ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur)
FARIZAN KEMAL ADZHANI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa karya ilmiah berjudul ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Farizan Kemal A NIM H34144027
ABSTRAK FARIZAN KEMAL ADZHANI. Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan Terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur). Dibimbing oleh SUHARNO. Kebutuhan akan konsumsi daging sapi di Indonesia cukup tinggi, tetapi tingginya permintaan akan daging sapi tersebut belum sepenuhnya mampu tercukupi dari produksi lokal. Salah satu cara memenuhi tingginya konsumsi tersebut adalah dengan melakukan impor sapi. PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang menggunakan sapi impor bakalan sebagai input produksinya, tetapi kuota dari impor PT XYZ dibatasi oleh intervensi atau kebijakan dari pemerintah guna menjaga kestabilan harga serta produksi didalam negeri. Sehingga muncul pertanyaan tentang bagaimana daya saing PT XYZ setelah kebijakan pembatasan volume impor itu di berlakukan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak dari kebijakan pembatasan volume impor sapi terhadap usaha sapi potong di PT XYZ yang dilihat dari beberapa indikator menggunakan metode Policy Analysis Matriks (PAM). Berdasarkan hasil analisis, dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan menimbulkan masalah bagi perusahaan, salah satu masalah yang terjadi adalah terjadinya kerugian yang dialami oleh PT XYZ. Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan kapasitas produksi akibat pembatasan volume impor sapi oleh pemerintah sehingga PT XYZ berproduksi dibawah kemampuan kapasitasnya. Kata Kunci : Daya saing, impor sapi bakalan, kebijakan
ABSTRACT FARIZAN KEMAL ADZHANI. Analysis Impact of Import Volume Restrictions Cows Going To The Competitiveness of Beef Cattle Fattening (Case Study: PT XYZ, East Jakarta). Guided by SUHARNO. Demand of meat beef in Indonesia is quite high, but the high demand for meat beef has not been fully able fulfilled from local production. One way to fullfilled the high consumption is by importing cattle. XYZ is one of the companies that use imported feeder cattle as a production input, but quotas of imports XYZ bounded by the intervention or policy of the government to maintain price stability as well as production in the country. So the question arises of how competitiveness XYZ after import volume restriction policy was enacted. This study was conducted to analyze the impact of the policy of limiting the volume of beef imports to beef cattle business in XYZ seen from several indicators using the Policy Analysis Matrix (PAM). Based on the analysis, with the implementation of policy to restrict the volume of imports of cows pose a problem for the company, one of the problems that occur are the losses incurred by PT XYZ. This happens due to a decrease in production capacity due to the volume of beef import restrictions by the government so that the XYZ producing below capacity capabilities. Keywords: Competitiveness, imports of feeder cattle, policy
ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur)
FARIZAN KEMAL ADZHANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMENAGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
Judul Skripsi
Nama NIM
: ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus: PT XYZ, Jakarta Timur) : Farizan Kemal Adzhani : H34144027
Disetujui oleh
Dr Ir Suharno, M.Adev Pembimbing
Diketahui Oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, Msi Ketua Departemen
1
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini ialah Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan Terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus : PT XYZ, Jakarta Timur). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suharno, M.Adev selaku pembimbing yang telah banyak memberi kritik dan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016
Farizan Kemal Adzhani
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang
iii iv iv 1 1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Daya Saing Sapi Potong atau Daging Sapi Penelitian Mengenai Daya Saing dan Policy Analysis Matrix (PAM) KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Jenis Data dan Sumber Data
6 6 6 7 7 23 25 25
Metode Pengumpulan Data
25
Metode Analisis dan Pengolahan Data
25
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Perusahaan
30 30
Sejarah Perusahaan
30
Letak Geografis
30
Sumberdaya Manusia
31
Manajemen Perusahaan
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan Pemerintah dan Dampaknya terhadap Sapi Impor
33 33
Analisis Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Perusahaan PT XYZ
36
Indikator-Indikator PAM PT XYZ pada tahun 2015
38
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
42 42 43 44
iv
DAFTAR TABEL 1 Populasi hewan ternak di Indonesia tahun 2010-2015 2 Permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia tahun 2010 - 2014 3 Tingkat produksi daging sapi di beberapa wilayah 4 Klasifikasi kebijakan harga pemerintah 5 Matriks Policy Analysis Matriks (PAM) 6 Format Policy Analysis Matrix (PAM) 7 Alokasi sumberdaya manusia PT XYZ 8 Dampak kebijakan swasembada terhadap populasi sapi 9 Policy Analysis Matrix (PAM) PT XYZ tahun 2015 10 Indikator-indikator PAM pada PT XYZ tahun 2015
1 2 3 9 15 26 31 35 37 38
DAFTAR GAMBAR 1 Pajak dan subsidi pada input tradable 2 Pembatasan dan penambahan kuota pada input tradable 3 Pajak dan subsidi pada input non-tradable 4 Kerangka pemikiran operasional 5 Struktur organisasi PT XYZ
12 12 13 24 33
DAFTAR LAMPIRAN 1 Harga Privat PT XYZ tahun 2015 2 Harga bayangan PT XYZ tahun 2015 3 Harga bayangan PT XYZ tahun 2015 (lanjutan) 4 Biaya aset privat PT XYZ tahun 2015 5 Biaya aset bayangan PT XYZ tahun 2015 6 Biaya budget privat PT XYZ persiklus tahun 2015 7 Budget sosial PT XYZpersiklus tahun 2015 8 Alokasi komponen domestik dan asing 9 Shadow exchange rate (SER) tahun 2015 10 Biaya HOK pertahun PT XYZ tahun 2015 11 Biaya HOK persiklus PT XYZ tahun 2015
39 39 40 41 42 43 44 45 45 46 46
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang berpotensi untuk memproduksi beberapa komoditas agribisnis. Keadaan geografis Indonesia dapat dijadikan salah satu keunggulan komparatif dibanding negara lain karena memiliki tanah yang luas, perairan yang luas dan juga keaneka ragaman hayati yang cukup melimpah yang tidak dimiliki negara lain. Salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia adalah Sapi. Potensi tersebut didukung oleh data BPS tahun 2015 yang melampirkan tentang selalu meningkatnya populasi sapi dalam negeri. Data tersebut dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1 Populasi hewan ternak di Indonesia tahun 2010-2015 Komoditi Sapi Potong Kuda Kerbau Babi
2010
2011
13 581 570 418 618 1 999 604 7 476 665
14 824 373 408 665 1 305 078 7 524 788
Jumlah Populasi (ekor) 2012 2013 15 980 696 437 383 1 438 295 7 900 362
12 686 239 434 208 1 109 636 7 598 694
2014
2015
14 726 875 428 051 1 335 147 7 694 161
15 494 288 436 098 1 381 331 8 043 794
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015 (diolah)
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa populasi hewan yang paling besar adalah sapi, khususnya sapi potong. Sapi sendiri terdiri dari 2 jenis umum yaitu sapi potong dan sapi perah. Sapi potong maupun sapi perah memiliki produk akhir yang sama sama dibutuhkan oleh konsumen, dengan demikian dapat dikatakan bahwa komoditi sapi potong merupakan sebuah potensi besar yang ada di Indonesia karena dapat hidup dengan baik di lingkungan yang ada. Sapi potong biasanya digemukkan untuk kemudian diambil dagingnya sebagai konsumsi masyarakat Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini menjadi pilihan terhadap pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan masyarakat Indonesia. Seiring meningkatnya perkembangan jumlah penduduk dan perbaikan taraf hidup penduduk di Indonesia, maka permintaan produk-produk bergizi seperti daging sapi semakin meningkat. Permintaan akan daging sapi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal tersebut selain dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan penduduk itu sendiri terhadap pentingnya protein hewani sehingga pola konsumsi juga berubah, yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat beralih mengkonsumsi daging, telur dan susu. Kebutuhan Indonesia akan ayam boiler dan telur dalam negeri saat ini telah dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan daging sapi masih perlu melakukan impor dari beberapa negara tetangga karena stok sapi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan dalam negri sendiri. Tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, seperti yang telah di publikasi oleh Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan hewan tahun 2015, konsumsi daging sapi masyarakat
2
Indonesia tahun 2010 mencapai 1.76 kg/kapita/tahun, tahun 2011 mencapai 1.87 kg/kapita/tahun, tahun 2012 mencapai 2.09 kg/kapita/tahun, tahun 2013 mencapai 2.22 kg/kapita/tahun, dan tahun 2014 mencapai 2.36 kg/kapita/tahun. Tingginya permintaan daging sapi daripada penawaran daging ini akhirnya berimbas pada kebijakan impor dimana pemerintah Indonesia menetapkan batas impor untuk memenuhi kebutuhan daging Indonesia, seperti data yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2014, realisasi impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 87 457 ton, tahun 2010 sekitar 120 100 ton, tahun 2011 sekitar 102 400 ton, tahun 2012 sekitar 84 700 ton, tahun 2013 sekitar 66 300 ton, dan tahun 2014 sekitar 46 700 ton, tetapi angka tersebut adalah lebih kecil dari yang sebenarnya karena adanya mafia impor sapi. Semakin menurunya impor sapi Indonesia merupakan efek dari diberlakukannya kebijakan pemerintah pada tahun 2010 tentang pembatasan impor sapi dan juga kebijakan tentang swasembada bahan pangan pada 2014 yang dapat dikatakan berhasil sehingga tingkat permintaan bakalan sapi dari luar negri berkurang. Peningkatan produksi sapi dalam negeri setiap tahunnya sampai dengan tahun 2014 masih belum mampu memenuhi kebutuhan permintaan akan daging sapi yang ada di Indonesia, tabel 1 memperlihatkan tentang adanya kesenjangan atau gap antara permintaan dengan penawaran daging sapi Indonesia. Tabel 2 Permintaan dan penawaran daging sapi di Indonesia tahun 2010 - 2014 Uraian (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 Produksi Lokal 283 000 316 100 349 700 384 200 420 400 Impor 120 100 102 400 84 700 66 300 46 700 Permintaan/Konsumsi 417 040 449 310 509 890 549 670 593 040 Gap/Selisih (13 940) (30 810) (75 490) (99 170) (125 940) Sumber : Badan Pusat Statistik 2014 (diolah)
Kebijakan pemerintah tentang swasembada sapi mampu meningkatkan produksi dalam negeri, dapat dilihat pada tabel 1 peningkatan produksi lokal terjadi setiap tahunnya, akan tetapi produksi dari dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen walaupun sudah dibantu oleh impor sapi. Mulai dari tahun 2010 kebijakan tentang pembatasan volume impor sapi diberlakukan dan menyebabkan penurunan impor sapi yang cukup signifikan dalam 5 tahun terakhir, padahal walaupun sudah impor supply daging sapi di Indonesia masih belum terpenuhi. Pembatasan impor sapi sendiri bertujuan untuk melindungi dan mendongkrak industri sapi potong dalam negeri untuk berkembang dan bisa dibilang berhasil karena produksi sapi dalam negeri setiap tahunnya meningkat. Saat ini Indonesia telah masuk kedalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dimana semua perdagangan komoditas termasuk daging sapi dari setiap negara di Asia Tenggara dapat dipasarkan dengan mudah. Hal ini merupakan suatu momen yang harus diperhatikan karena beberapa tahun belakangan ini Indonesia yang memiliki penduduk keempat terbesar di dunia telah menjadi target pasar dunia. Jangan sampai ketika pasar bebas antara Asia Tenggara terjadi, Indonesia hanya menjadi target pasar. Hasilnya adalah Indonesia menjadi lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, padahal saat ini Indonesia sedang mengalami food trap yaitu
3
kecenderungan mengimpor bahan pangan. Selain dikarenakan penawaran domestik yang kurang memenuhi, ternyata faktor harga impor yang lebih murah dari harga domestik juga mempengaruhi. Tentu saja pasar bebas akan membuat harga barang impor menjadi lebih murah, ini sebuah keuntungan bagi konsumen dalam negeri tetapi sebuah kerugian bagi para peternak. Kurangnya efisien para peternak yang umumnya 90 persen adalah peternakan rakyat akan membuat mereka sulit bersaing. Dinas Peternakan Jawa Barat, Abdullah Fathul Alam mengatakan dalam majalah online antarantb.com bahwa salah satu daerah yang terpengaruhi dengan kebijakan pembatasan impor ini adalah Jawa Barat. Jawa Barat merupakan salah satu daerah dengan tingkat produksi yang cukup tinggi. Tingkat produksi beberapa wilayah di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 3 Tingkat produksi daging sapi di beberapa wilayah No
Provinsi
Tingkat Produksi (ton) Growth 2011 2012 2013 2014 2015 78 476 74312 71881 67073 73442 9.50 1 Jawa Barat 60322 60893 61141 55988 59281 5.88 2 Jawa Tengah 112447 110762 100707 97908 100172 2.31 3 Jawa Timur 10064 9833 14099 13074 13446 2.85 4 Lampung 8303 6569 8747 8814 10663 20.98 5 Aceh 8081 8759 8964 7283 7337 0.74 6 Bali Sumber : Badan Pusat Statistika, 2015 (diolah) Tingginya hasil produksi dari Jawa Barat disebabkan karena daerah ini menjadi salah satu sentra dan juga fokus pemerintah dalah kebijakan swasembada sapi disamping Jawa Timur dan NTT/NTB. Hasil produksi Jawa Barat diharapkan dapat memenuhi tingginya permintaan daging sapi di Indonesia. Kekurangan pasokan daging sapi untuk nasional terjadi pula secara lokal di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena kurangnya populasi sapi ternak yang dapat menghasilkan daging sapi untuk dikonsumsi. Seperti yang dilansir oleh majalah online Kompas pada kamis, 11 Februari 2016 bahwa hingga tahun
2016 ini kebutuhan akan daging sapi di Jawa barat dan DKI Jakarta masih kekurangan dan masih ditopang oleh sebagian besar sapi impor untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Berdasarkan kondisi demikian, pemerintah berinisiatif untuk mengawali upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong dalam negeri khususnya di Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra produksi daging sapi sehingga dengan demikian kebutuhan daging sapi impor dalam negri dapat dikurangi.
Perumusan Masalah Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat Indonesia mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur, dan susu lebih banyak sehingga terjadi peningkatan pada jumlah permintaanya. Namun produksi daging sapi dalam negeri saat ini masih belum mampu memenuhi permintaan tersebut walaupun pertambahan populasi sapi di Indonesia setiap tahunnya meningkat, hal tersebut terjadi karena tidak semua pemilik sapi tersebut mengetahui tentang umur potensial sapi untuk dipotong, tanda-tanda sapi sudah siap dipotong, ataupun tanda-tanda sapi tersebut sudah tidak dapat dijual karena
4
terlalu tua. Keadaan tersebut dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia tidak berbanding lurus dengan produksi daging sapinya. Ditambah lagi pertambahan populasi sapi potong yang produktif dan berpotensi tidak seimbang dengan kebutuhan konsumsi daging nasional, serta adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan usaha ternak sapi potong di dalam negeri merupakan sebuah kendala tersendiri bagi penyediaan daging sapi untuk wilayah domestik. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di provinsi Jawa Baratyang memiliki potensi yang besar dalam pengembangan usaha peternakan khususnya peternakan sapi potong. Data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Peternakan tahun 2015 menyatakan bahwa perkembangan populasi sapi potong di Jawa Barat berada pada angka 78 476 ekor pada tahun 2011, 74 312 ekor pada tahun 2012, 71 881 pada tahun 2013, 67 703 pada tahun 2014, dan 73 442 pada tahun 2015. Dengan jumlah populasi ini, perkembangan produksi daging sapi lokal ternyata juga belum mampu mengimbangi laju permintaan masyarakat, hal ini ditunjukkan oleh masih dilakukannya impor sapi untuk memenuhi permintaan yang ada. Peningkatan impor daging sapi dan sapi bakalan setiap tahunnya juga menguras devisa negara yangsangat besar. Saat ini pengeluaran devisa Negara untuk impor tersebut telah mencapai 5.1 trilyun rupiah per tahunnya. Pengurasan devisa Negara ini akanterus berlanjut, apabila penyediaan daging produksi lokal tidak ditingkatkan secara signifikan. Oleh karena itu, diperlukan terobosan untuk meningkatkan populasi ternak sapi dan produksi daging lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal yang belum diberdayakan secara optimal (Blue Print PSDS 2014). Berdasarkan kebijakan tersebut, menjadi suatu hal yang dilematis bagi pemerintah dan peternak, karena impor sapi bakalan untuk selanjutnya digemukan pada usaha penggemukan sapi ternyata tetap menjadi pilihan dibandingkan harus mengimpor daging sapi, hal ini dikarenakan kualitas bakalan sapi impor yang digunakan untuk produksi masih lebih baik dibanding sapi lokal. Namun di lain sisi, ternyata usaha penggemukan sapi dalam negri secara tidak langsung memiliki potensi dalam meningkatkan daya saing domestik dibandingkan dengan impor daging sapi dengan terkena dampak kebijakan kebijakan tersebut. Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang penggemukan sapi potong yang berada di Jawa Barat adalah PT XYZ, dimana menggunakan sapi bakalan impor sebagai input produksinya. Kapasitas produksi PT XYZ adalah 5000 ekor dengan kurang lebih mampu mengimpor 3700-4000 ekor sapi impor setiap tahunnya tergantung dari kuota yang tersedia dari pemerintah. Kapasitas produksi sapi potong yang dimiliki oleh perusahaan dibawah naungan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) ini dapat menjelaskan bahwa perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan yang berperan dalam pemenuhan pasokan daging sapi di Indonesia. Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan yang telah ditetapkanpemerintah sejaktahun 2010, berdampak pada kelangsunganproduksi usaha penggemukan sapi potong baikdi Indonesia khususnya Jawa Barat,hal ini juga terjadi padaPT XYZ yang input produksinya masih menggunakan sapi bakalan impor. Terjadinya pembatasan volume sapi bakalan impor sejak akhir tahun 2010 secara langsungmengurangi jumlah produksi yang berdampak pada terjadinya
5
penurunan pendapatan perusahaan. Tidak hanya kebijakan tentang pembatasan sapi impor yang mempengaruhi PT XYZ namun beberapa peraturan atau kebijakan seperti kebijakan lama ternak dan harga jual juga menyebabkan PT XYZ memiliki keterbatasan dalam melakukan usaha yang dijalankan. Kelangkaan yang terjadi pada sapi bakalan impor menyebabkan terjadinya peningkatan harga sapi bakalan impor yang merupakan input utama usaha penggemukan sapi potong. Penurunan pendapatan, peningkatan harga input, serta peningkatan biaya produksi mempengaruhi tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Jawa Barat dan sekitarnya. Karena dengan semakin terbatasnya input yang tersedia untuk perusahaan sebagai salah satu produksi akan menyebabkan setiap perusahaan memiliki kebijakan masing-masing dalam memenangi persaingan di pasar. Keunggulan secara kompetitif maupun komparatif sangat perlu di perhatikan oleh perusahaan dalam situasi seperti ini. Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif ini mencerminkan tingkat dayasaing usaha penggemukan sapi potong di Jawa Barat diantaranya PT XYZ di Jakarta timur. Berdasarkan dinamika yang terjadi pada usaha penggemukan sapi potong Indonesia dan khususnya di wilayah Jawa Barat, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1 2
Bagaimana dampak kebijakan pemerintah mempengaruhi usaha penggemukan sapi potong PT XYZ? Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usaha penggemukan sapi potong PT XYZ?
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitianini adalah : 1 2
yang
telah
dirumuskan,
tujuan
dari
Mengetahui dan menganalisis struktur biaya PT XYZ yang terkena dampak pembatasan impor sapi bakalan Menganalisis dampak kebijakan input-output terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian mengambil studi kasus di PT XYZ, Kp. Rambutan, Jakarta Timur dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan dengan usaha penggemukan sapi potong yang memiliki kapasitas cukup besar untuk keadaan saat ini di Jawa Barat, dengan semakin ketatnya peraturan atau kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang ternak sapi maka semakin ketat juga perusahaan melakukan proteksi hal-hal yang dianggap penting oleh pihak internal.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Produksi dan Daya Saing Sapi Potong atau Daging Sapi Ada beberapa negara dengan tingkat produksi sapi potong yang cukup tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri, tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negri negara-negara tersebutpun mampu memasarkan produknya ke luar negri atau ekspor. Negara tersebut diantaranya adalah Australia mengekspor 2.5 juta ton (1.8 juta ton adalah daging beku), Brazil memproduksi 9.9 juta ton, dan mengekspor 1.9 juta ton, Cina memproduksi 5.8 juta ton, dan mengimpor 475 000 ton. Uni Eropa memproduksi 7.8 juta ton, dan mengimpor 350 000 ton. Mexico memproduksi 118 juta ton, dan mengimpor 235 000 ton. Argentina memproduksi 2.8 juta ton, dan mengekspor 220 000 ton. New Zealand memproduksi 640 000 ton, mengekspor 536 000 ton. Sedangkan Indonesia sendiri mampu memproduksi sekitar 420 400 ton tetapi masih mengimpor sebesar 46 700 ton sampai dengan tahun 2015 (Kementrian Pertanian, 2015).
Penelitian Terdahulu Mengenai Daya Saing dan Policy Analysis Matrix (PAM) Kuraisin (2006) melakukan penelitian mengenai daya saing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi. Menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani sapi perah pada ketiga skala usaha di Desa Tajurhalang menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi. Artinya komoditas susulayak untuk diusahakan dan dikembangkan di Desa Tajurhalang baik dengan atau tanpa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu pada ketiga skala usaha menyebabkan surplus produsen berkurang, keuntungan privat lebih kecil dari keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif. Dengan demikian secara keseluruhan kebijaksanaan pemerintah tidak memberikan intensif bagi produsen untuk berproduksi. Berdasarkan hasil sensitivitas pada saat terjadi peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen dan enurunan harga susu sapi, analisis sensitivitas gabungan menunjukan bahwa usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Karena nilai dari keuntungan finansial dan ekonominya lebih dari nol sehingga tetap efisien untuk diusahakan. Aliyatillah (2009) melakukan penelitian tentang analisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala. Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix(PAM) menunjukkan bahwa pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala efisien secara privat dan ekonomi serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif . Dampak kebijakan pemerintah yang ada terhadap pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala juga secara umum dapat dikatakan menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing
7
komoditi kakao. Penurunan produktivitas lebih dari 10 persen dan penurunan harga kakao sebesar 5 persen akan menyebabkan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala tidak berdayasaing baik dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitifmya sedangkan depresi dan apresiasi mempengaruhi dayasaing kakao dalam segi keunggulan komparatifnya. Nhimas (2011) melakukan peneltian di PT. Widodo Makmur Perkasa tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing perusahaan sapi potong di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) menunjukan bahwa Nilai keuntungan privat bernilai positif menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong PT. Widodo Makmur Perkasa memperoleh profit di atas normal sedangkan nilai PCR menunjukkan nilai yang kurang dari satu, hal ini menunjukkan usaha ini efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Analisis keungguluan komparatif terdiri dari analisis keuntungan sosial (SocialProfit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic ResourceCost/DRC). Nilai keuntungan sosial bernilai positif, sedangkan nilai DRC yang dihasilkan kurang dari satu, hal ini menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong PT. Widodo Makmur Perkasa efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai PCR dan DRC yang tercermin diperoleh dari kedua jenis sapi bakalan yang diproduksi. Pengaruh adanya kebijakan pemerintah berupa pembatasan impor sapi bakalan secara tidak langsung meningkatkan tingkat efisiensi yang berdampak padapeningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang diwakili oleh PT.Widodo Makmur Perkasa. Kebijakan ini menyebabkan PT.Widodo Makmur Perkasa mengeluarkan biaya lebih rendah dari opportunity cost untuk berproduksi. menetapkan harga output di atas harga efisiensinya, serta meningkatkan surplus usaha. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sensitivitas dengan skenario penurunan volume sapi bakalan, dimana ketika kebijakan pembatasan impor sapi bakalan semakin diperketat maka tingkat daya saingnya semakin meningkat.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Kebijakan Pemerintah Menurut Carl Friedrich, Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatanhambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Sedangkan menurut Mustopadidjaja, Kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam : 1 Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan
8
2
Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan. Dalam penelitian ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah yaitu diberlakukan terhadap input seperti sapi bakalan, pakan ternak, tenaga kerja, maupun output berupa sapi yang mengakibatkan adanya perbedaan antara harga input atau output yang diterima produsen dengan harga yang seharusnya diterima pada kondisi tanpa intervensi pemerintah atau pada pasar persaingan sempurna. Pada akhirnya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output akan mempengaruhi daya saing suatu komoditas. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarifdan kouta. Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan Perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Salah satu kebijakan perdagangan adalah quota yang diterapkan dengan tujuan supaya produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional yang disebabkan oleh harga di pasar internasional yang tinggi, sehingga berdampak merugikan konsumen dalam negeri karena ketersediaan barang di dalam negeri berkurang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas yang tradable maupun yang non tradablese dangkan kebijakan perdagangan yang hanya diterapkan untuk barangbarang yang diperdagangkan (Tradable). Menurut David (2009), kebeijakan adalah sarana yang dengannya tujuan tahunan akan dicapai. Kebijakan, meliputi pedoman, aturan, dan prosedur yang diterapkan untuk mendukung upaya-upaya pencapaian tujuan yang tersurat. Kebijakan adalah panduan untuk mengambil keputusan dan menagani situasisituasi yang repetitive atau berulang-ulang. Kebijakan memungkinkan konsistensi dan koordinasi di dalam dan antar departemen organisasional. Kebijakan Output Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapatditerapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Adapun klasifikasi kebijakan harga pemerintah yang diterangkan oleh Monke dan Pearson (1989) dalam jurnal Riswandha (2002) digambarkan pada tabel 4.
9
Tabel 4 Klasifikasi kebijakan harga pemerintah Instrumen
Dampak terhadap produsen
Kebijakan Subsidi Subsidi Pada Produsen • Tidak merubah harga • Pada barang-barang pasar dalam negeri. subtitusi impor (S+PI ; S• Merubah harga pasar PI). dalam negeri. • Pada barang-barang orientasi ekspor Kebijakan perdagangan Hambatan pada (merubah harga pasar dalam impor (TPI) negeri). Sumber : Monke and Pearson, 1989.
barang
Dampak terhadap konsumen Subsidi Pada Konsumen • Pada barang-barang subtitusi impor (S+CI ; SCI). • Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; SCE). Hambatan pada barang ekspor (TCE)
Keterangan: S+ = Subsidi TPI = Hambatan barang impor S= Pajak PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor Tabel 4 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan, kedua, kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen dan ketiga, tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor. Tipe-tipe Instrumen Dalam kebijakan pemerintah tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang diimpor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga nternasional. Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga dipasar dunia/harga internasional. Kebijakan subsidi dan perdagangan
10
berbedadalam tiga aspek, pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan. a Implikasi terhadap anggaran pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidinegatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah. b Tipe Alternatif Kebijakan Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barangorientasi ekspor (PE) dan barang subtitusi impor (SI) yaitu : 1 Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2 Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3 Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4 Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 5 6 Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7 Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8 Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah demikian halnya bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan sebelum ada kebijakan subsidi positif, sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan. Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE), Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor (lawan dari hambatan perdagangan pada ekspor dan impor) tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan, namun kegiatan ini merupakan kebijakan subsidi bukan kebijakan perdagangan. Tingkat Kemampuan Penerapan Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable). Kelompok Penerima Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Pada kondisi seperti ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu
11
pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka keuntungan yang akan diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperolah kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok lainnya. Tipe Komoditas Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga pasar internasional, dimana untuk barang yang dapat diekspor digunakan adalah hargafob (free on board/harga dipelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat diimpor digunakan harga cif (cost insurance freight/harga di pelabuhan impor). Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif kuota. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus konsumen berubah. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan non tradable. Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun negatif (pajak) sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input tradable karena input domestik hanya diterapkan pada komoditas yang doproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini. S1
S
P
P S1
S C
A
A
PW
B
PW C
B
Q2
Q1
(a) S-II
Q
Q1
Q2
(b) S+II
Q
12
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Keterangan : S-II = Pajak untuk Imput Impor S+II = Subsidi untuk Impor Impor Gambar 1 Pajak dan subsidi pada input tradable Gambar 1(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1-C-A-Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2-B-C-Q1. Gambar 2(b) menggambarkan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input. Teori mengenai pajak dan subsidi tersebut dapat juga terjadi dalam keadaan lain. Kebijakan yang mengenai input tradable tidak hanya berupa pajak atau subsidi, namun ada kebijakan tentang kuota. Kebijakan kuota ini dapat merupakan kebijakan pembatasan kuota input ataupun penambahan kuota input tergantung dengan kondisi yang terjadi. Dapat digambarkan pengaruh dari kebijakan pembatasan kuota ataupun penambahan kuota sebagai berikut. S1
S
P
P S1
S C
A
A PW
B
PW C
B
Q2
Q1
Q
(a) S-II
Q1
Q2
(a) S+II
Keterangan : (a) S-II : Kebijakan pembatasan kuota (b) S+II : Kebijakan penambahan kuota
Gambar 2 Pembatasan dan penambahan kuota pada input tradable
Q
13
Gambar 2(a) menunjukkan pengaruh pembatasan kuota input terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pembatasan pada input menyebabkan biaya produksi khususnya biaya tetap yang digunakan tetap sama, tetapi output yang dihasilkan menjadi sedikit karena input yang digunakan menurun. Output domestikpun turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas atau ke kiri. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC,yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1-C-A-Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2-B-C-Q1. Gambar 2(b) menggambarkan dampak penambahan kuota input yang menyebabkan biaya produksi yang digunakan dapat dipakai seoptimal mungkin karena sesuai dengan kapasitas yang ada sehingga kurva suplai bergeser ke bawah atau ke kanan dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Kebijakan Input non-tradable Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi dalam negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input nontradable. Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 2.
P S S
C PC
C Pp A
B
B
PD
A
PD
D Pp Pp'
D
PC D
Q3 '
Q2 '
Q1 '
Q
(a) S - N
D Q3 '
Q2 '
Q1 '
(a) S + N
Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S-N = Pajak untuk Barang Non Tradable S+N = Subsidi untu Barang Non Tradable Gambar 3 Pajak dan subsidi pada input non-tradable Pada Gambar 2(a) dengan adanya pajak (Pc-Pp) menyebabkan produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif (Gambar 2(b)), adanya subsidi menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara
14
peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. Teori Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix) Matriks analisis kebijakan adalah hasil dari dua identitas akuntansi, salah mendefinisikan profitabilitas sebagai perbedaan antara pendapatan dan biaya dan lain mengukur efek divergensi (distorsi kebijakan dan kegagalan pasar) sebagai perbedaan antara parameter yang diamati dan parameter yang akan ada jika divergensi telah dihapus. Dengan mengisi elemen dari PAM untuk sistem pertanian, seorang analis dapat mengukur baik tingkat transfer disebabkan oleh serangkaian kebijakan yang bekerja pada sistem dan efisiensi ekonomi yang melekat dari sistem. Laba atau profit didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah (atau per unit) pendapatan penjualan dan biaya produksi. Definisi ini menghasilkan identitas pertama dari matriks akuntansi. Dalam PAM, profitabilitas diukur horizontal di kolom dari matriks. Perancangan model dengan metode PAM, biasanya melibatkan temuan informasi tentang pendapatan privat, biaya input sosial, biaya faktor privat, pendapatan sosial, biaya sosial input tradable, dan biaya faktor sosial. Perhitungan tersebut dapat menghasilkan nilai daya saing dan keuntungan. Karena data untuk PAM mewakili tahun dasar yang dipilih, hasilnya statis dan berpotensi berlaku hanya tahun itu. Proyeksi perubahan harga di masa depan dunia, teknologi, dan harga faktor dapat dibuat untuk mensimulasikan jalur keunggulan komparatif dinamis, sebagai keuntungan sosial perubahan dalam menanggapi parameter yang bervariasi. Pendekatan PAM dengan demikian dapat digunakan untuk menerangi kondisi dasar dan kemudian untuk mengukur efek dari perubahan harga, atau kebijakan ekonomi makro, investasi pada keuntungan pribadi dan sosial sistem pertanian pada tahun dasar atau di masa depan sebagai parameter kunci berubah. Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas, yaitu tingkat usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani kepengolahan, pengolahan maupun pemasaran (Monke and Pearson, 1989). Tujuan dari penggunaan sebuah tabel PAM untuk analisis suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat, yaitu sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost). Tujuan lain dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari suatu kebijakan (Pearson et al.,2005). Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasikan tiga analisis yaitu analisis keuntungan yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial/ekonomi, analisis daya saing (keunggulan kompetifif dan komparatif) serta analasis dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas.
15
Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan dayasaing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi (Pearson et al.,2005). Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi menjadi komponen tradable (asing) dan nontradable (domestik). Input yang digunakan seperti sapi bakalan, pakan, peralatan, dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Pearson et al.,2005). Matriks PAM dijelaskan pada tabel 5. Tabel 5 Matriks Policy Analysis Matriks (PAM) Biaya Uraian Penerimaan Input Faktor Tradable Domestik Private Ekonomi Efek Divergensi
A E I
B F J
C G K
Sumber : Pearson et al, 2005
Keterangan : A : Penerimaan Privat B : Biaya Input tradable Privat C : Biaya Input Domestik Privat D : Keuntungan Privat = A - (B+C) E : Penerimaan Sosial F : Biaya Input tradable Sosial G : Biaya Input Domestik Sosial H : Keuntungan Sosial = E - (F+G) I : Transfer Output (A - E) J : Transfer Input tradable (B – F) K : Transfer Faktor domestik (C – G) L : Transfer Bersih (D – H) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H
Keuntungan
D H L
16
Teori Pedagangan International Teori ekonomi internasional biasanya mengasumsikan dua negara, dua komoditas, dan dua faktor negara. Lebih lanjut mengasumsikan tidak ada pembatasan perdagangan untuk memulai, dengan mobilitas sempurnafaktor dalam negara tapi tidak ada mobilitas internasional, persaingan sempurna di semua komoditas dan pasar faktor produksi, dan tidak ada biaya transportasi. Gagasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah adanya perbedaan karunia sumber-sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara. Hal ini merupakan suatu landasan teori yang sangat berpengaruh dalam ilmu ekonomi internasional. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Berdasarkan teori perdagangan internasional, motivasi utama melakukan perdagangan adalah memperoleh keuntungan (Salvatore 2013) Manfaat langsung yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan internasional antara lain adalah: 1 Suatu negara mampu memperoleh komoditas yang tidak dapat diproduksidi dalam negeri sehingga negara tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan terhadap barang atau jasa yang tidak dapat diproduksi secaralokal karena adanya keterbatasan kemampuan produksi 2 Negara yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi yaitu dapat mengekspor komoditas yang diproduksi lebih murah untuk ditukar dengan komoditas yang dihasilkan negara lain jika diproduksi sendiri biayanya akan mahal. 3 Perluasan pasar produk suatu negara, akan meningkatkan pendapatan nasional nantinya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan ekonomi, mampu memberikan peluang kesempatan kerja dan peningkatan upah bagi warga dunia, menghasilkan devisa, dan memperoleh kemajuanteknologi yang tidak tersedia di dalam negeri. Sedangkan, manfaat secara tidak langsung yang diperoleh dari adanya perdagangan internasional antara lain adalah : i Perluasan pasar di bidang promosi. ii Meningkatnya kemampuan suatu negara untuk memperbaiki kualitas danmutu hasil produksi. iii Terciptanya iklim persaingan yang sehat dan sarana pemasukan modalasing. iv Terciptanya peluang untuk meningkatkan teknologi. Teori Kebijakan Impor Pengertian Impor Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan
17
masuknya uang asing kenegara kita yang dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri. Tujuan Impor Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan,tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Kebijakan Impor Untuk melindungi produksi dalam negerinya dari ancaman produk sejenis yang diproduksi di luar negeri, maka pemerintah suatu negara biasanya akan menerapkan atau mangeluarkan suatu kebijakan perdagangan internasional di bidang impor . Kebijakan ini, secara langsung maupun tidak langsung pasti akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk mendorong/melindungi pertumbuhan industri dalam negeri (domestik) dan penghematan devisa negara. Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kebijakan hambatan tarif (tariff barrier) dan kebijakan hambatan non-tarif (non-tariff barrier). 1 Hambatan Tarif Hambatan tarif (tariff barrier) adalah suatu kebijakan proteksionis terhadap barang-barang produksi dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis yang diimpor dari luar negeri. Tarif adalah hambatan perdagangan yang berupa penetapan pajak atas barang-barang impor atau barang-barang dagangan yang melintasi daerah pabean (custom area). Sementara itu, barang-barang yang masuk ke wilayah negara dikenakan bea masuk. Efek kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan mendorong konsumen menggunakan produk domestik. a. Macam-macam Penentuan Tarif, yaitu: 1. Bea Ekspor (export duties) adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang yang diangkut menuju negara lain (di luar costum area). 2. Bea Transito (transit duties) adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang melalui batas wilayah suatu negara dengan tujuan akhir barang tersebut negara lain. 3. Bea Impor (import duties) adalah pajak/bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang masuk dalam suatu negara (tom area). b. Jenis Tarif : 1. Ad valorem duties, yakni bea pabean yang tingginya dinyatakan dalam presentase dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut. 2. Specific duties, yakni bea pabean yang tingginya dinyatakan untuk tiap ukuran fisik daripada barang. 3. Specific ad valorem atau compound duties, yakni bea yang merupakan kombinasi antara specific dan ad valorem.
18
c. Sistem Tarif : 1. Single-column tariffs : Sistem di mana untuk masing-masing barang hanya mempunyai satu macam tarif. Biasanya sifatnya autonomous tariffs (tarif yang tingginya ditentukan sendiri oleh sesuatu negara tanpa persetujuan dengan negara lain). Kalau tingginya tarif ditentukan dengan perjanjian dengan negara lain disebut conventional tariffs. 2. Double-column tariffs : sistem di mana untuk setiap barang mempunyai 2 (dua) tarif. Apabila kedua tarif tersebut ditentukan sendiri dengan undangundang, maka namanya “bentuk maksimum dan minimum”. 3. Triple-column tariffs : biasanya sistem ini digunakan oleh negara penjajah. Sebenarnya sistem ini hanya perluasan daripada double column tariffs, yakni dengan menambah satu macam tariff preference untuk negaranegara bekas jajahan atau afiliasi politiknya. Sistem ini sering disebut dengan nama preferential system. d. Efek tarif : Pembebanan tarif terhadap sesuatu barang dapat mempunyai efek terhadap perekonomian suatu negara, khususnya terhadap pasar barang tersebut. Beberapa sfek tarif tersebut adalah : Efek terhadap harga (price effect) Efek terhadap konsumsi (consumption effect) Efek terhadap produk (protective/import substitution effect) Efek terhadap redistribusi pendapatan (redistribution effect) e. Effective Rate of Protection Tarif terhadap bahan mentah akan menaikkan ongkos produksi. Apabila tarif hanya dikenakan pada barang jadi maka harga barang tersebut akan naik. Hubungan antara tarif terhadap barang jadi dan tarif terhadap bahan mentah dapat dinyatakan dengan adanya “effective rate of protection” yang dinikmati oleh produsen yang memproses barang jadi tersebut. apabila barang jadi dan juga bahan mentah impor itu dikenakan tarif, maka effective rate of protection bagi produsen barang tersebut makin tinggi apabila makin rendah tarif terhadap bahan mentah. f. Alasan pembebanan tarif : 1. Secara ekonomis dapat dipertanggungjawabkan : A. Memperbaiki dasar tukar Pembebanan tarif dapat mengurangi keinginan untuk mengimpor. Hal ini berarti bahwa untuk sejumlah tertentu ekspor menghendaki jumlah impor yang lebih besar, sebagian daripadanya diserahkan kepada pemerintah sebagai pembayaran tarif. B. Infant-industry Pembebanan terif terhadap barang dari luar negeri dapat memberi perlindungan terhadap industri dalam negeri yang sedang tumbuh ini.
19
C.
D.
E.
2. A.
B.
C.
2
Diversifikasi Pembebanan tarif industry dalam negeri dapat berkembang sehingga dapat memperbanyak jumlah serta jenis barang yang dihasilkan terutama oleh negara yang hanya menghasilkan satu atau beberapa macam barang saja Employment Pembebanan tarif mengakibatkan turunnya impor dan menaikkan produksi dalam negeri. Anti dumping Pembebanan tarif terhadap barang yang berasal dari negara yang menjalankan politik dumping supaya tidak terkena akibat jelek daripada politik tersebut. Secara ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan : To keep money at home Pembebanan tarif impor, maka impor akan berkurang sehingga akan mencegah larinya uang ke luar negeri. The low-wage Negara yang tingkat upahnya tinggi tidak dapat mengadakan hubungan dengan negara yang tingkat upahnya rendah tanpa menanggung risiko akan turunnya tingkat upah. Untuk melindungi para pekerja yang upahnya tinggi dari persaingan para pekerja yang upahnya rendah maka negara yang tingkat upahnya tinggi tersebut perlu membebankan tarif bagi barang yang berasal dari negara yang tingkat upahnya rendah. Home market Yang tidak dapar diuji atau dibuktikan, karena mengandung premis ekonomi yang salah. Tarif akan mengakibatkan turunnya atau hilangnya impor dan diganti dengan prosuksi dalam negeri. Kenaikan produksi berarti tambahnya kesempatan kerja yang akhirnya berarti pula kenaikan kegiatan ekonomi.
Hambatan non-tarif Hambatan non-tarif (non-tarif barrier) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional (Dr. Hamdy Hady). A.M. Rugman dan R.M. Hodgetts mengelompokkan hambatan non-tarif (non-tariff barrier) sebagai berikut : A. Pembatasan spesifik (specific limitation) : a. Larangan impor secara mutlak b. Pembatasan impor (quota system) c. Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu d. Peraturan kesehatan / karantina e. Peraturan pertahanan dan keamanan negara f. Peraturan kebudayaan g. Perizinan impor (import licence) h. Embargo i. Hambatan pemasaran / marketing
20
B. a. b. c. d. e. f. g. h. i. C. a. b.
c. d. e. D.
Peraturan bea cukai (customs administration rules) Tatalaksana impor tertentu (procedure) Penetapan harga pabean Penetapan forex rate (kurs valas) dan pengawasan devisa (forex control) Consulate formalities Packaging / labelling regulations Documentation needed Quality and testing standard Pungutan administasi (fees) Tariff classification Partisipasi pemerintah (government participation) Kebijakan pengadaan pemerintah Subsidi dan insentif ekspor Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan atau bantuan kepada indusrti dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dll. Countervaling duties Domestic assistance programs Trade-diverting Import charges - Import deposits - Supplementary duties - Variable levies
Pelarangan impor Larangan impor adalah kebijakan pemerintah yang melarang masuknya barang-barang tertentu atau produk-produk asing (ke dalam pasar domestik) ke dalam negeri. Kebijakan larangan impor dilakukan untuk menghindari barangbarang yang dapat merugikan masyarakat. Misalnya melarang impor daging sapi yang mengandung penyakit Anthrax. Kebijakan ini biasanya dilakukan karena alasan politik dan ekonomi. Pada dasarnya ada tiga sasaran kebijakan larangan impor, yaitu: a. Kebijakan Larangan Impor Berorientasi Lingkungan Hidup b. Kebijakan Larangan Impor Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri dan c. Menjaga Balance of Payments Teori Daya Saing Konsep daya saing umumnya dikaitkan dengan konsep comparative advantage, yakni dimilikinya unsur-unsur penunjang proses produksi yang memungkinkan satu negara menarik investor untuk melakukan investasi ke negaranya, tidak ke negara yang lain. Konotasi advantage di sini adalah situasi yang memungkinkan pemodal menuai keuntungan semaksimal mungkin. Misalnya dengan menyediakan lahan murah, upah buruh murah, dan suplai bahan mentah produksi yang terjamin kontinyuitasnya dengan hatpa yang lebih murah daripada harga yang ditawarkan oleh negara lain. Artinya, kekuatan modal dan
21
keunggulan teknologi menjadi kunci penentu peningkatan daya saing (penjualan produk) satu negara (Rhiswanda 2002). Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Dengan kata lain, dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik. Teori Keunggulan Komparatif Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah Negara kurang efisien dibandingkan (memiliki keunggulan absolut terhadap) Negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki keunggulan komparatif (Salvatore, 2013). Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh Haberler (1936) yang mengemukakan Konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler menyatakan bahwa biaya dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan pertama (Salvatore 2013). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori HeckscherOhlin (1933), yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar Negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O menganggap bahwa setiap Negara akan mengekspor komoditas yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal. Simatupang (1995) dalam Novianti 2003, mengemukakan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian yang diarahkan pada pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem keseluruhan yang dilandasi prinsip-prinsip efisiensi dan berkelanjutan, dimana konsolidasi usahatani diwujudkan melalui koordinasi vertikal sehingga produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Keunggulan komparatif bersifat dinamis. Artinya, suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan memberdayakan secara optimal sehingga dapat bersaing dengan negara lain dengan kata lain, keunggulan komparatif adalah suatu keunggulan yang dimiliki oleh suatu organisasi untuk dapat membandingkannya dengan yang lainnya. Maka,
22
keunggulan komparatif adalah keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh organisasi seperti SDM, fasilitas, dan kekayaan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi atau perpaduan keuanggulan beberapa organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Teori Keunggulan Kompetitif Era globalisasi yang berimplikasi pada terbukanya pasar bebas membawa persaingan yang berat bagi eksistensi pelaku ekonomi. Dibutuhkan sesuatu yang memiliki nilai jual lebih agar bisa dikenal dan memperoleh posisi dalam pasar internasional. Day & Wensley (1988) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif berkelanjutan merupakan bentuk-bentuk strategi untuk membantu aktor ekonomi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pendapat tersebut didukung oleh Ferdinand (2003) yang menyatakan bahwa pada pasar yang kompetitif, kemampuan aktor menghasilkan kinerja, terutama kinerja keuangan, sangat bergantung pada derajad keunggulan kompetitifnya. Suatu aktor dikatakan memiliki keunggulan kompetitif ketika aktor tersebut mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki pesaing, melakukan sesuatu lebih baik dari aktor lain, atau mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh aktor lain (Mudrajad 2005). Manajemen strategis, dengan fokus pada keunggulan kompetitif, memiliki satu unsur penting, yaitu operational effectiveness. Efektivitas operasional dikombinasikan dengan strategi adalah jalan (meskipun tidak menjamin) untuk kinerja yang unggul. Efektivitas operasional menginginkan kita untuk menampilkan sesuatu yang lebih baik dari lawan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan input, misalnya dengan cara mengurangi cacat pada produk atau membuat lebih cepat produk yang lebih baik (Porter 1996:62). Kombinasi yang baik antara efektivitas operasional dan strategi akan memberikan keuntungan lebih bagi aktor ekonomi. Posisi strategis dalam rangka menampilkan performa berbeda muncul dari tiga esensi, yaitu variety-based positioning (berbasis variasi produk industri dan jasa), needs-based positioning (berdasarkan kebutuhan pelanggan tertentu), dan access-based positioning (berbasis pada segmentasi pelanggan yang memiliki akses berbeda) (Porter 1996:68).Untuk melanggengkan keberadaannya, keunggulan kompetitif aktor tersebut juga harus berkelanjutan (sustainable) karena pada dasarnya aktor ingin melanggengkan keberadaannya. Keunggulan kompetitif berkelanjutan merupakan aktor perusahaan untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu kinerja yang menghasilkan keuntungan (profit) tinggi. Artinya, keunggulan bersaing berkelanjutan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir aktor, yaitu kinerja tinggi. David (2009) menyatakan bahwa intinya, manajemen strategis adalah tentang bagaimana memperoleh dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Istilah ini dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan jauh lebih baik oleh sebuah perusahaan bila dibandingkan dengan perusahaanperusahaan saingan”. Ketika suatu perusahaan saingan dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh perusahan saingan, itu dapat merepresentasikan keunggulan kompetitif. Memperoleh dan mempertahankan keunggulan kompetitif ini sangan penting bagi tujuan jangka panjang sebuah organisasi.
23
Kerangka Pemikiran Operasional Semakin meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia khususnya daerah sekitar ibu kota mengakibatkan terjadinya pergeseran beberapa faktor. Salah satunya adalah semakin meningkatnya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan protein hewani. Protein hewani dapat diperoleh masyarakat dengan mengkonsumsi daging, baik itu daging sapi ataupun daging ayam. Daging sapi merupakan pilihan daging yang paling populer karena mampu memenuhi kebutuhan protein harian sampai dengan 60 persen. Jumlah protein yang terkandung di dalam daging sapi adalah 21 persen setiap 100 gram dan sisanya adalah air dan lemak (Prasetyo et al., 2009). Berdasarkan kesadaran masyarakat yang semakin maju, permintaan akan daging sapi pun terus meningkat. Peningkatan permintaan juga terjadi di wilayah DKI Jakarta dan daerah sekitarnya, adanya permintaan yang tinggi akan daging sapi dalampasar nasional dan permintaan yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat merupakan kesempatan untuk peternak memenuhipeluang kekurangan pasokan daging sapi tersebut. Namun kenyataannya produsen daging sapi dalam negri belum mampu memenuhi permintaan tersebut. Kekurangan pasokan daging sapi yang terjadi di wilayah Jawa Barat menyebabkan pemerintah melakukan impor baik impor daging sapi maupun sapi bakalan, hal ini yang menyebabkan tingkat perkembangan produksi daging sapi impor di provinsi Jawa Barat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah melakukan upaya-upaya sistematis yang dapat menahan tekanan produk daging sapi impor. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dituangkan dalam bentuk paket-paket kebijakan. Impor sapi bakalan masih menjadi pilihan pemerintah untuk menanggulangi kekurangan ketersediaan daging sapi tersebut dibandingkan dengan impor daging sapi. Sejalan denganusaha untuk mencukupi pasokan daging sapi dalam negeri, pemerintah juga telahmencanangkan Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014 yang salah satu paket kebijakannya yaitu adanya pembatasan volume impor sapi bakalan yang telah berlaku pada pertengahan tahun 2010. Hal inidilakukan pemerintah untuk tetap mempertahankan pasar domestik serta untukmeningkatkan daya saing usahaternak sapi potong yang menjadi sektor utamayang diandalkan sebagai pemasok komoditi daging sapi dalam negeri. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut memiliki dampak tersendiri bagi usaha sapi potong yang berada di Jawa Barat. Dampak-dampak tersebut dapat di analisis dengan menggunakan metode salah satunya adalah metode PAM. Metode PAM digunakan untuk menganalisis daya saing usaha penggemukan sapi potong sesudah adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan, dengan keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan keuntungan privat dan Rasio Biaya Privat (PCR), keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan keuntungan social dan Rasio Biaya Sumber Daya Domestik (DRC). Selain itu metode PAM juga bisa digunakan untuk menganalisis penerapan kebijakan pemerintah pada harga output, kebijakan harga input, dan kebijakan input-output. Kebijakan harga input dianalisis berdasarkan nilai transfer (input transfer atau TI), koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on input atau NPCI), tingkat proteksi input nominal (nominal protection rate oninput atau NPRI) dan transfer faktor (factor transfer atau FT). Terakhir, setelah diperoleh kesimpulan dari hasil
24
analisis yaitu memberikan saran kepada peternak dan pemerintah. Skema kerangka pemikiran operasional penelitian disajikan pada Gambar 1.
Permintaan akan daging sapi yang tinggi Belum mampunya produsen lokal untuk memenuhi permintaan dalam negeri Ketergantungan yang tinggi terhadap sapi bakalan impor
Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan (PSDS 2014)
Analisis kebijakan pembatasan volume sapi impor
Policy Analysis Matrix (PAM)
Keunggulan Kompetitif Keuntungan Privat Rasio Biaya Privat
Keunggulan Komparatif Keuntungan Sosial Rasio Biaya Sumberdaya
Analisis Dampak Kebijakan Kebijakan Input Kebijakan Output Kebijakan Input-Output
Mengetahui dampak kebijakan terhadap bisnis sapi potong
Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional
25
METODE PENELITIAN Jenis Data dan Sumber Data Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dengan mengambil lokasi padasalah satu perusahaan penggemukan sapi potong di PT XYZ Jakarta Timur dan memiliki farm di Rangkas, Banten. Data yang digunaan dalam penelitian ini adalah data primer yang meliputi Data pendapatan privat, biaya privat, Nilai pendapatan sosial dan biaya input tradable serta nilai sosial untuk faktor domestik. Sedangkan data sekunder meliputi data-data lain yang menunjang penelitian yang didapatkan dari luar perusahaan. Data primer yang digunakan dalam penelitian diperoleh melalui wawancara kepada ketua dari INKINDO dan juga manager dari PT XYZ, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Peternakan, dan Badan Pusat Statistik Jawa Barat. Sumber informasi lainnya diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan media masa elektronik. Untuk input output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost, Insurance and Freight) sedangkan untuk menghitung harga sosial input non tradable digunakan harga imbangannya (opportunity cost).
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan dibantu dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Metode wawancara dengan responden yang telah ditentukan yaitu ketua umum INKINDO dan juga manager dari PT XYZ. Pengumpulan data-data penunjang juga dilakukan dengan cara medatangi langsung kantor atau pihak-pihak yang bersangkutan seperti Kementrian Perdagangan (Kemendag), Kementrian Peternakan (Kementan), dan Badan Pusat Statistik Jawa Barat (BPS JABAR).
Metode Analisis dan Pengolahan Data Pengolahan data yang digunakan dalam penilitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Model analisis PAM (Policy Analysis Matrix) digunakan untuk menganalisis intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Penggunaan PAM ini dengan pertimbangan bahwa dengan menggunakan model ini dapat menjawab tujuanyang ingin dicapai dalam penelitian yakni dapat diketahui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif usaha daging sapi PT XYZ serta dampak keefektifan kebijakan pemerintah yang diterapkan terhadap komoditi sapi potong. Analisis PAM mampu menjelaskan struktur input output di tingkat usahatani, pengolahan, ataupun pemasaran. Dengan perhitugan ini dapat diperoleh keuntungan baik finansial maupun ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah
26
yang diterapkan baik kepada input, output maupun input dan output secara bersama dapat diketahui. Tidak hanya dampak dari kebijakan pemerintah tetapi metode ini mampu menggambarkan daya saing objek yang diteliti dibawah pengaruh kebijakan ataupun tidak. Dapat dijelaskan format dari Analysis PAM tersebut pada tabel 6. Tabel 6 Format Policy Analysis Matrix (PAM) Uraian Harga Privat Harga Sosial Dampak divergensi dan kebijakan efisiensi
Penerimaan A E I
Input Asing B F J
Biaya Input Domestik C G K
Keuntungan D=A–B–C H=E–F–G L=D–H =I–J–K
Sumber : Pearson et al, 2005
Keterangan : A : Penerimaan Privat B : Biaya Input tradable Privat C : Biaya Input Domestik Privat D : Keuntungan Privat = A - (B+C) E : Penerimaan Sosial F : Biaya Input tradable Sosial G : Biaya Input Domestik Sosial H : Keuntungan Sosial = E - (F+G) I : Transfer Output (A - E) J : Transfer Input tradable (B – F) K : Transfer Faktor domestik (C – G) L : Transfer Bersih (D – H) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H Pada Tabel 6 menunjukkan pada baris pertama dari matriks PAM berisikan angka-angka yang dihitung berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar), yaitu harga yang sebenarnya diterima atau dibayarkan oleh pelaku ekonomi. Baris kedua berisikan perhitungan angka-angka yang didasarkan pada harga sosial atau shadow price, yaitu harga yang mengambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya maupun hasil (harga yang menghasilkan alokasi terbaik dari sumberdaya dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi). Baris ketiga merupakan selisih perhitungan antara harga privat dengan harga sosial sebagai akibat dari dampak kebijakasanaan pemerintah atau distorsi pasar yang ada.
27
Pada input dan output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga bayangan atau shadow price yang dalam hal ini didekati dengan harga batas (border price), untuk komoditi yang diimpor digunakan harga cost and freight (CIF) dan untuk komoditi yang diekspor digunakan harga freight on board (FOB). Perlu dilakukan barbagai penyesuaian pada titik mana analisis akan dilakukan. Sedangkan untuk input domestik digunakan biaya imbangannya atau opportunity cost yang dikaji dari penelitian empirik di lapangan. Analisis Keuntungan 1 Keuntungan Privat (Private Provit/PP) PP = D = A – B –C Jika keuntungan privat lebih besar atau sama dengan nol menunjukkan bahwa secara privat pengusahaan suatu komoditas layak untuk diteruskan. Begitu juga sebaliknya, jika nilainya kurang dari nol maka komoditas tersebut tidak layak diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian. 2 Keuntungan Sosial (Social Provit/SP) PS = H = E – F – G Jika nilai keuntungan sosial lebih dari satu atau sama dengan nol menunjukkan bahwa secara ekonomi pengusahaan suatu komoditas dapat dilanjutkan. Begitu juga sebaliknya, jika nilainya kurang dari nol maka komoditas tersebut tidak layak diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian. Analisis Efisiensi (Keunggulan Komparatif dan Kompetitif) 1 PCR (Rasio Biaya Privat) 𝐶 Biaya Input 𝑁𝑜𝑛 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 Privat PCR = = 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑃𝑟𝑖𝑣𝑎𝑡 – 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑝𝑟𝑖𝑣𝑎𝑡 𝐴−𝐵 Suatu komoditas mempunyai keunggulan kompetitif jika nilai PCR-nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktor domestik yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan. 2
DRC (Rasio Biaya Sumber Daya) 𝐺 Biaya Input 𝑁𝑜𝑛 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 Sosial DRC = = 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 – 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 𝐸−𝐹 Suatu perusahaan memiliki keunggulan komparatif jika nilai DRC lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditas tertentu mempunyai efisiensi secara ekonomi dalam pengalokasian sumberdaya atau memiliki keunggulan komparatif.
Dampak Kebijakan Pemerintah 1 Kebijakan Output a Transfer Output (TO) TO = I = A – E
28
Menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output yang menyebabkan harga output privat dan sosial berbeda. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai TO yang positif berarti masyarakat harus membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan, dan produsen menerima harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima. b Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 𝐴 Penerimaan privat NPCO = = 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 𝐸 NPCO digunakan untuk mengukur dampak insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Jika nilai NPCO lebih kecil dari satu menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa subsidi negatif (pajak). 2
Kebijakan Input a Transfer Input (TI) TI = J = B – F Nilai TI yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan keuntungan yang diterima secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. b Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) NPCI =
𝐵
Biaya Input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 Privat
= Biaya Input 𝑡𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 Sosial
𝐹 Nilai NPCI lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu berarti menunjukkan adanya hambatan ekspor input sehingga produksi menggunakan input lokal.
c
Transfer Faktor (TF) TF = K = C – G Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Jika nilai TF positif berarti terdapat subsidi negarif pada input non tradable.Jika nilai TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable.
3
Kebijakan Input-Output a Koefisien Proteksi Efektif 𝐴−𝐵 Penerimaan Privat – Biaya Input 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 Privat EPC = = 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 – 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 𝑇𝑟𝑎𝑑𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑠𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 𝐸−𝐹 Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi ataukah menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai
29
EPC lebih besar dari satu menunjukkan tingginya proteksi pemerintah dalam sistem produksi sapi potong, sedangkan nilai EPC kurang dari satu berarti proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sapi potong sangat rendah. b
Tingkat Proteksi Efektif (EPR) EPR = (EPC – 1) x 100% Nilai EPR menunjukkan tingkat persentasi kebijakan yang diterapkan pada input dan output.
c
Transfer Bersih (TB) TB = L = D – H TB digunakan untuk melihat ketidakefisienan dalam sistem produksi. Jikanilai TB lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yangdilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil akan menunjukkan keadaan yang sebaliknya.
d
Koefisien Keuntungan (PC) PC =
𝐷
Keuntungan Privat
= Keuntungan Sosial
𝐻 Nilai PC kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Sebaliknya, nilai PC lebih dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar.
e
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) SRP =
𝐿 𝐻
Transfer Bersih
= Keuntungan Sosial
Nilai SRP yang negatif menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebihkecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. Sebaliknya, nilai SRP yangpositif menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama inimenyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebih besar daribiaya imbangan untuk berproduksi.
30
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Perusahaan Sejarah Perusahaan PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang penyediaan stok bakalan sapi potong yang berasal dari Australia atau sapi impor. Perusahaan ini didirikan oleh sekelompok orang yang memiliki visi misi yang sama dalam bidang peternakan, sehingga pada tahun 2009 perusahaan PT XYZ berdiri, namun awalnya perusahaan ini belum merupakan perushaan yang tergolong dalam perseroan terbatas. Pada tahun 2012 perusahaan ini mendaftarkan diri menjadi perusahaan perseroan terbatas. Tidak banyak melakukan perubahan dari sebelumnya, perusahaan tetap menjalankan bisnis dibidang penyediaan sapi impor bakalan dari Australia. Sejak awal berdirinya PT XYZ bisnis yang dijalankan oleh perushaan ini adalah feedlot sapi dengan input yaitu sapi bakalan impor. Feedlot sendiri memliki arti yaitu usaha budidaya ternak dalam waktu tertentu dengan cara membeli bakalan dan kemudian diberi pakan pada batas waktu tertentu untuk meningkatkan bobot badan ternak. Ternak dipelihara dalam satu koloni besar, baik pakan maupun kondisi ternak dipantau dengan baik sesuai standar operasional prosedur yang berlaku (Arifin, 2015). Sampai dengan saat ini PT XYZ masih menjalankan bisnis feedlot tersebut dan memliki farm atau kandang di beberapa lokasi. Seiring berjalannya bisnis, permasalahan - permasalahan yang timbul dan keadaan yang terjadi beberapa tahun belakangan baik internal maupun eksternal yang cukup berdampak pada perusahaan mengakibatkan perusahaan harus berhenti sejenak dalam melakukan kegiatan produksi yaitu pada tahun 2012 sampai dengan 2013. Hal tersebut merupakan keputusan yang diambil secara musyawarah dari para anggota perushaan. Lokasi awal pendirian perusahaan ini adalah di Laladon, letaknya di belakang terminal laladon, namun seiring berkembangnya perusahaan PT XYZ melakukan expansi di lokasi berbeda. Kantor awal dari PT XYZ yang berada di Laladon dinilai kurang cukup menampung kegiatan PT XYZ untuk beberapa tahun kedepan sehingga PT XYZ mengambil keputusan untuk membangun kantor baru di wilayah Bambu Apus, Jakarta Timur. Letak Geografis PT XYZ melakukan kegiatan usahanya di wilayah Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Kantor pusat PT XYZ berada di Jl. Bambu Apus, sedangkan kandang atau farm dari PT XYZ berada di Rangkas, Banten. Kantor PT XYZ dapat diakses baik menggunakan motor maupun mobil karena jalan menuju lokasi sudah menggunakan aspal dan aksesnya sudah mudah dilalui. Akses untuk menuju kantor PT XYZ dapat juga menggunakan angkutan umum seperti ojeg atau taxi, karena mobil angkutan umum tidak ada yang menuju ke wilayah perusahaan.
31
Luas wilayah kantor PT XYZ yang berada di Jl. Bambu Apus kurang lebih 2000 m2 dengan keadaan sekitar yaitu komplek perumahan serta perusahaan perusahaan lain. Kisaran suhu di wilayah kantor PT XYZ. Wilayah kantor memiliki topografi tanah yang relatif datar dengan karakteristik berpasir dan bertanah merah. Berbeda dengan lokasi kantor PT XYZ, farm atau lokasi kandang dari perusahaan ini terletak di wilayah Rangkas dengan luas lahan kurang lebih 1 ha dengan kapasitas maksimal kandang yaitu 2500 ekor sapi bakalan. Kisaran suhu di wilayah kandang PT XYZ adalah antara 27°C-31°C dan memiliki curah hujan rata rata setiaptahun 1 950 mm3. Daerah peternakan merupakan daerah perkebunan dan persawahan yang memiliki topografi tanah yang relatif datar. Lokasi tersebut dijadikan kandang karena pertimbangan yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan sapi itu sendiri. Faktor yang berkaitan tersebut diantaranya adalah luas tanah, suhu, kelembaban, polusi atau sumber sumber lain yang memicu stress sehingga dapat diminimalkan dampak dampak negatif yang terjadi. Sumberdaya Manusia Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang pengadaan livestock sapi bakalan impor, PT XYZ memiliki sumberdaya manusia yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu karyawan office dan farm. Klasifikasi karyawan pada PT XYZ dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Alokasi sumberdaya manusia PT XYZ Jenis Pekerjaan
Jumlah (orang)
Status
Office Farm
19 33
Karyawan Tetap Karyawan Tetap
Upah per bulan (Rp) UMR DKI UMR Banten
Berdasarkan informasi yang disajikan pada tabel 7 dijelaskan bahwa terdapat 19 orang sebagai karyawan yang bekerja di kantor dan 33 orang yang bekerja di kandang. Angka tersebut sudah termasuk mulai dari manajer sampai dengan anak kandang. Karena terbatasnya sumberdaya manusia yang bekerja di kandang maka sewaktu-waktu ketika panen besar ataupun pekerjaan padat karya datang maka tenaga kerja tambahan diperlukan oleh perusahaan. Manajemen Perusahaan Manajemen Organisasi Keberhasilan suatu proyek atau usaha sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen yang bersangkutan secara professional mengelola proyek atau usaha tersebut. Penerapan sistem manajemen yang tepat, pemilihan dan penempatan tenaga manajerial serta tenaga professional yang tepat akan mampu menciptakan proyek yang nantinya dapat memberikan benefit atau keuntungan yang signifikan bagi perusahaan. Prinsip manajemen yang diterapkan pada perusahaan PT XYZ ini, pada dasarnya mengacu pada sistem manajemen modern yang meliputi perncanaan, organisasi, pelaksanaan dan pengawasan.
32
Manajemen Tenaga Kerja Salah satu hal penting lainnya dalam menjalankan suatu usaha adalah bagaimana mengelola sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan sehingga pihak manajemen perusahaan bisa menyatukan dan mengarahkan sumber daya manusia yang ada kearah satu tujuan yang telah ditetapkan dan sekaligus perusahaan dapat memperoleh manfaat yang maksimal. Kebutuhan akan tenaga kerja ini tentunya disesuaikan dengan paten-paten yang tersedia dan kemampuan serta keterampilan yang dimiliki. Banyaknya tenaga kerja PT XYZ saat ini yaitu berjumlah 52 orang tediri dari 19 orang karyawan kantordan 33 orang karyawan kandang. Manajemen Pemasaran Hal pertama yang umumnya harus diperhatikan dalam manajemen pemasaran ini antara lain adalah pemilihan pasar. Manajmen Pemasaran PT XYZ tidak hanya mengkaji tentang bagaimana produk yang dihasilkan oleh perusahaan dapat dipasarkan atau didistribusikan, namun mendapatkan supplier tetap serta berkualitas untuk perusahaan juga merupakan salah satu tugas dari manajer pemasaran PT XYZ. Setelah pemilihan pasar dan mendapatkan supply input yang berkualitas manajer pemasaran dapat melakukan penghitungan harga jual, sifat jasa, strategipemasaran yang efektif & efisien, analisa pesaing dan market share yang ada.Selain itu perusahaan perlu menjaga mutu pelayanan dan menepati jadwal pelayanan baik kepada supplier maupun kepada konsumen. Struktur Organisasi Kegiatan operasional perusahaan akan dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang dengan adanya komunikasi dan pembagian tugas pada masing-masing personal. Pembagian tugas dan fungsi tersebut diatur sesuai dengan struktur organisasi yang dimiliki perusahaan. Melalui struktur organisasi akan membatu dalam penentuantanggung jawab terhadap pekerjaan dan kepada siapa seseorang harus melaporkan hasil kegiatannya. Pemegang kekuasaan tertinggi pada PT XYZ adalah Komisaris dan pelaksanaan kegiatan operasional dipimpin oleh Direktur Utama. Pelaksanaan operasional di lapangan dipimpin oleh seorang Manager Farm yang dibantu oleh seorang supervisor dalam melaksanakan tugasnya. Pembagian tugasdan fungsi yang ada di PT XYZ dapat dilihat pada Gambar 4. Struktur organisasi yang tercantum merupakan asumsi yang didapat dari penelitian serta wawancara dengan salah satu manajer PT XYZ, pendekatan dilakukan dengan menggambar sketsa pada kertas yang kemudian didiskusikan dengan manajer PT XYZ. Hal ini dilakukan karena struktur organisasi yang asli dari PT XYZ merupakan hak privasi dari perusahaan dan merupakan keterbatasan data bagi peneliti. Berikut gambar 4 menjelaskan struktur organisasi PT XYZ.
33
Direktur Utama
Wakil Direktur
Manajer Keuangan
Manajer Oprasional
Bagian Pemasaran
Bagian Accounting Pajak dll
Bagian Produksi
Manajer Farm
Supervisor
Anak Kandang
Gambar 5 Struktur organisasi PT XYZ
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan Pemerintah dan Dampaknya terhadap Sapi Impor Sebelum menjelaskan tentang bagaimana keadaan atau kondisi usaha penggemukan sapi potong pada PT XYZ, perlu diketahui beberapa undangundang atau peraturan menteri yang berkaitan dengan sapi impor dan juga dampak yang terlihat dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Beberapa undangundang ataupun peraturan tersebut diantaranya adalah : 1
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER9/2011 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011. Peraturan menteri tersebut masing-masing berisi tentang ketentuan impor dan ekspor hewan dan produk hewan serta rekomendasi persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan dan olahan ternak ke dalam negeri. Seperti yang telah dipublikasikan oleh DetikNews edisi 8 Mei 2011, langkah pemerintah menaikkan kuota impor daging sapi dari 50 000 ton menjadi 72 000 ton pada 2011 dinilai tergesa-gesa dan bisa berdampak serius terhadap kelangsungan peternakan sapi lokal dengan menurunnya harga pembelian daging sapi lokal. Tambahan 22 000 ton daging sapi impor setara dengan sekitar 120 000 ekor sapi. Artinya,
34
Indonesia kehilangan potensi industri peternakan senilai Rp 293 miliar dengan langkah penambahan volume impor tersebut. Dengan meningkatnya kuota daging impor akan menekan harga sapi potong di tingkat peternak lokal karena margin harga daging impor dan daging lokal sangat besar sehingga mau tidak mau peternak lokal menjual harga sapi di bawah harga ekonomisnya. Harga daging sapi segar impor lebih murah sekitar Rp 40.000 per kg sampai Rp 46.000 per kg, sedangkan harga sapi dari peternak lokal sekitar Rp 55.000 per kg sampai Rp 60.000 per kg. Sehingga dengan perbedaan harga yang cukup tinggi tersebut, peternak sapi lokal pun mengalami kerugian yang cukup besar. 2
Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699/M-DAG/KEP/7/2013 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 87/Permentan/ PD.410/9/2013 Keputusan menteri ini berisi tentang stabilitas harga daging sapi. Harga daging sapi yang terus melonjak sepanjang tahun 2012 hingga 2013 membuat Menteri Perdagangan memutuskan untuk menghapus peraturan pembatasan kuota impor sapi. Hal ini dikarenkan tidak mampunya sumber daya ternak lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional yang semakin besar yang akhirnya menimbulkan inflasi pada harga daging sapi. Keputusan nomor 699 ini tidak muncul sendirian. Adapun keputusan Menteri Pertanian Nomor 87/Permentan/PD.410/9/2013 yang berisikan tentang rekomendasi persetujuanpemasukan sapi bakalan, sapi indukan dan sapi siap potong ke dalam wilayah negaraIndonesia. Pemerintah memberikan kepastian dalam pelayanan kepabeanan, kode HS Sapi dalam lampiran peraturan/PD.410/8/2013 harus diharmonisasikan dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) dan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini timbul lantaran masih belum stabilnya produksi dalam negeri yang menyebabkan adanya inflasi pada komoditi sapi sehingga dibutuhkan tindakan cepat pemerintah untuk menstabilkan harga yaitu dengan melakukan impor sapi dari luar. Tidak hanya menstabilkan harga, pemerintah juga berupaya untuk menstabilkan populasi sapi dalam negeri dengan merealisasikan secara optimal swasembada yang ditargetkan tahun 2014 selesai, target tersebut tercantum pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor (19/Permentan/OT.140/2/2010).
3
Peraturan Menteri Pertanian Nomor (19/Permentan/OT.140/2/2010) Hal ini berisi tentang Progam Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) yang merupakan upaya untuk mewujudkan ketahan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik khususnya sapi potong. Impor masih diperlukan untuk mendorong terwujudnya swasembada daging sapi 2014. Pemerintah sempat menghentikan impor sapi dari Australia pada pertengahan tahun ini. Sekalipun peternak domestik menyambut dengan baik, dampaknya adalah kenaikan harga daging sapi yang cukup signifikan. Namun demikian seiring berjalannya waktu peternak lokal mampu meningkatkan produksinya untuk memenuhi
35
kebutuhan lokal, dapat dilihat pada tabel 8 terjadi peningkatan populasi yang terjadi semenjak kebijakan diumumkan. Tabel 8 Dampak kebijakan swasembada terhadap populasi sapi Jumlah Produksi (ekor) Regional 2010 2011 2012 2013 Jawa Barat 8 956 10 774 12 594 14 475 Jawa Tengah 43 697 52 566 61 445 70 623 Bali 20 244 24 353 28 466 32 718 NTT 43 668 52 532 61 405 70 577 NTB 29 067 34 967 40 873 46 978
2014 16 473 80 373 37 235 80 320 53 464
Sumber : Kementrian Pertanian (diolah)
Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa peningkatan produksi dari mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 mengalami peningkatan dibeberapa regional, hal tersebut mencerminkan adanya respon positif dari peternak lokal terhadap kebijakan tersebut. Tetapi, ketercukupan akan daging sapi masih belum bisa dipenuhi dari sapi domestik maka kemudian justru pemerintah menambah kuota impor daging sapi dari 72 000 ton menjadi 90 000 ton. Penambahan kuota ini untuk mengamankan kebutuhan akan daging sekaligus untuk mengamankan populasi ternak sapi domestik. 4
Permentan Nomor 48 Tahun 2015revisi atas Permentan Nomor 42 Tahun 2015 yang diterbitkan sebulan sebelumnya Peraturan menteri ini berisi tentang pembatasan volume impor sapi bakalan yang dilakukan oleh bulog, hal ini tertuang pada pasal 36b pada ayat 1 dan ayat 2. Dirjen Peternakan (2014) menyatakan bahwa Indonesia melakukan impor sapi dalam bentuk daging, karkas ataupun ternak bakalan untuk digemukkan. Negara asal daging sapi maupun sapi hidup (livestock) yang mendominasi sapi impor di Indonesia adalah Australia dan New Zealand. Namun demikian, ekspor daging sapi dari Indonesia sangat kecil dan ekspor ternak sapi bahkan tidak ada. Volume impor terus meningkat selama 2008-2010, yaitu dari 2 744 ton pada tahun 2008 menjadi 4 332 ton pada tahun 2010, tetapi kemudian turun pada tahun 2011 menajdi 3 598 ton, pada tahun 2012, volume impor daging sapi melonjak tajam mencapai 39 419 ton karena terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri sebagai akibat penurunan drastis volume impor sapi bakalan.Hal tersebut terjadi karena pada saat itu masih berlakunya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699/M-DAG/KEP/7/2013 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 87/Permentan/ PD.410/9/2013 yang mengizinkan impor daging sapi maupun sapi bakalan tanpa dibatasi dengan kuota. Keadaan tersebut mengakibatkan petani lokal yang sebetulnya sedang berusaha untuk memproduksi sapi secara lebih optimal karena telah diberi himbauan oleh pemerintah melalui swasembada tahun 2014 tersebut mengalami dilema. Disatu sisi, pemerintah ingin petani lokal
36
dapat berproduksi secara optimal dengan demikian sasaran swasembada tahun 2014 akan tercapai, namun disisi lain pemerintah membuka jalur impor sapi secara besar-besaran tanpa adanya kuota yang menyebabkan petani lokal rugi. Harga sapi impor lebih murah dibandingkan dengan sapi lokal, oleh karena itu konsumen dalam negeri lebih memilih sapi impor sebagai konsumsi sehari-hari. Hal tersebut menyebabkan dikeluarkannya Permentan Nomor 48 Tahun 2015 yang berisikan tentang pembatasan volume impor sapi guna menyeimbangkan populasi sapi dalam negeri dengan populasi sapi impor. Pemerintah belum siap untuk menutup seluruhnya impor yang ada karena belum tercapainya swasembada daging sapi dalam negeri hingga saat ini, sehingga impor yang terjadi saat ini merupakan impor yang berfungsi sebagai penyeimbang antara permintaan dan penawaran daging sapi dalam negeri agar dapat terpenuhi. 5
Pasal 4 ayat (a) UU PPN Nomor 42/2009 Disebutkan impor daging sapi tidak termasuk kelompok yang dikenai PPn. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7/2007 tentang impor atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang dibebaskan dari PPN, Pasal 1 juga disebutkan barang peternakan masuk dalam barang strategis yang bebas dari PPN.
Analisis Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Perusahaan PT XYZ Dampak dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong dapat diukur menggunakan beberapa metode diantaranya ada Policy Analysis Matrix (PAM). Daya saing usaha penggemukan sapi potong diukur menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif. Tabel PAM juga dapat digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong. Pada penelitian ini, daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ yang beralokasi di Jakarta. Daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ dihitung dari jenis sapi bakalan yang merupakan seluruhnya adalah sapi bakalan impor yang merupakan input produksi peternak utama. Perhitungan daya saing usaha penggemukan sapi potong dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan tabel PAM di PT XYZ pada tahun 2015 yang dimana telah diberlakukannya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan di Indonesia. Karena terdapatnya keterbatas peneliti dalam mengakses data di PT XYZ maka perhitungan yang terjadi tidak mencemirkan persis seperti keadaan aslinya. Baris pertama dari Tabel PAM merupakan estimasi dari keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar yang ada. Perhitungan dari budget privat usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ dijelaskan pada Lampiran 6. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 6, dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan privat usaha penggemukan sapi potong PT XYZ sebesar Rp 21 096 000 000, biaya input tradable sebesar Rp 7 520 278 167, dan biaya privat input domestik Rp 12 555
37
739 029. Oleh karena itu diperoleh hasil keuntungan privat sebesar Rp 1 019 982 805 yang merupakan selisih dari total penerimaandan total biaya (tradable dan faktor domestik). Baris kedua merupakan estimasi keuntungan sosial atau daya saing dalam keunggulan komparatif yang tercermin dari keuntungan sosial. Perhitungan dari budget sosial usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dijelaskan pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah penerimaan sosial usaha penggemukan sapi potong PT XYZ sebesar Rp 17 280 000 000, kemudian biaya input tradable sebesar Rp 7 409 887 687, dan biaya input domestik sebesar Rp 8 474 802 229, sehingga diperoleh keuntungan sosial sebesar Rp 1 395 310 084. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah yang berlaku. Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Berdasarkan perhitungan budget privat dan sosial tersebut, kemudian diperoleh Tabel PAM usaha penggemukan sapi potong yang menggambarkan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ. Adapun hasil tabulasi dasar matriks kebijakanpemerintah pada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Penggemukan Sapi Potong PT XYZ tahun 2015 Biaya Uraian Penerimaan Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik Private 21 096 000 000 7 520 278 167 12 555 739 029 1 019 982 805 Sosial 17 280 000 000 7 409 887 687 8 474 802 229 1 395 310 084 Divergensi 3 816 000 000 110 390 480 4 080 936 799 -375 327 279 Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ memiliki daya saing pada harga privat dan sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai Keuntungan Privat (Privat Provit/PP) dan Keuntungan Sosial (Social Provit/SP) sebesar Rp 1 019 982 805 dan Rp 1 395 310 084. Besar nilai PP dan SP menunjukkan besar penerimaanyang diterima perusahaan setelah membayar semua biaya input produksi. Nilai keuntungan sosial lebih besar dibanding nilai keuntungan private, hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ merugikan bagi perusahaan. Dijelaskan pada tabel 6, bahwa angka divergensi dari keuntungan privat dengan keuntungan sosial adalah -375 327 279, artinya adalah perusahaan mendapatkan kehilangan pendapatan sebesar 375 327 279 ketika kebijakan pembatasan volume impor sapi diberlakukan. Oleh sebab itu dengan dibatasinya keran impor sapi bakalan dari luar negeri menyebabkan terbatasnya pula input yang dibutuhkan oleh perusahaan yang menggunakan sapi bakalan impor sebagai inputnya, dengan demikian perusahaan - perusahaan sejenis dituntut untuk mampu mengeluarkan strategi yang paling tepat dalam kondisi saat ini.
38
Divergensi atau selisih antara penerimaan privat dan sosial bernilai positif, penerimaan privat berada pada angka Rp 21 096 000 000 sedangkan penerimaan sosial berada pada angka 17 280 000 000, perbedaan harga privat dan sosial ini diindikasikan karena adanya kebijakan pemerintah berupa penetapan kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan sebagai input produksi. Pembatasan tersebut menyebabkan supply sapi bakalan impor berkurang, sehingga permintaanakan sapi bakalan domestik meningkat dan harga sapi bakalan domestik naik. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah berupa pembatasan volume impor sapi bakalan merugikan bagi perusahaan seperti PT XYZ. Divergensi atau selisih antara biaya input tradable privat dan sosial juga bernilai positif yaitu Rp 7 520 278 167 untuk biaya privat input tradable dan Rp 7 409 887 687 untuk biaya sosial input tradable. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah, usaha penggemukan sapi potong PT XYZ harus membayar harga lebih tinggi dari harga ekonominya atau harga aktualnya. Kemudian divergensi atau selisih antara biaya faktor domestik privat dan sosial juga bernilai positif yaitu sebesar Rp 12 555 739 029 untuk biaya privat input domestik dan Rp 8 474 802 229 untuk biaya sosial input domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan sapi potong PT XYZ harus mengeluarkan biaya lebih atas input domestik dibanding dengan biaya input domestik secara ekonomi.
Indikator-Indikator PAM pada Usaha Panggemukan Sapi Potong PT XYZ pada tahun 2015 Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah seperti peraturan menteri dan undang-undang yang berhubungan dengan impor sapi bakalan secara signifikan mempengaruhi perusahaan yang menggunakan input sapi impor untuk digemukan, tidak terkecuali PT XYZ yang menggunakan 100 persen input sapi bakalan yang berasal dari Australia juga terkena dampaknya. Kesulitan mendapatkan akses untuk kuota impor yang sesuai dengan keadaan biasanya menyebabkan perusahaan harus mampu mengatasi keadaan dengan strategistrategi yang tepat. Setelah dilakukan analisis kebijakan dan daya saing menggunakan metode PAM maka munculah indikator-indikator yang menjelaskan tentang keadaan PT XYZ pada tahun 2015. Tabel indikator PAM PT XYZ dilampirkan dalam Tabel 10 berikut. Tabel 10 Indikator-indikator PAM pada PT XYZ tahun 2015 No Indikator Analisis Daya Saing Keuntungan Private 1 Keuntungan Sosial 2 Rasio Biaya Private (PCR) 3 Rasio Biaya Sumber Daya Domestik 4 (DRC) Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output
Nilai 1 019 982 805 1 395 310 084 0.925 0.859
39
Indikator Transfer Output (TO) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Dampak Kebijakan Input Transfer Input 7 Koefisien Proteksi Input Nominal 8 (NPCI) Transfer Faktor 9 Kebijakan Input-Output 10 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 11 Transfer Bersih (NT) 12 Koefisien Keuntungan (PC) 13 Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) No 5 6
Nilai 3 816 000 000 1.22
110 390 480 1.01 4 080 936 799 1.38 -375 327 279 0.73 -0.022
Tabel 10 menunjukkan indikator mulai dari indikator daya saing usaha sampai dengan dampak dari kebijakan pemerintah yang berlaku terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ. Analasis daya saing dapat dilihat dari dua indikator antara lain, indikator keunggulankompetitif yaitu Keuntungan Privat (Privat Provit/PP) dan Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio/PCR). Keunggulan komparatif dapat diukur dari indikator KeuntunganSosial (Social Provit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC). Keunggulan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ ditunjukkan oleh nilai Keuntungan Privat/Private Price (PP) dan Rasio Biaya Privat/Private Coefecient Ratio (PCR). Adapun nilai keuntungan privat untuk usaha penggemukan sapi potong tersebut bernilai positif yaitu Rp 1 019 982 805 dan 0.925. Dengan demikian, sistem usaha penggemukan sapi potong PT XYZ menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Sementara itu, nilai PCR di PT XYZ adalah 0.925, hal ini mempunyai arti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah ouput sebesar satu satuan pada harga privat di PT XYZ, diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu satuan yaitu sebesar 0,925.Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh atau dapat dibilang semakin mendekati nol, maka akan semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan nilai PCR tersebut, dengan menggunakan input berupa sapi bakalan impor, sistem usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dapat dikatakan efisien sacara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif adalah salah satu indikator untuk menilai apakah usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ memiliki dayasaing dan mampu bertahan tanpa adanya intervensi pemerintah. Keunggulan komparatif dapat dilihat dari keuntungan sosial/Social Provit (SP) dan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC). Keuntungan sosial pada usaha penggemukan sapi potong ini berada pada angka Rp 1 395 310 084. Hal ini berarti usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ memiliki keuntungan sebesar angka tersebut saat tidak adanya intervensi dari pemerintah. Adapun nilai DRC pada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ yaitu 0.859. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki keunggulan komparatif karena nilai DRC <1, memiliki keunggulan komparatif berarti PT XYZ mampu menggunakan SDM yang ada secara optimal untuk mencapai tujuan perusahaan. Dengan
40
demikian, PT XYZ bisa dikatakan tetap mampu bersaing dengan perusahaan lain ketika ada atau tidak adanya intervensi dari pemerintah, pemanfaatan SDM dengan baik dan juga efisien telah mampu dilakukan oleh PT XYZ. Setelah melihat indikator dari bagian daya saing, analisis PAM juga mampu memberikan indikasi analisis kebijakan pemerintah terhadap usaha sapi potong PT XYZ. Kebijakan pemerintah dalam output dapat dilihat dari dua indikator yaitu transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (Nominal Protection Coefficient Outputs/NPCO). Nilai transfer output yang dihasilkan pada usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ yaitu Rp 3 816 000 000. Hal ini berarti masyarakat atau konsumen membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Dengan kata lain, masyarakat memberikan insentif terhadap PT XYZ dengan adanya kebijakan pemerintah. Nilai Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar harga domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial, bila NPCO>1, berarti harga domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) dan berarti usaha yang sedang diteliti menerima proteksi. Nilai NPCO yang dihasilkan pada usaha sapi potong di PT XYZ yaitu 1.22, artinya karena adanya pembatasan volume impor sapi bakalan nilai output dari PT XYZ lebih tinggi dari seharusnya sekitar 22 persen dari yang seharusnya. Hal ini berarti pemerintah memberikan proteksi pada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ dengan cara menaikkan harga output di atas harga efisiensinya. Kebijakan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan output saja, melainkan juga kebijakan yang berkaitan dengan input. Penerapakan kebijakan berupa pembatasan volume impor sapi bakalan merupakan kebijakan yang sebenarnya dilakukan pemerintah untuk melindungi produsen atau dalam hal ini adalah peternak yang berada di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap input produksi dapat dilihat darinilai transfer input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Nominal pada Input (Nominal Protection Coefficient on Inputs/NPCI). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input (TI) yang dihasilkan untuk usaha sapi potong PT XYZ adalah Rp 110 390 480. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan harga input tradable yang harus dikeluarkan pada harga ekonomi. Dengan kata lain, harga sosial input tradable lebih rendah dari harga privatnya, sehingga PT XYZ membayar input lebih besar Rp 110 390 480 dari kondisi seharusnya akibat divergensi pemerintah. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar harga domestik dari input tradable berbeda dengan harga sosialnya. Bila NPCI>1 artinya biaya input domestik lebih mahal dari biaya input pada tingkat harga dunia. Dengan kata lain, sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada, sedangkan jika nilai NPCI<1 maka seolah-olah sistem disubsidi oleh kebijakan yang ada. Nilai NPCI yang diperoleh pada usaha sapi potong PT XYZ adalah 1.01 yang berarti pemerintah meningkatkan harga input tradable di pasar domestik sebesar satu persen dari harga seharusnya. Peningkatan harga input yang dialami oleh PT XYZ adalah karena terdapatnya pajak impor serta pajak-pajak lainnya. Nilai NPCI>1 menunjukkan adanya proteksi
41
pemerintah terhadap produsen input tradable di pasar domestik. Dengan kata lain, adanya proteksi terhadap produsen input tradable dalam negeri akan berdampak kepada PT XYZ sebagai sektor yang menggunakan input sapi bakalan impor dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Transfer faktor (TF) adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh PT XYZ untuk pembayaran faktor produksi domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 4 080 936 799 yang menunjukkan bahwa harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input domestik. Kondisi ini mengakibatkan PT XYZ sebagai salah satu usaha penggemukan sapi potong harus membayar input domestik lebih mahal dari harga sosialnya, sementara produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 4 080 936 799. Analisis berikutnya adalah analisis kebijakan Input-Output yang merupakan analisis gabungan antara analisis input dan output. Analisa kebijakan input-output antara lain Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/ EPC), Transfer Bersih (Net Transfer/TB), Koefisien keuntungan (Profitability Coefficient/ PC), dan Rasio Subsidi Produsen (Subsidiy Ratio to Producer/SRP). Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator yang bertujuan untuk menunjukkan dampak transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan, baik transfer output tradable maupun transfer input tradable. Nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu 1.38 yang artinya bahwa adanya proteksi pemerintah dalam sistem usaha penggemukan sapi potong. Diindaksikan bahwa dampak kebijakan pemerintah secara tidak langsung memberikan dukungan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong dengan menetapkan harga output di atas harga efisiensinya atau dengan kata lain usaha penggemukan sapi potong PT XYZ menerima insentif dari konsumen. Secara umum, nilai EPC lebih dari satu mengandung arti bahwa terdapat kebijakan pemerintah terhadap harga output dan input yang efektif melindungi usaha penggemukan sapi potong. Transfer bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengankeuntungan bersih sosialnya. Nilai transfer bersih di lokasi penelitian adalah lebih kecil dari nol yaitu Rp -375 327 279 yang berarti adanya keuntungan yang hilang untuk PT XYZ yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai tersebut juga mencerminkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output akan menghilangkan surplus usaha penggemukan sapi potong PT XYZ sebesar Rp -375 327 279. Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing atau tradable, dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang dihasilkan pada penelitian ini bernilai kurang dari satu yaitu 0.73. Angka tersebut menunjukkan keuntungan privat yang diterima PT XYZ lebih kecil dari keuntungan bersih sosialnya. Artinya kebijakan pemerintah yang ada mengakibatkan keuntungan yang diterima lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
42
Rasio subsidi produsen (Subsidiy Ratio to Producer/SRP) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer. SRP itu sendiri adalah ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output (output tarif equivalent). Seandainya seluruh transfer dampak dilakukan melalui tarif impor, berapa tarif yang harus dikenakan. Rasio ini merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. Nilai SRP juga menunjukkan sejauh mana pendapatan dari sistem meningkat atau menurun karena pengaruh transfer. Bila kegagalan pasar tidak signifikan, maka SRP memperlihatkan dampak bersih dari kebijakan yang distortif atas sistem. Nilai SRP yang diperoleh pada penelitian ini adalah -0.022 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan usaha penggemukan sapi potong PT XYZ mengeluarkan biaya lebih tinggi sekitar 2.2 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang ada secara tidak langsung merugikan bagi pengembangan dan peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT XYZ.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1
2
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian di PT XYZ ini adalah : Kebijakan pemerintah tentang pembatasan volume impor sapi terbukti sangat berpengaruh kepada usaha penggemukan sapi potong PT XYZ. Hal tersebut dapat dijelaskan dari hasil perhitungan struktur biaya PT XYZ. Penggunanaan input sapi impor yang menurun karena adanya kebijakan menyebabkan kerugian bagi perusahaan, karena dengan demikian perusahaan tetap mengeluarkan biaya tetap sebesar kapasitas yang seharusnya tetapi hanya mampu memproduksi kurang dari kapasitas seharusnya, atau dengan kata lain perusahaan harus membayar biaya tetap untuk 5000 ekor sapi untuk memproduksi 3700 ekor sapi. Dampak dari kebijakan pemerintah tentang pembatasan volume impor sapi terhadap bisnis sapi potong PT XYZ mendapati hasil yang merugikan. Hal tersebut dijelaskan dari beberapa indikator hasil perhitungan alat analisis PAM diantaranya yaitu PCR
43
Saran 1
2
Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan terbukti sangat mempengaruhi daya saing usaha penggemukan sapi potong. Kebijakan ini diharapkan disikapi dengan positif oleh peternak sapi potong di Indonesia dengan cara meningkatkan efisiensi dalam berproduksi serta mensubtitusi input yang masih bergantung dari impordengan penggunaan sumberdaya lokal. Sehingga dengan demikian dapat diharapkan produsen sapi bakalan dalam negeri dapat memenuhi permintaan yang ada. Tidak hanya memenuhi kuantitas namun peningkatan kualitas sapi dalam negeri juga perlu, dengan demikian perusahaan penggemukan sapi potong seperti PT XYZ tidak perlu pusing ketika suatu saat perusahaan tidak mendapatkan input sapi berupa sapi impor. Tetapi tidak dipaksakan ketika perbedaan yang terjadi adalah kebutuhan akan jenis sapi tertentu yang memang harus melakukan impor. Dengan adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan, dari sisi pemerintah diharapkan mengimbanginya dengan kebijakan lain yaitu dengan adanya upaya nyata dalam hal pengembangan peternakan lokal yang terpadu. Adapun upaya yang dilakukan yaitu melalui peningkatan populasi dan produktivitas ternak sapi yang mengarah kepada pemberdayaan sumberdaya lokal dan secara sinergi melibatkan peran swasta dan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat menuju tercapainya peningkatan ketersediaan daging sapi produksi lokal yang optimal dan berkelanjutan seperti tujuan utama Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014) yaitu kegiatan ini diharapkan tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional namun jugapeningkatan pendapatan petani lokal.
44
DAFTAR PUSTAKA Achmad Firman. 2001. Peran Subsektor Peternakan Dalam Struktur Perekonomi an Indonesia (Analisis Input-Output).Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian.InstitutPertanian Bogor. Bogor. Audio dkk,2014.Analisis Dampak Kebijakan Kuota Impor Sapi Terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Kasus Pt GGLC Lampung).Universitas Brawijaya.Malang Nyak Ilham.2010.Kebijakan Pengenalan Harga Daging Sapi Nasional.Pusat Analisis Ekonomi Sosial dan Kebijakan Pertanian.Bogor ___________2010. Blue PriPrioritas Pencapaian Swasem Sapi (PSDS) tahun 2014. Direktoral Jendral Peternakan. Jakarta. Depdag.2008.Rapat Pembahasan Harga Daging Sapi.Makalah.Departemen Perdagangan, Jakarta Aliyatillah FM. 2009. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Kakao [skripsi]. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan
Pusat Statistika. 2015. Tabel Impor Daging Sapi Indonesia. http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/101[13 Februari 2016].
Detiknews.com. http://m.detiknews.com-Kebijakan Impor Daging Sapi dan Ketahanan Pangan (08/05/2011). Diakses: 25 Agustus 2016, jam 15.09 WIB. Direktorat Jendral Peternakan. 2015. Tabel Konsumsi Produk Peternakan Indonesia Tahun 2010-2014. http://www.bappenas.go.id/files/1313/ 5098/8840/bab-4.pdf [13 Februari 2016]. ________________________. 2010. Blue Print Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Fred R. David. 2009. Strategic Management. Salemba Empat, Jakarta Hady, Hamdy. 2009. Ekonomi International : Teori dan Kebijakan Perdagangan International.Ghalia Indonesia. Jakarta Kementrian Pertanian. 2015. Data Impor per Provinsi. http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/ index.php?option=com_content& view=article&id=4057 [15 Februari 2016] [Kementan] Kementrian Peternakan. Data Produksi Sapi Potong Indonesia. ditjennak.pertanian.go.id [15 Februari 2016]
45
Kuraisin V. 2006. Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajurhalang. Kecamatan Cijeruk. Kabupaten Bogor) [skripsi]. Departemen Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monke and Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornel University Press, New York. Mudrajad K. 2005. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Erlangga, Jakarta. Nhimas A. 2011. ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)[skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta. _______ D. 2013. International Economic. 11th edition. Fordham University. USA.
2
LAMPIRAN
39
Lampiran 1 Harga Privat PT XYZ tahun 2015 N o 1 2
4
Uraian
Satuan
Jumlah
Harga / Satuan
Biaya per siklus
Biaya per tahun
Sapi bakalan 300-350 kg Hijauan
kg 360 000
33 830
12 178 800 000
48 715 200 000
kg
562 500
4 000
2 250 000 000
9 000 000 000
Konsentrat
kg
1 350 000
3 000
4 050 000 000
16 200 000 000
Dovenix
botol
225 000
4 372
983 750 000
3 935 000 000
Abendazol
butir
112 500
500
56 250 000
225 000 000
Minyak nabati
liter
33 750
10 500
354 375 000
1 417 500 000
Obat nyamuk
pack
50
6 000
300 000
1 200 000
19 873 475 000
79 493 900 000
TOTAL BIAYA
Keterangan : - Jumlah produksi 1250 ekor persiklus - Kapasitas Produksi sebelum terkena dampak pembatasan impor = 5000 ekor sapi - Harga hijauan 25kg = Rp 10 000 - Harga Pakan konsentrat 1kg = Rp 1 500 Lampiran 2 Harga bayangan PT XYZ tahun 2015 Harga bayangan output Sapi bobot 400-450 kg Nilai CIF (USS / kg) SER (Rp / USS) Nilai CIF (Rp / kg) Biaya distribusi ke pedagang besar (Rp / kg) Harga Bayangan Sapi Bakalan (Rp/ kg) Harga privat (Rp/ kg) Pajak impor (Rp/kg) Harga Bayangan (Rp / kg) Harga bayangan input SAPI BAKALAN Nilai CIF (USS / kg) SER (Rp / USS) Nilai CIF (Rp / kg) Biaya distribusi ke pedagang besar (Rp / kg) Harga Bayangan Sapi Bakalan (Rp/ kg) HIJAUAN Harga Bayangan Hijauan (Rp/ kg)
Nilai 3.7 13709.68 50725.83 0 + 50725.83 46000 2050 43950
2.2 13709.68 30161.31 0+ 30161.31
4000
40
Lampiran 3 Harga bayangan PT XYZ tahun 2015 (lanjutan) Harga bayangan output KONSENTRAT Harga Bayangan Konsentrat (Rp/ kg)
Nilai 3000
DOVENIX Harga aktual (Rp / botol) Bea masuk (5%) PPN (10%) Harga Bayangan( Rp / botol)
4372 218.61 437.22 3716.4
AVENDAZOL Harga aktual (Rp / butir) Bea masuk (5%) PPN (10%) Harga Bayangan( Rp / butir)
500 25 50 425
MINYAK NABATI Harga Bayangan Minyak Nabati (Rp/ liter)
10500
OBAT NYAMUK Harga aktual (Rp / pack) Bea masuk (5%) PPN (10%) Harga Bayangan( Rp / pack) TKLK Harga aktual = harga bayangan Keterangan : - Bea masuk 5% berdasarkan Permenkeu No 241 Th 2010 - PPN 10% berdasarkan PP no 7 tahun 2007 - Harga bayangan output didapat melalui perhitungan terlampir karena adanya keterbatasan dalam mengakses data. - Harga rupiah terhadap dollar tercatat tahun 2015
6000 300 600 5100
41
41
Lampiran 4 Biaya aset privat PT XYZ tahun 2015 No
1 2 3 4 5 6
Uraian
Ember Sabit Sekop Kereta dorong Selang Suntikan dan selang TOTAL PENYUSUTAN
Satuan
Jumla h
Unit Unit Unit Unit Meter Unit
20 7 7 3 10 5
Harga / Satuan 25000 50000 50000 300000 11000 275000
Umur Ekonomis (Tahun)
Nilai sisa (Rupiah) 2 3 3 5 2 2
0 10000 10000 50000 25000 0
Biaya
500000 350000 350000 900000 110000 1375000
Penyusutan per tahun
Peny per bulan
Peny per siklus
250000 113333.3333 113333.3333 170000 42500 687500
20833.33 9444.44 9444.44 14166.67 3541.67 57291.67
62500 28333.33 28333.33 42500.00 10625.00 171875.00
1376666.667
114722.22
344166.67
Keterangan : - Penyusutan = (HB - NS) / UE - Siklus produksi 4 bulan - 1 tahun = 3 siklus
41
42 42
Lampiran 5 Biaya aset bayangan PT XYZ tahun 2015 No Uraian
1 2 3 4 5 6
Ember Sabit Sekop Kereta dorong Selang Suntikan dan selang TOTAL
Satua n
Jumlah
Harga / Satuan
Unit Unit Unit Unit Meter Unit
20 7 7 3 10 5
22500 45000 45000 270000 9900 247500
Keterangan : - Penyusutan = (HB - NS) / UE - Siklus produksi 4 bulan - 1 tahun = 3 siklus
42
Umur Ekonomis (Tahun) 2 3 3 5 2 2
Nilai sisa Biaya (Rupiah)
Penyusutan per tahun
Peny per bulan
0 10000 10000 50000 25000 0
225000 101666.67 101666.67 152000 37000 618750
18750 8472.22 8472.22 12666.67 3083.33 51562.5
1236083.33
103006.94
450000 315000 315000 810000 99000 1237500
Peny per siklus 12 12 12 12 12 12
56250 25416.67 25416.67 38000 9250 154687.5 309020.8
3 3 3 3 3 3
43
43
Lampiran 6 Biaya budget privat PT XYZ persiklus tahun 2015 Jenis Input
Satuan
Jumlah
Privat Harga (Rp/satuan)
Penerimaan Sapi potong 400-450kg Total Penerimaan Pengeluaran Sapi bakalan 300-350 kg Pakan Hijauan Konsentrat Obat-obatan Dovenix Abendazol Minyak nabati Obat nyamuk Penyusutan alat Ember Sabit Sekop Kereta dorong Selang Suntikan dan selang Biaya TKLK Anak kandang Supervisor Manajer Office Total Biaya Keuntungan
Nilai (Rp)
Domestik / Non Tradable (Rp)
Asing / Tradable (Rp)
kg
480 000
43 950
21 096 000 000 21 096 000 000
21 096 000 000
0
kg
360 000
33 830
12 178 800 000
0
12 178 800 000
kg kg
562 500 1 350 000
4000 3000
2 250 000 000 4 050 000 000
2 250 000 000 4 050 000 000
0 0
225 000 112 500 33 750 50
4372,22 500 10 500 6000
983 750 000 56 250 000 354 375 000 300 000
695 806 375 39 785 625 282 330 562,5 21 2190
287 943 625 16 464 375 72 292 500 87 810
20 7 7 3 10 5
3125 4047,61 4047,61 14 166,6 1062,5 34375
62 500 28 333,33 28 333,33 42 500 10 625 171 875
54 893,75 10 100,83 10 100,83 29 924,25 9331,93 79062,5
7606,25 18 232,5 18 232,5 12 541,75 1293,06 92812,5
1860 60 60 1140
40 000 79 166,66 83 333,33 103 333,33
74 400 000 4 750 000 5 000 000 117 800 000 20 075 769 167
74 400 000 4 750 000 5 000 000 117 800 000 7 520 278 167
0 0 0 0 12 555 739 029
botol butir liter pack Unit Unit Unit Unit Meter Unit HOK/siklus HOK/siklus HOK/siklus HOK/siklus
1 020 230 833
Keterangan : Jumlah Produksi pada perhitungan private untuk 5000 ekor sapi atau 1200 ekor per siklus
43
44
44
Lampiran 7 Budget sosial PT XYZ persiklus tahun 2015 Jenis Input
Satuan
Sosial Harga (Rp/satuan)
Penerimaan Sapi potong 400-450kg Total Penerimaan Pengeluaran Sapi bakalan 300-350 kg Pakan Hijauan Konsentrat Obat-obatan Dovenix Abendazol Minyak nabati Obat nyamuk Penyusutan alat Ember Sabit Sekop Kereta dorong Selang Suntikan dan selang Biaya TKLK Anak kandang Supervisor Manajer Office Total Biaya Keuntungan
Nilai (Rp)
Domestik / Non Tradable (Rp)
Asing / Tradable (Rp)
kg
48 000
17 280 000 000 17 280 000 000
17 280 000 000
0
kg
30 161,3
8 143 552 863
0
814 3552 863
kg kg
4000 3000
2 250 000 000 40 50 000 000
2 250 000 000 4 050 000 000
0 0
botol butir liter pack
3716,38 425 10 500 5100
836 187 500 47 812 500 354 375 000 255 000
591 435 418,8 33 817 781,25 28 233 0562,5 18 0361,5
244 752 081,3 13 994 718,75 72 292 500 74 638,5
0 0 0 0 0 0
2812,5 3630,95 3630,95 12 666,6 925 30 937,5
56 250 25 416,67 25 416,67 38 000 9250 15 4687,5
49 404,37 9061,04 9061,04 26 755,8 8124,27 71 156,25
6845,62 16 355,65 16 355,62 11 213,8 1125,725 83 531,25
40 000 79 166,67 83 333,33 103 333,33
74 400 000 4 750 000 5 000 000 117 800 000 15 884 441 884 1 395 558 116
74 400 000 4 750 000 5 000 000 117 800 000 7 409 887 687
0 0 0 0 8 474 802 229
HOK/siklus HOK/siklus HOK/siklus HOK/siklus
Keterangan : Jumlah Produksi pada perhitungan sosial untuk 3700 ekor atau 925 ekor per siklus karena terkena dampak kebijakan
48
45
Lampiran 8 Alokasi komponen domestik dan asing No 1
2 3
4
5
Jenis
Domestik (Persen)
Ouput Sapi bobot 400-450 kg Input Sapi bakalan Pakan Hijauan Konsentrat Obat-obatan Dovenix Abendazol Minyak Nabati Obat nyamuk Aset Ember Sabit Sekop Kereta dorong Selang Suntikan dan selang TKLK
Lampiran 9 Shadow exchange rate (SER) tahun 2015 Uraian Total Nilai Ekspor (Xt) Total Nilai Impor (Mt) Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) Penerimaan Pajak Impor (TMt) Nilai Tukar Rupiah/ US$ Xt + Mt Xt - TXt Mt + TMt SCFt SER (Rp / US$)
Asing (Persen)
100
0
0
100
100 100
0 0
70.73 70.73 79.67 70.73
29.27 29.27 20.4 29.27
87.83 35.65 35.65 70.41 87.83 46 100
12.17 64.35 64.35 29.51 12.17 54 0
Nilai (Rp Milyar) 2073144.3 1968474.8 12053 37203.9 13795 4041619.1 2061091.3 2005678.7 0.994 13709.68
46
Lampiran 10 Biaya HOK pertahunPT XYZ tahun 2015 Jml TK
Anak kandang Supervisor Manajer Office Jumlah
Jam Kerja
Jml Hari Kerja
31
8
240
HOK/ Tahun 8503
1 1 19
8 8 8
240 240 240
274 274 5211
Biaya/ Tahun
Biaya HOK/Tahun
40000
340114285.71
79167 83333 103333
21714285.71 22857142.86 538514285.71 923200000
Keterangan : - 1 hari = 8 jam kerja - 1 minggu = 5 hari kerja - 1 bulan = 20 hari kerja - 1 tahun = 240 hari kerja Lampiran 11 Biaya HOK persiklus PT XYZ tahun 2015
Anak kandang Supervisor Manajer Office Jumlah
Jml TK 31
Jam Kerja 8
Jml Hari Kerja 60
HOK/ Siklus 1860
1 1 19
8 8 8
60 60 60
60 60 1140
Keterangan : - 1 hari = 8 jam kerja - 1 minggu = 5 hari kerja - 1 bulan = 20 hari kerja - 1 tahun = 240 hari kerja
Biaya TK 40000.00 79166.67 83333.33 103333.33
Biaya HOK/musim 74400000.00 4750000.00 5000000.00 117800000.00 201950000
RIWAYATHIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 21 Oktober 1993 dengan nama Farizan Kemal Adzhani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Dwi Yunanto dan Ibu Rita Angraini. Pada tahun 2011 Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 10 Kota Bogor. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan di program Diploma Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Keahlian Manajemen Agribisnis melalui jalur test tertulis. Pada tahun 2014 penulis lulus program Diploma IPB dengan predikat Sangat Memuaskan. Tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan strata satu pada program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama Menempuh pendidikan pada program Sarjana Alih Jenis Agribisnis, penulis aktif dalam kegiatan Futsal dan organisasi FASTER (forum of agribusiness transfer student) sebagai anggota departemen PSDMKegiatan-kegiatan non-formal yang penulis pernah ikuti diantaranya adalah pelatihan software sebagai salah satu pengawas server di salah satu instansi.