PRESIDENTIAL LECTURE PRESIDENTIAL LECTURE
2
Peningkatan Daya Saing Indonesia melalui Penciptaan SDM yang Berkualitas
B O E DI ON O
Boediono
BI INSTITUTE Kampus Utama, Gedung D Jl MH Thamrin No 2, Jakarta 10350 Telp. (+62) 21 500-131 Fax. (+62) 21 3864884 Email:
[email protected]
www.bi.go.id
Agustus 2016
2
Peningkatan Daya Saing Indonesia melalui Penciptaan SDM yang Berkualitas
Boediono
Presidential Lecture Bank Indonesia Institute
Peningkatan Daya Saing Indonesia melalui Penciptaan SDM yang Berkualitas © Bank Indonesia Institute Pengarah Solikin M. Juhro Pelaksana Editorial G.A. Diah Utari Rita Krisdiana Penerbit Bank Indonesia Institute
DAFTAR ISI PENGANTAR EDITORIAL
4
SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA
6
PENINGKATAN DAYA SAING INDONESIA MELALUI PENCIPTAAN SDM YANG BERKUALITAS • Pendahuluan • Independensi Bank Indonesia • Sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas • Sumber daya manusia Bank Indonesia • Siap menghadapi tantangan di era globalisasi • Harapan kepada Bank Indonesia Institute
16 18 19 19 23 24 26
LAMPIRAN 1. Sistem Pertahanan terhadap Gejolak Ekonomi
28
LAMPIRAN 2. The Global Economy under VUCA: How should central banks respond? (lectured by Andrew Sheng) • The Flying Geese Theory • Elements of VUCA • Global Economy in 2017 • Challenges of Central Banking under VUCA • Best Fit, not Best Practice • Focus on the Real Economy, not just Finance • Communicate before Cooperation/Empowerment • Cooperation and Coordination of Policies • Conclusion
38 41 42 47 49 52 52 56 57 60
TENTANG PROF. DR. BOEDIONO
66
GALERI FOTO
68
PENGANTAR EDITORIAL
Para pembaca yang terhormat, Buku kecil ini merupakan laporan dokumentasi atas keynote speech mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. Boediono yang disampaikan sebagai bagian dari rangkaian acara Grand Launching BI Institute pada tanggal 22 Agustus 2016, yang sekaligus menjadi bagian dari Presidential Lecture seri ke II (dua). Sesuai dengan tujuan dari Presidential Lecture sebagai event pembelajaran dari dan oleh tokoh sekelas pemimpin bangsa bagi pemimpin bangsa dan calon pemimpin bangsa generasi selanjutnya, dan khususnya bagi lingkungan Bank Indonesia, maka lahirnya buku ini diharapkan selain menjadi catatan bagi mereka yang ikut dalam acara tersebut, namun juga yang terpenting sebagai bahan belajar yang setara bagi mereka yang tidak hadir di sana. Penyampaian keynote speech dari Bapak Boediono dalam forum Grand Launching BI Institute ini merupakan sebuah acara yang tidak diduga sebelumnya, karena dengan jiwa kenegarawanan beliau bersedia untuk menggantikan posisi Bapak B.J. Habibie yang semula akan memberikan keynote speech, namun berhalangan hadir. Isi keynote speech yang begitu padat dan kaya disampaikan oleh beliau, dan menurut beliau sebagian sudah dituliskan dalam buku terbaru beliau dengan judul “Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah” yang terbit di tahun 2016. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka untuk memperkaya isi buku ini kami sertakan pemikiran beliau dalam buku tersebut dalam bentuk footnote dan lampiran buku ini.
4
Presidential Lecture Series
Selain itu, untuk semakin memperkaya isi buku ini, kami lampirkan pula kuliah umum dari Dr. Andrew Sheng, salah satu Anggota Dewan Kehormatan BI Institute, yang juga merupakan bagian dari rangkaian acara Grand Launching BI Institute. Akhir kata, semoga pembaca dapat memperoleh manfaat dengan bertambahnya wawasan dan pengetahuan, serta belajar tentang leadership dan kearifan dari seorang tokoh bangsa. Selamat membaca.
Tim Penulis
Boediono
5
SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA GRAND LAUNCHING BANK INDONESIA INSTITUTE Jakarta, 22 Agustus 2016
Yang kami hormati, •
Dewan Kehormatan Bank Indonesia Institute, Prof. Dr. Boediono, Dr. M. Chatib Basri, Prof. Dr. Hal Hill and Dr. Andrew Sheng,
•
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI, Bp. Ade Komarudin
•
Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI, Bp. Irman Gusman
•
Duta Besar Australia, Inggris, Kerajaan Belanda, dan Republik Federasi Jerman, atau yang mewakili
•
Para pendahulu kami sebagai Gubernur Bank Indonesia, Bp. Rachmat Saleh, Bp. Arifin M. Siregar, Bp. Adrianus Mooy, Bp. Syahril Sabirin
•
Pimpinan Komisi XI DPR RI
•
Menteri Komunikasi dan Informatika, Bp. Rudiantara
•
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Bp. Asman Abnur
•
Deputi Gubernur Senior dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
•
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Bp. Halim Alamsyah
•
Para Pimpinan Lembaga Pemerintah
•
Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten
•
Para Rektor Universitas dan Kepala Corporate University / Institute / Learning Centre Lembaga Pemerintah dan Swasta
6
Presidential Lecture Series
•
Saudara-Saudara Pimpinan Satuan Kerja di Bank Indonesia
•
Faculty Members Bank Indonesia Institute
•
Mantan Direksi dan Deputi Gubernur Bank Indonesia
•
Hadirin dan Undangan yang kami hormati,
Assalamu’alaikum Wr. Wb., Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan perkenan-Nya kita dapat berkumpul pada pagi ini dalam suasana yang baik, untuk mengikuti peresmian Bank Indonesia Institute, suatu lembaga di Bank Indonesia yang akan memberikan kontribusi strategis dalam meraih dan mewujudkan keunggulan sumber daya manusia kedepan. Bersama-sama kita pada pagi hari ini telah hadir Bp. Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2009-2014. Merupakan suatu kehormatan bagi Bank Indonesia bahwa tokoh besar bangsa dapat meluangkan waktu dan bersedia duduk di Dewan Kehormatan Bank Indonesia Institute bersama-sama kami, Prof. Dr. B.J. Habibie, Prof. Dr. J. Sudradjad Djiwandono, Dr. M. Chatib Basri, Prof. Dr. Joseph E. Stiglitz, Prof. Dr. Hal Hill, dan Dr. Andrew Sheng. Kami meyakini, sinergi pemikiran dan pandangan dari para tokoh terkemuka dalam Dewan Kehormatan akan dapat menjadikan Bank Indonesia
Boediono
7
Institute sebagai lembaga yang berkelas dan terpercaya, serta memiliki reputasi internasional dalam pengembangan sumber daya manusia yang unggul. Merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri pula bagi kami bahwa peresmian Bank Indonesia Institute pada hari ini juga dihadiri oleh para pejabat negara dan pimpinan lembaga yang memiliki perhatian besar dan berada dalam satu pandangan dengan Bank Indonesia dalam penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Bapak/Ibu dan para hadirin yang kami muliakan, Pembangunan
ekonomi
memerlukan
pengelolaan
berbagai
sumber daya, termasuk sumber daya manusia, secara terukur, optimal, dan berkeseimbangan. Dalam konteks ini, pembangunan ekonomi hanya akan membawa manfaat dan nilai tambah yang besar bagi masyarakat dan negara apabila dijalankan oleh sumber daya manusia yang handal, yakni: i. memiliki kapasitas dan kapabilitas yang teruji dibidangnya, ii. mampu mendedikasikan seluruh kemampuannya secara efektif bagi kemajuan bangsa, serta iii. mampu mengembangkan keunggulan dengan berlandaskan nilai-nilai agama, budaya, dan disiplin yang tinggi. Kualitas dan kehandalan sumber daya manusia tersebut pula yang diperlukan Bank Indonesia untuk bekerja dan berkinerja efektif menjaga keberlangsungan perekonomian nasional. Kami bersyukur bahwa selama ini hasil kerja dan kinerja Bank Indonesia yang disinergikan melalui kolaborasi dan kerjasama dengan Pemerintah,
8
Presidential Lecture Series
Otoritas Jasa Keuangan, dan otoritas maupun lembaga lainnya di sektor keuangan, telah mampu menjaga stabilitas akroekonomi dan mengamankan sistem keuangan yang menjadi urat nadi perekonomian. Dengan pencapaian tersebut, ekonomi Indonesia pada triwulan II – 2016 mampu tumbuh 5,18% (yoy), setelah sebelumnya sempat mengalami perlambatan, dan untuk keseluruhan tahun 2016 pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada pada kisaran 4,9% - 5,3% (yoy). Upaya pengendalian harga juga menunjukkan hasil yang baik. Tingkat inflasi dari awal tahun hingga Juli 2016 tercatat hanya sebesar 1,76% (ytd), sehingga sasaran inflasi 4±1% pada tahun 2016 diperkirakan dapat tercapai. Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga masih berada dalam tingkat yang diantisipasi dan hingga akhir tahun 2016 diperkirakan akan lebih rendah dari 2,5% Produk Domestik Bruto. Bapak/Ibu dan para hadirin yang kami hormati, Bank Indonesia diberikan amanat oleh Undang-Undang untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Amanat tersebut harus dipenuhi dengan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi agar stabilitas makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan dapat terpelihara, sehingga mampu memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkesinambungan, merata, dan inklusif. Dalam kerangka ini, fungsi, tugas, dan kewenangan yang diberikan kepada Bank Indonesia untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial, serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, harus dapat dilaksanakan secara efektif untuk memastikan tercapainya tujuan yang diamanatkan.
Boediono
9
Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia secara berkelanjutan terus melakukan penguatan internal untuk memastikan fungsi, tugas, dan kewenangannya dapat dilaksanakan secara efektif. Untuk itu, saat ini Bank Indonesia tengah menjalankan program transformasi untuk menuju visi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional, serta memberi manfaat lebih bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Program transformasi ini akan mempercepat langkah Bank Indonesia untuk meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan inflasi serta mendukung tercapainya Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, program transformasi ini juga akan meningkatkan inovasi Bank Indonesia di area Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang. Dalam program transformasi tersebut terdapat 5 (lima) tema yang diimplementasikan untuk memandu konsistensi pencapaian visi Bank Indonesia, yaitu Policy Excellence, Outstanding Execution, Institutional Leadership, Motivated Organization, dan State of The Art Technology. Mengingat program transformasi akan menuntut sumber daya dan pemikiran terbaik dari seluruh jajaran Bank Indonesia, pada tanggal 1 Juli 2015 telah didirikan suatu lembaga yang berfungsi untuk memfasilitasi proses pembelajaran, studi, dan riset di Bank Indonesia. Kami menamakan lembaga tersebut sebagai Bank Indonesia Institute, yang dalam menjalankan fungsinya didukung oleh 4 (empat) pilar utama, yaitu Pembelajaran (Learning), Penelitian (Research), Kemitraan (Partnership) dan Public Exposure. Secara strategis, terdapat dua area utama yang menjadi fokus Bank Indonesia Institute. Area strategis pertama adalah mendukung perwujudan
10
Presidential Lecture Series
Bank Indonesia sebagai learning-based organization (LBO), yaitu lembaga yang menjamin sumber daya manusianya memiliki kompetensi dan keahlian terbaik yang terus bertumbuh, serta dapat mengantisipasi dan menjawab tantangan ke depan yang semakin sulit dan kompleks. Pada area ini, fokus kegiatan yang dijalankan adalah proses pengembangan sumber daya manusia internal Bank Indonesia yang mencakup pembelajaran terkait kompetensi substansi inti, yaitu moneter, stabilitas sistem keuangan, market, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, yang dilengkapi dengan substansi terkait kebanksentralan dan disiplin makroekonomi lainnya. Selain itu, pengembangan sumber daya manusia internal tadi juga diperkuat dengan pengembangan aspek manajerial dan kepemimpinan. Area strategis kedua adalah menjadikan Bank Indonesia Institute sebagai lembaga riset dan studi terkemuka tingkat dunia di bidang ekonomi dan keuangan. Bank Indonesia Institute dalam hal ini akan memfasilitasi diskusi kebijakan moneter, fiskal, keuangan, dan perdagangan internasional, serta memberikan alternatif solusi atas berbagai permasalahan ekonomi yang mengemuka. Pada area strategis kedua ini, Bank Indonesia Institute menjalankan fungsinya dengan mengundang dan memberikan kesempatan yang luas kepada para pakar, akademisi, maupun tokoh ekonomi dan keuangan, untuk mengasah dan menunjukkan keunggulannya dalam memberikan pemikiran dan solusi terbaik bagi pembangunan ekonomi.
Boediono
11
Bapak/Ibu dan para hadirin yang kami hormati, Di hadapan kita masih terbentang jalan yang berliku. Dinamika perekonomian global yang tidak menentu, revolusi teknologi digital di bidang keuangan yang semakin cepat, serta belum merata dan inklusifnya pembangunan ekonomi, hanyalah sebagian kecil dari tantangan besar yang harus dihadapi. Permasalahan perekonomian yang sedemikian kompleks tentu menuntut kehadiran sumber daya manusia yang unggul dan mampu menunjukkan kepemimpinan yang prima. Disini, Bank Indonesia Institute harus berada pada posisi yang tepat dan menunjukkan kelasnya dalam membangun kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, serta menjadi lembaga terkemuka dunia yang mampu memberikan pemikiran maupun alternatif solusi terbaik bagi bangsa dan negara. Namun, upaya itu tentu tidak mudah dilaksanakan. Terlebih, fungsi strategis yang diamanatkan tidak hanya untuk mengembangkan keunggulan sumber daya manusia internal Bank Indonesia, namun juga memberikan dharma bhakti yang prima untuk turut membentuk kepemimpinan ekonomi yang unggul. Kami meyakini cita-cita pendiri bangsa yang menjadi landasan berpijak bagi Bank Indonesia Institute, akan mendorong terbangunnya keteguhan dalam memberikan kerja nyata terbaik, serta menjadi bekal perjuangan tanpa lelah untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Bank Indonesia Institute didirikan tidak hanya untuk 10, 20, atau 30 tahun kedepan, namun akan terus hadir mengawal dan memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya sumber daya manusia yang unggul.
12
Presidential Lecture Series
Keberadaan Dewan Kehormatan yang didukung oleh tokoh-tokoh bangsa dan para pakar nasional dan internasional yang tidak diragukan lagi wawasan maupun keahliannya, niscaya akan dapat mewujudkan Bank Indonesia Institute sebagai lembaga berkelas dunia yang memiliki kredibilitas dan reputasi tinggi. Demikian pula dengan kehadiran Dewan Penasehat yang diketuai oleh Deputi Gubenur Dr. Perry Warjiyo, serta faculty members eksternal dan internal Bank Indonesia yang memiliki kemampuan dan keahlian dibidangnya, kami meyakini hal tersebut akan membawa Bank Indonesia Institute untuk terus bergerak, melangkah maju, dan mampu beradaptasi dengan dinamika lingkungan yang berubah, serta memberikan kontribusi terbaiknya secara efektif. Kemitraan stategis yang dibangun dengan berbagai lembaga di dalam dan luar negeri juga akan memperkaya wawasan dalam proses pembelajaran, studi, maupun riset yang berlangsung di Bank Indonesia Institute. Selain itu, secara khusus kemitraan strategis dengan lembaga-lembaga di luar negeri akan memfasilitasi perwujudan Bank Indonesia Institute sebagai lembaga terkemuka yang memiliki kontribusi strategis dalam membentuk pemimpinpemimpin ekonomi kelas dunia. Bapak/Ibu dan para hadirin yang kami muliakan, Mengakhiri sambutan kami, perkenankan kami atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada Dewan Kehormatan, Dewan Penasehat, Faculty Members, serta para undangan yang telah memberikan perhatian besar kepada peresmian Bank Indonesia Institute pada hari ini.
Boediono
13
Semoga dengan peresmian Bank Indonesia Institute dan dijalankannya kegiatan studi dan riset secara penuh mulai hari ini, kelak akan membawa Bank Indonesia Institute menjadi lembaga pembelajaran, studi, dan riset terkemuka tingkat dunia yang memberikan kontribusi strategis bagi terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, berintegritas, dan mampu mewujudkan bangsa yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan. Akhir kata, dengan memohon ridho Allah SWT, Bank Indonesia dengan rasa bangga dan penuh suka cita mempersembahkan Bank Indonesia Institute kepada Indonesia untuk menjadi bagian dari keselarasan gerak pengembangan sumber daya manusia yang unggul, demi terwujudnya pemimpin ekonomi masa depan bangsa yang handal dan berkualitas tinggi. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi, meridhoi dan meringankan setiap langkah perjuangan kita membangun negara dan memakmurkan negeri. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Agus D.W. Martowardojo Gubernur Bank Indonesia
14
Presidential Lecture Series
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
Boediono
15
16
Presidential Lecture Series
Peningkatan Daya Saing Indonesia Melalui Penciptaan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Boediono
17
Pendahuluan Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang saya hormati Bapak Gubernur Bank Indonesia, Bapak Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Bapak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Informasi Birokrasi, para pimpinan lembaga pemerintah yang hadir hari ini serta para anggota dewan gubernur Bank Indonesia yang saya banggakan Para undangan yang berkenan hadir bersama kita semua untuk menyaksikan grand launching BI Institute hari ini. Dan terutama sekali saya ingin menyapa rekan-rekan saya para pejabat Bank Indonesia yang berbahagia karena hari ini bisa meluncurkan suatu inisiatif yang sangat baik. Saya akan mengawali paparan saya dengan suatu cerita. Ada seorang melakukan perjalanan dengan mobil dari Jakarta ke Bandung. Ketika perjalanan tiba di rest area km 97 ban mobilnya gembos. Sambil mengganti ban mobilnya yang gembos dengan bank serep ia beristirahat sambil menikmati soto Purwakarta yang terkenal. Untunglah ada ban serep yang dapat digunakan, sehingga ia bisa mencapai tujuan ke Bandung. Peran bank serep disini dapat membawa si empunya mobil tiba di tujuan walaupun tidak se-enjoyable atau tidak se-comfortable ban yang asli. Pada kesempatan ini saya bertindak sebagai bank serep. Saya berusaha untuk dapat menyampaikan satu dua patah kata sebagai pengganti Bapak Habibie yang ahli di bidang teknologi. Saya yakin pada saatnya nanti beliau akan memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangan-pandangan beliau yang sangat berguna. Tentu kita semua mendoakan agar Pak Habibie bisa segera pulih kembali1.
1
18
Pada acara Grand Launching BI Institute tanggal 22 Agustus 2016, Prof. Boediono merupakan salah satu tamu VVIP, dengan agenda utama salah satunya adalah adanya lecture dari Prof. B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Namun pada H-1 diperoleh berita Prof Habibie tidak dapat hadir, sehingga Prof. Boediono berkenan untuk memberikan keynote speech dalam acara tersebut. Presidential Lecture Series
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan satu hal penting mengenai Bapak Habibie kepada para hadirin khususnya teman-teman dari Bank Indonesia bahwa lahirnya independensi Bank Indonesia merupakan buah pemikiran Bpk Habibie ketika beliau menjadi Presiden. Bukan suatu kebetulan karena memang beliau sendiri mendukung sekali independensi Bank Sentral.
Independensi Bank Indonesia Bpk. Habibie menimba ilmu cukup lama di Jerman dan tentunya terpengaruh dengan filosofi Bank Sentral Jerman yang independensinya begitu nyata. Beliau membawa ide ini ke Indonesia dan mendukung revisi undang-undang Bank Indonesia. Upaya beliau memasukkan independensi bank sentral merupakan hasil masukan dari berbagai pakar baik dalam maupun luar negeri. Salah satu pakar yang diundang beliau adalah mantan Gubernur Bank Sentral Jerman. Gubernur bank sentral Jerman memberikan masukan kepada Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, saya yang pada waktu itu berada di Bappenas dan Gubernur Bank Indonesia Bpk. Syahril Sabirin. Kami semua menggodok bersama Undang-Undang yang menjamin independensi Bank Indonesia2. Momen tersebut merupakan sejarah penting yang harus dicatat dalam sejarah Bank Indonesia. Selain itu timing untuk mengharapkan independensi pada saat itu sangat tepat. Jika Bank Indonesia mengharapkan independensi pada saat ini tentu ceritanya akan berbeda.
Sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Saya ingin menyampaikan apresiasi kepada Bank Indonesia yang memiliki inisiatif baik sekali yaitu membentuk suatu institusi yang memfokuskan
2
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009.
Boediono
19
pada aspek pengembangan sumber daya manusia. Hal ini sangat krusial karena kualitas suatu institusi apapun itu sangat bergantung kepada kualitas manusianya. Pada tingkat nasional, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa neksus atau benang merah antara kualitas sumber daya manusia, produktivitas nasional, dan kemajuan bangsa sangat erat. Hal ini sudah dibuktikan bahwa neksus tersebut selalu berulang dalam sejarah kemajuan bangsa. Oleh karenanya saya ingin menekankan kembali bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa dan khususnya institusi seperti Bank Indonesia merupakan kunci untuk kemajuan. Untuk memajukan bangsa ini tidak ada jalan pintas. Perlu kerja keras untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Jika kita kembali ke dasar dari suatu komunitas masyarakat, manusia maju karena mampu mengorganisir dirinya untuk mencapai tujuan bersama, bukan tujuan individu. Karena itulah spesies manusia mampu melejit maju meninggalkan spesies lainnya. Kemampuan untuk mengorganisir diri guna mencapai tujuan bersama yang dibarengi dengan akal budi menjadi kekuatan dan kekhasan manusia. Kita patut mensyukuri ini dan berupaya untuk me-leverage kelebihan ini bagi kepentingan bersama. Manusia mengorganisir diri melalui satu cara yaitu membangun institusi dan organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Manusia secara individu tidak bisa mencapai tujuan kemajuan bersama tadi tanpa melewati institusi. Oleh sebab itu, menurut saya membangun berbagai institusi dapat mendukung kemajuan bangsa dan institusi yang paling strategis adalah institusi publik. Institusi publik menjaga kepentingan publik melalui penyusunan dan penetapan aturan main yang mengikat kita semua. Karenanya, sangat penting untuk membangun governance yang baik dari institusi publik. Institusi yang baik akan menghasilkan aturan main yang baik dan pada akhirnya pihak terkait dapat melaksanakannya dengan baik pula guna mencapai sasaran yang diinginkan. Sekali lagi kuncinya ada di SDM. SDM yang berkualitas akan
20
Presidential Lecture Series
melahirkan aturan-aturan yang baik guna pencapaian tujuan bersama. Sebagai contoh DPR merupakan institusi yang sangat strategis dalam menentukan aturan main yang mengikat publik. Oleh sebab itu parlemen di beberapa negara disebut sebagai law maker pembentuk aturan main publik. Tantangan bagi institusi adalah menyusun dan menetapkan suatu aturan dan program yang long lasting, bisa berlaku dalam kurun waktu yang cukup untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Pembangunan SDM tidak bisa dicapai dalam waktu satu, dua tahun tetapi bertahun-tahun karena kita meletakkan fondasi bagi kemajuan bangsa. Program pengembangan SDM harus dijabarkan dalam action program tahunan yang terencana dan terukur dalam setiap tahapannya. Jangan sampai program pengembangan SDM arahnya mudah berganti mengikuti siklus politik lima tahunan. Kita perlu pahami bahwa pengembangan SDM berorientasi jangka panjang, dilakukan secara kontinyu, konsisten dan tidak terputus antar generasi. Menurut saya, membangun bangsa adalah membangun generasi baru yang lebih unggul dari generasi sebelumnya dan membangun manusia baru. Membenahi institusi publik sangat sangat krusial bagi kemajuan bangsa. Institusi publik yang baik diperlukan untuk membangun manusia Indonesia, tidak hanya melalui pendidikan tetapi juga melalui kesehatan fisik. Manusia Indonesia haruslah unggul baik secara fisik maupun mental. Keduanya harus berjalan beriringan. Ketertinggalan satu aspek tidak akan membentuk manusia unggul yang kita idamkan bersama. Seperti halnya juga komputer, software dan hardware-nya harus sinkron, kapasitasnya harus serasi. Jika kapasitas hardwarenyanya terbatas, maka software yang canggih tidak akan jalan. Sebaliknya juga demikian jika hardwarenya maju tetapi softwarenya terbatas akhirnya hasilnya pun tidak optimal. Ini hanya perumpamaan bahwa antara kesehatan dan pendidikan harus selaras dan dibangun bersama. Dalam kesempatan lain, saya juga menekankan bahwa membentuk masusia Indonesia yang unggul bermula dari rahim ibu. Saya katakan sejak
Boediono
21
dari rahim ibu telah diletakkan dasar-dasar yang akan membentuk karakter seorang anak di masa depan. Setelah lahir, lima tahun pertama adalah masa emas bagi perkembangan otaknya maupun perkembangan badannya dan ini masih memungkinkan sampai masa remaja. Jikalau umur emas ini terlewatkan, peluang besar umtuk membentuk manusia unggul Indonesia berarti telah terlewati. Karenanya kita harus menyadari betapa pentingnya timing, resolve dan komitmen kita untuk menyiapkan manusia Indonesia yang unggul3.
3
22
Pemikiran Boediono tentang pentingnya membangun kualitas sumber daya manusia tertuang dalam bagian buku beliau yang berjudul “Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah”, Mizan, 2016, hal. 275276. “Setiap institusi publik pada hakikatnya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu (a) satu set aturan main; (b) manusia-manusia yang melaksanakan aturan main itu. Hakihat suatu institusi bukanlah gedungnya, bukan pula peralatan canggih yang ada di sana, bahkan bukan pula banyaknya manusia yang bekerja di sana. Kinerja suatu institusi ditentukan oleh kualitas dua komponen intinya tadi, yaitu kualitas aturan mainnya dan kualitas manusia pelaksananya. Membangun institusi jauh lebih rumit daripada mendirikan pabrik, membangun infrastruktur, atau membuka lahan pertanian dan tambang. Institusi harus mengakar pada kultur dan kenyataan sosial yang ada di negara itu dengan segala keunikannya. Membangun institusi lebih mirip dengan menanam pohon, yang harus dicocokkan dengan keadaan tanah dan iklim yang ada. Institusi tidak bisa sekedar dijiplak dari negara lain. Ia harus ditumbuhkan di lingkungan sosial nyata di negeri ini dan sebagai hasil tangan kita sendiri. Institution must be homegrown. Manusia adalah buiding blocs institusi. Kinerja suatu institusi ditentukan oleh mutu manusia pembuat aturan mainnya dan mutu manusia pelaksana aturan main tersebut. Membangun manusia untuk membangun institusi menuntut langkah-langkah yang konsisten dan berkesinambungan dalam rentang waktu yang panjang, melintasi generasi. Tuntutan ini sering tidak klop dengan siklus tahunan anggaran dan siklus politik lima tahunan. Dalam kehidupan berdemokrasi dan berpolitik di dunia nyata, permasalahan jangka panjang sering tersisih oleh masalah-masalah “mendesak” yang terus menerus datang. Tanpa kita sadari, kita terperangkap dalam dunia yang serba jangka pendek – short termism. Kita merasa tidak sempat lagi mengalokasikan waktu dan perhatian untuk memikirkan masalah-masalah mendasar jangka panjang – masalah-masalah yang akhirnya menentukan apakah bangsa kita akan tetap eksis lima tahun, seratus tahun, dua ratus tahun lagi. Kita memang tidak pernah berpangku tangan membangun manusia. Sudah banyak program di bidang pendidikan dan kesehatan yang dilaksanakan. Tetapi program dan kebijakan yang terfokus dan terpadu untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia baru yang unggul, saya harus mengatakan bahwa kita belum punya. Perspektifnya harus antar generasi. Suatu bangsa akan maju apabila setiap generasi mampu menciptakan generasi penerusnya yang lebih unggul. Oleh karena itu, fokus dan titik berat program dan kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan haruslah pada generasi muda. Langkah-langkahnya harus terpadu dengan satu tujuan, yaitu mengembangkan potensi jasmani-ruhani anak-anak Indonesia sejak di rahim ibu sampai, setidaknya, mereka menginjak masa remaja. Pada umur yang menentukan ini, program-program itu harus dilaksanakan dengan keterpaduan dan intensitas maksimal. Apabila kita lalai dan terlambat, kita akan melahirkan generasi yang kerdil secara fisik maupun mental – generasi yang mengalami stunting!”.
Presidential Lecture Series
Sumber daya manusia Bank Indonesia Sekarang saya kembali ke Bank Indonesia, masa depan Bank Indonesia sebagai suatu institusi juga bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Pak Gubernur, tadi sangat jelas menyampaikan ini semua dan saya kira kita semua sepakat akan hal ini. Setiap individu Bank Indonesia harus memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan kapasitasnya sebagai anggota institusi ini. Yang ditingkatkan tentu tidak sekedar kemampuan teknis tetapi juga kemampuan manajerial dan leadership. Saya sepakat dengan konsep penguatan ketiga kapasitas ini bagi pegawai Bank Indonesia. Saya turut senang mengetahui bahwa selama setahun sejak soft launching, sudah banyak program yang dilaksanakan oleh BI Institute. Saya berharap program pembelajaran di tahun berikutnya akan terus lebih intensif lagi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kembali kepada konsep keselarasan antara hardware dan software yang sudah saya sampaikan sebelumnya, program untuk kebugaran jasmani pegawai juga penting dilakukan. Karena interaksi antara fisik dan mental yang seimbang akan menghasilkan output yang tentunya akan lebih optimal. Meningkatkan kemampuan individu organisasi dari sisi software dan hardware menurut hemat saya masih belum cukup. Hal yang tidak kalah pentingnya penempatan individu yang tepat, the right person in the right place. Saya senang berada disini pada hari ini untuk turut menyaksikan tahapan menuju proses transformasi yang lebih besar lagi. Berdirinya BI Institute merupakan tonggak penting dimana prinsip meritokrasi benar benar diletakkan dengan landasan yang kuat sebagai bagian dari proses pengembangan organisasi. Kunci suatu organisasi untuk maju adalah
Boediono
23
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta menerapkan sistem meritokrasi yang tegas yang konsisten untuk maju terus4.
Siap menghadapi tantangan di era globalisasi5. Hadirin sekalian yang saya hormati. Saya ingin mengakhiri dengan mengingatkan kita semua kembali bahwa Bank Indonesia ke depan menghadapi tantangan yang besar. Tantangan pertama, sebagaimana telah disebutkan adalah ketidakpastian lingkungan dunia yang kita hadapi. Banyak sekali masalah politik, keamanan, global yang dikuatirkan akan mempengaruhi kinerja keuangan dan ekonomi dunia. Ketidakpastian kondisi global nampaknya masih akan terus berlanjut dan berpotensi menimbulkan berbagai shock dalam perekonomian nasional. Dengan interkoneksi antar-negara, antare-konomi yang begitu kuatnya kita harus waspada dengan berbagai shock yang biasanya sulit diprediksi dan diantisipasi. Belum ada ilmu yang dapat memprediksi secara tepat kapan suatu shock akan terjadi, berapa besarnya dan berapa intensitasnya. Antisipasi yang utama adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
4
5
24
Pemikiran Boediono tentang meritokrasi dan demokrasi, dituangkan dalam buku “Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah” halaman 277: “Dua ribu lima ratus tahun lalu, filsuf Yunani kuno Aristoteles mengatakan bahwa masyarakat yang baik (a just society) adalah masyarakat yang semua komponennya berada di tempat yang seharusnya – termasuk manusia-manusianya menduduki posisi yang paling sesuai dengan bakat kemampuannya. The right person in the right place. Inilah prinsip meritokrasi. Bersama dengan pembangunan manusia, meritokrasi merupakan prasyarat mutlak untuk membangun institusi yang efektif. Meritokrasi tidak datang dengan sendirinya. Realitanya, di negara-negara yang sedang membangun justru banyak hambatan kultural, sosial, ekonomi, dan politik yang menghadang upaya penegakan meritokrasi. Demokrasi tidak menjamin terwujudnya meritokrasi. Demokrasi membantu, tetapi bukan prasyarat, terwujudnya meritokrasi. Kuncinya satu: adanya kemauan politik dan komitmen yang kuat dari elite bangsa untuk menegakkan meritokrasi. Ada satu contoh untuk ini yang patut disebut yaitu: Singapura. Mengingat kita tidak mungkin membenahi semua institusi sekaligus, institusi-institusi mana yang seyogyanya diprioritaskan? Menurut pandangan saya, ada tiga kelompok institusi publik yang perlu diprioritaskan karena mempunyai dampak luas bagi kinerja institusi-institusi lain. Institusi-institusi itu berada di ranah politik, birokrasi, dan hukum”. Pemikiran Boediono terhadap Sistem Pertahanan terhadap Gejolak Ekonomi dapat dibaca dalam lampiran 1. Presidential Lecture Series
Saya perlu ingatkan pula bagi temen-temen Bank Indonesia, bahwa jika terjadi shock utamanya di pasar keuangan, Bank Indonesia-lah yang pertama harus maju di front line, garis depan. You have to be the first to go to the firing line, karena itulah tugas Bank Indonesia. Pihak lain akan mengikuti dan mendukung. Bank Indonesia sebagai front liner yang menentukan respon awal akan menentukan langkah selanjutnya. Utamanya dalam masa krisis, respond awal adalah yang terpenting. Dalam ilmu ekonomi ada istilah yang disebut dengan path dependency. Sesuatu yang ditentukan di awal akan memiliki dampak yang bergulir. Keputusan yang salah di awal akan bergulir terus dan berpotensi sulit untuk diperbaiki sampai ada ruang untuk memperbaiki. Karenanya respond di awal harus dilakukan dengan cermat. Masa mendatang sulit untuk diprediksi namun kita melihat saat ini penggunaan teknologi informasi (IT) di berbagai sektor ekonomi, transportasi dan perdagangan ritel terlihat nyata bahkan lebih nyata lagi di sektor perbankan dan sektor keuangan. Kemajuan yang sangat pesat dalam penggunaan IT yang kerap disebut disruptive technology terjadi di bidang payment dan settlement system. Disinilah bank sentral beserta pelaku di sektor keuangan mengambil peranannya. Bank sentral melakukan intervensi kebijakan moneter yang pelaksanaannya diantaranya melalui payment dan settlement system. Saat ini sistem pembayaran masih didominasi oleh perbankan dan bank sentral masih memiliki kendali terhadap perbankan. Namun hal ini akan berubah dengan cepat karena sistem pembayaran berkembang pesat dan ke depannya tidak hanya melalui perbankan. Perkembangan sistem pembayaran seiring dengan perkembangan teknologi akan membawa implikasi dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Di sektor riil, kita juga harus siap karena potensi gesekan dari berbagai sektor yang terkena imbas perubahan teknologi sangat kuat. Sejarah
Boediono
25
berulang setelah revolusi industri di abad 18 dan 19 dimana teknologi baru menggantikan industri yang lama. Respond terhadap perkembangan ini tidak hanya dari aspek ekonomi saja tetapi juga dari sisi politik. Bagaimana menyeimbangkan antara kemajuan teknologi yang tidak bisa kita hindari dengan mengoptimalkan kemajuan tersebut untuk manfaat yang lebih besar bagi kehidupan manusia. Tugas manusia Indonesia yang berjiwa negarawan untuk dapat menyeimbangkan dampak dari kemajuan teknologi yang terjadi.
Harapan kepada BI Institute. Hadirin sekalian yang saya hormati. BI Institute memiliki peran yang krusial dan strategis dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang handal serta siap untuk diposisikan melalui proses meritokrasi guna mendukung sasaran Bank Indonesia. Selain itu BI Institute dapat menjadi pusat keilmuan untuk memberikan solusi bagi berbagai masalah strategis yang berdampak pada perekonomian Indonesia. Termasuk didalamnya dampak dari global uncertainty dan disruptive technology yang harus diantisipasi. Kemampuan berpikir out of the box untuk menuju kemajuan bersama dalam era yang serba tidak pasti sangatlah penting, namun yang paling utama adalah berupaya untuk membuat organisasi dimana anda bekerja adaptif dan responsif terhadap perubahan yang terjadi. Demikianlah sedikit sambutan dari saya, sekali lagi sambutan dari sebuah ban serep saya mohon maaf kalau ada kekurangannya, selamat pada Bank Indonesia Institute, selamat pada Bank Indonesia, semoga Institute ini akan bisa mencapai sasaran yang diinginkan. Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh
26
Presidential Lecture Series
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
Boediono
27
Lampiran 1
28
Presidential Lecture Series
Sistem Pertahanan terhadap Gejolak Ekonomi6
6
Buku “Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah” halaman 285-293, merupakan versi singkat makalah tentang “Sistem Pertahanan Terhadap Gejolak Ekonomi” yang disampaikan pada Seminar Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 21 November 2015.
Boediono
29
D
i era globalisasi sekarang ini, kita harus menerima kenyataan bahwa
gejolak dan gangguan bisa datang sewaktu-waktu dan membawa
ekonomi kita ‘keluar rel’. Dan kita harus selalu siaga menghadapinya.
Itulah realita globalisasi. Apa gangguan itu? Sejarah menunjukkan bahwa ada
tiga macam gangguan utama yang pernah menghadang ekonomi kita. Pertama adalah gangguan yang berasal dari gejolak harga komoditikomoditi utama ekspor dan impor kita. Kita ingat pada 1980-an, ekspor utama kita pada waktu itu, minyak bumi, terus menerus anjlok harganya dengan konsekuensi serius pada APBN dan neraca perdagangan kita. Kemudian pada dasawarsa 2000-an sampai beberapa tahun lalu, kita mengalami hal sebaliknya, yaitu harga minyak bumi yang terus menerus meningkat – sayangnya, pada masa itu kita sudah menjadi negara pengimpor minyak bumi. Beberapa tahun terakhir ini kita kembali mengalami pelemahan berkepanjangan harga komoditi ekspor utama kita, seperti batu bara, mineral, kelapa sawit, dan karet. Kelompok gangguan ini kita sebut gejolak terms of trade, dengan berbagai konsekuensinya pada sektor riil dan sektor keuangan dalam negeri. Kelompok kedua, bersumber dari gejolak aliran modal. Di era globalisasi, arus uang global yang jumlahnya triliunan dolar bisa berbalik arah dengan cepat dan imbasnya juga dengan cepat dirasakan di dalam negeri berupa gejolak pada kurs, kekeringan likuiditas bank, dan defisit neraca modal atau capital account. Pada putaran berikutnya, dampak gejolak sektor keuangan ini kemudian merembet ke sektor riil berupa PHK, perusahaan ditutup, dan pertumbuhan ekonomi merosot. Kita mengalaminya sewaktu terjadi krisis Keuangan Asia pada tahun 1997/98, krisis yang meninggalkan luka mendalam pada perekonomian kita. Kita mengalami lagi gejolak yang sama pada Krisis Keuangan Global tahun 2008/9, tetapi kali ini dengan kerusakan yang relatif lebih ringan, berkat kesiapan kita yang lebih baik. Kelompok ketiga, adalah gangguan yang terkait dengan alam, seperti El Nino yang menyebabkan kekeringan panjang pada tahun 1997/98 dan
30
Presidential Lecture Series
tampaknya juga pada tahun 2015/16, tsunami pada tahun 2004 dan bencanabencana alam lain. Resiko gangguan-gangguan seperti ini, suka atau tidak suka, akan selalu bersama kita. Dan sekali lagi tidak ada jalan lain, kecuali siap setiap saat. Dari ketiga macam gangguan itu, pengalaman menunjukkan bahwa pembalikan arus dana mempunyai dampak paling eksplosif di sektor keuangan, sedangkan perubahan harga ekspor dan impor kurang eksplosif, tetapi langsung masuk ke sektor riil dan bisa berlangsung lebih lama. Sementara itu, gangguan alam biasanya tidak memicu krisis, tetapi dapat memperburuk keadaan. Jadwal kedatangan dari masing-masing gangguan sulit diterka. Tetapi tentu dampaknya akan lebih terasa berat apabila lebih dari satu macam gangguan terjadi bersamaan. Sekarang, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah bagaimana bentuk sistem pertahanan yang efektif untuk menghadapi gangguan-gangguan tersebut? Berikut ini adalah pelajaran dari sejarah. Sistem pertahanan itu sejauh mungkin harus mempunyai mekanisme peredam dampak krisis yang buit-in pada dirinya. Artinya, harus mampu memberikan respon awal yang hampir bersifat otomatis. Bukan setiap kali harus dirumuskan dari nol sewaktu gejolak datang. Bagaimana caranya? Pada tataran paling mendasar, struktur ekonomi harus kita bangun sedemikian rupa agar tidak rentan terhadap gangguan tersebut. Kalau saya boleh mengibaratkan perekonomian sebagai sebuah kapal, maka konstruksi kapal itu harus tidak mudah oleng, tahan terpaan ombak, tidak mudah bocor, dan sebagainya. Masih memakai analogi kapal, tataran berikutnya menyangkut prinsip dasar bagaimana kapal itu setiap saat dikemudikan. Ada satu prinsip penting yang sama-sama berlaku untuk mengemudikan kapal maupun mengemudikan perekonomian dalam kondisi badai yang bisa datang sewaktu-waktu. Prinsip
Boediono
31
itu adalah kehati-hatian (prudence). Prinsip ini harus menjadi pedoman kebijakan yang selalu dipegang teguh oleh “sang nakhkoda”, baik selagi laut tenang maupun sewaktu ombak meninggi. Kedua hal ini, yaitu strutur yang kuat dan kehati-hatian, dapat mengurangi risiko kapal karam apabila badai melanda, tetapi tidak dapat menghilangkan sama sekali. Mengapa? Karena setiap gejolak, setiap krisis, selalu mempunyai ciri-ciri unik yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya dan memerlukan respon spesifik. Ditengah badai melanda, nakhkoda harus pandai-pandai dan mempunyai ruang untuk melakukan manuver cepat dari menit ke menit agar kapalnya, dan seluruh penumpang, selamat melewati musibah itu. Kecepatan respon sangat penting dalam krisis. Ia dan seluruh awak kapal harus dipayungi manual atau protokol yang jelas, tetapi sekaligus memberi ruang fleksibilitas bagi mereka untuk bertindak yang terbaik dalam keadaan darurat. Kerangka pikir seperti ini membawa kita pada design sistem pertahanan yang terdiri dari tiga lini pertahanan. Lini pertahanan pertama mengandalkan pada struktur ekonomi yang tahan krisis. Intinya adalah menghindari terbentuknya struktur ekonomi yang rawan atau memperparah dampak guncangan. Berikut ini beberapa contoh ciri struktur ekonomi yang harus dihindari: •
Ketergantungan pada ekspor sejumlah kecil komoditi dan ketergantungan terlalu besar pada impor komoditi yang sifatnya strategis (misalnya: pangan, energi). Negara seperti itu akan rawan terhadap gejolan terms of trade.
•
Sektor keuangan yang berkembang terlalu cepat dan lepas hubungan dengan sektor riil. Contoh ekstrim adalah kasus Islandia. Di sana sektor perbankannya berkembang sangat cepat, terlalu cepat, sehingga sektor riilnya jauh tertinggal. Pada waktu krisis tahun 2008 melanda, aset sektor
32
Presidential Lecture Series
perbankannya (yang didominasi oleh bank-bank internasional) 10 kali PDBnya. Mengapa itu terjadi? Sebelum krisis, pada saat likuiditas global longgar, pelaku ekonomi dalam negeri berbondong-bondong mengambil pinjaman berbunga sangat murah. Bubbles atau gelembung utang dengan skala puluhan kali sektor riilnya terjadi. Kemudian, pada saat Krisis Keuangan Global meledak pada 2008, likuiditas mengetat dan gelembung pecah. Sektor riil dan perbankan dalam negeri Islandia runtuh, standar hidup masyarakat terjun bebas. •
Struktur pasar yang “tipis” sehingga gerakan satu atau dua pelaku pasar dapat menggoyahkan pasar secara tidak proporsional. Gejala kerawanan volatilitas ini bisa terjadi di semua “pasar”, tetapi paling mencolok di pasar keuangan, seperti pasar devisa, pasar surat utang, pasar uang antar bank, dan pasar saham. Upaya “pendalaman pasar” harus menjadi bagian dari pembangunan struktur ekonomi yang tahan gejolak. Ekonomi
yang
dibangun
untuk
mengurangi
ketimpangan-
ketimpangan struktural yang saya sebut tadi hampir pasti mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap guncangan krisis. Upaya untuk itu harus menjadi bagian dari strategi pembangunan jangka panjangdan kebijakannya harus dilaksanakan secara konsisten dan tidak boleh berubah arah. Garis pertahanan kedua ada pada tataran kebijakan. Kuncinya di sini adalah menanamkan kultur kehati-hatian (prudence) di lembaga-lembaga utama pengelola ekonomi makro dan moneter. Memegang prinsip kehatihatian harus sudah menjadi bagian dari “insting” para pembuat kebijakan. Mengapa? Karena prinsip kehati-hatian yang diterapkan secara konsisten: (a) menghindarkan terjadinya kelengahan kebijakan di masa normal yang bisa memperberat atau bahkan memicu krisis; dan (b) menciptakan kredibilitas dan kepercayaan di mata pelaku pasar pada kebijakan-kebijakan yang diambil otoritas. Dalam krisis, kredibilitas adalah “intangible assets” yang
Boediono
33
sangat atau paling berharga. Sasaran operasionalnya adalah menjaga jangan sampai timbul “gelembung” atau bubbles di sektor-sektor utama. Caranya adalah dengan terus menerus memonitor, dan menerapkan kebijakan korektif dini dimana perlu, terhadap 2 gejala utama: (a) perkembangan harga asetaset yang biasanya mengindikasikan terjadinya gelembung (properti, saham); dan (b) jumlah utang yang terjadi di perekonomian, terutama yang dilakukan oleh dua pelaku ekonomi utama, yaitu pemerintah (karena akumulasi defisit anggaran) dan dunia usaha (karena ekspansi yang terlalu ambisius sehingga melupakan prinsip kehati-hatian bisnis). Prinsip kehati-hatian kedua hal ini dijaga agar setiap saat dalam batas yang aman bagi kestabilan makro. Berikut ini beberapa contoh besaran yang harus dimonitor dan dilakukan koreksi dini apabila diperlukan: •
Defisit (primer dan total) APBN.
•
Sumber pembiayaan defisit (terutama yang rentan perubahan arus modal luar).
•
Rasio utang (dalam dan luar negeri) pemerintah terhadap PDB.
•
Profil jatuh waktu utang pemerintah.
•
Pos-pos utama penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang dipengaruhi perubahan terms of trade.
•
Utang (dalam dan luar negeri) BUMN dan swasta.
•
Harga properti, saham, surat utang pemerintah (dan atau kalau ada obligasi BUMN dan swasta) di pasar sekunder, emas, dan sebagainya.
•
Laju pertumbuhan kredit perbankan dan arahnya. Apabila indikator-indikator utama tersebut dapat selalu dijaga dengan
aman, maka terciptalah semacam jangkar kestabilan yang menciptakan ketenangan di masa normal dan kesiapan yang lebih baik untuk mengatasi keadaan di masa krisis.
34
Presidential Lecture Series
Garis pertahanan pertama dan kedua merupakan langkah-langkah antisipatif terhadap krisis. Garis pertahanan ketiga dilaksanakan pada saat krisis benar-benar terjadi. Pada saat seperti itu, yang diperlukan adalah sebuah aturan atau protokol yang jelas bagi pihak-pihak yang harus menangani krisis untuk bertindak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Lini pertahanan ini yang banyak diwacanakan orang saat ini. Protokol ini sangat penting karena memberikan landasan bagi para pejabat untuk mengambil langkah yang diperlukan, dalam real time, untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di lapangan selama krisis terjadi. Keputusan-keputusan cepat itu menentukan apakah krisis bisa dilewati dengan baik atau tidak. Tetapi, kita perlu ingat bahwa protokol ini hanyalah satu lini pertahanan dari keseluruhan sistem pertahanan untuk menghadapi krisis. Pada saat bab ini ditulis, landasan utama dari lini pertahanan ketiga ini, yaitu Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), sedang dalam tahap pembahasan di DPR. Sementara itu, berbagai pedoman operasionalnya juga sedang disiapkan oleh instansi-instansi terkait. Sambil menunggu proses legislasi ini, berikut ini beberapa komentar umum yang penting untuk diperhatikan dalam perumusan undang-undang tersebut. Pertama, seperti yang disebutkan tadi, setiap krisis selalu punya keunikan tersendiri yang tidak bisa diterka sebelumnya. Oleh karena itu, protokol perlu memberi ruang fleksibilitas yang cukup bagi para pengambil keputusan untuk meramu resep yang pas bagi setiap situasi yang berkembang di lapangan. Semakin sedikit rambu-rambu yang memasung gerak pengambil keputusan dalam protokol ini, semakin baik. Kedua, dalam krisis keuangan, semua bergerak sangat cepat, kadang dalam hitungan jam, dan memerlukan respon yang sama cepatnya. Kita menghadapi sasaran tembak yang terus bergerak cepat. Prosedur-prosedur pengambilan keputusan yang ditentukan dalam protokol (terutama yang
Boediono
35
menyangkut koordinasi antar lembaga) harus memungkinkan, dan tidak justru menghambat, langkah cepat tertentu. Prosedur yang bertele-tele meningkatkan risiko krisis lepas kendali. Ketiga, meskipun setiap krisis mempunyai keunikan, pengalaman krisis di masa lalu banyak memberikan pelajaran yang sangat bermanfaat bagi penanganan krisis yang akan datang. Oleh karena itu, kita harus banyak belajar dari pengalaman masa lalu, baik pengalaman kita sendiri maupun pengalaman negara lain. Lessons learned ini harus tersedia dan siap dimanfaatkan oleh mereka yang sedang menangani krisis, apalagi apabila mereka belum pernah mengalami sendiri bagaimana menangani krisis. Mereka yang ditugasi menangani krisis harus mempunyai kerendahan hati untuk mau mencoba memahami dan memanfaatkan pelajaran dari pengalaman masa lampau itu. Dengan demikian, setiap kali krisis terjadi, penanganannya tidak harus seakan akan mulai dari nol. Yang diperlukan di sini adalah tradisi untuk membangun dan memanfaatkan akumulasi pengetahuan dan pengalaman penanganan krisis (institutional knowledge). Sayang tradisi ini belum berakar di negeri kita. Dan rakyat menanggung konsekuensinya. Mari kita ulang inti dari apa yang telah kita bahas. •
Di era globalisasi, kita harus selalu siap menghadapi gejolak yang bisa datang tanpa jadwal.
•
Dalam sejarah kita, tiga macam gangguan menonjol: perubahan harga ekspor-impor (terms of trade), pembalikan arus modal, dan gangguan / bencana alam.
•
Dari ketiga macam gangguan itu, pembalikan arus modal berdampak paling eksplosif, diikuti perubahan harga ekspor-impor. Sedangkan gangguan alam biasanya tidak memicu, tetapi memperparah kondisi krisis.
•
Sistem pertahanan terhadap krisis terdiri dari 3 lini pertahanan. Lini pertama terwujud dalam struktur ekonomi yang “seimbang”, lini kedua tercermin
36
Presidential Lecture Series
pada “kultur kebijakan”, yang intinya adalah disiplin mempraktikkan prinsip kehati-hatian. Kedua lini ini harus dibangun jauh hari sebelum krisis tiba. •
Lini ketiga sangat penting karena merupakan lini teakhir untuk mengatasi krisis. Lini ini terdiri dari sebuah protokol yang harus dapat menjadi landasan bagi para pengambil kebijakan untuk bergerak cepat dan tepat pada saat krisis terjadi.
Boediono
37
Lampiran 2
38
Presidential Lecture Series
“The Global Economy under VUCA: How should central banks respond?” by Andrew Sheng7 Distinguished Fellow Asia Global Institute, The University of Hong Kong
7
I am grateful to Ng Chow Soon for helpful comments and Jillian Ng for research assistance in the preparation for this paper. All errors and omissions are personal to the author and should not be associated with any institution that he is affiliated with.
Boediono
39
Yang Mulia Bapak Agus Martowardojo, Bapak-bapak, Ibu-ibu yang dihormati-sekelian,
I
am very honored to be invited to give this address at the Inaugural Opening of Bank Indonesia Institute on such an auspicious day. Indeed, I feel
particularly privileged to be part of the foundation of such an important
institution for the development of human resources for Bank Indonesia, at such a juncture of take-off in the national development of Indonesia, the fifth largest nation in the world. To be given the privilege to speak immediately following His Excellency,
former President Bapak Habibie’s insightful address on the role of innovation and science on national development is truly an honor. The subject of this lecture, The Global Economy under VUCA: How should central banks respond” is very challenging, because we are living in an age of volatility, uncertainty, complexity and ambiguity. The level of uncertainty – defined as unknown unknowns or unquantifiable risk events – is the highest that I have known, certainly in my lifetime. Brexit is another demonstration that we are living in a turning point or transition to a new order that is uncertain as it is unpredictable. But that does not mean that we do not have tools to think through the implications of such uncertainty and work – some people call it muddle – our way through it. Volatility is only the fluctuation of a variable about a mean – its size under normal circumstances should not be more than two standard deviations, but today, it is not uncommon to witness volatility of up to five standard deviations. Complexity is a property of systems under change – the Second Law of Thermodynamics states that entropy or complexity increases over time. Ambiguity is related to uncertainty of manifestation and interpretation – the data is ambiguous because it does not point clearly which way the trend is
40
Presidential Lecture Series
going, whereas we are ambiguous on which path or solution to choose. But central bankers are used to dealing with constructive ambiguity in policies. If central banks are too predictable, they lose their power over financial markets. Ancient Asians deal with complexity through story-telling, because with our long sense of history, we tell a story to illustrate to others how we could think about uncertainty and what tools we have to choose to make the right decisions under uncertainty.
The Flying Geese Theory I begin with Japanese economist Akamatsu’s theory of the flying geese8, which was used to describe the order of economic development in Asia. Many of you will be familiar with the image of Japan as the lead goose that was first to reach industrial economy status, followed by the four Dragons, then the Four Tigers, including Indonesia, and now China, India and perhaps Vietnam, Bangladesh and Myanmar. The flying geese theory is actually even more generally applicable to the flight order of the world economy, because the Asian flight is part of the global flight led by the US and Europe, so that we can see the lead geese as the four reserve currency countries – US, Europe, Britain and Japan, followed by the rest. I divide the world into the G4 and the rest, because the G4 accounts for 54.4% of world GDP, 45.8% of world trade, 74.2% of world financial assets denominated in reserve currencies and 155.3% of 2013 global foreign exchange (paired) trading turnover.9
8 9
Akamatsu, Kaname. (1962). “A Historical Pattern of Economic Growth in Developing Countries.” Journal of Developing Economies, 1(1): 3-25, March-August. IMF. 2015. “GFSR April 2015: Navigating Monetary Policy Challenges and Managing Risks.” Statistical Appendix, Table 1: Capital Market Size: Selected Indicators, 2013; World Bank. 2016. “Exports of Goods and Services (BoP, current US$).”; BIS. 2015. “Triennial Central Bank Survey: Foreign Exchange Turnover in April 2013: Preliminary Global Results, September 2013.” Table 5: Global foreign exchange market turnover by instrument, currency and counterparty. Author’s calculation.
Boediono
41
You will immediately understand why I use this categorization, because the four lead geese have since 2007 – the advent of the global financial crisis – flown into a major period of turbulence in which their growth have stalled. They are still struggling to get out of that turbulence, and those of us who are behind them see some of their problems slightly more clearly, but are at the same time victims of their spillovers – their mistakes could either be lessons for us who follow or could be the reasons why some of us may crash. You only need to visualize how a flock of geese would behave when attacked by eagles to appreciate how a pattern of dispersion leads to an even weaker flock, subject to individual predatory attack. In 1997, the global financial market was shocked by the Asian financial crisis, which coincided with the Russian financial crisis. The G4-led IMF applied tough orthodox medicine on the Asian crisis economies, which was painful and in hindsight, even excessive in some cases. But, by and large, the medicine worked, and growth resumed. But this time round, the G4 did not apply orthodox medicine (mostly fiscal and structural reforms) on themselves, and pushed their central banks to the fore. The result was unconventional monetary policy, huge global liquidity and something unthinkable – the advent of negative interest rates. The spillovers of unconventional monetary policy are by their very nature controversial, as questions arise on how to measure them, who bears the consequences and their impact on productivity growth, their domestic (G4) economies and the developing countries in particular.
Elements of VUCA Before I get into the specific challenges of central banking under VUCA, there are five current inter-related mega-trends that contribute to considerable uncertainty in policy formulation, if not implementation. These are: geopolitics,
42
Presidential Lecture Series
climate change, technology, unconventional monetary policy/regulation and creative destruction. It would be true to say that mainstream macro-economic theory, on which orthodox economic policies are formulated, have completely ignored many of these mega-trends or at least have assumed that these remain stable. It is therefore not surprising that conventional macro-economic theory, which ignored (or at least assumed away) the rise of the financial sector through leverage, growing social inequality, climate change, demographics, dramatic shift in technology and cumulative radical uncertainty, have not been helpful in predicting the global financial crisis, let alone help provide viable solutions. Former Fed Chairman Ben Bernanke, also a distinguished economist, showed great confidence in economics: Economics is a highly sophisticated field of thought that is superb explaining to policymakers precisely why the choices they made in the past were wrong. About the future, not so much10.“ As one former Chinese premier put it, when our teachers are wrong, what are the students going to do? Or to put it in the flying geese context, when the lead geese are flapping around in disarray, what should the followers (the developing countries) do? When I pondered on the enormity of these VUCA uncertainties, I realized that we must have the humility to appreciate that until recently, central bankers were only relatively speaking back-seat players in the great game of geo-politics, caught up in factors we normally do not take into consideration, and have been thrust into what some people wrongly call “the only game in town”. The first radical uncertainty facing central bankers is geopolitics, because we have entered into a new phase of geopolitical rivalry of grave
10 Ben S. Bernanke, The Courage to Act, WW Norton, 2015, p.547.
Boediono
43
uncertainty, of which Brexit and the Turkish failed coup are events or signals that indicate that the global order as we know it for the last 50 years is changing. The underlying trend in geopolitics is the irreversible shift from a unipolar world to a multi-polar world where there is almost no consensus on what to do with emerging global challenges, such as terrorism and territorial conflicts and no single power is strong enough to impose order. Power has shifted to both new states and non-state players where borders written during the colonial era are rapidly disappearing. The IMF has called Brexit “the spanner in the works” that may slow global growth further11. But Brexit was a decision made because the British are concerned more about immigration than European unity. This issue is connected to the second factor, climate change12 and demographics. Until recently, mainstream macro modeling basically ignored global warming as an important factor in projections, until ecological scientists warned that continued carbon emission is changing our climate. Advanced countries’ central bankers had the hubris to claim the period of strong growth and low inflation, the Great Moderation, was due mostly to their “excellent” central bank skills. With all due respect, the low inflation was mostly due to the combination of improvements in global productivity, increased supply of consumer goods from emerging markets and moderation in food prices arising from improved harvests, following good weather with fewer natural disasters. We do not need ecological scientists to warn us that we are already feeling the impact of global warming, as evidenced by the unpredictable scale of recent storms and droughts. Historically, dynastic collapses have been associated with major climate change, such as the droughts that caused the
11 See latest IMF World Economic Outlook update, July 2016. 12 David King, Daniel Schrag, Zhou Dadi, Qi Ye and Arunabha Ghosh, Climate Change: A Risk Assessment, Centre for Science and Policy, University of Cambridge, 2015
44
Presidential Lecture Series
disappearance of the Angkor Wat and Mayan cultures. One factor underlying the problems faced by Iraq, Afghanistan, Syria, Sudan and other failing or stressed states is because they are water-stressed and population/governance stressed. The stretched governance is not equipped with the requisite resources to deal with large youth unemployment and also climate change that affects water and food security. If North Africa and Middle East continue to face such upheavals, expect more than 1 million refugees to flood northwards to Europe where conditions are cooler and welfare benefits are better. The risks of climate change disturbing the delicate food security balance and sparking off inflation in emerging markets before spreading rapidly to advanced markets are not zero. Inflation is normally a monetary phenomenon, but central bankers have created the conditions whereby inflation will return not incrementally, but drastically due to a climate change event. This is a scenario that emerging market central bankers cannot ignore, even though G4 economies do not suffer any immediate inflation threat due to excess savings outside G4. Thirdly, unconventional monetary policy has already breached the theoretical boundaries of negative interest rates, where no one, least of all the central bankers that are pushing on “a piece of string”, fully appreciate how negative interest rates is destroying the business model of finance, from banks to asset managers. Negative real interest rates reward borrowers and impose a financial repression tax on savers, thus widening the prevailing income and wealth inequalities. Fourthly, income and wealth inequality is certainly increasing everywhere, as the work of Thomas Piketty13 has vividly demonstrated. It is the sense of insecurity of the middle and working classes that they are disengaged,
13 Piketty, Thomas. (2014). “Capital in the Twenty-First Century.” U.S.A.: The Belknap Press of Harvard University Press..
Boediono
45
marginalized and the fear that they will lose jobs to immigration and technology, become impoverished by expensive health care and inadequate retirement benefits, that makes they turn to extremist politicians and religious radicals for comfort and solutions. Polarization breeds social unrest that kills the context of stability for growth. Managing social inequalities to counterbalance the propensity for modern capitalism to concentrate economic and political power in the hands of a small elite is necessary in the modern age. No country has as yet a good solution, but the alternative is revolution or collapse of the social compact. Fifthly, technology and its spread throughout the world through the Internet, has brought wondrous opportunities and new inventions like biotechnology, artificial intelligence, virtual reality and robotics. Science and technology thrust less than 50 million people in Europe and America into the first industrial revolution in the 19th century14. In the 21st century, more than 1 billion people in the emerging markets, of which 250 million from Indonesia, are entering the middle-class with access to global science and technology. In my view, the next Industrial Revolution will be driven concomitantly by new inventions and discoveries in the developing countries. As Bapak Habibie has eloquently expounded, emerging markets like Indonesia can leapfrog the problems of the Middle-Income Trap through new technologies, but that requires new governance mindsets and new development models. Of course, technology is not without its risks, in areas such as loss of jobs, genetic accidents, cyber-attacks or techno-terrorism. The Austrian economist Joseph Schumpeter lauded innovation and entrepreneurship as the engine of capitalism, through what he called creative
14 For a historical account of how climate change in early 17th century caused regional wars on a global scale and then created conditions for a divergence between Europe and Asia, see Parker, Geoffrey, 2014, Global Crisis: War, Climate Change and Catastrophe in the Seventeenth century, London: Yale University Press.
46
Presidential Lecture Series
destruction15. We all support innovation, but change always bring about losses to the status quo. Technology disrupts traditional industries, and those disappearing industries will lead to lost jobs, large non-performing loans and assets that will lose value. Creative destruction impacts on central banks because they need to provide liquidity to finance the transition.
Global Economy in 2017 I will not get into specifics of the global economy in 2017, as a comprehensive assessment has been made when Bank Indonesia co-hosted an important meeting of central bankers in Bali earlier this month with the Federal Reserve Bank of New York. The broad outlook is that growth in the world economy is continuing to slow, with slowing world trade and lower investment, particularly by the private sector. Multinational companies are still keeping high cash levels and using the cash to buy back their own shares – indeed, in the US, sharebuybacks are higher than dividend payouts as well as the amount of fixed asset investments annually. This may be due to tax incentives as well as the need for management to keep the value of their bonus options at a high level. The decline in Chinese import growth as well as the lack of US merchandise imports indicate that the pattern of trade is changing – China is getting rid of excess production capacity and inefficiencies, whilst US consumption is more on software than on hardware. The fact that there are doubts over the global recovery is due to uncertainties over the impact of population aging and weaker productivity in the advanced economies, which seems to decline even as interest rates remain low. On the whole, the consensus seems to be that Europe and Japan will still face the threat of slow growth; the Chinese economy is trying its best to
15 Schumpeter, Joseph A. (1954). “History of Economic Analysis.” London: George Allen and Unwin.
Boediono
47
maintain steady growth at present levels; and the US economy is deleveraging better but the Fed is cautious over interest rate increases because it has difficulty reading whether the recovery is strong or simply anaemic. There are also fears that persistent interest rate increases whilst others are cutting rates (e.g. Bank of England) would lead to too strong a dollar. There is a uniform call for fiscal stimulus, but there is also caution due to a growing debt overhang and also voices calling for fiscal austerity. Even though there is considerable pressure on cooperative efforts to increase investments in infrastructure as a way to increase global aggregate demand, my own reading is that the forthcoming G20 Summit in Hangzhou will not lead to dramatically new concrete proposals, because there is insufficient domestic consensus for global reflation and concerted global action. You only need to hear the rhetoric of the US presidential elections to realize that there are huge risks of de-globalization if the US mood is swinging against globalization and becoming more isolationist, if not more right-wing. My own view is that advanced country central bankers have not factored in the cumulative impact of all these factors, including the role of FinTech and higher asset provisions due to creative destruction losses/reversal of asset bubbles, on the global banking system16. Taken individually, each complexity brought by new regulations and policies may not have much impact on the finance industry. But the industry today is having difficulty coping with too much uncertainties and costs/losses at the same time, even as zero interest rates are cutting the profit cushions. We should all be aware in the cumulative impact of these uncertainties is that the banking industry business model is under threat and that central bankers and financial regulators need to be aware that continued price and asset deflation could lead to greater system fragility.
16 See Sheng, 2016, “Regulators Should Take Holistic View of Impact of Radical Uncertainties on Financial Industry,” remarks at ECB Forum on Central Banking 2016, Sintra, (forthcoming).
48
Presidential Lecture Series
Challenges of Central Banking under VUCA Reading through what was discussed in Bali, the consensus seems to be that central bankers need to think out of the box. The range of discussions varied from reforming the international monetary system via a new permanent liquidity arrangement other than central bank swap facilities17 (Rajan 2016), target zones for currency volatilities, or macro-prudential tools. As Jacob Frenkel said in his recent Per Jacobsson lecture on “What is central banking all about?”, in the push for unconventional policies, central bank innovations should not throw out the old orthodoxies of monetary stability, financial stability and price stability.18 I would not be so presumptuous as to advise what G4 central bankers should do. They are the best and the brightest and they believe in their skills. My own humble view is that emerging market central banks are much less theoretical, more practical and realistic. They have all the traditional tools of monetary management, including newer macro-prudential tools to manage financial system stability. They understand their own markets very well, and it is more the combination of tools to deal with emerging challenges that is more effective. There is no first best policy, nor a single instrument that will work for these highly inter-related complexities. Emerging market central bankers understand that they do not have the luxury of sophisticated infrastructure, very highly skilled bankers and mature markets. You have to build the human resources, establish the payments and other infrastructure and manage change and stability all at the same time. What emerging market central bankers lack, and they appreciate this very
17 Rajan, Raghuram. 2016. “Pursuing Growth Objectives After the Crisis: An EM Perspective.” Powerpoint presentation by RBI Governor Raghuram Rajan at Bank Indonesia/Federal Reserve Bank of New York Joint International Seminar, Bali, 1 August 2016. 18 Frenkel, Jacob. 2016. “Reflections on Central Banking: What is it All About?” Per Jacobsson Foundation Lecture, delivered by Jacob Frenkel on the occasion of BIS Annual General Meeting, Basel, 26 June 2016. Video.
Boediono
49
well, is how sophisticated financial engineering, large capital flows and new challenges arise from new factors, both abroad and domestically. To put it mildly, since you know the Indonesian economy and financial system far better than I do, I cannot advise you how to manage your own economy and system. My own approach is to invite you to think about the challenges – the process of decision-making under uncertainty, based upon my own experience and reading of this process, not only in central banking, but also in the business world and in policy formulation. First and foremost, if you cut through the details of monetary and stability objectives, central banks basically help the market players make betterinformed decisions by reducing uncertainty from the market environment. It should be understood that central bankers are not alone in trying to manage uncertainty – this is the work of not only the state, but also business and civil society leaders. Hence, the state should complement monetary policy with the appropriate mix of fiscal policies and structural reforms. But these structural reforms encounter resistance from vested interests, which could delay these reforms through the holding out problem. In other words, the political economy of reform is not just to change with stability, but also to have sufficient resources not just to invest to address social and regional imbalances, but also to “buy up” those holding up reforms19. My old university teacher reminded me that in a situation of disorder, order wins, whereas in a situation of order, disorder wins. In other words, those who create disorder may be able to win in a situation of stability. These contradictions manifest themselves in the Minsky maxim that “stability creates instability”, whereas disruptive technology and regulatory arbitrage may lead to phases of instability.20 19 Olson, Mancur. 1965. “The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups.” Cambridge and London: Harvard University Press. 20 Minsky, Hyman P. 1992. “The Financial Instability Hypothesis.” The Jerome Levy Economics Institute of Bard College Working Paper No. 74.
50
Presidential Lecture Series
But decision-making under uncertainty is a process. Thus, the link between micro-economic decisions to consume/save or invest/disinvest would depend upon expectations of the future, whether it is stable or unstable, namely, the macro-economic environment. Consequently, central bank policy in a period of VUCA would have to have a strategy to deal with managing expectations – this comes from not just the tools given to central bankers, such as interest rate and exchange rate tools, but also communication tools and how to get cooperation from other stakeholders in maintaining stability, such as financial regulators, ministry of finance, planning agency and other state departments. My view is that the science or methodology of central banking as taught conventionally is to concentrate on the tools, and less is on the art of central banking, which is on how to use the tools, in what combination and how to get effective results out of limited tools, limited resources and many doubters. Thus, I have less to contribute in the form of which tool to use, but may have something to say on how to strategically think about the tools, the data or information that you have and how to work cooperatively with other stakeholders to achieve common objectives. Using the flying geese analogy again, in a period of turbulence, either you copy the leaders or winners or you undertake survival strategies that minimize your risks and maximize your potential outcomes. This is all about how to adapt under very complex and uncertain conditions. In other words, it is not the technical tools that we should be considering as a matter of priority, but the process of discovery under uncertainty, experimentation, communication and coordination of adaptation to new and challenging conditions.
Boediono
51
Best Fit, not Best Practice The first issue to consider in “following the leaders” is to accept that they are themselves in trouble, and their tools may be very different from ours. This is why I advocate that we need to switch from “best practice” to “best fit”. Just because the person in front of you has cancer and takes cancer medicine does not mean that you should follow. The complexities of Basel III fit very advanced, complex banking systems. Emerging market banking conditions fit Basel III in terms of broad principles, but the priorities of implementation of complex issues are clearly different, because the costs of imposing very complex and costly rules and processes on relatively simple banks are quite high. Moreover, quantitative easing tools are available to reserve currency economies, but not to emerging market central banks, because that would lead quite quickly either to higher inflation or pressure on the exchange rate. Emerging market economies are both price takers and rule takers, not yet price or rule makers. A further example is Taylor’s Rule. This is a very helpful rule for inflation targeting, but the problem is that the objective target for many central banks is no longer just inflation, but employment, social equity, climate finance and other targets dictated by politics. Taylor’s Rule can be a guiding principle for day-to-day operations, but rules must change if the context changes.
Focus on the Real Economy, not just Finance The second mistake that advanced country central banks made was to focus on their immediate targets (price stability) without paying enough attention to what the real economy was doing, especially arising from disruptive technology, concentrations from oligopolistic behaviour, social inequities etc. For example, the assumption was that price stability would give rise to financial stability, without understanding what low interest rates were doing to asset bubbles, leverage and concentration and interconnected risks. Indeed, following the
52
Presidential Lecture Series
advanced country banking model to minimize risks by only lending to large corporations and mortgages deprived lending to SMEs and also encouraged real estate bubbles and speculative activities. Central bankers at all levels must be trained to understand that their job is not just to focus on finance, but on how the system as a whole is working or not. Finance is only sustainable if the real economy is healthy and broadly balanced, not if finance wins at the expense of the real economy. In other words, wisdom comes from knowing what you do not know, not believing that you are the best and knows it all. This is why central bankers cannot be part of ivory towers that think that the real economy is what their flawed DSGE models predict. The advanced country central banks used these models without realizing that finance was not part of the models because they netted out to zero, so the models did not predict financial fragility and how it spread throughout the real economy. Central bankers need to understand how the real economy works, the complex inter-relationships between supply chains of production, logistics, distribution and interaction between the retail and powerful oligopolistic producers. Because central bankers understand finance better, they can examine these relationships more objectively and can give valuable input to fellow regulators, ministry of finance, national planners and even local governments. We cannot understand how a system works without understanding the hierarchy or structure of the real economy and its inter-relationships. That is why we need to have better national, sectoral and regional balance sheet data to understand where concentrations and risks lie within the system. The compilation of national and sectoral balance sheets force a system-wide “adding up” discipline – we may not have complete data, but we should have enough to have an appreciation what does not add up – that something is happening in the economy that normal flow data is not telling us.
Boediono
53
The best illustration is the use of Big Data. There is nothing special about Big Data – it simply means the collection of a variety of information in order to have cluster analysis or the identification of patterns of behavior in an economy and their interaction, interdependencies and incentives. Conventional bureaucracies, such as banks, telcos and the like have huge data about their clients that are not properly analyzed. Part of the reason is that they are single-sided markets – they only provide one side of the market for goods or services for their clients, mainly because they are regulated in such silos. For example, banks focus only on deposit-taking, payment or loan services, without analyzing the total relationship of clients, who are simultaneously small traders, borrowers and users of payment services. Indeed, telecommunication companies actually operate networks on which banks build their systems, but telcos cannot become banks even though they hold client deposits, only because regulations prohibit them from using these deposits for cross-client payments. The arrival of Alibaba, Amazon and other multi-sided platforms has changed the real economy profoundly. These giants with hundreds of millions of customers have changed the game because they provide a platform that links the different markets of suppliers, producers, logistics and distribution services with a total package for their customers. They use Big Data more extensively to understand their clients and therefore are able to control credit risks because they track their clients’ buying, selling and payment activities on a real-time basis. Once they establish control over a billion customers each, they are already providing sufficient convenience in payment services, earn the trust and can therefore disrupt the banking, asset management and even insurance industries. They are a total “many to one to many” service for the customer. Banks are “one to many networks” that provide only banking (singlesided) services.
54
Presidential Lecture Series
These multi-sided platforms operate not just nationally, but across borders, with speed, scale and convenience that changes the real economy in terms of competition, rules and ways of consumer behavior. We cannot stop their evolution because they allow our SMEs and start-ups to access global markets. No country can be an island – globalization will continue because it benefits everyone. But we need to manage the downsides of globalization better. What this means is that the modern central banker needs to move away from specialist “silos” to become more system-wide thinkers and doers. This implies that we have to go back to basics and will have to work with many different players in the economy to understand how the system works. In this complex, inter-connected and inter-dependent world, the central bank is a team player and partner in development. Central banks cannot be a silo that is independent from the others. We cannot claim that we deserve our independence in order to deliver our monetary policy objectives. My view on central bank independence - which I learnt from the legendary Bank Negara Malaysia Governor Tun Ismail Mohd. Ali - is that central bankers are “independent from government, but not of government”. In more modern language, central bankers have operational autonomy, but not necessarily policy autonomy, in the sense that policy is determined by the state, defined either by law or by convention21. Indeed, former Bank of England Deputy Governor Paul Tucker argues that central banks are autonomous operators of the national balance sheet.
21 Tucker, Paul. 2016. “Chapter 1: How Can Central Banks Deliver Credible Commitment and Be ‘Emergency Institutions’?” In John Cochrane and John Taylor (eds.), Central Bank Governance and Oversight Reform. California: Hoover Institution Press Publication.
Boediono
55
Communicate before Cooperation/Empowerment By being system-thinkers and player, the central bank needs to build trust and partnership with its stakeholders. If there was one thing that central bankers learnt from taking center stage and the onerous burden of independence, it was about communications. As Ben Bernanke and other G4 central bankers realized, central bank powers are delegated and can easily be taken away or compromised politically. Hence, central bank autonomy rests on credibility, professionalism and integrity, all of which require very delicate communications with the stakeholders, namely, the public, the legislature, media and the government. When the central bank was accountable to the minister of finance, the minister answered to the legislature for all policy decisions. But when independence was given to the central bank to undertake the narrow area of monetary policy, the central bank became answerable in many ways to the legislature, which make the burden of transparency even more complicated than ever. As G4 central bankers discovered, explaining technical subjects like monetary policy to experts and professionals is difficult enough, explaining this to politicians and the public in terms that they can understand is even more difficult. Former Fed Chairman Ben Bernanke put it as follows in his new book: “Rapidly changing communications technologies – first, twenty-four-hour cable television, then blogs and Twitter- seemed not only to have intensified the scrutiny but also to have favored the strident and uninformed over the calm and reasonable, the personal attack over the thoughtful analysis.” 22 Central banks in emerging markets have less of these problems because there is still a basic trust of central bank reputation for probity and 22 Bernanke, Ben S. 2015. “The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath.” New York: W. W. Norton & Company., p. 536.
56
Presidential Lecture Series
integrity. But there is no question that if this trust is lost, then the central bank will lose its credibility and operational autonomy. The concept of money is very difficult to explain to the layman, other than notes and coins, which is why the public can easily feel distant from the central bank, other than that it provides money for circulation and somehow oversees the financial system. Where bank supervision has been carved out of the central bank, the job description gets even more complicated. This is why it is very important that the central bank engages in activities that involve the public. To cite an example, I was impressed when I visited the gold museums and town art galleries of the Central Banks of Peru and Colombia. By reaching out to every person who understands the history and culture, maintained at high levels of professionalism, the central bank identifies that the institution itself represents the interests of the people in maintaining stability. Furthermore, increasingly, the top central bank leaders will have to engage the public through more speeches and town-hall type engagements to provide two-way feedback – an explanation of what central banks do for the public and to listen to their views on what is happening at the grass-root level. Such 2-way communication is important to dispel misperceptions that the central bank operates in an ivory tower. It will also minimise the risk of central bank policies generating unintended consequences while also building better public buy-in of its policies.
Cooperation and Coordination of Policies My final point is how to work cooperatively within the government and different levels of government on common objectives. One of the hardest lessons I learnt happened when I, as Bank Negara Malaysia Chief Economist, had to deal with a macro-economic adjustment programme. That was when
Boediono
57
I realized that my job was not to make economic forecasts, but to make sure that all relevant agencies were on the same page. I could not say that the macroeconomic adjustment pain was the purview of other agencies, it was our problem to be tackled together. One main reason why the best and brightest of G4 central banks did not foresee the global financial crisis was that their economists were thinking in silos – specialists who never put the diverse pieces of information together – getting into a crisis with eyes wide open and minds closed. The Asian financial crisis already told us that there is no such thing as isolated crises today in the interconnected markets – one will affect the others. The best book on this subject is by FT columnist Gillian Tett, an anthropologist by training23. The reason why humans do not cooperate easily is because we are territorial, and each will guard their sub-systems jealously, fending off all intruders. Institutional rigidities occur because of rigid classification systems, because most organizations are drawn along rigid or clear functional lines. But the more they are rigid, they become blind to when the market itself is organic and fluid, flowing around regulations, borders and barriers through innovation and arbitrage. Gillian Tett recommends five ways of dealing with silos, bearing in mind that this will always be work in progress, rather than a “best solution”: •
Keep the boundaries of teams in large organizations flexible and fluid
•
Ensure that pay and incentives reward teamwork and cooperation rather than silos
•
Having common information flows matter, including shared training systems and building architecture (open offices rather than closed offices)
23 Tett, Gillian. 2015. “The Silo Effect: Why Putting Everything in its Place isn’t Such a Bright Idea.” London: Little, Brown.
58
Presidential Lecture Series
that facilitate communication – having people who can be cultural translators who can break down silo barriers •
Periodically require silos to “reimagine” their framework of how the world works
•
Use technology to break these barriers down There have always been two common tools to create shared values and
information. The first is the training institute, such as Bank Indonesia Institute – making sure that frontline staff are brought into the institute – not just for re-training or upskilling, but to ensure that there is feedback on lessons to be drawn from the front-line of operations, and to give time to experienced staff to reflect on what they have learnt, what can change and what works and does not work. The training institute should be open to all stakeholders, from fellow regulators, government departments, local and central, domestic and international, media, and civil society, so that everyone understands the work of the central bank and its relationship with everyone else. Our central bank colleagues will learn a lot from such training and should be open to secondment to other government agencies to broaden their experience levels and human networks. The second area is a common database as a framework for analysis. It is very telling that the US financial regulatory system has the most silos – with at least five regulators involved in bank supervision – Fed, OCC, FDIC, state bank superintendents, SEC etc. Despite the scale of the crisis, there was only the elimination of one small regulator, the Office of Thrift Supervision. But the most innovative was the creation of the Office of Financial Research, which produces system-wide data and analyses, which does not look at institutional flaws, but system-wide patterns and risks, shared with all agencies and enabling this to be debated at the Financial System Oversight Council. Having
Boediono
59
a common and shared database would foster healthy debate from different perspectives, thus breaking down silos and reinforcing diversity of thinking and policy formulation. I am sure the founders of the Bank Indonesia Institute have already thought through what the new Institute can do to foster cooperation towards system stability and development across the field of finance and government.
Conclusion How should central banks cope with VUCA in the global economy in 2017? My answer is simple – like they have always coped: flexibly and with one clear purpose – the national interest and the public good. Man created institutions to deal with uncertainties; and the central bank is exactly such an institution. There are no fixed formulae for fighting crises or sudden shifts in the environment, but there are processes which can be put in place with the people who are trained and have shared values and outlooks. To sum up, we make the best decisions with the best available information, which means that the central bank would need to learn how to use Big Data and as much access to information and data that can be analyzed, so that different scenarios can be built, making staff and the key policymakers psychologically prepared for different contingencies. Risk management cannot be the sole responsibility for just the Governor and top leaders, it is the responsibility of all staff. Building the communication capacity within the organization, internally and externally, is critical to operational effectiveness and flexibility in adapting to sudden changes, which may vary from natural disasters, terrorist attacks, computer system failures or financial market volatilities. But just having an effective central bank is not enough. In this complex environment of systemic shocks, working with different stakeholders is a pre-
60
Presidential Lecture Series
condition of policy effectiveness. Emerging market central bankers should learn the common lesson from advanced market unconventional monetary policies – it is easier to become the “only game in town” than to exit such liquidity traps. Furthermore, any mistakes can easily lead central bankers to become the “only scapegoat in town.” Systemic problems need systemic solutions – no silver bullets, simply hard work cooperating together. At the geo-political level, given the huge uncertainties from geopolitical tensions, especially in the Middle East, it is important to forge closer cooperation within the East, South and South-east Asian economies – still the fastest growing region in the world – to enable our own growth to develop, in an environment of peace. Without growth, there are no resources to deal with income and social inequities at the sector and geographical levels. And growth cannot be achieved in a state of constant social unrest from global warming or man-made conflicts. In sum, I see central bankers as the constant gardener or steward of monetary and financial stability, with old tools and new high-tech tools. But the objective of managing an environment of price, monetary and financial stability and working continually to get rid of weeds, provide liquidity and growing talent, whilst strengthening the conditions for development, needs stamina, professionalism and will power. Central banks are uniquely well endowed with such flexibility. This is why I consider the creation of the Bank Indonesia Institute of such importance and vision – to create the platform for developing the ideas, talent, research and communications that fosters team work, not just within Bank Indonesia, but with the finance industry and particularly with fellow regulators, ministries, central and local levels, as well as academia and civil society leaders, both domestically and abroad.
Boediono
61
I am honoured to be associated with the Bank Indonesia Institute and am even more privileged to be given the opportunity to say a few words on this auspicious occasion. Terima kasih.
August 9, 2016 Penang
62
Presidential Lecture Series
References Akamatsu, Kaname. (1962). “A Historical Pattern of Economic Growth in Developing Countries.” Journal of Developing Economies, 1(1): 3-25, MarchAugust. Bernanke, Ben S. 2015. “The Courage to Act: A Memoir of a Crisis and Its Aftermath.” New York: W. W. Norton & Company., p. 536. BIS. 2015. “Triennial Central Bank Survey: Foreign Exchange Turnover in April 2013: Preliminary Global Results, September 2013.” Table 5: Global foreign exchange market turnover by instrument, currency and counterparty. Frenkel, Jacob. 2016. “Reflections on Central Banking: What is it All About?” Per Jacobsson Foundation Lecture, delivered by Jacob Frenkel on the occasion of BIS Annual General Meeting, Basel, 26 June 2016. Video. IMF. 2015. “GFSR April 2015: Navigating Monetary Policy Challenges and Managing Risks.” Statistical Appendix, Table 1: Capital Market Size: Selected Indicators, 2013. Minsky, Hyman P. 1992. “The Financial Instability Hypothesis.” The Jerome Levy Economics Institute of Bard College Working Paper No. 74. Olson, Mancur. 1965. “The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups.” Cambridge and London: Harvard University Press. Parker, Geoffrey. 2014, Global Crisis: War, Climate Change and Catastrophe in the Seventeenth century, London: Yale University Press. Piketty, Thomas. (2014). “Capital in the Twenty-First Century.” U.S.A.: The Belknap Press of Harvard University Press.. Rajan, Raghuram. 2016. “Pursuing Growth Objectives After the Crisis: An EM Perspective.” Powerpoint presentation by RBI Governor Raghuram Rajan at Bank Indonesia/Federal Reserve Bank of New York Joint International Seminar, Bali, 1 August 2016.
Boediono
63
Schumpeter, Joseph A. (1954). “History of Economic Analysis.” London: George Allen and Unwin. Sheng, Andrew. 2016. “Regulators Should Take Holistic View of Impact of Radical Uncertainties on Financial Industry.” Remarks at ECB Forum on Central Banking 2016, Sintra, (forthcoming). Tett, Gillian. 2015. “The Silo Effect: Why Putting Everything in its Place isn’t Such a Bright Idea.” London: Little, Brown. Tucker, Paul. 2016. “Chapter 1: How Can Central Banks Deliver Credible Commitment and Be ‘Emergency Institutions’?” In John Cochrane and John Taylor (eds.), Central Bank Governance and Oversight Reform. California: Hoover Institution Press Publication. World Bank. 2016. “Exports of Goods and Services (BoP, current US$).”
64
Presidential Lecture Series
HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN
Boediono
65
TENTANG PROF. DR. BOEDIONO
Prof. Dr. Boediono atau yang akrab disapa Boediono, lahir di Blitar pada 25 Februari 1943. Menyelesaikan pendidikannya di Universitas Western Australia pada tahun 1967 dengan gelar Bachelor of Economic. Gelar Master of Economics diperolehnya dari Universitas Monash pada tahun 1972, kemudian pada tahun 1979 ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School University of Pensylvania USA. Boediono menikah dengan Herawati pada tahun 1944 dan dikaruniai dua orang anak. Kariernya di pemerintahan dimulai dari Bank Indonesia, ia menjabat sebagai Direktur (setara Anggota Dewan Gubernur) Bank Indonesia pada tahun 1992-1997. Pada tahun 1998 Boediono diangkat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional oleh Presiden B.J. Habibie, kemudian pada tahun 2001 ia kembali diangkat untuk menjabat di pemerintahan sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Prestasi dan kecemerlangannya mulai tampak dengan jabatan Menteri Keuangan ini, salah satunya adalah dengan melepaskan Indonesia dari ketergantungan pada bantuan Dana Moneter Internasional sekaligus mengakhiri kerjasama yang selama ini menjadi beban besar negara. Sejak krisis moneter di tahun 1998, makroekonomi Indonesia masih belum bisa disebut stabil. Boediono dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Menteri Koordinator Perekonomian)-lah yang akhirnya berhasil menstabilkan kurs rupiah di angka Rp9000 per dolar AS. Prestasi ini membuat keduanya disebut sebagai The Dream Team oleh BusinessWeek. Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan
66
Presidential Lecture Series
sampai tahun 2004, setelah itu dirinya memutuskan untuk beristirahat dan aktif di bidang akademis. Setahun kemudian, pada 2005 nama Boediono kembali terdengar setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan reshuffle kabinet, Boediono dipilih oleh SBY sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menggantikan Aburizal Bakrie. Karir Boediono di bidang ekonomi semakin meningkat, dirinya resmi menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia di tahun 2008-2009. Pada tahun 2009, Boediono diminta oleh SBY menjadi Wakil Presiden berpasangan dengannya untuk maju dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, pasangan tokoh militer-politik dan ekonomi ini berhasil menang dan resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014. Dan saat ini Boediono adalah salah satu anggota Dewan Kehormatan Bank Indonesia Institute.
Boediono
67
GALERI FOTO
68
Presidential Lecture Series
Boediono
69
70
Presidential Lecture Series
Boediono
71
PRESIDENTIAL LECTURE PRESIDENTIAL LECTURE
2
Peningkatan Daya Saing Indonesia melalui Penciptaan SDM yang Berkualitas
B O E DI ON O
Boediono
BI INSTITUTE Kampus Utama, Gedung D Jl MH Thamrin No 2, Jakarta 10350 Telp. (+62) 21 500-131 Fax. (+62) 21 3864884 Email:
[email protected]
www.bi.go.id
Agustus 2016
2