83
VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (PAM). Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Dalam mengelola usahataninya seorang petani memerlukan sejumnlah input yang merupakan biaya produksi. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usahatani rumput laut sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Berdasarkan Tabel 12, rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk setiap musim tanam usahatani rumput laut terdiri dari biaya bibit, biaya tali rafia, solar, tenaga kerja, dan peralatan.
Rata-rata
penerimaan dan komponen biaya usahatani rumput laut per 0.6 hektar di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rata-Rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat dan Sosial Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke. Privat Uraian
Petani
Sosial
Jumlah
Nilai Proporsi Jumlah Nilai Proporsi (Rp) (%) (Rp) (%) 14 818 468.52 15 329 008.03
A. Penerimaan B. Biaya Input 1. Bibit Rumput Laut (Kg) 2. Tali Rafia (Kg) 3. Solar (liter) 4. Tenaga Kerja 5. Penyusutan Alat
C. Total Biaya D. Keuntungan
1 775
5 325 000
53.46
1 775
5 325 000
53.95
68
1 020 000
10.24
68
1 020 000
10.34
3
13 500
0.14
3
13 500
0.14
946
1 135 500 2 465 813
11.40 24.76
946
1 044 660 2 465 813
10.59 24.99
9 959 813
100.00
9 868 973
100.00
4 858 655.52
5 460 035.03
Berdasarkan Tabel 12 untuk setiap musim tanam, rata-rata petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke mengeluarkan biaya dengan alokasi yang terbesar adalah bibit yaitu sebesar secara harga sosial.
Rp. 5 325 000 baik secara harga privat maupun
Hal ini disebabkan karena
mahalnya harga bibit yang
84
digunakan oleh petani rumput laut karena bibit yang dibeli berasal dari luar Kepulauan Tanakeke, dimana harga bibit per kg sebesar Rp. 3 000. Proporsi biaya berikutnya adalah biaya penyusutan peralatan
sebesar
24.76 persen atau senilai Rp.2 465 813 baik secara harga privat maupun harga sosial.
Hal ini disebabkan karena banyaknya peralatan yang digunakan oleh
petani yang dibeli dengan harga cukup tinggi. Proporsi biaya yang paling sedikit digunakan oleh petani rumput laut baik secara harga privat maupun secara harga sosial adalah penggunaan solar yaitu hanya sebesar 0.14 persen atau senilai Rp. 13 500.
Hal ini disebabkan karena
petani hanya menggunakan rata-rata solar sebanyak 3 liter per ha pada saat penanaman dan panen. Komoditi rumput laut berproduksi 3 sampai 4 kali dalam setahun, dimana dalam satu musim tanam, umur panen tanaman 40 sampai 45 hari. Akan tetapi petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke, melakukan panen rumput laut pada umur tanaman 30 – 35 hari. Hal tersebut menyebabkan kandungan keragenan rumput laut yang dihasilkan kurang dan akan mempengaruhi kualitas rumput laut yang dihasilkan, sehingga apabila rumput laut tersebut dijual dipasar maka harga jualnya menjadi rendah. Penerimaan yang dihasilkan oleh petani rumput laut secara privat lebih rendah dibanding secara sosia. Tingkat penerimaan petani secara harga privat rata-rata per
musim
secara harga sosial rata-rata
tanam sebesar
Rp. 14 818 468.52 sedangkan
per musim tanam sebesar Rp. 15 329 008.03.
Perbedaan penerimaan petani rumput laut yang cukup besar disebabkan karena adanya perbedaan harga jual rumput laut kering. 8.2. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial Keuntungan privat dan keuntungan sosial merupakan salah satu indikator keluaran
dari model PAM (Policy Matrix Analysis) yang digunakan dalam
penelitian ini. Keuntungan dalam analisis PAM, merupakan excess profit yaitu nilai lebih setelah semua biaya diperhitungkan. Keuntungan privat adalah selisih penerimaan dengan biaya total berdasarkan harga privat (harga aktual yang terjadi di pasar) yang digunakan oleh
85
petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke, dimana harga tersebut
telah
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Keuntungan privat dilakukan untuk mengukur daya saing dari sistem komoditas dan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis biaya manfaat pada tingkat harga privat atau harga aktual (Pearson, 2005). Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial atau harga efesiensi yang didasarkan pada estimasi social opportunity costs. Pada keadaan ini, harga sosial untuk input dan output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yaitu harga impor untuk komoditas impor dan harga ekspor untuk komoditas ekspor. Sedangkan faktor domestik seperti tenaga kerja tidak memiliki harga internasional, sehingga harga sosialnya (social opportunity costs) diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar faktor domestik di pedesaan. Tujuannya untuk mengetahui berapa besar ouput atau pendapatan yang hilang karena faktor domestik digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas alternatif terbaiknya (Pearson, 2005). Keuntungan privat dan sosial yang diperoleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke diperlihatkan pada Tabel 13. Tabel 13.
Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Tahun 2011. Biaya (Rp/0.6 Ha)
Uraian
Penerimaan
Harga Privat Harga Sosial
14 818 468.52
Input Tradable 208 050
Faktor Domestik 9 751 763
15 329 008.03
208 050
9 660 925
Keuntungan (Rp/0.6 Ha) 4 858 655.52 5 460 035.03
Hasil analisis pada Tabel 13 memperlihatkan bahwa secara privat (harga aktual)
maupun secara sosial (harga ekonomi) usahatani rumput laut di
Kepulauan Tanakeke sangat menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan secara privat dan sosial yang bernilai positif. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol (D > 0) yaitu sebesar Rp 4 858 655.52 per musim tanam menunjukkan bahwa usahatani rumput laut
86
menguntungkan secara privat dan dapat bersaing selama sumberdaya tersedia dan tidak ada komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Demikian pula
keuntungan sosial yang diperoleh petani rumput laut bernilai positif (H > 0) yaitu sebesar Rp 5 5 460 035.03 per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya yang digunakan dalam memproduksi rumput laut dapat dimanfaatkan secara efesien dan dapat bersaing pada tingkat harga internasional tanpa bantuan kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mira dan Reswati (2006) yang menyatakan bahwa usaha budidaya rumput laut di Sulawesi memiliki daya saing yang dilihat dari hasil keuntungan privat lebih besar dari nol (D > 0) dan keuntungan sosial yang lebih besar dari nol (H > 0). Hal ini dikarenakan bibit yang digunakan relatif lebih bagus dan budidaya dilakukan sepanjang tahun. Tabel 13 memperlihatkan pula bahwa terjadi perbedaan yang besar antara keuntungan privat dan keuntungan sosial yang menunjukkan divergensi negatif. Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara keuntungan yang diperoleh petani rumput laut secara privat dengan keuntungan sosial, ternyata keuntungan sosial lebih besar dibandingkan keuntungan privat (KP
Hal ini berarti bahwa ada atau tidaknya kebijakan pemerintah,
pengusahaan rumput laut masih menguntungkan secara privat (aktual) dan sosial (ekonomi). 8.3. Analisis Daya Saing Rumput Laut Matrik Analisis Kebijakan (PAM) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis efesiensi ekonomi dan besarnya dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan berbagai aktivitas usahatani, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian secara keseluruhan dan sistimatis.
87
Hasil analisis PAM dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis PAM yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing adalah nilai DRC dan PCR yang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14.
Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Private Cost Ratio (PCR) Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Tahun 2011.
No.
Indikator
1
Domestic Resources Ratio (DRC)
2
Private Cost Ratio (PCR)
Kriteria <1
Nilai 0.64
>1 <1
0.67
>1
Untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditas dalam kaitannya dengan efesiensi penggunaan sumberdaya, maka digunakan dua pendekatan yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif adalah rasio biaya sumberdaya domestik (DRC), sedangkan untuk mengukur keunggulan kompetitif digunakan indikator rasio biaya privat (PCR). 8.3.1. Keunggulan Komparatif Usahatani Rumput laut Keunggulan komparatif atau tingkat efesiensi ekonomi usahatani rumput laut ditunjukkan oleh nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRC) yaitu rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRC menunjukkan kemampuan usahatani rumput laut dalam membiayai faktor domestiknya pada harga sosial yang berarti sejumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa.
Jika DRC lebih kecil dari
satu (DRC < 1) dan atau lebih kecil lagi, maka komoditi yang diusahakan makin efesien dan memiliki daya saing tinggi atau memiliki peluang ekspor yang tinggi serta dapat berkembang tanpa bantuan atau tanpa adanya kebijakan pemerintah. Berdasarkan Tabel 14, menunjukkan bahwa pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke memiliki nilai DRC kurang dari satu yaitu sebesar 0.64. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya sumberdaya domestik yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan nilai tambah yang diperoleh. Artinya setiap satu
88
satuan yang dihasilkan karena mengekspor rumput laut kering, hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 0.64 satuan sehingga terjadi perolehan devisa sebesar 0.31 satuan. Dengan demikian pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke efesien secara sosial atau komparatif.
memiliki keunggulan
Semakin kecil nilai DRC, maka komoditas tersebut semakin
memiliki keunggulan komparatif atau semakin memiliki daya saing yang tinggi dalam kondisi tanpa adanya kebijakan pemerintah. 8.3.2. Keunggulan Kompetitif Usahatani Rumput Laut Keunggulan kompetitif suatu komoditas dapat dilihat dari bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efesiensi privat dalam usahatani rumput laut.
Efesiensi privat dapat diukur dengan menggunakan Rasio Biaya
Privat (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output yang dihasilkan.
Nilai tambah diperoleh dari selisih antara
penerimaan output dengan input tradable yang dugunakan pada harga aktual atau pada kondisi harga telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti pajak atau subsidi. Nilai PCR menunjukkan kemampuan suatu sistem usahatani dalam membiayai faktor domestik pada harga aktual. Semakin kecil nilai PCR, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif dari pengusahaan rumput laut tersebut. Berdasarkan Tabel 14, nilai PCR pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke menunjukkan hasil yang lebih kecil dari satu (PCR < 1) yaitu sebesar sebesar 0.67. Hal ini berarti bahwa untuk memproduksi rumput laut sebesar satu satuan pada harga privat, petani memerlukan tambahan biaya input domestik sebesar 0.67. Keunggulan kompetitif akan meningkat, jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan.
Dengan demikian pengusahaan rumput laut di Kepulauan
Tanakeke efesien secara privat atau memiliki keunggulan kompetitif. Pengusahaan rumput laut baik secara privat maupun sosial mempunyai efesiensi yang tidak terlalu tinggi, akan tetapi tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sebagai komoditi ekspor.
Dengan demikian
pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke mempunyai daya saing di pasar internasional.
89
Nilai DRC yang lebih kecil dari PCR (DRC < PCR ) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke menyebabkan nilai tambah yang diperoleh petani pada harga sosial lebih rendah dari nilai tambah pada harga aktual (privat). Kebijakan pemerintah yang menetapkan pajak pemerintah sebesar 30 persen dan birokrasi ekspor yang mahal , tidak memberikan intensif kepada petani karena keuntungan privat yang diperoleh menjadi lebih rendah dibandingkan jika pemerintah tidak menetapkan kebijakan tersebut.
Artinya akan lebih efesien
jika kebijakan pemerintah
tersebut diperbaiki atau dikaji kembali. Namun demikian, diperlukan beberapa kebijakan yang operasional untuk mendorong daya saing rumput laut, diantaranya : (1) berbagai kebijakan di bidang penelitian agar ditemukan bibit unggul,
(2)
menyediakan infrastruktur fisik
maupun ekonomi sehingga dapat meningkatkan aksebilitas sentra produksi rumput laut terhadap pasar input maupun pasar output. 8.4. Dampak Kebijakan Pemerintah Usahatani rumput laut hanya dapat berkembang apabila didukung oleh kebijakan yang kondusif. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan usahatani rumput
laut
dapat
memberikan
dampak
positif
maupun
negatif.
Tujuan dari kebijakan pemerintah dalam perdagangan adalah untuk melindungi produsen maupun konsumen dalam negeri.
Kebijakan yang dibuat
dapat membuat harga di dalam negeri berbeda dengan harga di pasar internasional, besarnya harga yang ditentukan nantinya tergantung dari siapa yang dilindungi apakah konsumen atau produsen dalam negeri. pemerintah
telah
memiliki
instrument-instrumen
Oleh karena itu
kebijakan
yang
dapat
diimplementasikan untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan tersebut dapat berdampak terhadap input maupun output (Hidayat, 2009). Dampak kebijakan pemerintah ini dalam analisis PAM dapat dilihat melalui identitas divergensi.
Divergensi menyebabkan harga privat berbeda
dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan atau kekuatan pasar yang gagal.
Besarnya dampak kebijakan tersebut dapat
dilihat melalui indikator yaitu Output Transfer (OT), Nominal Protection
90
Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer, Factor Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). 8.4.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Indikator untuk melihat intervensi pemerintah terhadap output rumput laut dapat dilihat dari nilai Output Transfer (OT) dan nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) atau Koefisien Proteksi Output Nominal. Output Transfer (OT) merupakan selisih antara penerimaan finansial dengan penerimaan ekonomi.
Output Transfer (OT) atau transfer output
menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap output sehingga ada perbedaan harga output privat dan harga output sosial. Jika OT lebih besar dari nol (OT > 0) atau positif menunjukkan bahwa ada insentif konsumen terhadap produsen dimana harga yang dibayarkan konsumen kepada produsen lebih tinggi dari seharusnya. Jika OT lebih kecil dari nol (OT < 0) atau negatif, artinya tidak ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output sehingga harga yang diterima produsen lebih rendah dari yang seharusnya diterima, sehingga konsumen membeli rumput laut dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai Output Transfer (OT) dan nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke
dapat dilihat
pada Tabel 15. Tabel 15.
No.
Output Transfer (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, tahun 2011. Indikator
1
Output Transfer (OT)
2
Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO)
Kriteria <0 >0 <1 >1
Nilai - 510 539.51
0.97
Tabel 15 menunjukkan bahwa hasil Output Transfer (OT) komoditi rumput laut di Kepulauan Tanakeke bernilai negatif yaitu sebesar 510 539.51. Hal ini berarti bahwa harga privat output rumput laut lebih rendah dibandingkan harga sosialnya atau harga domestik lebih rendah dari harga internasional dalam
91
hal ini harga ekspor rumput laut. Hal ini memperlihatkan bahwa ada kebijakan pemerintah yang tidak protektif terhadap petani rumput laut sehingga merugikan petani rumput laut. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan pajak sebesar 30 persen menyebabkan harga rumput laut domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar internasional, sehingga penerimaan yang diterima petani (penerimaan privat) menjadi rendah.
Artinya
konsumen domestik lebih
diuntungkan karena membeli rumput laut dengan harga yang lebih harga yang sebenarnya, atau terjadi pengalihan surplus dari konsumen. Besarnya pengalihan surplus petani rumput
rendah dari produsen ke
laut ke konsumen
sebesar Rp 510 539.51. Hal ini terjadi karena selisih antara harga privat output dengan harga sosial output cukup besar yaitu sebesar Rp 254.82. Hasil Output Transfer (OT) berhubungan erat dengan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) atau koefisien proteksi output nominal yang merupakan rasio penerimaan harga privat dengan penerimaan harga sosial. Nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO > 1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga dunia atau internasional. Berdasarkan Tabel 15 diperoleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke sebesar 0.97 atau NPCO kurang dari satu (NPCO < 1).
Hasil ini menunjukkan bahwa petani
rumput laut di Kepulauan Tanakeke menerima harga lebih rendah atau murah dari harga dunia (harga internasional), dimana harga jual rumput laut kering di tingkat petani 3 persen lebih rendah dari harga output yang seharusnya diterima. Hal ini menunjukkan bahwa harga domestik di disproteksi. Pengembangan rumput laut di Kepulauan Tanakeke terutama dalam perdagangan rumput laut sampai saat ini belum didukung oleh kebijakan pemerintah, sehingga rendahnya harga output yang diterima oleh petani rumput laut disebabkan adanya kebijakan pemerintah dengan menetapkan pajak untuk ekspor rumput laut sebesar 30 persen khususnya ke Negara China dan birokrasi ekspor yang cukup mahal, sehingga menurunkan harga rumput laut domestik. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan ekspor rumput laut untuk memenuhi produksi dalam
negeri sebagai bahan baku industri pengolahan.
Penurunan harga rumput laut dalam negeri mengakibatkan konsumen membeli
92
rumput laut lebih murah, akan tetapi merugikan petani sebagai produsen yang menerima harga lebih rendah. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya harga yang diterima oleh petani rumput laut di kepulauan Tanakeke dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu (1) lembaga pemasaran rumput laut belum efektif, masih banyaknya ketergantungan petani terhadap pedagang pengumpul yang ada di Kepulauan Tanakeke sehingga terjadi keterikatan erat antara nelayan dengan pedagang sehingga harga ditentukan oleh pedagang, (2) kurangnya informasi harga yang diterima oleh petani rumput laut, (3) Mental petani rumput laut yang tidak menjaga kualitas rumput laut yang dihasilkan mulai dari panen yang kurang dari waktu panen yang ditetapkan sampai penjemuran yang sangat sederhana. Salah satu kebijakan pemerintah dalam perbaikan peningkatan harga rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya adalah revitalisasi rumput laut melalui kebijakan pengembangan yaitu : (1) pengembangan skala kawasan/kluster, (2) pengembangan kebun bibit unggul, (3) metode budidaya dan perawatan yang tepat, (4) panen dan pasca panen yang tepat berkaitan dengan peningkatan kualitas rumput laut dan (5) pengembangan kelembagaan dan pola kemitraan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Novianti (2003) yang menyatakan bahwa rendahnya harga di tingkat petani dibandingkan dengan harga yang sosial yang seharusnya diterima berkaitan dengan tiga faktor yaitu : (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif sehingga rantai pemasaran menjadi panjang, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani menjadi penerima harga yang pasif, (3) mental usahatani selalu ingin disubsidi sehingga petani menjadi kurang mandiri, maju dan bersaing dengan pasar internasional. 8.4.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan pemerintah bukan hanya berlaku untuk output tapi juga mengenai kebijakan input. Kebijakan input biasanya dilakukan dengan pemberian subsidi input atau pajak dan hambatan perdagangan berupa tariff dan non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan melindungi produsen dalam negeri.
93
Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input rumput laut di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat melalui nilai Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). Indikator ini dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16.
Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Tahun 2011.
No.
Indikator
1
Input Transfer (IT)
2
Factor Transfer (FT)
3
Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI)
Kriteria >1 =0 <1 >0 <0 >1 =1 <1
Nilai 0
90 840 1.00
Indikator yang digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah yang mempengaruhi harga input tradable dipasar adalah Input Transfer (IT), Jika Input Transfer
lebih besar
dari
nol (IT > 0) atau bernilai positif, artinya terdapat
pajak atas input tradable tersebut, sehingga petani rumput laut harus membeli input tersebut dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya. Akan tetapi jika Input Transfer lebih kecil dari nol (IT < 0) atau bernilai negatif, artinya ada subsidi pemerintah terhadap input tersebut sehingga petani tidak membayar penuh sesuai dengan harga yang sebenarnya. Input yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari input tradable dan non tradable. Jenis input tradable yang digunakan dalam usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah tali rafia dan solar. Tabel 16 menunjukkan nilai Input Transfer (IT) atau transfer input adalah nol. Hal ini menunjukkan bahwa harga input pada tingkat privat maupun tingkat sosial sama, atau harga input domestik dan harga internasional tidak berbeda. Berdasarkan hasil IT yang diperoleh sebesar nol ini berarti tidak ada transfer input produksi dari pedagang input ke petani rumput laut ataupun sebaliknya. Artinya pemerintah tidak menerapkan kebijakan apapun terhadap input yang digunakan, baik kebijakan pajak ataupun subsidi.
94
Penilaian kebijakan pemerintah terhadap input domestik (non tradable) seperti bibit, tenaga kerja, penyusutan alat dapat dilihat dari indikator factor transfer (FT). factor transfer (FT) atau transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Kebijakan ini dapat berupa subsidi positif dan negatif Tabel 16
menunjukkan bahwa factor transfer (FT) di Kepulauan
Tanakeke bernilai positif yaitu sebesar Rp 90 840 per musim tanam, ini berarti bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke pada harga privat lebih besar dibanding dengan harga input non tradable pada harga sosialnya.
Artinya terdapat kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan petani harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya sebesar Rp 90 840. Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan (harga sosial). Berdasarkan Tabel 16, nilai NPCI untuk rumput laut di Kepulauan Tanakeke sama dengan satu (NPCI = 1). Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input tradable baik pada harga privat maupun harga sosial adalah sama. Artinya ada atau tidak ada kebijakan pemerintah yang diterapkan terhadap input tradable,
harga domestik akan sama dengan harga
dunia. 8.4.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usahatani rumput laut dapat dilihat dari nilai Effective Protection Coefficient atau Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Net Transfer atau Transfer Bersih (NT), Profitability Coefficient atau nilai Koefisien Keuntungan (PC) dan Subsidy Ratio to Producer atau Rasio Subsidi Produsen (SRP).
Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output
usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada Tabel 17.
95
Tabel 17.
Nilai Kebijakan Input-Output Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Tahun 2011.
No.
Indikator
Kriteria
1
Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
2
Transfer Bersih (NT)
3
Koefisien Keuntungan (PC)
4
Rasio Subsidi Produsen (SRP)
Nilai
<1
0.97
>1 <0 >0
- 601 379.51
<1
0.89
>1 <0
-0.04
>0
Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi produksi domestik secara efektif.
Jika nilai EPC kurang dari satu
(EPC < 1), maka kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif
atau
menghambat produsen untuk produksi. Sebaliknya jika nilai EPC lebih besar satu (EPC > 1), maka kebijakan tersebut berjalan secara efektif sehingga melindungi petani untuk berproduksi. Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai koefisien proteksi efektif (EPC) lebih kecil dari satu atau 0.97, ini berarti tambahan keuntungan yang diperoleh petani rumput laut sebesar
3 persen
lebih rendah dari yang seharusnya, ini
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output tidak berjalan dengan efektif bagi petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke untuk berproduksi. Indikator yang mampu menjelaskan pengaruh dampak kebijakan terhadap surplus produsen (petani rumput laut) adalah nilai transfer bersih (NT). Nilai transfer bersih (NT) yang diterima oleh
petani rumput laut di Kepulauan
Tanakeke, menunjukkan nilai yang negatif sebesar Rp 601 379.51 artinya bahwa transfer yang diterima dari produsen input tradable dan faktor domestik lebih sedikit dari transfer yang diberikan kepada konsumen. Melalui koefisien profitabilitas (PC) mampu menjelaskan dampak insentif dari seluruh kebijakan output, kebijakan input tradable dan
input domestik.
Tabel 17 memperlihatkan nilai PC kurang dari satu (PC < 1) yaitu sebesar 0.89.
96
Artinya bahwa keuntungan yang diterima oleh petani rumput laut lebih rendah sebesar
89 persen (berkurang sebesar 11 persen) dari keuntungan yang
seharusnya diterima tanpa adanya kebijakan. kebijakan pemerintah
Hal ini menunjukkan bahwa
(pajak pemerintah terhadap ekspor rumput laut)
mengakibatkan harga jual rumput laut rendah sehingga berdampak terhadap penerimaan yang diperoleh petani, selain itu tidak ada kebijakan terhadap input yang digunakan, sehingga kesemuanyan tidak memberikan insentif kepada petani dan membuat keuntungan yang diterima oleh petani lebih rendah dibandingkan dengan tanpa ada kebijakan. Nilai rasio subsidi bagi produsen (SRP) merupakan indikator yang menunjukkan
tingkat
penambahan
atau
pengurangan
penerimaan
atas
pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Tabel 17 menunjukkan SRP bernilai negatif sebesar 0.04. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah berpengaruh negatif
terhadap struktur biaya
produksi, karena biaya yang diinvestasikan lebih besar daripada nilai tambah (keuntungan) yang diterima oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke mengeluarkan biaya produksi sebesar 4 persen lebih besar dari opportunity cost untuk produksi sehingga terjadi pengurangan penerimaan. Berdasarkan dampak pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input output menunjukkan bahwa usahatani rumput laut dalam jangka panjang akan memberikan kerugian pada produsen akibat produsen mengeluarkan biaya yang sangat besar dari seharusnya dan teknologi yang digunakan sangat sederhana. 8.5.
Analisis Sensitivitas Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Rumput Laut Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu
usahatani rumput laut bila terjadi perubahan terhadap input maupun output. Perubahan ini dapat mempengaruhi penerimaan dan biaya petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke. Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan dengan mengubah besarnya produksi dan harga rumput laut.
Penetapan besarnya perubahan-
perubahan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut :
97
3.
Fluktuasi harga rumput laut sebesar 16 persen per tahun ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian.
4.
Perubahan besarnya produksi rumput laut sebesar 30 persen. Analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah analisis yang dilakukan
untuk melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan karena analisis dalam metode PAM merupakan analisis yang bersifat statis.
Hal ini juga berguna untuk
mengetahui kepekaan efesiensi dalam usahatani rumput laut terhadap perubahan seperti perubahan produksi dan harga. Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan 2 skenario yang mencakup penurunan harga output rumput laut sebesar 16 persen dan penurunan produksi sebesar 30 persen. Setiap simulasi dilakukan dengan asumsi harga input lainnya tetap (cateris paribus). Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18.
No.
Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011. Skenario
Keuntungan Privat
Sosial
1
Kondisi Normal
4 858 655.52
5 460 035.03
2
Harga output turun 16 persen
2 487 698.15
3 007 393.75
3
Produksi turun 30 persen
413 107
861 324
Tabel 18 menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan produksi rumput laut sebesar 30 persen, menyebabkan keuntungan privat petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke menjadi lebih sedikit dibandingkan pada kondisi tanpa adanya perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan rumput laut di Kepulauan Tanakeke sensitif terhadap perubahan produksi. Sedangkan apabila terjadi penurunan harga output rumput laut sebesar 16 persen, maka petani masih memiliki keuntungan yang positif atau masih layak untuk diusahakan meskipun keuntungan tersebut akan berkurang 2 kali lipat dari kondisi normal.
98
Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat daya saing rumput laut di Kepulauan Tanakeke apabila terjadi perubahan harga output maupun produksi. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan petani rumput laut pada kondisi tidak berdaya saing dan paling sensitif terhadap perubahan daya saing adalah ketika produksi rumput laut turun sebesar 30 persen. Penurunan produksi sebesar 30 persen dan penurunan harga output sebesar
16 persen
menyebabkan nilai DRC dan PCR semakin besar dari kondisi normal. berarti usahatani rumput laut
Hal ini
di Kepulauan Tanakeke akan semakin kurang
efesien untuk diproduksi baik secara privat amupun maupun sosial. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan kestabilan harga rumput laut agar petani rumput laut tetap memiliki insentif untuk membudidayakan rumput laut. Tabel 19. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, Tahun 2011. No.
Skenario
Indikator Daya Saing DRC
PCR
1
Kondisi Normal
0.64
0.67
2
Harga output turun 16 persen
0.76
0.80
3
Produksi turun 30 persen
0.92
0.96
8.6.
Kebijakan Alternatif Terhadap Peningkatan Daya Saing Usahatani Rumput laut Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa secara
umum peran pemerintah dalam usahatani rumput laut masih belum memberikan perlindungan terhadap petani rumput laut. Usahatani rumput laut hanya dapat berkembang dan maju apabila didukung oleh kebijakan yang kondusif. Berdasarkan analisis PAM dan sensitivitas
yang dilakukan, maka dalam
meningkatkan daya saing rumput laut baik di pasar domestik maupun pasar internasional, hendaknya pemerintah harus melindungi petani rumput laut melalui peningkatan produktivitas dan harga jual rumput laut.
99
Peningkatan harga jual rumput laut berkaitan dengan kualitas rumput laut yang dimiliki oleh petani rumput laut saat ini. Harga jual rumput laut di pasar internasional sangat rendah, bahkan beberapa negara maju pengimpor rumput laut dari Indonesia mengurangi permintaan rumput laut
Eucheuma cottoni akibat
rumput laut yang dimiliki oleh petani tidak memenuhi standar kualitas yang diberlakukan oleh negara-negara pengimpor seperti Cina dan Jepang. Sehubungan dengan masalah yang dialami oleh petani rumput laut saat ini mengenai kualitas agar tetap memiliki harga jual yang tinggi maka komitmen pemerintah
adalah
dengan
melakukan
program-program
peningkatan
produktivitas dan kualitas diantaranya pemerintah memfokuskan pengembangan minopolitan percontohan di 41 lokasi yaitu 9 lokasi Minapolitan berbasis perikanan tangkap, 24 lokasi Minapolitan berbasis perikanan budidaya, dan 8 lokasi sentra garam. Pelaksanaan program minapolitan memiliki tiga tujuan yaitu meningkatkan produksi serta kualitas, meningkatkan pendapatan nelayan pembudidaya serta pengolah ikan, dan mengembangkan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan untuk menggerakan ekonomi daerah. Selain itu pemerintah juga memberlakukan sistem resi gudang dengan menggunakan hasil produksi rumput laut sebagai salah satu komoditas yang akan menjadi standar dan dipergunakan dalam sistem tersebut. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2007 tentang Resi Gudang untuk melaksanakan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Resi gudang ini akan memiliki sistem appraisal yang bertugas untuk menentukan standar rumput laut dan rumput laut yang disimpan bisa dijadikan agunan berdasarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi gudang, maka rumput laut merupakan salah satu komoditas yang dapat diresi gudangkan (Kemenetrian Kelautan dan Perikanan, 2011). Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan memfasilitasi kelompok masyarakat atau sektor usaha rumput laut untuk memanfaatkan keberadaan gudang sebagai tempat penampungan rumput laut yang terstandarisasi, selain itu menyediakan data dan informasi pasar terkait
100
pemasaran hasil-hasil produksi rumput laut. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Kementerian Perdagangan telah mempunyai program pendukung melalui Sistem Resi Gudang dan Pasar Lelang. Melalui kedua program tersebut memungkinkan pelaku usaha di bidang rumput laut untuk melakukan tunda jual guna memperoleh harga yang lebih baik. Saat ini Kemnetrian Perdagangan bekerjasama dengan pemerintah daerah provinsi menyelenggarakan Pasar Lelang, terdapat tiga provinsi yang menyelenggarakan Pasar Lelang yaitu Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar), Sulawesi Tenggara (Kendari) dan Nusa Tenggara Barat (Mataram).