PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan pangan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Sementara itu areal pertanian produktif di daerah padat penduduk terutama di Jawa terus menyusut akibat perluasan pemukiman, perindustrian dan jaringan transportasi. Rawa-rawa yang semula dirasakan kurang menarik dan dianggap kurang memberikan manfaat, akhir-akhir ini mulai dikembangkan untuk mengatasi kekurangan pangan. Menurut Mulyadi (1977) dan Widjaja-Adhi (1987), di Indonesia terdapat 39.42 juta hektar lahan rawa, dan sebagian besar dari lahan rawa tersebut (24.71 juta hektar) merupakan rawa pantai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Lahan rawa pantai umumnya didominasi oleh gambut dan tanah sulfat masam.
Luas tanah sulfat masam di Indonesia kurang lebih
6.7 juta hektar, sementara di Kalimantan diperkirakan mencapai 1.9 juta hektar (Nugroho et al., 1992). Pengembangan pertanian lahan rawa hingga sekarang telah dibuka sekitar satu juta hektar melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (1969-1994), Swamps I1 (1985-1993),
Pengembangan Lahan Gambut
(PLG) dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Moderen (SUP) tahun 1997. Namun beberapa kendala tanah menyebabkan pengembangan pertanian di lahan rawa tersebut mengalami hambatan. Kendala yang sering muncul pada tanah sulfat masam yang umumnya terdapat di daerah pasang surut adalah pH rendah, keracunan besi, alumunium, sulfat, kahat hara seperti P, K, Ca dan Zn atau kombinasi faktor tersebut (Ottow, Benckiser dan Watanabe, 1989).
Tanah sulfat masam akan bermasalah bagi pengembangan tanaman pertanian jika horizon sulfurik atau pirit teroksidasi. Jika terjadi oksidasi, maka kemasaman tanah akan meningkat, yang kemudian menciptakan kondisi kimiawi tanah lainnya yang tidak mendukung untuk pertumbuhan tanaman. Tanah sulfat masam yang piritnya teroksidasi menjadi tidak dapat ditanami, sehingga lahan tersebut disebut bongkor atau mati suri (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1998). Lahan rawa pasang surut dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian produktif apabila dikelola secara hati-hati dan benar dengan memperhatikan sifat dan karakteristik tanah secara rinci.
Pengelolaan air sangat penting
dalam memperbaiki kualitas tanah dan menanggulangi atau mengurangi degradasi tanah sebagai akibat salah pengelolaan.
Konsep dasar dan strategi
pengelolaan air didasarkan pada sifat tanah dan tipe luapan pasang surut. Pemanfaatan yang sesuai, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan yang serasi dengan karakteristik, sifat dan kelakuan tanah dan air dapat mengubah tanah di daerah rawa pasang surut dan pantai menjadi lahan pertanian berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan (Widjaja-Adhi,
1987;
Subagyono, Vadari dan Widjaja-Adhi, 1998). Pada pengembangan lahan rawa pasang surut untuk sawah, karena kondisi tergenang dan kering yang silih berganti mengakibatkan adanya perubahan kondisi reduktif dan oksidatif yang silih berganti juga. tergenang (reduktif),
Pada saat
banyak Fe3+ yang ditransformasikan ke dalam bentuk
Fe2+sehingga dapat mendesak kedudukan kation-kation lain seperti K, Ca, Mg yang terjerap koloid tanah yang bermuatan negatif. Sedangkan dalam keadaan
kering (oksidatif), Fe2+ teroksidasi menghasilkan Fe3+ yang dapat meracuni tanaman (Siuta, 1962; Brinkman, 1970). Untuk mengatasi kendala kimiawi tanah pada lahan sawah tanah sulfat masam antara lain dengan pemberian kapur untuk menurunkan kernasaman tanah, dan penggunaan varietas padi yang tenggang terhadap keracunan besi. Selain cara tersebut adalah pengelolaan air untuk mengurangi kandungan unsur-unsur yang bersifat racun dan menghindari proses pemasaman lanjut. Teknik yang telah dikembangkan adalah pengelolaan tata air mikro dengan menggunakan sistem drainase dangkal intensif (saluran cacing) (Widjaja-Adhi, 1998; Subagyono et a/., 1998). Sistem tanam padi sawah di Kalimantan Tengah pada umumnya satu kali setahun menanam varietas lokal yang pemeliharaannya kurang intensif, hasil gabahnya rendah tetapi nasinya disukai masyarakat. Untuk itu pada Operasi Khusus Simpei Karuhei 1990-1991 dan Miniatur Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 juta hektar 1996-1998 telah diintroduksi sistem tanam Sawitdupa (Satu kali mewiwit/menyemai dua kali panen), yaitu pada musim tanam penghujan (Oktober-Maret) ditanam padi varietas unggul dan selanjutnya pada musim tanam kemarau (April-September) ditanam padi varietas lokal (Diperta Kalteng, 1999). Lokasi lahan rawa pasang surut yang digunakan pada penelitian ini adalah pada luapan pasang tipe B dan tipe C.
Dipilihnya lokasi tipe C atas
dasar pertimbangan untuk menambah luas tanam dan intensitas pertanaman yang biasanya sekali setahun (IP-100) menjadi dua kali setahun (IP-200). Dipilihnya lokasi luapan pasang tipe B dengan maksud untuk meningkatkan
pengembangan sawah yang sudah ada sehingga produktivitasnya tinggi. Kedua tipe tersebut berbeda dalam ha1 sistem tata air dan ketersediaan sumber air irigasinya. Reklamasi tanah sulfat masam dengan mengkombinasikan pengelolaan tanah, pengelolaan tata air dan pemberian amelioran (kapur) di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan telah menunjukkan hasil yang memadai (Vadari et al., 1992; Subagyono et al., 1998). Namun penelitian yang dilakukan pada
tanah dengan tipe luapan yang berbeda masih belum dilakukan.
Masing-
masing tanah dengan tipe luapan pasang seyogianya mempunyai teknik pengelolaan tanah dan air serta perbaikan hara tanah yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini menilai tentang rehabilitasi sawah pada tanah sulfat masam di lahan rawa pasang surut melalui pemberian amelioran (dolomit dan fosfat alam) dan penggunaan saluran cacing yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman padi ditinjau dari sifat-sifat fisiologi dan agronomi. Lokasi penelitian adalah tanah sulfat masam aktual, dimana pada tipe luapan B merupakan tanah sulfat masam dangkal (SMPl) dengan kriteria SMA2 dan pada tipe luapan C merupakan tanah sulfat masam dalam (SMP2) dengan kriteria SMA2 (Tabel 1).
Kerangka Pemikiran
Kendala utama tanah sulfat masam untuk pertanian adalah tingginya keracunan besi dan sulfat akibat teroksidasinya pirit. Kenyataan di lapangan banyak lahan pengembangan pertanian rawa pasang surut yang sudah ditinggalkan oleh petani, karena tanahnya menjadi bongkor bahkan mati suri.
Oleh karena itu perlu dilakukan masukan teknologi untuk merehabilitasi tanah sawah sehingga menjadi lebih produktif. Tanah sulfat masam potensial memiliki kedalaman lapisan pirit yang berbeda. Pada tanah sulfat masam yang tergolong ke dalam sulfat masam potensial 1 (SMP1) lapisan pirit berada pada kedalaman < 50 cm sedangkan pada sulfat masam potensial 2 (SMP2) kedalaman lapisan pirit 50
- 100 cm.
Kedua kriteria ini secara berturut-turut biasanya diwakili oleh lokasi tipe luapan B dan tipe luapan C. Perbedaan kedalaman lapisan pirit menyebabkan
perbedaan dalam pengelolaan tanah terutama segi pengolahan tanah. Selain itu kedua wilayah juga dibedakan dari segi tipe luapan pasang surut serta ketersediaan air. Lokasi tipe luapan B dipengaruhi langsung oleh pasang surut harian tetapi hanya terluapi oleh pasang besar saja dan tidak terluapi oleh pasang kecil, sedangkan pada tipe luapan C air pasang berpengaruh melalui air tanah oleh karena itu air tanahnya dangkal yaitu < 50 cm dari permukaan tanah.
Pada musim penghujan lokasi tipe luapan C selalu terluapi oleh air
hujan. Menurut Subagyo dan Widjaja-Adhi (1996) bahwa tata air mikro dibangun pada lahan budidaya memperhatikan sifat tanah dan tipe luapan pasang surut. Lahan pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat masam potensial, maka penggenangan dilakukan dengan mempertahankan air tanah diatas lapisan pirit.
Dengan demikian diusahakan agar selalu membuat kondisi
dalam keadaan anaerob.
Apabila bangunan saluran-saluran air di tingkat
sawah diperlukan, maka penggalian saluran tersebut hendaknya tetap diatas lapisan pirit.
Pembuangan tanah galian yang mengandung pirit harus
diperhatikan sebab pirit yang terangkat tersebut akan teroksidasi dan tanah galian menjadi masam. Kemasaman tersebut akan berbahaya bagi daerah di sekelilingnya apabila terbawa air hujan. Sebagai contoh di daerah Barambai Kalimantan Selatan, tanah galian yang mengandung pirit telah teroksidasi dan menjadi masam, merusak tanaman yang berada disamping galangan-galangan galian tersebut. Oleh karena itu pembuatan saluran-saluran disamping galangan-galangan harus dilakukan hati-hati. Pengembangan sawah pada lokasi tipe luapan C juga dimaksudkan untuk memperluas areal tanam. Selama ini lokasi luapan tipe C tidak dijadikan areal persawahan padahal kondisinya selalu tergenang pada musim hujan, dan pada musim kemaraupun masih tersisa air dalam bentuk macak-macak. Dengan demikian perlu dilakukan percobaan pada ke dua tipe luapan sehingga dapat diketahui pola penanganan pada masing-masing tipe luapan. Kendala lain pada tanah sulfat masam adalah tingginya tanah (pH <3.5), serta rendahnya kadar hara tanah.
kemasaman
Pemberian amelioran
dalam bentuk kapur dan fosfat alam merupakan salah satu solusi yang terbaik. Menurut Smilde (1990) bahwa pemberian kapur lebih ditujukan untuk mengontrol alumunium dan pertumbuhan tanaman padi pada pH 4.5 - 5.0. Penggunaan fosfat alam berkualitas tinggi untuk budidaya tanaman mempunyai beberapa manfaat. Fosfat alam mempunyai sifat tidak larut dalam air, memiliki kandungan P dan Ca cukup tinggi, unsur P mengurainya lambat serta mempunyai efek residu jangka panjang. Pemberian amelioran fosfat alam pada tanah sulfat masam di Unit Tatas Kalimantan Tengah memberikan hasil gabah
lebih baik dibanding pupuk TSP, dan mempunyai efek residu hingga musim tanam ketiga (Vadari etal., 1992). Penelitian tentang penggelontoran/pencucian air lahan pada tanah sulfat masam di lapang juga telah banyak dilakukan. Pencucian tanah sulfat masam yang disawahkan dengan saluran cacing berukuran lebar 20 cm, kedalaman 30 cm, dan jarak antar saluran cacing 6 m meningkatkan pH tanah sebesar 0.55 pada musim tanam tahun pertama dan 0.99 pada musim tanam kemarau (Subiksa e t a.l, 1991). Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa pencucian dengan air pasang lebih efektif dibanding air hujan (Didi Ardi e t al., 1995). Dalam penelitian ini dibuat saluran cacing (saluran dangkal intensif = Intensive Shallow Drainage System) dengan konstruksi: lebar 15 - 20 cm, kedalaman 15 - 20 cm, dan jarak antar saluran cacing adalah 3 m, 6 m, 9 m, 12 m, dan panjang 25 m.
Penentuan jarak saluran cacing 3 m adalah karena tingkat
kandungan Fe pada lokasi penelitian cukup tinggi. Adanya saluran cacing akan mempercepat pencucian unsur-unsur yang bersifat racun yang mungkin terbentuk khususnya di lapisan tanah atas, dan memberikan pengaruh yang positif terhadap perbaikan kualitas tanah dan air dalam peningkatan hasil padi (Subagyono et al., 1998). Pengembangan varietas yang adaptif terhadap keracunan Fe juga sangat diperlukan. Masing-masing varietas kemungkinan memiliki kisaran serapan terhadap keracunan besi yang berbeda-beda.
Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa batas kritis ketenggangan tanaman padi terhadap keracunan besi sebesar 300 ppm Fe dalam daun (Yoshida, 1981), sedangkan peneliti lain memperoleh batas kritis bervariasi dari 30 hingga 500 ppm Fe
(Jayawardhana, 1989).
Bronzing pada daun adalah tipe penyakit yang
berhubungan dengan hara dalam padi disebabkan oleh keracunan besi, maka daun dapat mengandung 700 mg Fe/kg berat kering atau lebih tinggi lagi (Yamauchi, 1989). Sampai saat ini petani pada wilayah pasang surut Kalimantan Tengah sedikit sekali yang menanam varietas padi unggul.
Hal ini disebabkan karena
rasa nasinya kurang disukai dan pengelolaan varietas unggul terlalu intensif sehingga menyita banyak waktu dan tenaga. Sebagian besar petani menanam varietas padi lokal dan hanya mampu panen sekali dalam satu tahun (IP 100). Oleh
karena itu
dilakukan
percobaan dengan
mengembangkan pola
Sawitdupa (Satu kali mewiwit dua kali panen) menjadi Duwitripa (Dua kali mewiwit tiga kali panen), yaitu menanam dua kali varietas padi unggul tanpa meninggalkan varietas padi lokal.
Dengan pola ini diharapkan akan terjadi
perangsangan minat petani untuk mengusahakan padi sawah serta peningkatan intensitas panen menjadi IP 200. Beberapa penelitian yang dilakukan selama ini hanya dilakukan dalam skala kecil dan terbatas (skala petak percobaan). Teknik pengelolaan tata air dan teknik budidaya padi sawah rawa pasang surut sulfat masam secara ekonomis dapat diterapkan apabila dikejakan minimal pada satu hamparan yang luas dan terkendali, yaitu dalam satu petak tersier atau dalam satu petak handel (Subagyo dan Widjaja-Adhi, 1996; Vadari et al, 1992). Pada penelitian ini dilakukan dalam skala yang lebih luas (skala hamparan petakan tersier dan petakan handel), yang melibatkan petani dan lahannya.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan selama ini oleh proyek-proyek di lingkungan Departemen Pertanian terhadap peranan pengelolaan air dan teknik budidaya anjuran pada sawah pasang surut terhadap penampilan agronomi padi sawah belum cukup dipelajari.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menilai hasil rehabilitasi sawah rawa pasang surut
sulfat masam aktual ditinjau dari sifat-sifat fisiologi dan
agronomi, melalui: 1
Pemberian amelioran (dolomit dan/atau fosfat alam).
2.
Penggunaan saluran cacing.
3.
Adaptasi beberapa varietas padi.
4.
Interaksi antar faktor pemberian amelioran (dolomit dan fosfat alam), penggunaan saluran cacing dan varietas padi.
Hipotesis Pemberian amelioran (dolomit dan/atau fosfat alam) akan memperbaiki reaksi dan ketersediaan hara tanah sawah.
Dolomit akan mengurangi
kemasaman tana h sehingga sebagian hara yang sebelumnya terikat secara kimiawi dalam koloid tanah dapat tersedia dan diserap oleh tanaman. Hara P pada tanah sulfat masam secara pedologis sangat rendah dan terikat oleh Fe, sehingga pemberian fosfat alam akan menambah suplai P tersedia bagi tanaman.
2.
Penggunaan saluran cacing (intensive shallow drainage system) di dalam petakan sawah pasang surut sulfat masam dapat mengendalikan keracunan besi karena akan mencegah proses oksidasi pirit. Kalaupun teqadi oksidasi sebagian hasil oksidasinya cepat tercuci.
3.
Varietas padi yang berbeda ketenggangannya memberi respon berbeda terhadap kondisi tanah.
4.
Ada interaksi antara faktor pemberian amelioran, penggunaan saluran cacing dan varietas padi.
Kendala Tanah Sulfat Masam pada Lahan Rawa Pasang Surut
A TANAH: pH <~.o,F~~',AI~', ~0~~-,kahat P,K,Ca,Mg, Zn, kematangan gambut rendah, bongkor / mati suri
4 AIR: pH <4.0,~e~+,AL~+, ~0~~-,tersedia (tipe B), terbatas (tipe C)
. TANAMAN: Penyakit "bronzing", varietas lokal, intensitas rendah, produksi rendah atau gagal panen
------r
METODE REHABIUTASI SAWAH : Kondisi Tanah Tipe luapan B Tipe luapan C MTI, MT2 (Uji lapang, pola tanam duwitripa, uji laboratorium, uji statistika)
Hasil Penelitian: I. Perbaikan lingkungan akar 2. Perbaikan proses fisiologi 3. Perbaikan adaptasi varietas (penampilan agronomi) 4. Interaksi antar faktor Kesimpulan: I. Hara tanah tersedia 2. Pengelolaan air yang tepat 3. Produktivitas lahan meningkat 4. Produksi tanaman padi cukup tinggi dan berkelanjutan
Gambar I.Kerangka Penelitian