VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). PAM juga dapat digunakan untuk menganalisis keuntungan finansial dan ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani jambu biji dengan indikator transfer output, transfer input, transfer faktor, NPCO, NPCI, EPC, PC, dan SRP. Matriks ini tersusun dari komponen penerimaan, input tradable, input non tradable, dan keuntungan yang dipisahkan dalam dua analisis, yaitu ekonomi dan finansial. Hasil perhitungan menggunakan PAM untuk usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal secara singkat dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Matriks Analisis Kebijakan untuk Usahatani Jambu Biji di Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2009 (Rp/Ha) Uraian Penerimaan Biaya Input Keuntungan Tradable Non Tradable Privat 26.466.265 422.896 12.710.215 13.333.154 Sosial 40.045.866 405.340 10.074.093 29.566.434 Dampak -13.579.602 17.556 2.636.122 -16.233.280 Kebijakan Sumber: Data Primer, diolah (2010)
6.1. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi Berdasarkan perhitungan PAM pada Tabel 11, usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal dapat dikatakan menguntungkan secara ekonomi dan finansial karena menghasilkan nilai keuntungan yang positif. Akibat distorsi perdagangan yang dilakukan pemerintah, petani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal memperoleh keuntungan sebesar Rp 13.333.154/Ha. Hal tersebut disebabkan usahatani ini menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari biaya produksinya. Apabila pasar jambu biji berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan tanpa ada distorsi kebijakan, produsen jambu biji mampu
69
memperoleh keuntungan sebesar Rp 29.566.434/Ha. Besarnya keuntungan sosial disebabkan oleh penerimaan sosial jambu biji yang tinggi karena harga sosial jambu biji yang tinggi. Penggunaan input tradable (pupuk anorganik) yang rendah akan mengurangi biaya produksi yang mengandung komponen impor, sehingga mampu meningkatkan keuntungan sosial usahatani jambu biji. Berdasarkan hasil perhitungan dari Tabel 11, kemudian dapat dilakukan perhitungan lebih lanjut untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah yang dilihat dari indikator-indikator pada Tabel 12. Tabel 12. Indikator-Indikator PAM pada Usahatani Jambu Biji di Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2009 No. Indikator Nilai 1. Keuntungan Privat (PP) (Rp/Ha) 13.333.154 2. Keuntungan Sosial (SP) (Rp/Ha) 29.556.434 3. Rasio Biaya Privat (PCR) 0,488 4. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,254 5. Transfer Output (TO) (Rp/Ha) -13.579.602 6. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,661 7. Transfer Input (TI) (Rp/Ha) 17.556 8. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,043 9. Transfer Faktor (TF) (Rp/Ha) 2.636.122 10. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,657 11 Transfer Bersih (NT) (Rp/Ha) -16.233.393 12. Koefisien Keuntungan (PC) 0,451 13. Rasio Subsidi Produsen (SRP) -0,405 Sumber: Data Primer, diolah (2010)
6.2. Analisis Daya Saing Analisis daya saing usahatani jambu biji diukur melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang dilihat dari sisi produsen, sedangkan keunggulan komparatif merupakan keunggulan yang dilihat dari sisi komoditas (jambu biji) ketika tanpa ada distorsi kebijakan pemerintah.
70
6.2.1. Keunggulan Kompetitif Keunggulan Kompetitif dapat dilihat dari indikator nilai PCR. Berdasarkan pada Tabel 12, nilai PCR diperoleh sebesar 0,488 artinya untuk meningkatkan nilai tambah output sebesar 100 persen usahatani tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 48,8 persen. Semakin kecil nilai PCR, maka usahatani jambu biji ini semakin efisien secara privat dan semakin besar keunggulan kompetitifnya. Usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal dikatakan telah mampu membiayai faktor domestik pada harga privat. Hal ini disebabkan oleh usahatani tersebut bisa memperoleh penerimaan yang lebih besar dari biaya produksinya, sehingga bisa menghasilkan keuntungan dan mempertahankan kelangsungan produksi. 6.2.2. Keunggulan Komparatif Efisiensi dalam penggunaan sumberdaya ketika tidak ada distorsi perdagangan dilihat dari Biaya Sumberdaya Domestik (DRC). Nilai DRC tersebut yang juga digunakan sebagai indikator keunggulan komparatif usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan pada Tabel 12, nilai DRC yang diperoleh adalah 0,254, artinya untuk meningkatkan nilai tambah output jambu biji sebesar 100 persen, diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 25,4
persen.
menguntungkan
Secara dengan
ekonomi
pemenuhan
meningkatkan
permintaan
produksi
domestik
domestik
lebih
dibandingkan
mengimpor dari luar negeri. Semakin kecil nilai DRC, maka usahatani tersebut semakin efisien dalam penggunaan sumberdaya dan usahatani tersebut dapat dikatakan efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif.
71
6.3. Dampak Kebijakan Kebijakan pemerintah dalam aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak postif atau negatif bagi para pelaku ekonomi, demikian pula dengan usahatani jambu biji. Kebijakan pemerintah dapat berupa subsidi, pajak, dan penentuan tarif impor. Dampak kebijakan pemerintah bisa dilihat melalui beberapa indikator dalam PAM, yaitu kebijakan terhadap output (Transfer Output/ TO, Koefisien Proteksi Output Nominal/ NPCO), kebijakan terhadap input (Transfer Input/ TI, Koefisien Proteksi Input Nominal/ NPCI, Transfer Faktor/ TF), dan kebijakan input-output (Koefisien Proteksi Efektif/ EPC, Transfer Bersih/NT, Koefisien Keuntungan/ PC, Rasio Subsidi bagi Produsen/ SRP). 6.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output menyebabkan perbedaan harga output pada tingkat harga privat maupun sosial. Hal ini bertujuan untuk melindungi produsen atau konsumen output. Kebijakan terhadap output dilihat dari transfer output (TO) dan koefisien proteksi terhadap output (NPCO). Berdasarkan hasil perhitungan PAM pada Tabel 12, nilai TO sebesar negatif Rp 13.579.602/Ha. Nilai TO yang negatif mengindikasikan bahwa penerimaan privat lebih rendah dari penerimaan sosial. Hal ini disebabkan oleh harga domestik jambu biji lebih rendah dari harga sosialnya. Dapat dikatakan bahwa konsumen dalam negeri membeli jambu biji dengan harga yang lebih rendah dari harga yang seharusnya dibayar dibandingkan apabila pasar tidak terdistorsi atau tanpa kebijakan pemerintah. Namun kebijakan ini menguntungkan konsumen dalam negeri, sehingga menimbulkan transfer (insentif) dari petani kepada konsumen.
72
Dampak kebijakan terhadap output juga dilihat dari nilai NPCO. Nilai NPCO jambu biji sebesar 0.661 (NPCO < 1), menunjukkan bahwa penerimaan domestik jambu biji lebih rendah 33,91 persen dari penerimaan sosialnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam memproteksi petani (petani) jambu biji masih belum efektif, sehingga penerimaan yang diterima oleh petani menjadi lebih rendah. Namun pada kenyataannya tidak ada kebijakan pemerintah yang benar-benar terjadi pada komoditi jambu biji. Rendahnya harga jambu biji yang diterima petani disebabkan oleh ketidakefektifan peran kelompok tani dan kurangnya pemberdayaan petani dalam penguasaan informasi harga, jaringan pasar, dan kontinuitas produksi. Hal ini membuat para petani berada dalam posisi tawar-menawar yang lemah karena petani tidak memiliki alternatif lain untuk menjual jambu biji selain kepada pedagang pengumpul. 6.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan pemerintah tidak hanya berpengaruh terhadap output, tapi juga berpengaruh terhadap input. Kebijakan tersebut berupa subsidi (positif atau negatif) dan hambatan perdagangan (penetapan tarif atau kuota) agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan pemerintah dapat melindungi produsen dalam negeri. Ukuran besarnya insentif pemerintah terhadap input produksi usahatani jambu biji dapat dilihat dari nilai Transfer Input (TI), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). TI merupakan indikator untuk melihat besarnya divergensi (distorsi kebijakan) yang dikenakan pada input tradable. Berdasarkan Tabel 12, nilai TI adalah Rp 17.556 dalam 1 Ha. Nilai TI yang positif menunjukkan terdapat
73
kebijakan pemerintah terhadap input tradable berupa pajak pada obat-obatan tanaman jambu biji dan herbisida serta pajak pada input plastik pembungkus. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) menunjukkan besarnya tingkat insentif yang diberikan pemerintah terhadap input tradable. Berdasarkan Tabel 12, nilai NPCI diperoleh sebesar 1,043. NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah berupa pajak terhadap input, sehingga petani membayar input lebih tinggi 4,33 persen dari harga sebenarnya. Hal ini menyebabkan transfer dari konsumen input (petani) kepada produsen input. Transfer Faktor (TF) menunjukkan dampak kebijakan pada input faktor domestik seperti lahan, modal, peralatan dan tenaga kerja. Nilai TF pada usahatani jambu biji di lokasi penelitian adalah Rp 2.636.122/Ha. Nilai TF yang positif mengindikasikan bahwa terdapat pajak atau terjadi transfer dari petani kepada pemerintah dan produsen input domestik, sehingga petani harus membayar input domestik lebih tinggi dari harga sosialnya. Kebijakan tersebut adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada obat-obatan tanaman jambu biji dan pestisida. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input belum memberikan insentif kepada petani jambu biji untuk mengembangkan usahanya. Penetapan PBB dan PPN pada input menyebabkan biaya produksi menjadi lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan petani. Walaupun demikian, usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal mampu menghasilkan produksi yang lebih besar, sehingga petani memperoleh keuntungan dan bisa mempertahankan kelangsungan produksi dalam usahatani jambu biji.
74
6.3.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Kebijakan pemerintah terhadap input-output merupakan analisis gabungan dari kebijakan input dan kebijakan output. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dijelaskan melalui indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 12, nilai EPC usahatani jambu biji adalah 0,657. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa nilai tambah yang diperoleh petani (privat) lebih rendah daripada nilai tambah yang seharusnya diterima (sosial). Hal ini berarti pengaruh instrumen kebijakan pemerintah terhadap input berupa PBB dan PPN serta harga domestik jambu biji yang lebih rendah dari harga sosialnya menimbulkan dampak disinsentif bagi pengembangan produksi jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal. Indikator lain yang menunjukkan dampak kebijakan proteksi pemerintah terhadap petani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal adalah Transfer Bersih (NT). NT digunakan untuk melihat besarnya tambahan surplus produsen atau berkurangnya surplus produsen akibat intervensi pemerintah. Nilai NT yang negatif berarti kebijakan pemerintah yang ada terhadap input dan output masih belum memberikan insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi, karena terjadi pengurangan surplus produsen sebesar Rp 16.233.280/Ha. Nilai PC diperoleh sebesar 0,451 (PC<1). Nilai tersebut mengindikasikan bahwa
kebijakan
pemerintah
terhadap
input-output
telah
menyebabkan
keuntungan privat dari usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal lebih rendah sekitar 54,9 persen dari keuntungan yang seharusnya diterima petani (keuntungan sosial). Secara keseluruhan kebijakan pemerintah yang memengaruhi
75
usahatani jambu biji di lokasi penelitian masih belum memberikan insentif kepada petani dan menyebabkan keuntungan yang diterima petani (privat) lebih rendah dari keuntungan yang seharusnya diterima (sosial). Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) merupakan perbandingan antara nilai transfer bersih dengan nilai output yang dihasilkan pada tingkat harga sosial (penerimaan sosial). Nilai SRP menunjukkan tingkat penambahan atau pengurangan penerimaan atas suatu komoditi akibat adanya intervensi pemerintah. Nilai SRP yang diperoleh adalah negatif 0,405 (SRP <0), artinya transfer akibat kebijakan pemerintah yang terjadi menyebabkan pendapatan petani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal menurun sehingga menjadi lebih rendah 40,5 persen dibandingkan tanpa ada kebijakan. Ada beberapa hal yang menyebabkan nilai tambah yang diperoleh petani jambu biji di lokasi penelitian lebih rendah dari harga sosialnya, yaitu: (1) Manajemen kelembagaan kelompok tani jambu biji yang belum efektif, sehingga tidak ada sarana yang dapat mendukung petani untuk mengetahui informasi harga dan kelembagaan pemasaran jambu biji, (2) Keterbatasan modal yang dimiliki petani sering dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk meraih keuntungan dari petani, sehingga posisi tawar-menawar petani untuk jambu biji menjadi lemah, (3) Keterbatasan ilmu pengetahuan, kemampuan budidaya dan adaptasi teknologi yang dimiliki petani membuat petani menjadi kurang termotivasi dalam mengembangkan usahatani jambu biji dan memanfaatkan sumberdaya secara efisien, sehingga para petani terus mengandalkan bantuan dari pemerintah.
76