VI
6.1.
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk
mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk siam dalam bersaing dan memanfaatkan peluang pasar internasional. Alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) berdasarkan data penerimaan dan biaya produksi selama enam tahun dengan discount rate sebesar enam persen. Proses diskonto diperlukan dalam penelitian ini untuk menentukan Net Present Value (NPV) dari masing-masing jenis pengusahaan jeruk siam. Setelah perhitungan dilakukan maka disusunlah Tabel PAM yang dapat dilihat pada Tabel 15. Data penerimaan, total biaya dan keuntungan pada tabel tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai-nilai yang menjadi indikator daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing jeruk siam di Kecamatan Samarang. Tabel 15. Policy Analysis Matrix (PAM) Sistem Komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Samarang (Rp/Ha) Uraian
Biaya
Penerimaan Output
Input Tradable
Faktor Domestik
Keuntungan
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran) Harga Privat
263.844.112,11
39.961.668,05
187.353.946,41
36.528.497,64
Harga Sosial
283.915.448,37
40.269.986,59
173.065.568,98
70.579.892,80
Efek Divergensi
(20.071.336,27)
(330.318,54)
14.288.377,43
(34.051.395,15)
Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri) Harga Privat
224.175.450,95
43.504.203,43
144.692.509,52
35.978.738,00
Harga Sosial
241.229.084,71
43.838.143,03
147.082.752,75
50.308.188,94
Efek Divergensi
(17.053.633,76)
(333.939, 60)
(2.390.243,23)
(14.329.450,93)
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan privat pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern diperoleh sebesar Rp 263.844.112,11, biaya input tradable sebesar Rp 39.961.668,05, dan biaya faktor domestik adalah sebesar Rp
187.353.946,41. Sehingga diperoleh keuntungan
privat sebesar Rp 36.528.497,64. Kemudian pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional diperoleh penerimaan privat sebesar Rp 224.175.450,95, biaya input tradable sebesar Rp 43.504.203,43, dan biaya faktor domestik adalah sebesar Rp 144.692.509,52. Sehingga diperoleh keuntungan privat sebesar Rp 35.978,738,00. Estimasi keuntungan sosial atau daya saing dalam keunggulan komparatif yang tercermin dari keuntungan sosial diperlihatkan pada baris kedua tabel PAM. Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan sosial pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern diperoleh sebesar Rp 283.915.448,37, biaya input tradable sebesar Rp 40.269.986,59, dan biaya faktor domestik adalah sebesar Rp 173.065.568,98. Sehingga diperoleh keuntungan sosial sebesar Rp 70.579.892,80. Kemudian pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional diperoleh penerimaan sosial sebesar Rp 241.229.084,71, biaya input tradable sebesar Rp 43.838.143,03, dan biaya faktor domestik adalah sebesar Rp 147.082.752,75. Sehingga diperoleh keuntungan sosial sebesar Rp 50.308.188,94. Pada tabel PAM baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris
kedua
yang
menggambarkan
divergensi.
Suatu
divergensi
akan
menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiennya. Divergensi timbul akibat adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar. Kebijakan yang distortif adalah intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiennya, misalnya pajak, subsidi, hambatan perdagangan atau regulasi harga. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum seperti monopoli dan pasar faktor domestik yang tidak sempurna.
6.1.1. Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan secara finansial. Seperti yang telah dipaparkan pada kerangka pemikiran, analisis keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Analisis keunggulan kompetitif pengusahaan jeruk siam baik teknologi modern maupun
teknologi tradisional diukur dengan indikator Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya Privat (PCR). Tabel 16 menyajikan besarnya nilai Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) pengusahaan jeruk siam baik dengan teknologi modern maupun teknologi tradisional. Tabel 16. Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) Komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Samarang No. 1
Uraian
Keuntungan Privat (Rp/Ha)
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)
2
PCR 0,84
36.528.497,64
0,80
35.978.738,00
Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)
Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui keuntungan privat (PP) yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern (Rp 36.528.497,64 per Hektar) lebih besar dibandingkan pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional (Rp 35.978.738,00 per Hektar). Tingginya keuntungan yang diperoleh pada pengusahaan jeruk siam teknologi modern terjadi karena produksi jeruk siam teknologi modern lebih besar dibanding produksi jeruk siam teknologi tradisional. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam penggunaan bibit jeruk siam dan pemeliharaan dalam pengusahaan jeruk siam tersebut. Namun keuntungan yang diperoleh pada pengusahaan jeruk siam tradisional tidak begitu jauh berbeda dengan keuntungan yang diperoleh pada pengusahaan jeruk siam modern. Hal ini diakibatkan karena pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern memerlukan biaya yang lebih besar, sehingga meskipun produksi jeruk siam dengan teknologi modern lebih besar dari pada pengusahaan jeruk siam tradisional, mengakibatkan keuntungan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan keuntungan yang diperoleh pada pengusahaan jeruk siam tradisional. Gambar 8 memperlihatkan perkembangan jumlah produksi jeruk siam pada penggunaan teknologi modern (bibit penangkaran) dan teknologi tradisional (bibit batang bawah sendiri).
Jumlah Produksi (Kg/Ha)
30000 25000 20000 Bibit Penangkaran
15000 10000
Bibit Batang Bawah Sendiri
5000 0 1
2
3
4
5
6
Umur Tanaman
Gambar 8.
Perkembangan Produksi Jeruk Siam Pada Penggunaan Teknologi Modern (Bibit Penangkaran) Dan Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)
Gambar 8 memperlihatkan bahwa perkembangan produksi jeruk siam dengan teknologi modern lebih tinggi dibandingkan produksi jeruk siam dengan teknologi tradisional. Namun tingginya produksi tersebut diiringi dengan biaya produksi yang tinggi pula. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan teknologi modern (bibit penangkaran) mendorong untuk menggunakan input produksi yang relatif lebih besar dibanding teknologi tradisional (bibit batang bawah sendiri). Hal ini didukung pada nilai Rasio Biaya Privat (PCR) dari pengusahaan jeruk siam baik dengan teknologi modern maupun tradisional dimana keduanya memiliki nilai yang hampir sama, yakni 0,84 dan 0,80. Nilai ini mengandung arti bahwa pengusahaan jeruk siam baik dengan teknologi modern maupun tradisional efisien secara finansial atau mempunyai keunggulan kompetitif, yakni masingmasing sebesar 0,84 dan 0,80. Nilai PCR yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern (0,84) lebih besar daripada nilai PCR yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional (0,80). Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya faktor domestik pada harga privat yang diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah jeruk siam sebesar satu satuan pada pengusahaan jeruk siam teknologi tradisional (0,80) relatif lebih kecil dibanding pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern (0,84). Berdasarkan hal tersebut alokasi sumberdaya pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional lebih efisien secara finansial dibanding dengan pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern. Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas jeruk
siam dengan teknologi tradisional lebih memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan komoditas jeruk siam dengan teknologi modern. Jika nilai PCR jeruk siam pada penelitian ini (0,84 dan 0,80) dibandingkan dengan nilai PCR pada pengembangan sentra jeruk siam Pontianak (0,44) dalam penelitian Wiji (2007), menunjukkan bahwa komoditas jeruk siam Pontianak lebih memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan komoditas jeruk siam pada penelitian ini. Hal ini diperkirakan terjadi karena jeruk siam Pontianak tersebut merupakan produk lokal atau produk endemik, sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik jika ditanam didaerah tersebut. Berbeda dengan jeruk siam Garut yang bukan produk endemik, artinya hanya merupakan tanaman jeruk siam yang ditanam di Kabupaten Garut. Berikutnya, jika nilai PCR jeruk siam pada penelitian ini dibandingkan dengan tanaman tahunan lainnya seperti komoditas kakao di Kecamatan Rancah dan Cisaga (0,96 dan 0,86) dalam penelitian Nuryanti (2010), maka komoditas jeruk siam dalam penelitian ini menunjukkan keunggulan secara kompetitif yang relatif lebih besar dibanding komoditas kakao.
6.1.2. Analisis Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing suatu komoditas dengan asumsi perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi sama sekali. Keunggulan komparatif terkait dengan kelayakan secara ekonomi, yang artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Analisis keunggulan komparatif pengusahaan jeruk siam baik dengan teknologi modern maupun teknologi tradisional diukur dengan indikator Keuntungan Sosial (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC). Tabel 20 menyajikan besarnya nilai Keuntungan Sosial (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) pengusahaan jeruk siam baik dengan teknologi modern maupun teknologi tradisional.
Tabel 17. Keuntungan Sosial (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Samarang No. 1
Uraian
Keuntungan Sosial (Rp/Ha)
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)
2
DRC 0,71
70.579.892,80
0,75
50.308.188,94
Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan pada pengusahaan jeruk siam per hektar pada harga bayangan (sosial), yakni harga yang tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti subsidi dan pajak. Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa nilai SP yang diperoleh pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern (Rp 70.579.892,80) relatif lebih besar dibandingkan pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional (Rp 50.308.188,94). Hal ini disebabkan produksi jeruk siam teknologi modern yang
lebih besar dari pada teknologi tradisional dan biaya input yang tidak terlalu terpengaruh terhadap harga bayangan. Sehingga dengan harga bayangan jeruk siam yang lebih besar dari pada harga privatnya, maka keuntungan yang diperoleh pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern jauh lebih besar dari pada keuntungan yang diperoleh teknologi tradisional. Hal ini didukung pada nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC), dimana nilai DRC yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern (0,71) lebih kecil daripada nilai DRC yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional (0,75). Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya faktor domestik pada harga sosial yang diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah jeruk siam sebesar satu satuan pada pengusahaan jeruk siam teknologi modern (0,71) relatif lebih kecil dibanding pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional (0,75). Berdasarkan hal tersebut alokasi sumberdaya pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern lebih efisien secara ekonomi dibanding dengan pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komoditas jeruk siam dengan teknologi
modern lebih memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan komoditas jeruk siam dengan teknologi tradisional. Jika nilai DRC jeruk siam pada penelitian ini (0,71 dan 0,75) dibandingkan dengan nilai DRC pada pengembangan sentra jeruk siam Pontianak (0,17) dalam penelitian Wiji (2007), menunjukkan bahwa komoditas jeruk siam Pontianak lebih memiliki keunggulan komparatif dibandingkan komoditas jeruk siam pada penelitian ini. Berikutnya, jika nilai DRC tersebut dibandingkan dengan komoditas kakao di Kecamatan Rancah dan Cisaga (0,74 dan 0,87) dalam penelitian Nuryanti (2010), menunjukkan bahwa komoditas jeruk siam dalam penelitian ini relatif lebih unggul secara komparatif dibanding komoditas kakao.
6.2.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Jeruk Siam
6.2.1. Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dilihat dari dua indikator yaitu Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Transfer Output menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output yang menyebabkan harga output privat dan sosial berbeda. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Sedangkan koefisien Proteksi Output Nominal digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Pada Tabel 18 diperlihatkan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) pada pengusahaan jeruk siam baik teknologi modern maupun teknologi tradisional. Tabel 18. Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Samarang No. 1
Uraian
Transfer Output (Rp/Ha)
0,93
-20.071.336,27
0,93
-17.053.633,76
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)
2
NPCO
Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah)
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan tradisional adalah kurang dari satu, yakni sama-sama 0,93. Sedangkan nilai Transfer Output (TO) pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan tradisional adalah negatif, yakni masing-masing sebesar Rp -20.071.336,27 dan Rp -17.053.633,76. Nilai NPCO yang kurang dari satu dan nilai Transfer Output yang negatif, mengindikasikan bahwa harga domestik jeruk siam (Rp 5000,00 per kilogram) lebih rendah daripada harga dunia (Rp 5.380,36 per kilogram), yang artinya tidak adanya kebijakan pemerintah mengenai proteksi harga komoditas jeruk siam. Hal ini menimbulkan terjadinya transfer intensif dari produsen ke konsumen, dimana masyarakat atau konsumen membeli dengan harga yang lebih murah dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih kecil dari harga yang seharusnya diterima. Pada lokasi penelitian tidak ada kebijakan output yang diberlakukan pemerintah terhadap komoditas jeruk siam. Hal ini menjadi lumrah karena komoditas jeruk siam bukanlah komoditas pangan utama seperti beras atau gula. Namun, yang menjadi salah satu pendorong rendahnya harga jeruk siam di tingkat petani adalah kualitas buah jeruk siam yang rendah. Hal ini disebabkan selain karena tidak adanya bargaining position petani akibat menjual secara individual, juga karena petani menjual berdasarkan tingkat harga yang ditetapkan tengkulak, bukan karena kematangan buah yang siap panen. Sehingga buah yang belum siap panen atau yang memiliki kualitas kurang bagus terpaksa dipanen untuk memenuhi kuota yang telah dipesan oleh para tengkulak
6.2.2. Dampak Kebijakan Input Kebijakan pemerintah terhadap input produksi dapat dilihat dari nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Data mengenai besarnya Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) di Kecamatan Samarang No.
1
2
Uraian
NPCI
Transfer Input
Transfer Faktor
(Rp/Ha)
(Rp/Ha)
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)
0,99
-308.318,54
14.288.377,43
0,99
-333.939,60
-2.390.243,23
Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah)
Nilai Transfer Input merupakan selisih antara biaya input tradable pada harga privat dengan biaya input tradable pada harga bayangan (sosial). Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa nilai Transfer Input dari kedua jenis pengusahaan jeruk siam tersebut negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat subsidi terhadap input tradable, sehingga petani responden jeruk siam di lokasi penelitian menerima harga lebih rendah dari harga yang seharusnya (harga sosial). Hal ini menyebabkan transfer dari pemerintah kepada produsen jeruk siam. Beberapa bentuk kebijakan tersebut adalah kebijakan subsidi dan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk pupuk anorganik seperti Urea, SP-36 dan ZA berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 356/KMK.06/2003. Indikator yang mendukung adanya subsidi dari pemerintah adalah nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung dengan harga bayangan (sosial). Pada Tabel 19 menunjukkan bahwa nilai NPCI dari kedua jenis pengusahaan jeruk siam memiliki nilai lebih kecil dari satu. Hal ini mengindikasikan harga domestik lebih rendah dari harga dunia, sehingga dapat dikatakan adanya kebijakan subsidi dari pemerintah, sesuai dengan pemaparan sebelumnya. Transfer Faktor merupakan selisih antara biaya faktor domestik yang dihitung pada harga privat dengan biaya faktor domestik yang dihitung pada harga bayangan (sosial). Berdasarkan Tabel 19 dapat diketauhi bahwa nilai TF pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern bernilai positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat implisit pajak atau transfer dari petani responden pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern kepada produsen faktor domestik, sehingga petani responden harus membayar lebih mahal dari harga bayanganya (sosial). Bentuk kebijakan yang menyebabkan timbulnya implisit pajak tersebut antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pestisida. Pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi tradisional menunjukkan nilai Transfer Faktor bernilai negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat implisit subsidi atau transfer dari produsen faktor domestik kepada petani responden karena petani responden menerima harga input faktor domestik yang lebih murah dari harga sosialnya. Salah satu yang menyebabkan murahnya harga faktor domestik ini adalah karena adanya bantuan hewan ternak dari pemerintah, yang tujuannya adalah agar para petani tidak membeli atau memperoleh pupuk organik yang lebih murah. Selain itu penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern.
6.2.3. Dampak Kebijakan Input-Output Dampak kebijakan input-output dapat dilihat berdasarkan indikator Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Nilai EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable pada harga bayangan (sosial). Nilai TB merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima petani dengan keuntungan bersih sosial. Nilai PC merupakan rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Sedangkan nilai SRP adalah rasio antara nilai TB dengan penerimaan berdasarkan harga bayangan (sosial). Tabel 20 menyajikan data mengenai besarnya indikator EPC, TB, PC, dan SRP pada pengusahaan jeruk siam di Kecamatan Samarang.
Tabel 20. Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) pada Sistem Komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Samarang No. 1
2
Uraian
EPC
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran) Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah)
TB
PC
SRP
0,92
-34.051.395,15
0,52
-0,12
0,92
-14.329.450,93
0,72
-0,06
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas jeruk siam di lokasi penelitian. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC) yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan tradisional adalah kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa tidak adanya proteksi dari pemerintah terhadap output. Dampak tidak adanya kebijakan proteksi dari pemerintah mengakibatkan harga jeruk siam yang berlaku di Kecamatan Samarang (Rp 5000,00 per kilogram) berada di bawah harga efisiennya (Rp 5.380,36 per kilogram). Indikator yang mendukung tidak adanya perlindungan dari pemerintah terhadap petani responden adalah Transfer Bersih. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa nilai TB dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan tradisional adalah bernilai negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah terhadap input dan tidak adanya kebijakan terhadap output
yang
berlaku
menyebabkan
hilangnya
keuntungan
sebesar
Rp
34.051.395,15 per hektar pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan Rp 34.051.395,15 per hektar pada pengusahaan jeruk siam teknologi tradisional. Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC yang diperoleh dari pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan tradisional adalah kurang dari satu, yakni sebesar 0,52 dan 0,72. Nilai tersebut menunjukkan keuntungan privat yang diterima pada pengusahaan jeruk siam dengan teknologi modern dan teknologi
tradisional lebih kecil dari keuntungan sosialnya masing-masing sebesar 52 persen dan 72 persen. Begitu pun pada nilai SRP dimana berdasarkan Tabel 20 nilai SRP yang diperoleh pada pengusahaan jeruk siam teknologi modern dan tradisional adalah negatif, yakni masing-masing sebesar -0,12 dan -0,06. Nilai ini menunjukkan bahwa akibat kebijakan pemerintah terhadap input dan output menyebabkan petani responden pengusahaan jeruk siam teknologi modern dan tradisional mengeluarkan biaya yang lebih tinggi 12 persen dan 6 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Secara keseluruhan, kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan daya saing baik pengusahaan jeruk siam modern maupun jeruk siam tradisional.