Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
PENGGABUNGAN USAHA DAN PAJAK PENGHASILAN Septian Bayu Kristanto Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana Abstract Business combination is the fusion of two or more separate companies into one economic entity as a company integrates with (uniting with) other companies or acquire control on the assets and operating of other companies. Business combination based on several reasons, cost benefits, risks lower, operating delays fewer, to prevent takeovers, acquisitions of intangible assets. The goal of business combination is to make the company more effective operation and efficiency. There are two methods in business combination, there is by purchase method and pooling of interest method. Purchase method is based on market value. While pooling of interest method is based on historical value or book value. Purchase method will lead to goodwill, the objects included in the income tax. This study aims to provide a description of methods used by the business merger and the impact on tax revenue. The analysis that aims to see whether the impact of tax benefits for companies that joins. Results of researcher concluded in the short term, because it does not rise to the obligation of tax payments in the short term. While the method by the use of purchase will be beneficial for the company in the long term, goodwill amortization will add to the burden. So that the balance will be reduced profit company, so for the tax payment will go down. Keywords: Business Combination, Purchase Method, Pooling of Interest Method, the Income Tax
PENDAHULUAN Peningkatan efisiensi dan produktivitas suatu badan usaha dapat dilakukan melalui tindakan restrukturisasi. Beberapa alasan yang mendasari terjadinya restrukturisasi bagi perusahaan, antara lain strategi usaha, efisiensi operasi usaha, dan peningkatan nilai saham. Tindakan restrukturisasi yang paling sering
73
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
digunakan adalah penggabungan usaha atau biasa dikenal dengan merger atau konsolidasi. Beams dan Jusuf (2000:2-3) mengungkapkan beberapa alasan yang mendasari tindakan penggabungan usaha yaitu: manfaat biaya, risiko lebih rendah, penundaan operasi lebih sedikit, mencegah pengambilalihan, akuisisi aset tak berwujud, dan alasan-alasan lain. Dewan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia secara terpisah mengatur perlakuan penggabungan usaha dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 22 tentang Akuntansi Penggabungan Usaha. Tujuannya adalah untuk mengatur akuisisi suatu perusahaan oleh perusahaan lain dan juga penyatuan kepemilikan (pooling of interest) apabila pengakuisisian tidak dapat diidentifikasikan. Dengan adanya perubahan peraturan mengenai metode penggabungan usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dapat membantu pengusaha dalam meminimalkan pembayaran pajak. Keputusan Menteri Keuangan yang tertera dalam PMK-43/PMK.03/2008, menyatakan bahwa penggunaan metode pooling of interest dapat digunakan dalam penggabungan usaha. Perbedaan yang mendasar antara kedua metode ini adalah, jika menggunakan metode pembelian (by purchase) maka selisih antara nilai wajar dan nilai buku pada suatu aset akan menjadi objek pajak. Karena selisih antara nilai tersebut merupakan tambahan penghasilan bagi perusahaan. Sedangkan penggunaan metode pooling of interest dalam penggabungan usaha, tidak akan menimbulkan objek pajak penghasilan, karena aset perusahaan dinilai berdasarkan nilai buku. Namun perusahaan yang akan menggunakan metode ini diharuskan memenuhi beberapa persyaratan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aboodyl (2000), penggabungan usaha berkaitan dengan nilai perusahaan. Jika perusahaan yang mempunyai nilai aset yang tinggi akan memilih metode pooling of interest. Sedangkan perusahaan yang mempunyai kecendurungan nilai aset yang rendah akan memilih untuk menggunakan metode by purchase. Melalui pemaparan sebelumnya, peningkatan efisiensi dan produktivitas suatu badan usaha dapat dilakukan melalui tindakan restrukturisasi. Tindakan restrukturisasi yang sering digunakan oleh perusahaan adalah penggabungan usaha atau biasa dikenal dengan merger atau konsolidasi. Dalam peraturan perpajakan yang tertuang dalam PMK-43/PMK.03/2008, memperbolehkan penggunaan metode pooling of interest. Hal ini berbeda dari Keputusan Menteri Keuangan yang sebelumnya (KMK 469/KMK.04/1998) yang tidak
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
memperbolehkan penggunaan metode pooling of interest. Tujuan adanya keputusan ini adalah untuk membantu pengusaha dalam meminimalkan pembayaran pajak. Dalam penelitian ini, dampak penggunaan metode penggabungan usaha by purchase dan pooling of interest dalam akuntansi dan pajak penghasilan akan dijabarkan secara lebih rinci.
PENGGABUNGAN USAHA Konsep Penggabungan usaha Konsep penggabungan usaha direfleksikan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 22 tentang Akuntansi Pengembangan Usaha mendefenisikan penggabungan usaha sebagai penyatuan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi karena satu perusahaan menyatu dengan (unithing with) perusahaan lain atau memperoleh kendali (control) atas aset dan operasi perusahaan lain. Sedangkan Beams dan Jusuf (2000:2-3) mendefinisikan penggabungan usaha sebagai usaha dalam menggabungkan suatu perusahaan dengan satu atau lebih perusahaan lain ke dalam satu kesatuan ekonomis. Menurut Keputusan Bapepam, penggabungan usaha yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya Perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Selanjutnya Putra (2007) mendefinisikan penggabungan usaha adalah aktifitas perluasan usaha yang dilakukan dengan cara menggabungkan suatu perusahaan dengan satu atau lebih perusahaan lain ke dalam satu kesatuan ekonomi, sebagai upaya untuk memperluas usaha. Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.04/1998 menyatakan penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1998, penggabungan usaha adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 yang dimaksud dengan penggabungan usaha adalah penggabungan usaha dengan menggunakan pencatatan metode by purchase. GAAP menerangkan bahwa penggabungan usaha dihitung berdasarkan
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
penggunaan metode purchase atau pooling of interest. Pada penggunaan metode, harus disertakan pertimbangan kriteria, syarat akuntansi dan pelaporan, dan penjelasan dalam catatan kaki. Bentuk-bentuk Penggabungan Usaha Beams dan Jusuf (2000) menyatakan bentuk-bentuk penggabungan usaha dapat dibedakan ke dalam berbagai macam bentuk menurut: 1. Segi Jenis Usaha yang Bergabung Gambar 1
Penggabungan Usaha Berdasarkan Jenis Usaha yang Bergabung
Berdasarkan Jenis Usaha yang Bergabung Penggabungan Usaha Vertikal Penggabungan Usaha
Penggabungan Usaha Horisontal Penggabungan Usaha Konglomerasi
Gambar 1. Penggabungan Usaha Berdasarkan Jenis Usaha yang Bergabung
a. Penggabungan Vertikal Penggabungan vertikal yang terjadi antara badan usaha, dimana badan usaha yang satu bersifat sebagai penyedia bahan baku, supplies bagi bahan produk perusahaan lainnya. Tujuan dari penggabungan jenis ini adalah dalam rangka mendapatkan kepastian pemasaran hasil produksi atau kontinuitas persediaan bahan baku. Menurut Suparwoto (1990:4-5) menyatakan penggabungan vertikal terjadi apabila perusahaan-perusahaan yang melakukan penggabungan badan usaha tersebut mempunyai kegiatan yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu sebagai rekanan dan langganan. Keuntungan yang dapat diperoleh dalam penggabungan usaha jenis ini adalah: risiko terjadinya kesulitan dalam memperoleh bahan baku akan berkurang (bahan baku terjamin, baik kuantitas, kualitas, maupun waktu), memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih murah, mutu produksi menjadi lebih baik, dan biaya produksi per satuan turun karena adanya proses produksi
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
terintegrasi. b. Penggabungan Horisontal Penggabungan horisontal terjadi apabila perusahaan-perusahaan yang bergabung menjalankan fungsi produksi dan penjualan barang-barang yang sejenis. Latar belakang penggabungan usaha ini adalah untuk mengurangi tingkat persaingan di antara perusahaan yang sejenis tersebut. Suparwoto (1990: 5-6) mendefinisikan penggabungan usaha horisontal terjadi apabila perusahaan-perusahaan yang melakukan penggabungan badan usaha tersebut mempunyai usaha yang sama (menghasilkan barang atau jasa yang sifatnya substitusi). Jadi sebelum melakukan penggabungan usaha, perusahaan-perusahaan tersebut saling bersaingan. Keuntungan yang dapat diperoleh melalui penggabungan usaha ini adalah: menghilangkan terjadinya persaingan diantara perusahaan-perusahaan tersebut, meningkatkan daya saing, dan menurunkan biaya produksi per satuan (karena berproduksi pada skala yang lebih besar dan perpaduan dari pengalaman masing-masing). c. Penggabungan Konglomerasi Penggabungan ini merupakan gabungan antara penggabungan horisontal dan vertikal. Tujuan dari penggabungan jenis ini adalah menggabungkan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh masingmasing perusahaan yang bergabung. Suparwoto (1990:6) menjelaskan bahwa penggabungan konglomerasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yang pertama adalah penggabungan badan usaha vertikal dan penggabungan badan usaha horisontal secara bersama-sama. Sedangkan penggabungan usaha konglomerasi yang kedua adalah penggabungan badan usaha yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak mempunyai hubungan usaha. Keuntungan utama dari penggabungan usaha ini adalah menurunkan risiko yang diperoleh melalui diversifikasi usaha. 2. Segi Kejadian Hukum a. Merger Merger adalah penggabungan perusahaan dengan jalan pemilikan langsung oleh suatu perusahaan terhadap aset milik dari suatu atau lebih perusahaan yang digabungkan. Penggabungan dengan cara merger mengakibatkan perusahaan yang menyerahkan aset miliknya dibubarkan dan kehilangan statusnya sebagai unit usaha yang terpisah.
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
Sedangkan perusahaan yang mengambil alih aset adalah satu-satunya perusahaan yang identitasnya masih seperti sediakala. Selanjutnya Hadori dan Harnanto (1992:227) menyebutkan bahwa perusahaan yang mengambil alih aset milik perusahaan lain merupakan satusatunya di antara perusahaan yang bergabung tersebut untuk tetap mempertahankan identitas serta melanjutkan usahanya. Biasanya penggabungan semacam ini dilakukan dengan jalan memiliki seluruh aset kekayaan dan mengakui semua kewajiban dari perusahaan yang dibubarkan tersebut. Dalam hal pembayaran melebihi jumlah (di atas) nilai pasar dari kekayaan bersih yang diserahkan, selisih tersebut diakui dan dicatat sebagai pembayaran goodwill. b. Konsolidasi Penggabungan perusahaan disebut dengan konsolidasi, jika dalam proses penggabungan itu dibentuk sebuah perusahaan baru dengan tujuan khusus untuk membeli (mengambil alih) aset milik dan mengakui hutang-hutang dari dua atau lebih perusahaan yang telah ada. Menurut Handori dan Hananto (1992), penggabungan perusahaan disebut konsolidasi, jika dalam proses penggabungan itu dibentuk sebuah perusahaan baru dengan tujuan khusus untuk membeli (mengambil alih) aset milik dan mengakui hutang-hutang dari dua atau lebih perusahaan yang telah ada. Biasanya perusahaan baru yang dibentuk akan mengeluarkan modal saham (surat berharga) sebagai alat pembayaran atas kekayaan bersih yang diserahkan oleh perusahaan-perusahaan lain. Selanjutnya GAAP No. 12 menyatakan bahwa “consolidation takes place when the parent owns more than 50% of the voting common stock of the subsidiary. The purpose behind consolidation is to report as one economic unit the financial position and operational performance of a parent and its majority-owned subsidiaries.” Metode Akuntansi untuk Penggabungan Usaha Terdapat dua metode akuntansi untuk penggabungan usaha yang diterima secara umum, yaitu metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest method) dan metode pembelian (purchase method). Tetapi kedua metode tersebut bukanlah alternatif dalam akuntansi penggabungan usaha yang sama. Suatu penggabungan usaha yang memenuhi kriteria PSAK No. 22 untuk penyatuan
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
kepemilikan harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan metode penyatuan. Dua metode pencatatan penggabungan usaha: 1. Pembelian (by purchase) Metode pembelian atau by purchase adalah suatu transaksi dimana suatu entitas memperoleh aset bersih dari perusahaan-perusahaan lain yang tergabung. Penggabungan badan usaha dapat dikatakan atas dasar pembelian jika penggabungan badan usaha tersebut membuat pemilik perusahaan yang bergabung tidak ikut berpartisipasi dalam seluruh kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang dibentuk. Sesuai dengan PSAK No. 22, perusahaan pengakuisisi dapat mengeluarkan biaya langsung (direct cost) yang dapat didistribusikan langsung pada tanggal akuisisi tertentu. Biaya langsung terdiri dari biaya registrasi dan emisi saham, honorarium tenaga profesional seperti akuntan, penasihat hukum, penilai dan konsultan lain sehubungan dengan akuisisi. Biaya-biaya pendaftaran dan penerbitan surat berharga ekuitas yang diterbitkan dalam suatu penggabungan usaha secara pembelian dibebankan sebesar nilai wajar surat-surat berharga yang diterbitkan, biasanya sebagai pengurangan tambahan modal disetor. Dalam metode ini, perolehan aset-aset perusahaan dicatat atas dasar harga perolehan. Metode pembelian didasarkan pada asumsi bahwa penggabungan usaha merupakan suatu transaksi dimana suatu entitas memperoleh aset bersih dari perusahaan-perusahaan lain yang bergabung. Jika biaya investasi melebihi nilai pasar bersih, pertama dialokasikan pada aset bersih yang dapat diidentifikaiskan berdasarkan nilai wajarnya dan kelebihannya dialokasikan pada goodwill. Jumlah yang ditetapkan pada goodwill dan pada aset berwujud yang dapat diidentifikasikan harus diamortisasi sepanjang masa manfaat tetapi tidak lebih dari 20 tahun. Seperti yang diatur dalam PSAK No. 19, maksimum periode amortisasi goodwill adalah 20 tahun. Amortisasi dilakukan secara garis lurus, kecuali jika perusahaan dapat menunjukkan bahwa metode yang sistemastis lainnya lebih baik. Sedangkan dalam PSAK No.48, pasal 7 manyatakan bahwa: “Pada setiap tanggal neraca, perusahaan harus mereview ada atau tidaknya indikasi penurunan nilai aset. Jika terdapat indikasi penurunan nilai aset, perusahaan harus menaksir jumlah yang dapat diperoleh kembali dari aset tersebut”
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
Pada beberapa kasus penggabungan usaha lainnya, total nilai wajar atas aset yang diperoleh dapat diidentifikasi terhadap kewajiban yang ditanggung mungkin melebihi biaya perusahaan yang dibeli. Prosedur akuntansi untuk mengatur kelebihan nilai pasar pada situasi ini dijelaskan dalam PSAK No. 22, paragraf 46: “Jika biaya perolehan lebih rendah dari bagian pengakuisisi atas nilai pasar aset dan kewajiban yang dapat diidentifikasi yang diakuisisi pada tanggal transaksi, maka nilai nilai pasar aset non-moneter yang diakuisisi harus diturunkan secara proporsional, sampai seluruh selisih tersebut dieliminasi. Apabila setelah nilai pasar aset non-moneter sudah diturunkan seluruhnya, ternyata masih terdapat sisa selisih yang belum dieliminasi, maka selisih tersebut diakui sebagai goodwill negatif dan diperlakukan sebagai pendapatan ditangguhkan (deferred income) dan diakui sebagai pendapatan secara sistematis selama suatu periode yang tidak kurang dari 20 tahun.” Dalam International Financial Reporting Standard (IFRS), yang diterbitkan tahun 2004 mengeluarkan peraturan baru berkaitan dengan merger (penggabungan) dan akuisisi. IFRS No. 3, yang mulai berlaku sejak Maret 2004 menyatakan bahwa perusahaan tidak diperbolehkan menggunakan metode akuntansi pooling of interest (penyatuan kepemilikan) dalam menjalankan bisnisnya. Selain itu metode pembelian tradisional yang digunakan dalam menghitung merger, dengan mengamortisasi aset goodwill selama periode tertentu, juga tidak diperbolehkan. IFRS No. 3 tidak lagi memperkenankan amortisasi atas goodwill yang berasal dari transaksi penggabungan usaha. Goodwill dianggap habis dengan sendirinya seiring dengan terjadinya penurunan nilai aset yang dilakukan berdasarkan International Accounting Standard (IAS) No. 36 tentang “Impairment of Assets”. Oleh sebab itu perusahaan diharuskan membuat goodwill impairment test (laporan tes pengurangan goodwill tahunan) berdasarkan fair value (nilai sebenarnya). Perusahaan harus mengakui goodwill sebagai aset dalam laporan keuangannya dan menyajikannya secara terpisah dalam neraca. Pelaksanaan impairment test dan penghitungan unit bisa dilakukan setiap saat, tidak perlu menunggu akhir tahun fiskal. Sehingga jika ada perubahan kondisi keuangan perusahaan, misalnya ada
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
kerugian, maka amortisasi goodwill dapat langsung dilakukan. Menurut International Accounting Standard (IAS) No. 22, menyatakan bahwa perusahaan yang mengakuisisi mulai dari tanggal akuisisi harus melakukan: • Incorporate into the income statement the result of operation of the acquiree • Recognize in the balance sheet the assets and liabilities of the acquiree and any goodwill or negative goodwill arising on the acquisition Tanggal akuisisi adalah tanggal dimana pengendalian dari asset dan aktivitas operasi dari perusahaan yang diakuisisi secara efektif diberikan pada perusahaan yang mengakuisisi dan tanggal dimana aplikasi dari metode pembelian dilakukan. Sedangkan menurut PSAK Nomor 22, untuk penggabungan usaha yang merupakan akuisisi pengungkapan tambahan berikut dalam laporan keuangan harus dibuat pada periode terjadinya akuisisi: • Persentase saham berhak suara yang diperoleh • Biaya perolehan (acquisition cost) dan penjelasan tentang harga beli yang telah dibayar atau terutang secara kontinjen (contingently payable) • Sifat dan jumlah penyisihan untuk beban restrukturisasi dan beban penutupan pabrik yang timbul akibat akuisisi dan diakui pada tanggal akuisisi • Dalam suatu akuisisi, jika nilai wajar asset dan kewajiban atau harga beli (purchase consideration) hanya akan dapat ditentukan pada akhir periode akuisisi dilaksanakan, hal tersebut harus diungkapkan beserta alasannya. Jika setelah tanggal akuisisi terdapat penyesuaian atas taksiran nilai wajar tersebut, penyesuaian tersebut harus diungkapkan dan dijelaskan dalam laporan keuangan pada periode terjadinya. 2. Penyatuan kepemilikan (pooling of interest) PSAK No. 22 memberikan definisi suatu penggabungan usaha dimana para pemegang saham perusahaan yang bergabung bersama-sama menyatukan kendali atas seluruh, atau secara efektif seluruh aset neto dan operasi perusahaan perusahaan yang bergabung tersebut dan selanjutnya memikul bersama segala resiko dan manfaat yang melekat pada entitas gabungan, sehingga tidak ada pihak yang dapat diidentifikasi sebagai
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
perusahaan pengakuisisi. Biaya perolehan bagi entitas pembeli atas pemerolehan perusahaan lain dalam suatu penggabungan usaha secara pembelian diukur dengan jumlah kas yang dikeluarkan atau nilai wajar aset lain yang didistribusikan atau surat berharga yang diterbitkan. Biaya perolehan juga meliputi biaya langsung penggabungan (seperti akuntansi, hukum, konsultan, dan biaya-biaya pendiri) selain dari biaya-biaya untuk pendaftaran tau penerbitan surat berharga ekuitas. Biaya administrasi umum yang terdiri dari biaya lain yang tidak dapat secara langsung didistribusikan pada akuisisi tertentu, tidak diakui sebagai biaya perolehan tetapi dibebankan pada saat terjadi pada periode berjalan. Penggabungan badan usaha dianggap menggunakan metode pooling of interest, jika badan usaha yang baru adalah kelanjutan dari semua badan usaha yang bergabung. Baik dalam bentuk badan usaha yang tunggal maupun sebagai induk perusahaan dengan satu atau beberapa anak perusahaan. Selanjutnya IAS No. 22 menyatakan bahwa: “In applying the pooling of interest method, the financial statement items of the combining enterprises for the period in which the combination occurs and for any comparative periods disclosed should be included in the financial statements of the combined from the beginning of the earliest period presented. The financial statement of an enterprise should not incorporate a uniting of interest is after the date of the most recent balance sheet included in the financial statements.” Lebih lanjut dalam Generally Accounting Accepted Principles (GAAP) menerangkan bahwa metode pooling of interest digunakan jika pembelian saham biasa melebihi 90% atau lebih dan 12 kriteria untuk pooling of interest telah dipenuhi. Jika salah satu saja kriteria tidak terpenuhi, maka penggunaan metode pooling of interest tidak bisa digunakan dan harus menggunakan metode purchase. Menurut Zulfikar (2002) penjelasan mengenai 12 kriteria tersebut dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu: • Atribut Perusahaan yang Bergabung Dua kondisi untuk penyatuan kepemilikan diklasifikasikan sebagai atribut dari perusahaan yag bergabung. Kondisi pertama adalah setiap perusahaan yang bergabung adalah otonom dan bukan perusahaan anak dari perusahaan lain dalam waktu dua tahun sebelum neraca
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
penggabungan usaha diajukan. Kondisi kedua adalah setiap perusahaan yang bergabung adalah independen terhadap perusahaan yang bergabung lainnya. Hal ini berarti bahwa perusahaan yang bergabung lainnya memiliki tidak lebih dari 10% saham berhak suara dari setiap perusahaan yang bergabung. • Cara Menggabungkan Kepemilikan Tujuh kondisi diklasifikasikan dalam judul ini. Pertama, penggabungan usaha harus dilakukan dalam transaksi tunggal dalam satu tahun setelah direncanakan. Kedua, perusahaan penerbit harus menawarkan dan hanya menerbitkan saham biasa dalam pertukaran hampir seluruhnya (90%) saham berhak suara yang beredar dari perusahaan lain pada tanggal perencanaan dilaksanakan. Jika perusahaan yang bergabung memiliki saham pada perusahaan yang menerbitkan, saham ini harus dikonversikan dengan jumlah saham yang setara dan juga dikurangkan dari saham yang beredar untuk menentukan jumlah saham yang akan dipertukarkan. Ketiga, tidak satupun perusahaan yang bergabung mengubah kepemilikan modal atas saham biasa berhak suara dalam kurun waktu dua tahun sebelum pengajuan rencana penggabungan atau antara tanggal pengajuan dan pelaksanaan. Keempat, setiap perusahaan yang bergabung memperoleh kembali saham biasa berhak suara hanya untuk tujuan selain penggabungan usaha dan tidak ada perusahaan yang memperoleh kembali lebih dari julah normal saham antara tanggal pengajuan dan pelaksanaan. Kondisi kelima, mensyaratkan proporsi kepemilikan untuk setiap individu pemegang saham biasa pada setiap perusahaan yang bergabung tetap sama seperti saat pertukaran saham yang mempengaruhi penggabungan. Kondisi keenam, menetapkan bahwa hak suara pada perusahaan gabungan harus segera dapat digunakan oleh para pemegang saham. Kondisi ketujuh, mensyaratkan penyelesaian gabungan pada tanggal pelaksana tanpa adanya ketetapan yang ditunda yang berhubungan dengan penerbitan surat berharga atau pertimbangan lainnya. • Ketiadaan transaksi-transaksi yang telah direncanakan Kelompok terakhir kondisi-kondisi untuk penyatuan kepemilikan berhubungan dengan transaksi-transaksi yang telah direncanakan entitas gabungan. Seperti pembayaran atau perolehan kembali saham yang dikeluarkan untuk mempengaruhi penggabungan, perusahaan
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
tidak boleh melakukan perikatan keuangan (seperti jaminan utang), dan perusahaan gabungan tidak boleh berencana menjual bagian yang signifikan dari aset perusahaan bergabung dalam dua tahun setelah penggabungan. Dalam PSAK Nomor 22, pengungkapan tambahan berikut harus dibuat dalam laporan keuangan pada periode terjadinya: • Penjelasan dan jumlah saham yang diterbitkan, serta persentase saham berhak suara setiap perusahaan yang dipertukarkan untuk melaksanakan penyatuan kepemilikan tersebut • Jumlah asset dan kewajiban yang diserahkan oleh setiap perusahaan • Pendapatan penjualan, pendapatan operasional lainnya, pos luar biasa, dan laba bersih (rugi) dari masing-masing perusahaan untuk periode sebelum penggabungan, yang termasuk dalam laba bersih (rugi) yang disajikan dalam laporan keuangan gabungan. Keuntungan menggunakan metode pooling of interest adalah penggunaan biaya historis, yang tidak akan menimbulkan goodwill. Kelemahan penggunaan metode ini adalah kecenderungan menyajikan laporan keuangan yang overstatement karena penjualan asset berdasarkan biaya terendah dan diakui sebagai keuntungan, biaya depresiasi yang rendah, dan memberikan keuntungan dari perusahaan yang diakuisisi sepenuhnya mulai dari tanggal akuisisi. Berikut ini adalah gambar mengenai penggabungan usaha berdasarkan segi kejadian hukum dan metode pencatatannya:
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
Gambar 2. Penggabungan Usaha Berdasarkan Hukum dan Metode Pencatatannya
Beberapa penelitian yang mengambil topik penggabungan usaha dan berkaitan dengan akuntansi adalah: • Nathan and Dunne (1991), menyebutkan bahwa standar atau aturan yang berlaku pada suatu negara berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi penggabungan usaha. Dalam hal ini, standar yang dimaksud adalah APB 16 dan APB 17. Dibuatnya APB 16 membuat penurunan penggunaan metode pooling of interest, hal ini dikarenakan adanya 12 kriteria yang harus ditaati oleh perusahaan jika akan menggunakan metode pooling of interest. • Aboody et all. (2000) menambahkan bahwa penggabungan usaha terkait dengan nilai perusahaan yang akan diakuisisi. Semakin tinggi nilai perusahaan tersebut, akan membuat perusahaan yang mengakuisisi memilih menggunakan metode pooling of interest daripada purchase. Debt equity ratio sebuah perusahaan juga menjadi salah satu kriteria penting dalam membuat keputusan penggabungan usaha. Selain itu, pemilihan metode pencatatan penggabungan usaha juga terkait dengan kebijakan laporan keuangan perusahaan • Zulfikar (2000) menyatakan kondisi-kondisi penggabungan usaha sangat penting untuk diperhatikan bagi perusahaan sebelum mengadakan penggabungan usaha karena akan berkaitan dengan metode akuntansi yang akan digunakan. Dalam PSAK No 22 telah diatur akuisisi suatu perusahaan oleh perusahaan lain dan juga penyatuan kepemilikan (pooling of interest) apabila pengakuisisi tidak dapat diidentifikasikan.
PAJAK PENGHASILAN Pajak adalah kontribusi kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007). Pajak penghasilan yaitu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak (Suandy, 2006:81) Badan menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Tarif pajak badan dan bentuk usaha tetap menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 adalah tunggal sebesar 28%. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh badan usaha yang ingin melakukan penggabungan usaha dengan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest). Beberapa syarat tambahan yang tertuang dalam pasal 2 tersebut adalah: • Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha • Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan yang terkait • Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) Syarat lain adalah perubahan perlakuan kerugian atau sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri atau meleburkan diri. Kerugian atau sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri tidak boleh dialihkan kepada Wajib Pajak yang dilebur. Hal ini bertujuan untuk mencegah Wajib Pajak memanfaatkan penggabungan usaha atau peleburan usaha untuk mengalihkan kerugian atau sisa kerugiannya. Syarat ini tertuang dalam pasal 3, yang isinya Wajib Pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
(1) tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/wajib pajak yang dilebur. Dalam aturan perpajakan, goodwill yang dihasilkan dalam penggabungan usaha dianggap sebagai peningkatan pendapatan atas perusahaan yang bergabung. Sehingga selisih dari nilai perolehan atas aset dianggap sebagai obyek pajak penghasilan. Jika dalam aturan akuntansi, goodwill dapat diamortisasi dengan jangka waktu yang tidak lebih dari 20 tahun, maka dalam peraturan perpajakan goodwill dianggap kenaikan pendapatan pada saat terjadinya transaksi penggabungan usaha. Sedangkan dalam International Accounting Standard (IAS) ada perlakuan goodwill impairment test maka dalam perpajakan juga tidak dilakukan goodwill impairment test. Penelitian yang dilakukan oleh Mangoting (1999) berbicara mengenai perbedaan kedua metode pencatatan penggabungan usaha dan implikasinya terhadap pajak penghasilan suatu badan. Dari paparan ini, ada dua perbedaan yang mendasar mengenai penggunaan metode pencatatan ini. Dalam penggunaan metode by pourchase, akan timbul objek pajak penghasilan karena adanya selisih antara nilai buku dan nilai perolehannya. Namun penggunaan metode pooling of interest tidak akan menimbulkan objek pajak pengasilan, karena nilai perolehan dihitung berdasarkan nilai bukunya. Sedangkan penelitian Savitri (2000) menjelaskan tentang berbagai alternatif penggunaan kedua metode jika dilihat dari perspektif perpajakan. Temuannya menyatakan bahwa penggabungan usaha akan mengakibatkan pajak penghasilan yang lebih tinggi. Selain itu biaya yang harus dkeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan penggabungan usaha akan meningkat. Karena dibutuhkan ijin dari berbagai pihak, agar penggabungan usaha tersebut lancar.
DAMPAKAKUNTANSI DAN PERPAJAKAN DALAM PEMILIHAN METODE PENGGABUNGAN USAHA Dua metode akuntansi dalam penggabungan usaha akan menimbulkan dampak baik dalam akuntasi itu sendiri maupun dalam perpajakan. Penggunaan metode by purchase akan memberikan dampak bagi akuntansi, yaitu timbulnya goodwill positif, goodwill negatif, atau tidak timbulnya goodwill. Sedangkan penggunaan metode pooling of interest tidak akan memberikan dampak timbulnya goodwill dalam suatu penggabungan usaha, karena penilaian atas perolehan aset bersih menggunakan nilai buku.
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
Dampak penggunaan metode penggabungan usaha dalam akuntansi, akan berimbas pula pada aspek perpajakan. Timbulnya goodwill positif pada penggabungan usaha akan menjadi objek pajak. Sedangkan goodwill negatif tidak akan menimbulkan objek pajak (tidak bayar pajak). Tetapi goodwill negatif tidak bisa dikompensasikan untuk pengurang pajak yang terutang. Goodwill negatif sebenarnya adalah kerugian yang tertunda, yang dialami oleh perusahaan yang melakukan akusisi. Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2008, menyatakan bahwa dalam hal penggunaan metode penyatuan kepentingan (pooling of interest), kerugian tidak bisa dikompensasikan ke badan usaha yang melakukan penggabungan usaha tersebut. Sedangkan jika perusahaan yang tidak memperoleh goodwill, maka tidak ada pengaruhnya ke perpajakan, karena tidak menimbulkan objek pajak. Peraturan yang terkait dengan adanya objek pajak, tertuang dalam UndangUndang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, pasal 4 ayat 1 huruf d. “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: Penggantian atau imbalan berkenaan dengan keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. Keuntungan karena pengalihan harta keoada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Perusahaan akan memperoleh keuntungan dari sini. Perusahaan tidak membayar pajak yang mungkin akan ditimbulkan dalam penggabungan usaha tersebut, karena tidak ada objek pajak yang timbul dalam kegiatan tersebut. Ilustrasi mengenai dampak akuntansi dan perpajakan dalam penggabungan usaha, akan digambarkan pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3Usaha dan Pajak Penghasilan Penggabungan Dampak Penggunaan Metode Penggabungan Usaha terhadap Akuntansi dan Perpajakan
Metode
Dampak Akuntansi
Dampak Perpajakan
Goodwill Positif
Timbul obyek pajak
Goodwill Negatif
Tidak timbul obyek pajak
By Purchase
Penggabungan Usaha
Tidak Timbul goodwill
Pooling of Interest
Tidak timbul goodwill
Tidak timbul obyek pajak
Tidak timbul obyek pajak
Gambar 3. Dampak Penggunaan Metode Penggabungan Usaha Terhadap Akuntansi dan Perpajakan Metode penggabungan usaha ada dua, yaitu pembelian (by purchase) dan penyatuan kepemilikan (pooling of interest). Perbedaan yang mendasar mengenai kedua metode tersebut, adalah penilaian atas aset yang diperoleh. Dalam menggunakan metode by purchase, penilaian atas aset didasarkan pada nilai wajar yang berlaku saat itu. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi timbulnya goodwill positif (jika nilai wajar lebih besar daripada nilai buku), goodwill negatif (jika nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku), dan tidak timbul goodwill (jika nilai wajar sama dengan nilai buku). Metode penggabungan usaha secara umum mengikuti prinsip akuntansi yang sama untuk pencatatan penggabungan usaha seperti yang diikuti dalam akuntansi untuk aset-aset dan kewajiban-kewajiban berdasarkan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU). Jika suatu pengabungan usaha dianggap sebagai pembelian, maka aset kekayaan yang diperoleh dalam transksi penggabungan usaha harus dicatat atas dasar harga perolehan. Biaya perolehan bagi entitas pembeli atas pemerolehan perusahaan lain dalam suatu penggabungan usaha secara pembelian diukur dengan jumlah kas yang
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
dikeluarkan atau surat berharga yang diterbitkan. Jika penggabungan usaha dilakukan dengan menggunakan metode pembelian, maka aset yang diperoleh dari suatu badan usaha yang melakukan pengambilan aset tersebut dicatat dan diakui sebesar nilai pasarnya (penilaian kembali), sebaliknya modal saham dicatat dengan jumlah yang sama. Hal ini mendorong untuk diakui adanya ‘Aset Tak Berwujud’ (goodwill) yang merupakan selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aset dan kewajiban yang dapat diidentifikasi pada tanggal transaksi.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Penggabungan usaha adalah usaha untuk menggabungkan suatu perusahaan dengan satu atau lebih perusahaan lainnya ke dalam suatu kesatuan ekonomis. Dalam akuntansi penggabungan usaha mempunyai dua metode pencatatan, yaitu metode pembelian (by purchase method) dan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest method). Dalam penggunaan metode by purchase, penilaian atas perolehan aset didasarkan pada nilai pasar atau nilai wajarnya. Hal ini akan menyebabkan timbulnya goodwill, karena adanya selisih lebih atas biaya perolehan atas aset dengan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aset dan kewajiban yang dapat didentifikasi pada saat tanggal terjadinya transaksi. Sedangkan pada penggunaan metode pooling of interest, maka jumlah aset kewajiban dan ekuitas para pemilik yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang menggabungkan diri dicatat dan diakui sesuai dengan nilai bukunya. Maka dengan menggunakan metode pooling of interest tidak akan menimbulkan goodwill, karena penilaian dan pencatatan didasarkan atas nilai buku atau nilai historisnya. Goodwill yang diperoleh dari penggabungan usaha termasuk dalam objek pajak penghasilan. Sehingga tidak hanya keuntungan atas perbedaan nilai buku dan nilai wajar aset perusahaan saja yang dianggap sebagai keuntungan. Objek pajak penghasilan dalam penggabungan usaha semestinya berasal dari keuntungan atas perbedaan penilaian aset ditambah dengan goodwill. Kondisi krisis ekonomi yang berkelanjutan, membuat Direktorat Jenderal Pajak melakukan perubahan keputusan mengenai pemakaian metode pooling of interest. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008, maka perusahaan yang akan melakukan penggabungan usaha diperbolehkan menggunakan metode penyatuan kepemilikan tanpa ada batasan jenis usaha
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
dari perusahaan yang bergabung. Peraturan Menteri Keuangan No.43/ PMK.03/2008 memuat syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh perusahaan yang akan menggunakan metode pooling of interest: • Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha • Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan yang terkait • Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test) Penggunaan metode pooling of interest akan menimbulkan keuntungan dalam jangka pendek saja. Hal ini bisa dilihat dalam kewajiban pembayaran pajak setelah penggabungan usaha yang relatif tetap dari tahun ke tahun. Sedangkan penggabungan usaha dengan menggunakan metode by purchase akan menimbulkan keuntungan dalam jangka panjang. Hal ini bisa dilihat dalam pembayaran pajak yang relatif turun dari tahun ke tahun. Penggabungan usaha yang akan dilakukan oleh perusahaan, sebaiknya dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Keputusan untuk melakukan penggabungan usaha sebaiknya didasarkan pada tujuan operasi perusahaan. Suatu perencanaan penggabungan usaha harus sesuai dengan bentuk transaksi yang diinginkan oleh perusahaan. Dalam pembahasan di bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa penggabungan usaha menyebabkan pajak yang terutang lebih tinggi. Jika dalam pembahasan sebelumnya dipaparkan bahwa penggunaan metode pooling of interest akan menghasilkan pajak penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan metode by purchase. Namun, penggunaan metode pencatatan hendaknya didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam membayar pajak, karena pembayaran pajak dengan menggunakan metode by purchase akan mengharuskan perusahaan untuk membayar pajak yang lebih besar pada periode saat terjadinya transaksi. Karena perolehan saldo laba pada perusahaan yang bergabung dengan menggunakan metode by purchase akan lebih kecil, dibandingkan dengan penggunaaan metode pooling of interest. Sedangkan pada penggunaan pooling of interest akan menghasilkan pembayaran pajak yang lebih besar pada periode-periode selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
——, “Rencana Merger Bank Lippo dan Bank Niaga Akhirnya Terealisasi”, mybusinessblogging.com/stock-market/2008/06/03/rencana-mergerbank-lippo-dan-bank-niaga-akhirnya-terealisasi/, 25 Februari 2009 Aboody, David, Ron Kasznik, Michael Williams, “ Purchase versus Pooling in Stock-for-stock acquisitions: Why do Firms Care?”, Journal of Accounting and Economics 29, pp.261-286. www.elsevier.com/locate/ econbase. 11 Juli 2008, 2000 Accounting Standards Boards, “APB 16”, American Institute of Certified Public Accountant (AICPA), 1999 Badan Pengawas Pasar Modal, “Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-52/ PM/1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Publik atau Emiten”, Jakarta: Bapepam, 1997 Beams, Floyd dan Amir Abadi Yusuf, “Akuntansi Keuangan Lanjutan di Indonesia”, Buku satu, Jakarta: Salemba Empat. 2000 Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, “Ketentuan Perpajakan Indonesia : Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan”, Jakarta: Ditjen Pajak. 1994 Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, “Keputusan Menteri Keuangan Nomor 637/KMK.04/1997 tentang Penggunaan nilai buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha”, Jakarta: Ditjen Pajak. 1994 Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, “Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha”, Jakarta: Ditjen Pajak. 1998 Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, “Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.04/1998 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka
Penggabungan Usaha dan Pajak Penghasilan
Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha”, Jakarta: Ditjen Pajak. 1998 Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak, “Keputusan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha”, Jakarta: Ditjen Pajak. 2008 Generally Accounting Accepted Principles, “GAAP Handbook of Policies and Procedures”, Prentice Hall. 2001 Hellerstein, Jerome R., “Merger, Tax, and Realism”, Harvard Law Review, Vol. 71, Issue 2, Desember:254-292. http://web.ebscohost.com/ehost/ pdf?. 11 Juli 2008. 1957 Ikatan Akuntan Indonesia, ”Standar Akuntansi Keuangan”, Jakarta: Devisi Penerbitan IAI. 1998 International Accounting Standards Committee, “International Accounting Standards”. 1995 Mangoting, Yenni, 1999, “Penggunaan Metode By Purchase dan Pooling of Interest dalam Rangka Penggabungan Usaha (Bussiness Combination) dan Efeknya Terhadap Pajak Penghasilan”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.1, No. 2 Nopember:132-143, Fakultas Ekonomi Universitas Petra, Surabaya. 1999 Nathan, Kevin and Kathleen M. Dunne, “The Purchase-Pooling choice: Some Explanatory Variables”, Journal Accounting and Public Policy, Vol 10, pp. 309-323. 1991 Putra, “Accounting, Finance, and Taxation”, http://putra-finance-accountingtaxation.blogspot.com/2008/05/merger-acquisition-accounting-part-1. html. 5 Mei 2008. 2007 Santosa, Imam, “Advance Pricing Agreement dan Problematikanya”, Jurnal
Jurnal Akuntansi, Volume 10, Nomor 1, Januari 2010 : 73 - 94
Akuntansi dan Keuangan, Vol. 6, No. 2. 2004 Savitri, Maya, “Keputusan Penggabungan Perusahaan Evaluasi dari Sudut Pandang Pajak Penghasilan Perusahaan”, Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 2, No. 2, Agustus: 158-174. 2002 Suparwoto, L, “Akuntansi Keuangan Lanjutan”, Buku Satu, Yogyakarta: BPFE. 1990 Yunus, Handori dan Hananto,”Akuntansi Keuangan Lanjutan”, Buku Satu, Yogyakarta:BPFE. 1992 Zulfikar, 2000, “Kondisi-Kondisi untuk Penyatuan (Pooling) dalam Penggabungan Usaha (Business Combination): Suatu Tinjauan terhadap PSAK No. 22”, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 4, No. 2 Desember:181-189, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 2000