PENDAHULUAN
Latar Belakang Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing dapat menjadi salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani di Indonesia. Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan harga yang lebih terjangkau dan daya reproduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak ruminansia besar. Ternak kambing banyak dipelihara di Indonesia termasuk di Gunungkidul, Yogyakarta, khususnya di kecamatan Panggang dan Tepus. Populasi kambing di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 13.491.190 ekor (Anonimous, 2013). Populasi kambing di DIY juga terus menunjukkan peningkatan hingga menjadi 353.223 ekor di akhir tahun 2012. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jenis ternak tersebut meningkat sebesar 2,5 persen) (Anonimous, 2013). Pemeliharaan kambing di Gunungkidul umumnya masih sederhana dengan menyandingkan kandang dengan rumah peternak. Manajemen pakan sederhana (belum menggunakan kalkulasi analisis kebutuhan kambing berdasarkan berat badan dan jenis kambing), dan belum dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Budisatria et al. (2011) menambahkan hampir seluruh peternak menggunakan kandang berlantai tanah
untuk
memelihara
ternak
kambing.
Kondisi
lingkungan
di
Gunungkidul beriklim kering, dengan daerah berbukit, dan banyaknya
1
tanaman pakan. Dengan demikian dapat dilihat pengaruh interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kinerja induk kambing di daerah tersebut (Solihin, 2008). Bangsa kambing yang dipelihara di daerah tersebut sebagian besar adalah kambing bligon. Sebagai usaha peningkatan produktivitas ternak kambing melalui kinerja induk dalam upaya untuk pemenuhan kebutuhan daging
kambing
di
kecamatan
tersebut
diintroduksikan
kambing
Peranakan Ettawa (PE). Introduksi
yang dimaksud
untuk meningkatkan
produktivitas
kambing Bligon yang ada di Gunungkidul. Apriliast (2007) menyatakan bahwa Kambing PE diduga terbentuk dari persilangan secara grading up. Kambing PE merupakan kambing yang memiliki karakeristik baik dan khas, baik ditinjau dari fisik (ukuran tubuh, warna rambut), dan produksi yaitu susu mencapai satu sampai dua liter per hari dan laju pertumbuhan yang cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa secara genetis kambing PE memiliki kualitas lebih baik dibandingkan kambing Bligon. Secara teori, kambing PE memiliki keunggulan dibandingkan kambing Bligon tetapi sampai saat ini belum ada kajian ilmiah introduksi kambing PE untuk peningkatan kinerja induk di kecamatan Tepus dan Panggang. Maka dari itu penelitian ini dilakukan.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja Induk Kambing Bligon dan Peranakan Ettawa yang dipelihara peternakan rakyat di Kecamatan Tepus dan Panggang.
Manfaat Gambaran kinerja induk kedua kambing yang diteliti dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan bangsa kambing apa yang cocok dikembangkan di Kecamatan Tepus dan Panggang, Kabupaten Gunungkidul dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
3
BAB II TINJUAUAN PUSTAKA
Bangsa Kambing Kambing merupakan hewan pertama yang didomestikasikan oleh manusia yang berasal dari kambing liar (Capra aegogrus), yang hidup pada daerah sulit dan berbatu (Blakely dan Bade, 1991). Kambing liar (Capra aegogrus) di dunia dikelompokkan menjadi: kelompok bezoar (Capra aegorusi) , kelompok ibeks (Capra ibeks), dan kelompok makhor (Capra falconeri) (Devendra dan Burns, 1994). Bangsa
kambing
yang
dapat ditemukan di Indonesia antara lain adalah kambing Kacang, PE, dan Bligon.
Kambing Peranakan Ettawa (PE) Kambing PE merupakan kambing dwiguna yaitu penghasil susu maupun penghasil daging. Terjadi persilangan dengan kambing lokal yaitu kambing kacang dalam pemeliharaan secara turun temurun. Persilangan Kambing Ettawa dan Kambing Kacang tersebut ini disebut Kambing PE (Astuti et al., 2007). Hadjosubroto (1994) menambahkan, Kambing PE merupakan hasil persilangan kambing Ettawa dengan kambing Kacang dan sudah beradaptasi dengan kondisi di Indonesia. Ciri-ciri kambing PE pada umumnya mempunyai tubuh lebih kecil dibandingkan
kambing
Ettawa,
profil
muka
cembung,
telinga
menggantung dengan panjang antara 18 sampai 30 cm, bertanduk pendek, bulu pada jantan bagian leher (atas dan bawah) dan punggung lebih tebal serta lebih panjang. Pada betina terdapat bulu panjang pada bagian paha, memiliki rahang bawah yang lebih menonjol daripada rahang yang atas (Setiadi dan Muryanto, 1989). Warna tubuh kambing PE umumnya bervariasi yaitu belang putih dengan bercak hitam, merah, coklat, atau kombinasi ketiganya pada leher dan kepala (Astuti et al., 2007). Beberapa keunggulan Kambing PE cenderung mirip seperti Kambing Ettawa yaitu bobot badan yang besar dengan tinggi 70 sampai 80 cm, bobot 40 sampai 45 kg (Devendra dan Burns, 1994). Keunggulan berikutnya adalah produksi susu tinggi seperti yang diungkapkan Sutama et al (1998) bahwa produksi susu kambing PE berkisar dari 1,5–3,5 l/hari dan tingkat adaptasi dengan lingkungan layaknya Kambing Kacang. Namun demikian untuk menghasilkan performan yang maksimal Kambing PE memerlukan lingkungan yang mendukung salah satunya untuk pakan.
Kambing Bligon Kambing Bligon merupakan hasil persilangan antara kambing PE dengan kambing Kacang. Kambing ini termasuk PE, namun bentuk tubuh, profil muka, dan karakteristik bulunya lebih mendekati kambing kacang. Kambing PE memiliki berat badan sekitar 32 sampai 37 kg, sedangkan
5
kambing Bligon dewasa sekitar 20 sampai 30 kg (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Menurut Tidariyanti (2013) Kambing Bligon merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Peranakan Etawa. Kambing ini mempunyai komposisi darah kambing kacang lebih dari 50%, sehingga ciri-ciri yang tampak dari kambing ini hampir mirip seperti kambing Kacang tetapi ukuran tubuhnya lebih besar. Kambing Bligon dewasa mempunyai berat antara 20 sampai 30 kg. Beberapa sifat keunggulan Kambing Kacang yang juga dimiliki Kambing Bligon adalah kemampuan adaptasi yang baik, litter size yang tinggi, dan kemampuan memanfaatkan pakan dengan kualitas kurang baik. Keunggulan Kambing Kacang tersebut diungkapkan Murtidjo (1993) bahwa Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat dan performan reproduksinya sangat baik. Kambing kacang menurut Astuti et al. (2007) mampu memanfaatkan hijauan dengan kualitas kurang baik dengan menampilkan tingkat pertumbuhan yang baik. Lebih lanjut Sarwono (2002) mengungkapkan Kambing kacang dapat melahirkan hingga 1 sampai 4 perkelahiran atau rata-rata 2 ekor. Kambing Bligon mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dataran rendah lebih baik dibanding kambing PE sehingga lebih banyak dipelihara oleh peternak. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian Sumadi (2001) bahwa peternak di daerah pantai 66,67%
memelihara kambing Bligon, 16,67% memelihara kambing PE serta 16,67% memelihara kambing Bligon dan PE.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Induk Faktor lingkungan Kinerja induk merupakan gambaran performan reproduksi seekor induk. Performan atau penampilan individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Faktor genetik diibaratkan adalah kemampuan dan faktor lingkungan adalah kesempatan. Performan yang maksimal tidak akan muncul apabila kedua faktor tidak berinteraksi. Interaksi faktor genetik (bangsa) dengan faktor lingkungan (pakan, kondisi lingkungan tempat pemeliharaan) sangat berpengaruh terhadap kinerja induk, karena setiap bangsa kambing memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan lingkungan asal. Hal ini terjadi karena pengaruh faktor lingkungan terhadap individu satu dengan yang lain tidak akan sama (Hardjosubroto, 1994). Walaupun seekor ternak memiliki potensi genetik tinggi, akan tetapi jika tidak disupport oleh makanan yang baik mutu dan cukup jumlahnya, maka ternak kurang dapat menampilkan potensi tersebut (Solihin, 2012). Oleh karena itu potensi bangsa kambing dapat keluar secara maksimal apabila mendapatkan lingkungan yang cenderung lebih sesuai.
7
Kambing Kacang merupakan merupakan kambing asli Indonesia. Kambing jenis ini merupakan jenis kambing yang tahan derita, lincah, dan mampu beradaptasi dengan baik (Devendra dan Burns, 1994). Adaptasi kambing Kacang meliputi adaptasi terhadap pakan yang tersedia di daerah tempat pemeliharaan kambing tersebut. Kambing ini mampu memanfaatkan hijauan dengan kualitas kurang baik dengan menampilkan tingkat pertumbuhan yang baik (Astuti et al., 2007). Kambing PE merupakan hasil persilangan kambing Ettawa dengan kambing Kacang dan sudah beradaptasi dengan kondisi di Indonesia Hadjosubroto (1994). Devendra dan Burns (1994) berpendapat bahwa kambing PE merupakan kambing besar dengan tinggi 70 sampai 80 cm, bobot 40 sampai 45 kg. Hasil penelitian Basuki et al. 1982 cit Solihin (2012) kambing Bligon mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan lebih baik dibanding kambing PE. Menurut Tidariyanti (2013) Kambing Bligon merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Peranakan Etawa. Sehingga kambing ini mempunyai komposisi darah kambing kacang lebih dari 50%. Konsumsi pakan. Pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan diserap baik secara keseluruhan maupun sebagian atau tidak menimbulkan keracunan bagi ternak yang bersangkutan (Kamal, 1998). Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan produktivitas ternak kambing.
Pemberian pakan dengan mutu tinggi sebelum perkawinan diperkirakan dapat meningkatkan tingkat ovulasi (Tomaszewska et al., 1993). Kebutuhan pakan induk sesuai dengan tingkat produksinya. Pemberian pakan yang cukup untuk induk bunting akan menghasilkan cempe yang kuat dengan berat lahir tinggi. Oleh karena itu, diperlukan tatalaksana yang praktis dan efisien meliputi bahan tambahan pakan selama kebutuhannya tinggi yaitu ternak muda, terutama sesudah sapih, begitu pula terhadap ternak betina pada masa akhir kebuntingan dan selama menyusui (Ranjhan, 1991). Kebutuhan pakan untuk induk kambing sesuai dengan tingkat produksinya, ternak kambing diberi makan sekenyangnya dengan bahan kering (BK) harian dalam kisaran 1,8% sampai 4,7% dari berat badan. Pakan yang diberikan terdiri dari pakan hijauan dan pelengkap. Pakan hijauan deiberikan 10% dari berat badan, sedangkan pakan pelengkap diberikan sebanyak 2% dari berat badan. Untuk kambing dewasa dibutuhkan hijauan sekitar 6kg/ekor/hari (Kartika, 2002).
Bangsa kambing Bangsa merupakan elemen yang sangat berpengaruh terhadap kinerja induk, karena tingkat reproduksi terhadap genetik dan lingkungan dari masing-masing bangsa berbeda. Bangsa kambing yang banyak berkembang di Indonesia antara lain kambing Kacang, kambing Peranakkan Ettawa (PE) , dan kambing Bligon.
9
Menurut Devendra dan Burns (1994) kambing Kacang memiliki angka kesuburan tinggi. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 2,2 ekor. Bobot lahir kambing Kacang 1,5 ekor, sedangkan bobot dewasa pada jantan dan betina masing-masing 25 dan 20 kg. Kambing Bligon dewasa sekitar 20 sampai 30 kg (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Widi (2002) dan Sutimah (2003) mendapatkan litter size kambing Bligon berturut-turut 1,81 dan 1,61-1,82 ekor. Budisatria et al. (2011) menyatakan dalam penelitianya bahwa litter size induk kambing Bligon 1 sampai 2 ekor dengan kisaran 1,74 ekor. Kambing PE memiliki berat badan sekitar 32 sampai 37 kg (Hardjosubroto
dan
Astuti,
1993).
Menurut
Sodiq
(2002)
dalam
penelitianya rataan bobot lahir kambing PE adalah 5,4 kg. Di sisi lain, hasil penelitian Sulaksana (2008) memperoleh rata rata bobot lahir 2,33 ± 0,45 kg. Kambing PE memiliki litter size rata-rata 1,85 (Sumadi, 2001).
Kinerja Induk Kinerja induk adalah kemampuan induk dalam bereproduksi. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa kinerja induk termasuk sifat kuantitatif yang sebagian diatur oleh perbedaan-perbedaan genetik, salah satunya bangsa. Sifat kuantitaif adalah sifat yang dapat diukur, contohnya produksi susu dan pertambahaan berat badan harian (Hardjosubroto, 1994). Demikian sehingga tingkat kinerja induk dapat dilihat melalui interval beranak, banyak anak tiap kali kelahiran (litter size), mortalitas
prasapih, angka panen cempe selama satu tahun, dan konsumsi pakan induk (Devendra dan Burns, 1994). Sifat kuantitatif yang berkaitan dengan kinerja induk antara lain interval kelahiran, open period atau periode terbuka, Post Partum Mating (PPM), Post Partum Estrus (PPE), Service per Conception (S/C), masa buting, litter size, bobot lahir, mortalitas prasapih, bobot sapih, Indeks Reproduksi Induk (IRI), dan Produktivitas Induk (PI).
Interval kelahiran Interval kelahiran merupakan periode antara dua peristiwa beranak seekor induk yang berurutan, dan terdiri atas periode kosong atau open period dan periode bunting. Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa, rata-rata lamanya masa bunting kambing adalah 148 hari dengan kisaran 144 sampai 152 hari. Interval kelahiran sangat dipengaruhi oleh tatalaksana perkawinan yang diberikan pada ternak saat masa kosong. Sarwono (1991) menyatakan bahwa dengan tatalaksana yang baik, kambing dapat beranak tiga kali dalam dua tahun. Jarak beranak juga dipengaruhi oleh tipe kelahiran ternak, dimana pada tipe kelahiran tunggal jarak beranak akan lebih pendek dibandingkan tipe kelahiran kembar (Susilawati, 2008). Beberapa hasil penelitian di lapangan menunjukkan waktu selang beranak pada kambing pada kambing cukup besar yaitu 7 sampai 12 bulan. Selang beranak pada kambing PE dengan kelahiran tunggal,
11
kembar dua, dan kembar tiga berturut-turut adalah 347, 347, dan 315 hari (Sutama et al., 1997). Kambing PE dalam penelitian Sumadi (2001) memiliki kisaran interval kelahiran 8,50±0,60 bulan. Budisatria et al. (2011) menyatakan rerata interval kelahiran induk kambing Bligon adalah 8,53 bulan dengan kisaran 7 sampai 12 bulan.
Days open Days open atau masa kosong adalah jangka waktu sejak kambing beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi kebuntingan (Sumadi 2001). Tenggang waktu antara kelahiran dan perkawinan yang berikutnya dapat sampai 6 minggu (Tomaszewska et al., 1993). Menurut Astuti, 1983 cit. Sulaksono (tahun) jarak waktu induk dikawinkan kembali merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi selang beranak. Lama days open induk dipengaruhi oleh lamanya waktu dikawinkannya induk tersebut untuk pertama kali setelah beranak (Post Partum Mating), siklus estrus, dan S/C (Service per Conception).
Post partum mating (PPM) PPM adalah tenggang waktu antara kelahiran dengan perkawinan yang berikutnya dapat sampai 6 minggu (Tomaszewska et al., 1993). Perkawinan ini dilakukan setelah induk menampakan birahi yang pertama, dan diulangi lagi pada birahi selanjutnya sampai induk tersebut bunting.
Dengan demikian lamanya PPM akan dipengaruhi oleh birahi pertama setelah beranak (Post Partum Estrus). Budisatria et al. (2011) menyatakan rerata PPM induk kambing Bligon berkisar antara 45 hingga 180 hari dengan rerata 95 hari. Kambing PE di Peternakan Barokah dikawinkan kembali setelah melahirkan dengan jarak waktu rata-rata 64,20 hari (Atabany, 2001). Menurut Murtidjo (1993) perkawinan induk setelah beranak sebaiknya dilakukan sesudah 90 hari, yaitu pada waktu cempe sudah disapih. Hal ini dilakukan karena pada saat itu saluran-saluran dan alat reproduksi telah pulih.
Post partum estrus (PPE) PPE adalah birahi pertama setelah beranak. Birahi pertama setelah beranak terjadi satu sampai dua bulan yang memberikan interval kelahiran minimum sekitar 175 hari dengan demikian kelahiran cempe terjadi dua kali setahun atau paling tidak tiga kali dalam dua tahun (Devendra dan Burns, 1994). Budisatria et al. (2011) dalam penelitianya menyatakan bahwa PPE induk kambing bligon berada pada kisaran 30 hingga 120 hari dengan rerata 63,16 hari. Birahi pertama setelah beranak merupakan faktor penting yang mempengaruhi efisiensi reproduksi pada kambing. Semakin pendek selang birahi pertama setelah beranak, makin pendek selang beranaknya, dan sebaliknya. Pada ternak kambing tingkat kebuntingan pada birahi
13
pertama setelah beranak lebih rendah dibandingkan pada waktu perkawinan berikutnya. Hal ini disebabkan involusi uterus belum selesai sepenuhnya dan karena laju ovulasi pada birahi pertama setelah beranak relatif rendah (Devendra dan Burns, 1994)
Service per conception (S/C) S/C adalah jumlah perkawinan yang dibutuhan untuk menjadikan ternak bunting (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). S/C erat kaitanya dengan tingkat kesuburan ternak seperti yang diutarakan Devendra dan Burns, 1994 cit Pratolo (2007) kesuburan pada ternak betina ditunjukan oleh jumlah
perkawinan
yang
diperlukan
per
konsepsi
(kebuntingan),
dilaporkan bahwa S/C rata rata adalah 1,55 untuk kambing kacang di Indonesia. Budisatria et al. (2011) menyatakan dalam penelitianya bahwa S/C induk kambing bligon berkisar antara 1 hingga 2 kali dengan rerata 1,63. Menurut Sumadi (2001) S/C induk kambing PE adalah 1,48±0,42. Kesuburan sulit diukur secara tepat tetapi pada hewan betina ditunjukan oleh jumlah perkawinan yang diperlukan per konsepsi (kebuntingan), dan pada hewan jantan dari presentase perkawinan yang menghasilkan konsepsi (Devendra dan Burns, 1994). Banyaknya S/C dipengaruhi oleh ketepatan waktu dalam mengawinkan induk.
Lama bunting Lama bunting adalah waktu dari saat terjadinya fertilisasi sampai saat kelahiran normal (Hafez, 2000). Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa, rata-rata lamanya masa bunting adalah 148 hari dengan kisaran 144 sampai 152 hari. Budisatria et al. (2011) menyatakan bahwa kisaran masa bunting induk kambing Bligon selama 5 sampai 6 bulan dengan rerata 5,5 bulan. Lama bunting kambing PE adalah 5 sampai 6 bulan. Ternak kambing umumnya membutuhkan asupan nutrisi lebih pada masa ini dikarenakan adanya kebutuhan lebih untuk pertumbuhan induk dan calon cempe.
Litter size Litter size adalah jumlah anak dalam satu kali kelahiran. Umumnya litter size kambing antara 1 sampai 3 ekor. Budisatria et al. (2011) menyatakan dalam penelitianya bahwa litter size induk kambing Bligon satu sampai dua ekor dengan kisaran 1,74 ekor. Kambing PE memiliki litter size rata-rata 1,85 (Sumadi, 2001). Menurut Blakely dan Bade (1991), Kelahiran lebih dari satu anak untuk seekor kambing adalah normal, biasanya kembar dua dan kembar tiga. Kelahiran kembar dapat diperoleh melalui cara-cara seleksi dan pemenuhan nutrisi selama bunting. Jumlah anak per kelahiran adalah hasil dari tingkat ovulasi pada siklus saat mana terjadi pembuahan, dikurangi kehilangan sel telur, janin, dan anak dalam kandungan
15
(Tomaszewska et al., 1993). Tomaszewska (1993) menambahkan bahwa umumnya
tingkat
ovulasi
dari
jumlah
anak
meningkat
dengan
bertambahnya umur, walau tidak selalu demikian. Litter size dipengaruhi oleh berat lahir. Tingginya litter size biasanya disertai dengan penurunan berat lahir anak dan tingginya tingkat kematian anak yang baru lahir, hal ini disebabkan anak yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai daya tahan tubuh rendah dan biasanya lemah (Tomaszewska et al., 1993).
Bobot lahir Bobot lahir adalah bobot ternak saat dilahirkan. Bobot lahir didefinisikan sebagai bobot badan cempe hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam setelah lahir (Hadjosubroto, 1994). Menurut Sodiq (2002) dalam penelitianya rataan bobot lahir kambing PE adalah 5,4 kg. Bobot lahir sangat penting karena berkaitan dengan laju pertumbuhan dan ukuran dewasa dan juga dengan daya hidup anak kambing, dengan demikian bobot lahir merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi produktivitas (Devendra dan Burns, 1994). Bobot lahir dapat bervariasi, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah bangsa, umur induk, lama bunting, jenis kelamin (Parakkasi, 1999), bobot badan induk dan kualitas pakan yang diberikan induk terutama bulan-bulan akhir kebuntingan (Pudyastuti, 1994).
Mortalitas prasapih Mortalitas prasapih adalah angka kematian pada periode sejak cempe lahir hingga disapih yaitu sekitar 60 hari. Mortalitas atau angka kematian menjadi faktor utama dalam menentukan produktivitas kawanan kambing. Meskipun secara umum bobot lahir yang lebih berkaitan dengan kematian yang lebih rendah, kadang-kadang bobot lahir yang tinggi dapat menjadi sumber kematian, terutama karena distokia, khususnya pada induk yang baru pertama kali melahirkan (Devendra dan Burns, 1994). Menurut Adiati (2010) kematian anak prasapih kambing PE yaitu 6,9% sampai 8,4%. Kematian dapat disebabkan oleh penyakit yang muncul akibat manajemen yang buruk. Angka kematian anak sekitar 5 sampai 10 % dapat dianggap sangat baik untuk suatu usaha produksi yang baik (Ginting, 2009)
Bobot sapih Bobot sapih adalah bobot badan anak saat disapih atau dipisahkan pemeliharaannya dengan induknya.
Bobot sapih
adalah indikator
kemampuan anak untuk mendapatkan susu dan kemampuan induk untuk menghasilkan susu. Kecepatan pertumbuhan sangat menentukan efisiensi dan keuntungan usaha peternakan (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih kambing PE berkisar antara 10 hingga 12 kg (Sutama, 1997)
17
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan sebelum sapih adalah genetik, bobot lahir, umur induk, produksi susu induk, jumlah anak sekelahiran, jenis kelamin anak, umur sapih, hormon, kastrasi genotip, dan
perbedaan
respon
terhadap
lingkungan
seperti
nutrisi
dan
mikrobiologi. Waktu penyapihan cempe sangat berkaitan dengan tujuan pemeliharaan (Williamson dan Payne, 1994)
Indeks reproduksi induk (IRI) Indeks
reproduksi
sebagai
ukuran tingkat
fertilitas
dihitung
berdasarkan informasi data reproduksi. Indeks Reproduksi Induk (IRI) diperoleh dari perhitungan litter size, mortalitas anak prasapih, dan interval kelahiran (Disnak, 2009). Besarnya indeks reproduksi sangat dipengaruhi oleh tipe kelahiran dan mortalitas cempe, indeks reproduksi ini diperoleh dengan rumus : IRI = LS (1-M) / IK IRI = (LS x (1-M) x
)
Keterangan: LS = Litter Size (ekor) M = Mortalitas (%) IK = Interaval Kelahiran (hari) (Amir dan Knipscheer, 1989, cit. Aka, 2008) Menurut Sodiq (2002) dalam penelitianya didapat IRI untuk kambing kacang dan PE masing-masing 3,07 dan 1,65 anak/induk/tahun.
Indeks produktivitas induk (IPI) Produktivitas adalah hasil yang diperoleh seekor ternak dalam kurun waktu tertentu dan dinyatakan sebagai fungsi reproduksi dan pertumbuhan sehingga produktivitas merupakan gabungan dari sifat-sifat produksi dan reproduksi (Hardjosubroto, 1994). Indeks produktivitas induk dapat diartikan sebagai kemampuan induk dalam memproduksi atau menghasilkan anak yang dihitung dalam kg per tahun. Angka indeks produktivitas induk dapat dijadikan indikator untuk mengetahui kinerja induk. Menurut Aka et al. (2008), Angka produktivitas yang tinggi mencerminkan jumlah berat hidup sampai usia sapih yang dihasilkan juga tinggi. IPI adalah perkalian antara indeks IRI dengan rerata berat sapih (Amir dan Knipscheer, 1989 cit. Aka et al., 2008), dengan rumus : IPI = IRI x rerata bobot sapih
19