Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENYAKIT STRATEGIS DALAM RANGKA MENDUKUNG PROGRAM KECUKUPAN DAGING SAPI 2010 SJAMSUL BAHRI1 dan ENY MARTINDAH2 1
Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta 2 Puslitbang Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
ABSTRAK Program kecukupan daging sapi 2010 yang telah dicanangkan oleh pemerintah perlu didukung oleh peningkatan produktivitas ternak yang optimal. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas ternak adalah kesehatan hewan dan pengendalian penyakit ternak. Sasaran kesehatan hewan untuk tahun 2007-2010 yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan dalam mendukung kecukupan daging sapi 2010, adalah: menekan angka kematian sapi potong < 2,39%, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas dengan angka kelahiran > 17,85%, meningkatkan jumlah unit pelayanan keswan yang terakreditasi dan kemampuan deteksi dini penyakit hewan menular (PHM), serta meningkatkan jumlah wilayah bebas PHM strategis tertentu khususnya di kantong ternak sapi potong. Pada prinsipnya pengendalian dan pemberantasan PHM menjadi tugas pemerintah pusat dan saat ini diprioritaskan pada 13 (tigabelas) jenis PHM strategis dimana situasi penyakit-penyakit tersebut wajib dilaporkan ke pusat tiap bulan. Dari 13 jenis penyakit tersebut terdapat 5 (lima) jenis penyakit pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus, yaitu: penyakit brucellosis, anthrax, Jembrana, SE dan IBR. Penyakit-penyakit tersebut jika mewabah dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dan berdampak pada kesehatan masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam upaya pengendalian ke-5 jenis penyakit PHM strategis tersebut berikut masalah yang telah diidentifikasi dan upaya penyelesaiannya diuraikan dalam tulisan ini. Kata Kunci: Penyakit hewan menular strategis, kebijakan, pengendalian, pemberantasan.
PENDAHULUAN Sub sektor peternakan merupakan bagian penting dari sektor pertanian, dan berperan sangat besar dalam ketahanan pangan terutama penyediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah. Program Kecukupan Daging oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pertanian telah ditargetkan akan dicapai pada tahun 2010. Untuk mendukung program Kecukupan Daging tersebut produktivitas ternak perlu dioptimalkan. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas ternak adalah masalah kesehatan hewan dan pengendalian penyakit ternak. Oleh karena itu status dan kondisi kesehatan hewan harusnya dapat dikendalikan. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan telah menetapkan visi dan misinya dalam pembangunan kesehatan hewan untuk periode tahun 2005-2009 (ANONIMUS,
12
2005). Secara khusus visi pembangunan kesehatan hewan adalah mewujudkan masyarakat sehat dan produktif melalui pelayanan kesehatan hewan yang profesional, maju efektif dan efisien. Sementara itu, misi yang diemban oleh Kesehatan Hewan adalah: 1. Melindungi hewan dari penyakit yang mengancam kelestarian sumberdaya hewan dan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi 2. Melindungi masyarakat dari resiko yang berkaitan dengan hewan dan produknya dan memberikan sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan biologik dan medik 3. Melindungi kehidupan lingkungan serta mempertahankan kelestarian sumberdaya genetika 4. Memfasilitasi perdagangan dengan mewujudkan pelayanan kesehatan hewan secara profesional demi menjamin kestabilan usaha bidang peternakan yang lestari dan berdaya saing.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Dengan visi dan misi tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan kesehatan hewan 2005-2009 dirumuskan sebagai berikut: 1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan hewan 2. Meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan hewan dan penerapan biosekuriti 3. Meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kredibilitas surveilans 4. Meningkatkan kapasitas kerjasama dan koordinasi dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular 5. Meningkatkan kapabilitas kesiagaan darurat terhadap penyakit hewan menular dan eksotik 6. Meningkatkan jaminan mutu komoditas hewan dan obat hewan. Sasaran yang akan dicapai dari kesehatan hewan yaitu: 1. Menurunnya angka kesakitan dan angka kematian serta meningkatnya angka kelahiran 2. Meningkatnya angka produktivitas ternak 3. Meningkatnya deteksi dini penyakit hewan 4. Meningkatnya jumlah wilayah yang bebas penyakit hewan menular 5. Meningkatnya kemampuan merespon timbulnya wabah penyakit hewan menular dan eksotik 6. Meningkatnya jumlah unit pelayanan keswan yang terakreditasi. Agar sasaran tersebut dapat tercapai maka pendekatan yang digunakan dalam pelayanan kesehatan hewan adalah kesehatan kelompok (herd health) melalui pengelolaan penyakit dalam populasi (Disease management in population), dan sesuai tanggung jawab pemerintah, pelayanan yang diberikan mencakup pencegahan penyakit hewan (Preventive veterinary medical services) dengan tetap memperhatikan aspek pelayanan kesehatan masyarakat veteriner (Veterinary public health services). Sementara itu, sasaran kesehatan hewan 4 (empat) tahun kedepan (th 2007-2010) dalam mendukung kecukupan daging sapi 2010, adalah: 1. Mempertahankan angka kematian sapi potong < 2,39% (parameter tahun 2005). 2. Meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas dengan angka kelahiran > 17,85%.
3. Meningkatkan jumlah unit pelayanan keswan yang terakreditasi serta kemampuan deteksi dini penyakit hewan menular (PHM) 4. Meningkatkan jumlah wilayah yang bebas PHM strategis tertentu khususnya kantong ternak sapi potong. Deteksi penyakit hewan secara dini merupakan bagian terpenting dalam upaya untuk mengantisipasi masuk dan berkembangnya penyakit-penyakit hewan di Indonesia. Hal ini telah diuraikan oleh BAHRI (1998) bahwa dalam menghadapi era perdagangan bebas, maka Institusi (Laboratorium) Veteriner di Indonesia harus dapat mengembangkan diri dalam kemampuannya mendeteksi penyakit hewan secara dini. PENGENDALIAN PENYAKIT HEWAN MENULAR (PHM) STRATEGIS PADA RUMINANSIA BESAR Pengendalian merupakan suatu usaha yang terorganisir di daerah atau pusat untuk mengurangi kejadian (incidence) atau kerugian suatu penyakit sampai pada tingkat terkendali (tidak mempunyai dampak serius terhadap kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat). Sedangkan pemberantasan adalah suatu usaha yang terorganisir untuk menghilangkan atau mengeliminasi suatu penyakit pada suatu daerah tertentu sampai tidak terjadi lagi. Kebijaksanaan dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas terhadap penyakit hewan strategis, yaitu penyakit hewan yang berdampak kerugian ekonomi tinggi karena bersifat menular, menyebar dengan cepat sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya tinggi, atau berpotensi mengancam kesehatan masyarakat. Kebijakan operasional dalam penanggulangan wabah penyakit menular (infeksius) eksotis maupun endemis yang dapat terjadi kapan dan dimana saja yang dampaknya berskala nasional, regional atau lintas propinsi akan diperjuangkan dan disiapkan dana bencana alam lingkup Departemen Pertanian. Dalam jangka panjang, setiap muncul wabah penyakit hewan agar dapat ditanggulangi dengan cepat secara sistematis dan konseptual,
13
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
hal ini perlu didukung perangkat peraturan perundangan yang kuat berupa UndangUndang Penanggulangan Wabah Penyakit Hewan. Penyakit hewan menular strategis secara nasional (Keputusan Dirjen Peternakan Th. 1997) ada 11 (sebelas) jenis dan telah ditambah 2 jenis lagi oleh komisi ahli Keswan, adalah sebagai berikut: 1. Rabies 2. Brucellosis 3. Anthrax 4. Jembrana 5. Bovine Viral Diarrhae (BVD) 6. Septicemia Epizootica (SE) 7. Infectious Bovine Rinotracheitis (IBR) 8. Clasical Swine Fever (Hog Cholera) 9. Newcastle Disease 10. Infectious Bursal Disease 11. Salmonellosis 12. Trypanosomiasis 13. Avian Influenza (AI) Dua penyakit terakhir (nomor 12 dan 13) merupakan tambahan yang diusulkan oleh Komisi Ahli Kesehatan Hewan. Dari 13 (tigabelas) jenis penyakit strategis tersebut, dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular strategis pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yang ditimbulkan. Kelima jenis penyakit tersebut adalah: 1. Penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong dan sapi perah 2. Penyakit radang limpa (Anthrax) pada ruminansia 3. Penyakit Jembrana 4. Penyakit SE dan 5. Penyakit IBR. Penyakit-penyakit ini sering berubah sifat dari situasi yang endemik di suatu daerah menjadi mewabah dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Penyakit hewan menular pada ternak bibit pun mendapat perhatian khusus, penyakit yang harus bebas pada ternak bibit adalah Brucellosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarrhae (BVD), Bovine Genital Champilobacteriosis (BGC), Tubercullosis (TBC), Enzootic Bovine Leucosis (EBL), Trichomoniasis,
14
Leptospirosis, Babesiosis, Anaplasmosis, dan Theileriasis (ANONIMUS, 2005). Aplikasi kesehatan hewan pada ternak bibit adalah: 1. Dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan secara reguler dan terdokumentasi agar penyakit dapat dimonitor. 2. Dokumentasi dilaksanakan dibawah pengawasan Dokter Hewan dan harus tetap disimpan minimal 1 (satu) tahun setelah ternak tidak ada di peternakan. 3. Setiap ternak baru yang akan masuk ke areal peternakan harus ditempatkan di kandang karantina selama 3 minggu. 4. Dilarang memasukkan dan memelihara ternak bukan bibit di areal peternakan, (v) Pengujian diagnostik penyakit dilakukan di laboratorium yang terakreditasi atau di Laboratorium lain di bawah pengawasan Laboratorium terakreditasi. Landasan hukum pengaturan kebijakan dalam pengendalian penyakit hewan menular strategis berdasarkan: 1. Staatblad Tahun 1912 campur tangan pemerintah dalam bidang kehewanan. 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 a. Urusan Kesehatan Hewan (Dalam lapangan ekonomi) yaitu meningkatkan produksi dengan memperbaiki kesehatan hewan dan mengurangi kerugian karena penyakit b. Urusan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Dalam lapangan sosial) yaitu menjaga agar kesehatan masyarakat jangan terganggu karena penularan penyakit Anthropozoonosa atau kontak dengan bahan yang tertular maupun mengkonsumsi makanan asal hewan 3. Peraturan Pemerintah: a. PP Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan b. PP Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan c. PP Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesmavet d. PP Nomor 82 Tahun 1992 tentang Obat Hewan e. PP Nomor 25 TH 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
4. Peraturan-peraturan pelaksanaan Mentan, dan lain-lain).
(Kep
PENETAPAN NORMA DAN STANDAR TEKNIS PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DALAM ERA OTDA Pada prinsipnya pengendalian penyakit hewan menular menjadi tugas pemerintah pusat terutama fokus pada penyakit yang bersifat wabah dan menyebar lintas propinsi, Regional dan Nasional, berdampak ekonomis dan Zoonosis (Ancaman bagi kesehatan dan kehidupan manusia). Saat ini pengendalian dan pemberantasan diprioritaskan pada 13 jenis
PHM strategis, dimana situasi penyakitpenyakit tersebut wajib dilaporkan ke Pusat setiap bulan. Prioritas pemberantasan di tingkat nasional saat ini ditujukan untuk ternak besar selain wabah Avian Influenza. Sementara itu, penyakit endemis/sporadis lintas kabupaten/kota menjadi tugas Pemerintah Propinsi, untuk penyakit endemis/sporadis lokal di kabupaten/kota menjadi tugas Pemerintah Kabupaten/Kota. Penyakit produksi dan yang sifatnya individual diarahkan pada upaya peningkatan kemandirian peternak (swadaya). Penanggulangan wabah penyakit hewan dalam era OTDA dapat dilihat pada skema berikut ini:
Penanggulangan wabah U.U. No. 22 Th 1999 yo. No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah P.P. No.25 Th 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
BAB II Pasal 2 ayat (4) Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional
U.U. No.6 Th 1963 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
P.P. No. 15 Th 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular
SK Mentan No. 487 Tahun 1981 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular
Kewenangan Propinsi
U.U. No. 22 Th 1999 kemudian U.U. No.32 Th 34 tentang Pemerintah Daerah P.P. No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom Bab II Pasal 3 ayat (5) STATUS PHM STRATEGIS PADA 1.g. Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit hewan menular lintas RUMINANSIA BESAR kabupaten/kota
15
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Penyakit Brucellosis Penyakit Brucellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang dapat menyebabkan keluron (keguguran) pada ternak ruminansia dan bersifat zoonosis. Pada sapi disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus; dan diketahui ada 7 biotipe B. Abortus yaitu biottipe 1-6 dan biotipe 9 (ALTON, et al. 1988). Di Indonesia Brucellosis pada sapi terutama disebabkan oleh infeksi B. Abortus biotipe 1, kemudian biotipe 2 dan biotipe 3 (SUDIBYO, 1994). Di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi, secara ekonomi dan sosial menimbulkan kerugian besar. Jika pengendalian tidak dilakukan kerugian ekonomi akibat penyakit ini dapat mencapai 385 milyar per tahun. Sampai saat ini wilayah yang bebas dari penyakit Brucellosis adalah Propinsi Bali, sedangkan Pulau lombok telah berhasil dibebaskan pada tahun 2002 dan P. Sumbawa bebas pada awal tahun 2006. Meskipun demikian, kemungkinan timbulnya wabah Brucellosis harus tetap diwaspadai karena pemberantasan penyakit yang tidak optimal dan seksama akan memperluas penyebaran penyakit. Di DKI Jakarta, sedikitnya 201 ekor sapi di 38 peternakan terserang brucellosis (SUDIBYO, 1995a.), selain itu Brucellosis pada sapi perah telah menyebabkan tingginya kasus keguguran (62,5%), kematian dini (9,8%) dan lahir lemah (15,2%). Brucellosis pada sapi perah di DKI Jakarta mengakibatkan tingginya kontaminasi susu oleh B. Abortus; sehingga susu dan cairan uterus merupakan sumber penularan brucellosis yang potensial (SUDIBYO, 1996a). Prevalensi di P. Jawa < 2% dengan menerapkan program test and sloughter, dan diharapkan dapat bebas pada th 2012. Sampai saat ini P. Sumatera kecuali Propinsi NAD dan Propinsi Lampung dengan kebijakan test and sloughter yang diterapkan tidak ditemui kasus Brucellosis dalam 5 tahun terakhir, demikian pula dengan Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Berdasarkan laporan surveilans BPPV Reg.V, prevalensi Brucellosis di Propinsi Kalimantan Timur (1998-2005) kurang dari 0,07% dan rencana bebas tahun 2008. Daerah-daerah yang saat ini menerapkan program vaksinasi adalah Propinsi NAD, Sulawesi Selatan dan Tenggara,
16
P. Flores dan Propisi Maluku dengan prevalensi penyakit Brucellosis lebih dari 2%. Dalam rangka mengamankan lingkungan budidaya ternak telah ditetapkan kebijakan pengendalian Brucellosis sebagai salah satu prioritas nasional. PELAKSANAAN KEGIATAN PENGENDALIAN BRUCELLOSIS Pemerintah Pusat secara kelembagaan berperan antara lain dengan membuat Pedoman, Surat Edaran ke Daerah dan koordinasi bersama instansi terkait untuk mendukung program termasuk aspek kesehatan masyarakat (zoonosis). Kebijakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis didasarkan kepada tingkat prevalensi penyakit suatu wilayah (NAIPOSPOS, 2005). Untuk mengoptimalkan sasaran serta evaluasi pelaksanaan kegiatan di daerah dilakukan melalui sosialisasi dan komunikasi langsung, serta pembuatan poster penyakit sebagai pedoman dan antisipasi masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya wabah penyakit. Peranan UPT BBVet/BPPV regional adalah melakukan surveilans penyakit untuk memastikan Prevalensi/zoning, monitoring dan evaluasi bersama Dinas dan pengujian sampel terhadap RBT dan CFT bersama Lab. Keswan lain yang ditunjuk. Berdasarkan laporan 3 tahun terakhir, kasus CFT Positif terbesar pada sapi perah terdapat di Jawa Timur, Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan untuk sapi potong di Sulawesi Selatan, NTT dan Nangro Aceh Darussalam (NAD). Pelaksanaan kegiatan oleh daerah dengan melakukan: Pengujian dan Vaksinasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Semua populasi sapi/kerbau Melaporkan setiap bulan dengan form standar Menggunakan Antigen RBT produksi Pusat Veterinaria Farma Sampel dikirim ke BBVet/BPPVR/ Lab.Keswan yang ditunjuk Vaksinasi untuk prevalensi di atas 2% Pemotongan Reaktor Tes positif Brusellosis ------ diberi tanda khusus
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
8.
Isolasi dan sloughter -------hewan tidak boleh dipasarkan 9. Positif CFT harus dipotong di RPH, dengan kompensasi APBN (dekonsentrasi) APBD I dan II, Koperasi maupun swadaya masyarakat. 10. Lalu lintas Ternak 11. RBT dan CFT Negatif sertifikat uji berlaku 1 tahun dan ternak ditransportasikan terbatas 12. Pengawasan ketat dokumen lalu lintas ternak. Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di berbagai negara umumnya menggunakan vaksin aktif B. Abortus S19 karena mampu memberikan perlindungan sebesar 70% selama masa produksi (ALTON, 1978). Namun demikian, pengendalian dan pemberantasan brucellosis dengan vaksin B.abortus S 19 dapat menimbulkan infeksi laten dan titer antibodi berkepanjangan yang sulit dibedakan secara serologis dengan infeksi alami, sehingga dapat mengacaukan diagnosis (SUDIBYO, 1996b). Oleh karenanya perlu tindakan hati-hati untuk menetapkan sapi yang harus dipotong paksa atau diafkir. Tingkat kekeliruan diagnosis serologis terhadap brucellosis akan dapat ditekan dengan dikembangkannya uji ELISA-Kompetitif (SUDIBYO, 1995b), karena dengan menggunakan uji konvensional RBPT dan CFT saja ternyata tidak mampu membedakan secara serologis antara sapi yang mendapat infeksi alami dan yang divaksinasi B.abortus S19. PENYAKIT ANTHRAX Penyakit anthrax (radang limpa) merupakan salah satu penyakit yang fatal dan bersifat zoonosis, disebabkan oleh Bacillus anthracis. Ruminansia seperti sapi, kambing dan domba adalah hewan yang sangat rentan/mudah terserang, dibandingkan dengan kuda dan babi (ANONIM, 2000). Beberapa daerah dari beberapa propimsi di Indonesia dikenal sebagai daerah endemis anthrax, dan kejadiannya secara klinis masih sering dilaporkan (DITKESWAN, 1990; HARDJOUTOMO, 1990; NURHADI et al., 1996). DEPKES RI (2004) mencatat 11 dareah endemis anthrax, yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, NTT, Sumatera Barat,
Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Papua. Nusa Tenggara Barat merupakan propinsi di Indonesia yang paling sering terjadi kasus anthrax, diikuti oleh Propinsi Jawa Barat et al., 1995; (POERWADIKARTA, HARDJOUTOMO, et al., 1996 ). Kantong penyakit anthrax di Propinsi NTB adalah P. Sumbawa, namun demikian berdasarkan data kasus anthrax selama 11 tahun (tahun 19841994) kasus anthrax di NTB terjadi hampir setiap tahun meskipun kejadiannya cenderung menurun (MARTINDAH dan WAHYUWARDANI, 1998). Sementara itu, kajian retrospektif kejadian anthrax selama 20 tahun (1974-1995) menunjukkan pola letupan anthrax di 5 kabupaten di Jawa Barat pada berbagai jenis hewan terjadi setiap 3-4 tahun sekali, dengan interval puncak kurva selang 14 tahun (MARTINDAH, et al., 1995). Tahun 2004 kasus anthrax telah berulang kembali di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan telah menelan korban manusia. Hasil kajian KURNIAWATI, et al. (2005) menunjukkan bahwa faktor yang dominan terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia adalah riwayat makan daging ternak yang dinyatakan positif terkena kuman B. Anthracis, jarak kandang dengan rumah, dan saluran pembuangan air limbah, tetapi tidak ada hubungan antara faktor vaksinasi anthrax terhadap kejadian penyakit anthrax pada manusia. PENGENDALIAN PENYAKIT ANTHRAX Pengendalian penyakit anthrax mendapat prioritas secara nasional. Upaya pengendalian penyakit Antrax telah ditetapkan dan didasarkan pada azas pewilayahan/zoning (NIPOSPOS, 2005), sebagai berikut: 1. Bagi daerah bebas Anthrax, didasarkan kepada pengawasan ketat pemasukan hewan ternak ke daerah tersebut 2. Bagi daerah endemik Anthrax didasarkan pada pelaksanaan vaksinasi ternak secara rutin diikuti monitoring. 3. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan penyuntikan antibiotik dan 2 minggu kemudian disusul dengan vaksinasi anthrax. Pelaksanaan langkah-langkah operasional strategis dalam upaya mengendalikan penyakit anthrax adalah sebagai berikut:
17
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
1.
Pelaksanaan pengamatan untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kemungkinan munculnya kasus pada ternak khususnya di daerah endemis yang setiap tahun ada kecenderungan muncul, serta terus memantau secara intensif daerah dan lokasi endemis yang ada. 2. Pelaksanaan vaksinasi massal untuk mengoptimalkan cakupan vak sinasi setiap tahun pada ternak sapi, kerbau, kambing dan domba di lokasi-lokasi endemis anthrax. 3. Penelitian untuk dapat menghasilkan vaksin yang lebih baik yaitu mempunyai potensi atau tingkat kekebalan yang cukup lama, aman terhadap semua jenis ternak dan murah. 4. Memproduksi vaksin dalam jumlah cukup untuk kesiap-siagaan apabila terjadi wabah minimal sebesar 600 juta dosis dan untuk memberikan subsidi bagi daerah yang masih kekurangan vaksin. 5. Pelaksanaan pengawasan lalu lintas ternak yang keluar dan masuk lokasi endemis bekerjasama dengan aparat karantina hewan dan instansi terkait lain. 6. Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum maupun setelah ternak dipotong (ante/post mortum) di Rumah Potong Hewan. 7. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya anthrax serta upaya penanggulangannya dengan bekerjasama seluruh instansi dan pihak terkait lain termasuk pemuka masyarakat/agama, LSM, kader desa melalui berbagai cara seperti pencetakan brosur, leaflet, spanduk, sosialisasi melalui berbagai media (elektronik dan cetak) serta pertemuan-pertemuan informal. 8. Pertemuan koordinasi untuk meningkatkan koordinasi dengan seluruh instansi terkait khususnya dengan Departemen Kesehatan beserta jajarannya sampai ke tingkat kecamatan/Puskesmas khususnya apabila dicurigai adanya kasus penularan pada manusia. Tingkat endemisitas penyakit Antrax sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1. Praktek-praktek sosial dalam masyarakat peternakan, termasuk pertukaran ternak sapi
18
2. 3. 4.
Disposal karkas yang tidak memadai Makan daging terkontaminasi Penggembalaan yang berlebihan Vaksinasi yang kurang memadai. Menurut WHO (1998) sebaiknya vaksinasi anthrax diberikan kepada hewan yang tidak sedang diobati dengan antibiotika, misalnya pada sapi yang mendapat pengobatan antibiotoika terhadap mastitis, karena pemberian vaksin menjadi tidak effektif. Dianjurkan pula setidaknya 6 (enam) minggu sebelum dipotong dan dikonsumsi, ternak agar lebih dulu divaksinasi anti anthrax. PENYAKIT JEMBRANA
Di Indonesia Penyakit Jembrana merupakan masalah penyakit yang unik sebab hanya patogen pada sapi Bali, disebabkan oleh Jembrana disease virus (JDV) yang diidentifikasi sebagai lentivirus (HARTANINGSIH, et al., 1993; BARBONI, et al., 2001). Penyakit Jembrana dikenal sejak tahun 1964 di Kabupaten Jembrana, Bali. Tahun 1978 terjadi di Banyuwangi dan Jawa Timur. Wabah awal yang terjadi di Bali diperkirakan telah menimbulkan kematian sekitar 70.000 ekor sapi Bali, dengan tingkat kematian 98,9% (RAMACHANDRAN, 1997). Di Lampung kasus Jembrana muncul pertama tahun 1976, di Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 2001 dan 2002 di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Selatan dilakukan vaksinasi masingmasing sebanyak 2.000 dosis dan 3000 dosis. Di Pulau Kalimantan survei serologi penyakit Jembrana dilakukan dengan metoda uji ELISA, hasil prevalensi sero positif antibodi Jembrana cukup tinggi (43,3%). Sumber sapi Bali yaitu di NTB dan NTT masih bebas penyakit Jembrana. Sehubungan dengan outbreak tahun 1964, Direktorat Kesehatan Hewan telah melarang sapi export dari Bali ke pulau-pulau lain di Indonesia kecuali ke Jakarta sebagai ternak potong (RAMACHANDRAN, 1997). Namun, penyebaran penyakit Jembrana saat ini sudah meliputi P. Bali, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2003 di Sulawesi Selatan telah dilaporkan serologi positif. Sebaran kasus Jembrana periode 1989-2003 disajikan pada Tabel 1.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Tabel 1. Sebaran kasus Jembrana 1989-2003 PERIODE PROPINSI
1989-1992
1993-1997
1998-1999
2000-2003
2.849
558
87
168
-
-
-
2
Sumatera Barat
92
61
-
-
Kalimantan Selatan
32
75
-
-
Kalimantan Tengah
3
28
-
-
Riau
-
321
-
-
Sumatera Selatan
-
-
2
19 95
Bali Lampung
Bengkulu
-
-
39
Jawa Barat
-
-
4
-
Jambi
-
-
-
32
Nanggro Aceh Darussalam
-
-
-
1
Sulawesi Selatan
-
-
-
2
2.976
1.043
132
319
Jumlah
Sumber: Data situasi Penyakit hewan menular di Indonesia 1989-2003, Ditkeswan, Jakarta.
Pengendalian Penyakit Jembrana 1. Pengendalian lalulintas: a. Tindak karantina b. Sapi bali dari daerah tertular penyakit Jembrana disyaratkan harus sudah divaksinasi terhadap penyakit Jembrana. 2. Jika terjadi wabah maka harus dilakukan a. Tindak penutupan daerah oleh kepala daerah, pemberantasan vektor, pengobatan penunjang, isolasi dan observasi ternak sakit, dan vaksinasi seluruh ternak beresiko di daerah wabah b. Monitoring titer antibodi untuk mengukur kekebalan populasi c. Penyuluhan kepada masyarakat. 3. Pengendalian di daerah endemis adalah: 1. Vaksinasi seluruh ternak sehat 2. Monitoring titer antibodi untuk mengukur kekebalan populasi 3. Penyuluhan kepada masyarakat. 4. Pengamatan dan surveilans a. Pengamatan dilakukan melalui pelayanan kesehatan hewan oleh dinas yang membidangi kesehatan hewan/Poskeswan
b.
Surveilans pada populasi dilakukan oleh BPPV Regional dengan sampel terstruktur.
PERKEMBANGAN IPTEK PENYIDIKAN AGEN PENYAKIT DAN UPAYA PRODUKSI VAKSIN JEMBRANA Penyidikan penyakit Jembrana telah dilakukan 2 (dua) tahap: 1. Penyidikan tahap I (1983-1986). Tahap awal penyebab penyakit diduga Rickettsia. Tahap akhir diduga Erlichia. 2. Penyidikan Tahap II (1987-1992). Ditemukan penyebab adalah virus yang mengakibatkan reaksi Imunologis yang abnormal antara lain menurunnya respon terhadap vaksin SE dan Brucella. Mencari alternatif diagnosa yang paling murah dan akurat (ELISA, Western Immunoblotting, IHK/Immuno Histokimia, ISH dan PCR) dan dibuat Manual Diagnosa Laboratorium. 3. Peran IPTEK dalam upaya produksi vaksin. Sejak tahun 2001 telah dirintis penelitian vaksin rekombinan DNA (waktu yang dibutuhkan kurang lebih 3-5 tahun) oleh BPPV R-VI dengan bantuan Proyek ACIAR dan LIPI). Pada saatnya nanti produksi
19
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
vaksin massal hendaknya dilaksanakan oleh Pusvetma.
dapat
TUJUH REKOMENDASI ACIAR (APRIL 2004) BERKAITAN DENGAN PENYAKIT JEMBRANA DI INDONESIA 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
Rekomendasi umum: Program kerjasama studi Test Diagnostik JDV, Antibodi dan vaksin yang mujarab (24 bulan). Ditjen Peternakan mengembangkan Program Pengembangan kualitas Tes dan Reagen (12 bulan) Studi lanjut bidang molekuler untuk deteksi carrier dan differensiasi penyebaran Lentivirus di Indonesia dengan PCR dan lain-lain (18 bulan) Evaluasi percobaan vaksin rekombinan JD secara lengkap sampai diperoleh vaksin definitif yang efisien dan aman sebelum dikembangkan secara komersial (24 bulan) Memulai uji lapang vaksin rekombinan (12 bulan) Transfer teknologi & reagen untuk tes diagnostik dan fasilitas vaksin komersial (6 bulan) Finalisasi vaksin DNA untuk kegunaan ”Proof of Concept” yang establish (9 bulan).
penyebaran ke daerah yang lebih luas. Sasaran program pengendalian dan pengendalian penyakit SE adalah: 1. Wilayah bebas diusahakan tetap bebas, 2. Wilayah tertular ringan/bersifat sporadis diusahakan ditekan sampai tingkat 0 (Nol) 3. Wilayah tertular ringan enzootis diusahakan ditekan kearah sporadis dan akhirnya ditekan sampai tingkat 0 (Nol). Pengendalian dilakukan dengan pengobatan dan vaksinasi di daerah endemis di seluruh Propinsi. Jika terjadi wabah dilakukan penutupan daerah. Sementara itu, pemberantasan sudah dilakukan di beberapa wilayah yakni: 1. P. Lombok– Nusa Tenggara Barat (telah bebas) 2. P. Sumbawa – Nusa Tenggara Barat (Program pembebasan) 3. P. Nusa Penida – Bali (bebas kasus) 4. P. Sumba – Nusa Tenggara Timur (Program pembebasan). Dalam kaitannya dengan deteksi penyakit SE, (NATALIA dan PRIADI, 1998) menyarankan agar pengambilan sampel darah untuk keperluan uji serologis dilapangan menggunakan kertas saring. Teknik ini terbukti lebih mudah, praktis dan biaya pengambilan dan pengiriman sampel 100 kali lebih murah, dibandingkan dengan pengambilan darah dengan tabung.
PENYAKIT SE Septicaemia Epizootica (SE)/Haemorragic Septicaemia (HS) yang juga disebut penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang ternak sapi dan kerbau, bersifat akut dan mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Gejala yang menyolok adalah demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkaan leher yang meluas sampai daerah dada. Kerbau lebih peka terhadap SE. Hal ini terbukti pada pengamatan patogenesis SE bahwa kematian pada kerbau lebih cepat daripada sapi, demikian pula perubahan patologi (post mortem) menunjukkan bahwa lesi pada kerbau lebih parah dibandingkan dengan pada sapi (PRIADI dan NATALIA, 2000). Program pengendalian dan pemberantasan penyakit SE bertujuan untuk menghilangkan atau menekan kasus di daerah tertular ke tingkat seminimal mungkin dan mencegah
20
PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit viral menural yang menyerang sapi dan kerbau. Penyakit ini dapat mengakibatkan gangguan pad organ reproduksi, pernafasan, susunan syaraf dan pencernaan (GIBBS dan RWEYEMAMU, 1977). Survei yang dilakukan pada sapi perah di Jawa Tengah dan Jawa Barat menunjukkan bahwa prevalensi IBR pada sapi perah lebih menonjol dibanding penyakit reproduksi lainnya, dan 1996). bersifat laten (SUDARISMAN, Pengendalian penyakit IBR telah diupayakan dengan: 1. Ternak bibit harus berasal dari kelompok yang bebas IBR, 2. Pada saat pemberangkatan, tidak ditemukan tanda klinis IBR pada ternak,
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
Telah ditempatkan di stasiun karantina daerah asal 30 hari sebelum pemberangkatan. Telah dilakukan uji serologi 2 kali dengan metoda Virus Netralisasi (VN) atau ELISA dengan hasil negatif. Selang waktu antara uji pertama dengan uji kedua tidak kurang dari 21 hari.
3.
Program Surveilans IBR 1. Semua ternak bibit atau pejantan dilakukan uji serologi dengan metoda VN atau ELISA 2 kali dengan selang waktu paling lama 12 bulan dengan hasil negatif. 2. Uji dari sampel susu ternak yang laktasi 2 kali dengan selang waktu 6 bulan dengan hasil negatif 3. Ternak sapi yang keguguran pada kebuntingan lebih dari 3 bulan dilakukan uji serologi dengan metoda VN atau ELISA dengan hasil NEGATIF 4. Ternak yang positif IBR harus dipotong dan tidak diizinkan digunakan untuk ternak bibit 5. Semen dan embrio/ova yang berasal dari ternak betina donor serologis positif IBR harus dimusnahkan dan tidak diizinkan untuk disebarkan.
5.
3.
4.
MASALAH DAN UPAYA PENYELESAIANNYA Permasalahan Beberapa masalah yang berkaitan dengan penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar telah diidentifikasi antara lain: 1. Alokasi vaksin subsidi Pusat dari unit produksi Pusvetma untuk beberapa PHM strategis setiap tahun semakin mengecil bahkan belum dikembangkan untuk produksi vaksin IBR, BVD dan Jembrana 2. Belum tertampungnya seluruh biaya kebutuhan pengadaan vaksin dan operasional vaksinasi/uji di daerah sesuai populasi hewan terancam (dana dekonsentrasi, APBD dan lain-lain)
4.
6.
7.
Pergeseran prioritas masing-masing daerah mengakibatkan kompetensi kesehatan hewan semakin marjinal bahkan institusi keswan di daerah banyak yang tidak ada. Peran Depdagri yang sangat dominan di era otonomi daerah belum dapat dioptimalkan untuk mengkoordinir pelaksanaan pengendalian penyakit di daerah. Pengujian sampel untuk peneguhan diagnosa belum dapat dilakukan secara tertib. Pengawasan lalu lintas hewan peka sangat kompleks yang menyulitkan petugas untuk memonitor pergerakannya. Komitmen semua pihak masih perlu ditingkatkan, terutama dengan beragamnya struktur dinas daerah yang melaksanakan fungsi keswan.
Upaya Penuntasan Pemberantasan 1. Diperlukan komitmen bersama dan berkelanjutan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 2. Diperlukan dana operasional yang berkesinambungan untuk penyediaan vaksin, pengiriman dan pengujian sampel, surveilans dan monitoring sampai suatu PHM dapat dibebaskan sebagaimana ditargetkan. 3. Diperlukan optimalisasi pengawasan lalu lintas hewan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 4. Diperlukan optimalisasi cakupan vaksinasi/uji diikuti pengambilan, pengiriman dan penngujian sampel. Upaya Penyelesaian Masalah Apabila pelaksanaan kegiatan di daerah tidak optimal, perlu dipertimbangkan perubahan kebijakan terhadap beberapa PHM Strategis termasuk yang bersifat zoonosis yaitu dari program pemberantasan menjadi program pengendalian. Sangat strategis untuk melibatkan peran dan keikutsertaan Depdagri dalam pengendalian PHM Strategis termasuk yang zoonosis.
21
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
DAFTAR PUSTAKA ALTON, G.G. 1978. Recent development in vacination against bovine brucellosis. Aust. Vet. J. 54: 551-556. ALTON, G.G., L.M. JONES, R.D. ANGUS, and J.M. VERGER. 1988. Techniques for the Brucellosis Laboratory. Institute National de la Recherche Agronomique. Paris. ANONNIM, 2000. Anthrax Vaccine. U.S. Departemen of Health and Human Services, Centres for Diseases Control and Prevention National Immunization Program. ANONNIM. 2005. Draft Final Rencana Strategis Pembangunan Kesehatan Hewan. Direktorat kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. BAHRI, S. 1998. Tantangan Institusi (Laboratorium) Veteriner di Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas. Pros. Seminar Hasil-hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19 Februari 1998: 19-33. BARBONI, P., I. THOMPSON, J. BROWNLIE, N. HARTANINGSIH dan M.E. COLLINS. 2000. Evidence for the presence of two bovine lentiviruses in the cattle population of Bali. Veterinary Microbiology. 80, 313-327. DEPARTEMEN KESEHATAN RI, 2004. Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Anthrax di Indonesia. Sub.Dit Zoonosis, Direktorat P2B2, Dit Jen PPM dan PLP, Jakarta. DITKESWAN, 1990. Pedoman Umum Pembinaan Kesehatan Hewan.Rapat Konsultasi Teknis Nasional. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta, 5-6 Februari 1990. GIBBS, E.P.J. dan M.M. RWEYEMAMU, 1977. Bovine Herpesviruses. Part I. Bovine Herpesvirus-1. Vet.Bull. 47: 317-343. HARDJOUTOMO, S. 1990. Anthrax in Indonesia: A continuing problem for developing country. Salisbury Medical Bulletin. Special Supplement. Salisbury, Wiltshire. 68: 14-115. HARDJOUTOMO, S., M.B. POERWADIKARTA, dan E. MARTINDAH. 1996. Anthrax pada hewan dan manusia di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 November 1995. pp: 305-318.
22
HARTANINGSIH, N., G.E. WILCOX, D.M.N. DHARMA dan M. SOETRISNO. 1993. Distribution of jembrana disease in cattle in Indonesia. Veterinary Microbiology, 38: 23-29. KURNIAWATI, Y., H. KUSNOPUTRANTO, dan G.M. SIMANJUNTAK. 2005. Dinamika Penularan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit anthrax pada manusia di wilayah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tahun 2004. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September 2005. pp: 193-206. MARTINDAH, E., S. WAHYUWARDANI, dan A. NURHADI. 1995. Epidemiologi anthrax di daerah endemis (Jawa Barat). Kumpulan Makalah. Konferensi Ilmiah Nasional ke VI, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. Surabaya, 20-23 November 1994. PDHI Cabang Jawa Barat II. pp: 28-35. MARTINDAH, E. dan S. WAHYUWARDANI. 1998. Pola kasus anthrax pada ternak di Propinsi Nusa Tenggara Barat. JITV 3(1): 39-46. NAIPOSPOS, T.S.P. 2005. Kebijakan penanggulangan penyakit zoonosis berdasarkan prioritas Departemen Pertanian. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September 2005. pp: 23-27. NATALIA, L. dan A. PRIADI. 1998. Penggunaan kertas saring sebagai alat transpor sampel darah untuk uji serologi Pastuerella multocida: Analisis dan perbandingan komposisi protein antara ekstrak kertas saring dan serum. JITV 3(3): 182-189. NURHADI, A., E. MARTINDAH, dan S. WAHYUWARDANI. 1996. Study anthrax pada manusia dan ternak di Jawa Tengah. Pros. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Bogor, 12-13 Maret 1996: 156-161. PRIADI, A. dan L. NATALIA. 2000. Patogenesis Septicaemia Epizootica (SE) pada sapi/kerbau: Gejala Klinis, perubahan patologis, reisolasi, deteksi Pasteurella multocida dengan media kultur dan Polymerase Chain Reaction (PCR). JITV 5(1): 65-71. POERWADIKARTA, M.B., S. HARDJOUTOMO, dan E. MARTINDAH. 1995. Studi retrospektif laboratorik anthrax di Indonesia: 1973-1992. Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak, Bogor, 22-24 Maret 1994. pp: 159-164.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar
RAMACHANDRAN, S. 1997. Early observation and research on Jembrana Disease in Bali and other islans. In: Jembrana disease and the bovine lentiviruses. Edited by WILLCOX, G.E., S. SOEHARSONO, D.M.N. DHARMA dan J.W. COPLAND. ACIAR Proc.No. 75. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. SUDARISMAN, 1996. Status infeksi Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi perah di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 7-8 Nopember 1995: 877-881. SUDIBYO, A. 1994. Studi Brucellosis dan karakterisasi protein antigenik Brucella abortus isolat lapang pada sapi perah. Thesis Magister sain. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
SUDIBYO, A. 1995b. Perbedaan respons serologis antara sapi yang mendapat infeksi alami, infeksi buatan dan yang divaksinasi dengan vaksin Brucella abortus galur 19. JITV 1(2): 117-122. SUDIBYO, A. 1996a. Isolasi dan Identifikasi Brucella abortus yang menyerang sapi perah di daerah khusus Ibukota Jakarta. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 78 Nopember 1995: 909-914. SUDIBYO, A. 1996b. Studi perbandingan sifat-sifat protein antigenik sel brucella abortus isolat lapang dengan teknik elektroporosis dan immunoblotting. JIT V 1(3): 185-189. WHO, 1998. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Human and Animal. 3rd Edition, Departement of Communicable Disease Surveillance and Response.
SUDIBYO, A. 1995a. Studi epidemiologi brucellosis dan dampaknya terhadap produksi sapi perah di DKI Jakarta. JITV 1(1): 31-36.
23