Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
SOSIALISASI DAN IMPLEMENTASI PERBAIKAN GENETIK KERBAU LUMPUR (SWAMP BUFFALO) MELALUI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN DI KABUPATEN BATANGHARI, PROPINSI JAMBI KURNIA ACHYADI1, TEGUH S.2, PUJI R.2 dan AULIA3 1
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor 2 Fakultas Peternakan, Universitas Jambi Dinas Peternakan dan Perikanan, Kabupaten Batanghari, Jambi
3
ABSTRAK Kegiatan Kaji Tindak (Action research) dalam upaya perbaikan serta peningkatan mutu genetik kerbau lumpur (swamp buffalo) melalui pemurnian galur (bangsa) dengan teknologi inseminasi buatan telah dilaksanakan pada tahun 2006 - 2007 di Kecamatan Muarabulian, Tembesi, Mersam, dan Pemayung Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi. Kegiatan diawali dengan pemeriksaan status reproduksi terhadap 52 ekor induk dan dara, selanjutnya dilakukan program penyerentakan berahi (sinkronisasi estrus) terhadap 25 ekor kerbau betina dengan menggunakan PGF2α (R/Lutalyse), dikombinasikan dengan preparat GnRh (R/Fertagyl) dan Estradiol (R/Cidirol) secara intravagina dan intramuskuler), dengan hasil yang mengalami estrus setelah penyuntikan pertama 19 ekor (76%), yang dilayani IB 17 ekor (89%) serta dinyatakan bunting berdasarkan palpasi rektal setelah dua bulan IB sebanyak 7 ekor (47%). Semen beku yang digunakan berasal dari BIBD Banjarbaru Kalimantan Selatan. Program Inseminasi Buatan pada ternak kerbau lumpur di Kabupaten Batanghari saat ini dan untuk masa yang akan datang merupakan pilihan terutama pada kelompok kerbau dengan populasi pejantan dengan kualitas baik terbatas serta lokasinya mudah dijangkau petugas IB Untuk masa yang akan datang khususnya program peningkatan produktivitas kerbau di Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi, diperlukan adanya peningkatan sosialisasi dan implementasi program IB, peningkatan sarana dan prasarana serta aspek kelembagaannya Kata kunci: Status reproduksi, penyerentakan berahi, semen beku dan inseminasi buatan
PENDAHULUAN Latar belakang Pada tahun 1992, Presiden RI saat itu dalam suatu diskusi informal di peternakan Tapos Bogor, menyampaikan gagasan atau keinginannya untuk mengembangkan peternakan di Propinsi Jambi. Beberapa orang yang hadir saat itu cukup terkejut dengan ide tersebut, dan seyogyanya pimpinan daerah saat itu dapat menindaklanjuti ide tersebut. Selanjutnya pada tahun 2005 dalam suatu Seminar Nasional yang diselenggarakan di Propinsi Jambi muncul ide "Membangun Indonesia dari Jambi", dari kedua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa dari segi potensi sumberdaya alam (SDA) Propinsi Jambi dapat bersaing dengan propinsi lainnya yang ada di wilayah Sumatera serta propinsi lainnya di Indonesia. Berdasarkan prediksi yang dibuat oleh ACIAR 2004, dalam kurun waktu 15 tahun ke depan akan terjadi peningkatan impor daging
dengan peningkatan mencapai 17%, 34%, dan 20% per tahun masing-masing untuk daging sapi, daging babi dan ayam. Dengan prediksi seperti itu sangat jelas bahwa tanpa adanya upaya serius untuk memproduksi bibit ternak sendiri maka ketergantungan impor produk peternakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat akan terus meningkat. Protein hewani sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan bangsa Indonesia. Peran ternak sebagai sumber pangan hewani bagi manusia memberikan kontribusi sangat besar terhadap pemenuhan protein yang sangat diperlukan oleh manusia selama masa pertumbuhannya. Persoalannya bagaimana cara memenuhi kebutuhan pangan asal hewan bagi bangsa Indonesia karena menyangkut kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Pada saat ini diperkirakan populasi penduduk Indonesia mencapai 220 jiwa, dengan sekitar 85% merupakan kelompok usia produktif dan kelompok usia anak-anak yang memerlukan gizi cukup.
25
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Propinsi Jambi dengan luas wilayah 53.435 km2, dan jumlah penduduk 2.632.571 jiwa, luas lahan kebun sawit 302.152 ha, jumlah kepala keluarga (KK) perkebunan 70.331, populasi sapi potong 113.678 ekor, kerbau 72.852 ekor, unggas 3 juta ekor, serta potensi pertanian dan perikanan lainnya (BPS, 2006). Propinsi Jambi sebenarnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan dapat bersaing dengan propinsi lainnya di Indonesia. Dari data yang ada, konsumsi daging untuk masyarakat di Propinsi Jambi saat ini baru mencapai 7,03 kg/kapita/tahun dari standar nasional 10,3 kg/kapita/tahun. Permintaan daging khususnya daging sapi yang meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, kesadaran terhadap pentingnya gizi serta perubahan tingkat pendidikan dan perubahan pola hidup. Kabupaten Batanghari, merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Jambi yang memiliki populasi ternak kerbau cukup tinggi (14.136 ekor), kabupaten lainnya yaitu Tebo (13.236 ekor), Merangin (13.266 ekor) dan Bungo (10.941 ekor) (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAMBI, 2006), memerlukan sentuhan teknologi terutama dari segi breeding baik melalui program inseminasi buatan (IB) maupun seleksi terhadap pejantan unggul yang digunakan untuk memperbaiki produktifitas serta populasi, dan sekaligus untuk mencegah terjadinya inbreeding (perkawinan sedarah) yang diduga menyebabkan penurunan penampilan temak kerbau di Jambi saat ini (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAMBI, 2006). Berbagai hal yang menghambat perkembangan produktifitas serta populasi temak kerbau di Kabupaten Batanghari antara lain bahwa temak kerbau memerlukan suatu tempat khusus seperti kubangan air dan lumpur untuk menjaga kelangsungan fisiologis tubuhnya (kerbau juga merupakan hewan semiakuatik yang memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga tidak tahan terhadap terik panas matahari), pemeliharaan seadanya dilepas ke hutan tidak dikandangkan, kurangnya pemantauan dari pemilik ternak, dan banyak tempat pangonan kerbau mengalami perubahan fungsi akibat pertambahan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahunnya. Disamping dari segi reproduksi maka kesehatan ternak kerbau terutama pengaruh
26
penyakit menular seperti penyakit Septichemia epizootica (penyakit Ngorok), maka ketersediaan rumput unggul yang memiliki nilai nutrisi tinggi merupakan hal yang paling mendasar untuk disediakan di samping aspek kelembagaan seperti kelompok peternak kerbau yang memerlukan pembinaan. RASIONAL PROGRAM Sebagai komoditas ternak penghasil daging yang cukup potensial serta memiliki efisiensi cukup baik terhadap konsumsi pakan, maka ternak kerbau di Kabupaten Batanghari memerlukan perhatian dalam upaya peningkatan populasi serta produktifitasnya. Dewasa kelamin (pubertas) kerbau jantan cukup lama, menurut JAENUDIN dan HAFEZ (2000) kerbau jantan mencapai pubertas umur 24 - 30 bulan. Di Mesir, kerbau jantan mulai aktif digunakan sebagai pejantan saat umur mencapai 3,7 tahun. Di India kerbau perah jantan mencapai pubertas pada umur 26,7 bulan (TOELIHERE, 1993). Kelakuan kelamin yang unik pada kerbau jantan yaitu menurunnya gairah seksual bila pada waktu penampungan sperma (semen) atau saat perkawinan dilakukan terdapat banyak orang di sekitar. Hewan ini juga sensitif terhadap udara panas, oleh karena itu penampungan sperma sebaiknya dilakukan pagi hari dan kerbau harus sering dimandikan. Alat kelamin kerbau jantan secara umum mirip sapi, namun tipe penisnya fibroelastis, dan di dalamnya terdapat kantung yang bertaut rapat ke ventral dinding perut (TOELHERE, 1993; JAENUDIN dan HAFEZ, 2000). Teknologi IB pada ternak kerbau di Indonesia dimulai pada tahun 1975 oleh Toelihere yang mencoba IB pada kerbau lumpur jenis belang di Tanatoraja, Sulawesi Selatan dengan angka kebuntingan mencapai 50%, dilanjutkan pada tahun yang sama kegiatan IB pada kerbau lumpur di Nusa Tenggara Timur yang menghasilkan angka kebuntingan mencapai 50 - 60%. Pada tahun 1994 - 1995, program IB pada kerbau dilaksanakan secara nasional dengan menggunakan semen beku produksi BIB Lembang Jawa Barat. Penyerapan semen beku yang diproduksi BIB Lembang saat itu belum memenuhi sasarannya oleh karena yang diproduksi semen beku Kerbau Murrah (kerbau
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
sungai), sedangkan kerbau yang ada di Indonesia yaitu kerbau lumpur/rawa, sehingga masyarakat ragu untuk mengikuti program tersebut (kurang sosialisasi). Saat ini BIB Lembang tidak lagi memproduksi semen beku kerbau oleh karena tidak adanya peremajaan pejantan (replacement stock), kurang perhatiannya pemerintah dan terbatasnya anggaran pemerintah untuk pengembangan peningkatan mutu genetik ternak kerbau yang berlangsung hingga lebih kurang 10 tahun lamanya. Pada tahun 2003, Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) melakukan inisiatif untuk mengangkat kembali teknologi IB pada kerbau lumpur yaitu pada kerbau Kalang/rawa yang populasinya cukup tinggi sesuai dengan ekologi yang ada di Kalsel. Dengan mendapat dukungan dana APBN, APBD propinsi dan kabupaten serta bimbingan teknis dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB serta Pusat Bioteknologi LIPI Bogor, Balai Inseminasi Buatan Daerah Banjarbaru membeli dua ekor pejantan kerbau belang dari Tanatoraja, Sulawesi Selatan, kemudian dikoleksi serta diproduksi semen bekunya. Pemilihan pejantan kerbau belang oleh karena libido atau kelakuan kelaminnya cukup baik, serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Pada tahun 2005 - 2006 di Kecamatan Sungaibuluh, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Propinsi Kalsel, dilakukan kegiatan IB pada kerbau kalang (rawa) yang didahului dengan sosialisasi pada kelompok peternak kerbau, penyerentakan berahi menggunakan PGF2a yang dikombinasikan dengan GnRH, dengan hasil cukup memuaskan. Kegiatan sosialisasi dan implementasi program perbaikan genetik kerbau lumpur melalui teknologi IB di Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi, merupakan replikasi dari kegiatan di Kalsel dengan beberapa modifikasi sesuai dengan kondisi budaya, sosial dan ekonomi masyarakat.
program breeding (breeding policy) sesuai dengan program perbibitan nasional yaitu pemurnian/ konservasi, persilangan/grading up dan penciptaan bangsa baru. Untuk Propinsi Jambi, program perbaikan genetik dengan kerbau belang (kerbau lumpur) diharapkan terjadinya peningkatan kualitas ternak kerbau lokal, produktifitas serta ketersediaan bibit. Perkawinan kerbau secara alami disertai hidup berkoloni (kelompok), terutama dengan pejantan kualitas rendah, berada cukup lama di kelompok, dan umur muda, berakibat terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) ditandai dengan pertumbuhan anak yang dilahirkan lambat atau muncul warna bule (albino). Kebiasaan menjual kerbau jantan pada umur > 2 tahun dengan alasan kerbau jantan bersifat ganas, sehingga kerbau jantan yang mengawini kerbau-kerbau betina baik induk maupun dara adalah kerbau muda (<2 tahun), sehingga terjadi penurunan genetik serta produktifitasnya. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam program tersebut yaitu: 1. Perbaikan dan peningkatan mutu genetik kerbau lumpur lokal melalui pemurnian galur (bangsa). 2. Sosialisasi teknologi reproduksi dalam upaya perbaikan serta peningkatan manajemen pemeliharaan ternak kerbau. 3. Penyediaan bibit ternak kerbau melalui produksi semen beku kerbau lumpur lokal (khromosom 2n = 48). 4. Peningkatan populasi dan produktifitas kerbau di Kabupaten Batanghari, dan di Propinsi Jambi pada umumnya, sekaligus peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak kerbau. 5. Meningkatkan ketersediaan daging sekaligus mendukung program Swasembada Daging 2010. Sasaran
TUJUAN DAN SASARAN Peningkatan mutu genetik kerbau lumpur di Kabupaten Batanghari dan diharapkan di kabupaten lainnya yang memiliki populasi kerbau cukup tinggi di Propinsi Jambi, diarahkan (refocusing) melalui perencanaan
Peningkatan usaha ternak kerbau melalui pendekatan efisiensi, efektifitas pemeliharaan, peningkatan ekonomi peternak, pemanfaatan lahan tidak produktif melalui pembentukan Kelompok Peternak Kerbau Peserta Program Inseminasi Buatan (KPKPPIB).
27
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
RUANG LINGKUP KEGIATAN Kegiatan peningkatan mutu genetik ternak kerbau di Kabupaten Batanghari melalui program IB serta program kawin alam dengan pejantan terseleksi diharapkan mengurangi dampak negatif inbreeding serta dampak negatif lainnya sehingga penyediaan bibit baik jantan maupun betina berkualitas dapat terpenuhi baik jumlah maupun mutunya. Beberapa tahapan kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2006 antara lain: 1. Penandatanganan nota kesepahaman antara Bupati Kabupaten Batanghari dengan FKHIPB dan Fakultas Peternakan Universitas Jambi. 2. Pertemuan koordinasi antara Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari, dengan Tenaga Ahli dari FKHIPB dan Fakultas Peternakan Universitas Jambi. 3. Sosialisasi kegiatan yang diikuti oleh petugas peternakan kabupaten dan kecamatan, kepala desa serta peternak kerbau. 4. Penentuan lokasi kegiatan melalui pendekatan kelompok peternak kerbau yang memiliki motivasi tinggi dalam adopsi teknologi, kepadatan populasi, ketersediaan petugas, ketersediaan fasilitas serta jangkauan pelayanan petugas. 5. Penyediaan sarana prasarana meliputi penyediaan semen beku kerbau, preparat hormonal serta vitamin dan antibiotik peralatan IB, dsb. 6. Penentuan serta pemilihan kerbau akseptor program IB, pemeriksaan status reproduksi, sinkronisasi berahi melalui penyuntikan PGF 2α, GnRH dan Estradiol, pelayanan Inseminasi Buatan dan pemeriksaan kebuntingan 2-3 bulan setelah inseminasi. 7. Revitalisasi kelembagaan di tingkat kabupaten hingga kecamatan dengan titik berat pada tanggung jawab petugas di lapangan secara proporsional dan kontekstual. 8. Program surveilance, epidemiologi dan pemetaan penyakit baik bersifat menular maupun tidak menular. 9. Pelayanan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
28
10. Penerapan biosekuriti secara ketat terutama di lokasi yang diarahkan sebagai sumber bibit ternak kerbau. MATERI DAN METODE Materi kegiatan Waktu dan tempat pelaksanaan Kegiatan IB melalui program sinkronisasi estrus di Kabupaten Batanghari, dilaksanakan pada bulan Nopember sampai dengan Desember 2006 dan dilanjutkan Maret sampai dengan Mei 2007, dengan lokasi di Kecamatan Muarabulian, Tembesi, Mersan dan Pemayung meliputi Desa Simpang Rantau Gedang, Durian Luncuk, Tebing Tinggi, Kubu Kandang, Lubuk Ruso, Ture, Serasah dan Rambahan. Bahan dan alat yang digunakan a. IB Kit, meliputi Inseminasi Gun, plastic sheat, plastic glove, dsb. b. Kontainer berisi N2 cair dan semen beku kerbau. c. Hormon dan obat-obatan lain meliputi : PGF2α (Lutalyse dan Reprodin), GnRH (Fertogyl), Estradiol capsule, Vigantola E, 6 complex. d. Kandang jepit untuk periksa hewan, peralatan lain seperti tali, ember plastik, sabun, dsb. Metode kegiatan Pada tahap awal dilakukan pertemuan antara staf Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari dengan Tim Konsultan dari FKH IPB dan Fakultas Peternakan Universitas Jambi, melalui tahapan sebagai berikut: 1. Lokasi yang dipilih merupakan lokasi padat populasi. 2. Merupakan unit wilayah program IB, dan tersedia tenaga inseminator. 3. Terbatasnya kerbau jantan dewasa yang digunakan untuk perkawinan. Setelah ditentukan lokasi kegiatan, tahapan berikutnya meliputi:
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
1. Sosialisasi kegiatan kepada kepala desa dan
2.
3.
4.
5.
6.
peternak kerbau yang akan mendapatkan perlakuan. Pengumpulan ternak kerbau pada tempat tertentu dan dilanjutkan dengan pemeriksaan per rektal untuk mengetahui status reproduksi. Program sinkronisasi estrus dengan penyuntikan hormon PGF2α ® Lutalyse dan Reprodin) dan GnRH ® Fertogyl) secara intra muskuler dan Estradiol capsules intra vagina. Pengamatan estrus setelah 2-11 hari penyuntikan (perlakuan) dilanjutkan dengan pelayanan IB untuk kerbau yang memperlihatkan gejala estrus. Kerbau yang tidak memperlihatkan gejala estrus disuntik ulang PGF2α hari ke-11, 72 jam kemudian (3 hari/hari ke 14), dilayani lB. Pemeriksaan kebuntingan (evaluasi kegiatan) dilakukan 2-3 bulan setelah pelayanan lB. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penampilan pola pemeliharaan kerbau di lokasi kegiatan Dari pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ada tiga tipe pemeliharaan kerbau: 1. Sejak pagi dilepas ke hutan atau sawah yang telah dipanen dan sore kembali ke kandang. 2. Dilepas di lahan penggembalaan/hutan dan tidak dikandangkan sepanjang tahun. 3. Dilepas di lahan sawah habis panen selama 6 bulan, dan 6 bulan diikat di sekitar rumah pada saat padi mulai tanam. Pemberian pakan di ketiga tipe di atas sangat bergantung kepada rumput/hijauan yang ditemukan selama di lapangan. Para peternak kerbau tidak memberikan hijauan di kandang dengan alasan tidak dimakan dan tidak tersedia tempat pakan di kandang (kokopan). Secara umum masyarakat peternak kerbau di tiga tipe di atas sangat antusias terhadap inovasi teknologi, khususnya teknologi IB yang dianggap sangat baru bagi mereka dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kerbaunya.
Sosialisasi tentang pentingnya kandang, lorong tempat pemeriksaan serta kandang jepit di lokasi sekitar kerbau dilepas sudah dimengerti oleh masyarakat pemelihara ternak kerbau. Hal ini terbukti hampir di setiap lokasi kegiatan telah dibangun lorong dan kandang jepit untuk memudahkan pemeriksaan. Antusiasme peternak ketiga tipe pola pemeliharaan di atas terhadap pemeriksaan status reproduksi kerbaunya sangat tinggi. Ditandai dengan berkumpulnya para pemelihara kerbau dan selalu ingin tahu apakah kerbaunya bunting atau tidak, bagaimana kesehatannya, dan sebagainya. Hal tersebut sangat bermanfaat untuk Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari dalam upaya rnelakukan pembinaan baik dari segi kesehatan, pakan, reproduksi dan sebagainya. Penampilan status reproduksi kerbau di lokasi kegiatan Secara umum penampilan status reproduksi kerbau di lokasi kegiatan dalam keadaan normal. Perkembangan alat reproduksi untuk kerbau dara sebagian besar sudah memperlihatkan siklus reproduksi yang normal (estrus dan ovulasi), sementara ditemukan beberapa ekor kerbau dara yang belum memperlihatkan aktifitas ovariumnya oleh karena faktor terbatasnya asupan pakan yang diterima. Pada induk yang sudah melahirkan dan tidak menunjukkan tanda-tanda estrus disebabkan oleh faktor menyusui anak yang lama hingga 10 bulan, dan asupan pakan yang terbatas sehingga fungsi normal ovarium tertunda. Selanjutnya dari beberapa ekor induk yang dilakukan pemeriksaan ditemukan beberapa ekor bunting dengan umur kebuntingan bervariasi dari 1,5, bulan sampai dengan 9 bulan, kebuntingan tersebut diperoleh dari hasil kawin alam oleh pejantan yang ada di sekitar lokasi kegiatan sebelum pejantan dijual. Terbatasnya pejantan dewasa dengan kualitas baik merupakan masalah umum yang ditemukan di lapangan, sehingga sosialisasi program IB sangat diminati oleh sebagian besar pemilik kerbau.
29
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Program penyerentakan berahi dan pelayanan inseminasi buatan Kegiatan penyerentakan berahi dan pelayanan IB pada kerbau di Kabupaten Batanghari, dilakukan dua tahap, yaitu tahap I dari tanggal 30 Nopember sampai dengan 12 Desember 2006, dan tahap II dari tanggal 26 Desember sampai dengan 29 Desember 2006, dengan lokasi di Desa Simpang Rantau Gedang, Pasar Terusan, Durian Luncuk, Tebing Tinggi, Kubu Kandang, Lubuk Ruse, Ture, Serasah dan Rambahan. Kerbau yang dijadikan akseptor kegiatan tersebut merupakan kerbau bantuan dari Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Koperasi, milik pribadi. Kerbau yang terpilih terdiri dari induk ataupun dara yang dan segi penampilan tubuh dan status reproduksinya telah memenuhi syarat untuk dikawinkan, termasuk induk yang sudah melahirkan anak dan tidak menunjukkan gejala berahi >6 bulan. Tidak tersedianya pejantan yang dapat digunakan sebagai pemacek, waktu penyapihan anak yang terlambat hingga 10 - 12 bulan, serta nutrisi yang diperoleh sangat terbatas merupakan penyebab tidak munculnya berahi sesuai dengan siklus normal baik pada dara maupun induk. Penyuntikan PGF2α (R/Lutalyse) sebanyak 5cc diikuti dengan penyuntikan GnRH (R/Fertagyl) sebanyak 5 cc secara intramusculer dan Estradiol capsul (R/Cidirol) secara intravagina dilakukan pada kerbau dara maupun induk yang memiliki corpus luteum serta folikel aktif di ovariumnya. Untuk kerbau dara yang alat reproduksinya belum berkembang dengan baik tidak diikutkan dalam program tersebut. Ternak kerbau yang tidak menunjukkan gejala berahi hingga hari ke 11 setelah penyuntikan PGF2a yang pertama, dilakukan penyuntikan kedua PGF2α 10 hari setelah penyuntikan pertama dan IB dilakukan 3 hari (72 jam) setelah penyuntikan PGF2α kedua tanpa deteksi berahi. Dari 52 ekor kerbau induk dan dara di lokasi kegiatan yang dilakukan pemeriksaan status reproduksi dan program penyerentakan berahi dan pelayanan IB, 10 ekor diantaranya bunting (20%) hasil kawin alam dengan umur kebuntingan antara 1,5 sampai dengan 9 bulan. Terdapat juga kerbau dara yang alat reproduksinya belum berkembang dengan baik
30
sementara tubuhnya sudah cukup untuk dikawinkan sebanyak 15 ekor (30%), hypofungsi ovari (fungsi ovarium menurun) sebanyak 2 ekor (4%), 25 ekor memiliki corpus luteum dan folikel aktif di ovariumnya kemudian dilakukan penyerentakan berahi dan yang mengalami berahi 10 ekor dan dilayani IB (40%), sedangkan sisanya masih menunggu informasi dari lapangan. Hasil pemeriksaan status reproduksi, penyerentakan berahi dan pelayanan IB di Kabupaten Batanghari dapat dilihat pada Tabel l. Dari hasil kegiatan tersebut di atas, pemeriksaan status reproduksi kerbau yang diikuti dengan penyuluhan serta program penyerentakan berahi dan pelayanan IB, memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan, keberhasilan program IB yang diukur dengan pemeriksaan kebuntingan 3 bulan setelah pelayanan IB dinyatakan bunting dan melahirkan anak setelah 10-11 bulan kemudian. Para peternak kerbau di lokasi kegiatan berdasarkan tiga pola pemeliharaan seluruhnya sangat antusias dengan kegiatan tersebut mereka menganggap bahwa program peternakan yang dilakukan telah meningkatkan motivasi dan inovasi dalam pemeliharaan ternak kerbau di lokasinya. Konsekuensinya munculnya keinginan untuk memperbaiki teknik budidaya yang selama ini dilakukan, memperbaiki aktivitas kelompok serta menginginkan pembinaan dari dinas yang kontinyu. Untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif disarankan agar program tersebut tetap dilaksanakan kembali pada tahun 2007 hingga 3 atau 4 tahun ke depan sehingga peningkatan produktifitas dan populasi kerbau di Kabupaten Batanghari serta peningkatan kesejahteraan para pternak kerbau dapat tercapai. KESIMPULAN DAN SARAN Dari sosialisasi dan implementasi program penyerantakan berahi diikuti dengan pelayanan IB pada kerbau di Kabupaten Batanghari disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Ternak kerbau bagi masyarakat merupakan ternak yang sangat dekat dengan pola usahatani serta dijadikan sebagai tabungan bagi keluarganya. Oleh karena itu para
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 1. Status reproduksi kerbau, penyerentakan berahi dan pelayanan IB di Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi, Nopember - Desember 2006 (ekor) AIat reproduksi Program Kerbau PeIayanan Bunting belum penyerentakan Berahi Bunting berkembang/fungsi diperiksa IB hasil IB berahi menurun
No. Lokasi
1.
Ds. S Gebang
Rantau
2.
Pasar Terusan
5
1
0
4
2
2
0
3.
Durian Luncuk
2
0
2
0
0
0
0
4.
Tebing Tinggi
3
2
0
1
0
0
0
5.
Kubu Kandang
1
1
0
0
0
0
0
6.
Lubuk Ruso
2
1
0
1
0
0
0
21
3
8
10
10
10
4
7.
Ture
2
1
0
1
0
0
1
S.
Serasah
1
0
0
1
0
1
1
9.
Rambahan
Jumlah
2.
3.
4. 5.
15
1
7
7
7
5
1
52
10
17
25
19
18
7
pemilik ternak menginginkan adanya perbaikan baik dari segi kualitas maupun populasinya dengan mendapatkan pembinaan dari instansi terkait. Program penyuluhan diikuti dengan kaji tindak (action research), dalam bentuk pemeriksaan status reproduksi dan diikuti dengan program penyerentakan berahi dan pelayanan IB, sangat diminati para peternak kerbau dan diharapkan kegiatan tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan. Secara umum status reproduksi kerbau di lokasi kegiatan dalam keadaan normal. Munculnya kasus tidak menunjukkan berahi pada induk setelah melahirkan dan dara diakibatkan oleh pola penyapihan anak yang terlambat, sistem pemeliharaan yang ekstensif (kurang perhatian), terbatasnya ilmu dan keterampilan yang dimiliki, serta terbatasnya pakan baik jumlah maupun mutunya Penyuntikan hormon PGF2α, GnRH, serta Estradiol telah dapat meningkatkan kesuburan dan perbaikan status reproduksi. Program IB pada ternak kerbau di Kabupaten Batanghari, saat ini dan untuk masa yang akan datang merupakan pilihan dan sebaiknya dilaksanakan secara intensif terutama di kelompok dimana yang kerbau jantan dewasa yang digunakan untuk program perkawinan terbatas baik jumlah maupun mutunya.
6. Melalui program IB diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari hadirnya pejantan yang tidak memenuhi syarat sebagai pemacek, dan dampak negatif lainnya. 7. Diperlukan adanya peningkatan sosialisasi dan implementasi program IB, peningkatan sarana dan prasarana serta aspek kelembagaannya. 8. Diperlukan peningkatan jumlah petugas (SDM) terampil serta memiliki dedikasi tinggi dalam pengelolaan ternak kerbau milik petani peternak. Program pendidikan pelatihan khususnya pengelolaan budidaya serta perkembangan teknologi sebaiknya dilaksanakan secara kontinyu dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, dsb. (aspek koordinasi dan komunikasi serta kolaborasi). DAFTAR PUSTAKA DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAMBI. 2006. Laporan Tahunan Disnak Propinsi Jambi 2006. PUSAT STATISTIK PROPINSI JAMBI. Jambi. JAENUDEEN, M.R. and E.S.E. HAFEZ. 2000. Cattle and buffalo in reproduction in farm animals. Ed.: E.S.E. Hafez and Hafez B. 7ed. Lippineot Williams & Willims, Baltinore, USA. TOELIHERE, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
31
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
32