Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN MENDUKUNG PSDSK 2014 (Diversification of Small Ruminant Product Processing through Postharvest Technology to Support PSDSK 2014) RUDY TJAHJOHUTOMO, ABUBAKAR dan S. USMIATI Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Cimanggu, Bogor 16114
ABSTRACT Indonesia's determination to achieve self-sufficiency in meat through 2014 PSDSK (Self Sufficiency Programs Beef and Buff) is measures on the right track and must be fully supported as strongly associated with security and food sovereignity. Importation of beef cattle and frozen meat from neighbor countries still needed to fullfil the gap between the level of consumption and production. To reduce the number of imported beef and frozen meat, small ruminant livestock (goats and sheep) have significant potential for national meat supply, which so by goat population of about 16.8 million of sheep and 10.9 million or total 27.7 million, with national meat consumption reaches 6 percent. Until now perceived utilization of livestock production is not optimal caused by harvesting losed, varity of product quality, postharvesting handling weaknesses, has a perishable nature and poor marketing system. Diversification of small ruminant products processed through postharvest technology is expected to produce the product or the quality of processed products, preferred by consumers thereby increasing the added value and competitiveness, while supporting PSDSK. To support the diversification of the necessary strategies for the enhancement of processed livestock products quality and safety (food safety), namely through the selection of superior livestock seed, feeding with good quality, good management of maintenance, disease control, postharvest technology, appropriate, and implement principles of security since the level producers, intermediaries and the subsequent marketing to consumers as directed and sustained. Postharvest technology research and development of small ruminants is expected to improve product quality, added value and competitiveness to be able supporting PSDSK 2014. Key Words: Small Ruminants, Processed Diversification, Postharvest, PSDSK ABSTRAK Tekad Indonesia untuk mewujudkan swasembada daging melalui PSDSK 2014 me rupakan langkah yang sudah ditentukan dan harus didukung sepenuhnya karena sangat terkait dengan ketahanan pangan. Import sapi potong dan daging beku dari negara tetangga masih diperlukan untuk menutup kesenjangan antara tingkat konsumsi dengan tingkat produksi. Untuk mengurangi import sapi potong dan daging beku, masih ada ternak ruminansia kecil yaitu ternak kambing dan domba yang mempunyai potensi cukup signifikan dalam penyediaan daging nasional, dimana sampai saat ini populasi kambing sekitar 16,8 juta ekor dan domba 10,9 juta ekor atau total 27,7 juta ekor. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi daging ruminansia kecil pada konsumsi daging nasional mencapai 3 persen. Sampai saat ini produksi hasil ternak dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran. Diversifikasi produk olahan ternak ruminansia kecil melalui teknologi pascapanen, diharapkan dapat menghasilkan produk ataupun hasil olahan yang bermutu, disukai konsumen sehingga meningkatkan nilai tambah dan daya saing, sekaligus mendukung PSDSK 2014. Untuk mendukung diversifikasi olahan tersebut diperlukan strategi peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety), yaitu melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan teknologi pascapanen ternak ruminansia kecil
39
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, nilai tambah dan daya saing sekaligus dapat mendukung PSDSK 2014 khususnya dan pembangunan subsektor peternakan pada umumnya. Kata Kunci: Ruminansia Kecil, Diversifikasi Olahan, Pascapanen, PSDSK 2014
PENDAHULUAN
HASIL TERNAK RUMINANSIA KECIL
Kementerian Pertanian melalui Permentan No.19 Tahun 2010 menargetkan swasem bada daging sapi pada tahun 2014, melalui PSDSK 2014. Sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014. Upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, diantaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain itu juga memanfaatkan lahan-lahan terlantar sekitar 7,13 juta ha yang masih potensial digunakan untuk peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun. Peningkatan produksi peternakan belum dikatakan berhasil apabila tidak diikuti oleh teknologi pascapanen yang pada akhirnya untuk meningkatkan konsumsi daging melalui diversifikasi pangan daging yang bertujuan untuk meningkatan nilai tambah hasil peternakan melalui pembangunan industri untuk memperluas kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan memacu pembangunan ekonomi pedesaan dan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat luas. Potensi agroindustri untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk pada subsektor peternakan, pada pengembangan ternak masih sangat luas. Hasil peternakan merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan dan pengolahan. Berbagai teknologi pascapanen (penanganan / pengawetan dan pengolahan) dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk. Limbah hasil peternakan juga merupakan sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan industri kecil dalam menghasilkan produk akhir maupun produk setengah jadi (ABUBAKAR et al., 1999)
Ternak ruminansia kecil, merupakan ternak herbivora yang sangat populer dikalangan petani di Indonesia terutama yang tinggal di pulau Jawa. Jenis ternak ini mudah dipelihara, dapat memanfaatkan limbah dan hasil ikutan pertanian dan industri, mudah di kembangbiakkan, dan pasarnya selalu tersedia setiap saat serta memerlukan modal yang relatif sedikit dibandingkan dengan ternak yang lebih besar. Kemampuan ternak ini untuk memanfaatkan hijauan sebagai bahan makanan utama menjadi daging, menempatkan ternak ruminansia kecil sebagai bagian yang cukup penting artinya bagi perekonomian nasional pada umumnya, maupun kesejahteraan keluarga petani di pedesaan pada khususnya. Ruminansia kecil tersebar luas di daerah pedesaan dan biasanya dipelihara dengan tujuan sebagai tabungan hidup maupun sebagai ternak potong/ternak susu untuk dikonsumsi keluarga disamping kotorannya dapat dipergunakan untuk pupuk yang baik bagi tanaman. Pemeliharaan ternak ini di pedesaan merupakan bagian dari usaha tani secara keseluruhan dalam skala yang relatif kecil dengan rataan jumlah kepemilikan sebanyak 3 – 5 ekor per keluarga petani. Keadaan ini membuktikan bahwa ternak ruminansia kecil belum mendapatkan perhatian yang besar dalam hal peningkatan potensinya sebagai pemasok daging untuk dapat ditingkatkan kepada skala produksi yang secara ekonomik memberikan keuntungan yang optimal. Menurut penelitian, di pulau Jawa diperkirakan bahwa ternak ruminansia kecil dapat dijumpai pada satu dari hampir setiap lima rumah tangga petani di pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan besarnya peranan ternak di pedesaan dan penting artinya bagi perekonomian masyarakat petani di Indonesia. Di daerah pedesaan, ternak ini biasanya dipelihara secara tradisional dengan sistem
40
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
dikandangkan atau setengah digembalakan. Sistem perkandangan yang sederhana dan pemberian makanan yang berasal dari penyediaan alam sekitarnya serta belum adanya sistem pemilihan bibit yang terarah, merupakan ciri khusus dari cara pemeliharaan tradisional tersebut. Sampai saat ini usaha ternak ruminansia kecil dipedesaan di Pulau Jawa yang sudah berlangsung selama beberapa abad ini masih merupakan bagian yang penting dalam sistem usaha tani secara keseluruhan. Ternak ruminansia kecil, disamping sebagai penghasil daging, juga mempunyai potensi sebagai penghasil kulit yang bernilai ekonomi tinggi, sedangkan khusus kambing perah disamping sebagai penghasil susu, juga meghasilkan daging setelah diafkir sebagai kambing perah disamping itu, juga menghasilkan kulit, tulang, tanduk dan kotoran yang sangat bermanfaat. TEKNOLOGI PASCAPANEN RUMINANSIA KECIL Peningkatan produksi hasil peternakan yang sudah baik telah mendorong dan sekaligus merupakan tantangan dalam teknologi pascapanen (Penanganan Dan Pengolahan) hasilnya, sehingga produksi hasil ternak dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor serta memberikan dukungan yang kuat terhadap pembangunan (ABUBAKAR, 1994). Disamping produk utama (daging dan susu), hasil ikutan dari ternak seperti kulit dan tulang serta kotorannya juga mempunyai potensi yang besar dalam memberikan nilai tambah dari sub sektor peternakan. Sifat produksi hasil ternak yang mudah rusak dan kondisi lingkungan Indonesia dengan temperatur dan kelembaban yang cukup tinggi akan mempercepat proses kerusakan komoditi, maka untuk itu memerlukan penanganan pascapanen yang baik dan tepat sehingga mutu hasil ternak tetap terjaga dan aman dikonsumsi. Teknologi pascapanen daging Renstra Kementerian Pertanian 2010 – 2014, menyebutkan bahwa sasaran produksi
daging sapi tahun 2010 sebesar 412 ribu ton, dan pada tahun 2014 sebesar 546 ribu ton (pertumbuhan 7,30%/tahun), dengan sasaran konsumsi daging sapi tahun 2010 sebesar 2,7 kg/kap/tahun dan pada tahun 2014 sebesar 3,3 kg/kap/tahun, sementara sasaran produksi daging kerbau tahun 2010 sebesar 42 ribu ton dan pada tahun 2014 sebesar 55,4 ribu ton (pertumbuhan 0,32%/tahun) dan sasaran produksi daging kambing/domba tahun 2010 sebesar 133 ribu ton dan pada tahun 2014 sebesar 161 ribu ton (pertumbuhan 4,95%/ tahun). Daging ruminansia kecil untuk konsumsi pada umumnya dihasilkan dari jenis-jenis kambing-domba lokal pedaging atau afkir dari kambing penghasil susu antara lain, kambing Etawah, Kacang, Bali/Gembrong, Domba Garut, dll. Hasil utama kambing-domba tipe pedaging adalah berupa karkas yaitu tubuh kambing-domba yang telah dihilangkan bagian-bagian isi perut, kepala, kaki dan kulit (BUCKLE et al., 1985). Sebagian besar manfaat dari produk pangan hewani yang dikonsumsi manusia adalah daging, karena daging merupakan bahan makanan yang mengandung zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia (WILSON et al. 1991). Orang makan daging dipengaruhi oleh berbagai alasan antara lain tradisi, nilai gizi tinggi, kesehatan, variasi, bersifat mengenyangkan dan prestise (gengsi). Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, juicey daging. Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas daging. Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah (SOEPARNO, 1994). Teknologi pangan yang utama harus diterapkan adalah teknologi penanganan daging segar, terutama teknologi sanitasi (PEARSON dan TAUBER, 1994). Komposisi kimia daging yang utama adalah air, protein, lemak dan abu. setiap 100 gram daging rata-rata dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari sekitar 10 % kalori, 50% protein, 35% zat besi, dan 25 – 60% vitamin B komplek. Secara umum daging terdiri dari protein 18%, lemak 3,5%, bahan ekstrak tiada nitrogen 3,3%, air 75% dan
41
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
karbohidrat berupa glikogen dalam jumlah sedikit (ZWEIGERT, 1991). Protein daging bersifat lengkap karena mengandung semua asam amino essensial dan masing-masing terdapat dalam susunan yang seimbang. Susunan asam amino essensial protein daging mendekati pola susunan asam amino yang diperlukan oleh tubuh manusia. Lemak merupakan komponen utama dalam daging. Lemak berfungsi sebagai pembentuk energi dan komposisi lemak terdiri dari gliserol dan asam lemak. Karbohidrat merupakan komponen yang memegang peranan utama didalam bahan-bahan organik. Kebanyakan karbohidrat didalam jaringan tubuh hewan terdiri dari polisakarida komplek dan beberapa diantaranya berkaitan dengan komponen protein dan sulit dipisahkan, glikogen merupakan karbohidrat yang utama didalam daging (PRICE dan SCHWEIGERT, 1988). Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan cepat rusak. Kerusakan daging yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama disebabkan oleh mikroorganisme. Daging akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan setelah pemotongan hewan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari permukaan karkas dan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan hewan dan tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama penanganan pada saat penyembelihan dan pembersihan karkas hingga daging dikonsumsi (ABUBAKAR dan PUTU, 1997). Untuk mengatasi atau mengurangi kontaminasi diperlukan penanganan yang higienis dengan sistem sanitasi yang sebaik-baiknya. Besarnya kontaminasi mikroba pada daging akan menentukan kualitas dan masa simpan daging. Menurut BUCKLE et al. (1985), penyimpanan suhu rendah telah lama digunakan sebagai salah satu cara pengawetan bahan pangan, karena dapat mempertahankan cita rasa dan menghambat kerusakan bahan pangan tersebut. Dalam lemari pendingin suhu dapat dicapai jauh lebih rendah dari pada menyimpan dengan es, juga dapat digunakan untuk menyimpan berbagai bahan pangan dalam waktu terbatas. Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme keaktifan respirasi sehingga pertumbuhan bakteri dan kebusukan dapat dihambat.
42
Semakin rendah suhu lingkungan, enzim menjadi semakin berkurang. Daging yang masih hangat akan menurunkan suhu ruang pendingin, jumlah daging didalam ruang pendingin sebaiknya tidak berlebihan. Pendinginan daging adalah penyimpanan daging pada suhu ruangan dengan suhu lebih rendah dari 2oC. Faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain adalah panas spesifik daging atau kapasitas panas, berat ukuran daging, jumlah daging dalam ruangan pendingin dan jarak antar daging. PENANGANAN DAGING Metode pendinginan Daging telah diketahui sebagai bahan yang mudah rusak, hal ini disebabkan karena komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme, dan juga karena pencemaran permukaan pada daging oleh mikroorganisme perusak. Menurut BUCKLE et al. (1985), sampai saat ini suhu rendah selalu digunakan untuk memperlambat kecepatan berkembangnya pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai tingkat akhir dimana terjadi kerusakan. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikroorganisme semacam itu merupakan ukuran ketahanan penyimpanan. Istilah “penyimpanan dingin” biasanya diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 1 sampai 3,5C, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum -2C dan 7C bagi pertumbuhan organisme psikorofilik (ZWEIGERT, 1991). Jadi hal terpenting dalam pemasaran daging yang disimpan pada suhu dingin adalah penjualan yag secepat mungkin berdasarkan pada daya tahan yang tidak lebih dari 3 – 5 hari. Suhu dingin harus tetap terjaga selama penyimpanan dalam jumlah besar, distribusi, penyimpanan di pengecer dan penjualan. Cara ini sangat banyak dipergunakan di kota-kota modern, dan tergantung pada pemotongan ternak dalam jumlah besar dengan distribusi berantai dan penyimpanan dingin (dalam lemari es) di rumah konsumen. Kerusakan daging yang diproduksi dan dipakai setempat dapat dihindari dengan cara menggunakan daging itu
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
secepatnya. Bila diperlukan waktu simpan yang lebih dari 5 hari seperti halnya daging yang disiapkan untuk diekspor ke kota lain atau negara lain, maka suhu 1 sampai 3,5C tidak lagi memadai dan harus digunakan suhu yang lebih rendah, bersama-sama dengan caracara lain yang ada untuk mengurangi kecepatan kerusakan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor ini menurut BUCKLE et al. (1985) antara lain adalah: 1) pengurangan tingkat pencemaran awal sampai akhir ke tingkat serendah mungkin dengan penggunaan prinsip-prinsip higienis yang ketat selama penyembelihan dan penanganan karkas; 2) pemilihan suhu terendah yang dapat menghindarkan pembekuan bagian tipis dari pada karkas dan pengawasannya seketat mungkin, dalam pelaksanaannya suhu ini adalah -1,5 – 0,2C; 3) dalam hal karkas, pemilihan kondisi penyimpanan supaya terdapat kelembaban relatif 81 – 87% sehingga pengeringan permukaan yang mencapai 2 – 4 % dari berat karkas terjadi di permukaan. Hal ini akan menghalangi pertumbuhan bakteri; 4) penambahan kedalam atmosfer penyimpanan sampai 25% CO2 yang akan mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah CO2 yang melebihi 25% cenderung untuk mempercepat pembentukan metmioglobin yang tak diinginkan dan harus dihindari; 5) penggunaan daging dengan pH rendah, sebaiknya dibawah pH 5,8; 6) pengurangan waktu proses pendinginan karkas ke tingkat yang minimum.
semua air yang ada membeku. Saat air mulai membeku kecepatan pembentukan es ditentukan oleh kecepatan penghilangan panas dan kecepatan penyebaran air dari struktur sel disekitarnya. Pada kecepatan beku yang rendah, terbentuk beberapa pusat kristalisasi yang menyebabkan timbulnya kristal-kristal es yang besar yang menyebabkan pecahnya sel dan banyak air yang hilang bila daging dicairkan. Pada kecepatan yang tinggi, jumlah kristal es bertambah dan ukuran kristal tetap kecil. Dan bila daging dicairkan hilangnya cairan tidak akan terlalu banyak. Pendinginan daging tanpa tulang dari 10C menjadi -12C membebaskan panas kira-kira 250 Kj per kilogram daging, dimana sebagian besar dari panas ini adalah panas laten yang dibebaskan pada perubahan air menjadi es didalam daging. Jenis olahan daging yang telah populer dalam dunia industri pengolahan pascapanen adalah: bakso, kornet, nugget, abon, dendeng, burger, sosis, dan daging asap. Sedangkan teknologi pemotongan dan penanganan daging sebelum pengolahan adalah berupa pembelahan karkas digantung pada kaki belakang dan kepala menghadap ke bawah dan pembelahan dilakukan persis membelah tulang punggung sampai ke tulang leher. Kemudian belahan kiri dan kanan tersebut dipotong atas bagian-bagian paha, lulur, lambung, rusuk, dada, bahu dan kaki depan (SOEPARNO, 1994).
Metode pembekuan
Teknologi pengolahan daging
Menurut SOEPARNO (1994), pembekuan atau penyimpanan beku daging dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak akan tumbuh dan pada suhu dimana daging masih cukup keras dan tahan pada penimbunan secara besar-besaran. Dalam pelaksanaannya ini berarti penggunaan suhu dibawah -15C. Daging, seperti bahan biologis yang lain tidak mempunyai titik beku tertentu, akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 0C tidak terdapat es, pada suhu -10C kira-kira 83% dari air yang ada membeku dan pada -30C kira-kira 89% beku dan baru pada suhu di bawah -40C
Konsumsi daging kambing dan domba di Indonesia memiliki kecenderungan hanya berlangsung dengan lonjakan sporadis pada saat-saat tertentu saja. Pasokan domba dan kambing di Indonesia saat ini masih terfokus memenuhi kebutuhan daging hewan kurban saat idul adha, aqiqah, serta konsumsi daging potong untuk kuliner. Sementara itu, segmen untuk pemasaran lain dalam bentuk produk olahan belum berkembang dengan baik. Umumnya, konsumsi daging harian terdesak oleh daging sapi dan daging ayam. Konsumsi daging domba dan kambing oleh masyarakat masih sangat rendah hanya sekitar 5%.
TEKNOLOGI PENGOLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL
43
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Bagi kebanyakan orang di Asia, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika, daging kambing merupakan makanan yang dipercaya mempunyai khasiat yang tinggi dibanding daging sapi. Di Taiwan, daging kambing dipercaya mempunyai khasiat menghangatkan badan sehingga merupakan menu yang digemari di musim dingin. Peningkatan konsumsi daging domba dan kambing oleh masyarakat Indonesia masih ada tantangan yang harus diatasi. Selama ini ada suatu anggapan bahwa daging domba dan kambing merupakan sumber kolesterol, akibatnya masyarakat membatasi konsumsi daging domba dan kambing. Padahal, risiko tingginya kolesterol juga dapat dipicu oleh berbagai produk makanan lain. Penggunaan minyak atau lemak trans atau minyak yang dipanaskan berulang pada suhu tinggi dalam penyiapan menu makanan sehari-hari juga dapat menyebabkan tingginya kolesterol dalam tubuh. Bila dilihat dari kandungan kolesterol, daging kambing mengandung kolesterol 5 – 39 mg/100 g, sedangkan daging sapi dan domba sekitar 42 – 47 mg/100 g dan 52 – 77 mg/100 g (Nutrition Society of Australia, 1997 dalam SUMARMONO, 2003). Saat ini produk olahan kambing dan domba yang ada dimasyarakat adalah sate dan tongseng. Pada proses pembuatan sate melalui pembakaran, akan dihasilkan zat karsinogenik yang tinggi dibandingkan yang diolah dengan cara perebusan (RAHYUSSALIM, 2003 dalam TIVEN et al., 2007). Selain itu selama pembakaran, banyak zat gizi yang keluar. Daging kambing yang dibuat tongseng goreng mengandung lemak yang tertimbun dalam serat daging, sehingga mengandung kolesterol yang tinggi (ADISUSETYANTO, 2005 dalam TIVEN et al., 2007). Beberapa cara pengolahan yang aman untuk daging kambing dan domba adalah pengolahan produk olahan daging berjel seperti bakso, sosis dan nugget/burger, produk dengan preparasi perebusan seperti abon, dan produk seasoning rempah-rempah seperti dendeng. Jenis-jenis olahan tersebut selama ini telah banyak dikembangkan dengan basis daging sapi dan unggas. Masalah kekhawatiran masyarakat terhadap kandungan lemak dan kolesterol pada olahan daging harus dijawab melalui pengembangan produk rendah lemak dan kolesterol. Untuk produk rendah lemak dapat dilakukan dengan
44
metode pengaturan lemak sebelum dan sesudah panen (LEGOWO, 2007). Beberapa alternatif untuk mengurangi kandungan lemak dan kolesterol selama pascapanen diantaranya adalah dengan pengurangan lemak pada daging secara langsung. Pengurangan lemak daging inter-muskuler dapat dilakukan dengan teknik penghilangan secara fisik (trimming), pengempaan, pemanasan, atau cara kombinasi. Disamping cara langsung, saat ini telah dikembangkan metode substitusi lemak pada daging dan produk olahannya atau penggunaan fat replacer yang memiliki sifat seperti lemak tetapi rendah kalori, dan digunakan sebagai aditif dalam produk makanan kecil (TRANGGONO, 2001). Substitusi bahan tertentu dapat menurunkan kadar lemak secara proporsional dan menghasilkan citarasa serta sifat menarik. Penggunaan putih telur sebagai pengganti lemak dalam produk olahan daging telah dicoba untuk bakso (LIU et al., 1999). Modifikasi produk dengan pencampuran bahan fungsional tertentu dapat memperbaiki karakteristik produk rendah lemak setelah di oven microwave (TAKI, 1991). Beberapa bahan fungsional yang telah dicoba yaitu polisakarida, protein susu atau kedele, serat dari oat dan beras, minyak dan shortening. Pemberian protein kedele untuk mensubstitusi lemak dapat memperbaiki tekstur produk (HOOGENKAMP, 2002). Pengembangan produk pangan berkadar lemak rendah harus memperhatikan manfaat bagi kesehatan, citarasa dan prospek pemasarannya. Upaya tersebut masih menyisakan permasalahan yang harus dipecahkan. Salah satu permasalahan yang dihadapi pada produk-produk olahan rendah lemak adalah adanya kecenderungan produk memiliki harga yang lebih mahal. Teknologi pengolahan susu Menurut laporan Ditjen Peternakan, konsumsi susu dari 6,8 l/kap/tahun pada tahun 2005, menjadi 7,7 l/kap/tahun pada tahun 2008. Pada tahun 2009, produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi 25,11% dari total kebutuhan nasional. Sementara itu Renstra Kementerian Pertanian 2010 – 2014, menyebutkan bahwa sasaran produksi susu sapi segar tahun 2010 sebesar 726 ribu ton dan
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
pada tahun 2014 sebesar 1297 ribu ton (pertumbuhan 15,56 %/tahun). Susu merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kuda, kambing dan hewan lainnya. Komponenkomponen yang penting dalam air susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa serta enzim-enzim dan beberapa mikroba (LAMPERT, 1980). Komposisi susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur, akan tetapi angka rata-rata untuk semua jenis kondisi dan jenis kambing perah adalah sebagai berikut: kadar air 87,81%, lemak 4,09%, protein 3,71%, laktosa 4,20%, kadar abu 0,79% dan beberapa vitamin yang larut dalam lemak susu, yaitu vitamin A, D, E dan K (HANDERSON, 1981 dan BUCKLE et al., 1985). Disini terlihat bahwa kadar lemak dan protein susu kambing lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi, dimana pada susu sapi kadar lemak 3,50% dan proteinnya 3,40%. Walaupun susu masih segar dan berasal dari kambing yang sehat tidak dijamin aman untuk dikonsumsi. Menurut BUCKLE et al. (1985), susu mudah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang berasal dari lingkungan, peralatan pemerahan atau ternak itu sendiri. Tetapi susu yang telah mengalami pasteurisasi, sterilisasi atau pemanasan pada suhu tinggi merupakan susu yang aman untuk dikonsumsi. Kuman yang mencemari susu akan tumbuh dengan baik apabila lingkungan alam sekitar seperti keadaan anaerob, suhu, kelembaban, pH dan adanya laktosa yang mendukung. Menurut BUCKLE et al. (1985), beberapa kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme antara lain adalah: 1) pengasaman dan penggumpalan yang disebabkan karena fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan kemungkinan terjadinya penggumpalan kasein; 2) berlendir seperti tali yang disebabkan karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir sebagai akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri; 3) penggumpalan susu yang timbul tanpa penurunan pH, hal ini disebabkan oleh bakteri seperti Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang mencerna lapisan tipis fosfolipid
disekitar butir-butir itu menyatu membentuk suatu gumpalan yang timbul kepermukaan susu. Sifat-sifat fisik dan kimiawi susu adalah: kerapatan susu bervariasi antara 1,0260 dan 1,0320 pada suhu 20C, pH susu segar berada antara 6,6 – 6,7 dan warna susu yang normal adalah putih kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Cita rasa susu, menyenangkan dan agak manis, dimana rasa manis berasal dari laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida. Penggumpalan susu merupakan sifat yang paling khas, yang diakibatkan kegiatan enzim atau penambahan asam (HANDERSON, 1981). Produk-produk olahan susu yang sudah dikenal dalam industri pengolahan adalah: susu pasteurisasi, homogen, susu skim dan es krim, mentega, keju, susu kental, susu bubuk, yoghurt, dadih, dali, kefir, es krim, karamel/ kembang gula susu, dodol susu, dan krupuk susu (ABUBAKAR, 1994). Teknologi pengolahan kulit Kulit ternak ruminansia kecil dapat dijadikan sebagai bahan pokok pembuatan sepatu, sandal, dompet, tas, ikat pinggang, jaket, dll. Sebelum digunakan sebagai bahan industri, kulit segar harus diproses yaitu dibersihkan, diberi garam, dikeringkan dengan matahari, dan disamak. Pada prinsipnya penyamakan kulit terdiri dari tujuh tahapan utama, yaitu: pengeringan awal, perendaman dalam larutan kapur, pencukuran bulu, pemberian obat-obatan dengan cara perendaman, pengeringan akhir, peregangan dan penghalusan dan pengkilapan akhir. Berdasarkan fungsinya, kulit yang sudah disamak dan sudah siap digunakan sebagai bahan pokok industri ada tiga golongan yaitu, kulit kalf, kulit sol dan kulit lapisan dalam. Kulit kambing dapat dibuat sebagai kulit kalf dan kulit lapisan dalam, sedangkan kulit sol biasanya berasal dari kulit sapi (ABUBAKAR, 2004). TEKNLOGI PENGOLAHAN LIMBAH Kotoran Kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk kandang, dan mempunyai keunggulan
45
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
dibandingkan dengan pupuk alam lainnya, kotoran ternak mengandung unsur N, P dan K, yang lebih tinggi dari pupuk hijau dan kompos yaitu 0,95% N, 0,35% P205, dan 1,0% K20 (SUBAGYO dan SAMAD, 1985). Selain itu kotoran ternak dapat digunakan sebagai gas bio dan bahan makanan ternak, karena diduga mengandung vitamin B12 yang dapat merangsang pertumbuhan ayam atau ternak lain (WIRYOSUHANTO, 1985). Tulang/tanduk Kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Zat gizi yang mempunyai peranan penting dalam tubuh yaitu mineral zat besi, fospor dan kalsium. Karena kekurangan zat besi sangat besar pengaruhnya dalam proses terjadinya kekurangan gizi maka seringkali istilah anemia gizi diidentikkan dengan istilah anemia besi. Kekurangan besi adalah penyebab utama terjadinya anemia, yang menurut beberapa pakar gizi digambarkan sebagai suatu kondisi menurunnya jumlah sel darah merah, sehingga kadar hemoglobin dalam tubuh berada di bawah normal. Sumsum tulang yang berfungsi sebagai tempat pembentukan sel-sel darah merah diyakini mengandung Fe yang siap digunakan untuk pembentukan sel darah merah. Sumsum tulang sebelum digunakan terlebih dahulu ditentukan kadar Fe-nya. Metode yang digunakan ialah destruksi dengan menggunakan HCl yang kandungan Fe-nya diukur dengan spektrofotometer pada λ 460 nm dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS) pada λ 248.3 nm. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kandungan Fe pada sumsum tulang dengan metode spektrofotometri sebesar 109 ppm (0,0109%), sedangkan dengan AAS sebesar 175,75 ppm (0,0176%) (ABUBAKAR et al., 2004). Menurut ABUBAKAR et al. (2004), tulang juga mengandung kalsium, yang merupakan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, khususnya bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil, dan orang tua. Kalsium banyak terdapat dalam tulang, oleh karena itu tulang ternak sebagai produk samping atau limbah dari pemotongan hewan ternak dapat
46
digunakan sebagai suplemen kalsium. Kadar kalsium tulang telah diukur dengan dua metode, yaitu metode permanganometri dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS). Dari metode permanganometri diperoleh kadar kalsium tulang sebesar 1,56%, sedangkan dari metode AAS sebesar 18,45%. Rendemen tepung tulang terhadap tulang diperoleh sebesar 60,86% (b/b). Dari hasil uji kualitatif, tepung tulang mengandung klorida, kalsium, fosfat, magnesium, dan besi, sedangkan sulfat ditemukan dalam jumlah sangat kecil. Dari hasil uji proksimat, tepung tulang mempunyai kadar air sebesar 0,26%, kadar abu sebesar 48,55%, dan kadar lemak sebesar 2,34% (ABUBAKAR et al., 2004). PENINGKATAN MUTU PRODUK/ HASIL RUMINANSIA KECIL Hasil ternak merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan. Diversifikasi olahan produk ternak melalui teknologi pascapanen (penanganan/pengawetan dan pengolahan) dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk. Teknik-teknik penanganan dan pengolahan hasil ternak diharapkan dapat mengamankan hasil produksi terhadap penurunan mutu agar dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah hasil ternak, baik dari segi bobot, bentuk fisik, rupa dan gizi maupun rasa, bebas dari jazat renik patogen serta residu bahan kimia, sehingga produk aman (food safety) dan dapat memenuhi persyaratan pasar dalam dan luar negeri serta agroindustri pengolahan (ABUBAKAR, 2004). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain, genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif. Faktor setelah pemotongan adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk, hormon, lemak intra muskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging. Menurut SOEPARNO (1994), marbling menjadikan daging empuk, karena marbling berperan sebagai bahan pelumas pada
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
saat daging dikunyah dan ditelan, juga berpengaruh terhadap sari minyak (juiceness) dan aroma (flavor) daripada keempukan daging. Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging. Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas daging. Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah (SOEPARNO, 1994). Kualitas dan komposisi susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur. Susu harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang paling baik bagi petumbuhan mikroba, selain itu susu mudah pecah dan rusak bila penanganannya kurang baik, sehingga masa simpannya selatif singkat. Parameter spesifik kualitas susu sangat ditentukan oleh, berat jenis/total solid, kadar lemak, protein, dan jumlah kuman. Disamping itu untuk menangani kelebihan produksi air susu, maka langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan susu tersebut untuk memperpanjang masa simpannya. Sehubungan dengan itu diversifikasi pangan daging untuk mensukseskan PSDSK, diperlukan strategi
peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety) melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsipprinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan ber kesinambungan. DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN TERNAK RUMINANSIA KECIL MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN Untuk meningkatkan konsumsi hasil ternak ruminansia kecil, salah satu programnya adalah diversifikasi produk olahan melalui teknologi pascapanen. Teknologi pascapanen mempunyai peran yang besar dalam peyediaan pangan bergizi tinggi yang berasal dari protein hewani. Berdasarkan teknologi pascapanen (penanganan dan pengolahan hasil ternak) daging, susu dan kulit, maka teknologi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pengguna, untuk meningkatkan konsumsi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing ternak, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Diversifikasi produk olahan, dan peluang pascapanen ternak ruminansia kecil Komoditi
Asal ternak
Diversifikasi produk olahan
Peluang pascapanen
Daging
Ruminansia kecil
Abon; dendeng; bakso; sosis; kornet; nuget; asap
Bagian karkas; BTP; bahan dan teknik pengemasan; penyimpanan;bahan dan teknik pengasapan
Susu
Kambing
Pasteurisasi; yoghurt; kefir; dali; dadih; karamel; dodol; krupuk; keju
Teknik pemanasan, suhu; penyimpanan; mikrobaprobiotik; teknik pengolahan; renet alami dari kambing; keju lemak rendah; keju probiotik; pangan fungsional
Kulit dan bulu
Ruminansia kecil
Kulit samak; samak bulu
Teknik samak kulit dan bulu
Tulang
Ruminansia kecil
Mineral; Ca, P, Fe
Sumber mineral untuk kesehatan
47
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
KESIMPULAN Peningkatan produksi ternak ruminansia kecil yang sudah baik harus diikuti dengan teknologi pascapanen untuk meningkatkan konsumsi hasil ternak, meningkatkan kualitas produk hasil ternak, maupun dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan daya saing ternak. Produksi hasil ternak ruminansia kecil pemanfaatannya dirasakan belum optimal oleh karena masih adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya caracara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran, maka strategi peningkatan produk hasil ternak yang bermutu dan aman (food safety) hendaknya dilakukan melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan diversifikasi produk olahan ternak ruminansia kecil melalui teknologi pascapanen diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, meningkatkan konsumsi/ preferensi hasil ternak, sekaligus dapat mendukung PSDSK khususnya dan pembangunan subsektor peternakan pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA ABUBAKAR. 1994. Teknologi penyimpanan dan pengemasan hasil ternak (dukungan terhadap agroindustri komoditi ternak). Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Batu-Malang, 26 – 27 Oktober 1994. Subbalai Pengkajikan Teknologi Grati. ABUBAKAR dan IG.PUTU. 1997. Pengaruh percikan air dingin (spray chilling) terhadap penurunan susut berat karkas sapi Brahman Cross selama penyimpanan pada suhu ruangan 5 – 6C. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18 – 19 November 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 843 – 848.
ABUBAKAR, TRIYANTINI, R. SUNARLIM dan H. SETIYANTO. 1999. Teknologi Pascapanen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 November 1998. Puslibang Peternakan, Bogor. hlm. 170 – 177. ABUBAKAR, D MUSTIKA dan SUGIARTO. 2004. Zat besi dari sumsum tulang sapi sebagai suplemen untuk pencegahan anemia gizi. Pros. Seminar Nasional, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ABUBAKAR. 2004. Strategi peningkatan kualitas produk melalui teknologi pascapanen dalam pengembangan agribisnis kambing. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 97 – 105. BUCKLE, KA., RA. EDWARDS. GH.FLEET and M.WOOTON. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh: PURNOMO, H. dan ADIONO. UI Press, Jakarta DITJENNAK. 2009. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta. HARDERSON, J.L. 1981. The Fluid Milk Industri 3rd Ed. AVI Publishing Inc., Connecticut. HOOGENKAMP, H. 2002. Poultry allows processing to go further. Meat International 12(5): 20 – 23. KEMENTERIAN PERTANIAN. 2009. Renstra Kementerian Pertanian 2010 – 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta LAMPERT, C.M. 1980. Modern Dairy Prouct. New York Publishing , Co. Inc. LEGOWO, A.M. 2007. Peranan Teknologi Pangan dalam Pengembangan Produk Olahan Hasil Ternak di Tengah Kompetensi Global. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Teknologi Pascapanen. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. LIU, D.C., M.T., CHEN, C. S., HOMG and H. W. OCKERMAN. 1999. Liquid egg white used as a fat replacer in pork meatball. Proc. 45th International Congress of Meat Science and Technology, Yokohama pp. 162 – 163. PRICE, J.F. and B.S. SCHWEIGERT. 1988. The Science of Meat and Meat Product. Food and Nutrition Press, Inc. Westport, Connecticut.
48
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
PEARSON, A.M. and F.W. TAUBER. 1994. Processed Meat. Avi Publish Co, Inc. Westport, Connecticut. SOEPARNO. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. SUBAGYO dan B. SAMAD. 1985. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jilid II. PT Soerongan, Jakarta. SUMARMONO, J. 2003. Jangan Takut Makan Daging Kambing. Infovet. Edisi 112 Nopember TAKI, G.H. 1991 Functional ingredient blend produces to meet consumer expectations. Food Technology 45(11): 70 – 74. TRANGGONO. 2001. Liquid dalam perspektif ilmu dan teknologi panga. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
TIVEN, N.C., E. SURYANTO dan RUSMAN. 2007. Komposisi kimia, sifat fisik dan organoleptik bakso daging kambing dengan bahan pengental yang berbeda. Agritech. 27(1): 1 – 6. WILSON, A.R.P., J. DYETT, R.B. HUGHES and C.R. JONES. 1991. Meat and Meat Product: Factor Affecting Quality Control. Appl. Sci. Publish., London. WIRYOSUHANTO, S.D. 1985. Produksi dan penggunaan kotoran ternak. Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta. ZWEIGERT, P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product. W.H. Freeman Co, San Francisco.
DISKUSI
Pertanyaan: Apakah di BB Pascapanen sudah dilakukan penelitian daging kambing dan domba mengenai aroma dan keempukan pada ternak yang umurnya sama? Jawaban: Sudah dilakukan dan diperoleh bahwa daging kambing teksturnya lebih lembut dan keempukannya lebih baik dari pada daging domba
49
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011
Lampiran 1. Pohon industri teknologi pascapanen ternak ruminansia kecil (kambing – domba)
SEGAR
SIAP SAJI (pendinginan, pembekuan, sate, gule, dll.)
DAGING OLAHAN
SEGAR
Dendeng, abon, bakso, sosis, asap, kornet, burger, nugget, dll.
Pasteurisasi, homogenisasi, skim
SUSU OLAHAN KAMBING/ DOMBA SEGAR/ MENTAH
Yoghurt, es krim, kefir, dadih, dali, SKM, keju, mentega, bubuk, dodol, tahu, krupuk, karamel, kosmetik, dll.
D O M E S T I K
&
Pedagang/konsumen PASAR
KULIT dan BU LU SAMAK
Industri kerajinan, sepatu, tas, jaket, dompet, ikat pinggang, wayang kulit, hiasan, alat olah raga, dll.
KOTORAN
Pupuk/kompos/biogas
TULANG/ TANDUK
Sumber Ca, P, Fe, bahan lem, hiasan, dll.
LIMBAH
50
PASAR
E K S P O R