Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
PENINGKATAN KONSUMSI DAGING RUMINANSIA KECIL DALAM RANGKA DIVERSIFIKASI PANGAN DAGING MENDUKUNG PSDSK 2014 (Increasing Mutton and Chevon Consumption to Support Beef Self Sufficiency Initiative in Production and Consumption by 2014) TJEPPY D. SOEDJANA Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
ABSTRACT Food diversification provides the society to expand their choices to consume foods including source of animal protein food such as livestock meat. Food supply including meat will continue to be faced by countries in the world, including Indonesia coused by growing human population and per capita income. Therefore, animal protein food diversification is among the urgent needs to be implemented. The status of food diversification within the society is affected directly by purchasing power, knowledge, availability, policy support and other social cultural tradidition. Currently total livestock and poultry meat in Indonesia is shared by poultry meat (65%), beef (20%), mutton and chevon (6%), and other meat (9%). Beef is classified as high income elastic goods with income elasticity of demand parameter of 1.64, while some 27 percent of domestic beef consumption still relies on imported 500 thousand heads of feeder stocks and 70 thousand tons of beef. Self sufficiency in beef production targeted for the year of 2014 can be achieved by increasing domestic beef cattle as well as sheep and goats production as an element of animal protein food diversification. Increased mutton and chevon consumption will take advantage of sheep and goats current annual production capability to produce equal to 1.6 million head of beef cattle, while improved farmer’s income. Mutton and chevon are considered as meats which have even better nutrition content than beef. Therefore, there is a clear need for the government to continue providing reasonable incentive to sheep and goats farmers as they were treated in 1990s during which time Indonesia was challenged to export small ruminants to the Middle Eastern countries. Key Words: Diversification, Consumption, Animal Protein Food, Sheep, Goats ABSTRAK Diversifikasi pangan adalah salah satu upaya untuk memperluas pilihan masyarakat dalam mengkonsumsi pangan, termasuk pangan sumber protein hewani seperti daging. Penyediaan pangan, termasuk pangan asal hewan akan terus menjadi tantangan bagi Negara manapun di dunia, termasuk Indonesia, terutama karena pertambahan penduduk dan tingkat pendapatan. Dengan demikian, penganekaragaman dan keterjangkauan pangan untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat menjadi sangat penting. Status diversifikasi pangan masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, pengetahuan, ketersediaan, dukungan kebijakan, dan faktor sosial budaya atau tradisi. Pangsa produksi daging di Indonesia saat ini terdiri atas daging unggas (65%), daging sapi (20%), daging kambing/domba (6%), dan daging lainnya (9%). Daging sapi termasuk kedalam komoditas high income elastic dengan angka elastisitas permintaan terhadap pendapatan masih sebesar 1,64 dan sekitar 27% kebutuhan konsumsi masih mengandalkan sekitar 500 ribu ekor sapi bakalan dan 70 ribu ton daging sapi impor. Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 dapat terwujud melalui peningkatan produksi sapi potong didalam negeri termasuk produksi ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba sebagai elemen diversifikasi pangan daging. Peningkatan konsumsi daging kambing dan domba yang memiliki potensi produksi daging setara dengan 1,6 juta ekor sapi potong per tahun, juga dapat meningkatkan pendapatan peternak. Daging kambing dan domba merupakan komoditas pangan daging yang bahkan memiliki kandungan nutrisi lebih baik dari daging sapi. Dengan demikian, pemerintah perlu melanjutkan berbagai kebijakan dan insentif bagi peternak kambing dan domba pada berbagai sistem budidaya seperti yang pernah dilakukan pada awal tahun 1990an saat merespon permintaan Timur Tengah. Kata Kunci: Diversifikasi, Konsumsi, Pangan Daging, Kambing, Domba
17
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
PENDAHULUAN Penyediaan pangan, termasuk pangan asal hewan akan terus menjadi tantangan bagi Negara manapun di dunia, karena kecepatan perkembangan penduduk dan tingkat pendapatan telah menjadi suatu keniscayaan. Pemenuhan kebutuhan pangan sumber karbohidrat, bahkan sudah menjadi isu penting bagi Negara-negara dengan sumberdaya yang terbatas sementara kebutuhan pangan dasar terus meningkat. Disisi lain, bagi Negaranegara yang berpendapatan menengah keatas, dimana permintaan pangan asal karbohidrat telah berkurang dan belanja pangan rumah tangga telah dialihkan kepada produk pangan asal hewan dan komoditas hortikultura, telah menunjukkan adanya persaingan usaha bagi pengembangan kedua komoditas ini yang akan sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi dalam memproduksi. Namun demikian, pengamatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian internasional menyimpulkan bahwa disamping memperbaiki konsumsi protein hewani dan gizi masyarakat, usahaternak tradisional juga telah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas penyediaan uang tunai dalam bentuk kolateral dan tabungan ternak yang tidak mudah terlanda inflasi. Peningkatan permintaan terhadap produk pangan asal hewan akan menyebabkan negaranegara berkembang untuk terus meningkatkan posisi net importer-nya yang saat ini sudah cukup tinggi. Sisi positif dari telaahan ini adalah bahwa peningkatan konsumsi produkproduk peternakan juga akan mendorong peningkatan pendapatan peternakan tradisional. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa petani miskin yang tidak memiliki tanah dan tinggal di perdesaan memiliki kontribusi pendapatan usahaternak yang lebih tinggi dari dibanding mereka yang lebih sejahtera di pedesaan. Dengan demikian, prevalensi usahaternak tradisional masih akan tetap bertahan dalam beberapa dekade mendatang sejalan dengan peningkatan permintaan produk asal hewan. Ketahanan Pangan Nasional di Indonesia memiliki beberapa karakteristik termasuk keharusan berorientasi kepada kepentingan sosial dan ekonomi dan kebutuhan gizi rumah tangga, menjamin ketersediaan dan aksesibilitas agar hidup sehat dan produktif,
18
sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (ANONIMUS, 1996), dimana pengertian ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Salah satu bahan pangan adalah daging yang berasal dari ternak, seperti sapi dan kerbau, kambing dan domba, unggas, dan babi. Tulisan ini mencoba untuk menyajikan keterkaitan antara ketahanan pangan daging asal ternak dengan kemampuan memproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi didalam negeri, dengan menampilkan kinerja produksi berbagai jenis daging, seperti daging sapi dan kerbau, daging unggas, daging babi, dan daging kambing dan domba. Telaahan tersebut kemudian digunakan untuk melihat apakah diversifikasi pangan daging asal ternak dapat dilakukan,bersamaan dengan keinginan Indonesia untuk ber swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014 melalui upaya peningkatan konsumsi daging ternak ruminansia kecil, kambing dan domba, dalam rangka substitusi daging sapi dan sapi bakalan impor. KONSUMSI DAGING DI INDONESIA Berdasarkan data secara nasional, bahwa baik dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi daging sapi dan kerbau belum memenuhi tujuan dari ketahanan pangan secara nasional, misalnya Statistik Indonesia yang diterbitkan oleh BPS (2009) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mencapai 219,8 juta (2005), 228,5 juta (2008), dan 231,4 juta (2009). Apabila disandingkan dengan angka produksi daging seperti yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan (2010) yang menunjukkan angka produksi daging secara nasional yang baru mencapai 2,062 juta ton (2006), 2,069 juta ton (2007), 2,136 juta ton (2008), 2,204 juta ton (2009) dan 2,348 juta ton (2010), maka angka rata-rata konsumsi daging keseluruhan per kapita per tahun baru mencapai 9,37 kg (2006), 9,35 kg (2008) dan 9,52 kg (2009). Selanjutnya dapat diuraikan lebih jauh bahwa untuk Indonesia konsumsi daging sapi baru mencapai sekitar 1,90 kg/kapita pada tahun 2006; 1,88 kg/kapita tahun 2008; dan
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
1,92 kg/kapita pada tahun 2009. Sedangkan untuk daging unggas, yang memiliki pangsa terbesar saja baru mencapai 5,84 kg/kapita tahun 2006; 6,04 kg/kapita tahun 2008; dan 6,18 kg/kapita pada tahun 2009. Untuk daging babi mencapai 0,89 kg/kapita tahun 2006; 0,92 kg/kapita tahun 2008; dan 0,86 kg/kapita pada tahun 2009; serta daging kambing dan domba baru mencapai 0,64 kg/kapita tahun 2006; 0,50 kg/kapita tahun 2008; dan 0,55 kg/kapita pada tahun 2009. Angka konsumsi daging per kapita ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Negara lain di dunia seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk negaranegara maju tingkat konsumsi daging per jenis nya saja (sapi, unggas, dan babi) telah jauh melebihi konsumsi daging total di Indonesia yang baru mampu mencapai 9,52 kg/kapita/ tahun pada tahun 2009. Dengan demikian, angka konsumsi daging per kapita secara
keseluruhan, maupun per jenis daging sapi, unggas, dan babi untuk Indonesia masih jauh ketinggalan dibanding dengan angka konsumsi di Negara-negara maju. Apabila angka-angka produksi daging di Indonesia tersebut diuraikan lebih lanjut seperti yang tercantum pada Tabel 2 maka dapat diketahui bahwa pangsa daging sapi dan kerbau mencapai sebesar 439.7 ribu ton (21,3%) tahun 2006; 431,5 ribu ton (20,2%) tahun 2008; dan 443,9 ribu ton (20,1%) pada tahun 2009. Pangsa daging terbesar disumbangkan oleh daging unggas, yang terdiri dari ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam kampung dan itik, yang mencapai 1.284,7 ribu ton (62,3%) pada tahun 2006; 1.380,5 ribu ton (64,6%) tahun 2008; dan 1.430,4 ribu ton (64,9%) tahun 2009. Sedangkan pangsa daging kambing dan domba baru mencapai 140,2 ribu ton (6,8%) tahun 2006; 113 ribu ton (5,3%) tahun 2008; dan 128
Tabel 1. Konsumsi daging sapi, unggas, dan babi di beberapa Negara (kg/kap/tahun) 2008
2009
2010
Negara Sapi Indonesia*)
Unggas
Babi
Sapi
Unggas
Babi
Sapi
Unggas
Babi
1,88
6,04
0,92
1,92
6,18
0,86
n.a
n.a
n.a
Argentina
67,50
31,40
6,20
66,70
32,40
6,30
55,80
33,70
6,70
USA
41,00
44,20
29,00
39,80
42,10
29,30
38,80
43,40
42,10
Australia
35,00
34,70
21,70
35,00
35,00
22,00
35,30
35,50
22,50
Korsel
11,10
12,70
31,40
11,30
14,00
30,50
12,50
15,30
31,60
Jepang
9,20
15,10
19,50
9,50
15,60
19,40
9,70
16,30
19,60
Taiwan
4,80
25,70
35,70
5,20
25,20
36,90
6,00
28,00
35,80
China
4,60
9,00
35,10
4,30
9,10
36,50
4,10
9,20
37,90
Pilipina
4,00
7,60
n.a
3,50
7,90
n.a
3,70
8,40
n.a
*DITJENNAK (2010a); BPS (2009); n.a = tidak ada data Sumber: USDA (2011) Tabel 2. Pangsa produksi daging utama di Indonesia Tahun
Sapi dan kerbau
Kambing dan domba
Unggas
Babi
ribu ton
(%)
ribu ton
(%)
ribu ton
(%)
ribu ton
(%)
2006
439,7
21,3
140,2
6,8
1.284,7
62,3
196,0
9,5
2008
431,5
20,2
113,0
5,3
1.380,5
64,6
209,8
9,8
2009
443,9
20,1
128,0
5,8
1.430,4
64,9
200,1
9,0
Sumber: DITJENNAK (2010a)
19
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
ribu ton (5,8%) tahun 2009. Sementara itu pangsa daging babi menunjukkan angka 196 ribu ton (9,5%) tahun 2006; 209,8 ribu ton (9,8%) tahun 2008; dan 200,1 ribu ton (9,0%) tahun 2009. Tingkat konsumsi daging, seperti halnya konsumsi komoditas lainnya, sangat dipengaruhi oleh preferensi atau cita rasa, dan harga komoditi yang bersangkutan. Daging sapi merupakan komoditas yang bersifat high income elastic, sehingga tingkat konsumsinya berkaitan langsung dengan tingkat pendapatan rumahtangga konsumen. Dengan angka elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging sapi sekitar 1,64 pada tahun 2007 (KUSTIARI et al., 2010), berarti bahwa setiap 1% peningkatan pendapatan rumah tangga akan terjadi peningkatan sebesar 1,64% belanja rumah tangga terhadap daging sapi. Berbeda dengan daging unggas, bersifat inelastic, karena memiliki angka elastisitas pendapatan terhadap permintaan yang pada tahun 1995 sudah dibawah 1.0 (SUDARYANTO et al., 1995), namun pada tahun 2007 sudah bergeser kearah elastic kembali menjadi 1,92 (KUSTIARI et al., 2010). Dengan demikian pada tahun 1995 daging unggas sudah sebagai komoditi yang sangat terjangkau dan merupakan pangan yang sudah dapat dikonsumsi dan terjangkau oleh masyarakat luas, walaupun pada kenyataanya dua belas tahun kemudian kondisi tersebut sudah tidak berlaku lagi. Selain angka elastisitas pendapatan terhadap permintaan, dikenal juga istilah elastisitas harga sendiri (own price elasticity) dan elastisitas harga silang (cross price elasticity). Angka elastisitas harga sendiri menunjukan respon volume permintaan suatu komoditi pada saat terjadi perubahan harga. Sedangkan elastisitas harga silang akan menunjukkan sifat substitusi, apabila angka elastisitas bertanda positif (+), atau menunjukkan sifat komplemen apabila angka elastisitas bertanda negatif (-). Dalam kasus peningkatan harga daging sapi yang diikuti dengan peninkatan konsumsi daging unggas menunjukkan bahwa daging unggas bersifat substitusi terhadap daging sapi, dimana konsumen akan memilih daging unggas pada saat harga daging sapi naik.
20
SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 merupakan salah satu dari 5 program utama Kementerian Pertanian yaitu swasembada beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi dan kerbau dalam mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Program ini juga sekaligus menjadi pendorong untuk mengembalikan Indonesia sebagai Negara eksportir sapi seperti pada tahun 1970an, walaupun peluang itu harus dimanfaatkan melalui upaya keras, karena pada saat ini komponen impor dalam bentuk sapi bakalan dan daging sapi masih memiliki pangsa hampir 30 persen dari kebutuhan konsumsi nasional. Sasaran swasembada daging sapi dan kerbau tersebut dapat dicapai pada tingkan komponen impor hanya tinggal 10 persen. Sisi penting lainnya, sejalan dengan upaya pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau adalah ketahanan pangan nasional berorientasi kepada konsumsi bahan pangan oleh masyarakat, dimana salah satunya adalah ketahanan pangan daging. Dengan demikian, strategi penyediaan bahan pangan daging sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat menjadi sangat penting. Salah satu strategi yang akan diulas pada tulisan ini adalah menjaga ketersediaan, distribusi dan konsumsi daging sapi dan kerbau secara sinergi dengan sumber pangan daging lainnya seperti kambing dan domba, unggas, dan babi, dimana diversifikasi pangan daging adalah salah satu instrumennya. Indonesia melakukan impor sapi bakalan untuk usaha penggemukan (feedloters) dalam rangka meningkatkan pasokan daging sapi yang masih belum sepenuhnya disediakan di dalam negeri. Menjadi sebuah tantangan bagi industri ini ketika kuantitas impor sapi bakalan tersebut sudah menunjukkan peningkatan sebesar 82,5 persen pertahun pada kurun waktu 1990 – 1997 saja. Bahkan volume impor sapi bakalan (DITJENNAk, 2010a) masih menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat menjadi 236 ribu ekor (2004), 256 ribu ekor (2005), 266 ribu ekor (2006), 414 ribu ekor (2007), dan 570 ribu ekor (2008), 657.000 ekor (2009) dan 650.000 ekor (2010).
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Memang pada awalnya upaya tersebut dilakukan untuk mengisi kekurangan pasokan daging sapi dalam negeri sambil penyelamatkan populasi sapi nasional sebagai akibat dari semakin meningkatnya permintaan. Pemahaman seperti ini seharusnya teta dijaga dan impor sapi bakalan tidak berubah menjadi andalan utama pemasok daging sapi dimasa mendatang, walaupun dari sisi kualitas, kemudahan pengadaan, ketersediaan, serta potensi keuntungan bagi fihak swasta sangat menjanjikan. Tabel 3 menyajikan gambaran kinerja produksi daging sapi didalam negeri yang masih harus dibarengi dengan pasokan impor, baik dalam bentuk sapi bakalan maupun daging beku. Pada sisi lain, dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi didalam negeri, kebijakan impor daging sapi yang pada awalnya ditujukan untuk memasok kebutuhan daging berkualitas (prime cut) bagi konsumen
di hotel-hotel berbintang dan restauran tertentu dan daging industri (secondary cut) bagi kebutuhan industri daging olahan, juga menunjukkan pertumbuhan sebesar 39,5 persen. Diharapkan kebijakan ini tidak berlanjut menjadi andalan utama pasokan daging sapi di dalam negeri seperti halnya sapi bakalan. Tabel 4 menunjukkan bahwa volume impor daging sapi juga terus meningkat dari tahun 2004 sampai 2010. Berbagai faktor akan turut berperan dalam menentukan apakah swasembada daging sapi dan kerbau akan dapat dicapai pada tahun 2014, termasuk populasi sapi potong didalam negeri. Untuk itu Blue Print Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014 telah membuat tiga scenario pencapaian swasembada yaitu pessimistic (pesimis), most likely (sedang), dan optimistic (optimis) seperti yang tercantum dalam Tabel 5
Tabel 3. Pasokan dan konsumsi daging sapi nasional (x 1.000 ton) No
Uraian
2005
2006
2007
2008
2009
1
Produksi lokal
217,4 (66%)
259,5 (69%)
210,8 (63%)
233,6 (61%)
250,8 (64%)
2
Impor
111,3 (34%)
119,2 (31%)
124,8 (37%)
150,4 (39%)
142,8 (36%)
Sapi bakalan Daging beku
55,1
57,1
60,8
80,4
72,8
56,2
62,0
64,0
70,0
70,0
328,7
378,7
335,6
384,1
393,6
Konsumsi
n.a
n.a
314,0
313,3
325,9
Selisih (1 – 4)
n.a
n.a
(103,2)
(79,7)
(75,1)
3
Total pasokan (1 + 2)
4 5
Sumber: DITJENNAK (2010b); n.a = tidak ada data Tabel4. Impor daging sapi dan jeroan (x 1.000 ton) No
Jenis daging
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1
Daging sapi
11,8
21,5
25,9
50,2
57,2
64,6
60,3
Prime cut
n.a
n.a
n.a
11,1
9,6
15,1
17,6
Secondary cut
n.a
n.a
n.a
33,6
39,6
42,0
34,4
Variety meat
n.a
n.a
n.a
5,5
7,9
7,5
8,4
Jeroan sapi
36,5
34,7
36,5
13,8
12,9
10,6
10,1
Jumlah (1 + 2)
48,3
56,2
62,4
64,0
70,1
75,2
70,5
Kenaikan (%)
n.a
16,4
11,0
2,56
9,53
7,28
(-6,3)
Rasio Daging : jeroan
1:4
1 : 1,6
1 : 1,4
3,6 : 1
4,4 : 1
6,1 : 1
6:1
2
Sumber: DITJENNAK (2010b); n.a = tidak ada data
21
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Tabel 5. Tiga skenario pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau 2014 Produksi dalam negeri (%)
Tahun
Pesimis
Sedang
2011
50,8
75,5
2012
49,6
2013
48,6
2014
47,6
Impor (%)
Optimis
Pesimis
Sedang
Optimis
85,9
49,2
24,5
14,1
80,5
92,9
50,4
19,5
7,1
85,3
100,9
51,4
14,7
(0,9)
90,0
110,0
52,4
10,0
(10,0)
Sumber: DITJENNAK (2010c)
Data yang terdapat pada Tabel 5 diketahui bahwa “skenario sedang” dapat memenuhi rencana menyisakan impor daging dan sapi bakalan menjadi hanya tinggal 10% untuk mencapai swasembada pada tahun 2014 dari yang sekarang (2011) sekitar 30%. POPULASI TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia penghasil daging utama di Indonesia terdiri dari sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, domba, dan kuda. Melihat dari perkembangan populasi ternak ruminansia, maka hanya ternak kerbau dan kuda yang menunjukkan tren penurunan selama sepuluh tahun terakhir yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2009. Jenis ternak lainnya seperti sapi potong, kambing dan domba
menunjukkan peningkatannya. Namun demikian, karena tekanan permintaan daging sapi di dalam negeri maka pertambahan populasi saja masih belum cukup, yang dibuktikan semakin meninkatnya impor sapi bakalan untuk digemukkan sejak tahun 1990 sampai 2010. Dengan menggunakan formula bahwa 1 Satuan Ternak (ST) adalah setara dengan 1 ekor sapi potong dewasa, atau setara dengan 10 ekor ternak domba atau kambing dewasa, maka populasi gabungan antara ternak kambing dan domba rata-rata dalam 3 tahun terakhir hampir mencapai 28 juta ekor (Tabel 6) sebenarnya sudah mampu mensubstitusi kekurangan daging sapi yang dipenuhi melalui impor sapi bakalan dengan volume rata-rata sekitar 500 ribu ekor per tahun, atau setara dengan 5 juta
Tabel 6. Populasi ternak ruminansia di Indonesia 2000 – 2010 (000 ekor) Tahun
Sapi perah
Sapi potong
Impor*) bakalan
2000
354
11.008
2001
347
2002
358
2003 2004
Kerbau
Kambing
Domba
Kuda
297
2.405
12.566
7.427
412
11.138
289
2.310
12.323
7.394
402
11.298
430
2.403
12.549
7.641
419
374
10.504
287
2.459
12.722
7.810
413
364
10.532
359
2.403
12.780
8.075
397
2005
361
10.569
257
2.128
13.409
8.327
386
2006
369
10.875
266
2.166
13.789
8.979
397
2007
377
11.365
415
2.246
14.873
9.859
412
2008
457
12.256
570
1.930
15.147
9.605
392
2009
474
12.759
657
1.932
15.815
10.198
398
2010
475
13.632
650
2.010
16.841
10.914
409
*) Angka dibulatkan Sumber: DITJENNAK (1999; 2003); DITJENNAK (2007; 2010a)
22
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
ekor ternak kambing atau domba. Perhitungan tersebut didasarkan kepada parameter reproduksi dengan asumsi terdapat 40% induk betina produktif (11,2 juta ekor) yang dengan asumsi kelahiran tunggal per kelahiran dan tiga kali melahirkan dalam dua tahun, atau sebanyak 33,6 juta anak per dua tahun, atau 16,8 juta ekor anak per tahun. Jumlah ini setelah menjadi dewasa dalam 18 bulan kemudian akan setara dengan 1,68 juta ekor sapi dewasa, masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sapi bakalan yang di impor sebanyak 500 ribu ekor per tahun. Angka tersebut akan jauh lebih banyak lagi seandainya jumlah anak lebih dari satu ekor per kelahiran, seperti pada domba prolific yang mampu beranak sampai 5 ekor per kelahiran. Namun demikian, kesetaraan itu baru dari sisi volume dan harus dibarengi juga dengan kesetaraan dalam hal preferensi, citarasa, harga dan kandungan nutrisi, disamping persepsi psikologis masyarakat yang percaya bahwa daging kambing atau domba dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kolesterol tinggi dan dapat menyebabkan penyakit jantung. Hasil penelitian ELIDAR (1991) dan AUSTRALIAN MEAT ASSOCIATION (2008) yang disitasi oleh DISNAK PROV. JAWA BARAT (2009) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi daging kambing dan domba bahkan lebih baik
dibandingkan dengan daging sapi, seperti yang tercantum pada Tabel 7. Memperhatikan Tabel 7, sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir untuk mengkonsumsi daging kambing atau domba dibandingkan dengan daging sapi karena dilihat kandungan proteinnya dapat dikatakan sama (23,2 vs 22 – 24 g/100 g) walaupun kandungan energinya sedikit lebih tinggi (498 vs 477 – 546 KJ/100 g). Daging kambing dan domba ternyata menjadi sumber vitamin A, vitamin B6, dan beberapa kondisi vitamin B12 yang lebih baik dibandingkan dengan daging sapi, demikian pula halnya dengan kandungan riboflavin, niacin dan kalcium. Demikian pula halnya dengan kandungan iron, sodium dan phosphor, yang terdapat lebih banyak terkandung dalam daging kambing atau domba dibandingkan dengan daging sapi. Opini masyarakat yang mengatakan bahwa daging kambing atau domba mengandung kolesterol yang tinggi ternyata berbeda dengan data yang ditampilkan pada Tabel 7 tersebut karena angka kolesterol pada daging kambing dan domba lebih rendah (41 – 53 mg/100 g) dibandingkan daging sapi (55 – 66 mg/100 g). Kenyataan ini memberikan pandangan bahwa daging kambing atau daging domba dapat dijadikan sebagai sumber pangan daging yang kandungan gizi dan manfaatnya sama atau
Tabel 7. Komposisi kandungan gizi daging sapi dan daging domba/kambing Komponen gizi Kolesterol (mg/100 g)
Daging sapi
Daging domba/kambing
55 – 66
41 – 53
Protein (g/100 g)
23,2
22 – 24
Lemak (g/100 g)
2,8
1,5 – 4,7
Energi (KJ/100 g)
498
477 – 546
Vitamin A (mcg/100 g)
< 5,0
5,0 – 8,6
Vitamin B6 (mg/100 g)
0,52
0,1 – 0,8
Vitamin B12 (mcg/100 g)
2,5
1,0 – 2,8
Riboflavin (mg/100 g)
0,18
0,20 – 0,28
Niacin (mg/100 g)
5,0
5,0 – 16,0
Calcium (mg/100 g)
4,5
6,5 – 7,2
Iron (mg/100 g)
1,8
1,1 – 3,3
Phospor (mg/100 g)
215
194 – 290
Sodium (mg/100 g)
51,0
51 – 71
Sumber: DISNAK PROV. JAWA BARAT (2009)
23
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
lebih baik dari daging sapi. Dengan melihat statistik populasi gabungan antara ternak kambing dan domba selama 3 tahun terakhir yang mencapai sekitar 20 juta ekor dapat menggantikan sebahagian atau seluruhnya sapi bakalan impor yang berjumlah 500 ribu ekor per tahun yang setara dengan 5 juta ekor kambing atau domba. DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN DAGING Pada dasarnya pengertian ketahanan pangan, termasuk pangan daging, difokuskan pada pentingnya akses setiap orang setiap saat secara cukup baik dari jumlah maupun mutunya, aman, sehat, merata, dan terjangkau. Pangan asal ternak berupa daging, telur dan susu di Indonesia pada saat ini telah memiliki keragaman sumbernya yang sudah tersebar merata diseluruh pelosok. Sumber utama pangan daging dapat berasal dari beberapa jenis ternak seperti sapi potong, kerbau, kambing, domba, unggas dan babi yang selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan potensi produksinya yang cukup tinggi dilihat dari tren peningkatan populasi. Pada saat ini pangsa produksi daging unggas merupakan yang terbesar (65%) dibanding daging sapi (20%) dan daging kambing dan domba (6%). Daging unggas, dalam beberapa periode telah memenuhi persyaratan ketahanan pangan dari sisi produksi, akses, kualitas, keterjangkauan dan daya beli masyarakat yang juga dibuktikan memiliki angka elastisitas pendapatan terhadap permintaan yang lebih kecil dari 1.0, namun KUSTIARI et al. (2010) memberikan angka 1,91 yang menunjukkan bahwa daging aya juga sudah menjadi komoditas yang bersifat high income elastic. Dalam upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan daging, maka selain diartikan sebagai penganekaragaman pangan daging sesuai sumber komoditas ternaknya juga harus diartikan sebagai upaya untuk memenuhi perbaikan gizi dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat Indonesia. Ternak kambing dan domba dengan populasi sekitar 20 juta ekor dan tersebar di daerah-daerah padat penduduk seperti di pulau Jawa akan dapat memenuhi harapan tersebut. KNIPSCHEER et al. (1983) menunjukkan hal tersebut pada kasus di Jawa Barat dimana
24
hampir seluruh pelosok propinsi ini terdapat ternak kambing dan domba yang dipelihara dengan cara dikandangkan untuk dataran tinggi, kombinasi antara dikandangkan dan digembalakan di dataran sedang dan daerah perkebunan, dan digembalakan sepenuhnya seperti didaerah pesisir atau pantai. Bagi kawasan yang didominasi oleh perkebunan seperti perkebunan karet di Sumatera Utara, ternak domba dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi para pekebun dan berperan sebagai penyangga risiko hilangnya pendapatan terutama pada saat terjadi peremajaan kebun karet (SOEDJANA et al., 1990). Ternak kambing dan domba juga dapat dipelihara dengan nilai input terutama pakan yang rendah dan terjangkau, serta dapat merespon input produksi yang lebih tinggi melalui peningkatan produksi dan produktivitas per kelompok ternak (SOEDJANA, 1996). Dengan demikian, ternak kambing dan domba dapat dijadikan sebagai sumber penyedia pangan daging yang tidak kalah pentingnya dari sisi kandungan gizi, keterjangkauan, penyebaran populasi dan kecepatan reproduksinya dibanding sapi potong, sehingga dapat mensubstitusi kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih disediakan melalui impor sapi bakalan. Pertimbangan ini tentunya tidak akan menggeser peran daging unggas yang sudah sangat ideal sebagai penyedia pangan daging bagi kebutuhan konsumsi masyarakat karena adanya perbedaan citarasa dan preferensi. REKOMENDASI KEBIJAKAN Upaya peningkatan konsumsi daging ruminansia kecil, kambing dan domba, sebagai salah satu strategi dalam penganekaragaman sumber pangan daging dan perbaikan gizi masyarakat, terutama dalam kerangka pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014, maka beberapa rekomendasi kebijakan berikut ini perlu dipertimbangkan dalam rangka diversifikasi pangan daging. 1. Disamping upaya peningkatan efisiensi produksi daging sapi dan kerbau didalam negeri, harus disediakan sistem insentif bagi para peternak kambing dan domba dalam meningkatkan skala usaha dan standar serta kualitas produk daging atau karkasnya sambil dilakukan kampanye
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
makan daging kambing dan domba dengan pilihan menu daging sapi yang juga dapat dikemas menggunakan daging kambing dan domba. 2. Melanjutkan sukses kampanye peningkatan produksi kambing dan domba seperti yang pernah dilakukan pada awal tahun 1990an dimana tantangan ekspor ke Timur Tengah sebanyak 3 juta ekor per tahun telah memunculkan banyak pengusaha dan eksportir, yang telah mendorong insentif ditingkat petani untuk memelihara domba atau kambing secara lebih intensif. 3. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah per satuan luas arela perkebunan, analog dengan upaya mendorong implementasi sistem integrasi ternak sapi dan perkebunan kelapa sawit, maka dorongan serupa perlu dilanjutkan untuk lebih intensif lagi dalam implementasi integrasi ternak kambing dan perkebunan kakao serta integrasi ternak domba dengan perkebunan karet. 4. Mengantisipasi akan berkembang dengan pesatnya respon peternak kambing dan domba karena berbagai insentif dan fasilitasi dari pemerintah, maka perlu dilanjutkan upaya pelestarian plasma nutfah kambing dan domba lokal kita yang terkenal sangat prolific dengan memperbanyak kelompok-kelompok pembibitan di perdesaan baik berupa bibit kambing dan domba lokal maupun perilangannya yang telah dihasilkan pada tahun 1990an. DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. BPS. 2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. DISNAK Prov. Jawa Barat. 2009. Daging Domba dan Kambing. Kegiatan Distribusi dan Pemasaran Hasil Peternakan Dana APBD. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Bandung. DITJENNAK 2010a. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta.
DITJENNAK. 1999. Peternakan Dalam Angka. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta. DITJENNAK. 2003. Peternakan Dalam Angka. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta. DITJENNAK. 2007. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta. DITJENNAK. 2010b. Bahan Rakor Menko Perekonomian Bulan Juni. Direktorat Kesmavet Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta. DITJENNAK. 2010c. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian, Jakarta. KNIPSCHEER, H. C., M. SABRANI, A. J. DE BOER and T. D. SOEDJANA. 1983. The economic role of sheep and goats in Indonesia: A case study of West Java". BIES XIX(3). December. ANU. Canberra, Australia. KUSTIARI, R., D.K.S. SWASTIKA, WAHIDA, P. SIMATUPANG, A. PURWOTO dan T. NURASA. 2009. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama. Laporan akhir. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. SOEDJANA, T.D. 1996. Economics analyses of small ruminant production for low and high input systems. Off. Res. Dev. Bureau Sci. Tech. USAID. SOEDJANA, T.D., S. KARO KARO and H.C. KNIPSCHEER, 1990. A Risk Efficient Production Plans Approach for an Integrated Small Ruminant-Tree Cropping Production Systems. Proc. Indigenous Production Systems workshop. Medan, North Sumatra. September. T. SUDARYANTO, R. SAYUTI dan T. D. SOEDJANA. 1995. Estimasi Parameter Permintaan Produk Peternakan di Beberapa Propinsi di Luar Jawa. J. Penelitian Peternakan Indonesia. No. 2, Februari 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. USDA. 2011. Livestock and Poultry: World Markets and Trade. Office of Global Analysis. United States Department of Agriculture, Washington.
25
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
DISKUSI
Pertanyaan/Saran: 1. Untuk mendukung sosialisasi “merubah opini publik” terhadap karakteristik daging kambing/ domba perlu dikaji lebih mendalam terhadap parameter tersebut. Pihak akademisi (IPB) mengapresiasi penelitian tersebut dan perlu diciptakan kerjasama yang baik untuk mendapatkan rekomendasi yang valid akan karakteristik produk daging tersebut. 2. Pascapanen mendukung penuh terhadap terciptanya produk pascapanen dari daging kambing/domba. 3. BPTP Jakarta memerlukan dukungan dengan prioritas penyebaran bibit ternak unggul untuk wilayah Jakarta, mengingat peluang pengembangan pada tingkat peternak kecil yang terbuka luas dan peluang pasar yang besar. 4. Perlu optimis dalam mencanangkan program/kegiatan utama yang berprioritas pada komoditas daging domba/kambing. Hal ini mengingat data populasi mendukung dan secara ilmiah produk aman, yang harus dipikirkan adalah langkah-langkah bagaimana mengeleminir dari issue tentang kelemahan-kelemahan yang ada pada daging kambing/domba saat ini. Jawaban: 1. Flavour (bau) adalah tantangan semua pihak termasuk pihak pascapanen, karena umumnya konsumen kurang suka pada bau khas kambing/domba pada produk pangan kambing/domba tersebut. 2. Pasar tentang produk daging akan berbeda tergantung umur ternak juga. 3. Untuk Jakarta sebagai provinsi Kota DKI maka tentu saja pasar bagi produk daging kambing dan domba cukup terbuka lebar. Hanya bagi pengembangan peternakan kambing dan domba sebaiknya BPTP diskusikan dengan Pemprov DKI untuk penetapan kawasan seperti yang saat ini telah diadakan untuk sapi perah di Pondok Rangon. 4. Untuk mengeliminir issue-issue negatif sebagai dampak konsumsi produk daging kambing/ domba yang selama ini dipercayai masyarakat, maka tentulah perlu ditempuh sosialisasi yang intensif secara terus menerus dan demo makan produk daging kambing/domba pada even-even tertentu.
26