EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Objectives of the study are to analyze horticulture farming in terms of (1) economic and financial profitability, (2) competitiveness, (3) impacts of input-output price policy, and (4) policy implications to improve its efficiency. Method used was policy analysis matrix (PAM) based on farm household survey data from seven districts in Indonesia. Results of the study revealed that (1) farm business of shallot in Indramayu and Majalengka (West Java), chili and tomato in Agam (West Sumatera), and melon in Ngawi (East Java) were financially and economically profitable; (2) horticulture farm business in the study areas had competitive and comparative advantages; (3) regardless of changes by 24 – 59 percent in selling prices and yields for all commodities, the horticulture farm business were still able to reach the break even points. The study suggests (1) it is necessary to improve the marketing system including distribution of inputs and outputs of horticulture farming to enhance its efficiency and competitiveness; (2) encouraging more favorable business environment, such as credit facility, products standardization, and market information. Key words: competitiveness, efficiency, horticulture
PENDAHULUAN Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya (resource endowment) khas tropis untuk menghasilkan berbagai produk pertanian tropis yang tidak dapat dihasilkan negara non-tropis. Di antara berbagai komoditas pertanian khas tropis yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan memiliki prospek cerah pada masa mendatang sekaligus sebagai perolehan devisa adalah komoditas hortikultura, terutama sayuran dan buahbuahan. Permintaan komoditas sayuran dan buahbuahan pada 1996 sebesar 44,1 kg/kapita/tahun dan 24,5 kg/kapita/tahun, kemudian pada tahun 1999 masing-masing menjadi 48,2 kg/kapita/ tahun dan 18,6 kg/kapita/tahun (Susenas,19961999). Sementara itu, permintaan konsumen luar negeri dari segi volume dan nilai ekspor dari 608,2 ribu ton dengan nilai 137.574 (FOB US $ 000) untuk sayuran dan 369,9 ribu ton dengan nilai 232.227 (FOB US$ 000) untuk buah-buahan pada tahun 1996 menjadi 330,1 ribu ton senilai 85.958 (FOB US$ 000) untuk sayuran dan untuk buah-buahan sebesar 358 ribu ton dengan nilai 214.705 (FOB US$ 000)
50
pada tahun 2002).
2000
(Departemen
Pertanian,
Permintaan pasar domestik maupun pasar internasional terhadap komoditas hortikultura di masa datang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan. Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang membawa implikasi semakin ketatnya persaingan pasar, diperlukan peningkatan efisiensi dalam upaya peningkatan daya saing. Di sisi lain, antisipasi terhadap kontinuitas pasokan produk baik dalam jumlah maupun mutu sesuai preferensi konsumen dan ketepatan waktu penyediaan juga merupakan unsur prioritas untuk dapat bersaing di pasar dunia. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi tidak mampu bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu peningkatan daya saing merupakan tuntutan yang tidak bisa dihindari dalam pembangunan agribisnis hortikultura di masa mendatang (Irawan et al., 2001) Sejalan dengan arah perdagangan secara umum, pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan harga input dan output sebagai respon terhadap tuntutan pasar yang semakin terbuka. Dihapuskannya subsidi pupuk dan pestisida, diberlakukannya tarif impor dan atau pajak ekspor pada beberapa komoditas perta-
nian diduga berpengaruh terhadap kinerja usahatani hortikultura dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya saing komoditas tersebut dalam perdagangan domestik dan kaitannya dengan optimasi pemanfaatan sumberdaya domestik maupun dalam persaingan di pasar internasional. Untuk mengantisipasi berbagai perubahan tersebut diperlukan kajian komprehensif terkait dengan efisiensi dan daya saing usahatani hortikultura. Berdasar latar belakang tersebut kajian berikut bertujuan untuk menganalisis: (1) profitabilitas finansial dan ekonomi komoditas hortikultura; (2) daya saing dan sensitivitas faktor utama terhadap kinerja kelayakan ekonomi usahatani hortikultura; (3) dampak kebijakan harga input dan output terhadap sistem usahatani hortikultura; dan (4) merumuskan rekomendasi kebijakan yang terkait dengan pengembangan komoditas hortikultura. METODOLOGI Lokasi Penelitian, Data dan Informasi Penelitian menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui metode survei di enam kabupaten yang tersebar di empat provinsi yaitu Kabupaten Indramayu dan Majalengka (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Ngawi dan Kediri (Jawa Timur), dan Agam (Sumatera Barat). Di masing-masing kabupaten dipilih empat desa merepresentasikan desa dengan luas lahan sawah dominan berdasar ketersediaan irigasi yaitu desa lahan sawah irigasi teknis (ketersediaan air baik), setengah teknis (ketersediaan air sedang), sederhana (ketersediaan air kurang) dan lahan sawah tadah hujan. Di setiap desa diwawancara 20 petani lahan sawah yang dipilih secara acak dan mewakili penguasaan lahan sempit, sedang dan luas relatif terhadap populasi petani lahan sawah di masing-masing desa. Data primer yang dikumpulkan mencakup penggunaan input, output yang dihasilkan, pemasaran dan kelembagaan yang terkait dengan penggunaan input maupun pemasaran output. Data dikumpulkan untuk MH 2000/2001 dan MK I dan MK II 2001. Selain data primer di tingkat petani, penelitian juga mengumpulkan informasi di tingkat lembaga (Dinas Lingkup Departemen
Pertanian, Dolog, P.T. Pertani, P.T. Sang Hyang Seri, Puskud, KUD, pedagang sarana produksi dan pedagang output, Kelompok Tani) serta informan kunci di masing-masing lokasi penelitian mulai tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Informasi yang dikumpulkan meliputi kebijakan dan program yang dilaksanakan masing-masing instansi terkait serta keragaan dan perkembangan usaha masing-masing pelaku yang terkait dengan pengembangan komoditas hortikultura di lokasi penelitian. Cakupan Komoditas Komoditas yang dianalisis dalam tulisan ini merupakan komoditas hortikultura dimana berdasar pengamatan lapang merupakan komoditas unggulan dan diperkirakan merupakan komoditas pesaing padi di lahan sawah pada masing-masing lokasi penelitian. Dalam hal ini komoditas yang dimaksud adalah bawang merah di Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat; cabai merah di Kediri, Jawa Timur; cabai keriting dan tomat di Agam, Sumatera Barat serta melon di Ngawi, Jawa Timur. Metode Analisis Sesuai tujuan kajian, metode analisis yang sesuai untuk menjawab tujuan kajian adalah Policy Analysis Matrik (PAM). Sebelum matrik PAM disusun, tahap pertama dihitung tingkat keuntungan (profitabilitas) usahatani berdasarkan biaya input dan harga output baik secara finansial maupun ekonomi. Dengan perhitungan ini dapat diperoleh keuntungan baik finansial maupun ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah diterapkan baik pada input, output maupun input dan output secara bersama dapat diketahui. Hasil analisis PAM memberikan informasi tentang profitabilitas daya saing (keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan komparatif) suatu komoditas dan dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas tersebut. Tabel PAM disajikan pada Tabel 1. Nilai pada masing-masing sel dalam tabel PAM di atas untuk usahatani hortikultura diihitung dalam periode satu siklus produksi. Dari data pada tabel PAM di atas, kemudian dianalisis dengan berbagai indikator sebagai berikut :
51
Tabel 1.
Tabel Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya Uraian
Penerimaan
Input tradable
Input non tradable
Keuntungan
Harga privat
A
B
C
D
Harga sosial
E
F
G
H
I=A-E
J=B-F
K=C-G
L=I–J–K–D-H
Divergensi
Sumber: Monke, E.A. and S.R. Pearson. 1989
Analisis Keuntungan
Dampak Kebijaksanaan Pemerintah
a. Private Profitability (PP): D = A–(B+C). Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D>0, berarti sistem komoditas tersebut memperoleh profit di atas normal. Hal ini mempunyai implikasi bahwa komoditas tersebut mampu ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan.
Kebijaksanaan Output
b. Social Profitability (SP): H = E–(F+G). Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijaksanaan efisien, apabila H>0. Sebaliknya, bila H<0, berarti sistem komoditas tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Efisiensi Finansial dan Efisiensi a.
b.
52
Private Cost Ratio : PCR = C/(A – B). PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif. Domestic Resource Cost Ratio :DRCR= G/ (E–F). DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRCR < 1. Semakin kecil nilai DRCR berarti semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi.
a. Output Transfer : OT = A – E. Transfer output merupakan selisih antara penerimaan dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) ke produsen, demikian juga sebaliknya. b. Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A / E. NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO>1. Semakin besar nilai NPCO, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Kebijaksanaan Input a. Transfer Input : IT = B – F. Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT >0 menunjukkan adanya transfer dari petani ke produsen input tradable. b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input: NPCI=B/F. NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI<1, berarti ada kebijakan input tradable. C
Transfer faktor : FT = C–G. Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Jika nilai FT>0 berarti ada transfer
dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian sebaliknya. Kebijaksanaan Input-Output a. Effective Protection Coefficient : EPC = (A – B)/(E – F). EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC>1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik. b. Transfer Bersih: NT = D – H. Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen (privat) dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT>0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Demikian juga sebaliknya jika nilai NT lebih kecil dari nol. c. Profitability Coefficient : PC = D/H. Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian sebaliknya. d. Subsidy Ratio to Producer : SRP=L/E. Rasio subsidi produsen menunjukkan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijaksanaan untuk menggantikan seluruh kebijaksanaan komoditas dan ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas pertanian. Nilai SRP juga dapat dipecah menjadi tiga untuk melihat secara terpisah dampak transfer pada output, input yang diperdagangkan dan faktor domestik. Apabila nilai SRP negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika nilai SRP positif. Penentuan Input-output Fisik Input benih (bibit) bawang merah, cabai merah, cabai keriting, tomat, melon dan pupuk yang digunakan memakai satuan kg, sementara
untuk pestisida adalah liter, dan untuk satuan luas lahan adalah hektar. Tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga dikonversi ke hari kerja pria (HKP) dan dalam penelitian langsung dinilai ke dalam upah tenaga kerja (Rp/HK). Selanjutnya, untuk satuan output masing-masing diukur dalam bentuk segar. Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing Dalam studi ini, pengalokasian komponen biaya ke dalam komponen biaya asing dan domestik memakai pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa untuk input tradable, baik barang impor maupun produksi dalam negeri jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran di pasar internasional. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor maupun produksi domestik dapat dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Dalam penelitian ini barang-barang yang diasumsikan 100 persen tradable goods adalah bibit dan produk bawang merah, pupuk urea, TSP, SP-36, KCL, ZA, NPK, Pupuk Alternatif, ZPT, PPC, dan pestisida. Sedangkan input yang diasumsikan 100 persen sebagai domestic factors adalah benih dan produk cabai merah, benih dan produk cabai keriting, benih dan output melon, benih dan produk tomat, nilai sewa lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pajak dan iuran air. Penentuan benih dan output cabai merah, cabai keriting, tomat dan melon diasumsikan 100 persen domestik mengingat dalam perdagangan internasional spesifikasi benih dan output komoditas tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi komoditas yang ada di lokasi penelitian. Khusus untuk benih melon, petani di Ngawi umumnya menggunakan benih asal Thailand (impor) namun data ekspor-impor benih melon tidak tersedia, oleh karena itu dalam penelitian ini diasumsikan benih melon tidak diperdagangkan. Berdasarkan data yang tersedia pada komoditas-komoditas tersebut komponen asing hanya diperlakukan untuk faktor produksi pupuk. Secara rinci alokasi biaya komponen domestik dan asing disajikan dalam Tabel Lampiran 1.
53
Justifikasi Penentuan Harga Sosial Input dan Output 1. Harga sosial bawang merah di tingkat petani digunakan harga CIF (cost insurance and freight). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara netimportir bawang merah. Secara rinci perhitungan harga sosial bawang merah di tingkat petani dapat disimak pada Tabel Lampiran 2. 2. Untuk bibit bawang merah penentuan harga sosialnya digunakan harga CIF ditambah biaya (transpor dan penanganan) sampai ditingkat whole sale di ibukota provinsi. 3. Harga sosial cabai merah dan benih cabai merah, benih dan output cabai keriting, benih dan output tomat, maupun benih dan output melon dihitung dengan menggunakan harga aktual di tingkat petani pada masing-masing lokasi sesuai musim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa data eksporimpor benih maupun output komoditas tersebut sesuai spesifikasi komoditas di lokasi penelitian tidak tersedia, dengan demikian dapat diasumsikan bahwa cabai merah, cabai keriting (dan benihnya), tomat dan benihnya serta melon dan benihnya tidak diperdagangkan, dengan kata lain produksinya hanya untuk konsumsi domestik. Dengan demikian harga sosial komoditas tersebut sama dengan harga privatnya . 4. Berdasarkan neraca perdagangan, pupuk (kecuali Urea), PPC dan ZPT adalah netimport. Oleh karena itu untuk menghitung harga sosial pupuk tersebut digunakan harga paritas CIF di pelabuhan Indonesia dengan menambahkan beberapa biaya (transpor dan penanganan) sampai di tingkat whole sale di ibukota provinsi. Sedangkan pupuk Urea diturunkan dari harga FOB negara asal ditambah biaya traspor dan penanganan sampai di whole sale. Secara rinci perhitungan harga sosial pupuk sampai di tingkat whole sale dapat disimak pada Tabel Lampiran 3 -9 5. Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan, hal ini dilandasi oleh: (a) mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik; dan (b) sulitnya mencari opportunity cost of land pada MH. 6. Harga sosial tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang ber-
54
laku di masing-masing lokasi penelitian. Hal ini didasari pemikiran bahwa aksesibilitas lokasi sentra produksi padi umumnya memadai, sehingga mendorong berjalannya pasar tenaga kerja di pedesaan dan terintegrasinya pasar tenaga kerja, baik antar wilayah maupun antar sektor. 7. Sebagian besar petani padi akses terhadap BRI dan BRI Unit, maka tingkat suku bunga aktual menggunakan tingkat suku bunga KUPEDES BRI sebesar 2,5 persen/bulan, sehingga suku bunga aktualnya ditentukan 2.5 persen/bulan atau 30 persen/tahun, dengan tingkat inflasi 7 persen. Harga bayangan bunga modal dihitung dengan mengurangkan tingkat suku bunga aktual 30 persen dengan tingkat inflasi 7 persen, sehingga diperoleh harga bayangan bunga modal 23 persen pertahun atau 7,66 persen permusim tanam (4 bulan). 8. Harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap dollar menggunakan aktual exchange rate, hal ini dilandasi pemikiran bahwa indonesia mengkuti regim nilai tukar bebas (floating exchange rate). Besarnya harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan rata-rata nilai tukar musim tanam (MH 2000/01 dan MK 2001), besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp 9 603/US$ untuk MH 2000/2001, untuk MK I 2001 sebesar Rp 11 143/US$ dan pada MK II 2001 sebesar Rp 9.786/ US$. Penentuan rata-rata nilai tukar untuk komoditas hortikultura sama dengan penentuan nilai tukar untuk komoditas padi. PROFITABILITAS USAHATANI HORTIKULTURA Profitabilitas Finansial Sesuai dengan pendekatan analisis, penyebaran komoditas yang dikaji berdasarkan peluang komoditas hortikultura sebagai komoditas kompetitor padi (komoditas unggulan) yang bersifat spesifik lokasi. Komoditas bawang merah merupakan komoditas unggulan di desa contoh irigasi teknis, Kabupaten Indramayu dan di desa contoh irigasi setengah teknis di Kabupaten Majalengka, (Jawa Barat). Komoditas cabai merah merupakan komoditas unggulan di desa contoh irigasi teknis, irigasi sederhana dan tadah hujan di Kabupaten Kediri
(Jawa Timur). Komoditas cabai keriting merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Agam (Sumatera Barat) di desa contoh irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan tadah hujan. Di Kabupaten Agam, selain cabai keriting, tomat juga merupakan komoditas unggulan yang menyebar di desa contoh irigasi teknis, sederhana dan tadah hujan. Sementara itu, komoditas melon adalah komoditas unggulan di Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di desa contoh irigasi teknis, sederhana dan tadah hujan. Secara rinci profitabilitas finansial usahatani hortikultura menurut komoditas, lokasi, tipe irigasi dan musim disajikan pada Tabel 2 dan Tabel Lampiran 10–14. Usahatani Bawang Merah di Indramayu dan Majalengka Profitabilitas finansial (return to management) usahatani bawang merah di Indramayu menurut musim berkisar antara 28,0 – 35,6 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 7,1 – Rp 10,4 juta per ha), sementara di Majalengka berkisar antara 20.2 – 53.9 persen atau secara nominal antara Rp 3,0 – Rp 13,6 juta per ha. Dari kajian yang sama (Rachman et al., 2002), menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas usahatani padi pada lokasi dan musim yang sama lebih rendah, di Indramayu menurut musim berkisar antara 13,5 – 25,2 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 0,7 – Rp 1,5 juta per ha), sementara di Majalengka berkisar antara 9,7 – 19,6 persen atau antara Rp 0,51 – Rp 1,1 juta per hektar. Tingkat profitabilitas bawang merah sangat dipengaruhi oleh tingkat produktivitas, harga produk dan biaya usahatani. Dari Tabel Lampiran 10 terlihat bahwa produktivitas bawang merah di Indramayu lebih tinggi (8,9 – 9,8 ton per ha) dibandingkan dengan Majalengka yang hanya berkisar antara 5 – 6,5 ton per ha. Khusus pada komoditas bawang merah, ada hubungan langsung antara tingkat penggunaan dan kualitas bibit dengan tingkat produktivitas. Temuan dari lapang juga menunjukkan hal yang sama, dimana tingkat penggunaan bibit di Majalengka lebih rendah dibandingkan tingkat penggunaan bibit di Indramayu sehingga terjadi perbedaan produktivitas. Menurut Adiyoga (1997), ada indikasi, hubungan yang masih bersifat increasing antara biaya produksi (jumlah input terutama bibit)
dengan tingkat produktivitas bawang merah per hektar. Namun demikian, tingkat produktivitas bawang merah yang lebih tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani, hal ini terlihat pada usahatani bawang merah di Majalengka MK II, meskipun tingkat produktivitas lebih rendah dibandingkan dengan tingkat produktivitas di Indramayu keuntungan yang diperoleh tertinggi dibandingkan dengan keuntungan pada lokasi dan musim yang lain. Biaya usahatani bawang merah di Indramayu berkisar Rp 18,5 – 20,5 juta per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan Majalengka yang berkisar antara Rp 11,6 – Rp 12 juta per hektar. Rata-rata biaya produksi bawang merah di Indramayu adalah 70,4 persen dari total penerimaan, sementara di Majalengka pada MK I dan MK II masingmasing sebesar 80,5 persen dan 46,1 persen dari total penerimaan. Dari struktur biaya usahatani bawang merah, proporsi terbesar adalah biaya sarana produksi yang berkisar antara 21,6 – 34,5 persen dan biaya tenaga kerja antara 16,3–32,9 persen dari total penerimaan. Tingginya biaya sarana produksi, terutama disebabkan oleh tingginya harga bibit. Usahatani Cabai Merah di Kediri dan Cabai Keriting di Agam Komoditas cabai pada kajian ini dibedakan menjadi dua yaitu, cabai merah di Kediri dan cabai keriting di Agam. Profitabilitas finansial (return to management) usahatani cabai merah di Kediri menurut musim dan tipe irigasi berkisar antara 31,3 – 56,1 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 5,2 – Rp 12,9 juta per ha), sementara cabai keriting di Agam berkisar antara 37,8 – 53,6 persen atau secara nominal antara Rp 6,5 – Rp 11,2 juta per hektar. Dibandingkan dengan usahatani padi pada lokasi dan musim yang sama (Rachman et al., 2002), terlihat bahwa tingkat profitabilitas usahatani cabai merah dan cabai keriting jauh lebih tinggi. Profitabilitas finansial usahatani padi di Kediri menurut musim dan tipe irigasi berkisar antara 15,6 – 26,6 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 0,94 – Rp 1,7 juta per ha), sementara di Agam berkisar antara 17,7 – 32,3 persen atau secara nominal antara Rp 0,72 – Rp 1,5 juta per hektar.
55
Tabel 2. Tingkat Profitabilitas Finansial Komoditas Hortikultura di Kabupaten Terpilih, MH 2000/2001, MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Bawang merah, Indramayu Baik MH, 2000/2001 MK I, 2001 MK II, 2001 Bawang merah, Majalengka Sedang MK I, 2001 MK II, 2001 Cabai merah, Kediri Baik MH, 2000/2001 MK I, 2001 MK II, 2001 Kurang MH, 2000/2001 Tadah hujan MH, 2000/2001 MK I, 2001 Cabai keriting, Agam Baik MH, 2000/2001 Sedang MK I, 2001 MK II, 2001 Kurang MK I, 2001 Tadah hujan MK I, 2001 Tomat, Agam Baik MK I, 2001 MK II, 2001 Kurang MH, 2000/2001 MK I, 2001 MK II, 2001 Tadah hujan MK I, 2001 MK II, 2001 Melon, Ngawi Baik MK I, 2001 MK II, 2001 Kurang MK I, 2001 MK II, 2001 Tadah hujan MK I, 2001 MK II, 2001 Sumber: Data primer (Diolah)
56
Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
(%) 1)
28.325.547 25.462.106 29.166.621
20.279.726 18.344.803 18.791.928
8.045.821 7.117.303 10.374.693
28,4 28,0 35,6
15.000.000 25.277.778
11.969.052 11.656.111
3.030.948 13.621.667
20,2 53,9
26.218.784 24.990.000 17.155.013
13.088.829 12.941.528 11.781.910
13.129.955 12.048.472 5.373.103
50,1 48,2 31,3
18.388.398
8.467.060
9.921.338
54,0
22.059.702 21.563.325
9.681.815 10.603.798
12.377.887 10.959.527
56,1 50,8
16.294.096
8.133.029
8.161.067
50,1
23.563.272 22.970.145
12.397.162 12.052.240
11.185.764 10.917.905
47,5 47,5
17.363.160
10.798.984
6.564.176
37,8
16.671.506
7.730.896
8.940.610
53,6
10.402.416 6.270.950
7.652.980 3.325.581
2.749.436 2.945.369
26,4 47,0
10.500.000 16.047.300 8.141.310
8.601.291 13.000.586 6.140.154
1.898.709 3.046.714 2.001.156
18,1 19,0 24,6
11.104.205 10.778.208
4.672.973 4.771.240
6.431.232 6.006.968
57,9 55,7
71.563.982 61.882.392
33.181.210 39.747.511
38.382.772 22.134.881
53,6 35,8
55.543.320 52.071.008
35.948.014 39.578.169
19.595.306 12.492.839
35,3 24,0
34.667.100 23.998.000
24.381.575 17.135.159
10.285.525 6.862.841
29,7 28,6
Tabel Lampiran 11 menginformasikan bahwa tingkat produktivitas cabai merah berkisar antara 3,9 – 7,3 ton per hektar. Namun demikian, tingkat produktivitas cabai merah yang tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani. Usahatani cabai merah di tadah hujan, meskipun tingkat produktivitas lebih rendah dibandingkan dengan tingkat produktivitas pada tipe irigasi teknis dan sederhana, namun keuntungan yang diperoleh hampir sama dibandingkan dengan keuntungan pada irigasi teknis. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa keuntungan selain dipengaruhi oleh tingkat produktivitas juga dipengaruhi oleh harga dan biaya usahatani. Berbeda dengan usahatani cabai merah di Kediri, tingkat produktivitas cabai keriting di Agam relatif lebih rendah, berkisar antara 3,1 – 4,2 ton per hektar (Tabel Lampiran 12). Khusus untuk cabai keriting di Agam, terdapat perbedaan harga antar lokasi, dimana harga cabai keriting di desa irigasi ½ teknis relatif lebih mahal dibandingkan tipe desa lainnya. Fenomena ini hanya terbatas pada konsumen yang mengenal kualitas cabai desa ini. Walaupun ada segmentasi pasar namun sampai saat ini belum ada permasalahan dalam pemasaran karena tingkat produksi yang masih relatif kecil. Secara umum biaya usahatani cabai merah di Kediri berkisar antara Rp 8,6 – 13,3 juta per hektar, sementara biaya usahatani cabai keriting di Agam berkisar antara Rp 7,9 – Rp 12,5 juta per hektar. Rata-rata biaya produksi cabai merah di Kediri adalah 52,3 persen dari total penerimaan, sementara ratarata biaya usahatani cabai keriting di Agam sebesar 54,2 persen dari total penerimaan. Dari struktur biaya usahatani cabai merah, proporsi terbesar adalah biaya tenaga kerja berkisar antara 15,1 – 22,6 persen dan biaya sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) yang mencapai 9,1 persen hingga 23,9 persen dari total penerimaan, kecuali pada desa tadah hujan MK II (dimana biaya sarana produksi lebih tinggi dari biaya tenaga kerja). Tingginya biaya sarana produksi pada kasus terakhir disebabkan karena tingginya biaya pupuk, baik kimia maupun pupuk lain. Hal ini diduga karena petani ingin memperoleh produktivitas yang lebih tinggi dengan menambah tingkat penggunaan pupuk, hasilnya terlihat bahwa produktivitas pada MK II lebih tinggi dibandingkan dengan MK I.
Apabila dibedakan antara biaya domestic factors dan tradable inputs, biaya untuk domestic factors relatif lebih besar dibandingkan dengan biaya tradable inputs namun bervariasi antar lokasi dan antar musim. Pada komoditas cabai, hal ini dikarenakan tingginya biaya tenaga kerja. Proporsi biaya tenaga kerja pada usahatani cabai merah di desa irigasi berkisar antara 16,3 – 22,6 persen, di desa irigasi sederhana pada MH sebesar 17,2 persen, sementara di desa tadah hujan sebesar 22,6 persen pada MH dan 15,1 pada MK I. Pada komoditas cabai keriting, proporsi biaya tenaga kerja di desa irigasi setengah teknis, sederhana dan tadah hujan hampir sama, yaitu berkisar antara 20,9 – 24,5 persen, sementara di desa irigasi teknis relatif kecil hanya 13,6 persen. Usahatani Tomat di Agam Tomat merupakan komoditas unggulan kedua setelah cabai keriting di Kabupaten Agam, menyebar di semua desa contoh kecuali desa irigasi 1/2 teknis. Profitabilitas finansial (return to management) usahatani tomat di Agam menurut musim berkisar antara 18,1 – 57,9 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 1,9 – Rp 6,4 juta per hektar). Secara nominal, tingkat keuntungan usahatani tomat memang lebih rendah dibandingkan dengan usahatani cabai keriting, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi. Tabel Lampiran 13 terlihat bahwa produktivitas tomat di Agam berkisar antara 13,1 – 21,8 ton per hektar. Namun demikian, tingkat produktivitas tomat yang lebih tinggi ternyata tidak selalu diikuti dengan meningkatnya keuntungan usahatani, hal ini terlihat pada usaha tani tomat di desa irigasi teknis pada MK I. Tingkat keuntungan, selain dipengaruhi oleh tingkat produktivitas juga dipengaruhi oleh harga dan biaya usahatani. Kasus usahatani tomat di desa irigasi teknis menunjukkan bahwa harga tomat di lokasi ini lebih rendah dibandingkan dengan lokasi lain. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (1) tingkat aksesibilitas desa yang kurang baik dibandingkan desa contoh lain, sehingga biaya transportasi relatif lebih tinggi dan pada akhirnya mengakibatkan harga yang diterima petani lebih rendah; dan (2) fluktuasi harga yang relatif tinggi dan bersifat harian, sehingga perbedaan waktu panen akan memberikan harga yang berbeda.
57
Secara umum biaya usahatani tomat di Agam sekitar 42,8 – 83,3 persen dari total penerimaan (sekitar Rp 18,7 – 20,5 juta per hektar). Dari struktur biaya usahatani tomat, proporsi terbesar adalah biaya tenaga kerja yang berkisar antara 19,6 – 37,3 persen dari total penerimaan. Tingginya biaya tenaga kerja disebabkan karena tingginya tingkat penggunaan tenaga kerja, hal ini mengindikasikan bahwa usahatani tomat merupakan usahatani yang padat tenaga kerja. Apabila dibedakan antara biaya domestic factors dan tradable inputs, biaya domestic factors lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tradable inputs, penyebabnya adalah tingginya biaya tenaga kerja. Usahatani Melon di Ngawi Melon merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Ngawi, tingkat profitabilitas finansial usahataninya bervariasi menurut desa contoh dan musim. Di desa irigasi teknis mencapai 53,6 persen (Rp 38,4 juta per hektar) pada MK I dan 35.8 persen (Rp 22,1 juta per hektar) pada MK II. Di desa irigasi sederhana berkisar antara 35,3 persen (Rp 19,6 juta per hektar) pada MK I dan 24,0 persen (Rp 12,5 juta per hektar) pada MK II, di desa tadah hujan mencapai 29,7 persen (Rp 10,3 juta per hektar) pada MK I dan 28,6 persen (Rp 6,9 juta per hektar) pada MK II. Terdapat variasi tingkat keuntungan menurut tipe irigasi, semakin baik ketersediaan air semakin tinggi pula tingkat keuntungan. Dari sisi produktivitas, juga terdapat indikasi korelasi positif antara tingkat produktivitas dengan ketersediaan air, atau tingkat produktivitas melon di desa irigasi teknis lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dari desa irigasi sederhana dan tadah hujan (Tabel Lampiran 14). Secara umum biaya usahatani melon di Ngawi berkisar antara 17,1 – 39,7 persen dari total penerimaan (sekitar Rp 6,9 – 38,4 juta per hektar). Proporsi biaya usahatani terhadap total penerimaan di desa irigasi teknis berbeda antar musim, yaitu 46,4 persen pada MK I dan 64,2 persen pada MK II. Hal ini disebabkan adanya variasi penerimaan dan biaya antar musim. Dari struktur biaya usahatani melon, proporsi terbesar adalah biaya sarana produksi yang mencapai 31,6 persen dengan kisaran antara 21,1 – 38,5 persen dari total penerimaan, kecuali di desa irigasi sederhana pada MK II, dimana proporsi biaya tenaga kerja lebih besar dibandingkan biaya sarana produksi. Sementara itu, rataan proporsi biaya tenaga kerja sebesar
58
24,5 persen dengan variasi antara 16,0 – 33,5 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani melon merupakan usahatani yang padat modal dan juga padat tenaga kerja. Dibedakan antara biaya domestic factors dan tradable inputs, biaya domestic factors sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tradable inputs, walaupun secara rataan biaya sarana produksi lebih tinggi (kecuali di desa tadah hujan pada MK II). Namun, komponen biaya domestic factors selain biaya tenaga kerja adalah modal (biaya irigasi, pajak dan lainnya ditambah bunga modal) dan sewa lahan. Proporsi biaya modal berkisar antar 3,6–6,4 persen dari total penerimaan, sementara secara rataan perbedaan antara proporsi biaya sarana produksi dan tenaga kerja tidak terlalu besar, sehingga mengakibatkan biaya domestic factors lebih tinggi dibandingkan biaya tradable inputs. Profitabilitas Ekonomi Perhitungan profitabilitas ekonomi pada kajian ini didasarkan pada kondisi tidak ada kebijakan pemerintah dalam usahatani hortikultura atau tanpa adanya distorsi pasar, sehingga harga input-output yang berlaku mencerminkan harga sosial yang sebenarnya (social price). Analisis usahatani hortikultura dengan menggunakan harga ekonomi disajikan pada Tabel 3. Secara umum, profitabilitas ekonomi komoditas hortikultura lebih besar dari nol, berarti usahatani komoditas tersebut memperoleh keuntungan atas biaya normal yang dihitung berdasarkan harga sosial. Di antara lima komoditas hortikultura unggulan yang dikaji, secara rataan komoditas cabai merah di Kediri dan melon di Ngawi mempunyai tingkat keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani bawang merah di Indramayu menurut musim berkisar antara 17,0 – 31,1 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 3,9 – Rp 7,9 juta per hektar), terendah pada MH dan tertinggi pada MK I. Sementara itu, tingkat profitabilitas ekonomi komoditas bawang merah di Majalengka sebesar 19,7 persen pada MK I dan 31,9 persen pada MK II. Dibandingkan dengan tingkat profitabilitas finansial, pada MK I maupun MK II profitabilitas ekonomi usahatani bawang merah di Majalengka lebih rendah. Hal ini disebabkan perbedaan harga sosial (Rp 2.827 dan Rp 2.479/kg) dan harga aktual (Rp 3.000 dan Rp 3.900/kg) yang tinggi.
Tabel 3. Tingkat Profitabilitas Ekonomi Komoditas Hortikultura di Kabupaten Terpilih, MH 2000/2001, MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Bawang merah, Indramayu Baik - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Bawang merah. Majalengka Sedang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Cabai merah, Kediri Baik - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MH, 2000/2001 Tadah hujan - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 Cabai keriting, Agam Baik - MH, 2000/2001 Sedang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MK I, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 Tomat, Agam Baik - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 - MK II, 2001 Melon, Ngawi Baik - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 - MK II, 2001
Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp) (%) 1)
22.833.396 25.281.182 24.338.463
18.962.208 17.422.366 17.634.086
3.871.188 7.858.816 6.704.378
17,0 31,1 27,5
14.133.040 16.069.452
11.352.898 10.941.300
2.780.142 5.128.152
19,7 31,9
26.218.784 24.990.000 17.155.013
12.473.010 12.427.905 11.405.535
13.745.774 12.562.095 5.749.478
52,4 50,3 33,5
18.388.398
8.339.037
10.049.361
54,7
22.059.702 21.563.325
9.113.693 9.814.548
12.946.009 11.748.777
58,7 54,5
16.294.096
7.160.566
9.133.530
56,1
23.563.272 22.970.145
11.484.166 11.457.669
12.079.106 11.512.476
51,3 50,1
17.363.160
10.070.900
7.292.260
42,0
16.671.506
7.436.643
9.234.863
55,4
10.402.416 6.270.950
7.146.968 3.201.906
3.255.448 3.069.044
31,3 48,9
10.500.000 16.047.300 8.141.310
7.759.063 12.166.411 5.739.634
2.740.937 3.880.889 2.401.676
26,1 24,2 29,5
11.104.205 10.778.208
4.491.283 4.518.265
6.612.922 6.259.943
59,6 58,1
71.563.982 61.882.392
30.803.797 35.456.032
40.760.185 26.426.360
57,0 42,7
55.543.320 52.071.008
33.387.007 36.582.984
22.156.313 15.488.024
39,9 29,7
34.667.100 23.998.000
22.891.083 15.451.763
11.776.017 8.546.237
34,0 35,6
Sumber: Data primer (diolah)
59
Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani cabai, baik cabai merah di Kediri maupun cabai keriting di Agam lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat profitabilitas finansial. Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani cabai merah di Kediri berkisar antara 33,5 – 58,7 persen dari total penerimaan (Rp 5,7 – Rp 13,7 juta per hektar), sedangkan profitabilitas finansial usahatani cabai merah berkisar antara 31,3 – 56,1 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 5,2 – Rp 12,9 juta per hektar). Sementara tingkat profitabilitas ekonomi usahatani cabai keriting di Agam berkisar antara 42,0 – 56,1 persen dari total penerimaan (Rp 7,3 – Rp 12,1 juta per hektar) lebih tinggi dibandingkan tingkat keuntungan finansial yang berkisar antara 37,8 – 53,6 persen atau secara nominal antara Rp 6,5 – Rp 11 juta per hektar. Tingkat profitabilitas ekonomi usahatani tomat di Agam berkisar antara 24,2 – 59,6 persen dari total penerimaan (Rp 2,4 – Rp 6,6 juta per hektar) lebih tinggi dibandingkan dengan profitabilitas finansial yang berkisar antara 18,1 – 57,9 persen dari penerimaan (secara nominal berkisar antara Rp 1,9 – Rp 6,4 juta per hektar). Sedangkan tingkat profitabilitas ekonomi usahatani melon di Ngawi berkisar antara 29,7 – 57,0 persen (Rp 11,8 – Rp 40,8 juta per hektar) lebih tinggi dibandingkan dengan profitabilitas finansial yang berkisar antara 24,0 – 53,6 persen dari total penerimaan (Rp 6,9 – Rp 38,4 juta per hektar). KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF Keunggulan Komparatif Bawang Merah. Hasil analisis PAM, menunjukkan bahwa pengusahaan bawang merah di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, memiliki tingkat efisiensi ekonomi yang relatif tinggi, terutama untuk MK II. Hal ini tercermin dari nilai DRCR < 1. Di Kabupaten Indramayu koefisien DRCR berkisar 0,55 – 0,72, sementara di Kabupaten Majalengka pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,71 dan 0,54 (Tabel 4). Dengan demikian, komoditas bawang merah di Kabupaten Indramayu (MH, MK I dan MK II) serta di Kabupaten Majalengka (MK I dan MK II) memiliki prospek untuk dikembangkan. Hal ini senada dengan hasil analisis yang dilakukan Saptana et
60
al. (2001) di Kabupaten Brebes pada MH dan MK masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0.50 dan 0,34. Cabai Merah dan Cabai Keriting. Hasil analisis PAM yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, dan cabai keriting di Kabupaten Agam, memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien DRCR <1. Di Kediri nilai koefisien DRCR berkisar antara 0,33 – 0,62. Kecenderungan yang sepola terlihat untuk usahatani cabai keriting di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di desa irigasi teknis pada MH diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0.34, untuk desa irigasi ½ teknis pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,41 dan 0,44, sedangkan untuk desa irigasi sederhana dan tadah hujan pada MK I masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,50 dan 0,40. Sebagai pembanding hasil penelitian Saptana et al. (2001) untuk komoditas cabai merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah dan cabai keriting di Simalungun, Sumatera Utara pada MK masing-masing diperoleh nilai DRCR sebesar 0,26 dan 0,55. Dengan membandingkan indikator keunggulan komparatif tersebut, maka nampak bahwa dalam usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan cabai kritingdi Kabupaten Agam, Sumatera Barat keduanya memiliki pola resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Artinya, baik ada ataupun tidak ada kebijakan pemerintah, pengusahaan usahatani cabai merah dan cabai keriting di kedua lokasi penelitian layak dikembangkan. Tomat. Hasil analisis keunggulan komparatif usahatani tomat di Kabupaten Agam Sumatera Barat memberikan gambaran yang relatif sama. Di desa irigasi teknis pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai DRCR sebesar 0,62 dan 0,47, untuk desa irigasi sederhana pada MH, MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,68; 0,69 dan 0,65, sedangkan untuk desa lahan sawah tadah hujan pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,33 dan 0,35. Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara ekonomi usahatani tomat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat memiliki daya saing dan berpotensi dikembangkan. Melon. Hasil analisis keunggulan komparatif usahatani melon menurut tipe lahan dan
61
62
musim di tingkat petani di lokasi penelitian Kabupaten Ngawi, Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis pada berbagai jenis lahan dan musim di Kabupaten Ngawi diperoleh nilai koefisien DRCR<1. Sebagai ilustrasi, untuk desa irigasi teknis pada MK I dan MK II masingmasing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,30 dan 0,43. Sedangkan untuk desa irigasi sederhana pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,45 dan 0,60. Sementara itu, hasil analisis keunggulan komparatif komoditas melon untuk lahan sawah tadah hujan pada MK I dan MK II, masing-masing diperoleh nilai koefisien DRCR sebesar 0,53 dan 0,47. Nilai DRCR yang berkisar antara 0,30 – 0,60 menunjukkan pengusahaan usahatani melon mempunyai keunggulan komparatif. Artinya untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga sosial hanya diperlukan korbanan 0,30 – 0,60 satuan biaya sumberdaya domestik, sehingga akan lebih menguntungkan apabila pemenuhan kebutuhan melon di dalam negeri dipenuhi dari peningkatan produksi dalam negeri. Keunggulan Kompetitif Bawang Merah. Dari hasil analisis PAM, menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Indramayu pada MH, MK I dan MK II serta di Majalengka pada MK I dan MK II memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisian PCR<1. Di Indramayu pada MH, MK I dan MK diperoleh nilai koefisien PCR masing-masing 0.57; 0.58; dan 0.47. Sementara itu di Majalengka pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR 0.70 dan 0.31. Hasil tersebut masih sejalan dengan hasil analisis Saptana et al. (2001) di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada MH dan MK diperoleh nilai koefisien PCR masingmasing sebesar 0,503 dan 0,370 dan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara untuk MH dan MK nillai PCR sebesar 0,404 dan 0,786. Di kabupaten Indramayu indikator keunggulan kompetitif pada MK II sedikit lebih baik dibanding dengan MH dan MK I. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengusahaan bawang merah di persawahan pada MH tingkat risiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit terutama cendawan lebih tinggi. Disamping itu juga bahwa kondisi pasar input pada musim hujan, khususnya harga pupuk biasanya me-
ningkat disebabkan permintaan yang tinggi terutama pupuk Urea. Apabila dibandingkan, keunggulan kompetitif di Kabupaten Indramayu lebih baik untuk MK I tetapi pada MK II Kabupaten Majalengka memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (a) Kabupaten Indramayu mempunyai aksesibilitas yang lebih baik untuk tujuan pasar ke pasar Induk Kramatjati dan dikenal sebagai salah satu sentra produksi bawang merah, sehingga panen pada MH dan MK I di Kabupaten Indramayu mempunyai jaringan pasar lebih luas; (b) Kondisi sarana dan prasarana (kios pupuk, pestisida dll) lebih mudah dijangkau, sehingga petani membayar harga input produksi sedikit lebih rendah; (c) Hasil analisis yang bersifat kebalikan untuk MK II berkaitan dengan produksi yang terbatas dan untuk hasil panen Kabupaten Majalengka relatif terserap di pasar lokal. Cabai Merah dan Cabai Keriting. Hasil analisis PAM pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur pada berbagai tipe irigasi dan musim memiliki keunggulan kompetitif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR <1. Nilai PCR yang berkisar antara 0,33 – 0,62 menunjukkan bahwa komoditas cabai merah di Kabupaten Kediri memiliki keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan nilai tambah satu-satuan output pada harga privat diperlukan 0,33–0,62 satuan sumberdaya domestik. Sebagai pembanding hasil penelitian Saptana et al. (2001) di Kabupaten Brebes Jawa Tengah untuk cabai merah pada MK diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,232. Hasil analisis PAM pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani cabai keriting di Kabupaten Agam, Sumatera Barat memberikan gambaran yang relatif sama. Usahatani cabai keriting pada berbagai tipe irigasi dan musim memiliki keunggulan kompetitif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR<1. Nilai PCR berkisar antara 0,37 – 0,53 menunjukkan bahwa komoditas cabai keriting di Kabupaten Agam memiliki keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan biaya sumberdaya domestik 0,37 – 0,53 satuan. Sebagai pembanding hasil penelitian Saptana et al. (2001) di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara untuk cabai keriting pada MH dan MK masing-masing
63
diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,307 dan 0,461. Apabila dibandingkan antar lokasi, antar tipe lahan, dan antar musim maka secara umum dapat ditarik beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut : (a) Usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri dan cabai keriting di Kabupaten Agam memiliki keunggulan kompetitif yang hampir sama; (b) Meskipun kondisi sarana dan prasarana ekonomi di Kediri Jawa Timur lebih baik dibandingkan di Agam Sumatera Barat, sehingga petani di Kediri lebih mudah menjangkau pasar input dan output, namun permintaan output cabai keriting di Sumatera Barat secara tradisional cukup tinggi sehingga meskipun petani membayar harga input produksi sedikit lebih tinggi tetapi petani memperoleh harga output yang relatif tinggi; (c) Ketersediaan tenaga kerja di Kediri Jawa Timur lebih tinggi dibandingkan di Agam Sumatera Barat, sehingga upah tenaga kerja di Kediri relatif lebih rendah; (d) Kelembagaan dan mekanisme pasar tenaga kerja di Kediri Jawa Timur relatif lebih bersaing, sehingga tingkat upah lebih kompetitif dibandingkan di Agam Sumatera Barat. Tomat. Hasil analisis PAM pada Tabel 4 menunjukkan bahwa usahatani tomat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada berbagai tipe irigasi dan musim memiliki keunggulan kopetitif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR<1. Nilai PCR yang berkisar antara 0,34– 0,76 menunjukkan bahwa komoditas tomat di Kabupaten Agam memiliki keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik 0,34 – 0,76 satuan. Apabila dibandingkan antar tipe lahan dan antar musim, secara umum dapat dikemukakan beberapa hal berikut: (a) Usahatani tomat mempunyai keunggulan kompetitif justru pada lahan sawah tadah hujan, kemudian menyusul pada lahan irigasi teknis, dan terakhir pada lahan sawah irigasi sederhana, hal ini nampaknya sangat berkaitan dengan baik buruknya sistem drainase; (b) Jika dibandingkan antar musim maka secara umum keunggulan kompetitif yang dimiliki pada MK lebih baik dibandingkan pada MH, karena produktivitas tomat pada MH lebih rendah dan biaya tenaga kerja yang relatif tinggi dibanding pada MK. Melon. Hasil analisis keunggulan kompetitif usahatani melon di pedesaan contoh Ngawi
64
diperoleh koefisien PCR<1 (Tabel 4). Untuk desa irigasi teknis pada MK I dan MK II masingmasing diperoleh nilai koefisien PCR 0,32 dan 0,48. Untuk desa irigasi sederhana pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,49 dan 0,66. Sementara itu, untuk lahan sawah tadah hujan pada MK I dan MK II masing-masing diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 0,57 dan 0,53. Hasil analisis PCR yang berkisar antara 0,32-0,66 mengandung arti bahwa untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output pada harga privat di perlukan 0,32 – 0,66 satuan. Usahatani melon di Ngawi memberikan keuntungan finansial yang relatif tinggi, namun dalam pengusahaannya membutuhkan modal yang cukup tinggi dan ketrampilan dalam teknik budidaya. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa semua komoditas yang dianalisis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang cukup tinggi baik untuk tujuan pasar domestik maupun ekspor. Tantangan yang dihadapi Indonesia adalah pasar ekspor komoditas hortikultura Indonesia yang tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam dekade terakhir. Hal ini diduga berkaitan dengan hal-hal berikut: (1) struktur penguasaan lahan petani yang relatif kecil sehingga sulit memenuhi kontinuitas pasokan dan kualitas produk sesuai tuntutan pasar dunia, dan (2) adanya distorsi di pasar input, hasil analisis menunjukkan petani harus membayar harga input 9–38 persen lebih mahal dari yang seharusnya yang menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal, dan berakibat menurunkan daya saing di pasar dunia. KEBIJAKAN INSENTIF Proteksi Input Liberalisasi perdagangan dan keterbukaan pasar telah merasuk dalam pasar input pertanian, khususnya pupuk dan pestisida. Pada kondisi demikian secara teoritis harga pupuk dan pestisida domestik akan sama dengan harga di pasar internasional. Namun demikian, karena sistem pemasaran dan distribusi dari input pertanian tersebut belum sepenuhnya efisien menyebabkan adanya distorsi pasar. Hal ini terlihat dari fakta bahwa secara umum petani (hortikultura) membayar input tradable lebih mahal dari yang seharusnya dibayar (harga di pasar internasional). Fenomena tersebut terindikasikan oleh besarnya nilai Nominal
Protection Coefficient on Input (NPCI) besar dari satu (Tabel 4).
lebih
Bawang Merah. Untuk usahatani bawang merah di Indramayu dan Majalengka, petani membayar sekitar 8–11 persen tradable input lebih mahal dari yang seharusnya dibayar (Tabel 4). Relatif tingginya NPCI pada MH dan MK II pada usahatani bawang merah di Indramayu diduga akibat tingginya permintaan penggunaan input terutama pupuk urea, hal ini berpengaruh terhadap harga input di tingkat petani. Apabila dirinci menurut jenis input menunjukkan bahwa secara umum petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar masing-masing jenis input (pupuk) di MK I sedikit lebih rendah dibanding pada MH dan MK II. (Tabel 4). Fenomena ini selain disebabkan oleh tingginya permintaan pada MH yang menyebabkan harga relatif lebih tinggi, juga disebabkan pada MK I besaran nilai tukar rupiah pada periode MK I yang tinggi terhadap dolar. Untuk input bibit, petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar harga bibit sama dengan harga di pasar internasional. Sedangkan untuk input pupuk kimia secara keseluruhan, petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar harga sekitar 7 – 87 persen lebih mahal dari harga di pasar internasional, dengan urutan jenis pupuk yang dibayar lebih tinggi masing-masing adalah NPK, KCL, ZA, urea, dan SP-36, walaupun demikian khusus untuk pupuk SP-36 petani bawang merah di Indramayu dan di Majalengka pada MK I petani membayar lebih rendah masingmasing 7 dan 2 persen dari harga yang seharusnya dibayar (Tabel 4). Untuk jenis pupuk NPK secara umum petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka membayar sekitar 36–87 persen lebih mahal dari yang seharusnya. Cabai Merah. Untuk usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri, petani membayar tradable input antara 12 – 26 persen lebih mahal dari harga yang seharusnya petani bayar (Tabel 4). NPCI sebesar 1,12 terjadi di desa dengan irigasi baik pada MK I, sementara NPCI sebesar 1,26 terjadi di desa tadah hujan pada MH. Apabila dirinci menurut jenis input, untuk pupuk Urea petani harus membayar 4 – 24 lebih mahal dari yang seharusnya, kecuali di desa iriga teknis dan tadah hujan pada MK I, petani membayar 1 dan 3 persen lebih rendah dari harga internasional. Untuk SP-36 petani cabai
merah di desa irigasi teknis di Kediri pada MH harus membayar 11 persen lebih mahal, namun pada MK I dan MK II di desa yang sama dan di desa tadah hujan pada MK I petani membayar 2 – 5 persen lebih murah dari harga yang seharusnya dibayar (Tabel 4). Diantara jenis pupuk yang digunakan, tranfer input tertinggi yang harus ditanggung petani cabai merah di Kediri adalah pupuk NPK, diikuti oleh pupuk KCL, ZA dan urea. Apabila dilihat antar musim, pola konsisten terlihat bahwa petani cabai merah di Kediri pada MK I relatif membayar input yang lebih rendah dibanding pada MH dan MK II, seperti halnya petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka, Hal ini erat kaitannya dengan tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada MK I. Cabai Keriting. Nilai NPCI untuk usahatani cabai keriting di Kabupaten Agam berkisar antara 1,18–1,27, hal ini mengindikasikan bahwa petani cabai keriting di Agam membayar antara 18– 37 persen tradable input lebih mahal dari yang seharusnya (harga di pasar internasional). Untuk usahatani cabai keriting, desa irigasi teknis memiliki nilai NPCI tertinggi, sementara petani cabai keriting di tipe desa lainnya hanya membayar 18 – 22 persen lebih mahal dari harga di pasar internasional. Data pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan koefisien dan nilai input transfer menurut jenis input. Terlihat bahwa petani cabai keriting di Agam secara umum membayar pupuk NPK paling tinggi dibanding jenis pupuk lainnya. Nilai transfer input untuk jenis pupuk NPK berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 272 ribu. Sedangkan untuk total pupuk kimia besaran transfer input tersebut sekitar Rp 218 ribu sampai Rp 884 ribu. Tomat. Untuk usahatani tomat di Kabupaten Agam, nilai NPCI bervariasi menurut desa dan musim dengan besaran nilai antar 1,11 – 1,37. Petani di desa tadah hujan pada MK I membayar tradable input 11 persen lebih tinggi dari yang seharusnya, sementara petani di desa irigasi sederhana pada MK II harus membayar 37 persen lebih mahal dari harga input di pasar internasional. Rentannya usahatani tomat terhadap serangan hama penyakit mendorong petani menggunakan input pupuk dan pestisida lebih tinggi (permintaan tinggi), sehingga mengakibatkan harga lebih tinggi, dan hal ini diduga turut menentukan besaran biaya tradable input yang harus dibayar petani pada musim tertentu.
65
66
67
Melon. Variasi besaran nilai NPCI relatif kecil pada usahatani melon di Kabupaten Ngawi. Dalam hal ini petani melon membayar tradable input sebesar 11 – 23 persen lebih mahal dari harga yang seharusnya (harga di pasar internasional). Secara relatif desa-desa contoh penelitian di Kabupaten Ngawi memiliki aksesibilitas wilayah yang relatif baik dan dekat dengan pusat perekonomian (ibukota kabupaten). Hal ini diduga menjadi salah satu pendukung efisiennya distribusi dan pemasaran input (pupuk) sampai di tingkat petani, oleh karenanya perbedaan antara harga input di pasar internasional dan harga yang dibayar petani relatif kecil. Apabila dirinci menurut jenis input, data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk jenis pupuk NPK, petani melon di Ngawi membayar 48 – 84 persen lebih mahal dibanding harga di pasar dunia. Namun untuk jenis pupuk TSP/SP36, petani membayar 1 – 14 persen lebih murah dari yang seharusnya. Sejalan dengan itu, besaran nilai transfer input yang diterima petani melon untuk total pupuk kimia berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 3,6 juta. Dari besaran nilai NPCI di Tabel 4 untuk usahatani hortikultura di lokasi penelitian secara umum terlihat pola yang konsisten bahwa (1) besaran NPCI bervariasi menurut lokasi desa, musim, dan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan, (2) ada kecenderungan pada komoditas dan desa yang sama, besaran nilai NPCI pada musim hujan (MH) lebih tinggi dari pada musim lainnya, dan (3) dibandingkan antarwilayah dan antar komoditas, secara relatif petani melon di Kabupaten Ngawi membayar tradable input relatif lebih murah dibanding petani hortikultura di lokasi penelitian yang lain. Hasil analisis menunjukkan bahwa petani mengalami disinsentif karena petani hortikultura di daerah penelitian harus membayar harga input lebih mahal dari yang seharusnya. Struktur pasar input khususnya pupuk yang cenderung bersifat oligopolistik dengan peran PT PUSRI sebagai holding company produsen dan distributor pupuk masih sangat dominan. Hal ini menyebabkan petani berada pada posisi lemah. Proteksi Output Indikator untuk menentukan proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik dalam Tabel PAM ditunjukkan oleh besaran nilai Nominal Protection Coefficient on Output
68
(NPCO). Kebijakan bersifat protektif terhadap output apabila nilai NPCO > 1, semakin tinggi NPCO berarti semakin protektif kebijakan pemerintah terhadap output usahatani yang bersangkutan. Dikaitkan dengan keterbatasan dalam penentuan harga sosial output dalam analisis daya saing usahatani hortikultura seperti telah diuraikan dalam metodologi, adanya kebijakan proteksi terhadap output hanya terlihat pada usahatani bawang merah (pada MH dan MK II 2001) di desa irigasi baik di Kabupaten Indramayu dan di desa irigasi sedang di Kabupaten Majalengka pada MK I dan MK II 2001 (Tabel 4). Dalam hal ini petani bawang merah di Indramayu menerima harga 1 – 24 persen lebih tinggi dibanding harga di pasar internasional. Sementara itu untuk komoditas yang sama, petani di Majalengka menerima harga bawang merah 6 – 57 persen lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Perbedaan besarnya transfer (proteksi) output yang diterima petani bawang merah di Indramayu dan Majalengka ini disebabkan oleh relatif lebih tingginya harga aktual komoditas tersebut di Majalengka (Tabel Lampiran 10). Proteksi Efektif Tingkat proteksi simultan antara kebijakan input-output dapat diindikasikan oleh besaran nilai Effective Protection Coefficient (EPC). Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum petani hortikultura di daerah penelitian tidak memperoleh kebijakan protektif inputoutput (kecuali usahatani bawang merah di Kabupaten Indramayu pada MH 2000/01dan MK II 2001 dan petani bawang merah di Majalengka pada MK II 2001). Hal ini ditunjukkan oleh besaran nilai EPC yang nilainya lebih besar dari satu. Sementara itu nilai EPC untuk komoditas lain di lokasi dan musim yang lainnya berkisar antara 0,91 – 0,99. Hal ini terkait dengan digunakannya harga aktual untuk komoditas hortikultura yang dianalisis dalam menentukan harga sosial output (kecuali bawang merah). Dalam kondisi demikian wajar apabila efek simultan dari kebijakan protektif hanya ditentukan oleh kebijakan proteksi input. Dengan demikian sebagian besar petani hortikultura di desa-desa penelitian (kecuali bawang merah) tidak menerima manfaat protektif dari output dan menanggung harus membayar tradable input lebih mahal dari harga di pasar internasional.
Apabila diamati data pada Tabel 4, terlihat bahwa dengan kebijakan yang ada, secara umum petani hortikultura (kecuali petani bawang merah di Indramayu pada MH dan MK II dan petani bawang merah di Majalengka pada MK II 2001) harus membayar biaya produksi lebih tinggi dari biaya imbangan (opportunity cost) untuk berproduksi. Hal ini tercermin dari besaran nilai SRP (subsidy ratio to producer) yang bernilai negatif. Namun demikian besaran nilai SRP relatif kecil, secara rataan petani hortikultura di lokasi penelitian mengeluarkan biaya produksi 2 – 8 persen lebih mahal dari biaya produksi imbangannya.
Bawang Merah. Produktivitas pada titik impas untuk bawang merah di Indramayu berkisar antara 5.935 – 6.120 kg/ha atau berkisar antara 60-68 persen dari produktivitas aktual, sementara di Majalengka berkisar antara 2.806 – 3.784 kg/ha atau 43 – 75 persen dari produksi aktual. Titik impas harga pada tingkat produktivitas aktual di Indramayu berkisar antara Rp 1.796 – Rp 2.084 per kg dan di Majalengka Rp Rp 1.688 – Rp 2.271 per kg. Perbedaan titik impas produksi dan harga antar musim dan antar lokasi disebabkan karena perbedaan produktivitas antar lokasi dan musim.
Menyimak kebijakan perdagangan output produk hortikultura yang relatif bebas, saat ini petani dan pelaku tataniaga masih mendapatkan harga yang lebih baik dari harga sosialnya. Hal ini disebabkan oleh: (1) sebagian besar tujuan pasar masih terbatas pada pasar domestik, (2) aliran perdagangan antar negara terganggu oleh situasi keamanan dan sosial politik dalam negeri yang kurang kondusif. Hal ini menyebabkan seakan-akan terjadi segmentasi pasar ke dalam pasar domestik secara alami.
Cabai Merah dan Cabai Keriting. Produktivitas pada cabai merah dan cabai keriting berkisar antara 1.640 – 3.655 kg per ha atau berkisar antara 41–66 persen dari prduktivitas aktual. Sementara usahatani titik impas harga bervariasi antara Rp 1.330 – Rp 3.366 per kg. Hasil analisis usahatani cabai merah di Kabupaten Kediri pada berbagai jenis lahan dan musim menunjukkan bahwa produktivitas berkisar antara 1.640 – 3.655 kg per ha dan titik impaas harga antara Rp 1.333 – Rp 2.509 per kg. Secara umum toleransi penurunan harga dan produktivitas pada pada musim MH dan MK I lebih besar dibandingkan dengan MK II sementara toleransi antar desa menurut tipe irigasi tidak memberikan gambaran yang spesifik. Titik impas produktivitas cabai keriting di Kabupaten Agam pada berbagai jenis lahan dan musim berkisar antara 1.663 – 1.895 kg dan titik impas harga Rp 1.750 – Rp 3.366 per kg, lebih tinggi dibandingkan dengan cabai merah di Kabupaten Kediri.
Sensitivitas Terhadap Produktivitas dan Harga Upaya mengantisipasi terjadinya perubahan dan harga suatu komoditas terhadap keberadaan tingkat keunggulan komparatif dalam menghasilkan suatu komoditas dapat dilakukan melalui analisis sensitivitas. Dengan mengasumsikan kondisi impas pada titik marjin (DRCR=1), maka dapat diketahui seberapa jauh tingkat efisiensi usahatani hortikultura terhadap perubahan harga dan produktivitas. Efisiensi didefinisikan sebagai sebagai ukuran kemampuan usahatani hortikultura untuk menciptakan keuntungan, pada kondisi tidak ada kebijakan pemerintah yang mempengaruhi produksi. Hasil perhitungan sensitivitas terhadap produktivitas dan harga pada usahatani hortikultura di daerah penelitian disajikan pada Tabel 6. Secara umum hasil analisis untuk semua komoditas hortikultura yang dikaji di masingmasing lokasi penelitian menunjukkan bahwa produktivitas maupun harga pada titik impas lebih rendah dari produktivitas maupun harga aktual di tingkat petani. Adapun hasil analisis untuk masing-masing komoditas diuraikan pada bagian berikut.
Tomat. Titik impas produktivitas tomat di Kabupaten Agam berkisar antara 5.569 – 14.983 kg per ha atau sekitar 39 – 75 persen dari produktivitas aktual. Sementara titik impas harga bervariasi antara Rp 294 – Rp 678 per kg. Hasil analisis pada berbagai jenis lahan menunjukkan bahwa proporsi toleransi penurunan produksi dan harga di desa tadah hujan relatif lebih besar dibandingkan desa contoh lain. Hal ini karena ada perbedaan produktivitas dan harga aktual masing-masing desa contoh. Melon. Titik impas produktivitas melon di Kabupaten Ngawi berkisar antara 11.886 – 30.914 kg per ha atau berkisar antara 43 – 70 persen dari produktivitas aktual. Sementara titik impas harga bervariasi antara Rp 600 – Rp 896 per kg. Hasil analisis pada berbagai jenis lahan
69
Tabel 6. Titik Impas Produksi dan Harga Usahatani Hortikultura pada Kabupaten Terpilih, Tahun 2000-2001
Bawang merah, a. Indramayu Baik - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Bawang merah, b. Majalengka Sedang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Cabe merah, a. Kediri Baik - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MH, 2000/2001 Tadah hujan - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 Cabe keriting, Agam Baik - MH, 2000/2001 Sedang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MK I, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 Tomat, Agam Baik - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 - MK II, 2001 Melon madu, Ngawi Baik - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 - MK II, 2001
70
Produktivitas pada DRC=1 (Kg/Ha)
Harga pada DRC=1 (Rp)
Produktivitas Aktual (Kg/Ha)
Harga Aktual (Rp)
18.962.208 17.422.366 17.634.086
9.100 8.944 9.817
3.113 2.847 2.971
6.092 6.120 5.935
2.084 1.948 1.796
11.352.898 10.941.300
5.000 6.482
3.000 3.900
3.784 2.806
2.271 1.688
12.473.010 12.427.905 11.405.535
5.948 7.350 4.546
4.408 3.400 3.773,65
2.830 3.655 3.022
2.097 1.691 2.509
8.339.037
6.254
2.940,45
2.836
1.333
9.113.693 9.814.548
3.969 4.792
5.558 4.500
1.640 2.181
2.296 2.048
7.160.566
3.952
4.123
1.737
1.812
11.484.166 11.457.669
3.412 3.740
6.906 6.142
1.663 1.866
3.366 3.064
10.070.900
3.105
5.592
1.801
3.243
7.436.643
4.249
3.924
1.895
1.750
7.146.968 3.201.906
21.808 10.906
477 575
14.983 5.569
328 294
7.759.063 12.166.411 5.739.634
15.000 17.950 13.110
700 894 621
11.084 13.609 9.243
517 678 438
4.491.283 4.518.265
13.936 14.920
797 722
5.637 6.255
322 303
30.803.797 35.456.032
51.374 44.616
1.393 1.387
22.113 25.563
600 795
33.387.007 36.582.984
51.429 40.808
1.080 1.276
30.914 28.670
649 896
22.891.083 15.451.763
26.667 18.460
1.300 1.300
17.609 11.886
858 837
Total Biaya Sosial (Rp)
menunjukkan bahwa proporsi toleransi penurunan produktivitas dan harga di desa irigasi teknis lebih besar dibandingkan dengan desa irigasi sederhana dan tadah hujan, hal ini disebabkan harga dan produktivitas aktual di desa tersebut relatif lebih tinggi. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Usahatani bawang merah di Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat; cabai merah di Kediri, Jawa Timur; cabai keriting dan tomat di Agam, Sumatera Barat serta melon di Ngawi, Jawa Timur memberikan keuntungan yang memadai baik secara finansial maupun ekonomi. Besaran keuntungan finansial maupun ekonomi bervariasi menurut komoditas, lokasi dan musim tanam. Dibandingkan dengan usahatani padi sebagai komoditas kompetitor usahatani di lahan sawah, besaran keuntungan finansial maupun ekonomi komoditas hortikultura relatif lebih tinggi, namun demikian secara finansial usahatani hortikultura memerlukan biaya produksi yang juga lebih tinggi. Selain itu harga komoditas hortikultura juga fluktuasinya lebih tinggi dibanding padi. Implikasi dari temuan ini adalah: (a) untuk menekan tingginya fluktuasi harga, pembangunan infrastruktur untuk memperlancar distribusi dan pemasaran, upaya penanganan pasca panen dan pengaturan pergiliran tanaman agar tidak terjadi panen serentak di semua wilayah sentra produksi dapat menjamin kontinuitas produksi; (b) dikaitkan dengan program swasembada beras, agar petani terdorong mengusahakan padi maka keuntungan usahatani padi di lahan sawah di desa dan musim yang sama perlu berimbang dengan keuntungan usahatani hortikultura, untuk ini kebijakan harga dan dukungan infrastruktur (irigasi) pada usahatani padi perlu mendapat prioritas; dan (c) meskipun secara finansial maupun ekonomi menguntungkan, pengembangan komoditas hortikultura harus sejalan dengan kemampuan daya serap pasar dan perluasan tujuan pasar serta penanganan agroindustrinya. 2. Usahatani hortikultura di daerah penelitian memiliki daya saing atau keunggulan komparatif maupun kompetitif. Namun demikian usahatani hortikultura rentan terhadap serangan hama/penyakit dan karenanya peng-
gunaan pupuk dan pestisida relatif tinggi. Pada kondisi pasar input yang sepenuhnya belum efisien, petani hortikultura secara umum membayar biaya produksi yang lebih tinggi dari yang seharusnya, terutama pada musim hujan. Selain itu ada kecenderungan terdapat hubungan terbalik antara aksesibilitas daerah dengan besaran harga tradable input yang harus dibayar petani. Implikasinya adalah untuk mendorong pengembangan usahatani hortikultura dan mempertahankan daya saing diperlukan: (a) pembenahan sistem pemasaran dan distribusi input produksi khususnya pupuk dan pestisida (obat-obatan), (b) untuk mendukung efisiensi pemasaran input maupun output, aksesibilitas daerah dan distribusi input-output tersebut, pembangunan sarana jalan, sarana transportasi dan fasilitas pemasaran yang memadai merupakan pilihan yang patut dipertimbangkan: dan (c) langkah pemerintah untuk mengembangkan subterminal agribisnis sampai tingkat kecamatan dipandang relevan, dibarengi dengan manajemen standarisasi mutu produk. 3. Dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif komoditas hortikultura perlu lebih diarahkan pada peningkatan efisiensi usaha serta peningkatan pemanfaatan dan produktivitas sumberdaya pertanian. Strategi pengembangan tersebut dilakukan melalui: (a) penciptaan iklim usaha yang kondusif antara lain dukungan fasilitas kredit usaha, keringanan bea masuk dan ekspor, pelayanan teknis seperti standarisasi produk dan informasi pasar; (b) mendorong pengembangan agribisnis di sentra produksi melalui perluasan wilayah sentra produksi komoditas unggulan di masing-masing wilayah; dan (c) mendorong kelembagaan pendukung dengan pengembangan kemitraan usaha antara kelembagaan petani dengan kelembagaan agribisnis. 4. Mengingat sifat intrinsik komoditas hortikultura yang cepat rusak, terbatasnya sarana penyimpanan yang memadai di tingkat petani dan ketergantungan modal petani yang berasal dari hasil penjualan produknya, maka pilihan kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura yang mengedepankan kepentingan petani merupakan strategi yang perlu ditempuh. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui kebijakan yang diarah-
71
kan pada aspek off-farm. Dalam kaitan ini upaya stabilisasi harga merupakan prioritas, karena instabilitas harga atau fluktuasi harga yang tinggi merupakan sumber permasalahan yang dirasakan petani hortikultura. 5. Secara umum hasil analisis sensitivitas untuk semua komoditas hortikultura yang dikaji di masing-masing lokasi penelitian menunjukkan bahwa produktivitas maupun harga pada titik impas lebih rendah dari produktivitas aktual maupun harga aktual di tingkat petani dengan kisaran antara 41–76 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani hortikultura memiliki tingkat toleransi antara 24-59 persen terhadap perubahan harga maupun produktivitas. DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W dan T.A. Soetiarso. 1997. Keunggulan komparatif dan insentif ekonomi Usahatani Bawang Merah. Jurnal Hortikultura: 7 (1): 614 – 621. Badan Pusat Statistik. 1999. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Susenas. Buku 1. BPS. Jakarta. Biro
72
Pusat Statistik. 1996. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Susenas. Buku 1. BPS. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2002. Membangun Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan. Suplemen Bahan Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi III DPR-RI, 27 Februari 2002, Jakarta. Hadi, P.U., H. Mayrowani, Supriyati dan Semedi. 2000. Review dan Outlook Pengembangan Komoditas Hortikultura. Makalah pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 Ke Depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Irawan, B., H.P. Saliem, Saptana dan R. Tanjung. 2001. Review dan Outlook Agribisnis Hortikultura. Laporan Analisis Kebijaksanaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Monke, E.A. and S.K. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London Rachman, B., P. Simatupang, T. Sudaryanto dan S. Bachri. 2002. Efisiensi dan Daya saing Sistem Usahatani Padi. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Development Alternatif Inc. (DAI)-USAID Saptana, Sumaryanto, M. Siregar, H. Mayrowani, I. Sadikin dan S. Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Kompetitif Komoditas Unggulan Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Tabel Lampiran 1. Alokasi Biaya dan Harga Output Kedalam Komponen Domestik dan Asing pada Usahatani Hortikultura di Lokasi Penelitian, Tahun 2001 Jenis Biaya
Domestik (%)
Sistem
Asing (%)
Tingkat Usahatani Benih cabe merah/keriting,tomat,melon Bibit bawang merah Bawang merah Cabe merah/keriting,tomat dan melon Urea TSP SP-36 KCL ZA Pupuk alternatif Pupuk organik ZPT PPC Tenaga kerja buruh Penyusutan alat-alat Biaya modal Sewa lahan
100 0 0 100 0 0 0 0 0 100 100 0 0 100 0 100 100
0 100 100 0 100 100 100 100 100 0 0 100 100 0 100 0 0
Pelaku Tataniaga Pengangkutan bawang merah Indramayu Pengangkutan bawang merah Majalengka Pengangkutan cabe merah Kediri Pengangkutan cabe keriting Agam Pengangkutan tomat Agam Pengangkutan melon Ngawi
100 100 100 100 100 100
0 0 0 0 0 0
Tabel Lampiran 2. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Bawang Merah di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian MH 0,26
Indramyu MK I 0,26
MK II 0,26
MH 0,26
Exchange Rate (Rp/US$)
9.603
11.143
9.786
9.603
11.143
9.786
Harga CIF (Rp/kg)
2.535
2.853
2.505
2.535
2.853
2.505
27
27
27
27
27
27
b. Kota provinsi – kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
c. Kota kabupaten – desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
Harga CIF (US$/ton)
Majalengka MK I 0,26
MK II 0,26
Biaya angkutan dan penanganan(Rp/kg) : a. Pelabuhan – kota provinsi
d. Penanganan (bongkar/muat) Harga sosial di petani (Rp/kg beras)
-13
-13
-13
-13
-13
-13
2.509
2.827
2.479
2.509
2.827
2.479
73
74
75
76
77
Tabel Lampiran 10. Analisis Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Menurut Tipe Desa dan Musim, tahun 2000 - 2001
Uraian MH 2000/2001 Produksi (kg/ha) Nilai (Rp000/ha) Harga (Rp/kg) Input Produksi : Benih : Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk Buatan Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk lainnya (Rp/ha) Pestisida & herbisida (Rp/ha) Total (Rp/ha) (%) Tenaga kerja : Traktor & ternak (Rp/ha) (%) Prapanen (Rp/ha) (%) Panen (Rp/ha) (%) Pengangkutan (Rp/ha) (%) Pasca panen (Rp/ha) (%) Total (Rp/ha) (%) Pajak irigasi & lainnya (Rp/ha) (%) Biaya modal (Rp/ha) (%) Sewa lahan (ha) (%) Total biaya (Rp/ha) (%) Profitabilitas finansial (%) Sumber : Data primer (diolah)
78
Indramayu
Majalengka
Baik
Sedang
MK I 2001
MK II 2001
MK I 2001
MK II 2001
9.100 28.326 3.113
8.944 25.462 2.847
9.817 29.167 2.971
5.000 15.000 3.000
6.482 25.278 3.900
954 5.429.012 5.688
843 4.920.914 5.837
983 5.671.050 5.768
500 2.250.000 4.500
556 2.777.778 5.000
798 1.440.437 1.806 240.645 2.624.713 9.734.807 34,4
852 1.456.932 1.709 433.881 1.794.608 8.606.335 33,8
828 1.462.305 1.766 386.143 2.162.701 9.682.199 33,2
750 1.125.000 1.500 360.000 1.210.000 4.945.000 33,0
972 1.450.000 1.491 111.111 1.111.111 5.450.000 21,6
0 0,0 5.611.904 19,8 553.675 2,0 746.604 2,6 510.613 1,8 7.422.797 26,2 147.398 0,5 1.474.724 5,2 1.500.000 5,3 20.279.726 71,6 8.045.821 28,4
0 0,0 4.650.295 18,3 495.793 1,9 974.746 3,8 598.197 2,3 6.719.030 26,4 161.536 0,6 1.357.902 5,3 1.500.000 5,9 18.344.803 72,0 7.117.303 28,0
0 0,0 4.304.620 14,8 496.486 1,7 629.861 2,2 775.239 2,7 6.206.206 21,3 96.195 0,3 1.307.328 4,5 1.500.000 5,1 18.791.928 64,4 10.374.693 35,6
0 0,0 4.355.360 29,0 348.633 2,3 0 0,0 232.422 1,5 4.936.415 32,9 39.216 0,3 848.422 5,7 1.200.000 8,0 11.969.052 79,8 3.030.948 20,2
0 0,0 3.500.000 13,8 611.111 2,4 0 0,0 0 0,0 4.111.111 16,3 0 0,0 895.000 3,5 1.200.000 4,7 11.656.111 46,1 13.621.667 53,9
Tabel Lampiran 11. 3Analisis Usahatani Cabai Merah di Kabupaten Kediri Menurut Tipe Desa dan Musim, Tahun 2000 – 2001 Baik Uraian Produksi (kg/ha) Nilai (Rp000/ha) Harga (Rp/kg) Input Produksi : Benih : a. Kg/ha b. Nilai (Rp/ha) c. Harga (Rp/ha) Pupuk Buatan a. Kg/ha b. Nilai (Rp/ha) c. Harga (Rp/ha) Pupuk lainnya (Rp/ha) Pestisida & herbisida (Rp/ha) Total (Rp/ha) (%) Tenaga kerja : a. Traktor & ternak (Rp/ha) (%) b. Pemeliharaan (Rp/ha) (%) c. Pemanenan (Rp/ha) (%) c. Pengangkutan (Rp/ha) (%) c. Pasca panen (Rp/ha) (%) Total (Rp/ha) (%) Pajak irigasi & lainnya (Rp/ha) (%) Biaya modal (Rp/ha) (%) Sewa lahan (ha) (%) Total biaya (Rp/ha) (%) Profitabilitas finansial (%)
MH 2000/2001
MK I 2001
Kurang MK II 2001
MH 2000/2001
Tadah hujan MH 2000/2001
MK I 2001
5948 26.219 4408
7350 24.990 3400
4546 17.155 3773.65
6253.6 18.388 2940.45
3969 22.060 5558
4791.85 21.563 4500
0,56 862.408 1.540.015
0,67 922.619 1.377.043
0,6 593.705 989.509
0,61 767.857 1.258.782
0,56 477.778 853.175
0,61 916.667 1.502.732
1.067 1.674.845 1.570 229.000 1.431.462 4.197.715 16,0
888 1.380.911 1.555 122.679 1.536.666 3.962.875 15,9
1.120 1.850.222 1.652 171.160 786.964 3.402.051 19,8
523 793.544 1.517 112.500 174.241 1.848.142 10,1
528 880.559 1.668 263.889 377.778 2.000.004 9,1
1.389 2.305.574 1.660 61.695 1.875.000 5.158.936 23,9
171.987 80.953 94.775 0,7 0,3 0,6 3.327.816 3.681.129 3.227.241 12,7 14,7 18,8 602.280 568.320 364.755 2,3 2,3 2,1 67.262 118 52.500 0,3 0,0 0,3 0 0 0 0,0 0,0 0,0 4.169.345 4.330.520 3.739.271 15,9 17,3 21,8 1.996.979 1.929.484 2.002.598 7,6 7,7 11,7 924.790 918.650 837.989 3,5 3,7 4,9 1.800.000 1.800.000 1.800.000 6,9 7,2 10,5 13.088.829 12.941.528 11.781.910 49,9 51,8 68,7 13.129.955 12.048.472 5.373.103 50,1 48,2 31,3
89.375 0 0 0,5 0,0 0,0 2.080.725 3.966.690 2.311.673 11,3 18,0 10,7 901.990 991.600 914.146 4,9 4,5 4,2 0 17.780 38.889 0,0 0,1 0,2 0 0 0 0,0 0,0 0,0 3.072.090 4.976.070 3.264.708 16,7 22,6 15,1 1.577.857 826.429 208.368 8,6 3,7 1,0 568.972 679.312 771.787 3,1 3,1 3,6 1.400.000 1.200.000 1.200.000 7,6 5,4 5,6 8.467.060 9.681.815 10.603.798 46,0 43,9 49,2 9.921.338 12.377.887 10.959.527 54,0 56,1 50,8
Sumber : Data primer (diolah)
79
Tabel Lampiran 12. Analisis Usahatani Cabai Keriting di Kabupaten Agam Menurut Tipe Desa dan Musim Tahun 2000 – 2001 Uraian Produksi (kg/ha) Nilai (Rp000/ha) Harga (Rp/kg) Input Produksi : Benih : Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk Buatan Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk lainnya (Rp/ha) Pestisida & herbisida (Rp/ha) Total (Rp/ha) (%) Tenaga kerja : Traktor & ternak (Rp/ha) (%) Pemeliharaan (Rp/ha) (%) Pemanenan (Rp/ha) (%) Pengangkutan (Rp/ha) (%) Pasca panen (Rp/ha) (%) Total (Rp/ha) (%) Pajak irigasi & lainnya (Rp/ha) (%) Biaya modal (Rp/ha) (%) Sewa lahan (ha) (%) Total biaya (Rp/ha) (%) Profitabilitas finansial (%) Sumber : Data primer (diolah)
80
Baik MH 2000/2001
Sedang MK I 2001
Kurang
MK I 2001
MK I 2001
Tadah hujan MK I 2001
3.952 16.294 4.123
3.412 23.563 6.906
3.740 22.970 6.142
3.105 17.363 5.592
4.249 16.672 3.924
5.59 37.556 6.718
3.6 110.668 30.741
4 32.000 8.000
5.8 40.008 6.898
3.09 36.808 11.912
705 1.404.304 1991.610344 554.666 1.250.517 3.247.043 19,9
555 1.095.728 1974.284685 1.244.666 1.490.356 3.941.418 16,7
840 1.337.760 1592.571429 634.000 792.000 2.795.760 12,2
1.080 1.953.694 1808.975926 619.905 707.937 3.321.544 19,1
492 777.076 1579.422764 166.667 431.036 1.411.587 8,5
0 0,0 1.039.827 6,4 1.170.285 7,2 0 0,0 0 0,0 2.210.112 13,6 500.482 3,1 375.392 2,3 1.800.000 11,0 8.133.029 49,9 8.161.067 50,1
8.800 0,0 3.024.159 12,8 1.837.836 7,8 40.000 0,2 0 0,0 4.910.795 20,8 1.264.222 5,4 661.074 2,8 1.600.000 6,8 12.377.508 52,5 11.185.764 47,5
0 0,0 3.834.528 16,7 1.819.776 7,9 0 0,0 0 0,0 5.654.304 24,6 1.566.000 6,8 436.176 1,9 1.600.000 7,0 12.052.240 52,5 10.917.905 47,5
0 0,0 2.540.667 14,6 1.186.380 6,8 0 0,0 0 0,0 3.727.047 21,5 1.834.762 10,6 515.631 3,0 1.400.000 8,1 10.798.984 62,2 6.564.176 37,8
0 0,0 2.654.184 15,9 1.083.118 6,5 0 0,0 0 0,0 3.737.302 22,4 1.057.750 6,3 324.257 1,9 1.200.000 7,2 7.730.896 46,4 8.940.610 53,6
Tabel Lampiran 13. Analisis Usahatani Tomat di Kabupaten Agam Menurut Tipe Desa dan Musim. Tahun 2000 – 2001 Baik Uraian Produksi (kg/ha) Nilai (Rp000/ha) Harga (Rp/kg) Input Produksi : Benih : Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk Buatan Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk lainnya (Rp/ha) Pestisida & herbisida (Rp/ha) Total (Rp/ha) (%) Tenaga kerja : Traktor & ternak (Rp/ha) (%) Pemeliharaan (Rp/ha) (%) Pemanenan (Rp/ha) (%) Pengangkutan (Rp/ha) (%) Pasca panen (Rp/ha) (%) Total (Rp/ha) (%) Pajak irigasi & lainnya (Rp/ha) (%) Biaya modal (Rp/ha) (%) Sewa lahan (ha) (%) Total biaya (Rp/ha) (%) Profitabilitas finansial (%)
MK I 2001
Kurang MK II 2001
MH 2000/2001
MK I 2001
Tadah hujan MK II 2001
MK I 2001
MK II 2001
21.808 10.402 477
10.906 6.271 575
15.000 10.500 700
17.950 16.047 894
13.110 8.141 621
13.936 11.104 797
14.920 10.778 722
12 31.729 2.605
4 23.332 6.554
7 26.667 3.998
6 35.167 6.394
2 69.334 42.536
2 30.000 15.000
2 26.250 15.000
543 904.338 1.665 825.481 561.217 2.322.765 22,3
183 255.325 1.395 54.444 290.778 623.879 9,9
700 1.353.450 1.934 700.000 666.667 2.746.784 26,2
0 0,0 1.940.439 18,7 1.545.000 14,9 0 0,0 0 0,0 3.485.439 33,5 375.000 3,6 269.776 2,6 1.200.000 11,5 7.652.980 73,6 2.749.436 26,4
0 0,0 969.624 15,5 233.964 3,7 85.014 1,4 0 0,0 1.288.602 20,5 117.222 1,9 95.878 1,5 1.200.000 19,1 3.325.581 53,0 2.945.369 47,0
715 325 676 562 1.197.209 586.774 1.036.800 896.753 1.674 1.805 1.534 1.597 1.160.000 226.667 0 0 1.708.333 817.083 282.000 418.000 4.100.709 1.699.858 1.348.800 1.341.003 25,6 20,9 12,1 12,4
0 0 0 0,0 0,0 0,0 2.250.733 3.715.384 1.344.858 21,4 23,2 16,5 1.667.721 1.853.709 567.948 15,9 11,6 7,0 0 160.714 421.130 0,0 1,0 5,2 0 0 0 0,0 0,0 0,0 3.918.454 5.729.807 2.333.936 37,3 35,7 28,7 516.667 1.600.000 851.250 4,9 10,0 10,5 419.386 570.071 255.111 4,0 3,6 3,1 1.000.000 1.000.000 1.000.000 9,5 6,2 12,3 8.601.291 13.000.586 6.140.154 81,9 81,0 75,4 1.898.709 3.046.714 2.001.156 18,1 19,0 24,6
0 0,0 1.491.528 13,4 685.760 6,2 0 0,0 0 0,0 2.177.288 19,6 130.000 1,2 216.885 2,0 800.000 7,2 4.672.973 42,1 6.431.232 57,9
0 0,0 1.737.344 16,1 531.286 4,9 0 0,0 0 0,0 2.268.630 21,0 155.000 1,4 206.607 1,9 800.000 7,4 4.771.240 44,3 6.006.968 55,7
Sumber : Data primer (diolah)
81
Tabel Lampiran 14. Analisis Usahatani Melon di Kabupaten Ngawi. Menurut Tipe Desa dan Musim. Tahun 2000 2001 Uraian Produksi (kg/ha) Nilai (Rp000/ha) Harga (Rp/kg) Input Produksi : Benih : Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk Buatan Kg/ha Nilai (Rp/ha) Harga (Rp/ha) Pupuk lainnya (Rp/ha) Pestisida & herbisida (Rp/ha) Total (Rp/ha) (%) Tenaga kerja : Traktor & ternak (Rp/ha) (%) Pemeliharaan (Rp/ha) (%) Pemanenan (Rp/ha) (%) Pengangkutan (Rp/ha) (%) Pasca panen (Rp/ha) (%) Total (Rp/ha) (%) Pajak irigasi & lainnya (Rp/ha) (%) Biaya modal (Rp/ha) (%) Sewa lahan (ha) (%) Total biaya (Rp/ha) (%) Profitabilitas finansial (%) Sumber : Data primer (diolah)
82
Baik MK I 2001
Kurang
MK II 2001
MK I 2001
Tadah hujan
MK II 2001
MK I 2001
Dry II 2001
51.374 71.564 1.393
44.616 61.882 1.387
51.429 55.543 1.080
40.808 52.071 1.276
26.667 34.667 1.300
18.460 23.998 1.300
48 4.254.000 88.625
46 3.852.500 83.750
52 4.454.000 85.000
55 4.556.200 83.600
40 3.440.000 86.000
32 2.400.000 75.000
3.584 4.060 4.464 4.662 2.333 6.163.121 7.235.094 6.937.000 6.784.392 3.432.650 1.720 1.782 1.554 1.455 1.471 674.979 1.756.519 285.714 978.431 493.333 4.002.413 6.655.106 5.600.000 3.504.963 3.278.334 15.094.513 19.499.219 17.276.714 15.823.986 10.644.317 21,1 31,5 31,1 30,4 30,7
2.100 3.089.385 1.471 396.000 3.355.880 9.241.265 38,5
0 0,0 10.632.966 14,9 596.148 0,8 247.059 0,3 0 0,0 11.476.173 16,0 2.405.807 3,4 2.604.718 3,6 1.600.000 2,2 33.181.210 46,4 38.382.772 53,6
0 0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 11.439.365 8.710.713 15.098.875 6.143.676 5.286.939 18,5 15,7 29,0 17,7 22,0 297.472 536.000 764.830 833.333 0 0,5 1,0 1,5 2,4 0,0 902.448 3.392.857 1.568.627 2.667.975 0 1,5 6,1 3,0 7,7 0,0 0 0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 12.639.285 12.639.570 17.432.332 9.644.984 5.286.939 20,4 22,8 33,5 27,8 22,0 3.049.833 1.569.475 1.572.207 1.190.000 313.267 4,9 2,8 3,0 3,4 1,3 2.959.174 3.062.255 3.349.644 1.902.274 1.293.688 4,8 5,5 6,4 5,5 5,4 1.600.000 1.400.000 1.400.000 1.000.000 1.000.000 2,6 2,5 2,7 2,9 4,2 39.747.511 35.948.014 39.578.169 24.381.575 17.135.159 64,2 64,7 76,0 70,3 71,4 22.134.881 19.595.306 12.492.839 10.285.525 6.862.841 35,8 35,3 24,0 29,7 28,6
Tabel 4. Koefisien Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif, Koefisien Proteksi Komoditas Hortikultura di Kabupaten Terpilih, MH 2000/2001, MK I 2001 dan MK II 2001
Uraian
NPCO A/E
Bawang merah, Indramayu Baik - MH, 2000/2001 1,24 - MK I, 2001 1,01 - MK II, 2001 1,20 Bawang merah, Majalengka Sedang - MK I, 2001 1,06 - MK II, 2001 1,57 Cabai merah, Kediri Baik - MH, 2000/2001 1,00 - MK I, 2001 1,00 - MK II, 2001 1,00 Kurang - MH, 2000/2001 1,00 Tadah hujan - MH, 2000/2001 1,00 - MK I, 2001 1,00 Cabai keriting, Agam Baik - MH, 2000/2001 1,00 Sedang - MK I, 2001 1,00 - MK II, 2001 1,00 Kurang - MK I, 2001 1,00 Tadah hujan - MK I, 2001 1,00
Bibit
Urea
SP36
KCl
ZA
LainNPK ZPT nya
Pest.
1,00 1,00 1,00
1,17 1,12 1,02 0,93 1,17 1,09
1,52 1,07 1,23
1,32 1,86 1,09 1,63 1,25 1,82
1,25 1,25 1,25
1,25 1,25 1,25
1,00 1,00
0,98 1,12
1,10 1,13
1,09 1,36 1,15 1,87
1,25 1,25
1,25 1,25
1,00 1,00 1,00
1,11 1,11 0,99 0,98 1,11 0,95
1,45 1,00 1,00
1,22 1,72 1,01 1,53 1,01 1,50
1,25 1,25 1,25
1,25 1,25
1,25 1,25 1,25
1,00
1,04
1,59
1,22 1,91
1,25
1,25
1,00 1,00
1,24 0,97 0,92
1,43 1,05
1,33 1,91 1,01 1,48
1,25 1,25
1,00
1,25 1,37
1,67
1,39 1,92
1,00 1,00
1,21 1,21 1,10
1,28 1,34
1,00
1,07
1,00
0,97 1,16
Herb.
1,25 1,25 1,25
Total
DRC
EPC
SRP
PCR
G/(E-F)
(A-B)/ (E-F)
L/E
C/(A-B)
1,11 1,08 1,10
0,72 0,55 0,57
1,32 0,98 1,26
0,18 -0,03 0,15
0,57 0,58 0,47
1,09 1,10
0,71 0,54
1,05 1,78
0,02 0,53
0,70 0,31
1,21 1,12 1,13
0,40 0,41 0,59
0,97 0,98 0,97
-0,03 -0,02 -0,03
0,41 0,43 0,62
1,25
1,18
0,40
0,98
-0,02
0,41
1,25
1,25 1,25
1,26 1,13
0,37 0,31
0,98 0,96
-0,03 -0,04
0,38 0,33
1,25
1,25
1,25
1,25
1,37
0,34
0,94
-0,06
0,37
1,17 1,65 1,11
1,25 1,25
1,25 1,25
1,25 1,25
1,25
1,24 1,21
0,41 0,44
0,96 0,98
-0,04 -0,03
0,43 0,46
1,10
1,17 1,53
1,25
1,25
1,25
1,22
0,50
0,96
-0,04
0,53
1,19
1,13 1,65
1,25
1,25
1,18
0,40
0,99
-0,02
0,41
1,25
Tabel 4. (lanjutan)
Uraian
NPCO A/E
Tomat, Agam Baik - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MH, 2000/2001 - MK I, 2001 - MK II, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 - MK II, 2001 Melon, Ngawi Baik - MK I, 2001 - MK II, 2001 Kurang - MK I, 2001 - MK II, 2001 Tadah hujan - MK I, 2001 - MK II, 2001 Sumber: Data primer (diolah)
Bibit
Urea
SP36
KCl
ZA
NPCI (B/F) LainNPK ZPT nya
1,00 1,00
1,00 1,00
1,18 1,11 1,15 1,12
1,39
1,20 1,65 1,11
1,25 1,25
1,00 1,00 1,00
1,00 1,00 1,00
1,30 1,06 1,08 1,21 1,17
1,91 1,00 1,00
1,45 1,54 1,07 1,65 1,13 1,54
1,25 1,25 1,25
1,00 1,00
1,00 1,00
0,97 1,17 1,19 1,19
1,00 1,06
1,11
1,00 1,00
1,00 1,00
0,98 0,95 1,13 1,11
1,12 1,28
1,08 1,54 1,23 1,84
1,25 1,25
1,00 1,00
1,00 1,00
0,99 1,08
1,11 1,27
1,06 1,64 1,21 1,72
1,00 1,00
1,00 1,00
0,86 0,99
1,11 1,27
1,06 1,48 1,22 1,70
1,25
Pest.
1,25
Total
EPC
SRP
PCR
G/(E-F)
(A-B)/ (E-F)
L/E
C/(A-B)
1,24 1,19
0,62 0,47
0,95 0,98
-0,05 -0,02
0,66 0,48
1,25 1,25 1,25
1,37 1,21 1,25
0,68 0,69 0,65
0,91 0,94 0,95
-0,08 -0,05 -0,05
0,76 0,74 0,69
1,25 1,25
1,11 1,18
0,33 0,35
0,99 0,98
-0,02 -0,02
0,34 0,36
1,25 1,25
1,25 1,25
1,13 1,23
0,30 0,43
0,97 0,92
-0,03 -0,07
0,32 0,48
1,25 1,25
1,25 1,25
1,25 1,25
1,12 1,16
0,45 0,60
0,95 0,94
-0,05 -0,06
0,49 0,66
1,25 1,25
1,25
1,25 1,25
1,11 1,18
0,53 0,47
0,96 0,91
-0,04 -0,07
0,57 0,53
1,25
1,25 1,25
Herb.
DRC
Tabel 5. Nilai Output dan Input Transfer Usahatani Hortikultura di Kabupaten Terpilih (Rp/ha) MH 2000/2001, MK I 2001 dan MK II 2001
Uraian
Output (I)
Bawang merah, Indramayu Baik -MH 2000/2001 5.492.151 -MK I, 2001 180.924 -MK II, 2001 4.828.157 Bawang merah, Majalengka Sedang -MK I, 2001 866.960 -MK II, 2001 9.208.326 Cabai merah, Kediri Baik -MH 2000/2001 0 -MK I, 2001 0 -MK II, 2001 0 Kurang -MH 2000/2001 0 Tadah hujan -MH 2000/2001 0 -MK I, 2001 0 Cabai keriting, Agam Baik -MH 2000/2001 0 Sedang -MK I, 2001 0 -MK II, 2001 0 Kurang -MK I, 2001 0
Tradable input (J) Bibit
Urea
SP-36
KCl
ZA
NPK
Lainnya
Capital ZPT
Pest.
Herb.
Total
(K)
Net transfer (L)
0 13.775 53.197 42.313 42.424 0 2.800 -47.295 4.315 11.346 0 18.503 49.751 9.764 28.373
248.634 48.129 188.730 86.776 236.641 77.229
0 0 0
515.929 9.013 326.997 31.925 411.547 20.993
973.416 605.593 852.799
344.102 4.174.633 316.844 -741.513 305.043 3.670.315
0 0
33.256 72.000 115.984 22.222
0 0
242.000 222.222
0 0
418.190 505.978
197.965 250.805 208.833 8.493.515
0 4.673 49.949 140.486 68.085 0 -1.645 -6.629 -433 3.653 0 14.131 -19.288 -600 3.859
123.387 45.800 8.093 98.809 24.536 16.190 195.431 34.232 0
273.712 291.143 157.393
4.487 0 0
718.672 425.624 385.157
220.478 216.213 198.540
-837.077 -601.361 -518.247
0
127.890 22.500
7.366
27.482
0
282.716
136.994
-327.627
0 67.266 0 29.980 24.895 0 -15.566 -34.530 27.057 1.776
159.143 52.778 0 243.091 12.339 66.667
75.556 308.333
0 0
409.616 609.167
158.506 180.084
-568.122 -789.250
0 15.158 84.066 84.460 68.128
272.023 110.933 35.067
196.370 18.667
884.872
87.591
-972.463
0 0 96.148 66.820 18.479 0 50.528 37.126 96.385 23.557
38.944 248.933 16.000 0 126.800 14.400
260.738 21.333 144.000 0
767.395 492.796
154.667 101.774
-912.996 -594.571
130.476
607.771
120.314
-728.084
0
0 0
5.959
-3.431 28.111 46.254 9.321 58.694 77.535
0 45.677 45.841
0 32.322 33.739 72.595
203.545 123.981 11.111
0
Tabel 5. (lanjutan)
Uraian
Output (I) Bibit
Tadah hujan -MK I, 2001 Tomat, Agam Baik -MK I, 2001 -MK II, 2001 Kurang -MH 2000/2001 -MK I, 2001 -MK II, 2001 Tadah hujan -MK I, 2001 -MK II, 2001 Melon, Ngawi Baik -MK I, 2001 -MK II, 2001 Kurang -MK I, 2001 -MK II, 2001 Tadah hujan -MK I, 2001 -MK II, 2001 Sumber: Data primer (diolah)
0
0
0 0
Tradable input (J) Urea
SP-36
-3.495
KCl
ZA
NPK
Lainnya
ZPT
Pest.
20.062 33.333
0 20.770 0 13.826
34.693 11.038
68.447 165.096 21.538 0 10.889 0
0 0 0
0 0 0 5.073 0 13.264
47.947 133.803 94.113 32.122 391 13.080 5.685 79 15.205
0 0
0 -9.707 0 42.831
84.208 183 66.619 10.185
0 0
0 -1.979 0 10.205
-83.946 136.547 89.036 694.509 134.996 80.006 720.477 169.908 344.761 247.743 1.146.063 351.304 188.551 1.142.470
0 1.769.645 0 3.601.005
607.767 -2.377.413 690.474 -4.291.479
0 0
0 0
0 0
-30.384 156.894 123.311 117.468 245.942 514.328
419.517 57.143 141.429 439.184 195.686 79.919
978.571 621.074
0 1.846.481 0 2.213.601
714.526 -2.561.008 781.584 -2.995.185
0 0
0 0
0 -112.154 29.341 83.693 0 -6.801 57.848 247.823
291.415 98.667 85.333 332.289 79.200 0
570.333 671.176
0 1.046.628 0 1.381.535
443.864 -1.490.492 301.861 -1.683.396
0 1.531
195.174 140.000 76.826 232.000 98.012 45.333 0 0
0 0
86.207
Total
Net transfer (L)
48.805 13.834 19.846
0 41.815 4.214 3.180
0
Herb.
Capital (K)
0
218.593
75.660
-294.253
11.538 79.167 58.156 0
443.064 101.303
62.948 22.371
-506.012 -123.674
0 0 1.000
133.333 341.667 162.417
0 0 0
744.371 701.158 340.994
97.857 133.017 59.526
-842.228 -834.175 -400.520
0 0
56.400 83.600
0 0
131.083 204.766
50.606 48.208
-181.690 -252.975
Tabel lampiran 3. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian
Indramyu MH
MK I
Majalengka MK II
MH
Harga FOB (US$/ton)
108,7
Exchange rate (Rp/US$)
9.603 11.143 9.786
Harga FOB (Rp/kg)
876
105,3 105,3
108,7
MK I
Agam MK II
MH
Ngawi
MK I
MK II
105,3
105,3
108,7
105,3
9.603 11.143
9.786
9.603 11.143
MK I
105,3
Kediri
MK II
MH
MK I
MK II
105,3
105,3
108,7
105,3
105,3
9.786 11.143
9.786
9.603 11.143
9.786
978
859
876
978
859
876
978
859
978
859
876
978
859
27
27
27
27
27
27
37
37
37
27
20
27
27
27
b. Kota provinsi – kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-35
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten – desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-20
-20
-20
-20
-20
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan – kota provinsi
d. Penanganan (bongkar/muat)
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
Harga sosial di petani (Rp/kg)
850
952
833
850
952
833
835
937
818
942
816
840
942
823
Tabel Lampiran 4. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Za, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Harga CIF (US$/ton) Exchange rate (Rp/US$) Harga CIF (Rp/kg)
Indramyu MH 98
MK I 101
Majalengka MK II 101
MH 98
MK I 101
9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 937
1.123
986
937
1.123
Agam
MK II 101
MH 98
MK I 101
Ngawi MK II 101
MK I 101
Kediri
MK II 101
MH 98
MK I 101
MK II 101
9.786 9.603 11.143 11.143 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143 986
937
1.125
1.123
1.123
986
937
1.125
1.123
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi
27
27
27
27
27
27
37
37
37
27
20
27
27
27
b. Kota Provinsi - kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-35
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten - desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-20
-20
-20
-20
-20
d. Penanganan (bongkar/muat)
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
Harga sosial di petani (Rp/kg)
911
1.097
960
911
1.097
960
896
1.084
1.082
1.087
943
901
1.089
1.087
Tabel Lampiran 5. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk TSP, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Harga CIF (US$/ton)
Indramayu MH
MK I
161
Majalengka MK II
MH
MK I
161
Agam MK II
167
MH
167
Ngawi
MK I
161
MK II
167
Kediri
MK I MK II MH
167
167 167 161
MK I 167
MK II
167
167
Exchange rate (Rp/$)
9.603 11.143
9.786
9.603 11.143
9.786 9.603 11.143 11.143 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143
Harga CIF (Rp/kg)
1.546
1.861
1.634
1.546
1.861
1.634 1.546
27
27
27
27
27
27
37
37
37
27
20
27
27
27
b. Kota Provinsi – kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-35
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten – desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-20
-20
-20
-20
-20
d. Penanganan (bongkar/muat)
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
1.520
1.835
1.608
1.520
1.835
1.820 1.820 1.825 1.591 1.510 1.825
1.825
1.861 1.861 1.861 1.634 1.546 1.861
167 1.861
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan – kota provinsi
Harga sosial di petani (Rp/kg)
1.608 1.505
Tabel Lampiran 6. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk SP36, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Harga CIF (US$/ton)
Indramyu MH 149
MK I 149
Majalengka MK II 149
MH 149
MK I 149
Agam
MK II 149
MH 149
MK I 149
Ngawi MK II 149
MK I 149
Kediri
MK II 149
MH 149
MK I 149
MK II 149
Exchange rate (Rp/$)
9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143
Harga CIF (Rp/kg)
1.431
1.660 1.458 1.431
1.660 1.458 1.431
1.660
1.660
1.660 1.458 1.431
1.660
1.660
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan – Kota Provinsi
27
27
27
27
27
27
37
37
37
27
20
27
27
27
b. Kota provinsi – kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-35
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten – desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-20
-20
-20
-20
-20
d. Penanganan (bongkar/muat)
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
1.634 1.432 1.390
1.619
1.619
1.624 1.415 1.395
1.624
1.624
Harga sosial di petani (Rp/kg)
1.405
1.634 1.432 1.405
Tabel lampiran 7. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk KCl, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Harga CIF (US$/ton)
Indramayu MH
MK I
135
165
Majalengka MK II 165
MH
MK I
135
Agam
MK II
165
165
MH 135
MK I 165
Ngawi MK II 165
MK I
Kediri
MK II
149
149
MH 135
MK I 165
MK II 165
Exchange rate (Rp/$)
9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143
Harga CIF (Rp/kg)
1.296
1.839 1.615 1.296
1.839 1.615 1.296
1.839
1.839
1.660 1.458 1.296
1.839
1.839
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi
27
27
27
27
27
27
37
37
37
27
20
27
27
27
b. Kota provinsi - kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-35
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten - desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-20
-20
-20
-20
-20
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
1.813 1.589 1.255
1.798
1.798
1.624 1.415 1.260
1.803
1.803
d. Penanganan (bongkar/muat) Harga sosial di petani (Rp/kg)
-13 1.270
1.813 1.589 1.270
Tabel Lampiran 8. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk NPK, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian Harga CIF (US$/ton)
Indramayu MH 167
MK I 167
Majalengka MK II 167
MH 167
MK I 167
Agam
MK II 167
MH 167
MK I 167
Ngawi MK II 167
MK I 167
Kediri
MK II MH 167
167
Exchange rate (Rp/$)
9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 9.786 9.603 11.143 11.143 11.143 9.786 9.603
Harga CIF (Rp/kg)
1.604
1.861 1.634 1.604
1.861 1.634 1.604
1.861
1.861
1.861 1.634 1.604
MK I 167
MK II 167
11.143 11.143 1.861
1.861
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota Provinsi
27
27
27
27
27
27
37
37
37
27
20
27
27
27
b. Kota provinsi - kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-35
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten - desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-30
-30
-20
-20
-20
-20
-20
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
1.835 1.608 1.563
1.820
1.820
1.825 1.591 1.568
1.825
1.825
d. Penanganan (bongkar/muat) Harga sosial di petani (Rp/kg)
-13 1.578
1.835 1.608 1.578
Tabel Lampiran 9. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk PPC/ZPT, di Kabupaten Terpilih, MH2000/2001,MK I 2001 dan MK II 2001 Uraian
Indramayu MH
MK I
Majalengka MK II
MH
MK I
Agam MK II
MH
MK I 2.230
Ngawi MK II
MK I
Kediri
MK II
MH
MK I
MK II
Harga CIF (US$/ton)
2.230
2.230
2.230
2.230
2.230
2.230
2.230
2.230 2.230
2.230
2.230 2.230
Exchange rate (Rp/$)
9.603 11.143
9.786
9.603 11.143
9.786
9.603 11.143 11.143 11.143
9.786
9.603 11.143 11.143
Harga CIF (Rp/kg)
2.230
21.415 24.849 21.823 21.415 24.849 21.823 21.415 24.849 24.849 24.849 21.823 21.415 24.849 24.849
Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg) : a. Pelabuhan - kota provinsi
27
27
27
27
27
27
37
27
37
27
20
27
27
27
b. Kota provinsi - kota kabupaten
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-35
-30
-35
-30
-30
-30
-30
-30
c. Kota kabupaten - desa
-20
-20
-20
-20
-20
-20
-30
-20
-30
-20
-20
-20
-20
-20
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
-13
d. Penanganan (bongkar/muat) Harga sosial di petani (Rp/kg)
21.389 24.823 21.797 21.389 24.823 21.797 21.374 24.813 24.808 24.813 21.780 21.379 24.813 24.813