Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru
ABSTRAK Sebagai usaha sampingan dalam skala pemilikan sapi potong yang kecil dan disertai dengan pola pemeliharaan yang belum intensif menyebabkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Riau masih rendah. Sementara dilain sisi permintaan pasar akan produk peternakan terus meningkat sejalan dengan pertambahan populasi penduduk Riau dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk peternakan. Dilihat dari potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan peluang pasar lokal yang sangat terbuka maka Provinsi Riau sangat berpeluang untuk mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan produktifitas sapi potong tersebut adalah dengan menerapkan pola integrasi sapi potong dengan sub sektor pertanian lainnya. Sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal dan tersedia sepanjang tahun adalah sumber pakan alternatif asal perkebunan kelapa sawit. Pada tulisan ini akan diuraikan potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia untuk dapat dipergunakan sebagai landasan untuk mengembangkan usaha sapi potong lokal. Kata Kunci: Sapi Potong, Sumberdaya Alam, Limbah Kelapa Sawit
PENDAHULUAN Salah satu tujuan utama pembangunan adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, peran gizi khususnya kecukupan protein hewani sangat menentukan. Ada korelasi yang tinggi antara kecukupan konsumsi protein hewani dengan tingkat kemajuan suatu bangsa. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi protein asal ternak per kapita penduduk bangsa Indonesia tahun 1993 baru mencapai sekitar 3,74 g/kapita/hari (daging 2,45; telur 0,82 dan susu 0,47), sementara Singapura, jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1987 masingmasing sudah mencapai 22,69; 53,50 dan 73 g/kapita/hari. Adanya perbedaan konsumsi protein hewani tersebut berdampak pada perbedaan kualitas SDM yang sangat mencolok. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi betapa besar dan vitalnya peranan protein hewani dalam mencerdaskan setiap individu manusia. Konsumsi protein hewani yang rendah disebabkan oleh harga yang relatif lebih mahal, sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat yang sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah. Harga
yang tinggi ini disebabkan oleh biaya produksi sapi potong yang tinggi dan cenderung tidak ekonomis. Khusus untuk Daerah RIAU hingga saat ini masih mendatangkan kebutuhan produksi daging dari provinsi tetangga. Untuk itu, peluang usaha pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Riau sangat terbuka lebar dilihat dari aspek potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan peluang pemasaran. Sampai saat ini, produksi sapi potong lokal sangat terbatas jumlahnya, sebagai akibat skala usaha yang kecil dengan lokasi terpencar, pola pemeliharaan belum intensif dan hanya sebagai usaha sampingan (subsisten). Pola yang demikian mengakibatkan tingkat produktivitas ternak rendah dan berdampak pula terhadap rendahnya pertumbuhan populasi ternak. Untuk menanggulangi kondisi ini, perlu dilakukan upaya yang serius dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada khususnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan peternakan. Salah satu pola pengembangan peternakan yang dapat diterapkan dalam usaha ternak sapi adalah pola integrasi dengan kebun sawit. Dalam pola ini peternak dapat memanfaatkan secara optimal hijauan vegetasi alam yang
117
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
tersedia di areal kebun sawit serta memanfaatkan limbah sawit seperti daun sawit, pelepah sawit dan lumpur sawit. Dari luas kebun sawit yang ada di Kabupaten Rokan Hulu (163.747 ha) bisa menampung lebih kurang 44.862 ekor sapi potong per tahun. Jumlah ternak sapi dapat ditingkatkan lagi dengan memanfaatkan hasil ikutan atau limbah berupa pelepah daun sebanyak 94.749 ekor per tahun.
sasaran peningkatan populasi ternak, produksi ternak dan konsumsi hasil ternak baik daging maupun telur. Berikut ini akan digambarkan bagaimana profil peternakan, khususnya perkembangan ternak sapi di kabupaten/kota meliputi sebaran lokasi, populasi, produksi dan konsumsi, perdagangan ternak dan pola pemeliharaan ternak. Perkembangan populasi ternak sapi per kabupaten/kota
Tujuan kegiatan Tujuan dari integrasi ternak sapi dengan kebun sawit adalah untuk meningkatkan produksi daging dengan memanfaatkan potensi hijauan makanan ternak. Sasaran kegiatan Sasaran kegiatan adalah perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Rokan Hulu, baik milik perusahaan swasta maupun masyarakat. PROFIL PETERNAKAN SAPI Pembangunan peternakan Provinsi Riau merupakan hasil dari akumulasi pembangunan peternakan di semua kabupaten/kota dengan beberapa program yang menjadi prioritas. Dalam perkembangannya telah dilakukan beberapa upaya diantaranya untuk pencapaian
Perkembangan ternak sapi di masingmasing kabupaten/kota se-provinsi Riau selama 5 tahun (2000-2004), menunjukkan angka yang bervariasi. Dari Tabel 1. terlihat bahwa perkembangan ternak rata-rata per tahun di Kabupaten Siak dan Kota Dumai mencapai angka tertinggi yaitu masing-masing 37,84 dan 35,02%; sedangkan perkembangan ternak di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 10,7%. Tingginya perkembangan ternak di Kabupaten Siak dan Kota Dumai karena ada pemasukan ternak bibit baru, sedangkan perkembangan ternak di Kabupaten Rokan Hulu dicapai melalui perkembangbiakan ternak yang telah ada di masyarakat. Tingkat perkembangan ternak sapi rata-rata per tahun masing-masing kabupaten dan kota dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan ternak sapi di kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2000-2004 Populasi ternak sapi
Kabupaten/kota
Rata-rata (%)
2000
2001
2002
2003
2004
Kuansing
13.954
13.540
15.262
15.262
16.217
Indragiri Hulu
22.226
22.226
22.413
22.601
23.105
0,98
Indragiri Hilir
9.432
10.617
11.678
10.992
11.269
4,80
Pelalawan
1.547
1.546
1.572
1.875
2.018
7,13
Siak
4.288
5.352
5.966
11.760
13.874
37,84
Kampar
15.843
4.998
5.132
7.742
7.989
(2,93)
Rokan Hulu
12.115
12.388
14.616
16.110
18.101
10,70
Bengkalis
21.801
9.851
10.344
9.989
10.373
(12,35)
Rokan Hilir
6.301
2.129
2.161
2.232
2.305
(14,54)
Pekanbaru
4,00
2.994
2.114
2.349
2.442
2.969
1,82
Dumai
896
1.956
3.100
1.956
1.960
35,02
Jumlah
111.397
86.717
94.593
102.961
110.180
0,71
118
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Untuk lebih jelasnya sebaran populasi ternak sapi per kabupaten/kota se-Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 2.
Perkembangan sebaran daging sapi per kabupaten/kota selama 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Sebaran populasi ternak sapi di kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2004
Tabel 3. Sebaran penyediaan daging sapi di kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2004
Kabupaten/kota
Populasi
Persentase (%)
Daging (kg)
Persentase (%)
Dumai
1.960
1,78
Kabupaten/kota Rokan Hulu
44.885
1,12
Pelalawan
2.018
1,83
Dumai
62.610
1,56
Rokan Hilir
2.305
2,09
Bengkalis
82.314
2,05
Pekanbaru
2.969
2,69
Indragiri Hilir
202.432
5,03 6,05
Kampar
7.989
7,25
Kuansing
243.341
Bengkalis
10.373
9,41
Kampar
297.040
7,38
Indragiri Hilir
11.269
10,23
Siak
313.057
7,78
Siak
13.874
12,59
Pelalawan
323.635
8,04
Kuansing
16.217
14,72
Pekanbaru
325.545
8,09
Rokan Hulu
18.101
16,43
Rokan Hilir
627.472
15,59
Indragiri Hulu
23.105
20,97
Indragiri Hulu
1.502.754
37,33
Jumlah
110.180
100,00
Jumlah
4.025.085
100,00
Dari data tersebut, tampak bahwa dari 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau populasi ternak sapi terpadat terdapat di Indragiri Hulu dengan jumlah 23.105 ekor (20,97%) dan populasi terendah terdapat di Dumai dengan jumlah hanya mencapai 1.960 ekor (1,78%). Posisi Kabupaten Rokan Hulu yang merupakan kabupaten baru, dalam populasi ternak ternyata menduduki posisi ke-2 setelah Kabupaten Indragiri Hulu. Hal ini memang sudah sejak lama Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Rokan Hulu merupakan kantong ternak sapi dan menjadi andalan dalam penyediaan daging ternak sapi di Provinsi Riau. Sebaran penyediaan daging sapi per kabupaten/kota Sebaran daging sapi per kabupaten/kota tahun 2004 menunjukkan angka yang bervariasi tergantung kepada jumlah populasi ternak di wilayah tersebut. Dari beberapa jenis komoditi ternak potong, produksi daging sapi terhadap kebutuhan daging secara keseluruhan masih relatif kecil jika dibandingkan dengan daging ternak lainnya, yaitu lebih kurang 10%.
Dari data tersebut ternyata posisi Kabupaten Rokan Hulu dalam menghasilkan produksi ternak sapi berada pada posisi paling bawah dan hanya mampu memberikan 1,12% dalam menghasilkan produksi ternak di Kabupaten Riau. Hal ini terjadi paradoks dengan populasi yang ada, dimana Kabupaten Rokan Hulu mempunyai populasi yang tinggi (nomor dua di Provinsi Riau) dan merupakan andalan bagi Provinsi Riau. Logikanya dengan populasi yang tinggi akan menghasilkan produksi yang tinggi pila, akan tetapi hal ini tidak terjadi di Kabupaten Rokan Hulu. Untuk mengetahui penyebabnya perlu ditelusuri mekanisme dan sistem pencatatan perkembangan ternak, pemasukan dan pengeluaran ternak dari dan ke daerah tersebut. Kondisi ini terjadi lebih karena lemahnya dalam pencatatan data yang dilakukan oleh instansi berwenang dan bukan karena masalah teknis peternakan. Hal ini terbukti tingkat pertumbuhan ternak sapi rata-rata per tahun cukup tinggi yaitu mencapai 10,7%. Pola pengembangan ternak sapi Pada umumnya, usaha peternakan sapi potong di daerah Riau sebagian besar (± 99%)
119
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
merupakan usaha ternak rakyat dengan skala usaha 1-5 ekor per rumah tangga peternak. Pemeliharaan ternak sapi oleh peternak masih merupakan usaha pelengkap bagi kegiatan usahataninya. Pada umumnya ternak dipelihara sebagai usaha sambilan dengan tujuan untuk tabungan, dimana pada saat peternak memerlukan uang kontan, ternak yang dimilikinya akan dijual. Pada kondisi ini, peternak berada pada posisi rebut tawar yang lemah, sehingga harga riil yang diterima peternak relatif rendah dan di lain pihak umumnya pedagang perantara lebih banyak menikmati keuntungan dengan resiko yang kecil. Berdasarkan kondisi peternakan rakyat tersebut, maka karakteristik peternakan sapi potong dapat dikelompokkan ke dalam beberapa pola usaha, yaitu: peternak yang hanya memelihara ternak sapi, beternak sapi, usahaternak sapi dan agribisnis peternakan sapi potong. Memelihara ternak sapi atau peternakan sapi potong tradisional, dimana ternak sapi baru bersifat dimiliki belum diusahakan. Pada usaha seperti ini biasanya ternak merupakan status sosial bagi pemiliknya. Pada umumnya ternak tidak digunakan untuk tenaga kerja, tetapi digembalakan. Penjualan ternak dilakukan oleh pemiliknya apabila ada kebutuhan yang mendesak bagi kepentingan yang bersifat sosial, budaya maupun keagamaan, sehingga harga yang diperoleh sangat rendah. Beternak sapi atau peternakan sapi potong usaha keluarga, adalah usahaternak yang dilakukan untuk membantu kegiatan usahatani keluarga atau usahatani lainnya, seperti pupuk kandang, tabungan dan tenaga kerja. Pada kondisi ini nilai jual ternak berada di bawah harga pasar, tetapi lebih baik daripada nilai jual pada peternakan tradisional. Pada usaha ini, skala kepemilikan ternak berkisar antara 1-5 ekor. Usahaternak sapi atau peternakan sapi potong skala kecil, adalah usahaternak sapi potong yang mulai berorientasi ekonomi. Pada usaha tersebut perhitungan rugi laba dan input teknologi sudah mulai diterapkan walaupun masih relatif sederhana. Pada usaha ini, ternak umumnya diarahkan kepada produksi daging dengan skala pemilikan ternak berkisar antara 6-10 ekor per rumah tangga.
120
Agribisnis sapi potong atau peternakan sapi skala menengah/besar, adalah usahaternak sapi potong yang diusahakan sepenuhnya menggunakan teknologi yang berorientasi produksi daging dan kebutuhan pasar dengan jaminan kualitas dan kontinuitas. Berdasarkan kondisi tersebut, usaha peternakan rakyat dapat ditingkatkan dan dikembangkan menjadi usahaternak sapi potong yang efisien. Masalahnya sekarang bagaimana usahaternak sapi yang diusahakan oleh rakyat tersebut mampu menjadi peternakan sapi potong yang lebih efisien sesuai dengan tuntutan konsumen. Upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan skala usaha tersebut bukan tidak pernah dicoba oleh pemerintah, namun sangat lambat hasilnya. Upaya pemerintah dalam meningkatkan skala usaha yaitu dengan cara memberikan bibit ternak sebanyak 5 ekor per kepala keluarga, demikian pula untuk membekali pengetahuan dan keterampilan dilakukan melalui pelatihan-pelatihan sebelum dan sesudah peternak menerima ternak sapi. Dengan pola yang selama ini digunakan untuk menghasilkan daging sapi, ternyata kesenjangan antara supply dan demand semakin lama semakin lebar. Oleh karena itu, ke depan perlu diupayakan mendorong pihak swasta agar dapat menanamkan investasinya dalam bentuk usahaternak sapi baik untuk penyedia bakalan maupun penggemukan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pasar di Riau masih terbuka lebar untuk menerima daging sapi. POTENSI HIJAUAN PAKAN DAN LIMBAH SAWIT Luas areal kebun sawit di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 163.747 ha terdiri dari perkebunan rakyat seluas 65.510 ha, perkebunan besar swasta (PBS) seluas 64.852 ha dan perkebunan besar negara (PBN) seluas 33.385 ha. Dengan luasan tersebut, diprediksi bisa menyediakan hijauan pakan ternak sejumlah 491.241 ton per tahun atau dapat menampung lebih kurang 44.852 ekor ternak sapi serta dari limbah sawit berupa pelepah sawit tersedia 1.037.500 ton per tahun dan dapat menampung sapi lebih kurang sebanyak 94.749 ekor.
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Dengan demikian potensi kebun kelapa sawit yang tersebar di Kabupaten Rokan Hulu seluruhnya dapat menampung lebih kurang 139.611 ekor sapi, saat ini populasi sapi yang ada baru mencapai 18.101 ekor atau hanya 13%, sehingga masih tersedia potensi pakan ternak untuk kebutuhan ternak sapi sejumlah 121.510 ekor. POLA INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN KEBUN SAWIT Untuk memanfaatkan potensi hijauan pakan ternak dari areal kebun sawit, baik berupa rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman sawit maupun berupa pelepah sawit telah dikenal beberapa pola pengembangan yang pernah dilakukan oleh daerah lain bahkan negara lain seperti Malaysia. Pola dimaksud antara lain: Pola penggembalaan ternak sapi dengan cara rotasi Pola ini dilakukan oleh negara Malaysia, yaitu ternak sapi langsung digembalakan pada kebun sawit yang telah berumur lebih dari 3 tahun. Setiap hektar kebun sawit hanya dapat menampung 2-3 ekor ternak dan ternak-ternak yang digembalakan setiap harinya berpindahpindah. Dengan kata laian ternak akan kembali pada areal yang sama setelah 30 hari kemudian. Dengan pola ini berarti dari luasan kebun sebanyak 163.747 ha hanya dapat menampung lebih kurang sebanyak 1.819 ekor ternak sapi dengan asumsi seluruh kebun dimanfaatkan sebagai tempat gembala ternak. Kebaikan pola ini adalah kotoran ternak sapi yang tersebar dapat langsung berfungsi sebagai pupuk tanaman. Berdasarkan hasil
penelitian di Malaysia, ternyata dapat meningkatkan berat TBS (tandan buah segar) rata-rata 1-2 kg per tandannya serta tingkat kelahiran ternak yang relatif tinggi mencapai diatas 70% per tahun dibandingkan dengan pola pemeliharaan dikandangkan (20%). Pola penggemukan ternak Pada pola ini ternak-ternak yang dipelihara dikandangkan dengan intensif. Seluruh kebutuhan hijauan pakan ternak disediakan oleh petani dari kebun sawit, baik berupa rumput yang hidup di sela-sela tanaman maupun berupa limbah daun sawit. Dengan pola ini, kandang ternak sapi akan mengikuti pemukiman penduduk pada setiap areal kebun. Apabila ternak sapi yang akan dikembangkan menggunakan pola ini, maka akan ada dua sub pola. Pola penggemukan menggunakan hijauan makanan ternak (rumput) Pemeliharaan ternak sapi dengan pola ini sudah biasa dilakukan oleh petani di beberapa wilayah Provinsi Riau yang memiliki kebun sawit, yaitu ternak-ternak dikandangkan dan pakannya diaritkan dari areal kebun sawit. Pola penggamukan menggunakan pakan pelepah sawit Pola ini di Provinsi Riau belum pernah dilakukan, tetapi di Provinsi lain (Bengkulu) sudah berjalan dengan lebih kurang 3 tahun. Dampaknya lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola penggembalaan system rotasi maupun pola penggemukan yang pakannya dari rumput.
Tabel 4. Luas kebun sawit dan potensi pakan ternak di Kabupaten Rokan Hulu tahun 2004 Luas (ha)
Pelepah sawit (kg/tahun)
Potensi hijauan (kg)
Jumlah potensi pakan (kg/tahun)
Daya tampung ternak (ekor)
Perkebunan rakyat
65.510
415.071.360
196.530.000
611.601.360
55.854
Perkebunan besar swasta
64.852
410.902.272
194.556.000
605.458.272
55.293
Perkebunan besar negara
33.385
211.527.360
100.055.000
311.682.360
28.464
Jumlah
163.747
1.037.500.992
491.241.000
1.528.741.992
139.611
Jenis perkebunan
121
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Dalam menerapkan pola ini perlu adanya penambahan peralatan pengolah limbah daun sawit dengan harga per unit termasuk pelatihan operator dan pemeliharaan purna jualnya lebih kurang Rp. 150 juta. POLA PENGEMBANGAN DAN PERKIRAAN BIAYA Untuk mengimplementasikan pola-pola pemeliharaan ternak sapi yang diintegrasikan dengan kebun sawit, maka perlu disusun rencana kegiatan yang meliputi: Pola penggembalaan sistem rotasi Apabila pola ini yang akan digunakan, berarti sumberdaya yang diperlukan adalah kebun sawit, ternak sapi, conventer, mono electric wayer, accu, penggembala (tenaga) dan kendaraan operasional. Tahapan kegiatannya meliputi penentuan lokasi kebun, sosialisasi program, pengadaan peralatan dan bahan serta pengaturan sistem integrasi yang meliputi: kesepakatan pemilik kebun dan pemilik sapi, sistem bagi hasil, pembiayaan dan lain-lain. Sebenarnya pola ini dapat dilaksanakan dengan komitmen pemilik kebun khususnya perusahaan perkebunan negara yang ada di Kabupaten Rokan Hulu. PBN dapat menyediakan areal penggembalaan dan pembelian bibit sapi yang pengelolaannya diserahkan kepada koperasi. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan ternak sapi dengan pola ini lebih kurang mencapai Rp. 2 milyar untuk setiap 500 ekor ternak sapi.
122
Pola penggemukan dengan pakan rumput alam Dalam pola ini, sumberdaya yang diperlukan berupa ternak sapi, kandang, rumput dan peternak. Dengan asumsi setiap KK memelihara 10 ekor sapi, maka biaya yang diperlukan lebih kurang Rp. 50 juta untuk setiap peternak. Pola penggemukan pakan pelepah sawit Pola penggemukan ternak sapi dengan memanfaatkan pelepah sawit memerlukan sumberdaya berupa ternak sapi, kandang, rumput dan peternak serta peralatan pemroses pelepah sawit seharga Rp. 150 juta untuk kapasitas 75 kg per jam. Apabila setiap hari akan beroperasi selama 8 jam berarti akan menghasilkan 600 kg yang dapat memberi makan ternak sapi sebanyak 200 ekor dengan asumsi per ekor ternak memerlukan 3 kg/hari. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan penerapan integrasi ternak sapi dengan kebun sawit di Kabupaten Rokan Hulu LAYAK UNTUK DILAKSANAKAN, dengan alasan utama: 1. Tersedia peternak trampil dan berpengalaman dalam beternak sapi 2. Potensi kebun sawit seluas 163.747 ha dapat menampung 121.510 ekor sapi dengan hanya memanfaatkan rumput yang tumbuh di sela-sela kebun dan limbah berupa pelepah daun sawit 3. Teknologi tepat guna (TGU) pengolahan pelepah daun sawit telah tersedia.