ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)
OLEH RETNO KHAIRUNNISA H14070068
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
RETNO KHAIRUNNISA. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat) (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO)
Permintaan yang tinggi terhadap komoditi susu tidak dapat direspon dengan baik oleh para produsen susu. Jumlah produksi susu dalam negeri saat ini hanya 30 persen yang dapat memenuhi permintaan konsumen, sedangkan 70 persen sisanya harus diimpor dari luar negeri. Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam negeri cenderung lebih memilih untuk melakukan impor susu dibanding membeli susu segar yang dihasilkan oleh para peternak. Hal ini menyebabkan melemahnya daya saing usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang penerapan bea masuk impor sebesar lima persen belum dirasa efektif untuk melindungi dan meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usahaternak sapi perah dari sisi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, serta mengetahui dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan tarif impor terhadap daya saing usahaternak tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi jumlah produksi, biaya produksi, total penerimaan usaha peternakan sapi perah anggota peternak KPS Bogor KUNAK yang didapatkan dari hasil pengamatan, pengisisan kuisioner dan wawancara secara langsung kepada pihak peternak dan pihak-pihak terkait lainnya seperti penjual susu, pegawai atau pengurus KPS Bogor dan KPS Bogor KUNAK. Data sekunder yang digunakan adalah data input output fisik usaha sapi perah, harga finansial dan ekonomi input output usaha sapi perah, struktur ongkos usaha sapi perah dan data pendukung lainnya yang diperoleh melalui fasilitas internet. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berasal dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Peternakan, Gabungan Koperasi Susu (GKSI), dan studi pustaka melalui pengumpulan data yang berasal dari literatur dan bukubuku. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan kuatitatif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Sampel dari penelitian ini adalah para anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) KPS Bogor. Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki daya saing yang baik, baik dari segi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif di tingkat privat maupun di tingkat sosial. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat dan keuntungan sosial yang lebih besar dari nol pada ketiga skala usaha. Selain itu pada ketiga skala usaha tersebut, nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu. Hal
ini mengindikasikan bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada masing-masing skala usaha dalam menghasilkan komoditi susu segar. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti penerapan bea masuk atas susu impor. Terdapat dua skenario yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini, yaitu (1). Penghapusan tarif impor susu sebesar lima persen, (2). Penetapan tarif impor susu sebesar 15 persen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penghapusan tarif impor akan menurunkan tingkat keuntungan baik pada tingkat privat maupun tingkat sosial. Selain itu penghapusan tarif impor susu berdampak pada penurunan tingkat daya saing usahaternak sapi perah yang ditandai oleh semakin besarnya nilai PCR dan DRC. Peningkatan tarif impor akan berpengaruh positif terhadap daya saing usahaternak sapi perah, yaitu akan meningkatkan nilai keuntungan peternak dan meningkatkan nilai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan bagi para peternak sebaiknya meningkatkan usahaternaknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga dapat meningkatkan nilai pendapatan peternak, misalnya melalui diversifikasi produk yang dihasilkan. Bagi pemerintah disarankan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap penetapan tarif impor susu sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah, misalnya dengan menetapkan tarif impor susu sebesar 15 persen atau 20 persen. Selain itu perlu adanya peninjauan kembali mengenai bantuan kredit kepada peternak dan subsidi pakan dan obat-obatan. Hal lain yang harus menjadi aspek penting adalah perlu adanya penerapan kebijakan penyerapan seluruh Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) bagi IPS unuk meningkatkan kesejahteraan peternak lokal.
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)
Oleh RETNO KHAIRUNNISA H14070068
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2011
Retno Khairunnisa H14070068
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Retno Khairunnisa, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Januari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Tohar Jumali, SE. MM dan Ibu Ni Wayan Rusmiati. Penulis menjalani pendidikan di bangku sekolah dasar dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001di SDN Duren Seribu 04, Depok. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 4 Bogor. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung dengan HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai staff divisi pada Divisi Informasi, Promosi dan Hubungan Internal dan organisasi IMEPI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti HIPOTEX-R 2009, Latihan Kepemimpinan dan Organisasi (LKO) IMEPI Jabagbar 2010, Economic Work (E-work) 2010, Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2008 dan 2009, dan kegiatan kepanitiaan lainnya. Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)”. Usahaternak sapi perah merupakan salah satu prioritas utama subsektor peternakan dalam menunjang pembangunan nasional. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada: 1.
Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Ibu Tanti Novianti, M.Si sebagai dosen penguji utama dan Ibu Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas segala masukan, kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi penulis.
3.
Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4.
Kedua Orangtua tercinta Papa Tohar Jumali, SE. MM. dan Mama Ni Wayan Rusmiati dan adikku tersayang Fitrianty Rahmadhania serta segenap keluarga besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan baik moril maupun materil serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Nhimas Antyan Banumasyta, Fitriani Sucianti, dan Ika Mustika atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.
6.
Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Michelle, Ajeng , Icca, Hesti, Sari, Reni, Opie, Ainur, Amboii, Ranin, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7.
Teman-teman Rempati Kost : Tami, Dede, Ima, Sherly, Hanum, dan Mba Arta atas bantuan dan dukungannya serta semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8.
HIPOTESA dan INTEL 2010 atas semangat dan motivasinya yang luar biasa.
9.
Seluruh anggota peternak KPS Bogor KUNAK, pengurus KPS Bogor, Staff Direktorat Jenderal Peternakan RI dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bapak Saptana (PSEKP), Anggun Eka, dan Mbak Andin yang telah membantu penulis memperoleh data dan telah memberikan pengetahuan dan informasi sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Retno Khairunnisa H14070068
Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat)
ABSTRAK Permintaan yang tinggi terhadap komoditi susu tidak dapat direspon dengan baik oleh para produsen susu. Jumlah produksi susu dalam negeri saat ini hanya 30 persen yang dapat memenuhi permintaan konsumen, sedangkan 70 persen sisanya harus diimpor dari luar negeri. Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam negeri cenderung lebih memilih untuk melakukan impor susu dibanding membeli susu segar yang dihasilkan oleh para peternak. Hal ini menyebabkan melemahnya daya saing usahaternak sapi perah. Kebijakan pemerintah tentang penerapan bea masuk impor sebesar lima persen belum dirasa efektif untuk melindungi dan meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat daya saing usahaternak sapi perah dari sisi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, serta mengetahui dampak kebijakan pemerintah seperti penerapan tarif impor terhadap daya saing usahaternak tersebut. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan kuatitatif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Sampel dari penelitian ini adalah para anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) KPS Bogor. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah di KUNAK memiliki daya saing yang baik,baik dari segi tingkat keuntungan, keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif, dan peningkatan tarif impor akan berpengaruh positif terhadap daya saing usahaternak sapi perah. Kata Kunci: Usahaternak Sapi Perah, Daya Saing, Koperasi, Policy Analiysis Matriks (PAM)
Analysis of Competitiveness and Business Impact of Government Policies to Dairy Farm (Case Study: Farmers Cooperative Dairy and Livestock Members Production KUNAK Bogor, West Java)
ABSTRACT The high demand for dairy commodities can not respond properly by the milk producers. The number of domestic milk production is currently only 30 percent that can meet consumer demand, while the remaining 70 percent must be imported from abroad. Milk Processing Industry (IPS) in the country tend to choose to import milk than to buy fresh milk produced by farmers. This causes weakening of the competitiveness of dairy cows. Government policy regarding the application of import duty of five percent is not considered effective to protect and enhance the competitiveness of dairy cows. This study aims to determine the level of competitiveness of dairy cows in terms of profitability, competitive advantage and comparative advantage, and to determine the impact of government policies such as import tariffs on the competitiveness of livestock enterprises. The method of analysis used in this study is descriptive and quantitative analysis tools with the Policy Analysis Matrix (PAM). Samples from this study are members of the farmers in the area of Livestock (Kunak) KPS Bogor. The analysis showed that the business of dairy cows in Kunak have a good competitiveness, both in terms of profit, competitive advantage and comparative advantage, and increase in import tariffs will be positively associated with the competitiveness of dairy cows.
Keyword: Dairy Cattle, Competitiveness, Policy Analiysis Matriks (PAM)
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Usahaternak Sapi Perah ......................................................................... 2.2. Produksi Susu ....................................................................................... 2.3. Konsep Daya Saing ............................................................................... 2.4. Teori Keunggulan Kompetitif ................................................................ 2.5. Keunggulan Komparatif ........................................................................ 2.6. Kebijakan Pemerintah ........................................................................... 2.6.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output ................................... 2.6.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input ...................................... 2.7. Penentuan Harga Bayangan ................................................................... 2.8. Analisis Sensitivitas .............................................................................. 2.9. Teori Matriks Kebijakan ........................................................................ 2.10. Penelitian Terdahulu ............................................................................. 2.11. Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 3.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 3.3. Metode Penentuan Sampel .................................................................... 3.4. Metode Analisis Data ............................................................................ 3.4.1. Menentukan Input dan Output .................................................... 3.4.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ........................... 3.4.3. Alokasi Biaya Produksi .............................................................. 3.4.4. Alokasi Biaya Tataniaga .............................................................. 3.4.5. Metode Analisis Harga Bayangan ................................................ 3.4.5.1. Harga Bayangan Nilai Tukar ................................................ 3.4.5.2. Harga Bayangan Output ....................................................... 3.4.5.3. Harga Bayangan Input ......................................................... 1) Harga Bayangan Pakan Ternak ........................................... 2) Harga Bayangan Obat-obatan ............................................. 3) Harga Bayangan Tenaga Kerja ............................................ 4) Harga Bayangan Lahan ....................................................... 5) Harga Bayanagan Pajak ......................................................
iii iv v 1 7 13 13 14 15 16 17 18 18 20 22 25 28 29 29 32 35 39 39 40 41 41 42 42 43 43 44 45 46 46 47 47 48 48
ii
6) Harga Bayangan Tataniaga ................................................. 3.5. Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) ............................. IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa ........................................................................ 4.1.1. Gambaran Umum Desa Situ Udik ............................................... 4.1.2. Gambaran Umum Desa Pasarean ................................................. 4.1.3. Gambaran Umum Desa Pamijahan .............................................. 4.2. Gambaran Umum KPS Bogor dan KUNAK ......................................... 4.2.1. Lokasi ......................................................................................... 4.2.2. Struktur Organisasi KPS Bogor ................................................... 4.2.3. Unit Usaha Koperasi ................................................................... 4.3. Gambaran Umum Responden ................................................................ 4.3.1. Status Usahaternak Sapi Perah. .................................................... 4.3.2. Umur ........................................................................................... 4.3.3. Pendidikan .................................................................................. 4.3.4. Jenis dan Jumlah Kepemiikan Sapi Laktasi ................................. 4.3.5. Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan ................................. 4.3.6. Tenaga Kerja ............................................................................... 4.3.7. Produksi dan Penjualan Hasil Ternak ........................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah ...................... 5.1.1. Keunggulan Kompetitif ............................................................... 5.1.2. Keunggulan Komparatif .............................................................. 5.1.3. Dampak Kebijakan Pemerintah ................................................... 5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input ..................... 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output .................. 5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output ......... 5.2. Analisis Sensitivitas ............................................................................... 5.2.1. Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima Persen menjadi Nol Persen............................................................ 5.2.2. Analisis Sensitivitas pada Saat Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 6.2. Saran ..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................
49 49 57 57 59 60 63 63 64 66 67 68 68 69 69 70 72 72 74 78 81 84 86 90 93 97 99 101 104 106 109 112
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1. Populasi Sapi Perah Tahun 2004-2009 (ekor) ...............................
2
Tabel 1.2. Tabel 1.3. Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Tabel 4.8. Tabel 4.9.
5 9 22 31 58 58 60 60 62 62 68 69
Jumlah Produksi Susu Indonesia Tahun 2004-2010....................... Volume Impor Susu di Indonesia dari tahun 2004-2009 ................ Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas ...................................... Tabel Analisis matriks Kebijakan ................................................. Penduduk Desa Situ Udik Menurut Mata Pencaharian ................. Jumlah Populasi Ternak Desa Situ Udik ...................................... Penduduk Desa Pasarean Menurut Tingkat Pendidikan ................ Penduduk Desa Pasarean Menurut Mata Pencaharian ................... Penduduk Desa Pamijahan Menurut Mata Pencaharian ................ Penduduk Desa Pamijahan Menurut Tingkat Pendidikan ............. Karateristik Responden Berdasarkan Umur .................................. Karateristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............. Karateristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi ......................................................................................... Tabel 5.1. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah di KUNAK pada Kondisi Tarif Impor Lima Persen Tahun 2010 (Rp/Liter) ..................................................................................... Tabel 5.2. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan ..................... Tabel 5.3. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan Pada Kondisi Tarif Impor Nol Persen, Lima Persen, dan 15 Persen .....
70
75 78 98
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1. Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional Tahun 2009 ............................................................................. Gambar 1.2. Perkembangan Produksi Produk Ternak Jawa Barat Tahun 2005-2009 (Ton) ...................................................................... Gambar 2.1. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable .................................... Gambar 2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable ............................ Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ Gambar 4.1. Struktur Organisasi KPS Bogor ...............................................
1 6 25 27 38 65
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9.
Alokasi Input-Output Tahun 2000 ............................................ Alokasi Budget Privat dan Sosial Usahaternak Skala Kecil, Menengah dan Besar ................................................................ Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar ................................... Penentuan Harga Bayangan Komoditi Susu .............................. Penentuan Harga Bayangan Obat-obatan .................................. Penentuan Harga Bayangan Pakan Ternak ................................ Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Nol Persen ................... Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen ................ Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor 15 Persen.....................
112 113 114 115 116 116 117 117 118
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bidang peternakan sebagai subsektor dari pertanian merupakan bidang
usaha yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terkait dengan kesiapan subsektor peternakan dalam hal penyediaan bahan pangan hewani untuk masyarakat. Dewasa ini pentingnya pembangunan pertanian khususnya subsektor peternakan telah dirasakan dalam menunjang pembangunan Nasional secara menyeluruh. Berdasarkan data Ditjennak (2010), nilai share Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap Nasional atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 adalah sebesar 1,8 persen.
Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional Tahun 2009 (Atas Dasar Harga Berlaku)
Pertanian
15%
Bahan Makanan
7%
Perikanan
3%
2%
2% 70%
1%
Perkebunan Peternakan Kehutanan Nasional
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
Gambar 1.1 Nilai Share PDB Subsektor Peternakan terhadap Nasional Tahun 2009
2
Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup rakyat. Terdapat enam sasaran pokok yang diharapkan dalam pembangunan subsektor peternakan, yaitu meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja, menunjang program konservasi tanah, menghemat devisa negara, meningkatkan produktivitas dan turut serta dalam program peningkatan gizi masyarakat. Dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan
peternakan untuk memenuhi kebutuhan gizi maka pembangunan peternakan saat ini telah diarahkan pada pengembangan peternakan yang lebih maju melalui pendekatan kewilayahan, penggunaan teknologi tepat guna dan penerapan landasan baru yaitu efisiensi, produktivitas dan berkelanjutan (sustainability). Untuk mencapai tujuan tersebut, prioritas utama pada subsektor
peternakan
adalah pada pengembangan usaha ternak sapi perah. Berdasarkan data populasi sapi perah per provinsi tahun 2004 sampai 2009 jumlah populasi sapi perah tertinggi terdapat di pulau Jawa. Total populasi sapi perah di pulau Jawa pada tahun 2004 sampai 2009
adalah sebanyak
2.413.059 ekor. Tabel 1.1 Populasi Sapi Perah Tahun 2004-2009 (ekor) No. 1 2 3 4 5
Provinsi
Populasi Sapi Perah 2004 2005 2006 2007 2008 2009 132.789 134.043 136.497 139.277 212.322 221.743 112.155 114.116 115.158 116.260 118.424 120.677 98.958 92.770 97.367 103.489 111.250 117.337 7.772 8.212 7.231 5.811 5.652 5.495 3.407 3.347 3.343 3.685 3.355 2.920
Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat DI Yogyakarta DKI Jakarta Jumlah/total 364.062 361.351 369.008 374.067 457.577 474.701 (Indonesia) Sumber : Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
3
Usaha sapi perah yang dikembangkan untuk memenuhi permintaan susu
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan juga melihat
perkembangan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan dan meningkatnya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya gizi. Oleh karena itu subsektor peternakan semakin dituntut untuk berperan serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi dengan meningkatkan produksi melalui proses pengembangan budidaya. Usahaternak sapi perah merupakan bisnis yang prospektif dan dapat memberikan kesejahteraan kepada peternak jika dikelola dengan baik, seperti pemberian pakan ternak dengan kualitas yang baik sehingga susu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik dan harga jual yang tinggi. Saat ini produksi susu di dalam negeri baru memenuhi 30 persen dari kebutuhan konsumsi nasional, sedangkan 70 persen masih harus diimpor. Rendahnya produksi susu secara nasional terjadi karena rendahnya produktivitas sapi perah yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Peternakan 2010, total ketersediaan susu pada tahun 2009 sebesar 2.204,6 ribu ton yang sudah termasuk di dalamnya berasal dari impor. Ketersediaan susu mengalami peningkatan sebesar 0,2 persen menjadi 9,53 kg/kapita/tahun dari 9,5 kg/kapita/tahun. Meskipun produksi susu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan tetapi belum bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan
susu
didalam negeri. Total permintaan susu pada tahun 2009 adalah 2.684 ribu ton, dimana penyediaan dalam negeri baru mencapai sekitar 827,2 ribu ton. Hal ini menunjukkan
antara persediaan dan permintaan susu di
Indonesia terjadi
4
kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan atau permintaan akan susu jauh lebih besar daripada ketersediaan susu yang ada di dalam negeri. Kekurangan produksi susu segar dalam negeri merupakan peluang yang besar bagi para peternak sapi perah untuk mengembangkan usahanya guna memenuhi permintaan dalam negeri dan untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi perah yang rendah. Rendahnya daya saing usaha ternak sapi perah terlihat pada hasil akhir atau output usaha peternakan yaitu susu. Harga susu dalam negeri tidak dapat merespon kenaikan harga susu di pasar internasional dengan baik. Pada tahun 2007, dimana harga susu dunia meningkat cukup tinggi, sehingga imbangan antara harga susu segar di dalam
negeri
terhadap harga susu impor setara susu segar bahkan hanya mencapai 42 persen (Priyanti dan Saptati, 2008). Selain itu rendahnya daya saing terjadi karena adanya disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak yang disebabkan oleh posisi tawar menawar peternak dan koperasi yang rendah terhadap IPS. Selain itu banyak peternak yang belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang diminta oleh IPS. Untuk meningkatkan daya saing usaha ternak sapi perah, perlu dilakukan berbagai upaya seperti adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan peternak.
Peningkatan daya saing dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya teknologi, produktivitas, harga dan biaya input, struktur industri serta kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Dalam Siregar (2009), faktor pemicu daya saing dibedakan berdasarkan (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor
5
yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis, kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan alam (Malian et al. 2004). Tabel 1.2 Jumlah Produksi Susu Indonesia Tahun 2004-2010 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
Produksi (000 Ton) 549.90 536.00 616.50 567.70 647.00 827.20 927.80
Keterangan : *) angka sementara Sumber : Direktorat Jendral Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
Berdasarkan data pada Tabel 1.2, jumlah produksi susu nasional dari tahun 2002 hingga 2008 secara nasional mengalami flukuasi yang cukup signifikan dengan trend yang cenderung meningkat. Pada tahun 2009 jumlah produksi susu nasional sebanyak 827.20 ribu ton dan diperkirakan jumlah produksi susu nasional pada tahun 2010 akan mengalami peningkatan mencapai 927.80 ribu ton. Menurut Ditjennak (2010) pada tahun 2009 Jawa Barat merupakan salah satu penghasil susu terbesar ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berdasarkan data publikasi Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009), jumlah populasi sapi perah di Jawa Barat pada tahun 2009 sebanyak 117.839 ekor. Untuk jumlah produksi susu di wilayah Provinsi Jawa Barat juga terus mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai tahun 2009. Pada tahun 2009 jumlah
6
produksi susu di Provinsi Jawa Barat mencapai 249.455.736 liter atau 256.440 ton. 600,000 500,000 400,000 daging
300,000
susu 200,000
telur
100,000 0,000 2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009)
Gambar 1.2 Perkembangan Produksi Produk Ternak Jawa Barat Tahun 2005-2009(Ton) Di Indonesia, 90 persen peternak sapi perah yang tergabung dalam koperasi merupakan peternak rakyat dengan skala kepemilikan satu sampai sembilan ekor. Secara umum, koperasi berfungsi untuk menguatkan kelompok peternak dalam menghadapi pasar susu yang cenderung oligopoli. Selain menyediakan input dan menjamin pemasaran susu, koperasi juga menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung seperti pemberian kredit, kawin suntik (IB), penyediaan pakan, dan lain-lain. KPS Bogor merupakan salah satu bentuk koperasi produksi susu yang terdapat di Bogor dan merupakan salah satu faktor yang dapat memicu peningkatan produktivitas susu sapi perah di Kabupaten Bogor. Pada tahun 1996, KPS Bogor melalui Kepres No. 069/B/Tahun 1994 tentang bantuan kredit Banpres untuk perkembangan usahaternak sapi perah mendirikan suatu Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah di kawasan
7
Kabupaten Bogor. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) terbagi di dalam enam kelompok ternak dan terbagi ke dalam dua kecamatan, yaitu kecamatan Cibungbulang dan kecamatan Pamijahan. Tujuan dari pendirian KUNAK adalah untuk mempermudah akses bagi para peternak kepada koperasi dan sebagai usaha merelokasi usaha ternak sapi perah untuk menyatukan lokasi peternakan dan mempermudah melakukan pembinaan terhadap peternak. Oleh karena itu Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan merupakan sentra penghasil susu yang potensial di Kabupaten Bogor. 1.2.
Perumusan Masalah Terdapat banyak kendala yang dihadapi oleh para peternak yang berada
di Kawasan peternak (KUNAK) dalam rangka mengembangkan usahaternak sapi perah, diantaranya SDM perternak, masalah teknis, masalah permodalan, misalnya bunga bank mahal dan kelembagaan. Salah satu masalah SDM peternak yaitu
masih
rendahnya
kemampuan
peternak
dalam
hal
kemampuan
mengembangkan budidaya khususnya kesehatan ternak dan mutu bibit yang rendah. Hal ini sangat berpengaruh pada lambatnya laju pertumbuhan produksi susu dan berpengaruh juga terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Masalah teknis yang biasa dihadapi oleh para peternak diantaranya masalah keterbatasan lahan hijau untuk pengusahaan ternak, masalah transportasi yang menyangkut tingginya biaya transportasi, dan masalah pengusahaan pakan bagi ternak mereka. Selain permasalahan tersebut, masalah utama yang dirasa menghambat produksi dan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan yang diterima peternak
8
adalah masalah ekonomis. Masalah ekonomis yang dihadapi peternak yaitu mahalnya harga pakan ternak konsentrat, yaitu mencapai Rp. 2.800 per kilogram. Peningkatan harga pakan ternak tidak diikuti oleh peningkatan harga susu. Harga susu yang diterima peternak dirasa sangat rendah, yaitu Rp. 2.800 per liter hingga Rp. 3.100 per liter. Susu segar dari hasil produksi para peternak sapi perah pada umumnya dimanfaatkan oleh dua kelompok yaitu rumah tangga dan pabrik-pabrik pengolahan susu. Rumah tangga memanfaatkan susu untuk konsumsi secara langsung, sedangkan bagi pabrik-pabrik pengolahan susu dijadikan bahan baku produksi untuk diolah menjadi output tertentu. Para peternak yang berada di KUNAK melakukan berbagai inovasi sebagai upaya untuk tetap bertahan dalam mengembangkan usahaternak sapi perah. Mereka mengembangkan produk olahan seperti youghurt untuk dijual langsung kepada masyarakat, selain itu mereka juga menjual susu segar langsung kepada masyarakat dengan harga jual yang cukup tinggi, yaitu Rp. 5.000 per liter. Namun penjualan susu ke masyarakat juga mendapatkan berbagai kendala, diantaranya sulitnya mencari pangsa pasar untuk susu segar. Hal ini disebabkan karena jenis susu yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah yang berbentuk hasil olahan. Preferensi masyarakat dalam mengkonsumsi susu olahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas susu lokal, terbatasnya jangkauan dalam hal pemasaran susu segar, harga susu segar relatif lebih mahal dibandingkan susu olahan dan sifat susu olahan yang lebih praktis dan
9
tahan lama dibandingkan dengan susu segar yang bersifat mudah rusak dan tidak tahan lama (Simatupang et.al, 1998). Berdasarkan data Ditjennak (2010), jumlah konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah 8.90 kg/kapita/tahun dengan konsumsi tertinggi adalah susu kental manis, yaitu 6,28 kg/kapita/tahun, sedangkan untuk konsumsi susu segar hanya sekitar 0,04 kg/kapita/tahun. Tingginya jumlah konsumsi susu yang tidak diikuti oleh jumlah produksi susu dalam negeri menyebabkan perlu adanya intervensi dari pemerintah. Pemerintah melakukan intervensi dengan membuat kebijakan untuk melakukan impor komoditi susu dari luar negeri. Menurut Kementrian Pertanian, pada dasarnya ada dua klasifikasi utama jenis susu yang dapat diimpor, yaitu: (i) susu dan kepala susu (cream), tidak dipekatkan maupun tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya dan; (ii) susu dan kepala susu, dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya. Sebagian besar Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih memilih untuk impor susu dibandingkan susu yang dihasilkan oleh peternak dalam negeri. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) lebih murah dari harga bahan baku susu impor. Tabel 1.3 Volume Impor Susu di Indonesia dari tahun 2004-2009 Tahun
Volume Impor (000 Ton)
2004
165.41
2005
173.08
2006
188.13
2007
198.22
2008
180.93
2009
166.50
Sumber : DirektoratJenderal Peternakan, Statistik Peternakan (2010)
10
Intervensi pemerintah mengenai bea masuk bahan baku susu impor yang terdapat dalam peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu. PMK tersebut dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 2009. Dalam PMK ini dijelaskan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu di dalam negeri perlu dilakukan perubahan tarif bea masuk (BM) atas impor produk-produk susu tertentu. Dengan demikian, PMK Nomor 19/2009 tertanggal 13 Februari 2009 yang menetapkan tarif impor produk susu nol persen tidak berlaku lagi. Dalam PMK Nomor 101/PMK.011/2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar lima persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak. Dengan adanya intervensi pemerintah berupa peningkatan bea masuk impor terhadap produk susu dari nol persen menjadi lima persen disambut baik oleh para peternak sapi perah. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut dapat menjadikan daya saing industri susu dalam negeri menjadi meningkat dan dapat membantu industri susu dalam negeri khususnya peternak sapi. Namun hal ini masih dirasa dilematis, karena peningkatan tarif impor tersebut belum dirasakan sepenuhnya oleh para peternak sapi dan dirasa daya saing persusuan nasional ini belum mengalami peningkatan secara signifikan. Selain penerapan kebijakan tarif impor susu masalah lain yang dihadapi oleh para peternak sapi perah adalah adanya kebijakan pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan. Adanya
11
pengurangan subsidi pakan membuat harga pakan ternak yang diterima oleh para peternak dirasa mahal. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas dari susu sapi yang dihasilkan dari usaha peternakan tersebut. Rendahnya kualitas tersebut dikarenakan peternak mengganti jenis pakan yang mereka gunakan dengan pakan yang harganya lebih murah dan kualitas yang lebih rendah dibanding pakan yang biasa mereka gunakan. Permasalahan susu bukan hanya dalam hal kurangnya jumlah produksi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga terdapat masalah lain seperti rendahnya posisi tawar menawar peternak. Para peternak sapi perah cenderung lebih menyukai menjual susu segar hasil perahan mereka langsung kepada masyarakat dibandingkan menjual susu mereka ke KPS. Hal ini dikarenakan harga jual susu segar kepada KPS lebih murah dibandingkan dengan harga jual kepada masyarakat sebesar Rp 5000,00 per liter. Menurut mereka penjualan susu segar kepada masyarakat atau konsumen secara langsung dirasa lebih menguntungkan. Selain itu pihak koperasi sering juga dirugikan oleh pihak IPS yang menuntut penurunan harga beli susu di tingkat peternak dan koperasi. Pada tahun 2008 harga pembelian susu oleh IPS mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan adanya pemberlakuan penghapusan tarif impor susu untuk mengatasi tingginya harga susu ditingkat konsumen. Namun kebijakan tersebut berlawanan dengan peningkatan kesejahteraan produsen lokal. Hal ini diduga akan berpengaruh terhadap posisi tawar menawar peternak susu dan koperasi karena menyebabkan harga susu segar yang ditawarkan oleh peternak menjadi menurun atau lebih murah. Pajak impor susu pada level lima persen,
12
menyebabkan harga jual susu peternak semakin rendah, sehingga banyak peternak yang menghentikan usahanya karena harga tidak bisa menutupi biaya produksi. Dampak
jangka panjang
adalah
meningkatnya jumlah pengangguran,
kemampuan penciptaan nilai tambah berkurang, serta menurunnya kemampuan swasembada pangan. Selain itu pajak masuk impor susu di Indonesia menyebabkan dampak sistemik dalam hal penyediaan lapangan kerja dan penyediaan pangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis secara kuantitatif untunk mengetahui dampak pemberlakuan tarif impor susu sebesar lima persen terhadap daya saing komoditi susu lokal khususnya dan perlu adanya perumusan kebijakan untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi perah pada umumnya. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK ditinjau dari segi keunggulan komparatif, keuggulan kompetitif dan dari segi keuntungan? 2. Bagaimanakah dampak kebijakan tarif impor susu terhadap daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK?
13
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian Analisis Daya Saing dan Dampak
Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK ditinjau dari segi keunggulan komparatif, keuggulan kompetitif dan dari segi keuntungan. 2. Menganalisis dampak kebijakan tarif impor susu terhadap daya saing usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK. 1.4.
Manfaat Penelitian Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian ini,
maka diharapkan penelitian ini berguna: 1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan peternakan sapi perah 2. Bagi peternak dapat memperoleh informasi dan masukan dalam upaya peningkatan daya saing usaha peternakan sapi perah. 3. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi, sumbangan pemikiran dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penelitian lebih lanjut.
14
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat daya saing usaha
peternakan sapi perah yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). Kajian difokuskan pada usaha peternakan rakyat bukan kepada industri pengolahan susu. Adapun yang menjadi batasan kajian ini adalah sebagai berikut : 1.
Penelitian ini difokuskan kepada para peternak yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kabupaten Bogor yaitu di wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan khususnya di Desa Situ Udik, Desa Pasarean dan Desa Pamijahan.
2.
Penelitian ini di fokuskan kepada enam kelompok peternak dan pengukuran daya saing koperasi dan komoditi susu hanya dilakukan pada level usahaternak.
3.
Tahun yang menjadi objek penelitian adalah tahun 2010
4.
Penelitian ini membagi para peternak kedalam tiga skala usaha berdasarkan kepemilikan jumlah sapi laktasi. Peternak yang memiliki sapi laktasi sebanyak satu hingga tiga ekor dikategorikan sebagai usahaternak skala kecil, kepemilikan sapi empat hingga tujuh ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala menengah, dan kepemilikan sapi lebih dari tujuh ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala besar.
5.
Kebijakan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah Kebijakan Tarif Impor Susu sebesar lima persen.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Usaha Ternak Sapi Perah Usaha ternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran. Menurut Ditjennak (2006), usahaternak sapi perah di Indonesia berdasarkan tipologinya dapat diklasifikasikan menjadi : (1) usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan tingkat pedapatan kurang dari 30 persen; (2) usaha ternak sebagai mix farming dengan
tingkat pendapatan sebesar 30 samapai
dengan 70 persen; dan (3) usahaternak sebagai usaha pokok dimana tingkat pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak. Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan jenis peternakan rakyat yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada sistem pemeliharaan yang konvensional. Peternakan sapi perah rakyat kita umumnya memiliki kepemilikan ternak yang tidak terlalu tinggi. Peternak rakyat
16
kita hanya mampu memiliki rata-rata kurang dari lima ekor per keluarga peternak. Peternak
ini
umumnya
membentuk
kelompok-kelompok
ternak
untuk
memudahkan dan membantu kelancaran dalam aktivitas usaha ternaknya, seperti penjualan susu, penyediaan konsentrat dan masuknya teknologi baru untuk diaplikasikan dalam kegiatan usaha. Dalam Pratama (2010), usahaternak sapi perah berdasarkan pola pemeliharaannya diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok peternak rakyat, peternak semi komersil, dan peternak komersil. Menurut Erwidodo (1998) menyatakan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam usaha kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak skala menengah dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor. Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, dan 28 pesen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah serta sisanya delapan persen dihasilkan oleh usaha ternak sapi perah skala besar (Swastika et,al. 2005). 2.2
Produksi Susu Menurut Ditjennak (2006), susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan
menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan
17
anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut dengan ambing. Produksi air susu ini dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi. Produksi susu adalah hasil produksi ternak betina berupa susu segar dalam waktu tertentu dan wilayah tertentu termasuk diberikan kepada anaknya, rusak, diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan kepada orang lain (Ditjennak, 2010). Kemampuan sapi perah dalam
memproduksi susu ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Dalam Siregar (2009) faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu diantaranya, umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan
pakan. Jumlah pakan dan
kualitas pakan yang diberikan
kepada sapi haruslah yang berkualitas tinggi karena pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan berproduksi sapi perah. Apabila kualitas pakan rendah, maka jumlah pakan yang diberikan harus lebih banyak. 2.3
Konsep Daya Saing Daya saing adalah kemampuan dari seseorang/organisasi/institusi untuk
menunjukan keunggulan dalam hal tertentu, dengan cara memperlihatkan situasi dan kondisi yang paling menguntungkan, hasil kerja yang lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna dibandingkan dengan seseorang/organisasi/institusi lainnya, baik terhadap satu organisasi, Sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri. Daya saing identik dengan produktivitas (output/input) berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya kapital dalam
18
penggunaanya secara efisien (Porter, 2009). Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat daya saing adalah indikator keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif suatu negara serta tingkat keuntungan yang dihasilkan dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. 2.4
Teori Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif merupakan suatu alat yang digunakan untuk
mengukur daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada keadaan perekonomian yang tidak berada dalam keadaan distorsi, namun hal ini sulit ditemukan dalam dunia nyata. Keunggulan kompetitif lebih sesuai untuk menganalisis kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah et.al, 1978). Komoditi yang memiliki keunggulan kompetititf dikatakan juga memiliki efisiensi secara finansial. 2.5
Teori Keunggulan Komparatif Hukum keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage)
dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan
19
negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (memiliki kerugian komparatif) (Salvator, 1997). Keunggulan Komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo hanya didasarkan pada penggunaan dan produktivitas tenaga kerja. Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Namun pada kenyataannya tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi, oleh karena itu konsep keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo perlu diadakan perbaikan. Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya disini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa komoditi-komoditi yang dalam
20
produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak lansung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin,1933 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993). Teori H-O menitikberatkan pada perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masing-masing negara. Sehingga teorema H-O dapat menjelaskan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi (Salvator, 1997) Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. 2.6
Kebiajakan Pemerintah Sebuah kebijakan adalah sebuah tindakan yang sengaja dibuat untuk
memandu keputusan dan mencapai tujuan-tujuan yang rasional. Kebijakan biasanya mengacu pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting dalam sebuah organisasi, termasuk identifikasi dari berbagai laternatif dan pemilihan salah satu diantaranya berdasarkan dampak yang akan dihasilkan. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan meningkatkan ekspor dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Dalam Tarsono (2006), sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga
21
tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh pada saat alikasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah keuntungan yang maksimum dan alikasi barang dan jasa memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan yang diharapkan terjadi pada sistribusi pendapatan antara berbagai golongan masyarakat di berbagai wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et.al, 2004). Terdapat dua kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas yang dapat mendukung terciptanya tujuan tersebut, yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif. Subsidi positif
merupakan pembiayaan dari pemerintah
sedangkan subsidi negatif berupa pembiayaan kepada pemerintah berupa pajak. Kebijakan perdagangan dalam negeri adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor terhadap suatu komoditi tertentu melalui pemberlakuan kuota atau tarif. Pemberian kuota atau tarif dimaksudkan untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga suatu komoditi pada pasar domestik dengan pasar internasional. Kebijakan perdagangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan ini dapat dilakukan berupa penerapan pajak ekspor. Sedangkan kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen
22
dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari pada harga di pasar dunia. Kebijakan ini dapat dilakukan berupa pengenaan tarif impor dan kuota impor. Setiap kebijakan pemerintah baik kebijakan subsidi maupun kebijakan perdagangan akan berdampak pada output maupun input suatu komoditi yang diproduksi oleh suatu negara yang pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing komoditas tersebut di pasar internasional. 2.6.1.
Kebijakan Pemerintah pada Harga Output Intervensi pemerintah pada harga output dibagi menjadi delapan tipe
kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Klasifikasi dari kebijakan harga komoditas tersebut dapat dilihat dari Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas Instrumen
Dampak terhadap Produsen
Kebijakan Subsidi Tidak merubah harga pasar dalam negeri. Menrubah harga pasar dalam negeri.
Subsidi Pada Produsen Pada barang-barang subtitusi impor (S+PI ; SPI) Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE ; S-PE) Hambatab pada barang impor (TPI)
Kebijakan Perdagangan seluruhnya merubah harga pasar dalam negeri
Sumber : Monke and Pearson (1989) Keterangan : S+ = Subsidi S= Pajak PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor TPI = Hambatan barang impor
Dampak terhadap Konsumen Subsidi Pada Konsumen Pada barang-barang subtitusi impor (S+CI ; S-CI) Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE ; S-CE) Hambatan pada barang ekspor (TCE)
23
Tabel. 2.1 menjelaskan bahwa terdapat dua instrumen kebijakan harga output, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan dari atau untuk pemerintah. Pembayaran yang dilakukan dari pemerintah merupakan subsidi positif sedangkan pembayaran yang dilakukan untuk pemerintah, misalnya pajak adalah subsidi negatif. Kebijakan penerapan subsidi (positif atau negatif) pada dasarnya untuk melindungi produsen dan konsumen dalam negeri dengan cara menciptakan perbedaan harga domestik dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang dilakukan pada ekspor atau impor suatu komoditi. Pembatasan yang dilakukan dapat berupa penerapan tarif atau biaya terhadap suatu komoditi yang di ekspor ataupun diimpor atau dengan pembatasan kuantitas (jumlah) komoditi yang akan diekspor ataupun diimpor. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri, misalnya dengan pemberlakuan tarif impor maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) karena harga domestik lebih tinggi daripada harga di pasar dunia, sedangkan kebijakan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik lebih rendah dibandingkan harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan mempunyai perbedaan pada tiga aspek, yaitu implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan, dan tingkat kemampuan penerapan (Monke and Pearson, 1989). a.
Implikasi pada Anggaran Pemerintah Kebijakan subsidi berdampak pada anggaran pemerintah. Kebijakan
subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah sedangkan kebijakan
24
subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah. Akan tetapi kebijakan perdagangan tidak memiliki dampak terhadap kebijakan pemerintah. b.
Tipe Alternatif Kebijakan Terdapat delapan tipe alternatif kebijakan subsidi untuk produsen dan
konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang subtitusi impor, yaitu: a) Subsidi positif kepada produsen barang subtitusi impor (S+PI) b) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) c) Subsidi negatif kepada produsen barang subtitusi impor (S-PI) d) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) e) Subsidi positif kepada konsumen barang subtitusi impor (S+CI) f) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) g) Subsidi negatif kepada konsumen barang subtitusi impor (S-CI) h) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah demikian juga bagi konsumen, sedangkan penerapan subsidi negatif akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan harga yang diterima konsumen menjadi lebih tinggi. Kebijakan perdagangan terdapat dua alternatif kebijakan, yaitu: a) Hambatan perdagangan pada barang impor b) Hambatan perdagangan pada barang ekspor c.
Tingkat Kemampuan Penerapan Kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi yang
tradable atau komoditi yang diekspor dan diimpor. Sedangkan kebijakan subsidi
25
dapat diterapkan untuk setiap komoditi baik komoditi yang tradable maupun komoditi yang non tradable. 2.6.2.
Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Kebijakan pemerintah juga diterapkan pada
input
yang dapat
diperdagangkan (tradable) maupun input yang tidak dapat diperdagangkan (non tradable). Intervensi pemerintah berupa kebijakan subsidi baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi input tradable namun kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domstik (non tradable) karena input domestik (non tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. 1.
Kebijakan Input Tradable
P
S1
P
S
S
A
C
C
A
Pw
S1
B
Pw
B
D Q2
Q1
Q
Q1
(a) S - II Keterangan : S – II = Pajak untuk Input Impor S + II = Subsidi untuk Input Impor Pw = Harga Pasar Dunia
Sumber : Monke and Pearson (1989)
Gambar 2.1 Subsidi dan Pajak pada Input Tradable
Q2 (b) S + II
Q
26
Kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan perdagangan dapat diterapkan pada input tradable. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Gambar 2.1 (a) menunjukkan adanya pengaruh pajak pada input tradable yang menyebabkan terjadinya peningkatan biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama terjadi penurunan permintaan domestik dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut sebesar Q2BCQ1. Gambar 2.1 (b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Harga yang berlaku pada kondisi perdagangan bebas adalah sebesar Pw dengan tingkat produksi yang dihasilkan sebesar Q1. Adanya kebijakan subsidi pada input tradable menyebabkan harga input lebih murah dan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke kanan bawah yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dari Q 1 menjadi Q2. Efisiensi produksi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ACQ2 dengan penerimaan output yang meningkat yaitu Q1ABQ2. 2.
Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan pemerintah berupa kebijakan perdagangan tidak dapat
diterapkan pada input non tradable katena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input non tradable adalah kebijakan subsidi dan pajak. Kebijakan subsidi dan
27
pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat dari ilustrasi pada Gambar 2.2. P Pc Pd
C
S B
P Pp
S C
A Pd
A
B
Pp D
Pc
E
Pp’
D
Q3
Q2 Q1 (a) S – N
Q
Q1 Q2 (b) S + N
Q
Keterangan : S–N = Pajak untuk Barang Non Tradable S+N = Subsidi untuk Barang Non Tradable
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 2.2 Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable Harga sebelum ditetapkannya pajak dan subsidi berada pada tingkat P d. Harga pada tingkat konsumen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi adalah sebesar Pc sedangkan Pp adalah harga pada tingkat produsen setelah diberlakukannya pajak dan subsidi. Pada gambar 2.2 (a) dapat dilihat bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga di tingkat produsen turun menjadi P p dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc karena adanya pajak input non tradable. Dengan adanya pajak (P c-Pd) menyebabkan produksi mengalami pnurunan menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BEA dan dari konsumen yang hialng sebesar BCA.
28
Gambar 2.2 (b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari perminaan dan penawaran, input non tradable berada pada Pd dan Q1. Produk yang dihasilkan mengalami peningkatan menjadi Q2 akibat adanya kebijakan subsidi. Harga yang diterima produsen menjadi labih tinggi yaitu sebesar Pp dan harga yang dibayarkan oleh konsumen menjadi lebih rendah yaitu sebesar P c. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar ABC sedangkan dari konsumen sebesar ABE. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. 2.7
Penentuan Harga Bayangan Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian
pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger, 1982). Untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Hal ini dikarenakan sulit ditemukannya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar. Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut : a. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya, b. Harga yang berlaku dipasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.
29
2.8
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas merupakan suatu alat analisis yang digunakan secara
sistematis untuk menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi (proyek) bila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perecanaan. Bila terjadi suatu kesalahan dalam perhitungan biaya dan manfaat dapat di evaluasi dengan mengunakan analisis sensitivitas. Hal ini dikarenakan tujuan dari analisis sensitivitas adalah untuk melihat bagaimana perubahan hasil suatu kegiatan ekonomi. Menurut Kadariah (1988), analisa sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut dan (2) menentukan dengan berapa suatu harus berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima. 2.9
Teori Matriks Kebijakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usaha tani (farm production), penyampaian dari usaha tani ke pengolah, pengolahan serta pemasaran (Monke and Pearson, 1989). Perhitungan dengan menggunakan matriks kebijakan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan dengan output yang beragam. Kelebihan model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic Resource Cost
30
Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan variabel daya saing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Protitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Dari selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku pada usahaternak sapi perah dan mengukur dampak dari adanya kegagalan (failure) pasar. Indikator daya saing meliputi: (1) PCR (Private Cost Ratio) atau RBP (rasio biaya privat) dan (2) DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) atau BSD (Biaya imbangan sumberdaya domestik). Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan efisiensi finansial. Apabila nilai PCR<1 dan makin kecil, maka aktivitas ekonomi efisien secara finansial dan kemampuan itu meningkat. Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator kemampuan sistem komoditas membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRCR<1 dan makin kecil, maka aktivitas ekonomi efisien secara ekonomik dalam pemanfaatan sumberdaya domestik untuk menghemat satu-satuan devisa dan kemampuannya meningkat.
31
Sebaliknya DRCR>1, maka permintaan domestik lebih menguntungkan dengan melakukan impor. Pada dasarnya langkah perhitungan PAM terdiri atas empat tahap: (1) penentuan masukan-keluaran fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang akan dianalisis; (2) penaksiran harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran; (3) pemisahan seluruh biaya kedalam komponen domestik dan asing, serta menghitung besarnya penerimaan, dan (4) menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan oleh PAM. Guna menganalisis daya saing dan dampak kebijaksanaan pemerintah digunakan alat analisis Policy Analysis Matrix, seperti pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Tabel Analisis Matriks Kebijakan Uraian
Biaya
Penerimaan
Keuntungan
Privat
A
Input Tradable B
Faktor Domestik C
D
Ekonomi
E
F
G
H
Efek Divergensi
I
J
K
L
Sumber : Pearson et al (2005) Keterangan : Penerimaan Privat (A) Biaya Input Domestik Sosial (G) Biaya Input Tradable Privat (B) Keuntungan Sosial (H) = E - (F + G) Biaya Input Domestik Privat (C) Transfer Output (I) = (A) - (E) Keuntungan Privat (D) = A - (B + C) Transfer Input (J) = (B) - (F) Penerimaan Sosial (E) Transfer Factor (K) = (C) - (G) Biaya Input Tradable Sosial (F) Transfer Bersih (L) = (D) - (H)=I - (J + K) Rasio biaya private (PCR) = C / (A-B) Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G / (E-F) Koefisien proteksi output nominal (NPCO) = A/E Koefisien proteksi input nominal (NPCI) = B / F Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A-B) / (E-F) Koefisien keuntungan (PC) = D / H Rasio subsidi untuk produsen (SRP) = L / E
Matrik PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat, baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (keunggulan komparatif) atau efisiensi, dan baris ketiga
32
merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua yang menggambarkan divergensi. Untuk kolom pertama merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input tradable, kolom ketiga merupakan kolom biaya input non tradable dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. 2.10
Penelitian Terdahulu Kuraisin (2006) tentang Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan
Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajur Halang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) dengan menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis didapatkan bahwa pada ketiga skala usahaternak sapi perah yang ada di Desa Tajurhalang menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi dengan ada atau tidak adanya kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada komoditas susu menyebabkan surplus produsen berkurang dimana keuntungan privat yang didapatkan lebih kecil daripada keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif. Kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pakan ternak dan obat-obatan membuat peternak tidak memperoleh insentif bagi peningkatan skala usahanya. Nilai kebijakan tarif impor susu sangat rendah yaitu sebesar 5 persen, sehingga meningkatkan jumlah impor susu oleh IPS. Hasil analisis sensitivitas terjadi peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen, penurunan harga susu sebesar 5 persen, dan pada hasil analisis sensitivitas gabungan menunjukkan bahwa usaha tani sapi perah pada ketiga skala usaha memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.
33
Siregar (2009) tentang Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat). Metode pengolahan dan analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa TPK Cibedug, KPSBU Jawa Barat memiliki daya saing secara finansial maupun ekonomi dalam menghasilkan susu sapi segar walaupun dalam keadaan tarif impor susu sebesar nol persen. Nilai keuntungan privat lebih besar dari nol yaitu Rp 604,35 per liter dan keuntungan sosial sebesar Rp 1.058,20 per liter. Selain itu pengusahaan sapi perah tersebut juga memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dilihat dari nilai DRC lebih kecil dari satu yaitu 0,66 dan PCR sebesar 0,78. Dalam analisis sensitivitas di dapatkan hasil adanya penghapusan tarif impor susu menyebabkan berkurangnya daya saing komoditi susu sapi lokal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya nilai PCR dan DRC yang mengindikasikan adanya penurunan nilai keunggulan komparatif dan kompetitif. Pratama (2010) tentang Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Perah (Studi Kasus Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan, Jawa Barat). Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Dari hasil perhitungan menggunakan metode PAM, usahaternak sapi perah memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Usahaternak sapi perah memiliki penerimaan privat dalam memproduksi susu segar adalah sebesar Rp 787,9 per liter susu dan keuntungan sosial sebesar Rp 1.706,5 per liter. Akan tetapi, dari hasil analisis menunjukkan adanya divergensi
34
yang menjelaskan bahwa ada penyimpangan, sehingga peternak mendapatkan hasil dari kegagalan tersebut baik kegagalan di pasar input maupun kegagalan si pasar output. Berdasarkan hasil analisis perbulan, usahaternak sapi perah mengntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Analisis sensitivitas menunjukkan adanya kebijakan penghapusan tarif impor susu dari lima persen menjadi nol persen menurunkan keuntungan privat dan sosial. Hal ini menyebabkan adanya penurunan daya saing komoditi susu sapi lokal baik dari aspek keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Sunandar (2007) tentang Analisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Pengusahaan Komoditi Tanaman Karet Alam (kasus di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan). Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Dari hasil analisis karet alam memiliki keunggulan kompetitif dan keuntungan finansial karena nilai keuntungannya positif. Hal ini ditunjukkan dengan hasil PCR sebesar 0,43 dan keuntungan privat sebesar Rp 6.903,94 per kilogram. Selain itu keunggulan komparatif dengan nilai DRC sebesar 0,77 dan nilai keuntungan sosial yang positif, yaitu sebesar Rp 2.791,39 per kilogram. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan dengan adanya perubahan harga output yang menurun sebesar 6 persen akan menaikkan harag input pupuk sebesar 6 persen dan dari hasil analisis gabungan menujukkan bahwa pengusahaan komoditi tanaman karet alam memiliki daya saing. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini dilakukan dengan membagi usaha ternak pada ketiga skala usaha
35
berdasarkan kepemilikan sapi perah (laktasi). Peternak dengan kepemilikan sapi laktasi satu hingga tiga ekor termasuk kedalam skala usaha kecil, skala usaha menengah memiliki kepemilikan sapi laktasi empat hingga tujuh ekor dan skala usaha besar memiliki sapi laktasi lebih dari tujuh ekor. Penelitian ini dilakukan pada saat adanya kebijakan penetapan tarif impor lima persen oleh pemerintah, selain itu lokasi serta waktu penelitian berbeda. 2.11
Kerangka Pemikiran Operasional Susu merupakan salah satu komoditi hasil peternakan yang tingkat
konsumsinya tinggi yaitu mencapai 8.90 kg/kapita/tahun pada tahun 2009. Tingginya konsumsi susu di Indonesia meningkatkan permintaan susu dalam negeri. Peningkatan permintaan susu dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hal ini menyebabkan Indonesia harus melakukan impor susu dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Walaupun harga susu impor jauh lebih tinggi dibanding harga Susu Segar Dalam Negeri (SSDN), banyak konsumen, terutama konsumen industri memilih untuk mendapatkan susu dari luar negeri. Tingginya harga susu impor tidak dapat merubah preferensi perusahaan atau konsumen untuk mengalihkan konsumsi susu ke produsen atau koperasi dalam negeri. Jumlah impor susu sapi sekitar 70 persen (GKSI, 2008), hal ini dikarenakan kualitas susu lokal jauh lebih rendah bila dibandingkan susu impor. Rendahnya daya saing usahaternak sapi perah saat ini disebabkan karena berbagai kendala, diantaranya rendahnya kualitas SDM peternak, permasalahan
36
teknis, masalah permodalan, dan masalah sosial kelembagaan. Rendahnya daya saing tersebut bedampak pada jumlah dan kualitas susu yang dihasilkan dari usahaternak sapi perah. Salah satu pengembangan usahaternak sapi perah berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). KUNAK yang berada dibawah KPS Bogor merupakan salah satu sentra penghasil susu terbesar di wilayah Kabupaten Bogor. Peternak yang berada dikawasan KUNAK mengembangkan usahaternak sapi perah yang terbagi kedalam tiga skala usaha yaitu peternak yang memiliki jumlah sapi laktasi kurang dari tiga ekor, peternak yang memiliki jumlah sapi laktasi tiga sampai tujuh ekor, dan peternak yang memiliki sapi laktasi lebih dari tujuh ekor. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat daya saing susu yang dihasilkan oleh peternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). Pemerintah perlu meningkatkan daya saing usahaternak sapi perah dengan meningkatkan
insentif
bagi
peternak
dan
koperasi.
Pemerintah
perlu
mengeluarkan kebijakan yang mendukung usahaternak sapi perah dan mendukung keberlanjutan koperasi susu sapi perah, misalnya pemberian subsidi pakan, obatobatan dan pemberian kredit. Namun, sejak tahun 2000 pemerintah telah mengurangi kebijakan pemberian subsidi pakan dan obat-obatan. Kebijakan pemberian kredit kepada peternak juga mengalami kendala karena tingkat suku bunga kredit yang tinggi sehingga memberatkan peternak. Kebijakan Pemerintah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah dampak kebijakan dari Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu sesuai dengani peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.011/2009 . Pemerintah melakukan
37
intervensi mengenai bea masuk bahan baku susu impor. Dalam PMK ini dijelaskan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu di dalam negeri perlu dilakukan perubahan tarif bea masuk (BM) atas impor produk-produk susu tertentu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar 5 persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur daya saing usahaternak sapi perah. Penilaian daya saing dilakukan dengan menggunakan analisis Matriks PAM. Dalam Matriks PAM dilakukan secara finansial dan ekonomi. Penggunaan PAM (Policy Analysis Matrix) untuk menganalisis beberapa komponen yaitu keunggulan kompetitif (Rasio Biaya Privat/PCR), keunggulan komparatif (Biaya Sumberdaya Domestik/ DRC), dan dampak kebijakan pemerintah yaitu, kebijakan input (IT, FT, dan NPCI), kebijakan output (OT, dan NPCO) dan kebijakan inputoutput (NT, EPC, PC, dan SRP). Setelah melakukan analisis PAM tahapan analisis selanjutnya adalah analisis sensitivitas untuk mengetahui perubahan keunggulan komparatif dan kompetitif dari usahaternak sapi perah. Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pada saat terjadi penurunan tarif impor lima persen dan saat terjadi penetapan tarif impor 15 persen. Ringkasan proses penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
38
Kerangka Pemikiran Daya saing usahaternak sapi perah yang rendah
Berbagai kendala dalam pengembangan usahaternak sapi perah di Kawasan Peternakan (KUNAK)
Kendala : Kualitas SDM peternak Permasalahan teknis dan ekonomis Permasalahan permodalan kelembagaan
Jumlah produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi permintaan susu dalam negeri dan adanya persaingan dengan susu impor
Kebijakan tarif impor 5% berdasarkan PMK Nomor 101/PMK.011/2009
Matriks Analisis Kebijakan (PAM)
Keunggulan kompetitif Keuntungan privat Rasio biaya privat (PCR)
Keunggulan komparatif Keuntungan sosial Biaya sumberdaya domestik (DRC)
Dampak kebijakan pemerintah Kebijakan input Kebijakan output Kebijakan input-output
Analisis Sensitivitas
Hasil Akhir Gambaran daya saing dan kinerja usahaternak sapi perah di Kawasan Peternakan (KUNAK) Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan usahaternak sapi perah di KUNAK
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Operasional
39
III. METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah kerja Koperasi Produksi Susu dan
Usaha Peternakan (KPS Bogor) KUNAK, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian difokuskan pada anggota koperasi tersebut yang tersebar pada tiga desa, yaitu Desa Pamijahan, Desa Pasarean, dan Desa Situ Udik. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dan melalui beberapa pertimbangan diantaranya : (1) KPS Bogor KUNAK merupakan lokasi kumpulan peternak sapi perah yang ada di Kabupaten Bogor, (2) Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan merupakan sentra penghasil susu yang potensial di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2011 yang meliputi survei lokasi penelitian, penyusunan rencana kegiatan, pengumpulan data hingga penyusunan skripsi. 3.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer meliputi jumlah produksi, biaya produksi, total penerimaan usaha peternakan sapi perah anggota peternak KPS Bogor KUNAK. Data primer didapatkan dari hasil pengamatan, pengisisan kuisioner dan wawancara secara langsung kepada pihak peternak dan pihak-pihak terkait lainnya seperti penjual susu, pegawai atau pengurus KPS Bogor dan KPS Bogor KUNAK dan warga sekitar Kawasan Usaha Peternakan. Data sekunder yang digunakan adalah data
40
input output fisik usahaternak sapi perah, harga finansial dan ekonomi input output usaha sapi perah, struktur ongkos usaha sapi perah dan data pendukung lainnya yang diperoleh melalui fasilitas internet. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang berasal dari beberapa instansi yang terkait dengan objek penelitian seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Peternakan, Gabungan Koperasi Susu (GKSI),
dan studi pustaka melalui
pengumpulan data yang berasal dari literatur dan buku-buku. Untuk input output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost, Insurance and Freight) sedangkan untuk menghitung harga sosial input non tradable digunakan harga imbangannya (opportunity cost). 3.3
Metode Penentuan Sampel Dalam penelitian ini responden yang diteliti adalah para peternak dari
usaha peternakan sapi perah anggota KPS Bogor yang berada di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK). Responden yang diambil adalah para peternak yang berasal dari enam kelompok peternak, diantaranya kelompok peternak bersih, segar, tertib, mandiri, indah dan aman. Jumlah responden yang diteliti yaitu sebanyak 30 orang peternak yang dipilih berdasarkan metode sensus. Penentuan jumlah responden didasarkan pada karateristik responden sebagai pemilik usahaternak tersebut. Penentuan jumlah responden peternak sapi perah terkait dengan keadaan dari populasi yang bersifat homogen dalam hal struktur biaya usaha ternak rakyat, sehingga jumlah 30 orang sampel dianggap sudah mewakili
41
karateristik dan keragaman struktur biaya usahaternak sapi perah anggota KPS Bogor KUNAK. 3.4
Metode Analisis Data Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis
kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menginterpretasi data yang diperoleh, sedagkan analisis kuantitatif dilakukan dengan cara pengumpulan data, lalu dilakuakan pengolahan data sehingga dapat diperoleh suatu data yang valid yang disederhanakan dalam bentuk tabulasi. Analisis deskriptif kualitatif dan analisis kuatitatif dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Dalam pengolahan data, data diolah menggunakan program Microsoft Excel dan Tabel Input Output Indonesia tahun 2000 untuk mengalokasikan biaya dan komponen tradable dan non-tradable. Pengolahan data dengan menggunakan metode PAM harus malalui beberapa tahapan, yaitu (1) dalam membangun model PAM harus dilakukan penentuan input usaha peternakan sapi perah, (2) pengalokasian input kedalam komponen tradable dan non tradable, (3) penentuan harga bayangan input dan output produksi. 3.4.1. Menentukan Input dan Output Dalam penelitian ini, input yang diperhitungkan adalah semua komponen input yang digunakan dalam proses produksi. Komponen input tersebut antara lain: pakan ternak, obat-obatan, tenaga kerja, peralatan, lahan, pajak, biaya air, biaya listrik dan biaya tataniaga. Output yang dihasilkan berupa susu segar yang siap dijual.
42
3.4.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Komponen biaya yang dikeluarkan selama proses produksi terdiri dari komponen biaya domestik dan biaya asing. Pengalokasikan biaya menjadi komponen domestik dan asing dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu Pendekatan Langsung (Direct Approach) dan Pendekatan Total (Total Approach) (Monke dan Pearson, 1989). Pada penelitian ini digunakan pendekatan total untuk mengalokasikan biaya komponen domestik (nontradable) dan asing (tradable). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing serta dipergunakan apabila produsen lokal dilindungi. Dalam penelitian ini
input yang digunakan termasuk kedalam
komponen tradable adalah pakan konsentrat, obat-obatan serta biaya tataniaga, sedangkan untuk komponen input non-tradable yaitu pakan hijauan, ampas tahu, tenaga kerja, sewa lahan, biaya air dan listrik, peralatan dan input lainnya sesuai dengan pengunaan tabel Input Output 2000. 3.4.3. Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu komoditi atau produk baik secara tunai maupun diperhitungkan. Pengalokasian biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) atau komponen domestik (nontradable) ditentukan berdasarkan jenis input, penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam biaya total input (Pearson et al., 2005). Input-input tradable seperti pakan konsentrat, obat-obatan, dan biaya tata niaga digolongkan ke dalam komponen biaya asing. Input-input nontradable seperti pakan hijauan, ampas tahu, tenaga kerja, peralatan, dan biaya lainnya
43
digolongkan ke dalam komponen biaya domestik. Tenaga kerja pertanian dianggap homogen, karena semua dianggap sebagai tenaga kerja tidak terampil, dan tidak ada perbedaan upah antara tenaga kerja pria dan wanita. Tenaga kerja dibedakan antara tenaga kerja keluarga dan non-keluarga yang berpengaruh terhadap perbedaan tingkat upah. Biaya tenaga kerja dihitung per Hari Orang Kerja (HOK) dengan satu HOK adalah delapan jam kerja dan memiliki upah yang berbeda-beda. Upah yang dibeikan kepada tenaga kerja adalah berupa upah bulanan. 3.4.4. Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu (Gittinger, 1986). Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya tataniaga dari daerah produsen hingga ke konsumen, atau dari daerah produsen sampai ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke konsumen. 3.4.5
Metode Analisis Harga Bayangan Menurut Gitingger (1986), harga bayangan adalah sebagian harga yang
terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan. Namun pada kenyataannya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan. Oleh karena itu di perlukan penyesuaian terlebih dahulu terhadap harga pasar yang berlaku untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial.
44
Alasan dari penggunaan harga bayangan, diantaranya : a. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya, b. Harga yang berlaku dipasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut. 3.4.5.1 Harga Bayangan Nilai Tukar Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Square dan Van der Task. Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan pada perkembangan nilai tukar dollar. Metode tersebut dirumuskan sebagai berikut :
Dimana : SER OER SCFt
= Nilai Tukar Bayangan (Rp/US $) = Nilai Tukar Resmi (Rp/US $) = Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : –
Dimana : SCFt Mt Xt Tmt Txt
= Faktor Konversi Standar untuk tahun ke-t = Nilai Impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) = Nilai Ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) = Penerimaan Pemerintah dari Pajak Impor untuk tahun ke-t (Rp) = Penerimaan Pemerintah dari Pajak Ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Dengan menggunakan rataan kurs rupiah terhadap dollar AS (OER) selama tahun 2010 senilai Rp. 9.034 /US$ pada tahun 2010 nilai SER adalah sebesar Rp 9.073,71 dan nilai SCF adalah sebesar 99,56 persen.
45
3.4.5.2 Harga Bayangan Output Haraga perbatasan (border price) adalah harga yang digunakan sebagai harga bayangan output. Komoditi susu sapi yang dihasilkan peternak di lokasi penelitian merupakan subtitusi impor. Penghitungan mengenai harga bayangan output pada penelitian ini adalah harga c.i.f (cost insurance freight) atau harga bayangan untuk produk yang di impor. Harga c.i.f yang digunakan adalah harga c.i.f di pelabuhan impor (pelabuhan Tanung Priok) karena posisi Indonesia sebagai negara pengimpor untuk produk susu. Harga bayangan dengan menggunakan harga c.i.f (cost insurance freight) dikonversi terlebih dahulu menggunakan harga bayangan nilai tukar rupiah SER (Shadow Exchange Rate) yang berlaku pada saat ini dengan biaya tata niaga untuk produk yang diimpor
tersebut. Rumus perhitungannya dapat ditulis sebagai
berikut [(c.i.f x SER) + biaya tata niaga]. Untuk menghitung harga susu dunia setara dengan harga susu segar dalam negeri peneliti menggunakan formulasi yang mengacu kepada Erwidodo dan Sayaka dalam Atien et al (2009). Formulasi tersebut menggunakan pendekatan dimana harga susu dunia dihitung atas dasar harga satu kilogram Full Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan delapan kilogram susu segar. Sekitar 80 persen biaya satu kilogram FCMP merupakan biaya susu segar
ditambah biaya tata niaga (biaya transportasi dan
handling/bongkar muat) dari pelabuhan sampai ke peternak yaitu sebesar 2,5 persen. Perhitungan harga susu FCMP didasarkan pada data rata-rata harga susu pada bulan Januari hingga Maret 2010 (International Dairy Product Prices,
46
2010). Harga rata-rata susu FCMP per liter setelah dikonversi adalah sebesar Rp. 3.850,70, dimana harga tersebut sudah termasuk biaya pengapalan dan administrasi. Harga bayangan susu yang digunakan adalah Rp. 3.946,97 per liter susu, nilai tersebut diperoleh dari harga susu impor dikalikan dengan SER dan ditambah 2.5 persen biaya tataniaga. 3.4.5.3 Harga Bayangan Input 1). Harga Bayangan Pakan Ternak Pakan yang digunakan oleh para peternak dalam usahaternak sapi perah dibagi dalam dua kelompok pakan yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat. Selain itu terdapat jenis pakan tambahan yaitu ampas tahu. Pakan hijauan merupakan pakan utama ruminansia karena melalui fermentasi di dalam rumen oleh mikroba, serta dapat menyediakan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Sementara pakan konsentrat adalah campuran bahan pakan yang kaya energi dan protein, yang berguna untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas susu sapi perah laktasi. Penyediaan bahan pakan sapi perah harus mempertimbangkan faktor palatabilitas (tingkat kesukaan sapi), nilai nutrisi, ketersediaan dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, serta harga terjangkau. Pakan hijau yang dibutuhkan oleh para peternak sapi sebagian besar didapatkan di lahan-lahan terbuka. Jenis pakan hijau yang biasa digunakan diantaranya berupa rumput-rumputan yang terdiri dari Rumput gajah (Pennisetum purpureum), Rumput Raja (King grass), benggala (Pennisetum maximum), rumput lapang dan BD (Brachiaria decumbens). Jenis pakan konsentrat dibeli peternak
47
melalui koperasi. Pakan konsentrat mengandung kadar serat kasar yang rendah dan mudah dicerna seperti, dedak, kedelai, bungkil kelapa, dan bungkil kacang. Harga bayangan pakan yang terdiri dari pakan hijauan dan ampas tahu ditentukan berdasarkan harga yang berlaku di pasar. Hal ini dikarenakan sejak tahun 2000 subsidi untuk pakan sudah dicabut oleh pemerintah. Akan tetapi harga bayangan konsentrat ditentukan berdasarkan harga pasar internasional yaitu harga cif pakan ternak ditambah dengan biaya-biaya tata niaga lainnya. 2). Harga Bayangan Obat-obatan Obat-obatan yang digunakan oleh para peternak diperoleh dari koperasi. Jenis obat-obatan tersebut sebagian di produksi di Indonesia dan sebagian lagi di impor dari luar negeri. Jenis obat-obatan yang digunakan dalam usahaternak sapi perah yaitu mineral, vasselin, dan biosid. Sebagian obat-obatan bahan bakunya masih didatangkan dari luar negeri, namun harga bayangan jenis obat-obatan yang diimpor dari luar negeri didasarkan pada harga c.i.f (cost insurance freight). Setelah itu dilakukan penyesuaian dengan melakukan penambahan atau pengurangan biaya transportasi atau pemasaran. 3). Harga Bayangan Tenaga Kerja Dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marginalnya (Gittinger, 1986). Tingkat upah memiliki nilai yang berbeda untuk setiap kriteria tenaga kerja. Untuk tenaga kerja terdidik, upah tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial) sedangkan untuk tenaga kerja tidak terdidik, harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga
48
finansialnya dengan asumsi tenaga kerja tersebut belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Tenaga kerja yang digunakan oleh peternak dalam membantu kegiatan usahatani adalah tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya tidak terdidik. Penentuan harag bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan perhitungan yang dilakukan Yudja (2001) dan Suryana (1980) dalam Emilya (2001) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian. 4). Harga Bayangan Lahan Lahan merupakan suatu faktor produksi yang termasuk kedalam suatu input non-tradable dalam suau sistem usahatani. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang diperhitungkan tiap musim tanam yang berlaku di masing-masing tempat. Sulit untuk mengukur nilai dari suatu usahatani yang dilakukan dalam suatu lahan oleh karena itu penentuan harga bayangan dilakukan berdasarkan oleh nilai sewa lahan tersebut. 5). Harga Bayangan Pajak Dalam penelitian ini, harga bayangan pajak dikeluarkan dari penilaian harga sosial. Oleh karena itu, harga finansial untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam penelitian ini dihitung dalam waktu sebulan sedangkan harga bayangannya tidak diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pajak merupakan bagian dari hasil neto proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan, oleh karena itu tidak dianggap sebagai biaya (Kadariah, 2001).
49
6). Harga Bayangan Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu (Gittinger, 1986). Perhitungan biaya tataniaga adalah seluruh biaya tataniaga dari produsen hingga ke konsumen atau dari produsen hingga ke pelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor hingga ke konsumen. Biaya tataniaga yang dikeluarkan pada penelitian ini adalah biaya pengangkutan pakan dari produsen hingga ke peternak dan biaya pengangkutan susu dari peternak hingga ke koperasi. Harga bayangan tata niaga untuk biaya pengangkutan pakan dan susu adalah dengan menggunakan harga pasar ditambah dengan biaya subsidi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 36,7 persen. 3.5
Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) Metode PAM (Policy Analysis Matrix) dikembangkan oleh Monke dan
Person sejak tahun 1987. Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usaha tani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai output dan biaya input dan keuntungan privat. Isu kedua adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani. Efisiensi diukur dari tingkat sosial. Isu ketiga adalah dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani (Pearson, et al, 2005). Oleh sebab itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
50
pendekatan keunggulan kompetitif dan komparitif model PAM dengan formulasi seperti pada Tabel 2.2 pada bab sebelumnya. Daya Saing Usahaternak Sapi Perah 1.
Analisis Keuntungan Finansial dan Keuntungan Sosial A.
Private Profitability (Keuntungan Privat) (KP), D = A – (B + C) Salah satu indikator yang menentukan daya saing industri adalah
besarnya keuntungan privat. Keuntungan privat adalah selisih dari pendapatan privat dengan biaya privat yang sesungguhnya di bayarkan atau diterima petani.
Jika nilai keuntungan privat D > O maka usaha ini
mendapatkan nilai keuntungan di atas normal sehingga usaha ini secara finansial layak untuk dilanjutkan. Sebaliknya jika nilai D < 0 maka kegiatan usaha tidak menguntungkan ketika adanya suatu intervensi dari pemerintah terhadap input atau output. B.
Social Profitability (Keuntungan Sosial) (KS), H = E – (F + G) Keuntungan sosial adalah selisish antara penerimaan sosial dengan
biaya sosial yang dihitung dengan harga sosial. Sebuah negara akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengedepankan aktivitas-aktivitas yang menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi (Pearson, et al, 2005). Jika H > 0 maka usaha tersebut efisien dan mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya jika nilai H < 0, usaha tersebut tidak menguntungkan secara ekonomi maka usaha tersebut perlu kebijakan pemerintah.
51
2.
Analisis Keunggulan Kompetitif (PCR) dan Keunggulan Komparatif (DRCR) A.
Private Cost Ratio (Rasio Biaya Privat), (PCR) = C/ (A – B) Nilai PCR menunjukkan nilai efisiensi suatu aktivitas ekonomi secara
finansial. Selain itu nilai PCR menunjukkan kemampuan suatu komoditi membiayai faktor domestik pada harga privat. Jika nilai PCR < 1 berarti bahwa untk meningkatkan nilai
tambah output sebesar satu satuan
diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan komoditi tersebut efisien secara kompetitif pada saat ada kebijakan pemerintah. Hal ini berarti usaha peternakan sapi perah efisien secara finansial karena usaha tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. B.
Domestic Resource Cost Ratio, ( DRCR) = G/ (E – F) Nilai DRCR menunjukkan indikator kemampuan suatu sistem
komoditi membiayai faktor domestik pada biaya sosial dan menunjukkan penggunaan sumber daya domestik dalam menghasilkan devisa. Nilai DRCR < 1 maka suatu aktivitas ekonomi memiliki keunggulan komparatif, yaitu usaha peternakan sapi perah efisien secara ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya domestik, sehingga permintaan domestik lebih menguntungkan dengan peningkatan produksi domestik.
52
I.
Dampak Kebijakan Pemerintah
1.
Kebijakan Output A.
Output Transfer (Transfer Output), (I) = A – E Nilai I menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan
pada output sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pada harga output privat dan sosial. Jika I bernilai positif berarti terdapat transfer (insentif) dari masyarakat/negara (konsumen) terhadap produsen atau ada transfer sumber daya yang menambah keuntungan sistem. Hal ini berarti konsumen membeli dari produsen dan mendapat harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya, dan sebaliknya jika I bernilai negatif berarti konsumen membeli dari produsen dan mendapat harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya atau ada transfer sumber daya yang mengurangi keuntungan sistem. B.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (Koefisien Proteksi Output Nominal), (NPCO) = A/E NPCO adalah suatu rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer.
Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga output domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Bila nilai NPCO > 1 berarti harga output di pasar domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau berarti sistem mendapat suatu proteksi kebijakan. Sebaliknya jika nilai NPCO < 1 berarti harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga di pasar dunia.
53
2.
Kebijakan Input A.
Input Transfer (Transfer Input), (J) = B – F Transfer Input terjadi ketika terjadi perbedaan pada harga input
tradable yang menyebabkan biaya input tradable privat berbeda dengan biaya sosialnya. Nilai J positif menyebabkan suatu implisit pajak atau transfer sumber daya keluar dari sistem. Hal ini menunjukkan besarnya transfer melalui penerapan tarif impor kepada produsen. B.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (Koefisien Proteksi Input Nominal), (NPCI) = B/F NPCI merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. NPCI
menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari input tradable dengan harga sosialnya. Jika nilai NPCI > 1 biaya input domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya jika nilai NPCI < 1 biaya input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada, sehingga proses produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri. C.
Transfer Faktor (TF), (K) = C – G Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor
domestik yang menyebabkan harga privat faktor domestik berbeda dengan harga sosialnya. Transfer faktor dapat bernilai positif ataupun negatif.
54
Transfer faktor bernilai positif berarti terdapat transfer sumberdaya keluar sistem atau menyebabkan terjadinya implisit pajak. Sedangkan transfer faktor berniali negatif berarti terdapat transfer sumberdaya ke dalam sistem atau menyebabkan terjadinya implisit subsidi. 3.
Kebijakan Input-Output A.
Effective protection Coefficient ( Koefisien Proteksi Efektif), (EPC) = (A – B)/(E – F) EPC merupakan suatu rasio yang membandingkan nilai tambah pada
tingkat harga domestik dengan nilai tambah pada tingkat harga dunia. EPC memiliki tujuan untuk menunjukkan dampak transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan, baik transfer output maupun transfer input. EPC dapat menggambarkan efektivitas kebijakan pemerintak bersifat melindungi atau menghambat produksi. Jika nilai EPC > 1, kebijakan pemerintah dapat melindungi konsumen domestik dan sebaliknya. B.
Net Transfer (Transfer Bersih), (L) = D – H Nilai Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat
dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input dan transfer faktor domestik. Apabila nilai L > 1 berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan apabila nilai L < 1 berarti terjadi pengurangan pada surplus prosen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output.
55
C.
Profitabilitas Coefficient (Koefisien Keuntungan), (PC) = D/H Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur
dengan Profitabilitas Coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC > 1 berarti secara keseluruhan kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan insentif terhadap produsen. D.
Subsidy Ratio to Producer (Perbandingan Subsidi bagi Produsen), (SPR) = L/E SRP adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak
transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. SPR juga dapat menunjukkan pengaruh transfer terhadap perubahan pendapatan dari suatu sistem. Nilai SRP yang negatif berarti terjadi besarnya pengeluaran produsen pada biaya produksi lebih besar dibandingkan biaya imbangannya akibat adanya kebijakan pemerintah tersebut. Kelebihan model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, Analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan variabel daya saing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Protitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output,
56
dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Dari selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku pada usaha peternakan sapi perah dan mengukur dampak dari adanya kegagalan (failure) pasar.
57
IV.
GAMBARAN UMUM
4.1
Gambaran Umum Desa
4.1.1.
Gambaran Umum Desa Situ Udik Desa Situ Udik yang memiliki luas 370.150 Ha terletak di Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Batas wilayah Desa Situ Udik sebelah utara adalah Desa Situ Ilir Kecamatan Cibungbulang, sebelah selatan Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan, sebelah barat Desa Cimayang Kecamatan Pamijahan, dan sebelah timur Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang. Desa Situ Udik berjarak enam kilometer dari Kecamatan Cibungbulang, 40 kilometer dari Kabupaten, dan 145 kilometer dari ibukota Provinsi Jawa Barat. Secara geografis Desa Situ Udik berada pada ketinggian 460 meter diatas permukaan laut dengan bentang wilayah berupa daratan dan perbukitan. Desa Situ Udik memiliki luas daratan 300 Ha dan 71 Ha untuk perbukitan. Selain itu, Desa Situ Udik memiliki curah hujan rata-rata 3009 mm/tahun dan suhu rata-rata 19°C. Jumlah penduduk desa Situ Udik adalah 13.668 orang pada tahun 2010 yang terdiri dari 7043 orang laki-laki dan 6625 orang perempuan. Penduduk Desa Situ Udik sebagian besar bekerja pada sektor jasa perdagangan yaitu sebesar 2984 orang, dan penduduk lainnya bekerja pada subsektor pertanian dan tanaman pangan, susektor perkebunan, subsektor perikanan, subsektor industri kecil, dan subsektor jasa. Penyebaran penduduk menurut mata pencahariannya dapat dilihat pada Tabel 4.1.
58
Tabel 4.1 Penduduk Desa Situ Udik Menurut Mata Pencaharian No. 1 2 3 4 5 6
Sektor Pertanian dan Tanaman Pangan Perkebunan atau Perladangan Perikanan Industri Kecil Jasa Jasa Perdagangan Jumlah Sumber : Data Monografi Desa Situ Udik (2010)
Jumlah 936 395 17 110 514 2.984 4.956
Persentase (%) 18,89 7,97 0,34 2,22 10,37 60,21 100,00
Desa Situ Udik memiliki berbagai jenis populasi hewan ternak. Populasi sapi perah merupakan populasi terbesar kedua setelah ayam ras. Hal ini di dukung dengan kondisi geografis Desa Situ Udik yang menyebabkan Desa Situ Udik menjadi sentra pengembangan usahaternak sapi perah. Menurut Sutarsi (1981) dalam Siregar (2009) wilayah yang cocok untuk pengembangan usahaternak sapi perah di Indonesia adalah daerah pegunungan dengan ketinggian minimum 800 meter diatas permukaan laut. Data populasi ternak Desa Situ Udik dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Jumlah Populasi Ternak Desa Situ Udik No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Ternak
Ayam Ras Sapi Perah Domba Itik Ayam Kampung Sapi Potong Kambing Kerbau Jumlah Sumber : Data Monografi Desa Situ Udik (2010)
Populasi (ekor) 30.000 855 594 415 225 205 90 37 32.421
Persentase (%) 92,53 2,64 1,83 1,28 0,69 0,63 0,28 0,11 100,00
59
4.1.2.
Gambaran Umum Desa Pasarean Desa Pasarean merupakan desa yang terletak di sebelah utara Desa Situ
Udik, sebelah selatan Desa Gunung Picung, sebelah barat Desa Pamijahan, dan sebelah timur Desa Gunung Menyan. Secara administratif, Desa Pasarean berada di dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi jawa Barat. Desa Pasarean berada pada ketinggian 450 meter diatas permukaan laut dengan rata-rata suhu udara 23°C hingga 31°C. Desa Pasarean memiliki curah hujan rata-rata 40 mm/tahun. Menurut bentang alamnya, Desa Pasarean terdiri dari dataran dan perbukitan atau pegunungan. Luas wilayah Desa Pasarean adalah 277.208 Ha. Tingkat kesuburan tanah Desa Pasarean terdiri dari tanah subur seluas 110.102 Ha dan tanah dengan tingkat kesuburan sedang yaitu seluas 66.003 Ha. Desa Pasarean berjarak empat kilometer dari pemerintah Kecamatan Cibungbulang, 40 kilometer dari pemerintah Kabupaten Bogor, 187 kilometer dari pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan 100 kilometer dari Ibukota Negara Indonesia. Desa pasarean terdiri dari dua dusun. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Desa Pasarean sebesar 1.0327 orang dengan 2.555 Kepala Keluarga (KK). Jumlah penduduk tersebut terdiri dari 5.876 orang laki-laki dan 5.451 orang perempuan. Menurut tingkat pedidikannya, penduduk Desa Pasarean banyak yang tidak tamat Sekolah Dasar yaitu sebanyak 1251 orang (41,73 persen). Penyebaran penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
60
Tabel 4.3 Penduduk Desa Pasarean Menurut Tingkat Pendidikan No. 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Jumlah Belum tamat SD 1.251 SD 653 SMP 698 SMA 327 Diploma 1, Diploma 2 11 Diploma 3 10 Sarjana 48 Total 2.998 Sumber : Data Monografi Desa Pasarean (2010)
Persentase (%) 41,73 21,78 23,28 10,91 0,37 0,33 1,60 100,00
Menurut kelompok kerja, penduduk Desa Pasarean yang bekerja adalah tenaga kerja produktif, yaitu rata-rata berumur 20 tahun hingga 26 tahun yaitu sebanyak 5.562 orang. Penduduk Desa Pasarean pada umumnya bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 1.670 orang, selain itu mata pencaharian lain dari penduduk Desa Pasarean adalah buruh tani, wiraswasta, pegawai negeri, pertukangan, abri, nelayan, jasa, dan lainnya. Penyebaran penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Penduduk Desa Pasarean Menurut Mata Pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian Jumlah Petani 1.670 Buruh tani 1.275 Wiraswasta 545 Pertukangan 300 Pegawai Swasta 160 Pegawai Negeri 32 Lainnya 54 Total 4.036 Sumber : Data Monografi Desa Pasarean (2010)
4.1.3.
Persentase (%) 41,38 31,59 13,50 7,43 3,96 0,79 1,34 100,00
Gambaran Umum Desa Pamijahan Desa Pamijahan terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Sebelah utara Desa Pamijahan berbatasan langsung dengan
61
Desa Situ Udik, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gunung Sari, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibitung Wetan, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Pasarean. Desa Pamijahan berada pada ketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.000 hingga 3.000 m3. Luas daerah Desa Pamijahan adalah 39.996 Ha. Menurut bentang alamnya, Desa Pamijahan terdiri dari daratan dan pegunungan. Sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk ladang dan persawahan yaitu seluas 28.996 Ha, dan sisanya dimanfaatkan untuk perumahan, jalan, bangunan pendidikan, pemakaman dan lapangan olahraga. Jarak kantor Desa Pamijahan dengan ibukota kecamatan Pamijahan adalah tiga kilometer, 27 kilometer dengan ibukota kabupaten Bogor, 140 kilometer dari Ibukota Provinsi Jawa Barat, dan 80 kilometer dari Ibukota Negara. Desa Pamijahan terdiri dari dua dusun, 31 Rukun Tetangga (RT) dan 8 Rukun Warga (RW). Desa pamijahan memiliki jumlah penduduk sebesar 11.108 orang dengan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 5.787 orang dan 5.321 orang perempuan serta 2.717 Kepala Keluarga (KK) pada bulan Januari tahun 2011 dengan kepadatan penduduk 2.857 jiwa per kilometer. Menurut mata pencahariannya, penduduk Desa Pamijahan bermatapencaharian utama sebagai petani.
Data
penyebaran penduduk
desa
pencahariannya dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Pamijahan
berdasarkan
mata
62
Tabel 4.5. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Mata Pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian
Petani Pertukangan Pegawai Swasta Pedagang Buruh Pabrik Pegawai Negeri Lainnya Total Sumber : Data Monografi Desa Pamijahan (2010)
Jumlah 2.780 1.109 856 576 78 29 1.180 6.608
Persentase (%) 42,07 16,78 12,95 8,72 1,18 0,44 17,86 100,00
Menurut tingkat pendidikannya, penduduk Desa Pamijahan sebagian besar merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) yaitu 2.417 orang (39,49%). Faktor latar belakang pendidikan juga berpengaruh terhadap jenis mata pencaharian penduduk Desa Pamijahan yang sebagian besar adalah petani. Untuk jenjang pendidikan tertinggi penduduk Desa Pamijahan adalah lulusan Sarjana S3 sebanyak 2 orang atau 0,03 %. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat penyebaran penduduk Desa Pamijahan menurut tingkat pendidikannya. Tabel 4.6. Penduduk Desa Pamijahan Menurut Tingkat Pendidikan No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD SD SMP SMA Akademi Sarjana S1 Sarjana S2 Sarjana S3 Total Sumber : Data Monografi Desa Pamijahan (2010)
Jumlah 32 2417 2216 1378 36 36 3 2 6120
Persentase (%) 0.52 39.49 36.21 22.52 0.59 0.59 0.05 0.03 100.00
63
4.2.
Gambaran Umum KPS Bogor dan KUNAK
4.2.1.
Lokasi Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS Bogor) pada
dasarnya terbagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah luar Kunak dan wilayah Kunak. Wilayah luar kunak adalah wilayah operasional dimana penduduk yang beternak sapi perah yang termasuk ke dalam keanggotaan KPS Bogor terletak menyebar di seluruh kawasan Bogor, Depok, dan sekitarnya. Kantor KPS Bogor terletak di Jalan Baru Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Dalam area seluas 4.480 m2, KPS Bogor terbagi kedalam beberapa unit bangunan diantaranya bangunan kantor administrasi umum, ruang rapat atau ruang petermuan, ruang produksi pakan ternak, gudang makanan ternak, ruang Chilling Unit atau penampungan susu, ruang pelteknak, laboratorium, pos satpam, mushola, dapur, toilet dan tempat parkir. KPS bogor mengalami perubahan nama Badan Hukum sesuai dengan adanya perubahan Anggaran Dasar (AD) No. 4654/BH/PAD/KWK.10/III/1996 dari “Koperasi Produksi Susu dan Peternakan Sapi Perah” menjadi “Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan”, yang dikenal dengan nama KPS Bogor. KPS Bogor mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengna dikeluarkannya Kepres No. 069/B/Tahun 1994 tentang bantuan kredit Banpres untuk perkembangan kawasan usaha peternakan (KUNAK) sapi perah di Kecamatan Cibungbulang dan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) merupakan suatu koperasi yang menjadi bagian dari KPS Bogor. KUNAK adalah suatu kawasan khusus untuk
64
pengembangan usaha peternakan sapi perah. KPS Bogor KUNAK diresmikan pendiriannya pada tahun 1997. Luas area KUNAK yaitu 100 Ha yang terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu KUNAK I dan KUNAK II. KUNAK I terdiri dari ttiga kelompok peternak, yaitu kelompok ternak Tertib, Segar dan Bersih. Sedangkan untuk KUNAK II terdiri dari tiga kelompok peternak, yaitu kelompok ternak Indah, Aman dan Mandiri. Kantor administrasi KUNAK terletak di KUNAK II, Desa Pamijahan, Kecamatan Pamijahan. Kantor administrasi ini juga merupakan tempat untuk penyetoran susu. Jumlah anggota peternak di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sebanyak 130 peternak yang aktif menyetorkan hasil produksi susu setiap harinya. Hingga tahun 2010 jumlah populasi sapi perah yang berada di KUNAK sebesar 2.300 ekor dengan jumlah produksi rata-rata 9.500 liter per hari. 4.2.2.
Struktur Organisasi KPS Bogor Struktur organisasi KPS Bogor sama dengan KPS Bogor KUNAK.
Berdasarkan SK.Pengurus KPS –Bogor No.465/KPS/X/2002 tanggal 31 Oktober 2002, terdapat stuktur organisasi KPS Bogor tahun 2002-2003. Berdasarkan struktur organisasi tersebut, kekuasaan tertinggi terdapat pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang diadakan setiap setahun sekali. Pengurus adalah perwakilan anggota koperasi yang dipilih melalui rapat anggota. Pengurus memiliki tugas untuk mengelola koperasi dan kegiatan usaha lainnya.
65
Susunan Pengurus KPS-Bogor Periode 2009-2013 - Ketua
: I Made Soewecha
- Sekretaris
: Wahyanto, SE, MM
- Manajer
: Bintarso
Kegiatan pelaksanaan tugas koperasi akan diawasi oleh suatu komite pengawas. Fungsi dari pengawas adalah sebagai pengontrol kegiatan pengurus agar sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah ditetapkan pada rapat anggota. Susunan Pengawas KPS-Bogor Periode 2009-2013 - Ketua
: Drs. Purwanto
- Anggota
: Deden Irianto, SE
- Anggota
: Agus Zaenudin, S
RAPAT ANGGOTA B. PENG. KUNAK PENGURUS
PENGAWAS
KONSULTAN PNG. KELOMPOK
1
KOOR. USAHA
2
3
4
5
6
Keterangan :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
: Garis perintah dan tanggung jawab : Garis Pengawasan Unit Pelayanan Susu Murni dan Pelayanan Teknis Peternakan (Pelteknak) Unit Usaha Pakan Ternak Unit Usaha Susu Olahan Unit Serba Usaha (USP, Waserda) Bagian Kunak Bagian Adm. Umum dan Keuangan
Gambar 4.1 Struktur Organisasi KPS Bogor
66
4.2.3.
Unit Usaha Koperasi KPS Bogor memiliki beberapa unit usaha untuk mengembangkan pola
bisnis yang mengedepankan kemampuan bersaing dalam memenuhi kebutusan pasar (minimal anggota koperasinya), diantaranya : a.
Unit Penampungan Pelayanan Susu Murni Unit ini melakukan kegiatan penerimaan susu murni dari peternak di lokasi peternak atau kelompok dan penerimaan susu di TPS KPS Bogor. Jumlah penerimaan susu sapi di KPS Bogor terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlah produksi susu di KPS Bogor mencapai 5,692 juta liter.
b.
Unit Pelayanan Teknis Peternakan Unit ini memberikan pelayanan teknis meliputi pelayanan kesehatan ternak seperti pengobatan sapi perah, inseminasi buatan, kebutuhan alatalat peternakan untuk para anggota, dan menyalurkan sapi perah kepada anggota.
c.
Unit Usaha Susu Pasteurisasi Unit usaha ini melakukan pengolahan susu segar menjadi susu pasteurisasi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan harga jual susu dan harga beli susu dari anggota.
d.
Unit Usaha Produksi Pakan Ternak Unit usaha ini menyediakan pakan konsentrat yang dibutuhkan oleh para anggota peternak. Unit ini menyediakan tiga grade kualitas pakan, yaitu
67
Lactofed (mengandung PK 12-13 persen), Matuken (mengandung PK 1516 persen), dan Matuken-18 (mengandung PK 17-18 persen). e.
Unit Usaha Simpan Pinjam (USP) Sumber pemodalan USP berasal dari modal sendiri dengan tingkat suku bunga yang rendah dari suku bunga perbankan pada umumnya. Unit ini dikembangkan untuk membantu permodalan dan kebutuhan dana para peternak, misalnya melakukan pinjaman dana kepada para peternak yang ingin menambah jumlah sapi perah, melakukan perbaikan kandang, dan kebutuhan lainnya.
f.
Unit Usaha Waserda Unit waserda dikembangkan untuk memudahkan para peternak untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan usaha ternak seperti sembako dan peralatan perkandangan dengan harga yang bersaing.
4.3.
Gambaran Umum Responden Responden dalam penelitian ini adalah anggota peternak KPS Bogor
yang tersebar di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Gambaran umum responden meliputi status usahaternak, umur, pendidikan, jenis dan jumlah kepemilikan sapi laktasi, pemberian pakan, pemeliharaan ternak, tenaga kerja yang digunakan, dan cara penjualan hasil ternak.
68
4.3.1.
Status Usahaternak Sapi Perah Berdasarkan hasil wawancara dengan para peternak, sebagian besar
peternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) menjadikan usahaternak sapi perah sebagai pekerjaan utama. 25 orang responden atau 75 persen menyatakan bahwa usahaternak sapi perah merupakan pekerjaan utama, sedangkan lima orang responden atau 25 persen menyatakan bahwa usahaternak sapi perah merupakan pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama kelima responden tersebut diantaranya pegawai swasta dan pensiunan pegawai negeri. 4.3.2.
Umur Umur peternak yang menjadi responden pada penelitian kali ini berkisar
anatara 29-82 tahun. Mayoritas responden berada pada kisaran umur dibawah 50 tahun. Berdasarkan data umur responden yang terdapat pada Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa sebaran umur responden pada selang umur 38 hingga 46 tahun berjumlah 11 peternak atau 37 persen dari total responden, sedangkan pada selang umur 29 tahun hingga 37 tahun terdapat 9 orang peternak atau 30 persen dari total responden, dan sisanya tersebar pada selang umur 47 tahun hingga 82 tahun. Tabel 4.7 Karateristik Responden Berdasarkan Umur Selang Umur 29-37 38-46 47-55 56-64 65-73 74-82 Jumlah
Jumlah Responden (orang) 9 11 2 5 1 2 30
Persentase (%) 30 37 7 17 3 7 100
69
4.3.3.
Pendidikan Terdapat keberagaman tingkat pendidikan peternak responden. Hal ini
dapat berpengaruh terhadap tingkat penyerapan teknologi baru dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar peternak responden mencapai tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu sebanyak sembilan orang atau 30 persen. Selain itu peternak responden yang menempuh pendidikan hingga Sarjana S1 (27 persen), tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) (13 persen), tingkat pendidikan Sarjana S2 dan tidak tamat sekolah (7 persen), dan tingkat pendidikan D2 (3 persen). Sebaran tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Karateristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA D2 Sarjana S1 Sarjana S2 Total
4.3.4.
Jumlah Responden (orang) 2 4 4 9 1 8 2 30
Persentase (%) 7 13 13 30 3 27 7 100
Jenis dan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi Jenis sapi perah yang dikembangkan dan diusahan oleh para peternak di
Kawasan Usaha peternakan (KUNAK) adalah jenis sapi perah FH (Fries Hollands) murni maupun turunannya. Jenis sapi ini berasal dari Belanda. Produksi susu rata-rata jenis sapi FH adalah 4.500-5.500 liter per satu masa laktasi.
70
Menurut hasil penelitian, produksi susu sapi rata-rata milik responden adalah 9,73 liter per hari. Tabel 4.9 menggambarkan karateristik responden berdasarkan jumlah kepemilikan sapi laktasi. Berdasarkan Tabel 4.9, sembilan orang responden memiliki jumlah sapi laktasi 2 sampai 6 ekor atau sekitar 30 persen lalu sembilan orang responden memiliki jumlah sapi laktasi 7 sampai 11 ekor atau sekitar 30 persen. Untuk kepemilikan sapi laktasi tertinggi adalah lebih dari 36 ekor yaitu sekitar dua responden. Tabel 4.9 Karateristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi (ekor) 2-6 7-11 12-16 17-21 22-26 27-31 32-36 >36 Total
4.3.5.
Jumlah Responden (orang)
Persentase (%)
9 9 3 2 3 1 1 2 30
30 30 10 7 10 3 3 7 100
Pemeliharaan Ternak dan Pemberian Pakan Pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh para peternak di kawasan
KUNAK meliputi pemerahan, pemberian pakan, dan pembersihan kandang. Kegiatan pemerahan dilakukan oleh para peternak dua kali dalam sehari, dengan perbandingan rata-rata waktu pemerahan 12:12, misalnya pemerahan pertama dilakukan di pagi hari pada pukul 05.00 pagi lalu pemerahan kedua dilakukan pada pukul 17.00 sore. Hal ini untuk menjaga kualitas dan kuantitas susu yang
71
dihasilkan oleh sapi. Kegiatan pembersihan kandang dan memandikan sapi dilakukan oleh para peternak sebelum melakukan pemerahan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas susu agar terhindar dari kotoran dan bibit penyakit. Kegiatan pemberian pakan dilakukan dua hingga tiga kali dalam sehari. Pakan ternak yang diberikan peternak terdiri dari pakan hijauan, pakan konsentrat, dan ampas tahu. Pakan hijauan yang diberikan oleh para peternak adalah berupa rumput gajah (Penniseum purpureum). Rumput untuk pakan ternak di dapat dari hasil mengarit di lahan sendiri maupun dari luar lahan sendiri, misalnya lahan rumput di daerah sekitar kawasan KUNAK. Walaupun setiap peternak sudah memiliki lahan hijauan sendiri yang cukup luas, namun peternak masih mengalami kesulitan untuk mencari pakan hijauan. Hal ini dikarenakan semakin tingginya tingkat persaingan di antara peternak yang berada di dalam kawasan KUNAK maupun peternak yang berada di luar kawasan KUNAK. Keterbatasan pakan hijauan tersebut menyebabkan peternak harus membeli pakan hijauan dengan harga rata-rata Rp. 100 hingga Rp. 200 per kilogram. Pemberian pakan hijauan rata-rata untuk satu ekor sapi laktasi adalah 35,7 kg per hari. Pakan konsentrat yang diberikan adalah jenis pakan yang dibeli oleh para peternak di koperasi. Harga beli pakan yang dibeli di koperasi bervariasi, yaitu dengan kisaran harga Rp. 1600 hingga Rp. 3600 per kilogram. Pemberian pakan konsentrat dilakukan dua kali dalam sehari, dengan rata-rata untuk satu ekor sapi adalah 5,9 kilogram per hari. Pemberian pakan konsentrat dilakukan dengan cara mencampurkan pakan tersebut dengan ampas tahu. Pemberian ampas tahu dilakukan dua kali dalam sehari, dengan jumlah rata-rata untuk satu ekor sapi
72
adalah 11,5 kilogram per hari. Harga untuk ampas tahu juga bervariasi, yaitu dengan kisaran harga Rp. 300 hingga Rp.500 per kilogram. Kendala yang dihadapi oleh para peternak selain terbatasnya pakan hijauan yaitu harga pakan konsentrat yang mahal. Hal ini dirasa sangat merugikan bagi para peternak karena harga pakan ternak per kilogram bisa melebihi harga penjualan susu. Selain harga pakan yang tinggi, masalah lain yang dihadapi para peternak adalah harga jual susu yang rendah. Dalam penelitian ini, dengan total responden sebanyak 30 peternak harga jual susu rata-rata yang diterima oleh para peternak yaitu Rp. 2.987,43 per liter susu. 4.3.6.
Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam pengembangan usaha peternakan
adalah untuk pemerahan, pencarian pakan, pemberian pakan, pembersihan kandang, dan mengantar susu ke KPS. Dalam penelitian ini tenaga kerja dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan tenaga kerja adalah tenaga kerja luar keluarga dimana pemberian upah untuk tenaga kerja dilakukan perbulan dengan pemberian upah rata-rata Rp. 728.906 per bulan. 4.3.7.
Produksi dan Penjualan Hasil Ternak Susu segar merupakan hasil produksi utama yang dihasilkan oleh para
peternak. Produktivitas susu yang dihasilkan oleh para peternak adalah sebesar 9,73 liter per hari. Dalam sehari KPS dapat menerima setoran susu dari para peternak hingga 9.500 liter per hari. Harga beli susu rata-rata yang diterima oleh
73
para peternak adalah Rp. 2.987,93 per liter. Pembayaran dari hasil produksi susu segar yang disetorkan oleh para peternak ke KPS dilakukan setiap sebulan sekali. Pembelian pakan konsentrat, biaya air, pembelian biosid, mineral, vasselin, dan biaya-biaya lain dipotong dari pembayaran uang susu. Selain menghasilkan susu segar, sekitar sepuluh persen peternak menghasilkan susu olahan seperti youghurt untuk dijual secara eceran langsung ke masyarakat di sekitar KUNAK. Untuk susu segar, para peternak langsung menjualnya ke KPS. Fungsi pemasaran susu dilakukan oleh KPS. KPS melakukan pengumpulan susu dari berbagai peternak, kemudian menyimpan susu tersebut di sebuah chilling unit agar kualitas susu tetap terjaga yang kemudian akan disalurkan ke Industri Pengolahan Susu (IPS) yaitu PT. Indomilk dengan harga jual susu ke PT. Indomilk mencapai Rp. 3.600 per liter.
74
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Efisiensi dan daya saing komoditi susu sapi perah yang dihasilkan oleh
para peternak di KUNAK dianalisis melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Matriks PAM disusun berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi yang terbagi dalam dua bagian, yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Masing-masing biaya peroduksi pada harga privat dan ekonomi dibagi menjadi input asing (tradable), domestik (non-tradable), dan pajak. Dari hasil analisis matriks PAM dapet diperoleh informasi mengenai efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah dalam menghasilkan susu segar dan dapat melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan usahaternak sapi perah tersebut. Hasil analisis matriks PAM pengusahaan susu sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) dengan skala usaha kecil, skala usaha menengah, dan skala usaha besar dapat dilihat pada Tabel 5.1.
75
Tabel 5.1. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah di KUNAK pada Kondisi Tarif Impor Lima Persen Tahun 2010 (Rp/Liter) Komponen
Biaya Input
Penerimaan
Input Tradabel
Keuntungan
Non Tradabel
Usahaternak Skala Kecil Privat 3.000,00
180,18
2.384,20
435,62
Sosial Divergensi
144,93 35,25
2.116,28 267,92
1.685,76 (1.250,14)
Usahaternak Skala Menengah Privat 3.005,00 Sosial 3.946,97 Divergensi (941,97)
134,88 123,21 11,68
2.195,83 2.033,05 162,78
674,29 1.790,72 (1.116,43)
Usahaternak Skala Besar Privat 3.000,00 Sosial 3.946,97
274,15 202,16
2.673,37 2.136,91
52,49 1.607,90
Divergensi
71,99
536,45
(1.555,41)
3.946,97 (946,97)
(946,97)
Sumber : Data Primer, diolah (2011)
Berdasarkan Tabel 5.1, secara keseluruhan analisis privat dan ekonomi menunjukkan bahwa pengusahaan susu sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) KPS Bogor, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat menguntungkan. Hal ini dapat dilihat bahwa usahaternak sapi perah skala kecil, skala menengah dan skala besar di KUNAK pada tahun 2010 memiliki daya saing pada harga privat dan harga sosial. Divergensi yang dihasilkan pada tabel PAM pada usahaternak skala kecil bernilai negatif untuk divergensi penerimaan dan divergensi pendapatan. Pada penerimaan output, terjadi divergensi negatif sebesar Rp. 946,97 per liter karena harga sosial susu lebih tinggi daripada harga yang diterima peternak. Hal ini dikarenakan harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan susu lokal walaupun pada kondisi tarif impor lima persen. Untuk input tradable, mengalami divergensi positif sebesar
76
Rp. 32,25 yang terjadi karena harga sosial input tradable yaitu pakan ternak dan obat-obatan di pasar dunia (harga c.i.f) lebih rendah dibandingkan dengan harga privat yang diterima oleh peternak. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga finansial (privat) pakan ternak dan obat-obatan menjadi lebih tinggi dibandingkan harga ekonominya (sosial). Divergensi positif juga terjadi pada biaya faktor domestik sebesar Rp. 267,92 per liter susu yang terjadi karena biaya privat faktor domestik lebih tinggi dibandingkan biaya sosialnya. Hal ini terjadi karena besarnya harga sosial untuk biaya listrik dan biaya tata niaga lebih besar dibandingkan harga privatnya karena adanya subsidi dari pemerintah berupa subsidi listrik dan subsidi BBM sehingga menguntungkan bagi para peternak. Selain itu pada pendapatan juga terjadi divergensi negatif sebesar Rp. 1.250,14 per liter susu. Hal ini terjadi karena pendapatan privat peternak lebih kecil dibandingkan pendapatan sosialnya Hal ini merupakan akumulasi efek dari divergensi harga output dan biaya input baik tradable maupun non-tradable. Divergensi yang dihasilkan pada tabel PAM pada usahaternak skala menengah dan skala besar bernilai negatif untuk divergensi penerimaan dan divergensi pendapatan. Divergensi negatif
pada penerimaan output untuk
usahaternak skala menengah sebesar Rp. 941,97 per liter susu dan pada usahaternak skala besar adalah Rp. 946,97 per liter susu. Hal ini terjadi karena harga sosial susu lebih tinggi daripada harga yang diterima peternak. Harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan susu lokal walaupun pada kondisi tarif impor lima persen.
77
Untuk input tradable, mengalami divergensi positif sebesar Rp. 11,68 untuk usahaternak skala menengah dan Rp. 71,99 untuk usahaternak skala besar yang terjadi karena harga sosial input tradable yaitu pakan ternak dan obat-obatan di pasar dunia (harga c.i.f) lebih rendah dibandingkan dengan harga privat yang diterima oleh peternak.
Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan
pemerintah atau distorsi pasar yang mengakibatkan harga finansial (privat) pakan ternak dan obat-obatan menjadi lebih tinggi dibandingkan harga ekonominya (sosial). Divergensi positif pada biaya faktor domestik untuk usahaternak skala menengah sebesar Rp. 162,78 per liter susu dan pada usahaternak skala besar Rp. 536,45 per liter susu. Hal tersebut terjadi karena adanya pembayaran upah yang lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Berdasarkan Rusastra dan Yudja (1982) dan Suryana (1980) dalam Emiliya (2001) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang digunakan peternak dalam membantu usahanya adalah tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya tidak terdidik sehingga harga bayangan tenaga kerja tersebut adalah 80 persen dari tingkat upah yang berlaku pada daerah penelitian. Divergensi negatif pada nilai pendapatan untuk usahaternak menengah sebesar Rp. 1.116,43 per liter susu dan pada usahaternak skala besar adalah Rp. 1.555,41 per liter susu. Hal ini terjadi karena pendapatan privat peternak lebih kecil dibandingkan pendapatan sosialnya dan merupakan akumulasi efek dari divergensi harga output dan biaya input faktor domestik. Berdasarkan
hasil
dari
Matriks
Analisis
Kebijakan,
dilakukan
perhitungan-perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai yang akan menjadi
78
indikator daya saing yang dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu sapi perah lokal yang dibedakan menjadi kebijakan input, kebijakan output dan kebijakan input-output. Indikator-indikator dari Matriks Analisis Kebijakan yang akan dijelaskan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Indikator-Indikator Matriks Analisis Kebijakan Usahaternak skala kecil
Usahaternak skala sedang
Usahaternak skala besar
Keuntungan Privat
435,62
674,29
52,49
Keuntungan Sosial
1.685,76
1.790,72
1.607,90
Rasio Biaya Privat (PCR)
0,85
0,77
0,98
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
0,56
0,53
0,57
-946,97
-941,97
-946,97
0,76
0,76
0,76
Transfer Input (TI)
35,25
11,68
71,99
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
1,24
1,09
1,36
267,92
162,78
536,45
0,74
0,75
0,73
Indikator Analisis Daya Saing
Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output Transfer Output (TO) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Kebijakan Input
Transfer Faktor Kebijakan Input-Output Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Transfer Bersih (NT)
-1.250,14
-1.116,43
-1.555,41
Koefisien Keuntungan (PC)
0,26
0,38
0,03
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
-0,32
-0,28
-0,39
Sumber : Data Primer, diolah (2011)
5.1.1.
Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif dari suatu komoditas ditentukan oleh
nilai Keuntungan Privat (KP) dan nilai Rasio Biaya Privat (PCR). Keuntungan finansial usahaternak sapi perah adalah selisih antara penerimaan dari penjualan susu segar dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu yang dihitung
79
berdasarkan harga aktual atau harga pasar yaitu harga setelah adanya intervensi dari pemerintah. Berdasarkan hasil perhitungan Matriks Analisis Kebijakan diperoleh nilai Keuntungan Privat (KP)
bernilai positif, artinya peternak yang menjalankan
usahaternak sapi perah pada skala usaha kecil, menengah, dan besar tersebut memperoleh profit diatas normal. Besar nilai KP menunjukkan besarnya penerimaan yang diterima oleh para peternak setelah membayar seluruh biaya input produksi. Pada usahaternak skala kecil, besar nilai KP adalah Rp. 435,62, pada usahaternak skala menengah diperoleh nilai KP sebesar Rp. 674,29 per liter susu dan pada usahaternak skala besar diperoleh nilai KP sebesar Rp. 52,49 per liter susu. Hal ini berarti bahwa keuntungan yang diterima peternak sapi perah dengan adanya kebijakan pemerintah pada saat dilakukan penelitian adalah sebesar Rp. 435,62 per liter susu pada usahaternak skala kecil, Rp. 674,29 per liter susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 52,49 pada usahaternak skala besar. Keuntungan privat lebih besar diterima pada usahaternak skala menengah, hal ini dikarenakan biaya produksi untuk pengusahaan sapi perah pada skala menengah lebih rendah dibandingkan dengan usahaternak pada skala usaha besar di wilayah penelitian. Selain itu, perbedaan harga jual susu segar yang terima peternak juga berbeda pada setiap skala usaha, dimana harga jual susu ratarata pada usahaternak skala menengah paling tinggi yaitu Rp. 3.005 per liter susu. Nilai keuntungan privat lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha dalam menghasilkan komoditi
80
susu segar menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Selain analisis Keuntungan Privat (KP), untuk menilai keunggulan kompetitif dari pengusahaan usahaternak sapi perah dapat digunakan Rasio Biaya Privat (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Nilai PCR dapat menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi susu sapi segar. Apabila nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (<1) maka suatu aktivitas dapat dikatakan efisien secara finansial pada saat ada kebijakan pemerintah. Semakin kecil nilai PCR maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Hasil Analisis Matriks Kebijakan menunjukkan bahwa nilai PCR pada ketiga skala usaha memiliki nilai yang lebih kecil dari satu. Nilai PCR pada usahaternak skala kecil adalah 0,85, usahaternak skala menengah adalah 0,77, dan usahaternak skala besar adalah 0,98. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa usahaternak sapi perah di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), KPS Bogor efisien secara finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai PCR dari masing-masing skala usaha memiliki arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat pada masing-masing skala usaha diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0,85 (usahaternak skala kecil), 0,77 (usahaternak skala menengah), dan 0,98 (usahaternak skala besar). Dari nilai PCR tersebut dapat dilihat bahwa usahaternak yang memiliki nilai efisiensi lebih besar secara finansial dan memiliki
81
keunggulan kompetitif lebih besar adalah usahaternak skala menengah dengan kepemilikan sapi laktasi empat hingga tujuh ekor. 5.1.2.
Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif adalah indikator untuk menilai apakah komoditi
susu segar yang diusahakan di KUNAK, KPS Bogor memiliki daya saing (keunggulan komparatif), mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk subtitusi impor. Analisis keunggulan komparatif dari suatu komoditas ditentukan oleh nilai Keuntungan Sosial (KS) atau Social Profitability (SP) dan nilai Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio (DRC). Nilai DRC menunjukkan indikator kemampuan suatu sistem komoditi membiayai faktor domestik pada biaya sosial dan menunjukkan penggunaan sumber daya domestik dalam menghasilkan devisa. Keuntungan Sosial (KS) menunjukkan besarnya penerimaan yang diterima oleh para peternak setelah membayar seluruh biaya input produksi pada kondisi pasar persaingan sempurna, dimana tidak ada campur tangan pemerintah. Nilai KS pada usahaternak skala kecil, menengah dan besar secara berturut-turut adalah Rp. 1.685,76, Rp. 1.790,72, dan Rp. 1.607,90 per liter susu. Nilai KS yang bernilai positif, lebih besar dari nol (>0), pada ketiga skala usaha menunjukkan bahwa pengusahaan usahaternak sapi perah dalam memproduksi susu segar pada ketiga skala usaha tersebut dapat menghasilkan keuntungan secara ekonomi dengan kondisi tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Perbedaan nilai KS pada setiap skala usaha disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing peternak, misalnya penggunaan pakan hijauan,
82
konsentrat, dan obat-obatan serta tingkat upah yang diberikan untuk masingmasing tenaga kerja. Nilai keuntungan sosial (KS) dalam usahaternak sapi perah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai Keuntungan Privat (KP) pada ketiga skala usaha tersebut. Hal ini dikarenakan harga sosial dari susu segar nilainya lebih tinggi yaitu Rp. 3946,97 dibandingkan dengan harga privatnya yaitu sekitar Rp. 3.000 per liter susu. Artinya, pengusahaan sapi perah lebih menguntungkan saat tidak ada intervensi dari pemerintah baik terhadap input ataupun output. Kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini seperti kebijakan harga impor (tarif impor) belum dapat mengoptimalkan keuntungan yang diterima oleh peternak dalam hal pengusahaan ternak sapi perah. Selain itu, biaya aktual tenaga kerja yang dibayarkan lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya menyebabkan keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan privat yang diterima oleh peternak. Selain nilai keuntungan ekonomi, nilai dari Rasio Sumberdaya Domestik (DRC) juga dapat menggambarkan keunggulan komparatif usahaternak sapi perah dalam menghasilkan komoditi susu segar. Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomi apabila memiliki nilai DRC yang kurang dari satu (<1). Untuk ketiga skala usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor memiliki nilai DRC yang kurang dari satu, yaitu untuk usahaternak skala kecil nilai DRC sebesar 0,56, skala menengah sebesar 0,53, dan untuk skala besar yaitu 0,57. Nilai DRC yang masing-masing kurang dari satu pada ketiga usahaternak menunjukkan bahwa pengusahaan sapi perah di KUNAK, KPS Bogor efisien secara ekonomi dan
83
mempunyai keunggulan komparatif serta mampu berjalan tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Usahaternak skala
menegah
memiliki
nilai
DRC paling kecil
dibandingkan dengan usahaternak skala kecil maupun skala besar. Nilai DRC dari usahaternak skala menengah yaitu 0,53, artinya untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output pada usahaternak skala kecil membutuhkan biaya sumberdaya domestik lebih kecil dari satu satuan yang dinilai pada harga sosial, yaitu sebesar 0.53. Nilai DRC pada skala usaha menengah hanya berselisih 0,03 dari usahaternak skala kecil, sedangkan untuk usahaternak skala besar nilai DRC mencapai 0,57, yang berarti biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menghemat satu nilai tambah output pada usahaternak skala besar membutuhkan biaya yang lebih besar, walaupun nilai DRC tetap kurang dari satu. Berdasarkan analisis PAM, nilai DRC yang kurang dari satu dapat menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditi susu segar lebih baik diproduksi dalam negeri karena biaya produksi susu segar dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan dengan mengimpor susu bubuk dari luar negeri dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya produksi susu dalam negeri hanya dapat memenuhi 30 persen dari total kebutuhan susu nasional. Oleh karena itu perlu adanya intervensi dari pemerintah untuk membantu pengembangan dan pengusahaan usahaternak sapi perah untuk meningkatkan kapasitas produksi susu, misalnya dengan cara pemberian kredit
84
kepada peternak dengan bunga yang rendah, selain itu harus ada perbaikan dari sistem hulu hingga hilir dari agribisnis persusuan ini. Nilai DRC yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR (DRC
Dampak Kebijakan Pemerintah Dalam suatu aktivitas ekonomi, adanya kebijakan dari pemerintah dapat
memberikan suatu dampak yang positif maupun dampak negatif kepada para
85
pelaku ekonomi maupun kedalam sistem perekonomian tersebut. Adanya suatu penerapan kebijakan juga dapat mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan produksi
maupun produktivitas
dari
suatu
aktivitas
ekonomi.
Dengan
menggunakan Matriks Analisis Kebijakan kita dapat menghitung dampak berbagai kebijakan terhadap input, output, maupun input-output dari beberapa indikator hasil. Pada dasarnya, dalam suatu kebijakan perdagangan luar negeri, pemerintah membuat suatu kebijakan adalah dengan tujuan untuk melindungi produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor serupa lebih rendah harganya dibandingkan harga produk dalam negeri maka hal tersebut dapat melemahkan daya saing dari produk domestik terhadap produk impor. Preferensi masyarakat akan beralih ke produk-produk impor serupa yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produk domestik. Akibatnya akan terjadi penurunan permintaan terhadap produk domestik sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah produksi. Akan tetapi, untuk permasalahan susu impor hal tersebut tidak berlaku. Saat ini harga susu impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu domestik. Akan tetapi Industri Pengolahan Susu (IPS) cenderung lebih senang untuk mengimpor susu walaupun dengan harga yang relatif lebih mahal. Hal ini berimplikasi pada harga beli yang ditawarkan oleh IPS kepada para peternak menjadi lebih rendah (murah). Penetapan harga beli yang rendah oleh IPS akan menurunkan daya saing susu sapi lokal dengan produk susu impor. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak kepada produsen susu sapi
86
lokal, dalam hal ini peternak, guna meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input, output dan input-output akan dijelaskan dalam subbab berikut ini. 5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan pemerintah terhadap harga input dari usahaternak yang dijalankan dapat berupa penetapan pajak ataupun subsidi. Bentuk kebijakan pemerintah seperti subsidi atau hambatan perdagangan (penetapan tarif ataupun non tarif) diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Dampak kebijakan terhadap input dapat dijelaskan melalui nilai Transfer Input (IT), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) dan Transfer Faktor (TF). a.
Transfer Input (IT) Nilai transfer input merupakan selisih dari harga privat input tradable
dengan harga sosialnya. Transfer input (IT) yang bernilai positif menjelaskan bahwa adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapatkan insentif dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, jika transfer input bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi lebih rendah dibandingkan pada tingkat harga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal.
87
Dalam penelitian ini, nilai transfer input pada ketiga skala usaha bernilai positif. Pada usahaternak skala kecil nilai transfer input sebesar 32,25, pada usahaternak skala menengah memiliki nilai transfer input sebesar 11,68, dan 71,99 untuk usahaternak skala besar. TI yang bernilai positif berarti bahwa kebijakan pemerintah pada input tradable merugikan produsen sebesar Rp, 32,25 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 11,68 per liter susu (usahaternak skala menengah), dan Rp. 71,99 per liter susu (usahaternak skala besar). Hal ini terjadi karena adanya pajak atas input tradable sehingga harga input tradable yang diterima peternak pada harga privat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya tanpa adanya distorsi pasar (pajak). Oleh karena itu terdapat transfer pendapatan dari peternak kepada produsen input tradable sebesar Rp. 32,25 perliter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 11,68 per liter susu (usahaternak skala menengah), dan Rp. 71,99 per liter susu (usahaternak skala besar). Harga input tradable seperti pakan ternak, terutama konsentrat yang bahan bakunya sebagian besar diimpor dari luar negeri memiliki nilai yang lebih tinggi pada harga privat. Hal ini dikarenakan struktur pasar dari pengusaha pakan ternak yang cenderung oligopoli sehingga mereka dapat menentukan harga pakan lebih tinggi di tingkat privat dibandingkan dengan harga sosial. Selain itu, harga obat-obatan di tingkat harga privat juga memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Hal ini terjadi karena adanya pencabutan kebijakan pemerintah mengenai subsidi obat-obatan sejak tahun 2000.
88
b.
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio untuk
mengukur transfer input tradable. NPCI menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari input tradable dengan harga sosialnya. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI lebih besar dari satu (NPCI > 1) menjelaskan bahwa biaya input domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya jika nilai NPCI kurang dari satu (NPCI < 1) menjelaskan bahwa biaya input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada, sehingga proses produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri. Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCI pada ketiga skala usaha bernilai positif (NPCI>1) yaitu 1,24 untuk usahaternak skala kecil, untuk usahaternak skala menengah sebesar 1,09, dan 1,36 untuk usahaternak skala besar. NPCI yang bernilai positif tersebut berarti ada kebijakan proteksi terhadap produsen input, sedangkan para peternak sapi perah pada ketiga skala usaha tersebut dirugikan karena terjadi peningkatan biaya produksi dengan penggunaan input tersebut. Peternak pada skalausaha kecil, menengah dan besar harus membeli input tradable (pakan konsentrat dan obat-obatan) dengan harga yang lebih mahal 24 persen, 9 persen dan 36 persen dari harga seharusnya. Sedangkan produsen input
89
tersebut diuntungkan sebesar kerugian yang diterima oleh peternak pada masingmasing skala usaha. c.
Transfer Faktor (FT) Selain penggunakan input tradable, para peternak sapi perah juga
menggunakan input non-tradable (faktor domestik) dalam pengusahaan ternak sapi perah. Seluruh komponen input yang dinakan dalam penelitian ini termasuk kedalam input non-tradable (faktor domestik). Penggunaan input non-tadable (faktor domestik) meliputi pakan ternak (hijauan dan ampas tahu), tenaga kerja, sewa lahan, peralatan, tata niaga, dan input domestik lainnya. Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor domestik yang menyebabkan harga privat faktor domestik yang diterima peternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor berbeda dengan harga sosialnya. Berdasarkan hasil Analisis Matriks Kebijakan menunjukkan bahwa nilai transfer faktor pada usahaternak sapi perah skala kecil bernilai positif, yaitu Rp. 267,92 per liter susu. Nilai ini menunjukkan bahwa harga input non-tradable yang dikeluarkan oleh pemeintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga input non-tradable pada tingkat harga sosialnya. Hal ini merugikan bagi peternak karen membayar input domestik lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya, akan tetapi produsen input domestik akan mengalami keuntungan sebesar Rp. 267,92 per liter susu yang dihasilkan oleh peternak. Pada usahaternak skala menengah dan sakal besar, nilai Transfer Faktor (TF) bernilai positif, yaitu Rp. 162,78 untuk usahaternak skala menengah dan Rp.
90
536,45 untuk usahaternak skala besar. Nilai TF yang positif menunjukkan bahwa peternak pada kedua skala usaha tersebut membayar input domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Selain itu, produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp. 162,78 yang berasal dari usahaternak skala menengah dan Rp. 536,45 dari usahaternak skala besar untuk setiap satu liter susu yang dihasilkan. Salah satu penyebab terjadinya transfer faktor pada usahaternak skala menengah dan skala besar adalah adanya kebijakan yang distorsif di pasar tenaga kerja. Penilaian harga bayangan dari upah yang diterima oleh para pekerja adalah 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di pasar (Suryana, 1980). Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang digunakan dalam membantu usahaternak adalah tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya adalah tenaga kerja tidak terdidik. Selain itu komponen pajak tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analisis ekonomi, namun komponen tersebut tetap diperhitungkan pada analisis finansial. 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan pemerintah tidak hanya diterapkan dan berlaku pada harga input, namun berlaku pula untuk output yang dihasilkan dari pengusahaan ternak sapi perah. Dalam penelitian ini output yang dihasilkan adalah susu segar. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk distorsi pemerintah dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor ataupun impor.
91
a.
Transfer Output (OT) Transfer output terjadi karena adanya divergensi pada harga output yang
terjadi karena adanya perbedaan antara harga privat dengan harga sosialnya. Nilai TO positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan harga output privat lebih besar dibandingkan dengan harga output pada harga bayangan. Hal ini menunjukkan adanya insentif dari konsumen kepada produsen dimana konsumen membayar harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan. Nilai TO negatif bearti bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar menyebabkan harga output pada harga privat menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga bayangannya. Hasil analisis pada tabel PAM, nilai OT adalah negatif pada ketiga usahaternak skala. Pada uasahaternak skala kecil, nilai OT sebesar Rp. 946,97 per liter susu, Rp. 941,97 per liter susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 946,97 pada usahaternak skala besar. Niali OT yang negatif pada masing-masing skala usaha tersebut menu jukkan adanya divergensi dimana harga privat output susu segar yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap output susu segar akan lebih menguntungkan konsumen karena konsumen membeli susu segar dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya. Konsumen mendapat transfer output sebesar Rp. 946,97 per liter susu dari usahaternak skala kecil, Rp. 941,97 per liter susu dari usahaternak skala menengah, dan Rp. 946,97 dari usahaternak skala besar sehingga konsumen (IPS)
92
dapat membeli susu dengan harga yang lebih rendah sebesar OT dari masingmasing peternak pada ketiga skala usaha dari harga yang seharusnya diterima peternak jika tidak ada intervensi pemerintah atau distorsi pasar. Kebijakan pemerintah berupa penetapan tarif impor sebesar lima persen, tidak berjalan efektif karena pada kenyataannya produsen susu dalam negeri (peternak) masih sulit bersaing dengan susu impor. Kecenderungan IPS untuk lebih suka membeli susu impor juga merupakan salah satu kendala bagi para peternak lokal untuk meningkatkan usahanya. Tarif impor sebesar lima persen masih dirasa rendah oleh para peternak karena belum dapat meningkatkan efisiensi usaha mereka. Berdasarkan nilai TO, usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha mengalami kerugian yang berbeda-beda. Perbedaan besarnya kerugian ini tergantung dari besarnya harga jual susu yang diterima oleh peternak. Peternak pada skala usaha menengah mendapatkan harga jual susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternak pada skala usaha kecil dan besar. Divergensi untuk penerimaan output yang bernilai negatif ini juga terjadi karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu dalam negeri dengan standar dan kualitas yang sama. b.
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) dibuat untuk mengukur
output transfer dimana besarnya nilai NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga
93
output domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial (Pearson et al, 2005). Bila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) berarti harga output di pasar domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) atau berarti sistem mendapat suatu proteksi kebijakan. Sebaliknya jika nilai NPCO lebih kecil dari satu (NPCO < 1) berarti harga output di pasar domestik lebih rendah dari harga di pasar dunia. Berdasarkan hasil analisis, nilai NPCO yang didapatkan pada penelitian ini pada ketiga usahaternak skala adalah sama besar, yaitu 0,76. Nilai NPCO yang kurang dari satu tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menetapkan tarif impor lima persen belum berjalan efektif karena menyebabkan harga yang diterima oleh para peternak, baik peternak dengan skala usaha kecil, menengah maupun skala besar lebih rendah dibandingkan dengan harga bayangannya. Produsen hanya menerima harga 76 persen dari harga yang seharusnya diterima peternak bila tidak ada distorsi pasar dan intervensi pemerintah pada pasar output. 5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan melalui indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). a.
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan
94
pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari satu (EPC>1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan nilai EPC kurang dari saru (EPC<1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif. Berdasarkan hasil analisis, nilai EPC yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 0,74 untuk usahaternak skala kecil, 0,75 untuk usahaternak skala menengah, dan 0,73 untuk usahaternak skala besar. Nilai EPC yang kurang dari satu pada ketiga usahaternak skala sapi perah di KUNAK, KPS Bogor menunjukkan bahwa kebijakan input-output tidak dapat berjalan efektif atau menghambat peternak lokal dalam hal pengusahaan menghasilkan susu sapi segar. Hal ini dikarenakan harga privat output yang diterima peternak lebih kecil dibandingkan dengan harga sosialnya, dan harga input non-tradable yang diterima peternak juga lebih mahal daripada harga bayangannya. b.
Transfer Bersih (NT) Nilai Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat
dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input dan transfer faktor domestik. Apabila nilai NT lebih besar dari satu (NT > 1) berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan apabila nilai NT kurang dari satu (NT < 1) berarti terjadi pengurangan pada surplus produsen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output.
95
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Tabel 5.2, nilai NT bernilai negatif pada ketiga usahaternak skala. Nilai NT yang diperoleh pada msing-masing skala usaha adalah Rp. 1.250,14 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 1.116,43 per liter susu (usahaternak skala menengah) dan Rp. 1.555,41 per liter susu (pada usahaternak skala besar). Hal ini berarti bahwa terjadi pengurangan surplus produsen sebesar nilai NT pada masing-masing usahaternak skala yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku pada saat ini. Keuntungan yang diperoleh produsen pada kondisi adanya kebijakan pemerintah dan distorsi pasar pada saat ini lebih rendah Rp. 1.250,14 per liter susu (usahaternak skala kecil), Rp. 1.116,43 per liter susu (usahaternak skala menengah) dan
Rp.
1.555,41 per liter susu (pada usahaternak skala besar) dibandingkan kerugian apabila tidak ada intervensi pemerintah. c.
Koefisien Keuntungan (PC) Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan
Profitabilitas Coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Tabel 5.2 menunjukkan nilai PC yang dihasilkan dari masing-masing usaha ternak memiliki nilai kurang dari satu. Nilai PC sebesar 0,26 (usahaternak skala kecil ), 0,38 (usahaternak skala menengah), dan 0,03 (usahaternak skala besar) berarti bahwa keuntungan produsen dengan intervensi dan distorsi yang terjadi saat ini adalah 0, 26 kali dari keuntungan sosial pada usahaternak skala kecil, 0, 38 kali dari keuntungan sosial pada usahaternak skala menengah, dan 0,03 kali dari keuntungan sosial untuk usahaternak skala besar . Nilai PC tersebut juga menunjukkan bahwa produsen harus mengeluarkan dana
96
kepada konsumen (IPS) sebesar 74 persen pada usahaternak skala kecil, 62 persen pada usahaternak skala menengah dan 97 persen pada usahaternak skala besar, sehingga keuntungan yang diterima peternak lebih kecil daripada keuntungan sosialnya. d.
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) adalah rasio yang digunakan untuk
mengukur seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. SRP juga dapat menunjukkan pengaruh transfer terhadap perubahan pendapatan dari suatu sistem. Nilai SRP yang negatif (SRP<0) berarti terjadi besarnya pengeluaran produsen pada biaya produksi lebih besar dibandingkan biaya imbangannya akibat adanya kebijakan pemerintah tersebut. Nilai SRP yang positif (SRP>0) menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih rendah dari biaya imbangan untuk berproduksi. Berdasarkan hasil pada Tabel 5.2, nilai SRP yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bernilai negatif untuk masing-msing skala usaha. Nilai SRP sebesar 0,32 (usahaternak skala kecil), dan 0,28 (usahaternak skala menengah) dan 0,39 (usahaternak skala besar) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi lebih besar 32 persen pada usahaternak skala kecil, 28 persen pada usahaternak skala menengah dan 39 persen pada usahaternak skala besar dari opportunity cost masing-masing peternak dari setiap skala usaha untuk berproduksi. Nilai yang
97
keseluruhan negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang terjadi saat ini merugikan produsen susu (peternak) di KUNAK, KPS Bogor. 5.2.
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubtitusi kelemahan metode
PAM yang hanya berlaku pada waktu yang relatif singkat dengan faktor-faktor yang sebenarnya sangat rentan untuk berubah. Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas yang dilakukan bertujuan untuk melihat bagaimana daya saing usahaternak sapi perah dan
dampak dari kebijakan pemerintah seperti
peningkatan penerapan tarif impor. Selain itu analisis sensitivitas juga dilakukan ketika penerapan tarif impor dihapuskan menjadi nol persen. Penelitian ini menggunakan dua sekenario analisis sensitivitas, yaitu: 1. Daya saing komoditi susu jika tarif impor turun sebesar 5 persen menjadi nol persen Analisis
ini
bertujuan untuk
melihat
bagaimana
dampak
dari
penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing komoditi susu segar yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor. Hipotesis dari analisis ini adalah adanya penurunan tingkat daya saing dan tingkat keuntungan yang diterima oleh para peternak akibat adanya penghapusan tarif impor susu. 2. Daya saing komoditi susu jika tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen Analisis ini bertujuan untuk melihat dampak perubahan daya saing komoditi susu yang dihasilkan oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor dari penerapan tarif impor lima persen menjadi 15 persen sesuai dengan pernyataan ketua GKSI. Penerapan tarif impor sebesar 15 persen cukup adil bagi para
98
peternak dan konsumen susu segar sehingga dapat meningkatkan posisi tawar menawar peternak lokal. Penerapan tarif impor sebesar 15 persen diharapkan dapat memberikan insentif bagi para peternak sehingga para peternak dapat mengembangkan usahanya. Hasil analisis sensitivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Indikator-indikator Matriks Analisis Kebijakan pada Kondisi Tarif Impor Nol Persen, 5 Persen, dan 15 Persen Tarif Impor 0 Persen
Indikator
Tarif Impor 5 Persen
Tarif Impor 15 Persen
A
B
C
A
B
C
A
B
C
KP
285,62
374,04
-97,51
435,62
674,29
52,49
735,62
974,79
352,49
KS
1.488,41
1.593,37
1.410,55
1.685,76
1.790,72
1.607,90
2.080,46
2.185,41
2.002,59
PCR
0,89
0,85
1,04
0,85
0,77
0,98
0,76
0,69
0,88
DRC
0,59
0,56
0,60
0,56
0,53
0,57
0,50
0,48
0,52
TO
-899,62
-1.044,87
-899,62
-946,97
-941,97
-946,97
-946,97
-941,97
-946,97
NPCO
0,76
0,72
0,76
0,76
0,76
0,76
0,76
0,76
0,76
TI
35,25
11,68
71,99
35,25
11,68
71,99
35,25
11,68
71,99
NPCI
1,24
1,09
1,36
1,24
1,09
1,36
1,24
1,09
1,36
TF
267,92
162,78
536,45
267,92
162,78
536,45
267,92
162,78
536,45
EPC
0,74
0,71
0,73
0,74
0,75
0,73
0,74
0,75
0,73
NT
-1.202,79
-1.219,33
-1.508,06
-1.250,14
-1.116,43
-1.555,41
-1.250,14
-1.116,43
-1.555,41
PC
0,19
0,23
-0,07
0,26
0,38
0,03
0,35
0,45
0,18
SRP
-0,81
-0,77
-1,07
-0,32
-0,28
-0,39
-0,60
-0,51
-0,78
Keterangan : A : Usahaternak skala kecil B : Usahaternak skala menegah C : Usahaternak skala besar
Menurut hasil analisis sensitivitas, semakin tinggi penetapan tarif impor maka semakin tinggi pula daya saing usahaternak sapi perah. Penatapan tarif impor tersebut memberikan insentif yang lebih kepada para peternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor dan memacu para peternak untuk mengembangkan usahanya. Peningkatan daya saing ditandai dengan semakin meningkatnya nilai keuntungan privat dan keuntungan sosial yang diterima oleh peternak. Selain itu
99
daya saing secara kompetitif dan komparatif dari usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor semakin meningkat, hal ini terlihat dari semakin kecilnya nilai DRC dan PCR. 5.2.1.
Analisis Sensitivitas pada Kondisi Tarif Impor diturunkan Lima Persen menjadi Nol Persen Penghapusan tarif impor, seperti yang terjadi pada tahun 2009 yang
bertahan selama kurang lebih tiga bulan, menyebabkan tingkat keuntungan yang diterima peternak baik dari sisi privat maupun sisi ekonomi mengalami penurunan. Selain itu tingkat daya saing usahaternak sapi perah juga menurun. Banyak peternak yang merasa dirugikan karena harga jual susu mereka semakin menurun. Hal ini juga dialami oleh para peternak di KUNAK, KPS Bogor dimana harga jual susu mereka berkisar antara Rp. 2800 hingga Rp. 2900 per liter susu. Dampak penghapusan tarif impor sebesar lima persen dirasakan juga di KUNAK, KPS Bogor. Penghapusan tarif impor tersebut menyebabkan berkurangnya nilai keuntungan privat dari Rp. 435,62 menjadi Rp. 285,62 per liter susu pada usahaternak skala kecil, pada usahaternak skala menegah terjadi penurunan dari Rp. 674,29 menjadi Rp. 374,04 per liter susu, dan pada usahaternak skala besar pada kondisi tarif impor nol persen peternak mengalami kerugian hingga Rp. 97,51 per liter susu. Selain menurunnya nilai keuntungan privat, keuntungan sosial peternak juga mengalami penurunan walaupun harga jual susu impor mengalami penurunan sebesar Rp. 197,35 per liter susu. Selain berkurangnya nilai keuntungan privat ataupun sosial, dampak lain dari adanya penghapusan tarif impor susu adalah berkurangnya daya saing
100
usahaternak sapi perah lokal. Hal ini terjadi pada usahaternak pada ketiga skala usaha di KUNAK, KPS Bogor. Penghapusan tarif impor menurunkan keunggulan kompetitif yang ditandai dengan semakin tingginya nilai PCR. Pada usaha ternak skala kecil dan skala menengah, nilai PCR kurang dari satu yaitu 0,89 dan 0,85 walaupun pada kondisi tarif impor sebesar nol persen. Hal ini berarti pada usahaternak skala kecil dan menengah tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif. Namun, pada usahaternak skala besar, nilai PCR mencapai 1,04 yang berarti bahwa usahaternak tersebut tidak efisien secara finansial dan tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga susu yang diterima oleh peternak, sedangkan alokasi biaya input yang dikeluarkan oleh peternak besar. Selain penurunan tingkat keunggulan kompetitif, penghapusan tarif impor juga berdampak pada penurunan keunggulan komparatif. Penurunan tingkat keunggulan komparatif ditandai dengan semakin tingginya nilai DRC. Ketiga skala usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor tetap memiliki keunggulan komparatif meskipun diberlakukan tarif impor sebesar nol persen. Nilai DRC yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan nilai PCR mengindikasikan bahwa pengaruh intervensi pemerintah atau distorsi pasar tidak memberikan insentif yang baik bagi para peternak sehingga keuntungan privat yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Intervensi pemerintah baik pada input maupun distorsi pada pasar output cenderung merugikan peternak. Distorsi pada pasar output terjadi karena kecenderunagn IPS untuk lebih
101
menggunakan produk susu impor walaupun harga susu impor relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga jual susu lokal. 5.2.2.
Analisis Sensitivitas pada Saat Tarif Impor Ditetapkan 15 Persen Nilai tarif impor sebesar 15 pesen dirasakan cukup adil bagi para
peternak. Menurut ketua GKSI, tarif impor yang sesuai untuk melindungi para peternak lokal adalah 15 persen. Dengan adanya penetapan tarif impor sebesar 15 persen maka akan meningkatkan daya saing para peternak lokal sehingga mereka memiliki posisi tawar menawar yang kuat sehingga akan memberikan insentif yang lebih bagi para peternak untuk mengembangkan usahanya. Penetapan tarif impor sebesar 15 persen meningkatkan harga jual susu para peternak di ketiga skala usaha. Pada usahaternak skala kecil dan skala besar harga jual susu meningkat dari Rp. 3.000 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi Rp. 3.300, sedangkan untuk usahaternak skala menengah harga jual susu meningkat dari Rp 3.005 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi Rp. 3.305,50. Peningkatan harga jual susu para peternak di tingkat privat memberikan insentif lebih bagi para peternak, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya nilai keuntungan privat pada usahaternak skala kecil dan besar sebesar Rp. 300 per liter susu dan pada usahaternak skala menengah meningkat sebesar Rp. 300,50 per liter susu. Keuntungan privat untuk usahaternak skala kecil meningkat dari Rp. 435,62 menjadi Rp. 735,62 , pada usahaternak skala menengah meningkat dari Rp. 674,29 menjadi Rp. 974,79 , dan pada usahaternak skala besar meningkat dari Rp. 52,49 menjadi Rp. 352,49.
102
Peningkatan keuntungan privat diikuti dengan semakin rendahnya nilai PCR pada ketiga skala usaha. Pada usahaternak skala kecil nilai PCR mengalami penurunan dari 0,85 pada saat tarif impor lima persen menjadi 0,76 pada kondisi tarif impor 15 persen, pada usahaternak skala menengah nilai PCR juga mengalami penurunan dari 0,77 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi 0,69 pada kondisi tarif impor 15 persen, dan pada usahaternak skala besar nilai PCR menurun dari 0,98 menjadi 0,88 pada kondisi tarif impor 15 persen. Adanya peningkatan nilai keuntungan privat dan penurunan nilai PCR mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan keunggulan kompetitif dari komoditi susu sapi yang dihasilkan oleh para peternak yang berada di KUNAK, KPS Bogor pada kondisi penetapan tarif impor sebesar 15 persen. Selain terjadi peningkatan keunggulan kompetitif, peningkatan tarif impor susu menjadi 15 persen juga meningkatkan keunggulan komparatif komoditi susu yang dihasilkan oleh para peternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai keuntungan sosial dan menurunnya nilai DRC di ketiga skala usahaternak. Keuntungan sosial para peternak pada ketiga skala usaha meningkat dari Rp. 1.685,76 per liter susu menjadi Rp. 2.080,46 per liter susu pada usahaternak skala kecil, Rp. 1.790,72 menjadi Rp. 2.185,41 pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 1.607,90 menjadi Rp. 2.002,59 pada usahaternak skala besar. Keuntungan sosial pada ketiga skala usaha meningkat sebesar Rp. 394,70 per liter susu. Selain terjadi peningkatan nilai keuntungan sosial, peningkatan keunggulan komparatif juga ditandai dengan semakin kecilnya nilai DRC. Nilai DRC pada ketiga skala usaha
103
mengalami penurunan, yaitu pada usahaternak skala kecil menurun dari 0,56 pada kondisi tarif impor lima persen menjadi 0,50 pada kondisi tarif impor 15 persen, pada usahaternak skala menengah nilai DRC turun dari 0,53 menjadi 0,48 pada kondisi tarif impor 15 persen, dan pada usahaternak skala besar nilai DRC menurun dari 0,57 menjadi 0,52 pada kondisi tarif impor 15 persen.
104
VI.
6.1.
KESIMPULAN
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil analisis dan tujuan
penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Usahaternak sapi perah di KUNAK, KPS Bogor mendapatkan nilai keuntungan yang nilainya lebih besar dari nol pada ketiga skala usaha. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengusahaan sapi perah pada ketiga skala usaha tersebut efisien dan menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Hal ini menunjukkkan bahwa pengusahaan sapi perah di KUNAK, KPS Bogor layak dan baik untuk dikembangkan. Besarnya nilai keuntungan yang diperoleh pada masing-masing skala usaha berbeda-beda, tergantung dari harga jual susu yang diterima oleh para peternak dan jumlah input yang digunakan oleh para peternak di masing-masing skala usaha.
2.
Usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha di KUNAK, KPS Bogor memiliki daya saing baik dan memiliki keunggulan kompetitif pada kondsi tarif impor sebesar lima persen dari segi finansial dalam menghasilkan susu segar. Hal ini ditandai dengan nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol, yaitu Rp. 669,92 per liter susu pada usahaternak skala kecil, Rp. 674,29 per liter susu pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 52,49 per liter susu pada usahaternak skala besar. Selain itu nilai PCR yang kurang dari satu pada ketiga skala usaha, yaitu 0,76 untuk usahaternak skala kecil, 0,77 untuk usahaternak skala menengah dan 0,98 untuk usahaternak skala besar.
105
Dari nilai PCR tersebut dapat dilihat bahwa usahaternak yang memiliki nilai efisiensi lebih besar secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif lebih besar adalah usahaternak skala kecil dengan kepemilikan sapi laktasi satu hingga tiga ekor. 3.
Usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha di KUNAK, KPS Bogor memiliki daya saing baik dan memiliki keunggulan komparatif pada kondsi tarif impor sebesar lima persen dari segi ekonomi dalam menghasilkan susu segar. Usahaternak sapi perah memiliki nilai keuntungan
sosial yang
nilainya lebih dari nol, yaitu Rp. 1.873,20 pada usahaternak skala besar, Rp. 1.790,72 pada usahaternak skala menengah, dan Rp. 1.607,90 pada usahaternak skala kecil. Selain itu, untuk ketiga skala usahaternak sapi perah memiliki nilai DRC yang kurang dari satu, yaitu 0,51pada usahaternak skala kecil, 0,53 pada usahaternak skala menengah, dan 0,57 pada usahaternak skala besar. 4.
Nilai keuntungan privat pada pengusahaan sapi perah lebih kecil dibandingkan dengan nilai keuntungan di tingkat sosial. Hal ini disebabkan karena harga bayangan susu yang didekati dengan susu impor lebih tinggi dai harga finansialnya. Selain itu dari hasil analisis didapatkan nilai DRC yang lebih kecil dibandingkan nilai PCR (PCR>DRC). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan dari pemerintah yang dapat meningkatkan efisiensi peternak dalam memproduksi susu sapi segar. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti adanya tarif impor susu sebesar lima
106
persen tidak dapat mendorong daya saing susu sapi lokal dan kebijakan tersebut tidak memberikan insentif bagi peternak. 5.
Adanya penghapusan tarif impor menyebabkan menurunnya daya saing yang ditandai dengan meningkatnya nilai PCR dan DRC, dan menurunnya tingkat keuntungan yang diperoleh para peternak. Hal ini tetap terjadi walaupun pemerintah telah menetapkan kondisi tarif impor lima persen. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi kepada para peternak mengenai peningkatan kembali tarif impor tersebut. Penetapan tarif impor sebesar 15 pesen meningkatkan daya saing dan nilai keuntungan bagi para peternak dengan nilai PCR dan DRC yang semakin kecil. Semakin besar penetapan tarif impor, maka akan meningkatkan daya saing peternak lokal dan meningkatkan nilai keuntungan yang diterima oleh peternak.
6.2.
Saran Berdasarkan hasil analisis dari penelitian di KUNAK, KPS Bogor Jawa
Barat, saran yang layak untuk dipertimbangkan adalah: 1.
Bagi para peternak di KUNAK, KPS Bogor sebaiknya meningkatkan usahaternaknya baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak dan peternak diharapkan mampu menerima
dan
mengimplikasikan
berbagai
teknologi
baru
untuk
pengusahaan ternak sapi perah serta memperbaiki manajemen pemeliharaan sapi perah sehingga dapat menghasilkan susu dengan kualitas yang baik sehingga harga jual susu peternak menjadi meningkat.
107
2.
Bagi pemerintah sebaiknya mendukung pengusahaan ternak sapi perah dengan mengeluarkan kebijakan baik dari sisi input maupun output yang dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing usahaternak sapi perah. Pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai kebijakan tarif impor susu yang saat ini ditetapkan lima persen untuk melindungi para produsen lokal (peternak) karena pada saat ini Industri Pengolahan Susu (IPS) dalam negeri masih lebih memilih untuk mengimpor susu dari luar negeri meskipun dalam kondisi adanya penetapan tarif impor lima persen. Pemerintah perlu untuk mempertimbangkan untuk meningkatkan tarif impor hingga 15 persen atau 20 persen sesuai dengan usulan GKSI agar jumlah susu impor yang masuk ke dalam negeri menjadi terbatas. Dengan penetapan tarif impor tersebut akan meningkatkan keuntungan dan daya saing peternak sehingga layak untuk diterapkan untuk mengembangkan usahaternak sapi perah dan memberikan motivasi bagi para peternak untuk meningkatkan jumlah produksi susu dalam negeri.
3.
Selain menghasilkan insentif bagi peternak, penetapan tarif impor susu juga memberikan tambahan penerimaan pemerintah sebesar jumlah impor dikalikan dengan selisih harga setelah tarif dengan harga sebelum tarif. Oleh karena itu penerimaan yang didapatkan oleh pemerintah sebaiknya digunakan untuk membiayai riset dan kajian mengenai pengembangan usahaternak sapi perah serta memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada para peternak guna meningkatkan usahaternak mereka. Selain pengkajian ulang mengenai penetapan tarif impor, kebijakan lain yang perlu
108
dipertimbangkan adalah pemberian kredit kepada para peternak dengan bunga yang rendah dan pengkajian kembali mengenai kebijakan subsidi pakan ternak dan obat-obatan. Karena pada saat ini harga jula pakan semakin tinggi tetapi kualitas pakan tersebut dirasa semakin menurun. Oleh karena itu perlu adanya intervensi pemerintah sebagai pengawas terhadap pemasok bahan baku sehingga dapat menghindari terjadinya distorsi pada pasar input. 4.
Pentingnya penerapan kebijakan penyerapan seluruh Susu Segar Dalam Negeri bagi industri pengolahan susu, baik yang tergabung dalam anggota IPS maupun industri pengolahan susu diluar IPS. Selain itu untuk meningkatkan posisi tawar menawar peternak kepada IPS, perlu didukung dengan adanya kebijakan untuk menciptakan suatu kondisi pemasaran susu segar yang adil bagi para peternak dan IPS. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah penetapan harga susu sebaiknya berdasarkan kesepakatan antara peternak dengan IPS, sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan.
109
DAFTAR PUSTAKA
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. Departemen Pertanian, Jakarta. Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif serta Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan di Provinsi Riau. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Erwidodo. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi Terhadap Industri Persusuan di Indonesia. Prosiding. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi ke-2. Sutomo S, Mangiri K, penerjemah: Universitas Indonesia Press, Jakarta. GKSI. 2008. Harga Susu Sapi Perah Segar Tingkat Peternakan dan Koperasi Susu di Jawa Barat. GKSI Pusat, Jakarta. Kadariah, LK dan C, Grey. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomis. Edisi Dua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Kuraisin, V. 2006. Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Susu Sapi (Studi Kasus: Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Lindert, P.H. dan Ch. P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Alih Bahasa Burhanuddin Abdullah) Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Malian et al. 2004. Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi 22: 26-45 Monke EA, Pearson SR. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agriculture Developement. Itacha and London: Cornell University Press. Monke EA, Pearson SR. 2005. The Policy Analysis Matrix for Agriculture Developement (2nd Edition). Itacha and London: Cornell University Press.
110
Pearson, S. Dan C, Gotsch. 2004. Application of The Policy Analysis Martix in Indonesian Agriculture. Bachri S, penerjemah : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New York. Porter, M.E. 1998. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New York. Pratama, P. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu Segar Sapi Perah (Studi Kasus: Anggota Koperasi Peternak Garut Selatan, Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Priyanti, A dan Saptati, RA. 2009. Dampak Harga Susu Dunia Terhadap Harga Susu dalam Negeri di Tingkat Peternak: Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat. Salvator, D. 1997. Ekonomi Internasional, edisi Kelima. Erlangga, Jakarta. Simanjuntak S. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Simanjuntak, P et.al. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Simatupang, P. 1991. The Conception of Domestic Resource Cost and Net Economic Benefit for Comparative Advantage Analysis Agribusiness Division Working Paper No. 2/91, Centre for Agro-Socioeconomic Research, Bogor. Siregar, P. 2009. Analisis Dampak Penghapusan Tarif Impor Susu Terhadap Daya Saing Komoditi Susu Sapi Lokal (Studi Kasus: Peternak Anggota TPK Cibedug, KPBSU Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor. Sudaryanto, T dan P, Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sunandar, I. 2007. Analisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Pengusahaan komoditi Tanaman Karet Alam (kasus di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan). [Skripsi]. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor
111
Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubi Kayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Biaya Sumber Daya Domestik. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Swastika et al. 2005. The Status and Prospect of crops in Indonesia. United Nation: ESCAP. Yusdja, Y. 2001. Analisis Kebijakan Industri Persusuan dalam Negeri. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3):257-268.
112
Lampiran 1. Alokasi Input-Output Tahun 2000 FINANSIAL
EKONOMI
Domesti No A 1 B 1
2
3
4 5 6 7 8 9
Uraian k Penerimaan Output Output susu Input Produksi Pakan Pakan hijauan Konsentrat Ampas tahu Obat-obatan Mineral Biosid Vaselin Tenaga kerja Keluarga Non-Keluarga Penyusutan peralatan Sewa lahan Pajak Biaya air Biaya listrik Biaya tata niaga Biaya transport susu Biaya transport pakan
Asing
Pajak
Domestik
Asing
100%
0%
0%
100%
0%
100% 75% 100%
0% 15% 0%
0% 10% 0%
100% 85% 100%
0% 15% 0%
15.625% 5.93% 15.625% 5.93% 15.625% 5.93% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
84.38% 84.38% 84.38% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
15.625% 15.625% 15.625% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
90% 90%
10% 10%
78.45% 78.45% 78.45% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 85% 85%
10% 10%
5% 5%
113
Lampiran 2. Alokasi Budget Pivat dan Sosial Usahaternak Skala Kecil, Menengah dan Besar Usahaternak SkalaKecil Keterangan
Usahaternak Skala Menengah
Biaya Rp/lt Budget Budget Privat Sosial
Biaya Rp/lt Budget Budget Privat Sosial
Usahaternak Skala Besar Biaya Rp/lt Budget Budget Privat Sosial
Penerimaan Susu segar
3000
3946.97
3005
3946.97
3000
3946.97
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
Konsentrat
1062.5
833.01
773.8
667.92
1758.2
1275.3
Ampas tahu
443.0
443.0
456.1
456.1
337.1
337.1
Mineral
28.6
18.86
9.9
9.05
13.7
10.23
Vaselin
16.9
16.9
18.8
18.8
10.1
10.1
Biosid
31.3
15.09
7.3
4.03
11.1
5.79
234.3
187.4
222.2
177.8
171.4
137.2
0.0
0.0
301.6
241.3
176.9
141.5
Sewa lahan
285.4
285.4
147.4
147.4
63.2
63.2
Pajak Penyusutan peralatan
23.3
0.0
11.8
0.0
4.1
0.0
61.5
61.5
40.7
40.7
23.8
23.8
Biaya air
10.4
10.4
14.6
14.6
11.9
11.9
Biaya listrik
99.0
124.3
59.7
75.0
42.2
53.0
Biaya tata niaga Biaya transport susu Biaya transport pakan
22.4
30.6
56.9
77.8
22.1
30.3
65.6
89.7
75.0
102.5
27.5
37.6
2384.2
2116.3
2195.8
2033.0
2673.4
2136.9
Biaya Produksi Pakan Pakan hijauan
Obat-obatan
Tenaga kerja Keluarga Non keluarga
Total biaya
114
Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar
Uraian Total Ekspor (Xt) Total Impor (Mt) Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) Penerimaan Pajak Impor (TMt) Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt)
Jumlah (Rp) 1425376420747980.00 1225582108089630.00 5454000000000.00 17107000000000.00 9034.00
Xt+Mt Xt-TXt Mt+TMt SCFt SER
2650958528837610.00 1419922420747980.00 1242689108089630.00 0.996 9073.71
Keterangan : Berdasarkan data tahun 2010 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (ekspor-impor) ER : http://www.exchange-rates.org/Rate/USD/IDR/7-28-2010 (28 Juli 2010) StCF= Standart Convertion Factor/ premium nilai tukar (%) SER = Nilai tukar bayangan /equilibrium (Rp/$) OER = Nilai tukar resmi (Rp/$)
SCFt = SCFt =
Xt + Mt (Xt-TXt) + (Mt+TMt) 99.56%
SERt = SERt =
OERt SCFt 9074
115
Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Komoditi Susu Harga FCMP JanuariMaret 2010 Harga Bulan FCMP (US/Kg) 1 Januari Februari Maret
2
Harga FCMP (Rp/Kg)
Harga FCMP + freight and Insurance (Rp/kg)
3= 2*SER
4
3.28 3.15 3.26
29796.12 28595.87 29624.09
31285.93 30025.67 31105.29 rata-rata susu (Rp/lt)
Harga susu dalam negeri (Rp/lt) 5 = 4/8 liter susu 3910.74 3753.21 3888.16 3850.70
Harga bayangan komoditas susu Harga rata-rata susu dalam negeri (Rp/lt) 1 3850.70
2.5% biaya tataniaga 2= 2.5%*1 96.27
Harag Sosial Susu di tingkat peternak 3=1+2 3946.97
Keterangan : Harga FCMP dari Harga Monthly Whole Milk Powder Price 1lb=0.45359237kg ; 1kg= 2.204632 lb
116
Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Obat-obatan No. Keterangan
Obat-obatan
1 FOB (US$/kg)
0.842678104
2 Freight and Insurance ($/kg) 3 CIF Indonesia ($/ton)
0.08426781 0.926945914
4 Nilai Tukar ($/USD) 5
9034
Standart Convertion Factor
99.56%
6 Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)
9073.71
7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
8410.84
8 Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)
210.271
9 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)
8621.1
11 Biaya pendistribusian obat-obatan (Rp/kg)
5000
12 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)
3621.1
Lampiran 6. Penentuan Harga Bayangan Pakan Ternak Keterangan
No.
Pakan
1
FOB (US$/kg)
0.260592985
2
Freight and Insurance ($/kg)
0.026059299
3
CIF Indonesia ($/ton)
0.286652284
4
Nilai Tukar ($/USD)
5
Standart Convertion Factor
99.56%
6
Nilai Tukar Bayangan (Rp/$)
9073.71
7
CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg)
2601.00
8
Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg)
65.025
9
Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)
2666.0
11
Biaya pendistribusian pakan (Rp/kg)
12
Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg)
9034
1000 1666.0
117
Lampiran 7. Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Nol Persen Komponen
Penerimaan
Biaya Input Input Tradabel
Usahaternak Skala Kecil Privat 2,850.00 Sosial 3,749.62
Keuntungan
Non Tradabel
180.18 144.93
2384.2 2,116.28
285.62 1,488.41
35.25
267.92
(1,202.79)
134.88 123.21
2195.8 2,033.05
374.04 1,593.37
(1,044.87)
11.68
162.78
(1,219.33)
Usahaternak Skala Besar Privat 2,850.00 Sosial 3,749.62 Divergensi (899.62)
274.15 202.16 71.99
2673.4 2,136.91 536.45
(97.51) 1,410.55 (1,508.06)
Divergensi
(899.62)
Usahaternak Skala Menengah Privat 2,704.75 Sosial 3,749.62 Divergensi
Lampiran 8. Komponen
Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor Lima Persen Penerimaan
Biaya Input Input Tradabel Non Tradabel
Keuntungan
Usahaternak Skala Kecil Privat 3,000.00 Sosial 3,946.97 Divergensi (946.97)
180.18 144.93 35.25
2384.2 2,116.28 267.92
435.62 1,685.76 (1,250.14)
Usahaternak Skala Menengah Privat 3,005.00 Sosial 3,946.97 Divergensi (941.97)
134.88 123.21 11.68
2195.8 2,033.05 162.78
674.29 1,790.72 (1,116.43)
Usahaternak Skala Besar Privat 3,000.00 Sosial 3,946.97 Divergensi (946.97)
274.15 202.16 71.99
2673.4 2,136.91 536.45
52.49 1,607.90 (1,555.41)
118
Lampiran 9. Komponen
Tabel PAM untuk Kondisi Tarif Impor 15 Persen Penerimaan
Usahaternak Skala Kecil Privat 3,300.00 Sosial 4,341.67 Divergensi
(946.97)
Usahaternak Skala Menengah Privat 3,305.50 Sosial 4,341.67 Divergensi
(941.97)
Biaya Input Input Tradabel Non Tradabel
Keuntungan
180.18 144.93
2384.2 2,116.28
735.62 2,080.46
35.25
267.92
(1,250.14)
134.88 123.21
2195.8 2,033.05
974.79 2,185.41
11.68
162.78
(1,116.43)
274.15 202.16
2673.4 2,136.91
352.49 2,002.59
71.99
536.45
(1,555.41)
Usahaternak Skala Besar Privat Sosial Divergensi
3,300.00 4,341.67 (946.97)