Peningkatan Nilai Tambah Untuk Mendukung Daya Saing Produk Hortikultura Indonesia Di Pasar Global Oleh: E. Gumbira-Sa’id (Guru Besar Teknologi Industri Pertanian, Fateta, dan Senior Advisor Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis SPS - IPB). Email:
[email protected] PENDAHULUAN Di balik berbagai berita hangat yang mendominasi penerbitan cetak dan media ruang masyarakat di Indonesia akhir-akhir ini, yakni pertandingan para atlit olah raga negaranegara ASEAN di ajang Sea Games ke-26, kecemasan akan kerawanan pangan di tahun 2012, isu penerapan teknologi transgenik dalam bidang pertanian, serta munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan yang mengundang kritisi berbagai pihak, berbagai isu mengenai hortikultura pun mencuat dan memerlukan solusi yang segera dan bertanggung jawab. Berbagai isu mengenai hortikultura yang mencuat ke permukaan barubaru ini diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Hasil pengkajian LP3E KADIN (Rachbini, 2011) melaporkan bahwa tekanan impor produk petani, seperti kentang, buah dan produk hortikultura lainnya semakin mengemuka. Pasar buah nasional yang sudah hancur terlebih dahulu, kini diikuti dengan hancurnya pasar lokal kentang akibat membanjirnya kentang impor dari Cina, Australia dan negara-negara lainnya. Impor kentang tiga bulan terakhir, rata-rata telah meningkat 60%, sehingga impor kentang tahun 2010 yang 25 000 ton, kemungkinan akan terlampui tahun ini, karena sampai kuartal pertama tahun 2011, impor kentang sudah mencapai angka yang sangat besar, yakni 24 000 ton. (2) Pemasaran produk kentang lokal semakin terdesak oleh komoditas kentang impor, karena kesalahan selama ini yakni pola tanam yang tidak tepat dan penggunaan pestisida yang berlebihan belum dapat ditanggulangi dengan tuntas. Untuk kasus di dataran tinggi Dieng, rataan produksi saat ini hanyalah 5-8 ton/Ha, sedangkan 10 tahun yang lalu adalah 10-13 ton/Ha (Suharso, 2011). (3) Pada akhir Oktober 2011, terdapat enam jenis jagung dan dua jenis kedelai yang toleran herbisida atau tahan serangan hama diajukan untuk dibudidayakan di Indonesia oleh beberapa perusahaan multinasional yakni Monsanto, Dupont-Pioneer dan Syngenta, walaupun benihnya belum beredar di pasaran (Herman, 2011). Isu tersebut mendapat tanggapan negatif dari beberapa pihak karena alasan keamanan sumberdaya hayati dan keselamatan lingkungan hidup. (4) Ratusan ribu ton jeruk asal daerah Karo, Sumatera Utara, tahun ini gagal dipanen karena diserang lalat buah dan hama penggerek buah. Serangan lalat buah dan hama penggerek buah yang belum pernah dapat ditanggulangi sejak tahun 1980-an tersebut, semakin parah di tahun 2005 (50% jeruk tidak dapat dipanen), dan tahun 2011 ini serangan hama di atas semakin parah karena menyebabkan 90% jeruk didaerah Karo tidak dapat dipanen (Barus, 2011). (5) Para pelaku agribisnis bawang merah melaksanakan Kongres Bawang Merah yang pertama pada tanggal 9 dan 10 November 2011 di Cirebon, dan menolak importasi bawang merah. Para pelaku agribisnis bawang merah di atas marah dan mendesak pemerintah agar serius mengatur tata niaga bawang merah, serta memperbaiki kebijakan impor bawang merah yang dianggap tidak benar. Saat petani sedang memanen bawang merah, pemerintah justru dituduh mengimpor bawang merah dari Filipina, Vietnam dan India, yang memukul harga bawang merah di dalam negeri (Mudatsir, 2011). (6) Ketua Dewan Bawang Merah Indonesia Ranggasana (2011) menyatakan bahwa fokus perjuangan Dewan Bawang Merah adalah pembentukan regulasi bawang merah,
1
khususnya soal ekspor dan impor, karena pemerintah dinilai abai terhadap kesejahteraan petani karena memperkenankan impor bawang merah pada saat petani sedang melakukan panen. bawang merah (7) Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri, (Saleh, 2011) menyatakan bahwa selama ini impor produk hortikultura berlangsung tanpa aturan khusus, dibalik daya saing produk hortikultura yang rendah. Oleh karena itu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sedang menggarap aturan impor berbagai komoditas dan produk hortikultura. Dengan ketentuan baru, setiap impor komoditas dan produk hortikultura harus didasarkan pada rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Di lain pihak, peluang untuk memasok pasar global dengan komoditas dan produk hortikultura akan semakin digalakkan. Globalisasi dalam industri pangan, termasuk hortikultura, didorong oleh kebutuhan, keinginan dan bahkan tuntutan (kecerewetan) dari para pelanggan (konsumen),sebagai akibat dari hal-hal berikut: (1) Pertumbuhan penghasilan masyarakat, terutama menengah ke atas dan kelas pekerja yang semakin sejahtera. (2) Tuntutan peningkatan kenyamanan dalam memperoleh produk dan dalam mengkonsumsinya. (3) Keragaman produk atau menu yang diinginkan (4) Penyiapan porsi atau menu pangan dalam volume besar (mass customization) yang dianggap lebih efektif dan hemat biaya. (5) Peningkatan kesadaran masyarakat konsumen akan rantai nilai yang lebih tinggi, terutama mengenai keingintahuan konsumen akan asal-usul komoditas, produk atau menu pangan yang dikonsumsinya. (6) Peningkatan fokus masyarakat konsumen atas elemen-elemen kesehatan dan kebugaran. (7) Kesadaran dan keinginan untuk mengkonsumsi hanya makanan (hortikultura) yang aman dan sehat saja, yang dapat dijamin mutunya oleh rantai pasok yang dipercaya.. Berbagai tantangan dan kecemasan di atas memerlukan komitmen yang mengikat dari seluruh pemangku kepentingan agribisnis dan agroindustri hortikultura untuk mampu mengatasinya dengan segera, mengingat importasi buah dan sayuran yang semakin meningkat dalam jumlah maupun dalam penggunaan devisa negara akan semakin memperburuk citra dan kinerja hortikultura Indonesia, dibalik kelimpahan alam Indonesia yang mampu menghasilkan buah dan sayuran serta bunga dan tanaman hias yang eksotik, dan diminati oleh pasar global. KIAT PENINGKATAN DAYA SAING HORTIKULTURA INDONESIA Daya saing agribisnis dan agroindustri nasional, khususnya untuk dunia hortikultura, dapat ditingkatkan, diantaranya melalui pengembangan varitas baru tanaman buah, sayur atau tanaman hias di sektor hulu, dan penganeka ragaman produk baru agroindustri di sektor hilir. Pengembangan produk dan jasa agroindustri yang baru, akan berhasil bertahan di pasar global bila berbagai kiat di bawah ini dapat dilaksanakan (Gumbira-Sa’id, 2010): (1) Mengimplementasikan kecenderungan terbaru dari pengembangan komoditas, produk dan manajemen untuk memperoleh keuntungan kompetitif, terutama dari tanaman yang khas Indonesia. (2) Menentukan produk-produk agribisnis (buah atau sayuran segar dalam rantai dingin dan atau dikemas khusus) dan agroindustri (ragam buah dan sayuran olahan melalui pengeringan, jus, nectar atau pasta dan buah atau sayur kalengan) yang tepat bagi
2
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
perusahaan Indonesia untuk dikembangkan. Buah dan sayuran unggulan Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah memerlukan penelitian dan pengembangan yang intensif dan berkelanjutan, dari aspek hulu ampai hilirnya. Melakukan teknik penyimpanan dingin dan penggunaan kemasan khusus bagi komoditas buah, sayur dan bunga atau tanaman hias segar, serta disain dan rekayasa proses dan pengemasan produk agroindustri buah dan sayuran olahan yang dapat meraih posisi jantung pasar yang tepat (sweet spot) di pasar global. Menemukan cara memasarkan komoditas hortikultura segar dan produk-produk hortikultura olahan dengan lebih cepat dan lebih disokong oleh sumberdaya perusahaan yang tanggap pengetahuan. Semua pemangku agribisnis dan agroindustri hortikultura secara jelas mendiskusikan, memilih dan menetapkan komoditas, produk dan jasa-jasa hortikultura Indonesia yang khas dan terintegrasi dengan pariwisata atau agrowisata, seperti yang dilakukan oleh Jepang melalui program OVOP (One Village One Product) serta Thailand melalui OTOP (One Tambon One Product). Menemukan kunci-kunci pendorong yang mampu memperkuat pembukaan pintu inovasi komoditas dan produk hortikultura Indonesia yang dapat bersaing di pasar global, misalnya untuk nenas, pepaya, semangka dan pisang, yang pasokannya selalu tersedia sepanjang tahun, dan nenas, manggis, jambu batu, rambutan dan lain-lain yang pasokan produksinya melimpah di musim panen raya. Secara tepat menggunakan tiga dimensi kunci segmentasi pasar (produk, tempat dan harga) hortikultura Indonesia dan mengupayakan menghindari kesalahan dari target segmentasi yang dituju. Secara cerdas melakukan perencanaan dan pelaksanaan proses pengembangan komoditas dan produk agroindustri hortikultura yang menjamin keberhasilan dalam waktu yang lama. Misalkan, buah Kiwi, yang asal usulnya berasal dari RR Cina, kini secara terstruktur sangat berhasil dibudidayakan, diolah dan dipasarkan ke pasar global oleh Selandia Baru. Secara yakin menggunakan berbagai metode yang tepat untuk mengorganisasikan dan mengatur tim pengembangan komoditas dan produk agroindustri hortikultura yang terpilih, misalnya melalui Riset Unggulan Buah, Sayuran atau Tanaman Hias nasional. Melakukan koordinasi kegiatan secara harmoni untuk secara tepat meluncurkan komoditas atau produk dan jasa baru agroindustri hortikulktura ke pasar global.
Strategi pengembangan pertanian dan perdesaan melalui sistem agribisnis dan agroindustri yang sesuai untuk hortikultura dapat dilakukan dengan cara-cara berikut (diadaptasi dari ADB, CASER dan SEARCA, 2004; dan Gumbira-Sa’id, 2010):: • Mempercepat proses peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan kewirausahaan dalam bidang pertanian hortikultura (Agropreneur) melalui Inkubator Agribisnis dan Agroindustri yang mengutamakan peningkatan nilai tambah komoditas dan produk hortikultura. • Membentuk modal sosial melalui desentralisasi, aksi penggalangan jejaring kerjasama dan pemberdayaan masyarakat hortikultura Indonesia, misalnya seperti yang digalang di Jawa Barat dalam gerakan Masterbu (Masyarakat Klaster Buah). • Melakukan revitalisasi produktivitas hortikultura melalui kegiatan Riset dan Pengembangan serta diversifikasi komoditas dan produk, terutama dalam memenuhi kebutuhan nutrisi di dalam negeri, dan untuk tujuan ekspor. • Mendukung penerapan Sistem Agribisnis dan membangun Klaster Agroindustri Perdesaan untuk hortikultura (buah, sayuran dan tanaman hias) yang kompetitif dan efisien dalam rangka memanfaatkan surplus produksi dan membangun agroindustri buah dan sayur berorientasi pasar global dan perolehan devisa nasional.
3
• •
Mendorong pertumbuhan dan menciptakan produktivitas sektor ekonomi non-pertanian di perdesaan, yang mampu mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri hortikultura serta pertumbuhan ekonomi daerah. Memperbaiki sistem produksi hortikultura, sekaligus menerapkan kegiatan manajemen sumberdaya alam yang lestari, terutama dengan memanfaatkan penemuan-penemuan bioteknologi tepat terap.
PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN PENGUATAN RANTAI NILAI AGRIBISNIS – AGROINDUSTRI HORTIKULTURA Walaupun seluruh titik pada rantai nilai industri hortikultura pada kegiatan budidaya di lahan (agribisnis) sampai ke pengolahan dan pemasarannya (off-farm) sama tingkat kepentingannya, tetapi pada dasarnya peningkatan nilai tambah komoditas atau hortikultura yang terbesar terdapat pada aspek pasca panennya, karena kegiatan pasca panen terutama pengolahan (agroindustri) dapat meningkatkan konsumsi dengan fungsi waktu yang lama, tempat yang jauh dan nilai jual produk yang lebih tinggi. Dengan demikian, titik-titik rantai sepanjang rantai nilai industri hortikultura adalah pemanenan, pra-pendinginan, pendinginan, penyimpanan dingin, penanganan pada tempat tujuan, atau penanganan pada agroindustri pengolah hortikultra menjadi ragam produk yang dapat dipasarkan. Penggunaan rantai dingin pada industri hortikuktura sangat vital, karena dapat mengurangi kerusakan fisik, pembusukan oleh serangga, perubahan mutu (flavor, warna dan tekstur), kehilangan nilai nutrisi, kehilangan nilai pasar (penurunan harga) dan dapat menghindari permasalahan keamanan komoditas atau produk hortikultura yang dipasarkan. Kegiatan rantai pasok dan rantai nilai pada industri hortikultura sangat nyata terdapat di dalam klaster industri hortikultura, yang saat ini juga sedang digalakkan di Indonesia. Secara hipotetik kerangka pemikiran yang dapat digunakan untuk mengembangkan klaster industri secara umum diperlihatkan pada gambar di bawah (Gambar 1 dan Lampiran Gambar 2). Namun demikian, mengingat kegiatan bisnis hortikultura di Indonesia pada umumnya dilaksanakan dalam format usaha mikro dan usaha kecil, maka tidak semua elemen dalam gambar tersebut dapat di analisa. Namun demikian, untuk format bisnis hortikultura yang besar, seperti misalnya untuk PT. Great Giant Pinneaple Company di Lampung, PT. Kusuma Agro Wisata dll, maka daya saing perusahaaannya dapat mengikuti format tersebut. Namun demikian, secara ilustratif Bank Dunia (2001) juga telah memiliki panduan penggagasan klaster industri yang komprehensif, dan bahkan disosialisasikan di Indonesia tahun 2001 yang lalu (Lampiran Gambar 2). Pada Lampiran Gambar 3 juga diperlihatkan suatu contoh klaster industri mangga, yang diadaptasi dari Martinez dan Mojica (2009). Di lain pihak pengembangan klaster industri buah-buahan di Indonesia yang sudah ditetapkan oleh Kemenperin (2009) dan Wachyudi (2011) seperti yamg diperlihatkan pada Lampiran Tabel 1. Kinerja Klaster Industri
Biaya Transaksional Pengaruh Jejaring Kerja Infrastruktur Pendukung Integrasi Rantai Pasokan
Pemasok Perkebunan Prosesor Pemasaran
Litbang / Universitas Lembaga Keuangan 4 Ketersediaan SDM Kelembagaan Techno-preneur Infrastruktur Fisik
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pengembangan Klaster Industri (diadaptasi dari Pahan, Gumbira-Sa’id, Tambunan dan Suroso, 2011) Dalam implmentasi rantai nilai hortikultura yang terkait dengan pemasarannya melalui industri ritel, para pemangku kepentingan agribisnis dan agroindustri hortikultura di Indonesia harus memiliki wawasan yang luas. Para peritel, yang termasuk supermarket, restoran cepat saji, jasa pelayanan pangan, toko dan gerai buah dan sayuran serta tanaman hias sangat dipengaruhi oleh keinginan konsumen, sehingga mereka harus mampu menanggapi keinginan konsumen yang kuat tersebut. Sebaliknya, para peritel memiliki kekuatan yang sangat besar dalam menentukan strategi yang mendorong struktur dan kondisi bahan komoditas dan produk hortikultura yang diperdagangkan. Dari penelitian yang mendalam di Australia (CDI Pinnacle, 2004) (diverifikasi oleh penulis pada tahun 2008 di Melbourne Market Authority), berbagai pengembangan yang telah terjadi dalam industri pangan, termasuk hortikultura global, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Terdapat lebih sedikit jumlah industri ritel pangan global yang kini bermain, tetapi memiliki omzet yang semakin besar. (2) Terjadi pengurangan jumlah pemasok yang mekanisme pemilihannya ditentukan langsung oleh para peritel raksasa tersebut. (3) Terjadi kebijakan eliminasi pemasok lokal oleh pemasok global yang dilakukan oleh para peritel global, termasuk diantaranya pada industri pengolah dan perusahaan. penambah nilai komoditas atau produk. (4) Terdapat peningkatan penggunaan merek sendiri dan label pribadi oleh para peritel global, serta promosi manfaat kesehatan dan nutrisi sebagai salah satu cara dalam melakukan diferensiasi produk dari lainnya, agar dapat bertahan hidup terutama dari serangan para pesaing. (5) Terjadi peningkatan fokus pada efisiensi biaya di sepanjang rantai nilai, dari pada fokus pada pembangkitan margin keuntungan. (6) Terdapat peningkatan pergerakan menuju pasokan dan pengalihan pertanggung jawaban manajemen dari para pebisnis ritel kepada para pemasok, termasuk petani hortikultura. (7) Terdapat peningkatan kewajiban kepatuhan keamanan pangan sepanjang rantai nilai, yang juga dibebankan secara merata kepada pihak-pihak lain dalam rantai pasok. (8) Terdapat pengembangan aliansi perusahaan dengan pihak lain dalam rantai nilai atau rantai pasok yang sangat proaktif dalam mencari solusi-solusi akan keinginan konsumen dalam penyampaian produknya. (9) Terdapat garis pemisah yang sangat samar diantara batasan produk segar yang diandalkan oleh peritel, dan menu makanan yang disajikan oleh para penyedia pangan cepat saji, yang menyulitkan kategorisasi bahan pasok. (10) Terjadi peningkatan penggunaan teknologi informasi diantara rantai nilai untuk menyediakan informasi dan komunikasi yang lebih baik. (11) Sudah terdapat kecenderungan berkembangnya sistem pasokan hortukultura tertutup, dimana pelaku yang mampu melaksanakannya hanya sedikit sekali, partisipan dalam transaksinya sangat terbatas dan atau sistemnya diproteksi dengan akses pada varietas tanaman yang dilindungi oleh paten atau hak atas kekayaan intelektual.
5
Walaupun Indonesia telah banyak melakukan usaha dalam peningkatan daya saing komoditas dan produk hortikultura, tetapi perlu juga dilakukan pembelajaran dengan cara berpatokduga pada negara lain di belahan bumi yang lain. Salah satu bahan patokduga untuk peningkatan daya saing komoditas dan produk agroindustri hortikultura, dapat dipelajari dari terobosan yang dilakukan di Tanzania. Aktivitas peningkatan kinerja hortikultura di Tanzania secara terstruktur dilakukan melalui empat kegiatan utama, yakni: (1) Melakukan lobi dan advokasi kepada pemerintah dan sejumlah perusahaan swasta atau donor lainnya, (2) Melaksanakan sokongan teknis, misalnya dengan menggagas sejumlah proyek, pelatihan, seminar, pameran dll, (3) Penyebarluasan informasi melalui media, penelitian, pemerintah, konsultan dll, serta (4) Melakukan promosi di dalam dan di luar Tanzania. Dari kegiatan di atas, diperoleh tujuh faktor kunci dalam peningkatan rantai nilai hortikultura di Tanzania, yakni sebagai berikut: (1) Mobilisasi dan peningkatan kapasitas para petani hortikultura dengan cara pembentukan kelompok, peningkatan penerapan teknologi, pelatihan dan lain-lain, (2) Menjamin kepatuhan terhadap GAPS (Good Agricultural Production and Standard) dan persyaratan standar pemasaran lainnya (3) Membantu menyediakan, mempermudah akses dan memandu penggunaan yang benar untuk semua sarana produksi (input) pertanian (4) Membantu mengusahakan akses yang baik kepada sektor pembiayaan, yang akan mampu menjamin pengembalian kredit dengan baik (5) Menekan pemerintah untuk membuat kebijakan yang mampu mendukung kemajuan industri hortikultura, misalnya untuk membebaskan pajak, membangun infrastruktur yang diperlukan, serta pemberian jasa-jasa penyuluhan pertanian hortikultura di lapangan (6) Membangun jejaring infrastruktur di bawah ini: a. Fasilitas penyimpanan dan pendinginan selama transportasi dan penggudangan b. Sistem irigasi yang luas c. Penyediaan daya listrik yang mencukupi d. Sarana jalan raya dan pelabuhan udara yang baik e. Jaringan telekomunikasi yang dapat diandalkan f. Laboratorium pengujian dan analisis yang terakreditasi g. Pemasaran yang dapat diandalkan, dengan memperbaiki struktur, sistem dan institusi pasar yang baik. (7) Memperkuat inovasi dalam bidang hortikultura melalui peningkatan kapasitas hasil penelitian dan pengembangan. Sebagai kesimpulan dari patokduga industri hortikultura di Tanzania, kemitraan antara publik dan swasta harus dibangun dengan baik, terutama yang memungkinkan dibangunnya kesalingpercayaan dalam interaksi agribisnis yang semakin rumit. Sektor swasta harus mampu berkembang melalui analisis kasus nyata yang mutakhir di lapangan, dan melakukan advokasi berdasarkan kasus nyata tersebut. Dengan demikian, sektor swasta juga sifatnya harus sangat profesional, terorganisasi dengan baik dan memiliki satu suara yang kuat dalam memajukan sektor hortikultura ke arah yang dicita-citakan. Oleh karena itu, gagasan pengembangan klaster industri buahbuahan yang telah dikemukan oleh Kemenperin (2009) dan Wachyudi (2011) tersebut seyogianya dipelajari dan dilaksanakan dengan baik. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA ADB – Deptan. 2004. Pengembangan Pertanian dan Perdesaan. Laporan Riset SEARCA – CASER , 2004/2005.
6
Barus, U. 2011. Jeruk Karo Gagal Panen. (dalam Kompas 31 Oktober 2011) CDI Pinnacle (2004). Horticultural Value Chain Analysis and Policy Development. Melbourne: CDP Management Gumbira-Sa’id, E. 2010. Wawasan, Tantangan dan Peluang Agrotechnopreneur Indonesia. Bogor: IPB Press. Herman, M. 2011. Belum Ada benih Transgenik Di Pasaran (dalam Kompas, 28 Oktober 2011). Martinez, L and I. Mojica. 2009. Agribusiness Roadmap (Draft for Discussion). GTZ and DTI. Mkindi, J. 2010. CAADP Program Design and Implementation Workshop. Horticulture Value Chain Enabling Environment. Tanzania: TAHA Mudatsir. 2011. Kongres Bawang Tolak Impor (dalam Kompas 10 November 2011) Pahan, I., E. Gumbira-Sa’id, M. Tambunan dan A.I. Suroso. 2011. The Future of Palm Oil Industrial Cluster of Riau region. European Journal of Social Sciences Vol 24, No. 3 (2011) pp 421 – 431., Rachbini, D.J. 2011. Dampak Impor: Proteksi Negara terhadap Petani Lemah (dalam Kompas, 19 Oktober 2011) Ranggasana. 2011. Dewan Bawang Merah Targetkan Swasembada (dalam Kompas 11 November 2011) Saleh, D. 2011. Impor Sayur dn Buah Akan Diatur. (dalam Kompas 3 November 2011) Suharso, 2011. Kualitas kentang Lokal Rendah (dalam Kompas, 26 Oktober 2011). Wachyudi, B. 2011. Program Hilirisasi Agroindustri. Materi Pada Seminar Nasional dan Penglepasan Alumni MB-IPB. Jakarta, Four Season Hotel, 21 Mei 2011. Zuhal (KIN) 2011. Peran SDM dan Iptek Untuk Mendukung Pengembangan Koridor Ekonomi., HAKTEKNAS 2011, KMNRT, Serpong, 10 Agustus 2011.
Lampiran Tabel 1. Industri Pengolahan Buah (Kemenperin, 2009)
7
Lampiran Gambar 1. Industri Pengolahan Buah (Kemenperin, 2009)
8
9
Lampiran Gambar 2. Kerangka Kerja Klaster Industri
Lampiran Gambar 3. Kerangka Kerja Klaster Industri Mangga (Martinez and Mojica, 2009)
10