ANALISIS KEBIJAKAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN PADA PENANAMAN MODAL DI BIDANG USAHA PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA SAPI POTONG Toni Febriyanto Titi Muswati Putranti Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
ABSTRAK Penelitian ini membahas kebijakan fasilitas Pajak Penghasilan pada penanaman modal di bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa latar belakang pemberian fasilitas pajak tersebut dalam rangka mensukseskan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014. Adanya berbagai hambatan mulai dari pertimbangan bisnis dan faktor-faktor non-pajak lainnya menyebabkan fasilitas Pajak Penghasilan tidak diminati investor. Dalam penelitian ini peneliti memberikan tiga rekomendasi agar fasilitas Pajak Penghasilan lebih efektif dan aplikatif, yaitu: (1) perubahan besarnya persyaratan cakupan produk; (2) perluasan subjek fasilitas Pajak Penghasilan yang berhak menerima fasilitas; dan (3) perluasan objek fasilitas Pajak Penghasilan. Kata Kunci : Fasilitas Pajak Penghasilan, Insentif Pajak, Investasi.
ABSTRACT This study discusses income tax facilities policy on investment in the business sectors of breeding and farming beef cattle. This study used a qualitative approach. The results of this study concluded that this policy background is in order to succeed Beef Achieving Self-Sufficiency in 2014. There are of barriers to business considerations and other non-tax factors causing Income Tax facilities are not preferred by investors. In this study, researchers provided three recommendations so that Income Tax facilities are more effective and applicable: (1) changes in the amount of product coverage requirements, (2) the expansion of eligible person receiving facilities, and (3) the expansion of facilities Income Tax objects.
Keywords: Investment, Income Tax Facilities, Tax Incentives.
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang Masalah Peluang bisnis peternakan sapi potong di Indonesia sangatlah prospektif dengan indikator utama adanya peningkatan pasar terhadap komoditi daging sapi, yaitu sebesar 2 kg per kapita per tahun atau hampir 500 ribu ton pada tahun 2012. Permintaan daging sapi meningkat seirama dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perkembangan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Namun, sayangnya selama ini ketersediaan daging sapi masih tergantung oleh pasokan daging impor. Untuk mengatasi ketegantungan impor tersebut, pemerintah membuat suatu program yaitu, Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014. Salah satu cara untuk mensukseskan program tersebut ialah melalui percepatan dan peningkatan investasi di bidang pembibitan dan budidaya sapi potong. Investasi di bidang pembibitan dan budidaya sapi potong mutlak diperlukan dan harus didukung secara penuh oleh para stakeholder peternakan (pengambil kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat). Untuk mendorong kegiatan investasi tersebut, pemerintah membuat suatu kebijakan guna merangsang kegiatan investasi langsung pada bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong, yaitu dengan memberikan insentif berupa fasilitas PPh.
B. Permasalahan Ketentuan pemberian fasilitas PPh tersebut telah diatur dalam PP. No.62/2008 tentang Perubahan Pertama PP No.1/2007. dan PP. No. 52/2011 tentang Perubahan Kedua PP No.1/2007. Pemerintah tentu sangat berharap dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh mengesankan, ditambah peringkat layak investasi yang diraih Indonesia maka jumlah investasi langsung (direct investment) baik yang berasal dari PMDN maupun PMA akan meningkat. Sehingga implikasi kebijakan fasilitas PPh benar-benar dapat merangsang peningkatan investasi pada bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong di Indonesia.
Namun, berdasarkan data dan informasi yang disampaikan Direktorat Jenderal Pajak, sampai dengan semester I tahun 2012, belum ada perusahaan atau investor yang berinvestasi di bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong menerima manfaat fasilitas PPh.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan fasilitas PPh pada penanaman modal di bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong sebagaimana yang diatur dalam PP No. 52/2011 yang merupakan perubahan kedua dari PP No. 1/2007, yaitu dengan menjelaskan latar belakang dan justifikasi pemerintah memberikan fasilitas PPh pada penanaman modal di bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong, menjelaskan hambatan yang menyebabkan fasilitas Pajak Penghasilan tidak diminati pengusaha (investor), serta memberikan suatu rekomendasi kebijakan kepada pembentuk kebijakan agar kebijakan yang dibuat menjadi lebih efektif, aplikatif, dan dapat dinikmati oleh masyarakat.
TINJAUAN TEORITIS
A. Evaluasi Kebijakan Publik Menurut Anderson seperti yang dikutip Winarno secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan dampak. (Winarno, 2007, h. 226). Arti penting evaluasi dalam kebijakan publik ialah untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan dalam meraih dampak yang diinginkan sehingga hal tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan di masa yang akan datang (Winarno, 2007, h. 227).
B. Fungsi Regulerend Pajak Menurut Mardiasmo, fungsi pajak sebagai fungsi mengatur (regulerend) adalah pajak dijadikan alat mengatur atau melaksanakan kebijakkan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (Mardiasmo, 1997, h.2). Di negara maju, tujuan utama fungsi mengatur dari perpajakan di bidang ekonomi makro adalah mempertahankan stabilitas ekonomi pada tingkat “full employment”. Sedangkan di negara berkembang, seperti di Indonesia, fungsi mengatur dari perpajakan di bidang ekonomi makro lebih sulit lagi, yaitu bagaimana menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi agar dapat lebih cepat mengurangi kemiskinan dan lebih cepat mengurangi pengangguran (Mansury, 2000, h. 25).
C. Insentif Pajak dan Investasi Bila merujuk pada kebijaksanaan konvensional (conventional wisdom), pemberian insentif pajak untuk mendorong investasi, terutama bagi investasi asing langsung ternyata tidak direkomendasikan. Easson mengatakan bahwa insentif pajak itu buruk secara teori dan praktik. “Tax incentives are bad in theory and bad in practice. They are bad in the theory principally because they cause distortions: investment decisions are made that would not have been made without the inducement of special tax concessions. They are bad in practice, because they are both ineffective and inefficient. They are ineffective in that tax considerations are only rarely a major determinant in FDI decisions; they are inefficient because their cost, in terms of tax revenue foregone, often far exceeds any benefits they may produce” (Easson, 2004, h. 63). Dalam penelitian teoritis (theoretical research), banyak peneliti yang telah menganalisis dampak finansial pemberian insentif terhadap investasi. Dalam hipotesisnya, mereka menilai bahwa investor selalu berperilaku sederhana, yaitu bagaimana mereka dapat memaksimalkan laba. Jika insentif pajak dapat meningkatkan nilai proyek investasi maka insentif tersebut dapat menarik minat banyak investor. “They then assume that investors behave in simple, profit maximizing ways: if tax incentives increase the net present value of projects, they will attract more investors” (Wells, 2001, h. 16).
Dalam banyak penelitian empiris juga menyimpulkan bahwa insentif pajak tidak memiliki pengaruh kuat terhadap keputusan investasi yang sebenarnya. “When survey ask managers to assign weights to various factors that influence their investment decisions, for example, tax incentives are usually ranked rather low. Overwhelmingly, empirical researchers conclude that tax incentives do not have a major impact on actual investment decisions” (Wells, 2001, h. 18). Dalam memutuskan kegiatan investasi seperti apa dan dimana investasi tersebut akan dijalankan merupakan sebuah keputusan yang kompleks yang diambil oleh para calon investor. Tidaklah mengherankan bahwa pertimbangan pajak hanyalah salah satu faktor dalam keputusan berivestasi (bukan merupakan faktor dominan). Menurut Easson generalisasi secara umum mempelihatkan bagaimana pertimbangan pajak mempengaruhi keputusan berinvestasi. As a broad generalization, it seems that tax considerations:
play little part in the initial decision to invest abroad; may play a more important role in locational decisions; are more important for some types of investment than for other; are growing in importance (Easson, 2004, h. 52).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis kebijakan fasilitas PPh pada penanaman modal di bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong. Ditinjau dari saat analisis ini dilaksanakan, penelitian ini termasuk ke dalam ex post analysis karena menganalisis suatu kebijakan sesudah kebijakan tersebut dibuat. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan. Studi kepustakaan dilakukan untuk pengumpulan berbagai literatur sebagai bahan dan pedoman untuk menganalisis permasalahan penelitian, sedangkan studi lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam (in depth interview) dengan informan menggunakan pedoman wawancara dengan pertanyaan terbuka.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara menginterpretasikan data yang didapat baik dari hasil wawancara mendalam, catatan lapangan, berbagai literatur, dan dokumentasi terkait dengan penelitian yang diteliti. Dalam analisis data, peneliti melakukan tahap reduksi data sehingga tidak semua data yang didapat oleh peneliti dituangkan ke dalam pembahasan, hanya data penting dan relevan yang membantu memecahkan masalah penelitian yang dituangkan dalam pembahasan. Dalam melakukan pengamatan dan pemahaman mengenai permasalahan penelitian, peneliti menggunakan tiga sudut pandang yang berbeda yaitu dari pihak pembuat kebijakan atau pemerintah, praktisi (pelaku usaha) dan akademisi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang dan Justifikasi Kebijakan Latar belakang pemberian fasilitas PPh (PP No. 52/2011) pada penanaman modal di bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong ini terdapat pada isi justifikasi usulan bidang usaha tertentu dan daerah tertentu yang disampaikan
Kementerian
Pertanian dalam
rapat
koordinasi
di
kantor
Kementerian Koordinator Perekonomian. Pengajuan justifikasi bidang usaha tersebut terkait pembahasan revisi pada lampiran PP Nomor 62 Tahun 2008. Adapun isi latar belakang Pemberian Fasilitas PPh ialah sebagai berikut: a. Ternak sapi merupakan ternak yang banyak diusahakan oleh masyarakat. Peternakan sapi berkembang menyebar di seluruh wilayah Indonesia, populasi saat ini mencapai lebih dari 12,6 juta ekor. b. Perkembangan ternak sapi di Indonesia cukup baik, dan sistem pemeliharaan pada umumnya masih bersifat tradisional dan sambilan. c. Pada tingkat peternak tradisonal, ternak sapi lebih berfungsi sebagai tabungan daripada sebagai fungsi komoditas usaha. d. Dari potensinya ternak sapi merupakan salah satu sumber protein hewani (daging) yang banyak diminati oleh segala lapisan masyarakat Indonesia. e. Pemerintah mencanangkan bahwa tahun 2014, penyediaan daging sapi harus sudah dapat dilakukan secara swasembada.
Usaha ternak sapi memang banyak diusahakan oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan data BPS dari kegiatan sensus sapi dan kerbau yang dilakukan pada tahun 2011 didapatkan data bahwa usaha ternak sapi potong tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah rumah tangga peternak mencapai 5,7 juta orang dengan perkiraan jumlah ternak sapi potong mencapai 14,8 juta ekor. Namun, tulang punggung penyedia daging sapi di Indonesia
dilakukan oleh peternak
berskala kecil karena di Indonesia jumlah peternak yang berskala menengah dan besar sangat sedikit. Berdasarkan hasil sensus BPS, mayoritas sapi potong dipelihara pada skala rumah tangga peternak kecil yang jumlahnya mencapai 99,81%, sisanya dipelihara oleh pedagang (importir) 0,17%, perusahaan berbadan hukum 0.001%, dan lainnya 0,01%. Lihat Grafik 1.
Grafik 1 Mayoritas Sapi Potong dipelihara Peternak Skala Rumah Tangga 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0
Jumlah unit usaha
Rumah Tangga
Perusahaan Ber-BH
Pedagang
Lainnya
5688600
57
9690
570
Sumber: Sensus Sapi dan Kerbau, BPS Tahun 2011, data diolah kembali oleh peneliti.
Pola pikir peternak masih menjadikan sapi sebagai tabungan, bukan komoditas. Layaknya tabungan, mereka menjual sapi kalau benar-benar membutuhkan uang. Selain investasi pemerintah dalam pembangunan sarana dan prasarana agribisnis sapi potong, hampir tidak ada investasi swasta (investor) dalam agribisnis sapi potong, kecuali usaha penggemukan sapi potong (fattening). Hal ini akibat kurangnya insentif ekonomi dalam usaha ternak sapi potong,
khususnya pembibitan (breeding). Oleh karena itu, tujuan pemberian fasilitas PPh pada bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong ini dalam rangka
meningkatkan
kegiatan
investasi
langsung
guna
mempercepat
pembangunan sektor peternakan sapi potong di Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Niken Wikanti, Kepala Seksi Investasi, Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi, Kementerian Pertanian RI: “Kita ingin mendorong ada investasi skala besar disini (Indonesia) karena kebutuhan daging kita kurang dan kebanyakan petani kita usaha sapi potong sebagai usaha sambilan istilahnya usaha rumahan belum ada yang dikembangkan dalam skala besar. Kita kan juga ada justifikasi kenapa usaha sapi potong diberikan insentif. Karena terus terang sapi itu masih impor, kita baru menyediakan sekitar 70% dari produksi dalam negeri”. (Wawancara dengan Niken Wikanti, tanggal 25 Mei 2012). Pada saat ini status Indonesia masih sebagai negara pengimpor sapi hidup (sapi bibit dan sapi bakalan) dan produk daging (termasuk jeroan) yang sangat besar. Dalam lima tahun terakhir ini ketergantungan terhadap daging dan sapi bakalan impor masih tinggi, rata-rata sekitar 30-40% dari total konsumsi daging sapi nasional. Khusus impor sapi hidup untuk pembibitan, Indonesia masih tergantung dari 2 (dua) Negara, yaitu Australia dan New Zealand. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sapi bakalan, impor hanya berasal dari Australia. Untuk mengurangi impor sapi, pemerintah saat ini terus berupaya menggenjot produksi daging sapi salah satunya dengan cara membuat program Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS-2014). PSDS 2014 merupakan salah satu program utama Kementerian Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik, dengan indikator penyediakan daging sapi dalam negeri sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi nasional. Tujuan penting PSDS 2014 adalah dalam rangka perkembangan populasi dan perbaikan produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) secara berkesinambungan. Pemberian insentif fiskal berupa fasilitas PPh ini merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk mensukseskan program tersebut. Pemberian fasilitas PPh pada bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong merupakan usalan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian RI. Usulan tersebut kemudian dibawa dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian yang juga dihadiri Kementerian Keuangan dan BKPM. Dalam rapat tersebut dibahas bersama dan kemudian diputuskan hasil kebijakannya Justifikasi yang diberikan kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Pertanian sangat berperan penting. Karena dengan justifikasi yang kuat usulan pemberian fasilitas PPh pada bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong dapat disetujui oleh forum yang hadir pada saat rapat koordinasi antar kementerian. Adapun justifikasi yang disampaikan Kementerian Pertanian terkait usulan pemberian fasilitas PPh (PP No. 52/2011) pada bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong (KBLI 01411), terkait revisi: lampiran PP Nomor 62 Tahun 2008 didasari atas pertimbangan sebagai berikut: 1) Merupakan bidang usaha prioritas tinggi a Membantu mengurangi kemiskinan. Budidaya ternak sapi dilakukan secara sambilan, pada umumnya dilakukan oleh peternak kecil, melibatkan 4.572.766 KK peternak. b Perusahaan pembibitan dan penggemukan sapi lokal diharapkan akan mampu meningkatkan nilai tambah terhadap ternak sapi lokal c. Perusahaan pembibitan dan penggemukan sapi lokal merupakan penopang pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014. 2) Bidang usaha yang banyak menyerap tenaga kerja a. Usaha penggemukan sapi lokal, mempunyai prospek yang baik dengan tingkat permintaan akan daging sapi yang terus meningkat. b. Usaha ini akan menyerap tenaga kerja secara langsung dan tidak langsung 5 orang setiap usaha 100 ekor, kalau 5.000 ekor sapi akan menyerap tenaga kerja sebanyak 500 orang. 3) Melakukan kemitraan dengan UMKM/Petani/Kelompok Tani a. Perusahaan penggemukan sapi lokal sebagai perusahaan inti dengan melakukan kemitraan dengan petani/kelompok tani binaannya dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan sekaligus penerapan Good Farming Practices (GFP). b. Dalam bidang pemasaran, diharapkan perusahaan inti akan menyerap hasil produksi dari petani/kelompok tani baik untuk pasar lokal maupun untuk ekspor. Lain – Lain (Lanjutan Justifikasi) Pengembangan usaha pembibitan dan budidaya sapi potong lokal diharapkan akan meningkatkan nilai tambah sapi lokal dengan penerapaan teknologi tepat
guna yang mampu meningkatkan efisiensi usaha penggembangan sapi lokal. Penggembangan usaha ini dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangan usaha penggemukan sapi lokal dalam mencapai swasembada daging sapi 2014. Berdasarkan Perpres RI No. 16/2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal yang dimaksud dengan penanaman modal yang termasuk skala prioritas tinggi adalah penanaman modal pada bidang usaha yang:
Mampu mendorong diversifikasi kegiatan ekonomi; Memperkuat struktur industri nasional; Memiliki prospek tinggi untuk bersaing di pasar internasional, dan Memiliki keterkaitan dengan pengembangan penanaman modal strategis di bidang pangan, infrastruktur, dan energi. Dalam rapat koodinasi tersebut pemerintah menetapkan outputs kebijakan
bahwa cakupan produk dan persyaratan untuk bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong ialah sebagai berikut (Tabel 1): Tabel 1 Outputs Kebijakan: Cakupan Produk dan Persyaratan No.
Cakupan Produk
Persyaratan
1.
Pembibitan sapi potong
> 5.000 ekor/tahun
2.
Budidaya penggemukan sapi lokal
> 5.000 ekor/siklus
Sumber: Lampiran PP No. 52/2011, data diolah kembali oleh penulis.
Persyaratan cakupan produk yang diatur berupa jumlah minimal produksi sapi yang dihasilkan (> 5.000 ekor), penetapan ini didasari pertimbangan bahwa omzet penjualan yang dihasilkan tiap tahunnya lebih dari Rp 50 miliar dan diprediksi mampu menyerap tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung sebanyak 500 orang. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP. No.52/2011 jenis fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan meliputi: a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing- masing sebesar 5% (lima persen) per tahun; b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;dan
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan tertentu. Terdapat ketentuan tambahan pada Pasal 2 ayat (2a) PP No.52/2011 yaitu secara khusus mensyaratkan kapan fasilitas Pajak Penghasilan dapat dimanfaatkan oleh investor, yaitu setelah Wajib Pajak merealisasikan rencana penanaman modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen). Pemberian fasilitas berupa investment allowance dan accelerated depreciation dihitung berdasarkan jumlah penanaman modal atau investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang ada. Aktiva tetap berwujud yang dimaksud dalam peraturan pemerintah ini adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, serta tidak dimasudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong dapat dikatakan bahwa pengeluaran terbesar berasal dari pembelian sapi bibit dan sapi bakalan. Harga sapi bibit impor unggul dan bersertifikat harga per ekornya mencapai Rp 60 juta, sedangkan harga sapi bakalan kisaran harganya sekitar Rp 10 juta per ekor. Lantas muncul sebuah pertanyaan apakah sapi pada usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong dapat dianggap sebagai aktiva tetap berwujud atau hanya dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan atau dipindahtangankan? Secara ringkas, perbedaan penggolongan aktiva antara sapi bibit potong dan sapi bakalan dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2 Perbedaan Penggolongan Aktiva antara Sapi Bibit Potong dengan Sapi Bakalan Perbedaan Kategori Aktiva Masa manfaat (> 1 tahun) Tujuan untuk diperjualbelikan Produk yang dihasilkan Jenis aktiva Investment allowance Sumber: diolah sendiri oleh peneliti.
Sapi Bibit Potong
Sapi Bakalan
Ya Tidak Anak sapi (Pedet) Aktiva Tetap berwujud Ya
Tidak Ya Sapi siap potong Aktiva Lancar (inventori) Tidak
B. Hambatan yang Menyebabkan Fasilitas Pajak Penghasilan pada Penanaman Modal di Bidang Usaha Pembibitan dan Budidaya Penggemukan Sapi Potong Tidak Diminati oleh Pengusaha (Investor) Permasalahan utama yang menyebabkan Indonesia sangat sulit untuk berswasembada daging sapi bukan karena tidak adanya pakan untuk sapi, melainkan tidak adanya pasokan bibit sapi yang cukup. Di Indonesia usaha pembibitan sapi potong ini kurang diminati baik di level perusahaan maupun di level rumah tangga (peternak kecil). Berdasarkan data BPS tahun 2011, sebagian besar distribusi pola usaha ternak sapi di level perusahaan adalah usaha penggemukan yaitu sebesar 77,19%, usaha perdagangan 9,99%, usaha pembiakan 8,99%, sedangkan usaha pembibitan hanya 3,83%. Sedangkan di level rumah tangga, distribusi pola usaha ternak sapi yang paling banyak dilakukan adalah usaha pembiakan yaitu sebesar 76,04%, usaha penggemukan 21,37%, usaha pembibitan 3,23% dan usaha perdagangan sebesar 0,27%. Lihat Grafik 2 dan Grafik 3.
Grafik 2 Distribusi Pola Usaha Ternak Sapi di Level Perusahaan 9.99% 8.99% 3,83%
Pembiakan Penggemukan 77,19%
Pembibitan Perdagangan n = 57 Pengusaha Ber-BH
Sumber: Data BPS 2011, data diolah kembali oleh peneliti.
Grafik 3 Distribusi Pola Usaha Ternak Sapi di Level Rumah Tangga 21,37%
2,33% 0,27%
Pembiakan Penggemukan 76,04%
Pembibitan Perdagangan
n = 5.688.600 Peternak Sumber: Data BPS 2011, data diolah kembali oleh peneliti.
Banyak pengusaha sapi skala besar lebih memilih melakukan usaha penggemukan karena usaha ini dinilai lebih cepat menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan usaha pembibitan. Dalam kondisi harga daging yang stabil, usaha ini menguntungkan. Apalagi jika harga daging naik, untung yang diperoleh dapat berlipat. Kondisi yang berbeda terjadi pada usaha pembibitan. Sebagai usaha yang sarat dengan modal dan memerlukan teknologi yang tinggi, usaha pembibitan sapi seharusnya memang dilakukan oleh peternak di level perusahaan bukan oleh peternak di level rumah tangga. Namun banyak pengusaha yang tidak tertarik mengembangkan usaha pembibitan sapi karena menurut mereka dari segi bisnis usaha tersebut kurang menguntungkan. Budi Sutrisno, Kasubdit Agribisnis, BKPM RI menerangkan beberapa faktor yang menyebabkan usaha pembibitan sapi di Indonesua sulit berkembang. “beberapa faktor lain ialah sebagian besar usaha peternakan sapi potong beskala rumah tangga, angka kelahiran relatif rendah yaitu 15,6% dan angka kematian 1,5%, usaha pembibitan sapi juga belum sepenuhnya berkembang dengan baik karena margin usaha sangat kecil, tingginya pemotongan sapi betina produktif, yaitu 200.000 ekor/tahun, fasilitas pembiayaan untuk usaha pembibitan masih sangat terbatas, dan menurunnya kualitas mutu bibit ternak lokal sehingga daya saing sapi lokal menurun”. (Wawancara dengan Budi Sutrisno, tanggal 30 Mei 2012). Walaupun pemerintah telah menyediakan fasilitas, kalangan pengusaha tetap saja merasa pesimis pemberian fasilitas tersebut dapat menarik minat investor. Dengan tingginya investasi awal yang harus dikeluarkan, resiko kematian sapi yang tinggi, serta margin keuntungan yang minim atau bahkan menimbulkan kerugian ini merupakan hambatan utama yang menjadi penyebab usaha pembibitan sapi di Indonesia kurang diminati. Hal inilah yang membuat di mata pengusaha usaha pembibitan sapi dianggap sebagai usaha yang kurang menguntungkan secara bisnis. Berikut ini pendapat yang diutarakan oleh R. Marlan mengenai implikasi pemberian fasilitas PPh terhadap investasi di bidang usaha pembibitan lebih dari 5.000 ekor sapi: “Menurut saya pemberian insentif ini tidak akan banyak menarik investor. Karena usaha pembibitan secara cash flow kurang bagus karena pengadaan investasi ini perlu uang di muka. Untuk 5.000 ekor anggaplah untuk lahan, sapi, dan pakan totalnya 100 miliar. Apa iya ada perusahaan mau berinvestasi Rp 100 miliar tapi nanti baru kembali cash flow-nya setelah 2 tahun kemudian. Untuk investasi itu gak menarik karena usaha peternakan sapi resiko mati nya tinggi. Hanya 60% persen yang hidup. Jadi menurut saya kebijakan ini terlalu jauh untuk dijangkau untuk masyarakat Indonesia dan di level perusahaan pun juga sulit, gak akan mau kita investasi pembibitan 5.000 ekor”. (Wawancara dengan R. Marlan, tanggal 13 November 2012). Kondisi berbeda terjadi pada usaha penggemukan sapi, secara bisnis usaha ini masih cukup menjanjikan dan menguntungkan. Cukup dengan memberi makan sapi bakalan selama
3-4 bulan, berat badan sapi naik 100 kg – 120 kg per ekornya. Dengan memperhitungkan biaya menggemukan sapi per hari Rp 25.000 per ekor yang meliputi pakan, upah tenaga kerja, listrik dan air. Dalam sehari berat sapi bisa naik hingga 1 kg. Dengan kondisi harga daging sapi hidup Rp 32.000 per kg, peternak dapat menikmati margin keuntungan Rp 12.000 per ekor per hari. Dengan menggemukan 5.000 ekor sapi persiklus produksi (3-4 bulan), maka margin keuntungan yang diperoleh mencapai Rp 6 miliar sampai dengan Rp 7,2 miliar. Sebuah hasil yang menggiurkan. Namun sayangnya saat ini banyak pengusaha penggemukan sapi (feedloter) nasional di ambang kebangkrutan akibat tidak lagi dapat menjalankan kegiatan bisnisnya. Kondisi ini terjadi sejak adanya aturan tentang kuota impor daging dan sapi bakalan. Saat ini pengusaha kesulitan mendapatkan pasokan sapi bakalan eks impor sebagai bahan baku usaha penggemukan. Pada tahun 2009 total impor sapi bakalan mencapai 765.000 ekor, tetapi tahun 2013 nanti pemerintah hanya memberikan alokasi sebanyak 288.000 ekor (Prabowo, Kompas cetak edisi 11 Desember 2012). Karena kuota impor terus dikurangi telah menyebabkan produktivitas perusahaan penggemukan terus menurun sehingga banyak perusahaan yang mengurangi tenaga kerjanya. Kebijakan pemerintah memangkas impor daging sapi dan sapi bakalan untuk mewujudkan PSDS 2014 ini tidaklah salah, sepanjang kebijakan dilakukan dengan tepat. Pencapaian swasembada daging sapi jangan sampai merupakan bagian dari hasrat politik pencitraan semata. Kebijakan pengurangan kuota impor sapi bakalan secara signifikan justru dapat mendorong peningkatan pemotongan sapi lokal secara besar-besaran. Kondisi ini terjadi karena masih lemahnya kontrol terhadap sejumlah penyimpangan yang terjadi, seperti pemotongan sapi betina produktif. Industri penggemukan sapi saat ini memang berada di dalam posisi terjepit. Di satu sisi pasokan sapi bakalan impor terbatas, di sisi lain penyerapan sapi lokal juga sulit dilakukan. Selain sulit mencari sapi bakalan lokal dengan jumlah yang besar (> 5.000 ekor/siklus produksi), secara bisnis ternyata usaha penggemukan sapi lokal kurang menguntungkan. Karena dengan jenis dan jumlah pakan yang sama usaha penggemukan sapi lokal menghasilkan pertambahan bobot yang lebih lambat dibandingkan dengan usaha penggemukan sapi impor. Hal ini yang menyebabkan investor kurang berminat berinvestasi pada usaha penggemukan sapi lokal dalam skala besar, walaupun usaha tersebut diberikan insentif berupa fasilitas PPh. Faktor lain yang sering menghambat investasi di bidang usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong ialah kesulitan investor dalam mencari lahan peternakan yang
sesuai, kondisi infrastruktur yang buruk serta sarana pengangkutan sapi yang tidak memadai. Wilayah Indonesia bagian Timur seperti NTB, NTT, dan Papua merupakan daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan usaha ternak sapi potong. Namun, banyak pengusaha yang enggan untuk berinvestasi peternakan sapi potong di daerah tersebut karena pertimbangan ongkos pengiriman sapi yang tinggi. Biaya pengiriman sapi menjadi sangat tinggi karena kondisi infrastruktur dan sarana transpotasi yang kurang memadai. Hal ini terungkap dari besarnya biaya apabila mendatangkan sapi dari NTB atau NTT ke Jakarta ternyata jauh lebih mahal daripada biaya mendatangkan sapi dari Australia ke Jakarta. Selain mahalnya biaya pengangkutan sapi dari luar pulau jawa, alasan investor enggan berinvestasi peternakan sapi potong di luar pulau jawa ialah karena pasar atau permintaan daging sapi terbesar berada di Pulau Jawa. C. Rekomendasi Kebijakan Fasilitas Pajak Penghasilan pada Penanaman Modal di Bidang Usaha Pembibitan dan Budidaya Sapi Potong Belum adanya pengusaha sapi potong yang menerima manfaat fasilitas PPh serta minimnya minat pengusaha untuk berinvetasi di bidang usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong lokal telah mengindikasikan bahwa sebenarnya pemberian fasilitas PPh ini tidak dijadikan pertimbangan utama pengusaha (investor) untuk berinvestasi. Hal ini sesuai dengan hasil dari banyak penelitian empisis tedahulu yang menyimpulkan bahwa insentif pajak tidak memiliki pengaruh kuat terhadap keputusan investasi yang sebenarnya: “Overwhelmingly, empirical researchers conclude that tax incentives do not have a major impact on actual investment decisions” (Wells, 2001, h. 18). Kesimpulan ini juga diperkuat oleh pendapat Easson yang menyatakan bahwa pemberian insentif pajak sebenarnya buruk secara teori dan praktik: “Tax incentives are bad in theory and bad in practice. They are bad in the theory principally because they cause distortions. They are bad in practice, because they are both ineffective and inefficient”(Easson, 2004, h. 63). Selanjutnya Prof. Dr. Gunadi menambahkan bahwa sebenarnya pemberian insentif pajak sebenarnya tidak tepat digunakan sebagai cara untuk menarik investasi karena membuat pajak tidak netral lagi atau menyebabkan adanya distorsi: “Sebenarnya insentif pajak itu membuat pajak tidak netral lagi. Kalau mau netral pajak itu tidak boleh mencampuri hal seperti ini. Investasi dilakukan harus dengan pertimbangan bisnis, bisnisnya itu bagaimana. Insentif pajak tidak boleh menjadi preferensi. Jadi seseorang mau berusaha betul-betul karena bisnis bukan karena insentif pajak”. (Wawancara dengan Prof. Gunadi, tanggal 13 November 2012).
Bagi investor yang terpenting itu bagaimana kondisi iklim investasi secara keseluruhan di suatu negara. Insentif pajak memang diharapkan, namun bagi investor sebenarnya insentif pajak hanya dianggap sebagai bonus saja dan tidak dijadikan pertimbangan utama mereka dalam berinvestasi. Pemberian fasilitas PPh ini tidak akan berimplikasi terhadap peningkatan investasi di bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong tanpa didukung perbaikan aspek-aspek non-pajak lainnya, seperti kepastian hukum, kemudahan pinjaman perbankan, ketersediaan lahan, efisiensi birokrasi dalam perizinan usaha, perbaikan infrastruktur, serta sarana transportasi pengangkutan sapi yang lebih memadai. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil laporan ”The Global Economic Forum Report 2012-2013” yang dilakukan oleh World Economic Forum, dalam laporan tersebut kembali mengungkapkan bahwa tiga permasalahan utama yang menjadi faktor penghambat melakukan bisnis di Indonesia (The most three problematic factors for doing business in Indonesia) yaitu (Schwab, 2012, h. 201): 1) Tidak efisiennya birokrasi pemerintah (Inefficient government bureaucracy); 2) Korupsi (Corruption); dan 3) Penyebaran infrastruktur yang tidak memadai (Inadequate supply infrastructure).
of
Isu regulasi perpajakan (tax regulation) dan tarif pajak (tax rates) masing-masing hanya menempati urutan ke-10 dan ke-14 yang menjadi faktor penghambat dalam melakukan bisnis di Indonesia. Apabila pemerintah ingin meningkatkan investasi pada usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong seharusnya selain memberikan insentif berupa fasilitas PPh, pemerintah mutlak perlu melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan non-pajak yang menghambat minat investasi tersebut. Kebijakan fasilitas PPh ini mengadopsi model ekonomi neo liberal dan kapitalis sehingga yang berhak menerima fasilitas hanya perusahaan-perusahaan peternakan sapi potong dengan skala usaha besar saja. Pemberian fasilitas ini jelas sangat sulit diterapkan dan tidak efektif karena persyataran yang ditur dalam cakupan produk terlampau tinggi bagi para pengusaha karena kebanyakan pengusaha atau peternak sapi di Indonesia bergerak pada skala usahanya kecil dan menengah. Prof. Dr. Gunadi menerangkan tentang fenomena ini: “Kebijakan ini kan model ekonomi neo lib-kapitalis. Jadi perusahaan-perusahaan kecil itu gak dikasih kesempatan menikmati fasilitas itu. Fasilitas ini diberikan dengan syarat yang terlalu tinggi sehingga tidak efektif. Kita belum bisa menjadi kapitaliskapitalis. Fasilitas atau keringanan itu seharusnya diberikan pada skala usaha menengah sehingga dapat berguna bagi mereka, jangan berikan syarat yang tinggitinggi”. (Wawancara dengan Prof. Gunadi, tanggal 13 November 2012).
Menganalisis fenomena tersebut, dalam penelitian ini peneliti mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan pemberian fasilitas PPh pada penanaman modal di bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong ini agar kebijakan tersebut lebih efektif dan aplikatif. Rekomendasi ini paling tidak mencakup tiga hal yang harus diamendemen, yaitu (1) perubahan besarnya persyaratan cakupan produk; (2) perluasan subjek fasilitas PPh yang berhak menerima fasilitas PPh dan; (3) perluasan objek fasilitas PPh. Perubahan besarnya persyaratan dapat dilakukan dengan cara menurunkan syarat cakupan produk yang mulanya lebih dari 5.000 ekor/tahun untuk usaha pembibitan menjadi lebih dari 3000 ekor/tahun. Begitu pula untuk usaha penggemukan sapi lokal yang mulanya lebih dari 5.000 ekor/siklus menjadi lebih dari 3000 ekor/siklus. Penurunan syarat cakupan ini tentu merupakan cara yang cukup efektif untuk mendorong investasi skala pada menengah hingga besar untuk dapat menikmati fasilitas tersebut sehingga pemberian fasilitas PPh dapat lebih efektif dan aplikatif. Rekomendasi kebijakan lainnya ialah dengan memperluas basis subjek penerima fasilitas PPh. Jadi selain diberikan kepada investor baru (new player), fasilitas PPh seharusnya dapat diberikan kepada pengusaha pembibitan atau penggemukan sapi lokal yang sudah menjalankan usahanya sejak lama (existing player) sebelum adanya kebijakan ini. Tujuan pemberian fasilitas PPh kepada perusahaan yang sudah berjalan ini untuk memberikan penghargaan kepada perusahaan yang telah berperan membantu pemerintah dalam mensukseskan program swasembada daging nasional. R. Marlan mengungkapkan bahwa: “kalau memang pemerintah baik sih harusnya fasilitas itu diberlakukan surut, tapi mungkin pengurangannya di pendapatan tahun ke berapa. Ini kan perusahaan sapi potong sudah berjalan, mungkin pemerintah mau memberikan penghargaan. (Wawancara dengan R. Marlan, tanggal 13 November 2012). Bagi para peternak rakyat dengan skala usaha 100 – 500 ekor juga seharusnya dimungkinkan mendapatkan fasilitas PPh tersebut dengan cara membentuk suatu koperasi seperti yang dituturkan oleh Prof. Dr. Gunadi sebagai berikut: “Karena fasilitas PPh pasal 31 A sulit untuk dicapai. mungkin peternak dapat membuat semacam koperasi, koperasi tersebut terdiri dari banyak pengusaha semacam paguyuban peternak sapi”. (Wawancara dengan Prof. Gunadi, tanggal 13 November 2012). Selain subjek penerima fasilitas PPh diperluas, rekomendasi lainnya berupa perluasan objek fasilitas PPh yaitu dengan memperhitungkan prospek investasi usaha sapi potong yang terintegrasi dengan tanamam sawit atau tanaman pangan seperti padi dan jagung. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peluang bisnis integrasi sapi-sawit dan integrasi sapi-padi
sangatlah prospektif. Dengan pemberian fasilitas PPh, diharapkan para pengusaha perkebunan sawit akan lebih tertarik menjalankan usaha integrasi ternak sapi sebagai alternatif bisnis yang menguntungkan dan menjanjikan.
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan sesuai dengan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka simpulan yang diperoleh sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Latar belakang pemberian fasilitas PPh ini ialah dalam rangka mensukseskan program PSDS 2014, pemerintah ingin mendorong adanya investasi skala besar pada usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong di Indonesia. Justifikasi (alasan) pemerintah mengusulkan bidang usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi potong sebagai bidang usaha yang layak diberikan fasilitas PPh karena bidang usaha ini merupakan bidang usaha prioritas tinggi, banyak
menyerap
tenaga
kerja,
banyak
melakukan
kemitraan
dengan
UMKM/Petani/Kelompok Tani, serta dapat meningkatkan nilai tambah sapi lokal. 2. Sampai saat ini pemberian fasilitas PPh tidak memiliki implikasi terhadap peningkatan investasi pada bidang usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong. Selain faktor pertimbangan bisnis yang menilai bahwa usaha pembibitan dan budidaya penggemukan sapi lokal kurang menguntungkan, adanya faktorfaktor non-pajak lainnya juga menjadi penyebab mengapa bidang usaha tersebut tidak diminati investor. 3. Ada tiga rekomendasi yang peneliti berikan agar kebiijakan fasilitas PPh menjadi lebih efektif dan aplikatif, yaitu (1) perubahan besarnya persyaratan cakupan produk, yaitu lebih dari 3.000 ekor; (2) perluasan subjek fasilitas PPh yang berhak menerima fasilitas (diberikan kepada existing player; dan koperasi ataupun paguyuban peternak sapi; serta (3) perluasan objek fasilitas PPh dengan cara memberikan fasilitas kepada pengusaha yang mau menjalankan usaha integrasi sapi-sawit atau intergrasi sapi-padi.
B. Saran 1. Agar kebijakan tersebut lebih efektif dan aplikatif, pemberian fasilitas PPh seharusnya diberikan kepada pengusaha sapi potong skala menengah hingga besar. Jangan berikan syarat yang terlalu tinggi, serta mudahkan prosedurnya. 2. Untuk meningkatkan investasi usaha pembibitan dan budidaya sapi potong di Indonesia selain memberikan insentif berupa fasilitas PPh, pemerintah mutlak perlu melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan nonpajak yang menghambat investasi tersebut seperti masalah kepastian hukum, kesulitan memperoleh pinjaman perbankan, kesulitan mencari lahan, birokrasi perizinan usaha yang tidak efisien, buruknya infrastruktur, serta sarana transportasi pengangkutan sapi yang selama ini tidak memadai. 3. Diperlukan sosialisasi kebijakan fasilitas PPh baik yang dilakukan oleh BKPM, Kementerian Keuangan, maupun Kementerian Pertanian karena ternyata banyak pengusaha sapi potong ataupun asosiasi terkait yang belum mengetahui adanya kebijakan fasilitas PPh pada penanaman modad di bidang usaha pembibitan dan budidaya sapi potong.
KEPUSTAKAAN
Buku: Easson, Alex. (2004). Tax Incentives for Foreign Direct Investment. The Hague: Kluwer Law International. Mansury, R. (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4). Mardiasmo. (1997). Perpajakan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Schwab, Klaus (Editor). (2012). The Global Competitiveness Report 2012-2013. Geneva: World Economic Forum. Well, Jr., Louis T, et al. (2001). Using Tax Incentives to Compete for Foreign Investment (Are They Worth the Cost?). Washington DC: The International Financial Corporation and the World Bank. Winarno, Budi. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo Artikel Surat Kabar Cetak: Prabowo, Hermas E. (2012, 11 Desember). Industri Sapi. Kompas.