pohonpohon tertentu. Pohon induk atau bisa diartikan pohon plus adalah pohon yang mempunyai karakteristik penampilan yang baik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pohon plus/induk (Willan, 1985): 1. Memilih pohon-pohon yang subur, sehat dan berpenampilan baik (tinggi, diameter, bentuk batang, percabangan dan bebas serangan hama dan penyakit). 2. Memilih pohon-pohon yang telah dewasa, hindari pohon-pohon yang terlalu tua. 3. Menghindari pohon-pohon yang berdiri sendiri (soliter). 4. Menghindari tegakan yang banyak berisi pohon-pohon berpenampilan buruk dan berpenyakit. 5. Di hutan alam, jarak antar pohon plus minimum 100 m. Tingkat pembungaan dan pembuahan juga dapat dijadikan ukuran kelayakan dilakukannya pengunduhan. Menurut Laurisen (2000), bila pembungaan atau pembuahan dari suatu sumber benih kurang dari 40% sebaiknya pengumpulan benih tidak dilakukan, kecuali pada kondisi tertentu seperti jenis tersebut terancam punah dan sangat kekurangan benih. Selain kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (self pollination), sedikitnya jumlah pohon yang berbunga dan berbuah juga akan berpengaruh juga pada mutu fisiologis benih. Hal tersebut akan mengakibatkan tingginya proporsi benih kecil, tidak berkembang (undevelopment seed) dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Eboni mulai berbunga dan berbuah pada umur 5–7 tahun (bentuk buah dan benih eboni disajikan pada Gambar 1). Musim berbunga umumnya bulan MaretMei dan buah masak terjadi pada bulan September hingga Nopember. Di Sulawesi Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
121
Prosiding Lokakarya Nasional
Selatan musim berbunga terjadi pada bulan Januari-Maret dan buah masak pada bulan Juli-September. Di Mamuju dan Luwu musim berbunga jatuh pada bulan Maret-Mei dan buah masak pada bulan September-November. Kemasakan buah yang sama juga terjadi di Poso dan Donggala, Sulawesi Tengah (Santoso, 1997). Periode dari pembungaan sampai buah masak membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Lemmens et al., 1995).
Gambar 1. Buah dan benih eboni (Diospyros celebica) (Foto: Santoso, 1997). Buah bertipe berry berbentuk oval dengan panjang 3,5-5 cm, diameter 3-3,5 cm, warna buah hijau muda, pada saat masak kulit buah berwarna hijau tua kekuningan dengan bintik-bintik coklat, berbulu halus seperti sutera. Dalam satu buah terdapat 3-11 biji, tetapi yang menjadi benih umumnya 3-8 butir. Benih yang sudak masak (tua) berwarna coklat kehitaman berbentuk bulat panjang hampir mirip biji sawo. Panjang biji 2-5 cm, dan tebal 0,5-1,5 cm. Rata-rata berat satu biji 0,5-2 g. Pengumpulan buah masak sebaiknya dengan cara pemanjatan atau memakai jaring untuk menghindari buah jatuh ke lantai hutan. Diusahakan tidak mengumpulkan buah yang telah jatuh karena dapat tercampur antara buah masak, buah muda, dan buah yang terserang jamur Peniulliopsis clavariaeformis(Santoso, 1997). Benih eboni yang sehat ditandai dengan warna coklat kehitaman, tenggelam bila dimasukkan ke dalam air, memiliki radikel berwarna kuning kecoklatan, dan tidak keriput (Santoso, 1997). B. Ekstraksi dan Penyimpanan Benih Ekstraksi benih dilakukan secara manual dengan memeram buah selama 24 jam untuk memudahkan dalam pengupasan. Benih hasil ekstraksi dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan sisa-sisa daging buah dan dikering anginkan. Penjemuran benih di bawah sinar matahari harus dihindari. Benih yang dijemur
122
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknologi Penanganan Benih… (Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat)
selama 3 hari di bawah sinar matahari tidak dapat berkecambah (Santoso, 1997). Buah rekalsitran harus terhindar dari pengeringan yang cepat. Buah sebaiknya ditempatkan di ruang AC dengan kelembaban yang dapat diatur pada suhu 16-20ºC (Marzalina dan Krishnapillay, 2002). Benih bersifat rekalsitran artinya akan kehilangan viabilitasnya dengan cepat sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama, kecuali jika disimpan dalam bentuk buah masak kemungkinan akan memperpanjang umur simpan benih. Benih setelah diekstaksi harus segera ditabur. Daya berkecambah benih yang baru diunduh dapat mencapai 85% dengan lama perkecambahan bervariasi 17-65 hari (Santoso, 1997). Teknik penyimpanan buah eboni yang sederhana dan mudah dilakukan adalah dengan memasukkan buah eboni dalam karung goni basah (kelembaban 8090%) dan dijaga kelembabannya agar jangan sampai buah menjadi kering. Dengan cara ini persen kecambah dapat dipertahankan hingga 50-60% selama 2-3 minggu (Santoso, 1997). Penurunan persen berkecambah bisa dipertahankan hingga 70% dalam waktu 12 hari dan akan turun menjadi 28% dalam 20 hari jika benih disimpan dalam serbuk arang basah (Lemmens et al., 1995). Beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan benih dalam penyimpanan: (a) genetik, (b) kemasakan buah, (c) waktu pemanenan, (d) kerusakan mekanis selama pengolahan, (e) penurunan fisiologi selama proses pemanenan dan pengangkutan, (f) serangan jamur dan serangga, (g) viabilitas awal benih. C. Pengujian Benih Pengujian mutu benih diperlukan dalam rangka sertifikasi mutu benih. Program ini ditujukan untuk memberikan jaminan mutu benih baik kepada pengguna, pengedar, maupun pengada benih. Pengujian mutu fisik dan fisiologi meliputi beberapa tahapan, dimulai dari penarikan contoh, analisis kemurnian benih, penentuan berat benih, penentuan kadar air benih, pengujian daya berkecambah dan uji cepat viabilitas benih. Secara umum ada empat parameter yang digunakan dalam operasional pengujian benih, yaitu kadar air benih, berat 1000 butir, kemurnian dan daya berkecambah benih. Teknik penentuan kadar air benih eboni adalah menggunakan oven dengan pengeringan pada suhu 105°C selama 24 jam. Sebagai alternatif dapat dilakukan dengan pengeringan pendahuluan selama 10 menit pada suhu 130°C dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu yang sama selama 2 jam (Sagala, 1992). Berat 1000
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
123
Prosiding Lokakarya Nasional
butir benih ditentukan dengan menghitung 100 butir benih sebanyak 8 ulangan. Rata-rata dari berat 100 butir tersebut dikali 10 sehingga mendapat nilai berat 1000 butir benih (ISTA, 2010). Analisis kemurnian dilakukan untuk menentukan prosen berat komposisi suatu contoh benih dan identifikasi benih lain dan materi padat yang terdapat dalam contoh benih. Berat setiap komponen dinyatakan dalam satu desimal. Persen harus didasarkan jumlah berat total masing-masing komponen dan bukan dari berat contoh kerja. Jumlah berat masing-masing komponen harus dibandingkan dengan contoh kerja untuk mengetahui kesalahan. Metoda dan media uji perkecambahan yang sesuai untuk benih adalah Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik (UKDdp) untuk uji di germinator, dan media tanah untuk uji lapang (Zanzibar, 1992).Perlakuan pendahuluan benih yang disarankan sebelum ditabur dengan cara merendam benihnya dalam air bersih selama 10 jam (Hendromono, 1995). Data yang diperoleh dari hasil pengujian mutu benih sangat bermanfaat dalam perhitungan kebutuhan benih untuk pembuatan bibit di persemaian. Ratarata berat 1000 butir benih eboni adalah 1200-1500 g atau dalam 1 kg benih terdapat 650 – 850 butir benih. Berdasarkan standar mutu benih yang dikeluarkan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, persayaratan benih eboni yang layak adalah benih dengan daya berkecambah ≥ 60%, kemurnian ≥99% dengan kadar air 35 – 47% (Sudrajat et al., 2010).
III. TEKNOLOGI PENANGANAN BIBIT Eboni merupakan jenis semitoleran sehingga persemaiannya memerlukan naungan atau dibuat pada tempat yang agak teduh. Naungan dibuat dengan ukuran tinggi tiang bagian barat 50-70 cm dan bagian timur 75-100 cm. Media tabur untuk eboni dapat menggunakan campuran pasir halus dan tanah dengan perbandingan 3 : 1. Penaburan benih dilakukan dengan posisi benih diberdirikan atau ditidurkan dengan calon radikel di bawah pada kedalaman 1-1,5 kali tebal biji dan jarak antar biji 3-5 cm. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan pada umumnya biji akan berkecambah setelah satu minggu (Santoso, 1997). Media sapih dapat menggunakan campuran tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Penyapihan dari bak tabur ke polibag dilakukan setelah biji terangkat dari media dan kulit biji terlepas dari kotiledon. Kecambah eboni mempunyai hipokotil
124
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknologi Penanganan Benih… (Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat)
yang panjang, dengan kotiledon besar dan berat sehingga mudah patah, maka diupayakan 1/3 bagian hipokotil ikut tertanam di media sapih (Santoso, 1997). Pemeliharaan bibit di persemaian meliputi pembersihan gulma, penyiraman dan pemupukan..Penyiraman secara efektif di persemaian dapat dilakukan sehari sekali. Intensitas penyiraman ini juga harus mempertimbangkan kondisi iklim setempat dan media semai yang digunakan. Pada daerah kering, intensitas penyiraman dapat dilakukan 2 kali sehari atau sebaliknya di daerah yang sering turun hujan penyiraman hanya dilakukan pada hari tidak turun hujan. Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal. Pemupukan harus dilakukan secara tepat dan tidak berlebihan. Salah satu kegiatan pembibitan eboni yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado dalam rangka program konservasi genetik eboni disajikan pada Gambar 2. Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada kondisi lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan cahaya yang diterima oleh bibit dan mengurangi penyiraman (hardening off). Pada saat hardening off, bibit masih berada di bawah naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan dengan membuka sebagian shading net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam kondisi demikian, bibit mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk jenis-jenis toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya kurang optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan.
Gambar 2. Kegiatan pembibitan eboni pada program konservasi genetik BPK Manado.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
125
Prosiding Lokakarya Nasional
Penanaman Eboni menggunakan bibit berumur 6-7 bulan dengan tinggi 2030 cm, jika dari cabutan anakan alam dengan tinggi 15-20 cm (Santoso, 1997). Namun berdasarkan hasil kajian lapangan, standar mutu bibit siap tanam adalah tinggi bibit ≥30 cm, diameter pangkal batang ≥3 mm, kekompakan media baik (media utuh saat polibag dibuka), jumlah daun ≥10 lembar, dan umur bibit minimal 6 bulan (Sudrajat et al., 2010).
IV. KESIMPULAN Keberhasilan penanaman eboni tidak terlepas dari teknologi dan informasi penanganan benih dan bibit untuk mendukung pengadaan benih dan bibit bermutu tinggi untuk program penanaman. Informasi penanganan benih dan bibit ini diharapkan melengkapi informasi yang sudah ada dan mendukung budidaya jenis eboni secara luas di masyarakat. Kesimpulan dari pemaparan tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan produktivitas tanaman eboni dapat dilakukan melalui penggunaan benih dari sumber benih terpilih atau pohon induk terbaik disertai dengan pemilihan lokasi penanaman yang sesuai dan diikuti dengan tindakan silvikultur intensif. 2. Pengumpulan benih dilakukan pada pohon-pohon induk yang memiliki phenotipa baik, dengan mempertimbangkan waktu pemanenan yang tepat berdasarkan pengamatan pembungaan dan pembuahan. 3. Benih eboni termasuk kategori benih rekalsitran yang memerlukan penyimpanan di ruang AC dengan kelembaban yang dapat diatur pada suhu bervariasi 16-20ºC. 4. Berdasarkan standar mutu benih yang dikeluarkan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, persyaratan benih eboni yang layak adalah benih dengan daya berkecambah ≥ 60%, kemurnian ≥99% dengan kadar air 35 – 47%. 5. Media tabur benih eboni menggunakan campuran pasir halus dan tanah (3 : 1 v/v) dan media sapih menggunakan campuran tanah, pasir dan pupuk kandang (2 : 1 : 1 v/v). 6. Standar mutu bibit siap tanam adalah tinggi bibit ≥30 cm, diameter pangkal batang ≥3 mm, kekompakan media baik (media utuh saat polibag dibuka), jumlah daun ≥10 lembar, dan umur bibit minimal 6 bulan.
126
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknologi Penanganan Benih… (Nurhasybi dan Dede J. Sudrajat)
DAFTAR PUSTAKA Hartati, R.A. dan Kamboya. 2003. Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Informasi Singkat Benih. Kerjasama BPTH Sulawesi dengan Indonesia Forest Seed Project. Hendromono. 1995. Pengaruh Skarifikasi dan Ukuran Benih Eboni (Diospyros Celebica Bakh) Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Awalnya. Buletin Penelitian Hutan No. 594. Bogor. ISTA. 2010. International rules for seed testing. International Seed Testing Association, Bassersdorf, CH-Switzerland. Laurisen, E.B. 2000. Monitoring seed quality in seed production. Lecture note for course in seed biology. Bogor 112-24 June 2000. Indonesia Forest Seed Project. Bandung. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Editors). 1995. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2). Timber trees : Minor commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. Hal. 185-191. Marzalina, M. and B. Krishnapillay. 2002. Seed Procurement and Handling. In Krishnapillay, B. (ed). 2002. A Manual for Forest Plantation Establishment in Malaysia. Malayan Forest Records No. 45. FRIM. Kuala Lumpur. Nurhasybi, D.J. Sudrajat, A.A. Pramono dan B. Budiman. 2007. Review teknologi perbenihan tanaman hutan. BPTP Bogor. Bogor. Sagala, J. 1992. Penentuan Kadar Air Benih Eboni (Diospyros celebica Bakh) dengan Metoda Oven. Laporan Uji Coba Balai Teknologi Perbenihan Bogor No. 115. Bogor. Santoso, B. 1997. Pedoman Teknis Budidaya Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Informasi Teknis Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang No. 6 th. 1997. Sudrajat, D.J., Nurhasybi, Siswandi, J. Iriantono, D., dan Caterina. 2010. Laporan Pembuatan Standar Mutu Benih dan Bibit Tanaman Hutan. Kelompok Kerja Pembuatan Standar Mutu Benih dan Bibit. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Dirjen RLPS. Jakarta. Willan, R.L. 1985. A guide to forest seed handling. Food and Agriculture Organization. Roma. Zanzibar, M. 1992. Penentuan Perlakuan Pendahuluan, Metode dan Media Uji Perkecambahan Benih Eboni (Diospyros celebica Bakh). Laporan Uji Coba Balai Teknologi Perbenihan Bogor No. 118. Bogor.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
127
Prosiding Lokakarya Nasional
TEKNIK PEMBIBITAN ULIN (Eusideroxylon zwageri) (Seedling Production Technique of Ironwood (Eusideroxylon zwageri)) 1 Oleh/By: Agung Wahyu Nugroho 2
ABSTRACT Genetic resources conservation is an important effort undertaken in order to save ironwood from threat of extinction. Effective, efficient and applicative seedling production techniques are crucial element to support this program. The paper is to expose research results about ironwood seedling techniques, starting with collecting fruit, selecting and sorting seed, seed scarification, seed germination, weaning, and maintenance. This technique can produced seedlings with good quantity and quality. Information and technology transfer about seedling techniques to the community is necessary for a successful conservation program. Keywords: Conservation, ironwood, seedling technique.
ABSTRAK Konservasi sumber daya genetik merupakan upaya yang penting dilakukan guna menyelamatkan ulin dari ancaman kepunahan. Teknik pembibitan yang efektif, efisien dan aplikatif merupakan elemen yang harus dikuasai dalam rangka mendukung program tersebut. Makalah ini memaparkan hasil-hasil riset yang telah banyak dilakukan oleh para peneliti tentang teknik pembibitan ulin, dimulai dari pengunduhan buah, seleksi dan sortasi benih, skarifikasi benih, perkecambahan, penyapihan, dan pemeliharaan bibit. Dengan teknik tersebut, akan dihasilkan bibit ulin dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Alih informasi dan teknologi pembibitan ulin ke masyarakat mutlak diperlukan untuk keberhasilan program konservasi. Kata kunci: Konservasi, ulin, teknik pembibitan.
1
Makalah penunjang pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. 2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
128
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknik Pembibitan Ulin… (Agung Wahyu Nugroho)
I. PENDAHULUAN Eksploitasi yang berlebihan, perladangan berpindah, selective logging, illegal logging, pembangunan infrastruktur merupakan penyebab ulin terancam punah (Irawan dan Gruber, 2004). Selain itu, regenerasi anakan ulin yang rendah pada hutan bekas tebangan (Soerianegara dan Lemmens, 1993) dan regenerasi alaminya yang hanya terbatas di dekat pohon induknya (Kiyono dan Hastaniah, 2000) merupakan faktor penyebab semakin menyusutnya populasi ulin di alam. Berdasarkan data IUCN (2011), ulin dimasukkan dalam status vulnerable A1cd+2cd ver 2.3. Dengan kondisi tersebut, menghendaki adanya upaya yang cepat untuk penyelamatan ulin. Konservasi sumber daya genetik merupakan hal penting yang mendesak untuk dilakukan sebagai upaya komprehensif guna menyelamatkan ulin dari ancaman kepunahan. Ada beberapa kendala dalam upaya tersebut, misalnya kurang tertariknya masyarakat dalam menanam ulin karena umur panen yang sangat lama dan belum pahamnya masyarakat mengenai teknik pembibitannya. Sementara di sisi lain, regenerasi alami ulin berjalan sangat lambat. Untuk itu, penguasaan teknik pembibitan yang cepat, murah dan aplikatif untuk menghasilkan bibit ulin dalam jumlah yang banyak dan berkualitas tinggi sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan upaya konservasinya. Berdasarkan wawancara pribadi dengan masyarakat di sekitar daerah sebaran alami ulin memberikan gambaran masih kurang pahamnya masyarakat dalam membibitkan ulin. Sebagai contoh, masyarakat di Desa Mambang, Kabupaten Musi Rawas masih menggunakan anakan alam sebagai bahan pembibitan dengan persentasi hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan perbanyakan dari biji. Masyarakat ternyata belum mendapat informasi tentang teknik pembibitan ulin dari biji. Padahal telah banyak riset yang membahas tentang teknik pembibitan ulin. Tulisan ini memaparkan teknik pembibitan ulin (generatif) yang aplikatif guna mendukung upaya konservasi ulin dan diharapkan masyarakat dapat tertarik dan menerapkannya secara mudah dan murah.
II. PENANGANAN BENIH A. Pengunduhan Buah Penentuan waktu pengunduhan buah akan menentukan kualitas benih yang dihasilkan. Waktu pengunduhan buah yang tepat adalah waktu musim buah raya.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
129
Prosiding Lokakarya Nasional
Pohon ulin berbuah setiap tahun, terutama dalam bulan Juli-Agustus (Sumatera Selatan) dan bulan Oktober-November (Kalimantan) (Martawijaya, dkk., 2005). Namun untuk beberapa tahun belakangan ini; di beberapa daerah sebaran alami ulin; musim buah cenderung mengalami perubahan. Di areal hutan PT REKI Musi Banyuasin, musim buah raya jatuh pada bulan Desember, dan di Cagar Alam Durian Luncuk 2 Batanghari musim buah didapati pada bulan Pebruari. Pengunduhan buah dapat dilakukan dengan mengambil buah pada lantai hutan di bawah pohon induknya (Gambar 1). Umumnya, buah ulin akan jatuh di sekitar pohon induknya dikarenakan bobot buahnya yang relatif berat. Karakteristik pohon induk yang dipilih tergantung kepada tujuan yang akan dicapai. Kalau untuk konservasi sumber daya genetik, buah yang diambil berasal dari pohon induk yang merupakan representasi dari seluruh variasi genetik yang ada pada sebaran alamnya. Sedangkan untuk tujuan produktifitas kayu, diambil dari pohon plus (fenotipe superior). Buah yang baik untuk dijadikan benih adalah buah yang masak secara fisiologis dengan dicirikan warna kulit buah yang berwarna hijau tua-coklat, bernas, ukuran relatif besar, dan tidak didapati gejala serangan hama dan penyakit. Buah masak memerlukan waktu selama 3 bulan sejak pohon berbunga. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah adanya kera dan babi hutan yang juga menyukai buah ulin sebagai makanannya (Gambar 2).
Gambar 1. Pengambilan buah ulin pada lantai hutan (Foto: Agung, 2011).
130
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknik Pembibitan Ulin… (Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 2. Buah ulin yang dimakan kera (Foto: Agung, 2007). Dalam seleksi pengambilan buah, sebaiknya dipilih buah ulin yang masih ada kulit buahnya guna menjaga kadar air benih tidak cepat menurun. Buah yang diambil kemudian dikumpulkan dan dimasukkan dalam karung serta diberi label keterangan waktu dan lokasi pengunduhan. Buah yang terkumpul tersebut secepatnya dilakukan pemrosesan benih yang meliputi: ektraksi, sortasi dan pengecambahan benih. B. Ekstraksi Benih Buah ulin bertipe buah batu (drupe), berbentuk jorong hingga bulat telur dan terdiri dari bagian kulit buah, daging buah, kulit biji, dan biji (Gambar 3). Ekstraksi benih merupakan kegiatan mengeluarkan benih dari buahnya. Buah ulin dapat diekstraksi dengan cara diperam sampai daging buah membusuk dan menjadi lunak. Ekstraksi dapat dilakukan dengan tangan atau benda tajam untuk memisahkan daging buah dan benih. Sedangkan untuk mengetahui benih itu baik atau tidak, secara sederhana dapat diketahui dengan cara merendam benih dalam air. Benih yang baik akan tenggelam, sedangkan benih yang kurang baik akan mengapung dalam air.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
131
Prosiding Lokakarya Nasional
kulit buah
daging buah
kulit biji
biji
Gambar 3. Bagian-bagian buah ulin (Foto: Agung, 2005). C. Skarifikasi Benih Benih ulin mempunyai kulit biji yang sangat keras dan hal ini diduga sebagai penyebab dormansi. Untuk mematahkan masa dormansi dan mempercepat masa perkecambahan, dapat dilakukan skarifikasi dengan cara merendam biji dalam air selama 2 jam kemudian dijemur di bawah sinar matahari sampai kulit biji pecah atau terkelupas dengan sendirinya (Gambar 4). Dengan menggunakan teknik ini akan lebih efektif (hanya membutuhkan waktu 2 bulan di tingkat perkecambahan dan 3 bulan di tingkat penyapihan) dan efisien (hanya membutuhkan 1 orang tenaga kerja) dengan persen hidup >90%. (Leksono dkk., 2000). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nurhasybi dan Sudrajat (2010) bahwa perlakuan pendahuluan berupa pengupasan kulit benih (seedcoat) yang dipotong menjadi 2 bagian mampu meningkatkan daya berkecambah sampai 71% dibanding kontrol (tanpa pengupasan).
Gambar 4. Skarifikasi dengan perendaman dan penjemuran di bawah sinar matahari (Foto: Agung, 2005).
132
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknik Pembibitan Ulin… (Agung Wahyu Nugroho)
D. Seleksi dan Sortasi Benih Seleksi dan sortasi benih bertujuan untuk menjaga kemurnian benih dan menghasilkan semai dengan daya berkecambah yang tinggi. Kotoran-kotoran sisa ekstraksi dan benih yang rusak (kisut, patah, pecah) dan busuk dibuang untuk menghindari timbulnya serangan jamur waktu benih dikecambahkan (Gambar 5).
Gambar 5. Benih ulin yang membusuk (Foto: Agung, 2005). Pertimbangan lain adalah ukuran benih karena akan berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benihnya. Hasil penelitian Leksono dkk. (2000) menunjukkan perkecambahan dan pertumbuhan bibit yang berasal dari benih berukuran besar (panjang > 11,5 cm dan diameter > 4 cm) dan sedang (panjang 8-11,5 cm dan diameter 3,5-4 cm) akan lebih baik dibanding benih berukuran kecil (panjang < 8 cm dan diameter < 3,5 cm). Walaupun secara statistik ukuran benih tidak berpengaruh nyata terhadap perkecambahan, tetapi ada kecenderungan benih berukuran sedang (panjang 6,5 cm – 13 cm) dan besar (panjang > 13 cm) memberikan perkecambahan yang lebih baik dibandingkan benih berukuran kecil (panjang < 6,5 cm) (Nurhasybi dan Sudrajat, 2010). Benih ulin termasuk benih yang bersifat rekalsitran (tidak tahan lama untuk disimpan) sehingga dianjurkan untuk secepatnya ditabur/dikecambahkan sesudah proses seleksi dan sortasi selesai. Namun apabila ingin disimpan, sebaiknya kulit benih masih dalam keadaan utuh. Penyimpanan dilakukan dalam wadah kedap udara dengan suhu 100C -150C atau 170C-180C. Dengan cara ini benih dapat tahan disimpan sampai 6 bulan (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2004).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
133
Prosiding Lokakarya Nasional
III. PENANGANAN BIBIT A. Penaburan dan Perkecambahan Sebelum dikecambahkan, benih direndam dalam larutan fungisida untuk mencegah adanya serangan jamur. Sedang untuk mempercepat perkecambahan, benih dapat direndam dalam larutan perangsang akar. Benih tersebut kemudian dicuci bersih dan dibilas dengan air bersih yang mengalir serta dikeringanginkan. Penaburan benih ulin dapat dilakukan secara langsung ke dalam polybag atau ditabur dalam media tabur terlebih dahulu. Benih yang ditabur dalam media tabur, akan berkecambah 2 kali lebih cepat dengan persentase berkecambah yang lebih besar dibandingkan benih yang langsung dibenamkan ke dalam polybag. Benih yang ditabur dalam media tabur, akan berkecambah pada hari ke-26 setelah penaburan dengan persentase di atas 90%, sedangkan benih yang dibenamkan langsung ke dalam polybag, berkecambah pada hari ke-60 setelah penaburan dengan persentase kecambah sebesar 53,25% (Nugroho, 2011). Untuk benih ulin yang ditabur dalam media tabur, penaburan dilakukan dengan membenamkan benih sedalam ± 2/3 bagian dengan posisi mendatar dan ditempatkan pada bedeng tabur ukuran 3 m x 2 m x 1 m berisi pasir yang telah disterilkan dan diberi sungkup. Sungkup berbentuk setengah lingkaran dan terbuat dari plastik transparan dengan tinggi 1 m (Gambar 6). Pemberian sungkup ini bertujuan untuk menjaga suhu (250C - 300C) dan kelembaban (±80%) yang optimal bagi proses pengecambahan (Leksono, dkk., 2000).
Gambar 6. Bedeng tabur dengan penyungkupan (Foto: Agung, 2007)
134
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknik Pembibitan Ulin… (Agung Wahyu Nugroho)
Secara fisiologi, perkecambahan merupakan proses yang menyebabkan suatu biji yang tak aktif mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga akan memunculkan suatu semai. Proses ini meliputi: pengambilan air (imbibisi), mobilisasi persediaan cadangan makanan di dalam biji dan berlangsungnya kembali pertumbuhan dan perkembangan embrio untuk membentuk struktur tunas dan akar semai. Ada dua syarat umum ekologi perkecambahan biji yaitu suhu yang sesuai dan lengas yang cukup (Fisher, 1992). Benih dapat berkecambah apabila tersedia faktor-faktor pendukung selama terjadinya proses perkecambahan. Perkembangan benih dipengaruhi oleh faktor dalam yang meliputi: tingkat kemasakan benih, ukuran benih, dormansi, penghambat perkecambahan; dan faktor luar yang meliputi: air, suhu, oksigen, cahaya, dan medium (irwantoshut.net). Proses keberhasilan perkecambahan ulin ditandai adanya perubahan warna biji dari coklat berubah menjadi hijau. Kemudian pada bagian ujung biji akan membengkak dan keluar tunas serta akar (Gambar 7). Dengan penerapan metode skarifikasi dan penyungkupan seperti dijelaskan di atas, perkecambahan dimulai pada hari ke-33 setelah penaburan (Leksono, dkk., 2000). Hasil yang tidak jauh beda juga dilaporkan Nugroho (2006) yang mengatakan keluarnya tunas ulin dimulai pada hari ke-26 setelah penaburan, terbanyak pada hari ke-44 dan lamakelamaan mengalami penurunan (Gambar 8). Daya berkecambah mencapai 94%, kecepatan berkecambah sebesar 47,68 hari dan keserempakan berkecambah sebesar 55,32%.
Gambar 7. Proses benih berkecambah (Foto: Agung, 2005)
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
135
Prosiding Lokakarya Nasional
16
Jumlah Kecambah
14 12 10 8 6 4 2 0 26
34
42
50
58
66
74
82
90
98
Hari Ke -
Gambar 8. Grafik perkecambahan ulin. B. Penyapihan Penyapihan merupakan kegiatan memindahkan bibit dari bedeng tabur ke medium di bedeng sapih/polybag. Bibit dengan jumlah daun sebanyak empat helai, batang kuat, segar, dan sehat merupakan ciri-ciri visual bibit siap sapih (Gambar 9). Proses penyapihan ini harus dilakukan secara hati-hati, diusahakan agar benih tidak terlepas dari bibit dan akar tidak terlipat. Polybag menggunakan ukuran 25 cm x 20 cm yang telah diisi dengan media. Bahan-bahan organik (seresah, serbuk gergaji) yang telah terdekomposisi dapat digunakan sebagai media sapih karena selain banyak/melimpah di alam, media ini lebih murah, ramah lingkungan, pH mendekati netral, dan mengandung unsur hara yang lengkap. Media sapih dari bahan organik yang telah terdekomposisi (serbuk gergaji, seresah, dll.) memberikan respon pertumbuhan yang sama bahkan lebih baik dari media tanah murni terhadap pertumbuhan bibit ulin di persemaian (Leksono, dkk., 2000; Nugroho, 2007).
136
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknik Pembibitan Ulin… (Agung Wahyu Nugroho)
Gambar 9. Semai siap sapih (Foto: Agung, 2005). C. Pemeliharaan Pemeliharaan bibit ulin dilakukan secara teratur meliputi: penyiraman, weeding, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilaksanakan secara teratur setiap 2 – 3 hari sekali atau ketika media sudah mulai mengering. Untuk efisiensi penyiraman, bibit dalam polybag dapat ditempatkan dalam bedeng-bedeng dengan menggunakan sistem genangan (alas bedeng diberi alas plastik dan diisi air 1/5 bagian polybag) dan diberi naungan (Gambar 10).
Gambar 10. Persemaian dengan sistem genangan dan naungan (Foto: Agung, 2011)
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
137
Prosiding Lokakarya Nasional
Tujuan penggunaan naungan untuk mendapatkan intensitas cahaya yang optimal bagi pertumbuhan bibit. Naungan dapat menggunakan paranet dengan intensitas naungan sebesar 75% (Puryono dan Setyono, 1996). Untuk menghindari serangan jamur, dilakukan penyemprotan fungisida (Dithane M-45 dengan dosis 2 g/lt) setiap 15 hari sekali. Untuk memacu pertumbuhan, dilakukan penyemprotan pupuk organik cair setiap 10 hari sekali dan pupuk daun (Gandasil D) dengan dosis 1 g/lt setiap 10 hari sekali. Pembersihan gulma (rumput) dilakukan rutin setiap 1 bulan sekali. Hal yang perlu diperhatikan jika menggunakan sistem genangan dan media sapih dari bahan organik adalah serangan penyakit bercak daun. Gejala serangan diawali dengan terbentuknya daerah yang mati pada daun (nekrosis), warna bercak keabu-abuan di bagian tengah dan disekelilingnya berwarna coklat kekuningan. Bercak tersebut kemudian meluas ke seluruh areal daun sehingga daun menjadi layu, kering, dan akhirnya rontok (Gambar 11). Upaya pencegahan dan pengendalian timbulnya penyakit ini adalah: penggunaan benih yang sehat dan steril, sterilisasi media tabur dan sapih, pengaturan kelembaban, aplikasi fungisida yang bijak, dan segera isolasi bibit bila terserang penyakit.
Gambar 11. Gejala daun yang terserang penyakit bercak daun.
Bibit pada tingkat sapihan memerlukan waktu 3 bulan agar bibit siap tanam. Pada umur tersebut bibit telah mencapai tinggi rata-rata 43,59 cm, diameter batang rata-rata 5,49 mm, dan jumlah daun rata-rata 9 pasang (Leksono, dkk., 2000).
138
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Teknik Pembibitan Ulin… (Agung Wahyu Nugroho)
IV. PENUTUP Dengan dikuasainya teknik pembibitan ulin yang aplikatif ini, diharapkan dapat berperan dalam mendukung upaya pelestarian ulin. Dimulai dari seleksi benih, pembibitan, dan pemeliharaan yang tepat maka akan dihasilkan bibit dengan kuantitas dan kualitas yang baik pula. Namun hal ini akan kurang bermanfaat bila tidak ada alih informasi dan teknologi ke masyarakat sebagai ujung tombak pelestarian ulin. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif melalui penyuluhan, pelatihan dan diberi apresiasi (reward) dalam perannya menyelamatkan ulin.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2004. Informasi singkat benih No. 43. Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binnend. Fisher, N.M. 1992. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman: fase vegetatif. Fisiologi tanaman budidaya tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Irawan, B. dan F. Gruber. 2004. The importance of sprouting ability in conservation and development of ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) varieties. Deutscher Tropentag. Irwantoshut.net. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih. Diakses pada tanggal 14 Pebruari 2012. IUCN. 2011. IUCN redlist of threatened species. www.iucnredlist.org. Downloaded on 24 May 2012.
Version
2011.2.
Kiyono, Y. dan Hastaniah. 2000. Growth of Eusideroxylon zwageri seedlings and silvicultural changes in logged-over area and burned forest of Bukit Soeharto, east Kalimantan, Indonesia. JARQ. Vol. 34 (1). Leksono, B., A. Saebani dan Wanto. 2000. Pertumbuhan bibit ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) dari beberapa ukuran benih dan jenis media tumbuh. Buletin Teknologi Reboisasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
139
Prosiding Lokakarya Nasional
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir, 2005. Atlas kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor-Indonesia. Nugroho, A.W. 2006. Pengaruh asal sumber benih terhadap pertumbuhan semai ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.). Prosiding seminar peran IPTEK dalam mendukung pembangunan hutan tanaman dan kesejahteraan masyarakat. Kayu Agung-OKI, 7 Desember 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan tanaman. Halaman: 223-227. ____________. 2007. Pengaruh media dan ukuran benih terhadap pertumbuhan semai ulin. Info Hutan Tanaman. Pusat penelitian dan pengembangan hutan tanaman. Bogor. Volume 2 No. 2, September 2007 Hal. 049 – 099. ____________. 2011. Pembangunan kebun konservasi genetik ulin dan kapasitas pemangku kepentingan lokal melalui peningkatan kesadaran dan lokakarya teknis. Laporan teknis. ITTO project PD 539/09 Rev. 1 (F). Kerjasama antara ITTO dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Nurhasybi dan D.J. Sudrajat. 2010. Perbaikan perkecambahan benih ulin (Eusideroxylon zwageri) dengan seleksi dan pengupasan kulit benih. Tekno hutan tanaman vol. 3 No.2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Puryono, Sri K.S. dan Agus Setyono. 1996. Pengaruh jenis media dan naungan serta inokulasi jamur mikoriza terhadap pertumbuhan semai ulin. Buletin Teknologi Reboisasi. BTR Palembang No. 05. Soerianegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1993. Plant resources of south east Asia. timber trees: major commercial timbers. PROSEA Vol. 5 (1): 1-610. Pudoc Scientific Publishers. Wageningen.
140
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
Bidang Pengelolaan Konservasi Sumberdaya Genetik di Kawasan Hutan Produksi
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
141
Prosiding Lokakarya Nasional
142
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
KONSERVASI IN-SITU DIPTEROCARPS (In-Situ Conservation of Dipterocarps) 1 Oleh/By: Susilo Purnomo 2 dan Widiyatno 3
ABSTRACT Tropical rain forest of Indonesia is dominated by dipterocarps family. One of the activities to support sustainability of natural resources in Indonesia, especially to preserve the tropical rain forest biodiversity, is to establish in-situ conservation area. The objective of establishment of in-situ conservation area is to protect some dipterocarps species from extinction and to collect genetic variation of dipterocarps. PT. Sari Bumi Kusuma had two in-situ conservation areas of dipterocarps that were established at compartment of 3.C in year 2003 and at compartment 7.F in 2007. The stages of establishment of in situ conservation area were (1) surveys of flowering and fruiting session, (2) collection of dipterocarps fruits, (3) establishment of the nursery, (4) land preparation and planting, and (5) maintenance and monitoring. The average DBH and height growth of Shorea leprosula at 6 years, at compartment of 3.C, were 10.9 cm and 7.96 m, respectively. In compartment of 7.F, variation on the growth of DBH and height among the species was moderate where the highest variation of DBH and height indicated by Shorea pinanga and the lowest variation of DBH and height found on Shorea johorensis. High variation in growth rates among the species both DBH and height was possible caused by that the planting source was bulk and the objective of establishment in-situ conservation was to collect all genetic traits of each species. So, it could be used for the breeding purposes in the future. Keywords: Dipterocarps, in-situ conservation, shorea sp.
ABSTRAK Hutan alam tropis di Indonesia didominasi oleh jenis dari family dipterocarps. Salah satu upaya konkrit dalam rangka mewujudkan kelestarian sumber daya alam Indonesia khususnya keanekaragaman hayati adalah pembangunan kawasan konservasi in-situ. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melindungi beberapa jenis pohon dari 1
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. 2 Staf PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. 3 Staf Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
143
Prosiding Lokakarya Nasional
kepunahan dan pengkoleksian beberapa variasi genetik dari suatu jenis dipterocarps target. PT. Sari Bumi Kusuma mempunyai dua lokasi tanaman konservasi in-situ yaitu petak 3.C dibangun tahun 2003 dan petak 7.F dibangun tahun 2007. Tahapan kegiatan dalam pembangunan konservasi in-situ adalah (1) survei ketersediaan buah, (2) koleksi buah, (3) pembangunan persemaian, (4) persiapan lahan dan penanaman dan (5) Pemeliharaan tanaman dan monitoring. Pertumbuhan tanaman konservasi in-situ sampai umur 6 tahun jenis Shorea leprosula di petak 3.C menunjukkan rata-rata DBH 10,9 cm dan tinggi 7,96 m. Untuk tanaman konservasi in-situ pada petak 7.F pada umur 3 tahun mempunyai variasi yang cukup besar, dimana variasi tertinggi untuk variabel tinggi dan DBH adalah Shorea pinanga, sedangkan variasi pertumbuhan terendah Shorea johorensis. Tingginya variasi DBH dan tinggi masing-masing jenis diduga disebabkan materi penanaman yang digunakan berupa materi campuran tanpa memperhatikan karakter pohon induknya karena tujuan dari kegiatan ini adalah pengkoleksian semua sifat genetik dari masing-masing jenis sehinga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan breeding di masa mendatang. Kata kunci: Dipterocarps, konservasi in-situ, shorea sp.
I. PENDAHULUAN Hutan tropis di Asia Tenggara mempunyai flora khusus yang berbeda dengan flora yang ada di daerah kering disekitarnya. Keadaan ini digambarkan oleh Steenis (1950) dalam Whitmore (1984), bahwa jumlah species di setiap wilayah berbeda, seperti di perbatasan antara Papua New Guinea dengan Autralia Utara (986 species), perbatasan Filipina Utara dan sekitarnya mencapai 686 species dan di wilayah Kra yang mencapai 575 species. Pendapat ini diperkuat oleh Whitmore (1993) yang menyatakan bahwa proporsi jumlah spesies pohon akan bertambah ke arah timur, yaitu dari Sumatra, Malaya, Borneo dan Filipina Selatan, Sabah bagian Timur. Kekayaan dari hutan hujan tropis juga di gambarkan oleh Van Steenis (1971) dalam Whitmore (1984). Jumlah flora yang ada di Malesia (wilayah yang meliputi Indo-Malaya dan Australia, yaitu Malay Peninsular, Indonesia Bagian Barat, Filipina, Kepulauan Indonesia Bagian Timur, Papua New Guinea dan Australia Utara) diperkirakan mencapai 25.000 jenis tumbuhan berbunga, yang merupakan 10 persen dari total tumbuhan di dunia. Sebagai illustrasi jumlah species yang terdapat di Malaya (Peninsular Malaysia dan Singapura dengan luas sekitar 132.100 km2) mencapai 7.900 species dan 1.500 merupakan jenis tumbuhan berbiji (Whitmore, 1984). Kekayaan flora di Malesia tersebut dapat dilihat dari perbandingan antara jumlah species yang terdapat di Malaya yang memiliki jumlah lebih besar bila dibandingkan di Britis Isles dengan luasan 43% lebih kecil.
144
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
Menurut Whitmore (1984), pertambahan jumlah species di suatu wilayah berbading lurus dengan ukuran sampel plot atau wilayah. Semakin luas suatu wilayah atau sampel plot maka jumlah species yang ada di dalamnya akan semakin banyak. Dari penelitian-penelitian tersebut juga diketahui semakin besar ukuran diameter tanaman di sutau wilayah maka jumlahnya akan semakin kecil (berbanding negatif). Banyak sedikitnya suatu jenis tanaman juga ditentukan oleh lokasi persebaran. Dari point terakhir tersebut, jumlah species di hutan tropis Malesia mempunyai komposisi tanaman yang lebih kaya bila dibandingkan dengan ukuran yang sama di Afrika dan sebagian besar wilayah Amerika. Empat puluh persen dari species yang ada di Malesia merupakan endemic, famili terbesar adalah Orchidaceae 3000-4000 species. Diantara tanaman berkayu, Dipterocarpaceae mempuyai 385 species, Euginia (Myrtaceae) dan Ficus (Moraceae) masing-masing berjumlah 500 species dan Ericaceae 737 species (termasuk 287 Rhododendron, 239 Vaccinium) (Whitmore, 1984). Dipterocarpaceae di Asia tersebar dari Seychelles menyambung Ceylon, Peninsular, India, India timur, Bangladesh, Burma, Thailand, Indho-China, Yunan, Kwangsi, S. Kwantung, Hainan, kemudian menyambung ke Indo-Malaya, Papua dan Filipina (Asthon, 1982). Tingginya keanekaragaman tersebut disebabkan karena kompleknya struktur vegetasi yang terdapat dalam kawasan tersebut, banyaknya pohon-pohon tinggi yang memberikan framework dan lingkungan bagi pohon yang lebih kecil dan tumbuhan lain untuk tumbuh berkembang. Keanekaragaman hayati mempunyai beberapa keuntungan diantaranya adalah keuntungan ekonomi, ekologi dan social (Kate dan Laird, 2000). Menurut Silbaugh dan Betters (1997), keanekaragaman hayati di hutan mempunyai beberapa keuntungan dan komoditas, tidak hanya berupa obat-obatan tetapi juga berupa sumber makanan, produk kayu, serat alam, rekreasi, keuntungan estetik, dan sistem ekologi lainnya. Sehingga secara umum dikatakan bahwa keanekaragan hayati mempunyai peranan yang penting terhadap kelestarian manfaat ekonomi dan pengembangan konservasi. Akan tetapi kegiatan pengelolaan hutan alam Indonesia yang mempunyai misi untuk mengelola hutan secara lestari belum mampu mengurangi laju kerusakan hutan di Indonesia. Hal ini diindikasikan dari menurunnya produkstivitas, jumlah areal konsesi dan jumlah HPH yang beropreasi. Deforestasi tersebut berdampak pada semakin menurunnya daya dukung hutan hujan tropis dalam memperthankan sistem ekologinya. Beberapa dampak langsung yang dirasakan adalah perubahan iklim mikro dan berkurangnya keragaman jenis flora
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
145
Prosiding Lokakarya Nasional
dan fauna sehingga akan menurunkan potensi genetik di level ekosistem dan jenis khususnya dari jenis-jenis dipterocarps sebagai salah satu indigenous species khususnya di wilayah Kalimantan (Widiyatno, 2008). Untuk itu perlu adanya kegiatan kongrit untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan khususnya keanekaragaman dipterocarps. Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam mempertahankan keragaman genetik di level jenis adalah pembangunan kawasan konservasi in-situ dari beberapa jenis dipterocarpaceae target. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melindungi beberapa jenis pohon dari kepunahan dan pengkoleksian beberapa variasi genetik dari suatu jenis dipterocarps target, sehingga diharapkan juga dapat memilih dan mengembangkan jenis tanaman bernilai genetik unggul untuk meningkatkan produktivitas hutan.
II. PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU PT. Sari Bumi Kusuma mempunyai dua lokasi tanaman konservasi in-situ yaitu petak 3.C dan 7.F. Petak 3.C dibangun tahun 2003 yang merupakan kegiatan kerjasama PT. Sari Bumi Kusuma, UGM dan ITTO, sedangkan petak 7.F dibangun tahun 2006, kerjasama PT. Sari Bumi Kusuma, UGM dan Departemen Kehutananan. Tahapan kegiatan dalam pembangunan plot konservasi in-situ adalah (1) survei ketersediaan buah, (2) koleksi buah, (3) pembangunan persemaian, (4) persiapan lahan dan penanaman. Selanjutmya dilakukan pengamatan pertumbuhan tanaman sebagai bentuk kegiatan monitoring. A. Survei Pendahuluan Survei pendahuluan dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2001 dan 2004, dimana tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melihat kelimpahan jenis dipterocarps yang berbuah dan posisi pohon induk yang akan dikoleksi buahnya. Disisi lain kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui masa atau waktu panen raya buah dipterocarpceae. Frekuensi berbunga dan berbuah Dipterocarpaceae berbeda tergantung pada jenis dan sebaran/tempat (Sasaki, 1992). Di Malaka musim berbunga dan berbuah Dipterocarpaceae terjadi antara 2-3 tahun sekali (Appanah dan Weinland,1993). Dilaporkan bahwa musim berbunga dan berbuah terjadi pada tahun 1929, 1931, 1933, 1935 dan 1938. Burgess (1972) berpendapat bahwa sebagian besar jenis
146
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
dipterocarpaceae berbunga secara masal pada interval 2-5 tahun, sedangkan Numata et al. (2003) berpendapat bahwa pembungaan masal terjadi pada interval yang tidak teratur, yaitu 1-6 tahun. Pembungaan di hutan tropis dataran rendah dari tahun 1980-2002 terjadi sedikitnya sebanyak 11 kali. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Numata et al. (2003) pola pembungaan dipterocarpaceae dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Studi pembungaan Dipterocarpaceae di Hutan Pasoh, Peninsula Malaysia Tahun
Awal berbunga (bulan)
Pembungaan
1981
Oktober
Masal
1983
Agustus
Sporadik
1985
September
Masal
1986
September
Sporadik
1987
Maret
Sporadik
1989
Maret
Sporadik
1990
April
Tidak diketahui
1996
Maret
Masal
1999
Oktober
Sporadik
2001
Agustus
Sporadik
2002
Maret
Masal
Sumber: Numata et al. 2003. Keterangan: pada tahun 1984, 1988 dan 1991-1995 tidak tersedia informasi dan tidak ada laporan terjadinya pembungaan masal.
Berdasarkan pengamatan di PT Sari Bumi Kusuma, pembungaan dan pembentukan buah dipterocarpaceae yang terjadi dalam tiga periode terakhir terjadi pada: (1) Oktober 2001 s/d Januari 2002; (2) Oktober 2004 s/d Januari 2005 dan (3) Oktober 2009-Februari 2010. (Subiakto, 2006; Widiyatno dkk, 2005 dan Widiyatno dkk, 2010). Beberapa jenis diapterocarps yang sudah berbuah adalah jenis-jenis tengkawang (Gambar 1).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
147
Prosiding Lokakarya Nasional
a
b
c
Gambar 1. Kondisi dan sebaran buah pada tajuk atau ranting a. S.leprosula, b. S.stenoptera, c. S.pinanga.
B. Koleksi Buah Konservasi in-situ adalah bagian dari konservasi keanekaragaman hayati (species) di lokasi tempat tumbuhnya. Konservasi in-situ lazimnya per species target yang dihimpun dari beberapa persebaran populasi species yang bersangkutan di areal konsesi PT. Sari Bumi Kusuma. Pengambilan dan pengangkutan buah sebagai sumber plasmanutfah jenis yang dikonservasi merupakan bagian dari kegiatan eksplorasi (Gambar 2).
Gambar 2. Pengambilan dan pengangkutan buah dipterocarpaceae hasil explorasi.
148
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
Pohon koleksi adalah jenis Shorea leprosula pada tahun 2002 dan jenis S. leprosula, S. platyclados, S. parvifolia, S. johorensis, S. pinanga dan S. stenoptera pada tahun koleksi 2005. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas jumlah jenis dan potensi genetik dari pohon induk. Buah yang telah dikumpulkan (hasil eksplorasi) juga dikirimkan ke beberapa HPH, diantaranya adalah PT Musi Hutan Persada dan Perum Perhutani (tahun 2001); dan PT Suka jaya Makmur, PT Erna Djuliawati dan PT Sarpatim (tahun 2005). Kegiatan ini merupakan penyebarluasan potensi genetik spesies. Pengitriman buah dilakukan dalam waktu 5 hari setelah benih terkoleksi, dimaksudkan agar buah sudah sampai di tempat persemaian kurang dari 10 hari sejak buah tersebut dikumpulkan. Pembatas utama dalam kegiatan eksplorasi jenisjenis ini adalah sifat bijinya yang recalsitran sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu lama (7 hari sudah berkebambah). C. Penaburan dan Pemeliharaan di Persemaian Setelah biji sampai di persemaian, segera di tabur dalam bedeng sapih atau langsung ke polybag. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan keruskan biji dan meningkatkan daya kecambahnya. Kegiatan pemeliharaan dipersemaian berlangsung selama 7-8 bulan. Tahapan penanganan biji dan perkembangan semai dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Alur penanganan biji tengkawang di persemaian (penaburan, penyapihan dan pemeliharaan). D. Penyiapan Lahan dan Penanaman Luas areal total untuk pembangunan plot konservasi in-situ pada petak 3.C dan 7.F masing-masing adalah 20 dan 75 ha. Plot konservasi yang dibangun di petak 3.C hanya satu jenis Shorea leprosula dengan jarak tanam 5 m x 5 m dengan
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
149
Prosiding Lokakarya Nasional
jumlah tanaman sebanyak 7.747 batang sedangkan di petak 7.F enam jenis tanaman yaitu Shorea leprosula, Shorea macrophylla, Shorea parvifolia, Shorea platyclados, Shorea pinanga dan Shorea stenoptera. Komposisi luasan dan jumlah bibit untuk masing-masing jenis dalam petak 7.F disajikan pada Tabel 2, penanaman dilakukan dengan jarak tanam 20m x 5 m Sehingga dalam 1 ha terdapat sekitar 100 tanaman (Gambar 4). Tabel 2. Komposisi Luasan dan Jumlah Bibit per Spesies untuk Pembangunan Konservasi In- situ pada petak 7.F (Tahun Koleksi 2005) No 1 2 3 4 5 6
Jenis Shorea leprosula Shorea macrophylla Shorea parvifolia Shorea platyclados Shorea pinanga Shorea stenoptera Jumlah
Luas netto (Ha)
Jumlah bibit
20 5 20 20 5 5 75
2.500 625 1.250 2.500 625 625 8.125
5m 20 m
Jalur antara 17 m
Jalur bersih 3 m
Gambar 4. Layout pertanaman bibit dalam plot dipterocarpaceae di PT Sari Bumi Kusuma.
150
konservasi
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
in-situ
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
III. MONITORING PERTUMBUHAN TANAMAN Tanaman Dipterocarpaceae termasuk dalam kategori pertumbuhan lambat. Sebagian besar tanaman komersial dipterocarpaceae membutuhkan cahaya dalam jumlah banyak dan ruang yang optimal untuk pertumbuhan yang maksimum (Weinland,1998). Tingkat pohon atau tiang mebutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, sedangkan semai atau anakan dipterocarpaceae membutuhkan naungan atau pelindung. Berdasarkan hasil pengukuran Ng dan Tang (1974) di Plot Penanaman Kepong, diketahui bahwa S.macrophylla, D.kerii, S.parvifolia, Anisoptera scaphula, S.platyclados dan Dryobalanops oblongfolia mempunyai rata-rata riap diameter diatas 2 cm. Pertumbuhan tanaman dalam plot konservasi in-situ di PT. Sari Bumi Kusuma sampai dengan umur 6 tahun, untuk jenis Shorea leprosula di petak 3.C dari 10 plot (800 sampel pohon) yang diamati, rata-rata DBH adalah 10,9 cm dan tinggi 7,95 m (Gambar 5).
Gambar 5. Perkembangan tanaman S.leprosula umur 6 tahun dalam plot konservasi in-situ dipterocarpaceae petak 3.C, PT. Sari Bumi Kusuma Pertumbuhan tanaman konservasi in-situ pada petak 7.F umur 3 tahun mempunyai variasi yang cukup besar, dimana variasi tertinggi untuk variabel tinggi dan DBH adalah S.pinanga, sedangkan variasi pertumbuhan terendah S.johorensis (Tabel 3 dan Gambar 6).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
151
Prosiding Lokakarya Nasional
Tabel 3. Rerata pertumbuhan tanaman dipterocarpaceae umur 3 tahun dalam plot konservasi in-situ petak 7.F, PT. Sari Bumi Kusuma No. 1 2 3 4 5 6
Jenis S.johorensis S.leprosula S.parvifolia S.pinanga S.platyclados S.stenoptera
Tinggi (m) Rerata SD 4,57 0,85 4,53 1,04 4,61 0,94 4,97 1,23 4,35 0,69 4,41 1,14
DBH (cm) Rerata SD 5,92 1,11 5,77 1,77 5,42 1,50 6,52 2,28 5,21 1,17 5,00 1,57
Keterangan: SD=standar deviasi.
Tingginya variasi DBH dan tinggi masing-masing jenis dapat disebabkan oleh beragamnya materi bibit yang ditanam yang berasal dari sejumlah pohon induk. Penanaman masih menggunakan materi penanaman campuran tanpa memperhatikan karakter pohon induknya karena tujuan dari kegiatan ini adalah pengkoleksian semua sifat genetik dari masing-masing jenis sehinga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan breeding di masa mendatang. Variasi genetik yang terdapat dalam plot konservasi in-situ berguna untuk mencari pohon plus yang mempunyai pertumbuhan terbaik baik dari berbagai sifat, baik pertumbuhan/dimensi tanaman (tinggi, DBH dan kelurusan batang) maupun tingkat ketahanannya terhadap serangan hama penyakit (Zaki et al., 2002).
S.platyclados
S.leprosula
S.stenoptera
Gambar 6. Tanaman dipterocarpaceae umur 3 tahun dalam plot konservasi in-situ petak 7.F, PT Sari Bumi Kusuma.
152
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Konservasi In-Situ Dipterocarps… (Susilo Purnomo dan Widiyatno)
IV. KESIMPULAN 1. Pembangunan plot konservasi in-situ merupakan salah satu kegiatan untuk pengkoleksian potensi genetik dari jenis dipterocarps potensial. Hal ini penting untuk mengurangi dampak kegiatan pemanenan yang cenderung melakukan penebangan pada tanaman komersial (khususnya dipterocarps) yang mempunyai fenotipik baik sehingga dimungkinkan akan meyebabkan penurunan potensi genetik dari jenis-jenis dipterocarps. 2. Berdasarkan performa pertumbuhan tanaman (tinggi dan DBH), diketahui bahwa variasi pertumbuhan tinggi dan DBH masing-masing adalah 15-25% dan 18-34%, untuk itu perlu adanya penambahan/infusi jenis Dipterocarps dari provenan lain sehingga akan memperkaya potensi genetik di wilayah PT SBK.
DAFTAR PUSTAKA Appanah, S. and G. Weinland. 1993. Planting Quality Timber Trees In Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Malayan Forest Record No. 38. Asthon, P.S. 1982. Dipterocarpaceae. Flora Malesiana, Series I, 92: 237:552. Burgess, P.F. 1972. Studies on Regeneration of The Hill Forest of The Malay Peninsula: The Phenology of Dipterocarps. Malaysian Forester. Vol: 35, No.2/103-123. Kate, K.T. and S.A. Laird. 2000. The Commercial Use of Biodiversity : Access to genetic resources and Benefit-Sharing. Earthscan Publications Ltd. London. Ng, F.S.P. dan H.T. Tang. 1974. Comparative growth rates of Malaysian Trees. Malaysian Forester 37: 2-23. Numata, S., M. Yasuda, T.Okuda, N. Kachi dan N.S.M. Noor. 2003. Temporal And Spatial Patterns Of Mass Flowerings On The Malay Peninsula. American Journal of Botany Vol; 90(7): 1025–1031. Sasaki, S. 1992. Ecology and Physiology of Dipterocarpaceae. Dalam F.Kobayashi (eds.) Proceedings of Tsukuba-Workshop BIO-REFOR. Tsukuba. Pp. 38-54. Silbaugh, J.M. and D.R. Betters. 1997. Biodiversity Values and Measures Applied to Forest Management. In O. T. Bouman dan D. G. Brand (Eds.) Sustainable
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
153
Prosiding Lokakarya Nasional
Forest: Global Challenges and Local Solution. Food Product Press and An Imprint of The Hawort Press, Inc. New York-London. Subiakto, A. 2006. Irregular Flowering Pattern. Dalam A.Rimbawanto (Eds). Silviculture Systems of Indonesia’s Dipterocarps Forest Management A Lesson Learned. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan ITTO. Tecnical Report: ITTO Project PD 41/00 Rev. 3 (F,M). Pp. 21-23. Whitmore, T.C. 1993. An Introduction To Tropical Rain Forest. Second Edition. Oxford University Press. New York. Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Second Edition. Clarendon Press. Oxford. Weinland, G. 1998. Plantation.. Dalam S. Appanah and J.M. Turnbull eds. A Review of Dipterocarpaceae: Taxonomy, Ecology and silviculture. Centre for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. pp. 151-185. Widiyatno. 2008. Evaluasi Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Di PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Fakulttas Kehutanan UGM, Yogyakarta (thesis, tidak dipublikasikan). Widiyatno, S. Indrioko, P. Nugroho, S. Utomo, Saminto, Mulyadi dan Taufik. 2010. Laporan Eksplorasi Tengkawang 2010 di PT Sari Bumi Kusuma. Fakultas Kehutanan UGM dan PT Sari Bumi Kusuma. Yogyakarta. Widiyatno, T.M. Hasnah dan H. Wibowo. 2005. Laporan Perjalanan Dinas Asisten Dalam Rangka Pendampingan Persiapan Uji Coba Progeny, Konservasi Ex Situ Uji Tanaman Dan Uji Coba Jenis Di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah 13 – 22 Oktober 2005. Fakultas Kehutnan UGM, PT. SBK dan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Zaki, A.M., A.G.A. Rasip, M.M. Noor dan A.J.A. Rahman. 2002. Early Assesment of Shorea leprosula Progeny Tryal. Dalam H. Aminah, S. Ani, H.C. Sim & B. Krishnapillay (Eds). Proceeding of the seventh round-table Conference Dipterocarps (pp. 90-94). Asia Pacific Association of Forest Research Institutions (APAFRI). Malaysia. ISBN: 983-2724-13-9PP; 90-94.
154
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
PELAKSANAAN KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK POHON HUTAN JENIS ULIN DI PT. ITCI KARTIKA UTAMA (Genetic Conservation of Ironwood at PT.ITCI Kartika Utama) 1 Oleh/By: Agung Priyo Sarjono 2 dan Taufiqurrahman 3
ABSTRACT Unwise forest exploitation can reduce forest genetic resource potency, hence some potential tree species like ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) has been being threatened to extinct. To reduce the rate of ironwood genetic erosion, an area of 120 ha for ironwood genetic resources preservation has been determined in concession area of PT ITCI Kartika Utama in year 1996. The area has focussed for ironwood seed source to provide planting stocks for plantation. However, natural regeneration of the ironwood seed stand was low, only few wildlings found on the forest floor. Result of the inventory taken in year 2001 indicated that potency of the ironwood seed stand was decreased, number of good condition mother trees diminished. Some of the mother trees were damaged and dead. To increase the number of ironwood natural regeneration on the forest floor, it is needed to do thinning to the other tree species surrounding the ironwood mother trees. The area should be supervised and controlled regularly to maintain and to prevent tree damage and cutting. The PT ITCI company offer opportunities to researchers to do some aspects of research, especially in biology reproduction to increase natural regeneration of the ironwood. Keywords: Forest exploitation, genetic resources, ironwood, natural regeneration, seed source.
ABSTRAK Dampak dari kegiatan eksploitasi hutan yang kurang tepat mengakibatkan menurunnya potensi sumberdaya genetik hutan sehingga beberapa jenis pohon potensial (mempunyai nilai ekonomi tinggi) seperti ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) mulai terancam kepunahan. Untuk menekan laju erosi genetik jenis 1
Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. 2 Asdir PT. ITCIKU Jakarta. 3 Manager Pembinaan Hutan PT. ITCIKU.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
155
Prosiding Lokakarya Nasional
ulin, pada tahun 1996 telah ditetapkan kawasan pelestarian sumberdaya genetik berupa tegakan benih ulin di areal IUPHHK PT ITCI Kartika Utama seluas 120 ha. Kawasan sumberdaya genetik ini merupakan kawasan pelestarian sumber benih ulin sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengembangan melalui pembibitan dan penanaman. Namun diketahui bahwa tingkat permudaan dari tegakan benih ulin tersebut rendah, yang ditunjukkan oleh sedikitnya jumlah anakan di lantai hutan. Hasil inventarisasi pada tahun 2001 menunjukkan kondisi tegakan benih ulin telah mengalami penurunan potensi, jumlah pohon dengan kondisi baik berkurang dan terjadi kerusakan dan kematian pohon. Untuk meningkatkan jumlah permudaan ulin di lantai hutan perlu dilakukan penjarangan terhadap jenis pohon lain di sekitar pohon induk ulin. Pengawasan areal tegakan benih untuk menghindari penebangan dan pengrusakan pohon perlu dilakukan secara terus menerus. Pihak PT ITCI Kartika Utama memberi kesempatan kepada para pihak (peneliti) untuk melakukan penelitian terutama untuk meningkatkan potensi regenerasi ulin. Kata kunci: Eksploitasi hutan, sumberdaya genetik, ulin, permudaan, sumber benih.
I.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis, ekologis, dan sosial budaya sehingga hutan secara terus menerus dikelola untuk mendapatkan produk-produk/hasil hutan terutama kayu. Dampak dari pengelolaan melalui kegiatan eksploitasi hutan yang kurang tepat akan mengakibatkan menurunnya potensi plasma nutfah yang merupakan sumberdaya genetik hutan dimasa depan atau dengan kata lain terjadinya erosi genetik pada jenis-jenis tertentu. Hal ini mengakibatkan banyak jenis-jenis potensial tumbuhan hutan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi di berbagai wilayah hutan mulai terancam kepunahan. Sebagai langkah awal dalam menekan laju erosi genetik pada jenis-jenis bernilai ekonomi tinggi, seperti jenis ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) maka dilakukan suatu upaya untuk membuat kawasan pelestarian sumberdaya genetik berupa tegakan benih jenis ulin. Jenis kayu ulin sudah cukup lama dikenal sebagai kayu yang awet dan tahan lama. Kebutuhan bahan bangunan khususnya kayu ulin di wilayah Kalimantan Timur cukup tinggi, karena jenis kayu ini sering digunakan oleh masyarakat untuk bahan pondasi dan rangka rumah, atap dan pagar. Begitu tingginya nilai jenis kayu ulin ini namun masyarakat kurang hati-hati dan kurang peduli akan kelestariannya sehingga terus menebang pohon ulin. Sementara, diketahui bahwa kayu ulin ini merupakan jenis kayu yang pertumbuhannya sangat lambat, budidaya masih terbatas baik ekologis maupun reproduksi (regenerasi) dan terbatasnya teknik silvikultur dan pengadaan bibit yang
156
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
berkualitas. Dengan adanya penunjukan kawasan sumberdaya genetik jenis yang mulai langka khususnya kayu ulin yang ada di areal hutan PT. ITCI Kartika Utama dapat mendukung konservasi jenis ulin termasuk keragaman genetiknya sehingga keberadaannya dapat terjaga dan memungkinkan dapat dilakukan pengembangan melalui pembibitan, dan penanaman pada areal hutan yang perlu di restorasi. Kawasan sumberdaya genetik yang telah dibuat di PT. ITCI Kartika Utama, disebut dengan nama Tegakan Benih, yang mana merupakan kawasan pelestarian sumber benih ulin yang bertujuan untuk mengkonservasi, mengelola dan memanfaatkan materi-materi genetik dari spesies yang terseleksi yang mungkin dalam keadaan beresiko tinggi serta memelihara secara terus menerus keaneragaman genetik tersebut dalam upaya pelestarian untuk produksi benih. Beberapa kriteria umum yang digunakan untuk menentukan sumber benih tersebut antara lain: spesies dan populasi dengan resiko erosi genetik berat, terancam punah, permudaannya langka atau daya hidupnya rendah. Karakteristik dalam penunjukan pohon sebagai pohon induk antara lain: tidak ada kerusakan pohon, batang lurus, pohon dalam kondisi sehat dan tidak cacat, tajuk pohon dominan, posisi tajuk tersebar dan terhindar dari persaingan mendapatkan matahari serta rata-rata berdiameter 40 cm ke atas. Kriteria ini tidak bersifat mutlak tergantung karakteristik dari jenis yang akan dikonservasi.
II. METODE PELAKSANAAN A. Kriteria Pemilihan Pohon Sumber Genetik 1. Spesies Tujuan. Terdapat spesies tujuan dalam jumlah yang cukup dengan diameter pohon induk minimal 20 cm. 2. Fenotip Pohon. Pohon yang akan dipilih memiliki fenotip yang baik antara lain bentuk batang lurus, silinder, bebas cabang tinggi, diameter besar, tajuk menempati lapisan yang dominan, pohon tumbuh sehat (tidak diserang hama dan penyakit). 3. Produksi Benih. Berkemampuan memproduksi benih atau bahan perbanyakan tanaman yang diperlukan baik untuk penanaman maupun penelitian. Salah satu indikator adalah terdapatnya anakan alam tingkat semai yang cukup banyak disekitar pohon induknya. 4. Kesuburan Tanah. Kesuburan tanah cukup baik yang ditandai dengan kenampakan tegakan lebih baik dari tegakan sekitarnya.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
157
Prosiding Lokakarya Nasional
5. Aksesibiltas. Untuk memudahkan pengelolaan sumber genetik dan pengawasannya, maka perlu diperhatikan agar lokasi mudah didatangi, dekat dengan jalan angkutan. Selain itu sedapat mungkin dipilih areal yang datar atau landai agar memudahkan pengumpulan materi genetik maupun pemeliharaannya. B. Proses Penunjukan Kawasan Sumber Genetik 1. Pengumpulan Informasi. Kegiatan ini dilakukan sebelum pelaksanaan orientasi lapangan dimulai, maksudnya agar diperoleh data dan informasi yang lengkap tentang keadaan lingkungan dan tegakan yang akan ditunjuk. 2. Pemilihan Calon Lokasi. Pemilihan lokasi sumber genetik didasarkan pada pertimbangan potensi jenis tujuan yang ada dan aksesibilitasnya. Lokasi ditetapkan berdasarkan analisis dan penalaran data sekunder, kemudian pemeriksaan lapangan untuk menentukan potensi tegakan sebagai penghasil benih (materi genetik). 3. Orientasi Pendahuluan. Setelah calon lokasi sumber genetik yang memenuhi syarat ditetapkan, dilakukan orientasi pendahuluan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara mendatangi semua calon lokasi sumber genetik yang telah ditetapkan pada tahapan pengumpulan informasi. 4. Inventarisasi Tegakan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah pohon dan penyebarannnya. Inventarisasi dilakukan secara total dengan petak ukur 20x20 m, dengan mendata jenis tujuan dan jenis penting lainnya. Diameter batang diukur setinggi dada, 130 cm atau diameter 20 cm diatas banir kalau banirnya lebih tinggi dari 130 cm. Dari hasil pengukuran pada sampel plot selanjutnya dikonversi dalam satuan batang per ha (batang/ha). Dari kegiatan inventarisasi akan diperoleh data antara lain jenis pohon tujuan, jenis potensi lainnya dan jumlah pohon per ha. 5. Pengukuran dan Pemetaan Areal. Tegakan sumber genetik yang ditunjuk, diukur luasannya serta dibuat pembatas selebar ± 2 meter mengelilingi areal. Selanjutnya dibuat tanda batas berupa patok kayu yang awet mengelilingi areal sumber genetik tersebut (Gambar 1), kemudian digambarkan dalam peta.
158
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
Gambar 1. Patok kayu penanda batas areal. C. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan untuk menunjang kelancaran kegiatan dilapangan antara lain kompas, klinometers, tali nilon, meteran roll, cat dan kuas, peta kerja, milimeter blok, tally sheet, phiband, alat tulis menulis, kalkulator, parang dan lain-lain. D. Waktu dan Tahapan Pelaksanaan Pelaksanaan pembuatan plot sumberdaya genetik jenis ulin dilakukan pada bulan April 1996. Pada bulan November 2001 dilakukan pendataan pohon kembali untuk mengetahui potensi yang ada. Setelah dilakukan pengumpulan informasi, pemilihan calon lokasi, survei areal, inventarisasi tegakan, penunjukan tegakan dan pengukuran serta pemetaan maka dilakukan pemasangan papan nama, pencegahan hama dan penyakit, penandaan pohon induk serta pengamanan/pengawasan areal. 1. Pemasangan Papan Nama Areal sumber genetik dilengkapi dengan papan nama yang memberikan gambaran umum sumber genetik. Papan nama dibuat dari bahan yang kuat dan awet sehingga tahan lama (Gambar 2).
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
159
Prosiding Lokakarya Nasional
Gambar 2. Papan nama penanda lokasi kawasan sumber genetik. 2. Pencegahan Gangguan Hama dan Penyakit Pencegahan gangguan hama dan penyakit belum maksimal dilakukan sehubungan keterbatasan pengetahuan. 3. Penandaan Pohon Induk Pohon induk yang ada secara bertahap dipetakan dan diberi tanda yang jelas agar mudah dilihat. (Gambar 3). Tanda yang diberikan berupa plat seng. Penggunaan plat seng diharapkan dapat bertahan lama sehingga memudahkan untuk pengamatan berikutnya. Pohon induk diberi nomor yang berurutan, penomoran dimulai pada tiap blok atau petak.
Gambar 3. Model penanda pohon induk.
160
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
4. Pengamanan/pengawasan Areal Pengawasan areal sumber genetik ulin dilakukan dengan cara patroli berkala oleh staf Bagian Litbang Hutan PT. ITCI Kartika Utama. Selain itu untuk pengamanan areal sumber genetik ditangani oleh Tim Pengamanan Gardawana Nusantara (Gambar 4) yang memiliki pos-pos penjagaan yang terletak pada beberapa tempat di areal PT. ITCI Kartika Utama.
Gambar 4. Tim Pengamanan Gardawana Nusantara. E. Riset Pendampingan Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan sarana pendukung lainnya, maka PT. ITCI Kartika Utama memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya genetik ulin. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat membantu PT. ITCI Kartika Utama menentukan tindak lanjut kebijakan yang dapat dilakukan sehingga pengelolaan sumber genetik tersebut lebih bermanfaat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Lokasi sumberdaya genetik ulin terletak pada IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama yang berada di Kelurahan Maridan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
161
Prosiding Lokakarya Nasional
Penajam Paser Utara, Propinsi Kalimantan Timur. Areal sumber genetik tersebut berada di Jalan 5000, Km. 42 dari Base Camp Kenangan, terletak di petak 58, 48, 47 dan 57 Town Ship T4N-R1W dengan luas total 120 ha. Luas masing-masing petak disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas masing-masing petak areal sumberdaya genetik ulin No.
Petak
Luas (Ha)
1 2 3 4
58 48 47 57
39 19 19 43 120
Total
Untuk mencapai lokasi sumber genetik jenis ulin dari base camp Kenangan Kelurahan Maridan, Kecamatan Sepaku, Kebupaten Penajam Paser Utara dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan cara menggunakan kendaraan lapangan yang melewati jalan operasional PT. ITCI Kartika Utama, kondisi jalan sudah diperkeras dengan batu sehingga pada saat hujan jalan tersebut masih dapat dijangkau dengan mudah. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh dari base camp Kenangan sampai ke areal pelestarian sumber genetik jenis ulin kurang lebih 1-1,5 jam perjalanan. Peta lokasi sumber genetik ulin disajikan pada Gambar 5. Areal sumber genetik ulin merupakan areal hutan alam yang tidak mengalami kebakaran dan merupakan areal bekas tebangan RKT tahun 2003. PT. ITCI Kartika Utama mengalami musibah kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 pada sebagian besar areal IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama. Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit K/J Spot 1 302/352 tertanggal 5 Juni 1998 oleh Tim IPB Bogor, diperkirakan luas areal yang terbakar adalah seluas ± 171.716 Ha. Musibah kebakaran hutan terbesar di Indonesia yang diakui sebagai bencana nasional. Menurut letak geografisnya sumber genetik ulin terletak diantara 0º53'0" - 0º54'35" Lintang Selatan dan 116º34'62" - 116º35'04" Bujur Timur. Jenis tanah pada areal sumberdaya genetik ulin yang berada pada ketinggian ± 400 m s/d 500 m diatas permukaan laut adalah podsolik, alluvial 4 CE, humus dan orgonosol. Topografi berbukit dengan kisaran kelerengan antara 15 - 23%. Tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm/tahun.
162
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
Gambar 5. Peta Lokasi Sumber Genetik Ulin Pada kawasan sumberdaya genetik, vegetasi hutan didominasi oleh jenis ulin dan meranti (Gambar 6) akan tetapi juga tumbuh beberapa jenis pohon diantaranya jabon, banitan, bangkirai, walur dan marsawa. Areal sumber genetik ulin merupakan areal yang dilindungi, namun demikian areal tersebut tidak aman dari jangkauan masyarakat di sekitar hutan yang mana kadang-kadang mengambil rotan bahkan menebang pohon ulin untuk diambil kayunya yang akan dijadikan sirap ataupun bahan bangunan lainnya.
Gambar 6. Vegetasi hutan pada areal sumberdaya genetik ulin.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
163
Prosiding Lokakarya Nasional
B. Potensi Regenerasi Potensi tingkat permudaan ulin yang diperoleh dari hasil inventarisasi yang dilakukan oleh PT. ITCI Kartika Utama pada bulan April 1999 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran dan potensi ulin pada tingkat semai, pancang dan tiang dalam areal konservasi sumber daya genetik PT.ITCI Kartika Utama Semai Pancang Tiang Luas Plot Luas Plot Luas Plot Batang Batang Batang (Ha) (Ha) (Ha) 58 975 0,4 48 2,4 346 9,8 23 57 1075 0,4 7 2,7 162 10,8 24 47 475 0,2 0 1,2 123 4,8 80 48 475 0,2 9 1,2 63 4,8 27 Total 3000 1,2 64 7,5 694 30,0 154 Rata-rata/Ha 53 92 5 Intensitas sampling: semai 1%; pancang 0,25%; tiang 25%. Petak
PU
Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa regenerasi tegakan ulin termasuk rendah, hal ini karena adanya kelangkaan dalam perkembangan anakan dan musim berbuah ulin yang lama serta biji yang jatuh ke lantai hutan tidak semuanya dapat berkecambah karena banyak yang busuk dan dimakan binatang (Gambar 7).
Gambar 7. Biji dan semai ulin.
164
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
Berdasarkan pengambilan data potensi anakan secara acak, dari 45 pohon yang diambil sampelnya hanya 3 pohon yang memiliki anakan disekitar pohon dan itu jumlahnya sangat sedikit. Kecilnya jumlah anakan ini kemungkinan disebabkan masa berbuah ulin tidak serentak, tambahan pula kondisi tegakan masih rapat sehingga kurangnya sinar matahari yang dapat menembus masuk sampai ke lantai hutan. Sedangkan jenis ulin diketahui sangat membutuhkan cahaya sejak perkecambahan biji hingga tingkat semai dan pancang. C. Evaluasi Potensi Tegakan Secara visual dari pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa ada beberapa pohon ulin yang memiliki tajuk pada posisi dominan (Gambar 8), sedangkan potensi tegakan ulin dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 8. Tajuk pohon ulin pada posisi dominan.
Tabel 3. Hasil pemantauan rata-rata jumlah pohon ulin per ha pada areal Konservasi Sumber Daya Genetik PT. ITCI Kartikam Utama Tahun 1993
Diameter 20 - 49 cm Baik Rusak Mati 5 1 0
Baik 5
Diameter ≥ 50 cm Rusak Mati 1 0
1996
5
0
0
5
0
0
1999
3
2
0
3
2
0
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
165
Prosiding Lokakarya Nasional
Dari tahun 1993 ke tahun 1996 untuk tegakan yang kondisinya baik, tidak mengalami perubahan dalam jumlah, namun untuk tegakan yang kondisinya rusak pada tahun 1996 tidak ditemui lagi serta tidak diketahui apa yang terjadi terhadap tegakan yang rusak pada tahun 1993 tersebut, karena untuk tegakan yang mati pada tahun 1996 juga tidak ada. Hal ini terjadi kemungkinan karena adanya penebangan terhadap tegakan yang rusak pada tahun 1993. Pada tahun 1999 ditemukan adanya penurunan jumlah tegakan yang kondisinya baik dan banyak ditemukan tegakan yang kondisinya rusak. Terjadinya penurunan terhadap jumlah tegakan yang kondisinya baik menjadi rusak dapat berpengaruh terhadap jumlah buah yang akan dihasilkan oleh tegakan ulin dan hal ini dapat mengancam kelanjutan dari regenerasi ulin. Pada tahun 2001 dilakukan inventarisasi tegakan ulin secara umum untuk membandingkan kondisi awal (tahun 1993) dengan kondisi pada tahun 2001 dan diperoleh gambaran umum seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Evaluasi kondisi tegakan ulin di areal Konservasi Sumber Daya Genetik PT. ITCI Kartika Utama Kondisi tegakan
Jumlah pohon per Ha 1993 10
2001 8
Rusak
2
3
Mati
0
1
Baik
Tabel di atas menunjukkan adanya penurunan jumlah pohon yang kondisi baik, dan terjadi kerusakan dan kematian pohon. Hal ini diduga disebabkan adanya penebangan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dimana kayu yang ditebang digunakan untuk membuat sirap dan bahan bangunan lainya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Sumberdaya genetik ulin yang terletak di areal IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama dibuat pada tahun 1996 dengan luas areal ± 120 Ha yang peruntukannya sebagai Tegakan Benih Ulin.
166
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya… (Agung Priyo Sarjono dan Taufiqurrahman)
2. Tegakan benih ulin secara umum dapat dikatakan tingkat permudaannya rendah (kurang permudaan alam), hal ini terlihat dari kurangnya anakan ulin pada lantai hutan. 3. Kondisi tegakan benih ulin telah mengalami penurunan potensi sebagai akibat dari adanya penebangan oleh masyarakat sekitar hutan untuk digunakan sebagai bahan bangunan. B. Saran 1. Dianggap perlu untuk melakukan penjarangan terhadap jenis pohon lain di sekitar ulin untuk memberi kesempatan biji ulin untuk berkembang lebih baik. 2. Perlu ada pengawasan areal secara berkesinambungan baik dari pihak PT. ITCI Kartika Utama maupun dari Instansi Pengamanan Pemerintah agar pengrusakan terhadap tegakan ulin dapat dikurangi. 3. Memberi kesempatan kepada para pihak dan peneliti untuk melakukan penelitian yang berkesinambungan dalam rangka peningkatan regenerasi ulin.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
167
Prosiding Lokakarya Nasional
ANALISIS VEGETASI KAWASAN PERLINDUNGAN TANAMAN UNGGULAN BULIAN (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) DI DISTRIK VIII PT. WIRAKARYA SAKTI, JAMBI (Vegetation Analysis of Ironwood on Conservation Area at PT.Wirakarya Sakti, Jambi) 1 Oleh/By: Bambang Irawan, Mohd. Zuhdi dan Fazriyas 2
ABSTRACT Natural forest ecosystem dominated by ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) can be found in District VIII belongs to PT. Wirakarya Sakti. The vegetation analysis had been conducted to find species diversity and their distribution in the forest area using the systematic random sampling. The species diversity and distribution of species in the forest ecosystem dominated by ironwood is usualy different from other forest types. The ironwood forest had classified as uncommon lowland forest type where in many common lowland forests of Sumatra, Dipterocarpaceae is the most dominant family. The domination of Dipterocarpaceae is replaced by ironwood. It seems that ironwood species is one of the important species that is able to compete with species belonging to Dipterocarpaceae. However, the domination is only restricted in some forest clusters due to limited dispersal mechanisms. The results show that ironwood was the most dominant tree and it grew associatively with 35 tree species. Based on the Shannon-Wiener diversity index, species diversity of the forest area was categorized as low on pole and tree stage respectively while, the diversity was high and moderate on sapling and seedling stage, respectively. Keywords: Eusideroxylon zwageri, ironwood, lowland forest, species diversity.
ABSTRAK Ekosistem hutan alam dataran rendah yang didominasi oleh bulian (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) ditemukan di Distrik VIII PT. Wirakarya Sakti (PT. WKS). Analisis vegetasi dilakukan untuk mendapatkan data keragaman dan 1
Makalah penunjang pada Lokakarya Nasional “Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)” yang diselenggarakan oleh ITTO Project PD 539/09 Rev.1 (F) bekerjasama dengan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, pada tanggal 29 Mei 2012 di Bogor. 2 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Jambi,
[email protected].
168
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Analisis Vegetasi Kawasan… (Bambang Irawan, Mohd. Zuhdi dan Fazriyas)
penyebaran spesies dalam ekosistem hutan alam dengan menggunakan Rancangan Acak Sistematik. Keragaman dan penyebaran spesies dalam ekosistem hutan yang didominasi oleh bulian umumnya berbeda dengan ekosistem hutan yang lain. Umumnya ekosisten hutan dataran rendah didominasi oleh keluarga Dipterocarpaceae tetapi pada hutan bulian, dominansi Dipterocarpaceae mampu digantikan bulian. Hasil penelitian menunjukan bahwa bulian merupakan spesies yang paling dominan dan tumbuh berasosiasi dengan lebih dari 35 spesies pohon (kayu). Berdasarkan indeks keragaman Shannon-Wiener, keragaman spesies pada lokasi penelitian termasuk dalam kategori rendah untuk tingkat tiang dan pohon tetapi masuk dalam kategori tinggi dan sedang untuk tingkat pancang dan semai. Kata kunci: Eusideroxylon zwageri, bulian, hutan dataran rendah, keragaman spesies.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distrik VIII merupakan kawasan eks HPH PT. Loka Rahayu yang masuk dalam konsesi PT. Wirakarya Sakti berdasarkan SK No. 346/Menhut – II/2004 September 2004 dengan luas 52.842 ha. Secara adminsitratif, kawasan ini masuk dalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 12.737 ha, Kabupaten Batanghari seluas 17.201 ha dan Kabupaten Tebo 22.904 ha. Suatu kawasan hutan yang dikelola sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) maka kawasan hutan tersebut dibagi dalam beberapa bagian berdasarkan fungsinya. Penetapan kawasan ini kecuali untuk memenuhi syarat perundang-undangan juga untuk memenuhi kebutuhan operasional pengelolaan. Berdasarkan hal tersebut maka penetapan kawasan dilakukan melaluli deliniasi mikro diperoleh tata ruang kawasan HTI pada distrik VIII diperuntukkan untuk tanaman pokok, tanaman unggulan, tanaman kehidupan, kawasan konservasi, infrastruktur dan kebun/ pemukiman. Penetapan sebagian kawasan HTI menjadi wilayah konservasi atau perlindungan tidak hanya merupakan suatu kewajiban perusahaan tetapi juga sebagi wujud tanggung jawab perusahaan dalam hal perlidungan dan pelestarian flora dan fauna hutan tropis serta ekosistemnya. Wilayah hutan konservasi ini akan menjadi sangat penting mengingat semakin terbatasnya jumlah dan luasan hutan yang memiliki ekosistem bermutu baik untuk menunjang kehidupan flora dan fauna serta masyarakat sekitar. Kawasan ini akan menjadi habitat sekaligus bank pelestarian dan perlindungan sumberdaya genetik flora dan fauna yang akan sangat berguna untuk masa mendatang. Salah satu wilayah konservasi di distrik VIII PT.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
169
Prosiding Lokakarya Nasional
Wirakarya Sakti merupakan kawasan perlindungan bulian. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah sebaran alami bulian di Provinsi Jambi. Kawasan hutan ini sebelumnya merupakan kawasan produksi tetapi mengingat pentingnya komoditas bulian, maka areal ini dijadikan Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian. Tempat hidup bulian adalah hutan dataran rendah dengan ketinggian maksimal berkisar 500 sampai 625 m dari permukaan laut. bulian secara alami tumbuh dan ditemukan di Kalimantan, Sumatera bagian selatan dan tenggara yang meliputi Jambi, Palembang, bengkulu, Siak dan indragiri dan lampung, Sumatera barat bagian selatan, Sijunjung dan kepulauan Tawi-Tawi (Filipina). Tumbuh diantara jenis dipterocarpaceae, dan di beberapa lokasi bulian tumbuh sebagai spesies yang dominan. Dari semua kawasan penyebaran alami bulian, saat ini hanya ada beberapa kawasan yang masih bisa ditemukan bulian dalam jumlah yang memadai seperti di Kalimantan, Jambi dan Sumatera Selatan itupun populasinya semakin berkurang sejalan dengan penebangan tanpa diikuti upaya penanaman yang mencukupi (Beekman, 1949; Suselo, 1987; MacKinnon, et al., 1997; Irawan, 2005). Bulian mempunyai areal penyebaran yang terbatas. Hal ini disebabkan biji yang berukuran besar dan berat sehingga hanya dapat menyebar dengan menggelinding mengikuti kemiringan lahan, sehingga biji terkumpul di cekungan, lembah atau tepi sungai. Karena sifat penyebaran yang demikian maka hutan bulian umumnya ditemukan di dataran rendah, tepi sungai dan umumnya tumbuh dalam bentuk kelompok-kelompok. Kelompok hutan bulian yang lain di Provinsi Jambi diantaranya kelompok hutan Senami, Sengkati, dan Durian Luncuk (Irawan, 2005). Bulian/ulin/belian/borneo ironwood (ironwood) (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.), termasuk dalam keluarga Lauraceae (Kostermans, 1957). Bulian merupakan salah satu kayu bangunan yang penting di Indonesia. Kayu ini digunakan untuk membuat peralatan rumah tangga, konsen jendela dan pintu, atap, lantai rumah, dermaga, jembatan, bantalan rel kereta api, kapal dan bangunan berat lainnya. Secara tradisional masyarakat juga menggunakan biji bulian untuk obat memar dan gatal-gatal. Karakteristik penting kayu bulian adalah tahan terhadap serangan rayap, jamur dan serangga tropis lainnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika spesies ini sangat diminati untuk bangunan di seluruh Indonesia (Peluso, 1992). Martawijaya et al. (1989) menjelaskan bahwa karakteristik fisik bulian termasuk kategori istimewa. Kelas kekuatan dan ketahanan nomor satu dengan berat jenis berkisar 0,88 –1,19.
170
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Analisis Vegetasi Kawasan… (Bambang Irawan, Mohd. Zuhdi dan Fazriyas)
B. Tujuan Penelitian Mempelajari keragaman dan penyebaran vegetasi pada kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian di distrik VIII PT. Wirakarya Sakti.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian dilaksanakan pada kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian di distrik VIII PT. WKS. Berdasarkan topografi, kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian seluas 42 Ha ini mempunyai tingkat kemiringan lereng datar hingga berombak. Di dalamnya terdapat aliran sungai, yaitu salah satu cabang dari S. Rengas yang mengumpulkan air dari lereng Bukit Bakar sebelah selatan. Keberadaan sungai ini memang sangat penting bagi tanaman bulian. Anakan bulian memerlukan sekaligus menciptakan agroklimat dengan kelembaban tinggi. Sungai memegang peran penting sebagai penyumbang airnya. B. Metode Pengumpulan Data Pengambilan sampel di setiap lokasi bervegetasi berhutan dilakukan dengan sistem metode systematic random sampling, dengan mencatat jenis tanaman/ tumbuhan dalam daftar jenis (species list) dan untuk analisis vegetasi melalui petak kuadrat (Quadrate method) pada lokasi terpilih secara acak dibuat beberapa buah petak contoh pertelaan berupa petak kuadrat yang berukuran besar untuk pohon (20 m x 20 m) dan di dalamnya dibuat pula petak lebih kecil untuk tiang, pancang dan semai (10 m x 10 m, 5 m x 5 m dan 2 m x 2 m). Jarak antar petak sampling adalah 100 m sedangkan jarak antar jalur petak sampling 200 m. Untuk meningkatkan akurasi data pengamatan maka pengamatan jalur selebar 10 m di bagian kiri dan 10 m di bagian kanan dilakukan untuk pengamatan tingkat pohon pada jalur antar petak sampling. Data yang akan didapat meliputi jenis pohon, jumlah individu masing-masing jenis dan diameter batang. C. Parameter dan Analisis Data 1. Indek Nilai Penting Angka Indek Nilai penting diperoleh dari rumus sebagai berikut:
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
171
Prosiding Lokakarya Nasional
Kerapatan (K)
: Jumlah individu suatu jenis Luas areal contoh
Kerapatan relatif (KR) : Kerapatan dari suatu jenis x 100% Kerapatan dari seluruh jenis Frekuensi (F)
: Jumlah plot yang ditempati suatu jenis Jumlah semua plot pengamatan
Frekuensi Relatif ( FR) : Frekuensi dari suatu jenis x 100% Frekuensi dari seluruh jenis Dominasi (D)
: Jumlah basal area suatu jenis Luas areal contoh
Dominasi Relatif ( DR) : Dominasi dari suatu jenis x 100 % Dominasi dari seluruh jenis Indeks Nilai Penting (NP) : FR + KR + DR (%) (Curtis and McIntosh, 1951; Mori et al., 1983): 2. Indek Keragaman (H) Untuk melihat keanekaragaman jenis digunakan rumus keanekaragaman jenis dari Shannon–Wiener Diversity Index yaitu: H=-
∑[
(ni ) (ni ) log ] N N
Dimana: H : Indeks diversitas umum ni : Nilai penting dari masing-masing jenis N : Nilai penting dari semua jenis
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil inventarisasi lapangan terhadap komponen vegetasi di lokasi kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian ditemukan ±35 spesies vegetasi pohon hutan. Pada struktur vegetasi tingkat pohon terdapat ±16 spesies pohon, pada tingkat tiang ditemukan ±14 spesies, tingkat pancang 25 spesies dan tingkat semai 27 spesies. Jumlah vegetetasi yang ditemukan ini merupakan jumlah yang terkecil dari kondisi vegetasi semua kawasan perlindungan di Distrik VIII PT. WKS.
172
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Analisis Vegetasi Kawasan… (Bambang Irawan, Mohd. Zuhdi dan Fazriyas)
Keragaman spesies pada tingkat pohon pada kawasan perlindungan tanaman unggulan ini dalam kategori rendah (Shannon Index 2,4). Keragaman ini paling rendah dibandingkan dengan keragaman spesies dari kawasan lindung yang lain. Rendahnya nilai keragaman ini bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas fisik lahan untuk menunjang kehidupan spesies pohon tetapi lebih disebabkan oleh adanya spesies yang sangat dominan yaitu bulian (Eusideroxylon zwageri). Bulian pada tingkat pohon ini mendominasi dengan nilai mencapai 91,25% (Tabel 1) sehingga ruang tumbuh bagi spesies lain menjadi sangat terbatas. Hasil studi ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian yang lain dimana pada hutan bulian keragaman spesiesnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan keragaman ekosistem hutan tropis yang lain (Irawan, 2005). Weidelt (1997) menyatakan bahwa hanya bulian yang mampu berkompetisi dan mengalahkan dominasi dipterocarpaceae pada ekosistem hutan hujan tropis. Walaupun dominasi bulian mencapai 91,25% tetapi penyebaran bulian tidak merata pada kawasan perlindungan, hal ini disebabkan oleh kemampuan benih untuk menyebar sangat terbatas akibat besar dan berat dari buah dan biji. Buah dan biji bulian hanya dapat menyebar secara barochory (gravitasi dan kelerengan). Sehingga bulian akan tumbuh dalam klaster-klaster tertentu (Irawan, 2005). Tabel 1. Sepuluh spesies dominan pada tingkat pohon di Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian Distrik VIII PT. WKS Nama
Kerapatan Frekuensi Dominasi Relatif Relatif Relatif 30,26 30,26 91,25
INP
Lokal Bulian
Botani Eusideroxylon zwageri
Meranti merah
Shorea sp.
3,95
3,95
0,32
8,21
Meranti kuning Shorea sp.
3,95
3,95
0,13
8,03
Meranti putih
Shorea sp.
6,58
6,58
1,61
14,77
Arang-arang
Trenstromeia sp.
3,95
3,95
0,11
8,00
Kasai
Pometia sp.
3,95
3,95
0,15
8,04
Kacang-kacang Strombosia javanica
6,58
6,58
3,36
16,52
Medang kuning Litsea sp.
6,58
6,58
1,78
14,94
Damak
6,58
6,58
0,59
13,75
3,95
3,95
0,20
8,09
Antui
Cyathocalyx bancana
151,78
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
173
Prosiding Lokakarya Nasional
Pada tingkat tiang, nilai Shannon Index sedikit lebih baik yaitu 2,37 termasuk kategori rendah tetapi jika dibandingkan dengan keragaman tiang dari kawasan lindung lain nilai ini juga lebih rendah. Dominasi Bulian menjadi penjelasan bagaimana keragaman spesies pada kawasan ini terbentuk. Spesies lain yang juga memiliki dominasi cukup tinggi adalah Arang-arang dengan nilai dominasi relatif 29,73 (Tabel 2). Tabel 2. Sepuluh spesies dominan pada tingkat tiang di Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian Distrik VIII PT. WKS Nama
Kerapatan Frekuensi Dominasi INP Relatif Relatif Relatif 14,29 14,29 38,23 66,80
Lokal Bulian
Botani Eusideoxylon zwageri
Meranti merah
Shorea sp.
4,76
4,76
0,69
10,21
Meranti rambai
Shorea sp.
4,76
4,76
1,25
10,77
Arang-arang
Trenstromeia sp.
14,29
14,29
29,73
58,30
Mahang
Macarangan maingayi
9,52
9,52
7,68
26,73
Kasai
Pometia sp.
4,76
4,76
1,56
11,09
Medang labu
Litsea sp.
4,76
4,76
1,37
10,90
Kedondong
Spondias pinnata
9,52
9,52
6,62
25,67
Rambutan hutan
Nepelhium sp.
4,76
4,76
1,37
10,90
Penumpukan
-
9,52
9,52
7,68
26,73
Untuk keragaman spesies pada tingkat pancang lebih baik dari keragaman spesies pada tingkat tiang yaitu dengan indek shanon 3,04 termasuk kategori tinggi. Bulian masih menjadi spesies yang dominan pada tingkat pertumbuhan ini yang diikuti oleh kedondong (Spondias pinnata) dan tampui (B. crassifolia). Tendensi penyebaran yang tidak begitu merata terlihat pada Tabel 3 dimana nilai frekuensi relatifnya 12,77%. Sifat penyebaran yang demikian juga dapat ditemui pada tingkat semai dimana frekuensi relatifnya adalah 13,56 (Tabel 4). Penyebaran bulian yang demikian juga telah dilaporkan oleh beberapa penelitian antara lain Irawan (2005). Untuk meningkatkan penyebaran bulian maka penanaman pengayaan dengan sumber benih dari dalam atau luar kawasan dapat menjadi alternatif pengelolaan.
174
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Analisis Vegetasi Kawasan… (Bambang Irawan, Mohd. Zuhdi dan Fazriyas)
Tabel 3. Sepuluh spesies dominan pada tingkat pancang di Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian Distrik VIII PT. WKS Nama Lokal Bulian Meranti merah Meranti kuning Meranti rambai Arang-arang Kasai Medang labu Tampui Kedondong Kelat
Botani Eusideoxylon zwageri Shorea sp. Shorea sp. Shorea sp. Trenstromeia sp. Pometia sp. Litsea sp. Baccaurea crassifolia Spondias pinnata Eugenia sp.
Kerapatan Relatif 12,77 4,26 2,13 2,13 4,26 8,51 4,26 6,38 8,51 4,26
Frekuensi Relatif 12,77 4,26 2,13 2,13 4,26 8,51 4,26 6,38 8,51 4,26
INP 25,53 8,51 4,26 4,26 8,51 17,02 8,51 12,77 17,02 8,51
Untuk tingkat keragaman vegetasi pada tingkat semai termasuk kategori sedang dengan skala indek shanon 2,95. Pohon bulian dengan pohon kelat masih mendominasi spesies tingkat semai pada lokasi ini. Tabel 4. Sepuluh spesies dominan pada tingkat Semai di Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian Distrik VIII PT. WKS Nama Lokal Bulian Meranti merah Kelat Bengkal Aro alui Kayu tulang Balam Keranji Jelatang Penumpukan
Botani Eusideoxylon zwageri Shorea sp. Eugenia sp. Nauclea orientalis Ficus sp. Microdesmis casaearifolia Palaquium sp. Cyathocalyx bancana
Kerapatan Frekuensi Relatif Relatif 13,56 13,56 1,69 1,69 15,25 15,25 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 3,39 1,69 1,69 1,69 1,69 6,78 6,78 3,39 3,39
INP 27,12 3,39 30,51 6,78 6,78 6,78 3,39 3,39 13,56 6,78
Jumlah spesies yang tumbuh berasosiasi dengan bulian dalam penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti yang dilaporkan oleh Hastuti, et al., (1999) yang melaksanakan penelitian di hutan Senami, Jambi. Mereka melaporkan, bulian tumbuh bersama dengan 51 spesies kayu yang lain.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
175
Prosiding Lokakarya Nasional
Sementara itu, Suselo (1981) melaporkan bahwa ditemukan 37 spesies kayu pada plot ukuran 0.2 ha dengan jumlah pohon 65 pohon tetapi dari jumlah tersebut 26% merupakan pohon bulian. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian lain bahwa pada beberapa kawasan hutan tropis Sumatera, bulian dapat tumbuh sangat dominan sehingga mengakibatkan rendahnya keragaman spesies pada kawasan hutan tersebut (Whitmore, 1984). Dominansi spesies bulian juga dilaporkan oleh Whitten, et al. (2000) bahwa komposisi spesies hutan yang didominasi kayu bulian berbeda dengan komposisi spesies hutan yang lain. Pada kawasan hutan bulian maka, spesies bulian sangat dominan sehingga jumlah spesies kayu yang lain akan lebih sedikit terutama untuk kayu yang berdiameter besar. Hasil penelitian di Rimbo Kulim di sekitar Sungai Kehidupan, Muara Tembesi, Jambi menunjukan bahwa dari total 84 pohon dengan diameter diatas 15 cm, 81 pohon merupakan kayu bulian atau 96% dari pohon yang ditemukan pada petak tersebut adalah kayu bulian. Berdasarkan kriteria komponen kawasan hutan High Conservation Value Forest (HCVF) maka wilayah ini sudah termasuk wilayah HCVF dengan kriteria komponen antara lain: 1. HCVF 1 yaitu kawasan yang mempunyai konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal dan; 2. HCVF 1.3. yaitu kawasan konsentrasi spesies hampir punah, terancam atau endemik. Kriteria kawasan konservasi ini terpenuhi terutama karena keberadaan spesies bulian yang berdasarkan IUCN (2001) termasuk dalam spesies yang terancam (threatened spesies). Selain itu kayu bulian juga dilindungi berdasarkan beberapa Peraturan Pemerintah baik Daerah maupun Nasional. Untuk melindungi dan melestarikan keberadaan spesies bulian di Jambi, Gubernur Jambi telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 522.12/760/PP, tanggal 25 Januari 1989. Keputusan ini menetapkan bahwa bulian merupakan spesies yang dilindungi di Jambi dan melarang penebangan kayu tersebut di wilayah Provinsi Jambi. Pada tahun 1995, Gubernur Jambi juga mengeluarkan Surat Edaran yang berisi aturan distribusi dan perdagangan kayu bulian di Jambi. Secara Nasional, Menteri Pertanian RI mengeluarkan Surat Keputusan No. 54/Kpts/UM/2/1972, yang mencantumkan bahwa bulian termasuk spesies yang dilindungi di Indonesia sehingga penebangan hanya dapat dilakukan jika pohon telah mencapai diameter setinggi dada 60 cm. Pemerintah Indonesia juga sudah mengeluarkan larangan ekspor untuk kayu jenis ini. Secara regional, bulian juga menjadi salah satu spesies
176
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Analisis Vegetasi Kawasan… (Bambang Irawan, Mohd. Zuhdi dan Fazriyas)
prioritas yang harus dilestarikan untuk kawasan Asia Tenggara (Koskela, et al., 2002).
IV. KESIMPULAN 1. Hasil inventarisasi lapangan terhadap komponen vegetasi di lokasi kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian ditemukan ± 35 spesies vegetasi pohon hutan. 2. Bulian merupakan spesies yang paling dominan, pada tingkat pohon bulian mendominasi hingga mencapai 91,25% sehingga ruang tumbuh bagi spesies lain menjadi sangat terbatas. 3. Keragaman spesies pada kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian bervariasi dari kategori rendah hingga tinggi. Tingkat keragaman pada masingmasing tingkat pertumbuhan adalah rendah untuk pohon dan tiang; termasuk kategori tinggi pada tingkat pancang dan kategori sedang pada tingkat semai. 4. Berdasarkan kriteria komponen kawasan hutan High Conservation Value Forest (HCVF) maka wilayah ini sudah termasuk wilayah HCVF dengan kriteria HCVF 1; dan HCVF 1.3. Ucapan Terimakasih: Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Manajemen PT. Wirakarya Sakti yang telah membiayai Penelitian ini. Kawasan perlindungan tanaman unggulan bulian oleh manajemen PT. Wirakarya Sakti telah ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Tanaman Unggulan Bulian dan menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Bulian.
DAFTAR PUSTAKA Beekman, H.A.J.M. 1949. Houtteelt in Indonesie (Silviculture in Indonesia). Publicate van de Stichting`Fonds Landbouw Exportbureaue` 1916-1918. Wegeningen. Holland (translation to Indonesian by A. Azis Lahiya 1996). Curtis, J.T. and R.P. McIntosh. 1951. An upland forest continuum in the prairieforest border region of Wisconsin. Ecology 32: 476 – 496. Hastuti, R.B., Nezriyetti dan Nursanti. 1999. Analisis vegetasi kelompok hutan bulian (Eusideroxylon zwageri) Senami, Kabupaten Batanghari, Jambi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
177
Prosiding Lokakarya Nasional
Irawan, B. 2005. Ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn.) and Its Varieties in Jambi, Indonesia. Cuvillier Verlag. Goettingen. Germany. I.U.C.N. 2001. The 2000 IUCN list of threatened species. http://www.redlist.org/. Koskela, J., A.P. Pedersen and D.B. Krishnapillay. 2002. Southeast Asian workshop on forest genetic resources. In: Forest Genetic Resources No. 30. FAO (Palmberg-Lerche, C., Iversen, P.A.,Sigaud, P., eds). Rome. Italy. Kostermans, A.J.G.H. 1957. Lauraceae. Communication of The Forest Research Institute. Indonesia No. 57. Balai Besar Penjelidikan Kehutanan. Bogor. Indonesia. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim and A. Mangalik. 1997. The ecology of Kalimantan. The ecology of Indonesia series Volume III. Oxford University Press. Martawijaya, A., L.D. Sujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira and K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia II (Map of Indonesian trees II). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Indonesia. Mori, S.A., B.M. Boom, A.M. de Carvalho and T.S. dos Santos. 1983. Southern Bahian moist forests. Botanical Review 49: 155 – 232. Peluso, N.L. 1992. The ironwood problem: (mis) management and development of an extractive rainforest product. Conservation Biology 6 (2): 210 – 219. Suselo, T.B. 1981. Preliminary report on ecological studies of Eusideroxylon zwageri T. and B. in Jambi, Sumatra. BIOTROP. Bogor - Indonesia. Suselo, T.B. 1987. Autecology of Eusideroxylon zwageri T. & B. (Lauraceae) as applied to forest regeneration. In: Proceeding Symposium of. Forest Regeneration in South East Asia. BIOTROP Special Publication No. 25. Bogor. Weidelt, H.J. 1997. Tropical silviculture. Faculty of Forestry and Ecology. Goettingen University. Germany. Whitmore, T.C. 1984. Tropical rain forests of the Far East (2nd edition) Clarendon Press. Oxford. Whitten, A.J., S.J. Damanik, J. Anwar and N. Hisyam. 2000. The Ecology of Sumatra. Periplus Editions. Singapore.
178
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
LAMPIRAN
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
179
Prosiding Lokakarya Nasional
180
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
NOTULEN DISKUSI LOKAKARYA NASIONAL PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka)
Sesi I: Diskusi Pleno Komentar, masukan, pertanyaan dari: 1. Dr. Agus Setiawan (Ketua Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian UNILA): a. UNILA memiliki Hutan Pendidikan yang diarahkan sebagai plot konservasi dan koleksi jenis-jenis pohon langka. Apa yang dapat kami lakukan agar mendapat dukungan dari Balitbanghut dalam upaya pengembangan Hutan Penidikan ini? b. Apakah memungkinkan untuk mengoleksi Ulin di Propinsi Lampung? Berapakah umur penyapihan agar daya survive tanamannya tetap baik? Bagaimana teknik penyapihan dan apa media tanam yang digunakan? c. Berapa jumlah populasi ideal untuk mengoleksi keragaman genetik suatu jenis pohon langka sehingga keragaman genetiknya dapat dipertahankan? d. Bagaimana caranya untuk memperoleh benih eboni? Berapa umur pohon eboni yang ideal untuk dipanen buahnya untuk dijadikan benih? e. Bagaimana mengoptimalkan transplantasi dari anakan alam eboni ke persemaian? Kemungkinan waktu transplantasi ada simbion yang tidak terbawa/hilang/mati, semacam mikoriza pada jenis-jenis dipterocarps. Mungkin hal ini perlu diperhatikan untuk optimalisasi transplantasi. f.
Tentang perubahan masa berbunga dan berbuah eboni yang disebutkan karena adanya perubahan iklim. Mungkin perlu diamati, apakah hal ini juga dipengaruhi oleh pergeseran matahari atau bulan?
g. Di Lampung, pohon cempaka sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat transmigran. Namun masyarakat adat/lokal menganggap bahwa menanam cempaka merupakan hal yang tabu. Mereka berpendapat
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
181
Prosiding Lokakarya Nasional
hanya masyarakat dari kalangan atas (kelas sosial tinggi) yang menanam cempaka. Bagaimana mengubah persepsi masyarakat adat ini, agar dapat mendukung upaya konservasi cempaka? h. Pada Undang-Undang tata ruang disebutkan bahwa setiap kota memiliki 30% ruang terbuka hijau. Bagaimana kalau kita kehutanan bekerja sama dengan kota untuk menggunakan ruang terbuka hijau tersebut untuk kegiatan koleksi jenis-jenis pohon langka? 2. Nur Rahmat (Dinas HutBun Kabupaten Sukabumi) a. Populasi alam cempaka masih banyak dijumpai di Sukabumi (Gunung Pangrango dan Gunung Halimun Salak), apakah project ITTO ini tidak mencoba upaya konservasi in-situ cempaka di Sukabumi? b. Apakah sudah ada rekomendasi dan regulasi (penegasan kebijakan) mengenai tanaman langka yang perlu ditanam oleh masyarakat? Karena pada umumnya masyarakat akan secara swadaya menanam pohon yang menurut mereka bermanfaat secara ekonomi. Untuk mengidentifikasi kelangkaan suatu jenis tanaman dan menggerakkan upaya konservasinya adalah domain Pemerintah. 3. Ir. Atok Subiakto, M.App. Sc. (PuskonseR) a. Tanggapan & Masukan: 1) Sependapat dengan strategi konservasi ulin dan eboni yang telah dilakukan oleh tim Bpk. Agung (BPK Palembang) dan Ibu Merryana (BPK Makassar), yaitu dengan menangkar seluruh potensi genetik, tidak hanya yang menunjukkan performance unggul saja. 2) Tonggak ulin punya kemampuan regenerasi yang cukup tinggi, sehingga tonggak ulin di alam perlu dikelola dan di awasi dengan baik. 3) Keragaman eboni, sebaiknya diamati dari fenotip pohonnya, bukan faktor lingkungannya. b. Pertanyaan: 1) Apakah pengelompokan ulin ke dalam provenance tertentu berdasarkan parameter morphologi yang jelas (misalnya: sirap atau tidak sirap) dan lokasi yang faktor biofisiknya jelas berbeda? Jika tidak
182
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
distinctive, meskipun benih ulin tersebut berasal dari tempat yang berbeda, sebaiknya ditanam di tempat yg sama tapi hamparannya luas agar dapat menjadi plot keragaman genetik. 2) Mengapa cempaka yang secara fenotip terdapat variasi yang jelas antara provenan Sumatera dengan provenan Jawa, tetapi keragaman genetiknya rendah, bisa dijelaskan? 4. Ir. Tri Retiyanto (Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas) a. Ulin yang ditanam di bawah naungan (di lokasi Hutan Adat Mambang) memiliki survival rate tinggi. Bagaimana mengoptimalkan fungsi hutan adat ini untuk upaya konservasi ulin dan jenis-jenis langka lainnya? b. Dinas Kehutanan Musi Rawas mengembangkan tanaman ulin di luar Hutan Adat yaitu di sepanjang aliran sungai, tetapi karena tanpa naungan sulit berhasil. Perlu bimbingan untuk pengembangan SDM dari BPK Palembang. c. Di Kabupaten Musi Rawas cempaka sangat mudah tumbuh dan masyarakat tertarik untuk menanam karena tegakan umur 7 tahun sudah dapat dipanen kayunya. Penanaman sudah meluas di masyarakat, tetapi ketersediaan bibit terbatas. Bagaimana upaya menyediakan bibit cempaka untuk penanaman secara massal? d. Dapatkah Pemerintah Pusat memberi rekomendasi/regulasi kepada investor di daerah utk menanam pohon langka? Rekomendasi ini sebaiknya dicantumkan dalam dokumen AMDALnya. 5. Ir. Kamboya, M.For. (Ka. Sub Direktorat Pengembangan Sumber Benih, Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan, Ditjen BPDAS-PS) a. Di Bali, terdapat 2 jenis tanaman unggulan setempat seperti sawo kecik yang ditanam sebagai bahan pembuatan patung. Namun dalam budidaya, pertumbuhannya tidak seoptimal pertumbuhan di kebun benih yang dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman di Yogyakarta. Bagaimana mengatasinya? b. Mengapa cempaka di Minahasa tidak diambil sebagai sampel sumberdaya genetik dalam proyek ini?
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
183
Prosiding Lokakarya Nasional
c. Jika species terancam punah mendapat perhatian untuk dikonservasi, lalu bagaimana dengan tanaman yang tergolong lesser-used species? Bukankah karena jarang dimanfaatkan (tidak diketahui manfaatnya), masyarakat jadi tidak tertarik membudidayakan dan pada akhirnya akan langka atau bahkan punah juga? d. Apakah ada strategi (semacam juknis) untuk konservasi sumberdaya genetik yang aplikatif di lapangan? Agar menjadi panduan dalam pengambilan sampel, atau penentuan provenance, misalnya. e. Saran: upaya konservasi jenis-jenis langka perlu melibatkan ahli biologi (botani), ahli teknologi kayu, dan lain-lain agar lebih komprehensif. Tanggapan Presenter: 1. Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, Msi. a. Syarat tumbuh ulin tidak terlalu sulit. Ulin dapat tumbuh di lokasi yang miskin hara, agak lembab, altitude: 50 – 800 m dpl. b. Penyapihan ideal: biji ditanam di bedeng tabur (26 hari), jika sudah muncul 2-4 helai daun dapat disapih. Hati-hati, supaya biji tidak terlepas dari tunasnya. c. Terima kasih atas masukan dari Pak Atok. Berdasarkan penelitian Bambang et al. (2002), morfologi ulin bervariasi berdasarkan varietasnya. Ada varietas sirap, varietas kapur, varietas daging dan varietas tanduk. d. Karena tujuan demplot memang untuk konservasi, maka semua variasi fenotif dikoleksi. e. Konservasi in-situ ulin termasuk memelihara tonggak sehingga tumbuh trubusan. Trubusan ini lebih efektif daripada biji. f.
Semai ulin memang butuh naungan (intensitasnya 80 – 86%). Belum dapat diinformasikan kapan waktu yang tepat untuk membuka naungan.
g. Hutan Adat Mambang di Musi rawas terjaga, karena cerita legenda yang dipercaya masyarakat setempat. Hutan Adat Mambang ini bisa dioptimalkan upaya pelestariannya, misalnya dengan meningkatkan statusnya. h. Penelitian memang perlu didukung oleh expertise lain.
184
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
2. Ir. Merryana Kiding Allo, M.Si. a. Cara pengambilan (transplantasi) eboni sudah dilakukan 10-15 tahun, jika ada penyimpangan dalam 3 tahun terakhir, agaknya bukan karena caranya yang salah. Tapi barangkali perlu di-up date mengingat perubahan iklim saat ini. Simbiont (sejenis Mikoriza) sudah dibawa, metode yang digunakan sudah sesuai dengan juknis-juknis yang ada. b. Dalam 3 tahun terakhir, terjadi perubahan musim berbunga dan berbuah. Jika ada yang berbuah, juga tidak banyak. Jumlah pohon yang berbuah pun terbatas. c. Perlu penelitian lebih intensif dengan bekerjasama dengan berbagai pihak. d. Perbedaan strip kayu ada kaitannya dengan tempat tumbuh, tapi bukan perbedaan jenis, hanya berbeda varietas. Tapi untuk memastikan variasi genetik dari berbagai tempat tumbuh ini, terkendala teknis pengumpulan material benih, karena musim berbunga yang tidak serempak dan terhambat beberapa tahun terakhir ini. e. Ada variasi strip dan pewarnaan kayu eboni berdasarkan tempat tumbuh. f.
Eboni tidak dapat dijumpai di Sulawesi Utara. Ada 2000 ha eboni di Bitung, tapi setelah dicek ternyata tidak ada. Di TN BaBul ada beberapa jenis Diospyros lainnya yang mirip eboni.
g. Tidak terpenuhinya syarat 20 pohon induk, karena jumlah pohon yang berbunga juga sulit dijumpai. 3. Dr. Ir. Murniati, M.Si. a. Untuk menginisiasi masyarakat Lampung menanam campaka, perlu rekayasa sosial (sosialiasi untuk mengubah pola pikir dan pola sikap dan pola tindak), tapi pasti perlu waktu yang lama dan metode yang lebih luwes. Kelompok sasaran lebih ditujukan pada kelompok/generasi muda yang lebih mudah menyerap inovasi baru. b. Memang perlu konservasi in-situ, sehingga perlu eksplorasi habitat alaminya. Saran untuk teman-teman botani untuk melakukan eksplorasi potensi pada habitat alami cempaka. Sesungguhnya inventarisasi (di seluruh Indonesia) menjadi tupoksi PHKA, hanya saat ini fokus PHKA adalah konservasi ekosistem, belum konservasi jenis.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
185
Prosiding Lokakarya Nasional
c. Tentang tegakan/populasi alami cempaka di TNGP atau di TNGHS yang masih ada, kami belum mendapat informasi. Informasi dari beberapa masyarakat bahwa yang ada di TNGP itu adalah manglid dengan buah hampir sama dengan cempaka. Balai TNGP sudah melakukan penanaman (konservasi ex-situ) cempaka di kawasannya. d. Keragaman genetik cempaka di dalam populasi rendah yaitu 0,188 tetapi keragaman genetik antar populasi sangat tinggi yaitu 0,665. e. Upaya penyediaan bibit cempaka dalam jumlah besar bisa dilakukan dengan melakukan pembinaan pada tegakan cempaka milik masyarakat yang sudah ada untuk dijadikan tegakan benih (tegakan teridentifikasi), sehingga pada waktunya akan menghasilkan biji yang berlimpah untuk dapat memenuhi kebutuhan bibit cempaka di Kabupaten Musi Rawas. Pohon induk cempaka berbuah setiap tahun bahkan tiga kali dalam dua tahun. f.
Ekplorasi dan pengambilan contoh materi genetik Cempaka yang ada di Sulawesi (Utara) tidak dilakukan karena keterbatasan sumberdaya (utamanya dana).
4. Liliek Haryjanto, S.Hut., M.Sc. a. Ruang tebuka hijau untuk koleksi tanaman langka. Harus hati-hati menamai suatu kegiatan. Jika sudah menggunakan/level “genetik” harus jelas mengambil materi perbanyakannya, meliputi asal pohon induk dan jumlah pohon induk pada provenan tertentu. Sehingga akan lebih baik memakai istilah “Konservasi Jenis” saja. b. Kebijakan tentang penanaman jenis-jenis langka, belum ada. Yang ada baru sebatas pohon langka yang menjadi ciri provinsi saja yang ditetapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup masing-masing propinsi, seperti cendana di NTT. Kebijakan yang ada sekarang baru sebatas regulasi perdagangannya (CITES). c. Konservasi genetik cendana di Yogyakarta ada 2, yaitu: milik Wana Gama (pohon induk dari Bromo yang sebelumnya diintroduksi dari NTT/pulau Timor); milik Balitbang merupakan representasi dari tempat asalnya (seluruh kepulauan yang ada NTT/pohon induk dari berbagai lokasi).
186
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
d. Kebun benih sebagai sumber bibit/benih perlu dijaga keragaman genetiknya, jika keragamannya rendah, kualitas bibit yang dihasilkan akan rentan terhadap hama penyakit, dan stres lingkungan lainnya. e. Jumlah sampel ideal adalah minimal 20 pohon induk, tapi pada jenis-jenis langka (misalnya ulin dan eboni) hal ini sulit terpenuhi. f.
Petunjuk teknis konservasi secara umum harus meliputi in-situ dan ex-situ. Namun secara spesifik tergantung pada sumberdaya yang ada dari suatu spesies, seperti cendana tidak mungkin konservasi in-situ, jadi harus konservasi ex-situ. Jumlah sampel materi genetik yang dapat diambil/ dikumpulkan juga tergantung pada sumberdaya yang ada. Jumlah sampel ideal adalah minimal 20 pohon induk, tetapi pada jenis-jenis langka (misalnya ulin dan eboni) hal ini sulit terpenuhi. Jadi akhirnya tergantung pada sumberdaya yang ada.
Komentar Moderator Saya setuju bahwa kita perlu menyusun strategi konservasi, baik untuk tingkat spesies maupun untuk tingkat genetik. Mestinya ini adalah tupoksinya Ditjen PHKA (Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati), tetapi tidak ada salahnya kalau kita (Badan Litbang) menginisiasinya. Tahun yang lalu proyek ini sudah melakukan lokakarya tentang “Status Konservasi dan Strategi Konservasi JenisJenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Cempaka)”. Tapi produknya terbatas pada level prosiding. Prosiding tersebut kaya dengan informasi yang bisa ditindaklanjuti menjadi policy untuk strategi konservasi in-situ dan ex-situ. Ini menjadi tugas kita kedepan.
Sesi II: Diskusi Pleno Komentar, masukan, pertanyaan dari: 1. Ir. Kamboya, M.For. (Ka. Sub Direktorat Pengembangan Sumber Benih, Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Hutan, Ditjen BPDAS-PS) Berdasarkan sebuah presentasi tentang hasil penelitian penanda genetis mahoni di sejumlah Negara di Amerika Latin (Costa Rica, Bolivia, dan lain-lain), yang menunjukkan bahwa sebaran genetis mahoni ini sangat luas, tidak mengenal
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
187
Prosiding Lokakarya Nasional
batas negara. Informasi tentang sebaran alel mahoni ini menjadi dasar penyusunan strategi konservasi jenis berikut alel spesifiknya. Kita menjadi tahu, kemana harus mencari jenis dengan alel tertentu untuk melengkapi koleksi yang dikonservasi. Apakah untuk konteks Indonesia, hal ini mungkin untuk dilakukan, mengingat genetis tidak bisa ditentukan secara pengamatan visual dan penelitian genetis menggunakan DNA marker ini memerlukan biaya besar? Apakah mungkin disusun suatu juknis yang lebih aplikatif di lapangan untuk pembuatan plot konservasi genetik semacam ini? 2. Ir. Atok Subiyakto, M.App.Sc. a. Apakah penanaman Shorea selanica (yang bukan indigenous Kalimantan) yang berdekatan dengan S. leprosula berpotensi untuk terjadinya “crossing” yang dapat mengubah karakter S. leprosula? Apakah kekhawatiran ini dapat dibenarkan? Jika sampai terjadi “crossing”, bagaimana cara menanganinya? b. Apakah analisis DNA dapat dengan mudah mendeteksi variasi fenotipe eboni? 3. Ir. Udina Nainggolan (Dinas Kehutanan Jawa Timur) a. Pohon Maja merupakan salah satu tanaman khas Jawa Timur, yang saat ini sudah sangat langka. Jika PEMDA Jawa Timur bermaksud membuat plot konservasi pohon Maja, adakah pihak yang dapat membantu menyediakan sumber bibit dan mendampingi pembuatan plot konservasinya? b. Sharing mengenai: 1) Di Madura ada cendana, tetapi bijinya tidak bisa tumbuh, sehingga statusnya hampir punah. 2) Masyarakat yang terobsesi gaharu tapi tidak disertai pemahaman tentang informasi gaharu yang sahih. 4. Ir. Tajudin Edy Komar, M.Sc. (PuskonseR) a. Bagaimana kesinambungan plot-plot konservasi yang telah dibangun setelah proyek ITTO ini selesai? b. Adakah kemungkinan untuk perluasan plot agar minimum requirements untuk sebuah plot konservasi genetik dapat dilengkapi?
188
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
c. Tanggapan dan Masukan:
1) Strategi Konservasi Jenis, sudah disusun oleh Dirjen PHKA Kemenhut, namun tindak lanjut/implementasi oleh lembaga-lembaga terkait yang masih perlu dibenahi.
2) Mengenai konservasi eboni, Wanagama (c.q Ibu Umi) sudah melakukan penelitian genetic pool eboni yang ditanam di Wanagama. Namun apakah koleksi di Wanagama itu sudah merepresentasikan semua jenis eboni atau belum, perlu dikonfirmasi lebih lanjut.
Tanggapan Presenter 1. Dr. Sapto Indrioko a. Pada mahoni dikenal suatu fenomena polymorfisme kromosom (diploid, tetraploid, hexaploid, dst.). Hal ini menyebabkan satu jenis mahoni dapat memiliki sebaran alel yang banyal. Namun, dengan variasi yang besar seperti itu tetap ada preferensi perkawinan – pohon yang berbeda jumlah set kromosomnya tidak dapat saling kawin. Alel genetis ini tidak mengenal batas negara. Jika informasi genetis ini sudah semaju itu, maka akan memudahkan upaya konservasi genetis. Dengan mudah kita dapat mengetahui darimana kita dapat memperoleh penambahan koleksi dengan alel tertentu. b. Mahalnya penggunaan marker DNA jangan menjadi kendala dalam upaya konservasi jenis-jenis langka ini. Wujud dari sumberdaya genetik memang tidak mudah diamati, namun kita dapat mengacu pada ciri morfologi – yang notabenenya dapat diamati secara visual, asalkan kita dapat memastikan bahwa ciri morfologi itu diwariskan. Berdasarkan ciri morfologi yang diwariskan ini, tahap awal upaya penyelamatan sumberdaya genetik sudah bisa dilakukan. Namun, tetap perlu kita ingat bahwa penanda morfologi ini variasinya lebih rendah daripada penanda molekuler, tapi sudah cukup untuk menjadi langkah awal upaya konservasi. c. Jika aplikasi penanda molekuler masih sulit diterapkan di Indonesia, maka action yang lebih feasible adalah dengan mengoptimalkan upaya konservasi jenis terlebih dahulu.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
189
Prosiding Lokakarya Nasional
d. Antara Shorea selanica dan S. leprosula tidak akan terjadi crossing, karena jarak genetiknya cukup jauh. Yang justru terindikasi di lapangan telah terjadi hibridisasi itu adalah antara S. leprosula dengan S. dasiphila dan S. macrofolia, karena jarak genetik di antara mereka relatif dekat. e. Variasi morfologi dapat terdeteksi dengan mudah oleh penanda molekuler, jika penanda yang digunakan adalah tepat. Penanda molekuler ini bermacam-macam, ada yang mendeteksi variasi genetik pada level yang agak kasar (luas), ada juga yang lebih spesifik (teliti). Apakah penanda ini bisa mendeteksi variasi morfologi pada eboni? Hal ini perlu dicek lebih lanjut, apakah penanda yang digunakan sudah bisa membedakan variasi genomil dari spesies yang menjadi target atau belum. f.
Tentang strategi konservasi eksitu pada level jenis vs. level genetik. Jika saat ini, kita baru mampu melakukan konservasi level jenis, silakan dilakukan. Namun harus disadari bahwa mengkonservasi jenis itu, tidak cukup hanya dengan menanam satu atau beberapa pohon saja. Jika populasi pohon yang ditanam terlalu sedikit, akan menyebabkan depressi populasi yang berakibat terjadinya inbreeding. Jika diarahkan untuk konservasi genetik, harus dipastikan bahwa jenis pohon yang ditanam sudah cukup mewakili variasi morfologi (yang diwariskan) yang cukup luas.
g. Konservasi sumberdaya genetik ini merupakan bagian dari strategi breeding. Idealnya, disediakan tempat yang berbeda untuk plot: (a) konsevasi sumberdaya genetik; (b) populasi breeding, (c) populasi sumber benih, (d) plot produksi. h. Taman Hutan Raya (Tahura) lebih merupakan konservasi ekosistem dan konservasi jenis, belum diarahkan pada level konservasi sumberdaya genetik. i.
190
Tentang cendana, cendana ini bersifat semi parasit, karena akarnya tidak bisa menyerap nutrisi dari tanah secara langsung, selalu memerlukan simbiosis dengan akar tanaman lain. Strategi reproduksinya pun cukup terkendala. Kloning, pada prakteknya tidak semudah teori. Kultur jaringan, tidak semua jenis tanaman dapat dipropagasi melalui kultur jaringan; media dan metode kulturnya pun sangat bervariasi untuk jenis tanaman yang berbeda. DNA chloroplast, lebih diaplikasikan untuk keperluan studi filogenetik.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
j.
Tentang plot konsevasi eboni di Wanagama, ada 11 provenance dalam kondisi yang cukup baik, bahkan sudah berbuah. Namun, karena tidak dikhususkan untuk diambil benihnya, buah tidak dipanen.
2. Agung Priyo Sarjono, S.Hut., MBA Dari kalangan dunia usaha, kami berharap agar pelaksanaan strategi konservasi lebih diprioritaskan pada kawasan konservasi, karena kawasan produksi merupakan domain dunia usaha. Namun pada skala tertentu, dunia usaha pun turut berpartisipasi pada upaya konservasi ekosistem dan konservasi jenis. Untuk konservasi sumberdaya genetik, dunia usaha memerlukan bantuan dari para peneliti terkait di berbagai institusi penelitian dan perguruan tinggi. Komentar Moderator Dari paparan ketiga pemrasaran kita telah mendapat uraian detail yang menyangkut teknik konservasi ulin dan dipterocarpacea di hutan produksi serta aspek ilmiah dari kepentingan pembangunan plot konservasi. Pengembangan plot konservasi secara umum di hutan produksi selama ini dapat dilihat dari kegiatan di Petak Ukur Permanen (PUP) atau wilayah konservasi dalam hutan produksi. Dalam hal ini pembangunan plot konservasi secara spesifik ditujukan untuk jenis yang langka, terancam punah dan bernilai ekonomis tinggi. Semoga hasil yang telah disampaikan dapat memberikan gambaran secara jelas bagi para pemangku kepentingan yang terkait dengan konservasi genetik pohon langka baik di hutan produksi maupun di kawasan konservasi.
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
191
Prosiding Lokakarya Nasional
AGENDA LOKAKARYA NASIONAL PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka) Bogor, 29 Mei 2012 Selasa 29 Mei 2012 08.00-08.30 : Registrasi 08.30-08.40 : Laporan dari Panitia 08.40-09.10 : Sambutan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan yang diwakili oleh Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi 09.10-09.30 : Key Note Specch oleh Perwakilan ITTO 09.30-10.00 : Coffe break Sesi I Moderator
: Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
Rapporteur
: ‐ Lukman Hakim, S.Hut, M.Si. ‐ Luciasih Agustini, S.Si, M.Si.
10.00-10.20 :
Pembangunan Plot Konservasi Genetik Ulin (Eusideroxylon zwageri) di Hutan Penelitian Kamampo, Sumatera Selatan (Agung Wahyu Nugroho, S.Hut. M.Si./Balai Penelitian Kehutanan Palembang)
10.20-10.40 :
Pembangunan Plot Konservasi Genetik Eboni (Diospyros celebica Backh) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan (Ir. Merryana Kiding Allo, M.Si./Balai Penelitian Kehutanan Makasar)
10.40-11.00 :
Pembangunan Plot Konservasi Genetik Cempaka (Michelia champaca) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Jawa Barat (Dr. Ir. Murniati, M.Si./Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi)
192
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
11.00-11.20 :
Pembelajaran dari Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan (KSDGTH) Tingkat Desa (Liliek Haryjanto, S.Hut, M.Sc./Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta)
11.20-12.20 : Diskusi (pleno) 12.20-13.20 : ISOMA – Sesi Poster Sesi II Moderator
: Prof. Dr. M. Bismark, MS.
Rapporteur
: ‐ Lukman Hakim, S.Hut., M.Si. ‐ Luciasih Agustini, S.Si., M.Si.
13.20-13.40
: Konservasi In-situ Dipterocarps (Susilo Purnomo/HPH PT.SBK)
13.40-14.00
: Pelaksanaan Konservasi Sumberdaya Genetik Pohon Hutan Jenis Ulin di HPH PT ITCI Kartika Utama (Agung Priyo Sarjono, S.Hut, MBA/HPH PT.ITCI Kartika Utama)
14.00-14.20
: Representasi Diversitas Genetik dalam Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya Genetik (Dr. Sapto Indrioko/ Universitas Gadjah Mada)
14.20-15.20
: Diskusi (pleno)
15.20-15.50
: Coffe Break
Sesi III 15.50-16.00
: Rumusan Hasil Lokakarya
16.00-16.20
: Penutupan oleh Rehabilitasi
Kepala
Pusat
Litbang
Konservasi
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
dan
193
Prosiding Lokakarya Nasional
DAFTAR PESERTA LOKAKARYA NASIONAL PLOT KONSERVASI GENETIK UNTUK PELESTARIAN JENIS-JENIS POHON TERANCAM PUNAH (Ulin, Eboni dan Cempaka) Bogor, 29 Mei 2012 1.
Abraham Aronggear Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Jl. Imam Bonjol No. 1 A Palangkaraya 73112 Telp.: (0536) 3221834, 3236544 Fax. : (0536) 3221656, 3221192
6. Apid Robini Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
2.
Adi Susmianto, Ir. M.Sc Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
7. Atok Subiakto, Ir. M.App.Sc Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp. : (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
3.
Adi Sugiharjo Balai Penelitian Teknologi Perbenihan dan Tanaman Hutan Jl. Pakuan Ciheuleut Po.Box. 105 Bogor 18001 Telp.: (0251) 8327768 Fax. : (0251) 8327768
8. Budi Hadi N Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
4.
Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, M.Si 9. Dadi HK Balai Penelitian Kehutanan Palembang Pusat Litbang Konservasi dan Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Kotak Pos Rehabilitasi 179, Punti Kayu, Palembang, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp. : (0711) 414864, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0711) 414864 Fax. : (0251) 8638111
5.
Agus Setiawan, Dr. Fakultas Kehutanan Universitas Lampung. Gd Rektorat Universitas Lampung (Unila) Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro No.1, Gedong Meneng Bandarlampung 35145 Telp : (0721) 701609, 702673,702971 Fax. : (0721) 702767
194
10. Didik Purwito, Ir. M.Sc. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
11. Endang Savitri, Dr. Ir. M.Sc. 17. Kamboya, Ir. M.For. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Jl Ahmad Yani Km.28,7 Landasan DAS dan Perhutanan Sosial Ulin, Banjarbaru, Gedung Manggala Wanabakti Blok I Kalimantan Selatan 70721, Lt. 12, Jl Gatot Subroto, Jakarta, 10270 Telp. (0511) 4707872, Telp.: (021) Fax. (0511) 4707872 Fax. : (021) 12. Endang Suhendar, S.Hut., M.Si. BP4K Kabupaten Sukabumi Jl. Siliwangi No. 65 Sukabumi 43113 Telp.: (0266) 227440 Fax. : (0266) 227440
18. Liliek Haryjanto, S.Hut., M.Sc. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Yogyakarta 55582, Telp.: (0274) 895954 Fax. : (0274) 896080
13. Esti D. 19. Luciasih Agustini, S.Si., M.Si. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Pusat Litbang Konservasi dan Gedung Manggala Wanabakti Lt 9 Rehabilitasi Blok IV Wing B ,Jl. Jend. Gatot Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270 Telp.: (0251) 8633234, 520067 Telp.: (021) 5701155 Fax. : (0251) 8638111 Fax .: (021) 5732564 14. Haruni Krisnawati, Dr. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
20. Lukman Hakim, S.Hut., M.P. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
15. Herman Daryono, Dr. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
21. M. Bismark Prof. Dr. MS. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
16. Iman Kusuma B.NA. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Jl. Bandara Juanda - Surabaya 61253 Telp.: (031) 8666549 Fax. : (031) 8667858
22. M. Nur Rahmat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Sukabumi Jln. Bhayangkara Km. 2 Pelabuhan Ratu 43311 Telp. : (0266) 433420
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
195
Prosiding Lokakarya Nasional
23. M. Yana Mulyana Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
29. Prastyono, S.Hut., M.Sc. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Yogyakarta 55582, Telp.: (0274) 895954 Fax. : (0274) 896080
24. Mariana Takandjandji, Ir. M.Si. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
30. Pratiwi, Prof. Ris. Dr. Ir. M.Sc. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
25. Merryana Kiding Allo, Ir. M.Si. Balai Penelitian Kehutanan Makasar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar 90243, Telp.: (0411) 554049 Fax. : (0411) 554058
31. Ragil Setio Budi Irianto, Ir. M.Sc. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
26. Mujiburrakhman 32. Sapto Indrioko, Dr. S.Hut., M.P. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Fakultas Kehutanan UGM Tengah Jl. Argo, Buluksumur, Jl. Imam Bonjol No. 1 A Yogyakarta 55281 Palangkaraya 73112 Telp.: (0274) 512102, 901400, 901424 Telp.: (0536) 3221834, 3236544 Fax. : (0274) 550541, 523553 Fax. : (0536) 3221656, 3221192 27
Mujianto Tokoh Masyarakat Peduli Konservasi Ulin Kabupaten Batangari, Jambi
33. Susilo Purnomo PT Sari Bumi Kusuma Jl. Balikpapan Raya No. 14, Jakarta Pusat 10130, Telp.: (021) 63863807 Fax. : (021) 63863804
28
Murniati Dr. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
34. Susanto, S.E. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
196
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
Lampiran
35. Sutar Edy Pusnomo Tokoh Masyarakat Peduli Konservasi Michelia
41. Udina Nainggolan, Ir. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur Jl. Bandara Juanda - Surabaya 61253 Telp.: (031) 8666549 Fax. : (031) 8667858
36. Tajudin Edy Komar, Ir. M.Sc. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
42. Utari Sri Mutiar Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
37. Taufiqqurrahman, S.Hut. PT. ITCI Kartika Utama Jl. RM. Harsono No.54 Ragunan, Jakarta 12550 Telp.: (021) 7800493, 7892377, Fax. : (021) 7801017
43. Wawan Kartiwa S.Hut. BP4K Kabupaten Sukabumi Jl. Siliwangi No. 65 Sukabumi 43113 Telp.: (0266) 227440 Fax. : (0266) 227440
38. Titi Kalima, Dra. M.Si. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
44. Yelin Adalina, S.Si., M.Si. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
39. Tri Retyanto, Ir. Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas Jl. Pembangunan, Taba Pingin, Lubuk Linggau 31626 Telp.: (0733) 451142
45. Yuyu S. Posba Pusat Penelitian Biologi – LIPI JL. Raya Jakarta - Bogor Km.46 Cibinong 16911, Bogor Telp.: (021) 87907604, 87907636 Fax. : (021) 87907612
40. Triwilaida, Ir. M.Sc. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp.: (0251) 8633234, 520067 Fax. : (0251) 8638111
46. Zaenal Mutaqien, S.Si. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas – LIPI Jl. Kebun Raya Cibodas, Pacet – Sindanglaya PO BOX 19 SDL, Cipanas, Cianjur 43253 Telp.: (0263) 512233, 520448, Fax. : (0263) 512233
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
197
Prosiding Lokakarya Nasional
198
Plot Konservasi Genetik untuk Pelestarian Jenis-jenis Pohon Terancam Punah
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Jl. Gunung Batu No. 5, Kotak Pos 165 Bogor 16610 Telp.: (0251) 8315222, 7520067; Fax.: (0251) 8638111 e-mail:
[email protected]