ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA ANGGREK VANDA DOUGHLAS DI KOTA TANGERANG SELATAN
MILA JAMILAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Mila Jamilah NIM H451110361
RINGKASAN MILA JAMILAH. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan ANDRIYONO KILAT ADHI. Neraca perdagangan anggrek Indonesia bernilai positif sejak tahun 20082012. Salah satu jenis anggrek yang paling banyak diminati adalah Vanda doughlas. Kota Tangerang Selatan adalah wilayah penghasil Vanda doughlas terbesar di Jabodetabek. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, (2) menganalisis dampak kebijakan Pemerintah terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, (3) menganalisis pengaruh perubahan peningkatan harga input serta peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan metode Polisi Analisis Matriks (PAM) dan Analisis Sensitivitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki keuntungan privat Rp927 976 392 per hektar dan keuntungan sosial Rp9 438 355 442 per hektar, artinya pengusahaan anggrek Vanda doughlas menguntungkan secara finansial maupun ekonomi. Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan juga memiliki nilai Privat Cost Ratio (PCR) sebesar 0.6089 dan Domestic Resource Cost (DRC) Ratio sebesar 0.1325. Hal ini berarti bahwa anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih rendah dibandingkan keunggulan komparatifnya, namun tetap memiliki daya saing. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal ini bisa dilihat dari nilai Transfer Output (TO) Rp-8 505 773 472 dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0.2189. Selanjutnya, dampak kebijakan pemerintah terhadap input juga belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal ini bisa dilihat dari nilai Transfer Input Rp1 697 803, Transfer Faktor (TF) Rp2 907 775, dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1.1918. Begitu pula dengan dampak kebijakan pemerintah terhadap output-input yang juga belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal ini bisa dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0.2181, Transfer Bersih (TB) Rp-8 510 379 050, Koefisien Keuntungan 0.0983, dan Rasio Subsidi Produsen (SRP) -3.4871. Peningkatan harga obat-obatan dan pupuk anorganik serta penurunan jumlah produksi output sebesar 10 persen bisa menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, namun masih menguntungkan secara finasial dan ekonomi. Sedangkan peningkatan produksi output sebesar 10 persen mampu meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Kata kunci: Daya Saing, Vanda doughlas, Polisi Analisis Matriks (PAM)
SUMMARY MILA JAMILAH. Competitivenes Analysis and Government Policy Effect on Business of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan. Supervised by ANNA FARIYANTI and ANDRIYONO KILAT ADHI. Indonesian orchid trade balance was positive since 2008-2012. One of The highest demand for orchid cut flowers is Vanda doughlas. Tangerang Selatan is the largest producer of Vanda doughlas in the Jabodetabek area. The purpose of this study are (1) to analyze the competitiveness of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan, (2) to analyze the government policy effect on competitiveness of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan,(3) and to analyze the effects of changes in input prices and the increase or decrease of production on competitiveness of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan. This study uses the Policy Analysis Matrix (PAM) and Sensitivity Analysis. The result shows that the Vanda doughlas of Tangerang Selatan has private benefit Rp927 976 392 per hectare and social benefit of Rp9 438 355 442 per hectare, it means that business of Vanda doughlas Orchid is beneficial in finance and economy. Vanda doughlas of Tangerang Selatan has Privat Cost Ratio (PCR) value 0.6089 and Domestic Resource Cost (DRC) Ratio 0.1352. It means that the Vanda doughlas of Tangerang Selatan has competitive advantage lower than comparative advantage but still has competitiveness. Government policy effect for output did not have great effect in increasing the competitivenes of Vanda doughlas in Tangerang Selatan. It is showed on Output Transfer (TO) value Rp-8 505 773 472 and Nominal Protection Coefficient Output (NPCO) 0.2189. Also, government policy effect for input have not been succeeded in increasing the competitivenes of Vanda doughlas in Tangerang Selatan. It can be showed on Input Transfer (TI) value Rp1 697 803, Factor Transfer (TF) Rp2 907 775, dan Nominal Protection Coefficient Input (NPCI) 1.1918. Same as before, government policy effect for output-input have not been increasing the competitivenes of Vanda doughlas in Tangerang Selatan. It can be showed on Effective Protection Coefficient (EPC) 0.2181, Net Transfer (TB) Rp-8 510 379 050, Provitablity Coefficient (PC) 0.0983, dan Subsidy Ratio to Producer (SRP) -3.4871. The increasing in prices of insecticides, inorganic fertilizer, and the decreasing in production about 10 percent may reduces comparative and competitive advantage (competitiveness) of the Vanda doughlas in Tangerang Selatan but it is still beneficial in finance and economy. Whereas, the increase in production output about 10 percent can raise comparative and competitive advantage (competitiveness) of Vanda douglas in Tangerang Selatan. Keywords:Competitiveness, Vanda doughlas, Policy Analysis Matrix (PAM)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA ANGGREK VANDA DOUGHLAS DI KOTA TANGERANG SELATAN
MILA JAMILAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Ujian Tesis Luar Komisi
: Dr Amzul Rifin, SP MA
Penguji Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Judul Tesis : Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Nama : Mila Jamilah NIM : H451110361
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Ketua
Dr Ir Andriyono Kilat Adhi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 30 Desember 2013
Tanggal Lulus:
ludul Tesis : Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan : Mila lamilah Nama : H451110361 NLM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
.~
Dr Ir Andriyono Kilat Adhi, MSc Anggota
Dr Ir Anna Fanyantl, MSI Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian: 30 Desember 2013
Tanggal Lulus:
1 1 MAR 201 4
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 5 8 8 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Bisnis Anggrek Indonesia Daya Saing anggrek Indonesia Kebijakan anggrek Indonesia
9 9 10 12
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Daya Saing Konsep Keunggulan Komparatif Konsep Keunggulan Kompetitif Konsep Kebijakan Pemerintah Policy Analysis Matrix (PAM) Harga Bayangan Analisis Sensitivitas Kerangka Pemikiran Operasional
14 14 14 15 16 17 21 22 23 23
4 METODE 27 Lokasi dan Waktu 27 Jenis Dan Sumber Data 27 Metode Pengambilan Sampel 27 Metode Analisis Data 28 Penentuan Faktor Input-Output 29 Penentuan Komponen Biaya Domestik dan Asing 29 Penentuan Harga Privat dan Penaksiran Harga Bayangan Output-Input 29 Harga Bayangan Nilai Tukar 31 Tabulasi dan Analisis PAM 31 Metode Analisis Sensitivitas 35 5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 36 Kondisi Umum, Geografi, dan Iklim Kota Tangerang Selatan 36 Karakteristik Petani Responden 38 Keragaan Usahatani Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 43 Analisa Keuntungan Usahatani Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 45 Pemasaran Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 46 Kebijakan Input Pada Bisnis Anggrek Vanda doughlas 48 Kebijakan Output Pada Bisnis Anggrek Vanda doughlas 49
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing Usaha Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Usaha Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan Dampak Kebijakan Output Dampak Kebijakan Input Dampak Kebijakan Input dan Output Analisis Sensitivitas Usahatani Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan Dampak Peningkatan Harga Obat-obatan Dampak Peningkatan Harga Pupuk Anorganik Dampak Peningkatan Jumlah Produksi Dampak Penurunan Jumlah Produksi
49
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
65 65 66
DAFTAR PUSTAKA
66
LAMPIRAN
66
RIWAYAT HIDUP
87
49 55 56 58 59 61 62 62 63 64
DAFTAR TABEL 1 Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2007-2011 2 Produksi Komoditas Unggulan Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2008-2012 3 Ekspor-Impor dan Neraca Perdagangan Anggrek Tahun 2008-2012 4 Perkembangan Nilai Ekspor (Trade Value) Anggrek oleh NegaraNegara Produsen Tahun 2007-2011(dalam $ US) 5 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Anggrek di Indonesia Tahun 2008-2011 6 Produksi dan Harga Jual Petani Anggrek per Kecamatan di Kota Tangerang Selatan pada Triwulan IV (Oktober-Desember) Tahun 2012 7 Produksi dan Pertumbuhan Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012 8 Tipe alternatif Kebijakan Pemerintah 9 Policy Analysis Matrix (PAM) 10 Tujuh Kelompok Tani Anggrek Vanda douglas di Kota Tangerang Selatan. 11 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Tangerang Selatan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009-2011 (%) 12 Sebaran Responden Berdasarkan Usia 13 Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani 14 Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan 15 Sebaran Responden Menurut Luas Lahan 16 Sebaran Responden Menurut Status Usahatani 17 Sebaran Responden Menurut Status Lahan 18 Sebaran Responden Menurut Keikutsertaan dalamPelatihan/Penyuluhan 19 Sebaran Responden Menurut Lembaga Pemasaran 20 Sebaran Responden Menurut Sumber Modal 21 Tabel Input-Output Usahatani Vanda doughlas 22 Budget Usahatani Vanda doughlas 23 Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan (Rp/Ha) 24 Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Anggrek Vanda doughlas Di Kota Tangerang Selatan 25 Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 26 Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan pada Berbagai Skenario 27 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Obat-obatan Sebesar 10 persen 28 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Pupuk Anorganik Sebesar 10 persen 29 Tabulasi PAM Skenario Penurunan Jumlah Produksi Sebesar 10 persen 30 Tabulasi PAM Skenario Penurunan Jumlah Produksi Sebesar 10 persen
1 2 3 3 4 5 6 17 22 28 37 38 39 39 40 40 41 42 42 43 43 46 50 53 56
61 62 63 64 64
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Aliran Perdagangan Internasional Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Domestik Alur Kerangka Pemikiran Operasional Peta Kota Tangerang Selatan Alur Pemasaran Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan
14 18 20 20 26 36 46
DAFTAR LAMPIRAN 1 Syarat Kualitas Vanda 2 Gambar Alur Usahatani Anggrek Vanda doughlas 3 Proporsi Biaya Input Terhadap Biaya Input Total Pengusahaan Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 4 Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2012 5 Perhitungan Harga Bayangan Output Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 6 Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 7 Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 8 Rekapitulasi Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dalam Rp/Ha 9 Rekapitulasi Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dalam (Rp/Ha) 10 Proporsi Biaya Penggunaan Input pada Usahatani Vanda doughlas
70 71 74 75 76 77 81 85 86 87
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Pembangunan hortikultura juga meningkatkan nilai dan volume perdagangan internasional atas produk hortikultura nasional dan ketersediaan sumber pangan masyarakat. Pembangunan hortikultura pada berbagai sentra dan kawasan telah difasilitasi pemerintah melalui berbagai program dan kegiatan baik dengan dana dari pusat (APBN) maupun daerah (APBD), serta dukungan dari masyarakat (petani dan swasta). Pembangunan hortikultura bertujuan untuk mendorong berkembangnya agribisnis hortikultura yang mampu menghasilkan produk hortikultura yang berdaya saing, mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani dan pelaku, memperkuat perekonomian wilayah serta mendukung pertumbuhan pendapatan nasional (Direktorat Jenderal Hortikultura 2012). Oleh sebab itu diperlukan pembangunan hortikultura yang mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien supaya mampu memenuhi permintaan domestik, bahkan bisa mengekspor. Indikator ekonomi makro berupa Produk Domestik Bruto (PDB) pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui peranan dan kontribusi hortikultura terhadap pendapatan nasional. Tabel 1 Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2008-2011 Nilai PDB (Milyar Rupiah) 2008 % 2009 % 2010 % 1 Buah-buahan 47 060 55.97 48 437 54.83 45 482 52.54 2 Sayuran 28 205 33.55 30 506 34.54 31 244 36.09 3 Tanaman Hias 4 960 5.90 5 494 6.22 6 174 7.13 4 Biofarmaka 3 853 4.58 3 897 4.41 3 665 4.24 Hortikultura 84 078 2.47 88 334 -1.01 86 565 1.30 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura 2012 No
Komoditas
2011 46 736 33 137 5 984 2 995 88 851
% 52.60 37.30 6.73 3.37
Berdasarkan Tabel 1, dari tahun 2008 sampai tahun 2009, nilai kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 2.47 persen. Namun pada tahun 2010, nilai PDB hortikultura mengalami penurunan sebesar 1.01 persen. Penurunan PDB hortikultura pada tahun 2010 disebabkan oleh penurunan jumlah produksi dari komoditas buah-buahan dari dan tanaman biofarmaka. Kemudian pada tahun 2011, nilai PDB hortikultura mengalami peningkatan kembali sebesar 1.30 persen. Salah satu kelompok komoditas hortikultura yang cukup prospektif dalam pengembangannya adalah tanaman hias. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2011, perkembangan tanaman hias memberikan kontribusi yang meningkat terhadap PDB nasional, yaitu dari 5.90 persen menjadi 7.13 persen. Peningkatan ini terjadi karena tanaman hias memiliki permintaan yang semakin besar yang berpengaruh pada peningkatan produksi dan luas panen di beberapa wilayah di Indonesia. Tanaman hias terdiri dari florikultura dan tanaman lain yang dimanfaatkan keindahannya. Menurut Saragih (2009), prospek agribisnis florikultura masih
2 potensial baik di pasar domestik maupun pasar mancanegara dilihat dari sisi permintaan. Pertama, dengan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan cenderung pendapatannya meningkat merupakan pasar yang besar. Apalagi saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan konsumsi per kapita florikultura terendah di dunia. Kedua, terdapat sejumlah perubahan yang membuka kesempatan bagi agribisnis florikultura Indonesia. Perubahan yang dimaksud adalah, pertama, kawasan Asia Pasifik khususnya kawasan ASEAN dan Asia Timur merupakan lokomotif perekonomian dunia menggeser kawasan Atlantik. Pertumbuhan kawasan tersebut diikuti pertumbuhan kawasan pemukiman, perkantoran, dan pusat belanja lainnya yang cukup besar. Pertumbuhan tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap tanaman hias. Kedua, meningkatnya pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat akan kesegaran dan keindahan juga akan meningkatkan pemintaan akan bunga potong1. Menurut Ditjenhorti (2013) dan BPS (2013), terdapat tujuh komoditas unggulan tanaman hias Indonesia yaitu Krisan, Sedap Malam, Mawar, Melati, Anggrek, Pakis, dan Palem (Tabel 2). Tabel 2 Produksi Komoditas Unggulan Tanaman Hias di Indonesia Tahun 20102012 Komo Ditas Krisan Mawar Sedap Malam Melati Anggrek Pakis Palem
Satuan Tangkai Tangkai
2010 185 232 970 82 351 332
% 50.30 22.36
Tangkai
59 298 954
16.10
Tahun 2011 % 305 889 556 63.00 74 331 125 15.31
2012*) 397 228 985 66 152 994
% 64.71 10.78
100 387 599
16.35
Kilogram 21 600 442 5.87 22 541 485 4.64 22 721 149 Tangkai 14 050 445 3.82 14 419 818 2.97 20 714 137 Pohon 4 652 838 1.26 4 747 829 0.98 5 312 678 Pohon 1 098 197 0.30 1 261 441 0.26 1 296 123 Total 368 285 178 100 485 548 031 100 613 813 665 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2013 dan Badan Pusat Statistik 2013 Ket: *) angka sementara
3.70 3.37 0.87 0.21 100
62 356 777
12.84
Dibandingkan dengan ke-7 tanaman hias unggulan lainnya, jumlah produksi anggrek memang hanya menempati urutan ke-5. Namun, anggrek termasuk kelompok tanaman hias yang mempunyai keunikan dan keunggulan tersendiri dibandingkan dengan bunga lainnya. Salah satunya adalah bunga anggrek dapat bertahan lebih lama setelah mekar. Selain itu, anggrek memiliki kelebihan lain berupa spektrum yang luas pada warna, bentuk, ukuran tekstur dan banyaknya variasi yang menjadikan anggrek banyak disukai orang dan penggemarnya. Anggrek merupakan tanaman hias yang tetap banyak diminati meskipun tidak mengikuti trend tanaman hias. Anggrek memberikan prestise karena sulit dirawat. Selain itu, menurut Ketua Persatuan Anggrek Indonesia (Kalla 2012), kebutuhan anggrek secara nasional mencapai 3 000 tangkai per bulan. Jumlah ini belum terpenuhi karena produksi anggrek masih rendah.
1
Jaya, Untung. 2009.Prospek agribisnis Florikultura. Agrina. www.agrina-online.com
3 Agar kebutuhan tersebut terpenuhi, pengembangan produksi terutama dari sisi teknologi budidaya anggrek dibutuhkan. Sehingga peningkatan produksi akan mampu memperbaiki kesejahteraan petani anggrek2. Berdasarkan nilai neraca perdagangan anggrek yang bernilai positif dari tahun 2008-2012 pada Tabel 3, anggrek Indonesia masih berpeluang menjadi komoditas promosi ekspor. Jenis anggrek yang diekspor Indonesia adalah Dendrobium, Oncidium Golden Shower, Cattleya, Vanda, dan anggrek lainnya. Sedangkan jenis anggrek yang diimpor yaitu, Phalaenopsis, Dendrobium, dan Cymbidium. Permintaan anggrek Indonesia di pasar internasional diminati oleh negara seperti Singapura, Taiwan, dan Malaysia (BPS 2011). Singapura mengimpor anggrek lebih banyak dari Indonesia dibandingkan negara lainnya. Jenis anggrek yang banyak diekspor ke Singapura adalah Vanda doughlas. Tabel 3 Ekspor-Impor dan Neraca Perdagangan Anggrek Tahun 2008 2012 Ekspor (X) Impor (M) Neraca Perdagangan Volume Volume Nilai (US $) % % Nilai (US $) % % (Nilai X-M) (ton) (ton) 2008 740 751 167 78 265 35 662 486 2009 1 040 544 35.7 122 -15.6 434 071 69.5 64 29.3 606 473 2010 899 397 -7.3 56 -37.1 40 154 -83.1 27 -40.7 859 243 2011 783 785 -6.9 67 8.9 48 899 9.8 14 -31.7 734 886 2012 668 956 -7.9 57.61 -7.5 49 272 0.4 4.3 -53.0 619 684 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2013 Tahun
Di pasar dunia, negara pengekspor Anggrek segar ditempati oleh beberapa negara seperti Belanda, Thailand, Singapura, Jepang, Cina, dan Indonesia (Tabel 4). Belanda menjadi negara dengan nilai ekspor anggrek tertinggi di dunia, diikuti oleh Thailand, Singapura, Jepang, Cina, dan Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara pengekspor anggrek lainnya, nilai ekspor anggrek Indonesia berada di urutan ke-6. Di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara, perkembangan industri tanaman hias Indonesia khususnya anggrek lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama (Kartikasari 2008). Tabel 4 Perkembangan Nilai Ekspor (Trade Value) Anggrek oleh Negara-Negara Produsen Tahun 2008-2011(dalam $ US) Tahun 2008 2009 2010 2011 Belanda 115 145 539 89 319 006 86 289 993 114 860 774 Thailand 72 462 824 69 353 856 72 900 359 73 675 034 Singapura 21 155 910 23 002 473 19 649 676 23 428 338 Cina 90 224 52 461 22 760 6 432 Jepang 85 763 12 832 202 004 9 834 Indonesia NA NA 13 047 3 317 Sumber: UN Comtrade 2013 Ket: NA=data tidak tersedia Negara
2
Rata-Rata Pertumbuhan/tahun (%) -0.05 -1.34 1.69 -40.63 -25.55 -59.46
Gumiwang, Ringkang. 2012. Penjualan Anggrek: Pasar Nasional masih Terbuka Luas. Bisnis Jabar. bisnis-jabar.com.
4 Berdasarkan perbandingan nilai ekspor tahun 2008-2011 dari negara-negara produsen anggrek dunia pada Tabel 4, posisi Indonesia mengalami rata-rata penurunan ekspor anggrek sebesar 59.46 persen per tahun. Indonesia mengalami tingkat penurunan ekspor yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya. Melihat keunggulan komparatif Indonesia sebagai penyumbang 25 persen spesies anggrek yang ada didunia, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara pengekspor anggrek yang besar. Namun, rata-rata pertumbuhan pertahun ekspor anggrek Indonesia menunjukkan penurunan yang besar. Pesaing utama anggrek Indonesia di pasar dunia adalah Thailand. Hal ini dilihat dari jenis anggrek tropis yang sama-sama dimiliki oleh kedua negara. Thailand menjadi habitat dari 177 jenis dan 1 125 spesies anggrek tropis yang pada tahun 1965 mampu memberikan kontribusi dalam ekonomi nasional sebesar 3 juta bath dan meningkat secara mengesankan menjadi 2 500 juta bath pada tahun 2005 atau setara dengan 795 trilyun rupiah. Suatu jumlah yang sangat besar bila dibandingkan dengan kontribusi tanaman hias di Indonesia terhadap PDB yang hanya 4.8 trilyun rupiah pada periode yang sama. Hasil industri kultur jaringannya menempati posisi nomor dua terbesar di pasar dunia untuk bunga setelah Belanda dan kedua terbesar di dunia untuk tanaman setelah Taiwan3. Salah satu faktor penyebab menurunnya eskpor anggrek Indonesia adalah produksi. Pada tahun 2008 sampai 2011, produksi, luas panen, dan produktivitas anggrek Indonesia mengalami fluktuasi serta kecenderungan yang menurun (Tabel 5). Menurut Zamroni (2000), produktivitas merupakan salah satu indikator daya saing dilihat dari keunggulan komparatifnya. Kemampuan anggrek Indonesia untuk bersaing di pasar dunia akan menurun, jika produktivitas, efisiensi usahatani serta kualitas anggrek Indonesia tidak segera ditingkatkan. Tabel 5 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Anggrek di Indonesia Tahun 2008-2011 Tahun
Produksi (tangkai)
% Pertum buhan
2008 15 430 040 2009 16 205 949 2.5 2010 14 050 445 -7.1 2011 15 490 256 4.9 2012* 20 714 137 14.4 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 Ket: *) angka sementara
Luas Panen (m2) 1 320 679 1 308 199 1 391 206 1 209 938 1 096 099
% Pertum buhan
Produktivitas (tangkai/m2)
% Pertum buhan
-0.5 3.1 -7.0 -4.9
11.59 12.39 7.68 7.96 12.84
3.5 -23.5 1.8 23.5
Selain itu, posisi daya saing anggrek Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan yang telah diterapkan pemerintah. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan. 3
Wediyanto, Agus. 2008. Thailand: Negara Produsen anggrek Terkemuka. Thailand Orchid Garden pada Royal Flora Rachapruek 2006. http://aguswediyanto.wordpress.com.
5 Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan4. Kebijakan lain yang juga sudah diterapkan oleh Pemerintah adalah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp3 000 pada tahun 2013. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor 07 PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu5. Ketiga kebijakan ini akan mempengaruhi pendapatan usahatani anggrek baik dari sisi biaya input, output, dan transportasi yang akhirnya akan berdampak pada daya saing anggrek Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang daya saing serta dampak dari kebijakan-kebijakan yang pemerintah terapkan terhadap anggrek Indonesia saat ini penting untuk diteliti.
Perumusan Masalah Kota Tangerang Selatan merupakan penghasil anggrek jenis Vanda doughlas terbesar di wilayah Jabodetabek. Menurut Ditjenhorti (2013), Sentra Pengutuhan (pengembangan komoditas bernilai tinggi) anggrek di Provinsi Banten terletak di Kota Tangerang Selatan. Lahan perkebunan untuk pengembangan budidaya anggrek di Kota Tangerang Selatan tersebar di 5 Kecamatan: Ciputat, Serpong, Setu, Pondok Aren, Pamulang (Tabel 6). Kecamatan Pamulang merupakan kecamatan penghasil anggrek terbesar di Kota Tangerang Selatan dengan jenis Vanda doughlas dan memiliki produktivitas sebesar 54.53 kg/m2/tahun. Tabel 6
Produksi dan Harga Jual Petani Anggrek per Kecamatan di Kota Tangerang Selatan pada Triwulan IV (Oktober-Desember) Tahun 2012
Kecamatan Ciputat Serpong Setu Pondok Aren Pamulang
3 975
Dendrobium
Harga Jual Petani (Rp/Kg) 15 000
125 936
Dendrobium
17 000
44 000
NA
NA
1 500
NA
NA
Produksi (Kg)
1 250 000
Jenis Anggrek
Vanda doughlas
50 000 – 100 000
Sumber : Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan 2013 Ket: NA=data tidak tersedia 4
5
Suwarta. 2012. Peraturan pajak: 32 Peraturan Menteri Keuangan. http://www.wartapajak.com/index.php. Ariyanti, Fiki dan Eko, Pebriyanto. 2013. Premium Rp 6.500, Solar Rp 5.500 Mulai Sabtu Pukul 00.00. http://bisnis.liputan6.com/read/619242.
6 Anggrek jenis Vanda doughlas yang dihasilkan Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan dibandingkan daerah lain di Jawa dan Sumatera yaitu kelopak bunga yang lebih tebal serta lebih tahan lama disimpan. Kota Tangerang Selatan juga menjadi pemasok anggrek Vanda doughlas terbesar di pasar bunga Rawa Belong Jakarta. Keunggulan anggrek Vanda doughlas dan prospek usaha pengembangan anggrek di Kota Tangerang Selatan diharapkan mampu memberikan dampak positif baik bagi pembangunan daerah maupun pembangunan ekonomi daerah. Saat ini, pengembangan agribisnis anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mulai mengarah ke pasar internasional. Menurut Sobari (2011), Kepala Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Tangerang Selatan, anggrek Tangerang Selatan sudah menembus pasar Singapura dan Malaysia khususnya untuk jenis Golden shower dan Vanda doughlas namun sifatnya belum kontinu6. Salah satu faktor kontinuitas adalah efisiensi produksi. Rata-rata pertumbuhan produksi Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan sejak tahun 2010-2012 adalah 4.12 persen (Tabel 7). Nilai ini menunjukkan bahwa Vanda Doughlas Kota Tangerang Selatan memiliki potensi sebagai komoditas promosi ekspor. Tabel 7 Produksi dan Pertumbuhan Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012 Tahun 2010 2011 2012
Produksi (ikat)
Pertumbuhan (%) 13 385 11 293 15 828
Rata-rata
-8.48 16.72 4.12
Sumber: UPT Rawa Belong Jakarta 2013
Pembangunan dan pengembangan agribisnis anggrek Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan tidak terlepas dari peran dan kebijakan pemerintah baik daerah maupun pusat. Beberapa upaya dan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan di antaranya melakukan penguatan citra Vanda doughlas dengan menjadikan jenis anggrek tersebut sebagai icon Kota Tangerang Selatan. Peningkatkan produktivitas dengan pembuatan cluster dari titik-titik wilayah yang sudah ada yaitu Kelurahan Pondok Benda dan Benda Baru di Kecamatan Pamulang. Program pembuatan area pertanian terpadu di Ruang Terbuka Hijau Bumi Serpong Damai (RTH BSD) sektor 12 seluas 10.3 hektar pada tahun 2014. Serta program pendaftaran varietas Vanda doughlas (Genta Bandung) Kota Tangerang Selatan menjadi varietas nasional. Sampai saat ini belum ada kebijakan Pemerintah langsung yang digunakan untuk memproteksi output anggrek jenis Vanda doughlas. Namun, kebijakan seperti subsidi BBM secara tidak langsung sudah membantu mengurangi biaya transportasi untuk usaha komoditas ini baik dari segi usahatani maupun pemasarannya. Sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan usahatani Vanda doughlas. 6
Laksono Hari W. 2011. Anggrek akan jadi icon Tangsel. Kompas.com
7 Selain itu, Pemerintah pusat juga sudah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan. Kedua Kebijakan Pemerintah ini dapat menyebabkan harga pupuk dan obat-obatan ditingkat petani termasuk petani Vanda doughlas menjadi lebih tinggi. Akibatnya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani Vanda doughlas meningkat. Oleh karena itu, subsidi ini bisa menurunkan efisiensi produksi dan pendapatan usahatani Vanda doughlas. Menurut Coelli et al. (2005), esensi dari daya saing suatu komoditas yaitu efisiensi dan produktivitas. Salah satu sumber pertumbuhan produktivitas suatu komoditas adalah efisiensi teknis. Sehingga, kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan efisiensi produksi, begitu pula sebaliknya. Jika efisiensi produksi Vanda doughlas menurun, daya saing dari komoditas tersebut juga akan menurun karena keunggulan komparatifnya rendah. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usaha Vanda doughlas dengan terlebih dahulu menganalisis efisiensi produksi di dalam budget usahataninya. Saat ini, usahatani anggrek Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan menghadapi masalah penurunan luas tanam. Luas tanam anggrek di Kota Tangerang Selatan menurun dari 101 000 m2 pada tahun 2012 menjadi 91 700 m2 pada tahun 2013 (Dinas Pertanian Tangerang Selatan 2013). Hal ini disebabkan oleh pembangunan properti yang semakin tinggi di Kota Tangerang Selatan. Penurunan luas tanam akan mengakibatkan jumlah produksi turun, sehingga pendapatan usahatani petani anggrek Vanda doughlas juga ikut menurun. Selain itu, petani anggrek Vanda doughlas juga menghadapi masalah kenaikan harga input khususnya obat-obatan (antracol, rizotin, dursban) dan pupuk anorganik (atonik) setiap tahun. Adanya kenaikan harga input akan menambah biaya input petani dan akhirnya mengurangi efisiensi produksi. Sementara itu, harga output anggrek Vanda doughlas masih bergantung pada kondisi cuaca dan hari raya. Harga anggrek Vanda doughlas di tingkat petani yang cenderung berfluktuatif yaitu Rp50 000 – Rp100 000 per ikat (100 batang) masih membuat permintaan anggrek tetap tinggi. Namun pemasok anggrek Vanda doughlas ke pasar di wilayah Jabodetabek tidak hanya berasal dari Tangerang Selatan saja. Kabupaten Bogor, tepatnya Kecamatan Gunung Sindur juga memasok anggrek Vanda doughlas ke pasar yang sama. Selain memiliki pesaing di Jabodetabek, Vanda doughlas Tangerang Selatan juga memiliki pesaing yang berasal dari wilayah Semarang. Namun, Semarang tidak memasok Vanda doughlas untuk pasar di wilayah Jabodetabek. Adanya pesaing yang memasok Vanda doughlas di pasar yang sama yaitu wilayah Jabodetabek berpotensi menyebabkan penjualan Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan turun. Hal ini akan terjadi jika kualitas anggrek Vanda doughlas Tangerang Selatan cenderung menurun dibandingkan dengan kualitas pesaingnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki daya saing?
8 2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan? 3. Bagaimana pengaruh perubahan peningkatan harga input serta peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing anggrek di Kota Tangerang Selatan?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis daya saing anggrek Vanda doughlas. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas. 3. Menganalisis pengaruh perubahan peningkatan harga input serta peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas.
Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Pihak Pemerintah, sebagai bahan masukan serta evaluasi bagi penetapan arah dan prioritas kebijakan pembangunan daya saing anggrek Vanda doughlas sebagai icon dan komoditas unggulan di Kota Tangerang Selatan. 2. Penulis, sebagai pengalaman dan wawasan baru yang berharga guna mengembangkan analisis daya saing komoditas agribisnis. 3. Pihak akademis dan pembaca, sebagai informasi dan bahan referensi, baik untuk penelitian selanjutnya maupun bahan bacaan penambah wawasan.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis usahatani Vanda doughlas selama umur ekonomi (3 tahun) serta analisis daya saing pada output Vanda doughlas dalam bentuk bunga segar dengan satuan rupiah per ikat (100 batang). Vanda doughlas yang digunakan merupakan komoditas promosi ekspor. Tingkat daya saing yang diukur adalah keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan terhadap daya saing Vanda doughlas. Kebijakan Pemerintah yang digunakan merupakan kebijakan nasional terkait komoditas Vanda doughlas yang diterapkan di Kota Tangerang Selatan yaitu bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen untuk input produksi yang tradable serta subsidi BBM Rp3 000 per liter (premium) untuk biaya transportasi input dan output.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA Bisnis Anggrek Indonesia Anggrek dapat dipasarkan dalam bentuk kompot (Community pot), tanaman individu/tanaman remaja, tanaman dewasa dan bunga potong. Selera konsumen terhadap mutu bunga potong anggrek dipengaruhi oleh produsen dan trend luar negeri. Pada saat ini anggrek yang selalu disukai masyarakat adalah jenis Dendrobium (34 persen), diikuti oleh Oncidium Golden Shower (26 persen), Cattleya (20 persen) dan Vanda (17 persen) serta anggrek lainnya (3 persen). Pemilihan warna bunga anggrek yang dikonsumsi banyak dipengaruhi oleh maksud penggunaannya. Pada hari Natal warna bunga yang disukai didominasi oleh warna putih; pada hari Imlek disukai warna merah, pink dan ungu; untuk keperluan ulang tahun banyak digunakan warna lembut, seperti putih, pink, ungu, sedangkan untuk menyatakan belasungkawa umumnya digunakan warna kuning dan ungu. Konsumen pasar dalam negeri adalah penggemar dan pecinta anggrek, pedagang keliling, pedagang kios, perhotelan, perkantoran, gedung-gedung pertemuan, pengusaha pertamanan, toko bunga/florist dan dekorator. Jenis-jenis anggrek yang banyak diminta pasar adalah Vanda douglas, Dendrobium, Oncidium dan Golden shower. Permintaan anggrek dalam negeri, selain dipenuhi oleh produksi dalam negeri juga dipasok dari produk impor untuk jenis-jenis tertentu, seperti Phalaenopsis, Dendrobium dan Cymbidium. Dalam perdagangan internasional tidak terdapat aturan baku mengenai standar mutu. Standar mutu lebih ditentukan oleh importir dari negara tujuan ekspor. Negara-negara tujuan ekspor memberikan syarat harus bebas dari Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) baik berupa hama, penyakit, maupun gulma. Importir menghendaki standar mutu/grade tertentu yang lebih dikaitkan dengan harga. Industri hulu perbenihan dilakukan hanya di pusat agribisnis anggrek DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawasi Selatan. Produk industri anggrek adalah bunga segar, sementara itu industri hilir kurang berkembang. Packing untuk ekspor hingga saat ini masih dilakukan oleh eksportir. Industri yang dikembangkan adalah anggrek bunga potong dan tanaman pot berbunga. Industri anggrek di Indonesia mempunyai berbagai skala usaha yaitu (1) Usaha Kecil Menengah (UKM) anggrek potong dengan luas lahan 1 000 – 2 500 m2 diperkirakan dapat menghasilkan 10 000 – 25 000 tangkai bunga; (2) usaha anggrek potong skala besar, dengan luas lahan 3 000 m2 hingga lebih dari 1 hektar, dapat menghasilkan bunga antara 30 000 sampai 100 000 tangkai; (3) usaha tanaman pot berbunga kecil menengah, dengan luas lahan 1 000 – 2 500 m2. Dalam upaya menarik investasi untuk pengembangan anggrek, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan, antara lain: rangkaian modal investasi, proteksi bea masuk, insentif ekspor, peniadaan pungutan, kemudahan perijinan termasuk CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), keringanan pajak, kemudahan kargo dan transportasi udara, penyediaan pendingin di bandara, kemudahan ekspor, pembebasan bea masuk
10 untuk alat dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pengembangan agribisnis anggrek serta membangun sistem kemitraan. Penelitian ini menspesifikkan jenis anggrek yang diteliti yaitu Anggrek Terestrial khususnya jenis Vanda douglas. Penemu hasil persilangan Vanda doughlas adalah Miss Joaquim yang merupakan seorang ahli botani yang tinggal di Singapura pada tahun 1898 (Dinas Pertanian Tangerang Selatan 2013). Daya Saing Anggrek Indonesia Studi tentang daya saing terhadap anggrek Indonesia belum banyak dilakukan. Namun, studi daya saing komoditas lain selain anggrek sudah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, penelitian tentang aspek daya saing anggrek sudah dilakukan oleh Kartikasari (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara. Metode yang digunakan untuk menganalisis hal ini dengan menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage). Selain itu, dengan menggunakan gravity model, aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan dipengaruhi oleh faktor waktu tempuh, pendapatan per kapita, populasi, harga anggrek Indonesia dan nilai tukar. Sementara itu faktor harga anggrek di negara tujuan tidak berpengaruh terhadap model aliran perdagangan. Sehingga daya saing tanaman hias Indonesia khususnya anggrek di dunia menjadi rendah. Sedangkan penelitian daya saing untuk komoditas lain diantaranya sudah dilakukan oleh Fachrodji (2010), Daryanto (2007), Rochman (2011), dan Rodgers (2008). Penelitian tentang aspek daya saing juga sudah banyak terdapat di jurnal internasional. Diantaranya dilakukan oleh oleh Chong, Ooi, Chong, dan Tan (2009), Pitelis (2009), Mobasser et al. (2012), Kapaj et al. (2010), Basavaraj et al. (2013), Feher dan Papp (2002), Neptune dan Jacque (2007). Fachrodji (2010) menggunakan metode analisis RCA dan ANP (Analytic Network Process) untuk melihat produk gondorukem Indonesia dibandingkan negara Cina dan Brazil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gondorukem Indonesia akan cenderung naik pada sepuluh tahun kedepan dengan profit margin yang lebih tinggi yaitu 12.80 persen pada tahun 2009. Sedangkan asil analisis ANP menunjukkan bahwa gondorukem dan industri gondorukem Indonesia memiliki kekuatan bersaing di pasar internasional. Daryanto (2007) menemukan bahwa posisi dayasaing kakao Indonesia masih rendah jika dibandingkan negara-negara produsen kakao lainnya seperti Pantai Gading, Ghana, dan Nigeria. Penelitian ini menggunakan metode analisis RCA, Diamond Porter, dan Analisis Hierarki Proses (AHP). Posisi daya saing ini dinilai dari nilai RCA kakao Indonesia yang lebih rendah dibandingkan yang lain. Selain itu berdasarkan faktor penentu keunggulan Diamond Porter terdapat 6 faktor penentu daya saing kakao Indonesia yaitu ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber permodalan, tingkat konsumsi dalam negeri, industri benih atau pembibitan kakao, intensitas persaingan kakao di dalam negeri, standarisasi mutu, dan trend konsumsi kakao yang terus meningkat. Dari analisis RCA dan
11 analisis faktor-faktor penentu keunggulan diperoleh alternatif-alternatif strategi yang selanjutnya akan ditentukan prioritasnya dengan menggunakan AHP. Rochman (2011) juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji strategi pengembangan nanoteknologi dalam rangka peningkatan daya saing global agroindustri nasional dengan menggunakan kombinasi analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats), AHP (Analytic Hierarchy Process) and ANP (Analytic Network Process) dalam perspektif BOCR (Benefit, Opportunity, Cost, Risk). Kajian dimulai dengan melakukan identifikasi sepuluh agroindustri yang berpotensi menerapkan nanoteknologi dengan menggunakan analisis SWOT. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan posisi daya saing dan prioritas agroindustri nasional yang berpotensi menerapkan nanoteknologi dengan mempertimbangkan variabel-variabel kunci dengan metode SWOT-AHP. Terakhir disusun strategi pengembangan nanoteknologi dalam rangka peningkatan daya saing global agroindustri nasional dengan mempertimbangkan variabelvariabel kunci yang saling mempengaruhi dengan metode SWOT-ANP dalam perspektif BOCR. Chong, Ooi, Chong, dan Tan (2009) menemukan bahwa metode Total Quality Management (TQM) dapat digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif. TQM digunakan untuk membangun model konseptual keunggulan kompetitif. Hasil penelitian tersebut dapat memberikan pengetahuan bagi manajemen atas organisasi dalam meningkatkan kualitas praktek manajemen yang kemudian mencapai keunggulan kompetitif. Pitelis (2009) menemukan bahwa Foreign Direct Investment (FDI) dan Clusters bisa menjadi daya saing sebuah negara khususnya negara berkembang ketika kedua hal tersebut dikombinasikan dan selaras dengan keunggulan kompetitif dan posisi kompetitif yang selektif. Selanjutnya, Rodgers (2008) menggunakan PAM untuk menganalisis efisiensi produksi dan keuntungan penggunaan analisis neraca lahan yang dibandingkan dengan sistem neraca lahan tahunan (petani karet monokultur dan sistem petani karet agroforestry). Analisis PAM dihitung berdasarkan harga privat dan sosial dan nilai NPV (Net Present Value) pada harga privat sebagai indikator insentif produksi dan harga sosial yang menghapus dampak kebijakan pemerintah (pajak, subsidi, dan pungutan lokal lainnya). Penggunaan indikator DRC dan PCR pada PAM dirasa cukup baik. Penelitian Daya Saing yang menggunakan metode PAM juga digunakan oleh Mobasser et al. (2012), Kapaj et al. (2010), Basavaraj et al. (2013), Feher dan Papp (2002), dan Neptune dan Jacque (2007). Mobasser et al. (2012) menemukan bahwa, budidaya rapeseed di wilayah Sistan belum memiliki keunggulan relatif meskipun hasil produksinya meningkat. Biaya penurunan produksi dan peningkatan metode usahatani merupakan faktor yang efektif untuk meningkatkan keuntungan usahatani rapeseed di wilayah Sistan. Kapaj et al. (2010) menemukan bahwa produksi olive oil di Albania menguntungkan bagi produsen. Nilai DRC yang diperoleh sebesar 2.2 yang artinya bahwa produksi olive oil di Albania tidak memiliki keunggulan komparatif baik dari sisi produksi, teknologi, dan harga. Hal ini berarti, meskipun produksi olive oil menguntungkan di pasar domestik tetapi tidak bisa bersaing dengan negara lain di Uni Eropa. Basavaraj et al. (2013) menemukan bahwa, usahatani sweet sorghum di wilayah rainfed agro-ecological di Maharastra memiliki daya saing sebagai feedstock untuk produksi ethanol walaupun tidak ada dukungan kebijakan dari
12 pemerintah. Hasil penelitian Feher dan Papp (2002) menunjukkan bahwa produksi dairy, fruits and vegetables, and roast goose di Hungaria memiliki daya saing sosial yang relatif rendah. Pada saat kebijakan proteksi produk agro-food Uni Eropa tinggi, daya saing dari produk olahan makanan Hungaria pada pasar dunia menjadi rendah untuk semua produk. Neptune dan Jacque (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa semua sitem produksi coklat di Trinidad dan Tobago menguntungkan dan memiliki keunggulan komparatif serta keunggulan kompetitif. Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter, TQM, dan Policy Analysis Matrix (PAM). Indeks RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas. Sedangkan Berlian Porter dan TQM dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan PAM dapat digunakan untuk mengukur tiga analisis sekaligus yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Metode RCA dan PAM sama-sama bisa digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (indikator daya saing) suatu komoditas. Namun, kedua metode ini memiliki perbedaan dilihat dari start penelitiannya. Metode RCA dimulai dari pangsa pasar ekspor, sedangkan PAM dimulai dari analisis usahatani. Berdasarkan hasil analisis usahatani di awal metode PAM, apakah memproduksi satu satuan output di dalam negeri yang diperoleh bisa menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan dengan mengimpornya dalam satuan devisa?. Hal ini bisa dilihat dari nilai efisiensi produksi (R/C rasio) yang diperoleh. Penelitian terkait efisiensi produksi dan pendapatan usahatani anggrek jenis Vanda doughlas pernah dilakukan oleh Sagala (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, nilai R/C rasio atas biaya total adalah 1.73. Artinya, setiap satu rupiah biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani anggrek Vanda doughlas akan memberikan penerimaan sebesar Rp1.73. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Vanda doughlas layak untuk dikembangkan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa usahatani anggrek Vanda doughlas efisien secara produksi.
Kebijakan Anggrek Indonesia Studi tentang kebijakan anggrek Indonesia mengenai dampak kebijakan pemerintah belum banyak dilakukan. Namun, studi tentang dampak kebijakan terhadap komoditas lain baik di Indonesia maupun di luar negeri sudah banyak dilakukan. Analisis yang digunakan untuk melihat dampak dari adanya suatu kebijakan terhadap suatu komoditas dapat dianalisis dengan menggunakan matrik analisis kebijakan (PAM). Matriks ini telah banyak digunakan secara luas pada penelitian empiris kebijakan pertanian antara lain studi yang mengungkapkan Pranoto (2011), Najarzadeh et al. (2011), dan Ugochukwu dan Ezedinma (2011). Pranoto (2011) menganalisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung. Dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix),
13 hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung layak untuk dikembangkan. Adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk berproduksi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.89. Berdasarkan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usahatani lada putih lebih peka (sensitif) terhadap penurunan produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output lada putih sebesar 20 persen. Perubahan ini menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif sehingga tidak efisien lagi untuk diproduksi di dalam negeri. Selanjutnya Najarzadeh et al. (2011) meneliti tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap Karpet Persia. Metode PAM digunakan juga dalam penelitian ini untuk menganalisis industri karpet Persia di tiga provinsi. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa ketiga provinsi tersebut memiliki keunggulan komparatif di dalam memproduksi karpet dan potensial untuk bisa mengekspor ke pasar dunia. Indikator keunggulan komparatif tersebut bernilai 0.83, 0.79, dan 0.84. Penelitian lain juga dilakukan oleh Ugochukwu dan Ezedinma (2011) yang meneliti tentang dampak kebijakan intensifikasi terhadap sistem produksi beras di Nigeria bagian wilayah Tenggara. Kebijakan intensifikasi tersebut yaitu upland rice production system, inland rice production system, double rice cropping system. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keuntungan finasial dan sosial yang tinggi dari berbagai teknologi yang diterapkan. Hal ini bisa dilihat dari nilai DRC (Domestic Resorce Cost)<1 dan nilai PCR (Private Cost Ratio)<1. Sehingga, dampak dari penerapan kebijakan intensifikasi pertanian ini mampu meningkatkan produksi beras lokal. Persamaan penelitian penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu dari segi topik yang diangkat yaitu analisis daya saing dan pemilihan metode analisis yang digunakan yaitu Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas pada komoditas anggrek Vanda doughlas. Sedangkan perbedaan penelitian ini yaitu: (1) lingkup lokasi penelitian adalah Kota Tangerang Selatan dimana sentra anggrek Vanda doughlas berada di Kecamatan Pamulang (2) menganalisis efisiensi produksi usahatani dan kelayakan dari usaha Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, (3) sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, (4) responden dalam penelitian ini adalah 30 petani dari 3 kelompok tani yang sedang berusahatani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, dan (5) penelitian ini dilakukan setelah adanya kebijakan pajak bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen pada input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) serta kebjakan subsidi BBM Rp3 000 per liter premium yang mempengaruhi biaya transportasi input dan output anggrek Vanda doughlas.
14
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Daya Saing Faktor penentu komoditas memiliki daya saing jika mampu memproduksi secara efisien. Daya saing suatu komoditas akan tercermin pada harga jual yang rendah di pasar dan mutu yang tinggi. Analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore 1997). Daya saing juga merupakan penentu keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan mengekspor sejumlah barang, jasa, dan faktor produksi untuk ditukarkan dengan impor barang, jasa, dan faktor produksi lain yang hanya dapat diproduksi dengan cara yang kurang efisien atau tidak diproduksi sama sekali. Dengan demikian akan berkembang hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan menjadi penting. Secara lebih jelas aliran perdagangan internasional terdapat pada Gambar 1. P
PP
P3 P2 P1
A” Ekspor
B*
E
B
A*
A X
Sb A’
S
Sa
Da 0
P
E*
B’ D
E’ Impor
Db
X
0 0 Pasar Dunia Pasar Negara A Pasar Negara B Gambar 1. Aliran Perdagangan Internasional
Sumber: Salvator 1997
X
15 Keterangan: P2 :Harga keseimbangan di pasar dunia P3 :Harga keseimbangan di negara B sebelum berdagang P1 :Harga keseimbangan di negara A sebelum berdagang Da :Permintaan domestik negara A Sa :Penawaran domestik negara A D :Permintaan di pasar dunia S :Penawaran di pasar dunia Sb :Permintaan domestik negara B Db :Penawaran domestik negara B
Menurut Porter (1990), konsep daya saing (competitiveness) sebagai suatu kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan tingkat kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditas tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Oleh karena itu, konsep daya saing masih terus mengalami perkembangan. Implikasi dari pengertian daya saing adalah efisiensi produksi, efisiensi pemasaran, dan kemampuan memasok produk sesuai yang diinginkan konsumen yang pada akhirnya akan menghasilkan produk yang relatif murah dengan kualitas baik. Dalam jangka panjang, keunggulan kompetitif harus didukung dengan keunggulan komparatif (efisiensi produksi), sehingga daya saing komoditi atau produk tersebut relatif stabil, dinamis, dan kontinu sesuai dengan keinginan konsumen (Asmarantaka 2011) Konsep Keunggulan Komparatif Daya saing suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumber daya yang terbuka (Krugman dan Obstfeld 2004). Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana barang tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efesien. Kelemahan teori ini adalah Ricardo tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing negara tersebut memiliki perbedaan dalam keunggulan cost comparative advantage atau production comparative advantage. Teori Ricardo tentang keunggulan komparatif kemudian disempurnakan lebih modern oleh Heckscher Ohlin yang didasari oleh kepemilikan faktor produksi serta dampak perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan (Oktaviani 2009). Menurut teori H-O bahwa perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau
16 proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara. Adanya perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan tejadinya perdagangan internasional. Negara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak atau murah cenderung akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor produknya. Sebaliknya mengimpor barang yang memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal. Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktorfaktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memilki keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Konsep Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur daya saing suatu kegiatan berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator 1997). Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter (1991), keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Selain itu, keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada korelasi langsung antara dua faktor produksi seperti sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya yang murah. Porter menyatakan bahwa disamping faktor produksi, peran pemerintah juga sangat penting dalam peningkatan daya saing. Secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun internasional pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing untuk memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar saat ini. Oleh karena
17 itu, untuk mengantisipasi keadaan pasar tersebut, usaha komoditas pertanian harus lebih berorientasi kepada keinginan konsumen atau lebih berwawasan menjual. Konsep Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe alternatif kebijakan yang dilaksanakan pemerintah terdapat pada Tabel 8. Tabel 8 Tipe alternatif Kebijakan Pemerintah Instrument Kebijakan Subsidi a.
Dampak Pada Produsen Subsidi Kepada Produsen
Dampak Pada Konsumen Subsidi Kepada Konsumen a. Pada barang impor (S+CI ; S-CI) b. Pada barang ekspor (S+CE ; S-CE) Hambatan pada barangbarang ekspor (TPE)
Tidak merubah harga a. Pada barang impor (S+PI ; pasar dalam negeri S-PI) b. Merubah harga pasar b. Pada barang ekspor (S+PE dalam negeri ; S-PE) Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang-barang (merubah harga pasar dalam impor (TPI) negeri) Sumber: Monke dan Pearson 1989 Keterangan : S+ : Subsidi S: Pajak PE : Produsen untuk barang ekspor PI : Produsen untuk barang impor CE : Konsumen untuk barang ekspor CI : Konsumen untuk barang impor TPE : Hambatan kepada produsen untuk barang ekspor TPI : Hambatan kepada produsen barang impor Penjelasan dari delapan alternatif kebijakan akan dibagi menjadi dua bagian yang besar, yaitu kebijakan pemerintah dalam subsidi (poin a sampai poin f), dan intervensi pemerintah yaitu hambatan perdagangan (poin g sampai poin h). a. Subsidi positif kepada produsen barang impor (S + PI) b. Subsidi positif kepada produsen barang ekspor (S + PE) c. Pajak negatif kepada produsen barang impor (S – PI) d. Pajak negatif kepada produsen barang ekspor (S – PE) e. Subsidi positif kepada konsumen barang impor (S + CI) f. Subsidi negatif kepada konsumen barang impor (S – CI) g. Subsidi positif kepada konsumen barang ekspor (S + CE) h. Pajak negatif kepada konsumen barang ekspor (S – CE)
18 Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan Perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Salah satu kebijakan perdagangan adalah kuota yang diterapkan dengan tujuan agar produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional yang disebabkan oleh harga di pasar internasional yang tinggi, sehingga berdampak merugikan konsumen dalam negeri karena ketersediaan barang di dalam negeri berkurang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas yang tradable maupun yang non tradable sedangkan kebijakan perdagangan yang hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable). Kebijakan Output Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Dampak dari subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2 Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor Sumber : Monke dan Pearson 1989 Keterangan : Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S + PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S + CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor
19 Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima oleh produsen domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Harga yang diterima konsumen akan tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi ini akan menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pp – Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp – Pw) atau PpABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Dengan adanya subsidi tersebut, maka akan terjadi kehilangan efisiensi sebesar CAB. Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH. Gambar 1(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw–Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4 karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwAPd. Dengan demikian akan terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2-Q1), sehingga terjadi inefisiensi ekonomi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat peningkatan konsumsi adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefisiensi sebesar EGH. Dengan demikian total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH. Gambar 3(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost sebesar Pw x (Q2 –Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2, dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan non tradable. Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun negatif (pajak) sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input tradable karena input domestik hanya diterapkan pada komoditas yang doproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.
20 a.
Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable terdapat pada Gambar 3.
Gambar 3 Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Sumber : Monke dan Pearson 1989
Gambar 3(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran (supply) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1. Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah setelah meningkatnya output dengan peningkatan nilai output. b. Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan pajak dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Domestik Sumber : Monke dan Pearson 1989 Keterangan : Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi
21 Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga yang diterima produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BCA dan dari konsumen hilang sebesar DBA. Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Subsidi akan menyebabkan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Harga yang diterima produsen akan naik menjadi Pp sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akan turun menjadi Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen adalah sebesar ACB dan dari konsumen adalah sebesar ABE. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya biaya produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. Policy Analysis Matrix (PAM) Menurut Monke dan Pearson (1989), PAM (Policy Analysis Matrix) adalah alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas yaitu aktivitas usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak kebijakan pemerintah. Asumsi yang digunakan dalam penelitian PAM adalah komoditas yang ditelti merupakan barang tradable serta biaya input komoditas tersebut bisa dibagi ke dalam biaya faktor domestik dan biaya input tradable. PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi atau daya saing dalam keunggulan komparatif. Istilah ekonomi mengacu pada peneimaan dan biaya berdasarkan harga efisien dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan. 2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan.
22 3. Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat dipasarkan ke dalam input faktor domestik dan input tradable. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan (Eksternalitas=0). Selain itu analisis metode PAM juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya : 1. Analisis PAM adalah perhitungan yang dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan output dapat beragam. 2. Analisis dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, berbagai tipe usahatani dan teknologi. Menurut Morrison dan Balcombe (2002), PAM juga memiliki beberapa kelemahan sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan indikator-indikator PAM, yaitu: 1. PAM bekerja pada kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier. 2. Keakuratan data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama kerangka kerja PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Hal ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik. Matrik PAM terdapat pada Tabel 9. Tabel 9 Policy Analysis Matrix (PAM) Uraian
Penerimaan Output
Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan
A E I
Sumber: Pearson et.al. 2005 Keterangan: A : Penerimaan Privat B : Biaya input Tradable Privat C : Biaya input non tradable Privat D : Keuntungan Privat E : Penerimaan Sosial F : Biaya input tradable Sosial
Biaya Input Non Tradable Tradable B C F G J K
Keuntungan D H L
G : Biaya Input non tradable Sosial H : Keuntungan Sosial I : Transfer Output J : Transfer input Tradable K : Transfer Faktor L : Laba Bersih
Harga Bayangan (Social Opportunity Cost) Harga bayangan adalah harga yang akan menghasilkan alokasi sumberdaya terbaik sehingga akan memberikan pendapatan nasional tertinggi (Pearson et al. 2005). Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar akan sangat sulit
23 ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (Gittinger 1986). Alasan penggunaan harga bayangan adalah: 1. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya. 2. Harga yang berlaku di pasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut. Penentuan harga dasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam analisis ekonomi karena tidak mencerminkan biaya imbangan sosial (opportunity cost). Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan sama dengan biaya pasar jika berada pada pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, untuk memperoleh suatu nilai yang mendekati nilai biaya imbangan sosial diperlukan penyesuaian. Penyesuaian menggunakan acuan seperti yang dilakukan Gittinger (1986). Penelitian terhadap pengusahaan komoditas menggunakan CIF (Cost Insurance and Freight) jika output dan input merupakan barang impor. Sedangkan penggunaaan FOB (Free on Board) jika output dan input merupakan barang ekspor. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan harga obat-obatan, pupuk anorganik, dan jumlah produksi terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Menurut Kadariah (1999), analisis sensitivitas dilakukan dengan cara: (1) Mengubah besarnya faktor-faktor yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, (2) Menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil proyek. Analisis sensitivitas mengubah suatu faktor kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah : 1. Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada saat tertentu. 2. Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Analisis sensitivitas dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ke-3. Analisis ini juga dilakukan karena metode sebelumnya yaitu Policy Analysis Matrix hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya tingkat harga yang berlaku untuk input dan output sangat variatif. Oleh karena itu, analisis sensitivitas penting untuk dilakukan.
Kerangka Pemikiran Operasional Sebagai salah satu negara pengekspor anggrek, Indonesia juga memiliki peran yang cukup penting terhadap perdagangan anggrek dunia. Nilai neraca
24 perdagangan anggrek Indonesia yang selalu bernilai positif dari tahun 2008-2012 (Tabel 3) membuat anggrek Indonesia masih berpeluang sebagai komoditas promosi ekspor. Salah satu jenis anggrek Indonesia yang diekspor ke luar negeri adalah jenis Vanda doughlas. Salah satu wilayah penghasil Vanda doughlas di Indonesia adalah Kota Tangerang Selatan. Anggrek jenis Vanda doughlas merupakan komoditas unggulan Kota Tangerang Selatan dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan pesaing. Kota Tangerang Selatan ingin mengembangkan agribisnis anggrek Vanda doughlas dengan menjadikan produk unggulannya tersebut sebagai komoditas promosi ekspor. Beberapa upaya dan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk pembangunan dan pengembangan agribisnis anggrek Vanda doughlas di antaranya adalah melakukan penguatan citra anggrek Vanda doughlas dengan menjadikan anggrek Vanda doughlas sebagai icon Kota Tangerang Selatan, meningkatkan produktivitas dengan pembuatan cluster dengan peningkatan luas lahan pada tahun 2014, dan pendaftaran varietas Vanda doughlas sebagai varietas nasional. Kebijakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk anggrek adalah penetapan bea masuk 5 persen untuk bahan baku pertanian dan PPN 10 persen untuk input produksi serta serta subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium. Disamping memiliki beberapa potensi, anggrek Vanda doughlas yang dihasilkan oleh Kota Tangerang Selatan ternyata juga memiliki beberapa kelemahan yaitu penurunan luas lahan akibat alih fungsi lahan dan adanya peningkatan harga input. Berdasarkan beberapa hambatan yang dipaparkan di bagian permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan serta menganalisis bagaimana dampak kebijakan pemerintah selama ini terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di kota Tangerang Selatan. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah menganalisis apakah anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan berdaya saing?. Analisis usahatani digunakan untuk sebagai awal dari Analisis Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis daya saing. Melalui hasil PAM tersebut dapat diketahui keunggulan komparatif dan kompetitif anggrek Vanda doughlas. Keunggulan kompetitif tercermin dari nilai Keuntungan Privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) sedangkan keunggulan komparatif tercermin dari Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC). Tahap selanjutnya adalah menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Pendekatan yang dilakukan juga menggunakan metode PAM. Dalam analisis tersebut akan diketahui kebijakan yang berkaitan dengan input antara lain Transfer Input (TI), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). Kebijakan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Kebijakan gabungan antara input dan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Bersih (TB), Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsisi Produsen (SRP). Setelah melakukan kedua analisis tersebut, tahap selanjutnya yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena metode PAM hanya memberlakukan satu harga sedangkan harga yang terjadi sebenarnya sangat bervariasi. Penetapan skenario yang dilakukan adalah:
25 1. Harga input obat-obatan meningkat sebesar 10 persen. Skenario peningkatan harga obat-obatan didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar obat-obatan yang digunakan oleh petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan terus mengalami peningkatan harga ratarata 10 persen per tahun. 2. Harga input pupuk anorganik meningkat sebesar 10 persen. Skenario peningkatan harga pupuk anorganik didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar pupuk anorganik yang digunakan oleh petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan terus mengalami peningkatan harga ratarata 10 persen per tahun. 3. Peningkatan produksi anggrek akibat penambahan luas areal lahan sebesar 10 persen. Adapun skenario peningkatan produksi adalah skenario yang mungkin terjadi ketika terjadi peningkatan luas lahan pertanian anggrek Vanda doughlas. Asumsi ini didasarkan pada program Dinas Pertanian Tangerang Selatan yang berencana memperluas lahan pertanian Vanda doughlas sebesar 10.3 hektar pada tahun 2014. Jika program ini terealisasikan, luas areal lahan akan meningkat sebesar 52.90 persen. Hal ini akan berdampak pada peningkatan produksi sebesar 10 persen setiap tahunnya (estimasi). 4. Penurunan produksi anggrek akibat penurunan luas areal lahan sebesar 10 persen. Skenario penurunan produksi didasarkan pada fakta bahwa produksi anggrek Vanda doughlas Tangerang Selatan mengalami penurunan produksi akibat penurunan luas lahan sebesar 4.83 persen pada tahun 2013. Hal ini akan berdampak pada penurunan produksi sebesar 10 persen setiap tahunnya (estimasi). Asumsi penetapan angka 10 persen digunakan berdasarkan penelitian Puspitasari (2011) dan Aliyatillah (2009). Skema kerangka pemikiran operasional dalam penelitian terdapat Gambar 5.
26
Neraca perdagangan anggrek Indonesia positif Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu sentra produksi anggrek Vanda doughlas di Indonesia
Potensi: 1. Tangerang Selatan penghasil anggrek terbesar di Jabodetabek. 2. Anggrek Vanda doughlas lebih bagus dibandingkan daerah lain dari segi kuntum bunga yang lebih tebal dan tidak cepat layu Hambatan: 1. Menurunnya luas areal lahan karena pembangunan properti 2. Peningkatan harga input produksi (obat-obatan dan pupuk anorganik setiap tahun)
Kebijakan Pemerintah Pusat: 1. Bea masuk 5% dan PPN 10% untuk pupuk anorganik dan obatobatan. 2. Subsidi BBM Rp3 000 per liter Kebijakan Pemerintah Daerah: 1. Menjadikan anggrek Vanda doughlas sebagai icon kota 2. Pendaftaran varietas Vanda doughlas asal Tangerang Selatan 3. Program peningkatan luas lahan Vanda doughlas tahun 2014
PAM (Policy Analysis Matriks)
Analisis Dayasaing Analisis Keunggulan Kompetitif (PP, PCR)
Analisis Keunggulan Komparatif (SP, DRC)
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Analisis Kebijakan Input (TI, TF, NPCI)
Analisis Kebijakan Output(TO, NPCO)
Analisis Kebijakan InputOutput (TB, EPC,PC,SRP)
Analisis Sensitivitas terhadap harga input dan produksi Saran Rekomendasi Kebijakan Gambar 6 Alur Kerangka Pemikiran Operasional
27
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Pemilihan ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang berpotensi dalam pengembangan agribisnis anggrek khususnya jenis Vanda doughlas. Proses pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2013.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode wawancara langsung, dan observasi lapang. Sumber data primer terdiri dari beberapa responden yang relevan memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik RI, Kementrian Pertanian, Dinas Kota Tangerang Selatan, Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan, kelompok tani anggrek di Kota Tangerang Selatan, Pasar Bunga Rawa Belong Jakarta, dan Perpustakaan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, serta informasi-informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari buku-buku literatur, media massa, maupun media elektronik. Adapun data yang diperlukan antara lain adalah data produksi anggrek Vanda doughlas, struktur biaya produksi dan pendapatan, harga yang berlaku di pasar domestik dan internasional, kurs rupiah, transportasi, serta data penting lainnya.
Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan terhadap petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan lembaga penunjang. Petani responden bersifat homogen yang dilihat dari luas areal, proses budidaya, biaya usahatani dan teknologi yang digunakan relatif sama, sehingga pengambilan sampel terhadap petani dalam penelitian ini menggunakan metode purposive. Tujuh kelompok tani Vanda Doughlas yang terdapat di kecamatan Pamulang dan tersebar di 2 Desa yaitu Kelurahan Pondok Benda dan Benda Baru. Jumlah petani yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang. Pengambilan sampel petani responden berasal dari 3 kelompok tani, 2 kelompok tani di Kelurahan Pondok Benda dan 1 kelompok tani di Kelurahan Benda Baru. Tiga kelompok tani yang diambil sebagai sampel adalah kelompok tani Parakan Jaya sebanyak 9 responden, Parakan Asri sebanyak 10 responden, dan Bulak Hijau sebanyak 11 responden, dengan total sampel yang diambil sebanyak 30 orang. Asumsi penentuan ketiga kelompok tani tersebut berdasarkan luas lahan terbesar. Berikut adalah daftar 7 kelompok tani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan (Tabel 10).
28 Tabel 10 Tujuh Kelompok Tani Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. No Nama Kelompok Tani Kelurahan Pondok Benda 1 Parakan Jaya 2 Parakan Asri 3 Bulak Makmur 4 Berdikari Kelurahan Benda Baru 5 Bulak Hijau 6 Bulak Jaya Jumlah
Luas Lahan (m2)
Jumlah Anggota
23 700 14 400 14 250 16 300
17 16 16 11
17 250 15 100 101 000
12 14 86
Sumber: Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan 2013
Penentuan sampel terhadap pedagang pengumpul dan pedagang besar juga ditentukan secara purposive. Pedagang pengumpul yang dipilih berdasarkan informasi dari responden diwawancara. Pedagang besar yang dipilih menjadi sampel adalah pedagang bunga terbesar di pasar bunga rawa belong. Selanjutnya, pengambilan sampel terhadap lembaga penunjang pada sistem komoditas anggrek di Kota Tangerang Selatan juga dilakukan secara purposive. Lembaga penunjang yang dipilih adalah Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan. Adapun pemilihan tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan merupakan lembaga yang mewadahi para petani anggrek di Kota Tangerang Selatan serta mampu berperan strategis dalam mendukung perkembangan agribisnis anggrek di Kota Tangerang Selatan. Penentuan jumlah sampel dan teknik pengambilan data dalam penelitian ini didasarkan pada Pearson et al. (2005) yang menyatakan bahwa budget data untuk PAM bisa diambil dari contoh yang tidak terlalu besar, baik terhadap petani, pedagang, pelaku usaha maupun pengolahan.
Metode Analisis Data Data primer dan sekunder yang diperoleh diolah untuk diinterpretasikan sehingga diperoleh hasil penelitian yang diinginkan. Pengolahan serta analisis data primer dan sekunder ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil pengolahan data digunakan untuk menganalisis daya saing usaha anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini meliputi analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas anggrek Vanda doughlas. Analisis daya saing terdiri dari analisis keunggulan komparatif dan kompetitif. Keduanya menggunakan metode PAM yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1989). Pemilihan metode PAM didasari oleh pertimbangan bahwa analisis PAM juga dapat mengidentifikasi keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif sebagai indikator dalam menentukan tingkat daya saing komoditas sehingga tidak perlu melakukan dua kali penghitungan dan juga bisa menghitung dampak kebijakan
29 pemerintah. Asumsi utama dalam metode PAM adalah komoditas yang diteliti merupakan barang tradable serta biaya input yang digunakan bisa dibagi menjadi biaya faktor domestik dan biaya input tradable. Vanda doughlas merupakan komoditas tradable karena merupakan barang yang diekspor. Adapun tahapan dalam penyusunan tabel PAM adalah sebagai berikut : 1. Penentuan komponen fisik untuk faktor input dan output secara lengkap dari aktifitas ekonomi usahatani komoditas anggrek Vanda doughlas 2. Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan komponen asing. 3. Penentuan harga privat (privat) dan penafsiran harga bayangan (ekonomi) input-output 4. Tabulasi dan analisis indikator-indikator yang dihasilkan tabel PAM. Analisis dampak kebijakan pemerintah juga menggunakan metode PAM. Pertanyaan penelitian yang ke-3 yaitu mengenai pengaruh peningkatan harga input produksi (obat-obatan dan pupuk anorganik serta peningkatan dan penurunan produksi dijawab dengan menggunakan analisis sensitivitas. Penentuan Faktor Input-Output Dalam penelitian ini, input yang digunakan adalah lahan, bibit, pupuk organik dan anorganik, obat-obatan, peralatan, tenaga kerja, dan modal investasi dan modal kerja. Sedangkan yang dimaksud dengan output adalah bunga anggrek Vanda doughlas segar. Penentuan Komponen Biaya Domestik dan Asing Penentuan komponen biaya domestik dan asing, menurut Monke dan Pearson (1989), terdapat dua pendekatan dalam mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya domestik dan asing, yaitu Pendekatan Langsung (Direct Approact) dan Pendekatan Total (Total Approach). Pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi produksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya kedalam komponen biaya input tradable dan non tradable (faktor domestik). Penentuan Harga Privat dan Penaksiran Harga Bayangan Output-Input Kedua faktor output-input, baik yang merupakan komponen asing dan domestik kemudian dicari dalam bentuk harga privat dan harga bayangan. Gittinger (1986) mendefinisikan harga bayangan sebagai harga yang akan terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar dalam keadaaan bersaing sempurna. Sedangkan Squire Van der Tak dalam Gittinger (1986) mendefinisikan harga bayangan sebagai harga yang menggambarkan peningkatan kesejahteraan dengan
30 adanya perubahan marjinal dalam persediaan komoditas dan faktor produksi. Penggunaan harga privat (harga pasar) dalam melakukan analisis ekonomi seringkali tidak menggambarkan opportunity cost-nya. Oleh karena itu, setiap input dan output yang digunakan dalam analisis ekonomi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat harga sosial atau harga bayangan. Alasan penggunaan harga sosial atau harga bayangan dalam menganalisis ekonomi adalah harga yang berlaku di masyarakat tidak mencerminkan apa yang diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari suatu aktivitas. Selain itu, harga pasar juga tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah pilihan sumberdaya digunakan dalam aktivitas tertentu, tetapi tidak digunakan pada aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat. Harga Bayangan Output Pendekatan untuk harga bayangan output anggrek Vanda doughlas ditentukan berdasarkan harga perbatasan (border price) yaitu harga FOB (Free on Board) karena komoditas anggrek dalam penelitian ini merupakan komoditas yang berorientasi untuk kegiatan ekspor. Harga FOB adalah harga ekspor di negara pengekspor. Pendekatan harga bayangan output di tingkat produsen untuk orientasi pasar ekspor menggunakan export parity price (Pearce and Nash 1981) yaitu dengan mengakalikan harga FOB anggrek dalam US dollar per kilogram dengan nilai tukar (Rp/US$), kemudian mengurangkan harga FOB dalam rupiah per kilogram dengan biaya transportasi yang sudah dikurangi subsidi BBM, penanganan pengemasan, kemudian mengkonversi harga output Vanda doughlas ke dalam rupiah per ikat (1 ikat = 3 kilogram), kemudian mengurangi harga output dengan biaya jasa karantina (pemeriksaan, laboratorium, dokumen) dan biaya perijinan CITES, sehingga diperoleh harga paritas ekspor di tingkat petani dalam satuan rupiah per ikat. Informasi data diperoleh dari BPS, dan literatur terkait. Harga Bayangan Input Input anggrek Vanda doughlas terdiri dari lahan, bibit, pupuk organik (kandang) dan anorganik (atonik), obat-obatan (antracol, rizotin, dursban), peralatan (cangkul, gunting, parang, golok, pisau, power sprayer, selang air, pompa air, ember, pengki, tali rafia, paku, bambu, sabut kelapa), tenaga kerja, dan modal. Penentuan harga bayangan pupuk anorganik dan obat-obatan sebagai komponen input pada komoditas tradable menggunakan pengaruh kebijakan bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen karena keterbatasan informasi yang sulit diakses peneliti sehingga harga banyangannya diperoleh dari pengurangan harga privat dengan pajak bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen. Sedangkan untuk input non tradable digunakan harga domestik, yang termasuk input tradable adalah pupuk anorganik dan obat-obatan sedangkan bibit, pupuk organik, peralatan, tenaga kerja, dan modal termasuk input non tradable. Harga bayangan untuk bibit, pupuk organik, peralatan, lahan dan modal yang tidak mengandung unsur biaya transportasi yang menggunakan BBM menggunakan harga pasar dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah mengatur langsung. Sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau
31 mendekati persaingan sempurna. Penentuan harga bayangan untuk modal yang mengandung unsur penggunaan BBM yaitu biaya transportasi pengadaan input menggunakan pengaruh subsidi BBM Rp3 000 per liter, sehingga harga bayangannya lebih mahal Rp3 000 per liter dikalikan berapa liter penggunaan BBM jenis premium. Penentuan harga bayangan untuk tenaga kerja sama dengan penentuan harga privatnya. Meskipun ada kebijakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah, hal itu tidak bisa diterapkan di pasar tenaga kerja pertanian konvensional (bukan perkebunan). Jadi kebijakan upah minimum bisa diabaikan dalam analisis PAM (Pearson et al. 2005). Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar Rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Harga bayangan nilai tukar menurut Gittinger (1986) adalah ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: SERt = OERt SCFt dimana: SCFt = Xt + Mt (Xt – TXt) + (Mt + TMt) Keterangan : SERt : (Shadow Exchange Rate) Nilai tukar bayangan tahun t (Rp/$ US) SCFt : (Standart coversion factor) Faktor konversi standar tahun t OERt : (Official Exchange Rate) Nilai tukar resmi Xt : Nilai ekspor Indonesia tahun t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia tahun t (Rp) TMt : Pajak impor dan bea masuk tahun t (Rp) TXt : Pajak ekspor dan bea keluar tahun t (Rp)
Tabulasi dan Analisis PAM Analisis Daya Saing Analisis indikator PAM terdiri dari analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah. Adapun analisis daya saing terdiri dari analisis keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan kompetitif dilihat pada Keuntungan Privat dan nilai Rasio Biaya Privat sedangkan keunggulan komparatif dilihat dari Keuntungan Sosial dan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik. Keunggulan Kompetitif: 1. Keuntungan Privat (KP) KP (D) = A – B – C Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan, dihitung dari harga privat. Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan yang ada. Apabila keuntungan privat lebih besar dari nol (D>0) maka pengusahaan komoditas anggrek Vanda doughlas memperoleh keuntungan di atas normal yang berimplikasi bahwa komoditas anggrek mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih
32 menguntungkan. Begitu juga sebaliknya, jika nilainya kurang dari nol (D<0) maka pengusahaan komoditas tidak layak diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian. Jika keuntungan privat sama dengan nol (D=0) maka untuk jangka pendek usahatani dapat diteruskan, namun tidak dapat dilakukan ekspansi untuk jangka panjang. 2. PCR (Rasio Biaya Privat) PCR = C = Biaya Input Non Tradable Privat A–B Penerimaan Privat – Biaya Input Tradable privat Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input domestik yang diperdagangkan pada harga privat. Nilai PCR menunjukkan berapa banyak produksi komoditas anggrek Vanda doughlas dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestiknya dan tetap dalam kondisi kompetitif. Apabila nilai Rasio Biaya Privat kurang dari satu (PCR<1), maka sistem komoditas tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat. Semakin kecil nilai PCR berarti komoditas tersebut semakin memiliki daya saing (keunggulan kompetitif). Keunggulan Komparatif: 1. Keuntungan Sosial (KS) KS (H)= E – F – G Keuntungan sosial menunjukkan selisih antara seluruh penerimaan dengan biaya yang dihitung dengan harga bayangan yang terjadi. Keuntungan sosial merupakan indikator daya saing (keunggulan komparatif) pada kondisi tidak ada intervensi pemerintah atau distorsi pasar. Jika nilai keuntungan sosial lebih dari nol (H>0) menunjukkan bahwa secara ekonomi kegiatan pengusahaan komoditas anggrek Vanda doughlas telah berjalan secara efisien dan memiliki keunggulan komparatif sehingga layak untuk dilanjutkan. Sebaliknya, jika nilai keuntungan sosial kurang dari nol maka usahatani tersebut tidak mampu berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. 2. DRC (Rasio Biaya Sumberdaya Domestik) DRC = G = Biaya Input Non Tradable Sosial E–F Penerimaan Sosial – Biaya Input Tradable Sosial Rasio biaya sumberdaya domestik menunjukkan rasio biaya yang tidak dapat diperdagangkan pada harga sosial yaitu harga yang tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Nilai DRC ini merupakan indikator kemampuan pengusahaan komoditas anggrek Vanda doughlas membiayai faktor domestik pada harga sosial. Jika rasio biaya sumberdaya domestik kurang dari satu (DRC<1) berarti pengusahaan komoditas anggrek Vanda doughlas makin efisien. Dengan kata lain, komoditas anggrek Vanda doughlas mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi dan mampu bertahan tanpa bantuan atau intervensi pemerintah sehingga lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibandingkan dengan impor (apabila selama ini diimpor atau orientasi perdagangan substitusi impor) ataupun memiliki peluang ekspor yang tinggi. Sebaliknya, jika Rasio Biaya Sumberdaya Domestik lebih besar dari satu (DRC>1) maka sistem produksi tidak memiliki daya saing dari sisi keunggulan komparatif sehingga lebih baik mengimpor komoditas anggrek Vanda doughlas dibandingkan dengan memproduksi sendiri karena tidak efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik.
33 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Hasil PAM dari baris ketiga menunjukkan divergensi, dimana apabila terdapat perbedaan nilai dari baris pertama dan baris kedua mengindikasikan adanya intervensi pemerintah sehingga pasar terdistorsi. Analisis kebijakan ini meliputi kebijakan input, kebijakan output, dan kebijkan input-output. 1. Kebijakan Output a) Transfer Output (TO) TO ( I) = A – E Transfer output adalah selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dan penerimaan berdasarkan harga sosial atau harga bayangan. Nilai TO menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output mengakibatkan harga output privat dan harga output sosial berbeda. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai TO yang positif (TO>1) berarti masyarakat atau konsumen harus membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan, dan produsen menerima harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima sehingga masyarakat dirugikan. Sebaliknya, apabila nilai TO kurang dari satu atau negatif (TO<1) maka yang terjadi adalah masyarakat menerima insentif dari produsen dan produsen yang dirugikan. b) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NPCO = A = Penerimaan Privat E Penerimaan Sosial Koefisien proteksi output nominal adalah rasio antara penerimaan berdasarkan harga privat dan penerimaan berdasarkan harga sosial atau bayangan. NPCO digunakan untuk mengukur dampak insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Jika nilai NPCO lebih kecil dari satu (NPCO<1) berarti menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa subsidi negatif (pajak) dan berakibat terjadinya pengurangan penerimaan produsen. Sementara apabila nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1) maka yang terjadi adalah sebaliknya yaitu produsen menerima subsidi atas output dari pemerintah karena pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga dunia (harga efisiennya). 2. Kebijakan Input a) Transfer Input (TI) TI (J) = B – F Transfer input menunjukkan selisih antara biaya berdasarkan harga privat dan biaya input pada harga sosial atau bayangannya. Nilai TI menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada input tradable misalnya bibit, pupuk, pestisida, fungisida, dan lainnya. Nilai TI yang positif atau lebih dari nol (TI>0) menunjukkan harga sosial input asing lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Dengan kata lain, keuntungan yang diterima lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif (TI<0) menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing sehingga produsen tidak membayar secara penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan. Subsidi yang diberikan pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
34 b) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) NPCI = B = Biaya Input tradable Privat F Biaya Input tradable Sosial Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI lebih besar dari satu (NPCI>1) menunjukkan pemerintah menaikkan harga input asing di pasar domestik di atas harga dunia. Dengan kata lain, adanya proteksi terhadap produsen input, sehingga sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI<1) berarti menunjukkan adanya hambatan ekspor input sehingga produksi menggunakan input lokal. Petani menerima subsidi atas input asing sehingga dapat membeli dengan harga yang lebih murah. c) Transfer Faktor (TF) TF (K) = C – G Transfer faktor adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh produsen untuk pembayaran faktor produksi yang tidak diperdagangkan oleh produsen untuk pembayaran input domestik. Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input domestik/non tradable. Jika nilai TF positif (TF>0) berarti terdapat kebijakan pemerintah dengan pemberian subsidi yang melindungi produsen input non tradable. 3. Kebijakan Input-Output a) Koefisien Proteksi Efektif EPC = A – B = Penerimaan Privat – Biaya Input Tradable Privat E – F Penerimaan Sosial – Biaya Input Tradable Sosial Koefisien proteksi efektif merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi anggrek dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu (EPC>1) menunjukkan tingginya proteksi pemerintah dalam sistem produksi anggrek Vanda doughlas. Dampak kebijakan pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas produksi dalam negeri, misalnya dengan cara menaikkan harga output atau input asing di atas harga efisiennya. Jika nilai EPC kurang dari satu (EPC<1) berarti proteksi pemerintah terhadap pengusahaan komoditas anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan sangat rendah dan tidak berjalan efektif. b) Transfer Bersih (TB) TB (L) = D – H Transfer bersih adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai TB mencerminkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani. TB digunakan untuk melihat ketidakefisienan dalam sistem produksi. Jika nilai TB lebih besar dari nol (TB>0) maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil akan menunjukkan keadaan yang sebaliknya.
35 c) Koefisien Keuntungan (PC) PC = D = Keuntungan Privat H Keuntungan Sosial Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing, dan input domestik (net policy transfer). Jika nilai PC kurang dari satu (PC<1) menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Sebaliknya, nilai PC lebih dari satu (PC>1) berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar karena secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Penurunan tarif impor secara bertahap akan menurunkan PC sedangkan kebijakan efisien pada faktor domestik akan meningkatkan nilai PC. e) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) SRP = L = Transfer Bersih H Keuntungan Sosial Rasio subsidi produsen menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial produsen yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi suatu pengusahaan komoditas. Nilai SRP yang negatif menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. Sebaliknya, nilai SRP yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi. Metode Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan harga obat-obatan, pupuk anorganik, peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing komoditas anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Simulasi kebijakan dilakukan berdasarkan perubahan hargaharga input, dan jumlah output yang berpengaruh terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya harga tersebut sangat variatif. Adapun alasan yang mendasari pemilihan tiga faktor yang masuk dalam analisis sensitivitas adalah faktor pertama yaitu harga obat-obatan dan pupuk anorganik. Menurut responden, harga obatobatan dan pupuk anorganik mengalami rata-rata peningkatan sebesar 10 persen setiap tahun. Selanjutnya, faktor produksi dimasukkan ke dalam asumsi sensitivitas karena terjadi penurunan luas lahan sebesar 4.83 persen pada tahun 2013 dan program perluasan lahan sebesar 52.90 persen pada tahun 2014. Adapun alasan yang mendasari pemilihan seberapa besar faktor tersebut berubah dikemukakan dalam kerangka pemikiran operasional. Adapun skenario perubahan faktor dalam analisis sensitivitas seperti yang tercantum pada kerangka pemikiran sebelumnya adalah harga obat-obatan meningkat sebesar 10 persen, peningkatan
36 harga pupuk anorganik sebesar 10 persen, peningkatan produksi anggrek yang dihasilkan sebesar 10 persen dan penurunan produksi anggrek sebesar 10 persen. Asumsi penggunaan nilai 10 persen pada setiap skenario yang digunakan berdasarkan penelitian Puspitasari (2011) dan Aliyatillah (2009) yang juga menggunakan skenario peningkatan harga input pupuk, peningkatan serta penurunan produksi sebesar 10 persen.
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum, Geografi, dan Iklim Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan sebagai kota termuda terletak di bagian timur Provinsi Banten, sebelah utara berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, sebelah timur berbatasan langsung dengan Povinsi DKI Jakarta dan Kota Depok, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Luas wilayah Kota Tangerang Selatan sebesar 147.19 km2 dengan wilayah terluas adalah Kecamatan Pondok Aren dengan luas 2 988 hektar atau 20.30 persen dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan, sedangkan Kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu sebesar 1 480 hektar atau 10.06 persen (Gambar 6). Luas wilayah Kelurahan/Desa dengan wilayah di atas 400 hektar terletak di Kecamatan Pamulang. Sedangkan Kelurahan atau Desa dengan luas wilayah di bawah 150 hektar terletak di Kecamatan Serpong yaitu, Kelurahan Cilenggang dan Serpong serta di Kecamatan Serpong Utara yaitu Kelurahan Jelupang.
Gambar 6 Peta Kota Tangerang Selatan
37 Keadaan iklim didasarkan pada penelitian di stasiun BMKG Wilayah II Ciputat, yaitu berupa data temperatur (suhu) udara, kelembapan udara dan intensitas matahari, curah hujan dan rata-rata kecepatan angin. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 24.0–34.7 0C, temperatur maksimum tertinggi pada bulan September yaitu 34.7 0C dan temperatur minimum terendah pada bulan Januari, September dan Oktober yaitu 24.0 0C. Rata-rata kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 77 persen dan 54 persen. Keadaan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 186.2 mm, sedangkan rata-rata curah hujan dalam setahun adalah 90.0 mm. Hari hujan tertinggi pada bulan Januari sebanyak 21 hari. Ratarata kecepatan angin dalam setahun adalah 2.2 m/detik. Sektor usaha yang memberikan kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi kota Tangerang Selatan pada tahun 2011 adalah sektor pengangkutan dan jasa. Sedangkan sektor pertanian merupakan sektor usaha yang memberikan kontribusi paling sedikit pada perekonomian Kota Tangerang Selatan pada tahun yang sama. Pengaruh sektor pertanian terhadap perekonomian Kota Tangerang Selatan memang mengalami fluktuasi setiap tahunnya (Tabel 11). Tabel 11 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Tangerang Selatan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009-2011 (%) Lapangan Usaha Sektor Primer Pertanian Pertambangan dan Penggalian Sektor sekunder Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Sektor Tersier Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
2009*) 5.58 5.73 11.51 4.90 2.83 4.35 10.29 10.06 9.,40 13.70 12.04 7.59 8.49
2010*) 9.51 9.60 6.26 6.27 4.44 7.54 9.79 9.67 10.28 13.90 7.80 6.82 8.70
2011**) 3.32 3.11 7.41 6.42 4.54 7.60 9.91 9.87 10.46 13.24 7.87 7.58 8.84
Sumber: Kota Tangerang Selatan dalam Angka 2012 Ket : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
Dari Sektor pertanian, komoditas yang diunggulkan berasal dari anggrek, dan perikanan air tawar. Namun untuk saat ini Pemerintah Daerah lebih memusatkan perhatian kepada komoditas anggrek khususnya jenis Vanda doughlas. Wilayah Sentra usahatani anggrek khusus Vanda doughlas berada di Kecamatan Pamulang atau lebih tepatnya berada di Kelurahan Pondok Benda dan Benda Baru. Kedua Kelurahan tersebutlah yang kemudian menjadi wilayah yang dijadikan lokasi penelitian.
38 Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden yang dianggap penting dalam penelitian ini meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani, luas lahan, keikutsertaan dalam pelatihan/penyuluhan, lembaga pemasaran, dan sumber modal. Karakteristik tersebut dianggap penting karena memengaruhi produktivitas serta efisiensi usahatani anggrek (Vanda doughlas) di lokasi penelitian. Aspek Usia Usia responden mayoritas berada pada kisaran 35-44 tahun sebanyak 9 orang atau sebesar 30 persen dari total responden yang diambil. Sedangkan usia minoritas responden berada pada kisaran 15-24 tahun sebanyak 1 orang atau 3.33 persen. Hasil penelitian pada Tabel 12 menunjukkan bahwa masih minimnya minat kaum muda di Kota Tangerang Selatan untuk menekuni usahatani anggrek terutama Vanda doughlas. Meskipun usahatani anggrek sudah mulai dilakukan turun-temurun sejak tahun 80-an. Tabel 12 Sebaran Responden Berdasarkan Usia Usia (Tahun)
Kel. Parakan Jaya Responden (orang)
15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 Total
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 1 2 2 2 1 1 9
0 0 6 2 2 1 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 0 1 1 3 5 0 11
Total Responden (orang) 1 3 9 7 8 2 30
Usia mayoritas petani Vanda doughlas yang berkisar antara 35-40 tahun tergolong masih usia produktif. Usia produktif akan memengaruhi produktivitas kerja dan juga hasil keuntungan usahatani yang dipeorleh yang akhirnya akan berdampak terhadap komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa usia mayoritas petani Vanda doughlas antara 35-40 tahun berpotensi bisa meningkatkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Pengalaman Usahatani Pengalaman usahatani responden mayoritas berada pada kisaran 0-10 tahun dan 10-20 tahun, masing-masing sebanyak 10 orang atau sebesar 33.33 persen dari total responden yang diambil. Sedangkan pengalaman usahatani responden minoritas berada pada kisaran 30-40 tahun sebanyak 3 orang atau 10 persen. Hasil penelitian pada Tabel 13 menunjukkan bahwa petani yang menanam Vanda doughlas berada pada pengalaman yang cukup lama yaitu 0-20 tahun.
39 Tabel 13 Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Pengalaman (Tahun) 0-10 10-20 20-30 30-40 Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 3 3 3 0 9
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 1 5 3 2 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 6 2 1 1 11
Total Responden Responden (orang) 10 10 7 3 30
Pengalaman usahatani mayoritas petani Vanda doughlas antara 0-20 tahun merupakan kisaran waktu yang kompeten untuk berusahatani Vanda doughlas. Semakin berpengalaman seseorang dalam berusahatani Vanda doughlas, maka semakin tinggi pula kemampuan pengelelolaaan usahatani miliknya. Hal tersebut juga akan mempengaruhi hasil keuntungan usahatani yang dipeoroleh. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengalaman usahatani petani Vanda doughlas antara 0-20 tahun berpotensi bisa meningkatkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden mayoritas lulusan SD (Sekolah Dasar) atau sebesar 33.33 persen dari total responden yang diambil. Sedangkan tingkat pendidikan responden minoritas merupakan tidak tamat SD dan lulusan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) yaitu masing-masing 3 orang atau 10 persen. Hasil penelitian pada Tabel 14 di bawah ini menunjukkan bahwa petani anggrek Vanda doughlas bukan merupakan petani yang memilki tingkat pendidikan yang tinggi. Tabel 14 Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 1 0 4 1 3 9
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 1 1 3 0 6 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 3 2 3 2 0 11
Total Responden Responden (orang) 5 3 10 3 9 30
Tingkat pendidikan memengaruhi keterbukaan petani dalam mengadopsi teknologi dan pengambilan risiko terhadap usahatani Vanda doughlas. Sehingga, pendidikan petani Vanda doughlas yang mayoritas SD mengindikasikan bahwa keterbukaan petani dalam mengadopsi teknologi baru seperti peralihan
40 penggunaan pupuk dan pestisida organik menjadi lebih sulit diterapkan. Penggunaan teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi usahatani akan membantu peningkatan daya saing komoditas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan petani Vanda doughlas yang mayoritas SD berpotensi bisa menurunkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Luas Lahan Luas lahan responden mayoritas berada pada kisaran kurang dari 0.25 hektar atau sebesar 73.33 persen dari total responden yang diambil. Sedangkan luas lahan responden minoritas berada pada kisaran 0.5-1.0 hektar atau sebesar 3.33 persen dari total responden yang diambil. Hasil penelitian pada Tabel 15 menunjukkan bahwa mayoritas luas lahan petani anggrek Vanda doughlas masih sangat sedikit karena kurang dari 0.25 hektar per petani. Tabel 15 Sebaran Responden Menurut Luas Lahan Luas Lahan (Ha) < 0.25 0.25 – 0.5 0.5 – 1.0 Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 6 2 1 9
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 10 1 0 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang)
Total Responden Respnden (orang) 22 7 1 30
6 4 0 11
Status Usahatani Status usahatani mayoritas responden merupakan pekerjaan utama yaitu sebanyak 26 orang atau 86,67 persen. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 16 di bawah ini. Dengan demikinan, mayoritas petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menjadikan usaha tersebut sebagai sumber penghasilan utama untuk mencari nafkah. Tabel 16 Sebaran Responden Menurut Status Usahatani
Status Usahatani Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 7
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 9
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 10
Total Responden Responden (orang) 26
2
2
0
4
9
10
11
30
41 Luas lahan memengaruhi besarnya produksi suatu komoditas. Semakin besar lahan yang diusahakan, semakin besar jumlah produksi. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas luas lahan petani Vanda doughlas sebesar 0.21 hektar mengindikasikan bahwa jumlah produksi Vanda doughlas rendah yaitu rata-rata 85 ikat per minggu. Jumlah produksi yang tinggi akan meningkatkan daya saing suatu komoditas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, luas lahan petani Vanda doughlas yang mayoritas 0.25 hektar berpotensi bisa menurunkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Status Lahan Status lahan mayoritas responden merupakan lahan milik yaitu sebanyak 18 orang atau 60 persen dari total responden. Sedangkan status lahan minoritas merupakan lahan bagi hasil yaitu sebanyak 1 orang atau 3.33 persen dari total responden. Hasil penelitian yang terdapat pada Tabel 17 menunjukkan bahwa lahan yang dimiliki oleh petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan umumnya merupakan lahan milik atau pribadi. Tabel 17 Sebaran Responden Menurut Status Lahan
Status Lahan Milik Garapan Bagi Hasil Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 7 2 0 9
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 10 1 0 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 1 8 1 11
Total Responden Responden (orang) 18 11 1 30
Status lahan memengaruhi kemudahan petani dalam mengakses pinjaman. Pinjaman dibutuhkan petani jika mereka kekurangan modal dalam berusahatani Vanda doughlas. Modal yang cukup akan membantu kelancaran pengeluaran biaya privat petani. Kondisi keuangan yang stabil akan meningkatkan daya saing suatu komoditas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa status lahan petani Vanda doughlas yang mayoritas milik sendiri berpotensi bisa meningkatkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Keikutsertaan dalam Pelatihan/Penyuluhan Sebanyak 30 orang atau 100 persen responden sudah pernah mengikuti pelatihan/penyuluhan mengenai usahatani anggrek Vanda doughlas. Adapun bentuk pelatihan tersebut berupa sekolah lapang. Sekolah lapang tersebut pernah diadakan pada tahun 2010 hingga 2013 selama 4 bulan. Adapun materi yang diajarkan berupa budidaya anggrek Vanda doughlas dan pembuatan pestisida dan pupuk organik. Namun sejauh ini petani belum menerapkan materi yang diajarkan di sekolah lapang tersebut dengan alasan kepraktisan (petani tidak mau repot membuat input organik). Keikutsertaan petani responden dalam pelatihan atau penyuluhan terdapat pada Tabel 18.
42 Tabel 18 Sebaran Responden Menurut Keikutsertaan dalam Pelatihan/Penyuluhan Keikutsertaan Dalam Pelatihan/ Penyuluhan Sudah Belum Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 9 0 9
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 11 0 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 10 0 11
Total Responden Responden (orang) 30 0 30
Keikutsertaan dalam pelatihan atau penyuluhan memengaruhi peningkatan pengetahuan dalam berusahatani. Semakin tinggi pengetahuan berusahatani, maka semakin kompeten seorang petani dalam mengusahakan komoditas yang dibudidayakannya yang nantinya akan membantu peningkatan daya saing komoditas tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa seluruh petani Vanda doughlas yang sudah pernah mengikuti pelatihan dan penyuluhan yang diadakan oleh Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan berpotensi bisa meningkatkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Lembaga Pemasaran Mayoritas responden menjual produknya melalui pedagang pengumpul yaitu sebanyak 26 orang atau 86.67 persen. Sedangkan minoritas responden menjual produknya kepada pemilik lahan yang memberi modal yaitu sebanyak 1 orang atau 3.33 persen. Hasil penelitian pada Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar petani anggrek Vanda doughlas lebih menyukai menjual produknya melalui pedagang pengumpul dibandingkan menjual sendiri ke pedagang besar di pasar bunga Rawa Belong Jakarta. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan (petani tidak mau repot menjual) dan menghindari biaya transportasi. Tidak adanya pengeluaran tambahan untuk biaya transportasi akan menambah keuntungan yang diperoleh. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa mayoritas penjualan Vanda doughlas oleh petani ke pedagang pengumpul bisa meningkatkan daya saing Vanda doughlas di kota Tangerang selatan. Tabel 19 Sebaran Responden Menurut Lembaga Pemasaran
Pemasaran Menjual ke pengumpul Menjual ke pedagang besar Menjual ke pemilik lahan Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang)
Kel. Parakan Asri Responden (orang)
Kel. Bulak Hijau Responden (orang)
Total Responden Responden (orang)
8
10
8
26
1
1
1
3
0
0
1
1
9
10
11
30
43 Sumber Modal Modal yang digunakan responden mayoritas berasal dari modal sendiri yaitu sebanyak 27 orang atau 90 persen. Sisanya sebanyak 6.67 persen modal dari Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan berupa hibah bibit dan input produksi serta 3.33 persen modal berasal dari pemilik lahan. Sebaran responden menurut sumber modal terdapat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran Responden Menurut Sumber Modal
Sumber Modal Sendiri Patungan dengan pemilik lahan Dinas pertanian Total
Kel. Parakan Jaya Responden (orang) 8
Kel. Parakan Asri Responden (orang) 10
Kel. Bulak Hijau Responden (orang) 9
Total Responden Responden (orang) 27
0
0
1
1
1 9
1 10
0 11
2 30
Modal yang cukup akan membantu kelancaran pengeluaran biaya privat petani. Kondisi keuangan yang stabil akan meningkatkan daya saing suatu komoditas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa modal petani Vanda doughlas yang mayoritas berasal dari modal sendiri berpotensi bisa meningkatkan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan.
Keragaan Usahatani Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Kegiatan usahatani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan umumnya relatif seragam, baik dalam kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan. Perbedaannya hanya terletak pada waktu pemanenan. Perbedaan pemanenan ini dikarenakan waktu tanam yang berbedabeda antar petani responden. Keragaan usahatani anggrek Vanda doughlas ditunjukkan dengan tabel input-output pada Tabel 21. Tabel 21 Tabel Input-Output Usahatani Vanda doughlas I-O Input
Output
Jenis Pupuk Anorganik (atonik) Obat-obatan Bibit Pupuk Organik (Kandang) Penyusutan Peralatan Sewa Lahan Tenaga Kerja Modal investasi Modal kerja Bunga Vanda doughlas
Satuan 500 mL/botol 500 mL/botol Tangkai 50 kg/karung Unit Rp/ha HOK Rp/unit Rp/bulan & Rp/Liter Ikat (100 tangkai)
Jumlah 48 144 200 6 000 5 809 1 920 2 26 39 440
44 Input-input yang digunakan pada usahatani anggrek Vanda doughlas adalah pupuk atonik, obat-obatan (rizotin, curacron, dursban), bibit, pupuk kandang (kotoran ayam), penyusutan peralatan (cangkul, gunting, parang, golok, pisau, power sprayer, selang air, pompa air, ember, pengki, tali rafia, paku, bambu, dan sabut kelapa), sewa lahan, tenaga kerja (persiapan lahan sampai diikat, pemupukan, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit, sanitasi kebun, dan pemanenan), modal investasi (sumur pantek dan kolam penampung), dan modal kerja (listrik dan bensin). Sedangkan output yang dihasilkan adalah bunga Vanda doughlas dengan jumlah kuntum minimal 5 dalam satuan ikat (100 tangkai). Pupuk yang digunakan dalam usahatani anggrek adalah pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang sedangkan pupuk anorganik yang digunakan adalah atonik. Pupuk kandang didapat oleh petani dengan memesan terlebih dahulu kepada pemilik kandang ayam yang berada disekitar wilayah Parung (Kabupaten Bogor) lalu pemilik kandang ayam akan mengirimkan kotoran ayam yang telah dikarungi dengan harga Rp7 500 per karung (50 kg). Sedangkan atonik biasanya diperoleh petani dengan membeli di toko pertanian dengan harga Rp50 000 botol (500 mL) di sekitar kecamatan Pamulang dan Parung. Bibit anggrek didapatkan dari kebun petani sendiri yang diturunkan dari tanaman sebelumnya. Tanaman anggrek yang akan dijadikan bibit diseleksi terlebih dahulu dengan memilih tanaman anggrek yang tingkat produksinya tinggi dan dipotong dengan ukuran 1.00 m – 1.50 m. sebanyak 200 000 batang bibit dibutuhkan untuk 1 ha lahan dengan harga Rp4 000 per batang. Penyusutan peralatan tergantung dari umur ekonomis setiap peralatan yang digunakan. Tali rafia, paku, bambu, dan sabut kelapa memiliki umur ekonomis 1 tahun, sehingga perlu penggantian alat setiap tahun. Pompa air memiliki umur ekonomis 3 tahun. Cangkul, gunting, parang, golok, pisau, selang air, ember, dan pengki memiliki umur ekonomis 5 tahun. Power sprayer memiliki umur ekonomis paling lama yaitu 10 tahun. Harga satuan dari setiap alat berkisar antara Rp1 000Rp350 000. Ember memiliki harga satuan terendah yaitu Rp1 000, sedangkan power sprayer dan pompa air memiliki harga satuan tertinggi yaitu Rp350 000. Sewa lahan pertanian di Kota Tangerang Selatan sebesar Rp100 000 000. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani Vanda doughlas adalah pria dengan biaya sebesar Rp70 000 per HOK. Selanjutnya, modal yang digunakan dalam input terdiri dari modal investasi dan modal kerja. Modal investasi berasal dari pembuatan sumur pantek (Rp1 500 000) dan kolam penampung (Rp1 000 000) untuk proses penyiraman. Sedangkan modal investasi berasal dari biaya listrik sebesar Rp150 000 per bulan dan bensin untuk transportasi sebesar Rp6 500 per liter (jenis premium). Budidaya anggrek dimulai dengan tahap pengolahan tanah dan penanaman. Pada tahap pengolahan tanah, petani membersihkan lahan dari rumput yang ada disekitar lahan. Setelah lahan bersih, petani membuat bedengan dari bambu yang berukuran 30-40 cm, panjangnya menyesuaikan dengan panjang lahan dan jarak antar bedengan kurang-lebih 80 cm. Setelah membuat bedengan, selanjutnya petani membuat tiang penopang dan galar yang nantinya akan digunakan untuk menopang tanaman anggrek Vanda doughlas. Kemudian petani melakukan penanaman dengan cara mengikat batang bibit satu persatu ke tiang bedengan
45 dengan tali bambu pada jarak masing-masing bibit sekitar 3-4 jari orang dewasa dan menyangga bibit dengan sabut kelapa untuk menopang air diatas tanah. Pemberian pupuk kandang biasanya dilakukan setiap 4-6 bulan sekali sedangkan untuk pupuk atonik dilakukan setiap seminggu sekali bersamaan dengan campuran pestisida yang disemprotkan dengan power sprayer. Mayoritas pupuk kandang digunakan sebanyak 6 bulan sekali oleh petani responden. Penggantian sabut kelapa sebagai penopang air juga dilakukan 6 bulan sekali. Penggantian batang bambu dilakukan setahun sekali karena kekuatan bambu hanya bertahan 1 tahun saja. Pemanenan dilakukan setelah anggrek berumur 8 bulan hingga umur 3 tahun yang dilakukan setiap minggu. Setelah umur 3 tahun anggrek harus diganti dengan bibit yang baru karena tinggi tanaman anggrek yang sudah mencapai 4 meter dan sudah sulit menghasilkan bunga kembali. Tanaman anggrek yang akan diganti bisa digunakan petani sebagai bibit untuk ditanam kembali. Pemanenan biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari, karena pada waktu tersebut bunga anggrek sedang mekar dan tidak cepat layu dan juga karena permintaan dari pedagang pengumpul yang membelinya. Petani hanya melakukan pemetikan bunga saja dan mengikatnya menjadi satu ikatan berisi 100 tangkai. Pada proses pengikatan, petani juga melakukan pemilihan kualitas kuntum bunga. Kuntum bunga yang tidak layak jual langsung dibuang. Kriteria kualitas dari bunga Vanda doughlas terdapat pada Lampiran 1. Setelah diikat mayoritas petani responden menjualnya kepada pedagang pengumpul, namun ada juga petani yang langsung menjualnya ke pedagang besar. Penjualan anggrek dari pedagang pengumpul maupun petani langsung dilakukan seluruhnya ke pasar bunga Rawa Belong Jakarta. Namun, ada juga petani responden yang suka menjual anggrek langsung kepada konsumen di Pasar Tangerang dengan membuatnya menjadi buket-buket bunga yang dilakukan setiap minggu. Harga anggrek yang dijual oleh petani sebagian besar ditentukan oleh pedagang pengumpul dengan sistem pembayaran tunai atau dibayar setelah pedagang pengumpul kembali dari pasar bunga rawa belong sebesar Rp50 000 - Rp100 000 per ikat. Gambar Alur Usahatani Vanda doughlas terdapat pada Lampiran 2.
Analisa Keuntungan Usahatani Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Tabel 22, penerimaan atas pengusahaan Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan sebesar Rp2 383 046 400, sedangkan biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp1 454 830 496. Keuntungan atas biaya tunai (privat) usahatani Vanda doughlas selama umur produksi (3 tahun) di Kota Tangerang Selatan yang bisa diperoleh adalah Rp927 976 392 per ha. Jika keuntungan petani dihitung per minggu dengan masa produksi 3 tahun atau 48 minggu, maka keuntungannya sebesar Rp19 332 841.5 per ha per minggu. Hasil yang sangat menguntungkan bagi petani apabila luas lahan Vanda doughlas yang dimiliki sebesar 1 hektar. Namun, jika pengusahaan lahan yang dimiliki petani hanya 1 000 m2, maka keuntungan yang bisa diperoleh dari usahatani Vanda doughlas per minggu adalah Rp1 933 284. Hasil R/C rasio atau Net B/C dari usahatani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah 1.638. Artinya, setiap Rp1 biaya yang
46 dikeluarkan untuk usahatani Vanda doughlas, maka penerimaan yang akan diperoleh petani adalah Rp1.638. oleh karena itu, usahatani Vanda doughlas layak untuk diusahakan. Tabel 22 Budget Usahatani Vanda doughlas Uraian Total Penerimaan Total Biaya Keuntungan R/C Rasio
Nilai (Rp/Ha) 2 383 046 400 1 454 830 496 927 976 392 1.638
Berdasarkan proporsi biaya penggunaan input pada usahatani Vanda doughlas pada Lampiran 10, bibit merupakan komponen biaya yang terbesar yaitu 49.864 persen. Komponen biaya produksi yang terbesar kedua adalah sewa lahan sebesar 18.699 persen. Komponen biaya produksi yang terbesar ketiga adalah tenaga kerja sebesar 11.587 persen. Selanjutnya diikuti oleh penyusutan peralatan 8.859 persen, pupuk kandang 8.415 persen, obat-obatan 1.634 persen, pupuk anorganik 0.449 persen, modal kerja 0.354 persen, dan modal investasi 0.155 persen. besarnya proporsi biaya tenaga kerja pada usahatani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menunjukkan bahwa usahatani Vanda doughlas bersifat padat karya. Hal ini disebabkan oleh belum ada teknologi yang digunakan untuk usahatani Vanda doughlas.
Pemasaran Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Gambar alur pemasaran anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan terdapat pada Gambar 7. Petani responden menjual hasil panen anggrek Vanda doughlas kepada pedagang pengumpul di Kota Tangerang Selatan, pedagang besar di pasar bunga Rawa Belong Jakarta, dan ada pula petani yang menjualnya langsung kepada konsumen di Tangerang. Sebagian besar petani Vanda doughlas memasarkan produknya ke pedagang pengumpul di Kota Tangerang Selatan, yaitu sebesar 86.67 persen. Sedangkan sisanya langsung dipasarkan ke pedagang besar di Pasar Bunga Rawa Belong sebesar 9.99 persen, dan konsumen sebesar 3.33 persen. Pedagang Pengumpul
86.67% 3.33% Konsumen
Petani Pedagang Besar
9.99%
Gambar 7 Alur Pemasaran Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan
47 Pedagang pengumpul Vanda doughlas juga merupakan petani, namun mereka memiliki modal yang lebih dibandingkan petani lainnya. Harga jual ditentukan lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul. Namun petani juga bisa dengan mudah mengetahui perkembangan informasi harga di pasar melalaui informasi dari sesama petani lainnya. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kepada petani adalah dengan sistem bayar langsung (Cash On Delivery) atau tidak langsung (membayar setelah pulang dari pasar). Selanjutnya, para pedagang pengumpul Vanda doughlas akan menjual produknya ke pedagang besar. Pedagang besar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para pedagang bunga di pasar bunga Rawa Belong Jakarta. Hampir 100 persen anggrek Vanda doughlas dari Tangerang Selatan dipasarkan ke pasar bunga ini. Pasar bunga Rawa Belong adalah Pusat Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hutan yang merupakan Unit Pelaksanan Teknis Dinas Pertanian dan Kehutanan di bidang promosi dan pemasaran hasil pertanian dan hasil hutan. Pusat Promosi dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Hasil Hutan mempunyai tugas melaksanakan usaha promosi dan pemasaran hasil pertanian dan hasil hutan, menyediakan dan memberikan pelayanan fasilitas serta mengelola sarana dan prasarana promosi dan pemasaran. Penentuan harga lebih dominan ditentukan oleh pedagang pengumpul karena bargaining position pedagang pengumpul lebih besar dibandingkan pedagang besar. Pemasok utama Vanda doughlas di pasar bunga Rawa Belong adalah pedagang pengumpul dari Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ekspor anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memang pernah dilakukan, terutama ke wilayah Singapura, namun hal ini masih bersifat insidentil. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penyuluh dan petani di lokasi penelitian, pada tahun 2012 konsumen dari Singapura datang langsung ke Kota Tangerang Selatan khusus untuk membeli anggrek khususnya jenis Vanda doughlas dan James story. Konsumen tersebut ingin menjalin kerjasama agar Kota Tangerang Selatan bisa mengekspor anggrek ke Singapura setiap minggu dengan kuantitas yang sudah ditetapkan. Harga yang ditawarkan pun cukup besar yaitu Rp150 000 per ikat untuk Vanda doughlas dan Rp600 000 per ikat untuk James Story dengan biaya transportasi dan ekspor yang ditanggung oleh pihak pembeli (konsumen Singapura). Hal ini merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi usaha anggrek di kota Tangerang Selatan. Namun sayangnya, petani merasa belum mampu memenuhi permintaan ekspor tersebut sehingga kekontinuitasan ekspor anggrek ke Singapura menjadi terhenti. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, dapat disimpulkan kegiatan ekspor anggrek Vanda doughlas di kota Tangerang Selatan sejauh ini masih belum berjalan. Namun, ke depannya seluruh stakeholders agribisnis anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan (petani, pemerintah, pengusaha dan lain-lain) berharap dapat melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, saat ini seluruh stakeholders masih dalam masa persiapan dan pembenahan diri. Penelitian ini pun diharapkan dapat membantu persiapan kegiatan ekspor tersebut dengan menunjukkan gambaran mengenai daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Sehingga kita dapat mengetahui sejauh mana tingkat daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, mampukah bersaing jika dilakukan kegiatan ekspor serta mengetahui apakah kebijakan pemerintah selama ini telah memberikan dukungan
48 atau justru menghambat daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan.
Kebijakan Input Pada Bisnis Anggrek Vanda doughlas Kebijakan input yang sudah diterapkan oleh Pemerintah Pusat terkait dengan bisnis anggrek Vanda doughlas di Indonesia yaitu kebijakan bea masuk produk bahan baku impor sebesar 5 persen. Pada tanggal 22 Desember 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.241/PMK.011/2010 yang menjadi dasar kebijakan kenaikan bea masuk atas impor barang. PMK No.241/PMK.011/2010 merupakan perubahan keempat dari PMK Nomor 110/2006 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. Perubahan ini terjadi dalam rangka melaksanakan program harmonisasi tarif bea masuk Indonesia tahun 20052010 sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 591/KMK.010/2004 tentang program harmonisasi tarif bea masuk 2005-2010 untuk produk-produk pertanian, perikanan, pertambangan, farmasi, keramik, dan besi baja. Peraturan kedua yang juga sudah diterapkan oleh Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenani Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk, dan obat-obatan. Oleh karena itu, input produksi anggrek Vanda doughlas yaitu pupuk anorganik (atonik) dan obat-obatan (antracol, rizotin, dursban) yang berasal dari impor terkena kebijakan pajak bea masuk sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen. Dampak dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan harga pupuk anorganik dan obat-obatan yang akan meningkatkan biaya produksi pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, yang akhirnya akan mengurangi keuntungan yang diperoleh petani. Kebijakan lain yang juga akan berdampak pada input anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Sejak tanggal 22 Juni 2013, harga bensin jenis premium sebesar Rp6 500 per liter. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor 07.PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu. Besarnya subsidi BBM jenis premium yang dilakukan Pemerintah sejak dikeluarkannya peraturan tersebut adalah Rp3 000 per liter. Subsidi BBM memang tidak berdampak secara langsung terhadap produksi Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Namun, subsidi BBM akan mengurangi biaya pemakaian bahan bakar aktivitas usahatani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan seperti biaya transportasi untuk membeli input. Sehingga, biaya input aktual (privat) yang dikeluarkan petani Vanda doughlas menjadi berkurang dan akhirnya bisa membantu meningkatkan pendapatan petani.
49 Kebijakan Output Pada Bisnis Anggrek Vanda doughlas Kebijakan output pada bisnis anggrek Vanda doughlas yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan adalah menjadikan anggrek Vanda doughlas sebagai icon kota. Beberapa keijakan lain yang telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2012 dalam upaya mempersiapkan anggrek tanah sebagai icon kota adalah membuat kawasan pengembangan hortikultura untuk tahun 2014, membuat kawasan terpadu pasar bunga di kawasan Bumi Serpong Damai, dan program sertifikasi anggrek Vanda doughlas atau lebih dikenal masyarakat kota Tangerang Selatan sebagai varietas Vanda Genta Bandung menjadi varietas Nasional. Program Pengembangan Kawasan Hortikultura yang rencananya akan dijalankan tahun 2014 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas anggrek dengan cara rencana perluasan lahan tanam untuk setiap petani dan input produksi berupa modal uang dan barang (bibit, peralatan, pupuk, obat-obatan). Program Kawasan Terpadu Pasar Bunga di di RTH BSD City sektor 12 seluas 10.3 hektar pada tahun 2014. Sedangkan program pendaftaran varietas Vanda Genta Bandung menjadi varietas nasional masih sedang berlangsung tahun ini. Kebijakan lain terkait dengan output pada bisnis anggrek Vanda doughlas adalah subsidi BBM yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Subsidi BBM akan mengurangi biaya pemakaian bahan bakar aktivitas usahatani Vanda doughlas dalam pemasaran output. Sehingga, biaya transportasi output aktual (privat) yang dikeluarkan petani Vanda doughlas menjadi berkurang dan akhirnya bisa membantu meningkatkan pendapatan petani.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing Usaha Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan Salah satu ciri suatu produk memiliki daya saing yang tinggi jika produk tersebut diproduksi secara efisien. Produksi akan efisien jika menghasilkan produk yang optimal dan menyebabkan biaya produksi menurun, sehingga keuntungan akan semakin meningkat. Pengukuran daya saing usahatani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menggunakan Tabel PAM. Hasil analisis PAM digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif, serta dampak kebijakan input dan output yang mempengaruhi daya saing usahatani Vanda doughlas. Analisis PAM dimulai dengan analisa usahatani yaitu data penerimaan, biaya produksi dan biaya tataniaga. Analisis usahatani digunakan untuk melihat efisiensi produksi. Selanjutnya harga pada analisis usahatanai dipisah berdasarkan harga privat dan harga sosial selama umur produksi anggrek Vanda doughlas (3 tahun). Masing-masing data tersebut dihitung berdasarkan harga privat dan harga sosial (bayangan). Selain itu, masing-masing biaya produksi pada harga privat dan sosial dibagi kedalam biaya input tradable dan faktor domestik. Proporsi Biaya
50 Input Terhadap Biaya Input Total Pengusahaan Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan bisa dilihat pada Lampiran 3. Perhitungan Harga Bayangan Nilai Tukar dan Output terdapat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Proses diskonto (discounting) diperlukan dalam kasus ini untuk menentukan Net Present Value (NPV) dari masing-masing bagian tersebut. Hasil perhitungan penerimaan, biaya produksi dan tataniaga tersebut di dalam budget privat dan budget sosial serta rekapitulasi privat dan rekapitulasi sosial dapat dilihat pada Lampiran 6, 7, 8, dan 9. Setelah perhitungan dilakukan, maka disusunlah Tabel PAM yang terdapat pada Tabel 23. Data penerimaan, biaya dan keuntungan pada tabel tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai-nilai yang menjadi indikator daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Tabel 23 Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Kota Tangerang Selatan (Rp/Ha) Uraian
Penerimaan
Privat Sosial Dampak Kebijakan
2 383 046 400 10 888 819 872 -8 505 773 472
Biaya Input Faktor Tradable Domestik 10 551 583 1 444 518 425 8 853 780 1 441 610 650 1 697 803
2 907 775
Keuntungan 927 976 392 9 438 355 442 -8 510 379 050
Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa dampak kebijakan yang dihasilkan bernilai negatif untuk penerimaan, dan keuntungan, sementara dampak kebijakan input tradable dan faktor domestik bernilai positif. Dampak kebijakan pada penerimaan bernilai minus Rp8 505 773 472 per hektar. Hal ini terjadi karena harga Vanda doughlas privat yang lebih rendah dari harga sosialnya. Harga privat Vanda doughlas sebesar Rp70 000 per ikat, sedangkan harga sosialnya sebesar Rp319 850 per ikat. Oleh karena itu, penerimaan Vanda doughlas pada privat lebih kecil dibandingkan penerimaan sosialnya dan keuntungan yang diperoleh di sosial juga menjadi leih tinggi dibandingkan keuntungan di privat. Penyebabnya, tidak ada kebijakan khusus yang memproteksi output Vanda doughlas di Indonesia. Kebijakan yang ada selama ini hanyalah subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium yang akan mengurangi biaya transportasi pemasaran output tetapi tidak berpengaruh langsung untuk memproteksi output Vanda doughlas. Oleh karena itu, kebijakan terhadap output yang ada selama ini yaitu subsidi BBM belum efektif. Pemerintah perlu membuat kebijakan baru terkait proteksi output Vanda doughlas guna meningkatkan daya saingnya sebagai komoditas promosi ekspor. Harga sosial Vanda doughlas diperoleh dari harga perbatasan (border price) dikurangi dengan biaya perijinan, jasa karantina, pengemasan dan tansportasi. Harga perbatasan yang digunakan adalah nilai Free on Board (FOB) dari output Vanda doughlas yaitu sebesar US$13.3 per kilogram. Nilai FOB digunakan karena output Vanda doughlas merupakan komoditas ekspor. Biaya perijinan berdasarkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of
51 Wild Flora and Fauna ) sebesar Rp4 783.42. Biaya jasa karantina yang terdiri dar pemeriksaan, laboratorium, dan dokumen bernilai Rp Rp12 000. Biaya pengemasan sebesar Rp555.55 per kilogram. Sedangkan biaya transportasi ke bandara sebesar Rp14 666.67. Biaya transportasi yang dihitung sudah dikurangi subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter. Tingkat bunga yang digunakan pada saat proses discounting selama umur ekonomi adalah sama, baik untuk privat maupun sosial yaitu 6.82 persen. Nilai ini diperoleh dari persentase modal pinjaman dan modal sendiri dari tingkat suku bunga deposito dan Kredit Mikro Bank Mandiri pada tahun 2012. Pemilihan Bank Mandiri karena bank tersebut merupakan bank terbesar di Indonesia dari aset, pinjaman, dan deposit. Perhitungan suku bunga modal berdasarkan pembagian persentase dengan asumsi modal investasi 90 persen dan 10 persen modal kerja. Asumsi ini digunakan berdasarkan data yang diperoleh bahwa terdapat 3 orang dari 30 responden yang sedang mendapatkan bantuan hibah input bibit dan peralatan (bambu) dari Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan. Dampak Kebijakan pada biaya input tradable bernilai positif yaitu Rp1 697 803 per hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah, pelaku usaha anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menerima harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar (harga privat). Kebijakan yang dimaksud adalah adanya bea masuk sebesar 5 persen dan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen dari Pemerintah atas input tradable yaitu pupuk anorganik (pupuk cair) dan obat-obatan (antracol, rizotin, dursban). Harga privat input tradable lebih tinggi dari harga sosialnya. Pada harga privat, pupuk anorganik sebesar Rp50 000 per botol, antracol Rp100 000 per botol, rizotin Rp42 000 per botol,dan dursban Rp40 000 per botol. Sedangkan pada harga sosial, pupuk anorganik sebesar Rp42 750 per botol, antracol Rp85 500 per botol, rizotin Rp34 020 per botol, dan dursban Rp32 400 per botol. Namun, input tradable ini tidak sepenuhnya 100 persen bersifat tradable. Melainkan, 36 persen berasal dari asing dan 64 persen domestik (Input-Output Indonesia, 2008). Oleh karena itu, hanya 36 persen saja dari input tradable yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terkait bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen. Berdasarkan hasil dampak kebijakan pada input tradable yang diperoleh dari analisis PAM pada Tabel 23 bernilai positif, maka kebijakan pajak bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) efektif. Dampak kebijakan yang terjadi pada faktor domestik juga bernilai positif yaitu Rp2 907 775 per hektar. Hal ini juga mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah tentang bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen atas pupuk anorganik dan obat-obatan juga mempengaruhi komponen faktor domestik Vanda doughlas. Namun pengaruhnya hanya 64 persen saja. Kebijakan pemerintah yang juga mempengaruhi faktor domestik adalah subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium yang akan mengurangi 100 persen biaya transportasi input. Pengaruh kebijakan subsidi BBM lebih besar pengaruhnya dibandingkan kebijakan bea masuk dan PPN, maka petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mengeluarkan biaya atas faktor domestik yang lebih tinggi (privat) dibandingkan dengan harga ekonominya (sosial). Oleh karena itu, kebijakan tersebut efektif dilaksanakan. Keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua
52 kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa keuntungan privat yang diperoleh dari usahatani anggrek Vanda doughlas adalah Rp927 976 392 per hektar (hasil selisih dari total penerimaan dan total biaya tradable dan domestik). Secara finansial kegiatan pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mampu memberikan keuntungan yang positif bagi pendapatan petani. Sehingga, kegiatan usahatani Vanda doughlas layak untuk dilakukan. Jika dihitung dari nilai R/C rasio pada analisa usahataninya, diperoleh nilai 1.638. Artinya, setiap Rp1 per hektar biaya yang dikeluarkan petani untuk menanam Vanda doughlas, maka penerimaan yang akan diperoleh sebesar Rp1.638 per hektar. Sehingga bisa disimpulkan bahwa usahatani Vanda doughlas layak diusahakan dan efisien secara produksi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Sagala (2012) yang mengatakan bahwa nilai R/C rasio usahatani Vanda doughlas di Kelurahan Pondok Benda Kota Tangerang Selatan sebesar 1.73. Artinya nilai R/C (Revenue/Cost) rasio pada analisis usahatani yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh oleh penelitian sebelumnya. Perhitungan budget privat anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan terdapat pada Lampiran 6 dan rekapitulasi dari budget privat yang telah terdiskonto terdapat pada Lampiran 8. Keuntungan sosial yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga pada pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya, dimana harga ini tidak mengandung nilai-nilai kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Pada komoditas tradable, harga bayangan (sosial) adalah harga yang terjadi di pasar internasional. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa keuntungan sosial yang diperoleh dari pengusahaan anggrek Vanda doughlas adalah Rp9 438 355 442 per hektar. Hal ini disebabkan oleh harga jual sosial output Vanda doughlas yang lebih tinggi yaitu Rp319 850 per ikat dibandingkan harga jual privatnya yaitu Rp70 000 per ikat. Hal ini menggambarkan bahwa tanpa adanya kebijakan pemerintah, pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih menguntungkan karena masih memberikan keuntungan yang positif dan cukup besar. Artinya, kebijakan yang memliki pengaruh terhadap input dan output Vanda doughlas yaitu pajak bea masuk 5 persen, PPN 10 persen, dan subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter belum terlaksanakan dengan efektif. Oleh karena itu diperlukan evaluasi dari kebijakan yang sudah ada atau pembuatan kebijakan baru yang mampu memproteksi output Vanda doughlas. Meskipun keuntungan sosial Vanda doughlas yang diperoleh lebih besar dibandingkan pada kondisi adanya kebijakan atau intervensi pemerintah (harga privat). Secara ekonomi kegiatan tersebut tetap menguntungkan untuk dijalankan. Perhitungan budget sosial anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan rekapitulasi dari budget sosial yang telah terdiskonto dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan rekapitulasi budget privat dan budget sosial yang telah terdiskonto tersebut, kemudian diperoleh tabel PAM anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis keuntungan, maka dapat disimpulkan bahwa pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menguntungkan secara finansial maupun ekonomi. Sehingga pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan layak untuk dijalankan baik secara finansial maupun ekonomi. Kondisi ini didukung oleh adanya kebijakan pemerintah Kota
53 Tangerang Selatan yang ingin mengembangkan Vanda doughlas sebagai komoditas unggulan wilayahnya melalui penerapan Vanda doughlas sebagai icon Kota Tangerang Selatan dan menjadikannya sebagai varietas nasional. Oleh karena itu usahatani Vanda doughlas dapat terus dikembangkan di Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya, hasil dari tabel PAM yang telah diperoleh digunakan untuk melihat tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Analisis daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis keunggulan komparatif dapat diukur dengan indikator Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) dan Keuntungan Sosial (KS). Nilai dari indikator keunggulan komparatif dan kompetitif anggrek Vanda doughlas di di Kota Tangerang Selatan terdapat pada Tabel 24. Tabel 24 Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Anggrek Vanda doughlas Di Kota Tangerang Selatan Uraian Keunggulan Kompetitif Keuntungan Privat Rasio Biaya Privat (PCR) Keunggulan Komparatif Keuntungan sosial Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
Satuan
Nilai
Rp/ha
927 976 392 0.6089
Rp/ha
9 438 355 442 0.1325
Analisis keunggulan kompetitif anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (PCR) dan Keuntungan Privat (KP). Nilai PCR dan KP dalam analisis keunggulan kompetitif merupakan indikator yang menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat keuntungan pengusahaan anggrek Vanda doughlas secara finansial (privat). Adapun nilai PCR anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 0.6089, artinya usahatani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Nilai PCR sebesar 0.6089 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan sebesar satu satuan pada harga privat, maka diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu satuan yaitu sebesar 0.6089. berdasarkan nilai PCR tersebut, Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif. Selain itu, dapat diartikan juga bahwa usahatani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dapat membayar faktor domestiknya. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimalkan nilai tambah output (Pranoto 2011). Menurut Pranoto (2011), peningkatan nilai tambah output dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output. Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kapaj et al. (2010) yang mengatakan bahwa nilai PCR<1 mengindikasikan bahwa produsen memiliki keuntungan finasial (privat) positif atau memiliki keunggulan kompetitif. Semakin kecil nilai PCR, maka semakin tinggi keunggulan
54 kompetitifnya. Dengan demikian, usahatani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menunjukkan penggunaan sumberdaya yang efisien secara finansial sehingga memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini juga dapat menggambarkan bahwa anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mampu bersaing dengan komoditas sejenis di pasar internasional ketika dilakukan kegiatan ekspor. Berdasarkan hasil analisis PAM, dapat diketahui bahwa nilai keuntungan privat yang diperoleh selma umur produksi dari anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan bernilai positif yaitu Rp927 976 392 per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial, yaitu pada kondisi adanya kebijakan dari pemerintah, anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Nilai DRC anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan yang dihasilkan oleh analisis PAM adalah 0.1325. Artinya, jika Vanda doughlas diproduksi di dalam negeri (Kota Tangerang Selatan) hanya membutuhkan biaya sebesar 0.1325 satu satuan, sehingga terjadi penghematan biaya sebesar 0.8675 satu satuan. Artinya, memproduksi Vanda doughlas di dalam negeri akan menjadi lebih murah dibandingkan jika mengimpor dari negara lain sehingga Vanda doughlas yang diproduksi Kota Tangerang Selatan berdaya saing karena memiliki keunggulan komparatif. Semakin kecil nilai DRC (DRC<1) yang diperoleh, maka semakin tinggi keunggulan komparatif yang dimiliki. Dengan demikian, pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menunjukkan penggunaan sumberdaya yang efisien secara ekonomi (sosial) sehingga memiliki keunggulan komparatif (berdaya saing) dan memiliki peluang menjadi komoditas promosi ekspor. Hasil DRC yang diperoleh dari penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Najazadeh et al. (2011), Ugochukwu dan Ezedinma (2011), dan Basavaraj et al. (2013) yang mengatakan bahwa nilai DRC<1 mengindikasikan suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif. Semakin kecil nilai DRC, maka semakin tinggi keunggulan komparatif komoditas tersebut. Indikator keunggulan komparatif lainnya adalah nilai keuntungan sosial (KS) yang diperoleh dari sistem komoditas yang diteliti. Berdasarkan hasil analisis, PAM dapat diketahui bahwa penerimaan dari pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan secara ekonomi bernilai positif yaitu Rp9 438 355 442 per hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih menguntungkan dan efisien secara ekonomi sehingga layak diusahakan. Jika dibandingkan dengan nilai DRC, nilai PCR yang dihasilkan ternyata lebih rendah. Maka, dapat disimpulkan bahwa anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan komparatif yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan keunggulan kompetitifnya, namun masih tetap berdaya saing. Artinya, kebijakan terkait input-output yaitu pajak bea masuk atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) sebesar 5 persen, PPN 10 persen, dan subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter terhadap Vanda doughlas yang sudah diterapkan selama ini justru mengurangi keunggulan Vanda doughlas secara finansial dan menurunkan keunggulan kompetitifnya. Perbandingan selanjutnya yang dapat disimpulkan adalah nilai keuntungan sosial yang lebih besar dibandingkan keuntungan privatnya. Hal ini berarti
55 pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan lebih menguntungkan saat tidak adanya kebijakan dari pemerintah terhadap input yang dikeluarkan dan output yang dihasilkan. Dampak kebijakan dari keuntungan menunjukkan angka negatif sebesar Rp8 510 379 050 per hektar. Artinya, penerapan kebijakan pemerintah terhadap anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan yaitu pajak bea masuk atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) sebesar 5 persen, PPN 10 persen, dan subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter membuat petani Vanda doughlas kehilangan keuntungan sebesar Rp8 510 379 050 per hektar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga output anggrek Vanda doughlas yang diterima petani dibandingkan harga sosialnya yaitu Rp319 850 per ikat untuk harga sosial dan Rp70 000 per ikat untuk harga privatnya. Bisnis bunga potong seperti anggrek Vanda doughlas sangat bergantung pada perayaan hari-hari besar seperti Natal dan tahun baru serta kondisi cuaca. Harga anggrek Vanda doughlas akan meningkat hingga tiga kali lipat saat hari-hari besar tiba dan akan menurun jika kondisi cuaca hujan bahkan banjir. Harga jual yang tinggi akan meningkatkan penerimaan petani, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh menjadi lebih tinggi dibandingkan ketika tidak ada bantuan (kebijakan) dari pemerintah. Hal tersebut menyebabkan keuntungan privat menjadi lebih rendah dibandingkan keuntungan sosialnya. Oleh karena itu, kebijakan terkait Vanda doughlas yang sudah diterapkan selama ini yaitu pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen, PPN sebesar 10 persen, dan subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium tidak efektif dan perlu dievaluasi.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Usaha Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku dari sistem tersebut. Kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dapat menentukan keberhasilan pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan devisa. Kebijakan dapat memengaruhi keuntungan maupun produktivitas suatu kegiatan ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pemerintah diduga mampu memengaruhi kondisi daya saing suatu komoditas. Kebijakan pemerintah yang bisa diperhitungkan dalam analisis PAM teterhadap saya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan merupakan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat (Nasional) seperti penerapan pajak impor bahan baku pertanian sebesar 5 persen dan PPN input produksi sebesar 10 persen yang berpengaruh pada harga input produksi yaitu pupuk anorganik (atonik) dan obat-obatan (rizotin, antracol, dursban) dan subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium yang akan mengurangi biaya transportasi pembelian input produksi dan pemasaran output anggrek Vanda doughlas. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari analisis matriks PAM melalui beberapa indikator. Indikator-indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan terdiri dari dampak kebijakan terhadap output (Transfer Output dan Kebijakan Proteksi Output Nominal), dampak kebijakan terhadap input (Transfer Input, Transfer Faktor, dan
56 Koefisien Proteksi Input Nominal), dan dampak kebijakan terhadap input-output (Koefisien Proteksi efektif, Transfer Bersih, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi Produsen) terdapat pada Tabel 25. Tabel 25 Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Indikator Dampak Kebijakan Terhadap Output Transfer Output (TO) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Dampak Kebijakan Terhadap Input Transfer Input (TI) Transfer Faktor (TF) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Dampak Kebijakan Terhadap Input-Output Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Transfer Bersih (TB) Keofisien Keuntungan (PC) Rasio Subsidi Produsen (SRP)
Satuan
Nilai
Rp/ha
-8 505 773 472 0.2189
Rp/ha Rp/ha
1 697 803 2 907 775 1.1918
Rp/ha
0.2181 -8 510 379 050 0.0983 -3.4871
Dampak Kebijakan terhadap Output Pemberlakuan kebijakan pemerintah yaitu subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium terhadap output anggrek Vanda doughlas menyebabkan harga output anggrek Vanda doughlas yang diterima petani pada harga privat berbeda dengan harga pada pasar persaingan sempurna (tidak ada kebijakan pemerintah dan distorsi pasar). Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang langsung mengenai output Vanda doughlas. Namun ada kebijakan subsidi BBM yang nantinya akan mempengaruhi biaya tataniaga dari distribusi output Vanda doughlas. Subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter premium akan mengurangi biaya transportasi tataniaga Vanda doughlas. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari dua indikator yaitu transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (NPCO). Nilai transfer output (TO) yang dihasilkan pada pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar minus Rp8 505 773 472 per hektar. Artinya harga output anggrek Vanda doughlas di pasar domestik lebih rendah dari harga internasionalnya. Hal ini bisa terlihat dari harga output pada struktur harga privat yang lebih rendah dibandingkan harga sosialnya yaitu Rp70 000 per ikat (harga privat) dan Rp319 850 per ikat (harga sosial). Hasil analisis pada penelitian ini sama dengan hasil penelitian Pranoto (2011) yang menyebutkan bahwa nilai TO negatif dapat diinterprestasikan bahwa harga produk ditingkat petani atau domestik lebih rendah dari harga di pasar internasional. Hal ini berarti harga jual Vanda doughlas domestik lebih murah dari harga di pasar internasional. Artinya tidak ada kebijakan Pemerintah (disproteksi) yang melindungi secara langsung output anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Sementara itu, kebijakan yang sudah ada selama ini yaitu subsidi BBM ternyata belum mampu memberikan dampak positif bagi petani.
57 Berdasarkan nilai TO yang negatif (TO<0) tersebut, maka yang terjadi adalah konsumen menerima insentif dari produsen (petani) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan karena konsumen membeli produk dengan harga yang lebih murah sehingga produsen dirugikan. Oleh karena itu, kebijakan subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium yang berdampak pada biaya pemasaran output Vanda doughlas tidak efektif dan perlu dievaluasi. Analisis dampak kebijakan terhadap output juga dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Nilai NPCO adalah nilai rasio antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPCO pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan sebesar 0.2189 (NPCO<1), artinya harga domestik untuk output Vanda doughlas lebih rendah dari harga output internasionalnya. Hasil analisis memang menunjukkan bahwa harga Vanda doughlas pada budget privat sebesar Rp70 000 per ikat lebih rendah dari harga sosialnya (Rp319 850 per ikat). Sehingga, kebijakan subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium yang berdampak pada biaya pemasaran output Vanda doughlas tidak efektif dan perlu dievaluasi. Hasil Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ugochukwu dan Ezedinma (2011) dan Neptune dan Jacque (2007) yang juga memperoleh nilai NPCO<1. Hal ini berarti bahwa terjadi pengurangan penerimaan petani akibat tidak adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi output (disproteksi). Kebijakan terkait output anggrek Vanda doughlas selama ini adalah subsidi BBM. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mampu memproteksi output Vanda doughlas demi melindungi komoditas nasional tersebut. Menurut Pranoto (2011), pengurangan penerimaan petani akibat tidak adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi output bisa disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga. Harga jual anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memang lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul dibandingkan oleh petani. Sehingga posisi petani dalam penentuan harga anggrek Vanda doughlas menjadi lemah. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Novianti (2002), lebih rendahnya harga privat suatu komoditas dibandingkan harga sosialnya berkaitan dengan tiga faktor, yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani menjadi penerima harga yang pasif, (3) mental usahatani yang suka dengan subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju, dan bersaing di pasar global. Secara keseluruhan, analisis dampak kebijakan pemerintah yaitu subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium terhadap output anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut tidak efektif atau belum mampu mendorong peningkatan daya saing Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, sehingga penerimaan yang diperoleh petani atau pelaku usaha pada anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tanpa adanya kebijakan tersebut. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap output yaitu subsidi BBM sebsesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium belum mampu mendukung peningkatan daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan.
58 Dampak Kebijakan terhadap Input Pemerintah menetapkan kebijakan terhadap input seperti subsidi atau pajak dan hambatan perdagangan terhadap input pertanian bertujuan agar produsen dapat menggunakan sumberdaya secara optimal. Pengaruh pajak pada input tradable menyebabkan harga input lebih tinggi dan biaya produksi meningkat sehingga mengurangi pendapatan petani. Kebijakan terkait pajak yang diterapkan pada input produksi anggrek Vanda doughlas (pupuk anorganik dan obat-obatan) adalah pajak impor 5 persen dan PPN 10 persen, sedangkan kebijakan subsidi adalah subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter premium akan mengurangi biaya transportasi pada penyediaan input. Besarnya dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan ditunjukkan oleh nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Berdasarkan hasil analisis, nilai TI yang diperoleh adalah positif atau lebih besar dari nol yaitu sebesar Rp1 697 803 per hektar. Hal ini berarti harga sosial input asing lebih rendah, akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Harga sosial untuk pupuk anorganik (atonik) sebesar Rp42 750 per botol lebih rendah dibandingkan harga privatnya yaitu Rp50 000 per botol. Sementara itu, harga sosial obat-obatan sebesar Rp85 500 per botol (antracol), Rp34 020 per botol (rizotin), dan Rp32 400 per botol (dursban) lebih murah dibandingkan harga privatnya yaitu Rp100 000 per botol (antracol), Rp42 000 per botol (rizotin), dan Rp40 000 per botol (dursban). Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah berupa bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas bahan baku input tradable serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input tradable yaitu pupuk anorganik (atonik) dan obat-obatan. Sedangkan harga BBM jenis premium pada budget privat sebesar Rp6 500 per liter lebih rendah dari harga pada budget sosial yaitu Rp9 500 per liter. Oleh karena itu, kebijakan terhadap input anggrek Vanda doughlas yaitu bea masuk 5 persen atas bahan baku input tradable (pupuk anorganik dan obat-obatan), PPN 10 persen, dan subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter premium untuk biaya transportasi input tidak efektif dan membuat keuntungan yang diterima petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan lebih kecil dbandingkan tanpa adanya kebijakan input. Selain input tradable, input lain yang digunakan dalam proses produksi adalah input domestik (faktor domestik). Harga atas input tersebut ditentukan oleh mekanisme pasar lokal atau di dalam negeri. Transfer Faktor (TF) merupakan indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi tersebut. TF merupakan selisih antara biaya input domestik yang dihitung pada harga privat dengan biaya input produksi pada harga bayangan (sosial). Kebijakan pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif atau negatif). Berdasarkan hasil analisis, nilai Transfer Faktor (TF) menunjukkan besarnya subsidi BBM terhadap input non tradable (faktor domestik). Nilai TF anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan bernilai positif, yaitu sebesar Rp2 907 775 per hektar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat implisit subsidi positif pada input non tradable (faktor domestik) dari Pemerintah yaitu subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium dan juga subsidi dari Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan kepada petani seperti bantuan bibit dan input peralatan (bambu). Oleh karena itu, kebijakan tersebut efektif dilaksanakan.
59 Untuk menunjukkan tingkat proteksi atau kebijakan yang dibebankan pemerintah pada input tradable apabila dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah, dapat dilihat dari besarnya nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable privat dengan biaya input tradable sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa NPCI pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan bernilai lebih dari satu yaitu sebesar 1.1918. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi karena petani membeli input tradable lebih mahal dari harga dunia akibat adanya pajak impor sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen pada input tradable (pupuk anorganik dan obat-obatan) (Pranoto 2011). Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Najarzadeh et al. (2011) dan Mobasser et al. (2012) yang mengatakan bahwa jika nilai NPCI>1 maka biaya input tradable lebih tinggi pada harga privat daripada harga sosialnya. Hal ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan membayar pajak atas input produksi yang diimpor yaitu pupuk anorganik dan obat-obatan sehingga biaya produksinya menjadi tinggi. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan menggalakkan penggunaan pupuk dan obat-obatan organik yang dibuat sendiri untuk mengurangi biaya produksi. Secara keseluruhan, kebijakan pemerintah terhadap input produksi yaitu pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter tidak efektif atau belum mampu mendorong peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Olehn karena itu, kebijakan pada input anggrek Vanda doughlas tersebut perlu dievaluasi. Dampak Kebijakan terhadap Input dan Output Analisis kebijakan pemerintah terhadap input-ouput adalah analisis gabungan antara kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan gabungan tersebut dapat dilihat melalui indikator Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Keofisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Nilai EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable pada harga privat (aktual) dengan selisih penerimaan dan biaya input tradable pada harga sosial (bayangan). Nilai EPC tersebut menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah yaitu pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter dalam melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai EPC pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan kurang dari satu atau sebesar 0.2181. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah terhadap inputoutput yang berlaku tidak efektif melindungi petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan karena petani membayar harga input tradable dan menjual otput yang tidak sesuai dengan harga seharusnya (harga sosial). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ugochukwu dan Ezedinma (2011) yang mengatakan bahwa nilai EPC<1 mengindikasikan harga input tradable dan output yang diterima produsen tidak sama dengan harga sosialnya.
60 Indikator lain yang menunjukkan adanya dukungan (proteksi) dari pemerintah terhadap petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah Transfer Bersih (TB). TB merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima petani (privat) dengan keuntungan bersih sosial (pada kondisi pasar bersaing sempurna). Hasil analisis menunjukkan nilai TB di lokasi penelitian bernilai kurang dari nol atau negatif yaitu minus Rp8 510 379 050. Per hektar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tidak ada tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input-output anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan atau dengan kata lain kebijakan tersebut merugikan petani. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter tidak efektif dan perlu dievaluasi. Nilai koefisien keuntungan (PC) juga menunjukkan adanya proteksi atau dukungan dari pemerintah terhadap petani atau pelaku usaha anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. PC merupakan rasio atau perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC dapat menjadi indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah kurang dari satu yaitu sebesar 0.0983. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan. artinya, petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memperoleh keuntungan yang lebih rendah pada saat ada kebijakan dibandingkan pada saat tidak ada kebijakan. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter tidak efektif dan perlu dievaluasi. Berikutnya, rasio subsidi bagi produsen (SRP) adalah rasio antara TB dengan penerimaan berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai SRP menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial usahatani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi anggrek Vanda doughlas. Hasil analisis menunjukkan nilai SRP di lokasi penelitian adalah minus 3.4871 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini yaitu pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premium menyebabkan petani atau pelaku usaha anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mengeluarkan biaya lebih tinggi dari biaya sosialnya untuk berproduksi. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter tidak efektif dan perlu dievaluasi. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output yang ada selama ini yaitu pajak bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen atas input produksi seperti pupuk organik dan obat-obatan serta subsidi BBM sebesar Rp3 000 per liter untuk jenis premiun belum melindungi petani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan secara efektif. Hal ini terlihat dari ketidakstabilan harga anggrek Vanda doughlas yang dipengaruhi oleh
61 uaca dan perayaan hari-hari besar, peningkatan harga input setiap tahun khususnya pupuk anorganik dan obat-obatan, penurunan surplus petani serta keuntungan yang diperoleh menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Kondisi tersebut dapat merugikan bagi pengembangan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter tidak efektif untuk meningkatkan daya saing Vanda doughlas dan perlu dievaluasi.
Analisis Sensitivitas Usahatani Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan Analisis sensitivitas dilakukan untuk mereduksi kelemahan matriks analisis kebijakan (PAM) yang bersifat statis yaitu hanya memberlakukan satu tingkat harga dimana pada kenyataannya harga dapat bervariasi atau berfluktuatif. Analisis sensitivitas ini juga digunakan pada penelitian Kapaj et al. (2010). Kapaj et al. (2010) menggunakan skenario peningkatan dan penurunan harga output dan luas lahan. Simulasi skenario pada analisis sensitivitas ini diperlukan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi dalam sistem ekonomi yang dinamis. Pada penelitian ini digunakan empat skenario analisis sensitivitas. Empat skenario tersebut adalah jika terjadi peningkatan harga obat-obatan, peningkatan harga pupuk anorganik, peningkatan produksi, dan penurunan produksi anggrek Vanda doughlas. Keempat skenario tersebut bersifat cateris paribus, yaitu jika terjadi perubahan pada satu variabel, maka variabel lainnya dianggap tetap. Adanya perubahan terhadap harga input dan jumlah produksi tersebut menyebabkan perubahan tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Perubahan indikator daya saing (DRC, PCR) dan dampak kebijakan pemerintah (NPCO, NPCI, EPC, PC, SRP) terhadap anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan atas skenario yang diterapkan dalam analisis sensitivitas terdapat pada Tabel 26. Tabel 26 Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan pada Berbagai Skenario Kondisi Indikator Normal DRC PCR NPCO NPCI EPC PC SRP
01325 0.6089 0.2189 1.1918 0.2181 0.0983 3.5871
Skenario (1) (2) (3) (4) Harga obatHarga pupuk Produksi naik Produksi turun obatan naik 10% anorganik naik 10 % 10% 10% 0.1326 0.1326 0.1204 0.1472 0.6097 0.6091 0.5533 0.6768 0.2189 0.2189 0.2189 0.2189 1.1921 1.1913 1.1918 1.1918 0.2180 0.2180 0.2181 0.2180 0.0981 0.0983 0.1108 0.0826 -3.5885 -3.5875 -3.5855 -3.5892
62 Dampak Peningkatan Harga Obat-obatan Analisis pertama yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan bila terjadi peningkatan harga obat-obatan (curacron, rizotin, dursban) yang merupakan input tradable sebesar 10 persen. Asumsi penggunaan nilai 10 persen berdasarkan rata-rata peningkatan harga obatobatan (curacron, rizotin, dursban) setiap tahun yang dirasakan petani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hasil tabulasi PAM pada saat terjadi kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen terdapat pada Tabel 27. Tabel 27 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Obat-obatan Sebesar 10 persen (Rp/Ha) Biaya Uraian
Penerimaan
Privat Sosial Dampak Kebijakan
2 383 046 400 10 888 819 872
Input Tradable 11 379 336 9 545 635
-8 505 773 472)
1 833 701
Faktor Domestik 1 445 989 987 1 442 840 617
Keuntungan 925 677 077 9 436 433 620
3 149 370 -8 510 756 543)
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya meskipun nilai DRC dan PCR-nya lebih besar dari kondisi normal. DRC dan PCR pada skenario ini masih bernilai kurang dari satu yaitu 0.1226 dan 0.6097 (Tabel 26). Hal ini juga dapat dilihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang masih bernilai positif meskipun nilainya lebih rendah dari kondisi normal. Maka, bila terjadi kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen, pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas pada skenario ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) yang menemukan bahwa peningkatan harga input produksi, seperti obat-obatan 10 persen bisa menurunkan keuntungan yang diperoleh petani terhadap komoditas tersebut namun masih layak diusahakan. Jadi, pada harga finansial, setiap kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen, maka keuntungan yang diperoleh dalam pengusahaan anggrek Vanda doughlas di lokasi penelitian berubah (menurun) menjadi Rp925 677 077 per hektar dengan asumsi faktor lain tetap (cateris paribus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan harga obat-obatan sebesar 10 persen dapat menurunkan tingkat daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan . Dampak Peningkatan Harga Pupuk Anorganik Analisis kedua yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif Vanda doughlas di Kota
63 Tangerang Selatan bila terjadi peningkatan harga pupuk anorganik (atonik) yang merupakan input tradable sebesar 10 persen. Asumsi penggunaan nilai 10 persen berdasarkan rata-rata peningkatan harga pupuk anorganik setiap tahun yang dirasakan petani Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hasil tabulasi PAM pada saat terjadi kenaikan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen terdapat pada Tabel 28. Tabel 28 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Pupuk Anorganik Sebesar 10 persen (Rp/Ha) Biaya Uraian
Penerimaan
Privat Sosial Dampak Kebijakan
2 383 046 400 10 888 819 872 -8 505 773 472
Input Faktor Tradable Domestik 10 778 988 1 444 922 700 9 048 211 1 441 956 305 1 730 777
2 966 395
Keuntungan 927 344 712 9 437 815 356 -8 510 470 644
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya meskipun nilai DRC dan PCR-nya lebih besar dari kondisi normal. DRC dan PCR masih bernilai kurang dari satu yaitu 0.1326 dan 0.6091 (Tabel 26). Hal ini juga dapat dilihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang bernilai positif meskipun nilainya lebih lebih kecil dari kondisi normal. Maka, bila terjadi kenaikan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen, pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas pada skenario ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) yang juga menggunakan skenario peningkatan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen pada komoditas Belimbing Dewa. Menurut Puspitasari (2011), peningkatan harga pupuk anorganik sebsesar 10 persen akan menurunkan keuntungan yang diterima petani namun masih layak diusahakan. Jadi, pada harga finansial, setiap kenaikan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen, maka keuntungan yang diperoleh dalam pengusahaan anggrek Vanda doughlas di lokasi penelitian berubah (menurun) sebesar Rp927 344 712 per hektar dengan asumsi faktor lain tetap (cateris paribus). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan harga pupuk anorganik dapat menurunkan tingkat daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Dampak Peningkatan Jumlah Produksi Analisis ketiga yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif bila terjadi peningkatan jumlah produksi (output) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan sebesar 10 persen. Asumsi penggunaan nilai 10 persen berdasarkan pada program
64 Dinas Pertanian Tangerang Selatan yang berencana memperluas lahan pertanian Vanda doughlas. Tabel 29 menunjukkan tabulasi PAM saat terjadi peningkatan produksi anggrek Vanda doughlas sebesar 10 persen. Tabel 29 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Jumlah Produksi Sebesar 10 persen (Rp/Ha) Biaya Uraian
Penerimaan
Privat Sosial Dampak Kebijakan
Keuntungan
2 621 351 040 11 977 701 859
Input Tradable 10 551 583 8 853 780
Faktor Domestik 1 444 518 425 1 441 610 650
1 166 281 032 10 527 237 429
-9 356 350 819
1 697 803
2 907 775
-9 360 956 397
Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah anggrek Vanda doughlas masih tetap memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya bahkan daya saingnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai DRC dan PCR yang masih kurang dari satu serta nilainya lebih kecil dari nilai pada kondisi normal yaitu 0.1204 dan 0.5533 serta nilai keuntungan privat dan sosial yang lebih tinggi (Tabel 26). Hasil analisis sensitivitas pada skenario ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aliyatillah (2009) yang juga menggunakan skenario peningkatan jumlah produksi output sebesar 10 persen. Menurut Aliyatillah (2009), skenario peningkatan produksi output sebsesar 10 persen akan meningkatkan keuntungan yang iterima oleh petani sehingga komoditas tersebut menjadi sangat layak diusahakan. Dengan demikian, jika skenario ini terjadi maka pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan menjadi semakin berdaya saing. Dampak Penurunan Jumlah Produksi Analisis keempat yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif bila terjadi penurunan jumlah produksi (output) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan sebesar 10 persen. Tabel 30 menunjukkan tabulasi PAM saat terjadi penurunan produksi anggrek Vanda doughlas sebesar 10 persen. Tabel 30 Tabulasi PAM Skenario Penurunan Jumlah Produksi Sebesar 10 persen (Rp/Ha) Biaya Uraian Privat Sosial Dampak Kebijakan
Penerimaan 2 144 741 760 9 799 937 885
Input Tradable 10 551 583 8 853 780
Faktor Domestik 1 444 518 425 1 441 273 690
-7 655 196 125
1 697 803
3 244 735
Keuntungan 689 671 752 8 349 810 415 -7 660 138 663
65 Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah anggrek Vanda doughlas masih tetap memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya meskipun nilai DRC dan PCR serta keuntungan privat dan sosialnya lebih kecil dari kondisi normal. Nilai DRC dan PCR yang diperoleh masih kurang dari satu yaitu 0.1472 dan 0.6768 (Tabel 26). Hasil analisis sensitivitas pada skenario ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) dan Aliyatillah (2009) yang juga menggunakan skenario penurunan produksi output sebesar 10 persen. Menurut Puspitasari (2011) dan Aliyatillah (2009), penurunan produksi output sebsesar 10 persen akan menurunkan keuntungan yang diterima petani namun masih layak diusahakan. Dengan demikian, jika skenario ini terjadi maka pengusahaan anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan masih layak untuk dijalankan namun, daya saingnya cenderung menurun.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Usaha anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki daya saing (mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif) karena efisien secara produksi, nilai PCR dan DRC yang diperoleh kurang dari satu serta menguntungkan secara finansial dan ekonomi. 2. Kebijakan pemerintah terhadap output serta terhadap input belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Secara keseluruhan kebijakan terhadap input-output belum melindungi petani anggrek Vanda doughlas secara efektif serta belum mendukung peningkatan daya saing Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Kebijakan tersebut berupa pajak bea masuk dan PPN atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) serta subsidi BBM yang merupakan kebijakan nasional dan diterapkan di Kota Tangerang Selatan khususnya untuk produk Vanda doughlas. 3. Peningkatan harga obat-obatan dan pupuk anorganik serta penurunan jumlah produksi output sebesar 10 persen bisa menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, namun masih menguntungkan secara finasial dan ekonomi. Sehingga masih layak untuk diusahakan. Sedangkan peningkatan produksi output sebesar 10 persen bisa meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan.
66 Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang diperoleh maka dapat dirumuskan beberapa saran implikasi kebijakan, yaitu : 1. Daya saing Vanda doughlas yang diperoleh masih rendah, khususnya pada keunggulan kompetitifnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang langsung melindungi output dan input Vanda doughlas dalam hal peningkatan promosi ekspor seperti subsidi sehingga mampu meningkatkan pendapatan usahataninya. 2. Kebijakan pajak bea masuk atas input produksi 5 persen, PPN 10 persen dan subsidi BBM untuk jenis premium Rp3 000 perlu dievaluasi kembali karena belum mampu mendukung peningkatan daya saing Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. 3. Bagi pemerintah Kota Tangerang Selatan, perlu dibuat peraturan khusus yang mengatur pengusahaan lahan pertanian terkait Vanda doughlas. Sehingga masalah alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan properti bisa dikurangi. Serta segera merealisasikan program Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan tentang perluasan lahan anggrek sebesar 10.4 hektar pada tahun 2014. 4. Bagi pihak akademisi yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan diharapkan dapat menganalisis efisiensi produsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan serta topik lainnya.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2012. Data Produksi Anggrek per Wilayah di Kota Tangerang Selatan. [Internet].Tangerang Selatan (ID): Info Tangerang; [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.InfoTangerang.com. [Anonim]. 2007. Prospek dan arah Pengembangan agribisnis anggrek Edisi Kedua [Internet]. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian; [diunduh 2013 Des 19]. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/special/publikasi/doc_hortikultura/a nggrek/anggrek-bagian-a.pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Komoditas Unggulan Tanaman Hias Indonesia Tahun 2007-2011. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data Produksi, Luas Panen, Produktivitas Anggrek Tahun 2008-2011. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Provinsi Penghasil Anggrek Tahun 2011. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. [Comtrade] United Nation Commodity Trade Statistic. 2013. Orchid. [diunduh 2013 Februari 30]. Tersedia pada: http://comtrade.un.org.
67 [Ditjenhorti] Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian. 2012. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku tahun 2006-2010. Jakarta (ID). [diunduh 2013 Februari 30]. Tersedia pada: http://Ditjenhorti.deptan.go.id. [Ditjenhorti] Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian. 2012. Nilai dan Volume Ekspor-Impor Anggrek Tahun 2007-2011. Jakarta (ID). [diunduh 2013 Februari 30]. Tersedia pada: http://Ditjenhorti.deptan.go.id [Ditjenhorti] Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Pelaksanaan Pengembangan Hortikultura 2012. Jakarta (ID). Kementrian Pertanian Indonesia. Aliyatillah, FM. 2009. Analisis Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asmarantaka WR. 2011. Kewirausahaan dan Dayasaing Agribisnis. Bogor (ID): IPB Press. Basavaraj G, Rao PP, Achoth L, Reddy CR,. 2013. Assesing Competitiveness of Sweet Sorghum for Ethanol Production: A Policy Analysis Matrix Approach. Agricultural Economics Research Review [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 26(1):31-40. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/152074. Chong ST, Ooi KB, Chang AYL, Tan BI. 2009. TQM and Competitive Advantage: A Riview and Research Agenda. International Journal of Business and Management Science [Internet]. [diunduh 2013 Feb 20]; 2(2):193-206. Tersedia pada:http://proquest.com. Coelli, T., D.S.P. Rao, C.J. O′Donnell and G.E. Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. New York (US): Springer. Daryanto. 2007. Analisa Dayasaing Kakao Indonesia di Pasar Internasional [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fachrodji A. 2010. Model Dayasaing Produk Gondorukem di Pasar Internasional dan Implikasinya terhadap Pengembangan Industri Gondorukem di Indonesia [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Feher I, Papp Z,. 2002. Analysisng Competitivenes of The Hungarian Agro-Food Chains. Paper Presentation at the Xth EAAE Congres ‘Exploring Diversity in the European Agri-Food system’. Zaragoza (SP) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/24848. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Gumiwang R. 2012. Penjualan Anggrek: Pasar Nasional masih Terbuka Luas [Internet]. Bandung (ID): Bisnis Jabar [koran on line]; [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http//www. bisnis-jabar.com. Jaya U. 2009. Prospek Agribisnis Florikultura [Internet]. Jakarta (ID): Agrina [Tabloit on line]; [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada:http//www.agrinaonline.com. Kadariyah K. dan Graff C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kapaj AM, Kapaj I, Halbrendt CC, Totojani O. 2010. Assesing the Comparative Advantage of Albanian Olive Oil Production. International Food
68 Agribusiness Management Review. International Food Agribusiness Management Association (IAMA) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30];13(1). Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/items-byauthor?author=Kapaj%2C+++Ilir. Kartikasari MA. 2008. Analisis Daya Saing Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar Internasional [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Krugman, P. R. and M. Obstfeld 2004. Ekonomi Internasional. Jakarta (ID): PT Indeks Kelompok Gramedia. Laksono, HW. 2011. Anggrek akan jadi icon Tangsel [Internet]. Jakarta (ID): Kompas [Koran on line]; [diunduh 2013 Jan 20]. Tersedia pada: http//www.kompas.com. Mobasser HM, Rastegaripour F, Tavassoli A. 2012. Study of Effects of Policy Analysis Matrix and Relative Advantage of Rapeseed Production (Case Study: Sistan Region). International Journal of agriculture and Crop Sciences [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 4(19):1421-1425. Tersedia pada:http://www.ijagcs.com. Monke AE, Pearson SR. 1989. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. New York (US) : Cornell University Press. Morrison J. and K. Balcombe. 2002. Policy Analysis Matrices: Beyond Simple Sensitivity Analysis. Journal of International Development [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 14 (4): 459-471. Tersedia pada: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jid.887/abstract. Najarzadeh R, Rezagholizadeh M, Saghaian S, Reed M, Aghaie M. 2011. The Impact of Trade Liberalization on Persian Rugs: A Policy Analysis Matrix Approach. Journal of food Distribution Research 42 [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 89-100. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/139335. Neptune L, Jacque A. 2007. Competitiveness of cocoa Production Systems in Trinidad and Tobago. Di dalam: Badrie N, editor. Food Safety and Value Added Production and Marketing of Tropical Crops in Collaboration with the 42nd Carribean Food Crops Society Meeting; 2006 July; Puerto Rico. Proceeding of the 26th West Indies Agricltural Economic Conferece. Pp 50-58 [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 89-100. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/36949. Nash, CA dan Pearce, DW. 1981. The Social Appraisal of Project. London (GB): The Mac Millan Press. Novianti, T. 2003. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran [tesis]. Bogor (ID): Institut Petanian Bogor. Nurmalina R., Sarianti T., dan Karyadi A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor (ID): Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijaksanaan Insentif Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pearson S, Carl G, Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor. Pengelolaan Data dan Informasi Ditjen Hortikultura. 2012. Data Ekspor-Impor Anggrek Tahun 2007-201. Jakarta (ID): Direktur Jendral Hortikultura.
69 Pitelis NC. 2009. The Sustainable Competitive Advantage and Catching-Up of Nations: FDI, Clusters, and The Liability (Asset) of Smallness.. Management International Review [Internet]. [diunduh 2013 Feb 20];49(1):95. Tersedia pada:http://proquest.com. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. London (GB): Macmillan. Porter, M.E. 1991. Strategi Bersaing. Terjemahan. Jakarta (ID): Erlangga. Pranoto SY. 2011. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Dayasaing Lada Putih (Muntok White Paper) di Provinsi Bangka Belitung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Puspitasari, Eka. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap usaha Belimbing Dewa di Kota Depok [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rodgers A. 2008. Economic Analysis of Smallholder Rubber agroforestry System Efficiency in Jambi Indonesia [thesis]. Bogor (ID): Bogor Agricultural University. Sagala PA. 2012. Analisis efisiensi Produksi dan Pendapatan Usahatani anggrek Vanda doughlas di Kelurahan Pondok Benda Kota Tangerang Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Salvatore D. 1994. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Ke-5. Prentice Hall. Jakarta (ID): Erlangga. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Ke-5. Prentice Hall Jakarta (ID): Erlangga. Sumaryono G. 2011. Anggrek Icon Kota Tangsel [Internet]. Rakyat Merdeka [Koran on line]; diunduh pada 2012 Juni 22]. Tersedia pada:http://www.rakyatmerdeka.com. Rochman TN. 2011. Strategi Pengembangan Nanoteknologi dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Global Agroindustri Nasional [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ugochukwu AI, Ezedinma CI. 2011. Intensification of Rice Production systems in south-eastern Nigeria: A Policy Analysis Matrix Approach. International Journal of Agricultural Manajement and Development (IJAMAD) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 89-100. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/143498. Zamroni. 2000. Dayasaing Komoditas Ekspor Pertanian. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Worldbank. 2013. GDP Growth (Annual %) [Internet]. [diunduh 2013 Okt 18]. Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG. Worldbank. 2013. Deposit Interest Rate %.[Internet]. [diunduh 2013 Okt 18]. Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/FR.INR.DPST.
70 Lampiran 1 Syarat Kualitas Vanda No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Uji Panjang malai Jumlah bunga keseluruhan Jumlah bunga mekar Jumlah bunga kuncup Susunan bunga dalam malai Bekas pestisida Bunga rusak Binatang hidup
Sumber : SNI01-3171-1995
Kelas I Min 45 Min 12 Min 9 Max 3 Lengkap Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Kelas II Min 40 Min 9 Min 7 Max 2 Lengkap Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Kelas III Min 35 Min 7 Min 5 Max 2 Lengkap Tidak ada Tidak ada Tidak ada
71 Lampiran 2 Gambar Alur Usahatani Anggrek Vanda doughlas
1. Persiapan Lahan
2. Penanaman bibit
3. Pemberian Pupuk kandang
72 Lampiran 2 Gambar Alur Usahatani Anggrek Vanda doughlas (lanjutan)
4. Pemberian Sabut Kelapa
5. Penyiraman
6. Penyemprotan obat-obatan dan pupuk anorganik
73 Lampiran 2 Gambar Alur Usahatani Anggrek Vanda doughlas (lanjutan)
7. Panen pertama pada umur 8 bulan setelah tanam
8. Pemanenan sampai umur ekonomis tanaman habis (3 tahun )
74 Lampiran 3 Proporsi Biaya Input terhadap Biaya Input Total Pengusahaan Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan No
Sektor
1
NA
Jenis Biaya bibit anggrek*
Domestik (%) Asing (%) 100 0
2
sektor yang tidak jelas batasannya
pupuk kandang
100
0
3
sektor yang tidak jelas batasannya
sabut kelapa
100
0
4
industri pupuk dan pestisida
atonik (pupuk cair)
64
36
5
industri pupuk dan pestisida
antracol (fungisida)
64
36
6
industri pupuk dan pestisida
rizotin (insektisida)
64
36
7
Industri barang dari logam
Cangkul
100
0
8
Industri barang dari logam
Gunting
100
0
9
Industri barang dari logam
Parang
100
0
10
Industri barang dari logam
Golok
100
0
11
Industri barang dari logam
Pisau
100
0
12
Paku
100
0
power sprayer
100
0
pompa air
100
0
15
Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri barang karet dan plastik
selang air
100
0
16
Industri barang karet dan plastik
Ember
100
0
17
Industri barang karet dan plastik
tali raffia
100
0
18
NA
Pengki
100
0
19
Bamboo
100
0
20
NA upah dan gaji
tenaga kerja
100
0
21
Real estate dan jasa perusahaan
sewa lahan
100
0
22
Lembaga Keuangan
modal bunga
100
0
23 Angkutan darat Sumber: input-output Indonesia 2008 Ket: * data primer 2013 NA = data tidak tersedia
Transportasi
100
0
13 14
75 Lampiran 4 Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2012 Uraian
Nilai(Rp)
1
1 884 000 417 888 900
1
1 900 449 504 824 770
Total Nilai Ekspor (Xt)
Total Nilai Impor (Mt)
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)2 2
Penerimaan Pajak Impor (TMt)
24 738 000 000 000 23 206 000 000 000
3
Nilai Tukar Rupiah /US$ (OER) Xt + Mt Xt –TXt Mt + TMt SCFt SER (Rp/US $)
Sumber: 1. Badan Pusat Statistik, 2012 2. Indikator Ekonomi, Badan Pusat Statistik, 2012 3. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia, Bank Indonesia, 2012
9 570.73 3 784 449 922 713 670 1 875 711 504 824 770 1 923 655 504 824 770 1.000405 9 566.85
76 Lampiran 5 Perhitungan Harga Bayangan Output Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan No 1 2 3 4 5 6
9
7
8 10
Keterangan FOB Indonesia (US Dollar/kg)1 Nilai Tukar (Rp/US Dollar)6 Premium nilai tukar (%) Nilai tukar ekuilibrium (Rp/US Dollar)6 FOB Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) Biaya angkut dan penanganan (Rp/kg) transportasi ke bandara (Rp/kg)2 penanganan pengemasan (Rp/kg)3 FOB Indonesia dalam mata uang domestik dikurangi biaya angkut dan penanganan(Rp/kg) faktor konversi berat (dari kg ke ikat) (ikat/kg)2 FOB Indonesia dalam mata uang domestik dikurangi biaya angkut dan penanganan(Rp/ikat) Biaya jasa karantina 4 pemeriksaan Rp 10/ bibit (1 ikat=100 tangkai) laboratorium Rp 10.000 dokumen Rp 1.000 Biaya perijinan CITES (US $ 0,5 per sekali mengekspor)5 harga paritas ekspor di tingkat petani (Rp/ikat) Dibulatkan
Sumber: 1 Statistik perdagangan luar negeri Indonesia jilid 1, BPS 2013 2 Data primer 2013 3 Data primer 2013 dan bsdbox.wordpress.com 4 Candi Orchids 2012 5 cites.org (buletin PAI "Pesta Anggrek 2007") 6 SER (Rp/US $)
Vanda Doughlas 13.32 9 566.85 0.00 9 566.85 127 430.44 14 666.67 555.55 112 208.22 3.00 336 624.67 1 000.00 10 000.00 1 000.00 4 783.42 319 841.25 319 850
67 Lampiran 6 Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Tahun 1 INPUT-OUTPUT Input Tradable
Jenis Pupuk Anorganik (atonik)
Umur Ekonomis
jumlah
Nilai (Rp/Ha) 36% Asing
64% Domestik
500 mL/botol
50 000
48
864 000
1 536 000
Obat-obatan Antracol (fungisida)
Botol
100 000
48
1 728 000
3 072 000
rizotin (insektisida)
Botol
42 000
48
725 760
1 290 240
500 mL/botol
40 000
48
691 200
1 228 800
Dursban (insektisida) Faktor Domestik
Satuan
Harga (Rp/satuan)
batang
4 000
200 000
800 000 000
50kg/karung
7 500
1 tahun
6 000
45 000 000
Penyusutan Peralatan Cangkul
unit
75 000
5 tahun
5
75 000
Gunting
unit
50 000
5 tahun
3
30 000
Parang
unit
50 000
5 tahun
5
50 000
Golok
unit
50 000
5 tahun
4
40 000
Pisau
unit
30 000
5 tahun
3
18 000
unit
350 000
10 tahun
5
175 000
7 000
5 tahun
150
210 000
Bibit anggrek Vanda doughlas Pupuk Organik (Kandang)
power sprayer selang air
meter
pompa air
unit
350 000
3 tahun
4
467 000
Ember
unit
1 000
5 tahun
100
20 000
Pengki
unit
25 000
5 tahun
4
20 000
tali rafia
gulung
16 000
1 tahun
16
256 000
kg
17 500
1 tahun
10
175 000
batang
17 000
1 tahun
1 500
Paku Bambu
25 500 000
68 sabut kelapa
karung
Sewa Lahan
ha
5 000
1 tahun
4 000
20 000 000
100 000 000
1
100 000 000
Tenaga Kerja Persiapan lahan sampe bibit diikat
HOK
70 000
84
5 880 000
Pemupukan
HOK
70 000
16
1 120 000
Penyiraman
HOK
70 000
720
50 400 000
pengendalian hama dan penyakit
HOK
70 000
48
3 360 000
sanitasi kebun
HOK
70 000
36
2 520 000
Pemanenan
HOK
70 000
16
1 120 000
Modal investasi membuat sumur pantek
1 500 000
1
1 500 000
membuat kolam penampung
1 000 000
1
1 000 000
150 000
12
1 800 000
6 500
14
91 000
Modal kerja biaya listrik untuk air Biaya bensin untuk transportasi
Rp/bulan Rp/liter
4 008 960
JUMLAH INPUT
OUPUT
Bunga Vanda doughlas segar KEUNTUNGAN Keuntungan dengan sewa lahan Keuntungan tanpa sewa lahan
rata2 Rp/ikat Rp
70 000
6 800
1 067 954 040 476 000 000 (595 963 000) (595 963 000) (495 963 000
69 Lampiran 6 Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan (Lanjutan) INPUT-OUTPUT Input Tradable
Faktor Domestik
Jenis
jumlah
Tahun 2 Nilai (Rp/Ha) 36% asing 64% domestik
jumlah
Tahun 3 Nilai (Rp/Ha) 36% asing 64% domestic
Pupuk anorganik (atonik)
48
864 000
1 536 000
48
864 000
1 536 000
Obat-obatan Antracol (fungisida)
48
1 728 000
3 072 000
48
1 728 000
3 072 000
Rizotin (insektisida)
48
725 760
1 290 240
48
725 760
1 290 240
Dursban (insektisida)
48
691 200
1 228 800
48
691 200
1 228 800
Bibit anggrek Vanda doughlas Pupuk Organik (kandang)
0
0
6 000
45 000 000
6 000
45 000 000
Penyusutan Peralatan Cangkul
0
75 000
0
75 000
Gunting
0
30 000
0
30 000
Parang
0
50 000
0
50 000
Golok
0
40 000
0
40 000
Pisau
0
18 000
0
18 000
power sprayer
0
175 000
0
175 000
selang air
0
210 000
0
210 000
pompa air
0
467 000
0
467 000
Ember
0
20 000
0
20 000
Pengki
0
25 000
0
25 000
tali raffia
48
768 000
48
768 000
Paku
10
175 000
10
175 000
1 500
25 500 000
1 500
25 500 000
Bambu
70 sabut kelapa
4 000
20 000 000
4 000
20 000 000
Sewa Lahan
1
100 000 000
1
100 000 000
Tenaga Kerja Persiapan lahan sampe bibit diikat
0
-
0
-
16
1 120 000
16
1 120 000
720
50 400 000
720
50 400 000
pengendalian hama dan penyakit
48
3 360 000
48
3 360 000
sanitasi kebun
36
2 520 000
36
2 520 000
48
3 360 000
48
3 360 000
Pemupukan Penyiraman
Pemanenan Modal investasi membuat sumur pantek membuat kolam penampung
-
Modal kerja biaya listrik untuk air
12
1 800 000
Biaya bensin untuk transportasi
14
91 000
JUMLAH INPUT
OUPUT
bunga Vanda doughlas segar
4 008 960 16 320
12
91 000
262 240 040 1 142 400 000
1 800 000 4 008 960
16 320
262 240 040 1 142 400 000
KEUNTUNGAN Keuntungan dengan sewa lahan
876 060 000
876 060 000
876 060 000
876 060 000
Keuntungan tanpa sewa lahan
776 060 000
776 060 000
Keterangan: output : rata2 panen 340 ikat perminggu tahun pertama panen dibulan ke 8 jadi ada 20 x panen tahun kedua dan ketiga bisa dipanen setiap minggu, jadi ada 48 x panen
71 Lampiran 7 Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Tahun 1 INPUT-OUTPUT Input Tradable
Jenis Pupuk Anorganik (Atonik)
Harga (Rp/satuan)
Umur Ekonomis
Nilai (Rp/Ha)
jumlah
36% Asing
64% Domestik
500 mL/botol
42 750
48
738 720
1 313 280
Obat-obatan Antracol (fungisida)
botol
85 500
48
1 477 440
2 626 560
Rizotin (insektisida)
botol
34 020
48
587 866
1 045 094
500 mL/botol
32 400
48
559 872
995 328
batang
4 000
Dursban (insektisida) Faktor Domestik
Satuan
200 000
800 000 000
7 500
1 tahun
6 000
45 000 000
unit
75 000
5 tahun
5
75 000
Gunting
unit
50 000
5 tahun
3
30 000
Parang
unit
50 000
5 tahun
5
50 000
Golok
unit
50 000
5 tahun
4
40 000
Pisau
unit
30 000
5 tahun
3
18 000
unit
350 000
10 tahun
5
175 000
7 000
5 tahun
Bibit anggrek Vanda doughlas Pupuk Organik (kandang) Penyusutan Peralatan Cangkul
power sprayer
50kg/karung
selang air
meter
150
210 000
pompa air
unit
350 000
3 tahun
4
467 000
Ember
unit
500
5 tahun
100
10 000
Pengki tali raffia Paku Bambu
unit
25 000
5 tahun
4
20 000
gulung
16 000
1 tahun
16
256 000
kg
17 500
1 tahun
10
175 000
batang
17 000
1 tahun
1 500
25 500 000
72 sabut kelapa
karung
5 000
1 tahun
4 000
20 000 000
100 000 000
1
100 000 000
HOK
70 000
84
5 880 000
Pemupukan
HOK
70 000
16
1 120 000
Penyiraman
HOK
70 000
720
50 400 000
pengendalian hama dan penyakit
HOK
70 000
48
3 360 000
sanitasi kebun
HOK
70 000
36
2 520 000
Pemanenan
HOK
70 000
16
1 120 000
1 500 000
1
1 500 000
1 000 000
1
1 000 000
150 000
12
1 800 000
9 500
14
133 000
Sewa Lahan Tenaga Kerja Persiapan lahan sampe bibit diikat
ha
Modal investasi membuat sumur pantek membuat kolam penampung Modal kerja biaya listrik untuk air Biaya bensin untuk transportasi
Rp/bulan Rp/liter
3 363 898
JUMLAH INPUT Output
Bunga Vanda doughlas segar KEUNTUNGAN Keuntungan dengan sewa lahan Keuntungan tanpa sewa lahan
rata2 Rp/ikat Rp
319 850
6 800
1 066 849 262 2 174 980 000 1 104 766 840 1 104 766 840 1 004 766 840
73 Lampiran 7 Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan (Lanjutan) Tahun 2 INPUT-OUTPUT
Jenis jumlah
Input Tradable
Faktor Domestik
Pupuk Anorganik (atonik) Obat-obatan Antracol (fungisida) Rizotin (insektisida) Dursban (insektisida) Bibit anggrek Vanda doughlas Pupuk Organik (kandang) Penyusutan Peralatan Cangkul Gunting Parang Golok Pisau power sprayer selang air pompa air Ember Pengki tali rafia Paku Bambu sabut kelapa Sewa Lahan Tenaga Kerja
48 48 48 48 0 6 000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 48 10 1 500 4 000 1
Tahun 3
Nilai (Rp/Ha) 36% asing 64% domestik 738 720 1 313 280 1 477 440 587 866 559 872
2 626 560 1 045 094 995 328
jumlah 48
45 000 000
48 48 48 0 6 000
75 000 30 000 50 000 40 000 18 000 175 000 210 000 467 000 20 000 25 000 768 000 175 000 25 500 000 20 000 000 100 000 000
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 48 10 1 500 4 000 1
Nilai (Rp/Ha) 36% asing 64% domestik 738 720 1 313 280 1 477 440 587 866 559 872
2 626 560 1 045 094 995 328 45 000 000 75 000 30 000 50 000 40 000 18 000 175 000 210 000 467 000 20 000 25 000 768 000 175 000 25 500 000 20 000 000 100 000 000
74 Persiapan lahan sampe bibit diikat pemupukan penyiraman pengendalian hama dan penyakit sanitasi kebun pemanenan Modal investasi membuat sumur pantek membuat kolam penampung Modal kerja biaya listrik untuk air Biaya bensin untuk transportasi JUMLAH INPUT
Output
Vanda doughlas segar
0 16 720 48 36 48
1 120 000 50 400 000 3 360 000 2 520 000 3 360 000
0 16 720 48 36 48
1 120 000 50 400 000 3 360 000 2 520 000 3 360 000
12 14
1 800 000 133 000 261 226 262
12 14
1 800 000 133 000 261 226 262
5 219 952 000
16 320
3 363 898 16 320
KEUNTUNGAN Keuntungan dengan sewa lahan Keuntungan tanpa sewa lahan Keterangan: output : rata2 panen 340 ikat perminggu tahun pertama panen dibulan ke 8 jadi ada 20 x panen tahun kedua dan ketiga bisa dipanen setiap minggu, jadi ada 48 x panen
4 955 361 840 4 955 361 840 4 855 361 840
3 363 898
5 219 952 000 4 955 361 840 4 955 361 840 4 855 361 840
75 Lampiran 8 Rekapitulasi Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dalam Rp/Ha
Tahun
Penerimaan (a)
1 2 3
476 000 000 1 142 400 000 1 142 400 000
Biaya Input Tradable (b)
Faktor domestik (c)
4 008 960 4 008 960 4 008 960
1 067 954 040 262 331 040 262 331 040
Keuntungan (d)=(a)-((b)+(c)) -595 963 000 876 060 000 876 060 000
DF (DR=6.82%) 0.936 0.876 0.820 Total
PV Penerimaan 445 536 000 1 000 742 400 936 768 000 2 383 046 400
PV Biaya Input Tradable 3 752 387 3 511 849 3 287 347 10 551 583
Faktor Domestik 999 604 981 229 801 991 215 111 453 1 444 278 913
PV Keuntungan -557 821 368 767 428 560 718 369 200 927 976 392
Ket: 1. NPV
927 976 392
2. Gross B/C atau R/C rasio
1.638
Lampiran 9 Rekapitulasi Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan dalam (Rp/Ha) Biaya Tahun
1 2 3
Penerimaan (a)
2 174 980 000 5 219 952 000 5 219 952 000
Input Tradable (b) 3 363 898 3 363 898 3 363 898
Faktor domestik (c) 1 066 849 262 261 226 262 261 226 262 Total
Ket: 1. NPV 2. Gross B/C
Keuntungan (d)=(a)-((b)+(c))
9 438 355 443 7.507
PV Biaya DF (DR=6.82%)
PV Penerimaan
PV Keuntungan Input Tradable
1 104 766 840 4 955 361 840 4 955 361 840
0.936 0.876 0.820
2 035 781 280 4 572 677 952 4 280 360 640 10 888 819 872
3 148 609 2 946 775 2 758 396 8 853 780
Faktor Domestik 998 570 909 228 834 206 214 205 535 1 441 610 650
1 034 061 762 4 340 896 972 4 063 396 709 9 438 355 443
Lampiran 10 Proporsi Biaya Penggunaan Input pada Usahatani Vanda doughlas No Jenis input 1 Pupuk anorganik (Atonik) 2 Obat-obatan Antracol (fungisida) Rizotin (insektisida) Dursban (insektisida) 3 Bibit anggrek Vanda doughlas 4 Pupuk Organik (Kandang) 5 Penyusutan Peralatan Cangkul Gunting Parang Golok Pisau power sprayer selang air pompa air Ember Pengki tali rafia Paku Bambu sabut kelapa 6 Sewa Lahan 7 Tenaga Kerja Persiapan lahan sampe bibit diikat Pemupukan Penyiraman pengendalian hama dan penyakit sanitasi kebun Pemanenan 8 Modal investasi membuat sumur pantek membuat kolam penampung 9 Modal kerja biaya listrik untuk air Biaya bensin untuk transportasi
Total
Persentase (%) 0.449 0.898 0.377 0.359 49.864 8.415 0.014 0.006 0.009 0.007 0.003 0.033 0.039 0.087 0.004 0.004 0.112 0.033 4.768 3.740 18.699 0.366 0.209 9.424 0.628 0.471 0.489 0.093 0.062 0.337 0.017
100
2
3
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 28 Oktober 1988. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Miran dan Ibu Sarinah. Penulis meraih gelar Sarjana Ekonomi dengan Mayor Agribisnis dan Minor Ekonomi Pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Selanjutnya Penulis diterima sebagai mahasiswa Magister Sains Agribisnis Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2011 dengan sponsor Beasiswa Unggulan dari BPKLN (Biro Pengembangan Kerjasama Luar Negeri) Kemendiknas (Kementrian Pendidikan Nasional). Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menulis artikel dengan judul Analisis Risiko Produksi Wortel dan Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Jawa Barat. Artikel tersebut sudah diterbitkan pada Jurnal Forum Agribisnis IPB Volume 1 Nomor 1 pada bulan Maret 2011. Penulis juga pernah mengikuti seminar internasional Advance Science and Technology: Sustainability And Prosperity di Universitas Hokkaido Jepang dan mempresentasikan tulisan Achieving Food Security Diversification Through Agroforestry pada tanggal 5-12 Februari 2013 dan artikel tersebut telah diterbitkan dalam Prosiding HISAS 10.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek di Kota Tangerang Selatan Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MS dan Bapak Dr Ir Andriyono Kilat Adhi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Amzul Rifin, SP MA dan Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS yang telah banyak memberi masukan dan saran pada tesis saya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Mohammad Heri Darmawan dari Divisi Hortikultura Dinas Pertanian Pertanian Kota Tangerang Selatan, Bapak Niman Sarip dari Kelompok Tani Parakan Jaya, Bapak Sunardi dari Kelompok Tani Parakan Asri, Bapak Sidik Ilyas dari Kelompok Tani Bulak Hijau, serta Bapak Narso dari Pusat Promosi dan Pemasaran Hortikultura Rawa Belong Jakarta, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014 Mila Jamilah