ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU
SILVIA HAYANDANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah
menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2013
Silvia Hayandani NRP. H151100251
ABSTRACT SILVIA HAYANDANI. An Analisys of Comparative Advantages of Beef Cattle and Catfish Business in Indragiri Hulu District, Riau (MUHAMMAD FIRDAUS as Chairman and WIWIK RINDAYATI is a Member of the Advisory of Committee) Indonesia still imports 30 percent of beef to meet domestic demand, while still importing catfish fillets from Vietnam amounted to 600 tons per month in 2011. Indragiri Hulu district of Riau province is one of the central areas of beef cattle and catfish business. There are several problem about beef cattle and catfish business in the region. Therefore it is necessary to study on competitiveness of both types of business. This study aims to analyze: (1) competitiveness beef cattle and catfish business in the District of Indragiri Hulu, (2) the impact of government’s input-output policy on the competitiveness of beef cattle and catfish business. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to measure level of competitive and comparative advantage and effect of government interventions on beef cattle and catfish business. The results showed that Beef cattle business is profitable and has competitive and comparative advantage. Catfish aquaculture that uses most of the feed from factories are uncompetitive, while the catfish aquaculture that use alternative feed has highly competitiveness. The impact of government policy on output of beef cattle and catfish business indicates positive result. It is means that the government intervention has been effective so the prices received by farmers is higher than international prices. Key words : Comparative Advantages, Beef Cattle and Catfish Business, Policy Analysis Matrix and Policy Impact
RINGKASAN SILVIA HAYANDANI. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan WIWIEK RINDAYATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2005 sektor pertanian menyumbang sebesar 13,1 persen terhadap PDB, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 15,3 persen (BPS, 2012). Peningkatan kontribusi sektor pertanian ini disebabkan oleh meningkatnya kontribusi beberapa subsektor pertanian yaitu tanaman bahan makanan, perikanan dan peternakan. Peningkatan kontribusi ini juga tidak terlepas dari adanya program revilisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Revitalisasi bidang peternakan adalah swasembada daging sapi tahun 2014, sedangkan salah satu program revitalisasi dibidang perikanan adalah minapolitan dengan pengembangan beberapa produk unggulan, salah satunya yaitu ikan patin. Seiring dengan berjalannya program revitalisasi tersebut, produksi dalam negeri telah menunjukkan peningkatan tetapi belum menjamin ketersediaan daging sapi dan ikan patin di dalam negeri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah masih mengimpor daging sapi sebesar 74.303 ton dan sapi bakalan 645.833 ekor atau setara dengan 30 persen kebutuhan dalam negeri pada tahun 2011 (Ditjennak 2011). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan ikan patin dalam negeri Indonesia pada tahun 2011 masih mengimpor fillet ikan patin dari Vietnam rata-rata sebesar 600 ton per bulan (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011). Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah yang dijadikan sebagai sentra ternak sapi potong di Riau. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan terutama dari segi pakan baik hijauan maupun pakan tambahan dari limbah kelapa sawit. Subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala seperti mahalnya harga bibit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal, semakin berkurangnya lahan untuk kebutuhan pakan ternak khususnya hijauan, manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana serta harus bersaing dengan sapi yang didatangkan dari daerah lain. Kabupaten Indragiri Hulu juga merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan khususnya dalam pengembangan komoditas unggulan ikan patin. Namun usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan antara lain harga yang cenderung tidak stabil, mahalnya harga pakan, kurangnya teknologi pembuatan pakan dan lain-lain. Permasalahan tersebut di atas akan berdampak terhadap eksistensi dan daya saing usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) tingkat daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. (2) pengaruh kebijakan input dan
output yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian di lakukan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Pemillihan sampel dilakukan secara purposive. Daya saing pengusahaan ternak sapi potong dan budidaya patin dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Berdasarkan analisis PAM, usaha peternakan sapi potong baik untuk usaha penggemukan maupun usaha pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR sebesar 0.62 untuk usaha penggemukan dan 0,72 pada usaha pembibitan Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan nilai DRC yang sebesar 0.90 pada usaha penggemukan dan 0,87 pada usaha pembibitan (DRC<1). Artinya setiap 1 satuan yang dibutuhkan untuk mengimpor daging dan sapi bibit/bakalan jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya input domestik sebesar 0.90 dan 0,87 satuan sehingga terjadi penghematan devisa sebesar 0.10 dan 0.13. Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis PAM pada usaha budidaya ikan patin menunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet sebesar 0,49 dan pada budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 0,30. Dengan demikian usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Nilai DRC sebesar 1,07 untuk usaha dengan pakan pelet dan 0,47 untuk usaha dengan pakan alternatif. Artinya usaha budidaya patin yang menggunakan sebagian besar pakan pelet tidak memiliki keunggulan komparatif, sedangkan budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif memiliki keunggulan komparatif. Artinya lebih baik impor ikan patin dari pada memproduksi di dalam negeri pada kondisi budidaya dengan sebagian besar pakan pelet, sebaliknya pada kondisi budidaya dengan pakan alternatif lebih menguntungkan jika diproduksi di dalam negeri. Analisis dampak kebijakan pemerintah pada usaha peternakan sapi potong dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang dihasilkan sebesar 1,29 untuk usaha penggemukan dan 1,18 pada usaha penggemukan (NPCO>1). Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu menerima harga lebih tinggi dari harga dunia atau pasar internasional. Pada usaha budidaya ikan patin, nilai NPCO adalah 1,60 baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah terhadap beberapa input produksi dan adanya kuota impor untuk sapi potong dan ikan patin. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input bisa dilihat dari nilai Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya input asing yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan harga input asing yang dihitung berdasarkan harga ekonomi. Nilai NPCI usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,01 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input tradable karena adanya kebijakan pemerintah tidak sama dengan biaya input tradable tanpa kebijakan pemerintah. Nilai yang lebih besar dari satu
mengindikasikan adanya susidi negatif sedangkan nilai yang kecil dari satu merupakan dampak dari subsidi positif. Nilai NPCI pada usaha budidaya ikan patin sebesar 1,26 pada usaha dengan pakan pelet dan 1,31 pada budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya pajak yang ditetapkan pemerintah salah satunya yaitu PPN terhadap pakan ikan. Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usaha peternakan sapi potong maupun usaha budidaya ikan patin dapat dilihat dari nilai Effective Protection Coefficient (EPC). Nilai EPC pada usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 1,47 pada penggemukan dan 1,23 pada pembibitan. Nilai EPC pada usaha budidaya ikan patin adalah sebesar 2,31 pada budidaya dengan pakan pelet dan 1,64 pada usaha budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output telah berjalan dengan efektif bagi peternak dan pembudidaya ikan patin untuk berproduksi. Kata Kunci : Sapi Potong, Ikan Patin, Keunggulan Kompetitif dan Komparatif, Dampak Kebijakan Pemerintah
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU
SILVIA HAYANDANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Alla Asmara, M.Si
Judul Tesis
:
Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau
Nama Mahasiswa
: Silvia Hayandani
Nomor Pokok
: H151100251
Mayor
: Ilmu Ekonomi
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus, SP,M.Si,Ph.D Ketua
Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Anggota
Mengetahui, Kordinator Mayor Ilmu Ekonomi
Dr.Ir.R.Nunung Nuryartono, M.Si
Tanggal Ujian Tesis : 30 Januari 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah,MSc.Agr
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Firdaus,SP,M.Si,Ph.D sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Bapak Dr. Alla Asmara,M.Si selaku penguji luar komisi serta Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran perbaikan tesis. Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau yang telah memberikan beasiswa selama penyelesaian studi ini serta Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Riau yang telah memberikan izin penulis melanjutkan studi. Bapak Agus Rosadi, SP, M.Pd selaku Kepala Sekolah SMKN Pertanian Terpadu Provinsi Riau yang telah memberikan izin dan mendorong penulis dalam penyelesaian studi. Kepala dan staf Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu serta Kepala UPTD dan staf yang telah memberikan banyak bantuan dalam mengumpulkan data penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Ibu Asniwarli , Ayah Kaismi (alm) dan Ayah Zainun yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, juga saudariku tercinta Refnayulita atas dukungan semangat dan do’anya.Teman-teman IE angkatan 2010 terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan pendidikan serta pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor peternakan dan perikanan di Provinsi Riau.
Bogor, Januari 2013
Silvia Hayandani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tebing Tinggi, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 18 September 1982, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kaismi (alm) dan Ibu Asniwarli. Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SMK N 1 Payakumbuh dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang (UNP) pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi Riau. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dengan beasisswa dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau melalui Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan .
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................ xv DAFTAR GAMBAR .......................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................
xvii
I. PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang........................................................................... Rumusan Masalah ..................................................................... Tujuan Penelitian......... .............................................................. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................
1 8 12 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
15
2.1. Tinjauan Teoritis ...................................................................... 2.1.1. Peternakan Sapi Potong................ .................................. 2.1.2. Budidaya Ikan Patin................ ....................................... 2.1.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sapi Potong dan Ikan Patin............................................. 2.1.4. Keunggulan Komparatif.. ............................................... 2.1.5. Keunggulan Kompetitif.. ................................................ 2.1.6. Analisis Kebijakan Pemerintah ...................................... 2.1.7. Kebijakan Output ............................................................ 2.1.8. Kebijakan Input .............................................................. 2.1.9. Matriks Analisi Kebijakan (Policy Analysis Matrix/ PAM) ............................................................................... 2.2. Tinjauan Empiris ........................................................................ 2.2.1. Studi Daya Saing Sapi Potong............................ ............ 2.2.2. Studi Daya Saing Perikanan ........................................... 2.2.3. Studi Aspek Kebijakan ................................................... 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ...............................................
15 15 17 19 23 24 25 28 30 33 35 35 37 38 40
III. METODE PENELITIAN ...............................................................
43
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 3.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 3.3. Metode Penentuan Sampel ......................................................... 3.4. Metode Analisi Data ................................................................... 3.4.1. Analisis Indikator Matriks Kebijakan ............................... 3.4.2. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing .. 3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output .................. 3.5. Analisis Sensitivitas....................................................................
43 43 44 44 45 49 50 55
IV. GAMBARAN UMUM .....................................................................
57
4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ........................................ 4.2. Keadaan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu.............................................................................................
57 58
4.3. Karakteristik Responden Peternak Sapi Potong .............................. 4.3.1. Umur Responden Peternak .......................................... ......... 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Peternak ..................... ......... 4.3.3. Pengalaman Responden Peternak63 4.4. Keadaan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu 4.5. Responden Pembudidaya Ikan Pati ................................................. 4.3.1. Umur Responden Pembudidaya ............................................ 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya66 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ......... 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ...................................... 5.1.2. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ...................................................... 5.1.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif .............................. 5.1.2.2. Analisis Keunggulan Komparatif ............................. 5.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu......................................................................... 5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output ... 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input ...... 5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output ............................................................... 5.1.4. Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ...................................................... 5.1.5. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu 5.2. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu................ 5.2.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu .................................................. 5.2.2. Analisis Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu .................................................. 5.2.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif .............................. 5.2.2.2. Analisis Keunggulan Komparatif ............................. 5.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu........................................................................................ 5.2.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output ... 5.2.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input ...... 5.2.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output ............................................................... 5.1.4. Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu ..................................................
61 62 62 63 65 65
67 67 67 70 71 72
73 74 75 78 83 83 85 85 89 89 90
91 92 93 94 96
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ............................ 101 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 101 6.2. Implikasi Kebijakan ......................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 103 LAMPIRAN .................................................................................................. 107
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia tahun 2007-2011..............................
2
2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia 2006-2010........................
6
3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010............................
7
4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010..........
7
5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Riau ...
9
6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi....................
26
7. Policy Analysis Matrix...................................................................................
34
8. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Peternak Responden di Kabupaten Indaragiri Hulu tahun 2011............................................................................
59
9. Sebaran Umur Peternak Responden di Kabupaten Indragiri Hulu................
62
10. Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Responden........................................
62
11. Pengamalaman Peternak Responden.............................................................
63
12. Luas Kolam Responden Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu................................................................................................................
64
13. Sebaran Umur Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu..........
65
14. Sebaran Tingkat Pendidikan Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu................................................................................................. 66 15. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011........ 68 16. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011..........................................................
70
17. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Privat Cost Ratio (PCR) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011...................................................................................................
71
18. Output Transfer (OT) dan Nominal ProtectionCoeffocient on Output (NPCO) Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011....................................................................................................
74
19. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011......................................................... 76 20. Nilai Indikator Kebijakan Input, Output Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011................................ 78 21. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011................. 81 22. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011................................................................................................................. 82 23. Simulasi Afirmatif Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Indragiri Hulu.................................................................................................................
83
24. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011................................................ 86 25. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.............................................................................. 88 26. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Privat Cost Ratio (PCR) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011...................... 89 27. Output Transfer (OT) dan Nominal ProtectionCoeffocient on Output (NPCO) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.................................................................................................................. 92 28. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011....................................................................................................... 93 29. Nilai Indikator Kebijakan Input, Output Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011............................................................ 95 30. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011............................................... 97 31. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011............................................... 98 32. Simulasi Afirmatif Usaha Budidaya Ikan Patin Di Kabupaten Indragiri Hulu 99
DAFTAR GAMBAR Nomor
halaman
1. Hasil Produksi Patin Indonesia 2006-2010............................................ 2.
5
Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor.......................................................................
29
3. Subsidi dan Pajak Input Tradable...........................................................
31
4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable............................
32
5. Kerangka Pemikiran Operasional...........................................................
41
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (2007-2011) ....... 107 2. Alokasi Komponen Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing......................................................................... ...... 108 3. Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011................................... 109 4. Perhitungan Harga Paritas Impor Daging dan Sapi Bibit/Bakalan Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu..................................... ...... 110 5. Perhitungan Harga Paritas Impor Ikan Patin dan Harga Paritas Impor Garam Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu........................... ....
111
6. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea..............................................
112
7. Struktur Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu..........................................................................................
113
8. Struktur Biaya Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu.........................................................................................................
113
9. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Peletdi Kabupaten Indragiri Hulu.......................
114
10. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu............. .
114
11. Biaya Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.................................................................... .
115
12. Biaya Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.................................................................... .
116
13. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Sapi Potong Turun 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu......................................................................................................... 117 14. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat BBM Naik 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu.............. .
118
15. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Menggunakan Pakan dari Limbah Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu.......................................................................................... 119
16. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Ikan Patin Turun 25 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu......................................................................................... 120 17. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Pada Saat PPN Pakan Ikan 10 Persen....................................................................................... 121 18. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Pada Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar sebesar 5.5 Persen................................
122
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang dimaksud disini adalah sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 13,4 persen (Lampiran 1), dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3,7 persen. Dari lima subsektor yang ada, peternakan dan perikanan merupakan subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan. Walaupun secara rata-rata pangsa subsektor peternakan terhadap total PDB hanya 1,70 persen dan subsektor perikanan 2,2 persen. Secara rata-rata dari tahun 2001-2010 subsektor perikanan tumbuh 5,22 persen, tertinggi dibanding subsektor lainnya. Sedangkan subsektor peternakan menempati urutan kedua dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,24 persen. Pada triwulan III 2011 pertumbuhan subsektor perikanan adalah 6,11 persen (Bank Indonesia, 2011). Oleh karena itu kedua subsektor ini berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Peningkatan pertumbuhan subsektor peternakan dan perikanan ini tidak terlepas dari agenda penting pembangunan
ekonomi dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian yaitu revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Departemen Pertanian, 2005). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi.
Swasembada daging ini pada awalnya diharapkan
tercapai pada tahun 2010 namun karena banyaknya tantangan dan permasalahan yang dihadapi maka program ini belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan
kondisi ini maka pada tahun 2010 pemerintah kembali mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Pada tahun 2009 rata-rata konsumsi daging secara keseluruhan rakyat Indonesia masih cukup rendah yaitu sebesar 6,297 kg per kapita per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2011), sedangkan konsumsi rakyat Malaysia 46,87 kg per kapita per tahun dan Filiphina 24,96 kg per kapita pertahun (Daryanto, 2009 dalam BAPPENAS 2010). Pada tahun 2010 konsumsi daging mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,953 kg per kapita per tahun. Khususnya untuk daging sapi, Asosiasi Importir Sapi dan para peneliti berbeda pendapat tentang kebutuhan daging sapi nasional. Meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah kebutuhan daging sapi nasional, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional, ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mencukupi. Tabel 1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2007-2011 (000 Ton) Uraian
2007
2008
2009
2010
2011
Produksi daging lokal
210,77
233,63
250,81
221,23
292,45
Impor
124,80
150,42
142,80
195,82
156,85
Total
335,57
384,05
390,61
417,04
449,31
Sumber: Kementerian Pertanian, 2012 Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini
tidak diantisipasi
dengan upaya peningkatan produksi di dalam negeri maka Indonesia akan selalu bergantung pada sapi impor. Hal ini disamping berdampak kurang baik bagi neraca perdagangan Indonesia juga merugikan peternak dalam negeri. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor daging sapi maupun sapi potong dengan cara meningkatkan produktivitas usaha sapi potong domestik secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan input produksi seperti ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, inovasi teknologi serta faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan
pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri. Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama persetujuan ASEAN-Australia Newzealand Free Trade Area (AANZ-FTA) akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi dalam negeri. Indonesia selama ini sebagian besar mengimpor daging sapi dan sapi bibit maupun bakalan dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 2007 turun menjadi 20 persen, sedangkan dari tahun 2003 sampai sekarang menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani, 2011). Tarif ini akan diturunkan secara bertahap sehingga pada tahun 2020 menjadi nol persen. Akibatnya sapi potong impor yang selama ini harganya lebih murah akan semakin menekan daging sapi lokal. Untuk mengantisipasi kondisi ini pemerintah harus segera melakukan percepatan pembangunan peternakan khususnya sapi potong. Salah satu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan produksi sapi potong adalah program integrasi tananaman sawit dengan ternak sapi potong.
Salah satu daerah yang sangat potensial untuk
pengembangan program tersebut adalah Provinsi Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1,5 juta hektar, dimana hijauan dan limbahnya bila dimanfaatkan mampu mendukung pengembangan ternak sampai ratusan juta ekor. Provinsi Riau juga merupakan daerah yang kebutuhan dan konsumsi dagingnya terus tumbuh dengan pesat, tetapi saat ini hampir 70 persen kebutuhan masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga dan bahkan dari luar negeri. Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen untuk melaksanakan program integrasi tanaman sawit sapi dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi sekaligus peningkatan kesejahteraan petani. Disisi lain subsektor perikanan juga mempunyai peluang yang tidak kalah menjanjikan jika dilihat dari pertumbuhannya yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar dengan luas laut sekitar 8,5 juta km2. Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi berdasarkan data FAO 2002 (DKP, 2005)
menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Melihat fenomena tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur. Dalam rangka untuk mencapai target visi mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015,
Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) menggagas Revolusi Biru sebagai grand strategi. Revolusi Biru merupakan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke maritim yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah satu realisasi dari program revolusi biru yang digalakkan KKP-RI adalah program pengembangan Minapolitan, yang merupakan konsep pembangunan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak disektor kelautan dan perikanan. Sistem manajemen kawasan Minapolitan didasarkan pada prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi. Program yang mulai dijalankan Pemerintah RI sejak 2009 ini merupakan upaya untuk merevitalisasi sentra produksi perikanan dan kelautan dengan penekanan pada peningkatan pendapatan rakyat. Melalui program ini akan dikembangkan beberapa komoditas yang telah unggul. Berdasarkan data tahun 2010 ada beberapa komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan Indonesia yang akan ditingkatkan produksi, yakni bandeng, patin, nila, lele, udang, gurame, kakap, kerapu, tuna dan rumput laut. Khusus untuk budidaya ikan patin pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan produksi karena potensi pengembangannya masih cukup besar dan peluang pasar yang masih cukup tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Produksi ikan patin di Indonesia pada awalnya hanya ikan patin lokal tangkapan yang berasal dari perairan umum di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Namun saat ini produksi ikan patin sebagian besar adalah hasil
budidaya, terutama sejak diperkenalkannya ikan patin jenis siam dari Thailand. Sampai saat ini, produksi ikan patin di Indonesia telah mengalami peningkatan tetapi masih belum mampun mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 2006 produksi patin nasional 31.490 ton dan meningkat menjadi 144.056 ton pada tahun 2010 dengan pertumbuhan rata-rata 58,28 persen dari tahun 2006-2010 (Gambar 1). 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0
144.056 102.021
31.490
36.755
2006
2007
109.685
2008
2009
2010*
Produksi Patin Tahun 2006-2010 (Ton) *) Angka Sementara Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya , 2011 Gambar 1. Hasil produksi Patin Indonesia 2006-2010 Meningkatnya jumlah produksi patin dalam negeri masih belum menjamin tercukupinya kebutuhan ikan patin dalam negeri. Pada tahun 2010, impor patin Indonesia mencapai 2.453,41 ton 1. Sampai dengan akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor ikan patin dari Vietnam hampir sebesar 600 ton setiap bulannya. Harga patin impor dari Vietnam yang hanya berkisar Rp 9.000 per kg, membuat produk olahan perikanan tersebut mendominasi pasar Uni Eopa, Amerika, Asia tak terkecuali Indonesia. Harga murah ini bisa mematikan pasaran patin lokal yang harganya berada pada kisaran Rp 12.500 per kg. Dari segi kuantitas produksi Indonesia juga kalah jauh dengan Vietnam dimana produksinya melebihi 1 juta ton setiap tahun. Untuk menyelamatkan pasaran patin domestik, pemerintah pun melarang impor dory (fillet ikan patin dari Vietnam) untuk sementara. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15 1
Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Parulian Hutagalung
Tahun 2011, mulai Januari 2012 impor produk olahan patin tersebut dilarang dan pasar domestik akan diutamakan. Mahalnya harga ikan patin di Indonesia terjadi karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh tingginya harga pakan. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain. Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun
2006
2007
2008
2009
Volume (Ton) 88.852 55.685 68.275 65.601 Nilai 76.527 49.925 44.387 39.945 (US $ 1.000) Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011
2010
Kenaikan Rata-rata (%) 57.010 -7,93 38.303 -4,11
Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat penurunan volume impor tepung ikan di Indonesia dengan melihat perkembangannya yang negatif. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70 persen dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal telah mampu meningkatkan produksi dan kualitas tepung ikan yang dihasilkannya. Melihat fenomena ini dapat disimpulkan bahwa patin dalam negeri masih kalah saing dibandingkan dengan patin produksi Vietnam. Disisi lain pemerintah mempunyai target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Patin sebagai salah satu komoditas andalan merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan meningkatkan daya saing komoditas patin. Daya saing tidak hanya berkaitan dengan industri hilir saja tetapi keseluruhan mata rantai usaha mulai dari industri hulu dan hilir terutama yang berkaitan dengan proses produksi. Untuk meningkatkan daya saing budidaya patin setidaknya ada dua hal yang berkaitan erat yaitu (1) ketersediaan bibit unggul dan berkualitas , (2) ketersediaan pakan yang murah dan berkualitas. Seiring dengan meningkatnya daya saing maka diharapkan target produksi yang diinginkan bisa tercapai.
Tabel 3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010 (Ton) Wilayah 2007 Sumatera 15.991 Jawa 11.532 Bali- Nusa Tenggara 3 Kalimantan 9.231 Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011
2008 66.108 23.159 7 12.747
2009 79.266 14.167 50 10.202
2010 97.438 22.287 168 27.991
Jika dilihat produksi tiap wilayah di Indonesia maka Pulau Sumatera merupakan wilayah penghasil patin terbesar diikuti oleh Pulau Jawa dan Kalimantan (Tabel 3). Sedangkan untuk wilayah Sumatera sendiri Provinsi penghasil patin terbesar adalah Sumatera Selatan, Riau dan Jambi (Tabel 4). Kenaikan produksi ikan patin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemudahan dalam membudidayanya dan masih terbukanya pasar dalam negeri. Disamping itu ikan patin seperti halnya ikan lele terutama di daerah Sumatera dan Kalimantan merupakan santapan yang sangat disukai (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011). Tabel 4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010 (Ton) Provinsi Aceh
2007
2008
2009
2010
73
87
-
-
Sumatera Utara
-
-
94
72
Sumatera Barat
4
5
870
4.082
Riau
3.394
14.206
16.618
20.155
Jambi
8.086
10.077
10.907
12.429
Sumatera Selatan
1.631
38.543
47.265
55.582
Bangka Belitung
27
51
44
106
Bengkulu
238
195
105
230
Lampung
2.538
2.943
3.363
4.782
Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011 Dari Tabel 4 di atas bisa dilihat bahwa di wilayah Sumatera, Provinsi Riau merupakan daerah penghasil patin tertinggi kedua setelah Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra pengembangan komoditas perikanan terutama patin di Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang besar terutama peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian. Perkembangan subsektor perikanan di Provinsi Riau dan pangsanya terhadap PDRB pertanian mengalami peningkatan dari 9,13% pada tahun 2009 menjadi 9,35% pada tahun 2010 2. Potensi lahan untuk kegiatan budidaya tambak yang telah dimanfaatkan sebesar 262 ha dan luas potensial 22.733 ha dengan total keseluruhan sebesar 22.995 ha. Sedangkan untuk kegiatan budidaya air tawar yang terdiri dari budidaya kolam, perairan umum dan sawah, masing-masing tercatat memiliki potensi luas sebesar 8.200 ha, 400 ha dan 3.500 ha 3. 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Indragiri Hulu merupakan daerah yang dijadikan sebagai salah satu sentra ternak di Provinsi Riau bagian selatan. Hal itu disebabkan karena Kabupaten Indragiri Hulu memiliki potensi yang besar terutama pakan ternak. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan. Dinas Peternakan Indragiri Hulu menargetkan dapat mengembangkan peternakan sapi dan kerbau yang terintegrasi dengan tanaman khususnya sawit. Ditargetkan setiap satu hektar sawit akan ada minimal dua ekor sapi. Pada perkebunan kelapa sawit, hijauan yang ada dilahan, pelepah sawit serta bungkil kelapa sawit bisa dijadikan pakan ternak. Saat ini populasi ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu tertinggi di Provinsi Riau dan selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Tabel 5). Berdasarkan potensi yang ada maka subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Kabupaten Indragiri Hulu sebagai salah satu sentra produksi sapi potong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan daging yang tinggi di Provinsi Riau. Dalam rangka pengembangan usaha peternakan sapi potong sebagai komoditi unggulan, maka pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu telah melakukan berbagai kebijakan diantaranya: (1) mengembangkan
2
3
sentra-sentra
www.bi.go.id www.regionalinvestment.bkpm.go.id
baru
pembibitan
ternak
pedesaan
dan
pengembangan agribisnis komoditas unggulan ternak pada wilayah yang sesuai dengan agroklimat, pasar dan teknologi (2) mengembangkan pola kemitraan antara perusahaan peternakan besar dengan peternakan rakyat (3) pemberdayaan kelompok petani peternak (4) pengembangan pasar ternak dan lain lain. Tabel 5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Kabupaten/Kota 2009 Kuantan Singingi 25.043 Indragiri Hulu 37.490 Indragiri Hilir 6.090 Pelalawan 4.926 Siak 12.203 Kampar 17.291 Rokan Hulu 25.249 Bengkalis 13.310 Rokan Hilir 19.588 Kepulauan Meranti Pekanbaru 7.775 Dumai 3.429 *) Angka Sementara Sumber: BPS Provinsi Riau, 2012
2010 26.307 39.023 6.334 5.602 15.599 19.875 26.057 11.047 21.549 2.263 7.962 7.070
2011* 22.560 28.418 5.378 5.326 9.556 23.154 30.552 10.517 12.866 3.579 3.982 3.967
Usaha peternakan sapi yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu pada umunya adalah peternakan rakyat dengan skala kepemilikan antara 3-10 ekor. Masyarakat menjadikan peternakan sapi sebagai usaha sampingan, pada umumnya mereka menjadikan sapi sebagai tabungan untuk keperluan-keperluan khusus seperti untuk biaya sekolah anak, biaya pesta dan lain sebagainya. Usaha ternak sapi dipilih oleh masyarakat karena kegiatannya mudah, tidak memakan banyak waktu serta pencarian pakan bisa dilakukan dikebun yang mereka miliki. Sistem pemeliharan yang dilakukan oleh masyarakat berupa ranch murni (sapi dibiarkan lepas di lapangan atau di kebun), semi intensif dan intensif (sapi dikandangkan secara terus menerus dan diberi pakan). Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga bibit, lahan hijauan untuk pakan yang semakin berkurang, belum tersedianya mesin untuk pembuatan mengolah pakan dari limbah sawit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal serta manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana. Permasalahan lain yang dihadapi
oleh peternak adalah adanya sapi potong impor maupun didatangkan dari daerah lain dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan berbagai permasalahan yang ada maka perlu dikaji apakah usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing sehingga layak untuk dikembangkan lebih lanjut dalam rangka pencapaian swasembada daging 2014. Disamping itu perlu juga dikaji kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha sapi domestik. Sedangkan pada sektor perikanan Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor KEP.39/MEN/2011 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor Kep.32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan perikanan dengan luas perairan umum sebesar 36.015 Ha, yang terdiri dari danau 1.449 Ha, sungai 9.095 Ha dan rawa-rawa 25.471 Ha (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab.Indragiri Hulu, 2011). Dengan kondisi perairan yang cukup luas produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Indragiri Hulu mencapai lebih dari 500 ton per tahun. Komoditas perairan umum andalan di daerah ini adalah ikan patin dengan jumlah produksi 98,65 ton tahun 2009, menurun menjadi 87,80 ton pada tahun 2011(Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, 2012). Produksi perairan umum seperti ikan patin cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya karena kegiatan penangkapan ikan tersebut telah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk ditangkap. Berdasarkan kondisi ini maka pemerintah mengarahkan pengembangan sektor perikanan di Kabupaten Indaragiri Hulu pada pengembangan usaha budidaya (akuakultur). Beberapa program yang telah dilakukan oleh pemerintah Indragiri Hulu dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas budidaya ikan patin adalah: (1) pengembangan atau perluasan areal kolam di kawasan minapolitan (2) pembentukan kelompok tani pembudidaya patin sehingga memudahkan dalam mengkoordinir kegiatan pembudidaya (3) memberikan bantuan mesin penepung pakan ikan untuk mengatasi kendala mahalnya harga pakan komersil (4)
menyediakan mesin pengasapan ikan patin dan program-program lainnya yang terkait dengan budidaya ikan patin. Usaha budidaya patin yang dilakukan oleh masyarakat Indragiri Hulu sebagian besar dilakukan di kolam. Luas kolam per unit milik pembudidaya bervariasi antara 100-10.000 m2. Dari total 575 Ha potensi kolam yang ada di Indragiri Hulu, yang baru direalisasikan untuk budidaya ikan air tawar 154,80 Ha. Besarnya potensi kolam yang ada ditambah potensi perairan umum berupa sungai dan danau maka usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin masih terbuka cukup luas. Dari 14 kecamatan yang ada, Kecamatan Pasir Penyu merupakan wilayah yang tingkat realisasi pemanfaatan potensi kolamnya paling tinggi sehingga direkomendasikan sebagai pusat kawasan minapolitan. Hal ini juga didukung oleh ketersediaan lahan, sumber air dan sarana produksi lainnya. Berdasarkan informasi di lokasi penelitian, usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan yang dirasa cukup berat oleh petani pembudidaya. Beberapa permasalahan yang dihadapi pembudidaya antara lain kurangnya modal usaha, penanggulangan penyakit,
sulitnya bahan baku
pakan, harga yang tidak stabil dan kurangnya pembinaan SDM dilapangan. Dari segi pakan yang menjadi permasalahan adalah mahalnya harga pakan (pelet) yang didatangkan dari daerah luar seperti Surabaya dan Medan. Disamping itu produksi patin lokal juga harus bersaing dengan ikan yang datang dari kabupaten lain seperti Kampar bahkan dari provinsi lain seperti Sumatera Barat yang harganya lebih murah. Saat musim hujan produksi patin budidaya mengalami penurunan karena perubahan kadar air akibat banjir menyebabkan tingkat kematian patin cukup tinggi. Adanya bermacam permasalahan seperti di atas maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha budidaya ikan patin di Indragiri Hulu. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha budidaya ikan patin sehingga program minapolitan yang akan dilakukan bisa berjalan sesuai harapan. Berdasarkan paparan tentang kondisi serta prospek sektor peternakan dan perikanan Kabupaten Indragiri Hulu di atas, maka ada beberapa permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut yaitu:
1. Apakah usaha usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif? 2. Apakah kebijakan pemerintah terhadap input dan output mempengaruhi daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk: 1. Menganalisis tingkat daya saing budidaya ikan air patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan dan komparatif kompetitif. 2. Menganalisis pengaruh kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing udaha budidaya ikan patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.
1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indragiri, yang merupakan salah satu daerah yang ditunjuk sebagai kawasan minapolitan serta merupakan salah satu daerah sentra ternak sapi potong di Provinsi Riau. Lokasi unit penelitian adalah Kecamatan Rengat dan Kecamatan Pasir Penyu, dimana kedua kecamatan ini termasuk wilayah basis budidaya patin dan peternakan sapi potong. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usaha peternakan sapi potong dan budidaya patin. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini juga akan memberikan informasi efesiensi ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha budidaya patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Terdapat beberapa batasan dari penelitian ini yaitu: 1. Usaha peternakan sapi potong yang dianalisis adalah usaha peternakan rakyat (penggemukan dan pembibitan) dengan skala kepemilikan rata-rata 6 ekor.
2. Pada usaha pembibitan sapi potong penghitungan analisis biaya usaha tani diasumsikan tanpa resiko. 3. Responden peternak dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan ternak sapi jenis peranakan simmental. 4. Usaha budidaya ikan patin yang dianalisis adalah usaha budidaya pembesaran di kolam dengan luas rata-rata 500 m2. 5. Harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin ini menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Peternakan Sapi Potong Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap daging setiap tahunnya maka usaha peternakan sapi potong juga mengalami perkembangan. Usaha peternakan sapi potong pada awalnya berkembang di beberapa daerah tertentu seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. Dewasa ini usaha penggemukan sapi juga telah berkembang di Sumatera seperti di Lampung, Sumatera Barat dan Riau. Usaha peternakan sapi dilakukan secara perseorangan atau skala kecil maupun dalam skala besar yang dilakukan oleh perusahaan. Selama ini penyedia daging sapi di Indonesia adalah sebagian besar adalah peternak skala kecil karena peternak berskala menengah dan besar jumlahnya tidak banyak. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan dalam skala besar dan modern. Peternakan rakyat berskala kecil biasanya merupakan usaha sambilan dan mayoritas masih menggunakan pola tradisional. Ada berbagai jenis sapi yang diusahakan oleh peternak di Indonesia sebagai bakalan dalam usaha penggemukan diantaranya: Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi Brahman Cross, Sapi Madura, Sapi Peranakan Limousin. Bakalan merupakan faktor penting karena sangat menentukan hasil akhir usaha penggemukan. Ciri-ciri bakalan yang baik adalah: (1) berumur di atas 2,5 tahun, (2) jenis kelamin jantan (3) bentuk tubuh panjang, bulat dan lebar, panjang minimal 170 cm, tinggi pundak minimal 135 cm, lingkar dada 133 cm, (4) tubuh kurus, tulang menonjol tetapi tetap sehat (5) pandangan mata bersinar cerah dan bulu halus dan (6) kotoran normal (Prabowo, 2007). Ada beberapa sistem
penggemukan
yang
digunakan
untuk
sapi,
perbedaannya terletak pada teknik pemberian pakan, luas lahan yang tersedia, umur dan kondisi sapi yang akan digemukkan serta lama penggemukan (Siregar, 2009): a.
Sistem Pasture Fattening Pasture Fattening merupakan suatu sistem penggemukan sapi yang
dilakukan dengan cara menggembalakan sapi di padang pengembalaan. Teknik
pemberian pakan dalam sistem ini adalah dengan pengembalaan. Pakan hanya berupa hijauan yang terdapat di padang pengembalaan tanpa pemberian konsentrat maupun biji-bijian. Oleh karena itu di padang pengembalaan harus ditanami leguminosa agar kualitas hijauan lebih tinggi. Di Indonesia, jenis leguminosa yang disarankan adalah Arachis, Centrocema, Lamtoro, Siratro dan Desmodium trifoluim. Pada sistem ini kandang hanya berfungsi sebagai tempat berteduh sapi pada malam hari. b.
Sistem Dry Lot Fattening Dry Lot Fattening adalah sistem penggemukan sapi dengan pemberian
pakan yang mengutamakan biji-bijian seperti jagung, sorgum atau kacangkacangan. Dewasa ini penggemukan sapi dengan sistem ini tidak hanya memberikan satu jenis biji-bijian saja tetapi campuran dari berbagai jenis bahan pakan konsentrat. Bahan yang digunakan bisa terdiri dari jagung giling, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, ampas tahu dan sebagainya. Bahanbahan tersebut dicampur dengan bahan mineral dan garam dapur sehingga membentuk konsentrat, tetapi pemberian pakan konsentrat tidak boleh lebih dari 60 persen. Pakan hijauan dibatasi jumlahnya (minimal 0,5-0,8 persen dari bobot sapi) dalam sistem ini sehingga tidak mengganggu proses pencernaan sapi. c.
Kombinasi Pasture dan Dry Lot Fattening Sistem kombinasi ini dilakukan dengan pertimbangan musim dan
ketersediaan pakan. Sistem ini bisa juga dilakukan dengan cara menggembalakan sapi pada padang penggembalaan beberapa jam pada siang hari dan pada sore dan malam hari sapi dikandangkan dan diberi pakan konsentrat. d.
Kereman Penggemukan sapi dengan sistem kereman dilakukan dengan cara
menempatkan sapi dalam kandang secara terus menerus selama beberapa bulan. Sistem ini yang umumnya digunakan oleh peternak di Indonesia. Pemberian pakan dan air minum dilakukan dalam kandang yang sederhana selama proses penggemukan. Pemberian Pakan dan konsentrat dilakukan dengan perbandingan yang tergantung pada ketersediaan pakan dan konsentrat tersebut. Konsentrat yang digunakan dalam sistem kereman masih sederhana, yakni terdiri dari satu
atau dua jenis bahan pakan saja, misalnya dedak padi saja atau ampas tahu saja. Ada juga peternak yang hanya memberi pakan berupa hijauan saja. Pertambahan bobot badan yang bisa dicapai dengan sistem kereman bervariasi tergantung pada pakan yang diberikan. Pemberian pakan berupa hijauan ditambah konsentrat akan menyebabkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding pakan berupa hijauan saja. Berdasarkan penelitian di Wonogiri pertambahan bobot badan sapi rata-rata 0,8 kg/hari dengan pemberian hijauan dan konsentrat jadi ditambah ampas brem. Pemberian hijauan saja pada sapi peranakan ongole dan jantan sapi perah diperoleh pertambahan bobot badan masing-masing 0,52 kg/hari dan 0,4 kg/hari (Siregar, 2009) Pemeliharaan dengan sistem kereman juga harus mempertimbangkan bangunan kandang yang baik, karena akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot sapi. Secara umum kandang memiliki dua tipe yaitu individu dan kelompok (Prabowo, 2007). Pada kandang individu, setiap sapi memiliki tempatnya sendiri berukuran 2,5 x 1,5 m. Pada kandang kelompok, bakalan dalam satu periode memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan tipe kandang ini adalah terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh karena mendapatkan lebih banyak pakan. 2.1.2 Budidaya Ikan Patin Ikan patin adalah nama lokal dari ikan asli Indonesia dengan nama ilmiah Pangasius. Secara umum saat ini nama patin dipakai untuk sebagian besar ikan keluarga pangasidae. Ciri utama ikan patin di Indonesia pada umumnya adalah bentuk badan sedikit memipih, tidak bersisik, mulut kecil dan bersungut. Kerabat patin di Indonesia cukup banyak diantaranya pangasius polyuranodo (ikan juaro), pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), pangasius mocronemus (wakal, riuscaring), pangasius nasutus (pedado), pangasius nieuwenhuisii (lawang). Selain itu ada juga patin siam atau jambal siam (pangasius sutchi) dan ikan patin hibrida dengan nama pasupati (persilangan patin jambal dengan siam)
yang
diperkenalkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (Susanto, 2009). Daerah pengembangan budidaya patin di Indonesia antara lain Jawa Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Budidaya ikan patin secara garis besar meliputi kegiatan pembenihan dan
pembesaran. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih ikan pada ukuran tertentu. Sedangkan kegiatan pembesaran merupakan kegiatan menghasilkan ikan yang siap untuk dikonsumsi. Kegiatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah kegiatan pembesaran. Kegiatan pembesaran bisa dilakukan pada berbagai media seperti kolam, jala apung, pen maupun karamba. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada budidaya pembesaran patin sistem monokultur di kolam (Susanto, 2009): a.
Konstruksi kolam Tidak ada kriteria khusus untuk kolam pembesaran sistem monokultur, yang
penting adalah kolam tersebut berair tenang dan tidak mengalir deras. Ukuran kolam minimal 200 m2, karena ikan patin tergolong ikan yang berukuran bongsor. Pematang kolam dibuat dengan ukuran yang memadai sesuai dengan luas kolam. Kolam juga harus dilengkapi dengan kamalir di sekeliling dan ditengah kolam secara diagonal. Kamalir dapat menjadi tempat berkumpul ikan saat panen dan sebagai tempat berlindung ikan dari serangan hama dan sinar matahari. b.
Persiapan kolam Persiapan kolam pembesaran ikan dimulai dengan melakukan pengeringan
kolam. Kolam dikeringkan dan dibiarkan selama 3-7 hari sampai dasar kkolam menjadi retak supaya bibit penyakit dan parasit mati. c.
Pengapuran dan pemupukan Pengapuran diperlukan untuk memperbaiki pH tanah dan mematikan
penyakit maupun hama ikan. pH yang cocok berkisar antar 6,7 – 8,6. Pemberian pupuk dilakukan untuk merangsang pakan alami patin seperti Rotifera dan organisme air lainnya dapat tumbuh di kolam. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang maupun pupuk buatan. d.
Pengisian air Setelah pemupukan selesai, kolam diairi setinggi 20 cm dan dibiarkan
selama beberapa hari. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada pitoplankton dan organisme air lainnya agar tumbuh dengan baik. Kedalaman air kolam sebaiknya mencapai 1,5 m dan dilakukan secara bertahap agar pematang tidak rusak.
e.
Penebaran ikan Penebaran ikan dapat dilakukan setelah kondisi air di kolam diperkirakan
sudah stabil. Kepadatan penebaran untuk patin yang dibesarkan secara monokultur adalah 1 ekor/m2 untuk benih berukuran 100g/ekor. Kepadatan ini juga tergantung pada ukuran benih. Penebaran ini dilakukan ketika suhu air rendah yaitu sekitar 250 C. Suhu ini biasanya terjadi pada pagi atau sore hari. f.
Pemberian pakan tambahan Pemberian pakan tambahan pada prosese pembesaran patin di kolam sangat
mutlak untuk memacu pertumbuhan. Pakan tambahan bisa berupa pelet atau sisasisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasa 3-4 persen dari bobot total ikan perhari. g.
Panen Pemanenan dilakukan bila ikan sudah dipelihara di kolam pembesaran
selama 6 bulan. Pada umur ini biasanya ikan patin sudah mencapai ukuran konsumsi. Semakin besar ukuran benih yang ditebarkan semakin singkat masa pemeliharaannya. Pemanenan dilakukan dengan cara mengeringkan kolam dengan cara perlahan-lahan agar ikan tidak stres. Saluran pemasukan air ditutup sedangkan saluran pengeluaran dibuka.
2.1.3 Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Patin dan Sapi Potong 2.1.3.1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sapi Potong Konsumsi daging sapi per kapita masyarakat Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg. Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri Indonesia memerlukan minimal 448.000 ton daging sapi per tahun. Dari total jumlah tersebut Indonesia masih harus mengimpor sebesar 30 persen dari Australia (75 persen), Selandia Baru (20 persen) dan dari Amerika Serikat (5 persen). Ketergantungan terhadap daging sapi impor akan menguras devisa negara disamping itu juga menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan. Impor dari negara lain juga membuka peluang bagi masuknya penyakit-penyakit ternak yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Oleh karena itu Kementerian Pertanian Indonesia
mencanangkan program PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau). Pada awalnya program ini dicanangkan untuk tahun 2010, tetapi karena adanya berbagai permasalahan maka program tersebut direvisi menjadi tahun 2014. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka swasembada daging 2014 masih belum mampu mengurangi kesenjangan antara konsumsi dan produksi daging nasional. Beberapa strategi yang ditetapkan oleh pemerintaha dalam rangka Pencapaian swasembada daging 2014 yaitu: 1.
Peningkatan atau penambahan populasi sapi betina produktif melalui A). Mengoptimalkan potensi sapi betina lokal yang ada melalui peningkatan produksi dan produktivitas dengan cara aplikasi teknologi inovatif bidang pakan dan reproduksi. B). Menambah populasi sapi bibit betina, upaya penambahan populasi sapi bibit betina produktif melalui importasi dilaksanakan dengan memanfaatkan dana pemerintah maupun swasta.
2.
Penyelamatan populasi sapi betina produktif
3.
Sejalan dengan peningkatan populasi sapi dalam negeri maka penyelamatan populasi sapi betina produktif perlu ditempuh melalui upaya : (A) Optimalisasi pencegahan pemotongan betina produktif di RPH. (B) Optimalisasi pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis (Brucellosis dan IBR). (C) Optimalisasi penanganan gangguan reproduksi agar tidak di culling.
4.
Menekan angka kematian (pedet dan sapi muda)
5.
Peningkatan berat hidup sapi siap potong
6.
Peningkatan kualitas pelayanan RPH Sejak tahun 1974 impor daging Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan impor ini akan menyebabkan peternakan dalam negeri menjadi tergusur, hal ini disebabkan karena harga daging impor lebih murah dari daging lokal. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen Peternakan menetapkan suatu kebijakan dalam pengaturan kebutuhan daging pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh Dinas Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia
(ASPIDI) di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung (Gaung) yakni : (1) peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, (2) industri peternakan rakyat menjadi pendukung, dan (3) impor daging sebagai penyambung penawaran dan permintaan (Indrayani, 2011). Berdasarkan kebijakan ini pemerintah mengatur jumlah daging yang bisa diimpor (kuota) untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Pada awal 2012 pemerintah bahkan memangkas kuota impor daging dari 94.000 ton menjadi 34.000 ton. Dalam rangka melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga memberlakukan kebijakan pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging. Pemerintah Indonesia secara bertahap akan melakukan penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward 2020. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 2003 (kesepakatan AFTA), tarif impor daging sapi akan diturunkan menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani,
2011).
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
132.PMK.0.10/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010 menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen. Sedangkan tarif impor untuk sapi bakalan dari 15 persen turun menjadi nol persen berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Nomor 522/1991. Kebijakan tentang pakan ternak di Indonesia mengacu pada UndangUndang No.6 Tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan. UndangUndang ini hanya memuat tanaman pakan sebagai pakan ternak, padahal pakan dan bahan baku pakan tidak hanya tanaman pakan tetapi juga pakan tambahan. Setelah direvisi, Undang-undang ini memuat: definisi pakan, jenis pengusahaan dan distribusi pakan, keamanan pakan, perizinan pengusahaan pakan dan peraturan-peraturan dengan instansi yang berhubungan dengan seluruh aspek mutu pakan. Peraturan tentang ekspor-impor pakan belum ada, hal ini penting sekali untuk dipertimbangkan karena pakan, bahan baku pakan dan feed additive sering dikenakan biaya cukup tinggi dalam perdagangan internasioan (Indrayani, 2011).
2.1.3.2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Ikan Patin Seiring dengan penurunan hasil produksi perikanan tangkap di Indonesia maka
usaha
budidaya
perikanan
(akuakultur)
menjadi
andalan
untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat petani dan nelayan. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkomitmen penuh untuk meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan budidaya yang berdaya saing, berkeadilan, berkelanjutan diiringi produk yang memenuhi standar mutu pangan (food safety). Komitmen ini terlihat dengan menempatkan komoditas udang, rumput laut, bandeng dan patin sebagai komoditas utama mendukung industrialisasi perikanan melalui program revitalisasi bidang perikanan. Revitalisasi dibidang perikanan adalah program minapolitan yang merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem dan manajemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselarasi. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh industri akuakultur adalah banyaknya produk impor perikanan yang sejatinya bisa diproduksi di dalam negeri. Untuk budidaya patin dalam negeri belum mampu bersaing dengan produk patin dari Vietnam yang saat ini menguasai lebih dari 90 persen pasar patin dunia. Disamping itu kendala lain adalah kontinuitas pasokan ikan yang belum terjamin. Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas perikanan di Indonesia yaitu (1) ekstensifikasi, memperluas dan menambah unit usaha budidaya (2) intensifikasi, meningkatkan produktivitas dari setiap unit usaha budidaya (3) diversifikasi, menambah jenis/ komoditas yang diusahakan (Ditjen Perikanan Budidaya) Selama ini yang menjadi kendala terbesar bagi pembudidaya ikan khususnya patin adalah mahalnya harga pakan buatan pabrik. Mahalnya harga pakan terkait dengan kebijakan pemerintah yang masih mengenakan PPN atas bahan baku paku pakan. Disamping itu sampai saat ini Indonesia masih mengimpor 70 persen tepung ikan sebagai bahan baku pakan. Harga pakan yang tinggi juga menyebabkan biaya produksi tinggi sehingga hasil produksi kurang kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kebijakan untuk menurunkan harga pakan ikan sehingga bisa menurunkan biaya produksi.
2.1.4. Keunggulaan Komparatif Pada dasarnya setiap negara di dunia saling tergantung antara satu dengan yang lainnya, karena suatu negara tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri akibat keterbatasan sumber daya dan keahlian. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam maka muncullah perdagangan antar negara atau perdagangan internasional Teori perdagangan internasional klasik menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi. Suatu negara akan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki keunggulan mutlak. Hal ini dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790) yang dikenal dengan teori keunggulan absolut atau mutlak (Krugman dan Obstfeld, 2004). Kelebihan dari teori keunggulan absolut yaitu terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda dimana terjadi interaksi ekspor dan impor.
Kelemahannya adalah apabila hanya satu negara yang
memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Oktaviani dan Novianti, 2009). Teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantagse)
baik secara
efesiensi tenaga kerja maupun produktivitas tenaga kerja. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yakni tenaga kerja. Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana barang tersebut dapat berproduksi relatif lebih efesien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efesien. Kelemahan teori ini adalah Ricardo tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan mutlak asalkan masing-masing negara tersebut memiliki perbedaan dalam keunggulan biaya komparatif dan keunggulan komparatif produksi.
Teori Ricardo tentang keunggulan komparatif kemudian disempurnakan lebih modern oleh Heckscher Ohlin yang didasari oleh kepemilikan faktor produksi serta dampak perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan (Oktaviani dan Novianti, 2009). Menurut teori H-O bahwa perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masingmasing negara. Adanya perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan tejadinya perdagangan internasional. Negara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak atau murah cenderung akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor produknya. Sebaliknya mengimpor barang yang memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal. Teori modern H-O ini disebut dengan teori proporsi faktor (factor proportions theory). 2.1.5. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu kegiatan berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial.
Harga pasar adalah harga yang
sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1997). Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa kekuatan kompetitif menentukan
tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun
internasional yang menghasilkan barang dan jasa.
Menurut Porter (1990),
keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri
yang ada dalam suatu negara.
Disamping itu keunggulan kompetitif tidak
bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada korelasi langsung antara dua faktor produksi seperti sumber daya alam yang melimpah dan sumberdaya yang murah. Porter menyebutkan bahwa disamping faktor produksi, peran pemerintah juga sangat penting dalam peningkatan daya saing. Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yaitu keadaan faktor-faktor produksi, permintaan dan tuntutan kualitas, industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, struktur dan sistem penguasaan antar perusahaan (Halwani, 2002). Selain empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor-faktor ini secara bersama-sama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara. Suatu komoditas dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi dan diusahakan serta dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi bila suatu komoditas yang diproduksi suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat disumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambata-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lainlain. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengadakan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan atau distorsi pasar tersebut. 2.1.6. Analisis Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah ditetapkan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri.
Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk output
maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas
ada dua yaitu subsidi dan hambatan
perdagangan. Kebijakan berupa subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.
Monke dan Pearson (1989) menjelaskan pengaruh intervensi pemerintah pada harga komoditi yang membagi kedalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua kebijakan perdagangan yang terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi Instrumen
Dampak pada Produsen
Kebijakan Subsidi Subsidi pada Produsen 1. Tidak merubah harga 1. Pada barang-barang pasar dalam negeri subsitusi impor (S + PI; S – PI) 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S + 2. Merubah harga pasar dalam negeri PE; S – PE) Kebijakan Perdagangan Hambatan pada barang (merubah harga pasar impor (TPI) dalam negeri) Sumber : Monke dan Pearson (1989).
Dampak pada Konsumen Subsidi pada Konsumen 1. Pada barang-barang subsitusi impor (S + CI; S – CI) 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S + CE; S – CE) Hambatan pada barang ekspor (TCE)
Keterangan : S+ PI = Subsidi
PE = Produsen Barang Orientasi Ekspor
S - PI = Pajak
CI = Konsumen Barang Substitusi Impor
PI
= Produsen Barang Subsitusi Impor
TCE = Hambatan Barang Eskpor
CE = Konsumen Barang Orientasi Ekspor TPI = Hambatan Barang Impor
Kebijakan harga (price policies) terdiri dari tiga kriteria yaitu : (1) subsidi atau kebijakan perdagangan; (2) penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh produsen dan konsumen; dan (3) kriteria ekspor atau impor. Implementasi dari kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi produsen atau konsumen dalam negeri. 1.
Kebijakan Harga Subsidi atau Kebijakan Perdagangan Menurut Salvator (1997) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk
pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada pemerintah, sedangkan subsidi positif merupakan pembayaran dari pemerintah. Tujuan dari subsidi yaitu untuk melindungi konsumen atau produsen agar harga domestik berbeda dengan harga internasional.
Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi (Monke dan Pearson, 1989). Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Tarif yaitu harga komoditi yang diperdagangkan, sedangkan kuota merupakan pembatasan jumlah komoditi yang diimpor. Tujuan diterapkannya kedua kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (komoditi impor) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasioanl dengan harga di pasar domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Komponen utama yang menjadi dasar dalam diterapkannya salah satu kebijakan perdagangan adalah perbedaan harga komoditi di pasar internasional dan domestik. Apabila harga suatu komoditi di pasar internasional lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, maka kebijakan yang tepat dilakukan adalah kebijakan perdagangan impor. Penetapan tarif impor maupun kuota impor dilakukan agar produk impor yang dijual dalam negeri harganya menjadi lebih mahal dan jumlahnya terbatas. Kebijakan impor ini bertujuan untuk melindungi produsen domestik.
Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan
untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional. 2.
Kebijakan Berdasarkan Penerimaan Kebijakan berdasarkan penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada
produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen dan anggaran pemerintah (Monke dan Pearson, 1989). Anggaran pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan produsen mengalami kerugian. Akan tetapi dengan adanya transfer akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima. 3.
Kebijakan Berdasarkan Komoditi Kebijakan berdasarkan komoditi bertujuan untuk membedakan antara
komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input maupun output komoditas pertanian.
Penerapan kebijakan (subsidi atau hambatan perdagangan) yang tepat mampu memperbaiki kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen. 2.1.7. Kebijakan Output Kebijakan yang ditetapkan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO).
Dampak subsidi positif
terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi sebesar Pd – Pw kepada produsen menyebabkan produksi akan meningkat dari Q1 menjadi Q2 namun kondisi akan tetap pada Q3 karena kebijakan subsidi ini tidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun dari Q2 ke Q3. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pd – Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2.
Subsidi tersebut akan memberikan dampak terjadinya kehilangan
efesiensi sebesar CAB. Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia.
Harga yang tinggi berakibat pada
peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.
P
P S S H
Pd Pw
G
B
E
F
A
A
Pd C
Pw
B D
Q1
Q3
Q2
D
Q
Q2
(a) S + PI
Q1
Q3
Q
Q4
(b) S + PE
P
P S S
Pw
C
A
Pc Pw Pd
A
F
E
B Q2
B
G
H Q1
Q3
(c ) S + CI
Q4
D D Q
Q1
Q2 (d) S + CE
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik S + PI : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Impor S + PE : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Ekspor S + CI : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Impor S + CE : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Ekspor Gambar 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor
Q
Gambar 2 ( c ) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk barang impor. Harga di pasar dunia (Pw) lebih tinggi daripada harga domestik (Pd). Tingkat subsidi positif sebesar Pw – Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2, tetapi konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4 Karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih murah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah sebesar PwGHPd terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG, sehingga akan terjadi inefesiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi.
Pada produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1
menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2 – Q1) sedangkan besarnya input yang dapat dihemat sebesar Q2BFQ1 sehingga terjadi inefesiensi sebesar AFB. Pada konsumsi, menunjukkan terjadi opportunity cost akibat meningkatnya Q3 menjadi Q4 adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefesiensi sebesar EGH sehingga total inefesiensi yang terjadi sebesar AFB dan EGH. Gambar 2 (d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada gambar tersebut menunjukkan harga dunia lebih besar (Pw) dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi untuk barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2.
Perubahan ini menyebabkan
terjadi opportunity cost sebesar Pw x (Q2 – Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2 dengan inefesiensi yang terjadi sebesar CBA. 2.1.8. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variable input tradable dan non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input domestik hanya komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Perubahan yang terjadi akibat adanya intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan kebijakan perdagangan akan mengakibatkan perubahan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan
konsumen berubah (Monke dan Pearson, 1989). Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. P
P
S
S’ S
S’ C
C
Pw
A
Pw
B
A
B
D
Q2
Q1
Q3
D Q
Q1
(a) S – IT
Q2
Q3
(b) S + IT
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : Pw
: Harga Q di Pasar Dunia
S – IT
: Pajak Input untuk Barang Tradable
S + IT
: Subsidi Input untuk Barang Tradable
Gambar 3. Subsidi dan Pajak Input Tradable Gambar 3(a) menunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas.
Efesiensi
ekonomi yang hilang adalah ABC. Perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut adalah sebesar Q2BCQ1. Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Apabila kondisi perdagangan bebas harga yang berlaku adalah Pw dengan produksi sebesar Q1. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi lebih rendah dan penggunaan input lebih intensif, sehingga kurva supply bergeser ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Inefesiensi yang terjadi adalah sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan
Q
antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2. Pada input non tradable, intervensi pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) yang dapat dilihat pada Gambar 4. S
P
P
C
Pc B
Pd Pp
S C
Pp A
Pd
A
Pc
D
B D
D
Q2
D
Q
Q1
(a) S – N
Q1
Q2
(b) S + N
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Keterangan : Pd : Harga Domestik Sebelum Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pc : Harga di Tingkat Konsumen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi Pp : Harga di Tingkat Produsen Setelah Diberlakukan Pajak dan Subsidi S-N : Pajak untuk Barang Non Tradable S+N : Subsidi untuk Barang Non Tradable Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable adalah Pd,Q1.
Adanya pajak Pc – Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun
menjadi Q2.
Harga di tingkat produsen turun dari Pp dan harga yang diterima
konsumen naik menjadi Pc.
Efesiensi ekonomi dari produsen yang hilang
sebesar ABD dan dari konsumen yang hilang sebesar CBA.
Q
Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran dan permintaan input non tradable berada pada Pd,Q1. Adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Efesiensi yang hilang dari produsen sebesar ABC dan konsumen sebesar ABD. 2.1.9. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM) Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM) digunakan untuk menganalisis keadaan ekonomi ditinjau dari sudut usaha swasta (private profit) dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesiensi ekonomi usaha atau keuntungan sosial (social profit) dan besarnya intensif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas pada aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran secara keseluruhan dengan sistematis. Policy Analysis Matrix membantu memberikan informasi tentang apakah sistem pertanian kompetitif di bawah teknologi dan harga-harga yang berlaku saat ini.
Apakah petani, pedagang dan pengelola memperoleh keuntungan ketika
menghadapi harga aktual pasar.
Kebijakan harga akan mengubah harga dari
output atau biaya input serta pula probabilitas privat dalam skistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor.
Selain itu PAM memberikan informasi yang penting untuk analisis
keuntungan biaya dari suatu investasi pertanian. Selanjutnya model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas secara bersamaan (Monke and Pearson, 1989). Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai wilayah, tipe usahatani dan teknologi.
Matriks PAM terdiri dari tiga baris,
dimana baris pertama adalah perhitungan dengan private price (harga pasar/aktual) yaitu harga yang diterima petani, baris kedua merupakan perhitungan social price (harga bayangan) yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur biaya maupun hasil dari dua perhitungan tersebut masing-masing dihitung keuntungan. merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya.
Keuntungan
Perbedaan perhitungan
antara private price dengan social price disebabkan terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak pada baris ketiga.
Jika
kegagalan dianggap faktor yang tidak begitu berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif kebijakan yang dapat dianalisis (Monke and Pearson, 1989). Setiap matriks memiliki empat kolom yaitu kolom pertama adalah penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input) dan biaya faktor domestik. Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/bibit, peralatan dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Pearson, 2005). Tabel 7. Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya (Cost) Uraian
Penerimaan
Tradable
Faktor
Input
Domestik
Keuntungan
Harga Privat
A
B
C
D
Harga Sosial
E
F
G
H
Dampak Kebijakan dan
I
J
K
L
Distorsi Pasar Sumber : Monke and Pearson, 1989) Keterangan : 1. Keuntungan privat (D)
=A–B–C
2. Keuntungan sosial (H)
=E–F–G
3. Transfer output (I)
=A–E
4. Transfer input untuk Tradable (J)
=B–F
5. Transfer faktor non Tradable (K)
=C–G
6. Transfer bersih (L)
=D–H=I–J–K
7. Rasio biaya privat (PCR) = C/(A – B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) = G/(E – F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/F 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F 11. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A - B)/(E - F) 12. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H
13. Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L/E 2.2. Tinjauan Empiris Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Jika suatu produk telah diproduksi secara efisien maka biaya produksi akan menurun sehingga keuntungan akan semakin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negera di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gains from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satusama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. 2.2.1. Studi Daya Saing Sapi Potong Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) telah banyak dilakukan diantaranya Simatupang dan Hadi (2004) menyimpulkan bahwa diproyeksikan Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisit produksi daging sapi sebesar 2.7 juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput seperti sapi potong, kerbau, kambing dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada pakan asal biji-bijian yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu untuk mengembangkan usaha
sekaligus daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi diperlukan pengembangan teknologi. Nalle (1996) terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri (2000) menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) 0.52-0.56. Penelitian yang dilakukan Perdana (2003) menghasilkan bahwa usaha penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala usaha (kecil, sedang, dan besar) tidak berbeda nyata. Widodo (2006) menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak (SIPT) memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) atau Domestic Resources Cost Coeficient (DRCC) < 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah yaitu di bawah lima persen. Sunandar (2006) melakukan penelitian di Kabupaten Gunung Kidul untuk mengetahui keunggulan komparatif usaha ternak sapi potong, menemukan bahwa usaha ternak sapi ptong di Gunung Kidul tidak memiliki keunggulan komparatif. Nilai KBSD besar dari satu (KBSD>1) menunjukkan bahwa dari penggunaan
sumberdaya domestik yang ada, usaha ternak sapi potong tidak layak untuk dikembangkan karena secara sosial merugikan masyarakat. Comparative disadvantages yang dialami usaha ternak sapi potong tidak terlepas dari adanya distorsi harga sapi potong akibat dumping atau subsidi ekspor oleh negara pengekspor produk sapi potong ke Indonesia Indrayani (2011) menemukan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot sapi potong di Kabupaten Agam adalah jumlah hijauan, konsentrat, umur sapi bakalan dan penguasaan ternak. Peternakan sapi potong pada dua kecamatan yang diteliti mempunyai keunggulan komparatif dengan PCR < 1 serta keunggulan kompetiti dengan DRC < 1. Faktor yang berpengaruh paling besar terhadap daya saing sapi potong adalah harga output. Dimana penurunan harga output sebesar 15 persen menyebabkan usaha penggemukan sapi potong tidak memiliki keunggulan komparatif lagi. 2.2.2. Studi Daya Saing Perikanan Penelitian daya saing perikanan khususnya patin belum banyak dilakukan. salah satunya di lakukan oleh Mastuti (2011), penelitian ini dilakukan di Bogor Jawa Barat tentang daya saing usaha pembenihan ikan patin yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Mastuti menemukan bahwa usaha pembenihan ikan patin tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif selama tahun 20082009, hal ini ditunjukkan oleh nilai PCR dan DRC kurang dari satu. Penurunan keunggulan kompetitif terjadi disebabkan oleh naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, dan menurunnya harga output 20%. Sedangkan penurunan keunggulan komparatif disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Prawitasari (2009) meneliti tentang daya saing benur di Kabupaten Situbondo, hasilnya menunjukkan bahwa komoditas benur mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Adanya kebijakan pemerintah terhadap input berupa pemberian subsidi pupuk menyebabkan harga input produsen benur lebih rendah dari harga dunia. Sedangkan pemberlakuann tarif ekspor produk perikanan sebesar 7-13 persen menyebabkan produsen harus menanggung biaya ekspor lebih tinggi. Penelitian tentang dampak keunggulan kompetitif dan komparatif pada komoditi ikan hias dilakukan oleh Suprapto (2005), hasil analisis menggunakan
metode PAM menunjukkan bahwa pengusahaan ikan hias (Betta) menguntungkan secara finansial dan ekonomi. Hasil analisis secara kompetitif maupun komparatif menunjukkan bahwa usaha ikan hias mempunyai daya saing yang tinggi sebagai komoditas ekspor karena nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output menyebabkan penurunan penerimaan karena harga output yang diterima lebih rendah dari harga yang sesungguhnya. Harga input yang dibayar juga lebih besar dari harga ekonominya. Dengan adanya kebijakan pemerintah maka keuntungan yang diterima lebih rendah dari harga yang seharusnya. Esmaeili (2008) melakukan analisis daya saing budidaya udang di Iran. Hasil analisis menunjukkan bahwa budidaya udang memperoleh keuntungan privat yang positif sedangkan keuntungan sosial negatif. Hal ini disebabkan karena harga sosial input seperti BBM, listrik dan pupuk lebih tinggi dari harga pasar, sedangkan harga pakan lebih rendah dari harga pasar. Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun pemerintah pemerintah memberi subsidi pada input produksi udang, produsen udang juga sebagai pembayar pajak untuk biaya input total. 2.2.3. Studi Aspek Kebijakan Studi tentang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi dengan menggunakan matriks análisis kebijakan (PAM). Emilya (2001) melakukan kajian tentang pengusahaan komoditas tanaman pangan di Provinsi Riau. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengusahaan padi, kedelai dan jagung memiliki keuntungan secara privat dan sosial serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Nilai EPC untuk ketiga komoditas lebih besar dari satu artinya kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap output dan input telah efektif melindungi produsen. Novianti
(2003)
melakukan
penelitian
analisis
dampak
kebijakan
pemerintah terhadap daya saing komoditas unggulan sayuran. Hasil penelitian dengan menggunakan metode PAM, dimana kebijakan pemerintah dibidang perdagangan komoditas sayuran khususnya kentang dan kubis menyebabkan harga kedua komoditas tersebut lebih murah dibanding dengan harga sosial yang seharusnya diterima petani. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor klasik yaitu (1)
lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan sehingga rantai pemasaran panjang dan biaya pemasaran tinggi, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani hanya penerima harga yang pasif serta hanya menerima keputusan harga dari pedagang, dan (3) mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global. Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda.
Hasil penelitian
menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau.
Bahkan untuk produksi kedelai,
pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen. Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil. Penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Khan (2012) menggunakan NPC, EPC, PSE dan SRP untuk mengukur intervensi pemerintah di Pakistan pada sektor tebu di wilayah pertanian tebu tiga besar yaitu Pakistan Punjab, Sindh dan Khyber Pakhtunkhwa dan Pakistan secara keseluruhan. Hasil analisis mengungkapkan bahwa di bawah rezim substitusi impor, terjadi transfer output maupun input dari produsen tebu kepada masyarakat dan wajib pajak ekspor. Di bawah rezim promosi ekspor, transfer ini berasal dari masyarakat dan pembayar pajak kepada produsen tebu. Ini menyiratkan bahwa kebijakan pertanian dan ekonomi makro tidak konsisten dengan keuntungan komparatif dari produksi tebu baik pada rezim substitusi impor maupun promosi ekspor.
2.3. Kerangka Pemikiran Operasional Program revitalisasi pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2005 telah menunjukkan pencapaian cukup memuaskan, hal ini terlihat dari pertumbuhan beberapa subsektor pertanian yang cukup pesat. Di Kabupaten Indragiri Hulu subsektor pertanian yang mengalami pertumbuhan cukup pesat pada tahun 2011 disamping subsektor perkebunan adalah subsektor perikanan (10,96 persen) dan peternakan (6,75 persen). Subsektor perikanan dan peternakan ini layak untuk diprioritaskan pengembangannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang nantinya akan berkontribusi pada peningkatan PDRB daerah ini. Di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau, komoditi patin dan sapi potong merupakan komoditi unggulan sehingga masih punya potensi yang cukup besar untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh usaha budidaya patin maupun usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sehingga akan berdampak pada eksistensi usaha dan daya saingnya. Untuk itu perlu dikaji mengenai daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha budidaya patin dan peternakan sapi potong yang selama ini telah dikembangkan oleh masyarakat daerah ini. Analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah adalah analisis Policy Analysis matrix (PAM).
Metode
PAM menganalisis keuntungan baik secara privat maupun sosial, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif) dan analisis dampak kebijakan yang mempengaruhi sistem komoditas. Setelah melakukan analisis PAM, selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas. Tujuan analisis sensitivitas adalah untuk mengetahui apakah budidaya patin dan peternakan sapi potong masih tetap memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif jika terjadi perubahan pada harga output dan adanya perubahan produksi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kerangka penelitian operasional dapat dilihat pada Gambar 5.
Produk Unggulan Sektor Peternakan dan Sektor Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu
Usaha Budidaya Patin
Usaha Peternakan Sapi Potong
Kondisi Usaha Budidaya Patin saat ini: • Kesulitan modal • Mahalnya harga pakan • Bibit sebagian besar impor • Harga cenderung tidak stabil
Usaha Peternakan Sapi Potong saat ini: • Peternakan rakyat skala kecil dan Usaha sambilan • Produktivitas masih rendah • Teknologi pengolahan pakan tidak ada • Periode pemeliharaan terlalu lama
Daya Saing Budidaya Patin dan Usaha Peternakan Sapi Potong
Policy Analysis Matrix (PAM)
Analisis Sensitivitas
Implikasi Kebijakan
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. 3.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan
Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri dari 14 kecamatan dengan populasi ternak sapi potong 39.782 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, 2011). Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan karena kabupaten ini merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Provinsi Riau, dimana Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai populasi ternak sapi potong tertinggi di Provinsi Riau. Pemilihan 2 kecamatan ini berdasarkan pertimbangan pengelolaan ternak sapi di lokasi tersebut telah dilakukan secara intensif di samping itu juga berkaitan dengan faktor teknis lainnya seperti kemudahan akses. Pemilihan lokasi untuk perikanan budidaya ikan patin juga dilakukan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kedua kecamatan ini akan dijadikan kawasan minapotan khususnya untuk budidaya ikan patin kolam ataupun keramba. 3.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kerat lintang (cross
section). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dipeoleh melalui wawancara langsung dengan responden yaitu peternak sapi potong dan petani kolam/keramba ikan patin dengan bantuan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan dari peternak adalah data input yang meliputi (1) investasi usaha yang terdiri dari kandang dan peralatan (2) jumlah penggunaan dan harga input yang meliputi sapi bakalan, pakan berupa hijauan dan konsentrat, vaksin, obat-obatan, vitamin, tenaga kerja, umur ekonomis kandang dan peralatan, transportasi serta biaya tak terduga lainnya. Data yang dikumpulkan dari petani kolam/tambak adalah (1) investasi usaha yang meliputi pembuatan kolam dan keramba serta peralatan; (2) jumlah penggunaan dan harga input yang meliputi: bibit, pakan, obat-obatan, kapur dan biaya tak terduga lainnya. Data lainnnya sebagai pendukung dalam penelitian ini adalah tentang karakteristik peternak dan petani kolam/keramba mengenai
identitas mereka serta teknis pemeliharaan seperti curahan tenaga kerja, lama pemeliharaan dan harga jual komoditi. Data sekunder bersumber dari berbagai instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, BPS Provinsi Riau, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Ditjen Peternakan, Departemen Perdagangan dan perindustrian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi terkait lainnya. 3.3
Metode Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan
pemeliharaan sapi potong dan petani kolam/keramba ikan patin di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sebesar 20 sampel peternak sapi potong dan 20 sampel petani keramba/kolam ikan patin, pedagang sapi potong dan pedagang pakan ikan serta pedagang ikan patin. Pengambilan jumlah sampel dilakukan dengan pertimbangan populasi di wilayah penelitian cukup homogen, di samping itu dalam metode Policy Analysis Matrix (PAM) jumlah sampel tidak harus memenuhi syarat sebaran normal statistika (minimal sampel 30 responden). 3.4
Metode Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix
(PAM). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah pertama; penentuan input usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin. Kedua adalah pengalokasian input ke dalam komponen tradable dan non tradable, kemudian menentukan harga bayangan input dan output. Setelah harga bayangan diperoleh maka dilakukan analisis dengan menggunakan PAM. Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah : 1.
Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah atau distorsi pasar
2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada kondisi tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia
3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing dan faktor domestik 4. Eksternalitas dianggap sama dengan nol Tahapan penggunaan metode PAM adalah : 1. Identifikasi input dan output dari usaha budidaya patin dan usaha peternakan sapi potong 2. Memisahkan biaya ke dalam biaya tradable dan domestik. 3. Menentukan harga bayangan input dan output usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin 4. Menghitung dan menganalisa indikator keunggulan komparatif dan kompetitif pada usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin Matriks Analisis Kebijakan yang digunakan adalah model PAM yang dikembangkan oleh Monke and Pearson (1989) sebagai berikut : Uraian
Penerimaan
Harga Privat A Harga Sosial E Dampak Kebijakan dan I Distorsi Pasar Sumber : Monke and Pearson, (1989)
Biaya (Cost) Tradable Faktor Input Domestik B C F G J K
Keuntungan D H L
3.4.1 Analisis Indikator Matriks Kebijakan 1.
Analisis Keuntungan a. Analisis Keuntungan Privat (Private Profitability) Keuntungan privat merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada Keuntungan Privat (D)
= A – (B + C)
Dimana : D
: Keuntungan Privat (Rp)
A
: Penerimaan/Pendapatan Privat (Rp)
B
: Biaya Input Tradable Privat (Rp)
C
: Biaya Faktor Domestik Privat (Rp)
Apabila D > 0 maka usaha peternakan sapi potong dan budidaya patin memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditi tersebut mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. b. Analisis Keuntungan Sosial (Social Profitability) Keuntungan sosial merupakan indakator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien. Keuntungan Sosial (H)
= E – (F + G)
Dimana : H
: Keuntungan Sosial (Rp)
E
: Penerimaan/Pendapatan Sosial (Rp)
F
: Biaya Input Tradable Sosial (Rp)
G
: Biaya Faktor Domestik Sosial (Rp)
Apabila H > 0 dan nilainya makin besar, berarti usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin makin efesien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. 2.
Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif a. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) PCR
= C / (A – B)
Nilai
PCR
menjelaskan
berapa
banyak
sistem
komoditi
dapat
menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat (memiliki keunggulan kompetitif) b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio) DRCR = G / (E – F) Nilai DRCR merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRCR < 1 maka usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin makin efisien dan memiliki daya saing tinggi ( keunggulan komparatif)
3.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
3.1.
Kebijakan Output
3.1.1. Output Transfer (OT) Transfer Output : OT (I) = A - E Analisis transfer output dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kebijakan pemerintah mampu memberikan insentif kepada pelaku ekonomi. Apabila nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen)
kepada produsen.
Sehingga konsumen
membeli dengan harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitupun sebaliknya jika OT < 0 (bernilai negatif) 3.1.2. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) NPCO = A / E NPCO merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar harga domestik (privat) berbeda dengan harga sosial. Apabila NPCO > 1 berarti harga domestik lebih tinggi dari harga dunia dan sistem usaha tani menerima proteksi dari pemerintah. Begitu juga sebaliknya jika NPCO < 1 berarti harga output domestik lebih rendah dari harga dunia dan menunjukkan kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor komoditas tersebut. 3.2.
Kebijakan Input
3.2.1. Input Transfer (IT) IT (J) = B – F IT merupakan selisih input yang diperdagangkan pada harga privat dan input yang diperdagangkan pada harga bayangan. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Apabila IT > 0, menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari produsen (petani) kepada pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor, demikian pula sebaliknya apabila IT < 0. 3.2.2.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) NPCI
=B/F
NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Apabila NPCI < 1 berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di pasar domestik di bawah harga
efesiennya sehingga proses produksi
dilakukan dengan menggunakan
input dalam negeri. Demikian pula sebaliknya apabila NPCI > 1. 3.2.3. Factor Transfer (FT) FT (K)
=C–G
FT merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Apabila FT > 0 berarti menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input nontradable, sedangkan jika FT < 0 berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable 3.3. Kebijakan Input Output 3.3.1. Efective Protection Coefficient (EPC) EPC
= (A – B) / (E – F)
EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila EPC > 1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efesiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah melindungi produsen (petani) berjalan secara efektif. Demikian pula sebaliknya jika EPC < 1. 3.3.2. Net Transfer (NT) NT (L)
=D–H
Transfer bersih digunakan untuk melihat besarnya tambahan surplus produsen atau berkurangnya surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Apabila NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian pula sebaliknya jika NT < 0. 3.3.3. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient, PC) PC
=D/H
Koefisien keuntungan merupakan perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial.
Apabila PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberi insentif pada produsen.
Akan tetapi jika PC < 1, maka kebijakan
pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. 3.3.4. Rasio Subsidi Bagi Produsen (Subsidy Ratio to Producer, SRP) SRP
= L/E
SRP merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. Apabila SRP < 0 atau bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi dan sebaliknya jika SRP > 0 atau positif.
3.4.2 Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Untuk menentukan alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan asing menurut Pearson et al (1989) ada dua pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan total (Total Approach) dan pendekatan langsung (Direct Approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah atau untuk memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang di lakukan oleh pemerintah. Sedangkan pendekatan
langsung
mengasumsikan
seluruh
biaya
input
yang
dapat
diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total dengan mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable).
3.4.3 Penentuan Harga Bayangan Input dan Output Dalam penelitian ini ada dua jenis harga yang digunakan yaitu harga privat atau harga aktual dan harga bayangan atau harga sosial. Menurut Gittinger (1986) harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Dalam pasar bersaing, biaya oportunitas suatu barang akan menjadi harga bayangan barang tersebut. Akan tetapi sulit untuk menetukan harga oportunitas suatu barang. Perhitungan harga bayangan menurut Gittinger (1986) dapat dilakukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum dan lain-lain. Penentuan harga bayangan untuk barang tradable, harga input dan output didekati dengan menggunakan harga FOB (Free on Board) untuk barang yang diekspor dan harga CIF (Cost Insurance Freight) untuk barang yang diimpor. a.
Harga Bayangan Output Untuk usaha penggemukan outputnya adalah daging, sedangkan untuk
usaha pembibitan outputnya adalah sapi bakalan. Harga bayangan output sapi potong baik (daging/sapi bakalan) menggunakan adalah harga CIF (Cost Insurance Freight) ditambah dengan biaya pengapalan dan biaya tataniaga.. Harga CIF digunakan karena komoditas daging sapi merupakan salah satu output yang diimpor. Harga CIF daging sapi di Indonesia adalah sebesar US$ 4,62 per kilogram dikalikan nilai SER pada tahun 2011 Rp 8 765, ditambah biaya tataniaga sebesar Rp 6 074,15 per kilogram, sehingga harga paritas daging ditingkat petani sebesar Rp 46 568,45 per kilogram. Harga bayangan yang digunakan untuk output patin juga harga CIF (Cost Insurance Freight) ditambah dengan biaya pengapalan dan biaya tataniaga. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sampai akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor patin dari Vietnam. Harga FOB ikan patin di Vietnam adalah US$.1.000 per ton. Harga CIF Indonesia ditambah dengan Freight & Insurance 10 persen. Harga CIF dikalikan dengan harga bayangan nilai tukar tahun 2011 serta ditambah dengan biaya tataniaga akhirnya harga paritas ikan patin ditingkat petani menjadi Rp 9 978,35 per kilogram
b.
Harga Bayangan Bibit Patin Harga bayangan bibit patin didekati dengan harga aktualnya. Hal ini
disebabkan bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang didatangkan dari Bogor. Harga bibit patin rata-rata di lokasi penelitian adalah Rp.400 per ekor. c.
Harga Bayangan Bakalan Sapi Potong Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil persilangan sapi impor
dan lokal. Untuk itu harga bayangan bibit diasumsikan 50 persen terdiri dari komponen tradable dan 50 persen terdiri dari komponen domestik. Untuk komponen domestik diasumsikan harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di lokasi usaha). Sedangkan untuk komponen tradable yang berasal dari impor digunakan harga CIF ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga lainnya. Harga CIF sapi bakalan sebesar US$ 2,7 per kilogram, biaya tataniaga sampai ketingkat petani adalah sebesar Rp 2 000 per kilogram, sehingga harga paritas ditingkat petani adalah sebesar Rp 28 032,05 per kilogram. d.
Harga Bayangan Pakan Harga bayangan pakan patin berupa pelet berdasarkan harga privat di
lokasi penelitian. Hal ini didasari asumsi bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pelet yaitu tepung ikan sehingga sulit menentukan harga bayangan berdasarkan border price bahan baku. Oleh karena itu, harga bayangan pakan diperoleh dari harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. Sedangkan pakan alternatif hanya berdasarkan harga privat saja. Pakan untuk sapi potong berupa hijauan dan ampas tahu dapat digolongkan sebagai komponen non tradable, maka harga bayangannya diasumsikan sama dengan harga pasar, dimana didekati dengan harga konsentrat (dedak dan ampas tahu) yang berlaku di daerah penelitian. Untuk harga hijauan didekati dengan harga ditingkat petani yang menggambarkan harga biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan hijauan (didekati dengan hasil perkalian antara jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menyediakan hijauan dengan harga bayangan tenaga kerja tiap
satuan
atau
total
hijauan). Sedangkan bahan
makanan seperti suplemen dan mineral didekati dengan CIF ditambah dengan biaya tataniaga sampai di tempat penelitian.
e.
Harga Bayangan Obat-obatan Harga dunia obat-obatan dalam perikanan tidak ada, oleh karena itu
penentuan harga bayangan hormon dan obat-obatan didekati dengan harga finansial. Perhitungannya yaitu harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. Harga bayangan untuk obat-obatan untuk sapi potong walaupun sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, maka perhitungan harga bayangannya dari harga aktual dikurangi PPN. Biaya obat-obatan terdiri dari input tradable dan non tradable, dimana karena sebagian besar bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 80 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 20 persen sebagai komponen non tradable, seperti yang dilakukan oleh Adnyana et al. (1997). f.
Harga Bayangan Garam Indonesia masih mengimpor garam pada tahun 2011 maka harga bayangan
yang digunakan adalah border price yaitu sebesar US$ 51,63 per ton. Kemudian ditambah dengan Freight dan Insurance 10 persen, dikalikan dengan SER dan ditambah dengan biaya tataniaga sehingga menghasilkan harga bayangan garam sebesar Rp 782,13 per kilogram. Tiap bungkus garam berbobot 2,5 kg sehingga harga perbungkus yaitu Rp 1.955. g.
Harga Bayangan Pupuk Urea Harga bayangan pupuk urea dalam penelitian ini menggunakan harga paritas
ekspor, karena Indonesia mengekspor pupuk urea ke negara lain. Penentuan harga bayangan pupuk urea berdasarkan pada harga FOB urea rata-rata di Black Sea tahun 2011 sebesar US$ 420,96 per ton. Nilai tersebut ditambah dengan Freight and Insurance 15 persen atau sebesar US$ 63,14 per ton, sehingga rata-rata harga bayangan pupuk urea adalah sebesar Rp.3945,09 per kilogram. h.
Harga Bayangan Perlengkapan dan Peralatan Harga bayangan untuk peralatan digunakan adalah harga pasar. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar persaingan sempurna.
i.
Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Pearson and Gotsch (2005), menyatakan bahwa peneliti tidak
banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di sector pertanian. Menurut Gittinger (1986), tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan merupakan tenaga ahli dan kenyataan masih adanya pengangguran. Sehingga dalam penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan produk marginal dimana produk marginal sebenarnya masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Tingkat upah bayangan baik untuk usaha budidaya patin maupun usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu adalah tingkat upah aktual dikali persentase penduduk yang bekerja. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Indragiri Hulu, jumlah pengangguran pada tahun 2011 adalah sebesar 7 persen. Harga bayangan tenaga kerja adalah harga upah aktual dikali jumlah penduduk yang bekerja yaitu sebesar 93 persen j.
Harga Bayangan Nilai Tukar Harga bayangan nilai tukar uang
adalah harga uang domestik dalam
kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi persaingan sempurna (Suryana, 1980).
Salah satu pendekatan untuk
menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Squire dan Van Der Tak (1982) dalam Gittinger (1986) menggunakan formula sebagai berikut : SERt =
OERt SCFt
Dimana : SERt : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OERt : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCFt : Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : SCFt =
Xt + Mt (Xt – Txt) + (Mt + Tmt)
Dimana, SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Perhitungan SER tahun 2011 berdasarkan data dari Bank Indonesia dan BPS (Badan Pusat Statistik). Dimana total nilai ekpor Indonesia (Xt) pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 1.785.229,8 milyar, nilai impor Indonesia (Mt) Rp 1.554.489,3 milyar, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) Rp 25.439 milyar, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (Tmt) sebesar Rp 21.501 milyar. Nilai tukar resmi rata-rata mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 8.775 per US Dollar. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai faktor konversi standar pada tahun 2011 adalah sebesar 1,001 sehingga diperoleh nilai tukar bayangan mata uang Rupiah terhadap US Dollar (SER) sebesar Rp.8765 per US Dollar. k.
Harga Bayangan Kandang dan Peralatan Dalam penelitian ini sebagian besar bahan bangunan kandang dan peralatan
merupakan hasil produksi domestik, maka harga bayangan kandang dan peralatan sama dengan harga privat yang dihitung berdasarkan nilai penyusutannya. l.
Harga Bayangan Bahan Bakar Minyak Harga bayangan BBM ditentukan dari harga di tingkat bunker yaitu
harga sebelum subsidi yang diperoleh dari Pertamina. Pada tahun 2011 harga bensin adalah Rp 9.050 per liter.
3.5
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu
usaha budidaya patin dan sapi potong bila terjadi perubahan terhadap input maupun output. Perubahan ini dapat mempengaruhi penerimaan dan biaya petani budidaya patin dan peternak sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Analisis sensitivitas yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah 1.
Penghapusan Bea Impor sapi potong sebesar 5 persen Untuk
melindungi
produsen
dalam
negeri
pemerintah
pemerintah
mengenakan tarif impor daging sapi dan sapi bakalan sebesar 5 persen. Secara bertahap tarif ini akan diturunkan sampai menjadi nol persen pada tahun 2020. Jika tarif impor dihapuskan maka harga daging sapi maupun sapi bakalan impor akan menjadi lebih murah. 2.
Bahan Bakar Minyak (BBM) naik 15 persen Salah satu input yang digunakan oleh peternak di Kabupaten Indragiri Hulu adalah BBM. Untuk mencapai akses ke tempat pengambilan hijauan mereka membutuhkan kendaraan yang menggunakan bensin. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen seperti yang direncakan pemerintah, maka menarik untuk mengetahui dampaknya terhadap daya saing peternakan di daerah ini.
3.
Penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit Sejalan dengan program integrasi tanaman ternak, maka perlu di pertimbangkan penggunaan pakan dari limbah sawit seperti daun, pelepah dan solid. Jika pakan dari pelepah sawit yang digunakan untuk pengganti hijauan maka bisa menghemat biaya pakan hijauan sebesar 30 persen karena penggunaan pakan dari pelepah sawit tidak boleh lebih dari 30 persen (Mathius, 2008)
4.
Penurunan harga ikan patin sebesar 25 persen Saat produksi perairan umum di Kabupaten Indragiri Hulu melimpah khususnya dimusim kemarau, maka harga ikan patin budidaya bisa turun hingga 25 persen, hal ini terjadi karena lemahnya sistem pemasaran
5.
Penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen Komponen biaya produksi budidaya patin sebesar 70-80 persen berasal dari pakan. Saat ini pakan ikan masih dikenakan PPN sebesar 10 persen.
6.
Depresiasi nilai tukar rupiah 5,5 persen Nilai tukar rupiah melemah rata-rata sebesar 5,5 persen selama tahun 2010 ke tahun 2011. Jika nilai tukar rupiah melemah maka akan berpengaruh terhadap harga paritas impor ikan patin.
IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Indragiri Hulu adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Secara geografis Kabupaten Indragiri Hulu terletak pada 1010 100 BT-1020 48 Bujur Timur dan 00 15 LU-10 50 Lintang Selatan. Kabupaten Indragiri Hulu memiliki luas lebih kurang 8.198,26 km2 yang terdiri dari 14 kecamatan. Kabupaten Indragiri Hulu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan, sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Jambi, sebelah barat dengan Kabupaten Kuantan Singingi sedangkan sebelah timur dengan Kabupaten Indragiri Hilir. Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu pada umumnya dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 5 sampai dengan 400 meter dari permukaan laut. Bagian yang terluas dari dataran rendah terletak pada ketinggian 25 sampai dengan 100 meter dari permukaan laut yang sebagian besar ditutupi oleh hutan dan tanah gambut. Struktur topografi Kabupaten Indragiri Hulu kawasan selatan dan barat pada umumnya merupakan perbukitan rendah, sedangkan kawasan utara dan timur merupakan dataran rendah yang umumnya berupa rawa bergambut. Kabupaten Indragiri Hulu (menurut kalsifikasi Koppen) termasuk dalam tipe iklim AFA (Tropika Basah yaitu curah hujan bulanan diatas 60 mm atau curah hujan tahunan diatas 1500 mm). Musim hujan pada umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan April tahun berikutnya dan arah angin Barat/Barat laut dengan kecepatan rata-rata sekitar 50 knot,sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai bulan September dengan arah angin timur laut sampai tenggara dengan kecepatan angin rata-rata 4,4 knot, angin puyuh atau angin yang merusak jarang terjadi. Penduduk Kabupaten Indragiri Hulu pada tahun 2009 berjumlah 353.597 jiwa yang tersebar di 14 kecamatan. Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Rengat sebesar 45.510 jiwa, sedangkan kecamatan yang sedikit jumlah penduduknya ada di Kecamatan Batang Peranap sebanyak 8.817 jiwa. Rata-rata rumah tangga di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki anggota keluarga sebanyak 4 orang.
Perekonomian Kabupaten Indragiri Hulu masih didominasi oleh sektor pertanian. Pada tahun 2006 kontribusi sektor pertanian sebesar 47,26 persen, walaupun trendnya cenderung menurun, sektor pertanian pada tahun 2010 peranannya masih cukup besar yaitu sebesar 45,62 persen. Usaha pertanian yang dilakukan oleh masyarakat didominasi oleh tanaman bahan makanan yaitu padi sawah maupun padi ladang, jagung dan ubi kayu. Sektor perkebunan sebagian besar adalah komoditas karet, kelapa sawit, kelapa dalam, kopi dan pinang. Sedangkan pada sektor peternakan pengembangan yang lebih dominan adalah pada ternak sapi. Sapi potong merupakan salah satu komoditi yang dikembangkan dalam rangka pemberdayaan usaha ekonomi rakyat yang berbasis komoditi unggulan.
Usaha
peternakan
sapi
potong
didominasi
oleh
usaha
pengembangbiakan atau pembibitan yang dilakukan oleh peternak skala rumah tangga, disamping itu juga ada usaha penggemukan. Pada sektor perikanan, Kabupaten Indragiri Hulu selama ini terkenal sebagai penghasil ikan patin sungai, sehingga pemerintah terus berupaya mengembangkan potensi tersebut sebagai komoditas unggulan daerah. Seiring dengan berjalannya waktu, usaha penangkapan ikan di sungai khususnya untuk komoditas patin, produksinya selalu mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pencemaran yang terjadi di sungai Indragiri akibat penambangan liar. Oleh sebab itu pemerintah mendorong masyarakat untuk mengembangkan ikan patin melalui budidaya di kolam tanah maupun di danau dengan sistem keramba. 4.2. Keadaan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Usaha peternakan sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat Indragiri Hulu baik penggemukan maupun pembibitan sebagian besar adalah usaha yang telah mereka lakukan secara turun temurun. Jenis sapi yang diternakkan beraneka ragam mulai dari sapi lokal seperti sapi Bali maupun jenis sapi peranakan seperti Simmental, Limousin dan Brahman. Sistem pemeliharaannya juga bervariasi, ada dengan sistem ranch murni (sapi dibiarkan lepas di padang penggembalaan atau di kebun) untuk sapi lokal dan untuk sapi jenis peranakan dengan sistem intensif. Usaha peternakan yang dilakukan masih merupakan usaha sampingan, hal ini terlihat dari curahan waktu tenaga kerja untuk peternakan sapi potong yaitu
rata-rata hanya 3 jam perhari. Sedangkan usaha utama mayoritas masyarakat di daerah ini adalah perkebunan dengan komoditas utama karet atau kelapa sawit. Kondisi ini dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong, terutama untuk kebutuhan pakan hijauan bisa diambil dari kebun tersebut. Di samping itu limbah kelapa sawit baik berupa daun, pelepah dan bungkil bisa dimanfaatkan sebagai pakan tambahan. Usaha peternakan sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu merupakan usaha skala rumah tangga dengan jumlah kepemilikan rata-rata 6 ekor. Karakteristik peternak sapi berdasarkan jumlah kepemilikan sapi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Peternak Responden di Kabupaten Indragiri Hulu Jumlah Kepemilikan Sapi Jumlah 1–4 5–8 >8 Jumlah
Responden Persentase (%) 4 20.00 14 70.00 2 10.00 20 100.00
Dari Tabel 8 bisa dilihat bahwa sebagian besar kepemilikan sapi potong berkisar antara 5-8 ekor (70 persen) diikuti oleh kepemilikan antara 1-4 ekor (20 persen), sedangkan untuk kepemilikan besar dari 8 ekor hanya 10 persen. Kepemilikan ternak sapi yang masih dalam skala kecil ini pada masing-masing peternak juga disebabkan karena ternak sapi sebagian besar hanya dijadikan sebagai tabungan keluarga. Sistem pemeliharaan pada usaha peternakan sapi potong di wilayah penelitian dilakukan dengan cara intensif, dimana sapi dikandangkan secara terus-menerus. Pemberian pakan diberikan oleh peternak langsung di dalam kandang. Semua aktivitas sapi dilakukan di dalam kandang, mulai dari pemberian pakan, minum, istirahat, pembersihan kandang dan pengendalian penyakit. Periode pemeliharaan sapi bervariasi diantara peternak. Usaha penggemukan lama pemeliharaannya rata-rata selama 6 bulan sedangkan untuk usaha pembibitan periode pemeliharaannya berkisar antara 1,5-2 tahun. Perbedaan periode pemeliharaan disebabkan tujuan utama peternak memelihara sapi
potong yaitu sebagai sumber pendapatan utama atau hanya sebagai tabungan. Peternak
yang
orientasi
pemeliharaannya
sebagai
tabungan
melakukan
pemeliharaan relatif lebih lama. Keberhasilan usaha peternakan sapi potong tergantung dari beberapa faktor yaitu bibit, pakan, dan pengelolaan. Usaha ternak sapi potong di daerah penelitian sebagian menggunakan sapi untuk bibit dari daerah lain seperti Lampung dan sebagian lainnya telah menggunakan sapi hasil pembibitan di daerah itu sendiri. Sedangkan pada usaha penggemukan, bakalan yang digunakan sebagian besar dari hasil pembibitan yang dilakukan oleh masyarakat setempat kecuali pada perayaan hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Pada umumnya sapi bakalan yang digemukkan berasal hasil perkawinan alam dan sistem Inseminasi Buatan (IB). Jenis ternak sapi yang dipelihara adalah sapi peranakan Simental dan Limousin. Peternak cenderung menggunakan sapi hasil persilangan dibanding sapi lokal karena sapi hasil persilanngan menunjukkan produksi yang lebih baik, terlihat dari pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibanding sapi lokal Disamping faktor bibit, keberhasilan usaha penggemukan juga ditentukan oleh pakan. Secara garis besar pakan ternak sapi terbagi atas pakan utama yaitu hijauan dan pakan penguat (konsentrat) dan pakan tambahan (Feed suplement). Pakan yang diberikan pada ternak sapi di daerah penelitian umumnya berupa pakan hijauan. Hijauan yang diberikan pada ternak sapi umumnya berasal dari rumput yang diperoleh dari lahan kebun yang dimiliki oleh masyarakat dan lahan marginal lainnya. Disamping pakan hijauan peternak juga memberikan bahan konsentrat seperti ampas tahu yang cukup mudah diperoleh di lokasi penelitian dengan harga Rp.700 per kg. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 08.00 WIB dan sore hari pukul 17.00 WIB. Pemberian konsentrat dilakukan sebelum pemberian hijauan. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2009) yaitu pemberian konsentrat yang dilakukan 2 jam sebelum pemberian hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik karena konsentrat yang relatif banyak mengandung pati sebagian besar sudah dicerna oleh mikroorganisme rumen pada saat hijauan mulai masuk ke dalam rumen.
Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging dengan peningkatan bobot badan yang tinggi melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Dari hasil wawancara dengan responden penelitian, rata-rata berat badan awal bakalan yang akan digemukkan adalah 250 kg. Setelah dipelihara ratarata selama 6 bulan, sapi dijual dengan bobot rata-rata 400 kg, jadi rata-rata pertambahan bobot sapi yang digemukkan hanya 0,833 kg per hari. Standarnya pertambahan bobot badan sapi jenis Simental bisa mencapai 1,80 kg per hari. Tenaga kerja yang digunakan adalah mayoritas tenaga kerja dari keluarga. Input tenaga kerja keluarga yang dimaksud adalah curahan tenaga kerja yang berasal dari
anggota
keluarga sendiri
dalam
usaha
penggemukan dan
pembibitan sapi potong. Curahan kerja yang dilakukan dalam pengelolaan usaha peternakan sapi potong adalah mencari hijauan, memberi pakan dan membersihkan kandang. Penggunaan tenaga kerja secara rata-rata adalah 3-4 jam per hari dan sebagian besar terkonsentrasi pada kegiatan mencari hijuan. Pengobatan yang dilakukan peternak pada ternak sapi yang dipelihara meliputi pemberian vitamin, obat cacing, antibiotik, dan pemberian obat lainnya. obat-obatan berupa vitamin biasanya diberikan pada awal masa pemeliharaan, dan selanjutnya enam bulan berikutnya, namun belum semua peternak memberikan secara teratur. Pemberian obat cacing rutin dilakukan setiap 6 bulan sekali. Pemberian obat antibiotik lainnya hanya dilakukan pada saat dibutuhkan, dengan bantuan petugas dari UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) dinas peternakan maupun dari dokter hewan yang ada di daerah penelitian.
4.3. Karakteristik Responden Karakteristik rumahtangga berhubungan dengan keputusan produksi, dalam hal ini keputusan dalam mengusahakan penggemukan maupun pembibitan sapi. Karakteristik rumahtangga responden meliputi umur peternak, pendidikan peternak, pengalaman.
4.3.1. Umur Peternak Responden Umur merupakan salah satu komponen yang menggambarkan karakteristik peternak. Umur peternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu berkisar antara 30-60 tahun. Untuk lebih jelasnya karateristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Umur Peternak Responden di Kabupaten Indragiri Hulu Sebaran Umur Peternak (tahun) 21 – 30 31 - 40 41 – 50 51 – 60 >60 Jumlah
Jumlah (Orang) 2 10 5 2 1 20
Persentase (%) 10,00 50,00 25,00 10,00 05,00 100,00
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak berumur antara 31-40 tahun yaitu sebesar 50 persen, diikuti oleh peternak yang berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 25 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu sebagian besar masih dalam usia produktif. 4.3.2. Tingkat Pendidikan Peternak Responden Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam usaha penggemukan maupun pembibitan sapi potong. Hal ini karena dibutuhkan kecakapan, keterampilan dan kemampuan untuk menerima informasi terutama dalam mengadopsi tekonologi untuk pengembangan usaha peternakan tersebut. Tabel 10. Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Responden Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Jumlah
Jumlah (Orang) 4 10 6 20
Persentase (%) 20,00 50,00 30,00 100,00
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa menunjukkan bahwa tingkat pendidikan peternak cukup bervariasi. Sebesar
20 persen peternak
responden
adalah
tamatan SD (Sekolah Dasar) yaitu sebanyak 4 orang. Sedangkan yang tamat SMP terbanyak yaitu sebesar 50 persen dan SMA sebanyak 6 orang (30 persen).
4.3.3. Pengalaman Peternak Responden Tingkat
pengalaman
responden
menunjukkan
lamanya
peternak
melaksanakan usahanya. Pengalaman dapat mempengaruhi hasil produksi ternak. Tabel 11. Pengalaman Peternak Responden di Kabupaten Indragiri Hulu Pengalaman (Tahun) ≤5 6 – 10 11 - 15 > 15
Jumlah Responden 0 4 6 10
Persentase (%) 0,00 20,00 30,00 50,00
Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar peternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu telah berpengalaman dalam memelihara sapi. Mayoritas pengalaman beternak sapi potong peternak responden telah lebih dari 15 tahun yaitu sebesar 50 persen. Disusul oleh 30 persen responden yang mempunyai pengalaman antara 11-15 tahun. Berdasarkan wawancara di tempat penelitian, sebagian besar peternak mengungkapkan bahwa mereka telah mewarisi usaha ternak sapi potong secara turun temurun dari keluarga. 4.4. Keadaan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Usaha budidaya ikan patin (akuakultur) merupakan usaha yang baru digeluti oleh masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu. Produksi ikan patin selama ini berasal dari kegiatan penangkapan di sungai. Beberapa tahun terakhir produksi ikan patin hasil dari penangkapan di sungai terus mengalami penurunan, hal ini terjadi karena kegiatan penangkapan ikan telah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk ditangkap. Disamping itu juga terkait dengan semakin meningkatnya pencemaran di sepanjang aliran sungai akibat penambangan liar. Untuk memenuhi kebutuhan ikan patin di daerah ini maka masyarakat perlahanlahan mulai melirik usaha budidaya ikan patin di kolam maupun di keramba di danau maupun di anak sungai. Usaha budidaya yang dibahas dalam penelitian ini adalah usaha budidaya ikan patin di kolam. Luas kolam per unit milik pembudidaya cukup bervariasi antara 100-10.000 m2. Kegiatan budidaya komersial masih pada level medium. Untuk meningkatkan produksi budidaya ikan patin pemerintah Kabupaten
Indragiri Hulu telah melakukan berbagai kebijakan diantaranya perluasan areal kolam dengan dengan cara membangun kolam baru dan menambah saluran irigasi untuk meningkatkan ketersediaan air. Luas rataan kolam responden pembudidaya ikan patin dapat dilihat pada Tabel 12 Tabel 12. Luas Kolam Responden Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Luas Kolam (m2)
Jumlah Responden
Persentase (%)
250 – 500
13
65,00
500 – 1.000
4
20,00
>1.000
3
15,00
Jumlah
20
100,00
Luas kolam responden pembudidaya ikan patin berkisar antara 250-1.400 2
m . Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar luas kolam budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu berkisar antara 250-500 m2 (65 persen). Selanjutnya diikuti oleh 20 persen luas kolam berkisar antara 500-1.000 m2. Usaha budidaya dilakukan dalam jangka waktu antara 6-10 bulan. Semakin lama waktu pembesaran maka biaya produksi semakin meningkat, terutama biaya input pakan. Sebagian besar pembudidaya menggunakan modal sendiri sehingga hal ini sangat menyulitkan bagi petani pembudidaya. Biaya produksi selama satu kali periode budidaya sebesar 70 persen terkonsentrasi pada biaya pakan. Pakan ikan patin berupa pelet harganya berkisar antara Rp.7.500 sampai Rp.9.000 per kg di lokasi penelitian. Untuk mengatasi tingginya biaya pakan, sebagian pembudidaya menyiasati dengan membuat pakan sendiri dengan menggunakan bahan baku diperoleh dari lingkungan mereka. Diantara pakan alternatif yang lazim digunakan oleh pembudidaya adalah limbah pasar berupa usus ayam, selain itu ada yang membuat pakan dengan campuran keong dan daun pepaya. Pakan pabrik (pelet) digunakan selama 3 bulan pertama periode pembesaran, selanjutnya sampai ikan patin bisa dipanen digunakan pakan alternatif. Dengan menggunakan pakan alternatif, biaya pakan bisa dihemat sampai 70 persen.
Berdasarkan kondisi di atas maka perhitungan usaha tani usaha budidaya patin pada penelitian dibagi menjadi 2 yaitu usaha yang menggunakan sebagian besar pakan pabrik (pelet) dan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif. Usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif dilakukan sedikit lebih lama dibanding usaha yang menggunakan sebagian besar pakan pelet. Dimana usaha budidaya yang menggunakan pakan pelet dilakukan rata-rata selama 8 bulan sedangkan budidaya yang menggunakan pakan alternatif dilakukan selama 9 bulan. Disamping pemberian pakan yang tepat, produksi ikan patin juga dipengaruhi oleh penggunaan bibit. Bibit ikan patin yang digunakan oleh pembudidaya di lokasi penelitian pada umumnya berasal dari Jawa Barat. Penggunaan bibit ikan patin dari Jawa Barat disebabkan karena usaha pembibitan ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu belum maksimal. Benih patin yang biasa digunakan dengan panjang sekitar 10 cm atau dengan padat tebar rata- rata 7 ekor per m2. 4.5. Karakteristik Responden Pembudidaya Ikan Patin Karakteristik rumahtangga berhubungan dengan keputusan budidaya ikan patin.
Karakteristik rumahtangga responden meliputi umur d a n pendidikan
petani pembudidaya ikan patin. Pengalaman tidak dicantumkan karena sebagian besar responden memiliki pengalaman di bawah 5 tahun. 4.5.1. Umur Responden Umur petani pembudidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu berkisar antara 30-60 tahun. Untuk lebih jelasnya karateristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Umur Responden Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Sebaran Pembudidaya (tahun) 31 - 40 41 – 50 51 – 60 >60 Jumlah
Jumlah (Orang) 7 8 4 1 20
Persentase (%) 35,00 40,00 20,00 05,00 100,00
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa sebagian besar pembudidaya ikan patin berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 40 persen, selanjutnya petani pembudidaya dengan berumur antara 31-40 tahun yaitu sebesar 35 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani pembudidaya pembudidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu sebagian besar masih dalam usia produktif. Pembudidaya dengan umur di atas 60 tahun pada umumnya adalah pensiunan pegawai negeri. 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam usaha budidaya ikan patin. Hal ini karena dibutuhkan kecakapan, keterampilan dan kemampuan untuk menerima informasi dan inovasi berupa tekonologi untuk pengembangan budidaya ikan patin tersebut Tabel 14. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya Ikan Patin Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Diploma/PT Jumlah
Jumlah (Orang) 5 7 5 3 20
Persentase (%) 25,00 35,00 25,00 15,00 100,00
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani pembudidaya ikan patin cukup bervariasi. Sebesar 25 persen peternak responden
adalah tamatan SD (Sekolah Dasar)
yaitu sebanyak 5 orang.
Sedangkan yang tamat SMP terbanyak yaitu sebesar 30 persen dan SMA sebanyak 5 orang (20 persen) serta Diploma/PT sebanyak 15 persen.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu dibedakan menjadi dua jenis usaha yaitu usaha penggemukan dan usaha pembibitan. Selanjutnya hasil penelitian akan mengarah secara langsung pada kedua jenis usaha ini. Usaha penggemukan dilakukan oleh masyarakat berjangka waktu rata-rata selama 6 bulan, sedangkan usaha pembibitan dilakukan rata-rata selama 2 tahun. Untuk mengukur tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing usaha peternakan di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM).
Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu
komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik.
Dalam mengelola usaha peternakan seorang peternak memerlukan
sejumlah input yang merupakan biaya produksi. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha peternakan ini baik kegiatan penggemukan maupun pembibitan sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Tabel 15 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk usaha penggemukan maupun pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha penggemukan biaya terbesar dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu sebesar 80,56 persen, sedangkan untuk usaha pembibitan biaya terbesar diserap oleh hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Pada usaha penggemukan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk satu ekor sapi potong selama satu periode penggemukan adalah Rp. 8.895.668, sedangkan pada usaha pembibitan rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode pembibitan untuk satu ekor sapi potong sebesar Rp.6.227.993. Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya proporsi biaya untuk bakalan pada usaha penggemukan adalah mahalnya harga bakalan yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah seperti dari Lampung.
Tabel 15.Rata-Rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Penggemukan dan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Usaha Penggemukan Jumlah (Rp/Ekor/ 6 Bulan)
Uraian
Penerimaan
Proporsi (%)
12.000.000
Usaha Pembibitan Jumlah (Rp/Ekor/ 2 Tahun)
Proporsi (%)
8.300.000
Biaya: 1. Bakalan/Bibit 2. Hijauan 3. Ampas Tahu 4. Tenaga Kerja 5. Mineral 6. Obat Cacing 7. Penyusutan Kandang 8. Penyusutan Peralatan 9. Inseminasi Buatan 10. Transportasi (BBM) Total Keuntungan
7.166.668 600.000 252.000 300.000 50.000 10.000 158.000 170.000 0 189.000
80,56 6,75 2,83 3,37 0,56 0,11 0,78 1,91 0 2,13
750.000 2.400.000 504.000 1.200.000 50.000 20.000 316.660 193.333 70.000 724.000
12,04 38,73 8,09 19,07 0,80 0,32 5,08 3,12 1,12 11,63
8.895.668 3.104.332
100
6.227.993 2.072.007
100
Proporsi biaya berikutnya pada usaha penggemukan adalah biaya pakan yang terdiri dari hijauan dan ampas tahu sebesar 9,58
persen. Untuk usaha
pembibitan biaya berikutnya yang mengambil porsi cukup besar adalah hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Hal ini disebabkan waktu pembibitan yang cukup lama yaitu selama 2 tahun. Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan pada usaha penggemukan adalah biaya untuk pembelian obat cacing yaitu hanya sebesar 0,11 persen, hal ini terjadi karena selama periode penggemukan pemberian obat cacing hanya dilakukan sekali dengan harga sebesar Rp.10.000. Hal ini juga terjadi pada usaha pembibitan yang porsinya hanya sebesar 0,32 persen dari total biaya. Penerimaan yang dihasilkan oleh usaha penggemukan lebih tinggi dibandingkan
dengan
usaha
pembibitan,
dimana
usaha
penggemukan
menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 3.104.332 selama 6 bulan. Sedangkan pada usaha pembibitan selama satu periode pembibitan hanya menghasilkan
keuntungan sebesar Rp. 2.072.007. Perbedaan keuntungan yang cukup mencolok ini disebabkan karena besarnya biaya untuk hijauan, tenaga kerja serta transportasi (BBM) yang harus dikeluarkan pada usaha pembibitan yang jangka waktunya lebih lama. Sedangkan pada usaha penggemukan biaya usaha yang dikeluarkan sebagian besar hanya untuk bakalan. Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah pada berbagai aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistematis. Salah satu bentuk keluarannya adalah nilai keuntungan privat dan sosial. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh petani dalam usaha penggemukan dan pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005). Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005).
Tabel 16. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Penggemukan dan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011 Keterangan
Penerimaan
Biaya (Rp/Ekor) Input Faktor Tradable Domestik
Usaha Penggemukan Harga Privat 12.000.000 Harga Sosial 9.313.690 Dampak 2.686.310 Kebijakan Usaha Pembibitan Harga Privat 8.300.000 Harga Sosial 7.008.013 Dampak 1.291.987 Kebijakan
Keuntungan
3.754.033 3.709.150 44.883
5.141.635 5.068.029 73.606
3.104.332 536.511 2.567.821
957.021 1.049.088 -92.067
5.270.972 5.158.926 112.046
2.072.007 79.999 1.272.008
Hasil analisis pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual) dan secara sosial (harga ekonomi) usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan baik secara privat maupun sosial yang bernilai positif. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa sumberdaya yang digunakan dalam usaha penggemukan maupun pembibitan dapat dimanfaatkan secara efesien dan dapat bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan pemerintah. Terjadinya divergensi diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang bersifat distorsif. Apabila kebijakan yang distorsif dapat dihilangkan maka divergensi dapat dihilangkan. Secara teori, kebijakan yang paling efesien dapat dicapai
jika
pemerintah
mampu
menciptakan
kebijakan
yang
mampu
menghapuskan kegagalan pasar. 5.1.2. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Matrik Analisis Kebijakan (PAM) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan berbagai aktivitas usahatani, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistimatis. Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, maka digunakan dua pendekatan yaitu
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources Cost Ratio (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Tabel 17. Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. No.
Indikator
Nilai Penggemukan
Pembibitan
1.
Domestic Resources Cost Ratio (DRC)
0,90
0,87
2.
Private Cost Ratio (PCR)
0,62
0,72
Tabel 17 menunjukkan nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.
5.1.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial sebuah usahatani. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai Private Cost Ratio (PCR) merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan input
tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan informasi dari Tabel 17, diketahui bahwa nilai PCR untuk usaha penggemukan sapi potong adalah sebesar 0,62 sedangkan untuk usaha pembibitan sapi potong sebesar 0,72. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,62 untuk usaha penggemukan dan sebesar 0,72
untuk usaha pembibitan. Nilai PCR usaha pembibitan lebih kecil dibanding usaha penggemukan yang berarti bahwa usaha penggemukan lebih kompetitif dibanding usaha pembibitan. Hal ini disebabkan karena biaya domestik yang harus dikeluarkan untuk usaha pembibitan lebih besar dibanding usaha penggemukan terutama biaya pakan (hijauan), biaya tenaga kerja dan biaya transportasi (BBM). 5.1.2.2.Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah Domestic Resources Cost Ratio (DRC). DRC adalah rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya atau pada tingkat harga tanpa adanya intervensi Nilai DRC yang kurang dari satu (DRC<1) menunjukkan bahwa sistem usahatani efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa intervensi dari pemerintah. Dari Tabel 17 diketahui bahwa nilai DRC usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 0,90 sedangkan usaha pembibitan sapi potong sebesar 0,87. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa
pada usaha penggemukan
dan
pembibitan
untuk
menghasilkan satu satuan nilai tambah output dibutuhkan 0,90 dan 0,87 satuan biaya input domestik. Hal ini juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi potong, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya US$0,90. Sedangkan setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi bibit, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya US$0,87, sehingga terjadi penghematan devisa. Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh oleh Indrayani (2011) nilai DRC usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga di Kabupaten Agam adalah sebesar 0,853. Nilai DRC yang kurang dari satu juga mengindikasikan bahwa untuk komoditas sapi potong baik berupa daging maupun bibit lebih baik jika diproduksi di dalam negeri dari pada impor. Nilai DRC usaha penggemukan lebih tinggi dibanding usaha pembibitan menunjukkan bahwa untuk memproduksi satu tambahan sapi siap potong membutuhkan biaya yang lebih besar dibanding
memproduksi satu tambahan sapi bibit. Keadaan ini juga mengandung arti devisa yang dihemat lebih kecil jika menambah produksi satu nilai tambah output (sapi potong). Nilai DRC pada usaha penggemukan maupun pembibitan lebih besar dari nilai PCR menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memberikan insentif terhadap produsen sapi potong maupun sapi bibit. Diantara kebijakan pemerintah adalah subsidi BBM serta adanya pembatasan jumlah impor sapi potong dan sapi bibit.
5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditi seperti sapi potong bertujuan untuk melindungi produsen maupun konsumen dalam dalam negeri. Kebijakan yang dibuat tergantung dari siapa yang dilindungi apakah konsumen atau produsen. Oleh karena itu pemerintah telah memiliki instrumentinstrumen kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan tersebut dapat berdampak terhadap input maupun output (Hidayat, 2009). Beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah adalah membatasi kuota impor sapi potong baik sapi siap potong maupun bibit sapi. Tujuannya adalah untuk melindungi produsen sapi potong dalam negeri, tetapi akibatnya harga daging sapi dalam negeri menjadi tinggi dan mengakibatkan konsumen rugi. Hal ini terjadi karena jumlah sapi potong yang seharusnya sudah bisa memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri sebagian besar masih berada di tangan peternak. Kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah ini telah menimbulkan hasil yang kontradiktif. Di satu sisi pemerintah harus melindungi produsen dalam negeri yaitu peternak dan di satu sisi pemerintah juga harus menjamin kebutuhan konsumen dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah dapat dididentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM.
Divergensi
menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan atau kekuatan pasar yang gagal.
Besarnya
dampak kebijakan tersebut dapat dilihat melalui indikator yaitu Output Transfer
(OT), Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer, Factor Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI).
5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output (OT) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial. Jika nilai OT lebih besar dari nol (OT>0) atau positif menunjukkan bahwa ada insentif konsumen terhadap produsen dimana harga yang dibayarkan konsumen kepada produsen lebih tinggi dari seharusnya. Jika nilai OT lebih kecil dari nol (OT<0) atau negatif, artinya tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output sehingga harga yang diterima produsen lebih rendah dari yang seharusnya diterima, sehingga konsumen membeli daging sapi atau sapi bibit dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai Output Transfer (OT) dan nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) usaha penggemukan dan pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usaha Penggemukan dan Pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011. No.
Indikator
1.
Output Transfer (OT)
2.
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO)
Nilai Penggemukan
Pembibitan
2.686.310
1.291.310
1,29
1,18
Tabel 18 menunjukkan bahwa hasil Output Transfer (OT) baik untuk usaha penggemukan maupun pembibitan yang bernilai positif menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih tinggi dari harga sosialnya. Ini menunjukkan bahwa konsumen membeli daging sapi potong
dan bibit sapi di dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga internasional. Hal yang sama juga ditemukan oleh Perdana (2003) pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung dan Indrayani (2011) pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Hasil Output Transfer (OT) berhubungan erat dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio penerimaan harga privat dengan penerimaan harga sosial. Nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga dunia atau internasional. Berdasarkan Tabel 18 diperoleh
nilai Nominal Protection
Coefficient on Output (NPCO) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,29 sedangkan usaha pembibitan sebesar 1,18. Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu untuk kedua jenis usaha tersebut menerima harga lebih tinggi dari harga dunia (harga internasional). Harga Sapi Potong domestik di lokasi penelitian berkisar Rp.30.000 per kilogram berat hidup, sedangkan sapi impor hanya berkisar antara Rp.24.000 sampai dengan Rp.26.000 per kilogram berat hidup. Keadaan ini menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan produsen (peternak) dalam negeri. 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan pemerintah bukan hanya berlaku untuk output tapi juga mengenai kebijakan input. Kebijakan input biasanya dilakukan dengan pemberian subsidi input atau pajak dan hambatan perdagangan berupa tariff dan non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan melindungi produsen dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan harapan agar peternak sebagai pengguna input dapat menekan biaya produksinya. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input dapat dilihat melalui nilai Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI).
Tabel 19. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. No
Indikator
Nilai Penggemukan
Pembibitan
1.
Input Transfer (IT)
44.883
(92.067)
2.
Factor Transfer (FT)
73.606
112.046
3.
Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)
1,01
0,91
Ket: (Negatif) Indikator yang digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga input tradable dipasar adalah Input Transfer (IT). Jika Transfer Input lebih besar dari nol (IT>0) atau bernilai positif menunjukkan adanya kebijakan pemerintah berupa pajak yang akan mengurangi tingkat keuntungan peternak artinya produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya jika Transfer Input lebih kecil dari nol (IT<0) atau bernilai negatif, artinya ada subsidi pemerintah terhadap input tersebut sehingga peternak tidak membayar penuh sesuai dengan harga yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi akan menguntungkan produsen, dalam hal ini peternak sapi ppotong. Tabel 19 menunjukkan nilai Input Transfer (IT) atau transfer input untuk usaha penggemukan adalah sebesar Rp 44.883 sedangkan untuk usaha pembibitan minus sebesar Rp 92.067 Nilai Input Transfer (IT) usaha penggemukan bernilai positif, mengandung arti bahwa terdapat pajak yang menyebabkan keuntungan peternak berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak dan retribusi pada input tradable seperti sehingga harga privat untuk beberapa input seperiti sapi bakalan, obat-obatan dan mineral lebih tinggi dari harga sosialnya. Walaupun ada subsidi terhadap input tradable seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), tapi jumlahnya relatif lebih kecil. Nilai Input Transfer (IT) usaha pembibitan bernilai negatif mengindikasikan bahwa terdapat subsidi sehingga menyebabkan peternak menerima harga yang lebih rendah dari harga sosialnya. Subsidi terdapat pada Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merupakan salah satu input tradable yang porsinya cukup signifikan pada usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.
Penilaian kebijakan pemerintah terhadap input domestik (non tradable) seperti bibit, tenaga kerja, penyusutan alat dapat dilihat dari indikator Factor Transfer (FT). Factor Transfer (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Kebijakan ini dapat berupa subsidi positif dan negatif Tabel 19 menunjukkan bahwa Factor Transfer (FT) untuk usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu bernilai positif, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh peternak di Kabupaten Indragiri Hulu pada harga privat lebih besar dibanding dengan harga input non tradable
pada harga sosialnya. Artinya terdapat kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan petani harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya sebesar Rp 73.606. Disisi lain nilai Factor Transfer (FT) pada usaha penggemukan bernilai negatif. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh peternak pada tingkat harga privat lebih tinggi yaitu sebesar Rp112.046 daripada biaya input pada tingkat harga sosialnya. Artinya ada implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada peternak sehingga peternak menerima harga input faktor domestik lebih rendah dari yang seharusnya (harga internasional). Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Berdasarkan Tabel 19, nilai NPCI untuk usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu adalah sebesar 1,01, hal ini menunjukkan bahwa biaya input privat lebih tinggi 1 persen dari biaya yang seharusnya dibayarkan (input ditingkat harga dunia). Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan susidi yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan secara efektif. Kondisi yang berbeda terjadi pada usaha pembibitan dengan nilai NPCI sebesar 0,91 yang mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan atas input tradable yang menyebabkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Meskipun nilai NPCI kurang dari satu, namun nilainya relatif mendekati satu. Hal ini mengindikasikan adanya penyimpangan dalam kebijakan subsidi tersebut dimana
harga input tradable yang dipasarkan lebih mahal dari harga subsidi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada usaha pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu input yang disubsidi adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) dimana harga subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk bensin adalah Rp.4.500 per liter sedangkan harga di lokasi penelitian Rp.6.000. 5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output merupakan gabungan dari kebijakan input dan kebijakan input. Dampak kebijakan terhadap input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih atau Net Transfer (NT), Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP). Indikator-indikator ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Tabel 20 menyajikan nilai dari masing-masing indikator kebijakan pemerintah terhadap input-output. Tabel 20.
No.
Nilai Indikator Kebijakan Input-Output Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. Indikator
Nilai Penggemukan
Pembibitan
1,47
1,23
2.567.821
1.272.008
1.
Effective Protection Coefficient (EPC)
2.
Net Transfer (NT)
3.
Profitability Coefficient gan (PC)
5,79
2,59
4.
Subsidy Ratio to Producer (SRP).
0,28
0,18
Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif. Jika nilai EPC kurang dari satu (EPC<1), maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk produksi. Sebaliknya jika nilai EPC lebih besar satu (EPC>1), maka kebijakan tersebut berjalan secara efektif sehingga melindungi petani untuk berproduksi.
Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai Effective Protection Coefficient (EPC) lebih dari satu baik pada usaha penggemukan maupun usaha pembibitan sapi potong menunjukkan adanya perlindungan atau proteksi oleh pemerintah terhadap peternak. Nilai EPC yang lebih besar dari satu disebabkan oleh perbedaan harga jual harga sapi hidup yang berasal dari impor dengan harga aktual yang diterima peternak, baik kategori sapi potong maupun sapi bibit. Hal ini diduga karena pemerintah memberikan perlindungan terhadap peternak sapi lokal dengan memanfaatkan istrumen non-tariff, seperti ASUH dan SPS. Disamping itu juga adanya subsidi terhadap input tradable seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). Indikator yang mampu menjelaskan pengaruh dampak kebijakan terhadap surplus produsen (peternak sapi potong) adalah nilai Net Transfer (NT). Nilai transfer bersih (NT) yang diterima oleh
peternak pada usaha penggemukan
maupun usaha pembibitan sapi potong sama-sama bernilai positif. Artinya bahwa transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih besar dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Profitability Coefficient (PC) mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntung privat. Profitability Coefficient (PC) mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input tradable dan
input
domestik. Tabel 20 memperlihatkan nilai PC besar dari satu (PC>1) yaitu sebesar 5,79 pada usaha penggemukan dan 2,59 pada usaha pembibitan.
Angka ini
menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh peternak lebih besar dari harga sosialnya. Penerimaan pada usaha penggemukan lebih besar dari penerimaan usaha pembibitan, hal ini dikarenakan harga daging sapi dalam negeri jauh lebih tinggi dibanding harga sapi impor. Nilai Subsidy Ratio to Producer (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan
tingkat
penambahan
atau
pengurangan
penerimaan
atas
pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Tabel 20 menunjukkan SRP bernilai positif sebesar 0,28 pada usaha penggemukan dan sebesar 0,18 pada usaha pembibitan sapi potong. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan peternak di Kabupaten Indragiri Hulu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil 28 persen dan 18 persen dari opportunity cost untuk produksi pada usaha penggemukan dan pembibitan.
Keadaan ini jauh lebih baik dari usaha penggemukan di Kabupaten Agam Sumatera Barat yang dilakukan oleh Indrayani (2011) dimana nilai SRP untuk usaha penggemukan di daerah tersebut hanya sebesar 7,6 persen. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah seperti dengan mengurangi kuota impor sapi potong dan sapi bibit telah berjalan efektif. Berdasarkan dampak pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input output menunjukkan
bahwa
kebijakan
pemerintah
sudah
mulai
menunjukkan
keberpihakan terhadap peternak sapi potong walaupun belum signifikan. Hal ini sejalan dengan program swasembada daging 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah. Program swasembada daging tidak beroientasi semata-mata pada pemenuhan kebutuhan konsumen tetapi juga diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak dan kesinambungan usaha peternakan sapi serta meningkatkan daya saing produksi sehingga akhirnya akan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor. 5.1.4. Analisis Sensitivitas terhadap Daya saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah analisis yang dilakukan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan karena analisis dalam metode PAM merupakan analisis yang bersifat statis. Analisisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui kepekaan efisisensi dalam pengusahaan penggemukan dan pembibitan sapi potong terhadap perubahan pada input maupun output yang berpengaruh pada produksi ternak. Analisis sensititvitas yang akan dilakukan mencakup 3 skenario yaitu perubahan harga output, perubahan harga bahan bakar (BBM) dan penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit. Penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit seperti pelepah sawit yang telah diolah dengan teknologi mesin menyebabkan kenaikan ADG (Average Daily Gain) sapi potong. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cateris paribus). Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.
Skenario
Keuntungan Usaha
Keuntungan Usaha
Penggemukan
Pembibitan
Privat Kondisi Normal Penghapusan Tarif Bea Masuk 5 persen Harga BBM naik 15 persen Penggunaan pakan dari limbah sawit
Sosial
Privat
Sosial
3.104.332
536.511
2.072.007
799.999
3.104.332
(226.920)
2.072.007
515.136
3.075.982
536.511
1.963.407
799.999
3.284.332
716.511
2.792.007
1.351.999
3.284.332
(46.920)
2.792.007
1.067.136
Gabungan penghapusan tarif 5 persen dengan penggunaan pakan dari limbah sawit Tabel 21 menunjukkan bahwa apabila tarif bea masuk sapi potong sebesar 5 persen dihapuskan, menyebabkan menurun bahkan negatif. Nilai negatif mengindikasikan bahwa peternak mengalami kerugian jika ditingkat harga sosial pada usaha penggemukan sedangkan pada usaha pembibitan tetap mengalami keuntungan walaupun terjadi penurunan. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen maka keuntungan yang diperoleh oleh peternak juga mengalami penurunan walaupun. Jika pakan dari pelepah sawit yang diolah ditambahkan maka untuk usaha penggemukan dan pembibitan bisa menghemat biaya pakan hijauan sebesar 30 persen (Mathius, 2008). Dengan adanya penghematan biaya pada pakan maka keuntungan yang diterima oleh peternak meningkat. Apabila terjadi penghapusan tarif bea masuk 5 persen bersamaan dengan penggunaan pakan dari limbah sawit (pelepah) maka keuntungan privat usaha penggemukan masih positif sedangkan keuntungan sosial menjadi negatif atau merugi. Pada usaha pembibitan, baik keuntungan privat maupun sosial masih tetap positif.
Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing usaha penggemukan maupun pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu apabila terjadi perubahan harga output maupun input. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 22 Tabel 22. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. Indikator Daya Saing No.
Skenario
Penggemukan DRC
1
Kondisi Normal
2
Penghapusan Tarif Bea Masuk 5 persen
3
Harga BBM naik 15 persen
4.
Penggunaan pakan dari limbah sawit
5.
PCR
Pembibitan DRC
PCR
0,90
0,62
0,87
0,72
1,05
0,62
0,91
0,72
0,90
0,63
0,87
0,73
0,87
0,60
0,77
0,62
1,01
0,60
0,81
0,62
Gabungan penghapusan tarif 5 persen
dengan
penggunaan
pakan dari limbah sawit Tabel 22 menunjukkan bahwa kondisi yang sangat merugikan bagi peternak baik pada usaha penggemukan maupun pembibitan adalah adanya penghapusan tarif impor sapi potong sebesar 5 persen. Nilai DRC maupun PCR pada kedua jenis usaha juga mengalami kenaikan. Kenaikan nilai DRC menjadi 1,05 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan menjadikan usaha penggemukan tidak memiliki keunggulan komparatif lagi. Artinya, komoditas sapi potong tidak lagi efesien jika dilakukan di dalam negeri. Nilai PCR juga mengalami kenaikan walaupun nilainya masih di bawah satu,
tetapi hal ini
menyebabkan keunggulan kompetitif juga mengalami penurunan dari kondisi awal. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen menyebabkan nilai PCR mengalami kenaikan sebesar 1 persen. Walaupun hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap daya saing secara keseluruhan tetapi keuntungan privat peternak juga
mengalami penurunan. Kondisi ini tetap saja tidak berdampak baik terhadap usaha peternakan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu. Penggunaan pakan tambahan dari limbah kelapa sawit menyebabkan daya saing usaha penggemukan maupun usaha pembibitan meningkat. Nilai DRC pada usaha penggemukan turun sebesar 0,03, sedangkan pada usaha pembibitan turun sebesar 0,1 demikian juga halnya dengan nilai PCR menjadi turun yang mengindikasikan naiknya penerimaan. Apabila penghapusan tarif bea masuk sebesar 5 persen dilakukan bersamaan dengan penggunaan pakan limbah sawit, maka daya saing usaha penggemukan menjadi meningkat dari pada kondisi jika terjadi penghapusan tarif bea masuk saja walaupun nilai DRC masih lebih besar dari satu. Sedangkan pada usaha pembibitan, nilai DRC menjadi lebih kecil yaitu menjadi 0,81 yang mengindikasikan daya saingnya meningkat dari kondisi normal yaitu sebesar 0,87. Dari kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan pakan dari limbah sawit cukup efektif dalam usaha meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu khususnya pada usaha pembibitan. Jika terjadi penghapusan tarif bea masuk maka salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam mempertahankan daya saing adalah memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan pakan dari limbah sawit. Berikut ini juga dilakukan simulasi terhadap output maupun input yang menyebabkan kedua usaha baik penggemukan dan pembibitan dalam kondisi tidak berdaya saing. Tabel 23. Simulasi Afirmatif Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Indragiri Hulu No 1.
2.
Jenis Usaha Penggemukan
Pembibitan
Skenario
PCR
DRC
Harga output turun 6 persen
0,68
1,00
Harga Bakalan naik 8 persen
0,68
1,01
Harga output turun 11,5 persen
0,83
1,00
Biaya hijauan naik 37 persen
0,72
1,00
Dari Tabel 23 di atas bisa disimpulkan bahwa usaha penggemukan lebih sensitif terhadap penurunan harga output dibandingkan dengan usaha pembibitan. Hal ini bisa terlihat dari hasil simulasi, dimana pada usaha pembibitan sapi
potong, penurunan harga sapi potong sebesar 6 persen menyebabkan usaha tersebut tidak memiliki daya saing komparatif lagi. Sedangkan pada usaha pembibitan, penurunan harga output sampai 11,5 persen yang menyebabkan usaha tersebut kehilangan daya saingnya. Pada usaha penggemukan, sebesar 80,56 persen dari total biaya input dialokasikan untuk bakalan. Jika terjadi kenaikan harga bakalan minimal sebesar 8 persen maka usaha penggemukan tidak memiliki daya saing lagi, hal ini terlihat dari nilai DRC sebesar 1,01 (DRC>1). Pada usaha pembibitan biaya input yang pengaruhnya cukup signifikan terhadap keseluruhan struktur biaya input adalah biaya hijauan sebesar 38,73 persen. Jika terjadi kenaikan biaya untuk menghasilkan hijauan sebesar 37 persen maka usaha pembibitan tidak berdaya saing lagi karena nilai DRCnya lebih besar dari satu 5.1.5. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam usaha peternakan sapi potong masih belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap peternak. Usaha peternakan sapi potong hanya akan berkembang dan berdaya saing jika didukung dengan kebijakan yang kondusif. Berdasarkan hasil analisis PAM dan analisis sensitivitas yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa usaha peternakan yang dilakukan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif. Walaupun demikian, pemerintah sebaiknya juga harus tetap membuat kebijakankebijakan yang lebih memihak pada peternak, karena usaha ini cukup sensitif terhadap perubahan pada output maupun inputnya. Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan adalah mengurangi kuota impor daging sapi untuk mengatasi masalah harga output di dalam negeri. Sedangkan kebijakan dari segi input adalah dengan membantu memfasilitasi teknologi pengolahan pakan ternak untuk mengurangi biaya produksi khususnya pakan. Disamping itu pemerintah juga harus terus mendorong peternak untuk meningkatkan produksinya sehingga secara perlahanlahan ketergantungan terhadap sapi maupun daging impor bisa dikurangi. Salah satu program yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mensukseskan program swasembada daging sapi di Indonesia adalah program
integrasi tanaman ternak. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang berkomitmen menjalankan program integrasi tanaman ternak, khususnya tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit. Di beberapa daerah di Provinsi Riau seperti Kabupaten Siak, program ini sudah berjalan tetapi di Kabupaten Indragiri Hulu sendiri program ini belum dijalankan oleh peternak. Hal ini terkait dengan ketersediaan teknologi pengolahan pakan dari kelapa sawit. Kondisi ini seharusnya menjadi bagian dari kebijakan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka menopang potensi peternakan yang cukup besar khususnya di Kabupaten Indragiri Hulu. Disamping kebijakan terkait pakan, pemerintah juga harus mengoptimalkan pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi 2014. Dari hasil analisis, usaha pembibitan pada dasarnya kurang memberikan keuntungan pada peternak, tetapi usaha pembibitan memberi jaminan jangka panjang pada ketersediaan daging sapi di dalam negeri. Untuk itu pemerintah harus selalu mendorong masyarakat untuk terus melanjutkan usaha ini dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat khususnya peternak. 5.2. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu 5.2.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin Usaha budidaya ikan patin yang dilakukan oleh masayarakat Indragiri Hulu yang akan dibahas di sini adalah usaha budidaya berupa pembesaran di kolam. Usaha yang akan dianalisis dibedakan menjadi dua kelompok khusus yaitu budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan komersial (pelet) dan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif. Pakan alternatif yang dimaksud disini adalah yang diusahakan sendiri oleh petani pembudidaya seperti usus ayam, keong yang dicampur dengan daun pepaya dan lain sebagainya. Usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet dilakukan rata-rata selama 8 bulan per kali panen, sedangkan usaha yang menggunakan pakan alternatif rata-rata masa budidayanya selama 9 bulan. Luas kolam rata-rata yang digunakan pada usaha budidaya pakan pelet adalah 520 meter persegi sedangkan usaha budidaya dengan pakan alternatif adalah 671 meter persegi. Untuk
mendapatkan hasil yang tidak bias maka luas lahan yang dijadikan analisis dikonversi menjadi 500 meter persegi. Untuk mengukur tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya patin ini sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Pada Tabel 24 disajikan rata-rata penerimaan dan komponen biaya usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu per 500 meter persegi. Jumlah produksi bersih untuk usaha budidaya dengan menggunakan pakan pelet sebesar 1.794 kg, sedangkan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 2.410,5 kg. Perbedaan jumlah produksi ini terjadi karena perbedaan jangka waktu budidaya, dimana usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih lama dibandingkan dengan usaha dengan pakan pelet. Tabel 24. Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Konversi 500 M2 Pakan Pelet Pakan Alternatif Uraian
Jumlah (Rp) Porsi (%) Per 8 Bulan
Jumlah (Rp) Per 9 Bulan
Porsi (%)
38.568.000
Penerimaan
28.704.000
Biaya 1. Benih 2. Pelet 3. Pakan Alternatif 4. Tenaga Kerja 5. Obat-obatan 6. Kapur 7. Garam 8. Urea 9. Pemeliharaan Kolam 10. Serok 11. Ember 12. Peralatan lain-lain
2.040.000 16.200.000 125.000 2.800.000 91.500 60.000 25.000 80.000 225.000 50.000 20.000 83.333
9,36 74,32 0,57 12,85 0,42 0,28 0,11 0,37 1,03 0,23 0,09 0,38
1.735.989 3.524.568 2.648.572 5.400.000 84.535 60.000 25.000 85.714 271.429 50.000 20.000 40.000
12,45 25,28 18,99 38,73 0,61 0,43 0,18 0,61 1,95 0,36 0,14 0,29
Total
21.798.233
100
13.944.093
100
Keuntungan
6.905.767
24.623.907
Tabel 24 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan pada usaha budidaya ikan patin baik yang menggunakan sebagian besar pakan pelet maupun sebagian besar pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha budidaya dengan pakan pelet biaya terbesar dialokasikan untuk pakan itu sendiri yaitu sebesar 74,32 persen, sedangkan untuk usaha budidaya ikan patin dengan pakan alternatif biaya terbesar diserap oleh tenaga kerja yaitu sebesar 38,73 persen. Untuk usaha budidaya dengan pakan pelet rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode budidaya adalah Rp. 21.798.233, sedangkan pada usaha yang menggunakan pakan alternatif rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode budiaya (pembesaran) sebesar Rp. 13.944.093. Salah satu faktor yang menyebabkan besarnya biaya pada usaha budidaya dengan pakan pelet adalah karena besarnya jumlah pakan yang harus disediakan selama satu kali periode pembesaran serta harga pakan yang tergolong mahal yaitu sebesar Rp.300.000 per karung (40 Kg). Sedangkan pada budidaya dengan pakan alternatif, biaya pakan untuk pelet bisa dihemat hampir 50 persen. Proporsi biaya berikutnya pada usaha budidaya dengan pakan pelet adalah tenaga kerja yaitu sebesar 12,85 persen. Untuk budidaya dengan pakan alternatif biaya berikutnya sebesar 25,28 persen digunakan untuk biaya pakan pelet. Budidaya dengan pakan alternatif rata-rata hanya menggunakan pelet sebagai pakan pada 3 bulan pertama periode pembesaran, sisanya menggunakan pakan alternatif seperti usus ayam, campuran keong dan daun pepaya yang biayanya relatif jauh lebih murah. Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan pada usaha baik pada budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif adalah biaya peralatan ember yaitu hanya sebesar 0,09 persen dan 0,14 persen. Penerimaan yang dihasilkan oleh usaha dengan pakan altrnatif jauh lebih besar dibandingkan dengan usaha dengan pakan pelet, dimana usaha dengan pakan altrnatif menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 24.623.907 selama satu periode pembesaran. Sedangkan pada usaha dengan pakan pelet selama satu periode budidaya hanya menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 6.905.767. Perbedaan keuntungan yang cukup mencolok ini disebabkan karena besarnya biaya untuk pakan pada usaha budidaya dengan pakan pelet yang mencapai hampir 75 persen dari total biaya. Disamping itu budidaya dengan pakan pelet
hanya dilakukan rata-rata selama 8 bulan sedangkan usaha dengan pakan alternatif rata-rata 9 bulan sehingga hasil produksi budidaya dengan pakan alternatif relatif lebih besar. Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau dampak intervensi pemerintah pada berbagai aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistematis. Salah satu bentuk keluarannya adalah nilai keuntungan privat dan sosial. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh petani dalam usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu, dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005). Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005). Tabel 25 adalah Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) dari usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indaragiri Hulu baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif
Tabel 25. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. Keterangan
Penerimaan
Budidaya Pakan Pelet Harga Privat 28.704.000 Harga Sosial 17.901.160 Dampak 10.802.840 Kebijakan Budidaya Pakan Alternatif Harga Privat 38.568.000 Harga Sosial 24.052.813 Dampak 14.515.187 Kebijakan
Biaya (Rp/500 m2) Input Faktor Tradable Domestik
Keuntungan
15.068.960 11.966.454 3.072.506
6.729.273 6.294.403 434.870
6.905.767 -524.498 7.430.265
3.353.214 2.553.155 800.059
10.590.878 10.161.219 429.659
24.623.908 11.157.314 13.466.594
Hasil analisis pada Tabel 25 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual) usaha budidaya ikan patin baik dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan secara privat untuk kedua jenis usaha budidaya yang bernilai positif. Sedangkan hasil analisis pada tingkat harga sosial menunjukkan bahwa usaha dengan pakan pelet tidak menguntungkan sebaliknya pada usaha dengan pakan alternatif masih tetap menguntungkan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan sumberdaya pada usaha budidaya dengan pakan pelet belum efektif serta belum bisa bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan dari pemerintah. 5.2.2. Analisis Daya Saing Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, digunakan dua pendekatan yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resources Ratio (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator rasio biaya privat atau Private Cost Ratio (PCR).
Tabel 26. Domestic Resources Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. Nilai No.
Indikator
Pakan Pelet
Pakan Alternatif
1.
Domestic Resources Ratio (DRC)
1,07
0,47
2.
Private Cost Ratio (PCR)
0,49
0,30
Tabel 26 menunjukkan nilai Domestic Resources Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. 5.2.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan finansial sebuah usahatani. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator Private Cost Ratio (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga yang terjadi di pasar yang telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai Private Cost Ratio (PCR) merupakan rasio antara biaya input non tradable atau faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR yang kurang dari satu (PCR<1) menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan efisien secara finansial. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Tabel 26 meunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya ikan patin dengan pakan pelet adalah sebesar 0,49 sedangkan untuk usaha budidaya dengan pakan pelet sebesar 0,30. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0,49 untuk budidaya dengan pakan pelet dan sebesar 0,30 untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif. Nilai PCR usaha budidaya dengan pakan alternatif
lebih kecil dibanding usaha budidaya dengan pakan pelet, hal ini
menunjukkan bahwa usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih kompetitif dibanding dengan budidaya dengan pakan pelet. Hal ini disebabkan karena biaya tradable yang harus dikeluarkan untuk usaha budidaya dengan pakan pelet lebih
besar lebih besar dibanding budidaya dengan pakan alternatif terutama untuk biaya pakan berupa pelet itu sendiri. 5.2.2.2.Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif digunakan untuk mengukur kelayakan secara ekonomi yakni menilai aktivitas ekonomi masyarakat secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Indikator yang digunakan
untuk mengukur keunggulan komparatif adalah Domestic
Resources Ratio (DRC). DRC adalah rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya atau pada tingkat harga tanpa adanya intervensi Nilai DRC yang kurang dari satu (DRC<1) menunjukkan bahwa sistem usahatani efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa intervensi dari pemerintah. Dari Tabel 26 diketahui bahwa nilai DRC usaha budidaya ikan patin dengan pakan pelet di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,07 sedangkan usaha budidaya dengan pakan alternatif sebesar 0,47. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada usaha budidaya pakan pelet dan pakan alternatif untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah output dibutuhkan 1,07 dan 0,47 satuan biaya input domestik. Hal ini juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor patin, jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu membutuhkan biaya US$1,07 jika budidaya dilakukan dengan menggunakan sebagian besar pakan berupa pelet. Artinya, pada kondisi ini ikan patin lebih baik diimpor dibandingkan diproduksi di dalam negeri dalam rangka penghematan sumberdaya domestik. Dengan kata lain usaha budidaya dengan menggunakan sebagian pakan pelet tidak mempunyai keunggulan komparatif. Sedangkan jika usaha budidaya dilakukan dengan menggunakan sebagaian besar pakan alternatif hanya membutuhkan biaya US$0,47. sehingga lebih baik diproduksi sendiri di dalam negeri dan bisa dilakukan penghematan devisa. Untuk melindungi produsen patin dalam negeri sebenarnya pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan diantaranya menghapuskan pajak impor bahan baku pakan. Sejak awal tahun 2012 pemerintah telah melarang impor patin dari Vietnam untuk melindungi produsen serta mendorong produksi dalam negeri. Hasil analisis pada Tabel 26 juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara nilai PCR dan nilai DRC usaha budidaya dengan
sebagian besar pakan pelet. Dimana nilai PCR sebesar 0,47 sedangkan nilai DRC sebesar 1,07, hal ini terjadi karena harga ikan patin di pasar internasional jauh di bawah harga di lokasi penelitian. Pada tahun 2011 harga rata-rata ikan patin di pasar dunia hanya sekitar US$ 1.00 atau hanya sekitar Rp 9.000 sedangkan harga ikan patin di lokasi penelitian rata-rata sebesar Rp 16.000. Disamping itu struktur biaya produksi tidak efesien khususnya input pakan, dimana sebagian besar pakan yang digunakan adalah pakan komersial (pelet) yang harganya cukup tinggi. Harga pakan ikan di lokasi penelitian berkisar antara Rp 7.500 sampai dengan Rp 10.000 per kilogram, sedangkan harga pakan ikan di negara penghasil utama ikan patin (Vietnam) hanya sekitar Rp 3.000 sampai dengan Rp 5.000 per kilogram.
5.2.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Dampak kebijakan pemerintah dapat diiidentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM. Analisis dampak kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap beberapa hal yaitu: kebijakan yang memengaruhi harga input, kebijakan yang memengaruhi harga output, serta kebijakan yang memengaruhi baik harga input maupun output. 5.2.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output atau Output Transfer (OT) dan nilai Koefisien Proteksi Output Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Transfer Output atau Output Transfer (OT) merupakan selisih antara penerimaan pada harga privat dengan harga sosial. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output berdasarkan harga privat dan harga sosial. Nilai Output Transfer (OT) dan nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011. Nilai No.
Indikator
Pakan Pelet
1.
Output Transfer (OT)
2.
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO)
Pakan Alternatif
10.802.840
14.515.187
1,62
1,62
Tabel 27 menunjukkan bahwa hasil Output Transfer (OT) baik untuk usaha budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif bernilai positif. Hal ini menunjukkan adanya dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih tinggi dari harga sosialnya. Artinya, bahwa konsumen membeli ikan patin di dalam negeri dengan
harga yang lebih tinggi dibanding harga
internasional. Hasil Output Transfer (OT) berhubungan erat dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio penerimaan harga privat dengan penerimaan harga sosial. Nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga dunia atau internasional. Berdasarkan Tabel 27 diperoleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usaha budidaya ikan patin baik untuk budidaya pakan pelet maupun pakan alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu sama yaitu sebesar 1,62.
Hasil ini menunjukkan bahwa petani pembudidaya patin di
Kabupaten Indragiri Hulu untuk kedua jenis usaha tersebut menerima harga lebih tinggi dari harga dunia (harga internasional). Harga patin segar ditingkat petani di lokasi penelitian berkisar antara Rp.15.000 sampai dengan Rp.17.000 per kilogram, sedangkan harga fillet patin impor hanya berkisar antara Rp.24.000 sampai dengan Rp.25.000 per kilogram atau hanya berkisar antara Rp.8.000 sampai dengan Rp.9.000 per kilogram patin segar. Keadaan ini menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan produsen (petani patin) dalam negeri.
5.2.3.2.Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan input biasanya dilakukan dengan pemberian subsidi input atau pajak dan hambatan perdagangan berupa tariff dan non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan melindungi produsen dalam negeri. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input dapat dilihat melalui nilai Transfer Input atau Input Transfer (IT), Transfer Faktor atau Factor Transfer (FT) dan Koefisien Proteksi Input Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). Tabel 28. Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. Nilai No.
Indikator
1.
Input Transfer (IT)
2.
Factor Transfer (FT)
3.
Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)
Pakan Pelet
Pakan Alternatif
3.072.506
800.059
434.870
429.659
1,26
1,31
Tabel 28 menunjukkan nilai Input Transfer (IT) atau transfer input untuk usaha budidaya patin dengan pakan pelet adalah sebesar Rp.3.072.506. Sedangkan untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif hanya sebesar Rp. 800.059. Nilai Input Transfer (IT) untuk kedua jenis usaha yang bernilai positif mengandung arti bahwa terdapat pajak yang menyebabkan keuntungan petani pembudidaya berkurang. Salah satu pajak yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap input tradable yaitu PPN pada pakan pelet. Factor Transfer (FT) merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktorfaktor produksi yang tidak diperdagangkan. Kebijakan ini dapat berupa subsidi positif dan negatif. Tabel 28 menunjukkan bahwa Factor Transfer (FT) untuk usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu bernilai positif, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh petani pembudidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu pada harga privat lebih besar dibanding dengan
harga input non tradable
pada harga sosialnya. Artinya terdapat kebijakan
pemerintah yang mengakibatkan petani harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya sebesar Rp.434.870 pada usaha budidaya dengan pakan pelet dan Rp.429.659 pada budidaya dengan pakan alternatif. Koefisien Proteksi Input Nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Berdasarkan Tabel 28, nilai NPCI untuk usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu adalah sebesar 1,26 untuk budidaya dengan pakan pelet dan 1,31 untuk usaha dengan pakan alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa biaya input privat rata-rata lebih tinggi 30 persen dari biaya yang seharusnya dibayarkan (input ditingkat harga dunia). Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan susidi yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan secara efektif. 5.2.3.3.Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Dampak kebijakan terhadap input-output dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC), Transfer Bersih atau Net Transfer (NT), Koefisien Keuntungan atau Profitability Coefficient (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP). Indikatorindikator ini menggambarkan sejauhmana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Tabel 29 menyajikan nilai dari masing-masing indikator kebijakan pemerintah terhadap input-output. Tabel 29. Nilai Indikator Kebijakan Input-Output Usaha Budiaya Ikan Patin Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.] Nilai No.
Indikator
1.
Effective Protection Coefficient (EPC)
2.
Net Transfer (NT)
3.
Profitability Coefficient (PC)
4.
Subsidy Ratio to Producer (SRP).
Pakan Pelet
Pakan Alternatif
2,31
1,64
7.295.464
13.285.469
-17,72
2,17
0,41
0,55
Nilai EPC menggambarkan sejauhmana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif. Jika nilai EPC kurang dari satu (EPC<1), maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif atau menghambat produsen untuk produksi. Sebaliknya jika nilai EPC lebih besar satu (EPC>1), maka kebijakan tersebut berjalan secara efektif sehingga melindungi petani untuk berproduksi. Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai koefisien proteksi efektif atau Effective Protection Coefficient (EPC) lebih dari satu baik pada usaha budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif menunjukkan adanya perlindungan atau proteksi oleh pemerintah terhadap petani. Nilai EPC yang lebih besar dari satu disebabkan oleh perbedaan harga jual patin impor dengan patin yang diproduksi di dalam negeri. Disamping itu juga adanya subsidi terhadap input tradable seperti pupuk Urea. Nilai transfer bersih atau Net Transfer (NT) yang diterima oleh petani pada usaha budidaya dengan pakan pelet maupun dengan pakan alternatif juga samasama bernilai positif. Artinya bahwa transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih besar dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Koefisien profitabilitas atau Profitability Coefficient (PC) mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntung privat. Koefisien profitabilitas (PC) mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input tradable dan input domestik. Tabel 29 memperlihatkan nilai PC sebesar minus 17,72 pada usaha budidaya dengan pakan pelet. Angka ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh petani pembudidaya dengan pakan pelet lebih besar dari harga sosialnya. Nilai PC yang minus terjadi karena harga patin ditingkat dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga patin di dalam negeri. Nilai PC untuk usaha budidaya dengan pakan alternatif lebih besar dari satu yaitu sebesar 2,17. Hal ini juga menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima petani pembudidaya patin juga lebih tinggi dari harga sosialnya. Nilai rasio subsidi bagi produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan
pemerintah. Nilai SRP pada budidaya dengan pakan pelet positif sebesar 0,41 sedangkan pada budidaya dengan pakan alternatif sebesar 0,55. Hal
ini
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini petani pembudidaya patin di Kabupaten Indragiri Hulu mengeluarkan biaya produksi lebih kecil 41 persen dan 51 persen dari opportunity cost untuk produksi pada budidaya dengan pakan pelet dan pakan alternatif. Jadi secara keseluruhan kebijakan pemerintah menguntungkan petani pembudidaya ikan patin. 5.2.4. Analisis Sensitivitas Terhadap Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Berbagai perubahan pada kebijakan pemerintah atau faktor eksternal lainnya akan menyebabkan perubahan pada struktur biaya maupun keuntungan yang akan diterima oleh petani. Analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk melihat perubahan-perubahan tersebut. Matriks analisis kebijakan (PAM) mempunyai keterbatasan yaitu merupakan analisis yang bersifat statis sehingga memerlukan simulasi kebijakan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di dalam sistem perekonomian yang dinamis. Analisis sensitivitas yang dilakukan meliputi penurunan harga output (ikan patin) serta penghapusan PPN pakan. Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan 3 skenario yang mencakup penurunan harga output sebesar 25 persen, penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen dan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 5,5 persen. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cateris paribus). Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan harga output ikan patin sebesar 25 persen, menyebabkan petani pembudidaya ikan patin yang menggunakan pakan pelet menjadi merugi sebesar Rp.270.233. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan ikan patin dengan menggunakan pakan pelet sangat sensitif terhadap perubahan harga. Sedangkan apabila terjadi penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen, menyebabkan keuntungan budidaya dengan pakan pelet meningkat sebesar 24 persen. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi
maka keuntungan sosial akan meningkat baik pada usaha dengan budidaya pelet maupun budidaya dengan pakan alternatif. Tabe 30. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011.
Skenario
Kondisi Normal Harga output turun 25 persen Penghapusan
PPN
Pakan 10 persen Depresiasi
rupiah
sebesar 5,5 persen
Keuntungan dengan
Keuntungan dengan
Pakan Pelet
Pakan Alternatif
Privat
Sosial
Privat
Sosial
6.905.767
(389.697)
24.623.908
11.338.439
(270.233)
(389.697)
14.981.907
11.338.439
8.525.767
(389.697)
24.976.364
11.338.439
6.905.767
586.288
24.623.908
12.335.941
Kondisi berbeda ditunjukkan oleh usaha budidaya ikan patin dengan pakan alternatif. Jika terjadi penurunan harga ikan patin sebesar 25 persen, keuntungan privat yang diterima petani masih cukup besar walaupun terjadi penurunan dari harga normal. Sedangkan jika terjadi penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen, hal ini tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan keuntungan privat petani karena penggunaan input pelet jumlahnya sedikit. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,5 persen maka keuntungan sosial budidaya dengan pakan pelet menjadi positif, sedangkan keuntungan usaha budidaya dengan pakan alternatif meningkat sebesar 8,8 persen. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing usaha budidaya ikan patin apabila terjadi perubahan harga output maupun input. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011. Indikator Daya Saing No.
Skenario
1
Kondisi Normal
2
Harga output turun 25 persen
3
Penghapusan PPN pakan 10 persen
4.
Depresiasi rupiah sebesar 5,5 persen
Pakan Pelet
Pakan Alternatif
DRC
PCR
DRC
PCR
1,09
0,49
0,48
0,30
1,09
1,04
0,48
0,41
1,09
0,44
0,48
0,30
0,92
0,49
0,45
0,30
Tabel 31 menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan
petani
pembudidaya ikan patin pada kondisi tidak berdaya saing dan paling sensitif terhadap perubahan daya saing adalah ketika harga ikan patin turun sebesar 25 persen. Penurunan harga output 25 persen menyebabkan nilai PCR menjadi lebih besar, yang artinya keungulan kompetitif semakin menurun baik pada usaha budidaya dengan pelet saja maupun dengan pakan alternatif.
Sedangkan
penghapusan PPN pakan menyebabkan keunggulan kompetitif meningkat tetapi tidak cukup signifikan karena penurunan nilai PCR untuk kedua jenis usaha tidak terlalu besar. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,5% maka nilai DRC kedua jenis usaha mengalami penurunan dengan kata lain daya saingnya meningkat Berikut ini juga dilakukan simulasi terhadap output maupun input yang menyebabkan usaha budidaya menggunakan sebagian besar pakan pelet dan sebagian pakan alternatif tidak berdaya saing. Simulasi afirmatif terhadap usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Simulasi Afirmatif Usaha Budiaya Ikan Patin Di Kabupaten Indragiri Hulu No
Jenis Usaha
1
Pakan Pelet
Skenario Kondisi Normal Harga patin di pasar internasional naik sebesar 2,5 persen Harga pakan pelet turun sebesar 3,5 persen
2.
Pakan
Kondisi Normal
Alternatif
Harga patin di pasar internasional turun sebesar 47 persen Harga patin di lokasi penelitian turun sebesar 64 persen Biaya input total naik sebesar 88 persen
PCR
DRC
0,49
1,09
0,49
0,99
0,47
0,99
0,48
0,30
0,49
1,00
1,00
1,00
0,62
1,00
Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa pada kondisi normal usaha usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet komersial pada kondisi normal tidak memiliki daya saing. Penurunan harga ikan patin di pasar internasional minimal sebesar 2,5 persen bisa meningkatkan daya saing usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet, ini terlihat dari nilai DRC menjadi 0,99. Peningkatan daya saing juga bisa terjadi pada kondisi harga pakan pelet turun minimal sebesar 3,5 persen. Jadi bisa disimpulkan bahwa usaha daya saing usaha budidaya yang menggunakan pakan pelet komersial sangat tergantung pada harga patin di pasar dunia dan harga input pakan. Kondisi yang jauh berbeda terjadi pada usaha budidaya dengan menggunakan sebagian besar pakan alternatif, dimana usaha tersebut memiliki daya saing yang cukup tinggi. Kondisi yang menyebabkan usaha ini tidak berdaya saing hanya apabila terjadi penurunan harga ikan patin di pasar internasional sebesar 47 persen atau penurunan harga di pasar lokal sebesar 64 persen. Kondisi lainnla jika terjadi peningkatan biaya input sebesar 88 persen, karena penggunaan input pada usaha ini pada kondisi normal sangat efesien terutama biaya pakan.
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian yang mengacu pada hasil dan pembahasan pada penelitian ini, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah : 1.
Usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing baik usaha penggemukan maupun usaha pembibitan. Daya saing usaha penggemukan lebih rendah dibandingkan usaha pembibitan, hal ini disebabkan oleh tingginya harga bakalan. Sementara Usaha budidaya ikan patin yang menggunakan pakan pelet tidak memiliki daya saing disebabkan karena biaya input yang cukup tinggi terutama pakan. Sedangkan usaha budidaya dengan menggunakan sebagian besar pakan alternatif memiliki daya saing yang cukup tinggi
2.
Kebijakan yang telah dilakukan pemerintah terhadap
input-output pada
usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu telah berjalan efektif sehingga memberikan dampak yang positif terhadap peternak dan petani pembudidaya ikan patin 3.
Penghapusan tarif bea masuk 5 persen dan kenaikan harga BBM 15 persen sama-sama menyebabkan penurunan daya saing pada usaha peternakan di Kabupaten Indragiri Hulu. Penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit menyebabkan daya saing usaha peternakan mengalami peningkatan. Penurunan harga ikan patin sebesar 25 persen menyebabkan penurunan daya saing terutama pada usaha budidaya yang menggunakan pakan pelet. Penghapusan PPN pakan ikan menyebabkan daya saing usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragir Hulu meningkat
6.2. Implikasi Kebijakan 1.
Penghapusan tarif impor menyebabkan usaha penggemukan dalam negeri kehilangan daya saingnya, untuk menghadapi kondisi ini maka pemerintah perlu mencari solusi sesegera mungkin sebelum tahun 2020, salah satunya adalah dengan memberi subsidi bibit ataupun bakalan pada peternak dalam negeri.
2.
Terkait dengan masalah pakan ternak, pemerintah daerah seharusnya lebih mengefektifkan lagi program integrasi tanaman sawit-ternak dengan cara memberikan bantuan teknologi mesin pengolahan pakan. Dengan tersedianya teknologi pengolahan pakan diharapkan biaya input pakan bisa ditekan sehingga keuntungan yang diterima peternak lebih besar.
3.
Permasalahan yang dihadapi oleh usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri hulu diantaranya adalah harga yang cenderung berfluktuasi. Untuk mengatasi masalah ini seharusnya pemerintah daerah memberikan solusi seperti dengan mendorong terbentuknya kelembagaan lokal seperti koperasi yang bisa mewadahi usaha budidaya patin masyarakat. Di samping itu juga membantu memfasilitasi kegiatan off farm sehingga ikan patin yang dijual sudah dalam bentuk olahan sehingga nilai tambah yang diterima petani menjadi lebih besar.
4.
Rendahnya daya saing usaha budidaya ikan patin, khususnya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet disebabkan oleh mahalnya harga pakan. Hal ini terkait dengan bahan baku pakan ikan yang sebagian besar masih berasal dari impor. Oleh karena itu pemerintah harus mengarahkan petani agar beralih kepakan alternatif yang berbahan baku lokal. Untuk daerah Indragiri Hulu sendiri bahan baku pakan ikan yang bisa digunakan karena ketersediaannya cukup banyak yaitu bungkil kelapa sawit. Pemerintah juga harus membantu memfasilitasi pengadaan teknologi pengolahan pakan tersebut.
5.
Bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan daya saing sapi potong disarankan untuk melakukan penelitian untuk usaha ternak sapi potong yang menggunakan bakalan maupun bibit sapi lokal dan dengan sistem ranch murni ataupun semi intensif. Sedangkan untuk penelitian yang berkaitan dengan daya saing budidaya ikan patin disarankan untuk melakukan penelitian untuk usaha yang dilakukan di keramba.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., M. Gunawan, N. Ilham, K.D. Saktyanu dan I. Sadikin. 1997. Prospek dan Kendala Agribisnis Sapi Potong di Indonesia Memasuki Era Globalisasi Ekonomi. Dalam Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor Ali, G. dan Khan, Noor P. 2012. Goverment Intervention in Pakistan Sugarcane Sector Policy Analisys Matrix (PAM) Approach. Sarhad J. Agric 28(1): 103-97 Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2011. Riau Dalam Angka. Pekanbaru Badan Pusat Statistik Kabupaten Indragiri Hulu. 2011. Indragiri Hulu Dalam Angka. Pematang Reba Bank Indonesia. 2011. Indikator Aktivitas Ekonomi Terpilih. Jakarta Cehyan, V. dan K. Hazneci 2010. Economic Efficiency of Cattle Fattening in Amasya Province, Turkey. Journal of Animal and Veterinary Advances. 9(1):60-69 Dewanata, O.P. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut (Studi Kasus Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu. 2011. Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Perikanan 2009-2011. Pematang Reba Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2011. Statistik Perikanan Budidaya. Jakarta Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Jakarta Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Serta Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusasaan Tanaman Pangan di Propinsi Riau. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Esmaeili, A. 2008. Measuring Competitiveness of Shrimp Farming in Southern Iran: Using PAM Approach. World Applied Science Journal 4(5):724-729 Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. UI-Press dan John Hopkins, Jakarta
Ilham, N. 2007. Alternatif Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 4(5) : 335-357 Indrayani, Ida. 2011. Analisis Produksi dan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Kadariah, L., Karlina, dan C. Gray. 1978. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi 1. FE UI Press, Jakarta. Kementrian Perikanan dan Kelautan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Jakarta Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Indoaqua-Fita 2010: Pacu Produksi Perikanan Budidaya untuk Ketahanan Pangan. Siaran Pers No.B.76/PDSI/HM.310/VI/2012. www.kkp.go.id Diakses 22 Juni 2012 Kementrian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementrian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementrian Pertanian, Jakarta Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2000. International Economics. Addison-Wesley Publishing Company, Boston Mastuti, I.D. 2011. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus: Perusahaan Deddy Fish Farm). Skripsi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor Mathius, I.W. 2008. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Industri Kelapa Sawit. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 1(2): 206-224 Mohanty S, Fang C, Chaudhari J. 2003. Assessing The Competitiveness of Indian Cotton Production. A PAM Approach. The Journal of Cotton Science 7:65-74. Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca Nalle, A.A. 1996. Dampak Pengawasan Ternak Sapi Potong Terhadap Keragaan Sosial Ekonomi dan Wilayah Nusa Tenggara Timur. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Nefri, J. 200. Optimalisasi dan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga
Novianti, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Oktaviani, R. dan Novianti, T. 2009. Teori Perdagangan Internasional dan Aplikasinya Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Bogor. Pearson, S., C. Gotsch dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Perdana, T. 2003. Competitiveness and Comparatif Advantage of Beef Cattle Fattening in Bandung Regency. Research Neetwork. http://www.standford.edu/group/FRI/indonesia/html Diakses 10 April 2012 Porter, M.E. 1991. Strategi Bersaing. Terjemahan. Jakarta: Erlangga Prabowo, A.Y. 2007. Budidaya Sapi Potong. Artikel Web Blog 2007. http://teknis-budidaya.blogspot.com Diakses 19 Juni 2012 Prahasta, A., dan H. Masturi. 2008. Budidaya – Usaha – Pengolahan Agribisnis Ikan Patin. CV Pustaka Grafika, Bandung Prawitasari, S. 2009. Analisis Daya Saing Komoditas Benur HSRT Dalam Prospek Pembangunan Perikanan di Kabupaten Situbondo. Agritop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. http://isjd.pii.lipi.go.id Diakses 10 Mei 2012 Salvatore, D. dan E.A. Diulio. 2004. Prinsip-prinsip Ekonomi. Jakarta: Erlangga Simatupang, P. dan P.U.Hadi. 2004. Daya Saing Usaha Peternakan Menuju 2020. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Buletin Ilmu Peternakan Siregar, S.B. 2009. Penggemukan Sapi. Jakarta: Penebar Swadaya Sunandar, Nandang. 2006. Keunggulan Komparatif Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Gunung Kidul. Agros.8:43-45 Suprapto, 2005. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Ekspor Ikan Hias DKI Jakarta di Pasar Internasional. Bulletin Penelitian 8. Susanto, Heru. 2009. Pembenihan dan Pembesaran Patin. Jakarta: Penebar Swadaya Yao, S. 1997. Rice Production in Thailand Seen Through A Policy Analysis Matrix. Food Policy Journal 22(6): 547-560 Website Resmi Pemerintah Provinsi Riau. 2011. Inhu Dirancang jadi Sentra Ternak Riau. http://www.riauprov.go.id/ Diakses 15 Mei 2012
Website Resmi Pemerintah Provinsi Riau. 2011. Program Pengembangan Ternak Pemprov Dapat Respon Luar Biasa. http://www.riauprov.go.id/ Diakses 20 Juni 2012 Widodo, S. 2006. Keunggulan Komparatif Usaha Sapi Potong di Kabupaten Bantul. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006, Yogyakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (PDB) atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (2007-2011) Lapangan Usaha 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan dan hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan a. Industri Migas b. Industri Bukan Migas 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa Produk Domestik Bruto Sumber: BPS, 2012
2007 13,8
2008 13,7
2009 2010* 13,6 13,2
2011** 12,7
6,8 2,2 1,7 0,8 2,2 8,7 27,4 2,4 25,0 0,7 6,2 17,3
6,8 2,2 1,7 0,8 2,2 8,3 26,8 2,3 24,5 0,7 6,3 17,5
6,8 2,1 1,7 0,8 2,2 8,3 26,2 2,2 24,0 0,8 6,4 16,9
6,6 2,0 1,7 0,8 2,2 8,1 25,8 2,0 23,8 0,8 6,5 17,3
6,2 2,0 1,6 0,7 2,2 7,7 25,8 2,0 23,9 0,8 6,5 17,8
7,3 9,4
8,0 9,6
8,8 9,6
9,4 9,6
9,8 9,6
9,3 100
9,3 100
9,4 100
9,4 100
9,4 100
Lampiran 2. Alokasi Komponen Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing Tabel Alokasi Biaya Produksi Usaha Peternakan Sapi Potong Jenis Biaya
Komponen Tradable (%) 50.00
Komponen Domestik (%) 50.00
Hijauan
0.00
100.00
Ampas Tahu
0.00
100.00
80.00
20.00
Tenaga Kerja
0.00
100.00
Obat-obatan
80.00
20.00
Urea
33.70
64.30
Kandang
0.00
100.00
Peralatan
0.00
100.00
Sewa lahan
0.00
100.00
64.92
35.08
Sapi bakalan
Mineral
Bensin Sumber: Indrayani, 2011
Tabel Alokasi Biaya Produksi Usaha Budidaya Patin Jenis Biaya Komponen Tradable (%) Bibit 0.00 Pelet
Komponen Domestik (%) 100.00
92.40
7.60
Pakan Alternatif
0.00
100.00
Tenaga Kerja
0.00
100.00
Obat-obatan
80.00
20.00
Sewa lahan
00.00
100.00
Penyusutan Peralatan
0.00
100.00
Kapur
0.00
100.00
Bensin
64.92
35.08
Sumber: Tabel Input-Output 2005 dalam Mastuti 2011
Lampiran 3. Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011 PERHITUNGAN STANDAR CONVERTION FACTOR DAN SHADOW PRICE EXCHANGE RATE, TAHUN 2011 URAIAN NILAI (Rp Milyar) Total Ekspor (Xt) 1785229,8 Total Impor (Mt) 1554489,3 Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) 25439 Penerimaan Pajak Impor (TMt) 21501 Nilai Tukar Rupiah /US$ (OER) 8775 Xt + Mt 3339719,1 Xt -TXt 1759790,8 Mt + TMt 1575990,3 SCFt 1,001180533 SER (Rp/US $) 8765 Sumber : BPS (2011) dan www.bi.go.id (2011)
Lampiran 4. Perhitungan Harga Paritas Impor Daging dan Sapi Bibit/Bakalan Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu Perhitungan Harga Paritas Impor Daging Sapi NO URAIAN 1 FOB Australia 2 Insurance and Freight 3 CIF Indonesia 4 Nilai Tukar 5 Premium Nilai Tukar 6 Nilai Tukar Ekuilibrium 7 CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik 8 Biaya Distribusi Ke Tingkat Peternak2 9 harga Paritas Impor di Tingkat Peternak Sumber: 1. www.wordbank.org commodity price data 2. Kamar Dagang dan Industri (KADIN): Biaya persen dari biaya produksi
SATUAN HARGA/NILAI US$/Kg 4,2 US$/Kg 0,42 US$/Kg 4,62 Rp/US$ 8775 % 100,1 Rp/US$ 8765 Rp/Kg 40494,3 Rp/Kg 6074,15 Rp/Kg 46568,45
Logistik Di Indonesia 15-30
Perhitungan Harga Paritas Impor Sapi Bibit/Bakalan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
URAIAN 1
FOB Australia Insurance and Freight CIF Indonesia Nilai Tukar Premium Nilai Tukar Nilai Tukar Ekuilibrium CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik Biaya Distribusi Ke Tingkat Peternak2 harga Paritas Impor di Tingkat Peternak
Sumber: 1. www.wordbank.org commodity price data 2. Pasar Ternak Kab. Inhu
SATUAN HARGA/NILAI US$/Kg 2,7 US$/Kg 0,27 US$/Kg 2,97 Rp/US$ 8775 % 100,1 Rp/US$ 8765 Rp/Kg 26032,05 Rp/Kg 2000 Rp/Kg 28032,05
Lampiran 5. Perhitungan Harga Paritas Impor Ikan Patin dan Harga Paritas Impor Garam Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu
PERHITUNGAN HARGA BAYANGAN PATIN FOB Vietnam ($/ton)1 900 Freight & Insurance ($/ton) 90 CIF Indonesia ($/ton) 990 Nilai Tukar (Rp/$) 8.775 Premium Nilai Tukar 100,1 Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$) 8765 CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik (Rp/ton) 8677350 Faktor Konversi Berat (Kg/ton) 1000 CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik (Rp/Kg) 8677,35 2 Biaya Tataniaga (Rp/Kg) 1301 Harga Paritas di Tingkat Petani (Rp/Kg) 9978,35 Sumber: 1. www.Pangasius-vietnam.com 2. Kamar Dagang dan Industri (KADIN): Biaya Logistik Di Indonesia 15-30 persen dari biaya produksi
PERHITUNGAN HARGA BAYANGAN GARAM FOB ($/ton)1 51,63 Freight & Insurance ($/ton) 7,7445 CIF Indonesia ($/ton) 59,3745 Nilai Tukar (Rp/$) 8.775 Premium Nilai Tukar 100,1 Nilai Tukar Keseimbangan (Rp/$) 8765 CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik (Rp/ton) 520.417,49 Faktor Konversi Berat (Kg/ton) 1.000 CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik (Rp/Kg) 520,42 Biaya Transportasi ke Pedagang besar (Rp/Kg) 1,71 2 Biaya Transportasi ke Petani (Rp/Kg) 260 Harga Paritas di Tingkat Petani (Rp/Kg) 782,13 Sumber: 1. Statistik Perdagangan Luar Negeri 2011, Badan Pusat Statistik (BPS) 2. Mengacu pada perhitungan harga paritas impor garam dalam Mastuti (2011)
Lampiran 6. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea FOB ($/ton)1
420,96 2
Freight and Insurance ($/ton)
63,14
Harga CIF Indonesia ($/ton)
484,10
Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)
8.765
Harga CIF (Rp/Kg)
4.243.136,5
Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg)3 Harga Paritas Impor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) 4
Biaya Distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg)
Harga Paritas Ekspor Tingkat Petani (Rp/Kg)
89,00 4.154,14 176,38 3.977,76
Sumber: 1. Word Bank, Commodity Price Data (2011) 2. 15% dari Harga FOB untuk barang yang berasal dari Eropa, Amerika dan Afrika (Dirjen Pajak) 3. Mengacu pada perhitungan harga paritas kakao dalam Dewanata (2011) 4. SK Menteri Keuangan RI Nomor 328/KMK.01/1998 dan SK Menteri Keuangan RI Nomor 362/KMK.01/1998
Lampiran 7. Struktur Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu No. Input 1. Bakalan 2. Hijauan
Satuan Ekor Rp
Keterangan
1 Biaya untuk menghasilkan hijauan selama 6 bulan 3. Ampas tahu Kg 2 Kg/Ekor/Hari 4. Tenaga Kerja Rp/HOK 1,7 jam/hari 5. Mineral Kg Akumulatif 6 bulan 6. Obat cacing Kaplet 1 kali selama 6 bulan 7. Penyusutan Rp Umur ekonomis kandang 10 th. Kandang Penyusutan dihitung selama 6 bulan untuk 1 ekor sapi 8. Penyusutan Rp Penyusutan cangkul, ember, peralatan gerobak, keranjang dan peralatan lain selama 6 bulan untuk 1 ekor sapi 9. BBM Rp/Liter BBM untuk menghasilkan hijuan selama 6 bulan
Total 7.166.668 600.000 252.000 300.000 50.000 10.000 158.000
170.000
189.000
Lampiran 8. Struktur Biaya Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu No. 1.
Input Bibit
2.
Hijauan
3. 4.
Ampas tahu Tenaga Kerja Mineral Obat cacing Penyusutan Kandang
5. 6. 7.
Satuan Ekor
Keterangan Harga bibit Rp.8.500.000, biaya opportunitas 10 persen, usia produktif induk 8-10 tahun Rp Biaya untuk menghasilkan hijauan selama 2 tahun Kg 1 Kg/Ekor/Hari Rp/HOK 1,7 jam/hari Kg Kaplet Rp
8.
Penyusutan peralatan
Rp
9.
BBM
Rp/Liter
10. Inseminasi Buatan
Rp
Akumulatif 2 tahun 2 kali selama 2 tahun Umur ekonomis kandang 10 th. Penyusutan dihitung selama 2 tahun untuk 1 ekor sapi Penyusutan cangkul, ember, gerobak, keranjang dan peralatan lain selama 2 tahun untuk 1 ekor sapi BBM untuk menghasilkan hijuan selama 2 tahun 2 kali inseminasi buatan
Total 750.000
2.400.000 504.000 1.200.000 50.000 20.000 316.660
193.333
724.000 70.000
Lampiran 9. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Peletdi Kabupaten Indragiri Hulu No. Input Satuan/ket Jumlah Harga (Rp) Total 1. Benih Ekor 3400 600 2.040.000 2. Pelet karung 54 300.000 16.200.000 3. Pakan alternatif Rata-rata 125.000 Satu periode budidaya 4. Tenaga kerja Jam/hari 280 10.000 2.800.000 5. Obat-obatan Rata-rata 91.500 Satu periode budidaya 6. Kapur Sak 5 12 60.000 7. Garam Bungkus 25 1.000 25.000 8. Urea Kg 20 4.000 80.000 9. Pemeliharaan Rata-rata 225.000 Kolam Satu periode budidaya 10. Serok Unit 1 50.000 50.000 11. Ember Unit 2 10.000 20.000 12. Peralatan lainnya Rata-rata 83.333 Satu periode budidaya Lampiran 10. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu No. Input Satuan/ket Jumlah Harga (Rp) Total 1. Benih Ekor 4430 400 1.735.989 2. Pelet karung 12 293.714 3.524.568 3. Pakan alternatif Bulan 9 294.286 2.648.572 4. Tenaga kerja Jam/hari 540 10.000 5.400.000 5. Obat-obatan Rata-rata 84.535 Satu periode budidaya 6. Kapur Sak 5 12 60.000 7. Garam Bungkus 25 1.000 25.000 8. Urea Kg 21,4 4.000 85.714 9. Pemeliharaan Rata-rata 271.429 Kolam Satu periode budidaya 10. Serok Unit 1 50.000 50.000 11. Ember Unit 2 10.000 20.000 12. Peralatan lainnya Rata-rata 40.000 Satu periode budidaya
Lampiran 11. Biaya Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011 Tabel Biaya Privat dan Sosial Usaha Penggemukan (Rp/Ekor) KETERANGAN
PRIVAT Tradabel
Bakalan Hijaun Ampas Tahu Tenaga kerja Mineral Obat cacing Penyusutan Kandang Sabit Drum Cangkul Ember Gerobak Keranjang Transportasi (BBM) Total
3583334
40000 8000
122699 3754033
SOSIAL
Domestik 3583334 600000 252000 300000 10000 2000 158000 15000 25000 50000 20000 26667 33333 66301 5141635
Tradabel
Domestik
3175319
3175319 600000 252000 279000 3393 1625 158000 15000 25000 50000 20000 26667 33333 100004 4739342
13573 6500
185071 3380462
Tabel Biaya Privat dan Sosial Usaha Pembibitan (Rp/Ekor) KETERANGAN Bibit Ampas Tahu Tenaga kerja Mineral Obat cacing Kandang Sabit Drum Cangkul Ember Gerobak Keranjang Inseminasi Buatan Transportasi (BBM) Total
PRIVAT Tradabel 375000
40000 16000
56000 470021 957021
Domestik 375000 540000 3600000 10000 4000 316660 10000 16667 33333 13333 53333 66667 14000 253979 5270972
SOSIAL Tradabel 315361
13573 13000
31500 675655 1049088
Domestik 315361 540000 3348000 3393 3250 316660 15000 16667 100000 20000 53333 66667 31500 365095 5158926
Lampiran 12. Biaya Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011 Biaya Privat dan Sosial Usaha yang Menggunakan Sebagian Besar Pakan Pelet (Rp/500m2) KET Biaya Benih Pelet Pakan tambahan Tenaga kerja Obat-obatan Kapur Garam Urea Pemeliharaan kolam Serok Ember Peralatan lain Total
Privat Tradabel Domestik
14968800
73200
26960
15068960
2040000 1231200 125000 2800000 18300 60000 25000 51440 225000 50000 20000 83333 6729273
Sosial Tradabel Domestik
11926629
65880
3945
11996454
2040000 980978 125000 2604000 16470 60000 14665 74957 225000 50000 20000 83333 6294403
Biaya Privat dan Sosial Usaha yang Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif (Rp/500m2) KET Biaya Benih Pelet Pakan tambahan Tenaga kerja Obat-obatan Kapur Garam Urea Pemeliharaan kolam Serok Ember Peralatan lain Total
Privat Tradabel Domestik
3256701
67628
28886
3353214
1735989 267867 2648572 5400000 16907 60000 25000 55114 271429 50000 20000 40000 10590878
Sosial Tradabel Domestik
2488147
60866
4142
2553155
1735989 204653 2648572 5022000 15216 60000 14655 78705 271429 50000 20000 40000 10161219
Lampiran 13.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Penghapusan Bea Masuk Impor Sapi Potong sebesar 5 Persen
Tabel PAM Usaha Penggemukan Biaya Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
10200000 7028566 3171434
Input Tradable 3754033 3380462 373571
Domestik 5141635 4739342 402293
Keuntungan 1304332 -1091238 2395570
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 1 304 332 Keuntungan Sosial = -1 091 238 DRC
= 1,30
PCR
= 0,79
Tabel PAM Usaha Pembibitan Biaya Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
7055000 5398042 1656958
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 1 206 007 Keuntungan Sosial = -460 305 DRC
= 1.11
PCR
= 0.80
Input Tradable 957021 1051260 -94239
Domestik 4891972 4807087 84885
Keuntungan 1206007 -460305 1666312
Lampiran 14.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat BBM Naik 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu Tabel PAM Usaha Penggemukan
Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
12000000 8268901 3731099
Biaya Input Domestik Tradable 3772438 5151580 3408223 4754342 364215 397238
Keuntungan 3075982 106336 2969646
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 3 075 982 Keuntungan Sosial =
106 336
DRC
= 0.97
PCR
= 0.63
Tabel PAM Usaha Pembibitan Biaya Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
8300000 6350638 1949362
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 2 342 407 Keuntungan Sosial =
336 178
DRC
= 0.94
PCR
= 0.67
Input Tradable 1027524 1152608 -125084
Domestik 4930069 4861852 68217
Keuntungan 2342407 336178 2006229
Lampiran 15.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Menggunakan Pakan dari Limbah Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu Tabel PAM Usaha Penggemukan
Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
13980000 9633270 4346730
Biaya Input Domestik Tradable 3754033 5141635 3380462 4739342 373571 402293
Keuntungan 5084332 1513466 3570866
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 5 084 332 Keuntungan Sosial = 1 513 466 DRC
= 0.76
PCR
= 0.50
Tabel PAM Usaha Pembibitan Biaya Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
8300000 6350638 1949362
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 3 254 167 Keuntungan Sosial = 1 336 628 DRC
= 0.76
PCR
= 0.56
Input Tradable 839516 882346 -42830
Domestik 4206317 4131664 74653
Keuntungan 3254167 1336628 1917539
Lampiran 16.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Ikan Patin Turun 25 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet
Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
21528000 17766359 3761641
Biaya Input Domestik Tradable 15068960 6729273 11996454 6294403 3072506 434870
Keuntungan -270233 -524498 254265
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = -270233 Keuntungan Sosial = -524498 DRC
= 1.09
PCR
= 1.04
Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif Biaya Keterangan Penerimaan Keuntungan Input Domestik Tradable Harga Finansial 28926000 3353214 10590878 14981908 Harga Ekonomi 23871688 2553155 10161219 11157314 Dampak Kebijakan 5054312 800059 429659 3824594 Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 14981908 Keuntungan Sosial = 11157314 DRC
= 0.48
PCR
= 0.41
Lampiran 17.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indrgarir Hulu Pada Saat PPN Pakan Ikan 10 Persen Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet
Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
28704000 17766359 10937641
Biaya Input Domestik Tradable 13572080 11996454 1575626
6606153 6294403 311750
Keuntungan 8525767 -524498 9050265
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 8525767 Keuntungan Sosial = -524498 DRC
= 1.09
PCR
= 0.48
Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif Biaya Keterangan Penerimaan Keuntungan Input Domestik Tradable Harga Finansial 38568000 3027544 10564092 24976364 Harga Ekonomi 23871688 2553155 10161219 11157314 Dampak Kebijakan 14696312 474389 402873 13819050 Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 14981908 Keuntungan Sosial = 11157314 DRC
= 0.48
PCR
= 0.30
Lampiran 18.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indrgarir Hulu Pada Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar sebesar 5.5 Persen Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet
Keterangan
Penerimaan
Harga Finansial Harga Ekonomi Dampak Kebijakan
28704000 18717538 9986462
Biaya Input Domestik Tradable 15068960 6729273 11881598 6289335 3187362 439938
Keuntungan 6905767 546605 6359162
Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 6905767 Keuntungan Sosial = 546605 DRC
= 0.92
PCR
= 0.49
Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif Biaya Keterangan Penerimaan Keuntungan Input Domestik Tradable Harga Finansial 38568000 3353214 10590878 24623908 Harga Ekonomi 25149735 2690038 10177076 12282621 Dampak Kebijakan 13418265 663176 413802 12341287 Indikator Daya Saing Keuntungan Privat = 24623908 Keuntungan Sosial = 12282621 DRC
= 0.45
PCR
= 0.30