ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)
Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K. WAGIONO Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung
rendah
karbohidrat
dan
tinggi
protein.
Fenomena
tersebut
mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi dalam negeri. Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut. Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Selain memiliki prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat
permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor. Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe. Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan. Perhitungan nilai tambah pada industri tempe di desa Citeureup dilakukan pada periode produksi Maret 2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah penelitian melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga strukur biaya yang digunakan merupakan struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga puluh. Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan
bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja (8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa tempat (0,75 persen). Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe. Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu, industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu. Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540. Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di
daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1). Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)
MERIKA SONDANG SINAGA A14304029
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)
Nama
: Merika Sondang Sinaga
Nomor Registrasi Pokok : A14304029
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Yayah K. Wagiono, MEc NIP. 130 350 044
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian, IPB
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
Merika Sondang Sinaga A14304029
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga dan Maria Turnip. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB. Selama pendidikan, penulis aktif di beberapa kegiatan kampus. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Pelayanan Khusus sebagai Kepala Bidang Pelayanan Responsi tahun 2006-2007. Pada tahun ajaran 2007-2008 penulis menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan bagi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama industri tempe sangatlah tinggi. Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Mei 2008
Merika Sondang Sinaga A14304029
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-singginya, penulis sampaikan kepada: 1.
Bapa, Putra, dan Roh Kudus untuk penyertaan dan kasih karunia yang penulis boleh rasakan sepanjang hidup. Penulis percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Mu Bapa.
2.
Ayahanda Elyas Sinaga dan Ibunda Maria Turnip atas segala kasih sayang, dukungan, doa, motivasi, serta bimbingan sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang.
3.
Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis selama penyusunan skripsi. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku dosen penguji utama dan Etriya, SP, MM selaku dosen penguji wakil departemen atas saran dan kritik dalam rangka penyempurnaan tugas akhir penulis. Dr. Ir. M. Parulian. Hutagaol selaku dosen pembimbing akademik atas masukan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.
4.
Saudara-saudara penulis yang terkasih: Yohannes Sinaga beserta keluarga, Jonser Sinaga, Ferdinan Sinaga, Fernando Sinaga, Mawar Sari Sinaga. Terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Semoga masing-masing kita menjadi manusia yang berguna dan bisa menjadi saluran berkat bagi lingkungan sekitar.
5.
Rolas TE. Silalahi, Martyanti RB. Sianturi, Lenny J. Sinaga, Marlina TJ. Siahaan, Rocky DF. Silalahi, Jimmy A. Siahaan, dan Natalia atas kebersamaan, sukacita dan persahabatan yang ditawarkan kepada penulis selama pendidikan. Selamat berjuang di dunia yang baru!
6.
Agus Frans Manalu atas dukungan, motivasi, persahabatan dan kasih sayang yang telah diberikan sejak tingkat satu hingga kini. Terimakasih untuk setiap proses yang boleh kita lewati bersama. Semoga apa yang kita jalani bisa menjadikan kita saling membangun, saling mendukung, saling melengkapi dan saling mendewasakan.
7.
Keluarga Atalia: Joel, Sriyo, Waldemar, Lisbhet, Bambang, Natalina, Tio Panta, Bertha, Rhoma, Nonly.
8.
Lestari Girsang, Enie Sidabutar, Mega Indah, Fransius Silitonga atas kebersamaan, keceriaan, dan persahabatannya selama ini. Sukses buat kita semua.
9.
Gadis-gadis cantik di Malibu: Margareth, Grace, Febri, Risma, Yuli, Anggie.
10. Rekan-rekan seperjuangan di EPS angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Sampai bertemu lagi pada 4 Januari 2014! 11. Teman-teman sepelayanan di Kopelkhu yang berperan besar dalam pembentukan karakter penulis. 12. Wanatirta’s crew: Riyanti, Bagus, Arman, Dian Sastrow, Tri Utami. 13. Para pengrajin tempe di Desa Citeurep yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi penulis.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ....................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang............................................................................................. 1 1.2 Perumusan masalah ..................................................................................... 4 1.3 Tujuan penelitian ........................................................................................ 8 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi industri dan agroindusri .............................................................. 10 2.2 Produksi tempe......................................................................................... 11 2.3 Studi terdahulu ......................................................................................... 12 2.3.1 Studi mengenai industri tempe ......................................................... 12 2.3.2 Studi mengenai analisis nilai tambah ............................................... 13 2.3.3 Studi menganai analisis keunggulan kompetitif dan komparatif ....... 14 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka teoritis ..................................................................................... 16 3.1.1 Definisi daya saing ......................................................................... 16 3.1.2 Keunggulan komparatif .................................................................. 16 3.1.3 Keunggulan kompetitif ................................................................... 18 3.1.4 Kebijakan pemerintah ..................................................................... 19 3.1.4.1 Kebijakan output ................................................................. 22 3.1.4.2 Kebijakan input ................................................................... 26 3.1.5 Policy Analysis Matix ..................................................................... 28 3.1.6 Harga bayangan .............................................................................. 33 3.1.7 Sensitivitas ..................................................................................... 34 3.1.8 Konsep nilai tambah ....................................................................... 34 3.2 Kerangka Operasional ............................................................................ 35
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan waktu penelitian ................................................................... 39 4.2 Jenis dan sumber data ............................................................................. 39 4.3 Metode pengumpulan data...................................................................... 39 4.4 Metode analisis data ............................................................................... 40 4.4.1 Analisis nilai tambah ...................................................................... 40 4.4.2 Policy Analysis Matrix ................................................................... 41 4.4.3 Analisis sensitivitas ........................................................................ 47 V GAMBARAN UMUM 5.1 Kondisi umum Kabupaten Bogor ............................................................ 48 5.2 Kondisi umum Desa Citeureup ................................................................ 49 5.3 Kondisi umum industri tempe di Desa Citeureup ..................................... 50 5.3.1 Karakteristik responden ................................................................... 50 5.3.2 Keragaan bahan baku....................................................................... 53 5.3.3 Gambaran kegiatan produksi ........................................................... 56 5.3.4 Pemasaran ....................................................................................... 60 VI PEMBAHASAN 6.1 Analisis nilai tambah pada indusatri tempe di Desa Citeureup. .................. 62 6.2 Analisis daya saing indusatri tempe di Desa Citeureup .............................. 66 6.2.1 Analisis keunggulan kompetitif ........................................................ 68 6.2.2 Analisis keunggulan komparatif........................................................ 69 6.2.3 Analisis kebijakan pemerintah .......................................................... 70 6.3 Analisis sensitivitas pada indusatri tempe di Desa Citeureup .................... 74 VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 78 7.2 Saran ......................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80
DAFTAR TABEL No.
Hal
1.
Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari (dalam gram)
2.
Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1997-2006
3.
2
Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 2003-2006
4.
1
3
Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Industri Olahan Kabupaten Bogor Januari 2008
7
5.
Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008
7
6.
Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi
20
7.
Matriks Analisis Kebijakan (PAM)
29
8.
Kerangka Analisis Nilai Tambah
41
9.
Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor tahun 2003-2006
49
10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
50
11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
51
12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha
51
13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha
52
14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
52
15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja
53
16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari 17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar
56 61
18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa Citeureup Maret 2008
64
19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg)
67
20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup
67
21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen.
76
22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi Harga Output Naik 46 Persen.
77
DAFTAR GAMBAR No. 1.
Hal. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor (S+PI) dan (S+CI).
2.
24
Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor (S+PE) dan (S+CE).
25
3.
Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor
26
4.
Pajak dan subsidi pada input tradable.
27
5.
Pajak dan subsidi pada input non tradable.
28
6.
Bagan kerangka pemikiran operasional
38
7.
Proses perebusan kedelai
56
8.
Kedelai dicuci dan diberi ragi
57
9.
Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik
58
10.
Tempe diperam dan siap dipasarkan
58
11.
Persentase empat komponen biaya penting dalam industri tempe
63
DAFTAR LAMPIRAN No.
Hal
1.
Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik Asing
2.
Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate (SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah)
3.
83
Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari
4.
82
84
Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari
85
5.
Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan
86
6.
Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kg Per Hari Maret 2008 (Rp/kg)
7.
87
Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen
8.
88
Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen
9.
89
Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen dan Harga Output Naik 46 Persen
10.
90
Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen
11.
91
Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen
91
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena perubahan pola pangan tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Hal ini tercermin pada tabel berikut. Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari Uraian Konsumsi (gram) 1999 2002 2005 Perkotaan (rural) 48,61 56,55 59,33 Perdesaan (urban) 51,68 56,05 57,84 Rural + Urban 50,21 56,31 58,63 Sumber: BPS, 2007
2007 59,69 58,95 59,38
Kedelai tergolong ke dalam kategori “secondary crop” atau sebagai tanaman pangan kedua setelah padi. Komoditi ini merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat (Amang, 1996). Jumlah permintaan terhadap kedelai meningkat baik untuk pemenuhan kebutuhan protein nabati bagi konsumsi pangan masyarakat, bagi kebutuhan bahan baku industri olahan maupun bagi bahan pakan ternak. Pertumbuhan permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan di sisi lain produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi
tersebut. Sejak tahun 2000-2006, produksi kedelai domestik terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan berkurangnya luasan panen. Luasan panen yang berkurang didukung pula oleh faktor iklim Indonesia yang kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pada dasarnya, kedelai merupakan tanaman subtropis yang membutuhkan lama penyinaran yang panjang. Hal ini tidak ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan Indonesia dalam hal penyediaan kebutuhan kedelai dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1997-2006 Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha) 1997 1.119.079 1.356.891 12,13 1998 1.095.071 1.305.640 11,92 1999 1.151.079 1.382.848 12,01 2000 824484 1.017.634 12,34 2001 678.848 826.932 12,18 2002 544.522 673.056 12,36 2003 526.796 671.600 12,75 2004 565.155 723.483 12,80 2005 621.541 808.353 13,01 2006 580.534 747.611 12,88 Sumber: BPS, 2007 Kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi total kebutuhan masyarakat. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 3540 persen melalui produksi dalam negeri. Rata-rata impor kedelai selama tahun 2000-2005 mencapai 1,218 juta ton atau senilai US $358,366 juta. Nilai impor kedelai yang cukup tinggi mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan devisa
sebesar Rp 3 triliun1. Data perkembangan impor kedelai Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2003-2006 Kedelai (ribu ton) Tahun 2003 2004 2005 2006 Kebutuhan 1.863 1.838 2.184 2.023 Produksi 671 723 808 747 Impor 1.192 1.115 1.376 1.276 Sumber: BPS, 2007 Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan pabrik pakan ternak. Konsumsi kedelai per kapita saat ini berkisar 8 kg/kapita/tahun. Melihat kandungan gizi yang dimiliki, kedelai memiliki potensi yang amat besar sebagai sumber utama protein nabati bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk makanan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk pangan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu : (i) pangan yang diolah melalui proses fermentasi seperti tempe, oncom, tauco, dan kecap; (ii) pangan yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus (Amang, 1996). Kedelai yang didatangkan secara impor banyak digunakan sebagai bahan baku utama pada industri olahan, salah satunya tempe. Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Tempe telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Selain memiliki prospek yang cukup baik akibat selalu adanya permintaan dari pasaran, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri 1
Farid Akwan. 2007. Kedelai Impor Meningkat. http://www.klipingekonomi.com. Diakses tanggal 9 Desember 2007.
tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan keluaran industri pengolahan tersebut (Amang, 1996). Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen2. Kondisi ini tentu terkait erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai, kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka. Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan data dari Badan Pusat Satistik (BPS), produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 671 ribu ton kedelai pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun yang sama, kebutuhan kedelai jauh lebih besar dari nilai tersebut yaitu 1.863 ribu ton. Perbedaan antara jumlah permintaan dengan penawaran kedelai dalam negeri mengkibatkan impor kedelai sebesar 1.192 ribu ton kedelai. Begitu pula dengan tahun 2004, produksi kedelai domestik yaitu 723 ribu ton sedangkan total kebutuhan kedelai sekitar 1.838 ribu ton dan impor kedelai 1.115 ribu ton 2
Anonim. 2007. Rencana Pengenaan Tarif BM Kedelai dapat Membebani Pengusaha Tempe. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 9 Desember 2007.
kedelai. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 2005, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 808 ribu ton dari total kebutuhan kedelai sebanyak 2.184 ribu ton sehingga total impor 1.376 ribu ton kedelai. Tahun 2006 nilai kebutuhan, produksi dalam negeri dan impor kedelai secara berturut-turut adalah 2.023 ribu ton, 747 ribu ton dan 1.276 ribu ton kedelai Fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan kedelai yang mampu dipenuhi melalui produksi dalam negeri hanya sekitar 35-40 persen sedangkan sisanya yaitu sebanyak 60-65 persen dari total kebutuhan masyarakat dipenuhi melalui impor. Padahal permintaan terhadap komoditi tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan serta pengetahuan masyarakat akan kesehatan. Kedelai baik lokal maupun impor digunakan untuk beberapa kepentingan diantaranya konsumsi pangan rumah tangga, sebagai bahan baku industri olahan, serta sebagai pakan ternak. Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri olahan merupakan yang paling tinggi, kemudian pakan ternak dan yang terakhir konsumsi rumah tangga. Tingginya tingkat konsumsi kedelai dalam industri olahan seharusnya diimbangi dengan kegiatan yang mampu menghasilkan nilai tambah yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penelitian ini akan membahas mengenai daya saing industri yang berbahan baku kedelai, dalam hal ini industri tempe. Perlu dianalisis keunggulan komparatif dan kompatitif industri tempe terkait biaya yang harus dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut.
Kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg3. Konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai. Di samping itu, permintaan terhadap tempe cenderung akan tetap ada karena komoditi ini memang telah dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai sumber protein nabati sejak lama. Industri tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga. Jumlah pengusaha tempe yang telah berproduksi selama ini berpengaruh pula pada banyaknya tenaga kerja berpenghasilan rendah yang dapat ditampung oleh industri ini. Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa indusri pengolahan kedelai, termasuk industri tempe. Hal ini tentu berpengaruh pula pada tingginya tingkat kebutuhan
3
Made Astawan. 2007. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 18 Desember 2007
kedelai di daerah tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kebutuhan kedelai untuk industri olahan di Kabupaten Bogor sebanyak 33.960 kg tiap harinya. Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di Kabupaten Bogor No Kecamatan Kebutuhan kedelai (kg/hari) 1 Dramaga 710 2 Cibungbulang 4.985 3 Cisarua 685 4 Citeureup 11.750 5 Leuwiliyang 1.830 6 Ciampea 955 7 Tajurhalang 4.000 8 Ciomas 100 9 Megamendung 480 10 Ciseeng 800 11 Cibinong 1.795 12 Cileungsi 2.760 13 Tamansari 160 14 Parung 2.960 JUMLAH 33.960 Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008. Menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Jumlah ini merupakan jumlah pengrajin yang masih dapat bertahan dengan kondisi naiknya harga bahan baku kedelai akibat penerapan bea masuk impor kedelai pada akhir tahun 2007. Kecamatan Citeureup, khususnya Desa Citeureup merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe. Berikut disajikan data industri tempe yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor.
Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008 No Kecamatan Jumlah industri 1 Cibungbulang 21 2 Cisarua 6 3 Citeureup 100 4 Leuwiliyang 16 5 Ciampea 7 6 Ciseeng 8 7 Cibinong 4 8 Cileungsi 16 9 Parung 8 JUMLAH 202 Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008 Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana dampak kebijkan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. menghitung besaran nilai tambah yang dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor; 2. menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di Kabupaten Bogor;
3. menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor. Adapun kegunaan dari penelitian ini diantaranya sebagai referensi bagi kalangan akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan industri berbahan baku utama kedelai dan bahan pertimbangan serta sumber informasi bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan industri tersebut.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Industri dan Agroindustri Menurut Badan Pusat Statistik (2007), industri pengolahan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Penggolongan industri oleh BPS menurut banyaknya tenaga kerja adalah sebagai berikut: 1. industri besar, dengan jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih; 2. industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang; 3. industri kecil, dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang; 4. industri rumah tangga, dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang. Agroindustri merupakan suatu bentuk kegiatan atau aktifitas yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman maupun hewan. Soekartawi (2000) mendefinisikan agroindustri dalam dua hal, yaitu pertama agroindustri sebagai industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian dan kedua agroindustri sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri. Soekartawi (2000) juga menyebutkan bahwa agroindustri memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya dalam hal meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis, menyerap tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong tumbuhnya industri lain.
Meskipun peranan agroindustri sangat penting, pembangunan agroindustri masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi agroindustri dalam negeri, antara lain: 1) kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu; 2) kurang nyatanya peran agroindustri di perdesaan karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan; 3) kurang konsistennya kebijakan pemerintah terhadap agroindustri; 4) kurangnya fasilitas permodalan (perkreditan) dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat; 5) keterbatasan pasar; 6) lemahnya infrastruktur; 7) kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan; 8) lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir; 9) kualitas produksi dan
prosesing
yang belum
mampu
bersaing; 10) lemahnya
entrepreneurship (Soekartawi, 2000). 2.2 Produksi Tempe Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994). Terdapat dua kelompok vitamin pada tempe, yaitu larut air (Vitamin B kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Selain itu, keistimewaan lain yang
dimiliki tempe adalah mengandung viamin B12 yang umumnya terdapat pada produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah, dan biji-bijian)4. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan oligosakarida penyebab flatulensi. Proses fermentasi yang dilakukan dapat menghilangkan kedua senyawa tersebut sehingga meningkatkan daya cerna kedelai (Cahyadi, 2007). 2.3 Studi Terdahulu 2.3.1 Studi Mengenai Indusri Tempe Studi yang bertujuan untuk menganalisis pendapatan serta nilai tambah yang diciptakan industri tahu dan tempe di Kota Bogor serta kebijakan yang berpengaruh terhadapnya dilakukan oleh Dermawan (1999). Berdasarkan studi tersebut, nilai tambah industri tahu sebesar Rp 2.445,10 per kg kedelai sedangkan nilai tambah industri tempe sebesar Rp 1.741,07 per kg kedelai. Kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini secara konseptual cukup baik namun mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Apretty (2000) melakukan studi mengenai analisis dampak krisis ekonomi pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor. Berdasarkan penelitian Apretty, dampak krisis ekonomi bagi industri tempe di daerah penelitian yaitu penurunan produksi. Nilai tambah yang diciptakan pada saat krisis ekonomi meningkat namun tidak diikuti dengan keuntungan bagi pengusaha tempe. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi krisis ekonomi yaitu melalui diversifikasi produk dan diversifikasi pasar. 4
Anonim. 2007. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe. http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Diakses tanggal 18 Desember 2007.
Berdasarkan penelitian mereka, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap industri tempe secara umum adalah kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, bahan pengemas, bahan bakar, air, listrik, peralatan, dan tenaga kerja. Skala produksi industri tempe pada umumnya tergantung pada ketersediaan bahan baku, permintaan pasar, serta ketersediaan modal. 2.3.2 Studi Mengenai Analisis Nilai Tambah Berbagai studi mengenai analisis nilai tambah telah dilakukan oleh beberapa akademisi. Studi mengenai analisis usaha dan nilai tambah pengolahan ikan pada industri kerupuk ikan/udang di Indramayu dilakukan oleh Apriyadi (2003). Menurut Apriyadi, usaha ini layak untuk dikembangkan dengan nilai R/C atas biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari satu. Berdasarkan analisis nilai tambah dapat disimpulkan bahwa semakin besar output yang diproduksi maka semakin besar nilai tambah yang diperoleh, semakin efisien produsen dalam berusaha, serta semakin besar pula dayasaing tenaga kerja. Analisis nilai tambah pada pengolahan kain tenun sutera alam di Kabupaten Garut dilakukan oleh Muflikh (2003). Untuk menghitung besarnya nilai tambah yang dihasilkan perusahaan, digunakan analisis nilai tambah Metode Hayami. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan perusahaan adalah 60 persen dari nilai output. Penggunaan benang sutera alam dalam negeri memberikan nilai tambah dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan benang sutera impor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kain tenun ikat paling tinggi karena harga jualnya paling mahal. Jati (2005) melakukan studi mengenai analisis pendapatan dan nilai tambah industri kecil keripik dan sale hasil produk olahan pisang di Banten. Analisis yang
digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total usaha tersebut lebih besar dari satu, yang berarti kedua kegiatan
pengolahan
sudah
efisien,
menguntungkan,
dan
layak
untuk
dilaksanakan. Kegiatan pengolahan pisang menjadi keripik memberikan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan sale. 2.3.3 Studi Mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Penelitian yang menggunakan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif telah banyak dilakukan. Dewi (2004) menggunakan Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas untuk mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Berdasarkan studi Dewi, diperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan kedelai di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Melemahnya nilai tukar rupiah sebesar empat persen tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan kedelai sedangkan kebijakan subsidi mendorong produsen untuk meningkatkan produksinya. Dhuhana (2004) melakukan penelitian untuk melihat keunggulan komparatif dan kompetitif usaha emping melinjo di Kabupaten Serang. Kesimpulan studi Dhuhana yaitu keuntungan usaha emping melinjo baik dengan intervensi maupun tanpa intervensi berada di atas normal dengan nilai DRC dan PCR lebih kecil dari satu. Selain itu, diketahui pula bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berdampak pada peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Meningkatnya suku bunga dan upah tenaga kerja berdampak pada
penurunan keuntungan sosial dan privat serta peningkatan sumberdaya domestik dan rasio biaya privat pada usaha emping melinjo. Studi mengenai analisis dayasaing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi di Desa Tajurhalang, Kabupaten Bogor dilakukan oleh Kuraisin (2006). Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah PAM dan analisis sensitivitas. Berdasarkan penelitian Kuraisin disimpulkan bahwa pengusahaan susu sapi menguntungkan dan efisien secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Perubahan kebijakan pemerintah seperti peningkatan harga pakan sebesar 30 persen, harga susu sapi sebesar 5 persen serta gabungan keduanya tidak mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah penelitian. Studi terdahulu yang telah dilakukan pada industri tempe di beberapa daerah pada umumnya terkait dengan perkembangan industri, permintaan dan penawaran, pola konsumsi, serta analisis usaha pada industri tersebut. Penelitian mengenai dayasaing industri tempe di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) belum dilakukan. Mengingat tingginya ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor dalam hal pemenuhan bahan baku industri olahan, maka diperlukan penelitian untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri tersebut. Selain itu perlu dihitung besaran nilai tambah yang dapat ditimbulkan akibat kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe. Kedelai yang didatangkan secara impor sebaiknya digunakan pada kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi agar sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan bakunya.
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Definisi Dayasaing Suatu negara dikatakan memiliki dayasaing pada komoditi tertentu apabila negara tersebut mampu memproduksi suatu komoditi dengan lebih efisien dibanding negara lain pada komoditi yang sejenis. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan serta efisiensi dalam pengelolaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi meliputi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. 3.1.2 Keunggulan Komparatif Perbedaan ketersediaan faktor sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pada setiap negara mengakibatkan masing-masing negara memiliki kemampuan yang berbeda dalam memproduksi suatu komoditi. Kondisi ini akan mendorong terjadinya pemenuhan kebutuhan melalui perdagangan dengan negara lain. Adam Smith mendasarkan teori perdagangan internasional pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam
memproduksi komoditi yang memiliki
keunggulan
absolut
dan
menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore, 1997).
Pada tahun 1817, David Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation yang memberikan penjelasan mengenai teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif. Menurut hukum ini, meskipun suatu negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, akan tetapi masih terdapat kemungkinan bagi kedua negara untuk melakukan perdagangan internasional yang saling menguntungkan (Salvatore, 1997). Suatu negara akan melakukan spesialisasi dengan memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih kecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (komoditi dengan kerugian komparatif). Asumsi yang digunakan dalam teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif yaitu : 1. hanya terdapat dua negara dan dua komoditi; 2. perdagangan bersifat bebas; 3. terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar keduanya; 4. biaya produksi konstan; 5. tidak terdapat biaya transportasi; 6. tidak ada perubahan teknologi; 7. menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima dengan mudah, asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidaklah berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif (Salvatore, 1997). Ricardo menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda-beda antar negara (Cho and Moon, 2003). Kemudian pada tahun 1933 Heckscher-Ohlin melakukan pengembangan
terhadap teori perdagangan internasional berdasarkan keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Heckscher-Ohlin dalam teoremanya menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Keunggulan komparatif merupakan salah satu ukuran dayasaing suatu negara dalam memproduksi komoditi tertentu berdasarkan analisis ekonomi. Dalam perhitungannya, konsep ini menggunakan harga sosial atau harga bayangan yang merupakan harga yang terjadi pada kondisi pasar persaingan sempurna atau dengan kata lain apabila perekonomian tidak terdistorsi sama sekali. Akan tetapi pada kenyataanya, kondisi tanpa distorsi tentu tidak akan ditemui dalam dunia nyata. Oleh karena itu diperlukan juga ukuran dayasaing suatu aktifitas produksi pada kondisi perekonomian yang aktual. 3.1.3 Keunggulan Kompetitif Keunggulan
kompetitif merupakan
ukuran
dayasaing
pada
kondisi
perekonomian aktual. Konsep ini pada mulanya dikembangkan oleh Porter. Porter menyebutkan bahwa faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional dipengaruhi oleh kondisi fakor; kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait; persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat faktor ini didukung oleh faktor lainnya yaitu peluang dan peran pemerintah. Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu aktifitas serta
keuntungan privat yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha berdasarkan harga pasar. Konsep keunggulan kompetitif bukanlah suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan dengan dengan konsep keunggulan komparatif, akan tetapi suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Konsep keunggulan komparatif menggambarkan
kelayakan
suatu
kegiatan
usaha
secara
ekonomi
dan
perhitungannya didasarkan pada harga sosial, sedangkan konsep keunggulan kompetitif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara finansial dan didasarkan pada harga pasar. Suatu komoditi dapat memiliki keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif, yang mengindikasikan bahwa komoditi tersebut layak untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional. 3.1.4 Kebijakan Pemerintah Sering kali mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien karena adanya kegagalan pasar sehingga memerlukan suatu bentuk campur tangan dari pemerintah. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk peningkatan ekspor ataupun sebagai usaha perlindungan terhadap produk dalam negeri. Intervensi pemerintah ini dapat diterapkan baik pada output maupun input yang pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan harga output dan input secara finansial dan secara ekonomi. Klasifikasi kebijakan harga komoditi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat membantu untuk menjelaskan dampak perubahan kebijakan. Tabel tersebut membedakan tipe kebijakan berdasarkan tiga kriteria yaitu tipe instrumen,
kelompok penerimaan dan tipe komoditi (Monke and Pearson, 1989). Berikut disajikan tabel klasifikasi kebijakan harga komoditi. Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi Instrumen Dampak pada Produsen Kebijakan subsidi Subsidi kepada a. tidak merubah harga produsen pasar dalam nageri b. pada barang impor b. merubah harga pasar (S + PI ; S – PI) dalam negeri b. pada barang ekspor (S + PE ; S – PE) Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang(merubah harga pasar barang impor (TPI) dalam negeri) Sumber: Monke and Pearson, 1989.
Dampak pada Konsumen Subsidi kepada konsumen c. pada barang impor (S + CI ; S – CI) b. pada barang ekspor (S + CE ; S – CE) Hambatan pada barangbarang ekspor (TCE)
Keterangan : S+
= Subsidi
S-
= Pajak
PE
= Produsen barang orientasi ekspor
PI
= Produsen barang substitusi impor
CE
= Konsumen barang orientasi ekspor
CI
= Konsumen barang substitusi impor
TPI
= Hambatan barang impor
TCE
= Hambatan barang ekspor
Tipe Instrumen Dalam tipe instrumen, subsidi dan kebijakan perdagangan merupakan dua hal yang dibedakan. Apabila dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi. Tujuan dan dampak subsidi yaitu menciptakan harga domestik berbeda dengan harga dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan merupakan pembatasan atau hambatan yang diberlakukan baik pada komoditi impor maupun ekspor. Hambatan perdagangan ini dapat diterapkan pada harga komoditi (dalam bentuk
tarif) maupun pada jumlah yang diperdagangkan (dalam bentuk kuota). Kebijakan perdagangan dan subsidi dapat berbeda dalam tiga hal yaitu: a. implikasinya pada anggaran pemerintah. Kebijakan perdagangan tidak berpengaruh pada anggaran pemerintah sedangkan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah apabila berupa subsidi positif dan menambah anggaran pemerintah apabila berupa subsidi negatif. b. tipe alternatif kebijakan. Intervensi pemerintah dapat dibedakan menjadi delapan tipe subsidi dan dua hambatan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang ekspor maupun impor yaitu: 1. subsidi positif pada produsen barang impor (S+PI) 2. subsidi negatif pada produsen barang impor (S-PI) 3. subsidi positif pada produsen barang ekspor (S+PE) 4. subsidi negatif pada produsen barang ekspor (S-PE) 5. subsidi positif pada konsumen barang impor (S+CI) 6. subsidi negatif pada konsumen barang impor (S-CI) 7. subsidi positif pada konsumen barang ekspor (S+CE) 8. subsidi negatif pada konsumen barang ekspor (S-CE) Pada hambataan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang ekspor dan hambatan perdagangan barang impor.
c. tingkat kemampuan penerapan. Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada setiap komoditi baik komoditi tradable maupun non tradable sedangkan hambatan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi tradable. Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan pada kebijakan pemerintah dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagi produsen dan bagi konsumen. Adanya subsidi maupun kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah yang tidak dibayarkan seluruhnya mengakibatkan produsen diuntungkan dan konsumen dirugikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh satu pihak merupakan transfer dari kerugian yang diderita oleh pihak lain. Akan tetapi transfer ini disertai pula dengan efisiensi ekonomi yang hilang sehingga keuntungan yang diterima lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Tipe Komoditi Tipe komoditi dibedakan menjadi komoditi ekspor dan komoditi impor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga dunia. Pada kondisi ini, harga yang digunakan untuk barang ekspor adalah harga fob (free on board) sedangkan untuk barang impor digunakan harga cif (cost insurance freight). 3.1.4.1 Kebijakan Output Kebijakan harga terhadap output dapat berupa subsidi (subsidi positif dan subsidi negatif) maupun hambatan perdagangan (tarif dan kuota). Perubahan yang
terjadi akibat adanya intervensi pemerintah baik berupa subsidi maupun hambatan perdagangan yaitu perubahan pada harga barang, jumlah barang, surplus produsen serta surplus konsumen (Monke and Pearson, 1989). Ilustrasi penerapan subsidi baik pada barang impor maupun ekspor dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga yang diterima produsen lebih tinggi dibandingkan harga dunia. Subsidi positif sebesar Pd-Pw mengakibatkan output yang diproduksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2 dengan tingkat konsumsi tetap pada Q3. Subsidi ini menyebabkan impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 – Q2. Transfer total dari pemerintah ke produsen yaitu sebesar Q2 x (Pd-Pw) atau PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1Q2AC sedangkan jika barang tersebut diimpor biaya korbanan yang seharusnya yaitu Q1Q2BC sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB. Gambar 1(b) memperlihatkan subsidi positif untuk konsumen barang impor. Adanya subsidi yang diberikan pemerintah mengakibatkan harga di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan harga domestik. Subsidi positif sebesar Pw-Pd mengakibatkan peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4 sedangkan output produksi dalam negeri menurun dari Q2 ke Q1 sehingga impor mengalami peningkatan dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Transfer yang terjadi sebesar PwGHPd terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah pada konsumen sebesar AGHB dan transfer dari produsen pada konsumen sebesar PwABPd. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi produksi dan konsumsi. Pada sisi produksi, penurunan output dari Q2 ke Q1 mengakibatkan
kehilangan pendapatan sebesar Pw x (Q1-Q2) atau Q1AFQ2 sedangkan input yang dihemat sebesar Q2Q1BF sehingga terdapat efisiensi ekonomi yang hilang sebesar FAB. Pada sisi konsumsi, opportunity cost akibat peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4 yaitu Pw x (Q4-Q3) atau sebesar Q3EGQ4 sedangkan kempuan konsumen untuk membayar sebesar Q3EHQ4 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar EGH. P
S A
Pd Pw
P
Pw
C
B
S A F
Pd
D
E G
B
H
D
Q Q1
Q2 (a)
S + PI
Q3
Q Q1
Q2 (b)
Q3
Q4
S + CI
Gambar 1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor (S+PI) dan (S+CI) Sumber: Monke and Pearson, 1989 Gambar 2(a) menerangkan subsidi bagi produsen barang ekspor. Sama dengan subsidi pada produsen barang impor, harga domestik lebih tinggi daripada harga dunia. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah output yang diproduksi dari dari Q3 ke Q4 dan penurunan konsumsi dari Q2 ke Q1 sehingga jumlah ekspor pun berubah dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Subsidi yang diberikan pemerintah yaitu sebesar GBAH. Gambar 2(b) merupakan ilustrasi pemberian subsidi bagi konsumen barang ekspor. Gambar tersebut menunjukkan bahwa harga di pasar internasional lebih tinggi dibanding harga domestik sehingga konsumsi barang ekspor meningkat dari Q1 ke Q2. Biaya korbanan dari peningkatan konsumsi yaitu
sebesar Pw x (Q2-Q1) atau sebesar Q1CBQ2 sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q1CAQ2 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB. P
S H G
Pd Pw
B
E
F
P
C
Pw Pd
A
B
A
D Q Q1
Q2
Q3
(a)
S + PE
Q4
Q Q1
Q2
(b)
S + CE
Gambar 2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor (S+PE) dan (S+CE) Sumber: Monke and Pearson, 1989 Ilustrasi penerapan hambatan perdagangan dengan mengambil contoh pada komoditi impor dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa hambatan perdagangan pada barang impor mengakibatkan peningkatan harga baik bagi produsen maupun konsumen. Kondisi harga yang tinggi ini menyebabkan output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4 sehingga impor berkurang dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terjadi transfer pendapatan dari konsumen sebesar (Pd-Pw) x Q4 atau PdABPw. Transfer ini terdiri atas transfer yang diterima produsen sebesar PdEFPw dan yang diterima pemerintah sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen yang merupakan perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan kesediaan membayar Q4ACQ3 adalah sebesar daerah ABC, sedangkan efisiensi ekonomi yang hilang pada sisi produksi yaitu sebesar EFG.
P
S E
A C
G
Q1
F
Q2
D
B
Q4
Q3
Q
Gambar 3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor Sumber: Monke and Pearson, 1989 3.1.4.2 Kebijakan Input Input merupakan fakor yang berperan penting dalam aktifitas produksi. Input dapat digolongkan menjadi input tradable dan input non tradable. Kebijakan yang berlaku bagi input tradable dapat berupa kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif dan hambatan perdagangan, sedangkan bagi input non tradable hanya berlaku kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif. Kebijakan hambatan perdagangan tidak berlaku pada input non tradable karena input tersebut diproduksi dan digunakan dalam domestik. 1. Kebijakan input tradable. Gambar 4 di bawah ini memperlihatkan dampak kebijakan subsidi negatif (pajak) dan subsidi positif pada input tradable. Pada Gambar 4(a), pajak yang dikenakan pemerintah bagi input tradable mengakibatkan peningkatan biaya produksi pada tingkat ouput yang sama sehingga terjadi penurunan produksi output domestik dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu seluas daerah segitiga ABC; daerah ini merupakan
perbedaan antara nilai output yang hilang atau Q2CAQ1 dengan biaya untuk memproduksi output tersebut atau Q2BAQ1. Dampak penerapan subsidi positif bagi input tradable dapat dilihat pada Gambar 4(b). Pada gambar ini, terlihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan penggunaan input dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kanan bawah. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu sebesar ABC yang merupakan perbedaan biaya produksi yang semakin bertambah atau Q1ACQ2 dengan kenaikan nilai output atau Q1ABQ2. S’
P
S
P
C
S C
Pw
Pw
A
S’
A B
B
Q
Q Q2
Q1 (a)
Q1
Q2 (b)
Gambar 4. Pajak dan subsidi pada input tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989 2. Kebijakan input non tradable. Efek pengenaan subsidi positif dan negatif pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a) terlihat bahwa pengenaan pajak (subsidi negatif) sebesar Pc-Pp mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp sedangkan harga di tingkat konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi produsen yaitu sebesar DBA dan dari sisi konsumen sebesar BCA.
Gambar 5(b) menerangkan dampak subsidi positif pada input non tradable. Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dari Q1 ke Q2. Harga yang diterima produsen meningkat dari Pd menjadi Pp sedangkan harga yang diterima konsumen menurun dari Pd menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang diukur dari perbedaan biaya produksi akibat meningkatnya output yang dihasilkan atau Q1ABQ2 dengan kesediaan membayar konsumen. Total efisiensi yang hilang yaitu seluas daerah ACD yang terdiri dari inefisiensi ekonomi dari sisi produsen (ACB) dan dari sisi konsumen (ABD). P
P C
Pc
S
S
Pp
B
Pd
C
A A
Pp
Pd
B
Pc
D D
D D
Pp’
Q Q3
Q2
Q1
(a)
Q1
Q
Q2 (b)
Gambar 5. Pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989 3.1.5 Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix (PAM) pertama kali diperkenalkan oleh Eric. A. Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989. Hasil analisis PAM ini dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem komoditi. Menurut Pearson and Gotsch (2004), tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian terkait dengan isu-isu penting bidang pertanian, menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, serta menghitung
transfer effects. Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau divergences identity (Pearson and Gotsch, 2004). Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM yaitu: 1.pada analisis finansial, perhitungan didasarkan pada harga pasar yang merupakan harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen setelah adanya kebijakan; 2.pada analisis ekonomi, perhitungan didasarkan pada harga sosial yang merupakan harga bayangan atau harga pada kondisi PPS (apabila tidak terdapat distorsi sama sekali); 3.ouput bersifat tradable dan input dapat dipisahkan dalam komponen asing dan domestik; 4. eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan. PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial); analisis dayasaing (keunggulan kompetitif dan komparatif); analisis dampak kebijakan. Berkut disajikan matriks analisis PAM. Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Keterangan Penerimaan Input tradable Harga Privat A B Harga Sosial E F Dampak kebijakan I J Sumber: Pearson and Gotsch, 2004
Biaya Input nontradable C G K
Keuntungan
D H L
A.
Analisis keuntungan
1.
Keuntungan Privat (D) = A – B – C Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh
biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditi tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah. 2.
Keuntungan sosial (H) = E – F – G Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh
biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan. Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, aktifitas pengusahaan komoditi tersebut menguntungkan secara ekonomi. B. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif 1.
Rasio Biaya Privat (PCR) =
C A−B
Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu. 2.
Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) =
G E−F
Apabila nilai Domestic Resousce Cost lebih kecil dari satu, maka kegiatan pengusahaan suatu komoditi dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan pemerintah atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian sebaliknya apabila hasil perhitungan DRC lebih besar dari satu. C. Analisis dampak kebijakan 1.
Kebijakan output ~ Transfer output (I) = A – E Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga
finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai transfer output positif mencerminkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat membeli output dengan harga di atas harga yang seharusnya. Sedangkan nilai transfer
output
negatif
menunjukkan
bahwa
kebijakan
yang
berlaku
mengakibatkan harga output yang diterima produsen lebih rendah dari harga seharusnya. ~ Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) =
A E
Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia. 2.
Kebijakan input ~ Transfer input (J) = B – F Transfer input merupakan selisih antara biaya berdasarkan harga finansial
dan biaya berdasarkan harga sosial. Nilai transfer input menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada input tradable. Nilai transfer input positif
mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan. ~ Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =
B F
Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. ~ Transfer fakor (K) = C – G Transfer fakor merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer fakor bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial. 3.
Kebijakan Input-Output ~ Transfer bersih = D – H Transfer bersih merupakan selisish antara keuntungan bersih yang benar-
benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. ~ Koefisien Proteksi Efektif (EPC) =
A− B E−F
Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau justru menghambat kegiatan pengusahaan suatu komoditi.
~ Koefisien keuntungan =
D H
Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, maka berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah. ~ Rasio Subsidi bagi Podusen (SRP) =
L A−B
Nilai SRP yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan. 3.1.6 Harga Bayangan Menurut Gittinger (1986), harga bayangan atau shadow prices adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian bila pasar berada pada keadaan persaingan sempurna dan kondisi keseimbangan. Gray (1993) menyebutkan bahwa shadow prices dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost,
yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif terbaik. Pada kenyataanya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang mendekati harga sosial diperlukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku. Alasan digunakan harga bayangan dalam Dewi (2004) yaitu:
1. harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktifitas tertentu, tetapi tidak digunakan dalam aktifitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat; 2. harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktifitas tersebut. 3.1.7 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas merupakan suatu analisis yang dapat membantu untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu aktifitas produksi apabila terjadi perubahanperubahan dalam perhitungan biaya maupun manfaat. Kadariah (2001) menyebutkan bahwa analisis sensitivitas dapat membantu menemukan variabelvariabel penting dalam suatu proyek yang harus diperhatikan untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan dan memperkecil bidang ketidakpastian. Menurut Kadariah (2001), cara melakukan analisis sensitivitas yaitu: 1. mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut; 2. menentukan dengan berapa sesuatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima. 3.1.8 Konsep Nilai Tambah Menurut Hayami dalam Ibnu (2001), definisi nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa proses mengubah bentuk (form utility), memindahkan tempat (place utility), maupun menyimpan (time utility).
Terdapat beberapa variabel penting yang terkait dengan analisis nilai tambah yaitu faktor konversi yang menunjuk pada banyaknya output yang dihasilkan dari satu satuan input; faktor koefisien tenaga kerja yang menunjuk pada banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input; dan nilai produk yang menunjuk pada nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input (Hayami dalam Jati 2005). 3.2 Kerangka Operasional Kedelai merupakan komoditi yang strategis dilihat dari peranannya dalam perekonomian nasional. Sebagai salah satu sumber protein nabati yang banyak diminati, komoditi ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik untuk konsumsi masyarakat, kebutuhan bahan baku industri makanan olahan, serta pakan ternak. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat (Amang, 1996). Dari sisi penawaran, tingkat produksi kedelai dalam negeri belum mampu mengimbangi tingginya tingkat permintaan. Terdapat kesenjangan antara jumlah yang diproduksi dengan jumlah kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam pemenuhan kebutuhan kedelai pemerintah melakukan impor dari luar negeri. Total impor kedelai di Indonesia yaitu sebesar 60-65 persen dari keseluruhan kebutuhan dalam negeri, sisanya yaitu hanya 35-40 persen yang dapat dipenuhi melalui produksi domestik. Permintaan kedelai paling tinggi yaitu bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku industri makanan olahan seperti tempe, kecap, tahu, tauco dan sebagainya. Menurut data Depperin, jumlah industri kecil dan menengah (IKM) pengolah
kedelai di dalam negeri tercatat 92.400 yang terbagi menjadi 56.760 unit usaha tempe, 28.600 unit usaha tahu, 1.500 unit usaha kecap, 2.100 unit usaha tauco, dan 3.430 unit usaha aneka olahan. Industri-indusri tersebut pada umumnya menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku sehingga perkembangannya berdampak pada volume impor kedelai yang semakin meningkat. Dihadapkan pada kondisi bahan baku yang didominasi barang impor, aktifitas industri berbahan baku kedelai seharusnya diarahkan pada kegiatan yang mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk mengimpor komoditi tersebut. Akan lebih baik apabila kedelai yang didatangkan secara impor digunakan pada aktifitas ekonomi yang dapat berkontribusi pada perekonomian, misalnya dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan maupun dalam hal peningkatan harga jual dan nilai tambah dari komoditi itu sendiri. Aktifitas pengolahan kedelai menjadi tempe merupakan salah satu usaha dalam rangka peningkatan nilai tambah bagi komoditi kedelai. Permintaan terhadap tempe selalu ada mengingat kandungan gizi yang terkandung di dalamnya (sumber protein nabati) dan harga yang relatif terjangkau. Industri tempe yang pada umumnya berupa usaha skala kecil (home insustry) mampu menciptakan lapangan pekerjaan karena industri ini merupakan industri yang padat karya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi industri tempe bagi perekonomian. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar nilai tambah yang mampu dihasilkan akibat aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe terkait dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut.
Pada umumnya industri tempe menggunakan kedelai impor dengan komposisi 65-35 persen. Hal ini tentu berpengaruh pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan impor kedelai. Oleh karena itu perlu dianalisis keunggulan kompetitif dan komparatif dari industri makan olahan berbahan baku kedelai, dalam hal ini industri industri tempe. Ketersediaan dan harga bahan baku kedelai yang didatangkan secara impor, sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan pemerintah. Ketika pemerintah memberlakukan
kebijakan
pada
komoditi
kedelai,
maka
akan
sangat
mempengaruhi kegiatan produksi industri industri tempe. Oleh karena itu perlu dianalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe. Alat analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama adalah analisis nilai tambah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui nilai tambah yang mampu diciptakan indutri tempe. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua digunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Alat analisis ini dipilih karena melalui analisis ini dapat diketahui keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri tersebut. PAM bersifat statis dan tidak memungkinkan untuk melihat pengaruh perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam industri. Oleh karena itu, sebagai langkah lanjutan diperlukan analisis sensitivitas untuk mengetahui tingkat kepekaan industri terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik pada input maupun output.
60-65 persen impor
35-40 persen domestik
Kebutuhan Kedelai Indonesia
Industri Makanan Olahan berbahan baku kedelai
Konsumsi RT
Industri Pakan Ternak
Industri Tempe
Analisis nilai tambah yang mampu diciptakan
Analisis finansial dan ekonomi
Analisis Nilai Tambah dengan Metode Hayami
PAM
Keunggulan Kompetitif ~ Keuntungan Privat ~ PCR
Keunggulan Komparatif ~ Keuntungan Sosial ~ DRC
Dampak kebijakan pemerintah: 1. Kebijakan Input : IT, NPCI, dan TF. 2. Kebijakan Output : OT dan NPCO. 3. Kebijakan Input-output : NT, EPC, PC, SRP
Analisis Sensitivitas : Kenaikan harga kedelai 60 persen Kenaikan harga output 46 persen Sensitivitas gabungan Keterangan : : di luar batasan penelitian Gambar 6. Bagan kerangka pemikiran operasional
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di daerah industri tempe di Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret sampai April 2008. Kecamatan Citeureup, khususnya Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner oleh pengrajin tempe yang berada di daerah penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa literatur yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian, Perpustakaan LSI, Perpustakaan Fakultas Pertanian, serta website dan situs terkait. Data yang diperlukan diantaranya data jumlah industri, kapasitas produksi, struktur biaya produksi dan pendapatan pada industri tempe, serta data penting lainnya. 4.3 Metode Pengumpulan Data Sampel yang dipilih untuk menganalisis indusri tempe dalam penelitian ini yaitu para pengrajin tempe yang berproduksi di daerah penelitian. Desa Citeureup dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan desa tersebut merupakan sentra pengrajin tempe di Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive yaitu metode pengambilan sampel secara sengaja dengan jumlah responden sebanyak 20 pengrajin tempe. Jumlah tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa data yang diperlukan lebih mengarah pada
struktur biaya produksi pada industri tempe yang umumnya relatif sama (homogen) antar pengrajin sehingga banyaknya responden tidak begitu berpengaruh terhadap analisis data. 4.4 Metode Analisis Data Tujuan penelitian menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industi tempe di Kabupaten Bogor dijawab dengan menggunakan analisis nilai tambah Meode Hayami. Pengukuran nilai tambah ini bertujuan untuk mengetahui besaran nilai tambah yang mampu diciptakan sebagai akibat proses pengolahan kedelai menjadi tempe. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas untuk menjawab tujuan penelitian kedua dan ketiga. Melalui pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan masing-masing industri diperlukan analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan. 4.4.1 Analisis Nilai Tambah Seperti telah disebutkan di atas, definisi nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang berupa form utility, place utility, time utility. Telah disebutkan pula bahwa variabel yang terkait dalam
analisis nilai tambah yaitu faktor konversi, koefisien tenaga kerja, nilai produk, dan nilai input lain. Pada penelitian ini, faktor konversi menunjuk pada banyaknya
tempe yang dapat dihasilkan dari satu kilogram kedelai. Koefisien tenaga kerja sebagai ukuran jam kerja yang diperlukan untuk mengolah satu kilogram kedelai. Nilai produk dan nilai input lain diinterpretasikan secara berurutan sebagai nilai tempe per kilogram kedelai yang digunakan dan nilai input lain selain kedelai dan tenaga kerja yang langsung digunakan bagi kegiatan produksi. Berikut disajikan tabel kerangka analisis nilai tambah. Tabel 8. Kerangka Analisis Nilai Tambah No Variabel Output, Input dan Harga 1 Output (kg/tahun) 2 Bahan baku (kg/tahun) 3 Tenaga kerja (HOK/tahun) 4 Faktor konversi (1/2) 5 Koefisien tenaga kerja (3/2) 6 Harga output (Rp/kg) 7 Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) Pendapatan dan keuntungan (Rp/kg bahan baku) 8 Harga bahan baku 9 Sumbangan input lain 10 Nilai output (4 x 6) 11a Nilai tambah (10 – 9 – 8) b Rasio nilai tambah ((11a/10) x 100%) 12a Imbalan tenaga kerja (5 x 7) b Bagian tenaga kerja ((12a/11a) x 100%) 13a Keuntungan (11a – 12a) b Tingkat Keuntungan ((13a/11a) x 100%) Balas Jasa Faktor Produksi 14 Marjin (10 – 8) a Pendapatan tenaga kerja b Sumbangan input lain c Keuntungan perusahaan Sumber : Hayami, et.al., dalam Dermawan, 1999
Nilai a b c d = a/b e = c/b f g h i j=dxf k=j–h–i l % = (k/j) x 100% m=exg n % = (m/k) x 100% o=k–m p % = (o/k) x 100% q=j-h r % = (m/q) x 100% s % = (i/q) x 100% t % = (o/q) x 100%
4.4.2 Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
melihat keunggulan kompetitif dan komparatif serta pengaruh intervensi pemerintah pada suatu komoditas. Kelebihan dari analisis ini yaitu perhitungan
dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, output beragam serta dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe dan teknologi yang digunakan. Kelemahan dari analisis ini yaitu kurang membahas masingmasing analisis secara mendalam serta tidak memungkinkan untuk melihat pengaruh perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam aktifitas produksi. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis PAM yaitu: 1. Menentukan input dan output Input merupakan faktor baik berupa barang ataupun jasa yang diperlukan untuk memproduksi suatu komoditi sedangkan output dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang dihasilkan dari suatu aktifitas produksi. Input yang digunakan dalam kegiatan produksi pada industri tempe yaitu kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, pewarna, bahan pengemas, peralatan, tenaga kerja, bahan bakar. Output yang dihasilkan yaitu tempe. 2. Mengalokasikan komponen biaya domesik dan asing Menurut Monke and Pearson (1989), terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengalokasikan komponen biaya domesik dan asing yaitu pendekatan langsung dan pendekatan total. Pendekaan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik impor maupun domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dapat digunakan jika tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi melalui perdagangan internasional. Di sisi lain, pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan
input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki
kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri Monke and Pearson (1989). Penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam analisisnya. 3. Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga merupakan biaya yang diperlukan untuk menambah nilai suatu barang yaitu kegunaan tempat, bentuk, waktu termasuk di dalamnya penanganan dan pengangkutan. Dalam penelitian ini, biaya tataniaga ditentukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut output hasil produksi dari produsen hingga ke konsumen. Biaya tataniaga dalam penelitian ini yaitu sebesar Rp 150,00 per kilogram tempe. 4. Menentukan Harga Bayangan Input dan Output Harga bayangan merupakan harga yang benar-benar terjadi pada kondisi keseimbangan dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Dalam penelitian ini akan ditentukan harga bayangan baik pada ouput masing-masing industri serta input penting yang terkait di dalamnya. Harga bayangan yang digunakan adalah harga perbatasan (border prices) yaitu tingkat harga internasional yang berlaku di perbatasan negara yang bersangkutan terhadap luar negeri (Kadariah, 2001). Output yang diekspor atau memiliki potensi untuk diekspor menggunakan harga fob (free on board) dalam perhitungan harga bayangannya sedangkan output yang diimpor menggunakan harga cif (cost insurance freight). Input dibedakan menjadi input tradable dan non tradable. Input tradable pun dinilai berdasarkan border prices. Rumus perhitungan harga bayangan yang akan digunakan sebagai berikut: Harga bayangan komponen ekspor = ( fob x SER ) – biaya tataniaga Harga bayangan komponen impor = (cif x SER ) + biaya tataniaga
a. harga bayangan output Ouput dalam penelitian ini yaitu tempe. Output tersebut termasuk ke dalam komponen ekspor sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga perbatasan fob yang dikonversikan dengan nilai tukar rupiah bayangan dikurangi biaya tataniaga. Harga perbatasan fob pada penelitian ini yaitu US$ 1,489 per kilogram tempe sehingga dengan perhitungan rumus diperoleh harga bayangan tempe sebesar Rp 12.105,14 per kilogram tempe. b. harga bayangan input kedelai Sebagai bahan baku utama, kedelai merupakan komoditi yang dikategorikan sebagai komponen impor. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan harga bayangan dengan harga perbatasan cif dikali nilai tukar rupiah bayangan atau SER ditambah biaya tataniaga. Harga cif pada penelitian ini yaitu US$ 0,515 per kilogram kedelai. Melalui hasil perhitungan diperoleh harga bayangan untuk komoditi kedelai sebesar Rp 6.500,00 per kilogram kedelai. c. harga bayangan input ragi Ragi merupakan bahan baku lain yang juga berperan penting dalam kegiatan produksi tempe. Ragi ini digolongkan sebagai input non tradable sehingga harga bayangannya sama dengan harga aktual. d. harga bayangan peralatan Kegiatan produksi pada industri tempe tidak terlepas dari input peralatan. Pemenuhan kebutuhan peralatan pada industri ini ditentukan oleh pasar domestik dan termasuk kategori input non tradable sehingga harga bayangannya sama dengan harga aktual.
e. harga bayangan kemasan Industri tempe menggunakan daun dan plastik sebagai kemasan produk. Bahan kemasan ini termasuk input non tradable sehingga harga bayangannya sama dengan harga aktual. f. harga bayangan bahan bakar Bahan bakar yang digunakan dalam industri tempe pada umumnya yaitu kayu bakar dan serbuk kayu sisa furniture. Kedua bahan bakar yang digunakan termasuk ke dalam komponen input non tradable sehingga harga bayangannya sama dengan harga aktual. g. harga bayangan tenaga kerja Pada umumnya tenaga kerja yang digunakan dalam indusri tempe merupakan tenaga kerja yang tidak terdidik. Berdasarkan hasil penelusuran studi-studi terdahulu, rata-rata harga bayangan untuk tenaga kerja tidak terdidik yang digunakan yaitu 70-80 persen dari tingkat upah yang berlaku di masing-masing lokasi penelitian. Dalam penelitian ini diasumsikan harga bayangan tenaga kerja yaitu sebesar 75.29 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. h. harga bayangan tempat Tempat merupakan salah satu faktor lain yang juga berperan penting dalam aktifitas produksi pada industri tempe. Dalam penelitian ini, harga bayangan tempat sama dengan harga aktual karena termasuk komponen non tradable. i. harga bayangan nilai tukar Penentuan harga bayangan nilai tukar didasarkan pada formula yang telah dirumuskan Squire dan Van Der Tak dalam Gittinger (1986) sebagai berikut:
SER
=
OER SCF
dengan: SER
= Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan)
OER
= Official Exchange Rate (nilai tukar resmi)
SCF
= Standar Exchange Rate (faktor konversi standar)
Nilai faktor konversi standar dapat ditentukan sebagai barikut: SCF
=
Mt + Xt ( Mt + TMt ) + ( Xt − TXt )
dengan: M
= Nilai impor pada tahun t
X
= Nilai ekspor pada tahun t
TMt
= Pajak impor pada tahun t
TXt
= Pajak ekspor pada tahun t Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia
pada tahun 2007 adalah Rp580.629,59 milyar sedangkan nilai impornya Rp 364.134,35 milyar. Pada tahun yang sama, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor dan impor secara berturut-turut adalah Rp 453 milyar dan Rp 14.417 milyar. Nilai tukar resmi pada bulan Juli 2007 yaitu Rp 9.141,00 per dolar. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai faktor konversi standar (SCF) yaitu 0,9845 dan nilai SER yaitu Rp 9.284,00. 5. Penyusunan Matriks PAM Matriks PAM terdiri dari tiga baris. Baris pertama merupakan perhitungan berdasarkan harga privat, baris kedua sebagai perhitungan berdasarkan harga sosial, serta baris terakhir sebagai selisih antara nilai privat dengan nilai sosial. Di
samping itu, matriks PAM juga terdiri atas empat kolom yaitu kolom pertama sebagai kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input tradable, kolom ketiga merupakan kolom biaya input non tradable dan kolom terakhir merupakan kolom keuntungan. 4.4.3 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat tingkat kepekaan suatu aktifitas ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun pada ouput yang dihasilkan serta melihat pula pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat perubahan yang terjadi. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis sensitivitas sebagai berikut: 1.
Bila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen. Hal ini didasarkan pada pertimbangan di daerah penelitian pernah terjadi kenaikan harga kedelai dari Rp 3.200 per kilogram menjadi Rp 8000 per kilogram pada Januari 2008.
2.
Bila terjadi kenaikana harga input kedelai 60 persen diimbangi kenaikan harga output 46 persen.
V GAMBARAN UMUM 5.1 Kondisi Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibukota Republik Indonesia. Secara geografis, kabupaten ini terletak antara 6,19°-6,47° Lintang Selatan dan 106°1’-107°103’ Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 2.301,95 Km2. Batas wilayah Kabupaten Bogor sebagai berikut: a. sebelah utara
: Kota depok
b. sebelah barat
: Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang
c. sebelah timur
: Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bekasi
d. sebelah selatan
: Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 yaitu 4.215.436 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 2.163.853 jiwa dan penduduk perempuan 2.051.583 jiwa dengan rasio jenis kelamin 1,05. Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor memiliki struktur penduduk muda sehingga akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah angkatan kerja (Kabupaten Bogor dalam Angka, 2007) Struktur perekonomian Kabupaten Bogor pada tahun 2006 didominasi oleh sektor industri pengolahan 64,30 persen kemudian perdagangan, hotel dan restoran 15,48 persen, dan sektor pertanian 4,69 persen. Kelompok sektor yang paling banyak berkontribusi terhadap perekonomian Kabupaten Bogor adalah kelompok sektor sekunder yang terdiri atas sektor industri, listrik, gas, air, dan sektor bangunan. Hal ini dapat dilihat pada tabel kontribusi kelompok sektor dalam perekonomian Kabupaten Bogor di bawah ini.
Tabel 9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor tahun 2003-2006 Kode Lapangan usaha Tahun Sektor 2003 2004 2005 2006 I PRIMER 7,51 7,01 6,13 5,83 1 Pertanian 5,98 5,65 5,03 4,69 2 Pertambangan 1,53 1,36 1,1 1,14 II SEKUNDER 70,03 70,5 70,56 70,79 3 Industri 63,35 63,73 64,13 64,30 4 Listrik, gas, dan air 3,58 3,63 3,28 3,27 5 Bangunan 3,1 3,14 3,15 3,23 III TERSIER 22,45 22,49 23,31 23,38 6 Perdagangan 14,15 14,21 15,2 15,48 7 Angkutan 2,56 2,58 2,85 2,9 8 Keuangan 1,65 1,64 1,59 1,48 9 Jasa 4,09 4,06 3,66 3,52 PDRB 100 100 100 100 Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2006 5.2 Kondisi Umum Desa Citeureup Desa Citeureup terletak di wilayah Pembangunan Bogor Timur dan merupakan salah satu desa di Kecamatan Citeureup. Luas wilayah desa ini sekitar 311 ha. Jarak desa dari ibukota Kecamatan Citeureup yaitu 0,5 km; jarak dari ibukota Pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu 11 km; jarak dari ibukota Provinsi Jawa Barat yaitu 150 km; dan jarak dari ibukota Negara Republik Indonesia yaitu 50 km. Bentuk wilayah Desa Citeureup berupa daratan rendah, berbukit, bergununggunung dengan kemiringan 99,80-125°. Desa ini berada pada ketinggian 99,80125 di atas permukaan laut dengan curah hujan sekitar 3.000-3.500 mm/tahun. Batas wilayah Desa Citeureup sebagai berikut: a. sebelah utara
: Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri dan Desa Bantar Jati, Kecamatan Klapanunggal;
b. sebelah selatan
: Desa Karang Asem Timur dan Desa Tarikolot, Kecamatan Citeureup;
c. sebelah barat
: Desa Kelurahan Kar-bar dan Puspanegara, Kecamatan Citeureup;
d. sebelah timur
: Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup dan Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal.
Jumlah penduduk Desa Citeureup pada tahun 2006 adalah 17.014 orang dengan kepala keluarga sebanyak 4.351 orang. Penduduk desa ini terdiri dari penduduk produktif 9.469 orang, penduduk bekerja 7.156 orang, dan pengangguran 2.339 orang. 5.3 Kondisi Umum Industri Tempe di Desa Citeureup 5.3.1 Karakteristik Responden Pengrajin tempe yang terdapat di Desa Citeureup merupakan pendatang dari Jawa Tengah. Pengrajin yang diambil sebagai responden sebanyak 20 orang, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Responden terbanyak termasuk dalam kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 12 orang atau sekitar 60 persen. Sisanya termasuk dalam kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 6 orang atau 30 persen, 50-59 tahun dan ≥ 60 tahun masing-masing sebanyak 1 orang atau sekitar 5 persen. Berikut disajikan tabel distribusi responden berdasarkan kelompok umur. Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 30-39 12 60 40-49 6 30 50-59 1 5 ≥ 60 1 5 TOTAL 20 100 Kegiatan produksi tempe merupakan mata pencaharian utama bagi para responden. Faktor utama yang mempengaruhi responden memilih bidang usaha ini yaitu tidak tersedianya lapangan pekerjaan lain. Hal ini dipengaruhi pula oleh
latar belakang pendidikan responden yang mayoritas hanya sampai di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat pendidikan tertinggi yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Responden yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SD sebanyak 12 orang, SLTP sebanyak 7 orang dan SMK hanya 1 orang. Berikut disajikan tabel distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan. Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) SD 12 60 SLTP 7 35 SMK 1 5 TOTAL 20 100 Keterampilan dalam membuat tempe yang dimiliki pengrajin pada umumnya merupakan warisan turun temurun. Pengalaman berusaha para responden yaitu minimal 7 tahun dan maksimal 25 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa, responden sangat berpengalaman di bidang usahanya. Berikut disajikan tabel distribusi responden berdasarkan lamanya usaha. Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha Lama usaha (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) ≤ 10 6 30 11-20 11 55 ≥ 21 3 15 TOTAL 20 100 Skala usaha pada industri tempe di daerah penelitian bervariasi. Paling sedikit jumlah kedelai yang diolah menjadi tempe oleh responden yaitu sebanyak 30 kilogram per hari sedangkan yang paling banyak yaitu 250 kilogram per hari. Responden dengan skala usaha < 100 kilogram kedelai per hari yaitu sebanyak 11 orang (55 persen), skala usaha 100-199 kilogram kedelai per hari sebanyak 5 orang (25 persen), dan skala usaha ≥ 200 kilogram kedelai per hari sebanyak 4 orang (20 persen).
Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha Skala usaha (kg kedelai per hari) Jumlah (orang) Persentase (%) < 100 11 55 100-199 5 25 ≥ 200 4 20 TOTAL 20 100 Semua pengrajin tempe yang diambil sebagai responden memiliki status sudah menikah dengan jumlah tanggungan keluarga beragam. Responden yang memiliki jumlah tanggungan keluarga 4-6 orang sebesar 70 persen. Sedangkan sebesar 25 persen memiliki tanggungan keluarga < 3 orang dan sisanya sebesar 5 persen memiliki jumlah tanggungan keluarga ≥ 7 orang. Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga Jumlah (orang) Persentase (%) ≤ 3 orang 5 25 4-6 orang 14 70 ≥ 7 orang 1 5 TOTAL 20 100 Tenaga kerja yang digunakan dalam industri tempe di daerah penelitian berasal dari dalam keluarga maupun luar keluarga. Responden dengan skala usaha relatif kecil atau ≤ 100 kilogram kedelai per hari pada umumnya hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang terdiri atas tenaga suami dan istri. Alasan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yaitu untuk menekan biaya produksi. Skala usaha yang relatif besar cenderung membutuhkan lebih banyak tenaga kerja sehingga di samping tenaga kerja dalam keluarga digunakan pula tenaga kerja dari luar keluarga. Rata-rata upah yang harus dibayarkan untuk satu orang pekerja adalah Rp 35.000,00 – Rp 50.000,00 per hari. Jumlah tenaga kerja yang digunakan beragam mulai dari satu orang hingga empat orang pada tiap industri. Sebanyak 14 orang atau 70 persen dari total responden menggunakan 2 orang tenaga kerja yang keduanya merupakan tenaga
kerja dalam keluarga. Sebesar 10 persen responden hanya menggunakan satu orang tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga dan 20 persen sisanya menggunakan 4 orang tenaga kerja yang terdiri atas satu orang tenaga kerja dalam keluarga dan tiga orang tenaga kerja luar keluarga. Berikut disajikan tabel distribusi responden berdasarkan jumlah tenaga kerja. Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Tenaga kerja Jumlah (orang) Persentase (%) 1 orang 2 10 2 orang 14 70 3 orang 0 0 4 orang 4 20 TOTAL 20 100 5.3.2 Keragaan Bahan Baku Pengrajin tempe di daerah penelitian menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku utama. Seluruh responden tidak ada yang menggunakan kedelai lokal dalam kegiatan produksi mereka. Terdapat beberapa alasan responden memilih kedelai impor, diantaranya mutu kedelai tersebut lebih baik dan ukuran yang lebih besar, harga kedelai impor lebih murah, serta kedelai impor memang lebih mudah ditemui di pasaran dibandingkan kedelai lokal. Harga kedelai impor rata-rata yaitu Rp 6.900,00 – Rp 7.200,00 per kilogram sedangkan kedelai lokal mencapai Rp 8.000,00 – Rp 9.000,00 per kilogram. Penggunaan kedelai impor sebagai bahan baku tempe akan menghasilkan tempe dengan kualitas dan tekstur yang lebih baik. Kedelai impor yang digunakan para pengrajin tempe di daerah penelitian pada umumnya merupakan kedelai dari Amerika Serikat, China, dan Argentina. Pada awalnya pemenuhan kebutuhan kedelai tersebut merupakan tanggung jawab KOPTI Kabupaten Bogor. Akan tetapi sejak tahun 2007, KOPTI tersebut sudah
tidak aktif lagi sehingga peranan pemasok kedelai diambil alih oleh pedagang besar di sekitar daerah penelitian. Pengrajin tempe dengan skala usaha di bawah 100 kilogram kedelai per hari pada umumnya membeli kedelai dari gudang atau pedagang besar tersebut sedangkan pengrajin dengan skala usaha relatif besar memilih untuk membeli langsung dari pedagang besar dari Jakarta. Sebagian responden melakukan pembelian kedelai disesuaikan dengan kapasitas produksi per hari. Namun terdapat juga responden yang membeli kedelai selain untuk kebutuhan satu kali produksi tapi juga untuk persediaan produksi selanjutnya. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan modal yang dimiliki masing-masing responden. Bahan baku lain yang juga penting dalam kegiatan produksi yaitu ragi. Ragi ini dapat diperoleh dari pasar -pasar terdekat. Meskipun diperlukan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, peragian merupakan tahap yang sangat penting dalam pembuatan tempe. Banyaknya ragi yang digunakan sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca. Apabila hari panas maka ragi yang dipergunakan semakin sedikit sedangkan apabila hari hujan berlaku sebaliknya. Rata-rata untuk 100 kilogram kedelai hanya diperlukan ragi sebanyak 2-3 ons saja. Kisaran harga ragi yaitu Rp 15.000,00 per kilogram. Selain kedua bahan baku di atas, responden juga menggunakan bahan pewarna. Pewarna yang digunakan tidaklah terlalu banyak. Untuk 100 kilogram kedelai hanya dibutuhkan sekitar 4-5 bungkus pewarna. Penggunaan bahan ini dimaksudkan agar tempe yang dihasilkan berwarna kekuning-kuningan sehingga terkesan lebih cerah dan menarik. Pewarna ini dapat diperoleh di pasar tedekat dengan harga Rp 500,00 per bungkus.
Pada awalnya, para pengrajin tempe menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar. Seiring dengan semakin meningkatnya harga minyak tanah, pengrajin tempe beralih menggunakan kayu bakar. Akan tetapi sejak awal tahun 2008, kayu bakar semakin sulit ditemukan dan harganya pun meningkat. Dalam rangka menekan biaya produksi, beberapa pengrajin mulai mengganti bahan bakarnya menjadi serbuk kayu sisa furniture. Rata-rata kayu bakar yang diperlukan untuk merebus 100 kilogram kedelai sebanyak satu karung dengan harga Rp 7.000,00 per karung. Apabila menggunakan serbuk kayu sisa furniture hanya dibutuhkan 0,75 karung dengan harga rata-rata Rp 5.000,00 per karung. Responden yang menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya yaitu sebesar 80 persen sedangkan sisanya yaitu sebesar 20 persen menggunakan serbuk kayu sisa furniture.
Sebagai bahan pengemas, responden menggunakan plasik dan daun. Kemasan plastik lebih banyak digunakan dengan alasan harga plastik lebih murah dibandingkan harga daun tanpa mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan. Harga daun yaitu Rp 2.000,00 - Rp 2.200,00 per ikat sedangkan harga plastik yaitu Rp 20.000,00 per kilogram. Di samping faktor harga, masalah ketersediaan daun yang terbatas juga mempengaruhi dominasi plastik sebagai kemasan. Berikut disajikan tabel struktur biaya produksi pada industri tempe dengan skala usaha 100 kilogram per hari.
Tabel 16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari No Uraian Nilai (Rp) 1 Kedelai 701.500,00 2 Ragi 3.909,70 3 Daun 16.681,37 4 Plastik 22.284,31 5 Bahan bakar 5.647,05 6 Pewarna 2.230,39 7 Tenaga kerja 74.250,00 8 Penyusutan alat 54.188,65 9 Pajak 5.066,67 10 Sewa Tempat 6.666,67 TOTAL 894.358,14 5.3.3 Gambaran Kegiatan Produksi Kegiatan produksi tempe di daerah penelitian dilakukan setiap hari. Aktivitas produksi tidak pernah berhenti agar selalu tersedia tempe untuk dijual setiap harinya. Responden hanya berhenti berproduksi pada saat Hari Raya Idul Fitri karena sebagian besar responden memilih untuk pulang ke daerah asalnya di Jawa Tengah. Proses pembuatan tempe di daerah penelitian terdiri atas beberapa tahapan. Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga mempermudah dalam proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus tersebut direndam 12 jam, selama perendaman telah berlangsung pengasaman.
Gambar 7. Proses perebusan kedelai
Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar terpisah biji dengan kulit. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih dari kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi. Terdapat dua metode dalam peragian. Cara yang pertama yaitu ragi diberikan pada kedelai sambil direndam dalam air. Cara yang kedua, ragi diberikan pada kedelai yang sudah ditiriskan airnya terlebih dahulu. Perbedaan kedua metode tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap kualitas tempe, masing-masing cara tergantung pada kebiasaan pengrajin. Namun pada umumnya responden lebih banyak yang menggunakan cara peragian kedua.
Gambar 8. Kedelai dicuci dan diberi ragi Selanjutnya kedelai dibungkus dan dibentuk kemudian diperam sampai matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan waktu kurang lebih 36 jam. Apabila sudah matang, tempe sudah dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar 3 hari.
Gambar 9. Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik
Kedelai yang telah melalui serangkaian proses di atas mengalami penambahan bobot. Rata-rata seratus kilogram kedelai dapat menghasilkan 160 200 kilogram tempe. Perbedaan hasil ini tergantung pada keterampilan yang dimiliki masing-masing pengrajin selama proses pembuatan.
Gambar 10. Tempe diperam dan siap dipasarkan Pembuatan tempe di daerah penelitian masih tergolong sederhana. Hal ini dapat dilihat dari peralatan yang juga relatif sederhana. Peralatan yang digunakan selama proses pembuatan tempe diantaranya drum, penggilingan, tungku, saringan, rak (kerai) dari bambu untuk menyimpan tempe, ember, pisau. Masing-masing responden memiliki minimal 3 buah drum yang digunakan untuk mencuci, merebus dan merendam kedelai. Skala usaha yang relatif besar tentu membutuhkan jumlah drum yang lebih banyak. Reponden yang terbesar skala usahanya memiliki 11 buah drum dalam aktivitas produksinya. Harga satu buah drum berkisar antara Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00. Drum yang digunakan untuk mencuci dan merendam kedelai relatif lebih tahan lama dibanding drum yang digunakan untuk merebus. Drum cuci dan rendam dapat bertahan selama 5 tahun sedangkan daya tahan drum rebus hanya sekitar 1 tahun. Penggilingan di sini berfungsi untuk memecah kedelai dan memisahkan biji dari kulit. Setiap pengrajin memiliki paling tidak satu unit penggilingan. Terdapat
dua jenis penggilingan yaitu penggilingan mesin dan penggilingan manual. Penggilingan mesin dapat diperoleh dengan membeli seharga Rp 1.500.000,00 per unit sedangkan penggilingan manual seharga Rp 400.000,00 per unit. Pada umumnya pengrajin dengan skala usaha relatif besar menggunakan penggilingan mesin dengan pertimbangan daya kerja lebih lebih cepat sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga kerja. Sedangkan pengrajin dengan skala usaha relatif kecil memilih penggilingan manual dengan pertimbangan harga yang lebih murah. Daya tahan penggilingan tersebut rata-rata mencapai 2-3 tahun. Tungku merupakan alat yang digunakan untuk proses perebusan kedelai. Pengrajin umumnya hanya memiliki satu unit tungku. Tungku tersebut merupakan tungku semi permanen yang umur pakainya hanya mencapai satu tahun. Harga satu unit tungku yaitu sekitar Rp 50.000,00-Rp 150.000,00. Untuk memisahkan dan membersihkan kedelai dari biji sebelum peragian dilakukan penyaringan terlebih dahulu. Saringan ini terbuat dari bambu dan sangat mudah rusak karena penggunaannya yang selalu berada pada keadaan basah dan lembab. Daya tahan saringan bambu tersebut maksimal dua minggu sehingga pengrajin minimal mengganti saringan sebanyak dua kali sebulan. Harga saringan bambu relatif murah yaitu Rp 5.000,00 per buah. Alat yang digunakan untuk proses penyimpanan pada saat tempe diperam yaitu rak (kerai). Alat ini terbuat dari anyaman bambu dan merupakan peralatan yang memiliki daya tahan paling lama dibanding peralatan lainnya yaitu bisa mencapai 8 tahun. Banyaknya rak (kerai) yang dimiliki tergantung besarnya skala usaha masing-masing pengrajin. Kepemilikian rak (kerai) dalam satu industri
rumah tangga paling sedikit yaitu 25 buah sedangkan yang paling banyak mencapai 400 buah. Rata-rata harga rak (kerai) adalah Rp 20.000,00 per buah. Peralatan lain yang juga diperlukan diantaranya ember dan pisau. Masingmasing pengrajin umumnya minimal memiliki satu buah pisau dan dua buah ember. Daya tahan kedua alat ini relatif lama yaitu bisa mencapai tiga tahun. Harga ember rata-rata yaitu Rp 15.000,00 per buah sedangkan harga pisau sekitar Rp 7.500,00 per buah. 5.3.4 Pemasaran Beberapa cara pemasaran tempe di daerah penelitian yaitu dengan dijual berkeliling ke desa sekitar dan dijual ke pasar-pasar terdekat. Responden yang berjualan keliling umumnya sudah memiliki pelanggan tetap di desa tujuan. Pelanggan mereka adalah warung kelontong dan pedagang sayur. Cara pemasaran lainnya yaitu di pasar-pasar terdekat, seperti pasar Citeureup, Cileungsi, Cibinong, Jonggol, dan Wanaherang. Pengrajin yang menjual produknya ke pasar terdekat umumnya menghadapi pembeli yang terdiri atas pedagang, rumah makan dan konsumen rumah tangga. Di samping itu, apabila ada permintaan dari katering rumah tangga maka responden akan berproduksi melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut. Perbedaan harga antara produk yang dijual berkeliling dengan produk yang dijual di pasar yaitu rata-rata Rp 300,00 – Rp 500,00 per bungkus. Tempe tersebut dijual dalam berbagai ukuran diantaranya ukuran 12 x 25, ukuran 13 x 25, ukuran 14 x 25, ukuran 14 x 35, ukuran 15 x 30, ukuran 20 x 30 dan ukuran 25 x 35. Berikut disajikan tabel harga tempe menurut ukuran dengan harga pasar.
Tabel 17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar Ukuran tempe (cm) Harga per bungkus (Rp) 12 x 25 1.500,00 13 x 25 2.000,00 14 x 25 2.500,00 14 x 35 3.500,00 15 x 30 4.000,00 20 x 30 5.000,00 25 x 35 6.500,00
VI PEMBAHASAN 6.1 Analisis Nilai Tambah pada Industri tempe di Desa Citeureup Aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan salah satu bentuk kegiatan yang mengakibatkan bertambahnya nilai komoditi kedelai. Besaran nilai tambah tersebut dapat diketahui melalui analisis nilai tambah Metode Hayami. Melalui analisis ini dapat diuraikan proses produksi tempe menurut sumbangan masing-masing faktor produksi dan diketahui pula distribusi nilai tambah terhadap tenaga kerja dan pengrajin. Perhitungan analisis nilai tambah dilakukan pada periode produksi Maret 2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah penelitian melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga strukur biaya yang digunakan merupakan struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga puluh. Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan bahan baku utama, bahan baku lainnya, tenaga kerja, penyusutan peralatan, pajak, dan sewa tempat. Bahan baku utama pada industri tempe yaitu kedelai sedangkan bahan baku lain diantaranya ragi, daun, plastik, bahan bakar, dan pewarna. Masing-masing komponen biaya memiliki persentase kontribusi terhadap total biaya yang berbeda. Kedelai sebagai bahan baku utama memiliki persentase kontribusi yang paling tinggi yaitu sebesar 78,44 persen. Selanjutnya pada urutan kedua dengan kontribusi sebesar 8,30 persen ditempati oleh biaya tenaga kerja. Biaya penyusutan alat dan bahan baku lainnya secara berurutan masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6,06 persen dan 5,67 persen. Selain keempat komponen biaya di atas, terdapat dua komponen biaya lainnya yaitu pajak dan
sewa tempat. Pajak memberikan kontribusi sebesar 0,78 persen sedangkan sewa tempat sebesar 0,75 persen dari total biaya produksi. Tenaga kerja, 8.30%
Bahan baku lainnya, 5.67%
Penyusutan alat, 6.06%
Kedelai Kedelai, 78.44%
Bahan baku lainnya Tenaga kerja Penyusutan alat
Gambar 11. Persentase Empat Komponen biaya penting dalam industri tempe Analisis nilai tambah yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari pengadaan bahan baku kedelai sampai dengan produk tempe dapat dipasarkan. Dasar perhitungan dalam analisis nilai tambah pada industri tempe menggunakan per satuan kilogram kedelai sebagai bahan baku utama. Harga rata-rata bahan baku kedelai di daerah penelitian yaitu Rp 7.015,00 per kilogram. Tabel 19 memperlihatkan hasil perhitungan analisis nilai tambah pada industri tempe di Desa Citeureup dengan menggunakan Metode Hayami. Ratarata setiap harinya pengrajin tempe di daerah tersebut memproduksi tempe sebanyak 163,2 kilogram sehingga dalam satu bulan dapat dihasilkan tempe sebanyak 4.896 kilogram. Output tersebut dipasarkan dengan harga rata-rata per satuan Rp 6.500,00. Dari sisi bahan baku, jumlah kedelai yang digunakan yaitu 3.060 kilogram per bulan. Berdasarkan hasil pembagian besaran total output dan input bahan baku utama didapatkan nilai faktor konversi sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe.
Tabel 18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa Citeureup Maret 2008 URAIAN NILAI OUTPUT, INPUT, HARGA 1. Total output (kg/bulan) 4.896 2. Input bahan baku (kg/bulan) 3.060 3. Tenaga kerja (HOK/bulan) 61,71 4. Faktor konversi (1/2) 1,60 5. Koefisien tenaga kerja (3/2) 0,02 6. Harga output rata-rata (Rp/kg) 6.500 7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) 36.096,25 PENDAPATAN DAN KEUNTUNGAN 8. Harga bahan baku (Rp/kg) 7.015 9. Sumbangan input lain (Rp/kg kedelai) 1.186,08 10. Nilai output (4 x 6) 10.400 11. a. Nilai tambah (10 - 9 - 8) 2.198,91 b. Rasio nilai tambah (11a/10) x 100% 21,14 12. a. Pendapatan tenaga kerja (5 x 7) 727,94 b. Pangsa tenaga kerja (12a/11a) x 100% 33,10 13. a. Keuntungan (11a - 12a) 1.470,97 b. Tingkat keuntungan (13a/11a) x 100% 66,89 BALAS JASA FAKTOR PRODUKSI 14. Margin (10 - 8) 3.385 a. Pendapatan tenaga kerja (12a/14) x 100% 21,50 b. Sumbangan input lain (9/14) x 100% 35,03 c. Keuntungan (13a/14) x 100% 43,45 Proses produksi pada industri tempe tentu tidak terlepas dari komponen tenaga kerja. Rata-rata industri tempe dengan skala usaha seratus kilogram kedelai per hari menggunakan hanya dua orang tenaga kerja dimana keduanya berasal dari dalam keluarga. Apabila digunakan tenaga kerja dari luar keluarga maka sistem pengupahan yang berlaku adalah sistem harian sebesar Rp 41.250,00 per orang. Tenaga kerja tersebut bekerja selama delapan jam per hari yang terdiri dari 1,143 HOK bagi tenaga kerja pria dan 0,914 HOK bagi tenaga kerja wanita dengan asumsi 1HOK = 7 jam dan 1HOK pria = 0,8 HOK wanita. Atau dengan kata lain, upah yang diterima pekerja adalah sebesar Rp 36.096,25 per HOK. Total
pemakaian jasa tenaga kerja selama satu bulan periode produksi adalah 61,71 HOK. Nilai koefisien tenaga kerja diperoleh dari hasil pembagian jumlah total Hari Orang Kerja (HOK) selama satu bulan periode produksi dengan jumlah input bahan baku yang diolah dalam satu bulan. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai koefisien tenaga kerja pada industri tempe di daerah penelitian adalah 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja (HOK) yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Sumbangan input lain adalah biaya-biaya yang juga dikeluarkan industri selain biaya bahan baku kedelai dan tenaga kerja. Sumbangan input lain pada kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe terdiri dari biaya bahan baku lainnya (ragi, daun, plastik, pewarna, dan bahan bakar), biaya penyusutan alat, pajak dan sewa tempat. Nilai total sumbangan input lain pada industri tempe dengan skala usaha seratus kilogram per hari yaitu Rp 118.608,10. Nilai tersebut kemudian dibagi dengan jumlah input bahan baku utama yang digunakan sehingga diperoleh sumbangan input lain per satuan kilogram kedelai sebesar Rp 1.186,08. Nilai output diperoleh dari hasil perkalian rata-rata harga output per kilogram dengan faktor konversi. Nilai output pada industri tempe disini yaitu sebesar Rp 10.400,00. Nilai output tersebut memberikan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 dengan rasio nilai tambah 21,14 persen. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa sebesar 21,14 persen merupakan nilai tambah dari pengolahan produk. Nilai tambah disini merupakan nilai tambah kotor karena belum memperhitungkan imbalan tenaga kerja.
Imbalan tenaga kerja yang merupakan perkalian dari koefisien tenaga kerja dengan upah rata-rata tenaga kerja per HOK adalah sebesar Rp 727,94 dan pangsa tenaga kerja sebesar 33,10 persen. Hal ini berarti 33,10 persen dari nilai tambah merupakan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja. Industri tempe pada penelitian ini berhasil memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.470,97 per kilogram. Tingkat keuntungan yang dimiliki yaitu 66,89 persen yang berarti bahwa 66,89 persen dari nilai tambah merupakan keuntungan pengrajin/pengusaha. Keuntungan ini merupakan keuntungan bersih karena sudah memperhitungkan imbalan tenaga kerja. Berdasarkan tabel hasil analisis nilai tambah di atas dapat diketahui bahwa margin dari pengolahan kedelai pada industri tempe adalah sebesar Rp 3.385,00. Nilai ini diperoleh dari selisih harga atau nilai output dengan nilai input bahan baku utama. Margin ini kemudian didistribusikan menjadi imbalan bagi tenaga kerja, sumbangan input lain serta keuntungan pengusaha/pengrajin. Margin yang didistribusikan sebagai imbalan bagi tenaga kerja sebesar 21,50 persen. Margin bagi sumbangan input lain sebesar 35,03 persen dan margin bagi keuntungan pengrajin sebesar 43,45 persen. 6.2 Analisis Daya Saing Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Desa Citeureup. Matriks tersebut disusun berdasarkan data penerimaan, biaya produksi baik bersifat tradable maupun non tradable dengan menggunakan perhitungan harga privat dan harga sosial. Berikut disajikan hasil perhitungan matriks analisis kebijakan pada industri tempe di Desa Citeureup.
Tabel 19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input tradable Input nontradable Harga Privat 10.400,00 2.536,95 5.634,54 2.228,50 Harga Sosial 11.955,14 2.356,70 5.372,62 4.225,80 Dampak kebijakan -1.555,14 180,25 261,91 -1.997,30 Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau divergences identity.
Berdasarkan matriks di atas, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan untuk memperoleh sejumlah indikator penilaian tabel PAM. Indikator-indikator tersebut terdiri atas keuntungan privat, keuntungan sosial, rasio biaya privat, biaya sumberdaya domestik, transfer output, koefisien proteksi output nominal, transfer input, koefisien proteksi input nominal, transfer faktor, koefisien proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen. Tabel 20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai per Hari No Indikator Penilaian Nilai 1 Keuntungan Privat 2.228,50 2 Keuntungan Sosial 4.225,80 3 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,7166 4 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,5597 5 Transfer Output (TO) -1.555,14 6 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,8699 7 Transfer Input (TI) 180,25 8 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,0765 9 Transfer Faktor (TF) 261,91 10 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,8192 11 Transfer Bersih (TB) -1.997,30 12 Koefisien Keuntungan 0,5274 13 Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,2540
6.2.1 Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif dapat dilihat dari analisis keuntungan privat atau Private Profitability (PP) dan analisis rasio biaya privat atau Private Cost Rasio (PCR). Keuntungan privat merupakan keuntungan yang dihitung
berdasarkan harga yang sesungguhnya diterima pengrajin, telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Nilai ini diperoleh dari penerimaan finansial dikurangi biaya finansial baik yang bersifat tradable maupun non tradable. Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel PAM, terlihat bahwa aktifitas pengolahan kedelai menjadi tempe memiliki keuntungan privat (private profitabiliy) senilai Rp 2.228,50 per kilogram. Jika nilai keuntungan privat lebih besar dari nol berarti industri tempe di daerah penelitian layak secara finansial untuk diusahakan dalam kondisi kebijakan dan kegagalan pasar yang ada. Bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga finansial (harga privat). Suatu aktifitas dikatakan
efisien secara finansial atau dapat dikatakan juga memiliki keunggulan kompetitif apabila nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR < 1). Semakin kecil nilai PCR maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif suatu aktifitas usaha. Analisis yang dilakukan pada industri tempe menghasilkan PCR dengan nilai 0,7166 (PCR < 1). Hal ini berarti bahwa industri tempe di Desa Citeureup efisien secara finansial atau dengan kata lain memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR sebesar 0,7166 dapat diinterpretasikan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah
output sebesar satu satuan pada harga finansial maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik senilai 0,7166. 6.2.2 Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif diukur dengan pendekatan nilai keuntungan sosial atau Social Profitability (SP) dan rasio biaya sumberdaya domestik atau Domestic Resource Cost (DRC). Berbeda dengan analisis keunggulan kompetitif,
perhitungan pada analisis keunggulan komparatif didasarkan pada harga sosial atau shadow prices. Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan sosial dengan biaya-biaya sosial baik yang bersifat tradable maupun non tradable. Rasio sumberdaya domestik diperoleh dari rasio antara biaya input non tradable dengan selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga sosial (analisis ekonomi). Berdasarkan hasil analisis, industri tempe di daerah penelitian memiliki keuntungan sosial sebesar Rp 4.225,80. Hal ini dapat diartikan bahwa pada kondisi pasar yang tidak mengalami distorsi kebijakan pun, industri tempe tetap menguntungkan secara ekonomi. Selain itu, analisis yang dilakukan pada industri tempe di Desa Citeurep menghasilkan nilai DRC sebesar 0,5597. Apabila nilai DRC suatu usaha lebih kecil dari satu maka dapat dikatakan usaha tersebut efisien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian halnya dengan industri tempe yang nilai DRC nya 0,5597 (DRC < 1). Semakin kecil nilai DRC maka usaha tersebut semakin memiliki keunggulan komparatif dalam kondisi tanpa adanya intervensi pemerintah atau kondisi pasar persaingan sempurna.
Keuntungan privat yang diterima oleh pengrajin tempe di daerah penelitian lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan sosialnya (PP < SP). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa adanya intervensi pemerintah yang berupa distorsi pasar tidak memberikan insentif yang baik kepada para pengrajin tempe sehingga keuntungan yang diterima pada kondisi tanpa adanya intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan adanya intervensi pemerintah. Perbedaan yang terjadi antara analisis finansial dan analisis ekonomi disebabkan oleh adanya perbedaan nilai penerimaan, biaya domestik dan biaya input tradable akibat kebijakan pemerintah. Perbedaan penerimaan dikarenakan pada analisis ekonomi menggunakan harga output berdasarkan harga perbatasan fob yang nilainya lebih tinggi dibandingkan harga finansial (harga privat). Selain
itu, dari sisi komponen biaya domestik terdapat perbedaan nilai akibat dari perbedaan upah tenaga kerja tidak terdidik yang digunakan pada industri tempe dimana nilainya dipengaruhi oleh tingkat pengangguran di desa. Pada biaya input tradable, kedelai sebagai bahan baku dihitung berdasarkan harga perbatasan cif
pada analisis ekonomi. Nilai cif kedelai tersebut lebih rendah dibandingkan harga finansial sehingga biaya produksi pada analisis ekonomi pun menjadi lebih rendah dibandingkan pada analisis finansial. 6.2.3 Analisis Kebijakan Pemerintah Pada dasarnya suatu kebijakan bagi aktifitas ekonomi tertentu dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif terhadap para pelaku ekonomi. Melalui analisis matriks kebijakan dapat diketahui dampak kebijakan, baik kebijakan input (transfer input, koefisien proteksi input nominal dan transfer faktor), kebijakan output (transfer output dan koefisien proteksi output nominal),
maupun kebijakan input-output (koefisien proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen). Kebijakan pemerintah pada sisi output dapat dilihat dari nilai transfer output, dan koefisien proteksi output nominal. Nilai transfer output positif menunjukkan besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Dengan kata lain masyarakat (konsumen) membeli dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga yang seharusnya mereka bayarkan. Demikian sebaliknya apabila transfer output bernilai negatif. Analisis pada indusri tempe di Desa Citeureup menghasilkan nilai transfer output yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen membayar dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga yang seharusnya konsumen bayarkan. Nilai transfer output sebesar Rp -1.555,14 memiliki pengertian bahwa terdapat transfer dari produsen kepada konsumen sebesar nilai tersebut. Koefisien proteksi output nominal merupakan hasil pembagian antara penerimaan pada analisis finansial dengan penerimaan pada analisis ekonomi. Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) berarti terdapat proteksi harga oleh pemerintah sehingga harga output di pasar domestik yang diterima oleh produsen lebih tinggi dibandingkan harga bayangan (harga dunia), demikian pula sebaliknya. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa nilai NPCO pada industri tempe di daerah penelitian yaitu sebesar 0,8699 (NPCO < 1). Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kondisi ini juga dapat diartikan bahwa produsen atau pengrajin tidak memperoleh insentif dari pemerintah untuk peningkatan produksinya.
Transfer input merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Nilai transfer input diperoleh dari selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan biaya berdasarkan harga sosial. Apabila nilai transfer input yang dihasilkan positif berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pemberlakuan pajak pada input produksi. Demikian sebaliknya, nilai transfer input negatif memperlihatkan bahwa terdapat kebijakan subsidi pada input produksi sehingga pengrajin atau produsen membeli input pada harga finansial yang lebih rendah dibandingkan harga ekonomi. Industri tempe di Desa Citeureup menunjukkan nilai transfer input yang positif yaitu Rp 180,25. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input tradable mengakibatkan pengrajin mengalami kerugian senilai Rp 180,25 per kilogram tempe. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) menunjukkan tingkat distorsi yang dibebankan pemerintah terhadap input tradable. Pada industri tempe di Desa Citeureup, dihasilkan nilai NPCI 1,0765. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memproteksi produsen input sehingga harga input tradable di pasar domestik akan meningkat menjadi lebih tinggi dibandingkan harga efisiennya. Sementara sektor usaha yang menggunakan input tersebut akan mengalami kerugian karena harus membayar input produksi dengan harga yang lebih tinggi. Selain input produksi yang bersifat tradable terdapat pula input produksi yang bersifat non tradable. Transfer faktor yang merupakan analisis bagi kebijakan pemerintah pada input domestik diperoleh dari selisih antara biaya input non tradable pada analisis finansial dengan biaya input non tradable pada analisis
ekonomi. Hasil analisis menunjukkan transfer faktor pada industri tempe di Desa Citeureup sebesar Rp 261,91. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi
dibandingkan harga input non tradable pada tingkat harga sosial. Hal ini juga mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input domestik sehingga pengrajin atau produsen harus membayar input domestik dengan harga yang lebih inggi dibandingkan harga sosialnya. Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi ataupun menghambat produksi domestik. EPC ini diperoleh dari rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable pada analisis finansial dengan selisih penerimaan dan biaya input tradable pada analisis ekonomi. Nilai EPC pada industri tempe di desa Citeureup yaitu 0,8192 (EPC < 1). EPC sebesar 0,8192 dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan yang ada mengakibatkan pengrajin tempe tidak memperoleh tambahan keuntungan sebesar 81,92 persen dari harga bayangannya. Atau dengan kata lain pengrajin tempe di daerah penelitian hanya memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang kurang melindungi para pengrajin tempe. Selisih antara keuntungan finansial dengan keuntungan sosial menghasilkan nilai transfer bersih. Transfer bersih disini menyatakan adanya tambahan surplus produsen atau sebaliknya berkurangnya surplus produsen sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil analisis, transfer bersih di daerah penelitian bernilai Rp –1.997,30. Tranfer bersih yang bernilai negatif
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan berkurangnya surplus produsen sebesar Rp 1.997,30. Dari tabel indikator penilaian matriks analisis kebijakan terlihat bahwa nilai koefisien keuntungan pada industri tempe di Desa Citeureup yaitu sebesar 0,5274. PC yang merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih
sosial menunjukkan
pengaruh
keseluruhan
dari
kebijakan yang
mengakibatkan keuntungan sosial berbeda dengan keuntungan finansial. PC senilai 0,5274 memiliki arti bahwa kerugian ynag diterima pengrajin dengan adanya kebijakan pemerintah adalah 52,74 persen lebih tinggi dibandingkan kerugian yang diterima pada kondisi tanpa adanya kebijakan pemerintah. Rasio subsidi produsen (SRP) merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan analisis ekonomi. SRP lebih besar dari nol berarti bahwa adanya kebijakan pemerintah mengakibatkan produsen mengeluarkan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan biaya imbangan untuk berproduksi. Sebaliknya, SRP lebih kecil dari nol menunjukkan adanya kebijakan pemeritah berdampak pada lebih tingginya biaya produksi yang dikeluarkan produsen dibandingkan opportunity costnya. SRP yang diterima pengrajin tempe di Desa Citeureup adalah -0,2540. Nilai rasio subsidi produsen ini berarti bahwa kebijakan yang berlaku selama ini mengakibatkan pengrajin tempe mengeluarkan biaya produksi lebih tinggi 25,40 persen dibandingkan biaya opportunity cost untuk berproduksi. 6.3 Analisis Sensitivitas pada Industri Tempe di Desa Citeureup Analisis sensitivitas diperlukan untuk melihat sejauh mana pengaruh yang akan ditimbulkan apabila terjadi goncangan atau perubahan-perubahan pada
sejumlah variabel pada industri tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Perubahan yang terjadi tentu akan berpengaruh pula pada hasil matriks analisis kebijakan atau dengan kata lain mempengaruhi daya saing yang dimiliki industri tersebut. Analisis sensitivitas yang dilakukan yaitu dengan menaikkan harga kedelai sebesar 60 persen, menaikkan harga input 60 persen diimbangi kenaikan harga output sebesar 46 persen. Kenaikan harga input kedelai sebanyak 60 persen tentu berdampak pada besarnya biaya produksi pada industri tempe baik dalam analisis finansial maupun analisis ekonomi. Peningkatan harga kedelai tersebut mengakibatkan keuntungan privat yang dimiliki pengrajin di sentra industri tempe Desa Citeureup bernilai negatif. Keuntungan privat senilai Rp -1.770,04 menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen mengakibatkan usaha pengolahan kedelai menjadi tempe tidak layak secara finansial. Hal ini didukung pula oleh nilai PCR sebesar 1,277. Nilai PCR yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa aktifitas usaha pada industri tempe tidaklah efisien secara finansial atau dengan kata lain tidak memiliki keunggulan kompetitif. Di lain pihak, meskipun terjadi kenaikan harga kedelai sebanyak 60 persen industri tempe di Desa Citeureup masih tetap memiliki keuntungan sosial yang bernilai positif. Keuntungan sosial yang bernilai Rp 263,69 dapat diartikan bahwa pada kondisi pasar yang tidak mengalami distorsi kebijakan, industri tempe tetap menguntungkan secara ekonomi. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada kondisi kenaikan harga kedelai sebanyak 60 persen, industri tempe di daerah penelitian memiliki nilai DRC 0,968 (DRC < 1). Aktifitas usaha dengan nilai DRC yang lebih kecil dari
satu menunjukkan bahwa aktifitas tersebut mempunyai keunggulan komparatif. Semakin kecil nilai DRC maka usaha tersebut semakin memiliki keunggulan komparatif dalam kondisi tanpa adanya intervensi pemerintah atau kondisi pasar persaingan sempurna. Tabel 21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen No Indikator Penilaian Nilai A Keunggulan Kompetitif Keuntungan Privat -1.770,049 Rasio Biaya Privat (PCR) 1,277 B Keunggulan Komparatif Keuntungan Sosial 263,695 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,968 Seperti telah disebutkan di atas bahwa kenaikan harga kedelai sebanyak 60 persen mengakibatkan usaha pengolahan kedelai menjadi tempe tidaklah layak atau menguntungkan secara finansial. Oleh karena itu, strategi yang mungkin dilakukan untuk menghadapi situasi tersebut yaitu dengan menaikkan harga output. Kenaikan harga output sebanyak 46 persen didasarkan pada pertimbangan bahwa di daerah penelitian pernah terjadi kenaikan harga output sekitar 46 persen. Kenaikan harga input kedelai yang diimbangi juga dengan kenaikan harga output memberikan hasil analisis bahwa industri tempe di Desa Citeureup layak untuk dijalankan dengan nilai keuntungan privat sebesar Rp 3.013,951. Nilai PCR yang dimiliki industri tempe pada kondisi seperti ini yaitu 0,730. Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga finansial maka dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik senilai 0,730. Nilai PCR yang lebih kecil dari satu juga menunjukkan bahwa industri tempe kembali memiliki keunggulan kompetitif.
Analisis keunggulan komparatif pada industri tempe dapat dilihat dari nilai keuntungan sosial maupun nilai biaya sumberdaya domestik. Pada kondisi seperti di atas, industri tempe di daerah penelitian tetap memiliki keuntungan sosial yang tinggi. Keuntungan sosial pada indusatri tempe dengan kondisi kenaikan harga kedelai yang diimbangai kenaikan harga output adalah sebesar Rp 5.763,00. Seperti terlihat pada tabel 22, rasio biaya sumberdaya domestik industri tempe pada kondisi terjadi kenaikan harga kedelai yang diimbangi kenaikan harga output adalah 0,580. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa industri tempe di daerah penelitian tetap memiliki keunggulan komparatif meskipun terjadi perubahan baik pada komponen biaya maupun penerimaan. Tabel 22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen diimbangi harga output naik 46 Persen No Indikator Penilaian Nilai A Keunggulan Kompetitif Keuntungan Privat 3.013,951 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,730 B Keunggulan Komparatif Keuntungan Sosial 5763,001 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,580 Selain itu, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perhitungan dan analisis data tidak akan mengubah kesimpulan yang diperoleh. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa pada struktur biaya baik pada analisis finansial maupun analisis ekonomi industri tempe Desa Citeureup telah dilakukan analisis sensitivitas. Komponen biaya bahan baku kedelai telah disensitivitas dengan kenaikan sebesar 60 persen dan ternyata industri tempe masih memiliki keunggulan komparatif. Sementara kemungkinan kesalahan yang dilakukan peneliti tidaklah lebih tinggi dari sensitivitas yang dilakukan.
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Analisis nilai tambah pada industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tanaga kerja yang diperoleh sebesar 0,02. Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe. Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu, industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu. Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540. Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan
analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1). Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetif. 7.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan peneliti berdasarkan hasil analisis yaitu: 1. Perlu dilakukan upaya peningkatan ketersediaan bahan baku kedelai. Pemenuhan bahan baku tersebut hendaknya berasal dari produksi domestik sehingga dapat menghemat devisa yang dikeluarkan pemerintah bagi pengadaan bahan baku industri pengolahan kedelai. Hal ini didasarkan pertimbangan tingginya ketergantungan pengrajin tempe terhadap kedelai impor serta kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak aktivitas usaha industri tempe terhadap lingkungan. Apakah nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan aktivitas pengolahan kedelai menjadi tempe tersebut sebanding dengan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA Amang, Bedu. 1996. Ekonomi Kedelai. Institut Pertanian Bogor (IPB Press). Bogor. Andriani. 1999. Analisis Keunggulan Komparatif, Kompetiif dan Dampak Kebijakan Pemerintah pada Usaha Meubel Rotan (Kasus Sentra Industtri Rotan Tegalwangi dan CV Khalim Rattan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Apretty, Butet. J. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala Kecil (Studi Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Apriyadi, Andi. 2003. Analisis Usaha dan Nilai Tambah Pengolahan Ikan pada Industri Kerupuk Udang/Ikan di Indramayu. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Bogor dalam Angka. Bogor. _________________. 2002-2006. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Jilid I. Jakarta. _________________. 2007. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Jilid I. Jakarta. _________________. 2007. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. Jakarta. Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Jakarta. Cho and Moon. 2003. From Adam Smith to Michael Porter Evolusi Teori Daya Saing. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Dermawan, Ahmad. 1999. Analisis Pendapatan Usahatani Kedelai serta Nilai Tambah Industri Tahu dan Tempe (Kasus Desa Sindangratu dan Situgede di Kabupaten Garut serta Kotamadya Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Dewi, Retno. Puspo. 2004. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif serta Dampak Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Dhuhana. 2004. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Emping Melinjo di Kabupaten Serang (Studi Kasus di Desa Sukadalem, Kecamatan Waringin Kurung). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua. Terjemahan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Gray, Clive et. al. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Penerbit Gramedia Pustaka Uama. Jakarta. Handayani, Riyandini. Siswi. 2007. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Bawang Merah Konvensional dan Organik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Jati, Elmi. Sipta. 2005. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Industri Kecil Keripik dan Sale Hasil Produk Olahan Pisang (Kasus Industri Kecil Keripik dan Sale Pisang di Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi 2001. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Kuraisin, Vivin. 2006. Analisis Dayasaing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Monke, E.A and Scott. Pearson. 1989. The Policy Analisys Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Itacha and London. Muflikh, Yanti. Nuraeni. 2003. Analisis Nilai Tambah Pengolahan dan Optimalisasi Produksi Kain Tenun Sutera Alam (Studi Kasus: Pengrajin Sutera Alam “Aman Sahuri”, Kabupaten Garut). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Pearson, Scott and Carl Gotsch. Penterjemah Sjaiful Bahri. 2004. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sarwono, B. 1994. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Penebar Swadaya. Jakarta. Sefiyansyah. 2004. Analisis Preferensi dan Pola Konsumsi Kecap Rumah Tangga (Studi Kasus di Kota Cirebon). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing No Uraian Domestik Asing Pajak (%) (%) (%) A Penerimaan Tempe 100 0 0 B Biaya Produksi 1 Kedelai 60 35 5 2 Ragi 100 0 0 3 Bahan bakar Kayu bakar 100 0 0 Serbuk kayu 100 0 0 4 Pewarna 100 0 0 5 Peralatan Drum rendam/cuci/rebus 100 0 0 Mesin giling 100 0 0 Ember/pisau/saringan 100 0 0 6 Tenaga kerja 100 0 0 7 Bahan pengemas Daun 100 0 0 Plastik 100 0 0 8 Biaya tataniaga 44,32 54,47 1,21 9 Sewa tempat 100 0 0 10 Pajak 100 0 0
Lampiran 2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate (SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah) Tahun Xt Mt Txt Tmt OERt SCFt SERt 2001 585.737,40 322.005,80 397,00 9.975,00 10.400,00 0,989 10.515,67 2002 510.954,90 279.722,80 349,00 12.249,00 8.940,00 0,985 9.075,14 2003 516.857,60 275.541,70 438,00 11.960,00 8.465,00 0,986 8.585,19 2004 524.436,00 340.489,30 315,00 11.636,00 9.042,00 0,987 9.161,09 2005 785.501,00 529.117,10 317,90 14.927,10 9.170,00 0,989 9.271,86 2006 539.400,00 539.300,00 377,70 12.141,70 9.020,00 0,989 9.120,37 2007 580.629,59 364.134,35 453,00 14.417,00 9.141,00 0,984 9.284,87 Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2007) SERt
=
OERt SCFt
SCFt
=
Mt + Xt ( Mt + TMt ) + ( Xt − TXt )
Keterangan: SERt
= Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan) pada tahun t
OERt
= Official Exchange Rate (nilai tukar resmi) pada tahun t
SCF t
= Standar Exchange Rate (faktor konversi standar) pada tahun t
Mt
= Nilai impor pada tahun t
Xt
= Nilai ekspor pada tahun t
TMt
= Pemerimaan pemerintah dari pajak impor pada tahun t
TXt
= Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor pada tahun t
Contoh perhitungan pada tahun 2007: SCFt
=
364134.35 + 580629.59 (364134.35 + 14417) + (580629.59 + 453)
= 0.9845 SER
=
9141 0.984
= 9284.874
Lampiran 3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai Per Hari No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Ratarata
Kedelai per hari Pemakaian Harga Nilai (kg) 30 70 75 100 250 75 100 230 250 40 35 100 200 40 100 50 70 50 100 75
(Rp/kg) 7.000 7.000 7.000 7.200 7.000 6.900 7.000 7.000 6.700 7.500 7.000 7.000 7.200 7.000 7.000 6.900 7.000 7.000 6.900 7.000
(Rp) 210.000 490.000 525.000 720.000 1.750.000 517.500 700.000 1.610.000 1.675.000 300.000 245.000 700.000 1.440.000 280.000 700.000 345.000 490.000 350.000 690.000 525.000
102
7.015
715.530
Pemakaian (kg) 0,10 0,20 0,20 0,25 0,70 0,20 0,33 0,50 0,50 0,10 0,10 0,30 0,50 0,10 0,30 0,15 0,20 0,15 0,30 0,20 0,269
Ragi per hari Harga (Rp/kg) 15.000 15.000 15.000 13.500 15.000 14.000 16.000 15.000 13.000 15.000 15.000 16.000 13.500 15.000 15.000 16.000 15.000 14.500 15.000 15.000 148.250
Nilai
Pemakaian
(Rp) 1.500 3.000 3.000 3.375 10.500 2.800 5.280 7.500 6.500 1.500 1.500 4.800 6.750 1.500 4.500 2.400 3.000 2.175 4.500 3.000
kayu (krg) 0,3 0,5 0,5 1,0 0 1,0 1,0 0 0 0,3 0,3 1,0 0 0,3 1,0 0,4 0,5 0,4 1,0 0,5
3.987,93
10
Kayu bakar/Serbuk kayu per hari Harga Nilai Pemakaian Harga (Rp/krg) 7.000 7.000 7.500 8.000 0 8.000 7.000 0 0 7.000 7.500 8.000 0 8.000 7.000 7.000 7.000 7.000 7.500 7.000
(Rp) 2.100 3.500 3.750 8.000 0 8.000 7.000 0 0 2.100 2.250 8.000 0 2.400 7.000 2.800 3.500 2.800 7.500 3.500
serbuk(krg) 0 0 0 0 2.0 0 0 2.0 2.0 0 0 0 1.5 0 0 0 0 0 0 0 7.5
(Rp/krg) 0 0 0 0 5.000 0 0 5.000 6.000 0 0 0 6.000 0 0 0 0 0 0 0
Pewarna per hari Pemakaian Harga Nilai
Nilai
Total nilai
(Rp) 0 0 0 0 10.000 0 0 10.000 12.000 0 0 0 9.000 0 0 0 0 0 0 0
pemakaian 2.100 3.500 3.750 8.000 10.000 8.000 7000 10.000 12.000 2.100 2.250 8.000 9.000 2.400 7.000 2.800 3.500 2.800 7.500 3.500
(bks)
5.760
4,55
1,0 3,0 3,0 5,0 12 3,0 4,0 10 15 1,0 1,0 5,0 10 2,0 5,0 1,0 2,0 1,0 5,0 2,0
(Rp/bks) 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500 500
(Rp) 500 1.500 1.500 2.500 6.000 1.500 2.000 5.000 7.500 500 500 2.500 5.000 1.000 2.500 500 1.000 500 2.500 1.000
500
2.275
Lampiran 4. Biaya Produksi Indusri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram Kedelai per Hari No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Ratarata
Plastik/hari Pemakaian (kg) 0,30 0,60 1,00 1,00 2,00 1,00 1,25 2,00 3,00 0,25 0,50 2,00 2,50 0,75 1,28 0,50 0,60 0,50 1,00 0,70
Harga (Rp/kg) 20.000 20.000 18.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 22.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
Nilai (Rp) 6.000 12.000 18.000 20.000 40.000 20.000 25.000 40.000 60.000 5.500 10.000 40.000 50.000 15.000 25.600 10.000 12.000 10.000 20.000 14.000
Daun/hari Pemakaian (ikat) 0 3 4 5 25 1,5 5 10 15 0 1 2,5 70 2 5 2 3 2 5 3
Harga (Rp/ikat) 2.200 2.200 2.000 2.000 2.000 2.200 2.000 2.000 1.800 2.000 2.500 2.000 2.000 2.000 2.000 2.200 2.200 2.000 2.000 2.200
Nilai (Rp) 0 6.600 8.000 10.000 50.000 3.300 10.000 20.000 27.000 0 2.500 5.000 140.000 4.000 10.000 4.400 6.600 4.000 10.000 6.600
T.kerja/hari Pemakaian (org) 1 2 2 2 4 2 2 4 4 2 2 2 4 1 2 2 2 2 2 2
1,14
20.000
22.730
8,2
2.075
17.015
2
Harga (Rp/org) 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 40.000 35.000 50.000 40.000 50.000 40.000 50.000 40.000 40.000 40..000 40.000 40.000 40.000 40.000 41.250
Nilai Penyusutan (Rp) (Rp) 40.000 39.885,42 80.000 41.263,89 80.000 37.541,67 80.000 77.402,78 160.000 143.965,28 80.000 46.513,89 80.000 59.869,20 140.000 112.555,56 200.000 95.138,89 80.000 36.111,11 100.000 46.944,44 80.000 60.771,83 200.000 79.972,22 40.000 38.208,33 80.000 47.638,89 80.000 40.027,78 80.000 41.902,78 80.000 37.347,22 80.000 44.930,56 80.000 42.388,89 82.500
55272,43
Lampiran 5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Peralatan
Jumlah (buah) Penggilingan 1 Drum cuci & rendam 3 Drum rebus 1 Tungku 1 Rak (kerai) dari bambu 87 Saringan 1 Ember 2 Pisau 1 Total biaya penyusutan peralatan
Harga Beli (Rp) 617.500 66.750 60.750 64.750 14.950 5.000 13.250 8.075
Umur Pakai (bln) 26 60 12 13 96 0,471 36 37
Penyusutan peralatan per bulan = harga beli - nilai sisa umur pakai
Nilai Penyusutan Sisa (Rp) per bulan (Rp) 44.250 22.048,08 7.500 2.962,50 7.000 4.479,17 5.000 4.596,15 3.000 10.829,69 500 9.554,14 2.000 625,00 1.500 177,70 55.272,43
x jumlah pemakaian
Lampiran 6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) No Uraian Aspek Finansial Domestik Asing Pajak Total Domestik A Penerimaan 10.400 B Biaya Produksi 1 Kedelai 4.209 2455,25 350,75 7.015 4.225 2 Ragi 39,09 0 0 39,09 39,09 3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 5 Peralatan Drum rendam/cuci/rebus 1,21 0 0 1,21 1,21 Mesin giling 7,20 0 0 7,20 7,20 Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 Ember/pisau/saringan 1,12 0 0 1,12 1,12 Rak (kerai) bambu 3,53 0 0 3,53 3,53 6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,02 7 Bahan pengemas Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,815 150 66,48 9 Sewa tempat 66,66 0 0 66,66 0 10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 TOTAL 5.634,54 2.536,95 352,56 8524,06 5372,62
Usaha Seratus Kilogram Aspek Sosial Asing Total 11.955,14 2.275 0 0 0
6.500 39,09 56,47 22,30
0 0 0 0 0 0
1,21 7,20 1,50 1,12 3,53 559,02
0 0 81,705 0 0 2356.705
166,81 222,84 148,18 0 0 7729,33
Lampiran 7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total A Penerimaan 10.400,00 11.955,14 B Biaya Produksi 1 Kedelai 6734,40 3.928,4 561,2 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00 2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10 3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47 4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30 5 Peralatan Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22 Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21 Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50 Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13 Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54 6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03 7 Bahan pengemas Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81 Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84 8 Biaya tataniaga 66,48 81,705 1,815 150,00 66,48 81,705 148,19 9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0 10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0 TOTAL 8.159,94 4.010,10 563,01 12.733,06 7.907,63 3.721,705 11.629,33
Lampiran 8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total A Penerimaan 1.5184,00 17.454,45 B Biaya Produksi 1 Kedelai 4.209,00 2.455,25 350,75 7.015,00 4.225,00 2.275 6.500,00 2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10 3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47 4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30 5 Peralatan Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22 Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21 Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50 Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13 Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54 6 Tenaga kerja 825,00 0 0 825,00 621,14 0 621,14 7 Bahan pengemas Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81 Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84 8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1.81 150,00 66,48 81,70 148,19 9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0 10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0 TOTAL 5.717,04 2536,95 352,56 8.606,56 5.434,74 2356,70 7.791,44
Lampiran 9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen dan Harga Output Naik 46 Persen No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total A Penerimaan 15.184,00 17.454,45 B Biaya Produksi 1 Kedelai 6.734,40 3.928,40 561,20 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00 2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10 3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47 4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30 5 Peralatan Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22 Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21 Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50 Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13 Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54 6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03 7 Bahan pengemas Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81 Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84 8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,81 150,00 66,48 81,70 148,19 9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0 10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0 TOTAL 8.159,94 4.010,11 563.01 12.733,06 7.907,63 3.721,70 11.629,33
Lampiran 10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input tradable Input nontradable Harga Privat 10.400,00 4.010,11 8.159,94 -1.770,05 Harga Sosial 11.955,14 3.721,71 7.969,74 263,70 Dampak kebijakan -1.555,14 288,40 190,20 -2.033,74
Lampiran 11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen. Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input tradable Input nontradable Harga Privat 15.184,00 4.010,11 8159,94 3.013,95 Harga Sosial 17.454,45 3.721,71 7969,74 5.763,00 Dampak kebijakan -2.270,45 288,40 190,20 -2.749,05