VI. ANALISIS DAYA SAING 6.1. Analisis Struktur Pasar Komoditas Ikan Tuna di Pasar Internasional Struktur pasar komoditas ikan tuna di pasar internasional dan penguasaan pangsa pasar masing-masing negara produsen sekaligus ekspotir komoditas ikan tuna dapat diukur dengan menggunakan rumus HI dan CR. Nilai perhitungan HI dan CR ikan tuna dibagi menurut bentuk produk yang diperdagangkan yaitu segar (fresh or chilled), beku (frozen), dan olahan (preserved) hasil tersebut ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13. Nilai Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) Negara Pengekspor Komoditas Ikan Tuna Tahun 1998-2007 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Segar (Fresh or Chilled) Jumlah CR4 HI Eksportir (%) 36 875 46 37 1193 54 41 943 54 44 820 51 48 713 42 49 748 43 48 826 47 47 576 38 42 1026 53 41 719 42
Beku (Frozen) Jumlah CR4 HI Eksportir (%) 33 510 35 37 647 38 45 513 33 45 453 33 41 450 35 41 352 32 42 310 29 43 273 27 42 357 31 40 432 32
Olahan (Preserved) Jumlah CR4 HI Eksportir (%) 39 1810 63 40 1863 63 46 952 52 42 1473 62 46 1448 63 49 1407 60 49 1613 63 49 1863 65 48 1725 65 47 1894 65
Sumber : UN Comtrade 1998-2007, diolah
Berdasarkan hasil perihitungan yang diperoleh, nilai HI untuk komoditas ikan tuna segar dunia pada tahun 1998-2007 memiliki tingkat konsentrasi pasar rendah (Herfindahl Index berkisar antara 0-1000), tetapi pada tahun 1999 dan 2006 komoditas ikan tuna segar dunia memiliki tingkat konsentrasi pasar sedang (Herfindahl Index berkisar antara 1000-1800). Pasar komoditas ikan tuna segar dunia memunjukkan struktur pasar monopolistik dan cenderung ke oligopoli untuk tahun 1998-2007, hanya pada tahun 1999 dan 2006 sruktur pasar berubah menjadi
oligopoli.
Hal ini
dikarenakan nilai HI yang rendah berkisar antara 576 hingga 1193 dan banyaknya jumlah negara yang terlibat dalam pasar sangat banyak. Negara yang terlibat dalam kegiatan ekspor ikan tuna segar berkisar antara 36-49 negara, dimana tahun 1998 memiliki jumlah negara yang paling sedikit terlibat dalam ekspor ini
yaitu sebesar 38 negara dan yang tertinggi pada tahun 2003 sebanyak 51 negara. Sejak tahun 1998 hingga 2003 jumlah negara yang terlibat mengalami kenaikan dan sejak tahun 2004 hingga 2007 negara yang terlibat mengalami penurunan. Rasio
tingkat
konsentrasi
yang
ditunjukkan
dengan
nilai
CR4
memperlihatkan kecendrungan dimana empat negara produsen terbesar menguasai 38-54 persen pasar selama tahun 1998-2007. Hal ini memperlihatkan bahwa komoditas tersebut berada dalam pasar persaingan monopolistik (concentration ratio berkisar antara 0-50 persen), dan pada tahun 1999-2001 dan 2006 pasar menunjukkan dalam struktur pasar yang oligopoli dimana penguasaan pasar melebihi dar 50 persen. Selama periode 1998-2007 negara yang mendominasi dalam pasar adalah Australia, Spanyol, Indonesia, Ekuador, EU-27. Spanyol memiliki pangsa pasar tertinggi pada tahun 1998-2003 dan EU-27 pada tahun 2004-2007. Nilai HI dan CR4 menunjukkan bahwa komoditas ikan tuna segar berada dalam pasar monopolistik yang cenderung mengarah ke oligopoli. Hal ini berarti Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menentukan harga, namun produk harus terdiferensiasi. Diferensiasi produk yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki mutu produk yang dihasilkan agar mampu bersaing dengan produsen lain. Nilai HI dan CR4 ini berarti Indonesia masih memiliki keunggulan untuk bersaing dengan produsen lainnya. Komoditas ikan tuna beku pada tahun 1998-2007 memiliki tingkat konsentrasi pasar rendah (Herfindahl Index berkisar antara 0-1000).
Pasar
komoditas ikan tuna beku dunia menunjukkan struktur pasar persaingan sempurna yang cenderung monopolistik. Hal ini terlihat dari nilai HI yang kecil berkisar antara 273 hingga 647 dan jumlah negara yang terlibat dalam pasar jumlahnya banyak. Negara yang terlibat dalam pasar komoditas ikan tuna beku pada tahun 1998-2007 antara 33-45 negara, dimana dari tahun 1998-2001 mengalami kenaikkan dan penurunan terjadi sejak tahun 2003-2007 mengalami fluktuasi jumlah negara yang terlibat. Rasio
tingkat
konsentrasi
yang
ditunjukkan
dengan
nilai
CR4
memperlihatkan kecendrungan dimana empat negara produsen terbesar menguasai 29-38 persen pasar selama tahun 1998-2007. Hal ini memperlihatkan bahwa
komoditas ikan tuna beku berada dalam struktur pasar persaingan sempurna yang cenderung monopolistik (concentration ratio berkisar antara 0-50 persen). Negara yang mendominasi pasar komoditas ikan tuna beku pada tahun 1998-2007 adalah Perancis, Spanyol, EU-27, Korea, Jepang, Panama, dan Australia yang saling bergantian menguasasi pasar komoditas tersebut. Negara Korea memiliki pangasa pasar terbesar disetiap tahunnya. Nilai HI dan CR4 menunjukkan bahwa komoditas ikan tuna beku berada dalam pasar monopolistik. Hal ini berarti Indonesia masih memiliki kesempatan untuk bersaing dalam pasar tersebut, namun produk yang dihasilkan harus memiliki keunggulan dibandingkan produk negara lain terutama negara penguasa pasar. Diferensiasi produk yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki mutu produk yang dihasilkan agar mampu bersaing dengan produsen lain. Komoditas ikan tuna beku memiliki nilai HI berkisar antara 952 hingga 1894.
Komoditas ikan tuna olahan pada tahun 1998-1999, 2005, dan 2007
memiliki tingkat konsentrasi pasar tinggi.
Tahun 2000 memiliki tingkat
konsentrasi pasar rendah, dan pada tahun 2001-2004 dan 2006 memiliki tingkat konsentrasi pasar sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1998-1999, 2005, dan 2007 komoditas tersebut berada dalam struktur pasar yang sedikit monopoli yang cenderung oligopoli. Tahun 2000 komoditas ini berada dalam struktur pasar monopoolistik yang mengarah ke oligopoli, dan pada tahun 20012004 dan 2006 berada dalam pasar oligopoli. Saat pasar berada dalam struktur monopoli yang cenderung oligopoli negara yang terlibat masih banyak, tetapi hanya beberapa negara yang mampu menguasai pasar. Jumlah negara yang terlibat dalam pasar komoditas ini berkisar antara 39-49 negara. Rasio tingkat konsentrasi yang ditunjukkan dengan CR4 memperlihatkan kecendrungan dimana empat negara produsen terbesar menguasai pasar lebih dari 60 persen selama tahun 1998-2007, kecuali pada tahun 2000 dimana CR4 hanya 52 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa komoditas ikan tuna olahan berada dalam struktur pasar yang cenderung oligopoli. Negara yang mendominasi pasar komoditas ikan tuna olahan ini selama tahun 1998-2007 adalah Thailand, Spanyol, Perancis, Ekuador, Seychelles, Mauritus, dan Filipina.
Nilai HI dan CR4 menunjukkan bahwa komoditas ikan tuna olahan berada dalam pasar oligopoli. Indonesia tidak termasuk dalam negara yang menguasai pasar. Hal ini berarti Indonesia hanya berperan sebagai pengikut pasar dan tidak memiliki kesempatan untuk menentukan harga. Analisis struktur pasar komoditas ikan tuna baik untuk ikan tuna segar, beku, dan olahan berdasarkan nilai HI dan CR4 berada dalam pasar monopolistic yang cenderung mengarah ke oligopoli. Hal ini menyebabkan Indonesia masih memiliki potensi untuk tetap bersaing di pasar internasional dan dapat menetapkan harga, namun untuk mengatasi persaingan Indonesia harus melakukan diferensiasi produk. Pasar yang mengarah ke strukutr pasar oligopli harus diantisipasi dengan baik, sebab jika tidak Indonesia dalam pasar hanya akan berperan sebagai pengikut pasar tanpa kesempatan untuk menentukkan harga di pasaran. Posisi ini mengakibatkan Indonesia tidak dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan harga maupun produk, tanpa terlebih dahulu mengacu kepada keputusan pemimpin pasar. Namun, Indonesia masih memiliki peluang untuk tetap bersaing dalam pasar internasional karena untuk komoditas ikan tuna segar Indonesia masih termasuk negara yang memiliki penguasaan pasar yang cukup baik dan untuk ikan tuna beku dan olahan harus ditingkatkan ekspornya (besarnya ekspor dan market share ada pada Lampiran 4 sampai dengan 9). 6.2. Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas Ikan Tuna Nasional Keunggulan komparatif komoditas ikan tuna Indonesia di pasar internasional diukur dengaan menggunakan Indeks Revealed Comparatif Advabtage (RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi daya saing Indonesia dengan negara produsen lainnya di pasar ikan tuna internasional. Semakin tinggi nilai Indeks RCA (lebih dari satu) menunjukkan bahwa negara yang bersangkutan memiliki keunggulan komparatif dalam produk tersebut dan memiliki daya saing yang kuat., begitu pula sebaliknya. Jika RCA sama dengan satu, berarti daya saing komoditas tersebut sama dengan negara lain yang terlibat dalam kegiatan ekspor komoditas tersebut. Perhitungan Indeks RCA ekspor suatu komoditas negara tertentu dibandingkan dengan total ekspor negara tersebut, maka negara yang jumlah
ekpsornya relatif sama dengan negara lain namun total ekspornya lebih besar akan mempunyai indeks RCA yang lebih kecil. Oleh karena itu penting untuk melihat pangsa pasar negara tersebut untuk menunjukkan bahwa daya saing negara tersebut kuat atau lemah. Perhitungan
Indeks
RCA
hanya
dilakukan
untuk
negara-negara
pengekspor yang memiliki angka ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna baik dalam bentuk segar, beku, dan olahan.
Negara-negara tersebut adalah
Australia, Ekuador, Uni Eropa, Perancis, Indonesia, Italia, Jepang, Filipina, Republik Korea, Singapura, Spanyol, Seychelles, dan Thailand. Negara Australia, Uni Eropa, Perancis, Jepang, dan Singapura memiliki nilai ekspor yang besar untuk komoditi ikan tuna segar dan beku. Negara Ekuador, Filipina dan Italia memiliki nilai ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna segar dan olahan. Negara Seychelles dan Thailand memiliki nilai ekspor yang besar untuk komoditas ikan tuna olahan. Republik Korea memiliki nilai yang besar untuk ekspor ikan tuna beku. Negara Spanyol dan Indonesia memiliki nilai ekspor yang besar untuk ketiga komoditas ikan tuna. Tabel 14. Indeks RCA untuk Komoditas Ikan Tuna Segar Tahun 2002-2007 Negara Australia Ekuador EU-27 Perancis Indonesia Italia Jepang Filipina Rep. Korea Seychelles Spanyol Thailand
2002 RCA
2003
Rank
RCA
2004
Rank
RCA
2005
Rank
RCA
2006
Rank
RCA
2007
Rank
RCA
Rank
2,30 0,18 0,33 0,47 2,81 1,25 2,20 1,20
2 9 8 7 1 5 3 6
2,74 0,34 1,84 0,19 2,39 1,16 2,26 0,68
1 8 5 9 2 6 3 7
2,69 0,07 2,28 0,26 2,60 1,38 1,55 0,55
1 10 3 8 2 6 5 7
2,26 0,05 1,89 0,68 2,31 1,73 2,54 0,70
3 11 4 8 2 5 1 7
1,53 0,05 1,76 0,21 1,62 1,50 3,70 0,37
4 11 2 8 3 5 1 7
1,83 0,11 3,06 1,03 2,27 1,79 1,61 0,65
3 9 1 7 2 4 5 8
0,05
11
0,10
10
0,06
11
0,10
9
0,08
10
0,11
10
4 11
0,00 1,78 0,07
4 9
0,00 1,19 0,07
6 10
0,00 0,90 0,09
6 9
0,00 1,50 0,08
6 11
0,00 - 0,00 1,95 4 1,88 0,06 11 0,07 Sumber: UN Comtrade 2008, diolah
Perhitungan Indeks RCA pada Tabel 14 menunjukkan bahwa indeks RCA Indonesia untuk komoditas ikan tuna segar tahun 2002-2007 nilainya selalu lebih dari satu (berkisar antara 1,62 hingga 2,81).
Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas ikan tuna segar di pasar internasional.
Negara Indonesia selalu menempati peringkat tiga besar
untuk indeks RCA komoditas ikan tuna segar. Negara yang menjadi pesaing kuat untuk komoditas ikan tuna segar adalah Australia, Jepang dan Spanyol yang memiliki indeks RCA lebih besar dari satu. Indeks RCA ini berarti Indonesia memiliki keunggulan komparatif antara 1,62 hingga 2,81 relatif lebih baik dibandingkan negara eksportir lain. Indeks RCA Indonesia memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang kuat untuk komoditas ikan tuna segar. Selain keunggulan komparatif perlunya melihat penguasaan pangsa pasar negara Indonesia untuk komoditas ikan tuna segar di pasar internasional.
Sejak tahun 2002-2007 penguasaan pasar
Indonesia untuk ikan tuna segar cukup besar yaitu rata-rata sebesar 9,49 persen per tahun (Tabel 15). Indonesia merupakan negara dengan penguasaan terbesar ketiga di dunia.
Negara Spanyol sebenarnya memiliki pangsa pasar tebesar
dengan rata-rata sebesar 12,99 persen, namun untuk indeks RCA berada dibawah Indonesia sebab total ekspornya lebih besar negara Indonesia. Tabel 15. Pangsa Pasar Komoditas Ikan Tuna Segar Tahun 2002-2007 (%) Negara
2002
2003
9,63 9,06 Ekuador 0,81 1,46 EU-27 1,56 10,66 Perancis 4,35 1,60 Indonesia 12,53 9,12 Italia 2,92 2,18 Jepang 3,23 2,77 Filipina 3,50 1,87 Rep. Korea 0,28 0,38 Seychelles 0,00 0,00 Spanyol 17,15 15,88 Thailand 0,97 1,09 Sumber: UN Comtrade 2008, diolah Australia
2004 6,26 0,24 15,88 2,00 10,65 2,93 3,02 0,92 0,26 0,00 15,73 1,18
2005 5,39 0,23 10,69 2,23 9,71 4,24 3,16 1,18 0,36 0,00 9,75 1,32
2006 3,05 0,21 9,99 1,63 5,93 3,52 13,60 0,73 0,22 0,00 6,95 1,78
2007 4,21 0,54 17,85 2,70 8,98 4,13 2,43 0,79 0,30 0,00 12,47 1,50
Rata-rata per tahun 6,27 0,58 11,11 2,42 9,49 3,32 4,70 1,50 0,30 0,00 12,99 1,31
Tabel 16 menunjukkan bahwa indeks RCA Negara Indonesia untuk komoditas ikan tuna beku tidak memiliki keunggulan komparatif, karena nilainya dibawah satu (berkisar antara 0,13 hingga 0,65). Hal ini berarti negara Indonesia memiliki keunggulan komparatif antara 0,13 hingga 0,65 relatif lebih kecil diantara negara eksportir lainnya. Negara Indonesia hanya mampu menempati peringkat peringkat delapan
untuk indeks RCA diantara negara pengekspor
lainnya. Negara yang memiliki indeks RCA terbesar untuk komoditas ikan tuna beku adalah Republik Korea, Australia, Uni Eropa, dan Jepang. Indeks RCA ini memperlihatkan bahwa negara Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif dan pengusasan pangsa pasarnya juga kecil sehingga daya saingnya sangat rendah. Rendahnya daya saing komoditas ikan tuna beku ini disebabkan nilai ekspor Indonesia untuk ikan tuna beku kecil dan lebih banyak mengekspor ikan tuna dalam bentuk segar karena negara tujuan ekspor. Komoditas ikan tuna dalam bentuk beku yang dihasilkan oleh Indonesia kualitasnya belum baik karena masih minimnya alat dan penerapan sistem manajemen pengolahan pasca panen. Tabel 16. Indeks RCA untuk Komoditas Ikan Tuna Beku Tahun 2002-2007 Negara Australia Ekuador EU-27 Perancis Indonesia
2002 RCA
Rank
2003 RCA
1,77 3 1,61 0,12 9 0,04 1,90 2 1,50 0,50 5 0,69 0,39 7 0,32 Italia 0,08 10 0,08 Jepang 1,54 4 1,58 Filipina 0,33 8 0,34 Rep. Korea 2,73 1 2,88 Seychelles 0,00 - 0,00 Spanyol 0,50 6 0,50 Thailand 0,01 11 0,02 Sumber: UN Comtrade 2008, diolah
2004
2005
2006
Rank
RCA
Rank
RCA
Rank
2 10 4 5 8 9 3 7 1 6 11
1,43 0,07 1,23 0,57 0,13 0,05 1,82 0,60 2,64 0,00 0,56 0,04
3 9 4 6 8 10 2 5 1 7 11
1,81 0,06 1,41 1,65 0,23 0,07 1,45 0,62 2,86 0,00 0,58 0,03
2 10 5 3 8 9 4 6 1 7 11
RCA
2,62 0,02 1,64 0,83 0,42 0,03 0,61 0,96 3,97 0,00 0,69 0,03
2007
Rank
2 11 3 5 8 10 7 4 1 6 9
RCA
3,17 0,08 1,55 1,78 0,65 0,01 3,02 3,27 4,19 0,00 0,79 0,10
Rendahnya indeks RCA ikan tuna beku juga ditandai dengan enguasaan pangsa pasar negara Indonesia untuk komoditas ikan tuna beku rata-rata pertahun hanya 1,43 persen per tahun (Table 17). Negara Indonesia tidak termasuk negara yang memiliki keunggulan bersaing untuk komoditas ini.
Penguasaan pasar
terbesar dikuassai oleh negara Republik Korea yaitu rata-rata sebesar 11,58 persen.
Rank
4 10 6 5 8 11 3 2 1 7 9
Tabel 17. Pangsa Pasar Ikan Tuna Beku Tahun 2002-2007 (%) Negara
2002
2003
2004
Australia Ekuador EU-27 Perancis Indonesia Italia Jepang Filipina Rep. Korea Seychelles Spanyol Thailand
7,40 5,35 0,54 0,18 8,88 8,66 4,59 5,84 1,73 1,21 0,18 0,15 2,26 1,95 0,96 0,93 15,17 11,09 0,00 0,00 4,40 4,24 0,18 0,27 Sumber: UN Comtrade 2008, diolah
2005
3,33 0,23 8,56 4,43 0,54 0,11 3,55 1,00 10,8 0,00 4,94 0,57
4,29 0,27 7,96 5,41 0,97 0,17 1,80 1,04 9,93 0,00 4,71 0,64
2006
Rata-rata per tahun 5,48 0,29 8,74 5,22 1,43 0,12 2,72 1,63 11,58 0,00 5,02 0,71
2007
5,22 0,10 9,35 6,39 1,53 0,07 2,23 1,90 10,75 0,00 5,31 0,60
7,28 0,40 9,03 4,65 2,58 0,02 4,55 3,97 11,72 0,00 6,56 1,97
Tabel 18 menunjukkan bahwa umumnya pada komoditas ikan tuna olahan negara Indonesia mempunyai keunggulan komparatif karena memiliki indeks RCA lebih besar daripada satu . Indeks RCA Indonesia mengalami fluktuatif, pada tahun 2002 dan 2003 indeks RCA hanya sebesar 0,88 dan 0,99. Pada tahun 2004 hingga 2006 indeks RCA negara Indonesia lebih besar dari satu, namun pada tahun 2007 mengalami penurunan. Hal ini berarti negara Indonesia memiliki keunggulan komparatif antara 0,85 hingga 1,10 relatif lebih baik dibandingkan dengan negara eksportir lainnya. Indeks RCA memperlihatkan bahwa negara Indonesia memiliki daya saing yang lemah untuk komoditas ikan tuna olahan. Negara yang memiliki indeks RCA terbesar untuk ikan tuna olahan adalah Seychelles dan Thailand. Tabel 18. Indeks RCA untuk Komoditas Ikan Tuna Olahan Tahun 2002-2007 Negara
2002 RCA
Rank
2003 RCA
2004
2005
2006
2007
Rank
RCA
Rank
RCA
Rank
RCA
Rank
RCA
Rank
Australia 0,01 12 0,01 12 Ekuador 1,92 3 1,86 3 EU-27 0,55 9 0,39 9 Perancis 1,54 5 1,48 6 Indonesia 0,87 8 0,99 8 Italia 1,60 4 1,56 4 Jepang 0,21 10 0,19 10 Filipina 1,43 6 1,55 5 Rep. Korea 0,02 11 0,05 12 Seychelles 2,07 1 2,00 1 Spanyol 1,06 7 1,04 7 Thailand 2,04 2 1,97 2 Sumber: UN COmtrade 2008, diolah
0,03 2,09 0,34 1,62 1,10 1,62 0,14 1,49 0,04 2,17 1,06 2,12
12 3 9 4 7 5 10 6 11 1 8 2
0,03 1,96 0,42 0,67 1,08 1,38 0,17 1,36 0,05 2,02 1,22 1,97
12 3 9 8 7 4 10 5 11 1 6 2
0,02 1,86 0,38 1,41 1,01 1,24 0,05 1,28 0,00 1,89 1,18 1,84
11 2 9 4 8 6 10 5 1 7 3
0,01 1,54 0,34 0,70 0,85 1,20 0,11 0,23 0,00 1,59 0,97 1,54
11 3 8 7 6 4 10 9 1 5 2
Pengusaan pasar negara Indonesia untuk komoditas ikan tuna olahan ratarata hanya 4,11 persen per tahun (Tabel 19). Pangsa pasar terbesar dikuasai oleh Negara Thailand dan Perancis yang masing meguasasi pasar rata-rata sebesar 35,37 dan 9,12 persen. Tabel 19. Pangsa Pasar Ikan Tuna Olahan Tahun 2002-2007 (%) Negara
2002
2003
Australia 0,03 0,03 Ekuador 8,76 7,91 EU-27 2,55 2,25 Perancis 14,14 12,56 Indonesia 3,86 3,79 Italia 3,74 2,95 Jepang 0,30 0,24 Filipina 4,18 4,27 Rep. Korea 0,13 0,18 Seychelles 7,25 7,26 Spanyol 9,29 8,78 Thailand 30,86 31,12 Sumber: UN Comtrade 2008, diolah
2004 0,06 6,92 2,37 12,60 4,51 3,45 0,27 2,49 0,16 6,44 9,40 34,21
2005 0,06 8,78 2,39 2,21 4,50 3,39 0,21 2,29 0,17 6,24 10,01 39,54
2006 0,04 8,61 2,17 10,82 3,68 2,91 0,17 2,52 0,00 5,31 9,08 36,80
2007 0,03 9,42 2,57 2,37 4,34 3,56 0,21 0,36 0,00 5,23 10,35 39,66
Rata-rata per tahun 0,04 8,40 2,38 9,12 4,11 3,33 0,23 2,69 0,11 6,29 9,48 35,37
Rendahnya daya saing Indonesia untuk komoditas ini disebabkan oleh rendahnya nilai ekspor ikan tuna dalam bentuk olahan.
Tujuh industri
pengalengan ikan tuna di Jawa Timur,saat ini empat unit tidak berproduksi lagi. Sulawesi Utara yang semula memiliki empat industri, saat ini hanya dua yang masih beroperasi. Namun, kedua industri tersebut sekarang telah diambil alih oleh investor dari Filipina. Bali saat ini hanya satu unit yang masih aktif, sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna. Perusahaan pengolahan ikan banyak yang tidak beroperasi karena kurangnya bahan baku dan modal untuk terus melanjtukan usahanya. Peraturan pemerintah yang mengijinkan penjualan tuna secara gelondongan, juga mempengaruhi ekspor tuna olahan. Para penangkap ikan tuna lebih senang menjual langsung ikan tuna segar terutama yang masuk grade A, menurut mereka daya beli pengolah di dalam negeri masih rendah dan belum mampu membeli dengan harga yang lebih tinggi daripada harga ekspor. Masalah ini membuata adanya sedikit pertentangan antara industri pengolah dan pemasar ekspor.
Indeks RCA Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditas ikan tuna segar dan olahan, namun untuk komoditas ikan tuna beku Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif.
Penguasaan pangsa pasar untuk
komoditas ikan tuna segar yang besar, namun tidak untuk komoditas ikan tuna beku dan olahan. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan pangsa pasar terutama untuk komoditas ikan tuna beku dan olahan dan meningkatkan daya saing komoditas Ikan tuna baik segar, beku dan olahan di pasar internasional baik secara internal maupun eksternal Upaya internal yang harus dilakukan yaitu memperbaiki kualitas ikan terutama dari penyakit dan berbagai isu tentang keamanan pangan yang menjadi hambatan dalam perdagangan ikan tuna di pasar internasional dan penerapan teknologi yang lebih baik dalam pengolahan ikan. Upaya ekstenal yang dilakukan yaitu memperluas jaringan kerjasama internasional dengan melakukan usaha ekspor ke negara lain selain negara yang menjadi tujuan utama ekspor dan mengikuti organisasi yang berkaitan dengan perdagangan ikan tuna di pasar internasional agar mudah dalam melakukan perdagangan internasional. 6.3. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Ikan Tuna Nasional Daya saing suatu negara selain dilihat dari keunggulan komparatifnya harus dilihat pula keunggulan kompetitifnya.
Suatu negara tidak bisa hanya
menggantungkan keunggulannya pada keunggulan komparatif, tetapi juga harus didukung oleh keunggulan kompetitif (Zamroni 2000). Strategi persaingan dalam perdagangan dunia sangat penting, terutama dengan mulainya era perdagangan bebas yang membuat hambatan baik tarif maupun non-tarif berkurang. Daya saing komoditas ikan tuna nasional dilihat berdasarkan Teori Berlian Porter.
Teori Berlian Porter menjelaskan ada empat kondisi faktor yang
berpengaruh terhadap daya saing internasional.
Empat kondisi faktor (faktor
internal) tersebut adalah kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, eksistensi industri pendukung dan terkait, dan strategi persaingan.
Peran
pemerintah dan peran kesempatan berada diluar industri ikan tuna (faktor eksternal), namun kedua peran ini turut mempengaruhi daya saing ikan tuna nasional. Penjelasan tentang kondisi faktor internal dan eksternal ikan tuna nasional adalah sebagai berikut:
6.3.1. Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap agribisnis ikan tuna adalah sumberdaya fisik atau alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Kelima faktor ini memiliki keterkaitan dalam rangka agribisnis ikan tuna. Berikut penjelasan mengenai kondisi kelima faktor sumberdaya tersebut: 6.3.1.1. Sumberdaya Fisik atau Alam Sumberdaya fisik atau alam ini menyangkut ketersediaan ikan tuna di negara Indonesia. Sumberdaya perikanan yang mempengaruhi daya saing ikan tuna di pasar internasional meliputi, ketersedian daerah penangkapan, ketersediaan kapal dan biaya yang terkait dalam penangkapan ikan tuna. Ketersediaan daerah penangkapan seperti yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan (Tabel 2), wilayah Indonesia masih memiliki daerah yang cukup luas untuk penangkapan ikan tuna. Aktivitas penangkapan masih terfokus di daerah Selat Malaka dan Laut Jawa karena umumnya Bandar pelabuhan yang paling aktif terletak di wilayah Jakarta, Pelabuhan Ratu, Cilacap dan Bali. Ketersediaan terhadap kapal untuk menangkap juga mempengaruhi daya saing ikan tuna nasional. Kapal yang tersedia sangat berguna untuk penangkapan ikan.
Ikan
tuna
memiliki
sifat
mudah
bermigrasi,
sehingga
untuk
penangkapannya dibutuhkan kapal berukuran besar. Ketersediaan kapal untuk pengangkapan ikan tuna ditampilkan pada Tabel 19. Tabel 20
menunjukkan bahwa nelayan Indonesia umumnya melaut
dengan kapal tanpa motor dengan ukuran perahu yang kecil.
Persentase
penggunaan kapal tanpa motor pada tahun 2007 sebesar 41 persen, kapal dengan motor temple 31 persen, dan kapal motor sebanyak 28 persen. Rendahnya nilai penggunaan kapal motor membuat jumlah ikan yang mampu diekspor sangat sedikit, sebab penggunaan kapal tanpa motor tidak dilengkapi dengan alat penyimpan ataupun es batu. Hal ini menyebabkan saat sampai ke daratan ikan sudah tidak segar lagi. Kapal motor dibedakan umumnya dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1) Kapal besar.
Kapal ini terbuat dari besi yang berukuran >200 GT dan
dilengkapi fasilitas ruang pendingin (deep freezing) yang dapat menyimpan ikan dalam jangka waktu berbulan-bulan. 2) Kapal
fresh tuna.
Kapal ini terbuat dari kayu atau
fiber glass yang
berukuran 50-200 GT dan dilengkapi dengan ruang pendingin dengan temperature 400C yang cukup menjaga kesegaran ikan hingga tiga minggu. 3) Kapal kecil. Kapal ini terbuat dari kayu atau fiber glass yang berukuran <50 GT yang membawa es batu, air es, atau flake ice di dalam palkanya dan biasanya untuk kegiatan penangkapan satu atau beberapa hari. Tabel 20. Jumlah Kapal Motor Berdasarkan Ukurannya Tahun 2002-2007 (unit) Jenis Perahu Tanpa Motor Perahu dengan Motor Tempel < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT Kapal Motor 20-30 GT dengan 30-50 GT ukuran 50-100 (gross GT ton) 100-200 GT >200 GT Total
2002
2003
2004
219.079
250.469
256.830
130.185
158.411
74.292 20.208 5.866 3.382 2.685
2005
Kenaikan rata-rata 20022007 (%)
2006
2007
244.471
249.955
241.889
2,21
165.337
165.314
185.983
185.509
7,66
79.218 24.358 5.764 3.131 2.338
90.148 22.917 5.952 3.598 800
102.456 26.841 6.968 4.553 1.092
106.609 29.899 8.190 5.037 970
114.273 30.617 8.194 5.345 913
9,06 9,11 7,24 10,16 -11,85
2.430
2.698
1.740
2.160
1.926
1.832
-3,21
1.612
1.731
1.342
1.403
1.381
1.322
-3,28
559
559
436
323
367
420
-3,97
460.298
528.677
549.100
555.581
590.317
590.314
5,23
Sumber: BPS 2007
Biaya yang terkait dalam penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap Long Line .(rawai tuna) dengan asumsi seperti berikut: 1) Kapal yang digunakan ukuran 30 GT dengan kebutuhan Solar 7.000 liter per trip 2) Satu kali trip selama 20 hari dan dalam hanya ada Sembilan kali trip. Perhitungan biaya ikan tuna dalam setahun berdasarkan asumsi di atas dijelaskan pada Tabel 21. Biaya yang paling besar dikeluarkan terletak pada kebutuhan bahan bakar dengan persentase sebesar 13,07 persen.
Tabel 21. Estimasi Biaya Penangkapan Ikan Tuna per Tahun Jenis Biaya Biaya Investasi 1. Biaya pengadaan kapal 2. Biaya pengadaan mesin 3. Biaya pengadaan alat tangkap (pancing) Biaya Produksi 1. Biaya tetap per tahun a. Perawatan kapal b. Perawatan mesin c. Perawatan alat tangkap 2. Biaya operasional (tidak tetap pertahun) a. Solar (9 trip x 7.000 lt @ Rp.4.500) b. Perbekalan c. Es (1000 balok @ Rp.10.000) d. Umpan Lemuru (5.000 kg @ Rp.3.000) e. Umpan Layang (3.000 kg @ Rp. 6.250) Total Biaya Per Tahun Sumber: Hikmayani dan Asnawi 2007
Jumlah Biaya 1.500.000.000 50.500.000 60.000.000
20.000.000 20.000.000 4.800.000 283.500.000 186.300.000 10.000.000 15.000.000 18.750.000 2.168.850.000
Kondisi faktor sumberdaya alam untuk komoditas ikan tuna dilihat dari segi ketersediaan daerah penangkapan masih baik, namun untuk kondisi ketersediaan kapal dan biaya terkait dengan penangkapan ikan tuna terdapat kendala yaitu rendahnya kapal berukuran besar yang beroperasi dan tinggi biaya yang dikeluarkan terutama untuk bahan bakar. Daya saing komoditas ikan tuna nasional akan meningkat jika kualitas dan kuantitas ikan tuna juga meningkat, maka diperlukan upaya untuk menjaga ketersediaan ikan tuna diperairan dan memperbanyak jumlah kapal motor agar dapat melakukan penangkapan di laut lepas. 6.3.1.2. Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia merupakan faktor penentu dalam peningkatan dinamika pembangunan suatu negara. Sumberdaya manusia merupakan faktor penggerak sumberdaya lain yang besifat statis.
Sumberdaya manusia sangat
penting untuk meningkatkan daya saing terutama dalam suasana persaingan yang sangat ketat. Sumberdaya manusia yang terkait dengan perdagangan ikan tuna dan mempengaruhi daya saing ikan tuna di pasar internasional ini meliputi jumlah tenaga kerja yang tersedia baik di bagian hulu dan hilir, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh sumberdaya manusia tersebut.
Jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berprofesi sebagai nelayan menurut Tabel 22 terbagi menjadi tiga jenis, yaitu nelayan penuh, nelayan sebagai pekerjanan sampingan utama, dan nelayan sebagai pekerjaan sampingan tambahan. Persentase nelayan penuh dari tahun 2006-2007 mengalami penurunan sebesar 15,32 persen, untuk nelayan sampingan utama naik sebesar 28,58 persen, dan untuk nelayan sampingan tambahan naik sebesar 16,82 persen. Nelayan penuh mengalami penurunan sebab banyak nelayan yang tidak dapat melaut karena keterbatasan modal dan beralih ke pekerjaan lain atau berubah menjadi nelayan sampingan. Keterampilan penangkapan ikan pun dikategorikan masih tradisional, jika dibandingkan dengan negara lain yang kapal untuk penangkapan sudah dilengkapi dengan alat pendeteksi ikan. Alat ini sangat berguna untuk mengetahui letak gerombolan ikan tuna. Nelayan yang telah bekerjasama dengan perusahaan pengolahan atau eksportir memiliki pengetahuan dan penguasaan teknologi yang cukup baik serta kapal yang digunakan sudah memiliki ruang pendingin dan alat pendeteksi ikan. Tabel 22. Jumlah Nelayan menurut Kategori Nelayan Tahun 2002-2007 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Kenaikan rata-rata 20022007 (%) Kenaikan 2006-2007 (%) Sumber: BPS 2007
Nelayan Penuh (Full time) 1.277.129 1.729.671 1.182.604 1.145.653 1.293.530 1.095.399
Sambilan Utama (Part time-major) 923.322 1.112.217 826.206 648.591 626.065 805.011
Sambilan Tambahan (Part time-minor) 371.591 469.933 337.972 263.742 283.817 331.557
-0,35
4,28
0,17
-15,32
28,58
16,82
Tingkat pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia untuk pengolahan pasca panen dan pemasaran yang dimiliki masih dibawah standar. Indikator dari rendahnya tingkat pengetahuan dan keteremapilan terlihat dari sedikitnya perusahaan yang mampu menghasilkan ikan tuna sesuai dengan selera konsumen dan adanya keterbatasan jumlah perusahaan yang mampu mendapatkan ijin ekspor. Ikan tuna Indonesia banyak yang terkena isu keamanan pangan yang menandakan rendahnya pengawasan mutu baik setelah penangkapan maupun saat pengolahan.
Sumberdaya manusia untuk komoditas ikan tuna nasional
memerlukan pembenahan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ikan tuna nasional. 6.3.1.3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi daya saing ikan tuna nasional adalah,
ketersediaan pengetahuan teknis ekspor,
kertersediaan pengetahuan untuk penangkapan pengetahuan tentang penyimpanan ikan setelah pengangkapan, lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, dan asosiasi perdagangan. Pengetahuan tentang teknis ekspor telah dimiliki oleh Indonesia terutama untuk negara tujuan utama terdapat pada Lampiran 10,11 dan 12. Teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya tuna disesuaikan dengan sifat dan tingkah laku ikan sasaran. Tuna merupakan ikan perenang cepat yang bergerombol. Oleh karena itu, alat penangkap ikan yang digunakan haruslah yang sesuai dengan perilaku ikan tersebut. Ada lima macam alat penangkap tuna, yaitu rawai tuna (long line), huhate (pole and line), pancing tangan (handline), pukat cincin (purse seine), dan jaring insang (gillnet). Ikan tuna setelah ditangkap harus dijaga kesegarannya, sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat pasca penangkapan.
Kesegaran ikan tuna
dapat ditangani dengan pemberian suhu rendah melalui proses pendinginan dan pembekuan.
Penerapan suhu rendah adalah untuk
menghindarkan hasil
perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh autolisa atau karena pertumbuhan mikroba. Aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti. Suhu optimum dimana enzim dan mikroba mempunyai aktifitas yang paling baik biasanya terletak pada suhu di antara sedikit di bawah dan di atas suhu kamar. Berdasarkan peraturan dari International Institut of Refrigeration, Paris suhu penyimpanan untuk ikan berlemak (termasuk ikan tuna) dibagi menjadi beberapa jenis menurut waktu penyimpanan, empat bulan pada suhu -180C, delapan bulan pada suhu -250C dan 24 bulan pada suhu -300 C. Suhu penyimpanan beku bagi produk ikan yang akan dimanfaatkan untuk sashimi, dianjurkan pada suhu -500C hingga -600C.
Lembaga penelitian dalam hal ini terkait dengan adanya badan strandadisasi nasional (BSN) yang berguna untuk mengawasi mutu ikan yang dihasilkan agar sesuai dengan ketentuan negara tujuan ekspor. Komoditas ikan tuna memiliki asosiasi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengurus tentang ikan tuna yaitu dengan dibentuknya Asosiasi Ikan Tuna Nasional (Astuin) dan adanya Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) yang merupakan gabungan pengusaha pengolahan ikan termasuk ikan tuna dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia. 6.3.1.4. Sumberdaya Modal Sumberdaya modal termasuk salah satu yang mempengaruhi daya saing ikan tuna di pasar internasional. Perikanan nasional dihadapkan pada masalah permodalan, akses permodalan untuk sektor perikanan masih terbilang sedikit dan sulit untuk didapat.
Pemerintah melalui DKP telah mengeluarkan beberapa
program pembiayaan untuk perikanan seperti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri-Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP). DKP juga membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina melalui kerjasama dengan Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri dan PT. Permodalan Nasional Madani (PT. PNM). Kegiatan PEMP diinisasi untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi, kenaikan BBM, kesenjangan, kemiskinan, dan rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (masyarakat) pesisir serta upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan.
Program PEMP
meliputi beberapa kegiatan yang menjadi bagian dari program besar PEMP. Beberapa kegiatan tersebut adalah : 1) Klinik Bisnis. Klinik ini berguna untuk konsultasi dan pendampingan bisnis bagi masyarakat terutama penerima Bantuan Sosial Mikro dengan output layanan Konsultasi yang berkaitan dengan rencana bisnis, pangsa pasar, mitra usaha, rasio keuntungan dan pengembangan bisnis termasuk tatacara proposal ke LKM/Bank
2) Kedai Pesisir LEPPM3 melalui Unit Usaha Kedai Pesisir dengan Output layanan. Kedai ini melayani dan menyediakan kebutuhan pokok masyarakat dan kebutuhan usaha bagi masyarakat pesisir berbentuk outlet dengan system swalayan berlokasi di pusat kegiatan usaha masyarakat pesisir. Kedai ini juga berfungsi sebagai pemasok bagi warung-warung sejenis di sekitarnya. 3) Program Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/ Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak untuk Nelayan (SPBN). SPDN/SPBN dengan Output layanan Melayani kebutuhan BBM bagi nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil dengan harga sesuai ketetapan pemerintah. PNPM Mandiri-KP merupakan program lain yang dilakukan pemerintah untuk membantu dalam permodalan. Kegiatan pokok PNPM Mandiri-KP ini terdiri dari: 1) Perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis desa. 2) Pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan. 3) Penguatan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan aparat. 4) Pemberdayaan masyarakat. Program bantuan modal yang dilakukan pemerintah selama ini belum banyak membantu permodalan para nelayan kecil. Bantuan modal tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan nelayan terutama perahu untuk memancing. Akses modal yang ada terkadang pelaksanaannya menyulitkan nelayan sehingga nelayan jarang yang memanfaatkan akses ini. Akses modal umumnya hanya dapat diakses oleh nelayan skala besar.
Nelayan skala kecil untuk mengatasi masalah
permodalan, mereka melakukan kerjasama dengan nelayan skala besar. Pemerintah harus mengkaji ulang bantuan modal yang agar tepat sasaran. 6.3.1.5. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur (sarana dan prasarana) fisik yang cukup lengkap dan dalam kondisi yang baik merupakan salah satu pendukung peningkatan daya saing komoidtas ikan tunas nasional.
Sumberdaya infrastruktur yang
mempengaruhi daya saing ikan tuna di pasar internasional meliputi sisterm transportasi yang tersedia, sistem komunikasi, sistem pembayaran, air, dan energi
listrik. Air bersih dan listrik umumnya sangat susah didapat di daerah pantai. Keadaan ini menyebabkan rendahnya tingkat sanitasi dan kehigienisan tempat pendaratan ikan dan pengolahan ikan. Kondisi jalan yang dilalui dalam proses pendistribusian ikan tuna dari nelayan ke pengumpul atau eksportir
masih buruk terutama untuk wilayah
Indonesia bagian Timur. Keadaan ini membuat jarak tempuh semakin lama dan berakibat terhadap kemunduran kesegaran ikan tuna. Kondisi sitem transportasi yang dimiliki seperti bandar udara dan pelabuhan sudah dimiliki. Bandar udara yang dipakai untuk pengiriman ekspor biasanya Bali dan Jakarta, namun untuk maskaspainya berasal dari negara asing, sebab maskapai dalam negeri masih belum mampu memenuhi permintaan jasa penerbangan ekspor bahan makanan segar (Fahruddin 2003). Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan Indonesia (PIPP 2006 diacu dalam Kusumastanto 2007) mencatat sampai saat ini terdapat 670 unit pelabuhan di seluruh Indonesia, yang terdiri dari lima unit Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), dua belas unit Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 46 unit Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 607 unit Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI). Unit pelabuhan yang ada hanya sedikit saja yang berstandar internasional seperti PPS Jakarta. Sumberdaya infrastruktur untuk komoditas ikan tuna saat ini dapat dikategorikan masih rendah. Sumberdaya infrastruktur yang ada harus diperbaiki kondisinya, sehingga mampu menunjang peningkatan kualitas dan kuantita ikan tuna nasional. 6.3.2. Kondisi Permintaan Faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi daya saing komoditas ikan tuna nasional adalah sebagai berikut: 6.3.2.1. Komposisi Permintaan Domestik Komposisi permintaan domestik menjadi salah satu
faktor yang
berpengaruh terhadap daya saing komoditas ikan tuna nasional.
Tingkat
pertumbuhan permintaan negara asal yang cepat mengarahkan perusahaan dalam negara untuk melakukan peningkatan melalui penerapan teknologi yang baru dan perbaikan fasilitas, walaupun biaya investasi yang dibutuhkan juga besar.
Karakter permintaan domestik akan membantu perusahaan untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Karakteristik permintaan domestik meliputi: 1) Struktur Segmen Permintaan Struktur segmentasi permintaan konsumen ikan tuna dibedakan menjadi menengah ke atas dan menengah ke bawah. Konsumen menengah ke atas umumnya membeli produk ikan tuna di pasar swalayan (supermarket) dalam bentuk fillet atau kalengan.
Konsumen menengah ke bawah umumnya
membeli ikan tuna dalam bentuk utuh dan dilakukan di pasar tradisional. Ikan tuna yang diperdagangkan di pasar tradisional biasanya adalah cakalang dan tongkol, sedangkan untuk jenis yang lain umumnya untuk dijual ke pasar swalayan atau di ekspor. 2) Pengalaman dan Selera Pembeli yang Tinggi Selera masyarakat terhadap produk ikan tuna umumnya lebih menyenangi mengkonsumsi secara segar.
Kawasan Uni Eropa dan Amerika Serikat
termasuk yang menyenangi mengkonsumsi ikan tuna dalam bentuk kalengan, sebab lebih praktis untuk diolah. Ikan tuna termasuk dalam makanan yang sering dikonsumsi di seruluh dunia, namun ikan tuna memiliki dampak negatif terhadap kesehatan jika dikonsumsi dalam keadaan sudah tidak baik. Ikan tuna terutama jenis cakalang, jika mutunya telah bekurang dapat menyebabkan gatal-gatal pada manusia.
Kasus ini membuat pembeli
menuntut terjaminnya kualitas ikan yang dipasarkan. Negara-negara tujuan ekspor telah menetapkan standar tertentu untuk komoditas ikan tuna yang akan di impor, dengan tujuan untuk melindungi konsumen dalam negerinya dari efek negatif tersebut. Oleh karena itu, aspek mutu menjadi faktor terpenting dalam komoditas ikan tuna. 3) Antisipasi Kebutuhan Pembeli Antisipasi perusahaan dalam negeri masih kurang baik dalam memenuhi kebutuhan pembeli. Perusahaan ikan tuna nasional belum mampu secara maksimal memenuhi permintaan ikan tuna dengan standar dan jumlah yang sesuai. Perusahaan yang dapat memenuhi standar dan selera konsumen luar negeri masih terbatas jumlahnya.
6.3.2.2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Permintaan akan ikan tuna untuk dalam negeri cukup besar jumlahnya, hal ini dapat terlihat dari tingginya konsumsi pasar domestik terhadap ikan tuna. Ikan tuna nasional umumnya lebih banyak dijual ke pasar domestik, rata-rata hanya 17,81 persen tiap tahunnya yang dijual ke pasar internasional. Konsumsi ikan tuna nasional kenaikan rata pertahunnya hanya 4,55 persen, sedangkan ikan tuna yang diekspor mengalami peningkatan sebesar 28,51 persen (Tabel 23). Tabel 23. Konsumsi dan Ekspor Ikan Tuna Indonesia Tahun 2002-2007 (ton) Keterangan
2002
Konsumsi 525.699 Ekspor 92.797 Total 618.496 Sumber: DKP 2008
2003
2004
2005
2006
2007
562.005 65.886 627.891
596.562 124.146 720.708
612.324 132.828 745.152
629.782 136.125 765.907
656.088 236.348 892.436
Kenaikan Rata-rata 2002-2007 (%) 4,55 28,51 7,79
Tabel 22 memperlihatkan bahwa pola pertumbuhan untuk komoditas ikan tuna baik di pasar domestik maupun internasional memiliki pola pertumbuhan menigkat. Peninggkatan pola pertumbuhan permintaan ini, jika tidak dilakukan dengan kegiatan budidaya dan konservasi akan menyebabkan masalah penurunan populasi ikan tuna di alam bebas. Oleh karena, itu sangat penting untuk menjaga populasi ikan tuna nasional sehingga mampu untuk mencukupi peningkatan permintaan di masa depan. 6.3.2.3. Internasionalisasi Permintaan Domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri merupakan salah satu pendukung peningkatan daya saing ikan tuna nasional. Internasionalisasi permintaan domestik umumnya terjadi melalui kegiatan promosi yang dilakukan oleh turis asing yang merasa puas dengan produk ikan tuna Indonesia. Konsumen asing yang memiliki mobilitas yang cukup tinggi, akan membantu peningkatan daya saing ikan tuna nasional karena adanya kemungkinan konsumen asing tersebut menyebar luaskan ke tempa lain.
6.3.3. Industri Terkait dan Pendukung Industri terkait dan pendukung merupakan industri yang terlibat langsung dalam sistem agribisnis ikan tuna mulai dari hulu hingga hilir. Industri terkait dan pendukung yang baik akan mendukung daya saing suatu komoditas. Industri terkiat dan pendukung pada komoditas ikan tuna nasional. Industri terkait dan pendukung daya saing ikan tuna adalah sebagai berikut: 1) Industri Terkait Industri terkait dengan daya saing komoditas ikan tuna nasional terdiri dari indsutri hulu yaitu penangkapan ikan dan industri hilir yaitu industri pasca penangkapan dan pengolahan.
Penangkapan ikan tuna dilakukan dengan
beberapa alat penangkapan yaitu. rawai tuna (long line), huhate (pole and line), pancing tangan (handline), pukat cincin (purse seine), dan jaring insang (gillnet). Tabel 23 memperlihatkan jumlah alat penangkapan yang paling banyak digunakan untuk penangkapan ikan tuna dengan menggunkanan jarring insang.
Jaring insang merupakan jaring berbentuk empat persegi
panjang dengan ukuran mata yang sama di sepanjang jarring. Cara kerja jaring insang yaitu membiarkan jarring terapung selama dua hingga tiga jam, setelah itu jarring diangkant, ikan akan terjerat dibagian insangnya pada mata jaring. Teknik ini memungkinan untun menangkap ikan dengan ukuran relatif seragam. Alat tangkap hutate dan rawai tuna memiliki kenaikan rata-rata terbesar dibandingkan alat tangkap lainnya dengan besar masing-masing 63,05 dan 48,29 persen (Tabel 24). Kondisi industri penangkapan ikan tuna nasional, masih dikategorikan tradisional.
Nelayan yang memancing ikan tuna
umumnya memiliki keterbatasan dalam penerapan teknologi dan peralatan. Rawai tuna merupakan alat yang paling efektif untuk digunakan dalam penangkapan ikan tuna, namun karena keterbatasan modal nelayan lebih banyak memakai jaring ingsang dan pancing tangan.
Tabel 24. Jumlah Unit Penangkapan Ikan Tuna Tahun 2002-2007 Jenis Alat Tangkap
2002
Pancing Tangan Pukat 13.213 Cincin Hutate 2.092 Jaring 87.623 Insang Rawai Tuna 2.264 Sumber: BPS 2007
2003
2004
2005
2006
2007
-
33.018
22.863
30.250
53.768
15.685
13.714
17.198
20.211
22.741
2.512
5.032
3.872
6.861
15.765
136.324
131.708
127.542
128.166
154.407
6.547
5.656
5.226
9.290
8.893
Kenaikan Rata-rata 2002-2007 (%) 26,43 15,26 63,05 7,91 48,29
Kondisi indutri pengolahan ikan tuna saat ini mengalami kendala kekurangan bahan baku dan rendahnya daya beli. Industri pengolahan ikan tuna belum mampu memenuhi kuota ikan tuna olahan yang mengakibatkan rendahnya volume ekspor ikan tuna olahan. Industri pengolahan ikan tuna banyak yang tidak beroperasi lagi sebab kekurangan bahan baku. Nelayan atau pengumpul lebih memilih menjual hasil tangkapan untuk langsung diekspor daripada menjualnya ke industri pengolahan ikan. Industri ikan tuna nasional hanya mampu membeli ikan tuna grade C dan D yang kondisinya tidak terlalu baik, serta tidak semua indutsri ikan tuna mampu membeli dengan harga tinggi. Industri terkait dengan komoditas ikan tuna kondisinya belum mampu mendukung daya saing komoditas ikan tuna nasional. Industri hulu masih bermasalah dengan kurangnya modal dan penerapan teknologi sehingga hasil tangkapannya tidak banyak, ukurannya beraneka ragam, dan kualitas ikan yang tidak terlalu baik. Indutri hilir juga belum mampu mendukung daya saing ikan tuna, sebab belum mampu berproduksi dalam jumlah banyak karena keterbatasan bahan baku.
Industri terkait ini harusnya saling
menunjang, namun pada kenyataannya kedua industri ini saling bertentangan, sebab industri hulu lebih memilih menjual ikan segar ke negara tujuan ekspor daripada menjual ke industri pengolahan.
Pemerintah sebagai pembuat
regulator harus mencari solusi yang terbaik bagi keberlangsungan kedua industri ini agar dapat berjalan harmonis.
2) Industri Pendukung Industri pendukung dalam daya saing ikan tuna nasional yaitu industri pemasaran dan jasa pendidikan, penelitian, dan pengembangan perikanan nasional. Industri jasa pemasaran ikan tuna nasional terdiri dari para pelaku yang berperan sebagai perantara pemasaran komoditas ikan tuna dari nelayan hingga ke tangan konsumen.
Para pelaku tersebut adalah pedagang
pengumpul yang biasanya ada di tempat pelelangan ikan atau langsung membeli ikan saat masih dikapal serta jasa pengiriman produk ikan tuna baik untuk konsumsi dalam negeri dan luar negeri. Keberadaan jasa pemasaran ini sudah cukup baik, namun untuk pengiriman luar negeri masih perlu ditingkatkan sebab maskapai penerbangan dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan pengiriman bahan makanan ke luar negeri sehingga para eksportir umumnya memakai jasa penerbangan asing. Industri pendukung yang berkaitan dengan peningkatan daya saing ikan tuna adalah jasa pendidikan, penelitian, dan pengembangan.
Jasa pendidikan
memegang peranan penting dalam pengembangan agribisnis ikan tuna nasional
sehingga mampu meningkatkan daya saing ikan tuna nasional.
Lembaga pendidikan yang tersedia untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan agribisnis ikan tuna di Indonesia sudah cukup baik, hal ini terlihat dari tersedianya beberapa universitas yang memiliki fakultas yang mempelajari tentang ilmu perikanan dan kelautan seperti Universitas Hasanudin (Sulawesi Selatan), Universitas Soedirman dan Universitas Diponegoro (Jawa Tengah), Universitas Brawijaya (Jawa Timur) dan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Padjajaran (Jawa Barat) serta Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan (DKI Jakarta).
Lembaga ini membantu untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama terkait dengan hal manajerial dan penerapan teknologi. Lembaga penelitian dan pengembangan ikan tuna nasional yang dibentuk oleh pemerintah sebagai wujud dukungannya adalah Komisi Tuna Indonesia (KTN) yang salah satunya bertugas untuk mengatasi berbagai hambatan ekspor tuna ke manca negara.
Komisi Tuna Nasional merupakan suatu
lembaga koordinasi yang menangani permasalahan industri tuna secara
komprehensif dan sistematik serta mampu berkoordinasi dengan seluruh stakeholders tuna nasional.
Lembaga ini bersifat non struktural dan
bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan serta beranggotakan seluruh stakeholders yang memahami kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan tuna secara global. Lembaga ini mempunyai visi sebagai institusi yang efisisen dan efektif dalam mendorong pengembangan industri tuna nasional yang berbasis pada konsep kemitraan antara seluruh stakeholders industri tuna sehingga dapat bersaing dalam industri tuna secara global. Misinya adalah mengembangkan sistim industri perikanan tuna melalui perumusan kebijakan produksi dan kebijakan riset serta pengembangan yang terkait dengan industri tuna, meningkatkan daya saing industri tuna nasional dalam kontek tidak hanya sebagai pemiliki saja, tetapi juga mampu menjadi pemanfaat dan pengolah yang memiliki daya saing secara global. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga memiliki bagian Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan LIPI (Puslit Oseanografi) yang bertugas melakukan penelitian dan pengembangan terhadap kelautan Indonesia. Keberadaan jasa pendidikan, penelitian, dan pengembangan perikanan di Indonesia sudah cukup baik, sehingga mampu mendukung peningkatan ikan tuna nasional. 6.3.4. Struktur, Persaingan, dan Strategi Industri Ikan Tuna Struktur, persaingan dan strategi bersaing komoditas ikan tuna nasional dianalisis dengan menggunakan analisis industri yang biasa disebut dengan “The Five Competitive Forces”. Analisis industri tersebut terdiri dari lima kekuatan atau faktor persaingan yang dicetuskan oleh Porter. Kelima faktor persaingan tersebut adalah ancaman pendatang baru, ancaman produk subtitusi, posisi tawar pembeli, posisi tawar pemasok, dan persaingan dari perusahaan sejenis. Berikut ini uraian mengenai kelima faktor persaingan tersebut: 1) Ancaman Pendatang Baru Kegiatan ekspor ikan tuna ini termasuk sektor yang cukup berpotensial karena termasuk bahan makanan utama, terutama untuk negara yang makanan utamanya adalah ikan seperti Jepang.
Namun, tidak semua negara yang
memiliki laut dapat melakukan kegiatan ekspor ikan tuna karena ikan tuna hanya terdapat di perairan tropis dan sub-tropis dan memiliki sifat yang aktif bergerak. Ancaman adanya pendatang baru dalam perdagangan ikan tuna mungkin saja terjadi terutama dari negara di kawasan Asia yang termasuk dalam perairan tropis dan sub-tropis. Malaysia sudah mengalokasikan dana untuk perikanan tuna dan bahkan berani menarik industri tuna nasional dengan subsidi BBM jika bersedia pindah ke Malaysia. Ancaman pendatang baru juga dapat berasal dari negara yang akan menerapkan teknologi budidaya ikan tuna. Negara seperti Perancis, Italia, Kroasia, Aljazair, Tunisia, Maroko, Lybia, Malta, Siprus, Yunani, Turki, Libanon, Syria, Amerika Serikat di pantai Barat California, Meksiko dan Kanada juga mulai aktif mengembangkan budidaya tuna. Negara ini sangat berpeluang menjadi ancaman bagi Indonesia, sebab jika mereka berhasil melakukan budidaya ikan tuna akan mempengaruhi jumlah ekspor ikan tuna nasional. Teknik budidaya ini memungkinan dihasilkan ikan dengan berat yang hampir seragam dan kontinuitas dapat terjaga, sedangkan Indonesia sangat bergantung kepada kondisi alam yang hasilnya sangat beragam. 2) Ancaman Produk Subtitusi Ancaman akan produk subtitusi ikan tuna dapat dapat berasal dari komoditas perikanan lain yang memiliki kandungan gizi yang hampir sama atau memiliki tingkat permintaan yang besar. Ikan ini merupakan sumber omega3 terbaik. Sumber omega-3 dapat berasal dari ikan tuna, ikan salmon, ikan hering, ikan sarden, udang dan kerang.
Kesamaan kandungan omega-3
terhadap hasil perikanan ini dapat berfungsi sebagai produk subtittusi. Ikan salmon menjadi ancaman utama produk subtitutisi ikan tuna sebab memiliki rasa yang hampir sama dan sering diolah menjadi sashimi oleh masyarakat Jepang. Ikan salmon juga memiliki tren permintaan yang meningkatkan dan disukai oleh masyarakat Barat untuk dijadikan steak karena rasanya yang enak. Produk ancaman ikan tuna olahan dapat berasal dari ikan makarel dan sarden. Kedua ikan ini banyak yang diolah dalam bentuk kaleng sebagai makanan cepat saji. Ikan makarel memiliki rasa dan kandungan gizi yang hampir sama dengan ikan tuna seperti yang terlihat dalam Tabel 25.
Tabel 25. Komposisi Nilai Gizi Ikan Tuna dan Makarel
Komposisi
Jenis Ikan Tuna dan Tuna like species Yellow Blue fin Southtern blue fin fin Daging Daging Daging Daging Daging Skipjack merah perut merah perut merah (akami) (toro) (akami) (toro) (akami) 68,7 52,6 5,6 63,9 74,2 70,4
Air Protein 18,3 (gram) Lemak 1,4 (gram) Karbohidrat 0,1 (kal) Abu (gram) 1,5 Sumber: Infofish 2002
Mackerel 62,5
21,4
23,6
23,1
22,2
25,8
19,8
24,6
9,3
11,6
2,1
2,0
16,5
0,1
0,1
0,1
0,1
0,4
0,1
1,3
1,4
0,3
1,4
1,4
1,1
3) Posisi Tawar Pembeli Peningkatan posisi tawar pembeli untuk komoditas ikan tuna, terjadi jika negara eksportir memiliki kekuatan lebih besar untuk mementukan perdagangan.
Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sebagai pembeli
sangat mempunyai kekuatan untuk mengatur perdagangan komoditas ikan tuna nasional. Ketiga negara tersebut melalui departemen masing-masing menetapkan standar tertentu untuk komoditas yang diimpor.
Jepang juga
sebagai salah satu anggota Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), pernah melakukan penolakan ikan tuna Indonesia, sebab Indonesia tidak termasuk ke dalam organisasi tersebut. Ketatnya peraturan menuntut Indonesia harus mengikuti semua peraturan yang ada untuk melakukan ekspor. Negara tersebut termasuk penguasa pasar yang berhak dalam menetapkan harga ikan, sedangkan sebagai pengikut pasar Indonesia tidak dapat menentukan harga.
Keaktifan dalam organisasi manajemen
perikanan juga menjadi kekuatan negara tujuan ekspor, jika Indonesia tidak termasuk dalam daftar anggota, negara tersebut cenderung akan melakukan penolakan terhadap ikan tuna nasional. 4)
Posisi Tawar Pemasok Peningkatan posisi tawar pemasok untuk komoditas ikan tuna segar, beku, dan olahan terjadi ketika nelayan memiliki kekuatan untuk memilih menjual hasil tangkapannya, namun di tempat pelelangan ikan posisi tawar nelayan menjadi rendah.
Nelayan terpaksa menjual hasil tangkapnya dengan harga
lebih murah untuk menghindari ikan membusuk dan tidak laku dijual. Pedangang pengumpul yang memiliki cold storage selanjutnya menjadi pemasok bagi industri ikan tuna segar, beku, dan olahan.
Pedagang
pengumpul ini yang menentukkan kepada siapa ikan tersebut akan dijual apakah terhadap perusahaan ikan tuna segar, beku atau olahan. Industri ikan tuna olahan nasional memiliki posisi tawar yang rendah terhadap pedagang pengumpul ataupun perusahaan penangkapan ikan tuna. Industri ikan tuna olahan nasional belum memiliki kemampuan untuk membeli ikan tuna dengan harga yang bersaing terhadap ikan tuna segar.
Perusahaan
penangkapan atau pedagang pengumpul lebih memelih untuk mengekspor ikan tuna dalam bentuk segar dibandingkan dijual kepada industri tuna olahan, selain karena daya beli rendah dan adanya peraturan dari pemerintah yang mengenakan pajak sepuluh persen untuk pengangkutan ikan tuna gelondongan antar pulau di dalam negeri.
Industri ikan tuna olahan
umumnya hanya bisa mendapatkan ikan tuna kualitas grade C dan D. Ikan tuna grade C dan D biasanya diolah terlebih dahulu untuk dijual, namun masih ada negara seperti Thailand yang menerima ikan grade C dan D ini dalam bentuk segar. Para nelayan lebih menyenangi menjual ikan tersebut untuk diekspor daripada dijual ke dalam negeri. Industri ikan tuna olahan nasional tidak memiliki posisi tawar yang baik, sehingga sering mengalami kekurangan bahan baku karena ikan dijual kepada negara lain dan terpaksa harus melakukan impor untuk mencukupi kekurangan tersebut. Faktor lain yang membuat posisi tawar industri ikan tuna olahan nasional rendah karena adanya ketergantungan terhadap impor untuk bahan pengemas kaleng (tin-plate).
Impor pengemas kaleng ini berdampak kepada tidak
bersaingnya harga jual ikan tuna kaleng nasional, sebab harganya akan lebih mahal untuk menutupi biaya impor.
Posisi tawar pemasok yang lebih
dominan ini menyebabkan rendahnya ekspor ikan tuna olahan nasional. 5) Persaingan Negara Lain. Kondisi ikan tuna yang semakin menurun membuat beberapa negara melakukan budidaya tuna (tuna farming or tuna sea ranching) seperti Jepang, Austalia, Afrika Selatan dan Spanyol.
Australia dan Afrika Selatan
merupakan negara yang menguasi pasar Jepang karena mampu menghasilkan mutu ikan dengan “grade sashimi”, ikan ini merupakan hasil dari budidaya ikan tuna. Negara Afrika Selatan, Australia, dan Spanyol terus meningkatkan budidaya ikan tuna, hal ini sangat berbahaya bagi industri ikan tuna nasional. Ketiga negara tersebut dapat mengontrol kualitas dan kuantitas ikan tuna, sedangkan Indonesia masih menghadapi masalah untuk hal tersebut. Negara pesaing pengekspor ikan tuna khususnya di Asia Tenggara adalah Thailand.
Thailand menguasai pasar untuk ikan tuna olahan (kaleng),
sedangkan Indonesia hanya menguasai pasar ikan tuna segar.
Indonesia
sebenarnya memiliki potensi ikan tuna yang lebih besar ketimbang Thailand, tetapi nilai ekspor Indonesia dibawah Thailand. Hal ini disebabkan Indonesia juga melakukan ekspor ikan tuna segar ke Thailand, hal ini sangat disayangkan karena Indonesia menjadi penyuplai bahan baku bagi Industri pengolahan Thailand.
Thailand mengemas ikan tuna segar Indonesia ke
dalam kalengan dan mengekspornya ke negara lain terutama ke kawasan Uni Eropa dan Amerika yang menyenangi produk tuna olahan.
Industri
pengolahan ikan tuna nasional banyak yang tidak beroperasi , sebab kekurangan bahan baku akibat penjualan hasil tangkapan ikan tuna lebih banyak dalam bentuk segar dan adanya ketergantungan terhadap kemasan kaleng yang harus di impor serta munculnya produk tuna dalam kemasan plastik yang hingga saat ini masih belum mampu dilakukan oleh Indonesia. Industri pengolahan belum mampu mendukung dalam peningkatan daya saing komoditas ikan tuna nasional sehingga perlu untuk dibenahi terkait masalah kekurangan bahan baku, SDM yang kurang memdai, dan keterbatasan modal agar dapat bersaing dengan negara lain. Struktur persaingan, perusahaan dan strategi persaingan untuk komoditas ikan tuna sangat ketat. Kemungkinan munculnya pesaing baru dalam industri ini sangat besar dengan penerapan teknologi budidaya, sedangkan Indonesia sendiri belum mampu untuk menerapkannya karena membutuhkan biaya cukup besar dan tenaga ahli yang memadai. Kekuatan tawar pembeli juga sangat besar dalam menentukan perdagangan ikan tuna, persaingan dari negara lain sangat kuat dan negara tersebut didukung oleh teknologi dan modal yang cukup. Ancaman untuk
produk subtitusi cenderung lemah dan tingkat kekuatan pemasok cukup berpotensi meningkat.
Keadaan struktur persaingan, perusahaan, dan strategi
perusahaan ini dapat memperlemah daya saing komoditas ikan tuna nasional. 6.3.5. Peran Pemerintah Peran serta pemerinatah sebagai fasilitator, regulator, dan motivator pengawasan perekonomian untuk memajukan komoditas ikan tuna nasional sangat diharapkan. Persaingan global yang dihadapi saat ini membutuhkan pemerintahan yang kuat untuk pengembangan ekonomi domestik. Peran pemerintah dalam peningkatan ikan tuna nasional saat ini sudah cukup baik. Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur masalah tentang perikanan Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan
sendiri saat ini telah melakukan pengembangan untuk komoditas ikan tuna. Progaram DKP terkait dengan tuna yaitu revitaliasasi perikanan dan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) yang berbasis dari Hazard Analysis of Critical Control Points (HACCP) terutama terhadap indutsri pengolahan berorientasi ekspor. Program DKP untuk mengembangkan komoditas ikan tuna disebut sebagai revitalisasi perikanan.
Program ini menfokuskan pengembangan untuk tiga
komoditas utama yaitu udang, ikan tuna dan rumput laut. Program revitalisasi untuk ikan tuna meliputi: 1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab. 2) Peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan. 3) Peningkatan kemampuan dan kapasitas pendukung produksi di dalam negeri. 4) Peningkatan sumberdaya manusia dan penyerapan teknologi. 5) Peningkatan kemampuan manajemen usaha kecil dan akses permodalan. 6) Peningkatan mutu hasil perikanan sebagai bahan baku. 7) Pengembangan dan penyebaran cluster industri. 8) Restrukturisasi armada perikanan. 9) Revitalisasi pelabuhan perikanan. 10) Pengembangan dan penyusunan standarisasi sarana perikanan tangkap. Pemerintah juga mendirikan Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang berguna untuk melakukan pengawasan mutu ikan tuna yang dihasilkan seperti
menguji histamine yang terdapat pada ikan dan menetapkan batas histamin yang dapat dikandung. Ikan tuna hasil tangkapan harus mendapatkan SNI (Standarisasi Nasional Indonesia) agar bisa diekspor. Pemerintah saat ini telah banyak membantu perkembangan komoditas ikan tuna, namun ada hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah terkait dengan ketersediaan ikan tuna di alam. Pemerintah sebaikknya melakukan pengawasan yang ketat terhadap semua daerah perairan Indonesia dari pencurian ikan. Kasus pencurian ikan ini akan membawa dampak negatif terhadap perkembangan komoditas ikan tuna nasional. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama oleh semua aparat pemerintahan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam Indonesia. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk peningkatan daya saing ikan tuna nasiona, hal ini terkait dengan pembenahan infrastruktur, penciptaan iklim bisnis yang mendukung, dan peningkatan terhadap akses pembiayaan. 6.3.6. Peran Kesempatan Peran kesempatan yang berada pada ruang lingkup komoditas ikan tuna untuk meningkatkan daya saing diantara lain perkembangan teknologi budidaya dan era perdagangan bebas.
Penjelasan mengenai peran kesempatan tersebut
adalah sebagai berikut: 1) Pekembangan Teknologi budidaya. Ikan tuna yang selama dihasilkan berasal dari tangkapan di alam. Namun, sifat ikan tuna yang selalu bermigrasi membuat para nelayan sulit mendapatkan jumlah dan ukuran tuna yang seragam. Industri pengolahan ikan membutuhkan bahan baku yang stabil.
Permasalahan ini membuat
beberapa negara mulai mencoba teknologi budidaya ikan tuna. Penemuan teknologi budidaya ini dapat mengatasi masalah kesulitan bahan baku. Teknik ini memudahkan para nelayan atau eksportir untuk mengekspor ikan tuna dalam bentuk yang seragam dan kualitas mutu yang terjamin. Teknik budidaya dapat dilakukan pada kondisi perairan yang cocok untuk budidaya tuna diantaranya adalah suhu perairan berkisar 15 – 280C, perairan budidaya tidak tercemari oleh buangan lumpur sungai, aliran arus laut yang cukup, tingkat penetrasi cahaya yang cukup besar dan tingkat oksigen terlarut yang tinggi. Bentuk jaring apung harus dirubah dari kubus dan segiempat ke
bentuk lingkaran untuk menyesuaikan dengan tipe berenang tuna. Teknik budidaya ikan tuna dibedakan menjadi dua jenis yaitu27: a)Penggemukkan Anak Tuna Pertama anak-anak ikan tuna ditangkap dilaut dengan menggunakan purse seine yang berukuran 120 cm dan berat sekitar 30-50 kg. Ikan yang telah terjaring tetap dibiarkan dilaut dan ditarik dengan kapal berkecepatan 1-2 knot.
Ikan kemudian dipindahkan ke jaring apung
bagian dalam yang terbuat dari plastik polyetilene hitam, berdiameter 3040 meter (m) , dengan kedalam jaring 12-20 m atau lima meter diatas permukaan dasar laut dan ukuran mata jaring 60-90 milimeter (mm). Jaring apung luar memiliki ukuran mata jaring 150-200 mm dan berfungsi untuk menjaga ikan dari predator, namun menurut penelitian jaring luar ini tidak diperlukan sehingga dapat menghemat biaya. Satu jaring apung standar dapat menampung 2000 ekor anak tuna tergantung diameter jaring dan daya tamping maksimum yang diijinkan, idealnya 4 kg per meter kubik air. Ikan diberi makan dua kali sehari dengan ikan makarel atau sarden, namun saat ini bisa memakai makanan buatan (pellet) yang lebih tinggi tingkat konsumsi pakannya dan dapat menghemat biaya. Ikan dipelihara sekitar tiga hingga lima bulan atau sampai mencapai ukuran konsumsi. b) Penanganan Induk hingga Pemeliharaan Benih Calon induk dipelihara sejak masih benih yang berasal dari hasil tangkapan trap net (trolling net). Calon induk diberi makan ikan segar seperti teri, makarel, horse makarel, dan cumi-cumi serta berbagai vitamin dan enzim ditambahkan dalam pakan. Pemberian pakan dua hingga lima persen dari berat tubuh dan dilakukan satu atau dua kali sehari. Kemudian proses pemijahan dilakukan untuk ikan tuna yang telah berumur lima tahun. Proses pemijahan dilakukan didalam jaring berdiameter 30 m dan kedalam tujuh meter pada suhu 21,8-25,60C. Telur ikan tuna menetas setelah 32 jam pada suhu 240C selama setengah jam. 27
Sumber:Anonim. 2008. Budidaya Tuna: Suatu Keniscayaan. http://www.kamusilmiah.com/pangan/budidaya-tuna-suatu-keniscayaan-bagian-ii/. tanggal 20 Oktober 2009.
Diakses
Setelah menetas proses pemeliharaannya sama seperti budidaya penggemukkan anak ikan tuna. 2) Era Pedagangan Bebas Era perdagangan bebas membuat hampir seluruh bentuk perdagangan tidak mempunyai batas. Setiap negara dapat masuk ke negara lain dan membuka usaha atau melakukan kerjasama.
Era ini dapat membuat hambatan
perdagangan menjadi berkurang, hal ini merupakan peluang untuk komoditas ikan tuna agar dapat diekspor ke neagara lain. Namun, tidak semua negara akan melonggarkan peraturan yang terutama negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa yang selama ini sangat ketat dengan berbagai peraturannya. 6.4. Analsisi SWOT dan Strategi Kebijkan Analisis SWOT digunakan untuk menenetukan faktor apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada komoditas ikan tuna dalam perdagangan internasional. Faktor internal dilihat berdasarkan faktor kekuatan dan kelemahan. Faktor eksternal dilihat berdasarkan faktor ancaman dan peluang. Berikut penjelasan mengenai faktor tersebut: 1) Faktor Kekuatan Faktor kekuatan merupakan keunggulan yag dimiliki oleh komoditas ikan tuna negara Indonesia dibandingkan dengan
negara lain yang menjadi
pengekspor ikan tuna. Faktor kekuatan tersebut adalah: a)Indonesia memiliki laut yang luas dan posisi yang baik untuk penangkapan ikan tuna. Indonesia memiliki luas perarian sebesar 5,8 juta km2. Negara Indonesia diapit oleh dua samuder yaitu Samuder Hindia dan Samuder Pasifik. Indonesia memiliki potensi yang baik sebagai negara produsen tuna. Posisi Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa menguntungkan untuk produksi tuna Indonesia, hal ini dikarenakan sebagai berikut (DKP 2005): iv) Adanya massa air barat dan timur yang melintas di Samudera Hindia dengan membawa partikel dan kaya akan makanan biota laut.
v) Adanya arus Kuroshio yaitu North Equatorial dan South Equatorial Current di Samudera Pasifik merupakan wilayah yang kaya dengan bahan makanan serta mempunyai suhu, salinitas, dan beberapa faktor oseanografis yang disukai oleh ikan tuna. vi) Wilayah periaran nusantara merupkan tempat berpijah atau kawin berbagai jenis ikan termasuk ikan tuna, terutama di perairan Selat Makassar dan Laut Banda. b) Adanya daerah penangkapan ikan tuna yang masih berstatus under exploied (UE). Daerah yang masih berstatus UE terdapat pada Laut Cina Selatan, Selat Makasaar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram, Laut Halmahera, Teluk Tomini, Laut Sulawesi (Samudera Pasifik), LAut Arafura, dan Samudera Hindia. Tabel 2 menjelaskan bahwa daerah UE ini belum dimanfaatkan secara maksmial, namun sangat berpotensial dengan potensi ikan pelagis termasuk ikan tuna yang cukup besar . c)Kuantitas Tenaga Kerja yang memadai. Indonesia memiliki jumlah penduduk kelima terbesar didunia. Rakyat Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan. Besarnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki merupakan kekuatan yang dimiliki untuk pengembangan daya saing ikan tuna Indonesia. d) Adanya hubungan baik dengan negara tujuan ekspor. Indonesia memiliki hubungan baik dengan negara tujuan ekspor seperti dengan Thailand, Vietnam, dan Singapura yang termasuk dalam ASEAN (Assocaition of Southeast Asian Nations). Indonesia juga mempunyai hubungan kerjasama yang baik dengan negara Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Uni Eropa. Kerjasama yang terjalin tidak hanya dalam masalah perdagangan internasional tapi juga menyangkut masalah social, ekonomi, dan edukasi. Hubungan baik ini dapat dimanfaatkan untuk menjalin kerjasama dan memperoleh bantuan modal. e) Adamya dukungan pemerintah. Dukungan pemerintah dalam pengembangan ekspor ikan tuna sangat baik. Adanya program revitalisasi perikanan yang dilakukan oleh DKP
yaitu terhadap tiga komoditas utama udang, ikan tuna dan rumput laut. Program ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas ikan tuna. Pemerintah melalui DKP juga mendirikan lembaga riset untuk komoditas perikanan, untuk ikan tuna sendiri dibentuknya Komisi Tuna Nasional untuk mengatasi masalah ikan tuna. 2) Faktor Kelemahan Faktor kelemahan merupakan faktor kekurangan yang dimiliki oleh komoditas ikan tuna Indonesia jika dibandingkan dengan negara pengekspor ikan tuna lainnya. Faktor kelemahan tersebut adalah: a) Rendahnya pengawasan kualitas mutu. Rendahnya tentang pengawas mutu ikan tuna dengan banyaknya kasus penolakan ikan tuna yang terjadi. Penolakan ini umumnya disebabkan mutu ikan yang dihasilkan tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh negara importir.
Rendahnya mutu disebakan masih rendahnya
kesadaran khususnya kepada para nelayan untuk melakukan cold storage pada ikan setelah ditangkap. Ikan tuna yang tidak segera dibekukan akan mengalami penurunan kualitas dan tidak dapat diekpor. b) Kualitas tenaga kerja yang belum memadai. Sumberdaya manusia yang dimiliki oleh negara Indonesia sangat besar, namun kualitasnya belum memadai. Nelayan yang ada umumnya status pendidikan Kemampuan
rendah
dan
manajemen
teknik dan
penangkapan pemasaran
masih
juga
tradisional.
masih
rendah.
Kemampuan untuk melalukan penanganan yang baik setelah ikan ditangkap untuk para nelayan masih rendah.
Nelayan yang sudah
bekerjasama dengan perusahaan eksporitr telah memiliki kemampuan dan penerapan teknologi yang cukup baik, namun masih banyak nelayan di Indonesia yang statusnya masih nelayan tradisional dan hanya memakai kapal yang sederhana.
Keadaan ini membuat ikan tuna
nasional lemah daya saing jika dibanding dengan negara Asia Tenggara seperti Thailand kualitasnya jauh dibawah Thailand. Thailand mampu melakukan ekspor ikan tuna kaleng dalam jumlah besar walaupun hasil perikanannya lebih banyak berasal dari impor.
c) Rendahnya sistem penanganan hasil. Nelayan sebagai pihak pertama dalam kegiatan penangkapan ikan tuna masih rendah kesadarannya untuk memasukkan ikan setelah ditangkap ke dalam cold storage. Ikan harus segera dimasukkan, sebab jika tidak saat ikan sampai ke tangan pengumpul ikan telah mengalami penurunan kesegaran. Jarak tempuh yang lama akan membuat ikan dalam keadaan tidak segar tersebut akan cepat membusuk, terutama untuk produk ekspor. Oleh karena itu banyak produk ikan tuna yang ditolak karena saat sampai ke negara tujuan ekspor sudah tidak segar kembali dan kualitas mutunya tidak sesuai dengan standar. d) Infrastruktur yang kurang memadai. Sistem transportasi yang kurang memadai membuat kelancaran pendistribusian ikan tuna akan terhambat dan waktu tempuh akan bertambah.
Sistem komunikasi yang dimiliki memang cukup baik,
namun kondisi jalan Indonesia terutama untuk daerah-daerah pesisir umumnya masih buruk. Keadaan ini akan mengurangi mutu ikan yang dihasilkan. e) Ketergantungan terhadap harga dunia. Posisi Indonesia sebagai pengikut pasar dalam struktur pasar komoditas ikan tuna internasional yang cenderung mengarah ke oligopoli. Posisi Indonesia tersebut mengakibatkan Indonesia tidak dapat membuat keputusan tentang harga dan harus mengikuti harga yang ditetapkan oleh pemimpin pasar. f) Rendahnya pengawasan perairam Rendahnya pengawasan terhadap perairan Indonesia menyebabkan naikknya kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing. Hal ini disebabkan kurangnya sumberdaya manusia dan peralatan untuk mengawasai perairan Indonesia yang sangat luas. Pengawasan terhadap pencatatan ikan yang ditangkap oleh petugas pelabuhan belum berjalan dengan baik, sehingga sulit untuk memprediksi ketersediaan sumberdaya yang masih tersisa.
3) Faktor Peluang Faktor peluang merupakan keadaan yang mampu memberikan keuntungan untuk ekspor ikan tuna Indonesia. Faktor peluang ini terkait dengan keadaan diluar kondisi ikan tuna Indonesia, namun dapat memberikan efek positif untuk pengembangan ekspor ikan tuna Indonesia. Faktor peluang tersebut adalah: a) Adanya perkembangan teknologi budidaya. Perkembangan budidaya ini terkait dengan adanya cara baru yang dapat dilakukan untuk melakukan budidaya ikan tuna. Budidaya ini sangat bermanfaat sehingga bisa menjaga ketersediaan ikan tuna, karena saat ini Indonesia hanya mengandalkan ketersedian ikan tuna melalui hasil tangkapan di alam bebas (wild catch). b) Pangsa pasar yang masih luas. Ikan tuna merupakan produk ikan yang digemari oleh masyarakat dunia. Pangsa pasar untuk komoditas ikan tuna masih terbuka luas. Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa merupakan pasar yang potensial untuk dimasuki. Kebutuhan akan permintaan ikan tuna untuk ketiga negara tersebut belum mampu dicukupi oleh negara pengekspor ikan tuna. Negara Jepang memiliki persentase permintaan impor rata-rata pertahun untuk ikan tuna segar, beku dan olahan masing-masing sebesar 33,17; 8.01; dan 3,06 persen. Negara Amerika Serikat memiliki persentase permintaan impor untuk ikan tuna segar, beku, dan olahan masingmasing sebesar 16,87; 0,42; dan 15,88 persen.
Kawasan Uni Eropa
memiliki persentase permintaan impor untuk ikan tuna segar, beku, dan olahan masing-masing sebesar 4,83; 3,94; dan 29,35 persen. Hasil ini memperlihatkan bahwa Negara Jepang adalah pasar yang saat berpotensial untuk komoditas ikan tuna segar, Uni Eropa berpotensial untuk ikan tuna olahan dan Amerika Serikat merupakan pasar yang potensial untuk komoditas ikan tuna beku dan olahan (Lampiran 13) c) Adanya tren from red meat to white meat. Tren tersebut mulai mengubah pandangan masyarakat yang selama ini lebih banyak mengkonsumsi daging hewan ternak mulai menggemari
memakan daging yang berasal dari ikan.
Daging merah memiliki
kadungan lemaknya lebih tinggi daripada ikan, jika terlalu banyak mengkonsumi akan mengakibatkan penyakit seperti kolesterol Winarno
(1993) diacu dalam Rospiati (2006) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi tiga golongan yaitu ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari dua persen) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus; ikandengan kandungan lemak sedang (dua sampai dengan lima persen) terdapat pada rajungan,oyster,udang, ikan mas, lemuru, salmon; dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (empat sampai dengan lima persen) terdapat pada hering, mackerel, salmon, salon, sepat, tawes dan nila. Ikan banyak mengandung asam lemak bebas berantai karbon lebih dari delapan belas. Asam lemak ikan lebih banyak mengandung ikatan rangkap atau asam lemak tak jenuh dari pada mamalia. Keseluruhan asam lemak yang terdapat pada daging ikan kurang lebih 25 macam. Jumlah asam lemak jenuh 17 – 21 persen dan asam lemak tidak jenuh 79 – 83 persen dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993 diacu dalam Rospiati 2006). Kandungan nilai nutrisi ikan tuna mentah terdapat pada Lampiran 14.
Tren tersebut diakibatkan oleh semakin tingginya kesadaran
masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Kandungan nutrisi ikan tuna mentah dijelakan pada lampiran dua belas. d) Munculnya penyakit pada hewan ternak. Penyakit yang muncul pada hewan ternak seperti sapi gila dan flu burung membuat konsumsi masyarakat terhadap hewan ternak mulai berkurang, karena takut akan terkena dampak dari penyakit tersebut. Masyarakat mulai mencari pengganti sumber protein lain selain dari daging ternak tersebut. Ikan merupakan sumber protein lain yang dapat menggantikan daging hewan ternak.
Kandungan protein ikan sangat tinggi
dibandingkan dengan protein hewan lainnya, dengan asam amino essensial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan (Pigott dan Tucker, 1990 diacu dalam Rospiati 2006). Oleh karena itu peluang untuk meningkatkan volume ekspor sangat
terbuka lebar terutama untuk ikan tuna yang menjadi salah satu jenis ikan yang disukai oleh masyarakat selain salmon, makarel, dan herring. e) Adanya Organisasi Manajemen Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organization). Organisasi tersebut adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang menangani manajemen penangkapan ikan tuna yang terletak di Samudera Hindia, International Convention on Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT) yang menangani kegiatan penangkapan dan konservasi ikan tuna di kawasan Atlantik, Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang menangani khusus tentang tuna sirip biru selatan. f) Adanya negara yang mau berinvestasi. Australia merupakan negara yang mau melakukan investasi untuk komoditi ikan tuna, karena melihat potensi yang dimiliki oleh Indonesia masih banyak yang belum dimaksimalkan. Kesempatan ini sangat baik untuk dimanfaatkan untuk mengatasi kendala modal yang menjadi salah satu masalah internal untuk ikan tuna. 4) Faktor Ancaman Faktor ancaman merupakan keadaan yang mampu memberikan efek negatif peningkatan daya saing komoditas ikan tuna Indonesia. Faktor peluang ini terkait dengan keadaan diluar kondisi ikan tuna Indonesia. Faktor peluang tersebut adalah: a) Peningkatan kekuatan tawar pembeli. Peningkatan kekuatan pembeli dapat menurunkan posisi tawar dalam proses perdagangan.
Misalnya, berbagai macam peraturan yang
ditetapkan oleh negara tujuan ekspor baik yang menyangkut tarif maupun non-tarif membuat negara Indonesia mengalami kendala untuk melakukan ekspor karena akan meningkatkan biaya produksi. Peraturan yang ditetapkan pun berbeda-beda, jika produk ikan tuna yang dihasilkan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka produk tersebut ditolak.
b) Peningkatan teknologi budidaya pesaing. Adanya teknik budidaya yang mulai dilakukan oleh negara pesaing sangat berbahaya, sebab negara tersebut mampu menjaga ketersediaan ikan tuna untuk diekspor. Negara seperti Australia dan Jepang saat ini mulai meningkatkan budidaya ikan tuna, jika mereka mampu melakukan budidaya maka permintaan impor dari negara lain untuk ikan tuna akan mengalami penurunan. c) Adanya hambatan tarif. Hambatan tarif menjadi faktor yang menurunkan daya saing ikan tuna Indonesia di pasar internasional. Tarif produk ikan tuna berbeda antar pasar. EU memasang tarif 24 persen untuk produk tuna, namun bebas pajak import pada tuna kaleng untuk negara-negara ACP (Afrika, Karibia dan Pasifik). Negara-negara penghasil tuna di EU seperti Spanyol, sangat menentang pengurangan tarif tuna karena merusak persaingan mereka. Negara-negara dari The Andean Pact (Peru, Bolivia, Equador, Columbia), Panama dan negara-negara Amerika Tengah bebas dari pajak impor untuk ikan tuna kaleng oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat mengenakan tairf untuk produk ikan tuna sebesar 35 persen. Tingginya tarif yang dikenakan membuat keuntungan yang didapat akan semakin kecil karena biaya yang dikeluarkan akan semakin besar dan adanya pembatasan kuota. d) Adanya hambatan non-tarif. Hambatan non-tarif menyangkut tentang isu mutu, sanitasi, keamanan pangan, kesehatam, isu terorisme, isu hak asasi manusia, isu lingkungan dan hambatan administratif. Isu yang terkait dengan mutu, kesehatan, sanitasi, dan keamanan pangan yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Codex
Alimentarius
Comisscion
(CAC)
seperti
persyaratan
komposisional suatu produk, batasan kandungan dan bahan makanan apa saja yang dapat digunakan.
Kesepakatan tentang sanitary and
phytosanitary (SPS) yang menyakut tentang keamanan pangan dan kandungann gizi.
Isu hak asasi manusia yang terkait dengan rendahnya upah pekerja dan pekerja bawah umur.
Isu terorisme oleh Amerika Serikat kepada
Indonesia karena dianggap terlalu lemah dalam menangani terorisme, hal ini dikhawatirkan akan menggangu peluang untuk ekspor komoditas perikanan.
Isu lingkungan seperti dolphin issue yang menuntut
pencantuman label lingkungan (ecolabelling), jika tidak mencantumkan maka produk akan dikenakan larangan impor. Hambatan administratif yang terjadi di Uni Eropa yaitu approval number yaitu penolakan impor karena eksportir tidak memiliki approval number yang dikeluarkan komisi Eropa dan health certificate yang harus sesuai dengan bahasa nasional pelabuhan masuk di Eropa dan ditandatangani oleh pejabat yang telah dinotifikasi menggunakan cap dan tinta yang sesuai. Hambatan non-tarif ini menyebabkan biaya produksi meningkat, sebab dibutuhkan biaya yang untuk mendapatkan semua sertifikat yang dibutuhkan untuk ekspor ikan tuna. e) Krisis ekonomi baik yang bersifat nasional maupun global. Krisis ekonomi nasional yang dialami oleh Indonesia berpengaruh terhadap kondisi ikan tuna Indonesia. Dampak krisis ekonomi nasional yang paling berpengaruh yaitu naiknya harga bahan bakar minyak. Kenaikan ini membuat banyak kapal penangkap baik skala menengah dan besar yang berhenti berproduksi karena tingginya biaya yang dikeluarkan.
Penangkapan ikan tuna sendiri hanya bisa dilakukan
dengan kapal berukuran besar yang memerlukan bahan bakar solar. Dampak dari krisis ekonomi global terjadi ketika negara Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi. Krisis ini membuat eksportir di Cilacap tidak dapat
melakukan
ekspor
karena
Amerika
Serikat
melakukan
pemberhentiaan untuk impor ikan tuna. Krisis ekonomi Amerika Serikat tentunya akan mempengaruhi perekonomian Indonesia juga, walaupun saat ini masih belum terpengaruh namun jika terjadi dalam jangka panjang tentunya akan membawa masalah bagi perekonomian Indonesia juga.
f) Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing). IUU fishing ini pertama kali dikeluarkan saat diselengarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) tahun 1997 yang membahas mengenai kerugian yang potensial muncul dari praktek penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara bukan anggota CCAMLR. Isu ini berkembang secara global oleh FAO dengan alasan cadangan ikan dunia menujukkan trend menurun dan salah satu faktornya penyebabnya adalah praktek illegal fishing ini. Illegal fishing terdiri dari dua jenis yaitu pencurian semi legal dan murni illegal. Pencurian semi illegal terjadi ketika pihak asing memanfaatkan surat ijin penangkapan legal yang dimiliki oleh penangkap global dan menggunakan kapal dengan bendera lokal atau negara lain, hal ini terkenal dengan istilah pinajm bendera atau flag of convenience (FOC). Pencurian murni illegal terjadi ketika pihak asing dengan menggunakan kapal dengen bendara negara sendiri melakukan penangkapan di luar wilayah negaranya. Kasus unreported fishing menyangkut kegiatan penangkapan ikan (walaupun legal) yang tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan dalam pelaporannya (misreported) dan pelaporan yang tidak semestinya (underreported).
Kasus unregulated fishing menyangkut kegiatan
penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated) oleh negara yang bersangkutan.
Dampak negatif yang disebabkan oleh praktik-praktik
IUU fishing, diantaranya adalah: i)
IUU fishing melibatkan wilayah yang luas baik dalam konteks nasional dan internasional. Di bawah yurisdiksi nasional oleh nelayan skala kecil dan industri, dan di laut lepas oleh kapal-kapal perikanan jarak jauh (distant water fisheries vessels). Pada akhirnya, praktik-praktik IUU fishing akan mengancam upaya pengelolaan masyarakat, baik nasional maupun internasional.
ii) IUU fishing seringkali menyebabkan menurunnya stok sumberdaya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi. Hal ini dikarenakan, praktik-praktik IUU fishing menyebabkan pencatatan
statistik perikanan tidak akurat, serta ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan pembuatan keputusan-keputusan pengelolaan. iii) IUU fishing dapat merusak hubungan antara negara-negara yang bertetangga. Hal ini dikarekan, pelakunya cenderung menggunakan batas-batas negara untuk menghindari pelacakan atau tertangkap dan untuk menghindari konsekuensi hukum. Keempat faktor tersebut dianalisis berdasarkan analisis SWOT akan menghasilkan strategi kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing komoditas ikan tuna Indonesia di pasar internasional. Hasil analisis SWOT dan strategi kebijakan dapat dilihat pada Gambar 7. Faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang terdapat pada komoditas ikan tuna digunakan untuk menentukan strategi kebijakan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan peluang yang ada dan memperkecil ancaman yang dapat terjadi.
Berikut adalah strategi kebijakan yang dilakukan berdasarkan
analisis SWOT: 1) Strategi SO Strategi SO dilakukan untuk memaksimalkan keunggulan yang dimiliki dengan peluang yang ada. Strategi SO untuk komoditas ikan tuna adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan produski ikan tuna. Pangsa pasar yang masih terbuka luas dan mulai meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan membuat permintaan akan ikan semakin meningkat kedepannya. Luasnya daerah perairan Indonesia dan beberapa daerah yang masih berstatus UE dapat dimaksimalkan pemanfaatannya. Potensi tersebut sangat baik untuk peningkatan kuantitas jumlah yang diekspor. Produksi ikan tuna akan meningkat, jika didukung oleh penguatan kelima kondisi faktor sumberdaya yang saat ini masih memiliki keterbatasan. Peningkatan produksi yaitu dengan cara: i)
Memberikan modal untuk pengembangan ikan tuna untuk wilayah timur seperti di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Irian Jaya. Bisnis ikan tuna membutuhkan biaya yang besar untuk memulainya.
Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya memperluas akses modal dan mempermudah proses pengurusan surat ijin penangkapan ikan kepada nelayan. Ketiga tempat di atas perlu dikembangkan agar mampu bertahan dalam persaingan internasional yang semakin ketat. ii) Melakukan budidaya ikan tuna melalui lembaga riset. Budidaya ikan tuna merupakan suatu peluang yang sangat baik untuk meningkatkan daya saing ikan tuna nasional. Budidaya ini dapat diterapkan di Indonesia sebab kondisi alam yang mendukung, namun budidaya ini juga memerlukan modal dan tenaga ahli yang berkualitas. Penerapan budidaya ikan tuna saat baik untuk dilakukan untuk mengantisipasi penurunan populasi dan jumlah ikan tuna yang dapat ditanggkap. Penerepan teknologi ini berguna untuk konservasi dan meningkatkan kepercayaan lembaga manajemen ikan regional. Peningkatan kepercayaan akan membawa dampak positif untuk mengurangi kemungkinan produk ikan tuna nasional akan dikenakan embargo. b) Memperluas pasar.
Pangsa pasar yang masih tersedia harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
Perluasaan pasar akan
meningkatkan daya saing komoditas ikan tuna nasional dan menambah devisa negara. Perluasaan pangsa pasar dilakukan melalui cara sebagai berikut: i)
Menambah negara tujuan ekspor. Indonesia saat ini telah melakukan kerjasama dengan beberapa negara untuk kegiatan ekspor ikan tuna. Ekspor ikan tuna Indonesia masih terfokus kepada Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa.
Kompetisi untuk masuk ketiga negara
tersebut sangat ketat, sebab ketiga negara tersebut memiliki daya beli yang baik. Negara lain saat ini mulai aktif melakukan kegiatan produksi ikan tuna, sebagian memanfaatkan potensi alam yang dimiliki dan menerepkan teknologi budidaya. Pesaing baru tersebut pasti akan mencoba masuk ke pasar Amerikan, Jepang dan Kawasan Uni Eropa.
Indonesia perlu untuk mengantisipasi hal tersebut
dengan memperluas jaringan pemasaran, sehingga ketika terjadi
pengurangan kuota dari ketiga negara tersebut hasil ikan tuna nasional masih dapat dipasarkan ke negara lain. ii) Mendaftar sebagai anggota lembaga yang menangani masalah tuna. Lembaga manajemen perikanan regional memberikan pengaruh terhadap daya saing komoditas ikan tuna. Keaktifan sebagai anggota akan membuka akses Indonesia sebagai pemanfaat sumberdaya ikan tuna di perairan internasional (high seas). Keanggotaan juga akan membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan kuota pasar internasional serta menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo untuk produk ikan tuna. 2) Strategi ST Strategi ST dilakukan dengan memaksimalkan keunggulan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada. Strategi ST untuk komoditas ikan tuna adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan mutu ikan tuna yang dihasilkan. Mutu ikan merupakan faktor yang menentukkan apakah ikan layak untuk masuk ke negara ekspor atau tidak.
Indonesia sering mengalami penolakan produk
perikanan sebab mutu ikan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh negara tujuan ekspor. i)
Sosialisasi kepentingan mutu ikan untuk tujuan ekspor kepada seluruh pihak yang ada dalam industri perikanan harus dilakukan oleh aparat pemerintah setempat. Nelayan merupakan pihak yang paling penting diberikan sosialisasi menjaga kualitas mutu ikan dan menerapkan cold chain system sebagai cara menjaga kesegaran ikan yaitu dengan didinginkan atau dibekukan mulai dari penangkapan hingga pemasaran. Cold chain system pada penanganan di setelah penangkapan di atas kapal dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam palka yang telah diisi es yang telah dicampur dengan air laut dan teknik chilling water dimana ikan di simpan dalam palka yang telah diisi air laut dan didinginkan dengan menggunakan mesin freezer serta dijaga suhunya tetap pada 00C.
ii) Lembaga pengawasan mutu yang telah dibentuk oleh pemerintah lebih ditingkatkan lagi terutama peningkatan kualitas SDM agar mampu melaksanakan pengecekkan mutu ikan lebih cepat terutama untuk lembaga perwakilan yang berada di daerah.
Keterbatasan
SDM ini membuat waktu yang diperlukan untuk mengurus seluruh adminstrasi menjadi lama dan akan mempengaruhi keadaan mutu dan keamanan pangan ikan yang di ekspor 3) Strategi WO Strategi
WO
dilakukan
untuk
meminimalisir
kelemahan
dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO untuk komoditas ikan tuna adalah sebagai berikut: a) Melakukan kerjasama dengan pihak asing. Kerjasama dengan pihak asing dapat ditingkatkan sebagai sarana untuk peningkatan daya saing komoditas ikan tuna. Kerjasama dengan pihak asing berbentuk pemberian izin kepada pihak asing untuk menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku. Industri ikan tuna nasional memang dihadapkan pada masalah permodalan, pihak asing yang memiliki modal besar sebaiknya diijinkan untuk mengelola industri ikan nasional. Kerjasama dengan pihak asing harus didasari dengan kekuatan peraturan pemerintah, sehingga kerjasama tersebut tidak membuat Indonesia menjadi rugi. Kerjasama ini harus dikelola dengan baik agar hasil ekspor tetap masuk ke Negara Indonesia dan populasi ikan tuna Indonesia juga dapat terjaga. b) Melakukan pembenahan manajemen perikanan perusahaan. Perikanan nasional memiliki banyak masalah yang belum mampu diselesaikan dengan baik. Manajemen perikanan nasional dapat diselesaikan melalui cara: i)
Melakukan pelatihan karyawan terhadap penanganan ikan pasca panen. Pelatihan terhadap karyawan (terutama untuk nelayan yang bekerja untuk perusahaan) akan penanganan ikan pasca panen sangat diperlukan sehingga kualitas ikan tuna dapat dijaga dengan baik
hingga
sampai
pengolahan.
ditangan
konsumen
akhir
atau
perusahaan
Pelatihan karyawan tentang HACCP juga perlu
dilakukan agar sesuai dengan standar internasional. ii) Meningkatkan teknologi peralatan. Penyediaan perahu dengan peralatan teknologi yang bermanfaat dalam penangkapan ikan tuna seperti alat pendekteksi ikan harus sudah dimiliki disetiap kapal. Selain itu teknologi ditempat transit juga harus diperbaiki seperti mengganti papan seluncur yang digunakan untuk menurunkan ikan dari kapal dengan sistem roda berjalan sehingga mengurangi kemungkinan ikan mengalami goresan atau kecacatan fisik. 4) Strategi WT Strategi WT dilakukan untuk meminimalisir kelemahan dan ancaman yang ada. Strategi WT untuk komoditas ikan tuna adalah sebagai berikut: a)Memperbaiki sarana dan prasarana yang mendukung ikan tuna nasional. Perbaikan sarana dan prasaran untuk peningkatan daya saing komoditas ikan tuna nasional harus dilakukan segera. Kondisi sumberdaya yang dimiliki masih banyak kendala yang dihadapi sehingga harus dibenahi agar daya saing meningkat. Perbaikan sarana dan prasarana dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut: i)
Pembenahan sistem transportasi terutama untuk daerah Indonesia Timur, sebab daerah yang masih berstatus UE lebih banyak terdapat di Wilayah Indonesia Timur. Pembenahan pelabuhan yang ada dan disesuaikan dengan skala internasional. Pemerintah daerah beserta seluruh aparat yang mengurusi masalah transportasi dan pekerjaan umum mengeluarkan dana untuk memperbaiki kondisi jalanan dengan cara diaspal dan diperluas agar jarak yang ditempuh terutama untuk nelayan yang berada dipedalam dapat dipersingkat. Pelabuhan pendaratan ikan yang ada masih dibawah standar sehingga perlu pembenahan seperti penggantian tenda atau atap plastik yang berguna menjaga ikan dari cahaya matahari saat dibongkar, penggantian papan luncur yang sudah tidak licin lagi agar tidak
merusak kulit ikan, penjagaan sanitasi untuk tempat pengumpulan ikan dan toilet letaknya harus jauh dari ruang penyimpanan serta dilengkapi tempat cuci tangan
dan sabun disinfektan.
Armada
penerbangan dalam negeri perlu ditingkatkan lagi agar mampu memenuhi
permintaan
untuk
pengiriman
ekspor,
agar
ketergantungan terhadap jasa penerbangan asing dapat berkurang. ii) Penyediaan sarana dan prasarana.
Penyediaan sarana dan prasaran
yang dapat dilakukan adalah pengadaan cold chain system seperti membangun pabrik es untuk pelaksanaan sistem ini. Sarana ini sangat berguna bagi kapal yang tidak memilki freezer dan kapal nelayan nasional lebih banyak belum mempunyai freezer. Pabrik es ini akan membentu nelayan untuk menjaga mutu kesegaran ikan dan mampu berfungsi sebagai pengawet, sehingga saat dikirim ke pengumpul masih dalam kondisi yang baik. b) Memperbaiki kondisi perkenomian nasional yang mendukung komoditas ikan tuna nasional. Kondisi perkonomian nasional sangat berpengaruh terhadap daya saing komoditas ikan tuna nasional, hal penting yang harus diatasi yaitu bagaimana menjaga harga bahan bakar dalam negeri tidak terus meningkat. Peningkatan bahan bakar ini akan membawa dampak negatif yang besar, sebab banyak nelayan yang akan berhenti melaut. Kestabilan nilai tukar juga harus dijaga terutama terhadap dollar Amerika Serikat, sebab ikan tuna diperdagangkan berdasarkan dollar Amerika Serikat.
Strenghts (S)
Weakness (W)
1) Indonesia memiliki laut yang luas dengan posisi yang baik
1) Rendahnya kualitas mutu ikan yang dihasilkan.
untuk penangkapan ikan tuna. Internal
2) Kualitas tenaga kerja yang belum memadai.
2) Masih adanya daerah penangkapan ikan tuna yang berstatus
3) Rendahnya sistem penanganan hasil.
under exploied (UE). Eksternal
4) Infrastruktur yang kurang memadai.
3) Kuantitas tenaga kerja yang memadai.
5) Ketergantungan terhadap harga dunia.
4) Adanya hubungan baik dengan negara tujuan ekspor.
6) Rendahnya pegawasan perairan
5) Adanya dukungan pemerintah. Opportunities (O)
Strategi SO
1) Adanya perkembangan teknologi budidaya
1)
Strategi WO
Meningkatkan produksi ikan tuna (S1,S2,S3,O2,O3,04)
1) Melakukan kerjasama dengan pihak asing (W1,W2,W3,W4,O1,O6) 2) Melakukan pembenahan manajemen perikanan perusahaan
2) Pangsa pasar yang masih luas
a) Memberikan pinjaman modal kepada nelayan
3) Adanya tren from red meat to white meat
b) Menerapkan teknologi budidaya ikan tuna melalui lembaga
4) Munculnya berbagai macam penyakit terhadap 2.
hewan ternak 5) Adanya
organisasi
manajemen
perikanan
(W1,W2.W3,W5,W6,O1,O2,O3,O4,O6) a) Melakukan pelatihan terhadap karyawan terkait dengan
riset Memperluas pasar (S4,S5,O2,O5)
penanganan pasca panen.
a) Menambah tujuan ekspor
b) Meningkatkan teknologi peralatan yang digunakan.
b) Mendaftar sebagai anggota lembaga yang menangani
regional. 6) Adanya negara yang mau berinvestasi di
masalah tuna
Indonesia Threaths (T) 1) Peningkatan 2)
kekuatan
Strategi ST tawar
menawar 1) Meningkatkan
Strategi WT
mutu
ikan
yang 1) Memperbaiki sarana dan prasarana yang mendukung ikan tuna
pembeli.
dihasilkan(S1,S2,S3,T1,T2,T3,T4)
nasional (W1,W3,W4,W5,W6,T1,T2,T3,T4,T6)
Peningkatan teknologi budidaya pesaing.
a) Sosialisasi tentang mutu kepada nelayan oleh pemerintah
a) Membenahi sistem transportasi
3) Adannya hambatan tarif 4) Adanya hambatan non-tarif 5) Krisis ekonomi baik yang bersifat global atau
setempat dan perusahaan eksportir. b) Peningkatan
peran
perbaikan SDM-nya
lembaga
pengawasan
b) Penyediaan sarana pendukung perikanan mutu
dan 2) Menjaga kondisi perkenomian nasinal yang mendukung komoditas ikan tuna nasional (W5,T5)
nasional. 6) IUU Fishing
Gambar 7. Analisis Matriks SWOT
108